Ceritasilat Novel Online

Undangan Berdarah 2


Pendekar Bayangan Sukma Undangan Berdarah Bagian 2



Kakek itu ibarat pengganti orang-tuanya.

   Tetapi kini, dia menelusuri hidup dengan kedua langkahnya sendiri.

   Namun begitu teringat kalau dia hendak mencari pembunuh kedua orang tuanya, kakinya semakin mantap melangkah.

   Hingga tibalah dia di Lembah Setan.

   Lembah yang cukup menyeramkan.

   Lalu mulailah dia menurunkan beberapa kepandaiannya pada orang-orang di sekitar sana.

   Dan dia pun mengenakan pakaian berwarna biru-biru dengan jubah merah dan topeng yang menutupi wajahnya.

   Namanya pun diganti menjadi Resi Widia Soka.

   Sampai dia pun melaksanakan rencananya untuk men-gundang para jago-jago persilatan.

   Karena Banyu Wiro berpikir sulit untuk mencari Tiga Golok Maut.

   Barangkali saja tiga manusia durjana itu hadir di antara para tamunya.

   Dan agar orang-orang itu tidak curiga, dia pun mendirikan Partai Rajawali Sakti, dan bermaksud meresmikannya dengan meminta restu para jago-jago rimba persilatan.

   *** Pagi baru saja datang.

   Udara cerah.

   Burung-burung di sekitar hutan itu berkicauan dengan merdu.

   Seakan menanti dan menunggu munculnya sang mentari.

   Di gubuk kecil yang terdapat di hutan itu, keluar sa-tu sosok tubuh seorang gadis.

   Gadis itu merentangkan kedua tangannya.

   Lalu dia pun melangkah ke sungai untuk mandi.

   Digosoknya tubuhnya bersih-bersih.

   Setelah itu dia pun kembali ke gubuk tadi.

   Di dalam gubuk itu ternyata masih ada satu sosok lagi yang sedang tidur.

   Seorang pemuda berwajah tampan.

   Gadis itu pun membangunkannya.

   "Kakang... Kakang... bangun, sudah siang...."

   Katanya sambil mengguncang. Pemuda itu menggeliatkan tubuhnya. Lalu membuka matanya. Dia tersenyum melihat gadis itu sudah rapi dan bersih.

   "Kau sudah mandi, Rayi Ambar?"

   "Sudah, Kakang Pranata.... Cepatlah kau mandi du-lu. Angin berhembus sejuk dan air sungai pun sejuk sekali, Kakang."

   Pemuda yang tak lain Pranata Kumala dan gadis itu istrinya Ambarwati, bangkit dari tidurnya.

   Lalu dia pun melangkah keluar.

   Menikmati pemandangan hutan di pagi hari.

   Dua ekor kudanya nampak sedang asyik memakan rumput.

   Mereka memang Pranata Kumala dan Ambarwati adanya.

   Sepasang suami istri muda itu memang tengah melakukan petualangan.

   Mereka adalah putra dan menantu dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.

   Telah berbulan-bulan mereka melakukan petualan-gan.

   Dan banyak mendapat pengalaman yang menarik dari belahan sisi kehidupan.

   Pranata Kumala pun pergi mandi.

   Setelah itu meme-tik buah-buahan yang terdapat di hutan sana.

   Lalu keduanya pun menikmati buah-buahan itu sebagai peng-ganjal perut atau sarapan.

   Tiba-tiba terdengar langkah berderap mendekat? gu-buk itu.

   "Ah... kayaknya gubuk ini layak untuk dipakai tempat beristirahat sebelum kita melanjutkan perjalanan ke Lembah Setan!"

   Terdengar suara keras itu. Pranata Kumala dan istrinya jadi bersiaga. Mereka dapat menduga di tempat semacam ini sering kali ba-nyak orang-orang yang hendak berbuat jahat. Dia pun berbisik pada istrinya.

   "Bersiaplah, Rayi... agaknya ada tamu yang tak diundang datang ke sini...."

   Ambarwati pun bersiaga. Lima orang itu makin mendekati gubuk yang mereka lihat. Dan salah seorang berkata.

   "Kakang... lihatlah! Ada dua ekor kuda di sana!"

   "Hmm... berarti gubuk itu ada penghuninya!"

   Kata yang dipanggil kakang yang bernama Jartiko Seda.

   "Kalian periksa ke sana! Dan bunuh saja siapa yang ada di sana!"

   Mendengar kata-kata itu Pranata Kumala segera mengajak istrinya keluar. Menurutnya, gubuk ini terlalu sempit bila terjadi perkelahian. Dan satu-satunya jalan adalah mencari tempat yang agak lega. Maka dia pun muncul bersama istrinya.

   "Kakang! Kau lihat itu! Penghuninya ternyata dua orang remaja yang sedang asyik-masyuk!"

   "Hahaha... rupanya yang pemudi itu boleh juga untuk menemani kita di pagi hari ini!"

   Ambarwati yang panasan segera membentak karena dirinya dijadikan bahan ejekan.

   "Bangsat hina! Siapa kalian?!"

   "Hahaha... rupanya galak juga manusia yang satu ini! Hmm... aku Jartiko Seda amat menyukai gadis galak semacam kau!"

   "Mulut ceriwis! Cepat pergi dari sini sebelum aku menjadi marah!"

   "Hahaha... hei kalian dengar itu?! Dia marah dan mengusir kita?!"

   Kata-kata Jartiko Seda disambut dengan tawa oleh anak buahnya. Kelima orang itu terbahak dengan perut terguncang. Di pinggang masing-masing terdapat sebilah clurit. Ditertawakan begitu, Ambarwati semakin menjadi jengkel. Dia membentak lagi.

   "Hhh! Para tukang rumput dari mana kalian hingga sampai di tempat ini, hah?! Apa kalian sedang mencari kambing-kambing kalian yang terlepas?!"

   Wajah kelima orang itu merah padam. Terutama Jar-tiko Seda.

   "Perempuan lancang! Kau akan ku ganyang hidup-hidup!"

   Bentaknya dengan sepasang mata melotot marah.

   "Atau kau yang kujadikan makanan kambing, Orang jelek!"

   Balas Ambarwati tak mau kalah. Dia memang seorang gadis yang cepat marah dan tersinggung. Panasan. Melihat keadaan yang semakin tidak enak, Pranata Kumala cepat memotong dan menjura.

   "Maafkan kelancangan istriku, Ki Sanak...."

   Katanya dengan suara yang terdengar sopan.

   "Hhh! Istrimu rupanya? Apa kau tidak kewalahan mempunyai istri brengsek seperti itu?!"

   Seru Jartiko Se-da yang merasa laki-laki itu menghormatinya, dilihat dari sikapnya yang menjura.

   "Sekali lagi maafkan istriku, Kisanak. Dan perta-nyaan Kisanak tadi, sudah tentu kujawab tidak! Aku amat mencintai istriku ini, siapa pun dia adanya dan bagaimana pun dia adanya! Salam kenal dari kami, Kisanak. Namaku Pranata Kumala dan ini istriku, Am-barwati...."

   Melihat sikap pemuda yang benar-benar sopan dan tidak terasa dibuat-buat, membuat amarah Jartiko Se-da pada Ambarwati agak berkurang. Dia berkata.

   "Hmmm... namaku Jartiko Seda. Dan ini empat orang anak buahku. Julukan kami adalah, Lima Clurit Berbisa!"

   "Sekali lagi... salam kenal dari kami berdua untuk Lima Clurit Berbisa...."

   "Sikapmu santun sekali, Pranata Kumala... berlainan sekali dengan istrimu yang cerewet itu...."

   Kata Jartiko Seda sambil melirik Ambarwati. Yang dilirik mendengus kesal.

   "Itu urusanku! Sikapmu yang sok tahu!"

   Tiba-tiba Jartiko Seda tertawa.

   "Jagat Dewa Batara! Rupanya ada pula wanita yang begitu judes dan cerewetnya!"

   "Ki Sanak...."

   Kata Pranata Kumala untuk memotong istrinya yang nampak sudah siap lagi untuk meledak.

   "Sekali lagi maafkan istriku. Hmm... ada apakah gerangan kalian semua berada di sini? Tadi kudengar, kalian hendak pergi ke Lembah Setan? Ada apakah gerangan, itu kiranya bila kami boleh tahu?!"

   "Hahaha... mengapa tidak? Kami memang bermak-sud pergi ke Lembah Setan, untuk memenuhi undan-gan dari Resi Widia Soka...."

   "Undangan?"

   "Ya, saat ini Resi Widia Soka mengundang para jago-jago rimba persilatan untuk datang ke Lembah Setan."

   "Ada apakah gerangan?"

   "Resi Widia Soka hendak meresmikan Perguruan silatnya, Partai Rajawali Sakti."

   "Dan dia meminta restu dari semua para jago di rim-ba persilatan?"

   "Betul, Pranata."

   "Kalau begitu... apakah dia mengundang Madewa Gumilang?"

   Tanya Pranata Kumala yang tiba-tiba berharap bisa bertemu dengan ayahnya.

   "Pendekar Bayangan Sukma? Ah, sudah tentu dia diundang."

   "Jartiko Seda... apakah aku dan istriku boleh turut hadir di Lembah Setan?"

   "Hei, agaknya kau punya urusan dengan Madewa Gumilang? Ada apakah hingga kau merasa perlu berte-mu dengan manusia dewa itu?"

   Tanya Jartiko Seda sambil menatap Pranata Kumala lekat-lekat.

   "Maafkan aku, Jartiko Seda. Tidak, aku tidak punya urusan apa-apa dengan Madewa Gumilang. Aku... ya, ya... aku hanya ingin mengenal siapakah dia sebenarnya?"

   "Kau belum pernah mengenal Pendekar Budiman itu?"

   "Sama sekali belum. Itulah sebabnya aku sangat berharap untuk bisa bertemu dengannya."

   "Boleh saja kau turut ke Lembah Setan. Lagi pula, biarpun kau ada urusan dengan Madewa Gumilang, itu bukan urusanku. Namun sampai sejauh ini yang ku-dengar, pendekar itu tetaplah seorang pendekar budiman yang selalu memerangi kejahatan...."

   "Terima kasih atas kesediaanmu, Jartiko Seda...."

   "Kakang Jartiko!"

   Terdengar suara dari salah seorang anak buahnya.

   "Hmm... ada apa, Lamtoro?"

   "Biasanya... yang diundang oleh seorang pendekar, pasti sedikit banyaknya dia memiliki kepandaian. Hmm... apakah patut kedua orang ini turut hadir, sementara kita tidak tahu kepandaian apa yang dimiliki oleh keduanya...."

   "Lalu maksudmu?"

   Lamtoro melirik Pranata Kumala dan Ambarwati.

   "Aku agak sangsi apakah mereka memiliki kepan-daian yang patut dibanggakan...."

   "Anjing buduk!"

   Terdengar geraman Ambarwati.

   "Bilang saja kau ingin menguji kami! Bagus, cabut senjatamu! Biar aku yang layani!"

   "Hahaha...."

   Lamtoro terbahak.

   "Apakah kau tidak takut cidera bila tangan atau kakimu yang mulus itu terlupa?"

   "Bangsat! Atau kau yang akan kubuat lumat dan menderita! Cabut senjatamu!"

   Bentak Ambarwati semakin panas.

   Lamtoro tertawa.

   Lalu dia maju selangkah dengan sikap pongah.

   Ambarwati pun melangkah dengan gagah.

   Pranata Kumala yang bermaksud untuk menghindari uji tanding ini cuma bisa mengangkat bahunya.

   Dia jelas hafal sekali akan perangai istrinya.

   Dan bila dia menahan, istrinya bisa kecewa.

   Maka dibiarkan saja istrinya menerima tantangan Lamtoro.

   Bila nanti terjadi hal yang tidak diinginkan, baru dia akan turun tangan.

   Di samping itu, Pranata Kumala pun hendak mem-beri pelajaran pada Lamtoro.

   Biarlah dia lakukan itu melalui tangan istrinya.

   "Benar kau tidak akan menyesal bila kulitmu terluka, Manis?"

   Terdengar suara Lamtoro penuh ejekan yang membuat Ambarwati semakin marah dan jengkel. Dia bertekad untuk mengalahkan Lamtoro.

   "Atau kau yang sedang menyesali kenapa berani menantangku, hah?!"

   Wajah Lamtoro merah padam.

   Lalu dia pun tak mau berbasa-basi lagi.

   Dengan satu teriakan dia pun menerjang dengan pukulan lurus ke muka.

   Ambarwatipun te-lah bersiap menghadapi laki-laki itu.

   Begitu tangan Lamtoro mengarah padanya.

   Bersa-maan dengan itu pula Ambarwati menggerakkan tangan kanannya ke wajah Lamtoro.

   Lamtoro terkejut.

   Serentak dia menarik tangannya kembali untuk menangkis pukulan dari Ambarwati.

   Dan pertahanannya pun langsung terbuka.

   Pukulan pancingan yang dilepaskan Ambarwati mengena.

   Dia pun mengirimkan satu jotosan ke perut Lamtoro yang tidak menyangka sama sekali hal itu.

   Des! Pukulan itu mengenai sasarannya.

   Wajah Lamtoro memerah.

   Karena belum satu jurus dia sudah terkena.

   "Setan! Terimalah pembalasanku!"

   Serunya sambil menyerang kembali.

   Kali ini lebih cepat, gencar dan berbahaya.

   Ambarwati sendiri tidak mau dirinya dijadikan sasa-ran serangan-serangan dari Lamtoro.

   Dia pun menghindar dan menangkis.

   Dan membalas pula dengan seran-gan-serangan yang tak kalah hebatnya.

   Dengan ditonton lima pasang mata, keduanya pun berlaga memamerkan kepandaian mereka.

   Pranata Ku-mala berdecak kagum melihat istrinya bisa mengimbanginya, bahkan setelah beberapa jurus berlalu, nampak istrinya berada di atas angin.

   Dan kembali pukulannya mengenai sasarannya.

   Des! Lamtoro terhuyung ke belakang beberapa tindak.

   Dia tidak menyangka gadis itu dapat bergerak demikian ce-patnya.

   Dia menggeram marah dan tangannya bergerak ke pinggang, mencabut cluritnya.

   Ambarwati mengejek.

   "Hhh! Rupanya cuma begitu saja kepandaian ilmu tangan kosongmu, Lamtoro! Bah, kau tak ubahnya seperti tikus yang ketakutan menghadapi seekor kucing! Ayo majulah kau dengan cluritmu itu!"

   Lamtoro menggeram marah diejek demikian. Maka dia pun menjerit seraya menerjang dengan cluritnya. Pranata Kumala hanya berseru dengan sikap tenang.

   "Hati-hati, Rayi!"

   Clurit itu berkelebat ke sana ke mari dengan ganas.

   Sasarannya bagian-bagian tubuh yang berbahaya.

   Ambarwati sendiri menjadi kewalahan menghadapi serangan-serangan clurit itu.

   Tiba-tiba dia bersalto.

   Dan bersamaan dengan itu Lamtoro menderu maju dan siap menyabetkan cluritnya ke perut Ambarwati.

   Namun satu pertunjukkan permainan ilmu pedang diperlihatkan Ambarwati.

   Masih bersalto di udara, dia mencabut pedangnya.

   Dan menangkis sambaran clurit Lamtoro.

   Lamtoro yang tidak menyangka gadis itu bisa ber-buat hal yang menakjubkan tadi, menjadi terkejut.

   Clurit di tangannya terlepas.

   Tiba-tiba tubuh Ambarwati berputar.

   Dan kakinya menyambar tubuh Lamtoro hingga ambruk ke bumi.

   Ambarwati sendiri hinggap di tanah dengan ringan-nya.

   Dan bersamaan dengan kedua kakinya menjejak tanah tiga orang teman Lamtoro serentak mengurung-nya.

   Melihat hal itu, Pranata Kumala pun tak mau kalah.

   Dia bersalto dua kali dan hinggap di depan Ambarwati.

   Kedua tangannya bersedekap di dada.

   Dia tersenyum.

   "Apakah pertandingan uji coba ini masih akan dilakukan?"

   Tanyanya dengan suara tenang. Ketika ketiga orang itu hendak membuka mulut ter-dengar suara dari Jartiko Seda.

   "Pertandingan uji coba selesai!"

   Serunya sambil ber-tepuk tangan.

   "Aku kagum dengan kepandaian istrimu bermain pedang, Pranata kumala! Biarpun dia cerewet ternyata ilmu kepandaiannya cukup tinggi!"

   "Jartiko... bagaimana dengan anak buahmu yang mengurung kami?"

   Jartiko Seda mengangkat tangan kanannya.

   "Biarkan mereka!"

   Ketiga anak buahnya menurut. Padahal mereka jengkel karena Lamtoro berhasil dikalahkan oleh gadis yang nampak lemah itu. Yang dikira mereka hanya bisa membentak dan cerewet saja.

   "Bagaimana, Jartiko? Syarat yang diajukan oleh anak buahmu tadi telah kami penuhi? Apakah kami boleh ikut serta ke Lembah Setan? Ataukah masih ada syarat lain yang harus kami penuhi?"

   Jartiko Seda tertawa.

   Dia dapat mengira-ngira ke-pandaian dari Pranata Kumala.

   Melihat ketenangannya dan dia bergerak, itu sudah menandakan dia seorang pemuda yang berisi.

   Lagipula, untuk apa menjalin permusuhan dengan mereka.

   Tadi dia hanya jengkel saja melihat ulah Ambarwati yang begitu tidak sedap di matanya.

   "Baiklah... kalian boleh ikut kami ke Lembah Setan. Dan ingat, pertandingan uji coba tadi bukanlah merupakan suatu syarat. Tapi sekedar perkenalan antara kami dengan kalian berdua!"

   "Perkenalan yang berbahaya!"

   Tersenyum Pranata Kumala.

   Jartiko Seda menyuruh Lamtoro untuk meminta maaf pada keduanya.

   Setelah itu, mereka pun segera berangkat menuju Lembah Setan.

   Karena nanti malamlah purnama pertama di bulan ini.

   *** Suasana Lembah Setan malam itu begitu ramai se-kali.

   Di setiap penjuru terdapat obor-obor yang cukup banyak menerangi sekitar lembah itu.

   Tamu-tamu yang hadir terdiri dari orang-orang jago rimba persilatan.

   Mereka semua saling tawa dan gembi-ra bersua dengan teman dan sahabat.

   Permusuhan ma-lam itu seakan tidak nampak.

   Meskipun masih ada be-berapa orang yang secara diam-diam tidak menyukai musuhnya pun hadir di sana.

   Pranata Kumala dan istrinya yang hadir bersama Li-ma Clurit Berbisa pun menikmati suasana di tempat itu.

   Tamu-tamu sudah dihidangkan makanan dan mi-numan.

   Tiba-tiba meloncat satu sosok tubuh ke atas pang-gung.

   Sosok itu berpakaian biru-biru dengan topeng berwarna biru pula.

   Dia adalah Pati Mukti.

   "Para saudari saudaraku sekalian, malam ini... kita berkumpul di sini, untuk memenuhi undangan dari guru kami, Resi Widia Soka. Di mana dalam kesempa-tan ini, beliau hendak meminta restu dari saudara-saudara sekalian akan berdirinya Perguruan silat yang beliau beri nama Partai Rajawali Sakti!"

   Hadirin bertepuk tangan. Bergemuruh. Dari tempatnya berdiri, Pati Mukti melihat dua orang berjalan menuju tempat itu. Lalu dia pun berseru.

   "Kepada Madewa Gumilang dan istrinya Ratih Ningrum, kami atas nama Partai Rajawali Sakti mengucapkan selamat datang!"

   Dua orang yang datang itu memang Madewa Gumi-lang dan istrinya Ratih Ningrum.

   Orang-orang serentak berdiri dan menjura hormat pada keduanya.

   Mereka pun mempersilahkan Madewa dan istrinya untuk du-duk di depan, tak begitu jauh dari panggung yang me-gah itu.

   Ambarwati memegang lengan suaminya.

   "Kakang... ayah dan ibu sudah datang...."

   "Iya, Rayi... ingin sekali aku mendekati mereka...."

   Terdengar lagi suara Pati Mukti.

   "Untuk memper-singkat waktu, kami minta kepada Resi Widia Soka, untuk tampil di atas panggung ini dan memberikan kata-kata sambutannya!"

   Resi Widia Soka yang masih berada di dalam pun ke-luar dengan langkah gagah.

   Orang-orang berdiri hendak melihat wajah Resi Widia Soka.

   Namun mereka menjadi kecewa karena resi itu pun mengenakan topeng berwarna biru.

   Dia mengenakan jubah berwarna merah.

   Dan di tangannya ada sebuah tongkat yang nampak sudah tua sekali.

   Lalu dia pun naik ke atas panggung.

   "Saudara-saudaraku sekalian...."

   Serunya bergema, merobek malam.

   "Saat purnama telah datang dan kini menghias di kepala kita, kita berkumpul di Lembah Setan! Sebelumnya kuucapkan selamat datang kepada Pendekar Bayangan Sukma, Madewa Gumilang dan is-trinya! Juga Ki Prasewari atau si Tangan Siluman. Juga Praja Sewu Ketua Perguruan Naga Selatan! Juga kepada para pendekar yang telah memenuhi undanganku ini! Saya juga minta maaf, bila ada pelayanan kami yang kurang berkenan di hati para pendekar! Tentunya kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memohon restu dari para pendekar semua! Dan seperti bi-asanya bila ada yang hendak mendirikan sebuah Perguruan silat, tentunya banyak mengundang tanya dan keingin-tahuan di hati sampai sejauh mana kebisaan dan kelihaian orang-orang yang berada dalam Pergu-ruan silat yang hendak berdiri itu. Nah, kami pun tentunya akan mengalami hal yang sama! Di sini, di mana saya berdiri telah tersedia panggung tinggi dan lebar. Tentunya kita semua mengerti untuk apa panggung ini dibuat dan disediakan! Bila hidangan makan dan minum sudah dicicipi semua, maka saya atas nama ketua Partai Rajawali Sakti, memohon sedikit pelajaran dari beberapa pendekar untuk mengajari kami bagaimana cara bertarung yang baik!"

   Kata Resi Widia Soka alis Banyu Wiro sambil menjura dan kata-katanya yang te-rakhir disambut dengan suara gemuruh yang gegap-gempita.

   Saat berdiri di atas panggung itu, mata Banyu Wiro mengejar ke segala penjuru.

   Matanya mencari orang-orang durjana yang telah membunuh kedua orang tua-nya.

   Dia sungguh tidak sabar menanti pelaksanaan semua ini.

   Namun begitu tidak dilihatnya Tiga Golok Maut yang telah menyebarkan malapetaka, Banyu Wiro mendesah panjang.

   Masih lamakah pencariannya terhadap manusia-manusia durjana itu? Tiba-tiba Praja Sewu berdiri dan melenting dua kali di udara lalu hinggap di atas panggung.

   Di depan Resi Widia Soka.

   Praja Sewu menghadap kepada hadirin.

   "Hhh! Aku Praja Sewu atau si Naga Selatan. Berdiri di panggung ini sebagai orang pertama yang ingin men-jajaki ilmu kepandaian milik Partai Rajawali Sakti!"

   Suaranya disambut dengan tepukan tangan yang cukup keras. Resi Widia Soka pun tersenyum di balik topeng bi-runya.

   "Praja Sewu... tentu saja kami akan menyambutmu dengan suka hati.... Nah, silahkan pilih lawan yang berdiri berjejer di sebelah kiri itu!"

   Praja Sewu melihat ada tujuh orang laki-laki berse-dekap di dada dengan memakai pakaian biru-biru dan topeng berwarna biru pula. Hanya angkin yang melilit di pinggang mereka berlainan.

   "Silahkan, pilih, Praja Sewu... sebutkan saja warna angkin yang ada di pinggang mereka...."

   Praja Sewu menyeringai mengejek.

   "Aku tidak akan memilih mereka sebagai lawan!"

   Katanya dengan congkak.

   "Hmm... lalu siapa lawan yang kau kehendaki, Praja Sewu...."

   Kata Resi Widia Soka yang mulai tidak suka dengan sikap sombong Praja Sewu. Dia membenarkan bila muridnya Pati Mukti begitu amat mendendam pada Praja Sewu. Praja Sewu menghadap kepada hadirin kembali.

   "Para pendekar yang berada di sini, aku telah mene-tapkan dan memilih lawanku sendiri. Yaitu... Resi Widia Soka sendiri!"

   Gemparlah hadirin yang berada di sana.

   Bagi seo-rang guru ditantang di hadapan banyak orang dan di depan para muridnya, adalah bagian dari hidup dan mati.

   Dia lebih baik memilih mati daripada dipecundan-gi.

   Madewa Gumilang sendiri mendesah melihat kesom-bongan dari Praja Sewu.

   Di balik topeng birunya, Resi Widia Soka memerah wajahnya.

   Dia tidak menyangka Praja Sewu akan memi-lihnya sebagai lawan.

   Namun tantangan sudah diku-mandangkan, berarti mau tidak mau dia harus melaya-ni tantangan dari Praja Sewu.

   Resi Widia Soka pun bersiap.

   Dia menjura di depan Praja Sewu.

   Suaranya masih tetap bersahabat dan berwibawa.

   "Praja Sewu... agaknya ini merupakan suatu peng-hargaan untukku. Nah, buat apa kita menunggu waktu lagi? Silahkan! Kalangan sudah di buka, dan kita siap untuk berlaga!"

   Praja Sewu pun tak mau membuang waktu lagi.

   Dia segera membuka jurus naganya.

   Dan langsung menye-rang dengan kekuatan penuh.

   Pikirnya dengan sekali gebrak dia mampu untuk menjatuhkan Resi Widia So-ka.

   Namun Resi Widia Soka atau Banyu Wiro adalah murid dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti.

   Dia hanya menggeser tubuhnya ke kiri dan balas menyerang dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.

   Praja Sewu tercekat kaget.

   Dan memaki-maki dia menangkis serangan balasan itu.

   Des! Dia dapat merasakan betapa besarnya tenaga dalam yang dimiliki oleh Resi Widia Soka.

   Tangannya terasa agak ngilu dan kesemutan.

   Hal ini membuat geram.

   "Mengapa berhenti, Praja Sewu!"

   Kata Resi Widia So-ka tetap dengan suara bersahabat.

   "Bangsat! Kau mau menjual lagak di depanku, hah?!"

   Bentaknya seraya menyerang kembali.

   Kali ini gerakannya lebih dahsyat dan berbahaya.

   Namun dengan mudahnya semua serangan itu berhasil dielakkan, bahkan berkali-kali Resi Widia Soka menye-rangkan pukulannya.

   Des! Des! Dua pukulan beruntun membuat tubuh Praja Sewu terhuyung.

   Dan dengan satu tendangan memutar, tu-buh itu pun terpental dari atas panggung.

   Hadirin bertepuk tangan.

   Kagum dengan kelincahan dan kehebatan Resi Widia Soka.

   Resi itu menjura.

   "Maafkan kelancangan saya, para pendekar! Karena bagi yang telah jatuh dari panggung ini barulah dikata-kan kalah! Nah, siapa kiranya yang hendak menguji kami, silahkan naik ke panggung!"

   "Kami bertiga yang akan memberi pelajaran padamu, Topeng jelek!"

   Terdengar suara bentakan itu bernada be-rat.

   Resi Widia Soka melihat tiga orang laki-laki berwajah seram baru saja datang ke tempat itu.

   Di pinggang ketiga laki-laki itu terdapat sebilah golok yang besar dan tajam.

   Mendadak dada Resi Widia Soka berdebar melihatnya.

   Salahkah penglihatannya? Tidak, jelas tidak! Mereka adalah Tiga Golok Maut yang telah menyebar malapetaka pada keluarganya.

   Sampai kapan pun ketiga wajah itu akan terus diingatnya, bahkan takkan pernah ter-hapus meskipun dia sudah berusaha untuk mengha-pusnya! "Akhirnya kalian datang juga untuk mengantarkan nyawa!"

   Desis Resi Widia Soka dalam hati. Namun sudah tentu dia tidak menampakkan sikap berubah.

   "Hmm... agaknya ada tamu lagi yang baru datang. Selamat datang di Lembah Setan ini, Ki Sanak bertiga!"

   Kata Resi Widia Soka sambil menjura hormat, namun di dadanya berdebar rasa tidak sabar dan marah yang membangkitkan dendamnya.

   "Hhh!"

   Salah seorang mendengus.

   "Salam kenal dari kami, Tiga Golok Maut!"

   "Benar dugaanku, mereka Tiga Golok Maut yang telah mencabut nyawa ayahku dan memperkosa ibuku. Agaknya Dewata mengizinkan aku untuk membalas dendam."

   "Hahaha... salam kenal dari kami pula, Tiga Golok Maut!"

   "Tadi kau menantang para hadirin untuk naik ke atas panggung, bukan? Nah, kami akan naik ke sana dan akan menghajar orang-orang Partai Rajawali Sakti taik kucing ini!"

   Seru Murka Tungga dengan sikap yang sombong membuat orang-orang yang hadir menjadi tidak suka padanya.

   "Karena kalian bertiga... biarlah anak muridku yang akan melayani kalian bermain-main! Nah, berilah mereka petunjuk yang teramat berharga!"

   Kata Resi Widia Soka sambil mengangkat tangan kanannya.

   Dan dari tujuh orang berpakaian biru dan bertopeng biru yang berdiri di sebelah kirinya itu, tiga orang bersalto ke atas panggung dan hinggap di dekat Resi Widia Soka.

   Sementara itu Madewa semakin kagum melihat sikap Resi Widia Soka yang tetap bersahabat.

   Diam-diam Madewa ingin tahu wajah siapa di balik topeng hitam itu.

   Dan secara diam-diam pula dia mengerahkan ilmu Pan-dangan Menembus Sukma-nya, ilmu yang bisa melihat ribuan kilometer dan menembus gunung sekali pun.

   Madewa melihat seraut wajah tampan yang berada di balik topeng biru itu.

   Bahkan sekilas tidak nampak sebagai seorang resi yang telah bertapa puluhan tahun.

   Madewa melihat sepasang mata pemuda yang berada di balik topeng biru itu memancarkan sinar aneh.

   Madewa menduga mata itu memancarkan dendam yang teramat sangat.

   Madewa pun jadi mengira-ngira sebenarnya ada apa di balik undangan ini? Dia pun menjadi bersiaga dan berhati-hati.

   Dilihatnya tiga orang laki-laki yang bergolok besar itu melompat dengan gagahnya ke atas panggung.

   Sikap mereka begitu congkak dan meremehkan.

   "Hhh! Resi Widia Soka... agaknya kau punya nyali pula untuk mendirikan Perguruan! Apa kau tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya langit, heh?!"

   Seru Murka Tungga dengan sombong.

   Resi Widia Soka alias Banyu Wiro yang melihat mu-suh besarnya berada di hadapannya mencoba untuk menahan diri.

   Dia tetap berkata dengan suara yang sabar dan ber-sahabat, meskipun di hatinya sudah dendam bukan main dan ingin segera menghabisi ketiga manusia ini! "Tiga Golok Maut...

   bukannya kami congkak, sombong atau ingin dikenal...

   tetapi kami mendirikan Perguruan ini...

   untuk menambah jumlah Perguruan silat yang telah ada...."

   "Dan kau sudah tahu syaratnya, bukan?"

   "Kalian sudah berada atas panggung, apa aku belum tahu?"

   "Bagus! Dan kepandaian apa yang akan kau perlihatkan kepada kami?"

   "Silahkan uji kemampuan para muridku!"

   "Hahaha... kau ngeri melihat kehebatan kami, bukan? Sehingga tiga muridmu yang tidak berdosa itu harus kau korbankan?"

   "Aku hanya ingin tahu, apakah kau mampu menga-lahkan muridku?"

   "Hahaha... semudah membalikkan telapak tangan! Bagaimana bila kau ku pilih sebagai lawan?!"

   Resi Widia Soka alias Banyu Wiro sudah ingin men-gangguk kepalanya saja. Namun ditahannya. Dia harus menjaga kehormatan ketiga muridnya yang sudah naik di atas panggung. Lalu dia berkata.

   "Kalahkan tiga muridku ini. Bila kalian mampu, aku yang akan melayani kalian dan meminta pelajaran dari kalian!"

   Kata Resi Widia Soka tetap dengan suara yang bersahabat.

   "Hahaha... begitu pun baiklah. Nah, turunlah kau dari sini, Resi! Atau kakiku yang akan menyepakmu untuk turun?!"

   Bukan main geramnya Banyu Wiro.

   Dia sudah ingin menghajar saja.

   Namun ditahannya.

   Lalu dia pun turun dari atas panggung.

   Pertarungan di atas pun dimulai.

   *** Tiga Golok Maut langsung menggebrak dengan hebat menyerang tiga murid dari Partai Rajawali Sakti.

   Gerakan mereka hebat dan kejam.

   Namun tiga murid yang mereka hadapi adalah tiga murid pilihan dari Partai Rajawali Sakti.

   Yang tentu saja tidak ingin membuat malu ketua mereka.

   Melihat serangan-serangan yang mereka lancarkan gagal.

   Tiga Golok Maut pun menderu menyerang kem-bali.

   Lebih ganas dan dahsyat.

   Masing-masing telah mendapatkan lawannya.

   Murka Tungga mengeram marah karena lawannya seakan mempermainkannya dengan melompat ke sana ke mari menghindari serangannya.

   Dia makin mengge-brak cepat.

   "Bocah tengik! Kubuat lumat kau!"

   Geramnya marah.

   Begitu pula dengan Moro dan Asena.

   Kedua lawan-nya pun seakan memperlihatkan ketrampilan mereka berkelit.

   Hingga dengan susah payah Moro dan Asena harus berjuang untuk menjatuhkan keduanya.

   Belum lagi ketika lawan-lawannya kemudian mem-balas.

   Membuat Tiga Golok Maut sadar akan kehebatan lawan-lawannya.

   Tetapi mendadak saja Murka Tungga mencabut go-loknya.

   Dan menyerang dengan golok terhunus.

   Meng-hadapi serangan-serangan golok itu, kali ini lawannya agak kewalahan.

   Dan tiba-tiba Murka Tungga memekik, goloknya ber-kelebat dan menyabet dada dari lawannya.

   Darah me-nyembur.

   Para hadirin terkejut dan memekik.

   Mereka tidak menyangka Murka Tungga akan berbuat telengas.

   Pa-dahal ini hanya uji coba antara hadirin dengan Partai Rajawali Sakti.

   Begitu pula yang dilakukan Moro dan Asena.

   Kedua-nya pun menyabetkan golok mereka ke tubuh lawan-lawan mereka.

   Pekikan yang menyayat hati terdengar.

   Darah perta-ma yang bersimbah di atas panggung itu muncrat membasahi lantai panggung.

   Sebagian hadirin amat tidak menyukai sikap kejam dari Tiga Golok Maut, kare-na begitu memandang rendah arti sebuah Perguruan dan sebuah nyawa! Tiba-tiba melompat satu sosok tubuh tinggi kurus.

   Sosok itu mengenakan pakaian berwarna putih.

   Ram-butnya diikat ke belakang.

   Dan wajahnya sudah separuh baya.

   Sosok itu berkata dengan nada jengkel pada Tiga Go-lok Maut.

   "Murka Tungga... di mana rasa hatimu begitu kejam menurunkan tangan telengas pada mereka? Bukankah kau tahu... ini hanya uji coba! Bukan untuk bunuh membunuh dan mencari silang sengketa! Kau begitu kejam, Murka Tungga!"

   Murka Tungga terbahak.

   "Hahaha... Ki Prasewari atau si Tangan Siluman, bila kau tidak menyukai perbuatanku, seharusnya bukan kau yang naik ke panggung sini! Tapi Resi Widia Soka sendiri! Nah mengapa harus kau yang marah, mengapa Resi Widia Soka tidak? Ini menandakan, resi topeng bi-ru itu adalah seorang yang pengecut dan hanya berani dengan mengandalkan tenaga para anak buahnya!"

   Di tempatnya, dari balik topengnya wajah Banyu Wi-ro alias Resi Widia Soka memerah. Namun dia masih berusaha untuk menahan diri. Walau pun dendamnya sudah meletup-letup hebat, namun masih berusaha un-tuk dikendalikan. Tetapi dia berdiri.

   "Ki Prasewari... ku haturkan rasa hormat dan terima kasihku.... Benar yang dikatakan Murka Tungga tadi. Seharusnya aku yang marah, karena yang mereka bu-nuh adalah anak buahku. Tapi aku berusaha untuk bersabar, karena aku tak mau undangan ini menjadi undangan berdarah di antara sesama kita. Undangan yang menjadi bibit permulaan dari permusuhan di anta-ra kita!"

   "Resi Widia Soka! Bilang saja kau takut! Ayo, tang-galkan topeng jelekmu itu dan hadapi kami!"

   Bentak Murka Tungga mengejek. Kali ini Banyu Wiro tak bisa mengendalikan marah-nya. Dia pun bersalto ke atas panggung.

   "Murka Tungga... sebenarnya aku masih memegang paham tamu adalah raja. Tapi kau telah membuatku jengkel. Aku masih berusaha bersabar melihat kau membunuh ketiga anak buahku...."

   "Ingat Resi... bila kau takut mati, silahkan turun dari sini!"

   Kata Murka Tungga dengan sikap yang sangat sombong.

   Ki Prasewari sendiri sudah teramat geram.

   Namun karena ketua Partai Rajawali Sakti sendiri sudah turun tangan, maka dia pun meloncat turun.

   Dari balik topeng birunya, sepasang mata Banyu Wi-ro memancarkan sinar dendam yang teramat sangat.

   "Murka Tungga... majulah! Kita buktikan, apakah kau pantas menjadi pecundang Partai Rajawali Sakti, atau hanya tiga manusia busuk yang hanya bisa berjual laga!"

   Mendengar kata-kata itu, Murka Tungga menggeram marah.

   Dia pun langsung menyerang dengan hebat.

   Be-gitu pula dengan Moro dan Asena.

   Ketiganya bergabung satu untuk membunuh Resi Widia Soka.

   Namun Banyu Wiryo alias Resi Widia Soka adalah murid tunggal dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti.

   Tongkatnya bergerak dengan cepat untuk menangkis serangan-serangan golok yang dilancarkan ketiga ma-nusia itu.

   "Hahaha... tongkat penggebuk anjing kau pergunakan untuk melawan kami!"

   Ejek Murka Tungga.

   "Ini tongkat untuk menggebuk kalian!"

   Suasana uji coba itu kini sudah berubah menjadi arena pertarungan hidup dan mati.

   Apalagi beberapa pendekar dari golongan hitam yang mulai mabuk, mulai meracau dan mengacau.

   Hingga para tamu pun menjadi gempar.

   Tamu yang diganggu oleh tamu yang mabuk, menjadi marah.

   Hingga terjadilah perkelahian masal yang hebat.

   Suara senjata beradu terdengar ramai.

   Pekikan keras menggema di malam hari.

   Darah pun mulai menyembur, membasahi tanah di Lembah Setan.

   Di tempatnya Ratih Ningrum berbisik pada sua-minya.

   "Kanda... agaknya orang-orang ini sudah mulai mabuk. Apakah kita harus diam saja?"

   "Tidak, Dinda."

   "Lalu mengapa Kanda masih duduk di sini saja?"

   "Karena tidak ada yang mengganggu kita."

   "Jadi Kanda hendak melibatkan diri?"

   "Bukan itu maksudku, Dinda. Aku sedang memper-hatikan pertarungan antara Resi Widia Soka dengan Ti-ga Golok Maut. Melihat dari pertarungan itu, kini nampak Resi Widia Soka pun tak kalah kejamnya memain-kan tongkat...."

   "Maksudmu apa, Kanda?"

   "Dugaanku... Resi Widia Soka menaruh dendam pa-da Tiga Golok Maut."

   "Berarti ini memang pertarungan maut, Kanda?"

   "Tepat, Dinda. Tapi aku kagum pada Resi Widia So-ka... ah, entahlah mana yang sebenarnya... Resi itu tidak mau melibatkan orang-orang yang hadir untuk ter-libat pada semua ini. Sehingga dia menunggu saat yang tepat untuk menghadapi Tiga Golok Maut...."

   "Sekaligus untuk membunuhnya?"

   "Benar. Dan... sejak tadi kuperhatikan permainan ilmu tongkatnya. Tiba-tiba saja aku teringat akan permainan tongkat dari si tua pengemis...."

   "Pengemis Tua Bertongkat Sakti!"

   "Tepat, Dinda.... Jurus-jurus yang dimainkan oleh Resi Widia Soka adalah jurus-jurus yang dimiliki oleh Pengemis Tua Bertongkat Sakti!"

   "Kalau begitu... ada hubungan apa antara Resi Widia Soka dengan Pengemis Tua Bertongkat Sakti?"

   "Yang pasti... dia adalah muridnya... hei! Awas, Dinda!"

   Seru Madewa ketika ada sebilah golok melayang ke arah istrinya. Ratih Ningrum dengan sigap mencabut sepasang pedang kembarnya dan menangkis golok yang melayang tadi.

   "Traaaannng!"

   Golok itu pun dihantam oleh pedangnya. Namun mendadak dua sosok tubuh mendekat dan langsung menerjang dengan hebat. Madewa dan istrinya melayani dengan segera. Namun baru dua jurus berlangsung, dua sosok pe-nyerangnya itu tiba-tiba menjatuhkan diri.

   "Ayah! Ibu!"

   Seru keduanya berbarengan. Madewa dan Ratih Ningrum menghentikan seran-gannya. Dan tiba-tiba Ratih Ningrum berseru.

   "Pranata! Ambarwati!"

   Penyerang yang tak lain Pranata Kumala dan Am-barwati mengangkat wajahnya.

   Ratih Ningrum memeluk keduanya dengan hati terharu.

   Madewa hanya tersenyum.

   Dia melihat jago-jago rimba persilatan sedang bertarung masal.

   Dan di atas panggung Resi Widia Soka tengah melayani serangan-serangan dari Tiga golok Maut.

   Pertarungan mereka begitu hebat, beringas dan ber-bahaya.

   Terutama serangan-serangan dari Murka Tung-ga yang demikian hebat dan bernafsu ingin segera me-nyelesaikan pertarungan ini.

   Namun Resi Widia Soka pun tak kalah hebatnya.

   Permainan tongkatnya begitu hebat.

   Menderu.

   Kadang bergerak bagai baling-baling.

   Menusuk.

   Menangkis.

   Memukul.

   Dan menotok.

   Hebat dan cepat.

   Penuh tenaga.

   "Hari ini kalian harus mampus di tanganku!"

   Geramnya yang diliputi dendam.

   "Hhhh! Kau yang akan kulumat, Resi!"

   Seru Murka Tungga.

   Dia menyerang lagi Begitu pula dengan Moro dan Asena.

   Tiga buah golok tajam bergerak mengurung gerak langkah Resi Widia Soka.

   Resi Widia Soka alias Banyu Wiryo pun yang tengah diliputi dendam begitu serangan itu datang kembali, menerjang pula dengan hebat.

   "Trok!"

   "Trok!"

   Berkali-kali tongkatnya beradu dengan golok-golok mereka.

   Dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan cepat, bagaikan baling-baling.

   Dan tiba-tiba pula dia menusuk.

   Des! Moro yang lengah, termakan tusukan tongkat itu.

   Dia terhuyung dengan dada yang teramat sakit.

   Melihat hal itu Murka Tungga menjadi marah.

   Dia menyerang lagi dengan tak kalah hebatnya.

   Begitu pula dengan Asena yang geram melihat Moro terkena tusukan tongkat itu.

   Namun Banyu Wiryo yang bertekad untuk memba-laskan dendam kematian kedua orang tuanya begitu beringas.

   Dia pun menyerang dengan ganas.

   Dan Des! Des! Tongkatnya menyambar tubuh Murka Tungga dan Asena yang terhuyung kesakitan.

   Banyu Wiryo berdiri tegak.

   Sepasang matanya me-mancarkan sinar pembunuhan.

   "Hhh! Tiga Golok Maut! Selama delapan belas tahun aku menunggu saat-saat seperti ini!"

   Bentaknya.

   "Ma-sihkah kalian ingat, akan ulah kalian yang telah menyebabkan kematian kedua orangtua ku? Di sebuah rumah kecil di tepi hutan Kalian telah menyiksa ibuku dan memperkosanya! Kalian juga telah membunuh ayahku! Hhh! Kalian pun telah membuat seorang bocah yang berusia tujuh tahun pingsan! Namun bocah itu berhasil diselamatkan oleh seorang kakek yang berjuluk Pengemis Tua Bertongkat Sakti! Dari kakek sakti itulah dia memperoleh pelajaran ilmu silat! Dan dendam yang menyelimuti bocah itu pun makin kuat dan dalam! Hhh! Ketahuilah, Tiga Golok Maut! Kalian tengah berhadapan dengan bocah yang telah kalian buat pingsan! Dan sekarang, bocah itu menuntut balas atas kematian kedua orangtua nya!"

   Tangan kiri yang bebas itu, bergerak ke atas.

   Mena-rik topeng berwarna biru.

   Lalu nampaklah seraut wajah tampan di hadapan Tiga Golok Maut.

   Tiga Golok Maut terkejut mendengar dan melihatnya.

   Sudah tentu mereka ingat akan kejadian delapan belas tahun yang lalu.

   Namun yang tak pernah mereka sangka, bocah yang pingsan itu kini menjadi duri bagi mereka.

   Dan Murka Tungga amat menyesali sikapnya dulu, mengapa dia tidak bunuh saja bocah itu! Tetapi sudah tentu sekarang dia hanya tertawa saja.

   Seolah tidak takut dengan orang yang berdiri di hadapannya.

   "Hahaha... rupanya kau bocah yang pingsan itu! Hhh! Punya nyali pula kau untuk menuntut balas ke-pada kami? Bah! Nyawamu sendiri yang akan melayang di tangan kami!"

   "Murka Tungga... dendam itu begitu kuat membe-lenggu ku! Aku belum puas bila belum membunuh ka-lian semua! Dan aku yakin, bapa dan ibuku pun tak puas bila aku belum membunuh kalian! Mungkin arwah mereka menjadi penasaran! Nah, kini terimalah kema-tian kalian di Lembah Setan ini!"

   Sesudah berkata begitu Banyu Wiryo pun menderu maju untuk menyerang.

   Para anak muridnya teramat terkejut melihat wajah guru mereka yang masih muda dan tampan.

   Pikir mereka, gurunya sudah berusia setengah baya karena dia memakai gelar resi.

   Namun sekarang mereka jadi heran karena melihat guru mereka yang jauh dari usia tua.

   Tiga Golok Maut pun segera menyambut serangan dari Banyu Wiryo yang menyerang dengan hebat.

   Di tempatnya Madewa pun mendesah.

   "Benar du-gaanku... resi itu menaruh dendam pada Tiga Golok Maut. Dan dia seorang yang masih muda. Murid dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti...."

   Di atas panggung, Tiga Golok Maut terdesak hebat.

   Ke mana pun mereka menghindar, tongkat di tangan Banyu Wiryo terus mengejar.

   Tiba-tiba terdengar seruan kesakitan dari mulut Mo-ro.

   Menyusul pula Asena.

   Dan dua tubuh itu pun ambruk.

   Dengan dada bersimbah darah.

   Nyawa keduanya pun melayang.

   Melihat hal itu Murka Tungga menggeram marah.

   Dia menerjang.

   Namun serangannya terasa sia-sia, karena semuanya berhasil dipatahkan oleh Banyu Wiryo.

   Bahkan kini ganti dia yang terdesak hebat oleh serangan-serangan Banyu Wiryo.

   Berkali-kali tubuhnya terkena sasaran tongkat Banyu Wiryo.

   Hingga satu ketika satu sodokan keras masuk ke perutnya.

   Des! "Heik!"

   Tubuh Murka Tungga terhuyung ke belakang dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat. Dan dia muntah darah.

   "Murka Tungga! Kini terimalah ajalmu!"

   Seru Banyu Wiryo.

   Lalu sambil mengayunkan tongkatnya.

   Murka Tungga hanya memejamkan matanya.

   Karena tak mampu lagi untuk bangun.

   Namun tiba-tiba Banyu Wiryo merasakan satu ben-turan yang cukup kuat menerpa tongkatnya.

   Dan tu-buhnya pun terhuyung ke belakang.

   Ketika dia berdiri tegak, di hadapannya telah berdiri satu sosok berjubah putih.

   Dan tersenyum arif dan bijaksana.

   Madewa Gumilang! Dia tadi yang memapaki seran-gan dari Banyu Wiryo.

   "Madewa!"

   Geram Banyu Wiryo.

   "Minggirlah, jangan ikut campur urusanku!"

   "Resi Widia Soka...."

   "Namaku Banyu Wiro!"

   "Banyu Wiryo... maafkan kelancanganku ini yang menghalangi seranganmu."

   "Nah, kalau begitu minggirlah!"

   "Banyu... seorang pendekar pantang membunuh lawannya yang sudah tak berdaya...."

   "Ini urusanku!"

   "Sebagai murid tunggal dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti, tentunya amat menjunjung tinggi nilai kesa-triaan...."

   "Madewa... aku teramat menaruh hormat dengan nama besarmu. Dan ku mohon... janganlah kau meng-ganggu urusanku ini...."

   "Banyu Wiryo... aku tahu kau sedang diliputi dendam yang teramat menyakitkan. Namun perlu kau in-gat, lawanmu sudah dalam keadaan lemah dan tak ber-daya. Apakah kau masih tega untuk membunuhnya?"

   Banyu Wiryo mendesah.

   "Madewa... dulu pun ibuku sudah dalam keadaan tak berdaya. Namun mereka memperkosanya hingga dia bunuh diri. Dia pun me-nempeleng ku hingga pingsan. Bapakku pun di bunuh oleh mereka. Apakah aku harus berbelas kasihan pa-danya? Tidak, Madewa! Dendam ini begitu kuat melekat di hatiku! Aku harus membunuhnya!"

   Banyu Wiryo pun menerjang kembali ke arah Murka Tungga. Namun, lagi-lagi Madewa menahannya. Kini dia berbalik pada Madewa dengan geram.

   "Aku telah bersumpah, barang siapa yang menghalangi perbuatanku, harus kubunuh! Nah, bersiaplah, Madewa!"

   "Sadarlah, Banyu Wiryo. Dendam tak akan tuntas bi-la kau lampiaskan dengan kekejaman!"

   "Perduli setan dengan kau, Madewa! Tahan seranganku!"

   Seru Banyu Wiryo seraya menerjang dengan tongkatnya. Mau tak mau Madewa pun harus melayaninya. Den-gan jurus Ular Meloloskan Diri dia terhindar dari serangan yang berbahaya itu.

   "Madewa... aku tahu kau pendekar yang sakti. Namun aku pun punya jurus andalan warisan dari guru-ku! Nah, terimalah Pukulan Menghancurkan Gunung ini!"

   Lalu terdengar suara deruan tongkat yang cukup ke-ras.

   Suaranya bagaikan ribuan tawon yang datang.

   Menderu dan berbahaya.

   Madewa pun mencoba memapakinya dengan jurus Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan pu-kulan Angin Salju.

   Ketika terjadi bentrokan, terdengar suara bagaikan sebuah ledakan.

   "DUAAAAR!"

   Madewa terhuyung beberapa tindak. Dia merasa sa-tu gempuran yang teramat hebat yang tengah mener-panya. Sementara Banyu Wiryo sendiri masih tetap berdiri tegak tak kurang suatu apa.

   "Maafkan aku, Madewa... aku akan tetap membu-nuhmu bila kau menghalangi niatku ini...."

   "Sadarlah Banyu... tak ada gunanya kita bertempur. Bukankah kau bisa memaafkan Murka Tungga atas ke-salahannya?"

   "Tidak sedikit pun! Dendam ini harus kubalas sampai tuntas! Dan aku tak mau kedua orang tuaku men-jadi penasaran dan mengutukku."

   "Banyu, arwah yang sudah mati tak akan bisa me-nyatu lagi dengan kehidupan di dunia ini. Jika arwah kedua orang tuamu muncul... itu adalah jelmaan iblis belaka!"

   "Diam kau, Madewa! Kau telah menjadi penghalang bagiku, dan kau harus kubunuh!"

   Seru Banyu Wiryo sambil menerjang kembali dengan Pukulan Menghancurkan Gunung.

   Madewa masih mencoba untuk menasehati dan me-redam kemarahan dari Banyu Wiryo.

   Namun usahanya gagal dan sia-sia.

   Madewa pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pukulan yang berbahaya itu.

   Tak ada jalan lain.

   Dia pun bersalto ke belakang.

   Sambil bersalto itu dia merangkum kedua tangannya di dada, hingga mengeluarkan asap berwarna putih.

   Itulah Pukulan Bayangan Sukma yang akan dilan-carkan oleh Madewa.

   Sebenarnya Madewa tidak mau mengeluarkan pukulan andalannya.

   Namun dia pun tak mau bila Banyu Wiryo terus menerus diliputi dendam.

   Namun di luar dugaan Madewa, Banyu Wiryo yang tengah menyerangnya tiba-tiba berbalik dan menghan-tamkan pukulannya ke Murka Tungga yang langsung kelojotan dengan tubuh hancur dan mampus seketika.

   Banyu Wiryo tersenyum puas.

   "Mampuslah kau, Murka Tungga!"

   "Banyu... betapa kejamnya kau!"

   Seru Madewa.

   "Persetan dengan kau, Madewa!"

   Serunya seraya menyerang Madewa kembali.

   Dan Madewa pun tak mau bertindak tanggung lagi.

   Ketika pukulan Banyu Wiryo hampir mengenai sasa-rannya, bersamaan dengan itu dilepaskannya Pukulan Bayangan Sukmanya.

   Kembali terdengar ledakan.

   Dan tubuh Banyu Wiryo pun hancur, lalu mati.

   Madewa mendesah panjang.

   Baginya Banyu Wiryo memang lebih baik mati daripada hidup penuh dendam dan bisa menimbulkan kekacauan.

   Madewa lalu berseru keras, menghentikan pertarun-gan yang terjadi di Lembah Setan.

   Para jago itu pun berhenti bertempur.

   Mereka segan pada Madewa Gumilang.

   Dan satu persatu pun meninggalkan tempat itu.

   Madewa sendiri berjalan mendekati istri, putra dan anak menantunya.

   Dia mengajak Ratih Ningrum untuk kembali ke Perguruan Topeng Hitam.

   Ratih Ningrum yang masih rindu pada putra dan anak menantunya, mengajak keduanya kembali.

   "Maafkan kami Ibu... kami masih akan meneruskan petualangan kami. Seperti yang dulu ibu lakukan bersama Ayah,"

   Kata Kumala.

   Lalu dia pun mengajak istrinya untuk meninggalkan tempat itu.

   Madewa pun mengajak istrinya untuk kembali ke Perguruan Topeng Hitam.

   Murid-murid Partai Rajawali Sakti pun segera men-guburkan mayat-mayat yang ada di sana.

   Juga jasad guru mereka.

   Pati Mukti pun mengambil alih pimpinan Partai Ra-jawali Sakti dan memimpin partai itu untuk mengenang guru mereka, Resi Widia Soka alias Banyu Wiryo.

   SELESAI Scan by Clickers Juru Edit.

   Fujidenkikagawa PDF.

   Abu Keisel Document Outline *** *** *** *** *** *** 8 SELESAI

   

   

   

Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Bloon Karya SD Liong Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini