Ceritasilat Novel Online

Bunga Di Kaki Gunung Kawi 4


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Bagian 4



Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya dari SH Mintardja

   

   Orang tua itu memandangnya dengan heran. Maka bertanyalah orang tua itu.

   "Kenapa Anakmas tidak mau datang ke rumahnya?"

   "Tidak apa-apa,"

   Jawab Mahendra singkat.

   "kami menunggu di sini."

   Orang tua itu tidak bertanya lagi. Diangguk-anggukkannya kepalanya sambil berkata.

   "Baiklah, nanti aku sampaikan kepadanya."

   Meskipun demikian petani tua itu pun tak habisnya berpikir.

   "Aneh, tamu yang datang sedemikian jauhnya, tetapi tidak mau diantarkannya ke rumahnya."

   Namun petani tua itu memenuhi pula permintaan ketiga anak- anak muda dari Tumapel itu.

   Ia tidak langsung pulang ke rumahnya, tetapi diperlukannya singgah ke rumah Buyut Panawijen.

   Di mukaregol halaman dilihatnya Mahisa Agni.

   Karena itu orang tua itu pun berkata.

   "Mahisa Agni, apakah Wiraprana ada di rumahnya?"

   "Ada Kaki,"

   Jawab Mahisa Agni.

   "kita berjanji akan pergi ke sawah bersama. Dan aku sedang menunggunya. Apakah Kaki akan menemuinya?"

   "Oh. Tidak,"

   Berkata orang itu pula.

   "aku hanya ingin menyampaikan pesan untuknya. Nah, Katakanlah kepadanya Agni. Tiga orang anak-anak muda dari Tumapel menunggunya di ujung desa."

   "Tumapel?"

   Bertanya Mahisa Agni dengan herannya. Orang tua itu mengangguk.

   "Ya,"

   Jawabnya.

   "namanya Mahendra."

   "Mahendra?"

   Ulang Agni. Dan dada Mahisa Agni ini menjadi berdebar-debar. Ia pernah mendengar nama itu. Mahendra, adalah salah sebuah nama yang pernah disebut-sebut oleh gurunya. Karena itu segera ia menghubungkannya dengan Ken Dedes.

   "Nah Agni,"

   Berkata petani tua itu.

   "bukankah kau sedang menunggu Wiraprana? Sampaikanlah pesan itu kepadanya."

   "Baik. Baik kaki,"

   Sahut Agni terbata-bata. Sedang angan- angannya masih sibuk dengan anak muda yang bernama Mahendra itu. Sepeninggal petani tua itu. Mahisa Agni sibuk berpikir.

   "Apakah keperluan Mahendra dengan Wiraprana?"

   Bertanya Mahisa Agni di dalam hatinya.

   "Ada dua kemungkinan."

   Pertanyaan itu dijawabnya sendiri.

   "Mungkin Mahendra akan memberikan ucapan selamat kepada Wiraprana. Tetapi ada kemungkinan lain. Anak muda itu membawa dendam yang membara di hatinya."

   Namun anak muda yang telah banyak mengenyam berbagai pengalaman itu, mempunyai firasat, bahwa kemungkinan yangterakhirlah yang akan terjadi. Kalau anak-anak muda dari Tumapel itu, bermaksud baik, maka mereka pasti akan datang ke rumah ini.

   "Bagaimanapun juga, Wiraprana harus berhati-hati,"

   Desisnya. Dalam pada itu Wiraprana pun telah turun dari pendapa rumahnya. Dengan senyumnya yang selalu memancar di wajahnya, ia berjalan seenaknya melintasi halaman rumahnya.

   "Apakah kau tidak singgah dahulu,"

   Bertanya Wiraprana. Agni menggeleng. Jawabnya.

   "Nanti, apabila pekerjaan kita sudah selesai."

   "Baiklah,"

   Jawab Wiraprana.

   "marilah kita pergi."

   "Tetapi Wiraprana,"

   Berkata Agni kemudian.

   "seseorang memberikan pesan untukmu. Tiga anak-anak muda dari Tumapel."

   "Dari Tumapel?"

   Bertanya Wiraprana sambil mengangkat alisnya.

   "Apakah keperluannya?"

   "Tak disebutkan,"

   Jawab Mahisa Agni.

   "mereka menunggu di ujung desa."

   Wiraprana berpikir sejenak.

   "Aneh,"

   Gumamnya.

   "Kenalkah kau dengan anak muda yang bernama Mahendra?"

   Bertanya Agni. Wiraprana menggeleng.

   "Mahendra adalah salah seorang yang pernah melamar Ken Dedes pula,"

   Berkata Agni seterusnya.

   "Oh,"

   Desis Wiraprana.

   "lalu apakah keperluannya dengan aku? Bukankah aku tidak mempunyai persoalan dengan anak itu?"

   "Demikianlah Wiraprana,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "tetapi tidak semua orang berpikir seperti itu. Mungkin ia mempunyai tanggapan tersendiri. Karena itu, berhati-hatilah."

   Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Direnunginya malam yang gelap seakan-akan ada yang sedang dicarinya.Kemudian terdengar ia berkata,"

   Baiklah aku menemuinya Agni. Aku tak pernah merasa membuat persoalan dengan siapa pun. Karena itu, di antara aku dan anak muda itu pun tak pernah terdapat persoalan apa-apa."

   Tiba-tiba Mahisa Agni pun teringat, apa yang pernah dilakukan pada malam ia mendengar pengakuan Ken Dedes terhadap emban tua yang ternyata adalah ibunya.

   Karena itu ia menjadi berdebar- debar.

   Tidak mustahil bahwa orang lain pun akan berbuat serupa itu.

   Bahkan diingatnya pula anak muda yang bernama Kuda Sempana.

   Apakah salah seorang dari ketiga anak muda itu Kuda Sempana? "Ah,"

   Bantahnya sendiri.

   "pasti bukan. Kalau demikian anak itu pasti sudah dikenal."

   Karena itu, maka tiba-tiba ia berkata.

   "Wiraprana, aku akan ikut dengan kau."

   Wiraprana mengangkat alisnya. Katanya.

   "Apakah kehadiranmu tidak akan mengganggu pertemuan itu?"

   "Mungkin Wiraprana, namun mungkin pula tidak. Bukankah mereka datang bertiga?"

   Jawab Agni. Wiraprana berpikir sejenak. Kemudian jawabnya.

   "Baiklah. Kita pergi bersama-sama."

   Maka pergilah mereka berdua ke ujung desa. Dengan hati yang dirisaukan oleh berbagai pertanyaan Mahisa Agni berjalan di samping Wiraprana. Namun ia hampir pasti, bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan yang menyenangkan.

   "Apakah sangkamu maksud kedatangan anak-anak muda itu Agni,"

   Bertanya Wiraprana. Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Jauh di relung hatinya terdengar sebuah suara yang sumbang.

   "Biarkanlah Agni. Biarlah Wiraprana menyelesakan masalahnya sendiri. Biarlah ia mengetahui, bahwa seorang istri itu memerlukan perlindungannya. Apakah ia akan mampu melakukan? Apalagi seorang istri seperti Ken Dedesyang telah menggerakkan hampir setiap hati anak-anak muda di lereng Gunung Kawi ini. Biarlah ia belajar untuk tidak mengenyam nangkanya saja, tetapi juga berlumur getahnya. Kalau karena pertemuan ini Wiraprana ditelan oleh bencana, syukurlah. Pintu untukmu terbuka kembali."

   Suara itu terdengar melengking berulang-ulang, meskipun perlahan-lahan. Karena itulah maka wajah Mahisa Agni menjadi tegang. Dan tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya keras-keras sambil bergumam.

   "Tidak, Tidak."

   "Apa yang tidak?"

   Bertanya Wiraprana.

   "Oh?"

   Mahisa Agni tersadar. Jawabnya.

   "Aku sedang berpikir tentang mereka bertiga."

   "Ya. Lalu apakah yang akan mereka lakukan?"

   "Aku tak dapat menebaknya dengan pasti Prana. Tetapi firasatku mengatakan, bahwa kau harus berhati-hati."

   Wiraprana tersenyum.

   "Kita adalah manusia-manusia yang beradab. Yang memiliki tata pergaulan dalam hubungan kita antara manusia. Karena itu seandainya ada persoalan antara aku dan Mahendra itu, maka tidak perlu kita risaukan. Kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya.

   "Apabila setiap orang berpikir seperti kau Prana, aku sangka dunia ini akan lekas mengenyam perdamaian yang dirindukan oleh hampir setiap manusia. Tetapi orang lain ternyata berpendapat lain. Kadang-kadang orang ingin menyelesaikan persoalan tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Seseorang mengulurkan tangan kanannya untuk bersahabat, namun di tangan kirinya digenggamnya senjata sambil berkata, Marilah kita selesaikan persoalan kita dengan baik. Dan marilah kau turuti saja sekehendakku. Dengan demikian tak ada masalah lagi di antara kita."

   Wiraprana menundukkan wajahnya. Seakan-akan ia sedang menghitung jumlah batu-batu yang dilampaui kakinya. Sedangterdengar Mahisa Agni berkata terus.

   "Ternyata Wiraprana, kau pernah bertemu dengan anak muda yang bernama Kuda Sempana."

   Wiraprana menganggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih bergumam di dalam hatinya.

   "Ah. Apapun yang akan dilakukan, apabila aku tak melayaninya, aku sangka tak akan timbul peristiwa yang tak diinginkan."

   Kemudian mereka berdua itu pun saling berdiam diri.

   Mereka berjalan sambil berangan-angan.

   Masing-masing diliputi oleh berbagai pertanyaan yang melingkar-lingkar di dadanya.

   Ketika mereka sampai di ujung desa, hati Mahisa Agni pun menjadi berdebar-debar.

   Ditatapnya jalan yang menjelujur di hadapannya.

   Dan hatinya kemudian berdesir ketika dilihatnya tiga anak muda sedang duduk dengan tenangnya di tanggul parit di tepi jalan.

   Di samping mereka, kuda-kuda mereka terikat pada batang- batang perdu liar yang tumbuh di atas tanggul.

   Tiba-tiba saja Mahisa Agni menggamit, Wiraprana, sehingga mereka berdua itu pun berhenti.

   "Mengapa,"

   Bertanya Wiraprana.

   "Jangan terlampau tergesa-gesa. Tak ada gunanya. Waktumu masih panjang,"

   Jawab Agni.

   Sementara itu, Mahendra pun telah melihat kehadiran mereka.

   Karena itu, maka serentak mereka bertiga berdiri, berjajar tegak dengan kaki renggang.

   Mahisa Agni menarik nafas.

   Sikap itu tidak menyenangkannya.

   Kenapa mereka bertiga segera bersikap demikian, seakan-akan mereka sedang menanti lawan-lawan mereka yang sudah bertahun- tahun dilumuri dendam.

   Karena itu Mahisa Agni berbisik.

   "Wiraprana, sambutan mereka benar-benar tidak menyenangkan. Karena itu sekali lagi, hati- hatilah."Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun hatinya berkata.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa saja yang akan mereka lakukan. Aku harus bersikap baik."

   Selangkah demi selangkah Wiraprana dan Mahisa Agni pun berjalan maju.

   Dan ketiga anak muda itu kini telah berdiri benar- benar di tengah jalan, seakan-akan mereka ingin menutup jalan itu, supaya Wiraprana tidak lewat melampauinya.

   Tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari anak muda itu bertanya.

   "Adakah di antara kalian bernama Wiraprana."

   "Hem,"

   Agni menarik nafas.

   "jarak mereka masih cukup jauh. Kenapa anak muda itu ber-teriak-teriak?"

   Tetapi Wiraprana itu pun menjawab juga.

   "Ya, akulah Wiraprana."

   "Bagus,"

   Sahut suara itu.

   "aku adalah Mahendra. Ternyata kau jantan juga."

   "Oh,"

   Desah Mahisa Agni. Kemudian ia berbisik.

   "Sambutan yang benar-benar menyenangkan."

   Wiraprana menggigit bibirnya. Kemudian gumamnya.

   "Aku tidak peduli, apa yang akan dilakukan . Aku harus menemuinya."

   Namun Mahisa Agni pun sekali lagi menggamitnya.

   Dan ketika mereka berhenti, mereka tiba-tiba terkejut.

   Mahendra telah mulai menggertak dengan gerakan yang mengagumkan.

   Sekali ia meloncat, dan diraihnya sebuah cabang pohon cangkring yang tegak di tepi jalan.

   Dengan satu renggutan, cabang itu patah berderak-derak.

   Kemudian dengan lantangnya ia berkata.

   "Aku telah mendapat senjata, apa senjatamu?"

   Mahisa Agni dan Wiraprana masih tegak di tempatnya. Dada mereka pun menjadi berdebar-debar karenanya. Maka bisik Mahisa Agni.

   "Apakah mereka dapat diajak berbicara?"

   "Apakah sebenarnya yang mereka kehendaki,"

   Gumam Wiraprana."Perkelahian,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "Hem,"

   Wiraprana menarik nafas.

   "Akan aku coba untuk menghindarkannya."

   "Tak mungkin,"

   Jawab Agni.

   "kau lihat sendiri, apa yang telah dilakukannya."

   "Mengagumkan,"

   Desahnya.

   "setan manakah yang telah memberinya kekuatan."

   Sejenak mereka berdiam diri.

   Wiraprana pun menjadi bimbang.

   Kekuatan yang ditunjukkan Mahendra benar-benar mengejutkan.

   Anak muda itu tidak kalah berbahayanya dari Kuda Sempana.

   Tetapi kini ia tidak dapat menggantungkan diri kepada orang lain.

   Ken Dedes adalah tanggung jawabnya.

   Apapun yang terjadi, namun tidak sepantasnya ia bergantung kepada Mahisa Agni seperti pada saat ia di lumpuhkan oleh Kuda Sempana.

   Namun meskipun demikian Wiraprana masih berpikir.

   "Tidakkah aku dapat menemuinya dan berbicara dengan baik?"

   Wiraprana terkejut ketika dengan lantang Mahendra itu berkata.

   "Siapakah di antara kalian yang bernama Wiraprana. Marilah kita berkenalan. Inilah Mahendra yang sudah kau hinakan. Apakah benar-benar kau berhak berbuat demikian."

   Sekali lagi dada Wiraprana berguncang.

   Namun ia tidak dapat berbuat lain daripada menyambutnya.

   Sedang Mahisa Agni masih berdiri seperti patung.

   Dengan melihat kekuatan Mahendra, maka Mahisa Agni segera dapat mengetahuinya, bahwa Mahendra adalah seorang yang luar biasa.

   Bahkan mungkin melampaui Kuda Sempana.

   Namun dalam pada itu, suara di relung hatinya yang jauh, kembali terdengar mengganggunya.

   "Biarkan saja Agni, biarlah."

   Di depan mereka kembali terdengar Mahendra bertanya.

   "Ayo, yang manakah yang bernama Wiraprana?"

   Hampir saja Wiraprana melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu.

   Tetapi ia terkejut bukan kepalang.

   Bahkan iamenjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

   Yang dirasakannya, adalah tangan Mahisa Agni menahannya, kemudian mendorongnya ke samping.

   Kemudian sahabatnya itulah yang melangkah maju sambil menjawab lantang.

   "Inilah Wiraprana."

   "Ha,"

   Sahut Mahendra.

   "ternyata kau benar-benar jantan. Majulah. Kita melihat, apakah benar-benar kau berhak menghinakan Mahendra. Kalau kau berhasrat meniadakan hadirnya Mahendra dalam kehidupan Ken Dedes, maka seharusnya kau berkenalan dengan orang itu. Nah. jangan buang-buang waktu. Apakah senjatamu?"

   "Oh. Apakah aku harus bersenjata? Aku tak tahu, apakah gunanya senjata. Bukankah kita tidak memerlukannya. Mahendra, aku ingin mempersilakan kau datang ke rumahku. Bukankah perkenalan itu menjadi lebih akrab."

   Meskipun Mahisa Agni hampir yakin, bahwa Mahendra tidak dapat diajaknya berbicara, namun ia mencobanya juga, seperti apa yang akan dilakukan oleh Wiraprana, supaya anak itu menyalahkannya kelak.

   Tetapi ternyata, Mahendra yang sejak dari rumahnya sudah dibekali oleh hasrat untuk berkelahi dan memamerkan kelebihannya dari anak-anak muda sebayanya, tak mau mendengarkannya.

   Yang ada di dalam dadanya adalah, memaksa Wiraprana untuk membatalkan niatnya, memetik bunga di kaki Gunung Kawi itu.

   Karena itu, ketika ia mendengar jawaban Mahisa Agni, ia menyahut.

   "Wiraprana, aku datang dari Tumapel untuk melihat, betapa anak Panawijen mampu menjaga kembang di halamannya. Ayo, jangan merengek seperti anak-anak. Aku sudah siap dengan dahan ini."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Wiraprana, seakan-akan berkata.

   "Nah, kau lihat? Orang itu benar- benar tidak dapat diajak berbicara."

   Wiraprana masih tegak mematung. Berbagai perasaan bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia tidak dapat melangkah surut. NamunAgni itu pun telah melangkah pula beberapa langkah maju. Katanya untuk meyakinkan dirinya sendiri dan Wiraprana.

   Mahendra, aku hormati kedatanganmu.

   Seorang yang berhati jantan dan penuh dengan rasa harga diri.

   Namun perkelahian tak akan dapat mengubah hati seseorang.

   Apakah kalau kau memenangkan perkelahian ini dengan tiba-tiba saja hati gadis itu tertarik kepadamu?"

   "Ha,"

   Sahut Mahendra.

   "ternyata aku salah sangka. Aku kira kau adalah seorang laki-laki jantan. Ternyata kau seorang banci yang tak tahu diri. Wiraprana, seorang gadis pun pasti akan dapat menghargai kejantanan. Nilai seseorang juga dapat ditentukan dengan nilai-nilainya sebagai seorang laki-laki."

   "Mahendra,"

   Jawab Agni.

   "nilai-nilai kemanusiaan pasti akan lebih tinggi dari setiap bentuk perbuatan kita. Ingatlah, gadis itu adalah putri seorang pendeta? Apakah ia akan dapat menghargai kekasaran dan kekerasan jiwa, betapa pun dapat dikatakan sebagai sikap kejantanan?"

   "Omong kosong!"

   Bantah Mahendra.

   "kau jangan menggurui aku. Jangan kita bicarakan lagi perasaan orang lain. Marilah kita bicarakan nilai-nilai kita sendiri. Ayo, Wiraprana, katakanlah bahwa kita akan bertaruh. Siapa yang kalah, harus melepaskan niatnya untuk mendapatkan gadis itu."

   Tiba-tiba dada Agni itu seperti terbakar mendengar kata-kata Mahendra, Ken Dedes seakan-akan dianggapnya sebagai benda yang mati, yang hanya dapat dijadikan barang taruhan.

   Dan tiba- tiba pula, Mahisa Agni lupa pada keadaannya.

   Seakan-akan dirinya sendirilah yang kini sedang mempertahankan gadis yang dicintainya itu dari kerakusan hati seorang laki-laki.

   Karena itu, maka gigi Mahisa Agni terkatup rapat, dan matanya memancarkan sinar kemarahan yang membakar jantung.

   Ketika ia melihat Mahendra itu melangkah maju.

   Agni pun maju pula beberapa langkah sambil menggeram.

   "Mahendra. Jangan kau hinakan gadis itu. Ken Dedes bukan sekedar barang taruhan. Nilainya sama dengan nilai nyawaku sendiri."Dada Mahendra berdesir mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Ternyata laki-laki yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar jantan. Dilihatnya Mahisa Agni telah benar-benar bersiap untuk bertempur.

   "Pasti ia akan bertempur mati-matian,"

   Berkata Mahendra di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sudah lama bersiap. Sejak ia berangkat dari Tumapel, telah bulat tekad di dalam dadanya. Bertempur.

   "Apakah yang dapat dilakukan oleh anak-anak desa seperti Wiraprana itu,"

   Pikirnya.

   "Ia hanya memiliki keberanian, tetapi ia tidak akan mampu melihat, bahwa Mahendra adalah seorang anak muda yang tidak saja memiliki kekuatan tubuh, namun memiliki pula pengetahuan yang luas dalam tata perkelahian."

   Maka terdengar sekali lagi Mahendra berkata.

   "Ayo,Wiraprana, mana senjatamu?"

   Agni menggeleng. Sahutnya.

   "Tak ada gunanya senjata bagiku."

   Dada Mahendra menggelegar mendengar jawaban itu. Benar- benar suatu penghinaan. Anak desa Panawijen itu begitu sombongnya sehingga dengan beraninya ia melawannya tanpa senjata. Karena itu Mahendra pun berteriak pula.

   "Baik. Kau takut melihat senjata."

   Dan terkejutlah mereka yang menyaksikan.

   Dahan kayu cangkring itu dengan serta-merta ditekankannya pada lututnya dan patah berderak-derak.

   Kemudian kedua potongan itu pun dilemparkannya jauh-jauh.

   Demikian jauhnya sehingga mereka tidak dapat melihat lagi, di mana kedua potongan kayu itu terjatuh.

   Benda-benda itu seakan-akan terbang dan lenyap ditelan awan yang kelam.

   Wiraprana melihat semuanya itu dengan dada yang berdebar- debar.

   Sebuah pameran kekuatan yang mengerikan.

   Dan kini ia merasakan kebenaran kata-kata Mahisa Agni.

   Laki-laki yang sedang dibakar oleh kekecewaan yang berlebih-lebihan itu tak dapat diajaknya berbicara.Mahendra dan Mahisa Agni itu pun kini telah maju pula beberapa langkah.

   Dengan dada yang bergelora oleh kemarahan yang membakar dada masing-masing, mereka mempersiapkan diri.

   Kedua orang saudara seperguruan Mahendra pun kini telah berdiri berseberangan.

   Mereka memperhatikan keadaan dengan seksama.

   Sedang Wiraprana pun telah berdiri mendekat.

   Seperti tonggak ia tegak di tengah-tengah jalan.

   "Nah,"

   Berkata Mahendra.

   "berjanjilah. Siapakah yang kalah di antara kita, akan membatalkan niatnya."

   "Persetan dengan igauan itu!"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut Agni dengan marah.

   "Kau menolak perjanjian itu?"

   "Sudah aku katakan, Ken Dedes bukan barang taruhan."

   "Bagus, kalau demikian nyawa kita yang kita pertaruhkan."

   "Mahendra!"

   Tiba-tiba terdengar salah seorang saudara seperguruan itu mencegahnya.

   "Jangan!"

   Tetapi Mahendra tidak mendengarnya. Apalagi ketika kemudian Agni pun menjawab.

   "Bagus. Lebih baik nyawa kita, kita pertaruhkan."

   Mahendra telah benar-benar kehilangan pengamatan diri.

   Demikian ia mendengar jawaban Mahisa Agni, segera ia melontarkan diri dengan cepatnya menyerang lawannya.

   Namun Mahisa Agni pun telah bersiap pula.

   Karena itu, dengan tangkasnya pula ia berhasil membebaskan dirinya dari serangan itu.

   Namun Mahendra yang sedang dibakar oleh kemarahannya, segera melepaskan serangan beruntun.

   Geraknya sedemikian cepat dan lincah, dilambari oleh suatu keyakinan, bahwa tulang-tulang lawarnya, anak desa Panawijen yang disangkanya hanya mengenal cangkul dan bajak itu, akan segera dipatahkannya.

   Tetapi Mahendra terkejut.

   Betapa anak desa itu dengan kecepatan yang mengagumkan, selalu berhasil mengelakkanserangan-serangannya.

   Karena itu, Mahendra menjadi semakin marah.

   Dilepaskannya serangan-serangan yang semakin berbahaya, menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh Mahisa Agni.

   Sehingga sesaat kemudian Mahendra itu pun seakan-akan tinggal sebuah bayang-bayang yang melontar melingkar-lingkar dengan cepatnya.

   Tetapi lawannya adalah Mahisa Agni, Seorang anak muda yang hampir sempurna dalam menekuni ilmu yang mengalir dari gurunya, Empu Purwa.

   Karena itu, betapapun juga, Mahisa Agni menghadapinya dengan ketabahan dan ketenangan.

   Lawannya yang melandanya seperti angin pusaran itu tidak berhasil membingungkannya.

   Bahkan, Mahisa Agni semakin lama menjadi semakin tangguh.

   Setangguh seekor banteng muda yang perkasa.

   Demikianlah kedua anak muda itu bertempur semakin lama semakin sengit.

   Mahendra adalah seorang anak muda yang berhati keras dan memiliki harga diri yang berlebih-lebihan.

   Namun setelah ia bertempur beberapa saat, terasa bahwa lawannya, anak desa Panawijen itu bukan sekadar anak-anak yang hanya mampu menggerakkan cangkul saja, tetapi anak itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk melawannya.

   Karena itu, kemarahan Mahendra menjadi semakin menyala.

   "Gila!"

   Umpatnya di dalam hati.

   "anak ini benar-benar melawan dengan kemampuan yang baik."

   Tetapi Mahendra telah bertekad untuk bertempur mati-matian.

   Telah dibulatkannya tekad di dalam hatinya.

   Anak Panawijen itu harus dilumpuhkannya, Apabila terpaksa anak itu terbunuh karenanya, maka beberapa saksi telah mendengar, adalah menjadi persetujuan mereka berdua, bertempur sampai mati.

   Itulah sebabnya Mahendra kemudian mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya, apapun yang akan terjadi dengan lawannya.

   Apakah lawannya itu akan hancur lumat, atau akan luluh sekali pun.Tetapi kedua saudara seperguruan Mahendra itu melihat suatu keanehan pada lawan Mahendra itu.

   Betapapun Mahendra menyerangnya, namun lawannya itu selalu dapat menghindarkan dirinya, dan bahkan semakin lama tampaklah betapa anak Panawijen itu dapat bergerak semakin cepat.

   Mahisa Agni ternyata kemudian tidak membiarkan dirinya dihujani oleh serangan- serangan beruntun.

   Ketika ia telah berhasil melihat, titik-titik kekuatan dan titik-titik kelemahan lawannya, segera ia mulai dengan serangan-serangannya yang membadai.

   Kini keduanya bertempur dengan riuhnya.

   Semakin lama semakin seru.

   Mahendra akhirnya merasa perlu untuk menunjukkan kekuatan-kekuatan tubuhnya, sehingga dengan sengaja ia membenturkan kekuatannya dengan serangan Mahisa Agni yang datang seperti tatit menyambarnya.

   Mahisa Agni, yang sedang menyerang lawannya itu melihat, bahwa Mahendra sama sekali tak berusaha menghindari serangannya.

   Karena itu, segera Mahisa Agni tahu, bahwa anak muda dari Tumapel itu siap melawan serangannya dengan kekuatannya yang penuh.

   Maka Mahisa Agni pun segera memusatkan tenaganya untuk menggempur lawannya.

   Terjadilah kemudian suatu benturan kekuatan yang dahsyat.

   Sedang akibatnya pun mengejutkan pula.

   Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut.

   Dengan susah payah ia mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia tidak terpelanting jatuh.

   Sedang akibat yang dialami oleh Mahendra ternyata lebih berat daripadanya.

   Anak muda itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terbanting di tanggul parit di tepi jalan.

   Ketika Mahendra mencoba untuk melenting berdiri, kaki kirinya terperosok dan tergelincir masuk ke dalam air.

   Sesaat kemudian Mahendra telah tegak berdiri di dalam parit dengan pakaian yang basah kuyup.

   Tubuhnya yang kokoh itu menggigil.

   Bukan karena kedinginan, tetapi karena kemarahan yang meluap di dalam dadanya.Maka terdengarlah anak muda itu menggeram.

   "Dahsyat kau Wiraprana. Namun aku telah berjanji, nyawa kita menjadi taruhan. Nah, marilah kita mengadu keprigelan olah senjata."

   Mahisa Agni tidak segera menjawab.

   Ia maju selangkah ketika dilihatnya Mahendra dengan lincahnya meloncat ke atas tanggul di tepi jalan.

   Tetapi Mahisa Agni terkejut ketika dilihatnya Mahendra menggenggam senjata di tangannya.

   Sebilah keris yang seakan- akan dapat menyala di malam hari.

   Ketika Agni masih berdiam diri, terdengar sekali lagi Mahendra menggeram.

   "Carilah senjata!"

   Mahisa Agni tidak membawa senjata.

   Tetapi menilik nafsu lawannya yang meluap-luap agaknya ia benar-benar harus bertempur mati-matian.

   Belum lagi Mahisa Agni tahu, apa yang dilakukan, tiba-tiba Mahendra meloncat dengan tangkasnya ke arah salah seorang temannya, dan terdengarlah ia berkata lantang.

   "Berikan kerismu!"

   Kawannya terkejut. Sama sekali tak diduganya, Mahendra akan menarik kerisnya dengan serta-merta. Karena itu ia tidak dapat mencegahnya, sehingga dengan demikian di kedua sisi tangan Mahendra tergenggam dua bilah keris.

   "Wiraprana,"

   Berkata Mahendra.

   "pilihlah, manakah yang kau sukai?"

   Mahisa Agni menggeleng. Katanya.

   "Aku tidak pandai memilih."

   "Jangan merajuk,"

   Sahut Mahendra.

   "sebelum kau terbunuh, aku beri kesempatan kau berbuat yang sama. Supaya perkelahian ini adil dan jujur."

   Mahisa Agni memandang kedua senjata itu dengan seksama. Keduanya adalah senjata-senjata yang baik. Karena itu maka dijawabnya.

   "Kalau kau ingin bertempur dengan senjata, Mahendra. Berikan kepadaku, mana yang tidak kau sukai."Kemarahan Mahendra menjadi semakin memuncak. Dengan wajah yang menyala ia berkata.

   "Bagus. Inilah!"

   Dengan baiknya Mahendra melemparkan keris di tangan kirinya kepada Mahisa Agni.

   Senjata itu meluncur cepat, dan dengan baiknya pula Mahisa Agni berhasil menangkapnya.

   Demikian tangan Agni menggenggam keris itu, demikian ia mendengar Mahendra berkata lantang.

   "Kita tentukan nasib kita sebelum fajar."

   Mahisa Agni tidak menjawab.

   Dipandangnya lawannya dengan tajamnya.

   Dilihatnya setiap geraknya dan didengarnya setiap kata- katanya.

   Anak itu benar-benar anak yang memiliki keteguhan hati, namun sayang, agaknya ia masih terlalu muda.

   Terlalu muda dalam menanggapi setiap persoalan meskipun umurnya sebaya dengan umurnya sendiri.

   Mahisa Agni melihat Mahendra telah siap untuk menyerangnya.

   Karena itu ia pun segera bersiap pula.

   Sesaat kemudian dilihatnya anak muda dari Tumapel itu meluncur menyerangnya, langsung mengarah ke dadanya.

   Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelakkan serangan itu.

   Tangannya sendiri pun mampu mempermainkan segala jenis senjata.

   Maka keris di tangannya itu pun menjadi sangat berbahaya karenanya.

   Kembali perkelahian itu menjadi sengit.

   Kira mereka sudah sampai ke puncak ilmu masing-masing.

   Mereka menyerang dalam setiap kesempatan.

   Setiap gerak masing-masing benar-benar diperhitungkan, sehingga setiap gerak tangan mereka seakan-akan mereka menaburkan biji kematian.

   Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam membenam dalam tambah banyak.

   Namun mereka berdua yang sedang bertempur itu masih saja bertempur dengan sepenuh tenaga.

   Tetapi semakin lama, betapapun Mahendra memiliki kekuatan melampaui kekuatan tangan sesamanya serta ketangkasannya olah senjata, namun kini ia bertemu dengan anak muda yang sama sekali tak diduganya.

   Anak muda yang disangkanya hanya mampumengayunkan cangkul itu ternyata memiliki ketangguhan dan kelincahan yang luar biasa.

   Demikianlah Mahendra harus melihat kenyataan.

   Keris di tangan Mahisa Agni itu seakan-akan mematuknya dari segenap penjuru.

   Bahkan seakan-akan menjadi bersayap dan menyambar- nyambarnya dengan dahsyatnya.

   Mahisa Agni tidak saja menyerang dengan tangan kanannya, namun keris itu seperti meloncat-loncat dari satu tangan ke tangan lainnya dan dengan cepatnya pula meluncur ke perut lawannya.

   Dengan demikian maka mau tidak mau Mahendra lebih banyak bertahan daripada menyerang.

   Setiap kali ia terpaksa melangkah surut, menghindari sentuhan keris kawannya di tangan Mahisa Agni.

   Karena ia pun menyadarinya, sentuhan keris itu pasti akan berakibat maut, seperti seandainya ia berhasil menyentuh tubuh lawannya.

   Namun karena keduanya harus berhati-hati dan menghindari setiap sentuhan, maka perkelahian itu seakan-akan tidak akan berakhir.

   Seperti anak-anak yang asyik dengan permainan yang menyenangkan sehingga mereka lupa segala-galanya.

   Tetapi semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa perkelahian itu akan menuju ke akhirnya.

   Ternyata semakin lama Mahendra semakin terdesak.

   Mahisa Agni seolah-olah menyimpan nafas rangkap di dadanya, sehingga ketika lawannya telah mulai diganggu oleh pernafasannya, maka Agni pun masih tetap segar sesegar ketika mereka baru mulai.

   Mahendra yang mencoba untuk bertahan mati-matian itu, benar- benar telah memeras tenaganya, sehingga segenap kekuatannya telah dicurahkannya.

   Dengan demikian, maka tenaganya itu pun lebih dahulu surut daripada Mahisa Agni.

   Meskipun demikian, Mahendra yang keras hati itu masih saja bertempur mati-matian.

   Ia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya.

   Dan akan diakhirinya perkelahian ini dengan jantan.

   Tetapi Mahisa Agni pun bertempur dengan seluruh kemampuannya.

   Sehingga anak muda itu benar-benar dapatbergerak secepat sikatan menyambar belalang namun mampu pula bertahan setangguh batu karang.

   Maka akhirnya ternyatalah bahwa Mahisa Agni mampu menguasai lawannya.

   Dengan suatu tusukan rendah, Agni memaksa lawannya untuk menghindar ke samping, namun Agni kemudian memutar kerisnya dan menyambar lambung.

   Mahendra melihat sambaran yang cepat itu.

   Dihindarinya keris itu dengan memutar tubuhnya, dan ketika Agni belum sempat menarik tangannya, Mahendra berusaha menggurat pergelangan tangan Agni dengan ujung kerisnya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi Agni dapat bergerak melampaui lawannya, sehingga tangannya dapat dibebaskannya, bahwa dengan tak terduga-duga, tangan kiri Agni dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan Mahendra.

   Sambaran tangan itu demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahendra tidak sempat mengelakkannya.

   Terdengarlah sebuah seruan tertahan dan dalam pada itu semua mata yang mengikuti perkelahian itu melihat dengan dada yang gemuruh.

   Keris Mahendra terlepas dari tangannya.

   Mahendra sendiri terkejut bukan buatan, sehingga ia melangkah surut.

   Namun Agni segera meloncat dan ujung kerisnya telah melekat di dada lawannya.

   Kini keduanya tegak dengan tegangnya.

   Mahendra menunggu apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni.

   Sedang saudara-saudara seperguruannya pun tegak seperti patung.

   Demikian pula Wiraprana.

   Perasaannya telah bergelora dan seakan-akan menjadi sedemikian kacaunya, sehingga ia tidak mampu untuk melakukan sesuatu apapun.

   Mahisa Agni berdiri tegak dengan keris di dalam genggamannya.

   Ujungnya masih mengarah ke dada lawannya.

   "Apa yang kau tunggu,"

   Geram Mahendra.

   Meskipun ia tidak bergerak, namun matanya menyalakan kemarahan yang membakar dadanya.

   Tetapi Mahisa Agni tetap tidak bergerak.

   Ketika ia memandang wajah Mahendra yang membara itu, seakan-akan dilihatnyalahwajahnya sendiri pada saat ia mendengar pengakuan Ken Dedes kepada ibunya.

   "Hem,"

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Perasaan itu sangat mengganggunya.

   Karena itu maka kemarahannya pun menjadi semakin susut.

   Ia akan dapat melakukan apa saja yang dikehendaki atas anak muda yang bernama Mahendra itu.

   Tetapi apakah akan dilakukannya? Sesaat Mahisa Agni terbenam dalam kebimbangan.

   Dan sesaat itu dilihat oleh Mahendra.

   Mahendra adalah seorang anak muda yang keras hati.

   Karena itu, ketika dilihatnya wajah Agni yang ragu, Mahendra dapat mempergunakannya dengan sebaik-baiknya.

   Dengan tidak disangka-sangka oleh Mahisa Agni.

   Mahendra dengan cepatnya merendahkan dirinya, dan dengan satu tendangan yang keras pada pergelangan tangan Agni, maka Mahendra telah berhasil melemparkan keris di tangan lawannya.

   Mahisa Agni terkejut bukan main.

   Ia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh Mahendra.

   Karena itu maka ia tidak kuasa untuk mempertahankan kerisnya.

   Dilihatnya keris itu melambung tinggi dan kemudian jatuh beberapa langkah daripadanya.

   Tetapi Agni tidak sempat berbuat lain, karena Mahendra telah mulai menyerangnya beruntun dengan kakinya.

   Untunglah bahwa Mahisa Agni adalah seorang anak muda yang terlatih matang.

   Dengan demikian, meskipun dengan lontaran yang panjang ia berhasil membebaskan dirinya dari serangan Mahendra yang mengalir seperti banjir bandang.

   Mahisa Agni menjadi semakin terkejut pada saat ia mendengar salah seorang kawan Mahendra itu berkata nyaring.

   "Mahendra, inilah senjatamu!"

   Mahisa Agni masih sempat melihat anak muda itu meloncat dengan tangkasnya memungut keris Mahendra yang terlepas, kemudian dilontarkannya kepada Mahendra.

   Dada Mahisa Agni berdesir melihat kecurangan itu.

   Tetapi ia dikejutkan pula olehkawan Mahendra yang seorang lagi.

   Anak muda itu pun meloncat dengan lincahnya, lebih lincah dari yang lain.

   Tangannya dengan cepatnya menyambar keris yang sedang meluncur ke arah Mahendra itu.

   Ketika keris itu sudah ditangkapnya, terdengar ia berkata.

   "Jangan Kebo Ijo!"

   Semuanya terkejut melihat peristiwa-peristiwa yang berturut- turut itu.

   Mahisa Agni, Mahendra dan anak muda yang disebutnya Kebo Ijo dan Wiraprana.

   Anak muda yang menyambar keris itu berdiri tegak di antara mereka sambil memandang berkeliling.

   Katanya.

   "Jangan menodai nama perguruan kami."

   "Bukankah itu keris Mahendra sendiri,"

   Bantah Kebo Ijo.

   "Keris itu sudah terlepas dari tangannya. Biarlah ia memungut kerisnya sendiri apabila mampu."

   Mahendra memandang saudara seperguruannya itu dengan penuh pertanyaan. Apakah sudah tidak ada rasa kesetiakawanan lagi di antara mereka. Maka katanya.

   "Apakah salahnya ia menolong aku?"

   "Tidak adil,"

   Sahut anak muda itu.

   "akulah yang tertua di antara kalian. Aku tidak rela melihat kecurangan itu. Meskipun aku bersedih karena Mahendra tidak dapat memenangkan perkelahian ini, namun aku akan lebih bersedih lagi, apabila kalian berbuat curang."

   Mahendra tidak menjawab dan Kebo Ijo itu pun menundukkan wajahnya. Kemudian terdengar anak muda itu berkata kembali.

   "Mahendra kau kalah."

   Mendengar kata-kata kakak seperguruannya, yang seakan-akan merupakan keputusan tentang kekalahannya itu, wajah Mahendra menjadi merah membara. Terdengar giginya gemeretak dan matanya seakan-akan memancarkan api. Maka jawabnya.

   "Kakang, aku masih hidup. Kekalahan bagiku hanya ditandai dengan kematian."

   Kakak seperguruannya itu menarik alisnya, katanya.

   "Kau benar- benar seorang anak muda yang berani Mahendra, yang takmengenal takut meskipun menghadapi kematian sekali pun. Namun keberanianmu itu belum sempurna. Kau masih memiliki ketakutan."

   "Tidak!"

   Sahut Mahendra.

   "Aku tidak takut apapun yang terjadi. Sudah aku katakan, mati pun aku tidak takut. Apalagi? Apakah yang lebih jauh dari mati itu?"

   Kakak seperguruannya menarik nafas. Katanya.

   "Mahendra, kau masih takut melihat kenyataan."

   Mahendra tersentak mendengar jawaban itu. Dipandanginya wajah kakak seperguruannya dengan tajamnya, namun ketika kakak seperguruannya itu memandang langsung ke biji matanya, maka Mahendra pun menundukkan wajahnya.

   "Mahendra,"

   Berkata kakaknya itu pula.

   "seorang yang jantan tidak perlu membunuh dirinya dalam perkelahian. Seorang yang berjiwa besar harus dapat melihat kenyataan. Dan kenyataan yang terjadi sekarang, kau kalah. Apakah yang lebih jantan dari melihat kenyataan itu? Adakah yang lebih besar dari mengakui kekalahan? Mahendra, kaudapat bertempur mati-matian, bahkan sampai tetes darahmu yang terakhir. Namun dalam persoalan yang berbeda. Persoalan di mana hakmu dilanggar oleh sesama. Tetapi sekarang kau menghadapi persoalan yang lain. Hakmu dan hak Wiraprana itu sama jauhnya. Bahkan secara jujur harus kauakui, bahwa hak Wiraprana untuk berkelahi lebih besar dari padamu."

   Mahendra tidak menjawab. Wajahnya yang membara itu pun menjadi semakin tunduk. Namun hatinya masih juga bergelora. Sedang Kebo Ijo tidak begitu senang mendengar kata-kata kakak tertuanya itu. Katanya.

   "Kakang, Mahendra datang lebih dahulu kepada gadis itu. Apakah bukan haknya untuk mempertahankannya. Bukankah dengan demikian Wiraprana telah merampas masa depannya?"

   "Bukan salah Wiraprana,"

   Sahut kakak seperguruannya itu.

   "apakah Mahendra datang yang pertama kepada gadis itu. Kalau ada orang lain yang lebih dahulu, apakah Mahendra tidak melanggar haknya pula?"Kebo Ijo terdiam. Namun usianya yang muda itu masih belum dapat mengerti kata-kata kakak seperguruannya. Bahkan dengan agak memaksa ia kemudian berkata.

   "Perkelahian ini belum selesai. Wiraprana datang berdua. Biarlah kami berdua melawannya."

   "Bagus,"

   Sambut Mahendra.

   Kakak seperguruannya ternyata seorang yang berpandangan tajam.

   Segera ia mengetahui, bahwa kawan anak muda yang disangkanya bernama Wiraprana itu tidak memiliki kemampuan berkelahi seperti Kebo Ijo dan Mahendra.

   Karena itu maka sekali lagi ia menyesal atas sikap adik-adik seperguruannya itu.

   Maka katanya.

   "Tidak ada gunanya. Kawan Wiraprana itu tak mempunyai sangkut paut dengan perkelahian ini."

   "Ada,"

   Sahut Kebo Ijo.

   "ia datang bersama Wiraprana, seperti aku datang bersama Mahendra. Meskipun tak ada persoalan apapun dengan gadis itu, biarlah kita melihat, apakah perguruan kami tidak mampu melawan anak-anak Panawijen yang sombong itu."

   Dada Wiraprana pun berdebar-debar pula.

   Telah dilihatnya, betapa Mahendra mampu bertempur seperti seekor harimau lapar.

   Maka saudara seperguruannya itu pun pasti tidak terpaut jauh.

   Apabila ia harus melawannya, maka apakah yang dapat dilakukan? Namun Wiraprana tidak takut menghadapi apapun, meskipun ia sadar, bahwa pada serangan yang pertama, pasti ia sudah tidak akan dapat bangkit kembali.

   Tetapi Wiraprana itu terkejut mendengar jawaban saudara seperguruan Mahendra.

   Bukan saja Wiraprana, tetap.

   Mahisa Agni, dan bahkan Mahendra dan Kebo Ijo sendiri.

   Katanya.

   "Kebo Ijo, kalau kau akan memaksakan perkelahian, karena hanya kau ingin berkelahi, maka baiklah kita hadapkan kalian berdua dengan Wiraprana berdua. Tetapi Wiraprana berdua dengan aku sendiri."

   "Kakang?"

   Potong Kebo Ijo.

   "Apakah katamu itu?"

   "Aku di pihak Wiraprana,"

   Sahut arak muda itu.

   "biarkan kawan Wiraprana menjadi saksi."Kebo Ijo dan Mahendra terdiam. Betapa ia melihat kakak seperguruannya itu benar-benar marah kepada mereka. Karena itu maka mereka pun menundukkan wajah-wajah mereka. Dalam pada itu dada Mahisa Agni pun bergelora melihat sikap yang mengagumkan itu. Sikap yang benar-benar jantan. Tidak saja jantan dalam menghadapi bahaya apapun namun kejantanan dalam menghadapi kebenaran. Diam-diam Mahisa Agni bergumam di dalam hatinya.

   "Sebenarnyalah lebih mudah menghadapi kematian daripada menghadapi kebenaran."

   Sesaat mereka dicengkam kesepian. Kesepian yang tegang. Namun tiba-tiba terdengar kakak seperguruan Mahendra itu berkata.

   "Marilah kita pulang! Persoalanmu sudah selesai Mahendra."

   Mahendra dan Kebo Ijo saling berpandangan.

   Namun mereka tidak berkata apapun.

   Per lahan-lahan mereka memungut keris yang masih tergeletak di tanah, dan kemudian berjalan ke kuda-kuda mereka, dan kakak seperguruan Mahendra itu pun berkata kepada Mahisa Agni.

   "Selamat tinggal. Mudah-mudahan kau berbahagia. Kembang di kaki gunung Kawi itu telah mendapatkan juru taman yang tangguh dan berhati jantan. Selamat."

   Mahisa Agni melihat anak muda itu pun kemudian berjalan meninggalkannya.

   Ketika mereka bertiga meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan lenyap ditelan gelap malam, maka gemuruhlah dada Mahisa Agni.

   Pesan kakak seperguruan Mahendra itu menghantam dadanya melampaui tangan Mahendra.

   Kini ia sadar, bahwa apa yang dilakukan itu, bukanlah untuk dirinya sendiri.

   Ia telah mempertahankan Ken Dedes dengan bertaruh nyawa.

   Tetapi nama yang dipergunakannya adalah Wiraprana.

   Ya, Wiraprana.

   Tiba-tiba wajah Mahisa Agni pun terkulai dengan lemahnya.

   Tetapi tiba-tiba Mahisa Agni terkejut mendengar tegur Wiraprana.

   "Agni, sungguh mengagumkan."Perlahan-lahan Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya wajah Wiraprana yang tegang memandang jauh ke dalam gelap, ke arah anak-anak muda dari Tumapel itu lenyap. Sesaat kemudian Wiraprana itu menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam.

   "Bukan main. Aku menjadi bertanya-tanya di dalam hati, betapa kecilnya Wiraprana berada di antara kau dan anak-anak itu."

   "Semuanya sudah lampau. jangan kau pikirkan lagi, Prana,"

   Jawab Agni.

   "Masa-masa berbahaya telah lewat. Apakah masih ada di antara mereka yang akan datang pula seperti Mahendra? Aku sangka tidak. Dan mudah-mudahan sebenarnya tidak."

   "Agni,"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Perlahan-lahan terdengar Wiraprana berkata, namun terasa memancar dari sudut hatinya yang paling dalam.

   "telah dua kali kau menyelamatkan nyawaku."

   "Jangan kau sebut-sebut itu Prana. Adalah menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan hubunganmu dengan adikku itu,"

   Jawab Agni. Wiraprana tidak menjawab. Matanya yang selalu riang, kini tampak sayu.

   "Marilah kita pulang, Prana. Lupakan semuanya,"

   Ajak Agni.

   Wiraprana tidak menjawab.

   Tetapi ia melangkah perlahan-lahan di samping Agni.

   Mereka berjalan pulang ke rumah Ki Buyut Panawijen.

   Malam yang sudah semakin malam itu ditandai oleh kokok ayam jantan bersahut-sahutan.

   Angin yang dingin mengalir perlahan menggerakkan daun-daun padi yang basah oleh embun.

   Di kejauhan terdengar lamat-lamat bunyi kentongan beruntun.

   "Tengah malam,"

   Gumam Mahisa Agni.

   Wiraprana mengangkat wajahnya.

   Dilihatnya bintang-bintang di langit berhamburan seakan-akan biji-biji mutiara yang ditaburkan di atas permadani yang biru gelap.

   Bulan tua masih tampak bertengger di ujung gunung.

   Cahayanya yang suram memancar kekuning-kuningan mewarnai dedaunan yang hijau.Ketika mereka hampir memasuki desa Panawijen, tiba-tiba Wiraprana berhenti.

   Dengan pandangan yang suram ditatapnya wajah Mahisa Agni.

   Kemudian terdengar ia berkata lirih.

   "Agni. Adakah aku berhak atas gadis itu?"

   Mahisa Agni terkejut. Katanya.

   "Apa yang sedang kaupikirkan Wiraprana? Persoalanmu sudah selesai. Jangan membuat persoalan- persoalan baru."

   Wiraprana menundukkan wajahnya. Dan tiba-tiba ia berkata.

   "Agni, bukankah gadis itu bukan adikmu."

   Dada Agni pun menjadi berdebar-debar karenanya. Dan didengarnya Wiraprana meneruskan.

   "Agni. Tidakkah pernah timbul di dalam hatimu untuk mengubah hubunganmu dengan gadis itu? Tidak sebagai kakak beradik seperti sekarang ini?"

   "Prana!"

   Potong Agni. Namun terasa betapa nafasnya menekan jantungnya. Katanya kemudian.

   "Jangan mempersulit keadaanmu. Jangan berpikir tentang sesuatu yang tak pernah ada. Prana, aku adalah kakaknya. Meskipun aku bukan kakak yang dilahirkan dari kandungan seorang ibu yang sama, namun demikianlah keadaan kami sekarang. Berapa tahun aku tinggal di rumah itu sebagai seorang anak yatim piatu, di bawah asuhan Empu Purwa yang baik hati."

   "Dijadikannya aku anak laki-lakinya yang tunggal dan dipersaudarakannya aku dengan Ken Dedes. Nah, Wiraprana. Apakah dengan demikian Ken Dedes itu bukan adikku? Adakah dengan demikian akan dapat timbul di dalam hatiku untuk memutuskan ikatan persaudaraan itu menjadi ikatan yang lain?"

   Agni menekankan kata demi kata untuk meyakinkan kebenaran pendapatnya itu.

   Namun sebenarnya, kata-kata itu lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri.

   Dicobanya untuk menekan hatinya yang bergolak dengan kata-katanya itu.

   Wiraprana menundukkan wajahnya dalam-dalam.

   Namun ia tidak bertanya-tanya lagi.

   Hanya nafas mereka berdualah yang terdengar di antara gemeresik daun-daun ditiup angin,"Marilah kita pulang, Prana,"

   Ajak Agni.

   Wiraprana mengangguk, dan kembali mereka berjalan memasuki jalan yang gelap oleh rimbunnya daun-daun di atas mereka.

   Hanya kadang-kadang saja mereka masih melihat bulan dan bintang- bintang di antara sela-sela dedaunan.

   Tak seorang pun penduduk Panawijen yang tahu, apakah yang pernah terjadi dengan Wiraprana dan Mahisa Agni.

   Adalah kebetulan bahwa pada malam itu tak seorang pun yang pergi ke sawahnya.

   Karena itu, maka Wiraprana pun lambat laun berhasil menghilangkan kenangan pahit itu.

   Meskipun Wiraprana sama sekali bukan seorang pengecut namun, apakah yang dapat dilakukan di antara orang-orang berilmu seperti Mahisa Agni dan Mahendra.

   Karena itu, maka timbullah keinginannya untuk setidak-tidaknya dapat menambah ilmunya.

   Mungkin pada suatu saat akan berguna.

   Tetapi dalam pada itu selalu diingatnya pula kata-kata kakak seperguruan Mahendra, bahwa seseorang akan dapat berjuang sampai tetes darah yang penghabisan, namun untuk mempertahankan haknya yang dilanggar oleh sesama.

   Dan berjanjilah ia di dalam dirinya, bahwa ilmu yang kelak akan dimilikinya, bukanlah alat untuk melanggar hak orang lain.

   Ketika maksudnya itu disampaikannya kepada Mahisa Agni, Mahisa Agni pun menjadi gembira.

   "Bagus,"

   Katanya.

   "kita akan berlatih setiap malam di bendungan."

   "Kau menjadi guruku,"

   Berkata Wiraprana. Agni menggeleng.

   "Tidak. Aku tidak berhak menjadi guru sebelum guruku mengizinkannya. Kita hanya dapat berlatih bersama. Itu pun kalau guru memperkenankan."

   Demikianlah mereka berjanji untuk melakukan latihan-latihan itu, namun Mahisa Agni telah memesan kepada sahabatnya, bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu yang tidak perlu diberitahukannya kepada siapa pun juga.Ketika Mahisa.

   Agni berhasrat untuk menghadap gurunya, untuk menyampaikan maksud Wiraprana, itu tiba-tiba ditemuinya Ken Dedes datang kepadanya.

   "Kakang,"

   Berkata gadis itu.

   "Ayah memanggilmu. Sekarang!"

   "Oh. Apakah ada sesuatu yang perlu?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   "Aku tidak tahu. Baru saja seorang tamu meninggalkan sanggar. Sahabat ayah. Lalu Ayah memanggilmu."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

   "Siapakah tamu itu?"

   Ken Dedes menggeleng.

   "Entahlah. Sahabat ayah."

   Mahisa Agni menjadi ragu-ragu.

   Siapakah sahabat gurunya itu? Ia menjadi cemas, apakah seseorang telah datang dan menuntut atas kekalahan Mahendra oleh seorang yang disangkanya bernama Wiraprana, namun yang sebenarnya adalah Mahisa Agni.

   Mau tidak mau Agni pun melihat kesalahan di dalam dirinya.

   Kakak seperguruan Mahendra tidak mau melihat seseorang membantu adik seperguruannya itu, bahkan saudara mereka pula.

   Namun apakah yang dilakukannya? Jauh lebih banyak dari membantu.

   Bahkan ialah yang bertempur melawan Mahendra.

   Apakah sikap itu dapat disebut sikap yang jantan.

   Namun Mahisa Agni mempunyai pertimbangan lain.

   Ia telah bersedia jawaban yang akan diberikannya kepada gurunya yang penting baginya bukan siapakah yang harus bertempur, namun bagaimana ia mempertahankan hak Ken Dedes dalam menentukan pilihannya sendiri.

   Jangankan Mahendra, bahkan suara hatinya sendiri pun telah ditindasnya.

   Mahisa Agni sadar ketika ia mendengar suara Ken Dedes.

   "Kakang, Ayah menunggumu!"

   "Oh, baiklah,"

   Sahut Mahisa Agni cepat-cepat.

   Ketika Ken Dedes telah meninggalkannya, kembali Mahisa Agni menjadi berdebar-debar.

   Selangkah demi selangkah ia pergi kepada gurunya yang masih berada di bagian depan dari sanggarnya.

   Detak jantungnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia melihat gurunyaduduk menantinya.

   Wajahnya yang bening tampaknya seakan-akan sedang disaput oleh mendung yang tebal.

   Suram.

   Ketika ia melihat Mahisa Agni, Empu Purwa itu pun tersenyum.

   Namun terasa oleh Agni, senyum yang lain dari senyumnya sehari- hari.

   "Duduklah Agni,"

   Gurunya itu mempersilakan. Agni pun kemudian duduk bersila di hadapannya. Wajahnya yang tegang ditundukkannya dalam-dalam.

   "Udara terlalu panas,"

   Gumam gurunya.

   "Ya, Empu,"

   Sahut Agni.

   "Agaknya mendung di langit akan menjadi semakin tebal."

   "Mungkin Empu. Awan mengalir dari selatan."

   Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sesaat ia memandang ke halaman.

   Bayangan mendung di langit tampak mengalir dihanyutkan angin.

   Sesaat sinar matahari menjadi buram karena awan yang kelam membayangi wajahnya.

   Dan tiba-tiba Empu Purwa itu berkata.

   "Aku baru saja menerima seorang tamu Agni. Sahabatku dari Tumapel."

   Mahisa Agni tersentak. Apakah dugaannya tenang peristiwa beberapa hari yang lalu itu benar? Dan didengarnya gurunya itu berkata pula.

   "Sahabat yang baik. Ia tahu apa yang benar dan apa yang salah."

   Mahisa Agni menarik nafas. Tetapi hatinya masih tegang. Apalagi ketika Empu Purwa itu meneruskan.

   "Tamuku adalah ayah Mahendra, Agni."

   Darah Mahisa Agni serasa berhenti mengalir.

   Apakah yang telah dikatakan oleh tamu itu tentang dirinya.

   Dicobanya mencuri pandang atas wajah gurunya.

   Ia mencoba untuk mendapat kesan daripadanya.

   Apakah gurunya sedang marah, kecewa atau sedih.

   Tetapi ia tidak dapat menemukan kesan apapun dari wajah itu.Yang dilihatnya bahwa wajah itu suram, sesuram langit yang sedang dilapisi awan itu.

   Ketika gurunya itu berkata pula, Mahisa Agni kembali menundukkan wajahnya.

   "Agni,"

   Berkata Empu Purwa pula. Nadanya rendah, namun jelas kata demi kata.

   "tamuku itu bercerita tentang peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu di ujung desa kita ini."

   Wajah Mahisa Agni pun menjadi semakin tunduk. Dan didengarnya gurunya meneruskan.

   "Agni, apakah Wiraprana bertengkar dengan Mahendra?"

   Mulut Mahisa Agni serasa terkunci. Karena itu untuk beberapa lama ia tidak menjawab, sehingga gurunya berkata pula.

   "Aku sangka kau tahu atau setidak-tidaknya pernah mendengar peristiwa itu karena hubunganmu yang erat dengan Wiraprana."

   Mahisa Agni masih tenggelam dalam kebingungan dan kebimbangan. Hanya tiba-tiba saja mulutnya berkata.

   "Aku mendengar guru."

   "Nah, kalau demikian peristiwa itu benar-benar pernah terjadi. Menurut ayahnya, Mahendra menjadi sakit hati, karena lamarannya ditolak. Bahkan kemudian ia berhasrat untuk mengadakan semacam sayembara tanding. Begitu?"

   "Ya guru,"

   Jawab Mahisa Agni tergagap. Namun ia berusaha untuk menutupi kesalahan yang mungkin akan dilimpahkan kepadanya. Katanya.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Namun apakah Mahendra berhak mengadakan sayembara semacam itu?"

   "Tentu tidak, Agni,"

   Jawab gurunya.

   "Tetapi tantangan itu diterima oleh Wiraprana."

   "Ya,"

   Jawab Agni.

   "Dan mereka pun berkelahi."

   "Ya."

   "Menurut ayah Mahendra, Mahendra dapat dikalahkan.""Ya."

   "Oleh Wiraprana?"

   Mahisa Agni terdiam. Gejolak di dalam dadanya serasa melanda jantungnya, sehingga akan meledak. Ia tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun sehingga gurunya berkata.

   "Agni, Mahendra adalah seorang anak yang tanggon. Aku telah mengenal anak itu, sebab ayahnya adalah sahabatku. Aku tidak menyangka bahwa Wiraprana dapat mengalahkannya."

   Empu Purwa berhenti sejenak. Kemudian orang tua itu berkata pula.

   "Menurut ayah Mahendra, Wiraprana itu datang berdua. Apakah kau ikut serta?"

   Kini Agni tidak dapat menyimpan sesuatu lagi di dalam dadanya yang hampir pecah itu. Karena itu maka seperti bendungan yang pecah meledaklah jawabnya.

   "Ampun guru. Wiraprana sama sekali tak berkelahi melawan Mahendra. Tetapi aku terpaksa melawannya, meskipun aku memakai nama Wiraprana."

   Empu Purwa menarik nafas dalam-dalam.

   Sambil mengangguk- angguk ditatapnya muridnya itu dengan mata yang sayu.

   Sebenarnya ia telah menduga bahwa demikianlah yang terjadi.

   Namun ketika ia mendengar pengakuan itu, hatinya masih juga terharu.

   Terharu karena ia tahu, apa sebenarnya yang bergolak di dalam dada muridnya.

   Perasaan apakah yang telah melandanya terhadap anak gadisnya.

   Mahisa Agni sama sekali tak berani mengangkat wajahnya.

   Ia duduk tumungkul memandang ibu jari kakinya.

   "Kenapa kau Agni?"

   Tiba-tiba terdengar gurunya bertanya. Mahisa Agni tidak dapat menjawab pertanyaan itu. jawaban yang telah disusunnya tiba-tiba seperti hilang dari ingatannya. Sehingga yang terdengar adalah kata-kata gurunya pula.

   "Mahendra adalah anak yang tangkas. Menurut ayahnya, ia agak keras kepala. Apakah dengan demikian kau tidak mempertaruhkan nyawamu untuk itu?"Mahisa Agni tidak tahu apa yang tersimpan di hati gurunya. Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawabnya. Maka setelah sesaat ia berjuang, maka jawabnya.

   "Ya guru. Terpaksa aku harus menghadapinya."

   "Ya, kenapa? Kenapa kau mempertaruhkan nyawamu untuk itu?"

   Mahisa Agni mencoba menenangkan hatinya. Kemudian jawabnya.

   "Aku tidak dapat melihat, kemungkinan lain guru. Sebab mereka mempertaruhkan Ken Dedes dalam perkelahian itu. Kalau Wiraprana kalah, akibatnya akan tidak baik bagi Ken Dedes."

   Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ditatapnya muridnya itu dengan penuh kekaguman di dalam hatinya.

   Ia sama sekali tidak membiarkan Wiraprana dilumpuhkan untuk mendapat kesempatan menjadi pahlawan.

   Dengan demikian maka kemungkinan bagi dirinya sendiri akan menjadi lebih baik.

   Sejenak kemudian Empu Purwa itu pun berkata kepada Mahisa Agni.

   "Mahisa Agni, jangan cemas. Ayah Mahendra yang baik itu datang untuk minta maaf kepadaku atas kelakuan anaknya."

   Mahisa Agni terkejut, sehingga tak disengajanya ia mengangkat wajahnya. Dilihatnya Empu Purwa itu tersenyum. Meskipun senyum yang hambar. Dan orang tua itu meneruskannya.

   "Ia sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya. Malahan ia mengharap, bahwa dengan demikian anaknya akan melihat, bahwa di dunia ini ada orang-orang lain yang tak dapat dikalahkannya. Mudah-mudahan ia menyadari keadaannya."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Ternyata dugaannya keliru.

   Ayah Mahendra sama sekali tidak menuntut atas kekalahan anaknya, bahkan ia telah minta maaf atas perbuatan Mahendra.

   Sekali lagi dada Mahisa Agni berdesir.

   Seandainya, dirinya sendiri yang telah melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Mahendra itu, siapakah yang akan minta maaf untuknya? Tiba-tiba diingatnya ibunya yang tua.

   Yang selama ini seakan-akan telah hilang dari hidupnya.

   Maka bersyukurlah Mahisa Agni di dalam hatinya, bahwa yang Maha Agung telah mempertemukannya dengan ibunya, danmembekalinya dengan ketabahan dan kesabaran menghadapi cobaan dalam usianya yang masih muda itu.

   Dengan demikian maka telah pula ditemuinya suatu pelajaran yang bermanfaat bagi hidupnya kelak.

   Ternyata Mahendra itu telah mengagumkan baginya.

   Ternyata kekaguman seorang laki-laki tidak saja ditujukan kepada mereka yang dengan berani memainkan pedangnya dan bahkan yang telah berhasil membunuh lawan-lawannya dengan sikap-sikap yang disangkanya jantan.

   Namun sikap ayah Mahendra itu pun tak kalah jantannya.

   Memang kejantanan seseorang tidak dapat diukur dengan senjata, tetapi diukur dengan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.

   Ruangan itu sejenak menjadi sepi.

   Di langit awan masih mengalir lambat.

   Dan mendung pun menjadi semakin tebal di langit.

   "Agni,"

   Berkata Empu Purwa kemudian.

   "ternyata kau sekali lagi telah menyelamatkan anakku dari kehancuran. Kau telah berjuang dan meskipun tidak secara langsung, ikut serta membina masa depannya. Mahisa Agni, masa depan gadisku satu-satunya itu adalah masa depanku sebagai seorang ayah. Karena itu, betapa aku berbesar hati atas sikapmu itu. Aku tidak menilai, apakah dengan demikian perkelahian itu wajar, namun aku menilai dari segi lain. Aku melihat pengorbananmu yang tanpa pamrih."

   Mahisa Agni mendengar pujian itu dengan hati yang berdebar- debar. Tiba-tiba terasa betapa dadanya menjadi sesak. Ia pun terharu karenanya. Ternyata gurunya tidak memarahinya, bahkan dengan tulus telah menyatakan kebesaran hatinya atas sikapnya.

   "Karena itu Agni,"

   Berkata gurunya pula.

   "aku harus memberimu pertanda dari terima kasihku. Sebagai seorang ayah, aku menggantungkan masa depanku kepada Ken Dedes, namun sebagai seorang guru dalam olah kanuragan jaya kesantikan, aku menggantungkan harapanku kepadamu. Dengan demikian Agni, maka sudah sampai saatnya kini aku memberikan kesempurnaan ilmu kepadamu. Kesempurnaan yang aku miliki. Kesempurnaan manusia yang selalu tidak sempurna. Kau mengerti maksudku itu?"Mahisa Agni masih menundukkan wajahnya. Betapa hatinya menjadi bergejolak mendengar kata-kata gurunya. Sebagai seorang murid, maka kesempurnaan ilmu gurunya itu selalu didambanya. Kini, setelah dengan tekun ia mesu diri dalam pengabdian kepada gurunya itu, gurunya berkata bahwa kesempurnaan ilmunya itu akan diberikannya kepadanya. Meskipun kesempurnaan seorang manusia yang selalu tidak sempurna, yang selalu masih jauh daripada kesempurnaan yang sejati. Namun apa yang akan diterimanya itu akan dapat menjadi bekal yang tak ternilai bagi hidupnya. Namun tiba-tiba Agni menjadi bimbang. Kalau kesempurnaan ilmu gurunya itu telah diterimanya, apakah yang akan dilakukannya. Apakah ia akan pergi ke segenap penjuru negeri. Berkelahi dengan orang-orang sakti untuk menunjukkan kemampuannya? Apakah ia akan menjadi seorang prajurit yang akan selalu memenangkan setiap pertempuran? Dan apakah kesaktian itu kelak tidak akan membawanya ke dalam lembah ketakaburan. Ia bersyukur bahwa ia menyadarinya. Ia bersyukur bahwa pertanyaan-pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Sebab dengan demikian, ia akan selalu ingat pula kepada jawabnya. Kemudian didengarnya gurunya itu berkata pula kepadanya.

   "Agni. Aku pernah memberimu sebuah pusaka. Namun pusaka itu sama sekali bukan alat pembunuh. Pusaka itu tak akan dapat kau pergunakan untuk menyobek jantung lawan. Dan kini aku akan memberimu sebuah senjata yang lain. Kelengkapan dari pusaka yang aneh itu. Namun pusaka itu tidak akan dapat berdiri sendiri. Trisula itu bermanfaat bagimu, meskipun tak ada rangkapannya. Namun rangkapannya itu sama sekali tak berarti tanpa trisula yang kecil itu."

   Mahisa Agni mendengarkan kata-kata gurunya itu dengan seksama. Disadarinya kemudian, bahwa pusaka yang diberikan kepadanya itu belum sempurna.Kemudian gurunya melanjutkan.

   "Tetapi Agni. Ketahuilah, bahwa pusaka yang aku janjikan itu kini belum berada di padepokan Panawijen."

   Mahisa Agni menengadahkan wajahnya. Terbayanglah suatu pertanyaan pada cahaya matanya. Karena itu Empu Purwa menjelaskannya.

   "Agni. Pusaka yang aku katakan itu, masih harus dicari. Aku hanya dapat menunjukkan kepadamu, tempat dan bentuknya. Semoga kau akan dapat menemukannya."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sadarlah ia kini, bahwa gurunya memberinya kepercayaan untuk mencari sebuah pusaka yang tak ternilai harganya.

   Lebih-lebih lagi, apabila ia dapat menemukan, maka pusaka itu akan dimilikinya.

   Tetapi Mahisa Agni masih berdiam diri.

   Maka gurunya itu meneruskan.

   "Apabila kau berhasil Agni, maka kedua pusaka itu akan menjadi pasangan pusaka yang tak ternilai. Pusaka itu akan menjadi sedemikian saktinya, sehingga orang yang mempergunakannya akan kalis dari kekalahan. Siapa pun lawannya. Kau mengerti?"

   Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam. Hatinya tergetar mendengar keterangan gurunya itu. Apabila ia memiliki kedua pusaka itu bersama-sama, maka ia akan menjadi manusia yang pilih tanding.

   "Hem,"

   Mahisa Agni bergumam. Kemudian katanya di dalam hatinya.

   "Suatu anugerah yang tak terduga. Dengan pusaka-pusaka itu, maka banyak persoalan yang dapat aku atasi. Tetapi persoalan- persoalan apa? Pusaka-pusaka itu adalah alat untuk bertempur dan berkelahi. Haruskah aku mengatasi semuanya dengan perkelahian dan pertempuran?"

   Namun kemudian ditemukannya jawabnya.

   "Suatu ketika aku harus mempergunakan pusaka-pusaka itu. Tetapi untuk persoalan- persoalan yang imbang. Memang kadang-kadang ada hal-hal yang tak dapat diatasi dengan cara lain. Mudah-mudahan aku dapat membedakannya."Kemudian Mahisa Agni mendengar gurunya berkata pula.

   "Agni. Aku ingin mendengar jawabanmu. Adakah kau bersedia mencari pusaka-pusaka itu?"

   Mahisa Agni mengangguk kembali, jawabnya dengan penuh kesungguhan hati.

   "Tentu guru. Aku bersedia apapun yang Empu perintahkan. Jangankan sebuah pusaka untukku sendiri. Apapun akan aku lakukan dengan keikhlasan."

   Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya muridnya dengan tajam. Kemudian katanya.

   "Mahisa Agni. Kau harus menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mungkin sama sekati tidak menyenangkan bagimu."

   Mahisa Agni mengerutkan keningnya.

   Dengan demikian berarti bahwa ia harus meninggalkan Panawijen.

   Meninggalkan kampung halaman untuk waktu yang lama.

   Meninggalkan rumah gurunya dan ibunya.

   Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya.

   Namun adalah menjadi kewajibannya untuk melakukan perintah- perintah gurunya.

   Apalagi perintah untuk kepentingannya sendiri.

   Karena itu, maka jawabnya.

   "Apapun yang harus aku lakukan guru, bagiku tak ada yang lebih menggairahkan daripada menjalankannya dengan senang hati."

   "Bagus,"

   Sahut gurunya.

   "kalau kau temukan rangkapan pusakamu itu, kau akan menjadi seorang laki-laki yang sakti. Sukar untuk mencari tanding. Kau akan dapat melakukan semua kehendakmu. Siapa pun yang menghalangimu, maka itu tak akan banyak berarti. Karena itu, pusaka itu harus kau temukan. Apapun rintangan yang akan kau temui."

   Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya.

   "Akan aku coba untuk melakukannya."

   "Nah Agni,"

   Berkata gurunya.

   "dengarlah. Perjalanan yang harus kau tempuh adalah cukup jauh. Kau harus melingkari Gunung Semeru. Bukankah kau pernah pergi ke kaki gunung itu dari arah timur bersama aku?"Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Perjalanan itu pernah ditempuhnya tiga tahun yang lalu. Perjalanan yang berat di antara belukar dan lereng-lereng gunung. Hanya kadang-kadang saja ditemuinya padukuhan-padukuhan kecil atau kelompok- kelompok penduduk yang tidak menetap, yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain untuk mencari tanah yang mungkin diusahakan oleh mereka. Kini ia harus menempuh perjalanan itu kembali. Mahisa Agni kemudian menekurkan kepalanya. Dicobanya untuk mengingat kembali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Hutan-hutan dan lereng-lereng terjal. Kemudian diingatnya pula, apa yang pernah dilihatnya pada kaki Gunung Semeru itu, sebagai pertanda yang akan dapat dipergunakannya untuk menemukan jalan kembali.

   "Agni,"

   Terdengar gurunya itu menyambung kata-katanya.

   "mungkin kau akan dapat mengingatnya kembali jalan-jalan yang pernah kau tempuh. Kalau tidak Agni, maka kau dapat mencari jalan lain. Namun kau dapat menandai daerah yang pernah kita kunjungi di kaki Gunung Semeru itu. Kau pernah melihat sebuah rawa yang luas bukan?"

   Mahisa Agni mengangguk.

   "Kau melihat batu karang di tengah rawa-rawa itu?"

   "Ya, Guru,"

   Jawab Agni.

   "Agni,"

   Berkata gurunya.

   "aku harap rawa-rawa itu masih ada sekarang. Aku mengharap bahwa batu karang itu pun masih dapat kau temukan. Nah. Apabila batu karang itu kau temukan, maka kau akan menempuh jalan yang pendek. Kau dapat menyusurinya ke barat dan kau akan sampai pada sebuah dinding yang terjal, dinding yang gundul. Kau ingat?"

   "Ya, Guru,"

   Jawab Agni.

   "Agni,"

   Nada suara gurunya menjadi semakin rendah.

   "Ketahuilah bahwa di dalam gua, yang pernah kita kunjungi itu, yang terdapat ditengah-tengah dinding yang gundul, terdapat benda yang sangat berharga itu."

   Mahisa Agni menarik nafas dalam sekali.

   Pada saat itu ia hanya dapat melihat gua itu.

   Tetapi ia tidak dapat mencapainya.

   Ia pada waktu itu tidak sanggup untuk mendaki tebing yang gundul dan curam.

   Dada Mahisa Agni itu pun menjadi semakin berdebar-debar.

   Pada tiga tahun yang lampau, ia hanya dapat melihat gurunya itu mendaki tebing yang sengat curam dan berbahaya.

   Dan ditinggalkannya ia sendiri menanti di bawahnya.

   Dan sekarang ia sendiri harus mendaki tebing itu, untuk mencapai gua di tengah lereng gundul di kaki Gunung Semeru.

   "Suatu perjalanan yang berat,"

   Desisnya di dalam hati. Gurunya yang melihat wajah Mahisa Agni itu menjadi suram segera berkata pula.

   "Agni, kesempatan ini akan menjadi satu ujian bagimu. Ketika kau berhasil Agni, maka hidupmu di kemudian hari akan penuh ditandai dengan kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan. Kau akan menjadi seorang jantan yang namamu akan ditakuti oleh setiap orang yang mendengarnya. Sedang apa yang akan kau lakukan kemudian tergantung kepada keadaanmu dan tujuan hidupmu. Sebab sesudah taraf yang terakhir ini, maka aku tidak akan dapat ikut serta menarik garis yang melingkari hidupmu. Kau adalah seorang murid yang sudah dewasa, yang seharusnya sudah lepas dari induknya. Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri."

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mahisa Agni masih menekurkan kepalanya.

   Dengan penuh kecermatan ia mengamati persoalannya.

   Namun tak ada yang dapat dilakukan selain melakukan tugas itu.

   Meskipun demikian, sempat juga ia merenungkan kata-kata gurunya itu, dan yang terakhir, Hitam putih namamu tergantung padamu sendiri.

   Tetapi terasa pula di dada Mahisa Agni sesuatu yang agak lain dari kebiasaan gurunya.

   Gurunya yang penuh dengan pengabdian dan kebaktian diri kepada sumber hidupnya itu tiba-tibamemberinya beberapa petunjuk yang seakan-akan hanya diwarnai oleh tata lahiriahnya saja.

   Ia akan menjadi seorang yang sakti.

   Seorang yang hampir tak akan dapat dikalahkan.

   Seorang yang hidupnya akan ditandai oleh kemenangan-kemenangan dalam setiap persoalan.

   Mahisa Agni tidak mengerti seluruhnya apa yang dimaksudkan oleh gurunya.

   Apakah hanya itu? Namun ia tidak berani bertanya.

   Mungkin ada sesuatu yang perlu direnungkannya.

   "Pada suatu ketika aku akan menemukan jawabnya,"

   Pikirnya. Yang kemudian dikatakan oleh gurunya adalah.

   "Mahisa Agni. Sejak hari ini kau harus mempersiapkan dirimu. Lahir batin untuk menempuh perjalaran itu. Kamu harus menguasai setiap persoalan yang akan kau temui di sepanjang perjalananmu. Amati persoalan itu dengan seksama. Baru kemudian kau cari pemecahannya."

   Mahisa Agni mengangguk dengan khidmatnya. Jawabnya.

   "Ya, Guru."

   "Mungkin kau harus mengalami gangguan lahir batin. Nah. kemudian tergantung kepadamu, karena kau akan pergi seorang diri. Ingatlah, perjalanan itu akan merupakan ujian bagimu. Kalau kau berhasil memecahkan persoalan-persoalan yang diberikan oleh pengujimu sesuai dengan maksudnya, maka pasti kau akan lulus dalam ujian itu. Namun kalau tidak, maka kesempatan itu tidak akan terulang kembali."

   "Aku akan melakukan dengan kesungguhan hatiku,"

   Jawab Agni.

   "Mudahkan yang Maha Agung memberikan tuntunan kepadaku."

   "Mudah-mudahan,"

   Sahut gurunya.

   Terdengar suara menjadi serak.

   Dan ketika Agni mencoba melihat wajah gurunya, ia terkejut.

   Wajah itu sedemikian sayunya, dan bahkan ketika terpandang olehnya mata gurunya itu, bergolaklah perasaan Mahisa Agni.

   Dilihatnya meskipun hanya sekejap, bahwa sepasang mata gurunya itu menjadi basah.

   "Apakah yang sebenarnya terjadi?"

   Pertanyaan itu timbul di dalam hatinya. Bahkan timbul pula prasangka di dalam dadanya,"Apakah sebenarnya Guru marah kepadaku? Apakah sebenarnya yang diminta oleh ayah Mahendra?"

   Dan tiba-tiba saja mengianglah di sudut hatinya.

   "Apakah aku sedang dibuang oleh guruku?"

   Tidak, dicobanya untuk mengatasi perasaannya yang sedang bergelora dengan riuhnya di dalam dirinya. Timbullah bermacam- macam prasangka. Namun akhirnya ia mendapatkan suatu kesimpulan.

   "Guru akan memberikan hadiah itu kepadaku. Adalah wajar kalau aku harus mengambilnya sendiri. Kalau guru akan menghukumku atas permintaan ayah Mahendra, maka guru pasti akan berterus terang kepadaku. Sebab aku adalah muridnya sejak kecilku."

   Mahisa Agni tersadar dari renungannya ketika gurunya berkata dengan nada yang dalam.

   "Agni. Masih ada beberapa pesanku untukmu. Apabila sudah kau temukan rawa-rawa itu dan kau temukan batu karang di dalamnya, maka untuk seterusnya kau harus menempuh jalan di malam hari sampai kau capai dinding yang gundul itu. Kemudian baru kau akan mendakinya di siang hari."

   Syarat itu bertambah memberatinya. Karena itu maka debar jantung Agni pun bertambah-tambah pula. Meskipun demikian jawabnya.

   "Ya. Guru, akan aku lakukan semuanya."

   "Bagus Agni. Sekarang beristirahatlah. Kau tentukan sendiri kapan kau akan berangkat,"

   Kata gurunya pula.

   Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.

   kemudian ia mohon diri untuk beristirahat.

   Ia sudah tidak ingat lagi akan permintaan Wiraprana untuk memberinya beberapa petunjuk tata bela diri.

   Mahisa Agni langsung pergi ke biliknya.

   Perlahan-lahan ia berbaring di pembaringannya.

   Ditatapnya kayu-kayu yang malang melintang di atap rumahnya.

   Dan akhirnya ia menarik nafas panjang-panjang.

   "Ujian,"

   Desisnya. Dan diulanginya.

   "ujian yang berat."Dicobanya untuk membayangkan apa yang kira-kira akan dialaminya dalam perjalanan itu. Binatang buas. Kelompok- kelompok orang jahat yang akan dapat ditemuinya di perjalanannya. Berjuang melawan alam yang garang. Kalau itu semua dapat diatasinya, maka akan didapatnya kesaktian.

   "Aku berguru dalam olah kanuragan untuk mendapatkan kesaktian,"

   Gumamnya.

   "dengan kesaktian banyak yang dapat aku lakukan. Aku akan dapat mencapai dan menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan kesaktian-kesaktian yang akan memaksakan kemungkaran dan kejahatan."

   "Hem,"

   Agni menarik nafas. Katanya kepala dirinya sendiri.

   "Tetapi kau harus ingat, hitam putih namamu ditentukan oleh perbuatanmu."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, namun terdengar kata-kata di dalam dirinya.

   "Apapun yang akan aku lakukan, kalau aku orang yang maha sakti, adakah yang akan merintanginya?"

   Wajah Mahisa Agni pun kemudian menjadi tegang. Kata-kata itu kembali terngiang di hatinya.

   "Aku akan menjadi seorang yang maha sakti. Betapapun hitam namaku kelak, namun apa peduliku. Tak seorang akan berani menghalangi aku. Seandainya aku ingin membunuh Wiraprana, Mahendra, bahkan siapa saja, siapakah yang dapat menuntut aku? Kekuasaan Tumapel tak akan berarti bagiku, juga kekuasaan Kediri. Semua akan hancur oleh kesaktianku."

   Dada Mahisa Agni menjadi bergemuruh karenanya.

   Kesaktian, kekuatan berarti kekuasaan.

   Kalau kesaktian dan kekuatan ini tak terkalahkan, maka kekuasaannya pun tak akan tergoyahkan.

   Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang masuk ke dalam biliknya.

   Ketika ia berpaling, maka dilihatnya ibunya.

   Seorang emban yang sudah tua.

   Agni pun kemudian bangkit dan duduk di tepi pembaringannya."Adakah kau menghadap gurumu Agni?"

   Bertanya ibunya sambil duduk di sisinya.

   "Ya, Ibu,"

   Jawab Agni.

   "Kau menghadap seperti biasa, ataukah ada sesuatu yang penting?"

   "Ada sesuatu yang penting. Bahkan penting sekali bagi masa depanku."

   "Apakah itu?"

   "Sekali lagi guru memberi aku hadiah."

   "Hadiah?"

   Ibunya mengerutkan keningnya. Mahisa Agni mengangguk. Lalu diceritakannya apa yang baru saja didengarnya untuk mengambil rangkapan pusaka di kaki Gunung Semeru.

   "Oh,"

   Ibunya menarik nafas panjang.

   "Apakah gunanya pusaka itu?"

   Agnilah yang kemudian menjadi terkejut. Ditatapnya wajah ibunya yang telah mulai berkeriput oleh garis-garis umur. Maka katanya.

   "Bukankah pusaka itu idaman setiap lelaki? Aku berguru pada Empu Purwa karena aku ingin mendapatkan kesaktian sebagai bekal hidupku kelak. Kini aku akan mendapat pusaka rangkapan trisula itu, dan aku akan menjadi seseorang laki-laki yang pilih tanding. Bukankah itu satu kebahagiaan bagiku. Apa yang aku kehendaki akan berlaku."

   "Itu saja?"

   Bertanya ibunya pendek. Kembali Agni terkejut. Ia tidak tahu maksud ibunya. Sehingga terdengar pertanyaannya.

   "Apakah yang ibu maksudkan?"

   "Kau berguru kepada Empu Purwa hanya untuk mendapat kesaktian, sehingga semua kehendakmu akan berlaku?"

   "Apa lagi?""Oh,"

   Ibunya mengeluh. Dan Mahisa Agni menjadi bingung.

   "Agni,"

   Berkata ibunya.

   "adakah Empu Purwa tidak memberimu pesan, apa yang harus kau lakukan setelah kau mendapat pusaka- pusaka itu?"

   Mahisa Agni menggeleng. Tetapi kemudian ia berkata.

   Empu Purwa hanya sekedar memberi aku peringatan, Hitam putih namaku tergantung atas perbuatanku."

   Ibunya mengangguk-angguk. Namun ia bergumam.

   "Nah, kata- kata itu pendek saja. Cobalah mengerti artinya."

   Mahisa Agni mengangkat keningnya. Katanya.

   "Tetapi kalau aku seorang yang tak ada bandingnya, apakah artinya pesan itu? Apapun kata orang tentang diriku, tentang namaku, namun mereka tak akan dapat berbuat apapun atasku. Sebab aku tak akan terkalahkan."

   Sekali lagi ibunya terkejut. Dengan wajah yang tegang perempuan tua itu bertanya.

   "Agni. Apakah sebenarnya yang dikatakan oleh gurumu? Hanya itu saja? Mengambil pusaka supaya kau menjadi sakti tanpa tanding? Kemudian membiarkan kau menentukan namamu sendiri?"

   Mahisa Agni mengangguk.

   "Aneh?"

   Gumam ibunya.

   "Kenapa aneh?"

   Bertanya Mahisa Agni.

   Namun pertanyaan itu memang sudah tersimpan di dalam dirinya, sejak ia mendengar gurunya memberinya beberapa petunjuk mengenai letak tempat- tempat yang harus ditujunya.

   Perempuan tua itu pun merasakan sesuatu yang agak berbeda dari kebiasaan Empu Purwa.

   Kali ini Empu itu hanya memandang persoalannya dari sudut lahiriah.

   Pusaka dan kesaktian.

   Apakah itu sudah cukup? "Mahisa Agni,"

   Berkata ibunya kemudian, Perlahan-lahan, namun penuh dengan tekanan sebagai seorang ibu.

   "aku senangmendengar kau akan menerima pusaka rangkapan dan kau akan menjadi seorang yang sakti. Namun sebagai seorang ibu, aku pun mencemaskan nasibmu. Perjalanan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Namun yang lebih mencemaskan aku adalah, bagaimanakah kau sesudah memiliki pusaka-pusaka itu, Agni."

   "Kenapa?"

   "Kalau kau salah langkah, maka kau akan terjerumus ke dalam satu dunia yang penuh dengan pertentangan dan permusuhan"

   "Bukankah kalau aku menjadi seorang yang tak terkalahkan, aku tak usah cemas, meskipun seandainya orang di seluruh dunia ini memusuhi aku?"

   "Benar Agni. Tetapi apakah kau sangka bahwa kau tak perlu mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatanmu itu?"

   "Bertanggung jawab kepada siapa? Akuwu Tumapel? Maharaja Kediri atau siapa? Mereka tak akan mampu mengalahkan aku meskipun semua laskarnya dikerahkan."

   Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya keragu- raguan memancar di mata anaknya. Karena itu ia menjadi gembira. Katanya.

   "Kau tidak yakin akan kata-katamu Agni. Aku menjadi berbahagia karenanya. Karena masih ada suara lain di dalam hatimu Nah, Agni. Aku ingin mempertegas suara hatimu yang lain itu. Kau tidak akan bertanggung jawab kepada Akuwu Tumapel atau kepada Maharaja Kertajaya. Mereka adalah manusia-manusia biasa. Kalau kau menjadi sakti tanpa tanding dan melampaui kesaktian-kesaktian mereka, malahan, kau akan dapat mengusir mereka dari kedudukannya, dan kesaktianmu benar-benar dapat membentuk kekuasaan melampaui kekuasaan mereka itu."

   "Lalu kepada siapa?"

   "Kekuasaan yang tak dapat dilampaui oleh kekuasaan apapun, Yang Maha Agung."

   "Oh,"

   Mahisa Agni mengeluh.Dan wajahnya pun kemudian ditundukkannya dalam-dalam.

   Ia tidak pernah melupakan Yang Maha Agung, yang telah menjadikannya.

   bahkan seluruh alam dan isinya.

   Namun kadang- kadang gelora jiwa jantannya sering mengganggunya.

   Kerinduannya pada kesempurnaan ilmu kanuragan kadang-kadang telah membawanya ke alam yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan.

   Kadang-kadang direka-rekanya juga permusuhan- permusuhan yang akan terjadi.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau tidak ada permusuhan-permusuhan, kapankah aku dapat menunjukkan kesaktianku dan kapankah orang lain akan mengagumi aku?"

   Namun setiap kali ia berhasil menyadari kesalahannya, meskipun baru di dalam angan-angan. Maka kemudian didengarnya ibunya berkata pula.

   "Agni, sebenarnyalah bahwa kesaktian dan kekuatan yang dipancarkannya, kemenangan dalam setiap pertentangan dan permusuhan, bukanlah kekuasaan. Apabila demikian, maka hidup manusia ini tidak akan lebih baik dari kehidupan binatang-binatang di dalam rimba. Harimau yang kuat, dan memiliki senjata yang kuat, pula pada tubuhnya, kuku, gigi dan taring-taringnya akan dapat memaksakan kehendaknya kepada binatang-binatang yang lemah. Kijang, rusa dan sebagainya, yang hanya memiliki kesempatan untuk melarikan diri apabila mampu. Bahkan sampai merampas nyawanya sekali pun. Namun binatang tidak memiliki kesadaran akan adanya dan diadakannya. Karena itulah maka binatang tidak memiliki sifat- sifatnya yang langgeng. Hidup sesudah hidup ini. Di mana akan diperhitungkan semua perbuatan dan tingkah laku manusia. Itulah sebabnya manusia mengenal nilai-nilai hidupnya. Nilai-nilai hidup kemanusiaan. Nah, Agni. Apakah sekarang artinya kesaktian dan kekuasaan duniawi ini?"

   Wajah Agni menjadi semakin tunduk.

   Kata-kata ibunya itu mengetuk-ngetuk dadanya.

   Sudah sering kali ia mendengar nasihat- nasihat gurunya tentang hidupnya dan hidup di masa-masalanggeng.

   Namun ketika ibunya sendiri yang mengucapkannya berasa seakan-akan meresap sampai ke tulang sumsumnya.

   "Agni,"

   Berkata ibunya.

   "aku hidup di padepokan ini telah bertahun-tahun. Karena itu aku telah sering kali mendengar Empu Purwa mengatakannya itu semua, meskipun tidak kepadaku. Mungkin kepada anaknya, atau kepada muridnya, kau. Atau kadang-kadang aku mendengarnya diri balik dinding apabila ada beberapa orang tamu, sahabat-sahabat Empu Purwa yang kadang- kadang mengadakan sarasehan."

   "Karena itu apa yang aku katakan, mungkin telah kaudengar langsung dari gurumu. Namun aku adalah ibumu. Umurku telah berlipat dari umurmu. Karena itu aku ingin mengatakannya kembali kepadamu. Aku sangka umur mudamu kadang-kadang masih mengganggumu."

   Agni tidak menjawab. Namun kepalanya masih tunduk. Diangguk-anggukkannya kepalanya perlahan-lahan dan dengan penuh minat ibunya berkata pula.

   "Karena itu Anakku. Kesaktian baru bermanfaat apabila ia dipergunakan untuk menegakkan nilai- nilai kemanusiaan itu sendiri. Kalau ada kekuasaan di muka bumi ini, kekuasaan manusia, maka ia harus dilambari atas nilai-nilai itu pula, nilai-nilai hidup bersama yang ditentukan bersama pula dalam pergaulan hidup yang memberikan kebahagiaan bersama. Nah, terhadap kekuasaan yang demikian itulah kesaktian wajib diamalkan untuk menegakkannya. Bukan untuk merampasnya."

   Ibunya berhenti sejenak. Ditatapnya anak laki-lakinya yang bertubuh kokoh kuat dengan jalur-jalur ototnya menjalar di seluruh permukaan kulitnya. Kemudian terdengar kembali perempuan itu berkata.

   "Nah, Agni. Pergilah ke kaki Gunung Semeru. Usahakan supaya perintah gurumu dapat kau penuhi. Dan sadarilah apa yang akan kau perbuat kelak sesudah pusaka-pusaka itu berada di tanganmu."

   "Baik, Ibu,"

   Jawab Mahisa Agni lirih, namun sampai ke dasar hatinya.Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian sambil berdiri ia berkata.

   "Kalau sampai saatnya kau pergi anakku, pergilah dengan tekad yang bulat. Dengan janji di dalam hati, bahwa apa yang kau capai semata-mata untuk tujuan yang baik, maka Yang Maha Agung akan selalu memberkahi."

   "Baik, Ibu,"

   Sahut Mahisa Agni sambil mengangguk-angguk.

   Ia pun kemudian berdiri pula dan melepaskan ibunya pergi dari mulut pintu biliknya.

   Kata-kata ibunya itu merupakan penegasan dari segenap perasaan-perasaan yang bergolak di dalam dadanya.

   Dan ia bersyukur karenanya.

   Maka kemudian dibulatkannya tekad di dalam dadanya.

   "Aku akan pergi ke Gunung Semeru."

   Kepada Wiraprana, Mahisa Agni terpaksa membatalkan janjinya untuk sementara, katanya.

   "Prana, besok kalau aku kembali dari perantauan ini, aku berjanji akan memenuhi permintaan itu. Bukankah aku menjadi bergembira pula dengan hasratmu itu. Tetapi sayang aku terpaksa menundanya."

   Wiraprana pun menjadi kecewa karenanya. Tetapi ia menyadari bahwa pasti ada sesuatu yang penting dalam perjalanan yang akan ditempuh oleh sahabatnya itu.

   "Mudah-mudahan kau lekas kembali Agni. Apakah perjalanan itu jauh?"

   Agni menggeleng.

   "Tidak. Tidak begitu jauh."

   Wiraprana memandang wajah Agni dengan penuh pertanyaan.

   Tetapi pertanyaan itu tak diucapkannya.

   Ia sadar, bahwa bukan menjadi haknya untuk mengetahui segala persoalan sahabatnya itu.

   Namun kepergian itu pasti akan memerlukan waktu yang cukup panjang sehingga dengan demikian, Panawijen akan terasa sepi baginya.

   Meskipun banyak anak-anak muda yang lain, tetapi di samping Mahisa Agni,Wiraprana merasa tenang dan sejuk.

   "Ah,"

   Katanya di dalam hati.

   "aku harus dapat menyejukkan hatiku sendiri. Kelak kalau aku sudah meyakini diriku sendirisesudah Mahisa Agni kembali, maka aku akan tegak di atas kemampuan sendiri."

   Setelah sampai saatnya Mahisa Agni merasa dirinya siap untuk berangkat menempuh perjalanan itu, maka sekali lagi ia menghadap gurunya.

   Diharapkannya gurunya akan memberinya pesan-pesan terakhir yang bermanfaat bagi perjalanannya lahir dan batin.

   Namun Mahisa Agni menjadi kecewa.

   Gurunya tidak memberinya pesan- pesan baru kepadanya, selain bentuk dari benda yang dicarinya.

   Mahisa Agni mendengarkan setiap kata-kata gurunya dengan tekun, supaya ia kelak tidak keliru.

   Setelah ia menempuh perjalanan yang sulit itu ia tidak ingin menemukan benda yang sama sekali bukan benda yang dikehendakinya.

   "Agni,"

   Berkata gurunya.

   "benda itu tampaknya memang tidak berharga sama sekali. Bentuknya tidak lebih dari sebatang akar wregu. Namun akar itu berwarna putih. Panjangnya kurang lebih hanya dua cengkang. Benda itu terbalut kain berwarna merah muda bertepi putih."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Betapa ia menjadi heran.

   Sebatang akar wregu berwarna putih dan sudah dibalut dengan kain.

   Siapakah yang meletakkannya di sana? Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, tetapi Empu Purwa dapat merasakan perasaan itu.

   Maka katanya.

   "Tak seorang pun yang tahu, siapakah yang meletakkan benda itu di sana. Dan mungkin pula tak seorang pun yang tahu, bahwa ada benda itu di sana. Aku mengetahuinya dari sebuah mimpi. Dan aku pernah membuktikannya melihat sendiri benda itu beberapa tahun yang lampau. Namun pada saat itu aku belum dapat mengambilnya."

   Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ingin ia bertanya kenapa pada saat itu gurunya belum dapat mengambilnya. Tetapi ia tidak berani.

   "Ah. Pasti ada sebab-sebab yang penting,"

   Katanya di dalam hati."Agni,"

   Berkata gurunya pula. Nadanya menjadi semakin dalam.

   "Ingat! Apabila kau telah menemukan batu karang itu, kau harus menempuh perjalananmu di malam hari. Ada banyak sebabnya. Yang terpenting, perjalananmu tidak boleh dilihat oleh seorang pun. Meskipun hanya oleh seorang pencari kayu sekali pun. Namun aku sangka daerah itu tak pernah dikunjungi orang."

   "Ya, Guru,"

   Jawab Agni.

   "akan aku penuhi semua perintah."

   "Bagus,"

   Sahut Empu Purwa sambil mengangguk-anggukkan kepala.

   "mudah-mudahan kau berhasil."

   "Pangestu Guru untukku,"

   Pinta Mahisa Agni. Empu Purwa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah pada wajahnya yang suram, sepasang matanya yang sayu. Setelah ia berdiam diri sejenak, maka katanya.

   "Agni, bawalah obat penawar racun ini. Mungkin kau aku bertemu dengan ular-ular berbisa, atau serangga yang tak kalah tajam bisanya. Sebuah sengatan sudah cukup untuk membunuhmu dalam waktu sekejap."

   Diberikannya oleh Empu Purwa sebuah tabung kecil. Ketika tabung itu dibuka dilihatnya di dalamnya beberapa gelintir ramuan obat.

   "Agni,"

   Berkata gurunya.

   "aku membuat param itu dari akar-akar dan beberapa jenis racun. Kalau kau akan mempergunakannya, cairkanlah param itu dengan air. Kemudian gosokkanlah pada seluruh tubuhmu. Atau apabila kau telah terlanjur tergigit ular atau terkena racun apapun, gosokkanlah obat itu di lukamu. Tetapi kalau racun itu masuk ke dalam tubuhmu melalui mulutmu Agni, maka pakailah ramuan yang lain."

   Empu Purwa itu berhenti sejenak. Sebuah tabung yang lain diberikannya pula kepada Mahisa Agni. Di dalam tabung itu pun terdapat beberapa butiran ramuan obat-obatan. Namun jauh lebih kecil dari butiran-butiran obat yang pertama.

   "Ingat Agni,"

   Berkata gurunya.

   "Jangan sampai keliru! Kalau kau keliru mempergunakan, maka akibatnya akan sebaliknya. Obat yangpertama hanya boleh kau gosokkan di tubuhmu, sedang obat yang kecil itu, harus kau telan."

   "Ya, Guru,"

   Sahut Mahisa Agni. Empu Purwa memandang muridnya dengan pandangan yang aneh. Sedang Mahisa Agni masih saja menundukkan wajahnya. Tetapi tiba-tiba wajahnya itu pun menjadi tegang ketika gurunya berkata pula.

   "Mahisa Agni. Tinggallah kini pesan terakhir bagimu. Dalam perjalanan yang berbahaya itu Agni, sebaiknya trisulamu kau tinggalkan saja di padepokan ini."

   Mahisa Agni terkejut mendengarnya justru dalam perjalanan yang berbahaya itu diperlukannya kawan dalam perjalanannya.

   Bukankah pusaka itu dapat dijadikannya kawan yang baik apabila ia berhadapan dengan bahaya.

   Tetapi sebelum ia berkata apapun didengarnya gurunya meneruskan.

   "Agni. Trisula itu adalah benda yang sangat berharga. Karena itu apabila pusaka itu hilang, maka hilanglah semuanya bagi padepokan kita. Semua perjuangan masa lampau akan lenyap bersamanya apalagi harapan bagi masa mendatang. Karena itu janganlah hal itu terjadi. Kau ingin menemukan rangkapannya, namun pusaka itu sendiri jangan sampai lepas dari tangan kita."

   Mahisa meng-angguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak tahu seluruh persoalannya.

   Namun ia tidak berani membantahnya.

   Ia percaya saja kepada gurunya yang tentu jauh lebih bijaksana daripadanya.

   Meskipun kadang-kadang juga timbul prasangkanya, namun segera perabaan itu dihimpitnya ke dasar hatinya.

   Ayah Mahendra, sahabat guru sama sekali tidak marah atas kekalahan anaknya.

   Berkali-kali ia menegaskan kepada dirinya sendiri karena itu guru pun sama sekali tidak marah kepadaku.

   Demikianlah maka sampailah pada saatnya Mahisa Agni meninggalkan padepokan itu.

   Di pagi yang cerah, ketika matahari membangunkan wajah bumi yang tetap, Mahisa Agni mohon diri kepada ibunya.

   Perempuan itu memandang wajah anaknya yang teguh sambil tersenyum, namun di matanya menitik beberapa butir air mata.

   Diciumnya kening anak itu sambil berbisik.

   "Pergilah,Anakku. Mudah-mudahan kau capai cita-citamu. Harapan masa depanmu masih panjang." ---ooo0w0ooo---

   Jilid 4 MAHISA AGNI yang berlutut di muka ibunya itu meneium pada tangan ibunya yang dingin. Katanya.

   "Ibu, doakan aku, semoga Yang Maha Agung memberkahi."

   "Tentu anakku, yang Maha Agung memberkahi perjalananmu."

   Mahisa Agni itu pun kemudian berdiri.

   Diambilnya sebuah bungkusan dari pembaringannya.

   Bungkusan bekal di perjalanannya.

   Beberapa potong pakaian, bahan-bahan makanan dan sebuah keris peninggalan ayahnya, buatan pamannya Empu Gandring.

   Dihiburnya dirinya sendiri dengan pusaka ayahnya itu, karena Trisulanya harus ditinggalkannya di padepokan.

   Setelah sekali lagi Agni mencium tangan ibunya, maka melangkahlah ia meninggalkan biliknya.

   Di muka pintu bilik itu Mahisa Agni berpaling.

   Dilihatnya air mata ibunya semakin deras mengalir di pipinya yang berkeriput.

   Namun perempuan itu tersenyum kepadanya.

   Dianggukkannya kepalanya sambil bergumam.

   "Selamat jalan anakku."

   Terasa sesuatu merambat di tenggorokkan Mahisa Agni. Matanya pun menjadi panas sehingga ditengadahkannya wajahnya memandang langit-langit rumah Empu Purwa itu. Baru kemudian ia menjawab.

   "Terima kasih ibu."

   Di pendapa Agni melihat gurunya dan Ken Dedes berdiri memandang cahaya matahari pagi. Ketika mereka melihat Agnidengan sebuah bungkusan kecil yang diikatnya di ujung tongkat kayu, gurunya menggigit bibirnya. Kemudian katanya.

   "Perjalanan yang berat, Agni. Mudah- mudahan kau berhasil."

   Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Juga tangan gurunya itu diciumnya.

   "Mudah-mudahan aku berhasil memenuhi harapan guru,"

   Berkata Mahisa Agni. Suaranya seakan-akan tertahan di dadanya.

   "Aku selalu berdoa untukmu Agni."

   "Terima kasih, Guru."

   Ken Dedes yang berdiri seperti patung, tiba-tiba mengusap matanya yang basah. Dengan terbata-bata ia bertanya.

   "Apakah perjalananmu akan memerlukan waktu yang panjang Kakang?"

   Mahisa Agni memandang wajah gurunya, seakan-akan ia akan bertanya kepadanya. Namun gurunya berdiam diri sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Karena itu, maka Mahisa Agni menjawabnya.

   "Mudah-mudahan tidak terlalu lama, Ken Dedes."

   Ken Dedes menganggukkan kepalanya, namun tangannya masih saja sibuk mengusap matanya.

   "Nah, Agni,"

   Berkata gurunya.

   "mumpung hari masih pagi. Selamat jalan."

   "Terima kasih, Guru,"

   Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sahut Agni, yang kemudian dengan hati yang berat dilangkahinya satu persatu tangga pendapa yang sudah bertahun-tahun didiaminya.

   Ketika sekali lagi ia berpaling, hatinya berdesir.

   Ia hanya sempat melihat gurunya berjalan tergesa-gesa meninggalkan pendapa langsung masuk ke sanggarnya.

   Yang berdiri di pendapa itu kini tinggal Ken Dedes dan di belakangnya embannya, perempuan tua yang memandang Agni dengan mata berkaca-kaca.Ketika Agni sudah sampai di halaman, didengarnya Ken Dedes berteriak.

   "Lekaslah kembali Kakang, supaya padepokan ini tidak menjadi sepi."

   Mahisa Agni berpaling sekali lagi. Perlahan-lahan ia mengangguk. Jawabnya.

   "Tentu. Tentu aku akan segera kembali."

   Agni menarik nafas panjang.

   Gadis itu benar-benar telah menumbuhkan seribu macam persoalan pada dirinya.

   Mahisa Agni terkejut ketika ia mendengar sebuah tangis yang meledak.

   Ketika ia menoleh, dilihatnya Ken Dedes menangis di pelukan embannya yang tua.

   Tetapi Mahisa Agni tidak berhenti.

   Dengan tetap ia melangkah meninggalkan rumah itu, betapa pun berat hatinya.

   Di rumah itu tinggal gurunya yang telah menempanya siang malam pada tingkat yang mula-mula sekali, kemudian berturut-turut membuatnya menjadi seorang yang teguh lahir dan batin.

   Juga di rumah itu tinggal seorang gadis yang hampir-hampir saja menghancurkan masa depannya.

   Apalagi kemudian diketahuinya, bahwa ibunya berada di rumah itu pula.

   Ibunya yang telah melahirkannya.

   "Aku pergi untuk kembali,"

   Gumamnya seorang diri.

   Akhirnya dilangkahinya regol halaman, dan dengan tergesa-gesa ia membelok menurut jalan desanya hampir melekat pagar.

   Dengan demikian maka ia akan segera lenyap dari pandangan mata orang- orang yang mengikutinya dari halaman dan pendapa rumahnya.

   Tetapi kembali hatinya berdebar-debar.

   Dilihatnya dari kejauhan dengan tergesa-gesa Wiraprana datang kepadanya.

   Anak muda itu sudah beberapa lama tidak pernah datang ke rumah itu, justru karena hubungannya dengan Ken Dedes.

   "Agni,"

   Katanya hampir berteriak.

   "benarkah kau berangkat pagi ini?"

   Mahisa Agni mengangguk.

   "Aku mendengar dari seorang cantrik di sudut desa. Kenapa kau tak memberitahukan kepadaku?""Aku bermaksud singgah sebentar di rumahmu Prana,"

   Sahut Mahisa Agni.

   "Oh. Marilah,"

   Ajak Wiraprana.

   "Kita sudah bertemu di sini.

   "Lalu?"

   "Aku tak usah singgah ke sana."

   "Oh,"

   Wiraprana menjadi kecewa.

   "Sampaikan baktiku kepada Bapa Buyut Panawijen. Aku mohon diri untuk beberapa lama."

   Wiraprana mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Baik. Baik,"

   Katanya.

   "Tetapi apakah kau tidak singgah meskipun hanya sebentar?"

   "Terima kasih Prana, terima kasih,"

   Jawab Agni. Wiraprana benar-benar menjadi kecewa. Ditatapnya wajah sahabatnya. Kemudian katanya,"Selamat jalan Agni."

   Mahisa Agni tersenyum. Senyum yang memancar dari berbagai perasaan di dalam dirinya. Terdengar anak muda itu berkata perlahan-lahan.

   "Prana, meskipun kau belum menjadi suami Ken Dedes, tetapi jagalah dia dari jarak yang ada sekarang. Kalau kau mengalami kesulitan-kesulitan apa pun, terutama apabila terjadi kekerasan karena persoalan gadis itu, sampaikanlah secepatnya kepada ayahnya."

   Wiraprana mengerutkan keningnya. Timbullah pengakuan di dadanya atas kekurangannya, sehingga orang lain harus menolongnya dalam persoalan yang seharusnya ditanggungkannya. Karena itu maka katanya.

   "Kepergianmu sangat mengecewakan aku, Agni. Keinginanku untuk mendapatkan kemampuan setidak- tidaknya untuk menjaga diriku tertunda karenanya. Namun aku tak dapat mementingkan diriku sendiri. Aku menghormati kepentinganmu pula. Karena itu mudah-mudahan kau lekas kembali."Akhirnya Wiraprana dan Mahisa Agni pun berpisah pula. Diantarkannya Agni sampai ke sudut desa, kemudian dilepasnya sahabatnya itu dengan hati yang berat.

   "Aku hanya pergi untuk beberapa lama,"

   Berkata Mahisa Agni.

   "Jangan risaukan aku. Sampaikan kepada Ken Dedes apabila kau sempat bertemu, juga kepada pemomongnya, perempuan tua itu. Aku tidak sedang berangkat perang. Tetapi hanyalah sebuah perjalanan biasa. Mungkin akan merupakan sebuah tamasya yang menyenangkan. Melihat lembah dan ngarai yang belum pernah aku lihat."

   Wiraprana tersenyum. Senyum yang masam. Jawabnya.

   "Apakah bedanya perjalananmu dengan sepasukan prajurit yang sedang berangkat ke medan perang? Mungkin daerah pertempuran yang kau jumpai jauh lebih luas dari daerah peperangan. Mungkin musuh yang kau jumpai pun jauh lebih banyak dari musuh setiap prajurit dolan peperangan."

   Mahisa Agni pun tersenyum pula. Kemudian katanya.

   "Nah, Selamat tinggal Wiraprana, selamat tinggal sahabat-sahabat yang lain. Sampaikan salamku kepada mereka."

   Wiraprana mengangguk, dan Mahisa Agni pun kemudian memutar tubuhnya, dan berjalan dengan hati yang tetap meninggalkan padukuhan yang telah bertahun-tahun didiaminya.

   Ketika Mahisa Agni menengadahkan wajahnya, memandang langit yang biru bersih, dilihatnya burung-burung manyar beterbangan.

   Awan yang putih sehelai-sehelai hanyut dalam arus angin yang lembut.

   Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Dilihatnya di sekitarnya, alam yang maha luas.

   Pepohonan, burung-burung di udara, air dan binatang-binatang di dalamnya, rumput dan perdu.

   Terasalah betapa tangan yang Maha Agung telah memelihara semuanya itu.

   Dan karena itulah maka Mahisa Agni menjadi semakin berbesar hati.

   Ternyata di segala sudut bumi, di antara hutan-hutan belukar, di antara lembah dan ngarai, di segala tempat, bahkan di manapunyang diangan-angankannya, hadirlah Yang Maha Agung itu.

   Dan pada-Nya Mahisa Agni memperoleh ketenteraman.

   Mahisa Agni berjalan terus dengan cepat.

   Tujuannya adalah ukup jauh, sehingga setiap saat harus dimanfaatkannya.

   Ketika ia berpaling, lamat-lamat dilihatnya padukuhan Panawijen.

   Anak muda itu menarik nafas dalam.

   Padukuhan itu seakan-akan melambai kepadanya.

   Tanpa sesadarnya Mahisa Agni mengangguk-angguk.

   "Aku akan segera kembali padamu Panawijen. Tetapi tiba-tiba terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Mahisa Agni sendiri terkejut karenanya. Ketika ia memandang berkeliling tak dilihatnya apa pun, selain dataran, sawah yang sudah semakin tipis, pepohonan dan di kejauhan gunung yang biru. Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian dihiburnya hatinya sendiri.

   "Ah, alangkah cengengnya aku ini. Aku adalah seorang laki-laki yang dewasa. Sudah sepantasnya aku melakukan perjalanan-perjalanan yang berbahaya."

   Namun terdengar suara di hatinya.

   "Aku tidak mencemaskan perjalanan ini, tetapi justru mencemaskan nasib Panawijen, nasib Ken Dedes."

   Apalagi ketika tiba-tiba saja Mahisa Agni teringat pada mimpinya beberapa waktu yang lalu.

   Mimpinya tentang Ken Dedes yang meloncat ke dalam sebuah perahu.

   Namun akhirnya, baik Ken Dedes sendiri mau pun perahunya tenggelam ditelan oleh ombak yang ganas.

   Mahisa Agni tiba-tiba menggeram.

   Namun kemudian diingatnya pula gurunya berkata.

   "Mimpimu adalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur, Agni."

   "Mudah-mudahan,"

   Gumamnya.

   "mudah-mudahan mimpiku hanyalah mimpi seseorang yang terlalu banyak tidur."

   Meskipun demikian ia masih menjadi gelisah karenanya. Bahkan tiba-tiba timbullah keinginannya untuk kembali ke Panawijen."Hambatan yang pertama,"

   Katanya menggeram.

   "memang hambatan yang paling sulit di atasi, adalah hambatan- hambatan yang timbul dari diri sendiri."

   Karena itu, segera Agni berusaha untuk membulatkan tekadnya kembali.

   Digelengkan kepalanya seperti akan melepaskan setiap kenangan yang akan dapat menghambatnya.

   Dan kembali Mahisa Agni berjalan cepat-cepat menjauhi Panawijen.

   Matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi, dan Mahisa Agni pun semakin lama menjadi semakin jauh dari desanya.

   Kini telah dilampauinya daerah-daerah persawahan yang paling jauh sekali pun.

   Di hadapannya terbentang sebuah padang rumput yang diselingi oleh gerumbul-gerumbul perdu.

   Mahisa Agni pun masih berjalan terus.

   Ia dapat menempuh jalan yang berbeda-beda.

   Yang mana pun tak ada bedanya.

   Namun arahnyalah yang harus dijaganya supaya ia tidak tersesat.

   Gunung Semeru.

   Dan ia harus melingkari Gunung itu dan mencapai kakinya dari arah timur.

   Ia tidak tahu berapa hari perjalanannya itu berlangsung.

   Dan tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan lewat padang rumput Karautan.

   Ia tidak tahu, kenapa padang rumput itu menariknya.

   Sebenarnya ia dapat menempuh jalan lain, lewat Talrampak atau Kaligeneng.

   Meskipun telah diketahuinya bahwa kini hantu yang bernama Ken Arok itu telah tidak ada di sana, namun sebuah kenangan yang aneh telah menariknya.

   Sebelum Mahisa Agni menyadari, ia telah berjalan menurut jalan ke padang rumput Karautan.

   Meskipun betapa panasnya.

   Ditaruhnya bungkusan bekalnya di atas kepalanya, untuk mengurangi panas yang seakan-akan membakar rambutnya.

   Tetapi padang rumput itu tampaknya masih sepi.

   Jalan yang menjelujur di antaranya masih belum tampak banyak dilewati orang, bahkan masih ditumbuhi oleh rumput-rumput liar.

   Hanya rombongan- rombongan yang besarlah yang berani lewat di padang rumput itu."Jalan ini sebenarnya sudah aman,"

   Gumamnya.

   "tetapi belum juga banyak orang yang berani lewat di sini. Ah, mungkin para pedagang masih meragukan kebenaran berita, bahwa hantu Karautan telah berpindah tempat."

   Agni tersenyum sendiri. Alangkah lucunya seandainya ia sendiri menggantikannya di sini.

   "Kalau saat itu aku bunuh Ken Arok, mungkin sekali aku menjadi penghuni di padang rumput ini."

   Tetapi kini padang rumput itu telah tidak menakutkan lagi.

   Meskipun masih terlalu sepi.

   Mahisa Agni berjalan dengan langkah yang cepat dan tetap.

   Matahari yang terik semakin lama telah semakin condong ke barat.

   Sebuah kenangan yang aneh telah menyentuh perasaan Mahisa Agni ketika ia berjalan di antara gerumbul-gerumbul di mana hantu Karautan sering bersembunyi.

   Di antara gerumbul-gerumbul itu pulalah ia mendengar Ken Arok berkata kepadanya, bahwa jalan yang benar itu terlalu sempit dan jelek, sedang jalan ke arah yang salah itu selalu licin dan lapang.

   "Hem,"

   Mahisa Agni menarik nafas.

   Kata-kata itu disimpannya di dalam hatinya.

   Akhirnya, ketika senja turun, Mahisa Agni telah melampaui padang rumput yang sepi itu.

   Dilewatinya beberapa buah padukuhan kecil dan akhirnya ia sampai ke tepi sebuah hutan yang rindang.

   
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hutan yang setiap hari dikunjungi orang yang sedang mencari kayu.

   Di situlah Mahisa Agni berhasrat untuk beristirahat.

   Hutan itu telah sering dilewatinya dengan gurunya.

   Dengan setiap kali ia pergi ke daerah-daerah yang agak jauh bersama gurunya, maka diajarinya ia mencari tempat-tempat untuk bermalam.

   Demikianlah Mahisa Agni telah melampaui perjalanannya untuk satu hari.

   Namun apa yang dicapainya barulah sebuah permulaan yang pendek.

   Di hadapannya masih terbentang perjalanan yang berlipat-lipat jauhnya.

   Malam itu Mahisa Agni tidur dengan nyenyaknya.

   Perjalanan itu seakan-akan betapa lancarnya.

   Di pagi harinya, dengan sebuahbandil Agni berusaha untuk berburu binatang.

   Dan ternyata Agni adalah seorang anak muda yang tangkas.

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia telah mendapatkan buruannya untuk makan paginya.

   Demikianlah, Agni melampauinya hari demi hari.

   Perjalanannya semakin lama menjadi semakin berat.

   Hutan yang kadang- kadang sedemikian rapatnya ditumbuhi oleh segala jenis tumbuh- tumbuhan.

   Sungai-sungai yang deras dan apa pun yang melintang di hadapannya.

   Tetapi di samping itu perjalanan Agni pun tidak sepi dari persoalan-persoalan yang sudah diduganya sejak semula.

   Binatang buas, dan orang-orang jahat yang dijumpainya.

   Namun karena ketabahan hatinya, satu demi satu semuanya berhasil diatasinya.

   Akhirnya, sampailah pada suatu ketika, Mahisa Agni mencapai kaki Gunung Semeru.

   Kaki gunung yang tak terkirakan tingginya.

   Hutan-hutan yang padat tumbuh melingkarinya.

   Ketika dilihatnya pohon-pohon raksasa yang tumbuh di hutan- hutan itu, serta daun-daunnya yang menjulang ke langit, Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.

   Telah banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di perjalanan.

   Telah banyak penderitaan yang dialami.

   Namun kini keadaan yang terakhir terbentang di hadapannya.

   Apakah ia akan berhasil menempuh ujiannya? Mahisa Agni berhenti sejenak.

   Ditatapnya gunung yang tegak di hadapannya.

   Pohon-pohonan yang seakan-akan mendaki tebingnya.

   Perlahan-lahan namun pasti, akhirnya sampai juga menutupi lambung bukit itu.

   Tetapi perjalanannya masih belum akan berhenti.

   Meskipun gunung itu seakan-akan telah tegak di hadapannya, namun perjalanan yang harus ditempuhnya masih jauh.

   Apalagi ia harus menemukan sebuah rawa-rawa di lereng sebelah timur gunung itu.

   Sehingga dengan demikian ia masih harus berjalan melingkar.Kembali Mahisa Agni melangkahkan kakinya.

   Kini ia tidak berjalan terlalu cepat.

   Perlahan-lahan, sedang berbagai persoalan membelit hatinya.

   Ia merasa, betapa kecil dirinya di antara pohon-pohon raksasa, batu-batu besar dan gunung yang menjulang itu.

   Dan betapa kecil pula dirinya, lebih-lebih lagi dihadapkan kepada yang telah menciptakan alam ini.

   Namun, betapa pun juga, Mahisa Agni merasa bersyukur bahwa sebagian perjalanannya telah dilampauinya.

   Jarak yang ditempuhnya telah melampaui jarak yang akan dilaluinya.

   Kini Mahisa Agni mencoba untuk menghindari hutan-hutan yang lebat itu, meskipun jaraknya menjadi agak jauh.

   Diselusupnya daerah-daerah yang tidak begitu padat, yang tidak terlalu sulit dilaluinya.

   Meskipun jaraknya makin jauh, namun dengan demikian ia mengharap, perjalanannya menjadi semakin cepat.

   Di daerah- daerah yang demikian, Mahisa Agni tidak melupakan pesan gurunya.

   Setiap saat ia akan dapat digigil ular-ular kecil yang berkeliaran di tanah, dan serangga- serangga yang berbisa.

   Karena itu, tubuhnya dilumurinya dengan param pemberian Empu Purwa.

   Sekali ia merasakan pula, sentuhan-sentuhan pada tubuhnya oleh binatang-binatang kecil.

   Namun binatang-binatang itu segera meloncat menghindar.

   Mungkin di dalam ramuan param itu, terdapat berbagai ramuan yang tak disukai oleh jenis-jenis serangga berbisa.

   Setelah Mahisa Agni bermalam satu malam lagi, sampailah ia di daerah sebelah timur Gunung Semeru.

   Dilewatinya padang- padang rumput dan perdu, kemudian Mahisa Agni menarik nafas, ketika ia sampai pada suatu daerah yang berpenghuni.

   Dilihatnya ladang- ladang hijau ditumbuhi oleh berbagai tanaman.

   Meskipun sama sekali kurang teratur, namun Agni yakin, bahwa tanaman-tanaman itu ditanam orang.

   Dugaannya ternyata benar.

   Tidak sedemikian jauh lagi, dilihatnya sebuah padukuhan kecil.

   Padukuhan yang dipagari oleh pagar batu setinggi orang.

   Rumah-rumah kecil dan batang-batang semboja di halaman.

   Tempat-tempat sesajen dan kandang-kandang sederhana.Ketika Mahisa Agni menghampiri padukuhan itu, dilihatnya beberapa orang laki-laki dan perempuan lagi sibuk bekerja di halaman masing-masing, di ladang-ladang dan di sawah-sawah.

   "Penduduk yang rajin,"

   Katanya di dalam hati. Ketika mereka melihat kedatangan Mahisa Agni, tampaklah keheranan membayang di wajah mereka. Mereka satu dengan yang lain saling berpandangan, seakan-akan mereka ingin bertanya.

   "Siapakah orang asing yang datang ini?"

   Dengan demikian Mahisa Agni mengetahuinya, bahwa daerah ini adalah daerah yang jarang-jarang didatangi orang lain.

   Meskipun demikian, Mahisa Agni pun telah memaksa dirinya untuk mendekati salah seorang di antaranya.

   Ia ingin menanyakan apakah di sekitar daerah itu terdapat sebuah rawa-rawa seperti yang pernah dilihatnya dahulu.

   


Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong Pendekar Setia Karya Gan KL Kedele Maut Karya Khu Lung

Cari Blog Ini