Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 3


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 3



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   Tapi, karena kadang-kadang dia membela juga orang- orang dari golongan hitam membuat kakek ini mendapat julukan lain .

   Siauw-bin-kwi! Dan Siauw- bin Lo-koai yang kian hari kian bertambah lihai itu sekarang merupakan tokoh yang amat disegani, sejajar dengan ketua-ketua partai besar seperti Siauw-lim-pai sendiri! Itulah sekelumit cerita tentang asal-usul kakek ini.

   Dan sekarang, kembali pada masalah Cheng-kak- coa kakek itu melanjutkan ceritanya.

   Dia berputar- putar mencari jejak ular yang amat luar biasa, ular yang konon katanya telah menghilang dari tempat tinggalnya itu.

   Dan perjuangannya yang gigih akhirnya menemukan kakek ini kepada sarang Ular Tanduk Hijau yang baru.

   Yakni di daerah Bukit Ular.

   Tapi, karena ular itu berada di dalam sebuah gua yang sempit membuat kakek ini kebingungan.

   Cheng-kak-coa sedang bertapa, dan Siauw-bin Lo- koai yang coba-coba meniupkan asap ke sarang ular itu ternyata tidak berhasil membangunkan ular ini.

   Ular itu "tertidur"

   Seakan mati, dan sarang guanya yang kecil panjang tak memungkinkan bagi siapapun untuk mengganggu. Maka Bun Hwi yang mendengar sampai di sini tiba-tiba bertanya.

   "Ah. kalau begitu bagaimana tiba-tiba aku bisa berhadapan dengan ular ini, locianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai meringis.

   "Karena sepak terjangmu sendiri, bocah. Sepak terjangmu yang membunuhi ular-ular keturunan Cheng-kak-coa itu."

   "Oh, maksud locianpwe ular Khong-sim-coa?"

   "Ya. Desis kemarahannya membangunkan Cheng- kak-coa. Ular keturunan Tanduk Hijau itu mempunyai cara sendiri untuk "bicara"

   Dengan sang induk semang, dan perbuatanmu yang membasmi habis mereka membuat Cheng-kak-coa terbangun!"

   "Oh, bagaimana dia sampai terbangun, locinpwe?"

   "Karena adanya isyarat-isyarat tertentu yang dipakai ular-ular Khong-sim-coa itu. Ular-ular ini pun mempunyai bahasanya sendiri-sendiri. Dan jerit mereka dalam bahasa ular memberitahukan kepada induk semangnya bahwa kau datang membunuh mereka!"

   "Aah....?!"

   Bun Hwi melenggong, heran bahwa ular dapat "bicara"

   Kepada sesamanya. Tapi teringat bagaimana dia diserang ular-ular di tengah telaga itu mendadak membuat pemuda ini mengangkat kepalanya.

   "Locianpwe, ular-ular itu.... Khong-sim-coa itu.... bagaimana tiba-tiba menyerangku dengan demikian ganas? Dan kenapa mereka itu tampaknya seakan tidak gentar kematian?"

   "Ha-ha, itulah sebabnya mereka dinamakan Khong- sim-coa, Bun Hwi. Khong-sim-coa yang artinya Ular Hati Kosong. Mereka dinamakan begini karena sifat mereka yang aneh itu, seakan-akan tidak punya perasaan. Segala rasa takut atau gentar tidak dipunyai ular-ular ini, maka meskipun orang membunuh mereka sampai habis pun Khong-sim- coa tidak akan mundur. Dan di samping kenekatannya yang luar biasa itu sesungguhnya Khong-sim-coa pun merupakan ular berbisa!"

   "Ah. kalau begitu aku terkena racunnya, locianpwe?"

   Bun Hwi terkejut, teringat pertarungan mati hidupnya di air telaga.

   "Ya, dan justru karena racunnya itulah maka kau berhasil membunuh Cheng-kak-coa Bun Hwi!"

   "Maksud locianpwe....?"

   "Khong-sim-coa telah memberimu suatu ke- ajaiban. Gigitan ular-ular itu telah memberimu suatu kekuatan tulang yang luar biasa. Apakah kau tidak ingat betapa tubuhmu sama sekali tidak hancur dibelit Cheng-kak-coa?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Ya. aneh sekali, locianpwe. Padahal aku sudah merasa betapa tulang-belulangku seakan remuk. ..!"

   "Nah, itulah buktinya, Bun Hwi. Tapi ternyata kau tidak apa apa. Ini disebabkan karena racun ular Khong- sim-coa itulah. Gigitan ular-ular ini telah menciptakan suatu kemujijatan yang tidak kausadari. Padahal, siapapun yang dibelit Ular Tanduk Hijau tidak ada yang dapat keluar hidup- hidup. Mereka pasti tewas dengan tubuh remuk dan tulang patah-patah!"

   "Tapi.... tapi aku berhasil selamat, locianpwe....?"

   "Ya, karena racun dari Khong sim-coa itulah!"

   "Ah. bagaimana ini, locianpwe? Aku bingung jadinya. Bukankah kau katakan Ular Hati Kosong itu berbisa?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba tersenyum.

   Begini, Bun Hwi.

   Ada sesuatu yang masih belum kau ketahui di sini.

   Ular Khong-sim-coa itu memang beracun, tapi racunnya tidak bekerja seketika.

   Menurut apa yang kuketahui, ular itu memiliki racun yang baru bekerja setelah sehari semalam.

   Dan kau yang digigit ular jenis ini sesungguhnya baru menderita setelah lewat waktu itu.

   Dan, siapapun yang melewati hari kedua setelah gigitan itu tidak ada dewa pun yang dapat menolong.

   Orang akan tewas penuh penderitaan, karena kulit dagingnya akan membusuk dalam cairan berbau sampai tinggal tulang-tulangnya belaka!"

   "Aah....!"

   Bun Hwi terlonjak, kaget oleh ke- terangan yang diberikan hwesio gundul itu.

   "Jadi... jadi aku akan tewas dengan demikian! mengerikan, locianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai tertawa.

   "Kalau tidak adanya suatu kebetulan Bun Hwi. Karena kau secara kebetulan sekali ternyata sudah bebas dari kengerian ini. Dan yang membebaskanmu adalah Khong-sim-coa itu pula!"

   "Ah, bagaimana bisa begitu, locianpwe? Kau main- main....?"

   Bun Hwi terbelalak. Tapi Siauw-bin Lo-koai menggapaikan tangannya.

   "Duduklah, Bun Hwi. Dengarkanlah ceritaku ini...."

   Hwesio itu tertawa dengan muka berseri.

   "Kau belum mendengar ceritaku secara lengkap. Dan apa yang ku katakan tadi sesungguhnya tidak main-main. Khong sim-coa memang beracun, tapi dari Khong- sim-coa itu pulalah penawar racun didapatkan orang. Kau ingin tahu? Nah dengarlah. Racun berbahaya seperti yang telah kukatakan tadi sesungguhnya berasal dari ular yang jantan, sedangkan yang betina memiliki racun penolaknya. Dan kau yang telah di gigit ular-ular itu sesungguhnya telah bebas dari bahaya keracunan ini. Karena racun dari yang jantan telah dipunahkan oleh racun dari yang betina. Dan kau yang telah dikeroyok puluhan ular-ular Khong-sim-coa ini bahkan mendapatkan anugerah luar biasa, Bun Hwi, karena racun ular yang telah menjadi tawar didalam tubuhmu itu membuat tulaug-tulangmu sekeras baja. Kau tidak akan mengalami patah tulang seumur hidup, dan Siapapun yang mencoba menghancurkan tulang- tulangmu ini dia akan sia-sia selama hidupnya!"

   "Aah....!"

   Bun Hwi tertegun, tidak percaya kepada apa yang dikatakan Siauw-bin Lo-koai ini. Tapi si kakek gundul yang maklum bocah itu tidak mempercayai kata-katanya tiba-tiba tertawa lebar.

   "Kau tidak percaya, bocah? Kau ingin mem- buktikannya? Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba sudah mengambil sepotong kayu sebesar betis orang "Nah, kalau begitu mari kita sama-sama lihat....!"

   Dan Siauw- bin Lo-koai yang tiba-tiba menggerakkan tangannya itu tahu-tahu telah menghantam dada dan tengkuk Bun Hwi.

   "Prak-prakk. .. !"

   Dua kali suara pukulan itu cukup membuat Bun Hwi berteriak dengan suara tertahan, tapi ketika dia mencelat dari tempat duduknya tiba-tiba Bun Hwi terbelalak.

   Ternyata benar.

   Dia sama sekali tidak apa- apa setelah dihantam sedemikian kuatnya oleh hwesio gundul itu, tapi kayu yang dipakai Siauw-bin Lo-koai untuk "menguji"

   Dirinya sudah remuk tiga bagian tak mampu menahan kuatnya tulang! "Ah, kau.... kau benar, locianpwe....!"

   Bun Hwi berseru kaget, sejenak merasa takjub oleh kenyataan yang dialaminya itu. Namun Siauw-bin Lo-koai yang sudah melempar kayu remuknya itu tertawa mengejek dengan mulut menyeringai.

   "Kau memang tidak percaya kepada apa yang kukatakan, Bun Hwi. Tapi memuji orang lain setelah semuanya itu dibukukan. Apakah kau kira pinceng gembira oleh pujianmu ini"

   Siauw-bin Lo-koai merengutkan muka, pura-pura marah oleh ketidak- percayaan pemuda itu. Namun setelah Bun Hwi tersenyum lebar dia pun tiba-tiba tertawa bergelak.

   "Ha, tapi kau memang anak sialan, Bun Hwi. Berbulan- bulan pinceng mengincar Cheng-kak-coa tapi kau malah yang mendapatkannya. Eh, apakah sekarang kau masih ada yang tidak percaya, bocah, ada yang kurang jelas dan ingin kau pertanyakan ?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Kurasa tidak, locianpwe..."

   Tapi baru dia berhenti bicara sekonyong- konyong dia melanjutkan.

   "Eh, ada... ada, locianpwe. Yakni tentang kematian Ular Tanduk Hijau ini! Bukankah kau katakan bahwa dia kebal segala macam senjata? Bagaimana sekarang bisa terbunuh olehku?"

   Siauw-bin Lo-koai ketawa terkekeh.

   "karena keberuntunganmu sendiri, Bun Hwi. Karena jasa Khong-sim coa pula!"

   "Ah. bagaimana yang kaumaksudkan, locianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba terbatuk kecil.

   "Bun Hwi, agaknya perlu kau ketahui di sini bahwa sekebal- kebalnya Ular Tanduk Hijau sesungguhnya dia memiliki kelemahan pula. Ular ini memang hebat, tapi kehebatannya itu karena bertitik tolak dari kesaktian tanduknya. Kau sudah lihat tanduk ular ini?"

   Siauw bin Lo-koai menuding ke bawah.

   "Nah, dari tanduk itulah sesungguhnya ular ini memiliki kekebalan yang luar biasa. Dan aku yang sudah menyelidikinya berbulan- bulan baru tahu bahwa kelemahan Cheng-kak-coa terletak pada tanduknya."

   "Hm, kalau begitu aku berhasil karena aku telah menggigit dan memecahkan tanduk ini, locianpwe?"

   Bun Hwi teringat kepada pengalamannya itu, pengalaman menggigit tanduk ular hijau dan menghisap darahnya. Tapi Siauw-bin Lo-koai menggeleng dan mengangguk.

   "Boleh dibilang begitu tapi boleh dibilang bukan begitu, Bun Hwi. Karena betapapun kau mencoba menggigit tanduk di kepalanya ini tanpa bantuan Khong-sim-coa pasti kau pun tidak akan mampu melakukannya."

   "Eh, mengapa begitu, locianpwe? Bukankah kenyataannya aku telah,..."

   "Hm, dengar dulu, Bun Hwi. Jangan tergesa-gesa memutus pembicaraan orang. Aku tidak "main main kalau menyatakan bahwa keberhasilanmu ini sesungguhnya atas jasa Khong sim-coa. Kau masih ingat keterangan pinceng bahwa ular itu telah memberimu anugerah luar biasa, bukan? Tulang- tulangmu telah menjadi sekuat baja sekarang, dan siapa pun yang mencoba mematahkan tulangmu tidak ada yang bakal mampu. Ini terbukti dari kegagalan Cheng-kak-coa pula. Dia tidak mampu menghancurkan tulangmu dalam belitannya. Tapi di samping itu, Bun Hwi di samping kekuatan tulang mu yang luar biasa kau pun kini memiliki kekuatan gigi yang tak ada taranya. Dan seumur hidup, seperti tulangmu itu pula, kau tidak akan dapat tanggal sampai tua. Dengan lain kata, kau tidak dapat ompong meski pun umurmu kelak mencapai seratus tahun!"

   "Ah!"

   Bun Hwi membelalakkan mata dengan kaget.

   "Gigiku juga memiliki keajaiban luar biasa itu, locianpwe? Jadi dengan gigiku itu Cheng-kak-coa..."

   "Ya Tanduk di kepalanya lumpuh menghadapi kekuatan gigimu, Bun Hwi. Dan karena itulah kau berhasil membunuhnya!"

   "Ooh....?!"

   Bun Hwi mendelong bengong dan pernyataan Siauw-bin Lo-koai yang mulai dipercayanya itu tiba-tiba membuat mukanya berseri gembira.

   Sungguh tidak dia sangka bahwa pertarungannya mati hidup dengan ular-ular Khong- sim-coa itu telah membuatnya sedemikian mentakjubkan.

   Dan mem- bayangkan dia tidak bakalan ompong seumur hidup tiba-tiba Bun Hwi tertawa.

   "Wah, kalau begitu aku jadi tetap muda, locianpwe. Seumur hidup tidak bakalan ompong seperti kakek- kakek....!"

   "Ya, tapi di samping itu pun kau juga memiliki kekebalan dari ular yang telah kau bunuh ini, Bun Hwi. Karena darah Cheng-kak-coa yang telah mengalir di dalam tubuhmu akan membuatmu tahan bacokan senjata tajam jenis apapun. Dan di atas semuanya itu. kalau kau mampu mengendalikan kekuatan ajaib ini kau akan menjadi orang paling hebat di dunia, Bun Hwi. Karena siapapun juga tidak bakalan mampu mengalahkanmu!"

   "Ah, tapi aku tidak ingin menjadi orang paling hebat, locianpwe. Aku tidak bernafsu untuk menjadi orang seperti yang kau katakan itu. Apakah maksud mu aku harus belajar silat?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba berseri mukanya.

   "Kau cerdas, Bun Hwi. Memang itulah yang pinceng maksudkan!"

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Dengan alis sedikit dikerutkan anak laki-laki ini menggelengkan kepalanya, dan harapan si kakek gundul yang penuh antusias di tolak.

   "Maaf, aku tidak suka dengan ilmu silat, locianpwe. Aku melihat kekerasan yang tidak menyenangkan di dalam pelajaran ilmu silat itu. Bahkan aku melihat kekejian dalam jurus-jurusnya, keganasan dan watak sombong bagi penganut-penganut nya. Apakah locianpwe hendak menjerumuskan aku dalam pelajaran tukang- tukang pukul ini?"

   Siauw-bin Lo-koai membelalakkan mata.

   "Uwah, kau tahu apa tentang ilmu silat, Bun Hwi. Kau tahu apa tentang kepribadian penganut-penganutnya? Apakah kau kira semua orang yang pandai ilmu silat lalu berwatak sombong dan ganas sepak terjangnya?"

   "Hm, memang tidak semuanya, locianpwe. Tapi bagaimana pun juga kau tak dapat memungkiri bahwa di dalam ilmu silat terdapat kekerasan dalam jurus- jurusnya. Bahkan kekerasan ini kadang- kadang keji, mencari sasaran dalam bagian-bagian berbahaya dari tubuh manusia. Dan sekali terkena, bukankah nyawa taruhannya? Hm, tidak locianpwe... aku tetap tidak suka dengan pelajaran ilmu silat itu. Aku tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang pandai silat. Aku ingin meniadi orang biasa saja, bergaul dengan orang- orang sederhana!"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba tertawa bergelak.

   "Ha - ha, baru kali ini aku mendengar orang bicara sepertimu, Bun Hwi. Baru kali ini pinceng mendengar betapa seorang bocah memandang kotor terhadap seseorang yang pandai sillat. Oh, bocah ingusan, apa kah kaukira di dalam dunia silat melulu keganasan saja yang ada? Apakah kau kira di dalam dunianya orang-orang yang tidak pandai silat terdapat ketenteraman dan kedamaian? Uwah, kau anak kecil bermulut besar, Bun Hwi. Kau bocah tolol yang mencoba mengupas kehidupan dalam sisi sempit yang amat kerdil! Baiklah... baiklah, bocah. Kalau begitu apa yang kau maui sekarang?"

   Kakek ini bangkit berdiri, melempar sisa daging panggang di tangannya dan tiba-tiba berkacak pinggang di depan Bun Hwi. Dia tampaknya marah dan mendongkol mendengar uraian Bun Hwi yang amat "menghina"

   Orang-orang persilatan, bocah yang tampaknya mengagung-agungkan dan lebih cenderung untuk hidup "sederhana"

   Di golongan orang-orang yang "sederhana"

   Pula. Sementara Bun Hwi, yang melihat kakek gundul itu kelihatannya tidak senang hati dengan apa yang telah diucapkannya tiba- tiba juga memandang hwesio itu dengan pandangan tenang.

   "Locianpwe, maaf kalau dalam hal ini kita ber- beda pendapat. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tapi apa yang kukatakan tadi adalah sekedar gambaranku dari apa yang kualami. Mulai dari dusun Ki-leng aku melihat kenyataan ini, kenyataan bahwa orang orang yang pandai silat itu biasanya suka mengagul-agulkan diri. Lihat saja si Mo kwi-pa itu, tangan kanan hartawan Bhong yang telah tewas terbunuh. Apa yang telah dilakukannya sehari hari? Tidak lain tidak bukan hanya menyiksa dan bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain, petani-petani lemah tertindas yang tidak bisa silat itu. Bahkan dia lah yang menjadi sebab terbunuhnya pamanku! Lalu si nenek lihai Thian-san Giok-li itu, si muka hitam Pek bong Lo-mo itu, dan anak-anak buah mereka. Ah, semuanya ini kukira tidak perlu kuceritakan panjang lebar, locianpwe. Karena kukira locianpwe jauh lebih tahu dari aku, bahwa orang- orang yang memiliki kepandaian silat itu biasanya bersikap adigang- adigung-adiguna terhadap orang lain. Bukankah semuanya itu sudah locianpwe buktikan sendiri?"

   Siauw-bin Lo-koai melotot.

   "Tapi tidak semua yang pandai silat bersikap seperti itu Bun Hwi. Tidak semua orang yang kaukatakan ini berbuat seperti yang kau gambarkan!"

   "Ah, tapi pada umumnya itulah kenyataannya, locianpwe. Orang yang pandai silat selalu bermusuh- musuhan dan saling cakar dalam kesombongannya. Mereka tidak dapat menciptakan kedamaian dalam kehidupan ini, dan sekali mereka bertindak maka keributanlah yang dihasilkannya!"

   "Wah, tapi keributan dan permusuhan itu bukan melulu milik orang-orang yang pandai ilmu silat saja, Bun Hwi. Orang atau seseorang yang tidak pandai ilmu silat pun bisa saja menciptakan keributan itu!"

   "Oh,"

   Tapi petani-petani di dusun Ki-leng tidak ada yang berbuat seperti yang kau katakan ini, locianpwe.

   Mereka orang-orang sederhana itu hidup rukun dan penuh persaudaraan dalam kelompoknya.

   Mereka tidak pernah membuat ribut-ribut seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang pandai ilmu silat!" Bersambung

   Jilid IV SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 04 SlAUW-BIN LO-KOAI mendadak merah mukanya.

   Dia mulai gusar bahwa Bun Hwi berbicara tentang kejelekan orang-orang dunia kang-ouw, seolah-olah orang bukan dari golongan dunia kang-ouw adalah orang-orang yang jauh lebih baik dan lebih bersih dari golongan persilatan ini.

   Dan bahwa pemuda itu tetap bersitegang leher mempertahankan pendapatnya mulai membuat kakek ini mendelik.

   "Bocah she Bun, apakah kau kira teman-temanmu si petani bodoh itu benar dapat hidup rukun dan penuh persaudaraan selamanya? Apakah kau kira mereka ini tidak dapat membuat permusuhan di kalangannya sendiri? Kau terlalu memandang persoalan ini dengan kacamata yang sempit, bocah. Kau mempertahankan pendapatmu atas dasar pengalamanmu yang masih dangkal. Kau belum tahu dengan baik apa itu permusuhan dan atas dasar apa pula permusuhan itu terjadi. Tidak, pinceng tidak mau berdebat lagi denganmu untuk masalah ini. Dan kelak kalau kau sudah cukup dewasa biarlah kita lihat apa pendapatmu nanti. Kau terlalu sombong untuk menjatuhkan vonis terhadap golongan kang- ouw, dan usiamu yang masih bau pupuk bawang ini tidak selayaknya pinceng tanggapi".

   "Hm, kalau begitu apa mau mu kini, locianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba tersenyum aneh.

   "Setan, bukan kau yang menanya pinceng, bocah. Tapi justru pinceng yang harus menanya kau. Tadi kau belum menjawab pertanyaan pinceng, yakni apa yang kau maui sekarang?"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bun Hwi mengerutkan alisnya.

   "Maksud locianpwe?"

   "Maksudku, apakah yang akan kau lakukan setelah kau berhasil lolos dari kematian ini? Apakah kau akau mencari Thin-san Giok-Ii dan muridnya menuju Nan- chang?"

   Bun Hwi tiba-tiba terkejut.

   Disebutnya nama nenek sakti itu beserta muridnya mendadak saja membuat dia teringat kepada Kiok Lan, dan begitu ingatan kepada gadis ini muncul sekonyong-konyong Bun Hwi melompat turun dari batu hitam.

   Dengan tergesa-gesa dia berlari ke tengah-tengah jurang, di pinggir telaga dimana dia pernah jatuh.

   Dan matanya yang berputar-putar mencari ke segenap penjuru membuat mukanya tiba-tiba pucat.

   "Bocah apa yang kau cari?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba- tiba sudah menyambar turun.

   "Murid Thian-san Giok-li itu, locianpwe gadis manis yang bersama-sama terlempar denganku dari atas jurang sana!"

   "Hm, anak bengal itu? Dara yang rambutnya dikuncir dua?"

   "Ya-ya, gadis remaja itu, locianpwe. Dia bernama Kiok Lan....!"

   "Wah, setan betina itu sudah kembali pada gurunya, Bun Hwi. Jangan kau cari-cari lagi. Dia telah pinceng tarik dari tengah jurang dengan seutas tali."

   Bun Hwi tertegun.

   "Dari tengah jurang....?"

   "Ya, dia tersangkut di tengah jurang. Agaknya dia berhasil menyambar akar pepohonan di tengah sana. Tapi kebingungannya tidak dapat naik membuat pinceng lalu menolongnya."

   "Ah...!"

   Bun Hwi tiba-tiba menjadi gembira. Kalau begitu terima kasih locianpwe....!"

   Dan Bun Hwi yang sudah memberi hormat kepada Hwesio gundul ini berseri-seri mukanya, dalam kegembiraan yang luar biasa. Tapi Siauw-bin Lo-koai malah mendupak pantatnya.

   "Bocah, jangan permainkan pinceng dengan kegembiraanmu ini. Mengapa kau malah berterima kasih untuknya? Bukankah pinceng lihat kalian berdua selalu cekcok?"

   Bun Hwi meringis dengan muka merah.

   Pantat yang didupak kakek ini memang tidak membuatnya sakit, tapi pertanyaan si hwesio gundul yang bersinar-sinar matanya itu justru membuat dia bingung.

   Entah bagaimana, mendengar gadis itu selamat tiba-tiba saja dia menjadi demikian girang dan gembira.

   Ada suatu kebahagiaan yang aneh menyelinap di hatinya, kebahagiaan bercampur kegembiraan yang nikmat.

   Dan pertanyaan si kakek gundul yang justru menanyakan keanehan yang dialaminya itu membuat Bun Hwi justru menjadi gugup.

   Dia tak mampu menjawab, dan Siauw bin Lo-koai yang melihat pemuda itu meringis-ringis tiba-tiba membanting kakinya.

   "Bocah, kenapa kau nyengir-nyengir kayak kuda mau kawin? Apakah tidak dengar pinceng bertanya kepadamu?"

   Bun Hwi menyeringai serba salah.

   "Locianpwe, ini... ini... wah, bagaimana aku harus menjawab? Tidak kah wajar sebagai sahabat aku mengucapkan terima kasih untuknya bahwa kau telah menyelamatkan gadis itu? Apakah locianpwe menganggap aku berpura-pura?"

   "Wah, berpura-pura atau tidak mana aku tahu bocah? Tapi kurasa aneh juga kalau kau menjadi gembira mendengar setan cilik itu selamat dari kematiannya. Karena bukankah kau sering cekcok dengannya? Kalian tampak tidak akur, tapi masing- masing pihak ternyata diam-diam amat memperhati kan pasangannya."

   "Maksud locianpwe?"

   "Aku mendengar gadis itu menangis di tengah jurang. Dia mengumpat caci Pek-bong Lo-mo dan anak buahnya, mengira kau mati di dasar jurang. Dan kudengar pula dia bahkan bersumpah untuk membalaskan kematianmu ini terhadap Pek-bong Lo- mo! Ha-ha, bukankah ini lucu sekali?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Dia menangisi kematianku. locianpwe? Bermaksud membalas kematianku terhadap iblis muka hitam itu?"

   "Ya. dan... he-he, kau girang, bocah, kau gembira lagi mendengar keteranganku ini?"

   Bun Hwi seketika merah telinganya. Dengan tersipu- sipu cepat dia menurunkan tatapan mata pada pandangan Siauw bin Lo-koai ini, sementara si kakek gundul yang melihat pemuda itu menunduk kemalu- maluan tiba-tiba tertawa tergelak.

   "Ha-ha, agaknya kau mulai jatuh cinta Bun Hwi. Kau mulai tertarik kepada siluman cilik itu dalam perkenalan kalian yang aneh. Eh, apakah kau tidak ada niatan untuk mencari guru dan murid itu? Gadis bengal itu mencucurkan air matanya sepanjang jalan teringat kematianmu. Dan yang kau ternyata segar bugar ini tidak boleh menyiksanya lebih Ianjut. Apakah kau mau mencari gadis itu?"

   Bun Hwi mengangkat kepalanya.

   Dia masih bingung dan berdebar tidak karuan mendengar kata-kata Siauw-bin Lo-koai ini.

   Dan bahwa kakek itu tampaknya demikian tajam pandangan menjenguk isi hatinya tiba-tiba membuat Bun Hwi malu sekali.

   Dia jengah dan kikuk oleh pernyataan Siauw-bin Lo- koai ini.

   dan pertanyaan orang yang memintanya untuk mencari Kiok Lan tiba-tiba dibalas dengan gelengan kepala.

   "Tidak, eh... kukira tidak perlu, locianpwe. Aku tidak bermaksud mencarinya ke Nan-chang. Aku tidak ingin bertemu dengan Thian san Giok-li!"

   "Ha-ha, tapi dengan gadis itu tentunya mau kan? Thian-san Giok-li boleh saja kau kesampingkan. Dan kalau perlu pinceng juga siap membantumu!"

   Bun Hwi terkejut. Dia melangkah mundur dengan muka kaget.

   "Locianpwe, aku tidak bermaksud mencari gadis itu. Siapa yang hendak menemuinya?"

   "Ha-ha, tapi kau harus memberitahunya bahwa kau selamat. Bun Hwi. Tidak membiarkan gadis itu berlarut-larut dalam kesedihannya. Atau kau ingin kau pergi saja bersama pinceng?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba- tiba menghentikan tawanya, memandang penuh kesungguhan kepada pemuda di depannya itu sementara Bun Hwi jadi membelalakkan matanya.

   "Pergi bersamamu, locianpwe?"

   "Ya, sekalian... hem, mematangkan apa yang telah kau dapat dari Cheng kak-coa itu Bun Hwi. Mengajarimu dasar-dasar ilmu silat agar tenaga sinkangmu mampu kau kendalikan dengan baik."

   "Ah, kau bermaksud..."

   "Ya, aku ingin mengambilmu sebagai murid Bun Hwi, dan pinceng amat mengharapkan sekali kesediaanmu!"

   Siauw-bin Lo-koai memotong dengan suara tegas dan Bun Hwi yang mendengar kata-kata itu tiba-tiba melangkah mundur lagi setindak.

   "Locianpwe, kau... kau tahu aku tidak suka dengan ilmu silat kan? Kenapa kau hendak memintaku seperti itu?"

   "Hm, kau belum tahu manfaatnya orang memiliki ilmu kepandaian Bun Hwi. Dan apa yang kau rasakan saat ini menyimpang sekali dari kebenaran. Kau jangan bersikeras mempertahankan pendapatmu yang konyol itu. dan apa pun yang menjadi pikiranmu pinceng minta kau memenuhi permintaan ini."

   "Kalau aku keberatan, locianpwe?"

   "Tidak ada jawaban itu. Kau harus mematuhi kehendak pinceng. lni untuk kebaikanmu sendiri. Bun Hwi, semata-mata demi kebaikanmu semua hidup dan tidak perlu ditolak! Pinceng melihat kau akhirnya memasuki dunia yang tidak kau senangi saat ini. dan apapun yang terjadi pinceng merasa bertanggung jawab atas keberuntunganmu yang telah kau peroleh hari ini lewat racun ular-ular ini. Kau dapat menjadi incaran orang kang-ouw, maka dari pada jatuh ke tangan orang jahat pinceng bersiap mendidikmu untuk menjadi orang berguna!"

   "Ah. kau... hendak memaksaku, locianpwe?"

   "Tidak dalam arti jelek. Pinceng hanya merasa sayang jika bibit sebaik dirimu ini terbuang cuma- cuma. Dan lagi, sekali orang lain tahu bahwa kau telah mendapatkan kemujijatan dan kekebalan Ular Tanduk Hijau kau pasti akan di kejar-kejar mereka, Bun Hwi. Maka pinceng merasa kau lebih baik ikut pinceng sekarang. Kau akan aman di samping pinceng!"

   Bun Hwi mulai bersinar matanya. Dia melihat kakek itu mau main "tekan"

   Dan paksa untuk mengambilnya sebagai murid.

   Padahal dia sudah terang-terangan tidak suka belajar ilmu silat.

   Kenapa kakek itu hendak memaksa? Dan apakah kata-katanya yang terakhir tadi benar? Mungkinkah dia akan dikejar-kejar orang kang-ouw kalau ada yang mengetahui bahwa dia mendapatkan kekebalan dari Ular Tanduk Hijau? Hm, itu agaknya mengada- ada saja.

   Akal dari kakek ini agar dia suka ikut bersamanya! Ah, tidak.

   Dia tetap tidak suka belajar ilmu silat.

   Orang yang pandai silat hampir semuanya bersikap kasar.

   Mereka ganas dalam sepak terjangnya.

   Dan tidak segan-segan pula membunuh! Maka Bun Hwi lalu menjawab dingin.

   "Locianpwe, aku sudah bilang bahwa aku tidak suka dengan kepandaian tukang pukul itu. Dan apapun yang kau minta dariku untuk persoalan ini tetap saja aku tidak dapat menerimanya. Aku terlanjur membenci orang- orang yang pandai silat ini, dan aku berjanii untuk tidak menjadi orang kasar seperti mereka!"

   "Ah, itu kepicikan pendapatmu, Bun Hwi. ltu kedangkalan otak seorang bocah yang belum tahu tentang buruk baiknya sesuatu ilmu!"

   Siauw-bin Lo- koai melotot.

   "Ya, barangkali saja, locianpwe. Tapi tetap aku tidak suka belajar ilmu silat."

   "Kalau begitu pinceng akan membuatmu tunduk bocah. Pinceng akan membuatmu melihat kenyataan ini dengan mata melek!"

   "Hm, kau akan memaksaku, locianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai tertegun.

   Dia melihat sinar kekerasan yang Iuar biasa di mata anak laki-laki ini, dan bahwa Bun Hwi tampaknya benar-benar tidak dapat dibujuk lagi tiba-tiba membuat kakek itu meringis.

   Dia kecewa, namun Bun Hwi yang tidak mau diambil murid memang sesungguhnya tidak dapat dia apa-apakan.

   Karena itu Siaw-bin Lo-koai lalu menghentakkan kakinya, dan sambil tertawa sumbang kakek itu melampiaskan kekecewaannya dengan ucapan sengit.

   "Baiklah... baiklah, Bun Hwi. Pinceng kali ini benar- benar kalah menghadapi kekerasan hatimu. Tapi pinceng tantang kau sekarang, bahwa kelak jika omonganmu yang benar, pinceng akan bersembah di kakimu, mengangkatmu sebagai guru dan meninggalkan kepandaian silat yang pinceng peroleh selama puluhan tahun untuk mengikuti jejakmu, menjadi orang biasa dan hidup sederhana di kalangan orang yang sederhana pula. Tapi, kalau kau yang kalah bagaimana, bodoh? Berani kau bertaruh mengimbangi pinceng?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Apa maksudmu lo-cianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai mengepalkan tinjunya.

   "Omonganmu yang sinting itu bocah. Pendapatmu yang kau pegang teguh tentang buruknya orang kang- ouw dan baiknya orang yang hidup biasa seperti petani-petani di dusun Ki-leng itu. Bukankah kau menyatakan bahwa permusuhan dan kesombongan milik orang-orang yang pandai silat? Nah, sekarang pinceng tantang kau. Kalau omong- anmu benar maka pinceng akan melepaskan semua kepandaian yang pinceng miliki ini untuk belajar tentang hidup dan kehidupan kepadamu! Kau menyatakan orang-orang yang belajar silat hanya akan mewarisi keganasan dan kesombongan dalam hidupnya. Sedangkan orang yang tidak bisa silat lalu hidup tenteram penuh kedamaian, seperti teman- temanmu si petani-petani bodoh di dusun Ki-leng itu. Bukankah demikian pendapatmu?"

   Bun Hwi membelalakkan mata.

   "Tapi... Tapi...."

   "Tidak ada tetapi di sini Bun Hwi. Kau telah menyatakan bahwa orang-orang yang belajar silat hanya menciptakan keributan dan kerusuhan belaka di dunia ini. Dan karena itulah kau tidak suka belajar silat. Menganggap orang yang pandai silat ini hanya berkelahi dan saling cakar-cakaran saja, bersikap sewenang dan suka memaksa orang lain. Bukankah demikian katamu tadi?"

   "Ya, tapi... tapi... tidak semuanya ku katakan begitu Iocianpwe. Hanya sebagian saja".

   "Tapi itu merupakan mayoritas bukan? Merupakan yang paling banyak, bukan?"

   "Ini, eh..."

   "Sudahlah, jangan berputar-putar omongan lagi Bun Hwi. Pinceng lama-lama bisa naik pitam mendengar alasanmu ini. Kau sudah merendahkan pinceng menganggap orang-orang yang tidak bisa silat hidupnya jauh lebih rukun dan penuh kedamaian di kalangannya. Karena itu mari kita buktikan, apakah semuanya ini memang benar seperti katamu itu!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang tampaknya tidak mampu menahan kegusarannya tiba-tiba melepas sepatu rumputnya.

   Sekali buang dia telah melemparkan sepatu itu ke tengah telaga, dan Bun Hwi yang terbelalak tiba-tiba tertegun melihat kakek ini melepas pula jubahnya! "Eh, apa pula yang hendak kau lakukan locianpwe?"

   "Mencoba hidup sederhana, bocah. Mencoba mendukung pendapat konyolmu itu sampai satu di antara kita kalah. Pinceng tidak akan memakai lagi jubah ini kalau ternyata pendapatmu benar!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang kembali membuang jubahnya itu ke tengah telaga membuat kakek ini tiba-tiba sudah berdiri dengan celana kolor dan kaos singlet belaka! "Aah....!"

   Bun Hwi terbengong tapi Siauw-bin Lo-koai yang sudah memutar tubuh itu membentaknya sengit.

   "Bocah, sekarang apa taruhanmu kalau kau yang kalah?"

   Bun Hwi tiba-tiba menegakkan kepala.

   Dia lihat bahwa kakek ini benar-benar amat serius sekali menerima pendapatnya dan Siauw-bin Lo-koai yang sudah melepas jubah tinggal bercelana kolor dan berkaos singlet itu membuat dia tidak dapat mundur.

   Betapa pun, dia memang berpendapat bahwa orang-orang dunia kang-ouw bisanya cuma berkelahi dan membuat keributan belaka, tidak seperti orang-orang biasa yang hidupnya tenang- tenang saja penuh kedamaian.

   Seperti teman- temannya di dusun Ki-leng itu umpamanya petani- petani sederhana yang tidak banyak tingkah.

   Maka pertanyaan Siauw-bin Lo-koai yang diucapkan dengan suara sengit akhirnya dibalas pula oleh Bun Hwi dengan sikap tegas.

   "Locianpwe, karena kau sudah mengucapkan sumpah mu biar lah aku menerima tantangan mu ini secara laki-laki. Aku tidak menolak taruhanmu, dan kalau benar aku yang menang biarlah kau tidak usah menyembah kakiku. Kita tidak perlu sejauh itu. Tapi kalau aku yang kalah maka aku berjanji untuk menerima keinginanmu untuk menjadi muridmu! Bagaimana. taruhanku, cukup locianpwe?"

   Siauw-bin Lo-koai tertawa gembira.

   "Ha-ha itu memang menjadi tujuanku, Bun Hwi. Pinceng memang hanya menghendaki satu hal itu saja. Apakah kau kelak tidak menarik janjimu itu kalau kalah?"

   Bun Hwi membelalakkan matanya.

   "Aku dididik dari kecil untuk bersikap jantan, locianpwe. Jangan khawatir bahwa aku akan menjiat ludah sendiri!"

   Jawaban Bun Hwi yang diucapkan dengan sikap marah itu disambut Siauw-bin Lo-koai dengan ketawa terkekeh-kekeh dan ketika Bun Hwi melotot gusar kakek ini tiba-tiba mencelat keatas batu hitam.

   Dia sudah tidak tertawa lagi tapi mukanya yang berseri- seri itu menunjukkan kegembiraannya yang luar biasa.

   "Bagus, kita sama-sama sudah melepaskan taruhan, Bun Hwi. Dan apapun yang terjadi kita sebagai laki- laki harus bersikap jantan. Eh bocah, kalau begitu berapa lama waktu yang harus kita berikan dalam masa taruhan ini?"

   Bun Hwi mengerutkan alisnya.

   "Terserah padamu saja locianpwe. Aku tinggal mengikuti"

   "Bagus kalau begitu, kita buat saja selama enam bulan"

   Siauw-bin Lo-koai berseru.

   "Bagaimana pendapatmu, Bun Hwi?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Begitu pun boleh, locianpwe. Dan di mana kelak kita akan bertemu lagi?"

   Siauw-bin Lo-koai memandangnya dengan mata bersinar-sinar.

   "Itu soal gampang Bun Hwi. Pinceng akan selalu mengawasimu secara diam-diam!"

   "Hm, kau akan menguntitku, locianpwe?"

   Kakek itu tertawa.

   "Jangan terlalu bercuriga Bun Hwi. Pinceng bilang hanya ingin mengawasimu secara diam-diam saja. Bukankah pinceng harus tahu di mana dan ke mana kau pergi?"

   Bun Hwi akhirnya mengangguk.

   "Baiklah. Aku tidak keberatan locianpwe. Tapi kalau kau kalah kuharap saja kau tidak mengawasiku lagi seumur hidup!"

   "Ha-ha. memangnya kau merasa di atas angin bocah? Kau kira kau akan menang? Sudahlah, sekarang mulai perjalananmu itu. Pergi dan buktikan pendapatmu yang picik ini sementara pinceng akan mendahuluimu. Nah, selamat tinggal....!"

   Dan kakek gundul yang berdiri di atas batu hitam itu mendadak menotolkan kakinya turun ke bawah. Lalu sekali dia mengebutkan lengan tiba-tiba saja kakek itu sudah "terbang"

   Ke timur jurang.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bun Hwi hanya melihat bayangan berkelebat seperti setan, dan ketika dia mengangkat muka untuk kedua kalinya tahu-tahu tubuh kakek itu pun sudah lenyap seperti asap! Bun Hwi tertegun, termangu-mangu sejenak namun akhirnya menarik napas panjang dan mulai melangkahkan kaki.

   Dia telah mengadakan taruhan dengan kakek yang amat aneh itu, dan bahwa Siauw- bin Lo-koai demikian "sakit hati"

   Mendengar pendapatnya diam-diam membuat Bun Hwi tersenyum kecut. Tidak benarkah pendapatnya itu? Tidak benarkah pengalaman yang telah di buktikannya itu? Hm... ini agaknya memerlukan "pengupasan"

   Lebih lanjut.

   Dia harus berhati-hati sekarang.

   Siauw-bin Lo-koai sebagai seorang kakek yang telah banyak menelan asam garam kehidupan tentunya tidak mungkin demikian berang menerima jalan pikirannya kalau kakek itu sendiri tidak melihat suatu kemungkinan yang disini.

   Dan dia yang telah demikian berani mempertahankan pendapat tiba-tiba sekarang jantungnya berdebar setelah mendapat tantangan itu.

   Salahkah dia? Kenapa dia harus bertaruh dalam masalah kecil ini? Bukankah itu persoalan yang remeh saja? Bun Hwi tersenyum kecut, dia tidak mampu menjawab pertanyaan itu, dan setelah mengangkat pundaknya dua kali Bun Hwi pun lalu ikut-ikut mengikuti lenyapnya Siauw-bin Lo-koai di timur jurang.

   Dan setelah tiba di sini barulah Bun Hwi tahu bahwa di situ kiranya terdapat jalan setapak.

   Maka mengikuti jalan ini lah Bun Hwi akhirnya keluar dari bawah jurang dengan kaki terayun gontai.

    Siang itu Bun Hwi berhenti di perkampungan nelayan.

   Dia melihat kesibukan yang luar biasa dari para penangkap ikan ini.

   Dan seorang laki-laki muda, nelayan berumur tiga puluhan tahun menarik perhatiannya.

   Ada seekor ikan besar tertangkap di jaringnya, menggelepar kuat sebesar tubuh bayi.

   Dan para nelayan lain yang sudah merubungnya tampak bersorak-sorak.

   "Wah, jangan dibunuh ikan itu, Hok Sui. Biarkan saja dia di kolam kepala kampung. Kwa chungcu (kepala kampung Kwa) pasti akan gembira menerima ikanmu ini. Dia dapat dijadikan hiburan kita semua"

   Seorang laki-Iaki berteriak.

   "Ya, itu betul Hok Sui. Kita simpan saja ikan ini di empang Kwa chungcu. Dia dapat dijadikan hiburan kita"

   Seorang lain menimpali.

   Dan sementara para nelayan itu berteriak-teriak menyuruh si nelayan muda bernama Hok Sui untuk tidak membunuh ikannya tiba-tiba seorang tinggi kurus menyibak kerumunan kaum nelayan.

   Dia berdandan sebagai pedagang kaya, dan sebuah pundi- pundi yang tergantung di pinggang tampak berkerincing ketika dia melangkah.

   Dan ketika dia sudah berada di deretan paling depan tiba-tiba laki- laki ini berseru.

   "Wah, ikan dijaring kenapa repot-repot dipelihara? Berikan saja kepadaku, saudara Hok Sui. Aku akan memberimu imbalan yang layak untuk hari bahagiamu ini. Lima puluh tail perak kubayar apakah masih kurang?"

   Laki-laki itu menepuk tempat uangnya.

   Hok Sui mengangkat mukanya.

   Dan kaum nelayan yang tadi ribut-ribut mendadak diam tanpa suara ketika mendengar seruan ini.

   Mereka tampak tertegun, sementara Hok Sui sendiri yang terbujuk oleh gemerincingnya suara uang tiba-tiba bersinar matanya.

   "Oh, Cui-twako kiranya...?"

   Nelayan muda ini balas berseru.

   "Bagaimana dengan sikap yang harus kuambil, ya? Teman-teman minta agar ikan itu ditaruh di empang Kwa chungcu saja. Lantas bagaimana dengan tawaran Cui-twako ini?"

   "Hm, ikan di dapat bukan untuk dipelihara, saudara Hok. Kenapa bingung untuk persoalan ini? Berikan saja kepadaku dan lima puluh tail perak kubayar untukmu!"

   Saudagar Cui kembali berseru sementara pundi-pundi uang nya sudah diangkat untuk dibuka tutupnya. Tapi seorang nelayan tua melompat maju.

   "Hok Sui, jangan tergiur oleh gemerincingnya uang. Ikan ini jenis Naga Lilin. Apa kau tidak tahu akibatnya bagi kampung kita?"

   Dan baru ucapan nelayan tua ini diserukan tiba-tiba saja teman-teman Hok Sui yang lain sama berteriak susul-menyusul.

   "Ya, kata-kata Liem-lopek benar, Hok Sui. Jangan dijual ikan itu. Kita bisa kualat kena getahnya!"

   "Benar, jangan dijual ikan itu, Hok-twako. Ikan keramat ini dapat membalas dendam terhadap kita!"

   "Betul, kampung kita bisa mendapat kutukan, Hok- twako. Seluruh nelayan bisa mati kering tidak mendapat ikan...!"

   Dan sementara semua orang berteriak gaduh memperingatkan nelayan she Hok itu untuk tidak Menjual ikannya tiba-tiba si pedagang she Cui mengangkat tangannya.

   "Saudara-saudara, jangan ribut-ribut dengan segala macam takhayul itu. Siapa bilang kampung kalian bisa kualat hanya gara-gara menjual ikan ini? Tidak, kalian keliru dalam cara berpikir saudara-saudara. Tidak mungkin seekor binatang mampu mendatangkan celakanya terhadap kita. manusia!"

   "Tapi ikan itu bukan jenis ikan biasa. Cui-wangwe. lkan itu adalah ikan Naga Lilin!"

   Seorang nelayan bemuka hitam memprotes.

   "Ya, tapi itu hanya sebuah sebutan saja bagi kita, Tan- twako. Dan biar dia disebut sebagai ikan Naga Sakti sekalipun belum tentu dia mampu memberikan kutuknya terhadap kita."

   "Ah. kau tahu apa tentang keramatnya ikan ini, Cui wangwe? Setahun yang lalu seorang saudara kita pernah pula mendapatkannya. Dan ketika kami menjualnya kepada orang lain tahu-tahu selama tiga bulan kami tidak dapat menjala ikan. Seluruh ikan di dalam sungai ini tiba-tiba lenyap, dan akibatnya kami semua nelayan hampir saja kelaparan tiada penghasilan!"

   "Hm. itu mungkin kebetulan saja, twako. Kebetulan karena musim panas tiba....!"

   "Tidak. Itu adalah kepercayaan kami, Cui-wangwe. Dan kalau Hok twako tetap mau menjualnya tentu kami yang bakal celaka!"

   "Benar, lebih baik kau tidak usah menjualnya, saudara Hok Sui. lngat saja nasib teman-temanmu di sini!"

   Seorang nelayan bermata lebar tiba-tiba berteriak menyambung. Dan baru ucapan dikeluarkan tiba-tiba kembali para nelayan itu berteriak ribut-ribut.

   "Benar. Jangan jual ikan itu, Hok Sui. Simpan saja dia di kolam Kwa- chungcu!"

   "Betul. Lebih baik jangan jual ikan itu, Hok-twako. lngat nasib kita setahun yang lau!"

   "Atau kalau tidak kita kembalikan saja ke asalnya saudara Hok Sui. Agar kita tidak kena kutuknya!"

   Dan sementara mereka ramai-ramai meributkan soal ikan Naga Lilin ini mata si nelayan she Hok berputaran bingung.

   Dia memang teringat peristiwa setahun yang lalu itu.

   Peristiwa yang amat aneh bagi kampung mereka.

   Karena ketika seorang teman mereka mendapatkan jenis ikan yang sama dengan apa yang telah di perolehnya sekarang itu dan menjualnya kepada orang.

   Dan tiba-tiba secara aneh keesokan harinya semua orang tidak mampu mendapatkan ikan di dalam jaringnya! Sungai yang menjadi tumpuan harapan hidup itu tiba-tiba saja "kering", dan para nelayan yang menjadi terheran- heran oleh peristiwa yang amat ganjil ini tiba-tiba saja menjadi kaget dan gelisah ketika pada hari-hari berikutnya mereka masih tetap saja mengalami hal yang sama itu.

   Sungai yang diandalkan mendadak sontak tidak bisa di "panen"

   Lagi dan para nelayan yang menjadi cemas dan ketakutan oleh kejadian ini tiba-tiba saja pucat mukanya.

   Mereka teringat kepada penjualan ikan Naga Lilin itu.

   Ikan yang oleh orang-orang tua dikeramat kan sebagai ikan bertuah.

   Dan mereka yang telah menjual ikan itu kepada orang lain kini harus menerima getahnya berupa sungai yang tidak dihuni ikan lagi.

   Karena Dewa Sungai, mahluk yang mbaurekso di dasar sana telah memerintahkan kepada seluruh anak buahnya untuk tidak berhubungan lagi dengan manusia.

   Mereka diharuskan "minggat", dan kaum neIayan yang telah menangkap Naga Lilin dikenakan hukuman! ltulah yang terjadi.

   Dan para nelayan yang terkena kutukan Dewa Sungai ini benar-benar dibuat jungkir balik.

   Mereka tidak dapat lagi menangkap ikan di sepanjang sungai itu.

   Karena betapapun kerasnya mereka bekerja tetap saja tidak ada seekor ikan pun yang tertangkap oleh jaring mereka.

   Sampai akhirnya ketika mereka hampir mati kelaparan dan keadaan itu berjalan hampir tiga bulan lamanya tiba-tiba muncullah dua orang tetua kampung yang menyelamatkan mereka.

   Dua orang tetua kampung ini bukan lain adalah Kwa-chungcu dan Liem-lopek.

   Dua orang tokoh tua yang cukup disegani di kampung mereka dan dianggap "berpengalaman".

   Maka melalui dua orang inilah akhirnya di adakan upacara tobat.

   Seluruh warga nelayan diharuskan memohon maaf kepada Dewa Sungai.

   Dan mereka yang diwajibkan kungkum (merendam diri) itu diharuskan melek semalam suntuk.

   Sementara di depan mereka di tepi sungai yang dijadikan pusat upacara tobat di dirikanlah panggung darurat untuk nonton wayang po-te-hi! Maka jadilah Penduduk kampung yang terkena "bala"

   Ini menyucikan diri sambil nonton wayang. Sementara tubuh yang hampir beku oleh dinginnya air semalam suntuk sama sekali "terpaksa"

   Tidak dirasakan! Tapi aneh. Cara menebus "dosa"

   Yang dilakukan orang-orang kampung ini rupanya berhasil juga.

   Karena setelah upacara tobat itu mereka laksanakan tiba-tiba saja air sungai penuh lagi dengan ikan.

   Ajaib! Para nelayan itu sampai terheran-heran.

   Tapi begitu mereka sadar kontan saja kaum nelayan itu bersorak gembira.

   Mereka merasa taubatnya dikabulkan dan nama Liem-lopek serta Kwa-chungcu tiba-tiba saja melejit sepuluh tingkat lebih tinggi! Namun hari ini, setahun setelah peristiwa itu tiba- tiba saja Naga Lilin muncul lagi membuat heboh! Mereka terkejut melihat Hok Sui menangkap ikan itu dalam jaringnya.

   Dan betapa terkejut Iagi ketika melihat pedagang Cui hendak membeli ikan itu.

   Apa mau celaka lagi nasib mereka itu? Tidak.

   Pedagang Cui berapa pun dia membayar tidak diperbolehkan membeli ikan Naga Lilin.

   Maka begitu pedagang Cui hendak mempengaruhi Hok Sui dengan uangnya tiba- tiba saja kaum nelayan itu berteriak-teriak.

   Sementara Hok Sui, yang juga mengetahui dengan baik kekeramatan ikan ini tampak terbelalak bengong dengan bola mata berputaran.

   Sebenarnya dia tergiur oleh penawaran pedagang ikan itu.

   Karena lima puluh tail perak bukanlah nilai yang sedikit jumlahnya.

   Tapi seruan teman-temannya yang berteriak mencegah membuat dia bimbang.

   Akan diapakankah ikan Naga Lilin ini? Diserahkan ke kolam Kwa-chungcu atau kah dijual saja kepada pedagang Cui? Karena terus terang saja lima puluh tail perak bukanlah nilai yang sedikit.

   Dengan uang sebanyak ini dia dapat membeli perahu baru.

   Bahkan kalau dia mau sedikit "Jual mahal"

   Kepada pedagang ikan itu. Pasti barang seratus atau seratus lima puluh tail perak pun Cui-wangwe akan membayarnya. Apalagi dia sendiri kebetulan juga butuh uang! "Hei, apa keputusanmu, saudara Hok?"

   Hok Sui terkejut. Dia tersentak dari lamunannya oleh seruan pedagang ikan itu. Sementara teman- temannya yang berteriak-teriak cepat menjawab pertanyaan tengkulak ini.

   "Hok-twako tidak akan menjual ikannya kepadamu. Cui-wangwe. Dia memberatkan nasib kami dari pada sejumlah uang itu!".

   "Benar, kau tidak perlu mendesaknya, Cui-wangwe. Karena betapa pun kami tidak memperbolehkan dia menjual Naga Lilin!"

   "Atau kalau dia nekat menjualnya, berarti Hok-twako harus meninggalkan kampung ini, Cui-wangwe. Dan kau pun sebaiknya jangan lagi membeli ikan dari perkampungan nelayan kami!"

   Hok Sui kaget.

   Teriakan terakhir yang amat tajam ini kontan membuat mukanya merah dan ketika dia memandang kiranya yang berseru itu adalah si nelayan muka hitam, Tan Siong! Hok Sui tiba-tiba melotot tapi belum dia membalas kekasaran temannya itu mendadak Liem-lopek sudah mendahului maju.

   Kakek nelayan yang melihat perobahan wajah Hok Sui itu sudah mengangkat lengannya ke atas, dan suaranya yang penuh wibawa mencegah semua orang ribut-ribut.

   "Saudara-saudara harap kalian tenang. lkan itu bagaimana pun juga adalah sah milik Hok Sui. Karena itu kita sebagai teman sejawat biarlah menasihatinya belaka. Saudara Hok Sui bukanlah kanak-kanak yang perlu dipaksa, dan semua keputusan biarlah dia yang ambil. Tapi aku nelayan tua ini yakin bahwa mengingat rasa persaudaraan kita yang akrab. Hok Sui pasti akan memenuhi permintaan ini. Dia sendiri telah membuktikan betapa celakanya nasib kita setahun yang lalu ketika menjual ikan Naga Lilin yang merupakan putera kesayangan Dewa Sungai Ini, maka menurut pengalaman itulah aku nelayan she Liem yakin bahwa Hok Sui pasti akan memberatkan rasa persaudaraannya daripada sekedar uang yang tidak berarti!"

   Nelayan tua itu berhenti bicara, dan para nelayan lain yang mengangguk-angguk membenarkan pendapatnya ini tampak memandang Hok Sui dengan mata bersinar.

   Mereka memang mengharap bahwa Hok Sui lebih memberatkan rasa persaudaraan itu dari pada sejumlah uang yang tidak berarti, dan Hok Sui sendiri yang merasa tersudut oleh kata-kala Liem- lopek itu akhirnya menarik napas panjang.

   Orang yang bicara kali ini adalah tetua kampung yang di hormati warganya, maka menurut nasehatnya adalah jalan terbaik.

   Tapi, bagaimana dengan kebutuhan uangnya Itu? Dia ingin membeli perahu baru.

   Perahunya yang sekarang sudah amat butut.

   Banyak bocor di sana- sini.

   Dan mencari ikan dengan perahu yang seperti itu hasilnya terus terang saja kurang memuaskan.

   Namun...ah, Liem lopek telah bicara dan teman- temannya yang lain juga tampak memandangnya dengan penuh perhatian.

   Dia melihat beberapa dl antaranya bahkan ada yang menyembunyikan ancaman secara diam-diam, sementara Tan Siong, si pelayan muka hitam itu tampak memandangnya dengan senyum mengejek.

   Hok Sui panas dadanya melihat sikap temannya itu.

   Tapi ketika membentur pandangan Liem-lopek yang lembut tiba-tiba dia sadar.

   Tan Siong memang diam- diam memusuhinya, merasa kalah bersaing memperebutkan cinta seorang gadis.

   Dan Yung Hwa, gadis dusun yang mereka merebutkan itu jatuh cinta kepadanya! Alasan Yung Hwa tidak tertarik kepada Tan Siong ini adalah karena nelayan muda itu bermuka hitam.

   Tidak cakap.

   Kurang simpatik dan sering bersikap kasar.

   Karena itulah Yung Hwa menjatuhkan pilihan hatinya terhadap Hok Sui.

   Dan Hok Sui yang berhasil dalam perebutan cinta ini tentu saja diam-diam membuat Tan Siong benci.

   "Bagaimana, Hok Sui?"

   Liem-lopek tiba-bertanya.

   "Kau lebih memberatkan kami, kan?"

   Hok Sui tersentak. Sejenak dia terkejut oleh Pertanyaan nelayan she Liem itu. Tapi melihat pandangan Liem-lopek yang penuh kebenaran akhirnya membuat pemuda itu mengangguk.

   "Baiklah, aku memang melihat kebenaran dalam nasehatmu ini, Liem-lopek. Dan sebagai rasa persaudaraanku yang tulus kuserahkan ikan ini untuk dipelihara di empang Kwa-chungcu."

   "Jadi kau menolak tawaranku, saudara Hok Sui?"

   Pedagang she Cui tiba-tiba berteriak kecewa. Dan Hok Sui menoleh.

   "Maaf, demi keselamatan kampungku, Cui - twuko. Aku menyesai sekali tidak dapat mengabulkan permintaanmu ini!"

   Dan begitu Hok Sui selesai mengucap kata-katanya tiba-tiba semua nelayan berteriak gembira.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka menyatakan kegirangannya atas keputusan yang telah diambil Hok Sui ini, dan begitu pemuda itu tersenyum kepada mereka tahu tahu ikan yang ada di jaring Hok Sui sudah diangkat dan dibawa kabur ke rumah Kwa- chungcu! Sekejap saja orang-orang itu telah berlarian ke tengah dusun, dan pedagang she Cui yang tampak kecewa melotot ke arah Hok Sui.

   Namun nelayan muda itu tenang-tenang saja, dan ketika semua orang sudah meninggalkan tempat itu menuju ke rumah Kwa- chungcu diapun lalu mengikuti teman- temannya ke tengah dusun, menyusul Liem-lopek yang telah menggapai kepadanya dengan muka berseri-seri.

   Sementara Bun Hwi, yang menyaksikan semua kejadian itu dari awal sampai akhir juga siap untuk melangkahkan kakinya ke rumah Kwa-cungcu ketika mendadak dia melihat bayangan muka hitam menyelinap di balik gubuk beratapkan ilalang.

   Laki- laki yang tadi bersikap kasar kepada nelayan she Hok itu tampak memberi isyarat kepada Cui- wangwe, dan Bun Hwi yang melihat pedagang ikan she Cui itu tampak tergesa-gesa dengan sikap mencurigakan menghampiri nelayan bermuka hitam ini mendadak menjadi curiga.

   Dengan cepat diapun berindap-indap menghampiri pedagang ikan dan nelayan yang sama-sama memasuki pintu gubuk itu.

   Namun ketika sampai di luarnya hanya percakapan singkat dia tangkap.

   "Jadi kau bisa membantuku, Tan Siong?"

   "Kalau kau memberiku imbalan yang pantas, Cui- wangwe. Limapuluh tail perak itu kauberikan kepadaku"

   "Bagus. Malam nanti kita bertemu di luar empang, Tan Siong. Dan harap hati-hati mendekati kolam itu!"

   "Jangan khawatir. Malam ini tugasku meronda kampung, wangwe. Dan siapapun juga pasti tidak akan bercuriga!"

   Lalu kciika dua orang itu sama-sama tertawa dan keluar dari gubuk ilalang. Bun Hwi melihat nelayan bermuka hitam itu sudah menerima sebuah bungkusan dari tangan si pedagang ikan.

   "Ini persekot untukmu, Tan Siong. Kuberikan separuh dulu. Sisanya nanti setelah kau berhasil!"

   "Terima kasih. Aku pasti berhasil, wangwe!"

   Dan jawaban Tan Siong yang disusul bcrpisahnya dua orang itu sudah membuat Bun Hwi tidak mampu menangkap percakapan mereka lagi si pedagang ikan dan si nelayan muka hitam sama-sama sudah menghilang pada arah yang berlain-lainan, dan Bun Hwi yang tertegun oleh percakapan terakhir ini mendadak mengerutkan alisnya.

   Kata-kata "empang"

   Dan uang "limapuluh tail"

   Membuat dia sekejap saja dapat menarik kesimpulan apa yang kira-kira menjadi pokok pembicaraan dua orang itu, maka begitu Bun Hwi sadar akan maksud dua orang ini tiba-tiba diapun sudah cepat berlari ke rumah Kwa-chungcu.

    Malam itu dusun nelayan ini tenang-tenang saja.

   Tiga sosok tubuh peronda tampak berjalan membunyikan kentrungan mereka di antara remang- remang cahaya bulan yang bersinar kuning keemasan.

   Sementara Tan Siong, pemimpin ronda yang berjalan paling depan tiba-tiba berhenti ketika sampai di sebuah tikungan.

   "Lu Hin. sebaiknya kita berpisah di sini untuk bertemu lagi di tengah dusun. Kau merondalah di arah timur. Sedangkan Bhe Lam biar meronda di barat kampung,"

   Demikian si muka itam itu mula- mula memberikan tugasnya.

   "Dan ku akan berputar arah menuju pos kita di rumah Kwa-chungcu!"

   Lalu ketika dua orang itu menjawab "baik"

   Segeralah tiga orang peronda ini berpencar.

   Mereka masing- masing menjalankan tugas seperti apa ang telah dikatakan pemimpinnya, sementara Tan Siong yang berseri-seri mukanya tampak gembira memandang dua orang temannya yang pergi ke arah timur dan barat dusun.

   Dia telah berhasil "menggebah"

   Dua orang temannya itu tanpa curiga, dan begitu mereka lenyap di tikungan masing-masing segeralah si muka hitam itu melangkah tergesa-gesa ke rumah Kwa- chungcu.

   ia tidak berputar arah seperti apa yang telah dikatakannya tadi.

   Tetapi langsung menuju pos perondaan di rumah kepala kampung! Dan begitu laki-laki ini menyelinap ke tengah dusun mulailah dia bersikap seperti maling.

   Tindak- tanduknya amat hati-hati sekali, dan tubuhnya yang seringkali menyembunyi kan diri dalam kegelapan malam akhirnya sebentar saja membuat laki-laki itu mencapai tujuannya dalam waktu sekejap.

   Dia memang telah mengenal semua kelak-kelok di jalan kampung ini.

   Maka tidak aneh kalau bebearapa menit kemudian si muka hitan itu sampai di rumah Kwa- chungcu.

   Sementara empang yang menjadi pusat perhatiannya, kolam di rumah kcpala kampung yang terletak di samping halaman ku tampak sunyi dengan riak airnya yang tenang dihembus angin malam.

   Tan Siong sudah tiba di tempat ini, namun kehati-hatian sikapnya yang seperti maling takut konangan itu membuat laki-laki ini tidak segera menuju kolam.

   Dia bersembunyi dulu, merunduk di tanaman perdu di tepi kolam.

   Lalu ketika merasa segalanya sudah aman barulah laki-laki ini menuju ke empang ikan dengan jalan berindap-indah.

   Dan ketika dia sudah berada di dalam air mencari Naga Lilin tiba-tiba berkecipaklah kolam itu dengan suara keras.

   Kolam yang tidak berapa luas ini mendadak bergolak, dan ikan Naga Lilin yang dicari- cari sekonyong-konyong muncul! Ha, Tan Siong berseri gembira dan begitu ini menyembul di atas permukaan air tiba-tiba nelayan itu telah melemparkan jaringnya.

   Dia memang telah menyiapkan jaring ini, sebuah jaring kecil yang diikat di ikat pinggang nya.

   Dan begitu ikan disambar jaring sekonyong-konyong terjebaklah ikan itu.

   Persis di dalam jaring yang dilempar Tan Siong! Tapi Naga Lilin tiba-tiba berontak.

   Ikan besar yang tertangkap jaring itu mendadak menggelepar, kuat sekali, membuat Tan Siong hampir ia terpeleset kakinya.

   Tapi nelayan kawakan yang bermuka hitam ini tiba-tiba menyentak jaringnya.

   Sekali tarik dia telah membuat ikan itu keluar dari permukaan air, lalu sekali dia meloncat keluarlah sudah laki-laki ini dari dalam kolam! Sekarang Tan Siong sudah berhasil mendapatkan buruannya.

   Dan laki-laki yang cepat meloncat tergesa- gesa meninggalkan rumah Kwa-tungcu itu menuju keluar tembok.

   Di situlah ia berjanji bersama tengkulak ikan she Cui, bertemu empat mata untuk saling menukarkan.

   Tapi baru si muka hitam ini melompat beberapa tindak tahu-tahu seorang remaja tanggung telah berdiri di depannya! "Hei, siapa kau?"

   Tan Siong terkejut. Tapi anak laki laki itu, yang bukan lain Bun Hwi adanya, tersenyum mengejek dan balas menegur si pencuri sial ini.

   "Muka hitam, kenapa kau terkejut melihat kedatanganku? Bukankah seharusnya aku yang menegur perbuatanmu ini? Kau telah mencuri ikan itu, dan milik kampung yang dikeramatkan semua nelayan ini tidak seharusnya kauambil!"

   Tan Siong semakin terkejut.

   Dia terbelalak memandang anak laki-laki ini, tapi melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal bocah itu tiba-tiba membuat Tan Siong menjadi marah.

   Sekali melompat dia menerkam Bun Hwi, dan gerakannya yang sebat membuat Bun Hwi tidak sempat mengelak.

   Pundak anak laki-laki itu tahu-tahu telah dicengkeram si muka hitam, dan sekali banting tiba tiba Bun Hwi sudah dilemparnya ke dalam kolam.

   "Byurr....!"

   Bun Hwi basah kuyup dan Tan Siong yang tidak mau ambil perduli lagi tiba-tiba sudah melompat di kegelapan malam. Dia menuju bagian luar tembok, lalu begitu muncul bayangan Cui- wangwe diapun dengan tergesa-gesa menyerahkan ikannya sambil berbisik.

   "Wangwe. cepat pergi dari sini! Seorang bocah mengganggu pekerjaan kita. Aku akan kembali ke kolam dan menuduhnya sebagai pencuri ikan....!"

   Lalu begitu Cui-wangwe mengangguk tanda mengerti si muka hitam inipun sudah melompat kembali ke halaman rumah kepala kampung. Dan begitu dia melihat Bun Hwi basah kuyup keluar dari empang laki-laki inipun sudah berteriak-teriak.

   "Maling.... maling.....!"

   Dan tangannya yang sudah terjulur maju itupun sudah bekerja mencekik leher Bun Hwi.

   Tan Siong agaknya memperguna- kesempatan Bun Hwi berada di tepi empang untuk menarik perhatian orang, karena begitu dirinya mencengkeram leher Bun Hwi tiba-tiba diapun menyeret anak ini untuk mencebur lagi di dalam kolam.

   Tak ayal, Bun Hwi yang terkejut melihat perbuatan si muka hitam ini terbanting kembali.

   Dia kaget mendengar lawannya itu berbalik menuduh dia sebagai pencuri.

   Tapi tubuh yang sudah tercebur di dalam air ini tak mampu dia kuasai.

   Akibatnya.

   Bun Hwi basah kuyup untuk kedua kalinya lagi di kolam kepala kampung ini.

   Teriakan Tan Siong yang lantang di kesunyian malam membuat kampung itu segera geger.

   Puluhan pintu rumah serentak terbuka lebar-lebar, dan kaum nelayan yang berlarianan menuju ke tempat itu seketika membuat empang Kwa-chungcu kebanjiran pagar betis.

   Sekejap saja Bun Hwi tahu- tahu telah dikurung di tengahlah, dan Tan Siong yang berdiri di tepi kolam menuding Bun Hwi yang masih tertegun di dalam empang.

   "Saudara-saudara, bocah ini mencuri Naga Lilin! Dia melempar ikan itu kepada temannya yang melarikan diri....!"

   Lalu Tan Siong yang bersikap seolah-olah seorang hakim menghadapi pesakitannya itu mencabut golok pendeknya yang biasa dipergunakan membelek ikan untuk menghardik.

   "Bocah, siapa yang menyuruhmu mencuri ikan di kolam ini?"

   Bun Hwi melompat keluar. Dia melotot dan gusar oleh pemutarbalikan fakta yang amat jahat ini dan begitu orang menanya serta menghardiknya diapun kontan berteriak.

   "Muka hitam, siapa yang mencuri ikan di kolam ini? Bukankah kau yang bersekongkol dengan Cui-wangwe? Bersama pedagang itu kau kasak-kusuk untuk mendapatkan lima puluh tail perak dan begitu kau mendapatkan aku memergokimu sekarang kau memutarbalikkan fakta!"

   "Bohong! Kau hendak menipu orang-orang kampung ini. bocah? Kau hendak menyelamatkan diri setelah ketahuan mencuri ikan?"

   Tan Siong melompat maju, memutar-mutar golok pendeknya dengan muka kaget. Tapi Bun Hwi malah menuding hidungnya.

   "Orang she Tan, kau agaknya setan licik yang busuk sekali. Sudah jelas kau yang mencuri ikan kenapa hendak ditimpakan orang lain? Aku melihat sendiri siang tadi kau kasak-kusuk dengan pedagang she Cui itu, dan berani sumpah bahwa kau telah menerima dua puluh lima tail perak untuk persekot pembayarannya!"

   Tapi Bun Hwi yang baru menyelesaikan kata-katanya mendadak sudah diserang si muka hitam.

   Tan Siong yang kaget dan pucat mendengar bocah itu membongkar rahasianya tiba-tiba sudah berteriak dan sekali dia mengayunkan golok maka menyambarlah senjata itu ke leher Bun Hwi.

   "Bocah siluman, kau hendak mengacau kampung kami. Mampuslah!"

   Dan sambaran golok si muka hitam yang amat cepat ini tahu-tahu telah meluncur menghantam sasarannya.

   "Krakk!"

   Semua orang berteriak kaget.

   Serangan Tan Siong yang amat ganas karena hendak menghilangkan jejak itu tahu-tahu telah mengenai leher Bun Hwi, tapi golok yang mental menyambar bocah ini menjadikan semua orang terbelalak lebar.

   Luar biasa sekali.

   Golok yang amat mengerikan itu ternyata tak mampu menebas leher, dan golok yang bahkan patah seperti membacok tiang baja itu telah terlempar menjadi dua potong! "Ooh?!"

   Tan Siong kaget bukan main dan sementara dia tertegun dengan mata terbelalak, tahu-tahu Bun Hwi telah menubruknya.

   "Muka hitam, kau curang. Orang seperti kau ini sebaiknya diceburkan saja di dalam sungai!"

   Dan Bun Hwi yang tiba-tiba membalas serangan lawan dengan tubrukan tangannya langsung menyambar muka lawan.

   Sekali gempur dan pencet dia mengadu rahang Tan Siong keras sekali kakinya menjegal tubuh Tan Siong sudah diangkatnya dan dibanting ke dalam empang.

   "Byurrr!"

   Tan Siong gelagapan, dan para nelayang yang melihat kedahsyatan anak laki-laki ini mendadak berseru takjub.

   Mereka heran dan bengong bukan main menyaksiakn bocah itu mampu mengangkat tubuh Tan Siong yang tinggi besar.

   Dan bahwa dengan sekali banting si muka hitam itu telah diceburkan ke dalam kolam membuat mereka terbelalak.

   Tapi Tan Siong yang sudah memuncak kemarahannya ini sekonyong-konyong meraung.

   Dia yang sudah melompat dengan pakaian basah itu tahu-tahu menyambar sebatang sabit yang dipegang temannya, dan begitu dia melompat maka bertubi- tubilah serangannya menghunjam Bun Hwi.

   Sekarang semua orang sama berteriak mencegah perbuatan Tan Siong yang seperti orang gila itu, tapi Bun Hwi yang dikira bakal terobek-robek dengan tubuh luka-luka itu tiba-tiba membuat para nelayan itu tertegun untuk kedua kalinya.

   Bun Hwi memang tidak bisa silat.

   Tapi tubuhnya yang telah kemasukan sari kekebalan dari Ular Tanduk Hijau ini ternyata memiliki keajaiban yang mentakjubkan.

   Karena, setiap bacokan sabit yang dilakukan Tan Siong dengan amat gencarnya itu mengenai tubuhnya selalu saja sabit itu mental! Akibatnya, Tan Siong seakan menghadapi manusia karet dan ketika untuk terakhir kalinya si muka hitam itu membabatkan sabitnya dan patah bertemu tubuh Bun Hwi tiba-tiba saja si tinggi besar ini menjerit ngeri.

   Dia terbelalak melihat potongan sabitnya yang tertinggal di tangan, begitu dia sadar tiba-tiba saja si muka hitam sudah melemparkan sisa senjatanya dan memutar tubuh, lari lintang- pukang sambil berteriak-teriak histeris.

   "Siluman... siluman... bocah itu siluman, bukan manusia...!"

   Dan Tan Siong yang ketakutan dengan muka pucat pasi itu sebentar saja buat kampung menjadi geger.

   Orang-orang terkejut dan terkesima melihat kejadian yang amat luar biasa ini, tapi Bun Hwi yang dituduh siluman itu justeru melompat dengan seruan marah.

   "Muka hitam, ke mana kau melarikan diri? kembali dan akui dosa-dosamu ini....!"

   Dan Bun Hwi yang tiba- tiba sudah "terbang"

   Di kepala orang banyak itu kontan saja membuat penduduk semakin gempar. Mereka hanya melihat bayangan meluncur di atas kepala, lalu ketika mereka menoleh tiba-tiba saja Tan Siong sudah tersungkur roboh ditendang tengkuknya oleh "siluman"

   Ini! "Duk....!"

   Nelayan tinggi besar itu terguling-guling di atas tanah dan ketika dia mengangkat wajahnva tahu- tahu sang "siluman"

   Itupun telah menginjak dadanya dengan mata berapi-api.

   "Ooh....?!"

   Tan Siong terhenyak kaget dan Bun Hwi yang marah oleh kebusukan laki-laki ini sudah membentak nyaring.

   "Muka hitam, di mana kausembunyikan ikan itu?"

   Tan Siong mengeluh. Dia pucat dan ketakutan bukan main oleh "kesaktian"

   Bocah siluman ini. Maka begitu dibentak diapun tergagap.

   "Sin-yauw (siluman sakti), aku... aku... aku tidak tahu. Tadi ikan itu dibawa saudara Hong Sui. Dialah yang merencanakan semuanya ini untuk menjual ikan itu kepada Cui-wangwe!"

   Tapi baru ucapan ini habis dikatakan mendadak terdengar teriakan seseorang.

   "Bohong,..!"

   Dan muncullah di situ seorang pemuda bermuka keras.

   Dan baru pemuda ini menyeruak kerumunan orang- orang tiba-tiba diapun mendorong tubuh seorang laki- laki sampai terjungkal di atas tanah.

   Dialah Hok Sui, nelayan muda yang dijadikan kambing hitam oleh kelicikan seterunya itu! Tan Siong yang melihat kedatangan musuhnya ini dan mendorong sampai terjungkal roboh seorang laki-laki jadi terbelalak matanya ketika dia mengenal siapa orang yang ditangkap Hok Sui itu.

   Bukan lain Cui- wangwe! Maka begitu si muka hitam ini mengetahui pedagang she Cui di tangan saingannya tiba tiba laki-laki itu berteriak parau.

   Kaki Bun Hwi yang tidak menginjak dadanya lagi tahu-tahu pergunakan untuk melompat berdiri.

   Dan begitu ia bangkit tiba-tiba saja Tan Siong sudah menyerang Hok Sui dengan kemarahannya yang meluap.

   "Orang she Hok, kau selalu menjadi duri bagiku. Mampuslah....!"

   Dan Tan Siong yang meninju muka lawannya kontan saja membuat Hok Sui terkejut. Dia belum siap menerima serangan itu. Maka begitu mukanya dipukul nelayan muda inipun tiba-tiba saja terjengkang.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aduh....!"

   Hok Sui terpekik namun Tan Siong yang tampaknya amat membenci lawannya itu tidak memberi kesempatan untuk membalas.

   Hok Sui yang roboh di atas tanah sudah dihantamnya bertubi-tubi, sampai akhirnya ketika Hok Sui menggeliat dan ganti menendang pahanya barulah si muka hitam itu ganti terjerembab.

   Sekarang Hok Sui yang balas menyerang, dan Tan Siong yang dipukul dengan kemarahan yang meluap itu sebentar saja membuat keduanya sama- sama memar.

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba sudah melompat maju, dan jari tangannya yang mencengkeram pundak lawan membuat Tan Siong menjerit kesakitan.

   Laki- laki yang amat licik ini tahu-tahu sudah dibanting Bun Hwi, dan begitu dia tersungkur roboh kaki Bun Hwi- pun tiba-tiba telah menginjak dadanya! "Orang she Tan, kenapa kau menyerang Hok-twako? Tidak malu kau melempar fitnah keji terhadap teman sendiri?"

   Tan Siong menggigil. Dia mengkerut nyalinya dibentak "siluman"

   Yang tahan bacokan senjata tajam ini, dan bahwa Bun Hwi memandangnya demikia bengis membuat laki-laki itu gemetaran. Sementara Hok Sui, yang telah menyeret si pedagang Cui mendekati mereka telah mencekik leher pedagang ini dengan mata berapi-api.

   "Cui-wangwe, benarkah aku yang telah merencanakan semua perbuatan busuk ini? Benarkah aku yang mencuri ikan itu?"

   Cui-wangwe gelagapan.

   Pedagang ikan itu ketakutan melihat kemarahan si nelayan she Hok ini dan penduduk kampung yang telah mengitari mereka berempat itu membuat laki laki ini pucat mukanya.

   Dengan muka penuh keringat dia menggelengkan kepalanya, dan suaranya yang serak gemetar membongkar kebohongan Tan Siong.

   "Tidak.... tidak ...eh, kau tidak bersalah, Hok twako. Kau memang tidak bersalah. Kau tak tahu apa-apa tentang semua perbuatan ini!"

   "Hm, kalau begitu siapa yang menjadi biang keladinya, Cui-wangwe? Salahkah kalau kukatakan di sini bahwa Tan Siong-lah yang menjadi gara- gara?"

   Pedagang ikan itu mengangguk.

   "Benar.. benar kata- katamu itu, Hok-twako. Aku hanya menuhi permintaannya belaka. Tan Siong yang membujukku untuk memberinya limapuluh tail perak guna pencurian ikan keramat ini..."

   Maka begitu pedagang ikan itu mengakui segalanya mati kutulah si nelayan muka hitam, ia hanya dapat melotot penuh kemarahan kepada pedagang ini, sementara Hok Sui yang memandangnya dengan tinju terkepal dibalasnya dengan sinar mata kebencian.

   "Orang she Tan, apa bicaramu sekarang setelah kebusukanmu ini terbongkar?"

   Hok Sui membentak. Tapi laki-laki bermuka hitam itu tidak menjawab. Dan baru setelah Bun Hwi mencengkeram pundaknya Tan Siong menyeringai kesakitan sambil meludah di depan seterunya itu.

   "Orang she ok, aku memang tidak menyangkal perbuatan ini. Tapi awaslah kau, selama aku masih hidup maka akupun akan selalu membalasmu!"

   Dan Tan Siong yang tampaknya menyimpan dendam setinggi langit terhadap nelayan she Hok itu tampak menggeram.

   Namun Hok Sui tidak memperdulikan ancamannya ini.

   Dengan cepat dia sudah memutar tubuh menghadapi kaum nelayan yang terbelalak menyaksikan semua kejadian itu, dan Liem-lopek yang hadir di tengah-tengah mereka sudah ditanyai pemuda ini dengan suara serak.

   "Liem-lopek, apa kiranya yang patut kita berikan kepada pengacau liar ini? Bagaiman kalau kita serahkan kepada saudara cilik kita yan memberitahukan rencana Tan Siong itu?"

   Nelayan tua itu melangkah maju.

   Dengar alis berkerut dan pandangan bingung dia memandang Tan Siong yang menjadi gara-gara, tapi sinar matanya yarg berkejap ke arah Bun Hwi akhirnya membuat orang tua ini mengangguk "Kukira itu yang paling baik, Hok Sui.

   Aku nelayan she Liem tidak keberatan menerima usulmu.

   Tapi bagaimana pendapat siauw-inkong (penolong cilik) ini sendiri?"

   Kakek itu memandang Bun Hwi. Namun Bun Hwi menggoyang lengannya.

   "Liem- lopek, ini adalah urusan warga kampung kalian. Kenapa hendak diserahkan kepadaku?"

   "Karena kau yang memberi tahu kita. siauw-inkong. Tanpa pemberitahuanmu barangkali kita semua bakal celaka kembali oleh perbuatan Tan Siong ini."

   "Benar. Tapi akupun mendapatkannya secara kebetulan, Liem-lopek. Dan bagaimanapun juga di sini masih ada Kwa-chungcu! Kenapa tidak kepadanya kita serahkan pencuri ini?"

   Bun Hwi pengelak, menoleh ke laki laki tua yang berkumis putih lalu berkata kepada laki-laki itu yang bukan lain adalah kepala kampung Kwa.

   "Kwa-chungcu, bagaimana pendapatmu mengenai pengacau ini? Apakah tidak sebaiknya kau yang memberikan bukuman kepadanya?"

   Laki-laki tua itu menarik napas panjang. Dia sudah menyaksikan segalanya mulai dari awal sampai akhir. Dan keterangan Bun Hwi yang menanyakan pendapatnya akhirnya dibalas dengan anggukan kepala.

   "Siauw inkong, apa yang kaukatakan di sini memang benar. Tan Siong adalah pendudukku, dan sebagai penduduk yang melakukan perbuatan tercela dia harus dihukum. Tapi bagaimana keputusan saudara-saudara yang lain tentang kejahatan Tan Siong ini? Dia telah melakukan perbuatan jahat, mencuri dan bermaksud menjual Naga Lilin sebagai ikan yang dikeramatkan semua orang. Dan perbuatannya ini kalau tidak sampai ketahuan sungguh akan besar sekali akibatnya bagi kami semua. Paling tidak, kami bakal terkutuk lagi oleh Dewa Sungai. Padahal kutukan Dewa Sungai berarti malapetaka bagi kami! Saudara-saudara, bagaimana pendapat kalian tentang hukuman terhadap Tan Siong ini?"

   Seorang nelayan bermata lebar tiba-tiba mengangkat tangannya.

   "Diusir saja, chungcu! Tan Siong hampir mencelakai kita semua dengar perbuatan jahatnya ini!"

   "Benar! Sebaiknya pengacau itu kita singkirkan saja, chungcu. Karena seorang warga yang telah sampai hati mengkhianati teman teman sendiri kemungkinan bakal berbuat yang lebih jahat lagi kepada orang- orang lain!"

   "Betul, kita usir saja dia, chungcu. Dan pedagang she Cui itupun sebaiknya tidak kita perkenankan lagi memasuki kampung kita!"

   Dan baru dua ucapan terakhir itu selesai diderukan mendadak warga nelayan yang lain juga sudah ikut- ikutan berteriak gaduh.

   Mereka rata-rata menghendaki agar si muka hitam itu diusir dan perkampungan mereka, dan kepala kampung Kwa yang mendengar seruan penduduknya ini tiba-tiba mengangkat tangannya.

   "Saudara-saudara, mohon tenang...."

   Kwa-chungcu berteriak.

   "Apa yang menjadi keinginan kalian berarti keputusan pula bagiku,"

   Lalu menoleh ke arah si muka hitam ini kepala kampung itupun berkata dengan suara berat.

   "Tan Siong, kau telah mendengar sendiri keinginan seluruh warga kampung ini. Dan memenuhi permintaan mereka maka malam inipun kau kuminta untuk meninggalkan kampung kami. Sebelum matahari terbit, silahkan kau angkat kaki dan jangan tunjukkan diri lagi di sini!"

   Maka Tan Siong yang telah dijatuhi hukuman itupun tiba-tiba bangkit berdiri, dengan mata menyala dan muka merah dia mendelik kearah kepala kampung ini.

   lalu mengepal tinju terhadap si nelayan she Hok diapun mengerotkan diri lalu memutar tubuh.

   Si muka hitam ini tidak lagi banyak bicara.

   Dan begitu dia melangkah keluar tiba menyeruaklah kerumunan orang-orang kampung itu memberi jalan kepadanya.

   Sementara pedagang she Cui, yang sudah didupak punggungnya oleh Hok Sui inipun cepat-cepat menyelinap keluar dan lari terbirit-birit meninggalkan tempait itu.

   Dia tidak searah dengan Tan Siong.

   Karena kalau si muka hitam itu menuju ke timur adalah si tengkulak ikan ini berlari ke utara! Sekarang amanlah kampung itu dari keributan.

   Dan Bun Hwi yang menjadi pusat perhatian semua orang tiba-tiba menjadi terkejut ketika melihat Kwa- chungcu beserta seluruh penduduknya berlutut di depan kakinya! "Eh-eh, apa-apaan ini.

   Kwa-chungcu...!"

   Bun Hwi bereru kaget. Tapi kepala kampung Kwa itu malah membenturkan dahinya.

   "Siauw-inkong, mohon maaf bahwa siang tadi kami kurang menaruh kepercayaan kepadamu. Aku si tua bangka ini agaknya lamur, dan inkong yang telah memberi tahu secara sungguh-sungguh telah kami terima dengan setengah curiga. Maafkan kami, inkong dan mewakili seluruh penduduk Kwa- cun-leng di sini aku Kwa Hun menghaturkan banyak banyak terima kasih atas budi pertolonganmu..!"

   Dan kepala kampung Kwa yang sudah membenturkan jidatnya berulang kali di atas tanah itu membuat Bun Hwi tertegun. Namun begitu dia sadar Bun Hwi tiba-tiba melompat maju dan membangunkan kakek ini.

   "Kwa-chungcu, jangan berlaku demikian. Aku orang biasa-biasa saja! Kenapa harus berlutut segala macam di depaku begini?"

   Lalu Bun Hwi yang sudah menoleh ke kerumunan itu berseru.

   "Saudara- saudara, harap bangun. Aku tidak suka mmdapat penghormatan yang berlebih lebihan begini..!"

   Dan pemuda yang sudah mengangkat bangun kepala kampung Kwa itu memandang kaum nelayan yang menatapnya penuh takjub seperti orang melihat dewa! Bun Hwi jadi rikuh.

   Maklum apa yang pikirkan mereka itu.

   Tentu kekebalannya tadi! Tapi Kwa- chungcu yang tersenyum gembira di samping kanannya itu berkata.

   "Siauw inkong, kau tentu mau menerima sekedar ucapan terima sih kami, kan?"

   Dan ketika Bun Hwi belum mengerti maksudnya kepala kampung itu sudah melanjutkan.

   "Kami ingin menjamumu, inkong. Dan kalau kau tidak menolak malam ini juga kami ingin mengadakan pesta kecil untuk menyatakan terima kasih kami!"

   "Ah, malam-malam begini, chungcu?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Tidak ada bedanya bagi kami inkong, malam atau siang pun bagi penduduk Cun-leng sama saja!"

   Kakek itu tertawa. Tapi Bun Hwi sudah cepat cepat menolak.

   "Jangan... jangan, chungcu. Aku capai sekali, ku ingin beristirahat!"

   Dan Bun Hwi yang sudah lingak- linguk mencari jalan keluar di kerumunan orang banyak itu tiba-tiba melepaskan dirinya. Tapi kepala kampung Kwa mendadak menjatuhkan diri berlutut.

   "Inkong, apakah kau mau meninggalkan kami?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Ini... eh. Aku mau tidur, chungcu... aku tidak suka diganggu dulu....!"

   "Kalau begitu mari beristirahat di rumahku inkong. Kalau kau menolak maka akupun akan berlutut sampai pagi menyatakan penyesalanku!"

   "Benar. Jangan pergi dulu, inkong. Kami penduduk Cun-leng masih ingin menyatakan rasa terima kasih kami kepadamu....!"

   Liem-lopek yang tiba-tiba menyambung kata-kata Kwa chungcu itu mendadak disusul oleh teriakan teriakan lain yang suaranya senada.

   "Benar, beristirahat dulu di rumah Kwa chungcu, inkong. Kami besok masih ingin menyampaikan terima kasih kami!"

   "Atau kalau tidak kami akan menyatakan penyesalan kami dengan berlutut pula seperi Kwa-chungcu, inkong. Dan sebelum matahari terbit kami akan menghukum diri untuk penolakan mu ini..!"

   Dan Bun Hwi yang tiba-tiba melihat para nelayan itu serentak menjatuhkan diri berlutut mendadak saja jadi tertegun.

   Dia mengejap-ngejapkan mata berulang kali, tapi ketika maklun bahwa tiada gunanya lagi menolak diapun cepat cepat mengangkat tangan kirinya.

   "Kwa-chungcu... Liem-lopek, harap kalian semua bangun. Aku tidak pergi meninggalkan kalian. Percayalah! Malam ini aku siap mengikuti Kwa- chungcu untuk menginap di rumahnya. Tapi setelah itu kuharap kalian tidak menggangguku lagi. Aku ingin beristirahat, tubuhku capek. Dan kalau kalian mau memenuhi permintaanku ini, biarlah malam ini juga aku tidur di rumah Kwa-chungcu....!"

   Maka Kwa-chungcu yang mendengar kata-kata itu sudah tertawa gembira.

   Dia bangkit berdiri dengan muka berseri-seri, sementara kaum nelayan yang mendengar janji Bun Hwi itu tampak lega dengan mata bersinar-sinar.

   Mereka memang menganggap bahwa pemuda yang luar biasa ini bukanlah bocah sembarangan.

   Dan Bun Hwi yang diam-diam dianggap sebagai "utusan"

   Dewa Sungai itu mentakjubkan mereka dengan kesaktian yang luar biasa. Kebal terhadap bacokan senjata tajam! Tapi Bun Hwi yang masih dangkal pengamatannya ini tidak mengerti penghormatan orang yang sesunguhnya. Dia tidak tahu bahwa "kesaktiannya"

   Tadi menimbulkan dugaan yang bermacam-macam di hati para nelayan yang tebal tahayulnya itu. Dan bahwa dia dianggap sebagai "dewa cilik"

   Yang turun dari atas langit sungguh membuat dia bakal jadi semakin rikuh kalau mengetahuinya.

   Tapi untunglah.

   Kwa-chungcu yang tidak ingin mengganggu pemuda ini sudah membubarkan para penduduknya untuk tidak berkerumun lagi.

   Dan mereka yang sudah menerima janji Bun Hwi untuk menginap di rumah chungcu ini membuat mereka gembira.

   Malam itu Bun Hwi benar-benar tidur di rumah kepala kampung ini.

   Sementara Naga Lilin yang ditangkap kembali dari tangan Tan Siong langsung dimasukkan ke kolam Kwa-chung untuk dikeramatkan sebagaimana layaknya.

   Tapi Bun Hwi yang melihat ikan ini telah menjadi gara-gara keributan meminta agar ikan itu dikembalikan saja ke asalnya, yakni di sungai.

   Dan semua orang yang menganggap Bun Hwi "dewa cilik"

   Yang harus dihormati tidak ada yang merasa keberatan.

   Bahkan pemuda itulah yang diminta untuk melepaskan Naga Lilin di tempat asalnya dan Bun Hwi yang tidak menolak permintaan itu langsung saja melepaskan ikan itu dengan hati-hati di dalam air.

   Tapi benarkah keesokan harinya Ban Hwi mau melayani orang-orang kampung itu? Tidak! Karena begitu malam hampir terganti pagi Bu Hwi tiba-tiba sudah "menghilang"

   Dari dusun Cun-leng ini.

   Pemuda yang tidak biasa menerima penghormatan berlebih- lebihan itu sudah angkat kaki dengan langkah lebar, dan ketika keesokan harinya Kwa- chungcu mengetuk pintu kamarnya maka pemuda inipun sudah jauh berada di luar dusun! Tentu saja kampung menjadi geger.

   Namun menghilangnya Bun Hwi tanpa diketahui seorang pendudukpun itu bahkan menjadi pembicaraan hangat di seluruh pelosok jalanan.

   Orang-orang kampung semakin percaya, bahwa bocah yang kemarin datang di kampung mereka itu sesungguhnya adalah "teman"

   Si Naga Lilin, utusan dewa Sungai yang telah menyelamatkan mereka semua dari bencana kutukan! Sementara Bun Hwi sendiri, yang telah meninggalkan kampung Kwa-chungcu itu, apa yang mendorongnya untuk cepat-cepat angkat kaki? Bukan lain karena ketawa Siauw-bin Lo-kai yang halus menusuk-nusuk telinganya itu.

   Karena ketika dia tidak dapat tidur pada kentongan ke empat tiba- tiba terdengarlah suara hwesio gundul yang mengejek padanya.

   "Bocah, apa tanggapanmu malam ini? Tidakkah pinceng yang memenangkan taruhan?"

   Bun Hwi membuka jendela. Dia mendengar suara yang penuh ejekan dari kakek yang amat dikenalnya itu, dan bahwa Siauw-bin Lo-koai tahu-tahu berdiri di luar kamarnya membuat Bun Hwi terkejut.

   "Locianpwe, kau di sini...?"

   Tapi kakek itu tertawa.

   "Pinceng di sini, di sana, apa bedanya bagimu, bocah? Lihat pinceng ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Ayo keluar....!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang tiba-tiba berkelebat menggapai Bun Hwi itu membuat pemuda ini terpaksa menyusul dengan muka keheranan.

   Dan ketika mereka sampai di luar dusun tahu-tahu Bun Hwi sudah melihat kakek itu berdiri dengan sikap pongah di atas sebuah batu karang.

   "Locianpwe, apa yang ingin kautunjukan?"

   Siauw-bin Lo-koai terkekeh.

   "Naik sini, bocah. Ada sesuatu yang ingin pinceng beritahukan kepadamu....!"

   Lalu ketika Bun Hwi melompat naik tiba-tiba kakek ini menggurat-gurat permukaan batu karang dengan cepat. Dan ketika gerakannya selesai tiba-tiba diapun melayang turun sambil tertawa lebar.

   "Bocah, sekarang boleh kau lihat apa yang ingin pinceng tunjukkan itu padamu. Tapi awas tunggu dulu sampai pinceng pergi....!"

   Dan Siauw-bin Lo- koai yang mendadak berkelebat lenyap seperti bayangan iblis itu membuat Bun Hwi tertegun.

   Pemuda ini tidak tahu apa yang dimaksud kakek itu.

   Tapi ketika dia mendekat dan melihat guratan- guratan itu mendadak saja dia tertegun.

   Apa yang dilihat Bun Hwi? Ternyata "peringatan"

   Untuknya. Tiga buah kata yang di tulis pendek . SATU NOL, BOCAH! Maka Bun Hwi yang membaca "peringatan"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ini kontan saja langsung merah mukanya.

   Dia tidak tahu harus marah atau malu terhadap hwesio yang suka main-main ini.

   Karena hanya untuk menunjukkan tiga buh tulisannya itu saja Siauw-bin Lo-koai mengajak ia malam-malam meninggalkan kampung! Tapi Bun Hwi yang melihat kebenaran ini sebagai satu kenyataan akhirnya terpaksa menggigit bibir.

   Dia memang "satu nol"

   Dengan si kakek gundul. Dan Siauw-bin Lo-koai yang mempergunakan kesempatan itu untuk mengejeknya memang harus dia terima. Tapi, betulkah dia harus di "nol"

   Oleh kakek ini? Tidak dapatkah dia membalas? Bun Hwi yang melompat turun dari batu karang ini tiba-tiba mendengar suara ketawa si hwesio gundul. Dan dia yang tidak tahu di mana bayangan kakek itu berada tiba-tiba mendengar lata-katanya.

   "Bocah, apa tanggapanmu malam ini? Tidakkah pineeng yang memenangkan taruhan?"

   Bun Hwi tersenyum pahit.

   "Jangan mengejekku, locianpwe. Batas taruhan kita masih enam bulan! Apa kau tidak ingat perjanjian ini?'' "Ho-ho, kau penasaran, bocah? Kau masih ingin menikmati kekalahanmu yang berikutnya? Baiklah. Ayo pergi, bocah... pergilah dan pelajari pengalaman- pengalamanmu yang nomor dua!"

   Dan Siauw-bin Lo- koai yang tiba-tiba tertawa terbahak akhirnya menjauh dan terkekeh-kekeh di kegelapan sana.

   Bun Hwi tidak tahu di mana kakek itu berada, tapi suaranya yang kian menipis dan lemah membuat dia tahu bahwa Siauw-bin Lo-koai sudah meningalkan dirinya dari tempat itu.

   Dan dia yang merasa penasaran oleh kenyataan ini tiba-tiba mengetrukkan giginya.

   Bun Hwi sudah berlari-lari cepat di pagi yang masih buta itu, dan pemuda yang "panas"

   Oleh ejekan Siauw- bin Lo-koai ini akhirnya meninggalkan dusun Cun-len dengan mata penuh gairah. Dia hendak mencari "pengalaman"

   Ini di luar dunia nelayan ini, dan kalau pengalaman itu berhasil dia dapatkan dia bertekad untuk menebus "kekalahannya"

   Ini dari si hwesio gundul.

   Bun Hwi yang merasa mendapat tantangan ini akhirnya sebentar saja lenyap dari dusun itu.

   Pergi meninggalkan kegemparan di kampung nelayan itu yang menganggap dia bisa "menghilang".

    Bun Hwi kini berada di kota Lauw-yang.

   Bekal perjalanannya yang tipis membuat pemuda itu terpaksa berputar-putar dua hari di kota ini sebelum mendapatkan pekerjaannya di restoran "Kim Hi".

   Dan pemilik restoran Lo-yaya yang menemuinya secara ramah pada hari pertama itu segera saja menarik perhatiannya.

   Bun Hwi langsung diterima dan Lo-yaya yang tertawa mendapat "pegawai"

   Baru ini segera menyuruh Bun Hwi bekerja di dapur.

   Koki kepala yang menerima Bun Hwi mula-mula menyeringai gembira melihat kedatangan anggauta baru ini.

   Tapi ketika diketahui Bun Hwi masih nol besar dalam urusan masak memasak membuat kepala koki yang gemuk pendek itu cemberut.

   Dia memerintahkan Bun Hwi untuk mencacah daging dan memotong sayur dalam pekerjaan ini.

   Tapi ketika Bun Hwi banyak Kiah salam melaksanakan perintahnya mulailah koki kepala yang bernama Bong Kui itu mengomel panjang pendek.

   Ada saja cercaannya.

   Kalau tidak masalah sayur yang dipotong terlalu besar, barangkali soal daging yang dicacah kurang halus Dan Bun Hwi yang memang masih canggung ini celakanya semakin gugup mendengar omelan-omelan Bong Kui.

   Bun Hwi yang kikuk mencoba menyesuaikan diri dengan setiap kehendak koki kepala itu Tapi karena sekarang Bong Kui menjadi galak dan suka membentak-bentak akhirnya Bun Hwi bahkan serba salah.

   Sampai suatu hari, ketika Bong Kui menyuruh anak laki-laki itu memberi gula tapi keliru dituang garam kemarahan Bong Kui melonjak.

   Bun Hwi ditendang, dan kuah daging babi yang asinnya melebihi air laut tiba-tiba dilemparkan ke tubuh Bun Hwi! Tentu saja Bun Hwi marah.

   Dan perbuatan Bong Kui yang menuang kuah panas ke tubuhnya ini kontan saja disambut "pertempuran"

   Kecil.

   Kepala koki yang gendut perutnya itu ditonjok, dan ketika koki kepala ini terjerembab tubuhnya di dalam tungku terjadilah kegaduhan yang membuat pemilik restoran turun tangan.

   Lo-yaya buru-buru memadamkan pertikaian kecil ini, dan Bun Hwi yang dicaci maki Bong Kui akhirnya ditarik ke depan.

   Bun Hwi sekarang dijadikan pelayan tamu, dan serbet serta penampan kecil yang selalu dibawa pemuda itu menjadikan Bun Hwi bergelar "Bell-boy"

   Tapi celaka.

   Pekerjaan melayani tamu inipun kiranya merupakan persoalan pula bagi Bun Hwi.

   Dia yang belum biasa bekerja di rumah makan itu seringkali dipanggil sana-sini.

   Dan para tamu yang sedikit terlambat pelayanannya itu tidak jarang memakinya dengan ucapan-ucapan kasar.

   Bahkan ada yang memanggilnya "anjing cilik"

   Segala! Maka Bun Hwi yang mulai gampang tersinggung ini sekarang menjadi kaku sikapnya.

   Dia mulai ogah-ogahan, dan Lo-yaya yang melihat sikap anak laki-laki itu mulai banyak menegur.

   Lo-yaya yang tadinya ramah tiba- tiba cemberut pula seperti Bong Kui, dan Bun Hwi yang merasakan suasana tidak nyaman ini mulai tidak kerasan.

   Apalagi ketika suatu hari pemilik rumah makan itu bahkan berani menempelengnya! Sekarang mulailah Bun Hwi sakit hati.

   Dan kalau tidak ingat dia sedang "ikut orang"

   Barang kali pukulan Lo- yaya siang tadi sudah dibalasnya, tapi Bun Hwi menahan diri.

   Dan ketika malam harinya dia beristirahat di biliknya yang kecil itu, Bun Hwi tiba-tiba mengambil pit dan tinta untuk nggambar.

   Dia ingin melampiaskan semua kemengkolannya itu lewat gambaran.

   Dan berpikir bahwa Lo-yaya pantas diberi adat maka tiba-tiba dia ingin menggambar Lo- yaya dalam keadaan dijewer! Maka jadilah.

   Bun Hwi mulai corat-coret di atas kanvas, dan ketika lukisannya jadi tampaklah wajah seorang laki-laki yang berkumis panjang seperti tikus ditarik telinganya oleh seorang anak laki-laki yang berpakaian pelayan.

   Itulah dia dan Lo-yaya! Tapi Bun Hwi yang asyik menggambar ini tiba-tiba teledor.

   Dia tidak tahu betapa seorang k perempuan tiba-tiba telah membuka pintu biliknya dan mengintai sambil tertawa ditahan.

   Dan ketika anak perempuan itu tak mampu menahan geli hatinya dan terkekeh terkejutlah Bun Hwi dari coretannya di atas lukisan.

   Kontan saja Bun Hwi berseru kaget, dan ketika dia membalikkan tubuh tertegunlah pemuda ini dari atas dipannya.

   "Nona, kau....?"

   Bun Hwi tergagap. Tapi gadis cilik itu tertawa.

   "Ya... aku, Bun Hwi. Kenapa kau tidak mengunci pintumu? Lihat, aku bisa masuk dengan mudah. Dan lukisanmu itu, siapa yang kaumaksudkan? Tampangnya seperti Lo- yaya...!"

   "Sstt....!"' Bun Hwi berbisik kaget.

   "Jangan keras- keras, nona. Nanti orang tua itu tahu!"

   "Hi-hik, kenapa. Bun Hwi? Bukankah siang tadi kau di tempelengnya?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Dari mana kau tahu, Nona?"

   Gadis cilik itu melangkah masuk. Sekarang dia mengambil lukisan itu dan dengan mata bersinar- sinar dia bertanya.

   "Bun Hwi. betulkah Lo-yaya memukulmu?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Kau belum menjawab pertanyaanku. nona... itu... itu"

   "Hm, jangan menyembunyikan sesuatu, Bun Hwi. Dan panggilanmu itu, kenapa harus nona nonaan segala? Kau tahu aku lebih suka dipanggil Mei Hong. Dan kau sudah tahu namaku. Kenapa bersikap demikian canggung? Bun Hwi, betulkah Lo-yaya siang tadi menempelengmu?"

   Bun Hwi sekarang gelagapan. Dia tidak menyangka gadis ini mencecarnya dengan pertanyaan seperti itu, dan bahwa anak perempuan ini tahu-tahu berada di dalam kamarnya membuat Bun Hwi kebingungan.

   "Nona..."

   "Hm, aku tidak mau dipanggil nona, Bun Hwi. Namaku Mei Hong!"

   Gadis itu memprotes. Bun Hwi semakin kerepotan.

   "Ya... ya, no eh adik Mei Hong! Kenapa kau malam-malam begini datang ke kamarku? Tidakkah kau tahu orang bisa bicara yang tidak-tidak tentang kedatanganmu?" Bersambung

   Jilid V SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 05 "HM, orang siapa, Bun Hwi? Lo-yaya itu?"

   "Ya... ya... atau orang tuamu juga. Ayahmu itu!"

   "Hm, justeru ayah yang menyuruhku ke sini, Bun Hwi. Dan atas permintaan ayahlah malam-malam begini aku memasuki kamarmu!"

   "Apa? Ayahmu, non... eh, adik Mei Hong?"

   Bun Hwi melenggong. Dan setelah gadis itu mengangguk terkejutlah Bun Hwi mendengar jawabannya.

   "Ya, ayahku yang membawaku ke mari, Bun Hwi. Dan beliau membawa pesan untukmu."

   Sekarang Bun Hwi terkesiap. Dia turun dari atas dipannya den ketika melihat gadis cilik itu tersenyum kepadanya Bun Hwi bertanya keheranan.

   "Adik Mei Hong, apa yang diminta ayahmu?"

   Gadis ini tertawa.

   "Kau diminta datang ke rumah, Bun Hwi. Malam ini juga!"

   "He...?"

   Bun Hwi terbelalak. Kau tidak main-main, Mei Hong?"

   Gadis itu sekarang cemberut.

   "Siapa main-main kepadamu, Bun Hwi? Apakah kaulihat aku suka berbohong?"

   "Tapi... tapi... malam-malam begini..."

   "Hi-hik, malam-malam kenapa, Bun Hwi? Memangnya kau takut datang ke rumah?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Bukan begitu..., tapi apa perlunya datang ke sana, Mei Hong? Untuk apa ayahmu memanggilku...?"

   "Hm, mana aku tahu, Bun Hwi?"

   Gadis itu bersungut.

   "Kalau tahu barangkali sekarang juga dapat kuberitahukan padamu. Sudahlah, kau mau ikut denganku, bukan? Ayah ingin menanyakan sesuatu kepadamu!"

   Dan Mei Hong yang sudah menarik lengan Bun Hwi ini cepat-cepat membuka pintu kamar dan keluar dari halaman belakang rumah makan milik Lo-yaya itu dengan tergesa-gesa.

   Sekarang Bun Hwi tidak dapat menolak.

   Dan tangannya yang ditarik gadis cilik itu tak mampu dia lepaskan.

   Mei Hong adalah satu-satunya anakperempuan yang dalam seminggu ini sudah menjadi teman baiknya.

   Karena Can-kauwsu (guru silat Can), yang menjadi ayah angkat gadis ini adalah tetangga sebelah dengan rumah makan Lo- yaya.

   Maka tidak aneh kalau mereka berdua dapat berkenalan.

   Karena Can-kauwsu yang sering menyuruh anak gadisnya itu membeli masakan di restoran "Kim-hi"

   Menjadikan mereka berdua sering bertemu muka.

   Dan dari pertemuan inilah tiba-tiba saja mereka sama- sama merasa suka.

   Bun Hwi suka karena anak perempuan itu halus sikapnya, tidak merendahkan dirinya sebagai pelayan di rumah makan itu, sedangkan Mei Hong suka kepadanya karena Bun Hwi seringkali memberikan pelayanan yang "murah"

   Kepada gadis ini dalam setiap pembeliannya! Maka jadilah mereka itu dua sahabat yang sebentar saja akrab.

   Tapi karena Bun Hwi menyadari Mei Hong dalah puteri terhormat seorang guru silat maka diapun membatasi diri.

   Tidak seperti Mei Hong yang bergaul dengannya tanpa menghiraukan segala keseganan lagi.

   Seperti malam ini umpamanya.

   Betapa dengan tidak segan-segan gadis itu mendatangi kamar Bun Hwi yang sehari-harinya bekerja sebagai pelayan itu tanpa rikuh! Mereka memang biasa saling bertemu.

   Di saat Bun Hwi bekerja.

   Di saat pemuda itu disuruh membeli ini-itu di luar ataupun kadang-kadang belanja di pasar di saat rumah makan itu menghadapi banyak tamu sampai kehabisan sayur atau bumbu-bumbu.

   Dan Mei Hong inilah yang siap mengantar Bun Hwi untuk belanja.

   Sungguh aneh! Tapi Bun Hwi yang tidak mampu menolak gadis ini untuk tidak memenuhinya akhirnya membiarkan gadis itu berbuat sesuka hatinya.

   Asal Mei Hong tidak tidak dimarahi Can-kauwsulah, pikirnya diam-diam.

   Dan sekarang, setelah mereka menuju ke rumah berpintu gerbang lebar sampailah Bun Hwi di rumah gadis cilik itu.

   Mei Hong sudah berlari-lari kecil sambil menarik lengannya, sementara Bun Hwi yang mulai berdebar memasuki halaman guru silat Can itu tampak memandang kedepan dengan hati penuh tanda tanya.

   Dia tidak tahu ada maksud apakah guru silat itu memanggilnya malam-malam begini.

   Dan Mei Hong yang sudah berlari-lari di anak tangga batu di undakan rumahnya berteriak gembira.

   "Ayah, ini Bun Hwi datang..! dan gadis cilik yang berseri mukanya ini sudah meloncat ke ruang dalam. Tapi baru dia memasuki pintu tengah tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menyongsong mereka berdua. Sebatang tombak tahu-tahu menikam dada Bun Hwi, dan Mei Hong yang kaget oleh serangan gelap itu seketika berteriak tertahan.

   "Hei...!"

   Tapi semuanya itupun terjadilah. Bun Hwi yang tidak sempat mengelak serangan gelap ini tahu-tahu sudah ditusuk mata tombak, dan begitu pemuda ini terkejut senjata panjang itupun tiba-tiba telah patah bertemu tubuhnya.

   "Krakk!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kekebalan Bun Hwi yang didapat dari kesaktian Ular Tanduk Hijau tiba-tiba bekerja secara menakjubkan dan Hei Hong serta laki-laki bertombak yang melihat patahnya senjata ini berseru heran dengan mata terbelalak.

   Laki-laki itu tertegun, sementara Mei Hong yang sudah berpaling ke penyerang gelap ini menjerit lirih sambil menghambur.

   "Ayah, kenapa kau menyerang Bun Hwi...?"

   Dan laki-laki itu akhirnya membuang sisa tombaknya. Dia tertawa dengan nada sumbang dan penyerang gelap yang bukan lain Can-kauwsu sendiri ini sudah menjura di depan Bun Hwi dengan muka masih membayangkan kekagetan kecil.

   "Bun Hwi, kau tidak apa-apa kan? Ah, maafkan aku. Hanya untuk membuktikan cerita seseorang tentang kekebalan dirimu ini aku menyerangmu secara tiba- tiba..."

   Lalu menoleh karah Mei Hong dia berkata.

   "Hong ji, ambilkan minuman untuk tamu ayahmu ini!"

   Tapi Mei Hong yang tertegun oleh perbutan ayahnya itu tampak ragu-ragu.

   "Ayah kau tidak akan menyerang Bun Hwi lagi, kan?"

   Can-kauwsu tertawa.

   "Kaukira ayahmu gila, Mei Hong? Ha-ha, biar diserang seratus kalipun temanmu ini tak mungkin roboh. Sudahlah, ayahmu masih waras dan cepat kauambil minuman untuk tamu kita ini!"

   Lalu Can-kauwsu yang memegang pundak Bun Hwi itu bertanya.

   "Bun Hwi, kau tidak apa-apa, bukan? Aku tadi hanya ingin mengujimu belaka. Maaf kalau sikapku membuat kau terkejut."

   Dan Bun Hwi yang sekarang lenyap rasa kagetnya ini memandang guru silat itu dengan mata terheran.

   "Can-kauwsu, kenapa kau menyambutku dengan cara demikian aneh? Apakah tidak terlalu berbahaya perbuatanmu itu?"

   "Ha-ha, kalau terlalu berbahaya tentu tidak mungkin kulakukan, Bun Hwi. Tapi percaya terhadap cerita seorang kenalanku maka akupun berani menyerangmu. Eh, kau tentu ingin tahu siapa kenalanku itu, kan? Nah, dia adalah orang yang sudah kaukenal. Tapi sebelum bicara tentang ini baiklah kita duduk duiu di ruang dalam..."

   Dan Can- kauwsu yang mengajak Bun Hwi memasuki ruangan dalam sudah mempersilahkan tamunya ini duduk mengitari sebuah meja.

   Sementara Mei Hong, yang percaya kembali ayahnya tidak mengganggu Bun Hwi sudah berlari ke belakang mempersiapkan minuman.

   Sekarang Bun Hwi mulai memandang hati-hati terhadap guru silat yang tinggi kurus ini.

   Dan perbuatannya yang menyerang secara gelap sedikit banyak menimbulkan semacam rasa tidak suka di hatinya.

   Tapi karena laki-laki itu adalah ayah Mei Hong diapun mencoba untuk tidak terlalu bercuriga dengan bertanya.

   "Can-kauwsu, sungguhnya apakah maksudmu menyuruh aku datang ke mari?"

   Guru silat Can tersenyum lebar.

   "Aku ingin minta bentuanmu, Bun Hwi. Sedikit bantuan yang tentu kau dapat melakukannya."

   "Ah, bantuan apa, kauwsu? Dan bagaimana kau merasa yakin aku bisa melakukannya?"

   Bun Hwi terheran.

   "Begini, Bun Hwi. Teringat cerita seorang kenalanku beberapa hari yang lalu aku ingin minta bantuanmu. Tidak sukar. Hanya soal ikan di dusun Cun-leng itu!"

   Dan Bun Hwi yang mengeluarkan seruan kaget mendengar guru silat itu menyebut-nyebut dusun Cun-leng tiba-tiba saja sudah bangkit berdiri dari atas kursinya, memotong kalimat Can-kauwsu yang belum selesai.

   "Can-kauwsu, kau tahu tentang dusun Cun-leng...?"

   Dan guru silat Can ini tertawa.

   "Secara kebetulan saja, Bun Hwi. Tapi duduklah, kita bicara baik-baik....!"

   Dan Cun Hwi ditekan pundaknya oleh guru silat itu duduk kembali dengan mata terbelalak lebar.

   Dia terkejut dan kaget mendengar guru silat itu menyinggung-nyinggung pula tentang ikan di dusun nelayan ini mendadak saja membuat mukanya berobah.

   Tapi Can-kauwsu tampaknya tenang-tenang saja.

   "Bun Hwi, kau terkejut oleh pertanyaanku ini?"

   Bun Hwi menelan ludah.

   "Tidak salah, kauwsu. Tapi dari mana kau tahu tentang dusun nelayan itu? Apakah dari..."

   "Ya, dari kenalanku itu, Bun Hwi. Pedagang ikan she Cui."

   Guru silat itu memotong, dan Bun Hwi yang lagi- lagi dibuat terkejut ini terkesiap kaget.

   "Apa... Cui-wangwe itu maksudmu, kauwsu?"

   Guru silat ini mengangguk.

   "Ya, pedagang ikan itu, Bun Hwi. Cui Lok atau Cui- wangwe yang dahulu ingin membeli Naga Lilin di dusun Kwa-chungcu!"

   "Aah...!"

   Bun Hwi terlonjak dari atau kursinya tapi Can- kauwsu yang menyentuh punggung tangannya tertawa.

   "Jangan terkejut, Bun Hwi, tenanglah. Aku masih ingin bicara banyak tentang urusan ini..!"

   Guru silat Can yang tiba-tiba menandang tajam itu mendadak bertanya lirih.

   "Bun Hwi, kau dapat membantuku dalam urusan ini, bukan? Aku ingin kau mengambil Naga Lilin itu. Maksudku, aku ingin meminjamnya sebentar untuk kemudian dikembalikan lagi!"

   Bun Hwi membelalakkan matanya.

   "Untuk apaa, kauwsu..."

   Guru silat itu terdiam. Sejenak dia tidak menjawab pertanyaan ini, seperti sukar untuk menjelaskan dengan cara jujur. Tapi guru silat yang tiba-tiba sudah tertawa itu menjawab dengan suara ringan.

   "Untuk mengobati penyakitku, Bun Hwi. Untuk menyembuhkan gejala tulang punggungku ini yang agaknya hendak rapuh..."

   Lalu guru silat Can yang tampak menyeringai dengan mata bersinar-sinar itu tiba-tiba bangkit berdiri dengan langkah terseok-seok mengambil sesuatu.

   Dia tampaknya melangkah dengan pungung sukar diiuruskan, tapi Bun Hwi yang awas ini tidak dapat ditipu.

   Gerakan orang .....??? namun Can-kauwsu yang sudah kembali membawa sesuatu itu membuat dia bersikap acuh.

   "Apa itu, kauwsu?"

   Guru silat ini tertawa sumbang.

   "Potongan sirip Naga Lilin, Bun Hwi. Dahulu ikan itu sudah kudapatkan di tengah sangai tapi karena aku tidak pandai berenang maka diapun lepas lagi dari tanganku."

   "Ah, kau pernah mendapatkan ikan itu kauwsu?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Ya, sekitar beberapa bulan yang lalu, Bun Hwi. Naga Lilin ada sepasang. Yang kutangkap dahulu adalah yang betina. Tapi yang diperlukan sebenarnya kedua-duanya!"

   Bun Hwi sekarang tertegun.

   Dia merasa heran dan aneh bahwa guru silat Can ini tampaknya menaruhperhatian demikian kepada ikan yang pernah didapat Hok Sui itu, dan bahwa guru silat ini tampaknya menyembunyikan sesuatu yang tidak dikatakan secara jujur membuat Bun Hwi tiba-tiba menjadi berhati-hati sekali.

   Firasatnya menunjukkan bahwa guru silat itu berbohong.

   Tapi Bun Hwi yang tidak tahu di mana rahasia itu disembunyikan akhirnya memandang seja kepada guru silat ini.

   Sementara Mei Hong, yang lama di belakang memperhatikan.

   "Bun Hwi, kau tidak marah kepada ayah, bukan?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Ayahmu tidak berbuat apa- apa, adik Hong. Kenapa aku harus marah kepadanya?"

   "Tapi tadi dia menyerangmu, Bun Hwi! Dan kekebalanmu itu, ih... dari mana kau dapat?"

   Gadis ini meletakkan penampan, memandang penuh ketakjuban kepada Bun Hwi dan tampaknya kagum bukan main oleh kehebatan pemuda ini.

   Sementara Bun Hwi yang merasa kikuk oleh pertanyaan ini menjadi bingung untuk menjawab.Tidak mungkin dia akan berterus terang, apalagi membuka rahasia di depan Can-kauwsu, guru silat yang mulai membuat dia menaruh curiga itu.

   Tapi Can- kauwsu yang rupanya maklum akan kesukaran Bun Hwi ini sudah tertawa.

   "Mei Hong, untuk apa kau tanya-tanya kekebalan orang? Tidakkah kau tahu itu merupakankan rahasia pribadinya? Sudahlah, kalau bukan disebabkan kesaktian sinkangnya barangkali temanmu ini pernah makan buah ajaib atau sesuatu yang luar biasa beberapa waktu yang lalu. Atau, he-he... barangkali saja berkat Naga Lilin!"

   Mei Hong membelalakkan mata.

   "Naga Lilin, ayah? Binatang apa itu?"

   Can-kauwsu menyeringai lebar.

   "Sejenis ikan yang amat langka, Mei Hong. Ikan yang baru-baru ini didapat Bun Hwi di dusun Cun-leng!"

   Mei Hong menoleh kaget.

   "Eh, benarkah Bun Hwi....?"

   Bun Hwi tersenyum pahit.

   "Tidak begitu, Mei Hong. Tapi apa yang dikatakan ayah itu benar sebagian kecil saja. Ikan itu memang betul didapat di dusun Cun- leng, tapi yang mendapatkannya bukanlah aku, tapi orang lain. Dan kalau benar Naga Lilin mempunyai khasiat mengebalkan orang inilah aku tidak tahu."

   "Ha-ha, kau rupanya segan berterus terang, Bun Hwi. Tapi tidak apalah. Aku juga tidak akan mendesakmu. Sekarang, bagaimana dengan permintaanku tadi, Bun Hwi, dapatkah kau menolongku?"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Batangkali tidak, kauwsu. Karena Naga Lilin yang kau minta tadi sesungguhnya memang bukan milikku. Dan lagi..."

   Can-kauwsu tiba-tiba memotong.

   "Aku tidak mengatakan minta, Bun Hwi. Tapi hanya pinjam sebentar saja!"

   "Ah, inipun agaknya sama saja, kauwsu. Karena baik diminta ataupun dipinjam kukira kedua-duanya tidak mungkin terpenuhi."

   "Mm, kenapa, Bun Hwi....?"

   Suara Can-kauwsu tiba- tiba menjadi berat.

   "Karena Naga Lilin sudah tidak berada di tempatnya lagi, kauwsu. Binatang itu telah dilepaskan kembali ke dalam sungai!"

   "Apa?"

   Guru silat ini mendadak meloncat bangun.

   "Binatang itu dilepaskan iagi ke dalam sungai, Bun Hwi? Kau tidak gila mengatakannya?"

   Mei Hong tiba-tiba bangkit berdiri pula.

   "Ayah, kenapa kau bicara kasar kepada Bun Hwi? Tidakah kau ingat Bun Hwi datang ke mari atas undanganmu?"

   Guru silat Can tiba-tiba sadar. Dengan terburu-buru dan penuh penyesalan dia menepuk dahinya, lalu tertawa dengan suara serak dia berkata kepada pemuda ini.

   "Aih, maaf.... terkejut dan kaget oleh keteranganmu itu aku jadi lupa diri, Bun Hwi. Harap kau tidak masukkan di hati. Maaf... maaf...."

   Dan guru silat yang sudah duduk kembali di atas kursinya ini sekarang menyeringai dengan sikap gugup.

   Dia tampaknya kecewa dan marah mendengar Bun Hwi mengatakan Naga Lilin dilepas kembali ke dalam sungai.

   Tapi tertahan oleh kehadiran putrinya di situ membuat guru silat ini tampaknya berhasil menekan semua kekecewaan di hatinya.

   Sementara Bun Hwi, yang melihat gerak-gerik mencurigakan dari sikap ayah Mei Hong ini tiba-tiba saja berkerut keningnya.

   Dia melihat sinar kekecewaan yang amat besar pada pandangan mata guru silat ini.

   Dan bahwa laki-laki tinggi kurus itu tampaknya menekan kemarahannya membuat dia mendapat firasat lebih jelek.

   Agaknya guru silat ini menyimpan sesuatu yang amat dirahasiakan, dan dia yang menjadi semakin berhati-hati menghadapi guru silat itu tiba- tiba tidak ingin lebih lama lagi banyak bicara di tempat itu.

   Bun Hwi sudah bangkit berdiri, dan suaranya yang tawar menyusul tindakannya yang kaku.

   


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Pohon Kramat Karya Khu Lung

Cari Blog Ini