Pertarungan Terakhir 5
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Bagian 5
Pertarungan Terakhir Karya dari Saini KM
Tak ada jalan lain, kecuali menyerang calon puragabaya itu.
Secepat kilat, terpikir oleh Banyak Sumba bahwa itu adalah kesempatan yang baik untuk mencoba ilmunya.
Secepat kilat pula, ia beranggapan, alangkah anehnya kalau ia berpikiran begitu waktu dikepung bahaya.
Adapun yang terpikir olehnya, ia tetap bergerak menuju calon itu.
Calon itu bersiap, ia pun bersiap, berhadapan di atas cabang besar itu.
Selangkah demi selangkah, keduanya maju.
Teriakan-teriakan terdengar dari bawah.
Di antara teriakan-teriakan itu terdengar teriakan pelatih.
'Jangan dikeroyok, lawan sebagai seorang kesatria!"
Tiba-tiba, calon itu menyerang, menangkap tangan Banyak Sumba, dan mencoba merusak keseimbangan agar Banyak Sumba jatuh.
Akan tetapi, Banyak Sumba dapat mengendalikan berat badannya dan menarik calon itu ke kedudukan yang tidak seimbang.
Banyak Sumba melangkahkan kakinya ke depan dan calon yang telah berdiri miring terjatuh, tetapi tidak langsung ke tanah.
Tangannya yang cekatan menangkap dahan dan bergantunglah ia, kemudian melompat kembali mengejarnya.
Banyak Sumba segera meninggalkan pohon itu, ia memanjati batang yang tinggi.
Terdengar di belakang gerisik daun-daunan dan getaran batang pohon yang disebabkan oleh berat badan pengejar.
Banyak Sumba berhenti, lalu ketika muka pengejar tampak, ia menginjaknya.
Akan tetapi, begitu cepat calon puragabaya itu mengibas sehingga tumit Banyak Sumba menyerang angin.
Banyak Sumba tidak melanjutkan serangannya.
Ia segera melompat kembali.
Beberapa pohon dilompatinya, kemudian tampaklah semak-semak yang tidak ada pohon besarnya.
Banyak Sumba segera menuruni pohonnya.
Ketika ia menginjakkan kakinya di tanah, dari beberapa arah datanglah bayangan-bayangan putih mengepungnya.
Kaki Banyak Sumba berdesing ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada yang dikenalnya karena seperti serangan kucing-kucing hutan, para calon berloncatan ke kiri dan ke kanan atau mundur.
Banyak Sumba berlari terus.
Tanpa diketahuinya terlebih dahulu, seorang calon datang dari sampingnya dan langsung melompat menangkap pinggangnya.
Banyak Sumba memukul tangan calon puragabaya itu dan sambil mempergunakan berat badan lawan, melemparkannya ke samping kanan.
Calon itu berguling di semak, kemudian berdiri, kembali mengejar.
Banyak Sumba berlari terus hingga pada suatu kali, ia membelok karena di hadapannya tampak dua orang mencegatnya.
Akan tetapi, langkahnya terhenti karena dari depan tampak juga seorang telah bersiap-siap, sementara tidak jauh dari calon itu berdiri pula yang lain.
Banyak Sumba membelok ke arah lain, tetapi ia terhenti pula.
Ia telah dikelilingi lawannya.
"Menyerahlah, Anak Muda,"
Kata pelatih yangjuga hadir di antara pengepung.
Sementara itu, dari balik semak-semak bermunculanlah para calon.
Dengan pandangannya, Banyak Sumba merencanakan arah-arah yang akan dipergunakannya untuk melarikan diri.
Ia harus melarikan diri ke arah hutan kembali karena hutan lebih menguntungkan baginya.
Ia menyadari sekarang bahwa kalau ia terkepung, itu adalah akibat siasat para pengepung yang mengiring dia ke arah tanah terbuka, hanya terdapat semak-semak.
"Menyerahlah, Anak Muda. Kami akan memperlakukanmu secara adil,"
Kata pelatih itu pula seraya kepungan bertambah kecil.
Banyak Sumba berbisik dalam hatinya bahwa dia tidak akan mau dibunuh dengan mudah karena memasuki daerah terlarang itu.
Ia mendengarkan desir langkah pengepungyang ada di belakangnya karena merekalah yang akan diserangnya.
Makin lama, para pengepung makin mendekat.
Banyak Sumba berpura-pura mencari sasaran yang ada di depannya dan berulang-ulang berpaling ke arah yang bertentangan dengan hutan.
Itu adalah siasat, karena ketika itu, para pengepung telah berada dalam jangkauan lompatan.
Banyak Sumba berbalik dan melompat ke belakang.
Bayangan putih yang langsung ada di depannya diserangnya dengan kaki.
Akan tetapi, calon itu dengan sigap menghindar dan di belakangnya muncul dua orang bersiap-siap.
Banyak Sumba berpaling, tapi juga terhalang oleh dua orang.
Ia sadar sekarang bahwa ia hanya akan melarikan diri kalau merobohkan orang-orang yang menghadangnya dan tidak hanya menakut-nakuti mereka.
Dengan pikiran itu, Banyak Sumba menarik napas panjang.
Ia tidak berlari atau melompat.
Ia berjalan menuju lawan terdekat.
"Yang lain mundur!"
Seru pelatih.
Banyak Sumba merasa bahwa ia akan menjadi percobaan untuk menguji ketangkasan para calon itu.
Ia tidak terlalu bersedih karena ia pun tahu bahwa saat itulah ia akan dapat menguji kepandaiannya.
Maka, sambil berdoa, ia maju.
Tak lama kemudian, mereka telah berada dalam daerah serang.
Banyak Sumba yang sudah hafal akan cara-cara penyerangan yang biasa dilakukan oleh para calon, dengan mudah meramalkan gerakan-gerakan yang akan dilakukan lawan.
Itulah sebabnya, ia menutupnya.
Dan karena ia lebih tinggi dan lebih besar daripada lawannya, dengan juluran tangan, ia sudah cukup dapat menghindarkan bahaya tendangan lawan.
Sebaliknya, lawan yang berbadan ramping dan kecil, lebih terbatas kemungkinannya dalam melindungi diri.
Banyak Sumba tidak menyia-nyiakan keuntungan yang ada padanya.
Dengan segera, ia menyerang ke arah lawannya.
Itu hanya tipuan belaka karena Banyak Sumba sudah menduga bahwa dari sikap kaki dan tangannya serta dari condong badan lawan, lawan akan bergerak ke arah kirinya.
Karena ia merasa bahwa dugaannya tidak meleset, dilepaskannya tendangan yang terkendali ke arah tempat kosong itu.
Tetapi pada saat yang diduga, lawan menghindar ke arah itu.
Serangan yang terkendali tidak akan dapat dihindari lagi oleh calon itu.
Akan tetapi, dengan sangat mengherankan, Banyak Sumba tidak mengalami apa yang diharapkannya.
Memang tendangannya kena, tetapi tendangan itu tidak telak.
Banyak Sumba seolah-olah menendang sebuah benda yang ringan yang kemudian mengikuti arah tendangannya.
Lebih dari itu, tiba-tiba kaki Banyak Sumba tertarik ke arah lawan dan ia kehilangan keseimbangan.
Untung ia segera dapat bertindak, yaitu dengan melompat menubruk ke arah lawan.
Lawan menghindar sambil melemparkan badan Banyak Sumba karenanya sempoyongan.
Banyak Sumba hampir jatuh, untung dilihatnya bayangan putih di dekatnya.
Ditendangnya bayangan putih itu, dan ia seolah-olah tertahan oleh badan calon yang malang itu.
Ternyata,' calon itu pun tidak roboh, tetapi kembali melemparkan Banyak Sumba ke dalam gelanggang di tempat calon melemparkannya tadi menunggu.
Dari pengalaman yang secepat kilat itu, Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa salah satu cara calon-calon menghindarkan kekuatan serangan adalah dengan menerima serangan itu secara lembut.
Dua orang calon yang diserang dan dikenai, tidak pernah menahan serangan itu.
Kalau tidak sempat menghindar, mereka memberikan sasaran yang diserang untuk dikenai, tidak diberikan secara mudak, tetapi diikutkan dengan gerakan serangan lawan.
Ketika daya serang lawan hampir habis, anggota badan lawan yang menjadi senjata serangan dikembalikan dengan keras.
Itulah yang menyebabkan Banyak Sumba sempoyongan.
Sadar akan hal itu, Banyak Sumba memutuskan untuk tidak menyerang mereka pada jarak jauh.
Hal itu terlalu berbahaya.
Dalam kedudukan yang kurang menguntungkan, Banyak Sumba dengan mudah akan dapat dirobohkan, walaupun ia berbadan tinggi besar dibandingkan dengan para calon itu.
Maka, ditetapkannya untuk menghadapi calon yang di hadapannya dalam jarak dekat.
Banyak Sumba berjalan, menyodorkan kedua belah tangannya ke depan.
Dengan tidak disangka-sangka, tangan yang disodorkan ditendang oleh calon itu.
Ketika Banyak Sumba masih kesemutan di tangannya, calon itu sudah menyeruduk ke arahnya.
Banyak Sumba mengukuhkan kuda- kudanya karena tahu bahwa calon itu akan mental atau masuk perangkap lipatan tangannya yang kuat-kuat.
Akan tetapi, serangan itu hanyalah tipuan belaka.
Calon itu berhenti pada jarak yang dekat sekali, kemudian menendang ke arah ulu hati Banyak Sumba, lalu melompat menjauh.
Untung Banyak Sumba sempat mengibaskan tubuhnya sehingga tendangan itu mengenai otot dadanya yang kuat.
Rasa sakit menusuk ototnya, tetapi Banyak Sumba bersyukur bahwa ia tidak roboh oleh serangan yang bagus itu.
"Bagus!"
Kata pelatih kepada calon itu.
Kawan-kawan calon itu pun bergumam, puas dengan serangan kawannya yang bagus itu.
Banyak Sumba segera menyadari bahwa salah satu kepandaian para calon itu adalah kecepatan membaca gerakan yang tergerak dalam pikiran lawan.
Banyak Sumba telah melakukan serangan jarak jauh dan tidak berhasil.
Lawan segera membaca bahwa Banyak Sumba akan mencoba serangan jarak pendek.
Lawan berbalik menyerangnya dengan jarak jauh.
Dan ketika Banyak Sumba masih kebingungan, serangan yang baik dan terkendali diarahkan dengan tepat dan cepat.
Sekarang, mereka berhadapan kembali.
Banyak Sumba memutuskan untuk mempergunakan cara lain.
Keuntungannya sebagai seorang yang berbadan tinggi dan besar, kecepatannya yang dibentuk oleh hidupnya sebagai binatang hutan, dipergunakannya sebaik-baiknya.
Ia mempergunakan kecepatan ini, tetapi disembunyikannya pada awal penyerangan.
Ia bergerak dengan lembut, berganti-ganti kedudukan, sesuai dengan kuda-kuda lawan.
Ia berlaku seolah-olah menunggu serangan dan bersikap mempertahankan diri.
Ini memberikan keuntungan lain kepadanya.
Lawan menyangka bahwa tendangan yang mengenai dadanya cukup mendekati sasaran, sehingga Banyak Sumba menjadi lamban.
Tampak lawan mengambil prakarsa untuk menyerang.
Ia mencari celah-celah pada kedudukan dan pasangan Banyak Sumba.
Ketika itulah, dengan kecepatan yang hanya dimiliki oleh tubuh yang biasa mengejar kijang atau menghindarkan diri dari serangan harimau, Banyak Sumba menghambur ke depan.
Lawan melompat ke samping dengan arah yang sudah diramalkan oleh Banyak Sumba.
Dengan kaki kanannya yang panjang, Banyak Sumba mencegat lawan yang dengan cepat melompat dan berjungkir, lalu bergelundung.
Banyak Sumba berbalik mengejar.
Begitu lawan berdiri dan hendak berpaling, pinggangnya ditangkap oleh Banyak Sumba.
Tubuh calon itu diangkat hendak dilemparkannya ke tepi gelanggang, ke arah kawan-kawannya.
Akan tetapi, seperti bergetah, tubuh calon itu melekat.
Dengan segera, Banyak Sumba menyadari bahwa tangan kanannya terkunci, sedangkan beberapa bagian tubuhnya mendapat serangan kecil-kecil tapi tajam.
Ternyata, calon itu seperti seekor kucing, ketika hendak dilempar, bergantung dengan jari-jari yang dikeraskan hingga dapat merobek otot.
Banyak Sumba menggagalkan niatnya, lalu mencoba melepaskan tangannya yang dikunci.
Ketika itulah, dengan cepat calon membantingnya dan Banyak Sumba pun bergelundung di rumput.
Banyak Sumba segera bangkit dalam sorak-sorai kawan- kawan calon yang bergembira menyaksikan kepandaian kawannya itu.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, Banyak Sumba pun bergembira.
Ia menyadari sesuatu.
Ketika lawan mengunci tangan kanannya, lawan sebenarnya tidak menyerang, tetapi hanya untuk menarik perhatiannya.
Demikian juga permainan sikutnya yang cepat dan tajam menghantam rusuknya.
Serangan lawan ditujukan terhadap kuda-kuda Banyak Sumba.
Karena tergoda oleh serangan-serangan kecil, kuda-kuda itu terlupakan.
Makin sadar Banyak Sumba bahwa pertarungan itu bukanlahterutamadidasarkan pada kekuatan otot atau kecepatan gerak anggota badan, tetapi kepada kesadaran dan kecerdasannya.
Banyak Sumba bertekad untuk tidak tertarik dan tergoda oleh serangan-serangan yang tidak membahayakan itu.
Ia akan menyerahkan bagian badannya yang diserang lawan, sepanjang itu tidak berbahaya.
Ia akan menukar bagian badan nya yang diserang dengan bagian badan atau kedudukan lawan yang lebih berbahaya.
Ia pasang kuda-kuda lagi, tetapi lawannya dipanggil oleh pelatih dan mengundurkan diri dari gelanggang, sementara itu calon lain masuk menghadapinya.
Banyak Sumba tersenyum karena ia sadar akan belajar banyak dari Padepokan Tajimalela itu.
Ia melupakan bahaya karena pikiran-pikirannya itu.
"Hai! Ia tersenyum!"
Seru salah seorang di antara para pengepung yang berdiri melingkarinya.
Terdengar yang lain tertawa gembira bercampur keheranan.
Banyak Sumba kembali menyadari keadaannya, lalu bersiap-siap.
Ia menetapkan siasat baru.
Cara menghunjamkan pukulanlah yang akan dilakukannya terhadap lawan.
Ia ingin tahu, bagaimana lawan akan menahan serangan itu.
Begitu mereka siap, Banyak Sumba menyerang, tapi menghentikan serangan di tengah-tengah jalan untuk menggetarkan dan membingungkan lawan.
Lawan menghindar jauh sekali darinya.
Hal itu menerbitkan tertawaan pada kawan-kawannya.
"Paman, ia berkelahi seperti seekor harimau, lihat bentuk tangannya!"
Kata seorang calon yang muda sekali. Banyak Sumba memang teringat kepada cara harimau yang siap menyerang.
"Ia orang liar!"
"Ia orang hutan!"
"Mungkin, ia tidak bisa bicara."
"Tapi, ia bisa tersenyum, tadi!"
Ketika itu, calon yang ditertawakan oleh kawan-kawannya mendekat, tetapi terlalu dekat sehingga Banyak Sumba dapat menyapu kakinya.
Lawan hampir saja terjatuh kalau tidak sempat melompat.
Lompatannya yang kikuk menyebabkan gelak kawan-kawannya.
Banyak Sumba merasa bahwa ia menang secara ruhani.
Lawannya merasa malu oleh kawan- kawannya karena berbuat kesalahan.
Oleh karena itu, pikirannya tidak akan bekerja dengan baik.
Orang yang malu akan berbuat yang bukan-bukan untuk menutup rasa malunya.
Ini celah jiwa yang dapat dipergunakan Banyak Sumba.
Banyak Sumba segera membuka celah, seolah ia lalai.
Ia membuka dadanya.
Kemudian segera menutupnya kembali, seolah-olah ia baru sadar.
Akan tetapi, dalam menutup dadanya itu ia berpura-pura telanjur membuka rusuknya.
Tendangan mendesing ke arah rusuknya.
Dengan gerakan membuang, ia menyerang kaki lawan dengan sikutnya.
Lawan terguncang.
Ketika itulah, dengan kecepatan yang hanya ada pada tubuh seorang yang pernah terpaksa hidup di hutan, Banyak Sumba menyerang dan mempergunakan siasat yang telah direncanakannya, yaitu rangkaian pukulan ke arah tubuh lawan.
Akan tetapi, ia tidak memilih sasaran yang berbahaya karena ia lebih bermaksud mencoba lawan dan bukan merobohkannya.
Ia begitu tertarik oleh ilmu keperwiraan itu sehingga ia lupa bahwa seharusnya ia melarikan diri dengan segera dari tempat itu.
Beberapa pukulan masuk, demikian juga beberapa rangkaian pukulan tidak dapat dihindarkan lawan.
Sorak-sorai terdengar, dan dalam keriuhrendahan itu, Banyak Sumba sempat mendengar kata-kata.
"Pasti ia pernah belajar."
"Ia sudah lama mengintip di sekitar ini."
Banyak Sumba tidak memerhatikan kata-kata selanjutnya.
Ia dengan terkendali menghujani lawan dengan pukulan dan tusukannya masuk.
Akan tetapi, kemudian lawan dapat menguasai dirinya, ia menempelkan kedua belah tangannya.
Sekarang, seperti sebuah belitan tambang, ia mengendalikan tangan Banyak Sumba.
Tak ada lagi pukulan yang bisa masuk.
Tangan lawan licin seperti belut, tapi tidak mau lepas dari tangan Banyak Sumba.
Bahkan, berulang-ulang hampir saja Banyak Sumba tercabut dari kuda-kudanya.
Mula-mula, Banyak Sumba repot.
Akan tetapi, ia cepat belajar.
Ia harus mengalihkan perhatiannya.
Tangannya masih mencoba menghantam tubuh dan kepala lawan, tetapi perhatiannya berpindah ke kakinya.
Pada suatu saat, kaki kanannya menyapu kaki lawan.
Lawan melompat menjauh, diiringi sorakan riuh rendah.
"Luar biasa!"
"Paman, ia berbakat sekali."
"Mungkin, ia sudah lebih lama tinggal di sekitar padepokan daripada kalian."
"Tangkap dia!"
Perkataan itu mengingatkan Banyak Sumba pada keadaannya.
Ia berada di tengah-tengah bahaya.
Ia telah melanggar satu-satunya larangan kerajaan yang paling keras, yaitu memasuki tempat belajar para calon puragabaya.
Maka, diteguh-kanlah hatinya untuk meloloskan diri.
Ia merasa bahwa ia sudah mendapat bahan banyak sekali dari perkelahian itu.
Ia dapat merenungkannya jauh dari padepokan.
Ia harus melarikan diri.
Ketika itu, lawannya mengundurkan diri, seorang calon yang masih segar turun ke gelanggang.
"Paman, ia tidak tampak kelelahan."
"Ia hidup dengan bermacam-macam binatang. Lihat otot- ototnya yang kenyal dan indah itu!"
Demikian didengar percakapan-percakapan sekelilingnya.
"Imba, tangkaplah dia!"
Tiba-tiba lawan menderu, mendesak ke arah Banyak Sumba.
Banyak Sumba tidak menangkap dan melemparkan lawan ke samping seperti yang biasa dilakukan oleh para calon.
Ia bergerak ke samping sambil menyepak.
Akan tetapi, serangan yang tidak biasa kelihatan di padepokan ternyata dapat dihindarkan calon itu, yang sambil melayang di udara, memukul tangannya.
Banyak Sumba tidak memberi kesempatan, ia menghambur ke arah lawan dengan pasangan yang tertutup rapat dan siap menghantam.
Lawan berbalik menghadap dan menampung tendangan Banyak Sumba dengan kakinya yang menyepak ke samping.
Ini mengherankan Banyak Sumba.
Akan tetapi, ia bergembira karena telah menemukan pula cara menghindar yang sangat bagus.
Ia terus mendesak lawannya, sementara itu di sekelilingnya terdengar sorak-sorai gembira sehingga pelatih terpaksa berseru.
"Perhatikan! Perhatikan caranya berkelahi!"
Pada saat itulah, terlintas pada diri Banyak Sumba bahwa ia akan kelelahan kalau terus-menerus membiarkan dirinya dijadikan bahan percobaan walaupun mempelajari cara-cara berkelahi para calon itu.
Ia merasa bahwa salah satu asas yang sangat penting telah didapatnya, yaitu para calon dalam perkelahian tetap sadar mempergunakan kecerdasannya.
Ini berbeda dengan prajurit atau perwira kebanyakan, yang berkelahi secara kebiasaan dan terikat oleh cara-cara yang mereka terima dari perguruan mereka.
Itulah sebabnya mengapa para calon sangat sukar diramalkan dalam gerakan dan serangan-serangannya.
Sambil berpikir demikian, didesaknya lawan ke pinggir gelanggang.
Dan ketika lawan menghindar, diserangnya seorang calon yang ada di dekatnya, kemudian Banyak Sumba menyerang yang lain, menembus kepungan.
"Cegat! Cegat!"
Banyak Sumba melompat-lompat, lalu memanjat seperti kera.
Ia melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, semua pengejar juga mengikutinya.
Banyak Sumba turun ke semak- semak, kadang-kadang ia membelok, menghadang pengejar.
Sekali pinggangnya ditangkap, sikutnya mengenai kepala penangkap.
Kadang-kadang ia dihadang, tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan kenyal itu menguntungkannya.
Tak ada yang dapat menghalanginya dengan sepenuh hati karena tidak ada di antara calon yang cukup besar dan kuat untuk menghadapi kekuatan Banyak Sumba yang dibentuk oleh kehidupan hutan rimba yang keras.
Pada suatu saat, terhentilah ia berlari.
Di hadapannya jurang terbuka.
Ia sadar bahwa pelatih itu telah mengatur pengepungan begitu rupa hingga akhirnya ia digiring ke pinggir jurang dan dikepung rapat-rapat oleh calon.
Tak lama kemudian, ketika ia membalikkan badan, para calon telah berkeliling dari segala arah di hadapannya.
Sedangkan di belakangnya menganga jurang itu.
"Menyerahlah, Anak Muda, kami akan memperlakukanmu dengan adil,"
Kata pelatih itu dengan suara jujur.
Akan tetapi, Banyak Sumba tidak percaya.
Dengan sudut matanya diliriknya bibir jurang, ia melihat pohon di seberang.
Ia dapat melompat ke arah pohon itu.
Soalnya, apakah ia akan dapat menggapainya? Pikiran itu sekilas lewat di benaknya, kemudian Banyak Sumba menyerang orang yang paling dekat, lalu berpaling dan dengan desingan tubuhnya, melompati jurang yang luas itu.
Terdengar teriakan-teriakan ngeri para calon.
Tubuh Banyak Sumba melayang.
Tiba-tiba, di hadapannya terlihat benda hijau.
Tangan Banyak Sumba menangkap benda hijau itu.
Ia meluncur untuk beberapa lama di antara daun-daunan, kemudian tangannya menangkap cabang, ia bergantungan.
Seperti seekor kera ia menaiki pohon, lalu seraya berpegang pada akar-akar mendaki bibir jurang, hingga akhirnya tiba di atasnya.
Ia menarik napas panjang, lalu berpaling ke seberang.
Ia melihat para calon berdiri dengan keheranan di seberang.
Ia melambai kepada mereka sambil tersenyum.
Mereka tampak tercengang.
Banyak Sumba segera lari, masuk hutan.
KETIKA ia berjalan dalam hutan itu, bertiuplah angin lirih.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keringatnya barulah dirasakan membasahi tubuhnya.
Ia merasa lapar.
Sambil berjalan, dipetiknya buah-buahan.
Banyak Sumba baru mencicipi makanan, padahal hari sudah siang.
Ia berjalan menjauh dari bibir jurang.
Sambil menunduk, dipikirnya apa yang akan dilakukannya.
Teringat akan sungai itu.
Ia akan menyusuri sungai untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat ramai.
Ia akan merenungkan ilmu kepuragabaya-an, lalu mencari Jasik.
Mereka akan pergi ke Pakuan Pajajaran untuk menunaikan tugas, yaitu membunuh Anggadipati.
Setelah itu, ia akan pulang ke Kota Medang.
Ketika itulah, ia teringat kepada Nyai Emas Purbamanik.
Kesedihan menyelinap dalam hatinya.
Ia sudah putus asa sekarang.
Tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis yang telah begitu lama ditinggalkannya.
Tidak diharapkannya kesetiaan dari seseorang terhadap dirinya yang bernasib tidak menentu.
Sadar akan hal itu, meluaplah kebenciannya kepada Pangeran Anggadipati.
Ia akan membunuhnya.
Ia akan mempergunakan trisula kecil, senjata kepuragabayaan yang termasyhur, untuk melawan Anggadipati.
Ia akan berkelahi habis-habisan.
Untuk hidup atau mati sebagai seorang kesatria.
"Berhentilah, Anak Muda, marilah kembali ke padepokan, kau akan diperlakukan dengan adil."
Banyak Sumba terkejut melihat pelatih para calon berdiri beberapa langkah di mukanya.
Sedangkan dari sekelilingnya bermunculanlah para calon yang berpakaian putih.
Naluri mempertahankan dirinya timbul.
Dengan teriakan, diserangnya pelatih itu seperti angin lolos dari tangan dan kakinya.
Akan tetapi, Banyak Sumba tidak mengejar.
Sambil melompat-lompat di sela-sela pepohonan dan dalam semak- semak, ia menyerang para calon.
Beberapa kali ia mendapat serangan, beberapa kali pula ia mengenai lawannya.
Ia berlari dan tiba-tiba jatuh karena tambang kecil mendadak melintang antara dua batang pohon yang melewatinya.
Para calon telah mempergunakan alat-alat untuk menangkapnya dengan tambang dan jangka.
Pada suatu saat, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap karena seorang calon berhasil merungkupnya dengan kain halus yang hitam warnanya.
Banyak Sumba segera melepaskan kain itu dengan tangan kirinya, sementara kaki dan tangan kanannya berdesingan ke segala arah, asal didengarnya desiran kaki.
Pada suatu saat, lehernya terjerat tambang kecil kepuragabayaan.
Banyak Sumba sempoyongan kehilangan keseimbangan.
Akan tetapi, secepat kilat, tangannya mencabut belati dan memotong tambang itu.
Ia berlari sambil menendang calon yang mendekat hendak menangkapnya.
Ia tidak tahu, berapa lama ia berputar-putar di sela-sela pohon, melompati tambang-tambang kecil yang tiba-tiba merentang di hadapannya, atau melepaskan tambang yang membelit tubuhnya dengan belatinya yang tajam.
Tak lama kemudian, ia merasa lelah.
Napasnya berdesis dan panas di paru-paru serta tenggorokannya.
Pandangannya jadi samar-samar karena keringat yang deras melintasi matanya.
Sementara itu, para pengepung makin dekat juga mengejar di belakang.
Langkah mereka berdesir di semak-semak.
Suara pelatih mengatur pengepungan dengan jelas terdengar.
Banyak Sumba mengerahkan tenaganya yang penghabisan.
Ia berlari dan melompat-lompat dengan sekuat tenaga untuk mencapai tebing curam yang ada di hadapannya.
Menurut pikirannya, kalau ia dapat lebih dahulu melintasi tebing itu, para pengejar akan takut mengejarnya karena dengan mudah Banyak Sumba akan dapat menyerang mereka.
Akan tetapi, tiba-tiba di hadapannya sudah berdiri dua orang calon.
Banyak Sumba membelokkan langkahnya, lalu melarikan diri ke arah hutan yang sangat lebat.
Beberapa kali calon menghadangnya, tetapi mereka menghindari serangan yang dilakukannya dengan putus asa.
Ia tahu bahwa akhirnya para calon itu akan diperintahkan untuk mempergunakan senjata mereka, trisula kecil yang merupakan senjata lempar yang sangat berbahaya.
Kalau ia terlambat menjauh, siapa tahu ia akan menjadi korban senjata itu.
Ia berlari, berlari, dan terus berlari.
Akan tetapi, tenaganya terbatas.
Pada suatu kali, sebatang ranting melintangi kakinya dan ia terjatuh.
Namun aneh, pengejar tidak segera memburunya.
Bahkan, mereka berseru riuh-rendah.
"Kembali! Kembali! Kembali!"
Banyak Sumba kebingungan. Ia berpaling memandang para pengejar yang berdiri di kejauhan sambil memandang kepadanya. Banyak Sumba berlari terus, menuju hutan lebat, walaupun langkahnya makin lama makin berat.
"Kembali! Kembali!"
Banyak Sumba berlari dengan hati terheran-heran.
Beberapa kali ia jatuh tersandung.
Ia bangkit, kemudian berjalan.
Makin lama, makin jauh ia dari pengejarnya.
Dan setelah menyeret-nyeret kakinya yang berat karena kelelahan, duduklah ia pada sebatang kayu besar yang melintang di hadapannya.
Ia terengah-engah dan dengan keheranan mulai bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa para pengepung itu menghentikan pengejarannya.
Ia curiga, apakah ia akan dicegat lagi ataukah sudah masuk perangkap mereka yang menunggu kesempatan untuk menangkapnya? Sambil berpikir demikian, ia melepaskan lelahnya.
Seluruh tubuhnya gemetar dan basah kuyup oleh keringat.
Tiba-tiba, suatu hal aneh terjadi.
Hutan seolah-olah bergerak.
Banyak Sumba melihat ke sekelilingnya.
Tiba-tiba, ia terjatuh dari batang pohon yang didudukinya.
Ia bangkit dan melihat batang pohon itu bergerak menggelusur, masuk sela- sela pohon besar lainnya.
Untuk beberapa lama, Banyak Sumba membeku ketika ia sadar bahwa yang didudukinya bukanlah batang pohon yang tumbang, melainkan seekor ular yang besar sekali.
Sadarlah ia sekarang bahwa ia sudah berada di Hutan Larangan.
Ia mengerti sekarang, mengapa pengejar berhenti mengikutinya.
Bersama kesadaran itu, kakinya yang lelah seolah-olah mendapat tenaga kembali.
Ketakutan menyebabkan badannya menjadi ringan kembali dan ia berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu.
Ia tidak tahu ke arah mana ia berlari.
Ia tidak tahu pula berapa lama ia berlari karena pada suatu kali ia terjatuh tersandung, lalu tak ingat lagi akan dunia sekelilingnya.
KETIKA ia tersadar kembali, matanya melihat binatang- binatang di sela-sela daun-daunan yang melindunginya.
Banyak Sumba memaksakan diri bangkit, walaupun seluruh tubuhnya sakit-sakit dan lesu.
Ia merangkak, lalu dengan berpegang pada dahan-dahan, memanjat pohon yang tidak jauh dari tempatnya terbaring.
Karena kebiasaan dan nalurinya, ia melindungi dirinya dari binatang buas dengan memanjat pohon setiap malam tiba.
Setelah berada di atas, barulah ia merenungkan kembali apa-apa yang telah terjadi.
Ketika teringat pada ular besar yang dengan tidak sengaja didudukinya, meremanglah bulu romanya dan ia menyadari bahwa ia berada dalam Hutan Larangan yang tidak pernah dikunjungi manusia.
Bersamaan dengan datangnya kesadaran itu, sadar pulalah ia akan suasana aneh hutan itu, suara-suara terdengar, bukan suara-suara hutan biasa, tetapi suara yang datang dari dunia lain yang tidak dikenalnya.
Banyak Sumba mendengar desah, tapi bukan suara angin.
Banyak Sumba mendengar suara-suara, tapi bukan suara binatang.
Ia pun dengan perasaan seram berdoa, mohon periindungan dan ampunan kepada Sang Hiang Tunggal.
Bagaimanapun, dengan tidak sengaja ia telah memasuki daerah para Bujangga dan para Pohaci, suatu daerah yang dikuasai para guriang.
Ketika renungannya sampai pada hal itu, terdengarlah suara nyanyian yang merdu.
Banyak Sumba mengucapkan mantra-mantra kembali.
Tampak olehnya ada cahaya.
Karena cahaya itu, hutan jadi seperti taman.
Dan, dari arah cahaya itulah terdengar suara nyanyian diiringi kecapi.
Kadang-kadang terdengar suara percakapan, kadang-kadang suara tertawa yang merdu.
Tak syak lagi, para Bujangga dan Pohaci sedang bercengkerama di puncak gunung yang sangat berdekatan dengan Kahi-angan.
Banyak Sumba makin khusyuk memanjatkan doa-doa.
Namun karena lelah, akhirnya ia tertidur juga.
Keesokan paginya, ia segera turun meninggalkan pohon.
Ia segera menuju ke arah yang dianggapnya akan mengembalikan dia ke hutan biasa.
Ia tidak berjalan, tetapi berlari, menyelinap dan melompati akar-akar pohon besar.
Kadang-kadang memanjat, lalu dengan mempergunakan akar- akar gantung berayun dan melompat ke pohon lain.
Setiap kali ia tiba di sebatang pohon, beterbanganlah kupu-kupu dan kumbang karena pohon-pohonan di Hutan Larangan itu umumnya berbunga indah dan harum baunya.
Buah-buahan sangat banyak dan ranum-ranum, tetapi Banyak Sumba tak berani memetiknya, walaupun rasa lapar menusuk perutnya.
Akhirnya, dengan gembira, dilihatnya hutan-hutan yang meranggas dan buruk tampaknya.
Itu tentu hutan biasa yang boleh dan pernah dirambah manusia.
Banyak Sumba segera turun, berlari, menyelinap, memanjat, dan melompat.
Tibalah ia di hutan itu.
Ia berpaling ke arah hutan yang baru ditinggalkannya.
Hutan Larangan itu tampaknya seperti taman yang besar, yang pohon-pohonannya seolah-olah dipelihara oleh para juru taman yang ahli, sedangkan bunga begitu beraneka warna dan harum baunya.
Dari jarak sejauh itu, ia masih dapat menghirup wanginya.
Setelah sekali lagi memandang hutan itu, ia berpaling, lalu menuruni tebing landai dari tanah yang tinggi tempat ia berada.
Entah berapa lama ia berjalan, tiba-tiba ia mendengar burung tekukur.
Hatinya gembira.
Ia tiba kembali di dunia manusia.
Ia beranggapan demikian karena burung tekukur biasanya hidup di sekitar perhumaan dan perhumaan tidak akan jauh dari perkampungan.
Ia berlari ke arah datangnya suara burung tekukur itu.
Dan tiba-tiba saja, ia memasuki hutan yang banyak sekali pohon enaunya.
Tentu burung tekukur itu bernyanyi di salah satu puncak pohon enau dan pohon enau itu letaknya tentu yang paling berdekatan dengan perhumaan.
Banyak Sumba berlari ke arah suara burung tekukur itu.
"Hai! Hai! Rambeng!"
Tiba-tiba, Banyak Sumba mendengar suara orang. Banyak Sumba berhenti, lalu menengok ke arah datangnya suara itu.
"Hai, sini, Ki Rambeng! Mengapa berlari-lari?"
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banyak Sumba tengadah kepada orang tua yang sedang bertengger di pohon enau dengan tiga buah bumbung tersandang di punggungnya. Banyak Sumba berjalan ke arah pohon enau itu, lalu tengadah.
"Bapak memanggil saya?"
Tanyanya sambil tersenyum karena gembira.
"Ya, saya panggil kau Rambeng karena pakaianmu tidak keruan. Ada apa kau berlari-lari?"
Banyak Sumba duduk, menunggu orang tua itu turun dari atas pohon enau. Ketika orang tua itu sudah berdiri di tanah, ia terbelalak dan mengundurkan diri ketakutan. 'Jangan takut, Kakek, saya bukan orang jahat."
"Tidak ... tidak." 'Jangan takut, saya manusia juga, hanya sudah lama tersesat dalam hutan, dan Kakek adalah orang pertama yang saya jumpai. Terima kasih, Kakek. Kakek menyebabkan saya gembira."
Walaupun masih ketakutan, kakek-kakek itu tidak mundur lagi.
Ia memandang Banyak Sumba dengan penuh keheranan.
Banyak Sumba pun menceritakan bahwa ia telah bertahun- tahun tersesat dalam hutan dan akhirnya sampai di Hutan Larangan yang ada di puncak gunung.
Banyak Sumba menunjuk ke arah puncak gunung yang membayang di atas mereka, sebuah hutan besar yang indah seperti taman tampaknya.
"Sekarang, bawalah saya ke kampung. Saya sudah sangat rindu untuk melihat masyarakat manusia kembali. Di samping itu, saya butuh pakaian yang pantas karena kulit harimau ini sudah tua dan sudah rusak."
Kakek-kakek itu dapat diyakinkan.
Walaupun masih kikuk, ia memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk mengikutinya.
Mereka pun berjalan menuruni tebing gunung yang landai.
Setelah hutan enau dilewati, mereka masuk ke daerah bekas perhumaan.
Akhirnya, terbentanglah huma- huma penduduk Pajajaran.
"Kakek, termasuk wilayah mana kampung-kampung ini?"
"Ke timur Kutabarang, ke barat Pakuan Pajajaran,"
Jawab orang tua itu.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi.
Sambil berjalan, ia membuat rencana yang akan dilakukannya sebelum ia berangkat ke Pakuan Pajajaran untuk mencari Anggadipati.
Ia akan beristirahat untuk beberapa lama di kampung, mencari kuda yang baik karena kebetulan uangnya tidak hilang dalam hutan.
Kemudian, ia akan mencari keterangan tentangjasik di Kutabarang, sekaligus menemui Kang Arsim.
Setelah itu, ia akan bertolak ke Pakuan Pajajaran.
Sementara belum mendapat kuda yang baik, ia akan beristirahat di rumah kakek-kakek itu sambil merenungkan pengalaman yang didapatnya dalam perkelahian dengan para calon puragabaya itu.
Setelah beberapa lama mendaki dan menuruni bukit-bukit, sampailah mereka di tepi kampung yang berpagar tinggi.
Kakek-kakek itu berseru dan dari atas kandang jaga, muncullah kepala anak muda yang keheranan memandang ke arah Banyak Sumba.
"Ji, ini tamu kita, orang tersesat dalam hutan."
Lawang kori dibuka dan tak lama kemudian, Banyak Sumba dikelilingi oleh anak-anak kecil yang sedang bermain-main di halaman kampung. Orang-orang tua, laki-laki dan perempuan, tidak tampak karena waktu itu adalah saat-saat mereka bekerja di huma.
"Rambeng!"
Tiba-tiba, anak kecil berseru.
Banyak Sumba tersenyum dan melihat pada pakaiannya sendiri yang tidak keruan potongannya.
Anak-anak lain tertawa.
Dan ketika Banyak Sumba mengiringkan kakek-kakek menuju rumahnya, anak-anak itu pun mengiringkannya, ada yang berbisik-bisik, ada yang tertawa-tawa.
Tak lama kemudian, tahulah Banyak Sumba bahwa anak-anak kampung memanggil Ki Rambeng karena pakaian kulit harimaunya yang tidak keruan dan lusuh itu.
-ooo00dw00ooo- Bab 10 Bersepakat dengan Si Colat Orang-orang kampung itu menerima Banyak Sumba dengan senang hati.
Bukan saja karena Banyak Sumba bertingkah laku dan bertutur kata halus, tetapi juga karena ia dapat menceritakan pengalaman-peng-alamannya ketika tersesat dalam hutan.
Ia menceritakan bagaimana ia harus hidup dan bagaimana harus selalu menyelamatkan diri dari ancaman binatang buas.
Diceritakannya bagaimana ia tersesat di Lembah Tengkorak dan bagaimana ia menemukan Gerbang Buana Larang, tempat para siluman keluar masuk dunia.
Diceritakan pula bagaimana di Hutan Larangan yang tampak dari kampung itu, ia pernah menduduki ular yang sangat besar karena sebelumnya ia menyangka ular besar itu batang pohon yang tumbang.
Banyak yang tidak diceritakannya karena banyak di antara pengalamannya merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak boleh terjadi terhadap warga Kerajaan Pajajaran.
Akan tetapi, cerita-ceritanya yang aneh bagi orang-orang kampung itu tetap menarik.
Terutama anak-anak kecil, mereka selalu meminta dia untuk bercerita dan bercerita kembali.
Karena di antara penduduk kampung itu banyak anak remaja yang cukup besar untuk mempelajari ilmu keprajuritan, pada suatu sore Banyak Sumba berkata kepada kakek-kakek tempat ia menginap.
"Kakek, sebagai tanda terima kasih saya kepada keramahan dan kebaikan penduduk kampung ini, ingin sekali saya menyumbangkan sesuatu kepada mereka. Saya memiliki sedikit kepandaian, yaitu dalam ilmu keprajuritan. Di sini, ada enam orang remaja yang sudah cukup besar untuk berlatih ilmu keprajuritan. Saya kira, akan ada gunanya kalau saya ikut mempersiapkan mereka, sebelum mereka dipanggil oleh kerajaan untuk berlatih di Kutabarang."
Kakek-kakek itu tidak keberatan, tapi kemudian dengan panjang lebar ia bercerita bahwa sudah beberapa tahun di daerah-daerah antara Kutabarang dan Pakuan Pajajaran berkeliaran orang-orang jahat, yaitu anak buah si Colat. Kakek-kakek itu bertanya.
"Tidakkah orang-orang jahat ini akan curiga kepada kita kalau mereka mengetahui bahwa anak-anak di sini dilatih ilmu keprajuritan? Yang Kakek takutkan adalah mereka akan curiga dan mengganggu kita."
Banyak Sumba termenung.
Pada satu pihak, ia merasa kecewa, tetapi di lain pihak timbul pikiran bahwa ia tidak akan dapat membalas budi atas kebaikan orang-orang kampung itu.
Di samping itu, ia tidak akan dapat melakukan percobaan tentang ilmu yang didapatnya dari Padepokan Tajimalela dan dari renungan-renungannya sendiri.
Untunglah, ia mendapat ilham.
Ia teringat pada peristiwa yang dialaminya di Padepokan Sirnadirasa.
Si Colat sedang berada dalam pengepungan dan pengepungan itu belum tentu dapat dilaksanakan dengan mudah.
Kalau si Colat ternyata tangguh, akan dikirim beberapa orang puragabaya terbaik.
Itu berarti bahwa mungkin Anggadipati akan dipilih menjadi pemimpin pengepungan itu.
Jika menggabungkan diri dengan pasukan si Colat, Banyak Sumba dapat mengambil dua keuntungan.
Pertama, ia dapat mengasah ilmunya dengan si Colat.
Kedua, ia mungkin dapat bertemu dengan Anggadipati pada peristiwa yang cocok untuk pembalasan dendam.
Ia termenung, memikirkan hal itu dengan sungguh-sungguh.
Ia hampir lupa kepada kakek-kakek yang ada di depannya.
"Tapi, bukan tidak ada cara untuk memberikan latihan itu, Raden,"
Kata kakek-kakek itu kepada Banyak Sumba.
"Bagaimana, Kakek?"
"Ada ruangan besar yang dapat dipergunakan oleh anak- anak untuk berlatih. Di sana, mereka tidak akan terlihat oleh anak buah si Colat yang kebetulan berkeliaran ke sini."
"Kalau hal itu akan mencemaskan orang-orang kampung, lebih baik saya tidak melatih mereka, Kakek."
"Sama sekali tidak. Pada suatu ketika, orang-orang kampung akan bangkit dan membantu pasukan kerajaan mengepung si Colat dan begundal-begundalnya. Kalau sekarang mereka diam, bukan berarti mereka menerima kejahatan-kejahatan yang dilakukan si Colat dan anak buahnya,"
Kata kakek-kakek itu dengan kemarahan yang terpendam.
Banyak Sumba tak banyak merenungkan soal kejahatan si Colat dan anak buahnya.
Yang menjadi pusat perhatiannya adalah tempat latihan untuk mengajar anak- anak muda kampung itu dan melakukan percobaan segala sesuatu yang didapatnya selama ini.
Keesokan malamnya, latihan itu pun dimulainya.
Dari hari ke hari, bersamaan dengan meningkatnya kepandaian para pemuda kampung itu, meningkat pula pengertian Banyak Sumba terhadap ilmu keperwiraan yang selama ini dikumpulkannya.
Pada suatu kali, sadarlah ia bahwa saatnya sudah tiba untuk meninggalkan kampung itu dan menunaikan tugas keluarga yang selama ini diembannya.
Ia menyuruh seorang pemuda untuk mencarikan seekor kuda yang baik, sementara itu ia membeli beberapa pasang pakaian yang baik dari orang-orang kampung yang memiliki beberapa pesalin.
Ketika ditanyakannya di mana ia dapat membeli dua buah trisula kecil, kakek-kakek itu memandang dengan curiga.
"Tapi, itu senjata para puragabaya, Anak Muda."
"Saya menginginkannya karena bentuknya yang indah, Kakek,"
Kata Banyak Sumba.
"Tapi, biasanya orang-orang tidak berani membawanya, Raden. Memang tidak ada larangan untuk membawanya dalam perjalanan, tapi orang tetap tidak berani karena mereka hendak menghormati para puragabaya."
Banyak Sumba tidak melanjutkan percakapannya karena takut kalau-kalau kecurigaan kakek-kakek itu bertambah.
Ia pun segera mengucapkan terima kasih atas kebaikan kakek- kakek itu selama ini.
Ia pun mohon diri untuk pergi keesokan harinya.
Sore itu, kepada penghuni kampung, Banyak Sumba mengucapkan terima kasih seraya mohon diri.
Kuda yang baik telah siap ditambat dekat kandangjaga, dikelilingi oleh anakanak kampung yang jarang melihat binatang besar itu.
Ketika ia hendak beristirahat, terdengarlah ribut-ribut di luar lawang kori.
Rasji, penduduk kampung, menyumpah- nyumpah sambil melemparkan dua buah bumbung kosong di depan lawang kori.
Orang-orang kampung berjalan ke sana, ingin tahu apa yang terjadi.
Banyak Sumba pun mengikuti mereka.
"Kakek,"
Kata Rasji kepada kakek-kakek tempat Banyak Sumba menginap.
"mereka menghabiskan lahang saya. Kalau para jagabaya datang, saya akan jadi penunjukjalan mereka,"
Sambung Rasji.
Dari percakapan selanjutnya dan dari keterangan-keterangan Rasji, Banyak Sumba mengerti bahwa beberapa anak buah si Colat bertemu dengan Rasji.
Mereka meminta lahang.
Rasji mau tidak mau harus memberikannya.
Akan tetapi, anak buah si Colat yang kurang ajar itu tidak menyisakan lahang Rasji dan tidak memberikan pengganti berupa barang maupun uang.
Itulah sebabnya, Rasji marah.
"Kalau kau mau jadi penunjukjalan para jagabaya, seluruh kampung akan menjadi korban si Colat,"
Kata nenek-nenek yang berdiri dekat Banyak Sumba.
"Ke mana mereka pergi?"
Tanya Banyak Sumba kepada Rasji.
"Ke timur,"
Ujar Rasji. Orang-orang kampung berpaling kepada Banyak Sumba dengan penasaran. Mereka tahu bahwa Banyak Sumba seorang perwira, bahkan tampak mereka menyangka Banyak Sumba adalah perwira yang dikirim oleh kerajaan untuk menangkap si Colat.
"Kalau Raden hendak menangkap mereka, janganlah dekat- dekat kampung ini,"
Kata kakek-kakek itu.
"Tangkaplah di hutan, jangan dekat kampung, karena anak buah si Colat mungkin saja membalas dendam secara membabi buta."
"Baiklah, Kakek,"
Kata Banyak Sumba.
Ia berjalan ke rumah besar tempatnya menginap.
Orang-orang mengikutinya dengan pandangan mata.
Kemudian, Banyak Sumba keluar dengan perbekalan dan perlengkapannya.
Ia memasang pelana di atas kudanya, lalu menyampaikan terima kasih sekali lagi kepada seluruh isi kampung.
Ia mohon diri.
Setelah mengusap kepala anak kecil yang berada di dekatnya, ia menaiki kudanya.
"Kami mendoakan Raden, semoga berhasil menghentikan kegiatan si Colat dan semua anak buahnya."
Tak lama kemudian, Banyak Sumba telah memacu kudanya dijalan kecil yang menghubungkan perkampungan itu dengan perkampungan lain.
Jalan-jalannya bersimpang siur di tengah- tengah perhumaan datar yang terdapat di daerah itu.
MALAM pertama, ia tidak menyusul anak buah si Colat itu.
Malam kedua, ketika menginap di sebuah kampung, ia mendapat kabar dari penduduk bahwa sembilan orang penunggang kuda bersenjata lewat pagi sebelumnya, melintasi jalan kecil yang membatasi kampung dan perhumaan.
Harapan Banyak Sumba menjadi besar.
"Raden seorang puragabaya?"
Kata orang kampung yang ditanyainya dengan ragu-ragu.
"Bukan,"
Kata Banyak Sumba.
"Mengapa Paman bertanya begitu?"
Banyak Sumba balik bertanya.
"Di Kutabarang tersebar berita bahwa para puragabaya mulai dikerahkan untuk memburu si Colat dan anak buahnya. Dan ... dan Raden tampaknya seperti seorang puragabaya."
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banyak Sumba tersenyum, lalu bertanya.
"Apa yang menyebabkan saya tampak seperti seorang puragabaya?"
"Potongan badan Raden dan otot-otot Raden serta ... tutur kata Raden, dan itu, trisula kecil di balik baju Raden,"
Kata orang itu sambil tersenyum. Banyak Sumba menutupkan bajunya, menyembunyikan trisula yang ditukarnya dari seorang pandai besi pagi itu.
"Tapi trisula ini sangat buruk, sedangkan senjata puragabaya indah-indah buatannya."
"Tentu saja Raden membawa yang buruk karena Raden sedang menyamar,"
Kata orang itu. Banyak Sumba hanya tersenyum, kemudian ia bertanya.
"Betulkah puragabaya dikerahkan untuk mengepung si Colat?"
"Ya, Raden. Mula-mula, si Colat diberi peringatan untuk menghentikan kebuasannya, tetapi ia tidak mau mendengar. Sang Prabu sendiri memanggil kesatria gila itu, tetapi ia tidak memiliki rasa hormat lagi. Terakhir, putra Tumenggung Wiratanu dari Kutawaringin dibunuhnya, kepalanya dikirimkan di atas,baki kepada ayahandanya. Itu keterlaluan."
Banyak Sumba terkejut mendengar berita itu. Untuk beberapa lama, ia tidak dapat berkata-kata. Setelah hening beberapa lama, dengan tergagap-gagap ia bertanya, 'Apakah yang Paman maksud Raden Bungsu Wiratanu?"
"Ya, ia dipancing dengan seorang gadis. Ketika ia memasuki rumah untuk mendapatkan gadis itu, di dalam rumah itu sudah siap si Colat dengan dua orang kawannya. Begitulah kisah yang dibisikkan dari telinga ke telinga di Kutabarang dan seluruh kerajaan. Tidak semua orang bersedih hati karena Bungsu Wiratanu ini sering kurang ajar pula, menurut cerita orang."
Banyak Sumba termenung. Ia teringat akan pengalamannya dengan Raden Bungsu Wiratanu. Ia menarik napas panjang.
"Si Colat ini memang mempunyai perhitungan dengan keluarga Tumenggung Wiratanu. Ya, dan itu urusannya,"
Keluhnya.
"Sepanjang ia tidak berbuat hal-hal lain, pemerintah kerajaan tampaknya dapat mengerti permusuhan antara si Colat dengan keluarga Tumenggung Wiratanu ini. Bagaimanapun, keluarga Tumenggung Wiratanu tidaklah mempunyai nama baik,"
Kata orang kampung itu. 'Akan tetapi,"
Lanjutnya.
"selang beberapa waktu ini, perbuatan-perbuatan lain dilakukan pula oleh anak buahnya dimulai dengan pencurian abu jenazah seorang puragabaya, Raden Jante Jaluwuyung. Ini berarti, si Colat telah melibatkan keluarga lain dalam pertentangannya dengan keluarga Tumenggung Wiratanu, dan sang Prabu tidak dapat membiarkannya lagi."
Banyak Sumba tertegun mendengar percakapannya yang terakhir itu. Ia kemudian bertanya.
"Apakah yang Paman ketahui tentang abu jenazah itu?"
"Puragabaya Jante Jaluwuyung ini pernah membunuh kakak Raden Bungsu Wiratanu yang bernama Raden Bagus Wratanu. Keluarga Tumenggung Wiratanu dengan sendirinya ingin menghinakan abu jenazah itu. Si Colat mendahului mencurinya. Entah apa yang dilakukan si Colat terhadap abu jenazah itu."
Banyak Sumba tersenyum dalam hatinya, tetapi ia pun bingung, tak dapat menetapkan bagaimana sebenarnya duduk persoalannya.
"Apakah memang keluarga Tumenggung Wiratanu hendak menghinakan abu jenazah Kakanda Jante atau Anggadipati bermaksud menyembunyikannya? Begitu simpang siur pendapat orang sekitar abujenazah Kakanda Jante Jaluwuyung ini."
Ia sendiri jadi bingung.
"Raden,"
Kata orang kampung itu.
"mereka semua bersenjata panjang."
"Siapa?"
Tanya Banyak Sumba.
"Anak buah si Colat yang sedang Raden ikuti." 'Apa hubungannya dengan saya?"
Tanya Banyak Sumba. Akan tetapi, ia tidak dapat menyembunyikan senyumnya.
"Raden hanya bersenjata belati dan trisula itu,"
Kata orang kampung itu pula.
"Di samping itu, mereka ada sembilan orang." 'Apakah Paman beranggapan saya benar-benar ada urusan dengan mereka?"
Tanya Banyak Sumba sambil tersenyum pula.
"Raden dapat meminta senjata panjang dari orang-orang kampung sekurang-kurangnya tongkat-tongkat yang dikeraskan di atas api."
Banyak Sumba termenung sebentar, kemudian ia berkata.
"Saya membutuhkan tongkat dari waregu, Paman, bukan untuk menghadapi sembilan orang anak buah si Colat, tetapi untuk tongkat, kalau kebetulan saya harus berjalan di dalam gelap."
"Baiklah, Raden, besok kita akan mencarinya. Di kampung, orang-orang biasa menyimpan tongkat waregu atau ruyung-Benda-benda itu diperkenankan disimpan oleh rakyat di sini."
Keesokan harinya, sebelum Banyak Sumba meninggalkan kampung, seorang penduduk menghadiahkan tongkat waregu yang panjang dan indah. Ketika Banyak Sumba hendak menggantinya dengan uang tembaga, penduduk kampung itu menolaknya.
"Seharusnya, orang kampung memberikan bekal bagi puragabaya, dan tidak pantas bagi siapa pun menerima pemberian puragabaya yang menyerahkan hidupnya untuk orang-orang kampung,"
Kata penduduk kampung itu dengan tersenyum.
"Saya bukan puragabaya, Paman,"
Kata Banyak Sumba.
Akan tetapi, tak ada orang yang percaya akan perkataannya.
SEPANJANG hari, Banyak Sumba menyusul jejak anak buah si Colat.
Akan tetapi, rupanya ia kehilangan jejak.
Bukan saja karena jalan di kampung-kampung dan di perhumaan itu sangat simpang siur, tetapi orang-orang kampung enggan memberi tahu kepadanya ke mana arah para penunggang kuda itu.
Mereka masih begitu dicengkeram ketakutan akan kemungkinan pembalasan dendam si Colat.
Akhirnya, Banyak Sumba memacu kudanya tanpa terlalu mengharapkan akan bertemu dengan kesembilan anak buah si Colat itu.
Ia mengembara secara untung-untungan.
Seandainya tidak dapat menyusul anak buah si Colat itu, ia akan menuju Kutabarang, mengunjungi Kang Arsim.
Kalau cukup beruntung, ia akan bertemu dengan Jasik di sana.
Ia memacu kudanya melewati perhumaan, perkampungan, dan hutan-hutan kecil.
Ia sungguh-sungguh menikmati perjalanan di tengah-tengah masyarakat, setelah sekian tahun berada di antara binatang-binatang buas dan bahaya lainnya.
Sering ia menghentikan kudanya untuk memerhatikan para petani yang sedang bekerja.
Sering ia berhenti di pinggir kali, lalu ikut mandi bersama anak-anak gembala.
Dengan anak-anak itu, ia ngobrol tentang itu dan ini.
Kadang-kadang, ditanyakannya tentang si Colat dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, biasanya anak-anak membisu, ketakutan.
Pada hari keempat, ketika matahari mulai hangat, Banyak Sumba melintasi perhumaan yang ada di antara sebuah kampung dan hutan kecil.
Seperti biasanya, untuk menghindari serangan macan-macan tutul dari pohon di hutan, ia memacu kudanya di sela-sela pohon-pohonan.
Pada suatu saat, tiba-tiba ia melihat seutas tambang terentang hendak menyambar lehernya.
Karena kebiasaannya ketika di hutan dalam menghadapi hambatan ranting-ranting, tangannya secepat kilat mencabut belati dan memutuskan tambang itu.
Akan tetapi, ia tidak melanjutkan perjalanan.
Ia menahan kudanya.
Begitu ia berbalik, didengarnya derap beberapa pasang kaki kuda.
"Setelah lima hari mengikuti jejak kaki kuda kami, Saudara terpaksa harus menggali kuburan sendiri di sini. Jangan berharap Saudara akan mengalami upacara pembakaran yang pantas,"
Kata salah seorang penunggang kuda yang keluar dari balik pepohonan.
"Saya tidak ada urusan dengan kalian. Saya teman si Colat,"
Banyak Sumba segera berkata. Hatinya gembira bercampur waspada.
"Begitu bergairah untuk mendapat hadiah hingga kau bersedia mati seperti seekor anjing,"
Kata pemimpin rombongan dengan senyum mengejek.
"Saya akan belajar kepada si Colat."
"Hahahaha!"
Terdengar seorang di antara mereka tertawa seraya kuda mereka makin dekat mengelilingi kuda Banyak Sumba.
Banyak Sumba tidak melihat kemungkinan lain, kecuali berkelahi dengan mereka.
Tongkat waregunya terpasang di muka pelana, kakinya kuat pada sanggurdi.
Ia menentukan sasaran, yaitu pemimpin rombongan itu.
"Jangan kira saya takut kepada kalian. Soalnya, sebenarnya sia-sia kalau saya harus menghajar kalian,"
Kata Banyak Sumba.
Perkataannya memberi pengaruh pada jiwa pengepung.
Mereka memandang Banyak Sumba dengan ragu- ragu.
Ketika itulah, Banyak Sumba melompat ke atas, menginjak pelana sambil mencabut tongkat waregu yang besar.
Dengan putaran yang berdesing, tongkatnya mengenai kepala rombongan.
Ia melihal golok berkelebatan tetapi dengan cepat ia memukul ke sana kemari, sementara lawan masih terganggu oleh guncangan kuda mereka.
Dua orang jatuh, disusul yang ketiga.
Banyak Sumba melompat ke tanah, lalu memukul orang yang terdekat dari belakang.
Lawan berlompatan ke tanah, tetapi mereka kalah lincah.
Banyak Sumba berdiri sambil menginjak dada kepala rombongan mereka seraya berseru.
"Hentikan, usaha kalian sfa-sia."
Anggota rombongan yang masih dapat berdiri, bimbang dan melihat ke kanan ke kiri.
"Hentikan usaha kalian! Bawa saya kepada majikan kalian. Ia akan mengenali saya."
"Baiklah,"
Kata pemimpin rombongan yang berusaha bangkit sambil memegang pinggangnya yang kena pukul tongkat waregu besar itu.
Tak lama kemudian, Banyak Sumba pun telah melarikan kudanya di belakang kesembilan orang anak buah si Colat itu.
PERJALANAN turun-naik bukit dilakukan sepanjang siang itu.
Ketika senja hampir tiba, mereka memasuki hutan bambu berduri.
"Hai!"
Kata suara dari atas pohon bambu.
"Hai!"
Seru kepala rombongan sambil mengacungkan goloknya. Suara gemuruh terdengar. Ternyata, sebuah pintu besar yang terdapat di celah-celah pohon bambu berduri dibuka orang.
"Jalan di muka!"
Kata pemimpin rombongan kepada Banyak Sumba.
Banyak Sumba menurut.
Ia melewati kawan-kawan seperjalanan yang memberi jalan.
Ia melarikan kudanya perlahan-lahan memasuki sebuah lapangan luas yang ada di belakang barisan pohon bambu berduri itu.
Ketika ia berpaling ke belakang, tampak kawan-kawan seperjalanan menghunus golok masing-masing.
Banyak Sumba mengerti bahwa ia sekarang diperlakukan sebagai tawanan.
Akan tetapi, ia tidak gentar karena kuda mereka tidak terlalu berdekatan.
Begitu ia tiba di tengah-tengah lapangan, bermunculanlah beberapa orang badega, ada yang menghunus golok, ada juga yang menyandang tombak.
Mereka mengelilingi Banyak Sumba dengan pandangan penuh pertanyaan.
"Tawanan!"
Seru kepala rombongan sambil tertawa.
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa karena bagaimanapun, ia tidak dapat hidup secara lain di tengah-tengah anak buah si Colat seperti itu, kecuali sebagai tawanan.
Ia hanya melihat berkeliling.
Baru tampak olehnya bahwa di bawah dan di atas pohon-pohonan di tempat itu terdapat rumah-rumah yang terbuat secara rapi dan tersembunyi dengan baik.
Dengan kagum, Banyak Sumba memandang ke arah sebuah bangunan besar yang bertengger di atas sebatang pohon besar.
Begitu ia tengadah ke atas, tampak dari lubang pengintai wajah yang lonjong dan halus potongannya tetapi dinodai dengan bekas luka yang mengerikan.
si Colat.
Wajah itu hanya sebentar tersembul, kemudian lubang pengintai itu ditutup.
Tak lama kemudian, meluncur sesosok tubuh yang berpakaian serbahitam dari bangunan itu.
Begitu tiba di tanah, terdengar sapanya yang halus.
"Selamat datang, Raden Banyak Sumba, lama benar kita berpisah semenjak pertemuan dulu."
"Terima kasih, Kakanda,"
Kata Banyak Sumba.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia terharu karena ternyata si Colat tidak melupakannya.
Ia pun sadar bahwa antara dia dan si Colat terdapat persamaan nasib.
Dunia telah memperiakukan mereka berdua dengan tidak adil.
Akan tetapi, kemudian dunia akan menyadari betapa salahnya telah memperlakukan dua orang seperti mereka tidak adil.
Demikianlah pikiran Banyak Sumba.
"Tidak keberatankah kalau Raden memanjat?"
Ujar si Colat sambil tersenyum.
"Saya biasa memanjat dan tidur di atas pohon seperti Kakanda sekarang. Itu saya lakukan bertahun-tahun,"
Ujar Banyak Sumba. Si Colat memandangnya dengan penuh perhatian. Kemudian, ia berjalan. Banyak Sumba mengikutinya.
"Bagaimana dengan Ayahanda?"
Tanya Si Colat. Banyak Sumba tertegun sejenak. Ia bimbang, apakah ia akan mengatakan sesuatu atau tidak. Si Colat seolah-olah tahu sesuatu tentang Ayahanda. Hal itu terdengar dari nada bicaranya.
"Saya banyak tahu tentang rahasia Raden,"
Katanya sambil tersenyum.
"jadi tidak usah ragu-ragu."
"Tapi, saya tidak punya rahasia yang cukup penting untuk diketahui orang lain,"
Kata Banyak Sumba, memancing seraya melindungi dirinya sekaligus.
"Gan Tunjung banyak bicara tentang Raden."
"Apa yang beliau katakan?"
"Bahwa Ayahanda Raden berada dalam persembunyian dan hanya akan muncul lagi kalau Raden telah menunaikan tugas. Tugas itu dapat diperkirakan."
"Tapi, dari manakah Gan Tunjung mengetahui tentang hal itu?"
"Dua orang panakawan Raden ada di perguruannya dan saya sering berkunjung ke sana. Tentu saja malam hari. Kau yang dipercakapkan orang di sana, Raden. Engkau terkenal secara rahasia. Engkau seorang anak muda yang prihatin. Itulah sebabnya, mengapa kau tertarik kepadaku, barangkali,"
Ujar si Colat sambil mengerling dan tersenyum. Banyak Sumba menduga, Kang Arsim tidak terlalu rapat memegang rahasia. Akan tetapi, ia pun yakin bahwa rahasianya tidak seluruhnya terbuka kepada si Colat itu. Ia segera melupakannya.
"Semua itu tidak penting, Kakanda,"
Kata Banyak Sumba untuk mengalihkan percakapan. Si Colat berhenti berjalan, lalu berpaling.
"Saya tahu, yang terpenting bagimu adalah belajar ilmu keperwiraan. Rupanya, kau tergila-gila pada ilmu sial itu, Raden."
"Itulah sebabnya, mengapa setelah bertahun-tahun, saya masih mencari-cari Kakanda,"
Ujar Banyak Sumba.
"Baiklah, engkau dapat belajar bersama-sama dengan anakku. Oh, kau masih ingat kepada anakku, Jimat, bukan?"
"Tentu saja, Kakanda."
"Ia sudah besar sekarang, hampir tiga belas tahun umurnya."
Ketika itu, si Colat mulai memegang tambang besar yang menghubungkan tanah dengan bangunan di atas pohon.
Seperti seekor kera besar, ia memanjat tambang itu dengan cepat, lalu menghilang di lubang yang tidak kelihatan dari bawah pohon itu.
Banyak Sumba segera menirunya dengan cepat pula.
Ketika ia tiba di lubang yang tidak kelihatan dari bawah, tampak si Colat heran melihat kecepatan Banyak Sumba.
Ruangan dalam bangunan di atas pohon itu ternyata luas sekali.
Di sana terdapat dua buah bangku lebar yang di atasnya dilapisi jerami.
Di atas jerami itu, dihamparkan kulit harimau yang lebar-lebar dan indah-indah.
Di sekeliling ruangan tergantung bermacam-macam senjata.
panah, tombak, geraham banteng yang merupakan senjata yang menyeramkan, tanduk rusa, cula badak, dan sebagainya.
Berbagai macam pedang, golok, dan pisau tergantung pula, melekat pada kain-kain yang indah tenunannya.
Banyak Sumba dipersilakan duduk di atas bangku.
Setelah si Colat bertepuk tangan, muncullah dari salah satu ruangan seorang pembantunya, laki-laki setengah baya yang gemuk perawakannya.
"Makanan dan minuman, Obeh, kita menerima tamu,"
Kata si Colat.
Setelah berkata demikian, mulailah mereka bercakap-cakap.
Banyak Sumba menceritakan pengalamannya dengan menutupi bagian-bagian yang dianggapnya tidak baik dikemu- kakan.
Akhirnya, ia mengatakan bahwa kedatangannya, tidak lain, hanyalah untuk melaksanakan kehendaknya yang telah disampaikan beberapa tahun sebelumnya, yaitu belajar ilmu keperwiraan.
"Raden mengetahui bahwa hidup dengan rombonganku bukanlah bertamasya. Kami sudah lama diburu orang dan harga kepala saya ini ternyata mahal sekali. Banyak bangsavvan muda yang haus akan kemasyhuran dan sekaligus ingin mendapat hadiah harta dengan memimpikan kepala saya ini. Lucu sekali."
"Saya telah memikirkan segala-galanya. Kakanda. Ilmu yang Kakanda miliki dan dapat saya pelajari, lebih berharga daripada jerih payah yang dapat saya lakukan."
Ketika itu, orang yang dipanggil Obeh kembali dengan membawa air buah-buahan dan buah-buahan yang ranumranum di atas baki kayu. Matahari sudah condong ke barat, cahayanya yang merah menembus celah-celah dinding yang terjalin dari rotan.
"Baiklah, Raden akan berlatih dengan anakku, Jimat. Lawanlah Jimat dalam latihan-latihan karena ilmu yang kumiliki sudah hampir seluruhnya dia miliki."
"Tapi, saya miskin sekarang, Kakanda, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ini perlu saya sampaikan, betapapun kasar dan tidak senonoh kedengarannya,"
Ujar Banyak Sumba.
"Yang tidak senonoh adalah yang keluar dari hati yang tidak jujur, Raden. Tapi, saya mendengar, Raden orang yang lurus. Di samping itu, apakah kau anggap saya membutuhkan harta benda, Raden?"
"Maksud saya, saya tidak akan dapat mengembalikan kebaikan Kakanda,"
Kata Banyak Sumba.
"Tidak perlu pembalasan budi, Raden. Kita senasib. Demikian kalau tidak salah pendengaranku. Kita ini sama- sama diperlakukan tidak adil oleh masyarakat. Kita dinasibkan untuk bersatu, bukan?"
Kata si Colat sambil tersenyum. Banyak Sumba merasa terharu. Ia pun dapat menduga bahwa pengetahuan si Colat tentang dirinya sudah cukup banyak.
"Saya akan mendampingi Kakanda menghadapi bangsawan muda yang ingin terkenal dan rakus akan kekayaan itu,"
Kata Banyak Sumba sambil tersenyum.
"Haha! Itu baik untuk latihanmu, Raden,"
Kata si Colat. Dari percakapan itu, keakraban mulai tumbuh. Si Colat dengan leluasa membaringkan dirinya di atas balai-balai yang dihampari kulit harimau yang indah.
"Silakan beristirahat,"
Katanya.
"Sudah lama saya tidak mendapat kawan mengobrol."
Tiba-tiba, dari bawah terdengar suara orang-orang sangat berisik.
"Mereka datang,"
Kata si Colat.
"Anakku baru kembali berburu harimau dan binatang buruan lainnya,"
Katanya.
Banyak Sumba bangkit, lalu berjalan ke arah lubang pengintai.
Dari sana, tampaklah rombongan yang terdiri dari, kira-kira, lima belas orang memasuki lapangan yang dikelilingi bangunan.
Paling depan berjalan seorang pemuda, bertubuh tinggi dan besar meskipun masih muda.
Pemuda itu sangat tampan, rambutnya yang hitam kelam berombak ditiup angin senja.
Raden Jimat, pikir Banyak Sumba sambil memandangi pemuda itu dengan penuh perhatian.
Di belakang pemuda itu berjalan badega-badega mengusung binatang perburuan yang besar- besar, rusa dan babi hutan.
Di antara binatang yang diusung terdapat kulit harimau yang indah.
Kulit harimau itu segera dibentangkan di antara dua batang tonggak.
Raden Jimat memandang kulit harimau itu dengan rasa puas.
"Ayah, lebih lebar dari yang dulu!"
Serunya. Ketika ia tengadah ke arah lubang persembunyian, pandangannya bertemu dengan pandangan Banyak Sumba. Banyak Sumba mengangguk seraya tersenyum kepadanya. Raden Jimat tampak termenung.
"Tamu!"
Kata seseorang.
Raden Jimat pun tersenyum dengan hormat seraya menundukkan kepalanya.
Malam itu, tukang pantun memetik kecapi dan menyanyi, sedangkan anak buah si Colat duduk berkeliling, mengelilingi daging binatang buruan yang telah dibakar.
Baki-baki penuh dengan berbagai buah terletak di dekat mereka.
Banyak Sumba memandang mereka dengan penuh perhatian.
Di tengah-tengah nyanyian dan gemeletup api unggun besar, mereka makan, minum tuak, dan bersenda gurau.
Si Colat tidak turun dari kamarnya.
Yang duduk di antara anak buahnya adalah Raden Jimat, ditemani Banyak Sumba.
Malam itu, Banyak Sumba tidur di ruangan besar bersama si Colat dan Raden Jimat.
Karena lelah akibat perjalanan sebelumnya dan karena mereka mengobrol sampai larut malam, Banyak Sumba tidur nyenyak sekali.
Ia tidak akan terjaga seandainya pagi-pagi di bawah tidak terdengar kegaduhan.
Banyak Sumba bangun dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Tenanglah, Raden, mereka sedang berlatih,"
Kata si Colat yang sudah berpakaian lengkap dan tampak sudah bersih.
Banyak Sumba malu karena kesiangan.
Ia berdiri, lalu berjalan ke arah lubang pengintai.
Semua anak buah si Colat tampak duduk berkeliling, di tengah-tengah lapangan ada dua orang berhadapan, siap untuk saling menyerang.
-ooo00dw00ooo- Bab 11 Penyesalan Mula-mula, Banyak Sumba tertarik.
Akan tetapi, setelah mereka saling menyerang, tampaklah kepadanya bahwa perkelahian mereka rendah sekali mutunya.
Ia mengundurkan diri dari lubang pengintai itu, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan.
Si Colat yang duduk di atas bangku sambil menghadapi hidangan pagi berkata.
"Perkelahian monyet. Raden. Tapi, karena para jagabaya itu monyet-monyet yang bodoh, mereka lebih sering menang daripada kalah,"
Katanya.
"Tapi, saya pernah melihat monyet yang berkelahi dengan cara lebih baik, Kakanda,"
Kata Banyak Sumba dengan nada bersenda gurau.
"Ya, harimau pun berkelahi lebih baik daripada seseorang yang tidak pernah belajar ilmu keprajuritan. Akan tetapi, manusia dapat mengubah cara berkelahi dari waktu ke waktu. Dari abad ke abad, monyet atau harimau berkelahi dengan cara yang sama. Manusia tidak, di sinilah perbedaannya. Manusia memiliki akal dan dari akal ini, lahirlah ilmu keperwiraan yang makin lama makin disempurnakan dan diperluas. Perguruan-perguruan ilmu keperwiraan didirikan. Ada Padepokan Sirnadirasa, ada Padepokan Tajimalela.
"Nah, itulah sebabnya, kita selalu melihat kemungkinan- kemungkinan maju pada manusia. Prajurit yang berkelahi di bawah tadi adalah orang-orang baru. Dalam sebulan, dengan latihan setiap pagi, mereka akan lebih baik daripada umumnya para jagabaya kerajaan."
"Apakah mereka itu orang-orang baru?"
"Ya, Raden, rupanya keluarga si Colat ini makin lama makin bertambah besar juga. Dulu beberapa puluh orang, sekarang beberapa ratus. Engkau anggota keluarga baru,"
Ujar si Colat sambil mulai makan. Obeh masuk dengan air pencuci tangan baru dan kain pengering. Si Colat mempersilakan Banyak Sumba makan. Banyak Sumba menolak karena ia tertarik oleh kegaduhan di luar, di samping itu ia belum mandi.
"Makanlah nanti bersama-sama dengan Jimat,"
Ujar si Colat.
Banyak Sumba pun mohon izin untuk ke luar, lalu turun, ikut menggabungkan-diri dengan anak buah si Colat.
Raden Jimat menyambutnya seraya mengucap sampurasun.
Banyak Sumba berdiri di samping anak yang tampan dan lemah lembut itu.
Sementara itu, pasangan yang berkelahi telah berganti.
Kadang-kadang Raden Jimat berseru, menghentikan mereka yang sedang berlatih, lalu membetulkan cara-cara yang tidak tepat.
Banyak Sumba sadar bahwa betapapun mudanya Raden Jimat, pengetahuannya tentang ilmu keperwiraan sangat tinggi.
Kesadaran ini bertambah juga ketika Raden Jimat turun ke gelanggang menghadapi salah seorang prajurit.
Dengan tangkas dan indah, diseranglah lawannya sehingga tidak dapat berkutik.
Gaya berkelahinya telah begitu dikenal oleh Banyak Sumba, yaitu gaya berkelahi yang dilihatnya di Padepokan Tajimalela.
Yakinlah Banyak Sumba sekarang bahwa si Colat benar-benar telah menguasai ilmu kepuragabayaan.
"Coba hadapi aku oleh tiga orang!"
Tiba-tiba Raden Jimat berseru.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga orang masuk gelanggang dan bersiap mengepung Raden Jimat.
Akan tetapi, dengan cepat Raden Jimat melompat ke sana kemari, mengacaukan kepungan lawan- lawannya dengan tendangan dan pukulan.
Makin kagum juga Banyak Sumba kepadanya.
"Jimat, lawan Raden Banyak Sumba!"
Tiba-tiba terdengar si Colat berseru dari lubang pengintai. Orang-orang bersorak dan Raden Jimat memandang kepada Banyak Sumba sambil tersenyum-senyum.
"Raden, dalam latihan pukulan penuh, hanya boleh dilepaskan ke bagian badan yang tidak berbahaya. Sedangkan ke arah bagian yang lemah hanya peringatan,"
Sambung si Colat kepada Banyak Sumba. Banyak Sumba sadar bahwa si Colat sangat sayang kepada putranya. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk memberikan peringatan agar putranya tidak terancam bahaya.
"Baiklah, Kakanda. Tapi, barangkali sayalah yang akan banyak kemasukan pukulan,"
Kata Banyak Sumba sambil tersenyum bersenda gurau.
Setelah berkata demikian, masuklah ia ke dalam gelanggang bertepatan dengan keluarnya lawan-lawan Raden Jimat yang tiga orang.
Tak lama kemudian, mereka pun berhadapan.
Berbeda dengan perkelahian sebelumnya, biasanya gerakan-gerakan segera dilakukan, Raden Jimat maupun Banyak Sumba tidak cepat-cepat menyerang.
Keduanya mencari celah pada kuda-kuda masing-masing.
Untuk itu, biasanya memancing dengan celah-celah yang dibuat pada kuda-kuda sendiri atau dengan gerakan yang memindahkan perhatian.
Lama sekali Banyak Sumba mencari jalan untuk membuka serangan, tetapi Raden Jimat begitu baik menutup dirinya.
Sementara itu, seluruh gelanggang sepi semata.
Hanya suara angin yang lewat di daun-daun yang terdengar.
Orang- orang tidak lagi bersorak-sorai.
Dengan tegang, mereka memerhatikan gerak-gerik kecil dan lembut pada Banyak Sumba dan Raden Jimat.
Banyak Sumba berpikir keras.
Ia lebih besar dan lebih tinggi sedikit daripada Raden Jimat.
Ia mendapat keuntungan dalam perkelahian jarak dekat.
Dengan sendirinya, Raden Jimat akan mempergunakan siasat memukul, kemudian menjauh.
Ia harus segera membendung siasat Raden Jimat ini, yaitu dengan menyudutkannya ke pinggir gelanggang.
Ini harus dilakukannya dengan dua siasat.
Pertama, untuk menghadapi siasat serang lari, ia tidak boleh tinggal di tempat.
Kemudian, untuk menyudutkan Raden Jimat, ia tidak boleh menyerang secara lurus tetapi harus melebar.
Sementara itu, walaupun otot-ototnya kuat, ia tidak boleh memberi kesempatan untuk dipukul.
Pukulan-pukulan Raden Jimat terhadap para prajurit tadi tampak begitu berbahaya sehingga umumnya mereka itu tidak dapat berbuat banyak setelah satu kali terpukul.
Dengan pikiran seperti itulah, Banyak Sumba dengan tenang maju mendekat ke arah Raden Jimat.
Dengan tidak disangka-sangka, Raden Jimat maju pula, seolah-olah ia tidak memperhitungkan tinggi dan besar tubuh Banyak Sumba.
Ini membingungkan Banyak Sumba.
Dan ketika ia belum dapat menetapkan siasat baru, Raden Jimat telah menyerangnya.
Serangan itu pun tidak disangka-sangka.
Dengan keras, Raden Jimat memukul tangan Banyak Sumba yang paling dekat.
Secara naluriah, kalau mendapat serangan, Banyak Sumba segera maju.
Sekarang, apa yang diduganya terjadi.
Raden Jimat menjauh, menghindar ke samping sambil menyepak ke arah perut Banyak Sumba.
Akan tetapi, kakinya dapat dikibaskan, bukan karena diperhitungkan, melainkan karena kebetulan saja.
Banyak Sumba berpendapat bahwa ia dapat mulai menerapkan siasatnya, yaitu dengan menyudutkan Raden Jimat ke pinggir gelanggang.
Akan tetapi, Raden Jimat maju kembali dan tanpa memperhitungkan jangkauan tangan Banyak Sumba yang lebih panjang dan berat badan Banyak Sumba yang lebih besar, ia melakukan serangan jarak dekat.
Tangannya menempel ke kedua tangan Banyak Sumba.
Tangan itu tidak melawan tenaga tangan Banyak Sumba, tetapi menyerah pun tidak.
Banyak Sumba merasa bahwa tangannya dibelit oleh ular yang licin, yang sewaktu-waktu kepalanya dapat mematuk ke arah tubuhnya.
Banyak Sumba berusaha menghindarkan beberapa tusukan tanpa dapat mengembalikan serangan Raden Jimat.
Untung ia tidak terpesona oleh serangan tangan itu.
Kakinya dengan sigap menyapu kaki Raden Jimat.
Radenjimat hampir terjatuh, tapi dengan tangkas ia memindahkan berat badannya, lalu menjauh.
Suara bergumam terdengar dari tepi gelanggang.
Pada saat itu, Banyak Sumba membalas menyerang dengan langkah tidak lurus.
Dengan gerakan melebar ke kanan dan ke kiri, ia berusaha mengepung Radenjimat.
Sedangkan Radenjimat berulang-ulang mencoba menembus kepungan itu dengan serangan-serangan keras, terutama ke arah perut Banyak Sumba.
Akan tetapi, tangan Banyak Sumba terlalu cepat sehingga semua serangan itu dapat dikibaskan.
Akhirnya, ia makin mundur ke tepi gelanggang.
Banyak Sumba siap-siap untuk menangkap dan melemparnya.
Akan tetapi, siasat baru yang tidak dikenal oleh Banyak Sumba dilancarkan oleh Radenjimat.
Ia melakukan serangan jarak dekat, mengeraskan kedua tangannya menempel ke arah tangan Banyak Sumba.
Ini mengundang bantingan, demikian pikir Banyak Sumba sambil membanting Radenjimat ke samping.
Radenjimat memutar tubuhnya dan berpusing menuju ke tengah.
Sekarang, Banyak Sumba-lah yang berada di tepi gelanggang, sedangkan Radenjimat yang diburunya, dengan tersenyum sudah lolos dan berdiri di tengah-tengah gelanggang.
Ia terengah-engah, demikian juga Radenjimat.
"Satu-satu,"
Tiba-tiba terdengar si Colat berseru dari atas. Banyak Sumba tengadah.
"Sapuan kakimu bagus sekali, Raden. Kalau bukan Jimat, sudah terbanting rata di rumput itu. Ia lebih ringan, jadi mudah memindahkan berat badannya."
Pertandingan antara mereka selesai.
Para prajurit turun ke gelanggang, bertarung satu sama lain.
Sementara itu, Banyak Sumba berjalan dengan Radenjimat ke arah sungai yang terletak tidak jauh dari hutan bambu itu.
Mereka bercakap- cakap tentang ilmu keperwiraan.
Banyak Sumba merasa gembira telah mendapatkan kawan berlatih yang begitu tangguh dan begitu cerdas.
"Sejak kapan Ayahanda mengajar Raden?"
Tanya Banyak Sumba pada suatu ketika.
"Sejak berumur delapan tahun. Saya belajar dengan tangan kosong setiap hari selama dua tahun, kadang-kadang sepanjang hari. Kemudian, dengan berbagai senjata saya pel- ajari tiga tahun. Yang lebih berat belajar dengan tangan kosong,"
Katanya.
"Siasat tangan kosong Raden bagus sekali,"
Kata Banyak Sumba dengan penuh kekaguman.
"Yang penting, kita tidak kehilangan akal, tidak bingung, apalagi marah. Itulah yang selalu diajarkan kepada saya oleh Ayahanda. Saya pernah bertanya kepada Ayahanda, apakah ada orang yang dapat mengalahkannya? Ayahanda menjawab, setiap orang dapat mengalahkannya kalau beliau sedang kehilangan akal sehatnya. Tapi dalam keadaan biasa, beliau tidak takut oleh siapa pun, juga oleh Pangeran Anggadipati yang termasyhur atau Jante jaluwuyung yang sudah tidak ada itu."
Banyak Sumba termenung.
"Rupanya, Ayahanda banyak mengenal para puragabaya itu,"
Katanya.
"Ayahanda belajar bersama mereka,"
Kata Raden Jimat. Banyak Sumba tidak mengerti, ia berpaling kepada Raden Jimat. Raden Jimat yang mengetahui Banyak Sumba kebingungan menjelaskan.
"Karena dukacita, Ayahanda membuang diri ke dalam hutan. Beliau memasuki Hutan Larangan, menyerahkan diri pada binatang buas. Akan tetapi, para guriang melindunginya dan beliau diperkenankan memasuki wilayah Padepokan Tajimalela. Secara sembunyi- sembunyi, beliau mempelajari ilmu kepuragabayaan bertepatan dengan saat-saat Pangeran Anggadipati dan Raden Jante Jaluwuyung nun jadi siswa di sana."
Mendengar penjelasan itu, termenunglah Banyak Sumba.
Ia makin sadar, betapa banyak persamaan nasibnya dengan nasib si Colat.
Ia diperlakukan tidak adil.
Ia terpaksa harus berpisah dengan putri yang dicintainya.
Ia mempelajari ilmu kepuragabayaan secara sembunyi-sembunyi.
"Pamanda Banyak Sumba,"
Kata Radenjimat.
"Sebenarnya tidak sukar untuk mencapai Padepokan Tajimalela kalau orang berani menembus Hutan Larangan yang mengelilinginya,"
Demikian keterangan Radenjimat. Kemudian, ia tertegun.
"Sudahkah Pamanda ke sana? Dari gaya berkelahi Pamanda, saya melihat gaya Padepokan Tajimalela."
"Saya pernah melihat calon puragabaya berkelahi,"
Kata Banyak Sumba menyembunyikan kenyataan.
Setelah tubuh mereka dingin, mereka bersama-sama membersihkan diri di sungai jernih yang mengalir dekat persembunyian si Colat.
Dan semenjak itu, setiap pagi mereka berlatih, mengobrol, mandi, dan makan bersama-sama.
Makin hari, makin haluslah ilmu keperwiraan Banyak Sumba.
TERNYATA, tempat itu hanyalah salah satu persembunyian si Colat.
Banyak Sumba hanya beberapa hari tinggal di hutan bambu itu.
Pada suatu hari, ia diberi tahu bahwa besok mereka akan berpindah tempat.
Pada keesokan harinya, ketika matahari terbenam, berangkatlah sekitar lima puluh orang penghuni hutan itu menuju persembunyian lain.
Sepanjang jalan, berulang-ulang para anggota rombongan tertentu memisahkan diri untuk kemudian kembali dengan membawa tambahan perbekalan.
Akhirnya, Banyak Sumba mengerti bahwa perbekalan itu diambil dari kampung- kampung karena orang-orang kampung yang ketakutan jauh sebelumnya sudah diberi tahu dan diharuskan menyediakan upeti mereka, terutama garam dan beras bagi pasukan si Colat.
Pada suatu kali, rombongan yang terdiri enam orang, kembali ke induk pasukan dengan tangan hampa.
Bahkan, di antara mereka membawa anak panah tertancap di punggungnya.
"Apa yang terjadi?"
Tanya si Colat. Walaupun tenang, terdengar suaranya agak lain. la marah melihat anak buahnya yang tcrluka itu.
"Ketika kami berseru-seru, dari dalam kampung tak ada jawaban. Kami segera mengundurkan diri karena merasa curiga. Untuk menyelidiki, pasukan disebar mengelilingi kampung itu. Seseorang melepaskan panah, diikuti oleh yang lain."
"Berapa besar kampung itu?"
Tanya si Colat.
"Kira-kira dua puluh lima keluarga, tapi tidak perlu ada yang ditakutkan,"
Kata pemimpin rombongan yang enam orang itu. Si Colat termenung, sedangkan orang yang luka itu diurus. Anak panah dicabut dan lukanya dibebat setelah diberi obat penawar racun. Setelah beberapa lama terdiam, si Colat berkata.
"Dua puluh lima orang laki-laki dewasa bukanlah persoalan, tetapi tentu ada jagabaya di dalam kampung itu. Tak mungkin mereka berani menolak tuntutan kita kalau tidak ada jagabaya di sana. Kita harus kembali dengan pasukan yang lebih besar. Kita urus nanti,"
Kata si Colat.
Kemudian, ia memberi isyarat kepada rombongan untuk melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan, Banyak Sumba melarikan kudanya tidak jauh dari si Colat dan Raden Jimat.
Kalau jalan kebetulan besar dan mereka dapat mengendarai kuda berdampingan, kadang-kadang mereka berbicara tentang itu dan ini.
Karena kepenasarannya, pada suatu kali Banyak Sumba bertanya.
"Apakah memang ada kampung yang berani menolak?"
"Baru satu kampung itulah di daerah barat ini,"
Ujar si Colat.
"Tapi hanya sementara, mereka akan tahu risiko perbuatan mereka itu dalam waktu dekat,"
Kata si Colat. Nada suaranya memperlihatkan kemarahan.
"Mereka akan tahu arti perbuatan mereka sendiri,"
Tiba-tiba si Colat berkata kembali.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah apa sebabnya, perkataan si Colat itu meremangkan bulu roma Banyak Sumba.
-ooo00dw00ooo- Bab 12 Malakal Maut Seperti juga yang pertama, persembunyian si Colat , yang kedua tidak disangka-sangka letaknya.
Hutan kecil itu tidak berapa jauh letaknya dari jalan besar kerajaan.
Bukan saja orang tidak mudah menyangka bahwa si Colat tinggal di tempat itu, tetapi letaknya yang dekat dengan jalan besar memudahkan si Colat untuk bergerak dan berhubungan dengan anak buahnya yang tersebar dalam hutan-hutan antara wilayah Kutabarang dan Pakuan Pajajaran.
Setiba di tempat persembunyian yang kedua ini, kehidupan sehari-hari Banyak Sumba tidak banyak berbeda dengan ketika dalam persembunyian yang pertama.
Ia berlatih setiap pagi.
Agar tidak membuang-buang waktu, ia membantu mengurus kuda pasukan, yaitu sebagai pemeriksa karena pengurus kuda pasukan si Colat kurang ahli dalam hal itu.
Banyak Sumba sebagai seorang putra bangsawan yang sejak kecil bergaul dengan kuda, jauh lebih ahli dalam memelihara dan menjinakkan kuda.
Tampaknya, si Colat senang dengan pekerjaan yang dilakukan Banyak Sumba.
Pernah ia meminta kepada Banyak Sumba agar mengajari Raden jimat dalam mengenal watak binatang yang berguna itu.
Banyak Sumba sendiri, setelah beberapa lama tinggal dengan si Colat, menyadari bahwa ilmunya tidak akan bertambah lagi kalau ia tidak mencari guru lain.
Tidak dapat disangkal bahwa si Colat perwira yang sukar tandingannya.
Raden Jimat sendiri walaupun masih anak-anak sudah demikian tangguh, apalagi si Colat sebagai orang dewasa, yang di samping kecerdasannya telah pula mendapat pengalaman dari perkelahian-perkelahian yang mempertaruhkan nyawa.
Ini sangat jelas kalau sewaktu-waktu ia berkenan memberikan petunjuk kepada Banyak Sumba saat berlatih dengan Raden Jimat.
Namun, akhirnya dorongannya untuk pergi timbul juga dalam hati Banyak Sumba.
Pertama, ia harus segera melaksanakan tugasnya, yaitu membalas dendam terhadap Anggadipati dan mengangkat kembali nama keluarga Banyak Citra.
Kedua, ia ingin segera dapat bertemu dengan keluarganya.
Ketiga, sudah rindu pula ia kepadaJasik, dan keempat...
walaupun dalam kabut keraguan, ia teringat kepada Nyai Emas Purbamanik.
Maka, direncanakannya akan minta diri kepada si Colat untuk pergi ke Kutabarang.
Dari sana, dengan Jasik, ia akan pergi ke Pakuan Pajajaran tempat Anggadipati berada.
Ia akan memasuki asrama kesa- triaannya dan menantangnya sebagai laki-laki.
Kalau ia gugur, Jasik akan pulang sendirian ke Kota Medang.
Kalau dia yang menang, mereka akan pulang bersama, dan siapa tahu Banyak Sumba dapat bertemu dan mengetahui bagaimana keadaan Nyai Emas Purbamanik sejak gadis itu ditinggalkannya.
Ia yakin, si Golat tidak akan keberatan, bahkan siapa tahu si Colat akan memberinya beberapa orang pengawal.
Ia menangguhkan niatnya karena saat yang baik untuk menyampaikan maksudnya belum tiba.
Belakangan, si Colat merasa tidak senang karena beberapa kampung berani menolak permintaan upeti yang dituntutnya.
Bahkan, para jagabaya dikabarkan tampak di hutan-hutan mendirikan asrama darurat.
Belum lagi terhitung yang menginap di kampung-kampung.
Beberapa belas anak buah si Colat dikabarkan hilang pula.
"Kita harus menghajar mereka,"
Suatu kali si Colat berkata.
Tapi, ancaman itu tidak dilaksanakannya hingga pada suatu kali, berita buruk diterima di tempat persembunyiannya.
Ketika itu, hari masih pagi, embun masih meliputi puncak gunung.
Burung-burung belum begitu ramai bernyanyi.
Di bawah embun, dari arah lembah, muncullah kira-kira sepuluh penunggang kuda.
Lawang kori dibuka dan kesepuluh pendatang masuk.
Pemimpin segera menghadap si Colat di ruangannya.
Dalam ruangan itu, si Colat ditemani Banyak Sumba dan Raden Jimat.
Kepala rombongan menghadap dengan kepala menunduk.
"Celaka, Juragan!"
Badega itu berkata dengan sedih.
"Apa yang terjadi?"
"Seperti biasa, kami meminta upeti dari Kampung Murugul. Mereka mempersilakan kami dengan membuka lawang kori lebar-lebar. Ini mencurigakan sebagian dari kami. Wasji, Anda, Rawi, Waskir, dan Jagoi masuk. Orang-orang kampung mempersilakan kami masuk, tapi kami menunggu di luar. Sebagian dari kami bertindak begitu karena curiga, sebagian lagi karena bernasib baik. Tiba-tiba, dari arah hutan-hutan sekitar kampung, keluarlah para jagabayaada yang menunggang kuda, ada yang berjalan kaki. Sedangkan dari arah kandangjaga dan pohon-pohonan yang memagari kampung, hujan anak panah menyembur kami. Kami segera melawan dan menyerang jagabaya itu. Kami membunuh beberapa orang dan melukai banyak di antara mereka. Juragan bisa melihat senjata kami yang berdarah. Akan tetapi, yang memasuki kampung tidak dapat keluar lagi. Lawang kori segera ditutup oleh orang-orang kampung Kami tidak tahu bagaimana nasib mereka."
Mendengar berita buruk itu, si Colat termenung sejenak, kemudian memanggil Obeh. Obeh keluar kembali, tak lama kemudian tiga orang badega yang sudah agak lanjut usia masuk ruangan.
"Panggil tiga pasukan yang paling dekat. Perintahkan mereka mempersenjatai diri. Suruh yang lain membuat sejumlah obor kecil, sediakan kain-kain bekas atau rumput kering, dan minyak kelapa sebanyak-banyaknya."
Para badega itu segera keluar setelah memberikan hormat.
Sementara itu, yang membawa berita ditahan dulu untuk tinggal di dalam ruangan.
Si Colat meminta keterangan lebih banyak tentang kampung yang dijadikan perangkap oleh para jagabaya itu.
Setelah lama mengorek keterangan tambahan dari yang membawa laporan, si Colat menyuruhnya beristirahat, lalu ia berkata kepada Banyak Sumba.
"Sekurang-kurangnya, tiga kampung yang berdekatan dengan kampung itu harus dibakar dalam dua-tiga hari ini. Para jagabaya akan menahan diri untuk bertindak lebih jauh."
"Tapi, kampung-kampung lain mungkin tidak mengizinkan para jagabaya untuk menjadikannya perangkap, Kakanda. Mereka mungkin tetap setia kepada Kakanda. Sekurang- kurangnya, pada saat ini mereka belum berbuat salah,"
Ujar Banyak Sumba.
"Raden, saya dibacok di dalam gelap oleh beberapa orang begundal, apakah saya harus berbuat salah terlebih dulu? Ayahanda Raden pun dijatuhkan dari takhtanya, apakah beliau sudah berbuat salah? Raden sekarang kesatria yang mengembara dan menderita keprihatinan, apakah harus berbuat salah terlebih dulu? Apakah seseorang menderita setelah berbuat salah dulu? Tidak, Raden Banyak Sumba. Siapa pun boleh menderita, bahkan tewas, tanpa berbuat salah terlebih dahulu. Itulah sebabnya, kampung-kampung sekitar kampung perangkap itu harus menderita, tanpa ada syarat mereka berbuat salah terlebih dahulu kepada kita."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa, pertama karena masalah itu belum pernah dipikirkannya, kedua karena ia tahu pikiran si Colat sedang kalut.
Walaupun begitu, ia tetap merasa bahwa keputusan si Colat itu tidak adil.
Ia yakin ada sesuatu yang salah walaupun tidak dapat menjelaskan bagaimana persoalan sebenarnya dengan tiga kampung yang akan dirusak pasukan si Colat itu.
Ia tidak memecahkan masalah itu.
Ketika malam kedua tiba setelah datangnya peristiwa buruk itu, pada suatu subuh, ia dibangunkan oleh langkah-langkah kaki.
Ia melihat dari tingkap ruangan di sebelah selatan tampak langit menjadi kemerah-merahan.
Bukan hutan terbakar, tapi kebakaran besar lain telah terjadi.
Keesokan harinya, laporan tiba.
Dan si Colat berkata kepada Banyak Sumba sambil tersenyum.
"Mereka telah mengerjakan tugas dengan baik sekali. Tidak hanya kampung yang mereka bakar, tapi juga huma. Para jagabaya itu tentu akan berpikir dua kali sebelum mereka memasang perangkap lagi."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa mendengar berita itu. Ia sebenarnya ingin bertanya, apakah penduduk kampung itu diselamatkan dulu atau tidak. Akan tetapi, ia segera sadar bahwa si Colat akan memberi jawaban yang sama.
"Haruskah orang menderita karena sebelumnya berbuat salah?"
Menurut pengalaman si Colat, orang dapat menderita dan bahkan meninggal tidak perlu disebabkan oleh perbuatannya.
Segala perbuatannya yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh hati nurani Banyak Sumba, telah dipertanggungjawabkan secara demikian.
AKAN tetapi, kendatipun tiga kampung telah terbakar musnah sebagai peringatan, para jagabaya dengan bantuan rakyat tampaknya tidak gentar.
Peristiwa penolakan membayar upeti oleh kampung-kampung disusul dengan penghadangan oleh para jagabaya.
Korban berjatuhan hingga akhirnya, si Colat mengumpulkan para pembantunya dari semua daerah.
Setelah mengadakan perundingan, si Colat memutuskan beberapa hal yang mencerminkan gawatnya keadaan bagi mereka.
Pertama, tindakan keras harus dilakukan terhadap kampung yang ternyata tidak mau memberikan upeti atau mencurigakan.
Penculikan terhadap kepala kampung yang mencurigakan harus mulai dilakukan, kehati-hatian ditingkatkan, dan tempat persembunyian harus dipindah- pindah lebih sering.
Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa kesabaran pihak kerajaan sudah habis dan sekarang para jagabaya telah dikerahkan untuk menghentikan kegiatan si Colat.
Hal ini menimbulkan kebimbangan pada Banyak Sumba Akankah ia tinggal bersama si Colat sambil menanti pasukan yang mungkin dipimpin oleh Pangeran Anggadipati atau langsung menyerang Pangeran Anggadipati di tempatnya, Pakuan Pajajaran? Mula-mula, Banyak Sumba tak berani menyampaikan niatnya untuk pergi dari rombongan si Colat.
Ia takut si Colat menganggapnya penakut dan tidak punya rasa setia kawan.
Akan tetapi, pada suatu kali, si Colat berkata kepadanya.
"Raden Banyak Sumba, dari keterangan yang diterima, pemimpin pasukan yang dikerahkan untuk menghadapi kita ini adalah Pangeran Anggadipati. Ia dilihat oleh anak buah saya di Kutabarang beberapa waktu yang lalu. Di sana, ia mengadakan perundingan dengan penguasa kota. Mungkin sekali kita mem-binasakannya. Pertama, tentu saja gerakan akan berhenti untuk beberapa lama hingga kita dapat menyerangnya di Kuta-barang. Kalau kita dapat membinasakan dia, banyak keuntungan yang kita peroleh. Pertama, tentu saja gerakan akan berhenti untuk beberapa lama, hingga kita dapat bernapas dan memperkuat diri. Kedua, gerakan rahasia yang dilaksanakan di Kutabarang akan merupakan penghematan pasukan."
Uraian si Colat tentang hal itu sungguh menggembirakan hati Banyak Sumba. Ia dapat meninggalkan si Colat yang tindakan-tindakannya tidak disetujuinya. Lagi pula, dia dapat menunaikan tugasnya. Maka, ia pun berkata.
"Seandainya Kakanda memutuskan akan melaksanakan gerakan rahasia itu, saya bersedia serta di dalamnya,"
Katanya.
"Engkau pantas menjadi pemimpin gerakan itu, Raden. Engkau seorang puragabaya dengan segala kepandaian yang kaumiliki itu. Seorang puragabaya harus dihadapi oleh puragabaya lagi. Tetapi, saya tidak, mau melibatkan kau dalam persoalan ini. Ini urusan saya,"
Kata si Colat "Tapi, saya pun punya urusan dan perhitungan dengan dia, Kakanda,"
Kata Banyak Sumba. Si Colat memandangnya dengan penuh pertanyaan, kemudian berkata.
"Pernahkah ada silang sengketa antara dia dan kau, Raden?"
"Ia membunuh kakak saya,"
Ujar Banyak Sumba. Mereka berpandangan. Mendengar penjelasan itu, berbisiklah si Colat.
"Tidak salah dugaanku, engkau putra Pangeran Banyak Citra yang menghilang itu. Mula-mula, kusangka engkau hanyalah putra bangsawan biasa, yang karena iri hati orang lain, dijatuhkan dari kedudukannya. Engkau putra wangsa yang sangat terkenal dan tidak pantas prihatin seperti sekarang. Pajajaran akan menerima hukumannya seandainya berani menghinakan putra-putra terbaiknya,"
Katanya sambil tetap memandang Banyak Sumba.
"Saya, saya laki-laki terbesar di antara para putra Ayahanda Banyak Citra."
"Kalau begitu, kita akan menyerang dia bersama-sama. Sekarang, marilah kita atur penyerangan itu. Kita menarik perhatian isi Istana Kutabarang dengan membuat keributan di pinggir kota. Kita dengan anggota pasukan pilihan akan menyelinap dalam gelap memasuki istana. Saya akan menghadapi Anggadipati. Engkau, Raden, bersama dengan pasukan pilihan, menghadapi para calon puragabaya yang menjadi pengiring Anggadipati."
"Sayalah yang akan menghadapi dia, Kakanda, karena sayalah yang punya urusan pribadi dengan dia,"
Kata Banyak Sumba. Si Colat memandangnya, lalu berkata.
"Anggadipati bukan puragabaya biasa, Raden."
"Saya tahu hal itu, Kakanda."
"Saya bukan tidak percaya kepadamu Raden, tapi Si Colat termenung, lalu berkata.
"Begini saja, Raden. Siapa yang lebih dahulu bertemu dengan dia akan lebih dahulu menghadapinya."
"Baiklah, Kakanda,"
Kata Banyak Sumba.
Sebenarnya, dia kurang senang dengan keputusan itu.
Ia tidak setuju dengan tindakan-tindakan si Colat.
Kalau serangan itu dilakukan bersama, seolah-olah ia anak buah si Colat yang melakukan penyerangan di bawah perinlah si Colat.
Ia sungguh gelisah, tetapi segera menenangkan diri dengan berdoa kepada Sang Hiang Tunggal untuk mendapatkan petunjuk.
Di samping kesibukan sehari-hari, di tempat persembunyian itu terlihat pula kesibukan lain.
Si Colat melakukan perundingan dengan para pembantu utamanya dalam rangka melakukan penyerangan terhadap Istana Kutabarang.
"Saya akan datang malam hari dan kalian telah menyiapkan segalanya,"
Demikian kata terakhir, setelah segala rencana siap.
TETAPI, rencana yang sudah siap itu tidak dapat dilaksanakan pada saat yang telah ditetapkan, karena begitu perundingan selesai dan baru saja para pemimpin pasukan meninggalkan ruangan perundingan, seorang mata-mata datang bermandi keringat.
"Sepasukan besar jagabaya bergerak ke sini,"
Katanya.
"Berapa banyak?"
Tanya Si Colat.
"Kira-kira seratus lima puluh orang, bersenjata berat."
"Kita terpaksa mengundurkan diri karena di sini hanya ada tiga puluh lima orang, Raden."
Gerakan pengunduran diri pun dilakukan dengan cepat.
Si Colat menetapkan tempat persembunyian sementara.
Sepuluh orang anggota pasukan disebar untuk menghubungi pasukan lain dan memanggil mereka agar berkumpul di suatu tempat yang telah ditetapkan.
Dari tempat itu, mereka'akan mengatur penghadangan terhadap pasukan kerajaan yang berjumlah seratus lima puluh orang itu.
Setelah segalanya ditetapkan, pengunduran diri dimulai.
Dua puluh lima orang penunggang kuda, termasuk si Colat, Radenjimat, dan Banyak Sumba memacu kuda masing-masing melintasi perhumaan dan hutan-hutan kecil.
Perkampungan dihindari.
Dalam perjalanan itu, suatu hal yang menyedihkan terjadi.
Seorang petani sedang bekerja.
Ketika mendengar mereka lewat, ia berdiri.
Petani memerhatikan pasukan yang lewat.
Pertarungan Terakhir Karya Saini KM di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seorang prajurit si Colat memberi tahu adanya petani itu.
"Bereskan sendiri, jangan sampai dia menjadi sebab malapetaka bagi kita semua,"
Kata si Colat.
Pasukan jalan terus, hingga Banyak Sumba mendengar teriakan yang mengerikan.
Ketika dia berpaling, tampaklah dua orang prajurit sedang membunuh petani itu.
Ia tidak dapat berkata apa-apa melihat kejadian itu.
Hatinya bertambah gelisah.
Ia tidak betah lagi duduk di atas kudanya di samping si Colat, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia hanya berdoa dalam hati agar Sang Hiang Tunggal menunjukkan jalan baginya dalam mengemban tugas keluarganya.
Sementara itu, perjalanan dilanjutkan, hingga matahari condong ke barat.
Ketika itulah, si Colat memerintahkan agar pasukan berhenti untuk beristirahat.
Pasukan pun memasuki hutan kecil dan membuka perbekalan.
Sementara itu, para pemimpin berkumpul.
"Kita bermalam di sebuah kampung,"
Kata si Colat. 'Apakah itu tidak terlalu berbahaya?"
Tanya salah seorang pembantu utama yang namanya tidak diketahui oleh Banyak Sumba.
"Tidak. Pasukan jagabaya sedang mengatur pengepungan tempat persembunyian kita yang kosong. Mereka akan cukup lama mencari jejak kita sebelum besok. Di samping itu, kalau mereka dapat mengejar kita, kita punya sandera, yaitu isi seluruh kampung, dan kawan-kawan akan segera tiba."
"Mengapa tidak menginap di hutan?"
Tanya yang lain.
"Kita harus menyelidiki sikap orang-orang kampung ini,"
Kata si Colat.
"Di samping itu, hutan lebih terbuka dari pengepungan, sedangkan kampung berpagar tinggi dan hanya orang-orang seperti anak buah kita yang tahu bagaimana menembusnya. Para jagabaya dengan senjata berat akan menjadi sasaran yang bagus bagi anak panah dari atas kandang jaga,"
Kata si Colat.
Yang lain tidak berbicara apa-apa.
Setelah kuda cukup mengaso, mereka pun menuju suatu kampung yang letaknya diketahui oleh anak buah si Colat.
Ternyata, pikiran si Colat itu penuh dengan perhitungan.
Dari kampung itu, mereka mendapat bahan makanan, di samping tempat berlindung.
Malam itu, Banyak Sumba tak dapat tidur nyenyak.
Bukanlah karena ia takut diserang tiba-tiba oleh para jagabaya, tetapi karena pengalamannya yang lalu, serta percakapannya dengan si Colat.
Betapapun tidak adilnya kehidupan terhadap dirinya, ia tidak akan bertindak seperti si Colat, pikirnya.
Akan tetapi, ketetapan hatinya itu tidak sanggup menenangkannya.
Sepanjang malam itu, ia gelisah dan diganggu oleh impian-impian buruk.
Berulang-ulang terbayang juga pemandangan pembunuhan yang dilakukan oleh dua orang prajurit si Colat terhadap petani yang malang dan tidak tahu apa-apa itu.
Keesokan harinya, setelah mengurus seluruh persediaan beras dan garam dari kampung yang didudukinya, pasukan berangkat menuju tempat persembunyian baru yang telah ditetapkan.
Di suatu persimpangan jalan, sepasukan berkuda yang terdiri dari lima belas orang telah menunggu.
Ternyata, mereka anak buah si Colat yang datang dari daerah lain.
Mereka membawa dua ekor kuda yang tidak bcrpenunggang.
"Kita kehilangan dua orang,"
Kata pemimpin rombongan baru itu dengan sedih.
"Ditangkap?"
Tanya si Colat. Kemarahan tampak pada air muka yang tiba-tiba berubah.
"Kami dihujani anak panah ketika mendekati kampung di utara Bukit Saninten itu. Mereka bangkit bersama-sama. Juga penduduk kampung-kampung sebelah utara. Kami mendengar berita itu dari penyelidik kami yang sekarang masih menghubungi kawan-kawan lain."
"Mereka akan belajar nanti,"
Kata si Colat seperti berkata kepada dirinya sendiri.
Perjalanan pun dilanjutkan, masuk hutan keluar hutan, melintasi perhumaan, menyeberangi sungai atau padang alang-alang.
Pada sore itu, rombongan melihat sebuah bukit gundul yang penuh dengan batu-batu runcing berserakan pada tebingnya yang curam.
Ke atas bukit itulah rombongan berjalan.
Ketika matahari hampir terbenam, mereka dengan susah payah mencapai puncak bukit itu.
Di sana sudah menunggu kurang lebih lima puluh orang anak buah si Colat lagi yang datang dari tempat lain.
Tak lama kemudian, datang pula pasukan lain dalam jumlah yang sama.
Maka, puncak bukit yang luas dan merupakan benteng alam itu pun dalam sekejap sudah merupakan sebuah benteng yang siap menghadapi dan menghalau serangan.
Sungguh cerdik si Colat yang telah menemukan dan mempergunakan puncak bukit batu sebagai tempat persembunyian.
Bagaimanapun, pasukan jagabaya yang mencoba datang ke tempat itu tentu kelelahan sebelum mencapainya.
Di samping itu, tanpa membawa perbekalan, pengepungan terhadap benteng alam itu tidak mungkin dilakukan karena daerah sekitarnya tandus belaka.
Sebelumnya, benteng itu merupakan anugerah alam yang luar biasa bagi siapa saja yang menggunakannya.
Tebing bukit itu sangat curam, tetapi dengan melalui celah, mudah didaki.
Pihak yang menguasai benteng ini dengan mudah menjaga celah atau menutupnya dengan batu besar, agar lawan tidak dapat masuk.
Sementara itu, tanah di sekeliling benteng alam itu tidak menguntungkan bagi pihak penyerang.
Tanah di bawahnya gundul dan rata, sehingga sukar bagi penyerang untuk mendapatkan perlindungan dari hujan anak panah.
Sedangkan batu dalam ukuran yang tepat untuk pelanting sangat banyak di puncak, hingga tidak perlu dikumpulkan dari tempat lain.
"Sungguh benteng yang tidak mungkin dikalahkan,"
Kata Banyak Sumba kepada si Colat yang berdiri di sampingnya. Ia sedang memberikan perintah kepada anak buahnya untuk mendirikan beberapa gubuk dan membereskan tempat-tempat hingga menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal.
"Kita tidak akan menjadikan tempat ini sebagai tempat bertempur, Raden. Betapapun kuatnya benteng ini, dengan pengepungan panjang yang dilakukan seribu jagabaya, akhirnya akan jatuh juga. Kita bukan saja melawan jagabaya, tetapi juga melawan kelaparan. Kalau sekarang kita berada di sini, itu hanyalah agar kita lebih tenteram mengatur siasat bagi medan pertempuran yang akan kita buka di mana-mana, di bagian kerajaan sebelah sini. Bahkan, kita akan berusaha agar lawan tidak dapat mendekati tempat ini. Dan hal itu mudah dilakukan. Pertama dengan menghancurkan mereka di perjalanan kalau jumlah mereka cukup kecil. Kedua dengan memancing mereka untuk mengejar pasukan kita ke tempat lain."
"Tetapi, seandainya lawan sampai ke tempat ini, mereka benar-benar tidak beruntung,"
Kata Banyak Sumba.
"Ya,"
Ujar si Colat sambil melayangkan pandangan ke sekelilingnya, ke hutan-hutan kelam yang tampak dari atas benteng alam itu. Ketika itu, dari bawah tampak pula serombongan penunggang kuda yang berjalan menuju celah satu-satunya ke puncak bukit itu.
"Mereka datang dari utara,"
Kata si Colat.
"Kita akan mendapat kabar keadaan Kutabarang, Raden,"
Sambungnya. Banyak Sumba berjalan bersama si Colat menyambut kedatangan pasukan baru yang berjumlah kira-kira dua puluh orang. Mereka turun dari kuda masing-masing. Dalam cahaya obor, tampak wajah mereka yang berkeringat dan berdebu.
"Kami tidak berhasil mendapat perbekalan sesuai dengan permintaan yang tercantum dalam surat Juragan,"
Kata pemimpin rombongan. Si Colat tidak berkata apa-apa, pandangan matanya bertanya kepada orang itu.
"Orang-orang kampung mulai melawan, hanya beberapa kampung yang menyediakan upeti. Yang lain tidak membuka lawang kori, bahkan ada yang menghujani kami dengan anak panah atau batu pelanting."
Si Colat menundukkan mukanya ke tanah untuk beberapa lama, kemudian ia mengangkat mukanya lagi, berkata.
"Baiklah, soal perbekalan kita urus nanti, soal sikap orang- orang kampung itu lebih penting. Kita harus mengurusnya terlebih dulu."
Setelah itu, ia tidak banyak berkata.
Dengan Banyak Sumba, ia berkeliling mengawasi pengaturan tempat di atas bukit itu.
Tak lama kemudian, gubuk-gubuk telah berdiri, juga kandang kuda.
Gudang besar terbuat pula untuk tempat perbekalan.
Perbekalan yang sudah ada segera dimasukkan gudang itu.
Akan tetapi, baru sedikit yang tersedia sehingga gudang besar itu sangat kosong.
Untuk beberapa lama, si Colat memandang ke dalam gudang yang masih kosong itu.
Kemudian, bersama Banyak Sumba, ia berjalan ke arah celah yang merupakan satu-satunya gerbang ke atas bukit itu.
"Kita akan membuat pintu besar dari kayu, yang dapat ditutup dan dibuka,"
Kata si Colat sambil memeriksa cadas di kedua belah celah. Ia memandang pula ke atas, ke tempat beberapa orang anak buahnya berdiri, menjaga.
"Hanya puragabaya yang dapat menyelinap. Tapi sebelum dapat mencapai dinding benteng, puragabaya pun akan menghadapi bahaya yang sukar dihindarkan,"
Sambungnya pula.
"Mungkinkah kerajaan mengerahkan para puragabaya?"
"Mungkin saja, Raden,"
Ujar si Colat.
"Sekurang-kurangnya, para calon akan diikutsertakan sebagai pembantu pemimpin pasukan jagabaya. Mereka akan menjadi penasihat dalam hal siasat atau penunjukjalan. Kalau ada kesempatan, mereka akan bertindak pula sebagai pengintai dan penyerang gelap. Pernah seorang pembantu saya tewas dengan cara yang aneh. Ia ditemukan mati di gubuknya. Ini pekerjaan calon puragabaya yang diperbantukan pada pasukan jagabaya yang menyerang pasukan anak buah saya itu. Tentu saja pasukan yang kehilangan kepala ini kalang kabut. Banyak yang mati, banyak pula yang tertawan. Tapi, kita tidak mau diserang secara demikian untuk kedua kali. Kami harus lebih cerdik, lebih banyak bergerak. Jangan mau diserang, lebih baik menyerang, lalu menghilang. Semenjak itulah saya berpindah- pindah."
Setelah pembicaraan itu, mereka kembali ke gubuk yang telah disediakan oleh anak buah si Colat.
Malam itu juga, sambil makan si Colat dan para pembantunya melakukan perundingan.
Kemudian, ditetapkan bahwa dua hal yang penting harus dilakukan dalam seminggu.
Pertama, mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya dan menghancurkan pasukan-pasukan jagabaya yang dikirimkan kerajaan ke daerah itu.
Kedua, usaha itu harus dilakukan bersama-sama untuk mencapai tiga hal, yaitu untuk mendapatkan bekal, untuk mengubah sikap rakyat, dan untuk memberikan waktu kepada pasukan si Colat menciptakan siasat lain setelah pasukan-pasukan jagabaya dihancurkan.
Dalam rangka siasat yang besar, diatur pula siasat-siasat kecil, di antaranya bertujuan untuk menyembunyikan tempat induk pasukan.
Untuk itu, kampung-kampung yang terlalu dekat dengan benteng alam tidak boleh diganggu.
Di samping itu, kekacauan-kekacauan akan dilaksanakan di dekat kota- kota, hingga balatentara kerajaan akan beranggapan bahwa gerakan si Colat berpindah mendekati kota-kota setelah mereka mengirim pasukan ke kampung-kampung.
Hal itu akan membingungkan lawan.
Keesokan harinya, usaha itu mulai dijalankan.
Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung