Senopati Pamungkas 15
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 15
Senopati Pamungkas (1) Karya dari Arswendo Atmowiloto
Kedok Klikamuka MENGERIKAN, karena hujan barisan anak panah yang mengurung dengan siasat perang Beras Wutah ini bukan hanya mengenai Upasara.
Melainkan juga prajurit pengikut Senopati Sora.
Dan sebagian dari prajurit Keraton Majapahit sendiri! Mereka tak sempat mundur.
Dibiarkan dihujani anak panah oleh sesama prajurit.
Hanya karena perintah Halayudha.
Puncak kemarahan Upasara sampai ke ujung rambut.
Putaran Kangkam Galih-nya makin kencang.
Kini bukan hanya sekadar sebagai payung, akan tetapi sesekali menyentak keras, sehingga sebagian anak panah berputar arah.
Menancap di dada pemanah! "Habiskan semua panahmu! "Aku, Upasara Wulung, tak akan lari."
Upasara malah melesat maju.
Mengarah ke tempat Halayudha dan Mahapatih yang kini berada dekat sitinggil.
Apa yang dilakukan Upasara memang tidak mencerminkan sikapnya yang sedikit tenang selama ini.
Setidaknya sifat yang dikenal oleh sebagian ksatria.
Untuk pertama kalinya sejak mengasingkan diri, Upasara menunjukkan kemurkaan dan mengumbar nafsunya.
Dengan gagah ia terus maju, mengibaskan anak panah yang terus berhamburan ke arah penyerang.
Upasara tak peduli yang terkena adalah prajurit Majapahit yang dihormati.
Kekesalan Upasara memang membludak bagai bendungan yang jebol.
Semenjak berada di Perguruan Awan yang sunyi, ia telah mengalami beberapa kejadian yang membuatnya sangat kesal.
Makin kesal karena tak mampu berbuat apa-apa.
Dan secara berturut-turut ia telah kehilangan Pak Toikromo, Galih Kaliki, dan baru saja menyaksikan Mpu Sora terluka dengan cara yang keji.
Ditambah lagi dengan cara Halayudha mengorbankan anak buahnya sendiri.
Jerat yang menutup tubuhnya rantas-terobek oleh sabetan Kangkam Galih.
Anak panah tak berarti banyak, walau sedikit merepotkan.
Karena kemudian, dengan satu loncatan tinggi, Upasara melayang masuk ke dalam sitinggil.
Mahapatih berusaha memapaki dengan meloncat terbang, akan tetapi kemudian terbanting ke bawah.
Tubuhnya sedikit menggigil karena hawa dingin menempel di lehernya.
Kalau Upasara sedikit tega, barangkali kepala itu sudah menggelinding di lantai sitinggil.
Sungguh ilmu yang luar biasa tinggi.
Baru sekarang Mahapatih mengalami sendiri apa yang selama ini diributkan kalangan persilatan.
Apa yang dikuatirkan Baginda.
Bahwa dengan menguasai ilmu Tepukan Satu Tangan, Upasara bagaikan banteng yang tumbuh sayap dan keluar taringnya! Mahapatih Nambi bukannya tidak mengenai siapa Upasara.
Pada saat berhadapan dengan pasukan Tartar, Upasara telah diangkat sebagai Senopati Pamungkas oleh Baginda.
Namun saat itu, kemampuan Upasara tidak terlalu luar biasa.
Setidaknya Mahapatih Nambi masih mampu mengimbangi.
Bahkan di saat-saat pertarungan yang menentukan dengan senopati Tartar, Upasara sudah memperlihatkan beberapa bagian dari latihan Tepukan Satu Tangan.
Yang nyatanya bisa mempecundangi Naga-Naga Tartar.
Akan tetapi, walaupun hebat, tidak terlalu luar biasa.
Masih bisa terbayangkan.
Pikiran Mahapatih masih bisa menjangkau.
Dan setelah pertarungan itu, praktis Upasara tak terdengar kabar beritanya lagi.
Selain bahwa sekarang makin menguasai Tepukan Satu Tangan, sebagai inti dari Bantala Parwa.
Akan tetapi sejauh ini belum dialami sendiri oleh Mahapatih.
Pemunculan Upasara di Perguruan Awan ketika itu hanyalah dalam menyalurkan tenaga dalam.
Setelah itu malah seperti orang biasa yang cacat.
Yang tak bisa mengelak serangan paling sederhana dari prajurit sembarangan.
Sekarang Mahapatih terbuka batinnya.
Bahwa nama besar Upasara Wulung selama ini bukan nama yang dilebih-lebihkan.
Bahkan agaknya pujian dan kekaguman masih perlu ditambahkan.
Berdiri di tengah sitinggil, Upasara mengangkat tangan kirinya yang memegang Kangkam Galih.
"Siapa yang menghendaki kematian lewat pedang hitam ini, silakan maju."
Suaranya bergaung dalam ruangan besar. Tak ada yang berani bergerak.
"Senopati... terima kasih atas kebaikan Senopati padaku."
Suara Mahapatih yang terdengar merendah membuat para prajurit terkesima.
Bahwa seorang dan satu-satunya mahapatih Keraton Majapahit, memberi penghormatan begitu mendalam, pasti ada apa-apanya.
Apalagi Mahapatih masih menyebut dengan sebutan senopati.
Tidak dalam artian mendudukkan Upasara pada tingkat di bawah kekuasaan Mahapatih, melainkan sebagai tanda pengakuan akan pangkat anugerah dari Baginda.
"Mahapatih yang mulia, maafkan kalau aku berlaku kasar di depan Mahapatih.
"Aku tak bisa membiarkan kekejian terjadi di depan hidungku."
Dibandingkan dengan Mahapatih, usia Upasara masih seperti anak kemarin sore.
Upasara lebih menunjukkan wajah seorang perjaka dibandingkan dengan Mahapatih Nambi.
Akan tetapi nada bicara Upasara menunjukkan ketinggian hati.
Atau kekerasan hati yang kecewa.
"Akulah yang telah berlaku kasar, karena tidak mengetahui Anakmas Senopati di antara pengiring Senopati Sora."
"Mahapatih, kedatanganku kemari tak ada hubungan dengan Senopati Sora. Kebetulan kami berjalan bersama, berkumpul bersama, karena alun-alun milik semua kawula.
"Akan tetapi, kekejian seorang senopati yang seharusnya dihormati membuat..."
Kalimat Upasara belum selesai ketika Halayudha meloncat maju, sambil melemparkan dua ekor ular.
Sekali bergerak, Upasara mengayunkan Kangkam Galih.
Dan dua ekor ular berbisa itu terpotong menjadi delapan bagian! Dengan satu tangan.
Dalam satu gerakan.
Dengan tangan yang sama dalam gerakan berikutnya, ujung Kangkam Galih menyobek pundak baju Halayudha, yang ketika mencoba mundur tubuhnya tersungkur.
Ujung Kangkam Galih satu jari di atas jidat Halayudha.
"Hmmm, ternyata kamulah Klikamuka!"
Kalimat Upasara cukup keras.
Kalau saja Mpu Sora dan atau Mpu Renteng mendengar, langsung hatinya tak akan penasaran.
Sebab kedua empu itulah yang selama ini telah berhasil dipermainkan Halayudha.
Halayudha-lah yang bisa mematahkan serangan Mpu Renteng dalam sekali gebrak, dan juga mengecoh Mpu Sora.
Sangat mungkin sekali itu bisa terjadi, sebab Halayudha mengetahui dengan baik jurus-jurus andalan kedua empu yang tak sedikit pun menyangkanya.
Itu semua terjadi ketika Halayudha memakai kedok klika atau kulit kayu.
Ketika itu Klikamuka berhasil menculik Permaisuri Rajapatni! Tak banyak yang mengetahui bahwa Upasara bertemu dan berhasil bertarung, sebelum Klikamuka menjauhkan diri sambil menjatuhkan Permaisuri Rajapatni.
Meninggalkan begitu saja! Hanya karena saat itu Upasara mencoba menghindari pertemuan dengan putri yang menggerakkan daya asmara, maka Upasara tidak memperpanjang persoalan.
Tapi Upasara tak mungkin melupakan semua peristiwa yang berhubungan dengan Gayatri.
Maka tadi bisa segera mengenali Klikamuka dari gerakannya menghindar.
Halayudha tak nyana bahwa kedoknya bisa terbuka dengan cara yang sangat sederhana! Lebih dari itu, Upasara sebenarnya mengetahui bahwa Halayudha atau Klikamuka lebih banyak bersandiwara.
Dulu ketika melemparkan cundhuk hingga menancap di ubun-ubun prajurit, sebenarnya cundhuk itu diberi tali halus dari rambut.
Sehingga seolah-olah dirinya tokoh yang sakti mandraguna.
Juga ketika melemparkan tombak hingga amblas ke dalam pohon.
Sebelumnya memang telah disiapkan pohon yang dilubangi.
Hingga sekilas nampaknya seperti mempunyai kekuatan tenaga dalam yang dahsyat.
Sekali bisik, tombak bisa amblas ke tengah pohon.
Yang lebih luar biasa liciknya juga ditunjukkan.
Ketika meremas ujung tombak dan seolah menjadi tanah liat.
Hancur berkeping-keping dalam remasannya! Betapapun hebatnya ilmu yang dipelajari, tak begitu saja suatu campuran baja dan besi bisa diremas menjadi pasir! Seperti yang lainnya, hal ini memang sudah disiapkan oleh Halayudha.
Agar rahasianya tidak terbongkar, prajurit yang membawa tombak dengan bagian ujung dari tanah kering dibunuh seketika itu juga! Upasara mengetahui kemudian, karena Jaghana memeriksa semua rumput dan tanah di Perguruan Awan.
Akan tetapi sesuai dengan sifat-sifat Jaghana, hal itu tidak dibicarakan kepada banyak telinga lain.
"Kelakuanmu menjijikkan!"
Titipan Asmara "TAHAN!"
Seruan tertahan terdengar secara serentak.
Mahapatih Nambi maju setindak.
Sementara Senopati Kuti, Senopati Semi, Senopati Banyak, yang sejak tadi tak bergerak, juga mengelilingi dari arah yang berbeda.
Kalau ketiga senopati tadi berdiam diri, karena merasa ada semacam jarak yang menghalangi.
Bagaimana posisi Senopati Sora yang sebenarnya masih belum jelas tuntas.
Mereka bertiga mengetahui kabar bahwa Senopati Sora datang untuk menyatakan sikap mbalela.
Akan tetapi, ketiganya merasa tak perlu turun tangan.
Pertama, karena Mahapatih sudah mengambil alih persoalan; kedua, karena masih kurang tega dengan kawan seperjuangan.
Sewaktu Upasara muncul dan mengobrak-abrik prajurit Keraton, ketiga senopati masih menahan diri.
Akan tetapi sekarang ini tak bisa lagi.
Karena kejadiannya berlangsung di sitinggil, yang jelas merupakan wilayah kekuasaan Keraton.
Siapa pun yang membuat keonaran di situ, jelas-jelas menantang Baginda.
Dan adalah tugas utama prajurit untuk membela rajanya! Kalaupun Upasara menjadi sepuluh kali lebih sakti, mereka tetap akan maju.
Bagi Mahapatih alasan serupa juga yang dirasakan.
Dengan tambahan, ia tak bisa membiarkan begitu saja salah seorang senopati yang dekat hubungannya dengan Baginda dalam ancaman bahaya.
Sebagai mahapatih, Nambi merasa bertanggung jawab! Maka kini, kesiagaannya adalah merupakan jawaban.
Yang bisa berubah menjadi pertarungan.
Karena Senopati Semi, Kuti, dan Senopati Banyak, secara bersamaan meloloskan keris dari sarungnya.
Upasara Wulung menoleh dingin.
"Betapa makin tampak tingkah yang menjijikkan kalau dilihat masih begitu tinggi setia-kawan yang dikhianati."
Senopati Banyak mendekat.
Upasara membalikkan tubuhnya.
Senopati Kuti menggebrak dengan dua keris, di tangan kanan dua-duanya.
Senopati Semi meskipun tidak langsung menyerang, melindungi dalam posisi kuda-kuda menutup kemungkinan serangan balasan.
Mahapatih Nambi mengambil pedang, untuk mengimbangi pedang hitam tipis Upasara.
Upasara tidak menunggu terlalu lama.
Dalam perhitungannya, senopati-senopati yang mengepung adalah ksatria pilihan yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Apalagi kini ia harus melayani dengan satu tangan.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan kiri yang mempergunakan pedang tipis, yang selama ini tak pernah dilatih.
Gerakan Senopati Kuti, diikuti dengan kibasan angin dari pedangnya.
Upasara cukup mengerti bahwa serangan Senopati Kuti bukan serangan maut.
Lebih merupakan peringatan, atau serangan pendahuluan.
Namun begitu Upasara mengelak, Senopati Banyak mengayunkan kerisnya, menutup ruang gerak.
Bersamaan dengan itu Mahapatih Nambi pun memotong dengan gerakan menyabit rumput.
Dada ke atas terkuasai oleh tebasan.
Upasara tidak mempunyai pilihan lain kecuali mulai memainkan Dua Belas Jurus Nujum Bintang.
Dimulai dengan jurus Lintang Sapi Gumarang, yang di tengah jalan disambungkan dengan jurus Lintang Tagih.
Benturan senjata tak terhindarkan lagi.
Pedang Mahapatih seperti tersingkir.
Kalah sentakan dan kalah tenaga dorongan.
Akan tetapi hanya sesaat, karena kemudian kembali maju menebas, sementara Senopati Kuti, Senopati Semi, dan Senopati Banyak, berganti menyerang.
Sampai jurus ketujuh, Lintang Bima Sekti, pertarungan masih terus berlangsung seru.
Di sitinggil, para prajurit terpaksa minggir, karena kesiuran angin makin lama makin tajam.
Seolah empat keris dan dua pedang menyentuh kulit mereka.
Sampai di jurus ketujuh, Upasara tetap bisa mengungguli.
Bahkan dengan memainkan jurus Lintang Bima Sekti, atau jurus Bintang Bima Sakti, tenaga dalam yang besar dan datang secara bergelombang membuat keempat senopati yang paling diandalkan terdorong mundur.
Jurus Lintang Bima Sekti memang lebih mengandalkan tenaga serangan secara berulang dan besar.
Ibarat kata membuat pohon melengkung tapi tidak roboh, membuat akar-akar pohon terguncang tapi pohon tidak terangkat.
Dengan menyambung jurus kedelapan, Lintang Wulanjar, kelihatannya tekanan serangan berkurang.
Karena dalam permainan jurus ini sebagian besar tenaga serangan ditarik kembali.
Bahkan tekanan di atas dan di bawah diatur seimbang.
Sehingga lawan yang terpancing dengan pengenduran penyerangan akan berbalik menjadi ganas.
Saat itulah Upasara menggunakan jurus kesembilan yang disebut Lintang Wuluh, atau tenaga dingin yang menggempur.
Seumpama kata tenaga yang digunakan jengkerik menggerakkan sayapnya.
Lembut gerakannya, akan tetapi nyaring bunyinya.
Lembut gerakan Upasara, akan tetapi pengaruhnya lebih menekan.
Sifat dasar serangan ini sama dengan sifat musim Kasanga atau musim kesembilan, yaitu saat bunga berguguran dari pohon.
Kalau lawan masih bisa bertahan, jurus kesepuluh, Lintang Waluku akan cepat menyambung.
Jurus ini mengandalkan tenaga cepat dalam menyerang, membalikkan tenaga lawan seperti waluku atau bajak membalik tanah.
Seperti tenaga seorang ibu menyerap ke dalam kandungannya.
Dalam keadaan pertarungan semacam ini, Upasara seolah bisa memamerkan kebolehannya.
Akan tetapi, kenyataannya tak semudah itu.
Sampai jurus kedua belas yang disebut jurus Lintang Tagih dengan tenaga musim kedua belas yang mengguncangkan, Mahapatih Nambi masih bisa bertahan.
Bahkan beberapa kali mencuri dengan sabetan yang makin menukik ke arah dada.
Sementara tusukan keris dari samping, atas, bawah, semakin gencar.
Beberapa kali Upasara terpaksa mengadu tenaga dalam.
Hingga pedang hitamnya berbenturan secara keras.
Satu keris Senopati Kuti terlepas, akan tetapi tetap bukan pertanda kemenangan atau keunggulan.
Sebaliknya, justru tekanan lawan makin kuat.
Upasara dipaksa berada di tengah sitinggil.
Gerakannya ke satu sisi saja, berhasil dimentahkan.
Sewaktu Upasara melanjutkan dengan jurus-jurus Tumbal Bantala Parwa, hasilnya juga tak mengubah jalannya pertarungan.
Memang dalam hal ini lawan tidak berada dalam posisi yang lebih baik.
Lawan tidak mampu menekan.
Namun setidaknya untuk jarak waktu tertentu tidak berada dalam bahaya.
Upasara mengerti bahwa jurus-jurus yang dimainkan bukan jurus yang asing lagi bagi lawan-lawannya.
Sejak Bantala Parwa diserahkan, sejak saat itu pula para ksatria secara luas bisa turut mempelajari secara bebas.
Dalam hal ini semua gerakan Upasara bisa terbaca! Yang menyebabkan keunggulan Upasara, karena tenaga dalamnya masih lebih tinggi.
Sehingga setiap kali benturan dengan pedang atau keris atau pedang dan keris lawan yang digabung, Upasara masih unggul.
Namun ini berarti juga pertarungan yang panjang.
Tidak menentu.
Kalau saja Upasara bisa memainkan tangan kanannya! Pikiran itu membersit dalam benaknya.
Akan tetapi usahanya untuk menggerakkan tangan kanan malah membuatnya makin ngilu.
Mendadak Upasara menarik pedang hitam tipis ke depan dada.
Pikirannya dipusatkan ke arah pusar.
Mengira lawan mulai kendor, Mahapatih menebas keras.
"Awas!"
Ini hanya semacam peringatan sesama ksatria. Kalau mau licik sedikit, teriakan peringatan ini tak usah diucapkan. Atau diganti dengan "kena!"
Setelah serangan berhasil.
Akan tetapi Mahapatih tak serendah itu jiwanya.
Peringatan itu tak ada gunanya.
Karena justru Upasara tidak ingin mendengar.
Upasara menyatukan tenaga dalam pusar dengan Kangkam Galih di tangannya.
Ketika tebasan Mahapatih masuk, Upasara membiarkan pergolakan tenaga yang menggerakkan pedangnya! Seperti pengaturan tenaga melawan Paman Sepuh Bintulu! Justru karena itulah terdengar kerontangan yang keras.
Pedang Mahapatih terpotong menjadi dua bagian.
Sementara Upasara Wulung terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya.
Gerakan sempoyongan ke arah Kuti ini yang menyebabkan benturan kedua, dan keris Senopati Kuti pun kutung! Terkejut yang melihat.
Apalagi yang mengalami.
Senopati Semi mencoba meraih perisai dan Senopati Banyak yang ingin memasang kuda-kuda tahu-tahu diserang.
Rasanya pedang hitam itu sudah berada di depan hidungnya.
Digerakkan dari bawah ke atas.
Benturan dengan kerisnya membuatnya melepaskan pegangan.
Keris Senopati Banyak tidak kutung karenanya, akan tetapi terlepas dari tangannya! "Upasara, bunuhlah aku lebih dulu! "Sebelum kamu bunuh, biarkan kusampaikan titipan ini padamu."
Meskipun Upasara tidak membagi pemusatan pikirannya, akan tetapi suara Halayudha terdengar jelas.
Dan pandangan Upasara bersinar, matanya terbuka lebih lebar, manakala melihat di tangan Halayudha tergenggam sepasang cundhuk! Itu pasti dari Gayatri.
Kalau Tak Bisa Hidup Bersama, Kenapa Tak Mati Bersama RANGKAIAN serangan Upasara terhenti.
Sitinggil menjadi sunyi.
Seekor nyamuk terbang pun barangkali akan terdengar bunyinya.
Tidak terlalu berlebihan, karena semua yang berada di sitinggil terpaku tanpa gerak.
Seluruh prajurit dan juga yang berada di alun-alun bahkan menyatu dengan pepohonan besar yang diam tanpa angin.
Mahapatih, Senopati Kuti, Senopati Semi, dan Senopati Banyak terdiam karena menyadari bahwa dalam satu serangan mendadak, mereka semua tanpa kecuali bisa ditundukkan.
Setelah dua puluh jurus lebih mereka bertarung dalam keadaan imbang, mendadak Upasara mengubah serangannya dan berhasil.
Ini sungguh luar biasa.
Bahkan untuk tingkat para senopati, apa yang dilakukan Upasara tetap menimbulkan kekaguman.
Bahwa seorang ksatria mengubah cara bersilat, hal itu sangat lumrah.
Makin luas pengalaman dan makin banyak gerakan yang dikuasai, kemungkinan itu bisa terjadi sendirinya.
Namun yang diperlihatkan Upasara berbeda dari kebanyakan para jago silat.
Upasara tidak terlalu mengubah gerakannya.
Seakan masih bisa dikenali gerakan-gerakan jurus Dwidasa Nujum Kartika.
Hanya pengaturan tenaganya yang berbeda.
Pengaturan tenaga memang merupakan kunci utama.
Pengaturan tepat, tenaga akan berlipat.
Seseorang yang sedang meloncat mundur, dengan sedikit tenaga mengait kaki lawan, akan menyebabkan kejatuhan yang lebih keras dan berdentam.
Pengaturan tenaga ini berhubungan dengan keseimbangan tubuh.
Baik tubuhnya sendiri maupun tubuh lawannya.
Pengetahuan dasar ini diketahui semua ksatria yang belajar ilmu kanuragan.
Yang membuat kagum ialah bahwa Upasara dalam seketika bisa menemukan cara pengaturan yang cepat dan tepat.
Di tengah pertarungan lagi! Upasara sendiri tak menduga sebelumnya bahwa dengan cara menyatukan tenaga dalam dan Kangkam Galih akan menundukkan keempat lawan yang mengepung.
Ia lebih mendasarkan pada usaha untuk mengubah serangannya yang terjadi menjadi pertempuran yang bertele-tele tak menentu.
Satu-satunya jalan yang terlintas dalam benak Upasara adalah mencoba menyatukan Kangkam Galih sebagai bagian tubuhnya.
Bukan sebagai senjata.
Hal ini sebenarnya juga sesuatu yang luar biasa.
Karena juga diajarkan sejak pertama memasuki perguruan yang mana pun.
Bahwa senjata adalah bagian tubuh yang bisa digerakkan secara leluasa seperti menggerakkan jari atau kaki.
Bahkan semua anggota tubuh bisa dipakai sebagai senjata.
Tak terkecuali rambut yang panjang, ujung kain, ataupun siku.
Yang nampak menjadi istimewa hanyalah karena Kangkam Galih agaknya justru lebih cocok dimainkan dengan tenaga yang terpadu dari pusat tenaga, yaitu sedikit di atas pusar.
Ini menunjukkan bahwa Kangkam Galih memang senjata pusaka yang tepat bisa dipakai untuk menyalurkan tenaga! Dan karena penguasaan tenaga dalam Upasara boleh dikatakan di atas lawan-lawannya, maka dalam satu rangkaian gebrakan pedang keris menjadi buntung dan keris yang lain terpaksa dilepaskan pemiliknya kalau tidak ingin kehilangan tangan.
Hanya penguasaan Upasara belum sempurna benar.
Belum menjadi ilmu yang sejati.
Kalau ia tertegun, karena memang tidak seketika bisa mengatur gelombang tenaga yang seakan masih bergolak mencari penyaluran.
Direm secara mendadak, Upasara merasa gempuran tenaga itu mengguncangkan dadanya.
Hingga diperlukan beberapa kejap untuk menormalkan, untuk menyeimbangkan kembali.
Kalau saat itu diserang, perlawanan Upasara tak akan berarti.
Tetapi para senopati yang mengepungnya tak melakukan itu.
Tetap tidak, andaipun tahu pergumulan yang dihadapi Upasara.
Kecuali barangkali Halayudha.
Cerdik dan licik jalan pikiran Halayudha, akan tetapi tetap tak bisa mengetahui kelemahan tenaga dalam Upasara.
Halayudha terpengaruh dengan kemunculan Upasara yang mendadak dan ternyata tetap lebih unggul.
"Bunuhlah aku, Upasara.
"Akulah yang bersalah. Tetapi terimalah titipan benda ini."
Halayudha mengangsurkan dua cundhuk ke tangan Upasara.
Sekilas Halayudha ingin membokong Upasara saat menerima cundhuk.
Akan tetapi pikiran itu dibuangnya jauh-jauh.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terlalu mengundang risiko apabila ia mencuri kesempatan.
Karena sedikit meleset perhitungan tenaga membokong, akibatnya kepalanya bisa terpenggal oleh Kangkam Galih yang dengan mengeluarkan deringan kecil sudah mampu membuat keris dan pedang menjadi buntung karenanya.
Halayudha lebih percaya taktiknya dengan mempermainkan perasaan Upasara pada kenangannya! Sebagai orang yang bisa menyusup ke sana-kemari, Halayudha mengetahui Permaisuri Rajapatni menitipkan cundhuk kepada Mpu Sora.
Sejak itu Halayudha sudah mempersiapkan sesuatu yang sama.
Karena akal liciknya membisiki hatinya bahwa suatu saat pasti ada gunanya.
Nyatanya perhitungannya benar.
Upasara berhenti sejenak, menerima cundhuk dan menyimpan di balik kain yang disumpalkan di pinggang.
"Bukan hanya aku yang dititipi benda ini, karena pengirimnya berharap salah satu akan sampai ke tanganmu."
Halayudha tetap memainkan kecerdikannya.
Dengan sengaja tidak menyebut nama Permaisuri Rajapatni.
Kalau di kemudian hari Upasara mengetahui bahwa cundhuk itu bukan berasal dari Gayatri-nya, Halayudha tak bisa disalahkan.
Halayudha tak pernah menyebut nama itu.
"Sekarang, kalau kamu menganggap pembunuhan Senopati Sora karena aku, bunuhlah aku. Kumohon, jangan kamu campur adukkan dengan Maha-patih dan para senopati yang lain.
"Akulah yang bersalah. Dan biarlah aku yang menanggung.
"Lakukan sekarang juga. Aku tak perlu menyesali lagi, karena semua pesan dan tanggungan telah kusampaikan. Kalau tak bisa hidup bersama, kenapa tidak mati bersama? Halayudha tak pernah kehilangan akal untuk menyelusupkan segala kemampuan akal bulusnya. Dengan kata-katanya yang diucapkan cukup keras terdengar Mahapatih, Halayudha seakan hanya menanggung satu dosa, yaitu terbunuhnya Senopati Sora. Dengan pengakuan ini, Halayudha malah akan mendapat dukungan dan pengayoman dari sekalian yang hadir. Di samping berhasil memancing rasa hormat, karena seolah Halayudha yang mengambil alih tanggung jawab. Kening Upasara sedikit berkerut. Bagi Upasara, Halayudha tetap licik. Karena membelokkan pembicaraan mengenai Mpu Sora dari segi yang lain. Di samping menyembunyikan masalah Klikamuka! Upasara sesaat bertanya-tanya dalam hati. Bahwa Halayudha adalah Klikamuka, Upasara tak ragu sedikit pun. Akan tetapi bahwa Halayudha ternyata mempunyai ilmu yang begitu tinggi, itu tak diduganya sama sekali. Justru karena sewaktu menyamar sebagai Klikamuka, yang lebih dimunculkan adalah tipuan-tipuan. Jadi di mana posisi Halayudha sebenarnya? Kenapa agaknya hal ini tidak disadari oleh senopati yang lain? Atau justru oleh Mahapatih sendiri? Upasara berusaha keras mengesampingkan pikiran yang dianggapnya terlalu mencampuri masalah Keraton. Hanya kaitan dengan Gayatri membuatnya terguncang lagi. Cara berpikir Upasara yang jujur dan lurus memang tak pernah menduga bahwa Halayudha hanya mempermainkan saja. Upasara merasa bahwa Gayatri benar-benar ingin membuktikan adanya daya asmara, lewat berbagai cara. Dan kalau dititipkan pada Halayudha juga masuk akal. Mengingat Halayudha paling bisa berhubungan dengan Permaisuri. Paling bebas bisa masuk kaputren. Bahkan karena jujurnya, Upasara menduga bahwa penculikan yang dilakukan Klikamuka atas Permaisuri Rajapatni dulu juga cara yang direncanakan Gayatri! Sedikit-banyak perasaan ini membuat niatan Upasara untuk mengobrak-abrik sitinggil menjadi reda.
"Dosa mengenai pembunuhan Mpu Sora, bukan wewenangku. Yang kutanyakan ialah disimpan di mana adikku Gendhuk Tri dan Dewa Maut sahabatku."
Nada bicara Upasara terdengar kaku.
"Akulah yang bersalah menghukum mereka.
"Upasara, kalau kamu ingin mengetahui keadaan mereka berdua, aku akan mengantarkan."
Halayudha memberi sembah kepada Mahapatih, lalu menyilakan Upasara berjalan masuk ke dalam Keraton.
Setelah menyilakan, Halayudha berjalan lebih dulu.
Mahapatih akhirnya mengetahui bahwa ada yang ditahan dalam kurungan bawah Keraton.
Dan kalau sekarang Halayudha mengantarkan ke dalam kurungan, hal itu tak bisa ditahan.
Itu masih lebih baik daripada melanjutkan pertarungan.
Mahapatih tak menyadari bahwa Halayudha sudah menyiapkan rencana yang tak mungkin diatasi oleh Upasara.
Ilmu yang tinggi masih bisa dikalahkan oleh akal.
Kalau Tak Bisa Hidup Bersama, Kenapa Tidak Salah Satu KALAU Mahapatih saja tak bisa menduga, apalagi Upasara! Setitik pun tak ada bersitan dalam bawah sadar perasaan Upasara, bahwa Halayudha menyiapkan rencana busuknya yang paling akhir-jika rencana sebelumnya gagal.
Halayudha merasa sebagian rencana kurungan bawah Keraton gagal sejak diketahui bahwa Nyai Demang ternyata bisa lolos.
Dan kurungan di bawah kamarnya juga bisa diterobos Gendhuk Tri.
Maka satu-satunya jalan yang terbaik adalah menutup gua bawah tanah.
Dengan mengubur hidup-hidup Gendhuk Tri maupun Raja Segala Naga atau Naga Nareswara.
Hal yang sama akan dilakukan Halayudha.
Tapi ia sendiri tak mau ikut terkubur hidup-hidup.
Bukan hal yang gampang.
Karena itu ia harus bisa memainkan perannya dengan teliti dan cermat.
Halayudha berjalan mendului tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun.
Langsung menuju kurungan di bawah Keraton.
Ia yang melangkah masuk lebih dulu.
Upasara mengikuti.
Begitu keduanya sampai di dalam, mendadak Halayudha mengentakkan kakinya dengan keras dan tangannya menghantam ke arah pintu dari mana ia datang.
Kembali terdengar suara keras.
Tanah berguguran, sebagian bagaikan lumpur.
Menutup jalan masuk.
Upasara menarik napas.
Tertahan.
Halayudha tertawa lepas.
Suaranya dipantulkan oleh gema, seakan lebih ganas.
"Upasara, selesailah sudah tugas kita berdua. Sekarang bunuhlah aku. Makanlah dagingku untuk memperpanjang umurmu."
Barulah Upasara mengetahui bahwa kini mereka berdua terkurung hidup-hidup. Tak mungkin membuka jalan dari arah mereka datang.
"Memang sayang bagimu, Upasara.
"Kamu masih muda. Umurmu belum ada 25, belum separuhku. Kamu ksatria sejati dengan ilmu yang tak tertandingi. Dicintai Permaisuri.
"Tapi kamu berada dalam satu kuburan denganku, yang sangat licik, hina, dan suka menipu.
"Kalau bukan karena takdir, apa lagi namanya?"
Upasara mencengkeram pedangnya lebih erat.
"Aku telah kalah.
"Kalah dalam segala hal. Kedokku telah kamu buka. Siasatku menjerat Mpu Sora berhasil, tetapi kamu mengetahui. Tak ada tempat aman bagiku.
"Barangkali cara mati begini lebih baik."
"Di mana Gendhuk Tri dan Dewa Maut?"
Gema tawa Halayudha kembali bersahutan.
"Dewa Maut telah lama menjadi debu. Kalau kamu jalan-jalan di sekitar tempat ini, mungkin masih bisa kamu kenali tulang-belulangnya.
"Dia terkubur lebih dulu, dan lebih lama di sini. Nyai Demang pasti sudah bercerita."
"Gendhuk Tri?"
"Ia kesasar ke dalam gua yang kupersiapkan. Sayang karena akhirnya Naga Nareswara ikut terkubur juga. Sayang aku belum sempat memeras semua ilmunya."
Secara ringkas Halayudha menerangkan bahwa Naga Nareswara atau Raja Segala Naga adalah pemimpin tertinggi seluruh senopati Tartar yang dikirimkan ke tanah Jawa.
"Aku tak akan disebut pahlawan, walaupun musuh yang sakti mandraguna itu berhasil kulenyapkan. Aku tak akan disebut prajurit pengabdi, walau selama ini aku berhasil memperkuat kedudukan Baginda dengan menyingkirkan segala begundal dan cecunguknya.
"Nasib yang busuk selalu menyertaiku.
"Tapi aku ingin kamu menemaniku."
Upasara lebih sadar bahwa ia kini berada dalam tempat yang telah tertutup jalan keluarnya. Kurungan bawah Keraton yang rumit. Yang banyak lorong-lorongnya, yang setelah ia mencoba mengitari lewat lapangan terbuka, akhirnya kembali ke tempat semula.
"Kalau Dewa Mahaagung memberkatimu dengan sayap, kamu bisa keluar dari persembunyian ini."
Upasara menggelengkan kepalanya.
"Aku tak mengerti apa sebenarnya di balik keinginanmu yang sangat busuk ini."
Halayudha mengangkat tangannya. Seolah putus asa.
"Tak ada gunanya kita saling menyimpan rahasia. Sebentar lagi kita akan mati bersama. Atau salah satu lebih dulu.
"Upasara, dengarlah baik-baik.
"Kamu tahu siapa yang ada di depanmu ini? Seorang senopati yang cukup sakti. Seorang prajurit yang penuh pengabdian. Seorang yang memberikan jiwa-raga kepada Keraton. Kepada Baginda.
"Jauh sejak dalam pengabdian kepada Baginda Raja Sri Kertanegara, aku telah mengabdi. Tapi aku tak pernah dipedulikan. Aku selalu diperlakukan sebagai si busuk yang selalu licik.
"Baginda Raja Sri Kertanegara bahkan tak pernah memperhitungkan diriku. Seolah aku bukan ksatria. Seolah aku bukan laki-laki! "Sewaktu Sanggrama Wijaya melarikan diri, akulah yang selalu menyertai. Selalu menemani.
"Tetapi aku dianggap tidak ada. Sewaktu menggempur Raja Muda Jayakatwang, sewaktu mengusir pasukan Tartar, aku tak pernah mendapat tugas dalam peperangan.
"Seolah aku tak pernah becus apa-apa! "Selain menjadi alas kaki Sanggrama Wijaya! "Aku selalu menjadi gedibal, menjadi pesuruh yang hina, justru ketika prajurit yang lain diangkat menjadi senopati agung. Diangkat menjadi mahapatih. Dianugerahi gelar dharmaputra.
"Aku terlupakan.
"Halayudha dianggap bukan ksatria.
"Halayudha bukan laki-laki.
"Halayudha adalah gedibal, adalah pesuruh, adalah si licik busuk. Kalau aku juga dianugerahi gelar sebagai senopati, aku tak mempunyai prajurit sebagaimana senopati yang lain. Aku tak mempunyai tlatah secuil pun. Aku tetap dianggap tak ada.
"Dosa apa yang kulakukan sehingga semua orang memandang dan menilaiku begitu hina?"
Halayudha seolah menatap jauh.
"Aku dendam.
"Aku manusia biasa yang bisa mendendam.
"Di sinilah timbul keinginanku membuktikan bahwa aku lelaki sejati. Bahwa aku prajurit utama. Bahwa aku sejajar dengan para ksatria.
"Aku mempelajari ilmu silat dari arah mana pun. Aku menjajal kemampuan otakku yang dikatakan sangat licik dan culas. Aku justru ingin membuktikan diri sebagai si sangat licik yang hina! "Nyatanya hampir berhasil.
"Adipati Lawe bisa lewat. Senopati Anabrang tewas. Pengikut Mpu Sora terberantas. Akan kuhabisi semua dharmaputra seangkatanku. Akan kuliciki semua senopati yang selama ini memandang rendah diriku.
"Termasuk kamu, Upasara."
"Kesalahan apa yang kulakukan padamu?"
"Banyak sekali.
"Kamu disanjung semua kawula-bahkan semua senopati, bahkan Baginda. Kamulah lelaki sejati, lelananging jagat. Sedangkan aku yang paling hina.
"Kenapa Dewa yang Maha bijak membedakan nasib begini jauh berbeda? "Terakhir kamu menggagalkan niatku menyapu bersih semua senopati sebagai balas dendam! Masihkah kamu bertanya apa salahmu padaku?"
Upasara termakan nada getir Halayudha.
Halayudha memang ingin meyakinkan Upasara bahwa ia tengah berada dalam situasi yang sangat kritis.
Seolah perlu menumpahkan segala unek-unek, segala pikiran.
Karena sebentar lagi akan mati! Kalau Upasara terpengaruh hal ini, pasti tak akan begitu curiga lagi.
Tak akan terlalu mengawasinya.
Itu berarti ia bisa meloloskan diri! Karena ia tahu satu-satunya jalan untuk meloloskan diri.
Ia menyisakan satu jalan yang lain.
Selebihnya telah ditutup.
Dan jika ia telah lolos, tinggal menutup mati jalan itu.
Berarti Upasara akan terkubur hidup-hidup juga.
Kalau tak bisa hidup bersama, kenapa tidak salah satu yang hidup? Kalau tak bisa mati bersama, Halayudha tetap tak mau mati bersama.
Halayudha yakin bisa memperalat Upasara.
Bisa menyesatkan jalan pikiran.
Justru karena Upasara terlalu bersih dan lurus jalan pikirannya "Halayudha, maaf kalau aku belum sudi menyebut paman atau sebutan lain yang lebih menghormat, siapa sebenarnya gurumu?"
"Aku belajar sendiri."
"Tak mungkin. Kamu tak bisa mendustaiku. - Ilmumu cukup tinggi. Bahkan tanpa kelicikan pun kamu bisa mengalahkan ilmu Mahapatih. Apalagi senopati yang lain. Siapa yang mengajarimu awalnya? Pasti juga bukan Naga Nareswara!"
Gajah Mahakrura PANDANGAN tajam Upasara membuat Halayudha cemas.
Sekelebat ia merasa sangat kuatir secara tiba-tiba.
Kalau Upasara menghajarnya, ia tak bakal bisa mengimbangi.
Dan ini berarti semua kesempatan dan kelicikan yang telah diatur begitu sempurna akan hancur! Tapi bukan Halayudha kalau tidak berdusta.
"Kamu akan mengenal nama besarnya. Kiai Gajah Mahakrura."
Upasara mendesis seperti menelan asap tembakau yang dibakar. Dengan cepat Halayudha melanjutkan kalimatnya.
"Kamu pasti telah mengenal nama besar senopati agung dari tlatah Campa yang terkenal. Kiai Gajah Mahakrura yang sejajar dengan nama besar Naga Nareswara, setingkat dengan Eyang Sepuh, ataupun Kiai Sambartaka dari tlatah Hindia, juga Kama Kangkam, ksatria perkasa dari tlatah Jepun."
Sengaja Halayudha menjajarkan nama-nama yang sebagian sudah dikenal oleh Upasara.
Agar tak ketahuan bahwa nama yang disebutkan adalah asal menyebutkan saja.
Akan tetapi, Halayudha bukan menyebutkan secara ngawur.
Pengetahuan luas yang dimiliki, digabung dengan kelicikan, menyatu bagai jebakan halus yang menjerat.
Naga Nareswara atau Raja Segala Naga, pastilah dikenal namanya oleh Upasara.
Karena ia mengenal kesaktian Naga-Naga yang lain.
Bahkan secara langsung pernah beradu pikiran dengan Kiai Sangga Langit, sesepuh tiga Naga utusan Raja Tartar.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedikit-banyak pasti juga sudah mendengar kehebatan Kama Kangkam.
Dengan menyebutkan nama Kiai Sambartaka, Halayudha hanya untung-untungan saja.
Karena selama ini ia sendiri baru mendengar nama itu dari Naga Nareswara.
Menambahkan nama Gajah Mahakrura, atau gajah yang sangat bengis dari tlatah Campa, juga bukan tanpa perhitungan.
Hubungan raja-raja di Jawa dengan penguasa tlatah Campa sangat erat.
Beberapa senopati dan ksatria silih berganti berdatangan.
Nama para ksatria Campa cukup dikenal.
Di antaranya adalah para ksatria yang berasal dari tlatah Mada, suatu wilayah di Keraton Campa.
Suku Mada sangat terkenal keberaniannya dan sekaligus juga ketelengasannya.
Tidak terlalu sulit bagi Halayudha untuk sekadar mencari nama Gajah Mahakrura! Meskipun dari Campa, para ksatria atau pendekar yang sudah lama berdiam di tlatah Jawa memang sering memakai nama setempat.
"Saya tak begitu mengenal nama besar beliau,"
Suara Upasara merendah nadanya.
"Akan tetapi mengingat apa yang kamu lakukan, sangat mungkin nama besar itu sesuai dengan sifat-sifat licik yang kamu perlihatkan.
"Tangan kanan ini terkena getahnya."
Halayudha menghela napas yang sengaja dibikin-bikin.
"Kamu bisa membalas dendammu sekarang."
Upasara mengangguk.
"Itu lebih baik. Membunuh orang durjana bukanlah tindak kejahatan. Halayudha, bersiaplah!"
Halayudha menggelengkan kepalanya.
"Melawan atau bertahan, akan berakhir sama. Untuk apa membesarkan diri dengan harapan yang jelas sia-sia? "Seorang permaisuri masih mempunyai harapan, maka ia menitipkan cundhuk padaku, tetapi melawan kesaktianmu, siapa yang saat ini mampu menahan?"
Dada Upasara terguncang. Halayudha memang tahu bagian mana yang harus diserang.
"Akan saya katakan kepada Gajah Mahakrura, bahwa Upasara Wulung yang bertanggung jawab atas pembalasan kematian muridnya."
"Tak"
Ada gunanya. Kamu tak akan mengenali. Guru Gajah Mahakrura sudah lama tak mau mengakui."
Geraham Upasara menyatu.
Apakah ada di dunia ini seorang guru tak mengakui muridnya? "Kamu tak akan mengenal duniaku, Upasara.
Kamu murid yang baik.
Kamu tak bisa membayangkan di dunia ini ada pertengkaran antara murid dan guru.
Pertentangan antara senopati yang tersisih macam diriku.
"Semua itu bukan duniamu."
Halayudha kembali menghela napas. Nadanya memelas, minta dikasihani.
"Saya tak mengenal siapa Gajah Mahakrura, akan tetapi jelas cara mengerahkan tenaganya bisa saya kenali.
"Halayudha, katakan terus terang, apakah Ugrawe masih saudara seperguruanmu?"
Mendadak wajah Halayudha pucat. Tubuhnya menggigil.
"Jangan sebut-sebut manusia terkutuk itu! "Dialah yang telah menghancurkan kami semua. Tak ada semut atau cacing mau mengaku saudara dengannya.
"Kami dulu sama-sama berguru kepada Gajah Mahakrura, dan Ugrawe manusia laknat itu mencuri kitab-kitab Bapa Guru. Dan akulah yang dituduh."
Ganti Upasara yang menelan ludah.
"Apakah Kiai Gajah Mahakrura juga disebut sebagai Paman Bintulu, karena memakai kain belang hitam-putih seperti yang dikenakan tokoh pewayangan Anoman atau Bima?"
Halayudha mengeluarkan jeritan tertahan.
"Upasara, apakah benar kamu mengenal Bapa Guru Dodot Bintulu?"
"Saya pernah bertemu dengan Paman Sepuh belum lama ini."
Mendadak Halayudha merebut pedang di tangan Upasara, dan dengan cepat menebaskan pedang itu ke arah lehernya.
Upasara tak menyangka Halayudha akan menjadi begitu nekat.
Tangannya masih sempat menarik kembali, dan empat jari Halayudha terpotong ketika berusaha mencengkeram.
"Bunuh aku! Bunuh aku!"
Bagi Upasara apa yang dilakukan Halayudha benar-benar tindakan nekat.
Belum pernah dilihatnya Halayudha begitu cemas, ketakutan seperti sekarang.
Bahkan ketika berada di ujung pedangnya sewaktu dikalahkan pun, Halayudha tak segemetar sekarang! "Bunuh aku!"
"Jadi Paman Halayudha adalah murid Paman Sepuh Dodot Bintulu yang juga guru Ugrawe?"
Dugaan Upasara tak jauh meleset.
Bahkan sejak tangan kanannya terhantam balik tenaga Halayudha yang kuat dan menyengat, Upasara teringat bahwa ilmu membalik tenaga dalam itu dulu hanya dimiliki tokoh yang bernama Ugrawe.
Tokoh sakti mandraguna yang berdiri di belakang Raja Muda Jayakatwang dalam menaklukkan Keraton Singasari.
Ugrawe-lah yang mencuri semua kitab pusaka, termasuk di antaranya Kitab Bumi atau Bantala Parwa.
Dari sinilah Ugrawe menciptakan rangkaian jurus-jurus Sindhung Aliwawar, yang puncaknya dinamai jurus maut Banjir Bandang Segara Asat.
Jurus Banjir Bah Laut Kering, pada zamannya adalah jurus yang tak tertandingi.
Bila ilmu itu dimainkan, dan lawan terkena pukulannya, dengan serta-merta tenaga dalam akan terisap.
Lawan menjadi lautan yang terisap, sementara dalam tubuh penyerang terjadi kelebihan tenaga ibarat banjir.
Laut yang besar menjadi kering, airnya berpindah ke darat.
Sungguh perumpamaan yang tepat menggambarkan betapa dahsyat pukulan itu.
Bisa dibayangkan bahwa saat itu Ugrawe benar-benar bisa merajalela tanpa lawan, karena setiap kali tenaga dalamnya bertambah besar dan semakin kuat.
Kelemahan utama jurus Banjir Bandang Segara Asat adalah bila ternyata tenaga dalam lawan lebih kuat.
Bisa-bisa tenaga dalamnya sendiri yang terisap.
Berbalik menjadi loyo.
Salah seorang putra Raja Muda Jayakatwang pernah menjadi korbannya! Akan tetapi sesungguhnya itu disebabkan oleh penguasaan yang belum mencapai tingkat kasampurnaning ngelmu, atau tingkat sempurna.
Karena, menurut Ugrawe justru kalau tingkat penguasaan sudah sempurna, dalam keadaan kalah kuat tenaga dalam pun tetap bisa mengisap.
Karena, banjir di darat memang dengan cara menguras air di laut! Sayang, atau bahkan mujur, sebelum menguasai secara sempurna Ugrawe telah gugur di medan laga.
Saat-saat terakhir dalam hidupnya, tokoh sakti yang dikutuk semua ksatria itu melakukan tugas yang mulia.
Upasara bisa menelusuri kembali karena kini telah menemukan kunci pemahaman cara pernapasan Tumbal Bantala Parwa.
Bahwa tenaga dalam bisa disimpan sebagian, untuk kemudian diubah kembali.
Dan bisa dipergunakan.
Dalam jurus Banjir Bandang Segara Asat, cara pengaturan mengisap tenaga tak jauh berbeda.
Hanya saja, dan inilah yang menjadi biang kejahatan Ugrawe yang ganas, ia mengambil tenaga dalam orang lain.
Dengan cara yang sama, mengubah tenaga dalam lawan, menyatukan dengan tenaga dalamnya sendiri, sehingga bisa dikuasai, dan dipergunakan menurut kehendak hatinya! Pencerahan yang diterima Upasara terutama ketika bisa memulihkan tenaga dalamnya.
Ini secara langsung atau tidak, berkat petunjuk Paman Sepuh atau juga Paman Dodot Bintulu! Yang adalah guru Ugrawe dan Halayudha.
Upasara menjadi serbasalah kalau membiarkan Halayudha bunuh diri.
Makanya ia menarik pedangnya.
Empat jari tangan Halayudha terputus karenanya.
Justru di saat Upasara ragu, Halayudha merebut kesempatan! Kubur Kedua HALAYUDHA berlari keras.
Darah masih mengucur.
Cara berlari Halayudha sedemikian rupa sehingga mengesankan sedang bingung atau sangat ketakutan mendengar nama Paman Sepuh Dodot Bintulu.
Memang Halayudha lebih berani menghadapi seribu mayat yang hidup kembali daripada mendengar nama gurunya! Itu lebih mengerikan daripada bumi yang terbelah atau langit yang runtuh patah menimpanya! Sejak Halayudha melarikan diri dari gurunya, sejak itu hanya ada satu yang ditakuti.
Yaitu bila gurunya hidup kembali.
Upasara tidak mengejar karena menduga toh Halayudha akan berputar-putar dan akhirnya kembali ke tempat semula.
Memang nyatanya begitu.
Dua kali Upasara melihat Halayudha berputar kembali ke tempatnya.
Akan tetapi tidak untuk ketiga kalinya! Inilah Halayudha! Bisa menggabungkan antara kesungguhan dan kelicikannya! Tanpa bisa dibedakan lagi.
Sewaktu mendengar nama gurunya disebut-sebut, Halayudha memang ketakutan setengah mati.
Baginya lebih baik bunuh diri daripada mati disiksa oleh sang guru yang kejam! Sejak kecil Halayudha terasing dari lingkungannya.
Anak-anak sepermainan tak pernah mengacuhkannya.
Ia dianggap anak yang lemah, tak mampu berenang di Kali Brantas, tak mampu mengambil sarang burung di ujung pohon.
Nasibnya berubah sewaktu ia bertemu dengan orang tua yang kemudian mengangkatnya sebagai pembantu.
Sejak itu Halayudha menjadi abdi setia yang melayani, dan kepadanya diajarkan cara-cara pernapasan.
Barulah kemudian Halayudha mendengar bahwa gurunya tokoh sakti mandraguna seangkatan dengan Eyang Sepuh maupun Mpu Ragana Halayudha belajar dengan tekun.
Sampai setahun kemudian ia kembali ke desanya dan membunuh habis semua teman yang dulu mengejeknya! Barulah Halayudha kembali berguru, melayani Dodot Bintulu untuk mencarikan buah segar, mencucikan baju yang dikenakan.
Dan diajari cara-cara pernapasan.
Segalanya berjalan dengan lancar, sampai kemudian Guru Dodot Bintulu menemukan anak kecil lain yang dianggap lebih berbakat darinya.
Anak kecil itu tak lain dan tak bukan kelak kemudian hari dikenal sebagai Ugrawe, mataharinya matahari! Halayudha begitu dendam melihat kasih sayang gurunya yang berlebihan kepada Ugrawe.
Satu-satunya siasat yang dilakukan adalah mencoba mencuri Kitab Bumi! Halayudha ingin bisa mengalahkan Ugrawe yang memang bisa mempelajari sangat cepat.
Agaknya Ugrawe mencium keinginan busuk Halayudha.
Karena Ugrawe juga merencanakan hal yang sama.
Bedanya, Ugrawe berhasil mencuri kitab-kitab pusaka.
Dalam kalutnya, Halayudha mengambil sisa-sisa yang tak diambil Ugrawe.
Setelah lebih dulu membokong gurunya yang tengah bersemadi.
Gurunya selalu berdiam bagai patung, bagai batu, jika melakukan latihan pernapasan.
Itulah saat terbaik bagi Halayudha menjalankan tipu muslihatnya.
Halayudha mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul hancur wajah sang guru.
Kurang puas dengan itu, Halayudha melemparkan batu-batu keras ke wajah gurunya, menimbuni dengan batu keras.
Menunggu beberapa hari.
Baru kemudian meninggalkannya.
Sejak itu Halayudha mengembara dan akhirnya nyuwita atau mengabdi kepada- Raden Sanggrama Wijaya.
Kembali kegusaran mencapai ulu hatinya dan mulai menggerogoti dirinya ketika mengetahui bahwa adik-muridnya nyuwita kepada Raja Muda Jayakatwang dan menjadi senopati utama! Sekali lagi ia kalah! Merasa selalu kalah! Karena takut bakal diketahui oleh Ugrawe yang lebih sakti, Halayudha menyembunyikan diri.
Makin parah hatinya, karena teman-teman seangkatan dengannya menjadi senopati yang gagah perkasa, sementara ia harus menahan diri menjadi bahan ejekan sebagai senopati utama tanpa memiliki prajurit dan kesaktian.
Justru itulah yang dipakai senjata oleh Halayudha.
Ia selalu memperlihatkan diri sebagai si dungu.
Sambil menunggu waktu untuk melampiaskan dendam.
Sebagaimana ia masih kanak-kanak dulu.
Adalah keinginannya untuk menguasai ilmu dan menjadi lebih sakti sehingga lebih mudah membalas dendam.
Lebih menggembirakan lagi karena secara diam-diam ia bisa berguru kepada Naga Nareswara.
Hanya saja karena kini ia berada di tengah percaturan Keraton, strategi yang dijalankan juga berbeda.
Namun Halayudha tak bisa menahan rasa takutnya.
Karena ketika kembali ke tempat perguruannya, ia tak menemukan tulang-tulang gurunya.
Setelah batu-batu yang menumpuk disingkirkan, tulang-belulang Kiai Dodot Bintulu tak ada! Tidak juga rambut atau giginya! Ketakutan utamanya adalah bahwa Kiai Dodot Bintulu atau gurunya ini masih hidup dan kini tengah mencari-carinya.
Halayudha tetap merasa tak bisa melawan.
Maka ia selalu ketakutan jika nama Kiai Dodot Bintulu disebut-sebut.
Tapi Halayudha tetap mempunyai siasat yang membakar darahnya.
Pada putaran berikutnya, Halayudha sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk melarikan diri.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka Halayudha mengambil putaran lain, dan membiarkan darahnya mengucur, agar Upasara terjebak ketika mengikuti! Ia sendiri kemudian mengisap jari-jari yang putus, sehingga darah tak mengalir lagi.
Kemudian mengambil jalan yang benar dan keluar dari gua bawah Keraton! Dan tentu saja kemudian menutupnya.
Sebagai tutupan terakhir! Yang berarti gua itu tertutup untuk selamanya.
Tak mungkin Upasara bisa menembus lapisan tanah.
Pun andai dibantu oleh Kiai Dodot Bintulu! Upasara belum sepenuhnya mengerti bahwa sebenarnya Halayudha telah meninggalkannya.
Pikirannya masih dipenuhi dengan Kiai Dodot Bintulu, alias Paman Sepuh.
Jadi benar dugaannya selama ini! Paman Sepuh satu angkatan dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata.
Tiga nama yang menjadi cikal bakal dunia kanuragan di sekitar Singasari dan kini Majapahit! Paman Sepuh Dodot Bintulu dengan dua muridnya, Halayudha dan Ugrawe; Eyang Sepuh mendirikan Perguruan Awan dengan sekian banyak muridnya, di antaranya Jaghana dan Wilanda; sementara Mpu Raganata secara diam-diam mengajarkan ilmunya kepada Jagaddhita dan juga Gendhuk Tri.
Upasara sendiri sebenarnya berada di luar ketiga jalur yang mempengaruhi dunia persilatan.
Ia dididik dengan ilmu Keraton yang sebenarnya lebih dekat dengan ajaran Mpu Raganata.
Di mana pengolahan kepada raga atau jasmani lebih mendapat perhatian utama.
Sesuai dengan keinginan Baginda Raja Sri Kertanegara.
Maka jenis dan jurus-jurus yang diajarkan Ngabehi Pandu penuh dengan permainan tenaga keras.
Seperti yang dibuktikan dengan jurus-jurus ciptaannya, Banteng Ketaton.
Jurus-jurus Banteng Terluka adalah jurus-jurus yang lebih mengandalkan kepada raga, kepada kekuatan lahir.
Yang berbeda adalah perjalanan hidup Upasara.
Ia juga mempelajari ilmu-ilmu dari Eyang Sepuh yang berdasarkan pada kekuatan batin, bukan kekuatan raga.
Bahkan boleh dikatakan mendalami dari awal sampai akhir kidungan-kidungan Bantala Parwa.
Lebih dari itu Upasara juga mempelajari beberapa bagian utama dari cara pernapasan ilmu Kiai Dodot Bintulu atau Paman Sepuh yang lebih murni.
Bagi Upasara hal ini tak menimbulkan kesulitan.
Karena walau berbeda cara dan penekanan, dasar-dasar ajaran yang diterima tak jauh berbeda.
Karena sesungguhnya Eyang Sepuh, Mpu Raganata, dan Paman Sepuh juga mempelajari dari sumber yang sama.
Ditambah dengan pengalaman bertemu Kiai Sangga Langit yang membawa ilmu Jalan Budha, boleh dikatakan saat ini Upasara telah menyerap semua ilmu yang ada.
Inti segala ngelmu, banyak atau banyak sekali dikecap dan dipelajari.
Dengan latihan dan penguasaan, Upasara akan masuk ke tahap di mana kasampurnaning ngelmu itu bisa dijadikan bagian dari dirinya.
Dalam keadaan seperti ini, sepuluh Halayudha tetap tak akan bisa mengalahkannya.
Akan tetapi, ternyata satu Halayudha saja tak bisa dikalahkan.
Bahkan berhasil menguburnya hidup-hidup.
Berulang kali Upasara berusaha mencari jalan keluar, dan selalu berakhir di tempat yang sama.
Berulang kali Upasara berusaha menggempur ke arah dari mana ia datang, tak ada hasilnya.
Tanah lembek yang bercampur putih telur dan tingginya bagai gunung anakan itu tak bergoyang.
Makin digali, makin banyak tanah yang berguguran.
Berarti tetap saja tak bisa keluar.
Hanya langit yang samar bisa dikenali siang hari.
Dan kadang bintang atau bulan terlihat sekilas bila malam tiba.
Burung Pun Tak Turun BEBERAPA malam berlalu.
Hanya perubahan terang dan gelap yang menjadi tanda.
Selebihnya tak ada tanda-tanda lain.
Upasara duduk di ruang terbuka.
Saat-saat matanya memandang ke atas, hanya lapisan langit yang menutup.
Seakan selimut yang diletakkan persis di mulut gua.
Upasara menyadari bahwa tak ada tanda-tanda kehidupan yang lain.
Tidak juga seekor burung yang berani terbang rendah, masuk ke dalam gua.
Kalau ada yang harus dipuji, pujian itu diperuntukkan bagi para empu yang telah memanfaatkan gua yang lubangnya bagai tujuh belas sumur bersambungan.
Dinding-dinding gua terdiri atas batu yang sangat keras.
Hanya di bagian terowongan ada lapisan tanah.
Akan tetapi sia-sia kalau ingin menjebolnya.
Satu lubang dibuat, tanah di bagian atas akan berguguran.
Namun yang akan menyulitkan lagi ialah bahwa bagian lorong yang terdiri atas tanah tak bisa dipastikan mana ujung dan mana pangkalnya.
Memang sebuah kurungan yang sangat sempurna! Upasara tak terlalu menyesali kalau harus terkubur hidup-hidup.
Satu-satunya yang masih mengganjal dalam hatinya ialah ternyata segala ilmu yang dipelajari tak mempunyai arti untuk meloloskan diri.
Kemampuan untuk meringankan tubuh tetap tak banyak mengubah.
Upasara sudah menjajal.
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, tubuhnya melayang ke atas dua tombak.
Mencoba hinggap di salah satu dinding.
Dengan memakai tenaga loncatan keras, tubuhnya melayang ke dinding sebelah lain.
Dari tempat itu pula mencoba meloncat ke atas lagi.
Akan tetapi dengan lima kali berloncatan, tenaganya makin merosot, dan dengan berjumpalitan keras, Upasara bisa turun ke bawah dengan selamat.
Beberapa kali Upasara menjajal, akan tetapi hasilnya sama.
Upasara menjajal dengan bantuan Kangkam Galih.
Sekali ini ia meloncat ke atas dengan pedang hitam kurus di tangan.
Pada loncatan yang tertinggi, tangan kirinya mengayun keras.
Berhasil! Kangkam Galih bisa menusuk dinding batu yang keras.
Dengan satu kali tarikan, Upasara berusaha meloncat naik lebih tinggi.
Dengan menancapkan Kangkam Galih untuk kedua kalinya.
Berhasil! Upasara makin bersemangat.
Akan tetapi, Kangkam Galih terlalu tajam.
Bisa menusuk dinding batu, akan tetapi seperti menyelusup ke tengahnya! Sehingga diperlukan tambahan tenaga untuk mencabutnya.
Agak sulit, karena dengan itu pula harus mengayun tubuh ke atas.
Sehingga jarak loncatan ke atas makin lama makin pendek.
Delapan kali loncatan, Upasara sudah kehilangan kekuatan.
Sehingga loncatan berikutnya adalah cara paling selamat untuk turun kembali ke dasar gua.
Dengan cara yang sama ketika mendaki.
Upasara tidak menyerah begitu saja.
Pada waktu senggang, Upasara bersemadi untuk memulihkan tenaga dalam ke arah tangan kanannya.
Meskipun tak lagi menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi belum bisa digunakan secara leluasa.
Setelah pulih, kembali Upasara menjajal naik.
Tak banyak artinya.
Kalau seekor burung pun tak berani menjajal masuk, apalagi yang tak mempunyai sayap! Upasara mencoba mengukur tingginya lubang gua dengan cara melemparkan batu ke atas.
Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, batu di tangannya disambitkan ke atas.
Batu itu meluncur ke atas dengan dorongan tenaga penuh.
Hingga seakan lenyap dari pandangan mata.
Berubah menjadi satu titik hitam tak berarti.
Namun dalam waktu beberapa kejap, batu itu jatuh kembali ke bawah.
Hancur berkeping-keping.
Berarti gua ini memang tinggi, seakan tanpa tepi.
Berarti satu-satunya jalan harus melalui lorong dari mana ia masuk.
Justru itu yang tak mungkin.
Halayudha tak memberi kesempatan yang paling kecil sekalipun.
Tak ada cara lain, selain harus menunggu datangnya kilatan pikiran baru.
Upasara berusaha pasrah, berusaha menyerahkan pikiran agar membersit suatu petunjuk.
Suatu wangsit.
Wangsit atau petunjuk atau bersitan pikiran yang bisa pasrah secara total.
Karena justru pada saat pikiran bisa dikosongkan, percikan pikiran bisa datang menyusup.
Bagi Upasara hal semacam itu tak terlalu sulit dilaksanakan.
Maka Upasara bisa tenggelam dalam semadi.
Dan sedikit heran ketika terbangun dari semadinya sudah ada buah-buahan di dekatnya.
Semula Upasara merasa bermimpi, akan tetapi ternyata buah yang dipegang, digigit, dan dimakan bukan khayalan.
"Itu buah pertama."
Upasara tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Karena yang berada di depannya adalah Dewa Maut! "Tak sia-sia aku menanamnya. Kalau Tole datang, bisa makan bersama. Upasara, kenapa kamu datang sendirian? "Mana Tole-ku?"
Upasara teringat keterangan Nyai Demang, bahwa Dewa Maut terkurung dalam gua. Dan nyatanya masih ada sampai sekarang. Tubuhnya kelihatan segar bugar, seluruh rambutnya yang putih berkibar-kibar.
"Paman Dewa Maut masih mengenali saya?"
"Masih. Kamu kan Upasara yang disegani Tole. Di mana Tole-ku sekarang ini? "Ini tempat yang diciptakan Dewa Maha Pencipta untuk didiami. Maka aku lebih suka berada di sini, ketika senopati mabuk itu menutup semua pintu keluar.
"Kukira tak ada lagi yang datang.
"Ternyata kamu datang juga, Upasara."
Upasara merasa gembira sekaligus berduka.
Gembira karena bisa bertemu dengan Dewa Maut.
Gembira karena meskipun Dewa Maut yang selama ini dikenal hilang akal sehatnya, nampak lebih segar dan bergairah.
Tapi juga berduka karena Dewa Maut menyukai tempat ini.
Dan walau mengetahui Halayudha menutup semua jalan keluar-juga jalan yang terakhir, Dewa Maut sama sekali tidak berusaha menghalangi.
Atau bahkan sama sekali tidak memedulikan.
Bukan tidak mungkin Dewa Maut mengetahui kedatangan Upasara dan Halayudha sejak pertama kali masuk.
Namun Dewa Maut lebih suka menekuni beberapa tanaman yang dikembangkan di bagian lain dari lorong yang ada.
Di situ Dewa Maut merawat tanaman, buah-buahan yang bijinya diambil dari luar, sewaktu ia masih bebas bisa keluar-masuk.
Upasara makin bisa mengerti kisah yang diceritakan Nyai Demang.
Bahwa sesungguhnya Dewa Maut tidak ingin keluar.
Merasa telah menemukan dunianya! Itu sebabnya tak peduli sewaktu Halayudha menutup semua jalan keluar.
"Bukankah begitu, Upasara?"
"Paman sangat tepat sekali."
"Aku heran. Kenapa kamu masih bersemadi, bernapas dengan aneh? Di sini kita tak perlu berlatih pernapasan. Di sini kita bisa mengamati tumbuhnya daun, tumbuhnya akar. Seperti bayi yang lahir dan menjadi dewasa.
"Ajaib. Tole-ku pasti senang mendengar cerita ini. Aku cukup sabar menunggu ia datang.
"Bukankah begitu, Upasara?"
Anggukan Upasara melegakan Dewa Maut .
"Paman..."
"Sssttt... jangan berisik. Dengar baik-baik... itulah suara akar yang tumbuh... Dengar...
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sssttt..."
Dewa Maut berdiam diri.
Memejamkan mata.
Mengikuti irama tumbuhnya akar, yang hanya bisa dirasakan sendiri.
Kembali Upasara termenung dan menghela napas dalam.
Suara helaan napasnya membuat kepala Dewa Maut menggeleng, seperti terganggu.
Merayap kesadaran lain ke dalam tubuh Upasara.
Dewa Maut, dalam arti sebenarnya, lebih waras dari dirinya sendiri.
Dewa Maut yang dianggap kurang waras, sesungguhnya justru sehat.
Justru lebih benar! Tak ada gunanya melatih pernapasan atau mengatur tenaga dalam.
Adalah lebih mulia mendengarkan tumbuhnya akar, yang suaranya dan perubahannya seperti pertumbuhan bayi! Betapa mulianya.
Betapa besar jiwa Dewa Maut.
Secara tidak langsung Dewa Maut menjalankan semua ajaran Perguruan Awan.
Dalam hal menikmati alam secara total.
Dalam hal mengambil apa yang ditanam dengan tangannya sendiri.
Hidup tanpa dendam.
Tanpa kecemburuan.
Tanpa nafsu duniawi.
Kalau untuk seluruh hidupnya berada di dalam gua, Dewa Maut tidak merasakan sesuatu yang merugikan hidupnya, itu berarti baginya bukan merupakan hukuman.
Tapi Upasara tak bisa menahan keinginannya untuk keluar.
Dengan Tanah, dengan Air, Itulah Kehidupan PERASAAN ingin melepaskan diri dari kurungan itu yang membuat Upasara gelisah.
Berusaha keras mencari jalan keluar.
Tiap kali menjajal, tiap kali pula gagal.
"Aku bisa memelihara ular atau kelabang di sini. Tetapi aku tak ingin menyakiti mereka.
"Bukankah itu baik, Upasara?"
"Baik, Paman Dewa Maut."
"Aku selalu baik."
"Paman masih menunggu Tole?"
Alis Dewa Maut yang putih terangkat. Wajahnya menunjukkan kegusaran.
"Kalau kamu ikutan menyebut Tole, aku tak mau bicara padamu. Hanya aku yang boleh mengucapkan sebutan itu."
"Maaf, Paman..."
"Enak saja meminta maaf. Kenapa tidak kamu coba menanam sendiri maaf itu sehingga kamu tak usah meminta. Buah-buahan ini juga kutanam sendiri."
Sekilas omongan Dewa Maut seperti ngawur. Melantur ke segala arah, dan salah jawaban dari pertanyaan. Akan tetapi di telinga Upasara terdengar ada benang merah yang bicara tegas mewarnai kebenaran yang diungkapkan.
"Baik, saya akan belajar menanam."
"Nah, begitu."
"Supaya kalau Gendhuk Tri datang, saya bisa memberikan padanya."
"Itu juga baik."
"Kalau Gendhuk Tri tidak datang, saya akan menjemputnya."
Dengan kalimat ini, Upasara bermaksud memancing agar Dewa Maut tergerak hatinya untuk keluar.
Sebab, menurut pikiran Upasara, sangat mungkin sekali Dewa Maut melihat jalan keluar itu! Kalau mengingat bahwa ia cukup lama berada di tempat ini.
Bukankah Nyai Demang sendiri yang bercerita bahwa pemecahan untuk jalan keluar dulu itu justru dari Dewa Maut? Kalau dihubungkan dengan Tole, sebutan untuk buah hatinya, sangat besar kemungkinan Dewa Maut tergerak hatinya.
Nyatanya tidak.
"Buat apa dicari.
"Kalau datang pasti kelihatan. Kalau pergi pasti tak kembali. Bukankah begitu, Upasara? Bukankah kamu datang begitu saja? Bukankah perempuan yang tubuhnya subur itu pergi begitu saja?"
Upasara mengangguk.
"Benar, saya datang kemari untuk mencari Paman dan Gendhuk Tri."
"He, siapa menyuruhmu memanggilku Paman?"
"Maaf, Eyang..."
"Aku masih cukup muda untuk kamu panggil Kakang! "Bukankah begitu, Upasara?"
"Ya... ya... tepat sekali, Kakang Dewa Maut." ' "Panggil aku Paman saja."
Upasara makin bisa merasakan apa yang diceritakan oleh Nyai Demang. Terkurung berdua dengan Dewa Maut yang tetap berbelit jalan pikirannya. Hanya saja saat itu Nyai Demang bisa keluar.
"Kenapa tidak mau dipanggil Kakang?"
"Perempuan ayu itu sudah memanggilku Kakang. Ia baik hatinya. Hanya saja tubuhnya sering disenggol-senggolkan"
"Kalau begitu kita cari dia, Paman.
"Lewat jalan yang mana?"
Dewa Maut menggeleng.
"Tak usah. Aku malu melihatnya. Aku pernah memeluk tubuhnya. Merangkul lama. Membaui tubuhnya.
"Aku malu.
"Bukankah begitu, Upasara?"
"Bukan!"
"Kamu tak tahu. Aku tak pernah memeluk wanita lain. Membaui tubuh wanita lain, selain kekasihku dulu itu, tak pernah! "Aku mencintai kekasihku! "Tapi nyatanya aku memeluk, dan membaui tubuh wanita itu."
"Tubuh Nyai Demang? "
Jadi Paman... Paman..."
Wajah Dewa Maut nampak jengah.
Kali ini Upasara juga menjadi malu.
Merasa kurang enak, melanggar kesopanan yang membuatnya risi.
Tak seharusnya ia memperjelas apa yang dilakukan Dewa Maut bersama Nyai Demang! Jelas Dewa Maut tidak berdusta! Ini yang menjadi beban hidupnya.
Upasara hanya bisa mengira-ngira.
Sebagai ksatria yang tangguh, Dewa Maut pernah malang melintang dalam dunia persilatan.
Namun yang bisa menundukkan adalah seorang kekasih.
Itulah daya asmara! Entah kenapa, hubungan Dewa Maut dengan wanita kekasihnya tidak berlangsung selamanya.
Sejak itu Dewa Maut mengasingkan diri dengan berdiam di atas perahu yang terus berlayar bolak-balik sepanjang Kali Brantas.
Bisa jadi saat bersama kekasihnya, Dewa Maut berjanji tak akan bersentuhan dengan wanita yang lain.
Sehingga lebih dekat dengan sesamanya, yaitu Padmamuka.
Hubungan ini tidak melanggar sumpah setianya.
Bahwa kemudian sebagian tenaga dalam yang bersifat racun dalam tubuh Padmamuka berpindah ke tubuh Gendhuk Tri, maka Dewa Maut juga menganggap Gendhuk Tri adalah Tole-nya! Yang luar biasa adalah bahwa selama ini Dewa Maut tak pernah menganggap Gendhuk Tri sebagai anak gadis.
Melainkan tetap sebagai penjelmaan Padmamuka! Upasara menertawakan tingkah Dewa Maut.
Dalam hati.
Menertawakan dengan perasaan yang getir.
Karena sesungguhnya, apa beda dirinya dengan Dewa Maut dalam soal terpengaruh oleh daya asmara? Tak ada bedanya.
Bahkan barangkali dirinya lebih bisa ditertawakan.
Daya asmara Gayatri-lah yang, kalau mau diakui, menyeret semua tindakan ini.
Sejak menolak pangkat yang diberikan Baginda dan memilih mengasingkan diri di Perguruan Awan.
Bukankah ini sama dungunya dengan kesetiaan yang ditunjukkan Dewa Maut? Bukankah dengan menjauhkan diri dari Gayatri, sebenarnya sebagai pengakuan bahwa ia masih terikat? Bedanya hanyalah bahwa Dewa Maut sepenuhnya larut dalam suasana, dan dirinya bisa melihat dari suatu jarak.
Akan tetapi selebihnya tetap tak berbeda.
"Paman lebih bahagia,"
Kata Upasara lirih.
"Sesuatu yang tak berani saya akui."
"Omong kosong! "Kamu juga bisa. Apa susahnya bertanam? "Omong kosong kalau kamu tak berani mengakui.
"Bukankah begitu, Upasara?"
Kening Upasara berkerut. Mendadak tangan kirinya terkepal. Matanya mendongak ke arah langit.
"Benar, Paman! "Omong kosong kalau tak bisa. Sumber segala kehidupan di jagat ini adalah tanah dan air. Baginda Raja Sri Kertanegara adalah raja yang perkasa karena mengetahui kekuatan air. Mengetahui kekuatan gelombang lautan, sehingga bisa menjelang ke segala pelosok jagat! "Tanah adalah kehidupan.
"Air adalah kehidupan."
Ganti Dewa Maut yang menatap heran.
"Tanah di sini adalah batu gunung yang menjadi dinding tak tertembusi. Tak mungkin ditanami, bahkan oleh lumut sekalipun."
"Ya, tapi masih ada tanah di bawah buat ditanami."
Upasara menggeleng. Suaranya mengandung semangat tinggi.
"Tidak, Paman.
"Justru tanah batu keras inilah yang akan menghidupi. Kalau kita tak mampu memahami hakikat tanah dan hakikat air yang sesungguhnya, kita akan menyalahkan dinding batu.
"Paman... gua ini ibarat batang bambu. Lurus mendongak ke langit, dengan bagian pinggir yang licin, keras tak tertembusi."
"Bambu? Aku sudah lupa seperti apa bambu itu."
"Kita adalah dua binatang kecil yang terkurung dalam bambu. Tak bisa mendaki ke atas. Tak bisa menembus dinding."
Tapi masih ada budaya air.
"Paman, mari kita persiapkan. Kita mengumpulkan kayu. Suatu kali akan turun hujan lebat. Jika dinding-dinding batu ini tak membuat air merembes ke luar, tempat ini akan tergenang.
"Dan air makin naik ke atas.
"Kita bisa keluar!"
"Untuk apa?"
Wajah Upasara penuh harapan.
"Mari kita usahakan agar air hujan tidak terserap oleh dasar tanah. Paman membantu membuat alas gua yang tak merembeskan air.
"Kita tinggal menunggu hujan besar."
Dewa Maut terkekeh.
"Mustahil. Aku sudah menjajal. Dan gagal. Aku sudah menyaksikan beberapa kali musim hujan.
"Bukankah begitu, Upasara?"
Dua Cundhuk Asmara Upasara terdiam sesaat.
"Paman, ada dua cara. Yang pertama kita menunggu kiriman air hujan hingga menggenangi lubang ini. Sehingga kita berdua bisa lebih dekat ke atas permukaan tanah.
"Yang kedua, kita bongkar bebatuan di dasar ini. Kita keduk sehingga mengeluarkan mata air. Paling tidak, air akan menggenangi setinggi permukaan air di sumur. Dengan demikian lebih mudah bagi kita untuk meloncat ke luar.
"Hanya dengan demikian, kebun Paman akan tergenang."
"Itulah yang paling tidak kusukai. Kita merusak apa yang tak perlu kita lakukan."
Suara Dewa Maut sangat memelas. Seakan menyesali keputusan Upasara.
"Bagaimana, Paman?"
"Di jagat ini selalu yang memegang pedang lebih tajam yang menguasai alam. Kalau maumu begitu, kenapa harus menunggu? "Bukankah begitu, Upasara?"
"Agaknya ini satu-satunya cara keluar.
"Nyai Demang pernah terperangkap di tempat ini. Berdasarkan tembangan dan kidungan Paman Dewa Maut, bisa meloloskan diri. Pasti bukan hanya satu atau dua jalan keluar. Namun Halayudha telah menutup semuanya."
"Semuanya."
"Kita tak mungkin bisa menembusnya."
"Mungkin saja."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara Dewa Maut meninggi.
"Itu lebih baik daripada menenggelamkan kebun sayurku.
"Senopati busuk itu menutup semua jalan keluar. Akan tetapi pasti kekuatannya tidak sama.
"Bukankah begitu, Upasara? "Ada yang bisa ditutup kuat dengan tanah dicampur adonan telur atau tetes tebu. Sehingga liat. Tapi mana mungkin semua bisa sekuat itu?"
"Kalau begitu kita coba.
"Siapa tahu justru bisa menunjukkan tempat di mana Gendhuk Tri dikurung."
"Tole-ku dikurung?"
Upasara menghela napas.
"Gendhuk Tri langsung menuju Keraton begitu mendengar Paman Dewa Maut terkurung. Ingin membebaskan. Akan tetapi sejak masuk kemari, saya belum pernah bertemu.
"Paman sendiri belum bertemu dengannya...
"Berarti begitu banyak gua kurungan di sekitar sini."
Di luar dugaan, Dewa Maut segera menunjukkan berbagai jalan keluar yang sudah ditutup. Lalu di setiap jalan keluar yang sudah ditimbuni, Dewa Maut berjongkok, menempelkan daun telinganya ke tanah. Beberapa kali diulangi di berbagai tempat.
"Ini salah satu yang paling ringan."
Alis Upasara berkerut.
"Aku tahu, tahu pasti. Aku sudah lama berada di sini, Upasara. Aku mengenal segala getar alam. Suara kibasan angin di mana-mana. Suara akar tumbuh dan daun yang menguning. Aku menanam mangga, jambu, maja, sejak masih biji hingga beberapa kali berbuah.
"Kau tak usah meragukan.
"Bukankah begitu, Upasara?"
Upasara tak membuang waktu lagi.
Perhitungan Dewa Maut sangat masuk akal.
Walau semua jalan keluar telah ditutup, pasti cara menutupnya tidak sama kuat.
Dan ini sangat masuk akal, karena tidak semua jalan keluar kurungan ini dikuasai siang dan malam.
Salah satu yang mungkin tidak cukup kuat ialah jalan keluar yang bermuara di kaputren! Bukan kaputren yang lebih menyemangati Upasara.
Akan tetapi kini lebih melihat kemungkinan untuk bisa keluar.
Maka segera Upasara memainkan Kangkam Galih.
Di tangan kirinya Kangkam Galih bergerak menembus, mendongkel, dan Upasara menendang guguran tanah berbatu-batu dengan kedua kakinya.
Tanpa kenal lelah Upasara terus menjajal.
Bahkan ketika malam hari pun, ia terus menggebrak.
Batu besar disingkirkan, batu kecil dibuang ke kiri dan ke kanan.
Hingga tak cukup lama sudah bisa digali terowongan sampai tiga tombak.
Tanpa memedulikan keringat, Upasara hanya beristirahat untuk mengembalikan tenaga, lalu menyelusup maju.
Membuat terowongan.
Walau makin lama batu-batuan yang menghadang makin banyak yang buatan manusia, Upasara sebaliknya malah makin bersemangat.
Karena ini berarti makin dekat.
Tiga hari Upasara menjadi manusia tikus yang terus-menerus menggali, akhirnya berhasil juga.
Dengan satu gempuran keras, batu terakhir yang menghalangi tergeser.
Tinggal bata-bata tanah yang sekali sentak berlubang! Upasara berdiri tegak.
"Paman."
Dewa Maut menggeleng.
"Tak selalu tempat di luar lebih baik, aku akan menunggu Tole di tempat ini."
Sekejap darah Upasara berdesir lebih cepat lagi.
Dewa Maut tetap menunggu Gendhuk Tri.
Yang sekarang ini tak diketahui mati-hidupnya! Upasara menunduk.
Tubuhnya membungkuk, dengan tangan terlipat.
Tangan kanannya yang masih kaku tertekuk, dengan ibu jari tertuju kepada Dewa Maut.
"Kalau Paman lebih suka di sini, saya akan keluar lebih dulu. Suatu hari saya akan balik kemari, menjemput Paman dan kita kembali ke Perguruan Awan."
"Bukankah begitu lebih baik, Upasara?"
Upasara memberi hormat sekali lagi.
Satu sentakan, tubuhnya menerobos tembok bikinan.
Dan lolos melalui sumur mati.
Tak terlalu sulit untuk meloncati.
Dengan satu loncatan, Upasara sudah berada di tengah, dengan tangan bertahan satu sisi, tubuhnya meloncat keluar dan membuyarkan penutup sumur yang terdiri atas kayu-kayu gelondongan.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Upasara mengembalikan kayu-kayu itu ke tempat semula.
Kini ia kembali di udara bebas.
Sinar matahari senja terasa begitu indah.
Setelah sekian lama terkurung dalam gua dan hanya sempat menyaksikan matahari persis di tengah langit, sinar senja itu terasa lunak dan enak di mata.
Apalagi sinar senja itu terbiaskan oleh tanaman bunga yang ditata dengan tangan dan perawatan penuh kasih.
Sejenak Upasara termangu.
Tak masuk akalnya, bahwa di jagat ini ada tanah luas yang ditata begitu sempurna, hanya untuk mengejar keindahan pandangan mata.
Sungguh terenyak ia ketika mendengar suara-suara kecil.
Dengan sedikit berendap, ia menuju ke bagian samping.
Yang ternyata lebih indah, lebih teratur, dengan berbagai kolam dan ikan-ikan yang juga terawat sempurna.
Tak salah lagi, inilah kaputren! Tempat para putri Raja.
Meskipun waktu kecil dibesarkan di Keraton Singasari, Upasara tak sempat menikmati pemandangan yang memesona seperti ini.
Akan tetapi perhatiannya lebih tertuju kepada dua putri kecil.
Ludah Upasara tertahan di tenggorokan.
Siapakah dua putri ini? Sekilas Upasara menemukan wajah yang selama ini dirindukan dalam diri anak-anak itu.
Wajah wanita yang pernah mengguncangkan jiwanya.
Wajah Gayatri! Wajah yang selalu membayangi.
Yang cundhuk pemberiannya masih tetap disimpan.
"Kakangmbok Ayu Tunggadewi, tangkapkan kupu-kupu itu."
Yang dipanggil Kakak Tunggadewi meloncat pendek, akan tetapi kupu-kupu yang tengah diincar lebih dulu menghindar.
"Susah, Yayi Dewi... kupu-kupu punya sayap."
Dada Upasara terguncang hebat.
Tak salah lagi, kedua anak ini adalah putri Permaisuri Rajapatni.
Yang tua adalah Tribhuana Tunggadewi dan adiknya Dyah Wijah Rajadewi.
Bahkan cundhuk yang dikenakan sama seperti yang diberikan kepadanya oleh Halayudha! Upasara menyalurkan tenaga dalam lewat tangan kirinya.
Mengibas pelan ke arah kupu-kupu yang diincar.
Sehingga kupu-kupu menjadi oleng terbangnya dan bergoyang, berbalik mendekat ke arah Dyah Wijah Rajadewi.
Apa yang ditunjukkan oleh Upasara adalah penguasaan tenaga dalam murni yang tinggi.
Yang digebrak adalah angin, dan dengan tenaga itu mendesak seekor kupu-kupu, tanpa mencelakakannya.
"Kakangmbok Ayu, kupu-kupu ini datang sendiri."
"Sssttt, jangan-jangan ada demit."
Dyah Wijah Rajadewi menangkap kupu-kupu itu dengan hati-hati.
"Saya tak takut demit atau setan, kalau ia baik dan mau menangkap kupu-kupu. Lebih banyak lebih baik."
Upasara menggerakkan tangan kirinya lagi.
Kali ini bukan hanya satu jari, melainkan kelimanya.
Dalam satu tarikan, kelompok kupu-kupu yang sedang terbang jatuh ke pangkuan Rajadewi.
Putra Mahkota yang Berkuasa Tentu saja Rajadewi berteriak-teriak kegirangan.
Sebaliknya, Tunggadewi memandang sekeliling dengan curiga.
Untuk usianya yang masih di bawah delapan tahun, ini bisa ditebak dari kain yang dikenakan, Tunggadewi termasuk putri yang cerdas.
"Yayi... di tempat ini ada demit... amit-amit..."
"Kakangmbok Ayu, sudah saya katakan. Kalau demit begitu baik, kenapa kita takut?"
Dibesarkan dalam tradisi Keraton, Upasara cukup mengerti beberapa peraturan yang sangat ketat.
Apalagi ini adalah putri langsung Baginda Raja.
Semasa masih di Keraton Singasari dulu, Upasara bahkan tak pernah melihat bayangan Gayatri! Tapi, walaupun tumbuh dalam pergaulan yang sangat ketat dan terbatas, keduanya menunjukkan perbedaan.
Tunggadewi lebih waspada dan sangat hati-hati, sementara Rajadewi lebih terbuka dan berani.
"Demit yang baik, maukah kamu mengambilkan burung di pohon sawo itu? "Saya sudah lama ingin memelihara... ingin sekadar melihat, seperti apa sebenarnya burung itu.
"Tolonglah, demit yang baik, nanti saya akan memberimu bunga dan kemenyan yang harum baunya."
Upasara berbunga-bunga dadanya.
Ada perasaan aneh yang selama ini belum pernah dirasakan.
Berhubungan dengan anak-anak.
Anak-anak Permaisuri Rajapatni.
Sungguh aneh.
Tapi inilah yang terjadi.
Dirinya disangka demit atau hantu oleh putri kecil yang memakai cundhuk yang sama dengan yang sekarang masih disimpannya erat.
Daya asmara menyeruak kembali ke dalam seluruh pembuluh darahnya.
Upasara mengambil tanah dan memelintir dengan dua jari.
Dibidiknya seekor burung kecil yang tengah berloncatan di antara dahan pohon sawo kecik.
Pohon-pohon sawo kecik sengaja ditumbuhkan di pelataran Keraton, baik di kaputren maupun tempat lain.
Karena terawat sempurna dan boleh dikatakan tak pernah diambil buahnya, pohon itu menjadi surga bagi berbagai burung.
Agaknya inilah yang menggoda Rajadewi.
Setiap hari menyaksikan, mendengar ocehannya, akan tetapi tak pernah mengetahui bentuk sebenarnya.
Itulah putri Keraton! Dalam usia yang sama, Gendhuk Tri bukan hanya telah mengenal berbagai burung, akan tetapi juga segala jenis binatang buas yang lain.
Malah boleh dikatakan seluruh binatang hutan dikenalnya! Tanah yang dipelitir Upasara cukup keras, akan tetapi tak membuat burung kecil itu terluka.
Terbang jatuh dan dengan terburu-buru Rajadewi menangkapnya.
Burung kecil itu hanya sekali bisa meloncat lagi, sebelum akhirnya tertangkap.
"Kakangmbok Ayu... lihat. Bagus sekali."
Tunggadewi menjauh.
"Benar-benar demit itu ada.
"Dongengan itu tidak berdusta."
"Lihat, Kakangmbok Ayu. Apakah Kakangmbok Ayu juga ingin memiliki sendiri?"
"Ya."
Belum selesai tarikan napas Tunggadewi, seekor burung lain telah terbang ke tanah di dekatnya. Rajadewi makin gembira sehingga berloncatan. Suaranya yang nyaring membuat emban pengasuhnya datang mendekat dan menyembah.
"Kalian pergi dulu, aku masih ingin bermain-main."
"Gusti Putri, sekarang sudah sore..."
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kamu tidak pergi, aku akan menangis dan menjerit."
Upasara merasa geli.
Untuk sesaat terhibur segala duka yang baru saja dialami.
Terlupakan kehidupan dalam kurungan bawah tanah.
Rajadewi, dengan segala kenakalan dan akalnya, bisa menyuruh emban pengasuhnya mundur kembali.
Merasa tak dimata-matai, Rajadewi mendekat ke arah Upasara.
"Aku sudah puas melihat burung ini. Nah, sekarang kulepaskan kembali,"
Rajadewi melepaskan burungnya.
"Kupu-kupu ini kusimpan sebentar.
"Ibu Permaisuri suka melihat kupu-kupu.
"Demit, kamu tidak marah, bukan?"
Hampir saja Upasara terpancing mengatakan tidak.
"Kalau tidak, kamu gerakkan bunga Puspanyidra di dekatku ini."
Upasara memang tak mengenal jenis-jenis bunga, akan tetapi ia mengikuti petunjuk tudingan jari Rajadewi.
"Jadi kamu tidak marah?"
Kembali batang pohon Puspanyidra bergoyang.
"Bagus, bagus. Kita bersahabat. Nanti malam akan kubawakan kemenyan dan bunga seperti janjiku.
"Kita akan main-main terus.
"Mau?"
Tunggadewi memegang erat tangan adiknya.
"Demit, kenapa kamu tidak mau menunjukkan dirimu? Apakah benar tubuh manusia panas bagimu? Apakah wajahmu sangat mengerikan?"
Upasara menggerakkan Puspanyidra seakan menggeleng.
"Iiii, lucu sekali. Ibu Permaisuri bakal senang sekali."
Tunggadewi berdiri ke depan.
"Kamu yang menguasai taman ini?"
Pohon Puspanyidra mengangguk.
"Selain burung dan kupu-kupu, kamu bisa memberikan apa lagi?"
Upasara tak pikir panjang melemparkan cundhuk. Tunggadewi terperangah.
"Adik Ayu Rajadewi, ini cundhuk milik kita yang dikatakan hilang oleh Ibu Permaisuri."
"Ya. Ya. Benar.
"Jadi kamu mencuri, Demit?"
Pohon Puspanyidra menggeleng.
"Waktu cundhuk ini hilang, Ibu Permaisuri tidak marah.
"Eh, Demit, kamu mengenal Ibu Permaisuri tidak?"
Pohon Puspanyidra mengangguk.
"Kalau tahu, siapa namanya?"
Upasara mengambil selembar daun, menuliskan nama, dan melemparkan. Tunggadewi memungut. Wajahnya cemberut.
"Salah. Nama Ibu Permaisuri bukan Gayatri, melainkan Ibu Permaisuri Rajapatni!"
Sudah barang tentu, Tunggadewi dan Rajadewi tak mengetahui bahwa ibu kandungnya lebih dikenal Upasara sebagai Gayatri.
"Demit, siapa namamu?"
Upasara sedang menyiapkan daun kedua, ketika mendengar langkah kaki mendekati.
Seorang bocah, sedikit di atas usia Tunggadewi, masuk ke dalam taman.
Yang membuat Upasara sedikit heran adalah pengiringnya sangat banyak sekali.
Dan bocah yang berkulit lebih putih dari kebanyakan orang ini memakai kalung bertatahkan hiasan berkilauan.
Tunggadewi dan Rajadewi berjongkok, menyembah.
"Adik Dewi, sejak sekarang kalian berdua tidak boleh ke taman sendirian. Mulai hari ini tak boleh ke taman lagi, untuk seterusnya."
Tunggadewi lebih tenang. Menunduk dan menyembah. Rajadewi berguncang dadanya.
"Aku yang memutuskan. Tak ada yang membantahku.
"Selesai.
"Pergilah.
"Ini perintah Putra Mahkota."
Upasara melihat bahwa Putra Mahkota Kala Gemet nampak begitu yakin dengan penampilannya.
Cara tangannya memberi aba-aba mengusir, kelihatan sekilas sudah sangat terbiasa.
Dan tanpa menoleh sedikit pun, terus melanjutkan perjalanan.
Hilang di bagian lain bersama para pengikutnya.
Sementara Tunggadewi dan Rajadewi sudah dibimbing para emban pengasuh.
"Kakang Raja jahat sekali, Kakangmbok Ayu."
"Apa kata Kakang Raja, terjadilah."
"Saya masih ingin bermain dengan Demit."
"Pasti ia akan ke kamar menemui kita. Demit bisa berada di mana-mana."
Kalau tidak menyaksikan sendiri, Upasara tak akan yakin bahwa Putra Mahkota Kala Gemet demikian keras pengawasannya kepada kedua adiknya.
Bukan tidak mungkin, seperti banyak cerita yang didengar, Putra Mahkota perlu mengawasi Tunggadewi dan Rajadewi dalam segala hal.
Karena sebagai putra mahkota yang dinobatkan sejak kecil, sejak lahir, para pengasuh Kala Gemet sudah mengisiki bahwa Tunggadewi dan Rajadewi bisa menjadi persoalan di belakang hari.
Karena keduanya adalah putri Permaisuri Rajapatni.
Yang jika kelak kemudian hari mempunyai suami, bisa menjadi ancaman.
Paling tidak, bisa merasa berhak atas takhta! Ini yang tak dikehendaki! Maka segala sesuatu yang bisa tumbuh di luar pengawasan, sedini mungkin dihapuskan.
Alangkah menderitanya Tunggadewi dan Rajadewi dalam pengawasan kakaknya.
Kaukah Itu, Kakang...
UPASARA setengah menyalahkan dirinya sendiri.
Menyalahkan jalan pikirannya yang begitu mudah mendakwa Putra Mahkota Kala Gemet.
Belum tentu sejahat yang dipikirkan.
Hanya saja, suara Putra Mahkota yang bergema keras, membuat Upasara berpikir kembali.
Untuk seorang putra mahkota, rasanya tak perlu berkata dengan nada yang begitu tinggi.
Kecuali kalau sedang marah.
"Paman... siapa namamu? ...Taman kaputren ini sungguh bagus. Terawat dengan baik.
"Kenapa Paman Sora tak pernah bercerita padaku mengenai hal ini?"
Yang dipanggil dan tak dipanggil menunduk, menghaturkan sembah hormat yang dalam.
"Duh, Pangeran Pati sesembahan kawula seluruh Majapahit, kalau Yang Mulia Pangeran Pati menghendaki, hamba akan mengusahakan taman seperti ini di Dahanapura."
Putra Mahkota Bagus Kala Gemet mendongakkan wajahnya sambil menarik udara dari hidungnya.
Dari tempat persembunyiannya, Upasara bisa melihat jelas sikap unggul yang dilihat.
Sebutan sebagai Pangeran Pati, atau pangeran putra-mahkota, agaknya merupakan sebutan yang biasa didengar.
Untuk memberikan penghormatan dan sekaligus juga membedakan dari para pangeran yang lain, bahwa hanya dialah yang menjadi putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaan atas Keraton di kelak kemudian hari.
"Makan waktu lama, Paman.
"Ingsun ingin segera menikmati. Daripada susah-susah membuat taman seperti ini di Dahanapura, bukankah akan lebih baik kalau ingsun yang pindah kemari?"
"Kehendak Pangeran Pati seperti juga kehendak Baginda. Terkabul sesuai dengan keinginan."
Tanpa terasa Upasara mengatupkan gerahamnya.
Ada perasaan tidak enak menyeruak dari benak Upasara.
Pertama, cara Putra Mahkota menyebut dirinya sendiri sebagai ingsun.
Meskipun ingsun juga berarti saya, akan tetapi cara membahasakan diri seperti itu hanya biasa dipergunakan oleh Raja.
Kurang pas jika Putra Mahkota menggunakan istilah itu.
Pengalaman hidup di Keraton Singasari mengajarkan hal ini.
Ditambah sebagai Ksatria Pingitan, Upasara memang mau tak mau mempelajari segala adat-istiadat yang berlaku dalam Keraton.
Bahwa akan lebih baik lagi kalau mau sedikit merendah.
Bukan sebaliknya seperti yang digunakan oleh Putra Mahkota! Sebab kedua adalah mengetahui cara berpikirnya.
Bahwa karena tidak mau menunggu lama, akan lebih mudah kalau dirinya pindah.
Tak menjadi halangan benar.
Karena apa yang diinginkan bakal terlaksana.
Ditilik dari usianya, Putra Mahkota sekarang ini masih sekitar dua belas tahun.
Namun keinginannya tidak kalah dengan mereka yang telah lama memegang kuasa.
Upasara menghela napas.
Barangkali juga bukan kesalahan Putra Mahkota sepenuhnya.
Sejak lahir Baginda telah mengangkat sebagai pewaris takhta.
Dengan demikian segala perlakuan, sejak masih bayi sudah menjadi sangat istimewa.
Hal ini secara tidak langsung sudah tertanam dalam diri para pengasuh dan pengikutnya.
Kalau ia bertindak seperti sekarang ini, bisa jadi biasanya sudah seperti itu.
Upasara menunduk.
Ia sadar bahwa pikirannya lah yang terlalu lancang.
Biar bagaimanapun, dirinya tak bisa dibandingkan dengan Putra Mahkota! Dalam segala hal berbeda, bukan hanya dalam hal daya asmara, seperti ketika ia mengharapkan Gayatri! Ah, putri Keraton Singasari! Andai dirinya seorang yang dilahirkan secara resmi oleh raja, akan lain ceritanya.
Akan bisa memahami Putra Mahkota.
Tetapi tidak juga.
Para pangeran dalam Keraton Singasari terdidik dalam suasana yang berbeda.
Sejak kecil justru lebih dulu diajari untuk tidak berlaku semena-mena, untuk menahan diri bila menginginkan sesuatu.
"Kalau begitu, sampaikan kepada Mahapatih Nambi dan Halayudha bahwa mulai malam nanti ingsun akan bermalam di sini."
Para pengikutnya serentak menyembah.
"Tempat ini jauh lebih asri daripada di Dahanapura."
Tentu saja lebih asri, pikir Upasara.
Dahanapura, walau pernah menjadi pusat pemerintahan, tak bisa dibandingkan dengan Keraton yang baru dibangun.
Dahanapura tak lebih dari kadipaten, dibandingkan dengan Keraton pusat.
Meskipun Putra Mahkota mendapat perlakuan yang teramat istimewa, akan tetapi tetap saja merasa kalah dengan apa yang dialami sekarang ini.
Upasara ingin segera meninggalkan tempat persembunyiannya.
Karena merasa kurang senang mendengarkan.
Karena pikirannya seperti membenarkan dugaannya bahwa perlakuan kepada Putra Mahkota membuatnya seakan bisa berbuat apa saja.
Kalau dugaan ini benar, kesimpulannya yang pertama yang benar.
Bahwa Tunggadewi dan Rajadewi sepenuh-penuhnya berada dalam pengawasan Putra Mahkota.
Ibarat kata, tak akan seekor nyamuk bisa menggigit Tunggadewi atau Rajadewi tanpa diketahui oleh Putra Mahkota, atau tanpa izinnya.
Upasara jadi bertanya-tanya sendiri.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa ia begitu memikirkan Tunggadewi dan Rajadewi? Mereka berdua bukan apa-apanya.
Mereka adalah saudara Putra Mahkota! Satu-satunya hubungan yang ada ialah bahwa Upasara pernah terkena daya asmara Gayatri.
Dan sekarang Gayatri yang telah berubah menjadi Permaisuri Rajapatni itu mempunyai dua putri.
Lalu kenapa ia begitu menguatirkan? Lalu kenapa ia mulai memperhitungkan bahwa sebagai lelaki, Putra Mahkota tak diperkenankan masuk ke dalam kaputren.
Suatu pantangan besar.
Walau hanya menemui saudaranya.
Untuk hal semacam ini ada tempat pertemuan tersendiri.
Tak perlu datang ke kaputren.
Begitu pula sebaliknya.
Para putri tak diizinkan masuk ke gerbang ksatrian! Nyatanya Putra Mahkota masuk dengan leluasa, bersama para pengawalnya yang setia.
Untuk apa sesungguhnya ia memikirkan ini semua? Meskipun Upasara Wulung dikenal di seluruh jagat sebagai ksatria yang sakti, yang menguasai ilmu Bantala Parwa, akan tetapi dalam hal usia dan pengalaman hidup masih sederhana.
Apalagi yang menyangkut daya asmara.
Boleh dikatakan hanya tahu satu hal.
Bahwa sepanjang hidupnya, ia pernah hampir tertarik kepada Nyai Demang.
Dan kemudian benar-benar tertarik dan berangan-angan hidup bersama Gayatri.
Bagi Upasara, Gayatri adalah satu-satunya wanita yang pernah menghiasi mimpinya, serta disebut namanya dalam doa dan semadinya.
Sewaktu kemungkinan untuk mendapatkan musnah, Upasara tak tahu lagi harus berbuat apa.
Seperti sekarang ini.
Perhatian kepada nasib Tunggadewi dan Rajadewi adalah perpindahan dari perhatiannya terhadap ibunya.
Itu yang menyebabkan Upasara tidak segera meninggalkan persembunyiannya.
Sampai Putra Mahkota dan rombongannya meninggalkan taman.
Sampai burung-burung tak lagi berkicau.
Sampai purnama memancarkan sinarnya.
Upasara tak beranjak dari tempatnya.
Menunggu kalau-kalau bayangan Tunggadewi dan Rajadewi muncul kembali.
Betapa menyenangkan kalau ia bisa menghibur.
Mencarikan kupu-kupu atau menangkapkan burung.
Tetapi tak ada bayangan yang ditunggu.
Tak ada suara kaki anak-anak yang lembut beringsut.
Yang terdengar adalah langkah lembut bergeser, seakan ada kain yang disapukan ke lantai kaputren.
Tiga langkah yang berbeda.
Satu langkah sangat ringan, sedangkan dua langkah yang lain kelihatan berat, ragu, dan berada di belakang.
Mulut Upasara terkunci, manakala mengetahui suara langkah kaki itu mendekat ke arahnya.
Dan dari ujung muncul bayangan, hampir seluruhnya gelap oleh cahaya bulan yang membelakangi ketiganya.
Kalau dua bayangan itu dayang-dayang Keraton, berarti yang satunya adalah tuan putri.
Darah Upasara makin cepat berdesir.
Pandangannya menyipit.
Apakah yang muncul itu Gayatri? Permaisuri Rajapatni yang menyempatkan diri datang? Karena mendengar cerita kedua putrinya yang memperlihatkan cundhuk padanya? Nyatanya begitu.
Bayangan yang di depan terus mendekat ke arah Upasara.
Sementara kedua tangannya mengibas pelan, dan dua dayang yang seakan menjadi bayangannya berhenti, dan duduk bersila.
Bayangan yang mirip Gayatri itu mendekat.
Lembut langkahnya.
Seirama dengan sinar bulan, dengan alam kaputren.
Lalu berhenti beberapa saat.
"Kakang, kamukah yang menjadi demit itu? "Benarkah kamu Kakang Upasara, kakangku?"
Inilah Kakangmu, Yayi...
SUKMA Upasara melayang sempurna.
Seakan moksa, lenyap bersama raganya.
Tubuhnya tetap berada di tempatnya, akan tetapi serasa tak ada.
Suara itu adalah suara lembut yang pernah mengusik telinganya, menerobos jantungnya, dan mengalir dalam darahnya.
Suara Gayatri, wanita pertama yang mengguncangkan kesadaran Upasara akan sesuatu yang lain.
Setelah mengenal Gayatri, Upasara menemukan makna-makna yang lain, yang berbeda dari yang selama ini dialami.
Dinding gerbang Keraton Majapahit mengingatkan dinding gerbang Keraton Singasari, di mana ia pernah memahatkan kidung kerinduan.
Menaiki seekor kuda, Upasara terbetot kembali sukmanya.
Hanya karena ia pernah berkuda bersama.
Betapa tiba-tiba alam sekitar dan suasana memperlihatkan warna yang tak dikenali sebelumnya.
Adalah aneh bahwa pohon yang sama dengan buah yang sama, seakan bisa bercerita panjang tanpa awal tanpa akhir, tanpa pembuka tanpa penutup.
Upasara tak pernah mengalami sebelumnya.
Sepanjang hidupnya, ia bisa memusatkan pikiran dengan penguasaan yang selalu dipuji gurunya yang pelit memberikan rasa kagum.
Akan tetapi sekali ini, justru ketika ia mengalihkan ke arah lain, bayangan Gayatri makin jelas.
Dan sekarang, yang begitu dirindukan itu berdiri di depannya, menengadahkan wajah ke arahnya.
Dengan suara alam yang dulu, dengan perasaan yang menyambar-nyambar jantungnya.
Suara yang secara tak sengaja menyelinap dalam mimpi dan lamunan.
Suara menggeletar seakan berbisik di daun telinganya seperti dulu juga.
"Kakang, aku datang untuk menemui Kakang.
"Sewaktu putriku datang dan bercerita tentang demit pembawa cundhuk yang pernah kutitipkan Paman Sora, aku yakin Kakang yang datang.
"Kakang, aku tak tahu apakah Kakang telah menjadi demit atau roh yang gentayangan karena penasaran.
"Aku berdoa kepada Dewa yang Maha agung, agar Kakang mendapat tempat yang sempurna-bahagia-selamanya."
Tidak, Yayi, tidak. Akulah Upasara Wulung, bersembunyi di sini, masih hidup. Aku belum menjadi demit. Aku masih di jagat dan lebih bahagia di sampingmu, Yayi. Memandangmu.
"Kakang, kudengar berita Kakang muncul di alun-alun. Rasanya aku tak percaya Kakang mau datang ke Keraton. Rasanya tak mungkin Kakang mau menemui bayanganku lagi.
"Aku tak cukup berharga untuk ditemui.
"Tetapi aku tak bisa menutupi keinginan dalam doa-doaku, bahwa sebelum aku menuju alam nirwana, aku bisa melihat Kakang."
Upasara menutup matanya.
Bibirnya gemetar, menahan getaran dadanya yang bergelombang.
Itulah Gayatri! Tetap Gayatri yang dikenalnya dulu.
Yang lembut tetapi menyimpan kekerasan.
Pelan bicaranya, akan tetapi menggantungkan kepastian yang begitu mendalam.
Gayatri-lah yang berani memulai membicarakan hubungan mereka berdua.
Gayatri yang putri Baginda Raja Singasari yang mulai membuka persoalan dan mengakui bahwa ia akan menerima Upasara andai Upasara datang memintanya! Sesuatu yang tak pernah mampir dalam benak Upasara.
Seorang gadis, apalagi bunga segala bunga Keraton, lebih dulu membuka pembicaraan ke arah itu.
Dengan mata bening menatap ke arah Upasara.
Sambil mengatakan bahwa bibirnya terpaksa memulai bicara karena yakin Upasara tak pernah berani memulai.
Nyatanya begitu.
Upasara tak tahu harus berkata bagaimana saat itu.
Hatinya dipenuhi dengan bunga-bunga harapan, bunga-bunga impian.
Sedemikian penuhnya sehingga hanya bisa menunduk bisu.
Sesungguhnya Upasara tak tahu harus bagaimana.
Daya asmara telah menutup semua kemampuannya.
Selama hidupnya Upasara hanya mengenal dua wanita yang pernah membuatnya tertarik.
Diakui bahwa yang pertama adalah Nyai Demang.
Wanita gemuk dengan pantat besar itu sangat menggoda berahinya yang sedang tumbuh.
Namun kemudian Upasara menyadari bahwa hal itu akan dialami semua lelaki yang berhubungan dengan Nyai Demang.
Dengan cepat Upasara bisa melupakan tanpa beban.
Sungguh berbeda perkenalannya dengan Gayatri.
Di mata Upasara, Gayatri wanita yang sangat sempurna.
Bukan hanya karena putri Baginda Raja, bukan karena cantik jelita, melainkan juga karena seolah Gayatri menjawab semua kerinduannya akan wanita.
Kerinduan akan wanita yang berkulit halus, yang lembut gayanya akan tetapi mampu berterus terang.
Kerinduan akan wanita yang sebenarnya.
Gayatri menjawab segalanya! Sejak pertemuan dan perjalanan bersama dari desa Tarik menuju Singasari, sejak itu pula bersemi semua akar asmara.
Daya asmara yang lekat tumbuh di semua bagian tubuh Upasara.
Dalam pertempuran antara mati-hidup melawan Naga-Naga dari Tartar, Upasara nekat menyabung nyawa.
Demi Gayatri.
Justru ketika Sanggrama Wijaya merasa tak memperhitungkan lagi.
Betapa luas dan dalam pengaruh daya asmara.
Pertarungan yang bukan hanya mempertaruhkan nyawa, akan tetapi seperti anai-anai menyerbu ke api.
Para senopati pilihan tak bisa menang dalam pertempuran utama.
Tetapi Upasara nekat maju menggempur.
Betapa bahagianya Upasara ketika usahanya berhasil.
Membebaskan Gayatri.
Betapa sakitnya ketika Sanggrama Wijaya mengatakan bahwa Gayatri akan dipermaisuri olehnya karena suratan para Dewa yang didengar para pendeta adalah Gayatri tak akan terpisahkan dari Sanggrama Wijaya.
Upasara memilih mundur.
Menyembunyikan diri di Perguruan Awan.
Menolak segala anugerah, termasuk menjadi mahapatih.
Menolak menemui Gayatri yang sudah bergelar Permaisuri Rajapatni ketika diculik Klikamuka yang ternyata adalah Halayudha.
Upasara menghindar karena tak ingin melukai perasaan Gayatri.
Baginya, penderitaannya tak menjadi suatu apa, asal Gayatri bahagia sebagai permaisuri.
Adalah di luar jangkauan pikirannya, bahwa justru Gayatri yang merasa berdosa.
Gayatri-lah yang merasa bersalah karena meninggalkan Upasara.
Sehingga merasa pantas jika Upasara tak sudi menemuinya.
"Kakang, katakan apa keinginan Kakang.
"Aku akan melakukan sebisaku, agar Kakang tenteram dan bahagia. Katakan, kakangku."
Sukma dan raga Upasara hanyut.
Terserap kekuatan yang tak mampu dikuasainya.
Walaupun dirinya disegani semua lawan dan kawan karena ilmunya yang tinggi, tetap saja ia seorang yang tak mampu menguasai terkaman daya asmara.
Dalam Kitab Bumi yang dikuasai, tak pernah disebut-sebut mengenai daya asmara.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak juga jurus-jurus yang dikenal sebagai Jalan Budha ataupun Tepukan Satu Tangan.
Daya asmara yang dijabarkan adalah daya asmara untuk menyatukan dengan Dewa Segala Dewa, untuk berbakti kepada tanah air kelahiran, untuk menjunjung tinggi Keraton.
Bukan daya asmara antara lelaki dan wanita.
Sekian tahun Upasara menyembunyikan perasaannya.
Bahkan kilasan lamunan pun ditolak.
Akan tetapi ia tak bisa mendustai sudut hatinya yang suci.
Bahwa Gayatri tetap mampu menggeletarkan hatinya.
Tetap dirindukan, di atas segalanya.
Dan ternyata Gayatri pun merasakan hal yang sama.
Tetap menyempatkan diri untuk menitipkan cundhuk.
Tetap datang ke taman begitu merasa bahwa Upasara muncul.
Bagi permaisuri, apa yang dilakukan Gayatri adalah pertarungan nasib yang luar biasa.
Betapa aibnya jika diketahui bahwa Permaisuri Rajapatni yang jelita itu keluar dari kamarnya, untuk menemui lelaki! Aib dan hina.
Nista yang akan disandang semua anak-cucunya.
Tak bisa disucikan dengan menyiramkan seluruh air Kali Brantas sekalipun.
Kalau bukan karena daya asmara yang sama, tak mungkin Gayatri mencarinya.
"Kakang..."
Yayi...
"Kakang..."
"Yayiku..."
Upasara tersentak.
Tersadar bahwa ada suara lain yang mengutarakan isi hatinya.
Betapa kaget Upasara melihat bayangan mendekati Permaisuri Rajapatni dan sekaligus memanggil "yayiku".
Raja Kertarajasa Jayawardhana! Suaminya, rajanya, pemiliknya! "Yayi Ratu...
sudahlah...
Jangan membiarkan tubuhmu disinari bulan tengah malam.
Kurang baik.
Temani aku di dalam.
Yang lalu biarlah berlalu.
"Rembulan dan matahari mempunyai tatanan sendiri.
"Kenapa berharap rembulan kalau ada matahari bersinar terang?"
Baginda menggerakkan tangannya lembut dan berlalu.
Gayatri menyembah, mengikuti dengan menunduk.
Tak sedikit pun menengok ke arah Upasara.
Semuanya berlalu, begitu cepat dan sempurna.
Jalan Keutamaan di Trowulan UPASARA masih terkesima.
Pandangan kosong tak bertenaga.
Kosong yang berbeda dari beberapa kejap sebelumnya.
Kosong yang sekarang ini adalah kosong nelangsa, kosong yang hampa.
Belum satu tarikan napas, sukmanya seperti dilambungkan ke langit tingkat tujuh.
Segala impiannya berubah menjadi kenyataan.
Bahkan lebih dari yang diharapkan.
Gayatri datang menemuinya.
Hanya sekejap.
Berubah menjadi kenyataan lain.
Gayatri adalah Permaisuri Rajapatni, yang kemudian mengikuti langkah kaki Baginda.
Tak bisa lain.
Selesai.
Kembali seperti semula.
Kenyataan yang ada, bahwa kerinduannya adalah siksaan yang sia-sia.
Bahkan wanita yang dipujanya adalah permaisuri seorang raja yang berkuasa.
Sejak semula Upasara menyadari hal ini.
Sejak melepaskan niatnya untuk mendampingi Gayatri.
Sejak mendengar Gayatri mempunyai putri.
Akan tetapi dalam kenangan Upasara, Gayatri masih Gayatri yang dulu menyertai.
Putri-putrinya adalah putri yang manis pemberian Dewa.
Sekarang, matanya melihat sendiri.
Gayatri-nya adalah Rajapatni yang menyertai suaminya, rajanya, pemiliknya yang sah.
Berjalan bersama, menuju tempat yang tak diganggu sinar bulan berhawa dingin.
Beberapa kejap Upasara masih bengong.
Sebelum akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tamansari.
Bayangan ingin menemui Tunggadewi dan Rajadewi mendadak sirna.
Yang ingin dilakukan seketika adalah meninggalkan kaputren.
Dan itu yang segera dilakukan.
Dengan sekali menjejak tanah, tubuh Upasara melayang melewati dinding kaputren.
Tanpa menimbulkan kecurigaan penjaga, Upasara meloncat ke arah bangunan Keraton.
Pandangannya sempat melirik ke bawah.
Di salah satu bangunan itu, Gayatri bersama Sanggrama Wijaya.
Ah, bagaimana nasibnya? Bukankah Baginda mengetahui apa yang dikatakan Permaisuri Gayatri? Mendengar jelas apa yang diucapkan dengan suara lembut? Yang berarti mengetahui kenangan Gayatri akan Upasara? Kemurkaan macam apa yang akan ditumpahkan? Dosa dan hukuman apa yang akan ditanggung? Upasara merasa bingung.
Semalaman penuh ia berlarian kian-kemari di atas bangunan Keraton.
Upasara berharap mendengar tangis Gayatri atau penyiksaan.
Itu satu-satunya alasan untuk mendobrak, dan dengan Kangkam Galih di tangan kirinya, ia akan melabrak masuk.
Menyapu bersih yang menghalangi.
Tapi tak ada isak tangis.
Di kamar peraduan, Permaisuri Rajapatni tak meneteskan air mata.
Hanya bisa menunduk, tepekur, ketika Baginda menghela napas.
"Yayi Ratu, aku tak percaya ketika para emban melaporkan bahwa Yayi Ratu menuju tamansari di tengah malam. Hanya untuk bercakap dengan sukma Upasara.
"Yayi. Aku merasa bersalah karena tak memberitahumu. Bahwa Upasara Wulung memang telah terkubur hidup-hidup di dalam gua bawah Keraton.
"Kalau aku tahu, aku akan mencegah Halayudha melakukan hal itu.
"Tetapi semuanya telah terlambat.
"Apakah kamu menginginkan aku menghukum Halayudha?"
Permaisuri Rajapatni tetap menunduk. Tak bergeser seujung rambut caranya duduk.
"Kamu ini aneh, Yayi Ratu.
"Dengan arwah bisa bicara panjang-lebar, akan tetapi dengan raja yang masih berkuasa, kamu membisu.
"Apa sebenarnya kekuranganku? "Apakah ada lelaki di jagat ini yang bisa menyamaiku? Apalagi melebihiku? Katakan, aku bisa melihat siapa lelaki ajaib itu.
"Tak ada, Yayi.
"Tak ada.
"Dari ujung kaki langit hingga ujung kaki langit yang lainnya, tak akan ada yang menyamaiku.
"Katakanlah. Atau dengan mengangguk saja, aku bisa memperlihatkan kepala Halayudha di depanmu."
Permaisuri Rajapatni bergeming. Suasana sangat hening. Kecuali suara Baginda yang melengking.
"Yayi Ratu Rajapatni.
"Kamulah satu-satunya sumber kekuatanku. Kalau kamu tersenyum sedikit saja sejak semula, aku tak akan menunjuk Bagus Kala Gemet menjadi putra mahkota.
"Tetapi kamu selalu membisu.
"Tertipu oleh bayanganmu.
"Sesungguhnya, Yayi Ratu, kamulah wanita yang paling bahagia, tetapi sekaligus juga paling sengsara. Aku mendapatkan tubuhmu, tetapi bukan sukmamu.
"Tetapi kamu tak mendapatkan apa-apa.
"Upasara tak mendapatkan apa-apa.
"Tidak sukma, tidak juga raga.
"Bukankah aku tetap tak bisa dikalahkannya?"
Tak ada isak tangis.
Tak ada air mata.
Tetapi lolongan serigala yang kesakitan, ringkik orang hutan yang kesakitan, kalah menyayat dengan apa yang dirasakan oleh Gayatri.
Juga oleh Baginda.
Dan oleh Upasara.
Yang masih terus mengelilingi Keraton hingga fajar dini hari.
Baru ketika embun pagi terasakan, Upasara melompat keluar dari benteng sebelah luar.
Berjalan tanpa tujuan.
Mengitari dinding alun-alun.
Pandangannya tertegun melihat satu rangkaian tulisan yang dipahatkan di dinding.
satu-satunya jalan keutamaan hanya di Trowulan satu-satunya lelaki sejati bisa melewati menjadi lelananging jagat Yang membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa tulisan itu dibuat dalam beberapa bahasa dengan beberapa huruf.
Seakan ditujukan untuk mereka yang tak mengerti bahasa setempat.
Upasara jadi teringat bahwa akan ada pertemuan para ksatria seluruh jagat.
Di antaranya, Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang keluar dari sarangnya.
Jika benar begitu, tulisan di dinding itu juga ditujukan kepadanya.
Meski tanpa itu pun, barangkali Upasara akan berangkat ke sana.
Bukan karena ingin berebut gelar sebagai lelananging jagat atau ksatria nomor satu di seluruh jagat, akan tetapi karena masih ada yang perlu dibuat perhitungan dengan Paman Sepuh.
Yaitu soal balas dendam kematian Pak Toikromo dan Galih Kaliki! Hanya ini yang tersisa dalam diri Upasara sebagai sesuatu yang harus dilakukan sebelum akhirnya tak peduli dengan sisa hidupnya.
Tanpa membuang waktu, Upasara segera berangkat menuju desa Trowulan.
Untuk mencari tahu siapa-siapa yang datang yang berebut gelar, dan mencari Paman Sepuh.
Upasara makin yakin karena di berbagai tempat juga ada tulisan terpahat dengan bunyi yang sama yang disalin dalam beberapa huruf dan bahasa.
Di antaranya adalah bahasa dan huruf yang dulu digunakan oleh pasukan Tartar.
Serta huruf-huruf dari tlatah Hindia.
Walau keinginannya menggebu, Upasara tak mau bertindak sembrono.
Karena mengetahui bahwa yang akan datang ke Trowulan adalah jago dari segala jago, ksatria dari segala ksatria.
Yang kalau dilihat sekelebatan mungkin tak ada bedanya dengan penduduk biasa.
Akan tetapi pasti, beberapa ksatria dari penjuru yang lain berdatangan.
Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Undangan terbuka di dinding pasti terbaca dan terpahami oleh yang lain.
Upasara merasa yakin, ketika dalam perjalanan melihat bayangan tubuh Jaghana dan Wilanda di tepi Kali Brantas.
Paman Jaghana dan Paman Wilanda.
Dua tokoh utama yang sejak awal tak pernah meninggalkan Perguruan Awan.
Yang tak terpengaruh oleh angin dan badai yang betapapun hebatnya terjadi dalam dunia persilatan.
Apalagi untuk waktu sekarang ini.
Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Upasara makin yakin bahwa wajah-wajah yang ditemui seperti berasal dari wilayah yang lain.
Cara mereka berdiam, tanpa banyak kata, juga seakan menyembunyikan asal-usul kedatangan mereka.
Upasara makin berhati-hati.
Dulu semua ksatria juga datang ke Perguruan Awan karena perangkap yang dipasang Ugrawe.
Bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi.
"Walau Ugrawe telah tiada. Upasara tak menduga bahwa Halayudha yang memasang jerat! Membasmi Hingga Cindil Abang Halayudha sudah menyiapkan semuanya. Begitu lolos dari kurungan bawah Keraton, Halayudha langsung menghadap Baginda. Serta-merta menyerahkan diri, minta hukuman mati.
"Menjatuhkan hukuman mati bagimu, tak perlu mencuci tangan lebih dulu. Tetapi katakan, apa kesalahanmu."
Dengan segala kecerdikannya, Halayudha menyusun laporan bahwa sebenarnya ia sangat berdosa, karena bersedia dititipi cundhuk kenangan dari Permaisuri Rajapatni buat Upasara.
Selama ini ia tak berani melapor ke Baginda.
Namun ia mengambil prakarsa sendiri untuk mengurung Upasara secara hidup-hidup.
Itulah yang diakui sebagai dosa.
Hal yang kedua yang disampaikan ialah bahwa para jago silat akan berebut kesaktian.
Maka Halayudha ingin mengalihkan medan pertempuran ke Trowulan.
Agar pihak Keraton tidak terseret, sebaiknya Halayudha secara pribadi yang menangani.
Mohon petunjuk Baginda.
Dalam situasi seperti itu, Baginda lebih terpukul oleh berita bahwa permaisurinya ternyata masih menyimpan kenangan terhadap Upasara.
Maka keinginan Halayudha diluluskan, sementara Baginda ingin menyelidiki Permaisuri.
Kepada Mahapatih Nambi, Halayudha menjelaskan bahwa sebenarnya ia hanya menjalankan tugas menangkap Upasara-hidup atau mati.
Lembah Nirmala -- Khu Lung Laron Pengisap Darah -- Huang Yin /Tjan Id Pendekar Cacad Karya Gu Long