Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Terakhir 4


Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Bagian 4



Pertarungan Terakhir Karya dari Saini KM

   

   Raden Madea berdiri di dekatnya, memerhatikannya seperti keheranan.

   "Bacalah mantra-mantra pengusir siluman, mungkin Saudara kerasukan,"

   Kata calon puragabaya itu.

   Banyak Sumba bangkit, lalu menyerangnya dengan kaki.

   Akan tetapi, dengan mudah kakinya ditepuk calon puragabaya itu dengan kedua tangannya yang halus dan lemah, seolah- olah ia mengibas sehelai saputangan.

   Banyak Sumba sempoyongan oleh tangannya sendiri yang terbuang.

   Akan tetapi, ia merasa senang karena telah membaca beberapa hal yang tidak akan pernah dibacanya dalam buku ilmu keperwiraan mana pun.

   Sambil terengah-engah, ia maju.

   Ia akan mempergunakan keuntungan yang dimilikinya, yaitu tubuhnya yang besar.

   Ia akan mencoba mendesak calon puragabaya itu ke kedudukan yang berbahaya hingga ia akan terpaksa mengeluarkan ilmu yang dirahasiakannya.

   Ia mendekat, tetapi Raden Madea menghindar dengan melompat ke belakang.

   Dengan sekali lompat saja, sekurang-kurangnya tiga langkah terbentang antara tempat berdiri semula.

   Banyak Sumba mengejarnya sekali lagi.

   Raden Madea melompat, sekarang makin jauh.

   Banyak Sumba berlari dan kadang-kadang melompat.

   Raden Madea menghindar, menuju arah padepokan.

   Banyak Sumba mulai cemas, kalau-kalau usahanya akan menghasilkan sedikit.

   Maka, dipercepat-lah pengejarannya.

   Karena ia lebih hafal jalan di semak-semak itu, akhirnya ia dapat mencegat Raden Madea.

   Raden Madea terpojok dengan di belakangnya semak yang tinggi.

   Banyak Sumba beranggapan bahwa sekarang calon itu terpaksa melawan.

   Ia menyerangnya.

   Akan tetapi, Raden Madea melompati semak itu dan ketika kakinya terkait, ia berjungkir dan tiba di seberang semak itu dengan berdiri mantap.

   "Barangkali Saudara sudah gila,"

   Kata Raden Madea di seberang semak.

   "Kubunuh kau,"

   Kata Banyak Sumba, melompati semak dan tiba di hadapan Raden Madea. Raden Madea memandangnya dengan bingung dan heran.

   "Serulah ayah dan ibumu karena sebentar lagi nyawamu akan terbang ke Buana Larang,"

   Kata Banyak Sumba.

   Ia menangkap baju Raden Madea, menariknya ke depan dengan maksud merangkulnya, lalu melipatnya bagai seekor ular besar meremukkan mangsanya.

   Hal itu dilakukannya untuk memancing perlawanan belaka dan tidak untuk membuat calon itu cedera.

   Akan tetapi, begitu berada dalam jarak pukul, tiba-tiba calon puragabaya itu memukul ulu hatinya.

   Tampaknya seperti perlahan, tetapi pandangan mata Banyak Sumba menjadi gelap dan napasnya hampir terhenti.

   Waktu ia sempoyongan dan jatuh, satu hal terlintas dalam pikirannya, yaitu bahwa ilmu pukulan yang dimilikinya belum apa-apa dibandingkan dengan ilmu pukulan yang dikuasai calon puragabaya itu.

   Ia menyadari bahwa ia merobohkan lawan sampai pingsan dengan pukulan-pukulan yang mempergunakan banyak tenaga.

   Calon puragabaya itu melakukannya seperti sambil bermain-main.

   Dengan pikiran itu, ia segera bangkit, lalu kembali pasang kuda-kuda.

   Ia melihat ke arah calon puragabaya itu.

   Ternyata, lawannya tidak bersiap-siap, ia berdiri biasa.

   "Kalau nanti saya diadili karena saya melawan Saudara,"

   Kata Raden Madea.

   "bersedialah menjadi saksi dan berkatalah benar. Katakanlah bahwa saya terpaksa melawan karena Saudara bermaksud buruk terhadap saya."

   Banyak Sumba mendekati Raden Madea dengan kaki kiri di belakang kukuh tertanam pada bumi, sedangkan kaki kanan mengangkang.

   Ini memberi dua keuntungan dalam menghadapi Raden Madea yang berdiri tegak di depannya.

   Kaki kiri maupun kaki kanan Banyak Sumba akan dapat menyerang dengan leluasa.

   Serangan itu dilakukannya.

   Mula- mula, kaki kiri Banyak Sumba menderu, tetapi dengan mudah ditepuk oleh Raden Madea.

   Kaki kanan yang menyusul, tidak beruntung pula.

   Kaki kanan yang mempergunakan tenaga besar ini tidak ditepuk ke bawah, tetapi ke samping.

   Tubuh Banyak Sumba mengambang sejenak, kehilangan keseimbangannya.

   Dengan suatu sentuhan, terjatuhlah ia.

   Akan tetapi, begitu jatuh, Banyak Sumba bangkit dan bersiap lagi karena takut mendapat serangan.

   Ternyata, Raden Madea tidak menyerangnya.

   Ia berdiri saja sambil memandang Banyak Sumba dengan keheranan.

   "Bacalah mantra, Saudara. Saya yakin, Saudara akan dikeluarkan dari perguruan. Sudah bersediakah Saudara diusir dari perguruan yang sangat baik itu?"

   Tanya Raden Madea.

   Banyak Sumba tidak berkata apa-apa.

   Ia maju.

   Dalam hatinya, ia menyiapkan siasat lain.

   Kalau serangan terhadap tubuh dari dekat dan dari jauh tidak mempan, barangkali calon puragabaya ini harus diserang pada bagian-bagian anggotanya yang lemah.

   Ia akan berusaha menyerang jari tangan calon itu atau pergelangan serta sikutnya.

   Ia maju dengan pandangan ke arah lawannya.

   Ketika mereka berdekatan, tangan Banyak Sumba segera menangkap kedua tangan lawan.

   Banyak Sumba segera memutar tangan Raden Madea yang kanan.

   Aneh, tangan itu berputar, tetapi tak tampak bahwa Raden Madea kesakitan.

   Ketika ia keheranan itulah, tiba-tiba kaki kanannya yang maju ke depan disapu Raden Madea.

   Sekali lagi, Banyak Sumba terbaring di semak- semak.

   Ia bangkit dan segera menghambur, tetapi ia menubruk udara kosong dan dengan tunggang langgang ia terjatuh menuruni tebing.

   Tangan kirinya terkilir dan untuk beberapa lama, ia tidak dapat bangkit karena kesakitan.

   Ketika ia bangkit dan melihat ke bawah, tampaklah panakawan Raden Madea berlari-lari mendaki, diiringi hampir seluruh siswa Padepokan Sirnadirasa.

   Lari! demikian terlintas dalam pikiran Banyak Sumba.

   Ia pun berlari, tetapi sambil membungkuk, menyembunyikan diri.

   "Ke timur! Ke timur!"

   Seru panakawan Raden Madea.

   Suara semak-semak yang terlanda dan diterobos terdengar dari bawah.

   Banyak Sumba membelok, mendaki gunung.

   Ia menyadari, sebagai orang yang berada di tempat yang lebih tinggi dan semak-semaknya lebih pendek, sukar sekali baginya untuk bersembunyi.

   Itulah sebabnya, ia harus menjauhkan diri secepat-cepatnya dan masuk hutan yang ada di sebelah timur atau selatan.

   Ia berlari terus, walaupun agak sempoyongan, karena tangan kirinya yang terkilir mulai kesemutan dan ngilu.

   Ia terus berlari, berbelok-belok, dan berusaha menyembunyikan diri sebelum mencapai hutan.

   Dari bawah terdengar seruan-seruan.

   Napasnya sendiri berdengus-dengus dan mulai tersengal-sengal.

   Pandangannya kabur oleh keringat yang turun dari dahinya.

   Ia terus berlari.

   Pada suatu ketika, kakinya tersandung akar, ia terjatuh berguling-guling, tangan kirinya tertindih dan ia mengaduh.

   Betapapun sakitnya, ia bangkit lagi dan terus berlari.

   Ia tahu bahwa kalau tertangkap, ia akan mendapat malapetaka besar.

   Siapa tahu ia akan dibunuh.

   Itulah sebabnya, ia harus berlari.

   Akhirnya, pohon-pohon tinggi mulai tampak.

   Ia makin mempercepat larinya.

   Ketika ia mulai masuk hutan, hatinya mengucapkan doa syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah melindunginya.

   Dalam hutan itu, ia akan lebih mudah meloloskan diri.

   Ia memperlambat larinya, sambil mengurut-urut pergelangan tangan kirinya yang mulai membengkak.

   Ia terus beriari, makin lama hutan makin lebat dan udara makin sejuk.

   Akhirnya, ia berjalan, walaupun telinganya terus-menerus mendengarkan setiap suara, waspada terhadap kemungkinan adanya pengejar yang membuntuti.

   Akhirnya, karena segalanya sunyi, kecuali suara beberapa ekor burung yang bernyanyi di atas dahan-dahan kayu yang tinggi dan rindang, ia pun menjatuhkan diri di atas daun-daun kering di sela-sela semak.

   Ia hampir kehabisan napas, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, sementara itu pergelangan tangan kirinya makin berdenyut juga.

   Ia menarik tangannya itu.

   Ketika rasa sakitnya menusuk, teringatlah ia kepada Jasik.

   Seandainya Jasik ada di dekatnya, panakawannya yang setia dan sayang kepadanya itu akan mengurutnya.

   Dalam waktu singkat, akan pulihlah tangannya itu.

   Ia ingat bahwa berulang-ulang ia terkilir dan Paman Wasis dengan mudah membetulkan tulang- tulang atau urat-uratnya yang salah tempat.

   Akan tetapi, karena biasa menggantungkan diri pada pertolongan Jasik, sekarang ia tidak tahu bagaimana harus membetulkan tangannya sendiri.

   Ia hanya merasakan sakit amat sangat yang hampir menghentikan napasnya.

   Tiba-tiba, suara berisik terdengar.

   Ia segera bangkit dan lari merunduk-runduk menjauhi suara itu sambil makin dalam memasuki hutan belantara.

   Setelah merasa aman, ia berhenti dan duduk di akar sebatang pohon yang besar.

   Kembali ia mencoba mengurut-urut tangannya sambil mengerang-erang.

   Kemudian, terpikir olehnya bahwa tulang pergelangan tangan kirinya yang bengkak itu tidak tepat letaknya, tidak seperti yang kanan.

   Ia mencoba mengubah kedudukan tulang tangannya yang tidak tepat itu.

   Ketika rasa sakitnya amat sangat, ia mengaduh dengan keras.

   Dari arah bawah terdengar suara berisik ke arahnya.

   Ia bangkit dan berlari dengan cepat, tetapi berusaha tidak menimbulkan suara.

   Tiba-tiba, kakinya kehilangan pijaknya.

   Ia tidak melihat bahwa di samping kanannya terdapat jurang.

   Ia terjatuh dan berusaha secara naluriah menangkap pegangan.

   Tangan kanannya menggapai, tangan kirinya yang sakit menangkap cabang semak.

   Bersamaan dengan tubuhnya yang mulai bergantung, berbunyilah pergelangan tangannya itu.

   Rasa sakit menusuk seluruh tubuhnya.

   Banyak Sumba memejamkan mata sambil menangkap cabang lain dengan tangan kanannya.

   Air matanya keluar karena kesakitan yang amat sangat.

   Akan tetapi, terasa olehnya bahwa betapapun masih sakit, tangan kirinya mulai mereda sakitnya.

   Ia melihat ke tangan kirinya.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di bawah bengkaknya, ia dapat menduga bahwa tulang-tulangnya sudah kembali pada tempatnya semula.

   "Terus, ke atas!"

   Terdengar suara di bibir jurang.

   "Saya lihat ia kemari."

   "Tapi ia tidak ada di sini, tentu di tempat lain,"

   Kata temannya.

   "Ini ada bekasnya."

   Banyak Sumba menahan napasnya sambil berdoa.

   Kalau saja ada orang yang melihat ke dalam jurang, siapa tahu ia akan ditemukan.

   Dan membunuh orang yang berada di dalam kedudukan seperti dia tidaklah sukar.

   Lemparkanlah batu yang cukup besar dan ia akan jatuh bersama batu itu ke dalam jurang.

   Itulah sebabnya, ia berdoa, memohon lindungan Sang Hiang Tunggal.

   Suara-suara makin menjauh.

   Setelah segalanya sunyi kembali, Banyak Sumba bergerak, melihat ke dalam jurang.

   Ternyata, jurang itu dalam sekali.

   Dasarnya tidak kelihatan karena ditutupi pohon-pohon yang besar.

   Ia memejamkan matanya, lalu mulai mempergunakan tangan kanan dan kedua belah kakinya untuk menaiki tebing itu.

   Kadang-kadang, ia mempergunakan giginya untuk berpegangan.

   Kalau keadaan sangat berbahaya, ia terpaksa mempergunakan tangan kirinya, walaupun sambil mengerang-erang kesakitan.

   Kalau di atas terdengar berisik, ia menghentikan usahanya sambil menahan napasnya.

   Ketika sunyi mulai menguasai hutan, ia mulai lagi merangkak ke atas.

   Akhirnya, tiba juga ia di bibir jurang, walaupun seluruh tenaganya terasa telah meninggalkan tubuhnya.

   Maka, berbaringlah ia di sana untuk beberapa lama.

   Setelah napasnya pulih kembali, ia bangkit.

   Sambil mengendap-endap, ia berjalan tak tentu arah.

   Entah sudah berapa lama ia berjalan.

   Ia tidak dapat mengira-ngira panjangnya waktu.

   Matahari sudah berada di puncak langit, dahaga mulai membakar dadanya.

   Ia duduk di bawah sebatang pohon sambil mengurut-urut tangan kirinya yang bengkak.

   "Saudara Sumba, menyerahlah!"

   Tiba-tiba terdengar suara Raden Girilaya. Banyak Sumba segera berdiri dan bersiap untuk berlari. Ternyata, di sekelilingnya sudah berdiri para siswa padepokan.

   "Saya sungguh-sungguh prihatin dan bersedih hati karena perbuatan Saudara yang tidak saya mengerti. Sungguh saya tidak mengerti,"

   Kata Raden Girilaya.

   "Saudara saya hormati, saya jadikan teladan, tetapi ternyata Saudara berjiwa kerdil. Sekarang, menyerahlah. Kami akan memperlakukan Saudara baik-baik,"

   Katanya, pada wajahnya terbayang kesedihan dan kebingungan.

   Hampir saja Banyak Sumba menyerahkan diri ketika ia melihat kesedihan terbayang di wajah yang mengingatkannya kepada Nyai Emas Purbamanik.

   Akan tetapi, tiba-tiba terngiang dalam hatinya pelajaran Paman Wasis.

   "Kalau dikeroyok, berusahalah supaya lawan tidak mengurung Raden. Rencanakanlah ke mana Raden akan melarikan diri atau mencari kedudukan lain yang lebih baik. Seranglah lawan yang Raden anggap paling kuat!"

   Kenangan pada pengajaran Paman Wasis menyalakan matanya kembali. Sifat keras hatinya tumbuh lagi, keberanian berkobar. Ia berdiri tegak, lalu berkata.

   "Saya sudah meramalkan bahwa Saudara-saudara akan menyesali perbuatan saya. Akan tetapi, saya tidak menyesal karena perbuatan itu saya lakukan untuk tujuan mulia yang tidak dapat saya jelaskan kepada Saudara-saudara. Sebagai seorang kesatria, saya tidak boleh menyerah karena dengan demikian, berarti saya tidak yakin lagi kemuliaan cita-cita yang saya junjung. Oleh karena itu, tangkaplah saya,"

   Kata Banyak Sumba.

   "Saudara Sumba, Saudara telah melanggar kesatriaan Saudara, yaitu dengan menyerang calon puragabaya. Saudara hanya dapat mempertahankan kesatriaan Saudara dengan mengakui kesalahan Saudara. Pengakuan kesalahan itu hanya dapat Saudara lakukan dengan perbuatan, yaitu dengan menyerahkan diri dan meminta maaf serta bersedia dihukum,"

   Kata Raden Girilaya dengan nada sedih yang keluar dari lubuk hatinya.

   "Saudara Sumba, bacalah mantra-mantra, sadarlah"

   Ujar Raden Girilaya dengan sedih.

   "Pikiran saya jernih, saya tidak gila. Kakanda.."

   Ia akan mengatakan bahwa Kakanda Jante Jaluwuyung juga disebut gila sebelum dibunuh dan ia tidak mau diperlakukan demikian.

   Ia tidak berkata lagi, ia bergerak, bersiap siaga.

   Para pengurung bergerak mengecilkan kurungannya, kecuali di belakang Banyak Sumba yang terhalang oleh sebatang pohon besar.

   "Saudara Sumba.."

   Banyak Sumba maju, mendekat ke arah Ginggi yang terdekat.

   Itu hanyalah pancingan.

   Ia tahu bahwa yang terkuat di antara mereka adalah Raden Girilaya, tetapi ia harus menipu mereka.

   Kurungan makin ketat.

   Banyak Sumba merasa, tangan kirinya berdenyut perlahan-lahan.

   Ia tahu bahwa ia akan repot sekali dengan mempergunakan tangan itu.

   Ia harus memercayakan nasibnya terutama pada kedua belah kakinya.

   Ia menghambur ke arah Ginggi yang segera menghindar.

   Tanpa mempergunakan matanya, Banyak Sumba dapat meramaikan bahwa Raden Girilaya bergerak ke depan hendak menangkapnya, ketika ia berpura-pura menyerang Ginggi.

   Banyak Sumba mendengar suara gerakan itu.

   Tanpa membalikkan badannya, ia menendang dengan kaki kirinya ke arah suara itu.

   Tendangan yang keras menemukan sasaran yang tidak menduga.

   Gedebuk suara tendangan diikuti dengan suara tubuh jatuh di atas semak-semak.

   Sambil berteriak, Banyak Sumba melompat ke arah tempat lowong yang ditinggalkan oleh Raden Girilaya yang terbaring di dalam semak dan mencoba bangkit.

   Dua orang mencoba mencegatnya, tetapi tangan kanan dan kaki kiri Banyak Sumba berdesing ke arah mereka.

   Banyak Sumba berlari berbelok-belok, menyelinap mengendap.

   Tiba-tiba, Kunten sudah berdiri di hadapannya sambil berteriak-teriak.

   "Di sini! Di sini!"

   Banyak Sumba pura-pura kembali melarikan diri.

   Akan tetapi, ketika didengarnya suara Kunten mengejarnya, ia segera berbalik mengirimkan tendangan ke muka Kunten yang kurang waspada.

   Kunten jatuh ke samping, ke semak.

   Banyak Sumba berbelok.

   Di sekelilingnya ia melihat semak-semak bergerak dan pakaian hitam berkelebatan.

   Tiba-tiba, dari dalam semak, melompatlah seseorang dan melibat kakinya.

   Banyak Sumba jatuh berjungkir.

   Akan tetapi, karena ia melindungi tangan kirinya, tangannya itu tidak tertindih.

   Begitu ia bangkit dengan mempergunakan tangan kanannya, sebuah tendangan menuju mukanya.

   Ia sempat menghindar dan menjatuhkan diri bergelundung ke bawah lereng Ketika ia berdiri, sebuah tinju mendesing dan mengenai pundak kanannya.

   Ia mempergunakan kaki kanan untuk merobohkan penyerang yang kemudian terpental dan berguling-guling di lereng yang semaknya pendek itu.

   Banyak Sumba berbalik karena kalau turun dari gunung, ia akan menuju padepokan.

   Dari atas, seseorang berlari memburunya.

   Banyak Sumba membelok ke sebelah timur.

   Semak-semak bergerak sekelilingnya.

   Mereka mencegat, pikirnya.

   Ia membelok mendaki.

   Galih berdiri di hadapannya, siap.

   Banyak Sumba membelokkan badannya seolah-olah akan berlari ke kiri.

   Galih melompat ke sebelah kiri, hendak mencegatnya.

   Banyak Sumba menyepak dengan kaki kirinya ke arah itu.

   Galih menghindar, tetapi karena kakinya tersangkut akar, walaupun tidak kena tendangan, Galih terjatuh berguling-guling ke bawah.

   Tiba-tiba, orang mencegatnya dari kiri dan kanan, serempak keluar dari dalam semak.

   Banyak Sumba yang sudah kelelahan menyerusuk ke sebelah kanan sambil memukul dengan pinggir tangan kanannya.

   Pukulan itu tertangkis, tetapi berat badan Banyak Sumba melanggar orang itu.

   Ketika mereka jatuh, seseorang menangkap pinggang Banyak Sumba.

   Banyak Sumba mengibaskan tubuhnya yang besar dan berat, lalu menggelundungkan diri ke bawah.

   Sementara itu, tangan kanannya mencari-cari jari orang yang memegang pinggangnya.

   Ia membuka sebuah jari penangkapnya, lalu berusaha berdiri, tetapi kakinya ditangkap lawan.

   Ia mempergunakan kaki kiri menyepak pundak lawan yang berada di tempat yang lebih rendah di lereng bersemak itu.

   Ia bangkit dan sadar, para pemburu telah mengurungnya.

   Ia hampir berputus asa karena ia sudah telalu lelah.

   Dengan keputusasaannya itu, timbullah keberanian yang nekat.

   Dengan teriakan, ia berlari menuju salah seorang penge-pung yang berdiri di sebelah kirinya.

   Tampak Hariang yang ditujunya gentar, ia berpaling ke kiri dan ke kanan.

   Ketika itulah, Banyak Sumba membelok, menyerang orang yang berdiri di samping Hariang, beberapa langkah di dekat pengepung itu.

   Pukulan tangan kanan yang dipelajarinya dari si Gojin menghantam pengepung itu yang kemudian tidak bangkit lagi.

   Banyak Sumba berlari terus menuju ke timur, ke hutan lebat.

   -ooo00dw00ooo- Bab Hampir Tersesat Matahari telah miring ke barat ketika napasnya seolah-olah hampir menyumbat tenggorokannya.

   Ketika itulah, ia menghentikan larinya, lalu sekali lagi menjatuhkan diri dalam semak-semak.

   Telinganya mendengarkan, kalau-kalau suara pengejar itu mendekat, walaupun ia tahu, tidak akan dapat lari lagi seandainya mereka mengejarnya.

   Ia berbaring saja, seluruh tubuhnya gemetar karena kelelahan.

   Akan tetapi, tidak didengarnya suara apa-apa, selain suara angin dan burung-burung.

   Itulah sebabnya, ia berbaring berdiam diri, merentangkan badan seenak-enaknya untuk mengembalikan tenaga.

   Entah berapa lama ia berbaring demikian, kemudian ia merasa sangat dahaga dan lapar.

   Banyak Sumba duduk, lalu melihat ke atas pohon, mencari buah-buahan yang mungkin dapat dimakannya.

   Akan tetapi, pohon-pohonan di tempatnya berhenti itu umumnya tidak berbuah.

   Ia bangkit dan dengan hati-hati mengawasi sekelilingnya, kemudian berjalan sambil merunduk.

   Tiba-tiba, didengarnya suara burung kutilang.

   Ia merasa gembira karena adanya burung-burung itu berarti ada buah-buahan.

   Ia terus berjalan menuju suara burung-burung kutilang dan kucica yang makin ramai terdengar.

   Tak lama kemudian, terlihat olehnya bagian hutan yang terbuka, yang ditumbuhi semak-semak harendong, pohon-pohon duwet, dan pohon buah-buahan kecil lainnya.

   Ia sadar bahwa daerah itu pernah didatangi orang-orang yang berhuma, itulah sebabnya ia harus berhati-hati.

   Dengan melihat ke kiri ke kanan dan sekelilingnya, ia mulai memetik buah-buahan yang ranum, lalu memakannya.

   Banyak Sumba tersenyum sendiri, teringat akan masa kanak-kanaknya di wilayah Medang.

   Ketika itu, ia sering naik si Dawuk pergi ke luar tembok kota, mengembara di padang-padang dan semak-semak, untuk menikmati buah- buahan kecil yang sekarang dimakannya sebagai makanan utama.

   Tiba-tiba, ia tertegun.

   Ia teringat bahwa Jasik akan menunggunya.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Apakah Jasik sudah melarikan diri atau ditangkap? Banyak Sumba termenung sejenak, kemudian diputuskannya agar pada hari itu juga, ia menemui Jasik.

   Akan tetapi, jalan mana yang harus ia lalui? Ia yakin bahwa segala jalan menuju ke Kutabarang dan Kutawaringin timur akan tertutup oleh para siswa yang mengepungnya.

   Mungkin, sekarang para jagabaya telah diberi tahu dan diminta untuk menangkapnya.

   Banyak Sumba termenung.

   Akhirnya, diputuskannya untuk mencoba menerobos para pengepung, lalu menemui Jasik.

   Ia kembali memasuki hutan yang baru ditinggalkannya, terus berjalan.

   Hutan makin lama makin lebat.

   Ia kembali mencari buah-buahan kecil, tetapi suara burung kutilang tidak didengarnya.

   Makin lama, hutan yang dimasukinya makin tidak dikenalnya.

   Ia mencoba melihat matahari, tetapi tidak dapat memastikan dari arah mana ia dapat melihat matahari.

   Ia mengira akan menemukan arah kembali kalau matahari telah berada di atas bukit.

   Akan tetapi, hal itu berarti bahwa ia akan kemalaman.

   Itulah sebabnya, ia berjalan terus.

   Kemudian, hutan bertambah lebat.

   Matahari tidak dilihatnya lagi, ternyata ia tersesat.

   Ketika kakinya sudah tidak mau dilangkahkan lagi, ia duduk termenung.

   Manakah yang lebih sial, ditangkap oleh para siswa padepokan atau tersesat di dalam hutan yang belum pernah diinjak manusia? Tapi bukan itu masalahnya, yang penting ia harus menemukan jalan keluar.

   Ia pun bangkit dan kembali berjalan.

   Matahari bertambah condong.

   Akan tetapi, ia tidak dapat melihatnya, di bawah kerindangan pohon yang besar- besar itu.

   Banyak Sumba hanya dapat melihat cahaya, tetapi ia tidak tahu dari mana sumber cahaya itu.

   Ia sering tidak dapat melihat cahaya sama sekali, hutan yang lebat itu remang-remang belaka.

   Karena terasa perjalanan semakin berat, kakinya sudah tidak dapat dilangkahkan lagi.

   Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari Jasik keesokan harinya.

   Ia pun mencari tempat beristirahat.

   Ia tengadah, mencari pohon yang dapat dijadikannya tempat menginap malam itu.

   Setelah dilihatnya sebatang yang agak berjauhan letaknya dengan yang lain, ia mulai memanjat pohon itu.

   Akan, tetapi, perbuatan itu tidak mudah dilakukannya.

   Tangan kirinya hampir tidak dapat dipergunakannya, setiap pergelangan itu meregang, rasa sakit menusuk hingga ke pundaknya.

   Akan tetapi, dengan susah payah, akhirnya dicapainya juga dahan yang dapat dijadikannya tempat beristirahat.

   Ia duduk di atas dahan itu seperti di atas punggung kuda, kepalanya diletakkan, seperti meletakkan kepala di leher kuda, di atas surainya.

   Sementara itu, ikat pinggangnya yang terdiri dari kain hitam yang panjang dibelitkan ke batang pohon dan diikatkannya ke pinggangnya agar kalau tertidur, ia tidak jatuh.

   Karena lelahnya, tak lama kemudian, ia pun tertidur.

   Ia baru terbangun ketika didengarnya suara seperti guntur yang menggetarkan isi hutan itu.

   Ia membuka matanya, terkejut.

   Sekelilingnya sudah gelap dan ketika ia melihat ke bawah, berpasang-pasang mata berwarna hijau memandangnya, sedangkan tubuh-tubuh yang besar dan belang, membayang kehitaman di malam remang-remang itu.

   Ia bersyukur telah memilih pohon yang tinggi dan kecil, hingga raja-raja hutan itu tidak dapat mencapainya.

   Tiba-tiba, ia terkejut karena terdengar jeritan babi hutan tidak jauh dari tempat itu.

   Mendengar jeritan babi hutan itu, raja-raja hutan sebagian menyelinap, meninggalkan tempat itu, sebagian lagi tetap berdiri seraya memandang seolah-olah menunggu ia turun.

   Akhirnya, Banyak Sumba tidak peduli.

   Ia memejamkan matanya kembali, setelah mempererat ikat pinggangnya.

   Malam pun berlalu dan ia hanya beberapa kali terbangun karena jeritan binatang yang menjadi mangsa binatang buas atau karena aum binatang-binatang buas yang sedang membunuh mangsanya.

   KEESOKAN harinya, ia terbangun di saat fajar, waktu burung-burung mulai bernyanyi.

   Begitu ia tersadar, begitu dilepaskannya ikal pinggangnya, lalu ia menuruni pohon tempatnya bermalam.

   Ia bergegas dengan tekad mencari jalan untuk mengunjungi tempat Jasik seharusnya menunggu.

   Berulang-ulang didengarnya gemersik daun-daun semak, berulang-ulang ia berhenti dan mendengarkan suara itu dengan penuh kecurigaan.

   Mungkinkah ia masih dikejar para siswa padepokan? Ia berjalan terus, tetapi tidak tenang seperti saat-saat sebelumnya.

   Hutan makin lama makin lebat juga, pohon- pohon makin lama makin besar.

   Bahkan, mulai tampak pohon- pohon yang batangnya sebesar-besar tubuh kerbau.

   Tak lama kemudian, tampak pohon yang lebih besar dan lebih tinggi.

   Sementara itu, semak-semak di bawahnya mulai rapat hingga Banyak Sumba tidak lagi dapat menembusnya.

   Akhirnya, Banyak Sumba berhenti berjalan, kemudian beristirahat sambil berpikir.

   "Walaupun menuju ke utara, kalau hutan bertambah lebat, berarti menjauhi dunia manusia dan mulai memasuki dunia binatang-binatang buas dan para siluman,"

   Demikian bisik hati Banyak Sumba.

   Ia memutuskan untuk kembali.

   Agar cepat menuju tempat semula, ia bermaksud menuruti jalan- jalan binatang yang banyak bersimpang siur dalam semak- semak.

   Sewaktu beristirahat itu, terpikir pula olehnya untuk memiliki senjata, untuk melindungi dirinya terhadap binatang-binatang yang menyerangnya.

   Badik yang tersisip dalam ikat pinggangnya terlalu kecil untuk melawan babi hutan, apalagi harimau yang mungkin mencegatnya.

   Itulah sebabnya, ia mencari dahan-dahan kayu yang cukup besar.

   Dengan kekuatan yang ada padanya, dipatahkannya sebatang dahan kaliage, kemudian dibuatnya senjata untuk menghadapi binatang buas.

   Setelah senjatanya itu siap, berjalanlah Banyak Sumba, menuju arah yang menurut dugaannya selatan.

   Tak lama kemudian, ditemukannya jalan yang biasa dilalui binatang.

   Di sana, ia melihat banyak sekali bekas kaki menjangan dan babi hutan.

   Ia menuruti jalan binatangku, selama tidak membelok ke arah yang bertentangan dengan yang dianggapnya selatan.

   Ia akan sampai ke tempat yang ditinggalkannya pagi-pagi, demikian pikirnya.

   Makin lama, ternyata lebat hutan makin berkurang, bahkan terdapat semak-semak rendah yang rupanya bekas-bekas huma yang sudah lama ditinggalkan.

   Itulah sebabnya, Banyak Sumba berjalan lebih cepat lagi.

   Ketika ia berjalan dengan tergesa-gesa, sayup-sayup terdengar olehnya jeritan binatang.

   Banyak Sumba terhenti, lalu mendengarkan dengan lebih teliti.

   Segalanya sunyi, kecuali angin.

   Akan tetapi, ia melangkah lebih lanjut, jeritan binatang itu dengan keras terdengar kembali.

   Kemudian, ingar-bingar suara aum dan jeritan binatang terdengar, diiringi oleh tangisan binatang yang memilukan.

   Lalu, sepi kembali.

   Banyak Sumba melangkah, tetapi tidak secepat sebelumnya.

   Ia harus waspada, pikirnya.

   Ia pun berjalan dengan gada siap di tangan.

   Setelah beberapa lama berjalan, tahulah ia apa yang telah terjadi.

   Rupanya, segerombolan babi hutan telah diserang harimau karena di suatu tempat terlihat titik-titik darah.

   Di sekitar tempat itu terdapat bekas-bekas perkelahian.

   Darah makin banyak berceceran.

   Dari suatu tempat, Banyak Sumba melihat bagian semak yang roboh seakan-akan ada benda berat yang diseret lewat di sana.

   Tiba-tiba, detak jantungnya seakan-akan terhenti karena tidak jauh darinya dua ekor harimau besar sedang menggerogoti bangkai babi hutan yang besar.

   Ketika ia tiba di sana, tampak kedua ekor binatang itu memandangnya, tapi tidak bergerak.

   Banyak Sumba terpaku sejenak.

   Setelah ketenangannya kembali, ia mundur perlahan-lahan tanpa mengeluarkan bunyi.

   Setelah merasa cukup jauh, barulah ia bergerak dengan lebih cepat.

   Sementara berjalan itu, ia bersyukur kepada Sang Hiang Tunggal.

   Seandainya tidak didahului oleh gerombolan babi hutan itu, mungkin ia yang dihadang oleh kedua ekor harimau itu.

   Ia berjalan dengan cepat.

   Senjata siap di tangan dan tetap waspada.

   Ia harus berada dekat dengan gerombolan babi hutan yang akan menjadi pelindung di depan.

   Ia berlari sepanjang jalan binatang itu, kadang-kadang melalui semak- semak yang pendek.

   Sekali-sekali melalui semak-semak yang bercampur dengan pohon-pohon yang agak tinggi tapi jarang.

   Di sana sini terdapat pohon besar yang daunnya sangat rimbun.

   Banyak Sumba terus berlari.

   Ketika ia sedang berlari dan memandang ke muka, tiba-tiba dilihatnya seolah-olah ada cabang pohon besar yang jatuh ke arah jalan binatang itu.

   Akan tetapi, tidak terdengar suara berdebum, yang terdengar adalah jerit seekor babi hutan.

   Banyak Sumba terus berlari karena disangkanya memang ada cabang pohon besar yang jatuh menimpa babi hutan.

   Ketika ia makin dekat ke arah pohon itu, dilihatnya cabang pohon itu bergerak-gerak.

   Banyak Sumba berhenti berlari dan berdiri tidak jauh dari pohon itu.

   Suatu pemandangan yang menyipratkan darah disaksikannya dengan mata terbelalak.

   Seekor ular sanca besar, hampir sebesar pohon kelapa, dengan setengah badannya bergantungekor di atas dan kepala di bawahsedang mengangkat seekor babi hutan ke atas pohon.

   Babi hutan itu masih bergerak-gerak, tetapi karena besarnya, ular itu dengan tenang mengangkatnya.

   Tak lama kemudian, seluruh badan ular itu menghilang di balik daun pohon besar yang gelap karena rimbunnya.

   Kadang- kadang saja tampak pohon besar itu bergerak-gerak karena dihuni oleh makhluk yang besar dan berat.

   Setelah beberapa lama terpaku dan seolah-olah membeku karena terkejut dan ketakutan, barulah Banyak Sumba dapat bergerak.

   Sambil mengucapkan syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah dua kali menyelamatkannya, ia mulai lagi berlari, tapi tidak mengikuti jalan binatang itu.

   Ia menyimpang merambah semak-semak yang pendek.

   Arah tidak lagi dipersoalkannya.

   Yang penting baginya adalah ia segera menjauhi tempat binatang yang tidak terkalahkan oleh apa pun itu.

   Semenjak dua kejadian itu, ia lebih berhati-hati, tidak pernah berlari lagi.

   Berulang-ulang ia berhenti, mengawasi daerah yang akan dilaluinya.

   Ia tidak berani lewat di bawah pohon-pohon besar atau terlalu rimbun hingga dapat menyembunyikan binatang-binatang buas.

   Ia pun mulai berusaha tidak menuju suatu tempat dengan mengikuti arah angin.

   Ia berusaha supaya selalu menentang arah angin agar bau tubuhnya tidak tercium oleh binatang-binatang buas.

   Dengan begitu, berarti ia tidak dapat mengikuti arah yang dikehendaki dengan leluasa.

   Pada hari kedua itu, ia tidak menemukan hutan-hutan yang dikenalnya.

   Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menginap kembali di dalam hutan.

   Dipilihnya tempat yang dianggapnya paling aman, yaitu sebatang pohon yang berada di tengah-tengah semak-semak pendek yang terbuka.

   Di sanalah ia menginap, duduk di atas cabang pohon dan mengikat diri agar tidak jatuh kalau tertidur.

   Akan tetapi, semua pengalaman pada hari sebelumnya yang menakutkan itu tidak mengizinkannya tidur nyenyak.

   Di samping itu, makin gelap hutan, makin ramai dengan suara dan bunyi kaki binatang.

   Aum harimau, salak ajag, teriakan-teriakan yang me-remangkan bulu roma, mungkin teriakan siluman, meramaikan hutan yang remang-remang di bawah cahaya bintang.

   HARI ketiga, keempat, kelima, keenam ...

   akhirnya hari-hari tidak terhitung lagi.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan sedih, disadarinya bahwa ia tersesat di dalam hutan yang tidak pernah diinjak kaki manusia.

   Mula-mula, ia tidak mengerti mengapa sampai tersesat.

   Akan tetapi, setelah diingat-ingat kembali bagaimana harus berjalan, sadarlah ia bahwa karena terlalu banyak menyimpang untuk menghindari bahaya, makin lama makin menyimpang dari arahnya sehingga akhirnya memasuki hutan itu.

   Hutan itu tidak begitu lebat karena tanahnya tidak subur dan sebagian terdiri dari cadas dan batu.

   Pohon-pohonan tidak terlalu tinggi pula.

   Di samping itu, semak-semaknya pun tidak segelap di hutan yang pernah dikunjunginya.

   Buah-buahan cukup banyak, yang kecil-kecil hingga yang besar-besar.

   Itulah sebabnya, burung dan binatang pemakan buah-buahan sangat banyak di sana.

   Monyet dan lutung meramaikan pohon- pohonan.

   Di dalam semak-semak itu pun terdapat pula silang jalan-jalan binatang lain, seperti babi hutan, rusa, dan binatang-binatang lain yang bekas kakinya tidak dikenalnya.

   Di hutan itulah Banyak Sumba tinggal, entah berapa bulan.

   Ia tidak lagi dapat menghitung hari-harinya.

   Pakaiannya sudah mulai robek-robek, bukan saja karena tua, tetapi juga karena sering tersangkut duri selagi ia mengembara di hutan itu.

   Untuk menghilangkan laparnya, ia memungut atau memetik buah-buahan, kemudian memanjat pohon yang tinggi.

   Kadang-kadang, dijeratnya binatang menggunakan rotan atau kulit kayu yang dianyamnya menjadi tambang.

   Kadang- kadang, binatang itu dikejarnya, lalu dipukul dengan gadanya.

   Di saat-saat beristirahat, bila sudah terlalu lelah mencari jalan keluar dari hutan itu, ia sering termenung memikirkan segala kemungkinan dalam ilmu keperwiraannya.

   Pada saatsaat seperti itu, Jasik, panakawannya yang baik dan setia itu, sering terkenang olehnya.

   Alangkah akan lebih baiknya kalau ia tersesat bersama Jasik.

   Ia akan dapat terus-menerus berlatih dan mengadakan percobaan-percobaan dengan hasil renungan-renungannya itu.

   Ia pun berulang-ulang teringat keluarganya.

   Dalam keadaan demikian, kadang-kadang tidak tertahan air matanya.

   Berulang-ulang pula ia teringat kepada Nyai Emas Purbamanik.

   Akan tetapi, harapannya untuk mendapat gadis yang dicintainya itu makin lama makin menipis.

   Bukan saja karena ia tidak tahu lagi bagaimana sikap gadis itu sekarang, setelah begitu lama mereka berpisah.

   Lebih-lebih, karena perbuatannya belakangan ini dianggapnya makin menjauhkan dia dari gadis itu.

   Ia harus menunaikan tugasnya.

   Gadis itu belum tentu mengerti segala perbuatan yang sebenarnya tugas keluarga.

   Kalau kesedihan menusuk hatinya, ia segera mengalihkan renungan ke masalah-masalah ilmu keperwiraan.

   Karena heningnya hutan itu dan karena ia terpaksa harus berpikir untuk menghindari kesunyian dan kesedihannya, hasil dari renungan-renungannya cukup banyak.

   Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana membuktikan kebenaran apa- apa yang ditemukannya itu.

   Ia harus punya teman berlatih, tapi Jasik hanya ada dalam kenangannya.

   Itulah sebabnya, Banyak Sumba hanya dapat berlatih seorang diri.

   Oleh karena itu, ia tidak dapat membuktikan, apakah hasil-hasil renungannya tentang ilmu keperwiraannya itu benar atau tidak.

   Hatinya gemas belaka kalau ia merasa mendapatkan suatu kesimpulan tentang renungan-renungannya.

   Pada suatu senja, ketika ia sedang berjalan mencari pohon yang baik untuk bermalam, tiba-tiba terdengar raung harimau tidak jauh darinya.

   Banyak Sumba mula-mula bermaksud melarikan diri dari tempat itu dan segera mencari pohon terdekat.

   Akan tetapi, dari balik semak-semak terlihat olehnya dua ekor harimau besar sedang berkelahi.

   Sebagai seorang yang sedang mempelajari ilmu keperwiraan, akhirnya rasa ingin tahu dan hasrat menyelidiki mengalahkan rasa takut dan gentarnya.

   Banyak Sumba mendekati tempat terdengarnya geram dan raung kedua ekor makhluk perkasa yang berkelahi itu, serta semak-semak yang belingsatan ke sana kemari.

   Makin dekat ke tempat pertarungan itu, semak-semak seolah- olah sedang diamuk angin puting beliung.

   Banyak Sumba gentar sejenak, ketika raungan yang sangat keras seolah-olah mengguncangkan bumi.

   Rasa penasaran mendorong dia untuk melanjutkan niatnya.

   Ia berlari-lari, kemudian memanjat sebuah pohon kecil.

   Karena setiap hari ia harus memanjat, pekerjaan itu dilakukan seperti ia berjalan di tanah.

   Dalam sekejap mata, seperti seekor monyet, ia telah mencapai puncak pohon itu.

   Dengan jelas, ia dapat melihat dua ekor harimau yang sedang berhadapan.

   Dengan mata yang tidak berkedip, Banyak Sumba memerhatikan kedua ekor binatang itu saKng mengintip, saling menunggu kesempatan.

   Dengan raungnya yang dahsyat, keduanya menghambur.

   Masing-masing berusaha membinasakan lawannya dengan dua belah kaki kanannya yang kuat dan berkuku tajam itu.

   Kemudian, mereka berpisah karena yang seekor menolak lawannya.

   Dengan kaki belakangnya yang kuat, keduanya berhadapan kembali.

   Banyak Sumba memerhatikan bagaimana sikap kaki depan dan kaki belakang serta sikap tubuh kedua ekor binatang itu.

   Ia pun memerhatikan setiap perubahan, bagaimana sikap yang satu diikuti lawannya.

   Tiba-tiba, mata Banyak Sumba menyala-nyala karena apa-apa yang pernah direnungkannya dapat dilihatnya dari kedua ekor binatang buas yang sudah biasa berkelahi itu.

   Setiap kali yang seekor menempati kedudukan serangan dapat dilakukan, lawannya segera memindahkan kedudukannya, sambil mencari kedudukan ia dapat menyerang dengan leluasa.

   Akan tetapi, baru saja ia bergerak, lawannya sudah bergerak kembali, mengambil kedudukan lain.

   Karena keduanya tidak menemukan celah kelemahan pada sikap lawan, kecepatanlah yang dipergunakan.

   Seekor di antara harimau itu begerak, mengubah sikap.

   Ketika lawannya akan menyesuaikan diri pada sikapnya, melompatlah ia dengan raungnya yang hebat.

   Kedua ekor binatang itu mulai saling cakar dan saling desak, seraya kedua-duanya bersiap- siap dengan taringnya kalau-kalau ada kesempatan membenamkan senjata yang hebat itu ke leher atau tengkuk lawannya.

   Pergumulan berlangsung beberapa saat.

   Selama itu, Banyak Sumba mempelajarinya dengan melupakan alam sekelilingnya.

   Ia memerhatikan bagaimana binatang-binatang itu mempergunakan tenaga, bagaimana melaksanakan serangan dengan kaki depan atau kaki belakang.

   Hingga akhirnya, geraham yang seekor berhasil menangkap kaki depan lawannya, lalu dengan gertakan yang keras, menerkam dan mematahkannya.

   Raungnya yang meremangkan bulu roma terdengar.

   Kemudian, lawan yang kalah melompat menjauhi, lari terpin-cang-pincang dikejar lawannya.

   Tapi, pemenang yang kelelahan tidak dapat mengejarnya.

   Ia berhenti, berdiri sambil meraung-raung dan memandang ke arah semak-semak tempat lawannya menghilang.

   SETIAP pagi, bersama dengan terbitnya matahari, Banyak Sumba turun dari pohon tempatnya bermalam.

   Ia langsung berjalan seraya memetik buah-buahan sebagai makanan pagi, Kalau kebetulan ditemukannya telaga kecil, ia mandi dan minum sepuas-puasnya untuk kemudian berjalan kembali dengan selalu bersiap siaga menghadapi segala bahaya, terutama dengan mengandalkan gada kayunya yang berduri- duri itu.

   Jalannya tidak selalu laju.

   Sebentar-sebentar ia berhenti, merasakan angin atau mendengus-dengus, mencoba membaui udara, kalau-kalau ada bau yang mencurigakan yang harus dihindarinya.

   Bau kemenyan datang dari harimau, sedangkan bau pesing dari ular sanca.

   Kedua binatang buas itulah yang dihindarinya, sedangkan banteng, badak, dan babi hutan, apalagi rusa, tidak dihiraukannya.

   Bukan saja karena mereka tidak memakan daging, tetapi biasanya mereka tidak mengganggu kalau tidak diusik.

   Sering sekali Banyak Sumba berhenti berjalan, kemudian dengan sigap berlari menuju pohon terdekat dan memanjatnya seperti seekor kera kalau dirasanya bahaya sedang mendekat.

   Perasaannya yang menjadi tajam berulang- ulang menyelamatkannya.

   Berulang-ulang binatang buas yang menghadangnya tidak berhasil mencelakakan karena Banyak Sumba telah waspada terlebih dahulu.

   Gerakan kecil dalam semak bisa menghentikan langkahnya.

   Bau yang mencurigakan menyebabkan ia lari terbirit-birit mendekati pohon untuk sewaktu-waktu dipanjatnya seandainya bahaya memang benar-benar mengancamnya.

   Akan tetapi, seandainya tertambat menyelamatkan diri dengan lari, ia mempunyai kemampuan lain untuk mempertahankan dirinya, yaitu kepandaiannya dalam ilmu keperwiraan dan senjatanya yang berbahaya, yaitu gada kayunya yang sebesar betisnya serta berduri-duri.

   Dari hari ke hari, Banyak Sumba berjalan dengan tujuan untuk menemukan jalan ke dunia yang dihuni manusia.

   Hidupnya tidak teratur lagi.

   Kadang-kadang, berhari-hari ia tidak menemukan air.

   Kadang-kadang, berhari-hari pula ia tidak menemukan buah-buahan.

   Kalau keadaan demikian, ia terpaksa memburu binatang dengan mengintainya, menjeratnya dengan rotan atau melemparnya.

   Kadang- kadang, mengejar dan memukulnya dengan gada.

   Ia menyalakan api dengan jalan menggosokkan dua batang ranting kering yang dilekati daun kering pula.

   Di atas api unggun yang dibuatnya itulah, ia membakar daging binatang.

   Begitulah ia hidup, mengembara dalam hutan belantara itu dengan sedih mencari-cari jalan keluar.

   Kadang-kadang, ia begitu sedihnya dan sangat mencekam rasa kesepiannya hingga air matanya tidak tertahan lagi.

   Sering ia menangis, tetapi kemudian ia meredakan dukacitanya dengan berdoa, Sang Hiang Tunggal Yang Mahaadil tidak akan menghukum orang yang tidak berdosa.

   Ia merasa yakin bahwa tak ada kesalahan yang dilakukannya dengan sadar.

   Kalau ia bersalah, pikirnya, hal itu karena mencintai Ayahanda, Ibunda, dan keluarganya.

   Mencintai keluarga adalah perintah Sang Hiang Tunggal juga.

   Demikianlah, ia berjalan, memanjat pohon kalau malam tiba, termenung memikirkan ilmu keperwiraannya, dan menangisi nasibnya.

   Iajuga membayangkan wajah Nyai Emas Purbamanik.

   Akhirnya, ia mengenangkan dunia yang dihuni manusia dengan kerinduannya.

   Akan tetapi, bukanlah watak Banyak Sumba untuk selalu merenungkan nasibnya.

   Setiap kali kemurungan menyerbu ke dalam hatinya, cepat-cepat ia merenungkan ilmu keperwiraan.

   Ilmu keperwiraanlah yang dijadikannya obat untuk melupakan apa-apa yang dideritanya.

   Dengan ilmu keperwiraan yang selalu di pikirannya itulah, ia mengusir keprihatinan, kerinduan, dan kesepiannya.

   Tanpa disadarinya, ilmunya makin lama makin bertambah juga.

   Banyak hal baru yang selama ia berada di tengah-tengah masyarakat tidak sempat dipikirkannya.

   Sekarang, ketika hari-hari lewat tanpa kesibukan, ia dapat memikirkannya.

   Banyak masalah ilmu keperwiraan yang sebelumnya tidak terpikirkan penyelesaiannya, dalam kesepian hutan itu dapat dipecahkannya.

   Keheningan hutan, udara yang bersih, dan langit yang membiru di sela-sela daun menjernihkan pikirannya.

   PADA suatu sore, ketika ia mencari pohon untuk dijadikan penginapan malam itu, terlintaslah suatu pemecahan masalah yang selama ini menjadi bahan pemikirannya.

   Ia terhenti berjalan, cahaya matanya menyala-nyala seperti biasanya kalau ia menemukan ilham.

   Ia tersenyum seorang diri seraya bergegas ke arah pohon kecil yang hendak dijadikannya tempat menginap malam itu.

   Sepanjang malam, ia terus merenungkan ilhamnya.

   Ia merasa gembira karena suatu masalah yang bertahun-tahun jadi buah renungannya telah ditemukan jawabannya.

   Akan tetapi, ia tertegun, tidak dapat membuktikan apakah pendapatnya itu benar atau tidak.

   Ia teringat kepada Jasik yang entah berapa bulan tidak dilihatnya.

   Karena yakin bahwa ilhamnya itu benar, tetapi tidak ada cara dan kawan untuk membuktikan kebenaran penemuannya, hatinya pun jadi gelisah.

   Ia kehabisan, akal bagaimana akan mencobakan ilmunya itu.

   Masyarakat entah kapan dimasukinya kembali.

   Sebagai seorang yang baru menemukan sesuatu yang telah bertahun-tahun dicarinya, ia tidak cukup sabar untuk tidak segera mencoba penemuannya itu.

   "Bagaimana kalau dicoba terhadap binatang buas?"

   Tanyanya dalam hati.

   Bagaimana kalau ia menghadang beruang atau harimau? Itu akan baik sekali, tetapi tentu saja besar bahayanya.

   Bagaimana kalau ia dikalahkan, bukankah ia harus menyelesaikan tugasnya dan tidak boleh menyia- nyiakan hidup secara sembarangan dengan menentang maut demi penemuannya yang belum tentu benar? Banyak Sumba terus merenung, kemudian karena kantuknya, akhirnya ia tertidur.

   Baru ketika matahari panas keesokan harinya, ia terjaga, lalu turun.

   Selama berjalan, penemuan malam sebelumnya terus-menerus mengganggu pikirannya.

   Penemuannya itu akan dicoba terhadap binatang buas ataukah lebih baik bersabar hingga ia memasuki masyarakat kembali? Berulang- ulang ia memutuskan untuk tidak mencoba ilmu itu terhadap binatang buas, untuk tidak menghadapi bahaya yang terlalu besar.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi, berulang-ulang hatinya berkata bahwa penemuan itu harus segera dibuktikan.

   Maka, terombang- ambinglah pikirannya dan ia tidak dapat mengambil keputusan.

   Suatu ketika, Banyak Sumba merasa lapar.

   Setelah beberapa lama berjalan, ternyata di sana tidak ada pohon buah-buahan.

   Umumnya, pohon-pohonnya jarang diselang- seling dengan semak-semak.

   Di beberapa tempat, Banyak Sumba menemukan tanah lembap.

   Untuk beberapa lama, Banyak Sumba berdiri termenung.

   Ia harus berburu, pikirnya.

   Kemudian, ia berjalan.

   Dengan tangannya yang kuat, dipatahkannya cabang-cabang pohon yang cukup besar dan lurus.

   Setelah mendapat beberapa batang, dibuanglah daun- daunannya, lalu pangkalnya yang besar diruncingkan.

   Tak beberapa lama kemudian, Banyak Sumba telah bersenjatakan beberapa batang tombak di samping gada yang dijinjing di tangan kirinya.

   Ia mulai mendengus-dengus, membaui udara, kemudian ia berjalan.

   Di suatu tempat, ia menunduk, memeriksa jejak binatang.

   Ia berjalan kembali sambil berulang-ulang menunduk.

   Kadang-kadang, ia berlutut, lalu berjalan lagi.

   Tiba-tiba, ia menjatuhkan diri, lalu merangkak.

   Tak berapa jauh darinya terdapat sebuah telaga kecil.

   Di tepi telaga itu biasanya terdapat banyak binatang.

   Itulah sebabnya, ia mengendap-endap dan merangkak bagai seekor harimau.

   Sangkaannya tidaklah meleset karena setelah beberapa lama merangkak, dari jauh, di tepi telaga di seberang yang bertentangan dengan tempatnya bersembunyi, tampaklah sekelompok besar menjangan.

   Binatang-binatang tersebut sebagian sedang minum, sementara yang lain berjaga-jaga, menghadap ke semak-semak yang ada di sekeliling tempat terbuka.

   Melihat kelompok binatang itu, senanglah hati Banyak Sumba; ia merasa mujur pula karena ia menentang angin.

   Maka, ia menyelinap kembali dan sambil mempergunakan loncatan melambung, mendekati tempat binatang-binatang tersebut.

   Karena pekerjaan seperti itu sudah biasa dilakukannya, ia bergerak hampir tidak mengeluarkan bunyi.

   Di samping itu, pancaindranya sekarang menjadi tajam sekali.

   Ia dapat membaui binatang-binatang itu, sedangkan suara yang selemah-lemahnya, dapat ia bedakan dari suara gemerisik daun-daunan.

   Pancaindranya tidak saja terasah karena ia perlu mendapat binatang buruan untuk hidupnya, tetapi karena di hutan itu banyak binatang buas.

   Ia pun sering merasa menjadi binatang buruan.

   Itulah sebabnya, pancaindranya selalu siap siaga.

   Suara sekecil-kecilnya, gerak-gerik selemah-lemahnya, bau asing yang menyentuh hidungnya harus ditangkapnya.

   Kalau tidak, ia akan kelaparan atau akan menjadi mangsa binatang buas.

   Dengan ketajaman pancaindranya itu, bertambah kuat pula tubuhnya.

   Ia jadi terbiasa hidup secara liar di alam terbuka.

   Otot-ototnya menjadi kenyal dan kuat, anggota badannya yang terus- menerus dipergunakan secara teratur dan sesuai dengan kehendak alam, menjadi lebih lincah dan lebih terampil kerjanya.

   Ia sekarang dapat bergerak tanpa mengeluarkan bunyi seperti seekor harimau atau seekor ular.

   Ia dapat memanjat dengan cepat dan lincah seperti seekor monyet, melompat dari dahan ke dahan tanpa takut dan ragu-ragu.

   Dengan kelincahan dan keterampilannya itu, ia tidak saja dapat menyelamatkan diri dari bahaya, tetapi dapat hidup dengan berkecukupan makanan.

   Sementara itu, tak ada binatang yang dapat mengalahkannya karena sebagai manusia, ia dianugerahi suatu hal yang tidak ada taranya oleh Sang Hiang Tunggal, yaitu akal yang cerdas.

   Karena akalnya itulah, ia dengan mudah dapat menangkap menjangan-menjangan.

   Ia membuat perangkap, banderingan dari rotan yang ujungnya diikatkan pada bongkah-bongkah cadas.

   Untuk menakut-nakuti harimau, ia dapat menyalakan api.

   Kemampuannya sebagai manusia dan keampuhan barunya karena lama hidup di dalam hutan adalah modal yang luar biasa baginya.

   Karena modal itulah, ia merasa leluasa bergerak di hutan, seperti sebelumnya ia merasa leluasa bergerak di tengah-tengah masyarakat di wilayah Kerajaan Pajajaran.

   Dengan segala kemampuannya itulah, ia bergerak mendekati rombongan menjangan itu.

   Makin lama, makin dekat ia ke tempat binatang berkumpul di pinggir telaga itu.

   Setelah beberapa puluh langkah lagi, ia muncul dari semak, lalu berteriak dengan keras.

   Binatang-binatang itu terkejut dan lari dengan cerai-berai.

   Banyak Sumba mengawasi seekor rusa jantan, lalu melemparkan tombak kayunya ke arah binatang itu.

   Karena pekerjaan itu biasa dilakukannya, dengan tepat paha belakang rusa itu dikenainya.

   Akan tetapi, karena jarak antara Banyak Sumba dan binatang itu cukup jauh, sedangkan tombak kayu itu ujungnya tidak terlalu tajam karena belum sempat dibakar, binatang itu tidak roboh.

   Rusa jantan yang kuat itu walaupun timpang terus lari.

   Banyak Sumba tertawa karena ia merasa ditantang untuk mengadu kekuatan.

   Ia berlari mengejar binatang itu.

   Tiga buah tombak kayu dibuangnya, tinggal gadanya yang ia acung-acungkan di udara sambil berteriak-teriak kegirangan seperti anak-anak.

   Binatang itu menerobos semak-semak.

   Banyak Sumba dengan lincah melompat-lompat atau menyelinap antara semak-semak, makin lama makin dekat ke arah binatang itu.

   Kemudian, di depan binatang itu terdapat tempat yang sedikit terbuka, di antara semak-semak gelagah yang tinggi.

   Banyak Sumba mempercepat larinya karena di tempat terbuka itulah ia bermaksud menghabisi binatang itu.

   Suatu kejadian yang tidak disangka-sangkanya terjadi dengan cepat sekali.

   Ketika binatang itu berada di tengah- tengah tanah terbuka dan ketika Banyak Sumba melompati semak terakhir memasuki pinggiran tanah lapang kecil itu, dari sebuah semak di sebelah kiri binatang itu melompatlah seekor harimau.

   Dengan secepat kilat, harimau mematahkan leher rusa itu dan membantingnya ke tanah.

   Banyak Sumba dengan cepat menghentikan larinya.

   Kalau tidak, ia akan menubruk kedua ekor binatang yang masih bergumul di tanah itu dan akan tersandung serta jatuh.

   Ia berdiri, gada siap di tangan kanannya.

   Tak lama kemudian, rusa itu tidak bergerak-gerak lagi dan harimau itu sudah berdiri di atasnya, memandang ke arah Banyak Sumba dengan curiga dan bersiap-siap untuk menyerang.

   Banyak Sumba menghentikan napasnya.

   Ia tidak bergerak karena tahu, begitu ia bergerak, binatang buas itu akan langsung menyerang.

   Secepat kilat, terlintas dalam hatinya bahwa ketika itulah ia akan mencoba penemuan tentang ilmu keperwiraan.

   Ia memandang harimau itu, memerhatikan letak kaki muka dan kaki belakangnya.

   Ia meramalkan bahwa kalau harimau itu menyerang, berat badannya terutama akan tumpah ke sebelah kiri dan ia akan membelok ke sebelah kanan.

   Jadi, Banyak Sumba harus memukulkan gadanya ke sebelah kiri.

   Ia pun tidak boleh menentang tenaga lawan yang langsung tumpah ke arahnya.

   Kalau begitu, ia yang lebih ringan daripada harimau itu akan dirobohkan.

   Itulah sebabnya, Banyak Sumba harus memukul harimau itu dari samping, kalau perlu terus melompat.

   Pikiran itu secepat kilat bergerak dalam otaknya.

   Sementara itu, ia berpandangan dengan binatang buas itu dalam jarak beberapa langkah saja.

   Keduanya sama-sama menunggu.

   Harimau itu akan bergerak kalau saja Banyak Sumba menggerakkan ujung jarinya atau mengejapkan matanya.

   Harimau itu pun tidak menggeram.

   Ia memendam suaranya seperti ia memendam tenaga yang akan dicurahkannya pada saat menyerang Banyak Sumba.

   Begitu mereka berdiri berhadapan, tak ada suara maupun gerakan antara mereka.

   Banyak Sumba memindahkan letak gadanya ke sebelah kanan dan pancingan itu dijawab harimau itu dengan serangan yang dibarengi auman yang mengguncangkan seluruh hutan.

   Banyak Sumba mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul ke samping kiri dari arah harimau datang.

   Betapapun kukuh kuda-kudanya, ketika gada itu mengenai tubuh harimau, ia terguncang juga.

   Begitu pukulan mengena, ia menghambur menuju tubuh harimau yang menyeleweng karena pukulan.

   Ia tidak memberikan kesempatan kepada binatang itu.

   Ia memberikan pukulan yang kedua ke arah kepala harimau itu.

   Akan tetapi, dengan cepat dan tepat, gada itu ditangkis oleh binatang itu seraya menghambur ke depan mencengkeram kaki kanannya ke arah Banyak Sumba.

   Banyak Sumba menghindar sambil memukul, kemudian maju lagi dengan gada berdesing-desing.

   Beberapa pukulan mengenai kepala dan tubuh harimau, beberapa pukulan mengenai pula tubuh Banyak Sumba.

   Kemudian, harimau itu tidak selincah semula.

   Mereka berhadapan sejenak.

   Banyak Sumba menghambur menyerang.

   Harimau itu menghindar.

   Akan tetapi, dari sikapnya sudah diramalkan Banyak Sumba, dari arah mana binatang itu akan menyerang.

   Itulah sebabnya, harimau itu menghindar.

   Derak tulang dan auman yang keras terdengar serentak, kemudian harimau itu roboh, berputar-putar di tanah.

   Banyak Sumba mengangkat gadanya tinggi-tinggi, kemudian dengan dengusan, dihantamnya kepala harimau itu.

   Ia terjatuh menimpa tubuh harimau yang gemetar dan panas.

   Banyak Sumba terduduk, entah berapa lama ia terengah- engah.

   Berulang-ulang ia melihat harimau yang dibunuhnya.

   Badan binatang itu hampir dua kali lebih besar daripada tu- buhnya.

   Sementara itu, Banyak Sumba menyadari pula bahwa harimau itu masih muda, justru sedang berada di puncak kekuatannya.

   Ia merasa lega, bukan karena telah selamat dari bahaya maut, tetapi pendapat-pendapat yang ditemukan dalam renungannya tentang ilmu perkelahian ternyata benar.

   Semua pendapat itu dapat dibuktikannya dan bukti yang paling baik adalah binatang yang lebih besar dan lebih hebat senjatanya itu dapat dilumpuhkannya.

   Tiba-tiba, Banyak Sumba merasa tusukan pedih di rusuk kirinya.

   Ia melihat ke bawah, tampaklah bajunya yang sudah lusuh tidak keruan, tercabik-cabik oleh jambretan kuku harimau itu.

   Di beberapa tempat, kain yang tercabik-cabik itu basah.

   Ketika Banyak Sumba membuka kain itu, tampaklah luka-luka yang mengerikan di beberapa bagian tubuhnya.

   Untung luka-luka itu tidak dalam.

   Akan tetapi, Banyak Sumba cemas juga karena luka akibat serangan harimau sering membunuh karena racunnya.

   Ia segera berdiri, lalu berpikir.

   Kemudian, ia mencabut belatinya, menguliti harimau itu.

   Karena pekerjaan itu sering dilakukannya, dalam sekejap kulit harimau itu telah terkelupas.

   Ia mengambil hati harimau itu, kemudian menggarap pekerjaan yang lain, yaitu menguliti rusa yang terbaring tidak jauh dari tempat itu.

   Diambilnya hati dan jantung serta kedua paha binatang itu.

   Setelah itu, dinya-lakannya api.

   Ia memasang cabang-cabang pohon yang bercagak di atas api.

   Daging dan hati itu dipanggangnya di atas api unggun yang dibuatnya.

   Sementara itu, ia mengambil daun-daunan tertentu yang dijadikannya obat luka.

   Tak lama kemudian, terciumlah bau sedap dari arah api.

   Daging dan hati binatang itu sudah masak.

   Banyak Sumba duduk sambil memakan daging yang tidak digarami.

   Pikirannya melayang kembali ke arah pengalaman yang baru saja dilaluinya.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba, hatinya berkata bahwa ia tidak takut kepada siapa pun, kepada binatang maupun manusia.

   Ia telah menemukan suatu rahasia yang sangat berharga di bidang ilmu keperwiraan.

   Ia dapat meramalkan gerakan lawan dan oleh karena itu, ke mana pun.lawan bergerak, ia sudah siap siaga.

   Ia teringat kepada Jasik, ia membayangkan bagaimana Jasik akan menggeleng-gelengkan kepalanya karena kagum kepadanya.

   Selesai makan, Banyak Sumba membersihkan diri di telaga yang tidak jauh letaknya dari tempat ia menyalakan api unggun.

   Ia mengobati lukanya, kemudian kembali ke jemurannya, kulit harimau yang indah.

   Ia bermaksud membuat baju dari kulit harimau itu karena bajunya sudah hancur.

   Ketika ia membersihkan kulit harimau itu, matahari menggelincir ke barat.

   DARI hari ke bulan, dari bulan ke tahun, Banyak Sumba tidak tahu lagi sudah berapa lama ia tersesat dan mengembara mencari jalan keluar dari hutan belantara itu.

   Ia disiksa oleh kesedihan dan kesunyiannya, dikepung oleh bahaya dari saat ke saat.

   Akan tetapi, penderitaannya itu ditahannya dengan tabah.

   Pertama, karena menyadari bahwa ia menderita untuk tujuan yang mulia.

   Oleh karena itu, ia pun yakin bahwa suatu hari ia dapat keluar dari hutan belantara itu.

   Kedua, setiap kali kesedihan dan kesepian menghimpit jiwanya, ia segera mengalihkan perhatiannya pada masalah- masalah ilmu keperwiraan.

   Di samping itu, ia terus-menerus berusaha mencari jalan ke luar hutan itu.

   Ia tidak pernah tinggal diam di suatu tempat di hutan.

   Ia terus berjalan, mendaki gunung-gunung, menuruni lembah, menyeberangi sungai.

   Pada suatu kali, tibalah ia di sebuah hutan yang ajaib.

   Hutan itu terletak di atas gunung yang sangat tinggi.

   Kabut tidak pernah jauh dari atas kepala Banyak Sumba.

   Oleh karena itu, angkasa selalu suram.

   Banyak Sumba terus mendaki gunung yang berhutan lebat itu.

   Ia berharap, semoga ia dapat melihat ke arah dunia manusia dari puncak gunung itu.

   Itulah sebabnya, ia berjalan terus, walaupun kadang-kadang pendakian sangat terjal hingga ia harus merayap bagai seekor cecak, berpegang pada akar pohon- pohonan.

   Ketika habis merayap itulah, tiba-tiba ia berdiri di tepi hutan yang aneh.

   Pohon-pohon di hutan itu tampak tidak subur, bahkan semak-semaknya sedikit sekali.

   Seolah-olah, hutan itu sebuah borok besar di tengah-tengah hutan-hutan lain yang sehat.

   Di samping itu, Banyak Sumba mendengar suara-suara yang aneh, sayup-sayup kadang-kadang seperti jauh, kadang-kadang dekat sekali.

   Melihat pohon-pohonan yang dalam remang seperti rangka-rangka yang hitam terbakar dan mendengar suara yang aneh-aneh, yang mendekati suara manusia, meremanglah bulu roma Banyak Sumba.

   Akan tetapi, ia tidak mundur.

   Ia melangkah terus dengan gada siap menghadapi segala kemungkinan.

   Ia berjalan, angin bertiup dari arah mukanya.

   Angin sangat dingin, tetapi baju kulit harimaunya cukup tebal untuk melindungi kulitnya.

   Ia melangkah terus dengan tujuan tetap, yaitu mendaki gunung itu lebih tinggi lagi agar mencapai puncaknya.

   Dari sana diharapkannya akan melihat dunia manusia.

   Tiba-tiba, ia melihat kabut yang tebal sekali merendah ke arah gunung itu.

   Bagai lidah besar, kabut itu menjilat beberapa bagian hutan yang aneh itu.

   Mula-mula, Banyak Sumba tidak acuh saja.

   Kemudian, angin bertiup ke arahnya.

   Banyak Sumba terkejut karena tiba-tiba ia sudah terkurung oleh kabut yang sangat tebal sehingga pemandangannya remang-remang belaka.

   Dalam keremang-remangan itu, pohon-pohonan makin menyeramkan.

   Banyak Sumba tidak peduli, ia terus berjalan ke arah puncak gunung yang tinggi yang pernah dilihatnya itu.

   Akan tetapi, makin lama kabut makin tebal juga.

   Akhirnya, ia hanya melihat tabir kumal yang membentang di hadapannya.

   Ia tidak dapat melihat apa-apa.

   Ia berdiri dan dengan kesal menunggu kabut itu pergi.

   Tiba-tiba, dekat sekali di sampingnya, ia mendengar teriakan seorang perempuan yang keras, lalu tertawa cekikikan.

   Bulu roma Banyak Sumba meremang.

   Ia tahu bahwa yang tertawa itu bukanlah manusia, melainkan makhluk yang ditakuti manusia.

   Banyak Sumba bersiap-siap dengan gadanya dan melihat ke sekelilingnya.

   Selintas, dia seolah-olah melihat seorang perempuan beriari, rambutnya terurai, tubuhnya tidak ditutup oleh sehelai benang pun.

   Aneh, perempuan itu berlari cepat sekali di dalam kabut yang tebal itu.

   Makin yakin Banyak Sumba bahwa ia berada di wilayah kerajaan Siluman.

   Ia membaca mantra-mantra, mohon perlindungan kepada Sang Hiang Tunggal dan Sunan Ambu, sementara tangannya erat-erat memegang gada.

   Suara jeritan terdengar dari dalam semak yang ada di dekatnya.

   Ia mendengar orang dipukuli, tangisan, jeritan, dan caci maki bergalau dalam keributan itu.

   Banyak Sumba mula-mula hendak bergerak mendekati semak itu, tetapi ia segera sadar bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya.

   Ia selalu akan digoda oleh makhluk-makhluk terkutuk itu.

   Itulah sebabnya, ia mengurungkan maksudnya untuk mendekati tempat itu, walaupun suara orang yang disiksa dan bunyi tindakan- tindakan penyiksaan berjalan terus, balikan makin lama makin hebat terdengar.

   Kemudian, terdengar suara tangis bayi dari suatu arah.

   Terdengar pula geram harimau.

   Hampir saja Banyak Sumba bergerak ke arah suara bayi itu, tetapi ia pun segera sadar dan terus membaca mantra-mantra.

   Ia tahu bahwa ia sedang digoda agar jatuh ke dalam malapetaka.

   Ia berdoa, mudah- mudahan kabut segera pergi dan matahari bersinar kembali.

   Ternyata, doanya tidak segera dijawab.

   Lama sekali kabut itu bergayut di sana, sedangkan angin bertiup lemah sekali.

   Maka, ia pun terpaksa menulikan telinganya terhadap suara- suara yang meremangkan bulu romanya itu.

   Ia pun tidak peduli pada pemandangan yang aneh-aneh yang berkelebatan di sekelilingnya.

   Ia siap dengan gadanya.

   Apa pun yang mendekati, akan dipukul dengan senjatanya yang ampuh itu.

   Kabut menipis, tetapi pemandangan hanya remang- remang.

   Banyak Sumba mulai berjalan.

   Ia sadar bahwa tempat dari arah suara bayi terdengar tadi adalah sebuah jurang yang dalam sekali.

   Seandainya bergerak ke sana, niscaya ia sudah terbaring remuk di dasar jurang itu.

   Ia mengucap syukur atas keselamatannya.

   Setelah beberapa lama ia berjalan, kabut pun menjadi tipis sekali.

   Ia bergegas, meninggalkan hutan yang menakutkan itu.

   Ia siap dengan gadanya.

   Tibalah ia di tepi sebuah jurang.

   Banyak Sumba tertegun.

   Dari dalam jurang, keluar asap yang berbau busuk.

   Dan ketika Banyak Sumba melihat ke bawah, tampak sebuah lubang besar yang berasap.

   Banyak Sumba mundur.

   Ia berkata dalam hatinya, barangkali lubang itu adalah salah satu gerbang yang menuju ke Buana Larang, tempat Ratu Siluman bersemayam.

   Ia segera meninggalkan lubang yang berasap busuk itu.

   Hutan menjadi jarang pohon-pohonannya.

   Makin lama, hutan makin jarang.

   Akhirnya, ia tiba di tempat yang tidak berpohon sama sekali.

   Ia berjalan terus di sepanjang lembah gundul.

   Ia heran, mengapa di atas puncak gunung ada bagian tanah yang begitu kering dan gersang.

   Tiba-tiba, ia tertegun.

   Di bagian lembah yang dalam, ia melihat pemandangan yang mengerikan.

   Berpuluh-puluh tengkorak berserakan.

   Di antara tengkorak-tengkorak tersebut, terdapat pula mayat yang masih utuh dan setengah utuh.

   Di antara tengkorak manusia, terdapat pula tengkorak binatang, dari menjangan hingga babi hutan.

   Bahkan, ada tengkorak yang besar dan panjang sekali, yaitu tengkorak ular sanca yang terbentang, di hadapannya terbaring tengkorak seekor menjangan besar.

   Suatu kisah tergambar di belakang pemandangan itu.

   Banyak Sumba melangkah ke belakang.

   Ia teringat kepada dongeng orang-orang tua yang pernah tersesat di lembah seperti itu.

   Ia pun tersesat di Lembah Tengkorak yang terkenal tapi jarang dilihat orang.

   Ia salah seorang di antara yang cukup malang sehingga tersesat di lembah berbahaya itu.

   Siapa pun yang berani melintasi lembah itu akan menjadi mayat belaka karena lembah itu terkutuk, dan siluman berkuasa di sana.

   Banyak Sumba mundur seraya membaca mantra tidak henti-hentinya.

   Dengan tergesa-gesa, Banyak Sumba menghindar dari daerah yang menakutkan itu.

   Ia berjalan terus, mendaki, menuju ke arah hutan hijau yang membayang di balik kabut tipis.

   Ia mulai kelelahan, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, walaupun udara di tempat itu sangat sejuk.

   Akhirnya, ia sampai juga di bagian hutan yang lebat.

   Begitu menginjakkan kaki di sana, ia menyadari bahwa ia telah keluar dari daerah yang bukan daerah manusia atau binatang.

   Ia merasa lega, lalu beristirahat.

   Dibukanya kantong besar yang terbuat dari kulit menjangan, dikeluarkannya buah-buahan yang dipetiknya di hutan-hutan di kaki gunung yang tinggi itu.

   Ia pun mengeluarkan beberapa potong dendeng menjangan dan harimau.

   Ia menyalakan api, lalu memanggang daging itu di atas api unggun yang terbuat dari ranting-ranting.

   Walaupun daging itu berbau asap, karena lapar, ia memakannya dengan lahapjuga.

   TERNYATA, walaupun ia telah mengelilingi puncak gunung itu dan dari sana melihat ke sekelilingnya, ia tidak berhasil melihat dunia manusia.

   Ke mana pun ia berpaling, hutan yang hijau kelabu belaka yang dilihatnya.

   Akhirnya, ia berputus asa dan menganggap bahwa usahanya yang penuh dengan godaan dan bahaya itu sia-sia belaka.

   Berhari-hari, ia berkeliling di hutan itu.

   Ia sadar bahwa di puncak gunung itu tidak ada binatang perburuan karena daerah itu terlalu tinggi.

   Buah-buahan sedikit sekali di sana sehingga mungkin saja ia dapat mati kelaparan.

   Pada suatu pagi, ia bergerak turun.

   Ia menghindari hutan yang menakutkan dan Lembah Tengkorak itu.

   Dicarinya jalan lain.

   Ia terus turun hingga akhirnya tiba di tebing yang curam.

   Ia menarik napas panjang.

   Terpikir olehnya, kecuali dengan melalui Hutan Siluman dan Lembah Tengkorak itu, ia tidak akan dapat menuruni tebing yang curam itu.

   Ia tertegun, apakah ia akan kembali melalui hutan berkabut yang penuh dengan pemandangan dan suara-suara yang meremangkan bulu roma itu? Mungkinkah ia dapat selamat untuk kedua kalinya dalam melewati hutan yang gelap dan penuh dengan jurang menganga yang tidak kelihatan dasarnya itu? Ia melihat ke dalam jurang yang ada di depannya.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tampak hutan yang lebat di dasarnya.

   Ia memutuskan untuk menuruni jurang yang sangat curam itu karena selama hidup di dalam hutan itu, ia sudah terampil seperti seekor kera.

   Apa salahnya ia mempergunakan kepandaiannya itu untuk menuruni tebing? Banyak Sumba mengeratkan kantong besar yang disandangnya.

   Ia pun menyisipkan gadanya pada ikat pinggang yang terbuat dari kulit harimau.

   Ia mulai memegang ranting semak-semak, lalu merayap ke bawah.

   Entah berapa lama ia merayap, ketika pada suatu kali, dilihatnya benda yang bergerak di bawahnya.

   Ia berhenti, lalu memandang ke bawah.

   Tiba-tiba napasnya terhenti.

   Di bawahnya, di dalam jurang itu, di balik hutan yang lebat, terdapat sebuah jalan kecil.

   Kalau matanya tidak salah tangkap dan ia tidak bermimpi, ia melihat tiga orang penunggang kuda.

   Dua orang dewasa menunggang kuda di depan dan di belakang, sedangkan seorang anak melarikan kudanya di antara kedua orang tua itu.

   Banyak Sumba hampir saja berteriak karena kegirangan, la ingin memanggil manusia pertama yang ditemukannya.

   Akan tetapi, tiba-tiba terlintas dalam hatinya bahwa mungkin orang-orang yang lewat di dasar jurang itu para anggota Padepokan Tajimalela.

   Kegembiraannya hampir meledakkan dadanya demi terpikirnya hal itu.

   Ia sadar bahwa ketiga orang penunggang kuda itu berbaju putih.

   Baju putih adalah pakaian penghuni Padepokan Tajimalela.

   Padepokan Tajimalela berada di dalam hutan rahasia, dilingkungi bahaya yang menghadang siapa saja yang ingin mengunjunginya.

   Bukankah ia hampir jadi korban Hutan Kabut dan Lembah Tengkorak? Bukankah menurut cerita, Hutan Siluman dan Lembah Tengkorak itu dekat sekali letaknya dengan padepokan para pahlawan Pajajaran yang perkasa itu? Dalam kegembiraan itu, Banyak Sumba tergesa-gesa turun hingga berulang-ulang ia hampir terjatuh.

   Akhirnya, tibalah ia di dasar lembah.

   Benar, ia melihat banyak sekali jejak kuda di lembah yang sempit itu.

   Di sana terdapat jalan setapak, yang tentu akan menuju ke padepokan yang terkenal tetapi tidak diketahui letaknya itu.

   Banyak Sumba berlari-lari mengikuti jejak kuda yang masih baru itu.

   Ia berlari secepat-cepatnya.

   Akan tetapi, betapapun cepatnya, ia tidak dapat menyusul kuda yang lari.

   Pada suatu tempat, ia kehilangan jejak.

   Ia kelelahan dan duduk di atas rumput di dalam semak.

   Tiba-tiba, keraguan timbul bersama kecemasan dalam hatinya.

   Mungkinkah ia disesatkan oleh siluman? Mungkinkah ketiga orang penunggang kuda itu siluman yang menyamar, yang memberi harapan, kemudian menyesatkannya ke tempat-tempat yang lebih berbahaya? Banyak Sumba bangkit, lalu mencari-cari jejak kuda di sekitar hutan itu.

   Ia mulai menyesal, mengapa ia tidak berseru memanggil para penunggang kuda itu.

   Alangkah sialnya, pikirnya.

   Ataukah ia beruntung? Ia tidak tahu, apa yang akan terjadi kalau ia memanggil ketiga orang penunggang kuda itu.

   Mungkinkah ia dibunuh karena memasuki daerah padepokan itu memang terlarang? Atau mungkinkah ketiga penunggang kuda itu bukan manusia, hanya siluman yang menggoda dan menyesatkan? Ataukah itu para guriang yang kembali dari pengembaraan di dunia manusia? Seraya pikirannya kacau-balau seperti itu, Banyak Sumba terus-menerus mencari jejak-jejak kuda itu.

   Setelah demikian lama tidak juga ditemukannya, akhirnya ia berhenti sambil terengah-engah kelelahan.

   Dan ketika ia beristirahat itu, hari pun senja.

   Bab Kesasar Ke Padepokan Tajimalela Keesokan harinya, panas matahari menyengat pundak Banyak Sumba yang tidak tertutup oleh kulit harimau.

   Ketika ia sedang berjalan di semak-semak, terdengariah suara gemuruh.

   Apakah itu? tanyanya dalam hati.

   Banyak Sumba berhenti dan mendengarkan suara itu dengan telinganya yang tajam.

   'Air terjun!"

   Serunya di dalam hati.

   Ia berlari ke arah asal suara itu.

   Ia menyadari bahwa dengan menyusuri sungai, akhirnya ia akan tiba ke laut, dunia manusia! Dan kalau ia menyusuri sungai, ia akan bertemu dengan kota-kota manusia, dan bukankah Pakuan Pajajaran berada di tepi sungai? Banyak Sumba berlari ke arah datangnya suara itu.

   Akhirnya, tibalah ia di tepi sungai kecil yang arusnya deras sekali di dalam hutan itu.

   Sungai itu mengalir di atas tanah bercadas-cadas, airnya yang jernih menjadi putih seperti kapas karena berbusa.

   Di atas sungai itu melingkarlah pelangi-pelangi kecil di bawah sinar surya tengah hari.

   Tanpa banyak berpikir, Banyak Sumba membuka pakaian kulit harimaunya, lalu mandi di dalam air yang jernih itu.

   Setelah merasa segar, ia melanjutkan perjalanan, menyusuri sungai kecil itu arah ke hilir.

   Kadang-kadang hutan lebat sekali, kadang-kadang tebing-tebing curam sekali, tetapi Banyak Sumba sudah terbiasa hidup dalam hutan.

   Seperti seekor kera atau harimau tutul, ia melompat-lompat atau dengan cepat memanjati pohon-pohonan, dan menuruninya kembali.

   Ia terus menuruni puncak gunung yang tinggi.

   Di satu tempat, ia berhenti karena ketika melintas sungai itu, ia melihat jejak-jejak yang mendebarkan hatinya.

   Apakah itu jejak binatang hutan yang besar, seperti banteng dan rusa? Ataukah itu jejak kuda? Banyak Sumba menundukkan kepalanya, memeriksa jejak-jejak itu dengan saksama.

   Debarjantung-nya menghebat.

   Jejak kuda! Ia bangkit, berpaling ke seberang sungai yang sempit.

   Di antara semak- semak, ia melihat jalan setapak.

   Ia menemukan kembali jejak ketiga orang penunggang kuda yang dicarinya dua hari belakangan ini.

   Ia dapat membayangkan bahwa ketiga orang penunggang kuda itu pernah melompati bagian sungai di tempat itu.

   Tanpa berpikir panjang, Banyak Sumba melompati sungai kecil, lalu berlari mengikuti jejak kuda itu.

   Akan tetapi, di tengah-tengah jalan, ia berhenti.

   Mungkinkah siluman hendak menyesatkannya kembali setelah ia menemukan jalan untuk kembali ke dunia manusia? Munginkah ia sedang dipancing oleh siluman untuk kembali tersesat ke dalam hutan belantara dan tidak dapat kembali untuk selama-lamanya ke dalam masyarakat yang beradab? Atau mungkinkah Sang Hiang Tunggal begitu kasih kepadanya sehingga ia diberi jalan untuk dapat mengunjungi Padepokan Tajimalela dan mempelajari ilmu kepuragabayaan untuk mengalahkan Anggadipati? Banyak Sumba tertegun, ia kebingungan.

   Akhirnya ia berdoa, kemudian melangkah kembali, mengikuti jejak kuda itu.

   Ia akan mengikuti jejak kuda itu.

   Agar tidak tersesat, ia akan membuat tanda pada pohon-pohonan.

   Ia pun mengeluarkan belatinya, lalu dipotongnya cabang-cabang pohon dari saat ke saat.

   Kadang-kadang, ditorehnya batang- batang pohon, kemudian akan dijadikannya petunjukjalan kalau ia akan kembali menuju sungai yang ditemukannya itu.

   Begitu ia berjalan, kadang-kadangjejak kuda itu hilang dalam semak-semak, tetapi umumnya ia dapat mengikuti jalan setapak.

   Walaupun samar-samar, tetapi ia yakin bahwa itu jalan setapak yang biasa dipergunakan para penunggang kuda.

   Dan, ia pun yakin pula bahwa jalan setapak itu menuju suatu tempat, kalau tidak kampung manusia tentu Padepokan Tajimalela.

   Sebelum senja tiba dan ketika ia sudah kelelahan, ia mendengar sesuatu.

   Ia mempercepat jalannya sambil mengendap-endap.

   Pada suatu ketika, tibalah ia di bibir jurang.

   Ia berdiri sejenak, kemudian menjatuhkan diri dengan hatinya mengucap syukur kepada Sang Hiang Tunggal.

   Ia merayap di bibir jurang itu.

   Ia melihat ke bawah, sebidang lapangan luas yang ber- semak-semak rendah dan berbunga-bunga.

   Ia menyadari bahwa ia berada di pinggir sebuah kawah mati.

   Dan ia hampir tidak percaya pada matanya sendiri ketika dilihatnya beberapa bangunan berupa kuil di dasar kawah itu.

   Ia bertanya-tanya dalam hati, tidakkah ia bermimpi? Belum hatinya jernih, ia sudah menghadapi peristiwa yang baru.

   Tiba-tiba, dari arah hutan di bibir kawah sebelah timur, datanglah suara gemuruh.

   Dari arah itu, muncullah sekira tiga puluh orang pemuda.

   Semua berpakaian putih.

   Mereka berlari, berbaris ke arah lapangan yang berada di dekat kuil.

   Seraya berbaris dan berlari, mereka berseru-seru atau bernyanyi.

   Karena kebiasaan, Banyak Sumba menyelinap menyembunyikan diri di balik semak-semak.

   Ia terus bertanya-tanya, apakah ia telah memasuki daerah para guriang? Apakah para pemuda yang tampan-tampan dan berpakaian putih itu manusia atau makhluk Kahiangan? Apakah mereka itu para Bujangga? Ataukah mereka itu siluman? Tapi, kalau siluman, tentu akan menimbulkan suasana lain dalam hati Banyak Sumba.

   Ia tidak merasa seram atau ngeri.

   Ia merasa kagum dan bahkan gembira melihat para pemuda yang tampan-tampan, kuat-kuat, dan halus- halus gerak-geriknya itu.

   Atau mungkinkah ia sudah tiba di Padepokan Tajimalela yang termasyhur itu? Apakah pemuda- pemuda itu para calon puragabaya? Demikianlah ia bertanya-tanya sambil mengintip.

   Sementara itu, para pemuda duduk berkeliling di lapangan yang berpasir putih.

   Seorang di antara mereka yang tampak sudah berumur, berdiri di tengah-tengah, lalu berbicara.

   Akan tetapi, karena jauh dan angin bertiup ke arah lain, Banyak Sumba tidak mendengar apa yang dikatakan orang itu.

   Orang yang berdiri di tengah lingkaran itu melakukan gerakan- gerakan tertentu seperti menari, kemudian berbicara kembali.

   Banyak Sumba tiba-tiba menjadi yakin dan gembira, bahwa ia telah tersesat ke daerah yang memang dicari-carinya.

   Ia sekarang berada di Padepokan Tajimalela.

   Ia meletakkan kedua telapak tangan di depan dadanya sambil mengucapkan doa syukur kepada Sang Hiang Tunggal.

   "Yang Mahakasih, hamba-Mu mengucap syukur kepa-da-Mu karena telah membawa hamba-Mu ke tempat hamba-Mu akan mempelajari ilmu yang sangat ampuh, untuk membalaskan dendam keluarga,"

   Demikian di antaranya bisik Banyak Sumba.

   Kemudian, ia merangkak agar dapat lebih dekat ke arah orang-orang muda yang duduk berkeliling itu.

   Selagi merangkak, ia merasakan arah angin.

   Ia sadar, ia harus berhati-hati karena yang memasuki daerah itu tanpa izin akan ditangkap dan bahkan dibunuh.

   Daerah padepokan yang sangat termasyhur itu terlarang bagi sembarang orang.

   Tanpa disadarinya, matahari menyurukkan kepala ke dalam hutan lebat dan, seperti tiba-tiba, hari menjadi senja.

   Banyak Sumba melihat para pemuda itu bangkit, lalu sambil menyanyikan doa-doa yang indah bunyinya, mereka berjalan memasuki kuil.

   Dari pintu kuil, muncul seorang tua yang agung dengan janggut putih yang bergerai-gerai ditiup angin senja.

   Orang tua itu berdiri di gerbang kuil, memandangi para pemuda yang sambil berbaris memasuki kuil.

   Tak lama kemudian, lapangan itu menjadi sunyi kembali karena semua orang telah masuk kuil.

   Mereka akan bersembahyang senja, kata Banyak Sumba dalam hati.

   Mereka bukan siluman, juga bukan Bujangga atau guriang.

   Mereka adalah manusia.

   Banyak Sumba merasa yakin akan hal itu.

   Sambil menarik napas panjang, ia membuat rencana untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut seraya memandang ke arah bangunan-bangunan yang ada di dasar kawah mati itu.

   Sementara itu, malam pun tiba dan beberapa obor dinyalakan orang di sekitar bangunan-bangunan itu.

   Ternyata, kesibukan di tempat itu masih juga ramai walaupun hari telah gelap.

   Dalam remang-remang cahaya obor, Banyak Sumba melihat baju-baju putih berkelebatan, terdengar pula suara orang bercakap-cakap sayup-sayup.

   Dari dalam kuil terdengar doa bersama.

   Kadang-kadang terdengar orang berbicar.i, * perti memberikan wejangan.

   Banyak Sumba ingin sekali menyelidiki, tetapi ia belum berani turun dari bibir kawah itu.

   Baru setelah tampak kesibukan berkurang dan beberapa obor di lapangan dipadamkan, Banyak Sumba berani bergerak dan merangkak ke bawah.

   Ia berusaha tidak mengeluarkan suara.

   Ia berjalan mengendap-endap dan menyelinap dari satu bayangan pohon ke bayangan pohon yang lain.

   Kemudian, ia bergerak menuju ruangan besar, tempat para pemuda itu masuk pada waktu senja.

   Lama sekali ia mengendap-endap karena berulang-ulang ia melihat bayangan putih pada malam gelap itu.

   Ia sadar, tentu saja ada penjaga yang bertugas malam, sekurang-kurangnya untuk menghindarkan kuda dari serangan binatang buas.

   Ia tahu bahwa di tempat itu disimpan beberapa ekor kuda karena sayup-sayup ia pernah mendengar ringkiknya.

   Betapapun lambat dan hati-hatinya, akhirnya sampai juga ia di salah satu bangunan di dasar kawah mati itu.

   Ia meraba-raba dinding bangunan yang terdiri dari kayu dan batu.

   
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia berkeliling, mencari celah untuk mengintip ke dalam.

   Sementara itu ia berhati-hati, jangan-jangan ada peronda yang memergokinya.

   Ternyata, bangunan besar itu sangat baik dindingnya sehingga tidak ada satu celah pun yang dapat dipergunakannya untuk mengintai.

   Dan ketika ia sedang meraba-raba dinding itu, tiba-tiba didengarnya langkah mendekat.

   Ia melekatkan dirinya rapat-rapat ke dinding.

   Tak lama kemudian, ia melihat bayangan putih berjalan, berhenti, mendengus-dengus udara, kemudian berjalan lagi, lalu berhenti..Banyak Sumba sadar bahwa kehadirannya diketahui oleh penjaga itu.

   Ia baru menyadari bahwa para puragabaya memiliki penciuman yang tajam sekali.

   Ia terlambat untuk menghindari bahaya karena sudah berada dalam jangkauan penciuman penjaga itu.

   Ia hanya berdoa, mudah-mudahan angin bertiup bertentangan arah.

   Kemudian, dilihatnya penjaga itu menjauh, pakaian putihnya mengabur dalam gelap malam.

   Banyak Sumba segera menyelinap, menghindar, menuju semak-semak di tepi kawah mati itu.

   Di sana, ia termenung untuk beberapa lama, memikirkan bagaimana cara yang sebaik-baiknya agar dia dapat mengetahui lebih banyak tentang padepokan itu dengan risiko sekecil-kecilnya.

   Terpikir olehnya, bagaimana kalau ia memasuki loteng ruangan tempat para calon puragabaya belajar.

   Akan tetapi, hal itu bukannya tidak mengandung risiko yang besar.

   Pertama, kalau ditemukan, ia akan sukar sekali melarikan diri dari kepungan para calon puragabaya itu.

   Kedua, untuk memasuki loteng itu, ia harus mengangkat atap ijuk yang entah telah berapa ratus tahun umurnya.

   Ia melihat kesukaran dan bahaya yang besar, tetapi itulah satu-satunya cara.

   Ia menarik napas panjang, ditetapkan untuk dicobanya.

   Setelah melihat ke segala arah, Banyak Sumba merangkak keluar dari semak persembunyiannya.

   Berulang-ulang ia melompat dari bayangan ke bayangan di lapangan berpasir yang memisahkan semak-semak dengan ruangan belajar para calon itu.

   Ketika memasuki bayangan dinding bangunan kecil yang terletak beberapa langkah dari ruangan belajar para calon, ia menyentuh sebatang pohon kecil secara tidak sengaja.

   Daun gemerisik dan sesuatu jatuh dari pohon itu.

   Tiba-tiba, dari arah bangunan kecil itu terdengarlah suara.

   "Da!"

   Terhenti rasanya detak jantung Banyak Sumba. Ia terpaku di tanah, tidak bergerak. Suara itu kemudian terdengar lagi.

   "Da!"

   Banyak Sumba menjawab.

   "Ya."

   Dari dalam ruangan tidak terdengar lagi suara.

   Banyak Sumba menghindar, mengendap-endap.

   Memanjat dinding bangunan tempat belajar para pura- gabaya tidaklah sukar.

   Ia sudah hidup seperti seekor kera atau macan tutul dalam hutan.

   Tak lama kemudian, ia sudah berada di atap bangunan yang besar dan panjang.

   Merayap- rayap dalam gelap seraya berusaha tidak mengeluarkan suara, sungguh merupakan perbuatan yang berat.

   Baru saja beberapa saat, keringatnya sudah membasahi tubuhnya, padahal malam sangat dingin ketika itu.

   Banyak Sumba tidak berputus asa.

   Ia terus mencari-cari celah ijuk yang dapat diangkatnya.

   Ternyata, atap ruangan itu dibuat secara sempurna.

   Banyak Sumba akhirnya memutuskan untuk menggagalkan niatnya.

   Ia akan turun dan memikirkan cara lain di tempat yang lebih aman.

   Namun, ketika ia turun, didengarnya suara agak nyaring datang dari dalam ruangan.

   Ketika ia berpaling ke arah datangnya suara itu, dilihatnya dalam remang malam lubang udara yang besar.

   Banyak Sumba segera merayap mendekati lubang udara yang memasuki loteng.

   Ia pun memasukinya dengan mudah dan tak lama kemudian, ia telah berada dalam loteng ruangan besar itu.

   Setelah merayap-rayap dalam gelap tanpa mengeluarkan suara, tibalah ia di suatu tempat.

   Di sana, ia dapat mendengar pembicaraan orang-orang yang ada di bawah.

   Sesuai dengan yang diharapkannya, pembicaraan yang terdengar dari bawah tempat persembunyiannya adalah mengenai masalah ilmu keperwiraan.

   Walaupun begitu, Banyak Sumba tidak mudah mengerti dan menangkap isi percakapan orang-orang yang diintipnya karena banyak istilah yang tidak dikenalnya.

   Kadang-kadang terdengar nama-nama jurus yang dikenalnya diucapkan orang, tetapi lebih sering didengar istilah seperti batas gerak, titik berat, tenaga bendung, tenaga alir, dan tenaga ledak.

   Banyak Sumba mencoba menduga-duga, apa yang dimaksud istilah itu, tetapi tidak merasa puas dengan menduga-duga.

   Itulah sebabnya, ia berusaha menoreh dinding loteng dengan pisau belatinya.

   Hal itu dikerjakannya dengan perlahan-lahan sekali.

   Akhirnya, suatu celah dapat dibuatnya.

   Melalui celah itu, tampaklah para pemuda yang gagah dan tampan dengan khidmat duduk dalam bentuk lingkaran.

   Salah seorang yang duduk bersama mereka tampak menjadi pengajar mereka.

   "Tempatkan titik berat badanmu ke salah satu tumit kakimu, jangan di kedua belah kaki. Kalau ditempatkan di kedua belah kaki, kau akan sukar bergerak. Kelincahanmu akan jauh berkurang, sedangkan lawan akan dengan mudah menyapu kakimu yang satu atau yang lain."

   Orang setengah baya itu melihat ke sekelilingnya, ke wajah para pemuda yang tampan dan halus itu. Tampak bahwa orang itu mengharapkan pertanyaan. Tak lama kemudian, salah seorang di antara pemuda itu mengacungkan tangan, lalu bertanya.

   "Lawan yang baik akan melihat di mana berat badan kita berada. Dengan demikian, ia dapat meramalkan gerakan yang akan kita ambil dan serangan yang paling ampuh yang dapat dilaksanakan. Bukankah dengan titik berat badan kita di satu tumit, lawan akan mudah melihat dan meramalkan kemungkinan-kemungkinan serangan kita?"

   "Itu pertanyaan yang bagus sekali,"

   Ujar orang setengah baya itu. Setelah berkata demikian, berdirilah ia, lalu berjalan ke tengah lingkaran. Ia berdiri, satu kakinya menganjur ke depan, yang lain berada di bawah badannya. Ia bertanya.

   "Di manakah berat badan Paman?"

   Tanya orang itu.

   "Di kaki belakang,"

   Kata beberapa orang siswa. Laki-laki setengah baya itu mengubah kedudukannya, setelah itu bertanya pula.

   "Sekarang, di mana titik berat badan Paman?"

   Para siswa termenung sejenak, kemudian ada yang mengatakan di kaki kiri, ada pula yang mengatakan di kaki kanan.

   Kemudian, orang setengah baya itu menjelaskan bahwa cara menyembunyikan titik berat badan adalah salah satu bagian ilmu yang sangat penting dan harus dikuasai oleh setiap pura-gabaya.

   Mendengar perkataan "puragabaya"

   Itu, bergembiralah Banyak Sumba.

   Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya bahwa ia telah tersesat ke tempat yang diinginkannya.

   Tidak ada keraguan lagi akan keyakinannya selama ini bahwa Sang Hiang Tunggal sangat kasih kepada wangsa Banyak Citra.

   Sementara itu, perhatiannya tidak lepas dari semua yang dilakukan oleh pelatih dan para calon puragabaya.

   Ia menyadari bahwa segala yang didengarnya adalah suatu hal yang baru baginya.

   Pertama, ternyata, pelatih calon puragabaya tampaknya tidak pernah berpikir dengan mempergunakan seperti jurus kuda-kuda, sikap, dan sebagainya.

   Ia lebih banyak berpikir dengan mempergunakan istilah-istilah titik berat badan, kemungkinan-kemungkinan gerak, peraturan tenaga, dan kekuatan serta kelemahan tubuh.

   Mendengar penjelasan pelatih calon puragabaya itu, sadarlah Banyak Sumba bahwa selama ini, cara berpikir yang demikianlah yang dibutuhkannya.

   Ia merasa tidak puas dengan pengertian yang biasa dipergunakan sebelumnya.

   Sudah lama ia berpendapat bahwa semua jurus berguna.

   Yang menjadi persoalan baginya, bagaimana agar setiap jurus dapat dipergunakan pada saat dan keadaan yang tepat.

   Dan, persoalan ini hanya dapat dijawab dengan mudah kalau ia mempergunakan cara berpikir lain.

   Cara berpikir demikian, ternyata dipergunakan oleh pelatih puragabaya itu.

   Setelah para siswa itu selesai belajar dan meninggalkan ruangan, Banyak Sumba turun dari atap bangunan, lalu dengan mengendap-endap masuk hutan, mencari pohon untuk menginap.

   Karena lelah, ia segera tertidur.

   Karena sudah biasa, ia tidak perlu lagi mengikatkan dirinya pada dahan-dahan.

   Walaupun tidur, ia tetap mengendalikan berat badannya.

   Keesokan harinya, subuh-subuh ia terbangun oleh nyanyian para siswa.

   Banyak Sumba memanjat lebih tinggi lagi.

   Di balik kerimbunan daun-daun, ia menyaksikan cara mereka berlatih.

   Ia kadang-kadang tersenyum kalau sadar bahwa apa-apa yang dilakukan oleh para siswa secara sengaja, telah dilakukannya secara terpaksa selama ia berada di hutan belantara.

   Ia merasa lega karena ia pun menyadari, banyak hal yang berguna telah dikuasainya selama ia tersesat dan menderita di hutan rimba itu.

   Namun, sering pula hatinya menjadi kecil kalau menyaksikan cara-cara latihan yang belum pernah dilihatnya.

   Sering ia ingin menggabungkan diri dengan para siswa dan mencoba kemampuannya melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh pelatih para siswa itu.

   Akan tetapi, ia hanya dapat lebih menajamkan pandangan matanya dan mencoba mengerti apa maksud dan makna latihan para siswa puragabaya itu.

   Kadang-kadang ia tidak mengerti sama sekali, dan walaupun mencobanya seorang diri, bentuk latihan itu tetap gelap baginya.

   Maka, sepanjang hari, ia memikirkan apa yang dilihatnya itu.

   Kemudian, ia mencari buah-buahan atau mencoba menangkap binatang untuk makanannya.

   Malam hari, seperti biasa, ia menyelinap dan memasuki loteng tempat belajar para calon.

   Banyak hal mengenai keper- wiraan dipelajari dari pengintipan itu dan ilmu kepuragaba- yaan makin lama makin menjadi terang baginya, walaupun masih banyak hal kecil yang tidak dimengertinya.

   Di samping hal-hal mengenai ilmu keperwiraan yang diberikan oleh para pelatih yang terdiri dari beberapa orang, Banyak Sumba pun sempat ikut mempelajari cara-cara pengobatan yang diajarkan kepada para calon puragabaya itu.

   Para calon puragabaya diharuskan mengetahui bagian-bagian badan manusia, yang di luar maupun yang di dalam.

   Selain berguna untuk melumpuhkan lawan dengan mudah dan cepat, pengetahuan itu sangat berguna untuk menyembuhkan siapa saja yang memerlukan pertolongan.

   Cara-cara pengobatan itu ada yang hanya mempergunakan tangan, tapi ada pula yang mempergunakan daun-daunan dan akar-akaran.

   Banyak Sumba dengan tekun ikut memerhatikan apa-apa yang dijelaskan oleh seorang pelatih yang bernama Paman Minda.

   Paman Minda ini, selain ikut melatih, tugas utamanya menjaga dan merawat para calon yang mendapat kecelakaan dalam latihan.

   Tidak jarang, dalam latihan-latihan itu, ada calon puragabaya kena pukulan, terkilir atau terjatuh, luka atau memar.

   Paman Minda-lah yang mengurus mereka.

   Kadang-kadang, Resi Tajimalela hadir di tempat belajar untuk memberikan wejangan tentang keagamaan.

   Banyak pula hal mengenai keagamaan dan kesatriaan yang dipelajari oleh Banyak Sumba.

   Tidak disadarinya, setelah beberapa bulan berada di sekitar Padepokan Tajimalela dan hidup seperti seekor musang, pengetahuannya tentang ilmu keperwiraan bertambah, sementara jiwanya jadi penuh dengan persoalan.

   Satu persoalan yang sangat menggelisahkan hati Banyak Sumba, yaitu mengenai hubungan antara manusia.

   Pada suatu malam, ketika Resi Tajimalela selesai memberikan wejangan dan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bertanya, berkatalah seorang pemuda.

   "Eyang Resi, tadi Eyang mengatakan bahwa sebagai seorang puragabaya, kami harus melepaskan kepentingan pribadi demi kepentingan sesama manusia, khususnya sesama anak negeri Pajajaran. Sudilah Eyang Resi menjelaskan kepada kami dengan contoh."

   "Baiklah, Anakku,"

   Sabda Eyang Resi sambil mengangguk-angguk. Wajahnya yang kurus dihiasi dengan dua bola mata jernih yang gemerlapan tetapi sangat lembut. Setelah berdeham, Eyang Resi Tajimalela melanjutkan wejangannya.

   "Kalau engkau merasa bersalah, engkau bukan saja harus bersedia mendapat hukuman, tetapi harus meminta dihukum. Mengapa? Karena keadilan milik bersama, sedangkan dirimu milikmu sendiri. Kalau milikmu musnah, Pajajaran dapat berlangsung terus, tetapi kalau keadilan rusak, hilang lenyaplah Pajajaran."

   Ruangan hening untuk beberapa lama, kemudian sambil tersenyum, bersabda pulalah Eyang Resi Tajimalela.

   "Masihkah kurang jelas?" 'Jelas, Eyang,"

   Kata siswa yang bertanya terlebih dahulu.

   "Kalau begitu, Eyang, hubungan keluarga itu tidak ada artinya sama sekali karena anggota keluarga kami tidak boleh lebih dipentingkan daripada siapa pun,"

   Kata seorang siswa lain.

   "Benar, Anakku,"

   Ujar Eyang Tajimalela, lalu melanjutkan penjelasannya.

   "Ketika kalian diserahkan untuk belajar di sini, orangtua kalian menyerahkan kalian menjadi anak negara. Kalian anak setiap warga Pajajaran dan bukan anak keluarga kalian lagi. Memang, hubungan darah dan hubungan cinta kasih kalian dengan orangtua dan saudara akan tetap lebih mesra dibandingkan dengan kasih kalian kepada orang lain. Akan tetapi, satu hal harus kalian sadari bahwa di dalam keadilan, keluarga kalian tidak boleh diistimewakan. Seandainya seorang anggota keluarga kalian bersalah, kalianlah yang seharusnya paling dulu menghukumnya karena kalian menyadari bahwa perbuatan dosa bukan saja merusakkan orang yang menjadi korban, tetapi sebenarnya merugikan seluruh anak negeri Pajajaran. Kalau kalian kasih kepada sanak keluarga, hendaknya itu berarti bahwa kalian menjaga mereka agar selalu hidup dalam keadilan dan kasih terhadap sesamanya. Orang yang melindungi saudaranya berbuat tidak adil, bukanlah menyayangi saudaranya, tetapi justru menjerumuskannya.

   "Anak-anakku, bandingkanlah hidup kita dalam kerajaan ini dengan hidup di dalam sebuah telaga besar yang airnya jernih. Kalau seorang berbuat tidak adil, itu berarti dia mengotori air telaga itu. Yang kena kotornya bukan dia sendiri, tetapi kita semua. Itulah sebabnya, tugas kalian yang pertama adalah menghukum diri sendiri kalau sadar telah berbuat salah atau tidak adil. Kemudian, hukumlah saudara- saudaramu kalau mereka berbuat tidak adil. Baru kalian menghukum orang lain sesuai dengan peraturan dan undang- undang kerajaan."

   Apa yang menggelisahkan Banyak Sumba adalah pendapat bahwa keluarga seseorang itu hanya berharga sejauh hidup dalam keadilan.

   Dengan demikian, kebanggaan keluarga, seperti kebanggaan Banyak Sumba sebagai keturunan wangsa Banyak Citra, merupakan hal yang sia-sia bagi Eyang Resi Tajimalela.

   Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika larut malam, ia merayap meninggalkan atap ruangan yang sunyi itu, pikirannya tetap gelisah.

   Pada suatu saat, berkatalah ia kepada dirinya sendiri.

   "Barangkali, Eyang Resi dapat berkata demikian karena ia sudah tidak punya keluarga lagi."

   Perkataannya itu tetap tidak menenangkan pikirannya.

   Bagaimanapun, pendapat Eyang Resi Tajimalela itu adalah pendapat yang mulia.

   Hanya dengan bersikap demikian, seorang kesatria berhak mendapat gelar kesatria.

   Akan tetapi, bagaimana dengan kasih sayang antara anggota keluarga? Kakanda Jantejaluwuyung dibunuh dengan keji.

   Kalau ia membelanya, tidakkah itu berarti bahwa ia membela keadilan juga? Tapi, bagaimana kalau yang dibunuh itu bukan Kakanda Jante Jaluwuyung? Mungkinkah ia bersedia menderita segala kesengsaraan untuk menegakkan keadilan? Banyak Sumba tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

   Ia gelisah sepanjang malam.

   Ia hidup sebagai binatang malam di sekitar padepokan itu.

   Makin hari, makin bertambah pengetahuannya tentang ilmu keperwiraan maupun tentang ilmu pengobatan dan keagamaan.

   Akan tetapi, kegelisahannya pun makin lama makin bertambah.

   Ia menyadari bahwa ia adalah orang yang sungguh-sungguh menempati kedudukan yang bertentangan dengan para siswa kepuragabayaan itu.

   Kalau ia menyerahkan hidupnya untuk keluarganya dan untuk wangsa Banyak Citra, para siswa kepuragabayaan sebaliknya.

   Mereka menyerahkan hidupnya untuk sesama manusia, dan anggota keluarga mereka berada dalam kasih sayang mereka selama tidak memusuhi sesama manusia.

   Manakah sikap yang benar? Masalah itu masih tetap menjadi bahan renungannya ketika pada suatu pagi ia melihat suatu hal yang tidak biasa di kalangan para siswa.

   Ketika yang lain melakukan latihan dan Banyak Sumba memandangnya dengan penuh perhatian serta pengertian, beberapa orang siswa di bawah pimpinan seorang pelatih memisahkan diri, lalu merunduk-runduk seolah-olah sedang mencari-cari sesuatu di atas pasir dan rumput.

   Darah Banyak Sumba tersirap ketika ia menyadari bahwa mereka telah menemukan dan mencurigai jejaknya.

   Sadar akan hal itu, Banyak Sumba meluncur seperti seekor ular, lalu menyelinap ke dalam semak dan menjauh dari daerah Padepokan Tajimalela.

   Ia berpikir keras, bagaimana agar ia tidak ditemukan.

   Kesimpulan yang diambilnya adalah ia harus menghindar dan bersembunyi untuk beberapa lama di tempat yang agak jauh dari padepokan.

   Ia sadar bahwa hal itu akan sangat merugikannya, tetapi itu adalah jalan satu-satunya.

   Selama tiga hari, ia tidak berani mendekati Padepokan Tajimalela.

   Ia berkelana di hutan yang jauh dari padepokan dan pada hari keempat, ketika malam mulai gelap, barulah ia berani kembali.

   Langsung ia menyelinap dan naik ke atap ruangan besar tempat para calon puragabaya mendapat wejang-an-wejangan tentang ilmu keperwiraan dan ilmu keagamaan.

   Apa-apa yang didengarnya tentang ilmu keagamaan selalu menggelisahkannya.

   Terakhir ia mendengar penjelasan Eyang Resi Tajimalela tentang sejarah manusia.

   Di antara wejangan itu, Eyang Resi Tajimalela menjelaskan bahwa manusia yang rendah di zaman biadab, mula-mula hanya mementingkan dirinya sendiri.

   Dalam keadaan gawat, kadang-kadang manusia biadab membunuh dan memakan anaknya sendiri.

   Kemudian, dengan mempergunakan akal budinya, manusia makin lama makin halus.

   Rasa kasih sayang dan rasa kasih tumbuh.

   Maka, manusia yang telah meningkat ini tidak terlalu mementingkan dirinya lagi, tetapi ia mementingkan juga keluarganya.

   Ia membela mati-matian anak istrinya terhadap gangguan binatang buas ataupun orang-orang lain.

   Setelah itu, manusia lebih maju lagi.

   Ia tidak hanya mempertahankan dan membela keluarganya, tetapi juga anggota kelompoknya.

   Mulailah sering terjadi peperangan antara kelompok-kelompok manusia untuk memperebutkan harta atau hanya karena berebut daerah perburuan atau perhumaan.

   Setelah kelompok-kelompok itu berdamai, terbentuklah bangsa dan kerajaan seperti Pajajaran.

   Ini adalah tingkatan yang sangat tinggi.

   Para puragabaya menjadi pelopor dalam perkembangan kemanusiaan yang tinggi itu.

   "Di Pajajaran,"

   Demikian Eyang Resi Tajimalela.

   "masih ada orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, keluarga, atau kelompoknya. Secara berangsur-angsur, mereka harus dididik agar Pajajaran menjadi suatu kerajaan yang kuat dan padu. Dan contoh yang menjadi teladan bagi masyarakat adalah para puragabaya. Mereka ini manusia-manusia baru, manusia-manusia masa depan yang gilang-gemilang."

   Penjelasan Eyang Resi Tajimalela menjadi bahan renungan yang sangat mengganggu ketenteraman hatinya.

   Ia bimbang, karena dengan penjelasan-penjelasan itu, ia merasa ditempatkan sebagai manusia yang rendah.

   Ia mementingkan keluarga dan tidak mementingkan kerajaan secara keseluruhan.

   Hal itu merupakan cacat baginya, demikian menurut pendapat Eyang Resi Tajimalela.

   "Apakah itu benar?"

   Tanya Banyak Sumba dalam hati.

   Ia berusaha menjawab pertanyaan itu dan kepalanya menjadi pening karenanya.

   Ilmu keperwiraan yang diajarkan-dalam ruangan besar itu, serta pelaksanaan latihan-latihan yang dilakukan oleh para calon puragabaya, sangat merangsang pikirannya.

   Berulang- ulang, ia ingat kepada Jasik karena tiadanya panakawan itu sangat merugikan baginya.

   Ia tidak dapat mencoba segala pelajaran yang dicurinya dari atas atap atau didapatnya dari renungan-renungan.

   Kadang-kadang, dorongannya untuk mencoba ilmu barunya terhadap para calon puragabaya hampir tidak tertahan, kalau saja ia tidak sadar bahwa hal itu akan berarti bunuh diri.

   Dengan ilmu yang didapat dari Padepokan Tajimalela itu, ia sadar bahwa ia sekarang sudah dapat mengerti mengapa dengan mudah ia dikalahkan oleh Raden Madea, ketika ia mencoba kemampuan ilmu calon puragabaya itu di Padepokan Sirnadirasa dulu.

   Ia sekarang yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan Raden Madea, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan dapat dirobohkan seperti dulu sehingga pergelangan tangannya terkilir.

   Demikian ia termenung hingga para calon meninggalkan ruangan dan ia menyelinap ke luar setelah semuanya sunyi.

   Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja terbit, seperti biasa, Banyak Sumba merayap atau melompat dari pohon ke pohon menuju daerah padepokan.

   Ia duduk di atas dahan, pada sebatang pohon yang berdaun rindang.

   Ia memandang ke arah lapangan tempat para calon puragabaya berlatih.

   Akan tetapi, tidak seperti biasanya, lapangan sepi belaka.

   Maka, melompatlah ia, seperti seekor kera besar, menuju pinggir kawah mati sebelah selatan, ke tempat latihan memanjat tebing.

   Akan tetapi, di sana pun para calon tidak ada.

   Banyak Sumba turun dari pohon, lalu menyelinap di antara semak-semak, mendekati pinggir kawah mati.

   Ketika ia mencoba lebih mendekati bangunan-bangunan itu, terdengar olehnya teriakan-teriakan sayup-sayup.

   Karena telinganya sangat tajam, ia segera mengetahui dari mana datangnya teriakan-teriakan itu.

   la segera menuju tepi kawah bagian utara, kemudian menuruni tebing-tebing.

   Didengarnya bunyi air terjun yang gemuruh.

   Dengan penasaran Banyak Sumba mendekat, lalu memanjati pohon yang sangat tinggi.

   Ia heran melihat bagaimana para calon dengan mempergunakan tambang, dimasukkan ke dalam pusaran air besar yang menyeramkan yang telah dikenalnya.

   Seorang demi seorang calon itu diturunkan, lalu ditarik kembali setelah beberapa lama.

   Umumnya, mereka terbaring kelelahan setelah berada di atas kembali.

   Yang mengherankan Banyak Sumba adalah calon dapat keluar dari pusaran air itu.

   Sepanjang pengetahuan Banyak Sumba, air jeram itu berputar sangat keras dalam suatu lubang besar, lalu mencebur ke dalam sungai.

   Barang siapa yang masuk ke dalam pusaran itu akan dibanting air ke batu-batu dan cadas di sana, dan akan masuk sungai sebagai mayat.

   Akan tetapi, para calon dapat keluar dengan selamat.

   Ingin sekali Banyak Sumba mengetahui, apa yang dilakukan oleh para pelatih terhadap calon puragabaya itu.

   Ia melompat ke pohon lain sambil berusaha tidak menimbulkan suara atau gerakan.

   Makin lama, makin dekat ia ke arah para calon yang mengelilingi lubang yang dibuat oleh air terjun itu.

   Sekarang, Banyak Sumba dapat melihat bahwa di dalam pusaran air yang gemuruh itu, para calon harus dapat mempertahankan diri sehingga tidak terbanting ke cadas.

   Setiap kali ada calon yang diturunkan, berdebar-debar hati Banyak Sumba.

   Dan, setiap kali mereka diangkat dengan selamat, lega pula hatinya.

   Bagaimanapun, setelah beberapa bulan tinggal di hutan sekitar padepokan, ia sudah mengenal para calon itu satu per satu.

   Ia merasa sayang kepada mereka, para pemuda yang tampan dan halus perangainya itu.

   Akan tetapi, sedih sekali Banyak Sumba seandainya salah seorang di antara mereka ada yang menjadi korban latihan berat itu.

   "Turun!"

   Tiba-tiba terdengar seseorang berseru.

   Terhenti rasanya denyut jantung Banyak Sumba.

   Ketika melihat ke bawah, ia sadar bahwa pohon tempatnya bersembunyi telah dikelilingi oleh dua orang pelatih dan beberapa orang calon yang telah selesai berlatih.

   Banyak Sumba melihat ke arah pohon-pohon sekelilingnya.

   Ia menarik napas, lalu melompat ke dahan terdekat, kemudian ke pohon yang lain.

   Tiba-tiba, ia melihat bahwa semak-semak bergerak di bawahnya.

   Ternyata, ia telah dikepung ketika ia asyik memerhatikan para calon yang sedang berlatih.

   Banyak Sumba melihat pula beberapa orang calon telah menaiki pohon-pohon yang akan dilompatinya.

   Dengan sedih, ia menyadari bahwa para calon itu sangat tangkas, tangkas seperti dia sendiri.

   Maka, dengan secepat-cepatnya, Banyak Sumba melompat dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon bagaikan seekor kera besar.

   Para calon seraya berteriak-teriak mengepung, ada yang berlari di antara semak-semak, ada pula yang mengejar dia dari pohon ke pohon.

   Pada suatu kali, Banyak Sumba berlari di atas dahan besar.

   Tiba-tiba, seseorang melompat dari pohon lain dan berdiri di ujung dahan besar itu pada arah yang bertentangan.

   


Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja

Cari Blog Ini