Dendam Empu Bharada 11
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 11
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
"Benar, pangeran "
Sahut Pencok Sahang pula "hamba rasa gus pa h Singasari tentu akan menikmati dengan gembira."
"Ah"
Pangeran Ardaraja kerutkan dahi "tidakkah hal itu akan mengganggu suasana perjamuan?."
"Hamba rasa dak, gus "
Sahut Pencok Sahang "karena dalam pertandingan2 itu akan dibatasi dengan peraturan tertentu agar jangan sampai menimbulkan luka atau cidera pada lawan.
Cukup apabila lawan jatuh maka yang dapat menjatuhkan itu dianggap menang.
Dan se ap pemenang akan mendapat pemberian tuak dari gus pa h Singasari yang melambangkan kehadiran seri baginda Kertanagara dalam perjamuan ini."
Sebenarnya masih berat rasa ha pangeran Ardaraja mendengar usul Pencok Sahang itu.
la kua r hal itu akan merusak suasana kegembiraan perjamuan.
Tetapi sebelum ia sempat menyatakan apa2, ba2 terdengar suara seseorang berseru "Raden, usul tumenggung Pencok Sahang itu cukup menarik.
Sudah tentu hamba merasa mendapat kehormatan besar dapat menyaksikan ketangkasan dari para senopa dan perwira2 Daha serta bangga sekali dapat mempersembahkan tuak kepada mereka yang menang.."
Pangeran Ardaraja terkejut.
Yang buka suara itu tak lain adalah pa h Aragani.
Karena pa h Singasari itu menyatakan kegembiraannya, terpaksa pangeran Ardaraja menerima juga "Baiklah, paman Pencok Sahang.
Tetapi kuharap jangan sampai menimbulkan hal2 yang mengganggu suasana perjamuan ini."
Tumenggung Pencok Sahang mengiakan.
Tampaknya ia gembira sekali.
Karena dengan diterimanya usul itu berarti maksudnya hendak memamerkan kekuatan dari para senopati, perwira dan tamtama pasukan Daha dapat tercapai.
Biarlah patih dari kerajaan Singasari menderita kejut dan jangan memandang rendah pada Daha.
Kebo Rubuh juga berpendapat demikian.
Diam2 selama dalam perjamuan itu ia dapat mengumpulkan kesan bahwa patih Aragani itu bersikap angkuh dan congkak terhadap para mentri senopati Daha.
Pencok Sahang segera menawarkan suatu acara yakni adu tenaga dengan cara bergumul.
Barang siapa dapat merebahkan tubuh lawan ke lantai, dialah yang menang.
Kemudian ia menitahkan seorang bekel prajurit untuk tampil.
Bekel Sarkara, demikian nama bekel bertubuh nggi besar yang tampil ke tengah ruang yang cukup luas, kosong dan terletak di hadapan para tetamu, segera berseru "Kawan2, kita adalah prajurit.
Maka yang hendak kita persembahkan sebagai penghormatan prajurit Daha kepada utusan nata gusti patih Aragani dari kerajaan Singasari, adalah permainan prajurit.."
Seruan itu segera disambut oleh seorang bekel yang bertubuh kekar perkasa "Kakang Sarkara, mari kutemani kakang bermain-main sekedarnya. Harap kakang suka mengalah."
Bekel Sarkara tertawa "Baiklah Liman. Kutahu engkau bertenaga besar dan pandai bergumul. Tentu engkau yang menang, asal jangan engkau patahkan tulangku, aku sudah berterima kasih kepadamu."
Demikian kedua bekel itu segera tampil berhadapan dan mulai saling mencengkam pinggang lawan untuk berusaha merobohkannya.
Keduanya seimbang sehingga pergumulan itu berlangsung seru dan menarik.
Akhirnya Liman, bekel yang bertubuh kekar padat itu berhasil memban ng lawannya rebah ke lantai.
Dia dinyatakan menang dan menerima hadiah semacam tuak dari pa h Aragani.
Karena menang, bekel Liman masih berada di tengah gelanggang untuk menunggu lain lawan.
Demikian satu demi satu bekel Liman berhasil merebahkan lawan-lawannya ke lantai.
Tubuhnya bersimbah keringat seper orang mandi dan wajahnya merah padam karena meneguk beberapa piala tuak.
Beberapa bekel telah dirubuhkan dan ada lagi prajurit yang berpangkat bekel berani menghadapi bekel Liman.
Karena pengaruh tuak, ia mulai bersikap congkak.
"Kawan2, rasanya dikalangan prajurit Daha ada yang berani menghadapi bekel Liman. Untuk memeriahkan suasana perjamuan ini, apabila kawan2 dari Singasari bergembira, sukalah maju untuk bermain-main dengan Liman ". Sudah tentu tantangan itu memerahkan telinga rombongan prajurit pengiring pa h Aragani. Namun mereka tak berani bertindak sebelum mendapat idin dari patih Aragani. Rupanya pa h Aragani tersinggung juga dengan kata2 bekel Liman itu. Diam2 ia ingin memberi pelajaran kepada bekel Daha itu dan sekalian untuk menunjukkan kepada mereka bahwa prajurit2 Singasari itu tak boleh dianggap ringan.
"Baiklah, kalau kalian ingin melemaskan urat2, bolehlah maju untuk bermain-main dengan bekel Liman"
Katanya kepada prajurit2 pengiringnya.
Ia tahu bahwa beberapa prajurit pengiringnya itu juga mahir dalam ilmu bergumul dan bertenaga kuat juga.
Seorang prajurit yang bertubuh tegap, segera memberi hormat kepada pa h Aragani "Hamba bersedia menemani bekel Liman, Gusti."
Ke ka melihat yang maju kehadapannya itu prajurit Sawung, cerahlah wajah pa h Aragani.
Ia tahu prajurit itu adalah seorang prajurit kepa han yang terkenal bertenaga kuat.
Segera ia memberi idin.
Demikian keduanya segera saling berhadapan.
Dan sesaat kemudian berlangsunglah pergumulan yang amat seru antara bekel Liman dengan prajurit bernama Sawung.
Tetapi akhirnya Sawung harus mengakui keunggulan lawan.
Ia dapat direbahkan ke lantai oleh bekel Liman.
Dua bahkan ga prajurit pengiring pa h Aragani berturut maju tetapi merekapun satu demi satu dikalahkan bekel Liman.
Pa h Aragani mulai merah mukanya.
Lebih2 ke ka melihat wajah para senopati Daha tampak mengulum senyum gembira, telinga patih Aragani makin terasa panas.
Tetapi ia gelisah juga.
Siapa gerangan yang layak ditunjuk untuk menundukkan bekel Liman.
"Gus pa h, hamba mohon diperkenankan untuk melayani bekel Liman itu"
Ba2 seorang prajurit tampil ke hadapan patih Aragani. Pa h Aragani terkesiap, rentangkan mata lebar2 meneli prajurit itu. Serentak cerahlah wajahnya demi mengetahui siapa prajurit yang minta ijin kepadanya itu.
"Baiklah, Rangkah "sahutnya tersenyum "kupercaya engkau tentu dapat mengalahkannya."
Yang maju itu memang bekel Mahesa Rangkah yang saat itu menyamar dalam busana sebagai seorang prajurit biasa.
"Ki bekel Liman "
Seru Mahesa Rangkah dengan nada datar "aku ingin benar menemani ki bekel bermain-main, tetapi aku kuatir dalam beberapa kejab saja aku sudah rebah di lantai."
"Ah, jangan merendah diri, prajurit"
Seru bekel Liman "mari kita mulai "
Keduanyapun segera saling merangkul dan saling berusaha untuk mencengkam lalu memban ng lawan.
Alangkah kejut bekel Liman ke ka mengetahui bahwa kali ini dia sedang berhadapan dengan seorang prajurit dari keraton Singasari yang aneh.
Se ap kali bekel Liman mencengkam atau mencekik tubuh lawan, lawan tentu dapat meloloskan diri.
Tubuhnya mandi keringat sehingga licin dan tenaganyapun amat besar, ditambah pula dengan gerak tubuhnya yang aneh, se ap kali bekel Liman hendak mengunci cengkamannya tentulah tubuh lawan dapat menggelincir lolos macam belut yang licin.
Berulang kali usaha itu dilakukan bekel Liman tetapi se ap kali ia hendak mengunci, tentu se ap kali itu juga tubuh lawannya menggelincir lolos.
Bekel Liman makin panas.
Pengaruh tuak memanaskan tubuh, kegagalan mencengkam lawan makin menambah berkobar ha nya.
Makin lama kobar itu menjadi rangsang kemarahan.
Pada suatu saat ketika mendapat kesempatan bekel Liman berhasil mencengkam lalu mengunci kuat pinggang lawan.
Sekali ia kerahkan tenaga tentulah ia berhasil memaksa lawan rebah ke lantai.
Apabila lawan nekad, tulang pinggangnya pasti remuk.
Dengan menghimpun segenap tenaganya, mulailah kedua tangan bekel Liman mendorong agar tubuh lawan rebah ke belakang.
Dan hampir usahanya itu tampak memberi hasil atau sekonyong- konyong tengkuknya terasa dijepit oleh sepasang tangan yang kuat, makin lama makin mengencang sehingga ia hampir tak dapat bernapas.
Pada saat ia hendak meronta melepaskan tengkuknya dari himpitan yang keras itu, tiba2 ia rasakan tubuhnya terangkat keatas, makin keatas sehingga kakinya terpisah dari lantai.
Dan sebelum tahu apa yang terjadi, ia rasakan tubuh membubung naik ke udara dan terus meluncur deras kebawah, bluk ....
"Aduh ....
"
Bekel Liman menjerit keras, menggelepar-gelepar diatas lantai laba tak bergerak-gerak lagi.
Ternyata Mahera Rangkah berhasil memasang siasat.
Lebih dulu ia membiarkan pinggangnya dicengkam lawan.
Pada saat perha an lawan tercurah hendak merebahkan tubuhnya Mahesa Rangkah segera ber ndak.
Ia mencekik tengkuk lawan dengan sekeras-kerasnya, setelah merasa bahwa tenaga lawan mulai mengendor, barulah ia mengangkat tengkuk orang ke atas dan makin ke atas, kemudian dengan menghimpun segenap tenaga, segera ia menghempaskan tubuh orang ke lantai.
Rupanya ban ngan yang dilakukan Mahesa Rangkah itu cukup keras sehingga kepala bekel Liman berlumuran darah dan orangnyapun tak ingat diri.
Suasana dalam ruang perjamuan gempar seke ka.
Bukan karena bekel Liman dapat dikalahkan tetapi karena kekalahan bekel itu amat menyedihkan, kepalanya menderita cidera yang parah.
"Engkau gagah sekali, prajurit "
Seru seorang tamtama bernama Datu dengan wajah merah padam karena marah melihat kawannya terluka "aku bersedia melayani engkau."
Mahesa Rangkah memang mempunyai rencana untuk membuat onar.
Dengan begitu akan terjadi sesuatu ketegangan antara Singasari dengan Daha.
Dengan begitu pula, akuwu Jayakatwang tentu akan berbalik pikirannya terhadap kunjungan pa h Aragani ke Daha.
Walaupun pis kemungkinannya, namun ia berharap agar akuwu Jayakatwang berani menolak maksud baginda untuk menjodohkan pangeran Ardaraja dengan salah seorang puteri baginda.
Sebagai pernyataan dari luapan ha nya, Mahesa Rangkah memban ng tubuh bekel Liman sekeras-kerasnya ke lantai.
Kemudian dalam menghadapi tantangan bekel Datu itupun, ia tak segan2 pula untuk ber ndak keras.
Bekel Datu berhasil dikuasai pinggangnya dan dengan mengerahkan segenap tenaganya, Mahesa Rangkah mencengkam sekuat-kuatnya, krek ....
tulang rusuk bekel Datu patah, tubuh terkulai menggelepar ke lantai.
Peris wa itu benar-benar menggemparkan suasana perjamuan.
Pa h Aragani sendiripun terkejut.
Ia hendak memanggil bekel Mahesa Rangkah tetapi pada saat itu terdengar dari deretan tempat duduk senopa Daha, seseorang berbangkit dan berseru "Bagus, prajurit Singasari.
Aku kagum atas kekuatanmu"
Sambil berkata orang itupun sudah tampil ke tengah gelanggang.
Terkejut sekalian hadirin ketika melihat yang maju itu tak lain adalah tumenggung Pencok Sahang sendiri.
Rupanya tumenggung itu tak dapat menguasai diri melihat perbuatan bekel Rangkah yang dianggapnya terlalu menghina orang Daha.
Pa h Aragani terkejut pula.
Menghadap kearah pangeran Ardaraja ia segera berkata "Pangeran, tidakkah akan terjadi sesuatu yang akan mengganggu kegembiraan perjamuan paduka?."
Pangeran Ardaraja pun tak puas melihat ulah Mahesa Rangkah yang disangkanya hanya seorang prajurit biasa.
Diam2 pangeran itupun menginginkan agar salah seorang senopa Daha tampil untuk menghajar prajurit Singasari itu.
Ia sendiri tak dapat turun ke gelanggang karena kedudukannya.
"Ah, biarlah paman pa h "ujar pangeran itu "mereka sedang bergembira, tak baik apabila kita menghilangkan kegembiraan mereka. Memang demikian itu sudah biasa terjadi di kalangan prajurit Daha."
Pa h Aragani terkejut mendengar jawaban itu. Namun ia tak sempat melanjutkan kata-kata karena saat itu, tumenggung Pencok Sahang sudah berhadapan dengan Mahesa Rangkah.
"Ah, hamba hanya seorang prajurit biasa, gus "
Kata Mahesa Rangkah demi mengetahui bahwa yang berhadapan dengannya itu seorang lelaki yang mengenakan busana seorang tumenggung "bagaimana hamba berani menghadapi paduka."
Pencok Sahang tertawa "Pangkat dan kedudukan hanya suatu perbedaan ngkat. Tetapi dalam medan laga, prajurit dapat bertempur melawan seorang senopati. Tak ada lagi perbedaannya."
"Tetapi ....."
"Medan laga hanya mengenal siapa yang lebih kuat dan sak . Jangan engkau mempersoalkan siapa diriku lagi tetapi anggaplah kita seorang lawan bergulat. Dan berusahalah engkau untuk menjatuhkan aku."
"Tetapi bagaimana mungkin hamba mampu . .."
"Jika engkau dapat mengalahkan aku, keris pusakaku ini "
Pencok Sahang mencabut keris yang terselip dibelakang pinggang "sudah bertahun-tahun ikut aku dan melakukan tugasnya dengan setya. Sebagai penghargaan atas kesaktianmu, keris ini akan kuhadiahkan kepadamu.."
Gemparlah suasana perjamuan seke ka.
Tak pernah mereka menyangka bahwa adu kekuatan dengan bergumul yang sedianya hanya untuk memeriahkan perjamuan kehormatan bagi rombongan patih Aragani, akan berlarut sedemikian rupa.
Pa h Aragani berpaling memandang kearah pangeran Ardaraja tetapi pangeran itu tampak tenang2, seolah-olah seper orang yang tak kaget digigit nyamuk.
Memang pangeran itu diam2 gembira.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan pernyataan yang didengarnya tadi, jelas bahwa Pencok Sahang bertekad hendak menghancurkan prajurit Singasari itu.
"Ah, bagaimana hamba berani menerima hadiah itu? "
Seru Mahesa Rangkah yang diam2 juga terkejut serta menyadari bahwa orang benar2 hendak mengalahkannya.
"Sudahlah, prajurit "
Seru Pencok Sahang "hal itu atas kehendakku sendiri, jangan engkau kua r apa2. Sekalian yang hadir disini menjadi saksi atas pernyataanku tadi."
Sehabis berkata Pencok Sahangpun segera bersiap-siap mengambil sikap.
Mahesa Rangkah terpaksa mengikuti.
Diam2 ia mempertinggi kewaspadaannya.
Memang tampak benar betapa besar nafsu Pencok Sahang, hendak mengalahkan prajurit kerajaan Singasari itu.
Ia segera membuka serangannya dengan sebuah terkaman yang dahsyat.
Mahesa Rangkah agak gugup juga menghadapi serangan itu sehingga ia tak sempat mengelak lagi.
Dengan kecepatan yang luar biasa, Pencok Sahang berhasil menguasai lawan lalu mengangkatnya keatas dan terus dilemparkan ke lantai "Huh ....."
Gempar pula suasana ruang perjamuan ke ka melihat apa yang terjadi saat itu.
Hampir mereka tak percaya akan hal yang dilihatnya.
Tetapi hal itu memang suatu kenyataan.
Tubuh Mahesa Rangkah melayang sampai setombak jauhnya.
Dia bergeliatan di udara dan ketika tiba di lantai, diapun dapat berdiri tegak pula.
Kebalikannya, Pencok Sahang yang melempar itu, bahkan tampak terhuyung-huyung sendiri sampai beberapa langkah dan nyaris rubuh ke lantai.
Sudah tentu hal itu mengherankan sekalian hadirin.
Ke ka Mahesa Rangkah berputar tubuh menghadap ke arah lawan, Pencok Sahang masih berdiri dengan pejamkan mata "Ki tumenggung, mari kita mulai lagi "
Seru Mahesa Rangkah sambil menanti Pencok Sahang membuka mata.
Rupanya Pencok Sahang masih pening.
Beberapa saat kemudian barulah ia rasakan kepalanya ringan, pikiran terang pula.
Serentak ia teringat apa yang telah terjadi tadi.
Ke ka ia hendak melontarkan tubuh prajurit lawannya, ba2 tengkuk kepalanya dihantam oleh tangan prajurit itu.
Sedemikian keras tangan prajurit itu menghantamnya sehingga ia merasa hampir pingsan.
Memang sepintas pandang Mahesa Rangkah seper orang bergeliatan yang meronta-ronta untuk melepaskan diri dari bantingan lawan, tetapi tangannya sempat untuk memukul tengkuk lawan.
"Hm, curang"
Dengus Pencok Sahang dalam hati.
Namun untuk menuduh secara terang- terangan, ia merasa malu.
Ia tak mendengar seorangpun dari rombongan orang Daha yang mengetahui perbuatan Mahesa Rangkah.
Diam2 iapun memutuskan untuk membalas kecurangan prajurit Singasari itu.
Demikian mereka bergumul lagi.
Dalam sebuah kesempatan, Pencok Sahang berhasil menangkap pergelangan tangan lawan, walaupun saat itu bahunya juga dicengkeram lawan.
Dengan sekuat tenaga ia hendak meremas pergelangan tangan lawan tetapi sebelum sempat ia melaksanakan rencananya, ba2 tangan Mahesa Rangkah menurun kebawah ke ak dan terus mencengkeram sekuat-kuatnya.
Bagaikan terkena pagutan ular, Pencok Sahang melonjak kaget sehingga tangan lawan yang dikuasainya tadi dapat menggeliat lolos.
Dan sebelum ia sempat memperbaiki kedudukannya, tangan kiri Mahesa Rangkah sudah mencengkeram pinggangnya dan meremasnya.
Saat itu Pencok Sahang benar2 kehilangan kekuatannya.
Tenaganya serasa merana karena ketiaknya dicengkeram sekuat-kuatnya dan ditambah pula dengan pinggangnya diremas.
Ia menderita kesakitan yang hebat.
Mukanya menyeringai seperti iblis tertawa dan sebelum ia sempat berusaha menghimpun kekuatan, tiba2 secara kasar tubuhnya telah didorong kebelakang sekeras-kerasnya, duk ....
pingsanlah seketika Pencok Sahang ketika kepala dan tubuhnya terantuk pada lantai.
Melihat tumenggung mereka dirubuhkan, beberapa bekel dan demang segera menerjang Mahesa Rangkah.
Tanpa memberi kesempatan orang berbicara lagi, mereka segera menyerang dengan nju dan pukulan.
Suasana gaduh seketika.
"Berhenti! "
Tiba2 pangeran Ardaraja membentak nyaring dan beberapa bekel Serta demang yang mengembut Mahesa Rangkah itupun berhenti "angkut Pencok Sahang ke Balai Prajurit!."
"Bawa dia ke bangsal "
Pa h Aragani pun tak mau kalah ha "tunggu sampai aku pulang memberi hukuman."
Dua orang prajurit Singasari segera membawa Mahesa Rangkah keluar. Pangeran Ardaraja terkejut "Hm, pintar benar pa h ini. Dia hendak menyelamatkan anakbuahnya dari kemarahan para senopati Daha "
Gumamnya dalam hati.
"Mohon raden melimpahkan ampun kepada prajurit yang kurang tata tadi "
Kata patih Aragani.
"Ah, dak paman pa h "
Kata pangeran Ardaraja tersenyum "dia tak bersalah, yang salah adalah tumenggung Pencok Sahang mengapa kalah dengan seorang prajurit saja. Hal itu membuk kan bahwa pasukan Singasari memang digdaya sekali."
Demikian perjamuan itu berakhir sampai menjelang tengah malam. Pa h Aragani dan pengiringnyapun kembali ke bangsal agung tempat penginapannya. Dengan peris wa tadi, ia tak enak hati dan besok pagi ia akan pulang ke Singasari.
"Mana prajurit tadi"
Pa h Aragani bertanya pada prajurit pengawalnya dan menitahkan supaya Mahesa Rangkah dipanggil menghadap.
Beberapa waktu kemudian pengawal itu datang dengan membawa keterangan bahwa Mahesa Rangkah tak berada di tempat penginapannya.
Patih Aragani terkejut.
"Ah, apakah mungkin dia hendak melakukan rencananya membunuh pangeran Ardaraja?"
Pikirnya.
Dan pucatlah wajahnya.
Ia menyadari apabila hal itu sampai terlaksana, tentulah ia takkan lepas dari tanggung jawab "Andai ada peris wa dalam perjamuan tadi, mungkin fihak Daha tak dapat menyangka siapa yang melakukan pembunuhan itu.
Tetapi setelah terjadi peris wa itu, tentulah sangkaan akan jatuh pada diri Mahesa Rangkah, dengan sendirinya pa h Aragani-pun akan terlibat dalam pertanggungan jawab "Celaka manusia itu "
Ia mengeluh. Setelah keresahan memuncak pada kebingungan, karena ada menemukan jalan pemecahan, akhirnya ketegangan ha pa h Aragani mulai berangsur-angsur mengendap turun. Dan mulai pikirannya dapat bekerja mencari akal.
"Hm, manusia itu memang berbahaya. Inilah kesempatan yang baik untuk membunuhnya dengan meminjam tangan orang Daha "
Akhirnya ia menemukan akal. Serentak ia masuk kedalam ruang dur dan beberapa saat kemudian keluar memanggil pengawal "Lekas engkau serahkan surat ini kepada pangeran Ardaraja. Penting sekali!."
Tanpa banyak pikir, pengawal itupun segera bergegas keluar menuju ke keraton tempat kediaman pangeran.
Tetapi segera ia mengeluh.
Kemanakah ia harus mencari tempat kediaman pangeran itu ? Dan bukankah tak layak untuk mencari tempat kediaman pangeran Ardaraja pada waktu semalam itu? Tidakkah para penjaga keraton akan mencurigainya ? Pengawal patih Aragani itu mulai bingung.
Ia menyesal mengapa tadi ia tak menanyakan letak kediaman pangeran kepada patih Aragani.
Tampaknya surat itu tentu amat penting sekali sehingga patih Aragani memberi pesan harus segera dapat diterima pangeran Ardaraja.
Saat itu tengah malam.
Suasana keraton Daha sunyi senyap.
, Akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menyelundup kedalam.
Apabila tertangkap penjaga, ia akan mengaku terus terang.
Tentulah penjaga itu akan membawanya kepada pangeran Ardaraja.
Dengan berindap-indap langkah, ia menyusup disepanjang kerindangan yang gelap, agar jangan terlihat orang.
Makin lama ia makin mendeka puri dalam dimana para puteri dan keluarga raja berdiam.
Pikirnya, tempat kediaman pangeran Ardaraja tentulah terletak disitu.
Sebagai seorang putera mahkota tentulah pangeran itu memiliki keraton kediaman yang indah.
Dan ia akan mencari bangunan yang paling indah dan megah diantara lainnya.
Pada saat ia hendak melintas sebuah halaman yang memisahkan batas dengan puri dalam, ba2 seorang penjaga berjalan melintasi lorong.
Rupanya dia prajurit yang menjaga keamanan.
Melihat itu buru2 pengawal itu menyelundup kedalam gerumbul pohon yang gelap.
Setelah prajurit itu lenyap dan dia hendak melangkah keluar, ba2 pula tengkuknya dicekik orang dari belakang.
Sebelum ia sempat bicara, mulutnya sudah dibungkam oleh sebuah tangan yang kuat.
"Siapa engkau ki sanak ! "seru orang yang menyergapnya itu dengan nada pelahan tetapi bengis, seraya memutar leher pengawal itu menghadap ke belakang.
"Uh "pengawal itu terbeliak kaget dan mendesuh tetapi karena mulutnya dibungkam, ia tak dapat mengeluarkan suara. Sekalipun begitu, apa yang dilihatnya saat itu, cukup mendebarkan hatinya. Ternyata penyergap itu seorang yang berpakaian hitam, mukanyapun ditutup dengan kain hitam, hanya bagian mata yang diberi lubang.
"Lekas bilang! "
Orang aneh itu menghardik pula. Pengawal pa h Aragani gelagapan dan tangannya menunjuk pada tangan orang yang tengah mendekap mulutnya. Penyergap itu rupanya sadar lalu melepaskan dekapannya.
"Aku prajurit pengawal gus pa h Aragani "
Sahut pengawal itu sembari hendak berusaha mencari kesempatan meloloskan diri.
Tetapi pada suatu ke ka ia beringsut, hendak beranjak, punggungnya terlanggar oleh sebuah benda yang tajam sehingga memberikan rasa sakit pada kulit punggung.
Ia menyadari bahwa orang berkerudung kain hitam itu tengah melekatkan senjata tajam ke punggungnya.
Terpaksa ia hentikan gerak tubuhnya.
"Mengapa malam-malam engkau keluar kesini ? "
Seru orang berkerudung kain hitam itu setengah berbisik.
"Aku tak dapat dur dan keluar mencari angin .... huhhhh "
Orang itu mengerang kesakitan ke ka benda tajam yang melekat pada punggungnya itu tiba2 beralih menusuk kulit tenggorokannya."
"Bohong "
Bentak orang berkerudung kain hitam "lekas bilang terus terang atau kupotong lehermu."
Pengawal itu merupakan prajurit pilihan. Tetapi dalam menghadapi, bahaya seper saat itu, runtuhlah nyalinya. Dia menggigil "Baik, jika engkau mau mengampuni jiwaku, aku mau bilang dengan sejujurnya."
"Lekas "hardik orang itu.
"Aku diutus gusti patih."
"O"
Orang berkerudung kain hitam itu mendesus kejut "kemana?."
"Menyampaikan surat kepada pangeran Ardaraja."
"O"
Kembali orang berkerudung kain hitam itu mendesuh lebih keras "surat apa ?."
"Entah, aku tak tahu isinya."
"Berikan surat itu kepadaku ! "
Perintah orang berkerudung kain hitam. Pengawal pa h Aragani terdiam. Rupanya ia bersangsi "Mengapa engkau hendak meminta surat gusti patih itu ?."
"Aku yang akan menyampaikan kepada pangeran "
Kata orang itu.
"Siapa engkau? "tanya pengawal.
"Aku orang bawahan pangeran yang ditugaskan untuk melindungi keamanan keraton dan diberi wewenang untuk membunuh siapa saja yang mencurigakan "
Pengawal patih Aragani itu terdiam.
"Lekas atau kubunuh engkau"
Bentak orang berkerudung kain hitam pula seraya melekatkan pisaunya makin keras ke tenggorokan orang. Pengawal itu ketakutan lalu mengambil surat dari dalam baju dan diserahkan kepada orang berkerudung.
"Engkau tak perlu melapor pada gus pa h tentang diriku. Cukup katakan kepadanya bahwa surat itu sudah engkau berikan kepada pangeran, mengerti?."
Pengawal itu mengangguk.
"Bodoh jika engkau tak menurut nasehatku. Karena pa h Singasari itu tentu akan murka dan mungkin akan menjatuhkan hukuman mati kepadamu."
Habis berkata orang itu terus loncat dan menghilang dalam kegelapan, meninggalkan pengawal yang masih dicengkam kemenungan.
Ia merasa seper bermimpi buruk.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ke ka menggigit bibirnya, ia masih merasa sakit.
Setelah menimang beberapa saat, akhirnya ia membenarkan kata2 orang berkerudung tadi.
Lebih baik ia menghaturkan laporan kepada pa h Aragani bahwa surat itu telah diterima oleh pangeran Ardaraja.
Segera ia kembali ke bangsal agung tempat penginapan patih Aragani.
Sementara di keraton kediaman pangeran Ardaraja, saat itu tampak sesosok bayangan hitam tengah menyusur sepanjang tempat yang gelap.
Gerakan orang itu lincah dan tangkas sekali.
Langkahnya hampir tak menerbitkan suara.
Dia mengenakan pakaian warna hitam dan kepalanya pun memakai kain penutup hitam hingga sampai ke leher.
Sepintas, dia menyerupai hantu yang berkeliaran pada malam hari.
Dia bukan lain adalah orang yang telah menyergap pengawal utusan pa h Aragani tadi.
Setelah memeriksa surat dari pa h Aragani, marahnya bukan kepalang.
"Huh, bedebah Aragani itu hendak bersekutu dengan pangeran Ardaraja untuk membunuh aku? Setan"
Gumamnya "dia hendak meminjam tangan pangeran Ardaraja.."
Makin merenung isi surat itu makin meluaplah kemarahannya "Hm, engkau mengira dirimu cerdik Aragani? Tetapi Mahesa Rangkah lebih cerdik. Engkau licin, Mahesa Rangkah lebih licin lagi."
Ia segera merancang rencana bagaimana harus ber ndak.
Segera ia menuju ke keraton kediaman Ardaraja.
Setelah dengan susah payah dan berha -ha sekali akhirnya ia berhasil masuk ke dalam ruang peraduan itu melalui jendela yang diungkitnya dengan ujung bela .
Dilihatnya pangeran itu masih dur diatas pembaringan "Jika pangeran Daha ini kubunuh, pa h Aragani pas terlibat dan akan terjepit dalam dua karang tajam.
Akuwu Jayakatwang tentu murka dan menuntut kema an pa h Aragani.
Baginda.Kertanagara demi mengambil ha Daha, tentu akan menghukum pa h itu.
Dia tak dapat lolos lagi."
Dengan berjingkat-jingkat ia menghampiri pembaringan pangeran itu.
Setelah memperha kan beberapa jenak bahwa, pangeran itu dur nyenyak barulah ia mencabut pedang pandak lalu dihunjamkan ke dada pangeran.
Kematian seseorang memang sudah digariskan oleh ketentuan nasib.
Dalam keadaan seperti saat itu, sungguh tak mungkin kalau pangeran Ardaraja akan terhindar dari kematian.
Tetapi rupanya dewata masih belum memperkenankan pangeran itu harus mati ditangan seorang pembunuh.
Rupanya dewata masih menggariskan suatu kehidupan panjang bagi pangeran Ardaraja dan kelangsungan kerajaan Daha.
Tiba2 pangeran itu mengeluh dan membalikkan tubuhnya "Aduh ...
"ia menjerit kaget dan kesakitan ketika bahu kirinya tertusuk ujung pedang. Cepat ia memberingas bangun. Pangeran Ardaraja memang gemar menuntut ilmu kanuragan. Ia menyadari bahwa sebagai seorang putera raja yang kelak menggan kedudukan ramanya, ia tentu menghadapi segala macam bahaya. Dan cita-cita yang dihembuskan ramandanya, raja Jayakatwang, bahwa Daha harus bangkit kembali sebagai kerajaan yang kuat dan jaya, makin menggelorakan semangat pangeran itu. Oleh akuwu Jayakatwang, pangeran itu dikirim kepada seorang resi sak di puncak gunung Kelud. Dan setelah menyelesaikan pelajaran ilmu jaya kawijayan, ia menjadi seorang pangeran yang ditaku oleh orang bawahannya. Bukan hanya karena dia putera raja, pun karena kedigdayaannya. Tusukan pedang yang mengenai bahunya, cepat menjagakan pangeran itu dari durnya dan secepat itu pula ia segera tahu bahwa seorang yang mukanya tertutup kain hitam tengah mengacungkan pedang kearahnya. Ia segera tahu dan menyadari apa yang terjadi saat itu. Cepat ia tebarkan selimut kemuka orang itu. Orang itu terkejut juga. Cepat ia menyiak tebaran selimut itu dengan pedangnya tetapi pada saat itu pula perutnya didupak kaki Ardaraja sekuat-kuatnya.
"Huh ....
"orang berkerudung kain hitam itu mendesuh kejut dan terlempar kebelakang. Dupakan kaki Ardaraja itu cukup keras, sehingga ia terbungkuk-bungkuk macam kura hendak bertelur. Dia menyadari kalau rencananya telah gagal. Dan diapun kua r apabila Ardaraja berteriak, tentulah para penjaga keraton segera akan datang mengepungnya. Ia tahu bahwa prajurit Daha memiliki tata-ter b yang nggi dan kedigdayaan yang mengejutkan. Daripada harus tertangkap dan mati, baiklah ia meloloskan diri. Dilihatnya saat itu pangeran Ardaraja sudah loncat turun dari pembaringan. Orang itu tak mau memberi kesempatan lagi. Tiba- ba ia taburkan pedangnya kearah pangeran Ardaraja yang tak gugup. Serentak ia menyambar bantal dan disong-songkan sebagai perisai untuk melindungi mukanya dari sambaran pedang. Pada saat ujung pedang menembus bantal itu, ia segera melepaskan bantal dan loncat ke belakang. Dengan cara yang cerdik itu dapatlah pangeran Ardaraja terlepas dari bahaya maut. Serentak ia hendak menyerang pembunuh gelap itu tetapi alangkah kejutnya ke ka bayangan orang itu sudah lenyap dalam ruang. Ia menduga ke ka ia sedang menyongsongkan bantal untuk melindungi mukanya, tentulah pembunuh gelap itu sudah menggunakan kesempatan untuk loncat dari jendela dan melarikan diri. Pangeran itu seorang yang berani. Ia tak mau berteriak memanggil penjaga melainkan membuka pintu dan lari keluar untuk mengejar. Tetapi sejenak berhen di halaman dan mengeliarkan pandang ke empat penjuru, ia tak dapat menemukan jejak penjahat itu. Agar tak membuat kejut para penjaga, iapun segera kembali ke ruang peraduannya lagi. Tiba2 ia melihat secarik sampul terhampar dilantai. Dipungutnya sampul itu. Ke ka membaca isinya, ia terbelalak "Surat dari pa h Aragani? Dia hendak memberi peringatan kepadaku supaya malam ini berjaga-jaga? Adakah dia sudah tahu akan kemungkinan penjahat itu hendak membunuh aku? "
Tanyanya seorang diri "jika demikian, jelas dia harus tahu siapa pembunuh gelap itu."
Namun pangeran itu dapat bersikap tenang.
Tak mau malam itu ia membuat gaduh dan mendatangi ke-tempat patih Aragani.
Ia akan menunggu sampai esok hari baru akan bertanya.
Demikian malam itu telah berlalu tanpa suatu peris wa lain yang menggemparkan.
Keesokan harinya pangeran Ardaraja mengunjungi patih Aragani.
Agak terkejut pa h Aragani menyambut pangeran Ardaraja yang sepagi itu sudah mengunjunginya.
Diperha kannya wajah pangeran itu tenang2 saja.
Adakah semalam tak terjadi suatu apa? Pikir patih Aragani.
Setelah dipersilahkan masuk dan duduk berhadapan maka pa h Aragani pun menyatakan keheranannya mengapa sepagi itu pangeran datang kepadanya.
"Terima kasih paman patih"
Ujar pangeran "bahwa engkau telah memberi peringatan kepadaku."
"O "desuh pa h Aragani seke ka menyadari mengapa pangeran itu datang kepadanya "tetapi gusti pangeran, tidakkah semalam terjadi sesuatu ?."
"Ada "
Pangeran mengangguk "hampir saja seorang penjahat membunuhku."
"Oh "
Pa h Aragani mendesuh "tetapi bukankah raden sudah bersiap menjaga se ap kemungkinan seperti yang kuhaturkan dalam surat itu ?."
Pangeran Ardaraja gelengkan kepala.
"Tidak, paman "
Sahutnya "aku dur dengan nyenyak sehingga bahuku yang kiri ini te luka"
Ia menunjukkan bahu kirinya yang dibalut dengan kain dan masih berwarna merah. Patih Aragani terbelalak.
"Raden "
Serunya "mengapa raden sampai terluka? Bukankah paman sudah mengirim berita kepada raden ?."
"Ya "
Pangeran Ardaraja mengangguk "tetapi setelah peristiwa itu selesai."
"Hah ? "
Patih Aragani ternganga "apa maksud raden? Sukalah raden memberi penjelasan kepada paman."
"Aku mendapatkan surat dari paman itu bertebaran di lantai."
"Hai "
Teriak pa h Aragani seper dipagut ular "
Dakkah raden menerima surat itu dari prajurit yang kuutus?."
Ardaraja gelengkan kepala "Tidak pernah orang datang kepadaku, paman pa h.
Yang datang hanyalah seorang penjahat berkerudung kain hitam mukanya, hendak membunuh aku dan meninggalkan surat dari paman itu" ' Dalam mengucapkan kata2 itu nada Ardaraja makin bengis.
Pa h Aragani yang cerdik dapat menangkap maksud kata2 pangeran itu.
Jelas pangeran itu hendak menuduh bahwa pa h Aragani lah yang mengirim pembunuh itu.
"Ah, dak, raden"
Wajah pa h Aragani agak pucat "tak mungkin paman akan mengirim surat itu kepada seorang pembunuh. Jelas paman telah mendapat laporaran dari pengawal yang paman suruh, mengatakan bahwa surat itu telah raden terima.."
"Dimanakah prajurit pengawal yang paman utus itu?"
Tanya Ardaraja. Aragani segera menitahkan pengawal untuk memanggil pengawal yang di tahkan membawa surat kepada Ardaraja semalam "Hai, benarkah engkau sudah menyerahkan surat itu kepada pangeran Ardaraja?"
Ke ka melihat pangeran Ardaraja berada disitu, gemetarlah prajurit Itu "Hamba ... mohon ampun, gusti patih ... ."
Aragani makin curiga "Lekas katakan !."
Dengan suara terbata-bata pengawal itu segera menghaturkan laporan apa yang dialaminya semalam ketika hendak menghaturkan surat patih Aragani kepada pangeran Ardaraja.
"Bedebah, engkau berani bohong kepadaku,"
Pa h Aragani terus mencabut keris lalu hendak ditusukkan ke tubuh pengawalnya.
"Harap paman pa h jangan tergesa membunuhnya "cegah Ardaraja "aku hendak bertanya lebih lanjut kepadanya.."
Kemudian pangeran itu bertanya kepada pengawal, mengapa pengawal itu mau menyerahkan surat dari patih Aragani kepada orang itu.
"Dia mengatakan kalau ditugaskan paduka sebagai pengawal keraton paduka, gus pangeran "
Pengawal itu lalu menceritakan apa yang dikatakan orang berkerudung kain hitam kepadanya.
"Dan engkau percaya ? "
Pangeran menegas.
"Percaya, gusti."
"Mengapa ?."
"Karena hamba belum tahu akan seluk beluk keraton paduka. Kedua, hamba diancamnya hendak dibunuh apabila tak mau menyerahkan surat itu. Dan ke ga kali, hamba mbang alasan yang dikemukakannya itu cukup beralasan."
"Keparat! "pa h Aragani mendamprat pula "mengapa engkau sebodoh kerbau tercocok hidung ?"
Dengan gemetar pengawal itu memohon ampun atas segala kesalahannya.
Dan Aragani karena merasa sebagai tetamu, tak layak kalau membunuh prajurit di-depan dan di tempat keraton orang "Hukumanmu, akan kuputuskan kelak apabila sudah berada di pura Singasari."
"Paman pa h "kata Ardaraja.
"sekarang persoalan ini sudah jelas. Walaupun bukan paman yang menitahkan pembunuh itu, tetapi paman tentu tahu siapakah orang itu."
"Bagaimana raden dapat menduga begitu ?."
"Selama belasan tahun ini tak pernah terjadi seorang luar, terutama penjahat, mampu melalui penjagaan yang ketat dalam keraton Daha. Baru kali inilah peristiwa itu terjadi "' "Setelah paman datang ini ?"
Patih Aragani menegas. Ardaraja mengangguk "Betapapun aku hendak menghindari pernyataan itu tetapi kenyataan memang demikian.."
Patih Aragani tertegun.
"Aku bukan menuduh bahwa paman pa hlah yang menyuruh penjahat itu tetapi kupercaya paman tentu tahu siapa orang itu.."
Pa h Aragani memang sudah menduga arah tujuan kata2 pangeran Ardaraja.
Dan iapun sudah siap untuk memberi jawaban "Raden, paman duga orang itu tak lain adalah prajurit dalam rombongan pengiring paman yang telah merubuhkan beberapa bekel dan tumenggung Pencok Sahang tadi.."
"Paman masih menduga?"
Pangeran Ardaraja agak mengernyut dahi.
"Selama belum mengetahui pas , paman tak berani mengatakan dengan tegas"
Sahut Aragani "dan dugaan paman itu berdasar karena prajurit itu telah lenyap dari rombongan pengiring paman.."
"Siapakah dia, paman? "Ardaraja mendesak.
"Dia sebenarnya seorang bekel bhayangkara dalam keraton Singasari "
Aragani memberi keterangan dengan terus terang agar dirinya bersih dari tuduhan "dia menghadap paman dan mohon supaya diperkenankan ikut serta dalam rombongan pengiring paman ;".
"Apa alasannya?."
"Karena dia ingin sekali dapat melihat keadaan keraton Daha dan mengenal para mentri senopati Daha."
"Siapakah namanya, paman?."
"Mahesa Rangkah."
"Mahesa Rangkah? "
Ardaraja kerutkan kening seper hendak mengingat-ingat. Tetapi ia tak bersua dengan nama itu dalam ingatannya.
"Dapatkah paman menduga-duga, mengapa dia hendak membunuh aku? "
Tanyanya pula. Pa h Aragani tak lekas menjawab melainkan berdiam diri beberapa saat. Ia masih mempertimbangkan bagaimana harus memberi jawaban.
"Menurut kabar2 yang selama ini paman terima, bekel Mahesa Rangkah itu memang sudah melampaui batas-batas tugas yang di berikan kepadanya. Dia telah mendapat kepercayaan dari baginda untuk mengepalai prajurit bhayangkara yang menjaga puri keputren. Diapun sering di tahkan kedua puteri baginda, puteri Tribuwana dan puteri Gayatri untuk mengawal apabila kedua puteri baginda itu bercengkerama keluar keraton.."
"O "
Desuh Ardaraja.
Diam2 pa h Aragani girang.
Ia melihat suatu kesempatan untuk menusukkan jarum2 berbisa ke benak putera akuwu Jayakatwang itu, agar mbul rasa curiga dan cemburu terhadap hubungan kedua puteri baginda Kertanagara dengan bekel Mahesa Rangkah.
"Menurut beberapa prajurit bhayangkara yang menjadi bawahan bekel Mahesa Rangkah itu, tampaknya bekel itu menaruh hati pada kedua puteri terutama terhadap puteri Tribuwana.."
Aragani berhen sejenak untuk menyelimpatkan pandang ke wajah pangeran itu. Dilihatnya wajah pangeran itu bertebar merah.
"Makin lama makin jelas ngkah bekel Mahesa Rangkah itu dalam usahanya untuk memikat ha gusti puteri Tribuwana "
Katanya lebih lanjut.
"Hm, adakah puteri juga membalas perhatian kepadanya? "
Ardaraja mulai terpikat.
"Dalam hal itu, paman belum menerima laporan yang jelas "
Kata Aragani "maklumlah, tak mungkin prajurit2 bhayangkara itu dapat mengetahui sikap dan isi hati seorang puteri agung seperti gusti puteri Tribuwana.
Hanya paman pernah mendapat laporan yang agak dapat dijadikan dasar rabahan tentang hubungan puteri dengan bekel itu.."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ardaraja terbeliak.
"Silahkan paman menceritakan "
Katanya.
Pa h Aragani lalu menuturkan tentang peris wa pada waktu kedua puteri baginda bercengkerama di taman Boboci, pernah hendak diganggu oleh sekelompok lelaki tetapi dapat dihajar oleh bekel Rangkah.
Puteri Tribuwana memberi pujian kepada bekel itu.
Dahi Ardaraja makin mengerut dalam.
"Paman "
Katanya sesaat kemudian dalam nada bersungguh -sungguh "Aku ingin aku bertanyakan sesuatu kepada paman pa h. Tetapi lebih dahulu, sukalah paman memberi maaf apabila pertanyaanku itu paman anggap lancang ataupun kurang susila.."
"0h.. sudah tentu paman akan merasa gembira apabila dapat menjawab pertanyaan raden. Silahkan raden melimpahkan pertanyaan itu, takkan kiranya paman mengambil di ha ataupun menganggap yang bukan pada tempatnya.."
"Baik, paman "
Kata Ardaraja "apakah sesungguhnya yang terkandung alam amanat baginda yang paman bawa ke Daha ini ?."
Aragani tertawa.
"Amanat suci yang bermaksud baik agar antara Singasari dan Daha terikat dengan persatuan keluarga "
Sahut Aragani.
"Tidakkah dalam amanat itu mengandung sesuatu yang lain dari itu?."
Aragani yang cerdik sudah dapat menduga kemana arah tujuan pertanyaan Ardaraja itu. Namun ia masih pura2 menegas "Apakah yang raden maksudkan?."
"Tidakkah anugerah baginda itu mengandung tujuan lain disebabkan karena sesuatu?."
"Sesuatu tentang? "
Desak Aragani.
"Tentang puteri baginda yang hendak dijodohkan kepadaku itu "
Akhirnya karena terdesak Ardarajapun meluapkan isi hatinya. Aragani tertawa. Diam2 ia gembira karena Ardaraja mulai terpancing "Paman rasa tidak, raden."
"Paman "
Kata Ardaraja "tahukah paman siapakah kiranya puteri baginda yang hendak baginda anugerahkan kepadaku itu ?."
"Paman sendiri kurang jelas, raden "
Sahut Ardaraja "baginda mempunyai beberapa orang puteri yang cantik. Paman percaya, tentulah baginda takkan mengecewakan harapan raden."
"Mudah-mudahan apa yang paman katakan itu, akan terlaksana sebagai anugerah baginda. Dalam hal anugerah itu, bukan soal rupa, bukan soal ilmu kepandaian, bukan pula soal harta dan benda yang kuharapkan, paman. Melainkan soal kesucian, jiwa dan ragalah yang hamba dambakan,"
Patih Aragani tahu apa yang dimaksud dalam kata-kata pangeran itu.
Pangeran itu secara halus menolak akan puteri Tribuwana dan Gayatri yang walaupun belum terbukti, tetapi sudah terselubung asap desas desus yang kurang layak.
Diam2 Aragani gembira sekali.
Tusukan jarumnya telah berhasil membuat Ardaraja marah.
Pada hal jelas, puteri Tribuwana itulah yang berhak atas tahta kerajaan Singasari.
Yang jelas apabila kelak Ardaraja menerima hadiah puteri baginda Kertanagara, tentu masih harus berebut kekuasaan dengan calon suami puteri Tribuwana.
Yang jelas pula, calon suami puteri Tribuwana itu tentulah bukan orang Daha.
Legalah sudah hati patih itu;
"Pendirian raden itu benar2 pendirian seorang pangeran yang luhur"
Ia menambah kata2 untuk mengikat pendirian Ardaraja agar jangan berobah haluan "akan paman bantu sekuat kemampuan paman agar seri baginda dapat menyelami dan berkenan meluluskan harapan raden."
Demikian setelah menghadap akuwu Jayakatwang dan menerima persetujuan dari raja Daha itu, akhirnya patih Aragani dan rombongannya meninggalkan Daha.
"Kepergianku ke Daha kali ini, sungguh langkah yang beruntung "patih itu masih merenung dalam ratha yang membawanya menyusur sepanjang jalan ke Singasari. Walaupun di kanan kiri tampak pemandangan alam yang permai, namun perha annya hampa tercurah pada peris wa2 yang telah dialaminya selama di keraton Daha.
"Sungguh tak kusangka, bahwa dengan sekali tepuk aku dapat membunuh dua lalat."
Pikirnya lebih lanjut "Ardaraja tak mungkin menjadi menantu raja yang berhak atas tahta Singasari. Mahesa Rangkah pun tentu tak berani pulang ke keraton Singasari lagi, ha, ha "
Ia tertawa gembira.
Kemudian ia merenungkan sikap dan ucapan akuwu Jayakatwang "Jelas Jayakatwang itu masih mendendam kepada Singasari.
Cerita yang diperdengarkan kepadaku, menunjukkan pendiriannya.
Bahwa idam-idamannya untuk membangun Daha lagi, harus dilakukan dengan usahanya sendiri.
Dia menolak suatu pemberian dari baginda Kertanegara, andai baginda hendak memberi kedaulatan penuh kepada Daha.
Diapun tak ingin mencari bantuan kepada lain kerajaan dalam merebut, kebebasan Daha dari kekuasaan Singasari.
Dia akan merebut kebangkitan Daha dengan tangannya sendiri."
"Hm "
Desuh patih Aragani "itulah sebabnya Daha giat mengumpulkan senopati dan memperbesar pasukannya.
Menilik jumlah yang begitu besar dari senopati-senopati Daha yang ikut hadir dalam perjamuan malam itu, memang tampaknya Daha makin kuat.
Jika senopatinya berjumlah sekian banyak tentulah prajuritnya juga besar sekali jumlahnya.
Berbahaya,"
Patih Aragani tersentak dari lamunan ketika tertumbuk akan dugaan itu.
"Ah, mengapa seri baginda masih terlelap dalam lamunan untuk merangkul Daha dengan ikatan keluarga ? "
Makin bergejolak perasaan pa h itu "ibarat orang memelihara anak macan. Betapapun anak macan itu diberi daging sekenyangnya, dipelihara baik2, tetapi kelak apabila sudah besar tentu akan menerkam yang memelihara."
"Sebelum anak macan itu tumbuh kukunya, dia harus dibasmi"
Pikirnya lebih lanjut "tetapi bagaimana caranya. Untuk menyadarkan baginda Kertanegara akan bahaya itu, rupanya sukar. Baginda menaruh kepercayaan yang amat besar kepada akuwu Jayakatwang. Hm"
Ia mendesuh. Pikirannya melayang-layang untuk memaksakan keluarnya suatu k terang tetapi makin dipaksa, bukan titik terang yang keluar, kebalikannya pikirannya malah keruh, kepalanyapun panas.
"Ah "
Ia melepaskan pandang ke tegal yang hijau. Nun jauh di sebelah utara, tampak gunung Argapura menjulang dengan megah. Jauh di belakangnya tampak pula bayang2 gunung Arjuna.
"Demang Kar ka "
Ba2 ia berteriak memanggil demang Kar ka yang mengepalai barisan pengiringnya.
Terdiri dari empatpuluh prajurit berkuda kurang satu yani bekel Mahesa Rangkah yang telah melarikan diri itu.
Seorang lelaki bertubuh tegap, segera mencongklangkan kudanya yang berbulu merah kearah ratha patih Aragani.
"Demang Kartika siap menerima perintah gusti patih "
Serunya.
"Sampai dimanakah kita sekarang ?"
Tanya patih Aragani.
"Kita telah melalui desa Ngantang dan kini melintasi watek-bumi Daha, dalam perjalanan sepanjang kaki gunung Kelud, gusti"
Kata demang Kartika.
"Setelah itu kita akan mencapai telatah Kawi, bukan?."
"Benar, gusti"
"Ki demang "
Kata pa h Aragani pula "kudengar bahwa daerah Kawi itu subur tanahnya dan mengeluarkan beberapa macam buah-buahan yang lezat."
"Benar, gusti."
"Dan kudengar pula bahwa di gunung Kawi banyak tumbuh palapa."
"O, hamba kurang tahu, gusti."
"Engkau tahu buah palapa itu, demang?."
"Kalau hamba tak salah, palapa itu adalah semacam rebung dari sejenis pohon bambu yang daunnya kecil dan berwarna wulung."
"Ya, benar"
Kata pa h Aragani "palapa itu lezat sekali untuk lalap, dicampur dengan parutan kelapa."
"O "
Demang Kartika mengangguk.
"Tetapi sukar sekali mencari palapa itu, karena pohonnya jarang terdapat dan dak sembarang tempat tumbuh pohon itu. Oleh karenanya makanan itu merupakan hidangan mewah dari para priagung luhur."
Kembali demang Kartika hanya mengangguk.
"Demang "
Seru patih Aragani "sudahkah engkau pernah memakannya?."
"Belum gusti"
Sahut demang Kartika.
"Baiklah "
Kata pa h Aragani "nan apabila ba di telatah Kawi, kita berhen dan akan kutitahkan prajurit untuk mencari buah itu. Engkaupun akan ku-hadiahi bagian, demang."
"Terima kasih, gusti patih "
Demang Kartika menghaturkan terima kasih.
"Demang"
Tiba2 patih Aragani berseru pula "sekalian tangkapkan juga burung kepodang."
Demang Kartika terkesiap tetapi buru2 ia mengia-kan saja.
"Burung kepodang itu akan kupelihara di kepa han. Apabila kelak anak perempuanku, isteri raden Kuda Panglulut itu mengandung, akan kusuruh dia makan burung kepodang agar puteranya kelak berwajah rupawan". Demikian ratha pa h Singasari itu melanjut pula. Debu berkepul-kepul sepanjang jalan yang dilintasi ratha yang ditarik oleh delapan ekor kuda tegar. Sebagai pa h Singasari yang menjadi utusan raja, pa h Aragani diperkenankan baginda untuk naik ratha kebesaran dan diiring oleh sedomas atau empat puluh pasukan berkuda. Pa h Aragani memang ingin menunjukkan kepada orang Daha, akan kebesaran seorang pa h Singasari. Untuk menambah kewibawaan dan keagungan dari amanat seri baginda yang dibawanya ke Daha itu. Patih Aragani memang gemar membanggakan kekuasaannya. ~DewiKZ~Ismoyo~MCH~ II Kunjungan pa h Aragani beserta rombongan pengiringnya ke Daha, diketahui juga oleh Nararya dan kawan2 yang bermarkas di gua Selamangleng. Pa h Singasari berkunjung secara resmi ke Daha, tentu membawa berita pen ng. Nararya menyebar anak-buah bekel Saloka untuk mencari berita. Ke ka Nararya mendapat laporan bahwa kunjungan pa h Aragani ke Daha itu bermaksud untuk menyampaikan amanat seri baginda Kertanagara hendak memungut putera menantu kepada pangeran Ardaraja, Nararya terkejut. Entah apa sebabnya, ada sesuatu yang meresahkan pikiran hatinya mendengar berita itu. Seke ka terbayanglah Nararya akan kedua puteri baginda Kertanagara yang pernah dijumpainya di taman Boboci tempo hari.
"Adakah salah seorang dari kedua puteri itu yang hendak dijodohkan dengan pangeran Ardaraja "
Ia bertanya dalam hati. Pertanyaan yang terjawab penuh keraguan dan kecemasan, bersumber pada reka dan dugaan pikirannya sendiri.
"Tentulah kemungkinan yang paling besar, baginda akan menjodohkan pangeran Ardaraja dengan puteri yang sulung, gusti ayu Tribuwana "
Sebuah jawaban menampil.
"Dan tak mungkin kedua puteri itu akan baginga berikan semua kepada pangeran Ardaraja"
Lain jawaban timbul.
"Ya, tentu hanya salah seorang dari kedua puteri itu "
Makin berat kecenderungan dugaannya tetapi pada lain saat ia menghela napas "ah, mengapa harus kedua puteri itu yang diberikan kepada raden Ardaraja ....."
Tiba pada pemikiran itu, ia merasa kehilangan sesuatu.
Aneh.
Mengapa ia mempunyai perasaan, demikian, ia sendiri tak tahu, tak mengerti.
Tak tahu tetapi merasa.
Tak mengerti tetapi kecewa.
Pikirannyapun melayang kembali ke saat2 ia berhadapan dengan kedua puteri Tribuwana dan Gayatri.
Saat itu ia merasa seper melihat sepasang surya kembar memancar di hadapannya.
Dengan pancaran sinar surya kembar itu, ia merasa dilingkungi oleh kewibawaan dan keagungan.
Kemudian setelah ia kembali ke Daha, ia merasa alam disekeliling ini hampa, surya tidak gemilang.
Hampir saja semangatnya tenggelam dalam kehampaan dan kesunyian.
Hampir nyala hidupnya mengalami keredupan.
Beberapa hari ia rasakan tubuhnya lunglai, tak nafsu makan,, tak enak dur.
Ia membiarkan dirinya terhanyut, terhempas dan akhirnya tenggelam ke dasar laut ke hampaan.
Bekel Saloka sibuk melihat perobahan sikap yang aneh dari Nararya.
Ia mengira pemuda itu sakit.
Akan tetapi setelah mendapat keterangan dari Pamot tentang peris wa pertemuan Nararya dengan kedua' puteri baginda Kertanagara di taman Boboci, bekel Kuda Saloka tertawa dan geleng- geleng kepala.
"Ah, penyakit anakmuda kiranya yang menghinggapi raden Nararya."
Ia kasihan juga dan memberi nasehat "Raden, ada yang dapat menyembuhkan penyakit di tubuh kita, kecuali kita sendiri.
Banyak nian jenis penyakit itu.
Ada sebuah penyakit yang aneh yani yang disebut 'sakit tapi bukan penyakit'.
Jenis penyakit aneh itu, paling sukar dioba .
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tabib dan dukun yang pandai tak mampu mengobati, bahkan dewapun tak sanggup menyembuhkan.
Penyakit itu disebabkan rasa sakit dan rasa sakit bersumber pada rasa ha peribadi.
Oleh karena itu, yang dapat menyembuhkan adalah rasa hati sendiri, raden."
Saat itu Nararya terbeliak. Ia terkejut karena bekel Saloka dapat menebak sakitnya.
"Aku gembira sekali karena raden mengidap penyakit aneh itu "
Kata bekel Saloka pula "karena dengan begitu raden menetapi kodrat seorang pria yang memiliki cita2 nggi.
Tidak sembarang anakmuda berani menerima penyakit semacam yang menghinggapi raden itu.
Oleh karena itu, raden harus bangkit menyambut penyakit itu.
Ibarat surya, raden masih seper surya menjelang tengah hari.
Pancarkan sinar surya raden itu segemilang-gemilangnya, luaskan daerah penyinarannya sampai ke seluruh ujung buana.
Jangan idinkan awan dan kabut menutup sinar surya itu.
Pancarkanlah sinar raden ke seluruh alam, agar bunga2 bermekaran dan dewi2 kahyangan turun ke bumi.
Dengan memiliki sinar yang gilang gemilang itu, raden pas kuasa mempersunting dewi yang menjadi mustika buana ...
.."
Tergugah seke ka semangat Nararya mendengar kata2 bekel Saloka.
Ia malu dalam ha .
Bukankah turunnya dari pertapaan karena dianjurkan oleh gurunya untuk ikut serta menyongsong Wahyu Agung yang akan diturunkan dewata? Bukankah masih banyak tugas yang belum ia laksanakan? Hina bagi ksatrya yang lancung di ujian.
Nista ksatrya yang gugur iman karena goda wanita.
"Jodoh di tangan dewata,"
Akhirnya ia menyerahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widdhi.
Namun ke ka mendengar laporan bahwa pa h Aragani ke Daha untuk menyampaikan amanat baginda Kertanagara hendak memungut Ardaraja sebagai menantu, sesaat mbul pula penyakit dalam hatinya itu.
Ia termenung-menung.
Bekel Saloka cepat dapat menduga isi ha Nararya.
, Ia kua r raden itu akan kambuh lagi penyakitnya.
"Raden, malam ini di keraton akan diselenggarakan perjamuan untuk menghormat pa h Aragani "
Katanya.
"Lalu ? "
Tanya Nararya.
"Mari kita keluar dan menyelidiki di sekitar keraton. Siapa tahu kemungkinan akan terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita."
Nararyapun setuju.
Malam itu bersama Gajah Pagon dan bekel Saloka, ia menuju ke keraton.
Seper yang diduganya, saat itu keraton tentu dijaga keras.
Tak boleh sembarang orang masuk.
Maka terpaksa Nararya bertiga meneduh di bawah pohon brahmastana di alun-alun.
Beberapa lama menunggu, hampir saja Nararya mengajak kedua kawannya kembali ke Selamangleng "Ah, mereka bersuka ria menikma pesta, kita disini menggigil dihembus angin malam "
Katanya "lebih j,baik kita pulang saja."
"Baiklah kita bersabar sebentar lagi sampai perjamuan itu selesai, raden "
Kata bekel Saloka. Dalam hati sebenarnya Nararya mendesuh tetapi ia terpaksa menurut juga. Beberapa saat kemudian, mereka terkejut ke ka melihat beberapa prajurit Daha menggotong tubuh seorang tumenggung ke Balai Prajurit.
"Apa yang terjadi ? "
Tanya bekel Saloka. Belum pertanyaan itu terjawab, kembali mereka melihat beberapa prajurit mengiring Seorang prajurit lain ke bangsal tempat rombongan pengiring pa h Aragani.
"Apakah yang terjadi, ki bekel ? "
Tanya Nararya penuh keheranan "adakah dalam perjamuan terjadi suatu peristiwa ?."
"Mungkin juga, raden,"
Sahut bekel Saloka "karena biasanya dalam se ap perjamuan tentu dihidangkan juga minuman tuak. Dan tuak sering menjadi sumber keonaran."
"Tetapi kali ini perjamuan diselenggarakan oleh fihak keraton untuk menghormat kedatangan pa h Aragani yang menjadi utusan seri baginda Kertariagara. Tentulah akan dihindari hal2 yang mungkin menimbulkan keonaran."
Nararya mengangguk. Ia merenung. Seke ka mbul semangatnya yang telah lusuh tadi "Ki bekel dan kakang Pagon, baiklah kita terus berjaga di sekitar keraton ini. Kemungkinan malam ini dapat timbul pula suatu peristiwa yang tak terduga."
Mereka terus berjaga.
Tak berapa lama perjamuanpun usai.
Para prajurit, demang, senopati dan mentri2 berbondong-bondong meninggalkan pendapa agung.
Tak berapa lama keratonpun sunyi pula.
Jerih payah mereka ternyata memberi buah.
Lewat tengah malam, ba2 tampak sesosok tubuh menyelinap ke luar dari bangsal tempat penginapan prajurit pengiring pa h Aragani.
Orang itu menyelundup masuk ke dalam keraton.
Nararya dan kedua kawannya sibuk sekali.
Mereka tahu bahwa tentu akan terjadi sesuatu dalam keraton tetapi mereka tak berdaya mengiku orang itu, apalagi hendak mengetahuinya.
Penjagaan keraton terlalu ketat.
Dikua rkan pula jika nekad menerobos ke dalam keraton akan mengalami hal2 yang tak diharapkan.
Mereka terpaksa menunggu lagi.
Lama juga mereka menunggu baru tampak sesuatu yang mencurigakan.
Orang yang masuk ke dalam keraton tadi., bergegas keluar dan terus menuju ke kandang kuda dan tak lama dia menuntun ke luar seekor kuda.
Nararya ber ga segera memburu.
Mereka hendak menegur orang itu.
Tetapi orang itu berjalan lebih cepat menuju ke mur.
Setelah dekat gapura, dia terus naik kepunggung kuda dan mencongklangkannya ke luar pura.
Nararya dan kedua kawannya berlari-lari hendak mengejar tetapi terlambat.
Gajah Pagon masih sempat untuk berteriak "Hai, ki sanak, berhenti dulu."
Tetapi orang itu sudah naik dipelana kuda dan tanpa menghiraukan seruan Gajah Pagon, terus melarikan kudanya secepat angin.
"Ah, kita tak punya kuda, ki bekel "
Nararya mengeluh "tak mungkin mengejar jejak orang itu."
"Tetapi jelas dia menuju ke mur. Jika dia prajurit Singasari, tentulah dia akan kembali ke pura Singasari "
Kata bekel Saloka.
"Apa alasannya dia kembali ke Singasari seorang diri dan pada waktu lewat tengah malam begini ?"
Tanya Nararya. Bekel Saloka dan Gajah Pagon tak dapat memberi jawaban. Memang sangat aneh sekali gerak gerik orang itu.
"Bagaimana langkah kita sekarang, raden? "
Tanya bekel Saloka.
"Kita pulang dulu ke Selamangleng "
Kata Nararya "untuk beris rahat memulangkan tenaga. Esok pagi kita suruh anakbuah mencari berita."
Demikian mereka pulang.
Dan bekel Salokapun memerintahkan anakbuahnya untuk mencari berita di pura Daha.
Anakbuah itu kembali dengan membawa berita bahwa hari itu pa h Aragani akan bertolak pulang ke Singasari.
Bekel Saloka dan Gajah Pagon meminta pendapat Nararya dan Nararya segera mengatur langkah.
"Menilik gerak gerik orang yang masuk ke dalam keraton lalu diam2 meninggalkan rombongan dengan naik kuda seorang diri semalam, jelas tentu terjadi sesuatu. Oleh karena dari fihak keraton Daha tak terdengar berita apa2, kita dapat alihkan dugaan pada fihak patih Aragani."
Berhen sejenak Nararya melanjutkan pula "Jelas orang itu salah seorang dari rombongan pengiring pa h Singasari.
Hanya ada dua kemungkinan yang dapat kita rabah.
Pertama, kepergiannya pada saat malam selarut itu atas sepengetahuan pa h Aragani, ar nya memang diutus oleh pa h Aragani untuk menyampaikan sesuatu laporan yang pen ng ke Singasari.
Dan kedua, orang itu memang telah melarikan diri dari rombongan patih Aragani."
"Kemungkinan yang kedua itu lebih mungkin, raden "
Seru Gajah Pagon "karena jelas dia telah masuk ke dalam puri keraton lalu bergegas keluar dan terus membawa kuda melarikan diri. Kemungkinan dia telah melakukan suatu perbuatan yang tak baik didalam puri keraton."
"Ki Pagon memang benar "
Sambut bekel, Saloka "tetapi mengapa anakbuahku tak berhasil memperoleh berita apa2 dari fihak puri keraton ? Mengapa keraton Daha tenang2 saja seper tak terjadi sesuatu? Bukankah se ap peris wa gangguan, betapapun kecilnya, tentu akan menghebohkan kalangan puri keraton?."
Gajah Pagon mengangguk "Ya, memang disitulah kelemahan dari kemungkinan kedua tadi. Jika demikian, kita layak cenderung beralih pada kemungkinan kesatu tadi."
"Baik "
Kata Nararya "sekarang kita berkemas untuk mengiku perjalanan pa h Aragani ke Singasari."
"Kita ke Daha ? "bekel Saloka menegas.
"Ki bekel "
Jawab Nararya "yang akan ke Singasari adalah aku dan kakang Pagon. Ki bekel supaya tetap mengama keadaan Daha. Terutama ki bekel harus menyelidiki gerak gerik bekel Sindung. Rasanya dia mempunyai peran besar dalam kehebohan selama ini."
Demikian Nararya dan Gajah Pagon segera bersiap mengikuti perjalanan rombongan patih Aragani.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia dan Gajah Pagon harus menjaga jarak tertentu di belakang.
Jangan sampai jejak keduanya diketahui rombongan pengiring patih Aragani, tetapipun jangan sampai kehilangan akan sasaran yang diikutinya.
Demikian pada saat itu, ke ka memasuki telatah gunung Kawi, Nararya dan Gajah Pagon melihat rombongan pa h Aragani itu berhen disebuah daratan dekat lembah.
Nararya dan Gajah Pagon terpaksa harus berhen juga, Agar tak tertampak orang2 Singasari, Nararya dan Gajah Pagon bersembunyi dalam sebuah hutan.
"Tetapi dari hutan ini, kita tak dapat melihat gerak gerik mereka, raden "
Kata Gajah Pagon.
"Benar "
Kata Nararya "kita tambatkan kuda di semak rumput dan marilah kita cari sebatang pohon yang besar dan tinggi."
Setelah menambatkan kudanya pada pohon disekeliling semak rumput, keduanyapun berhasil mendapatkan sebatang pohon randu alas yang nggi dan rindang daunnya.
Nararya mengajak Gajah Pagon memanjat-sampai mencapai ke nggian yang tertentu.
Dari tempat itu mereka dapat memandang kesekeliling penjuru, termasuk kearah rombongan pengiring pa h Aragani yang sedang berhenti jauh di sebelah muka.
Diam2 Gajah Pagon memuji kecerdikan Nararya.
"Hendak mengapakah mereka, raden? "
Tanya Gajah Pagon.
"Kemungkinan mereka hendak berburu atau beristirahat dulu. Kita lihat saja apa yang akan mereka lakukan "
Jawab Nararya.
Saat itu sebenarnya hari sudah menjelang sore.
Rupanya pa h Aragani dak bermaksud untuk buru2 ba di pura Singasari.
Apabila yang hendak dicarinya itu, palapa dan burung kepodang sudah diperolehnya, barulah dia hendak berangkat lagi.
Bila perlu pa h itu akan bermalam di tempat buyut desa yang terdekat agar besok ba di pura pada siang hari.
Dengan demikian ia dapat langsung menghadap baginda untuk menghaturkan laporan.
Lama juga Nararya dan Gajah Pagon menunggu di puncak pohon randu alas itu.
Mereka melihat pa h Aragani telah menitahkan duapuluh prajurit pengiringnya untuk mendaki gunung.
Tetapi hingga surya hampir terbenam di balik gunung, tiada seorangpun dari prajurit2 itu tampak kembali.
"Demang Kar ka "
Teriak Pa h Aragani. Dan sesaat demang itu menghadap, iapun berkata pula "kemanakah gerangan keduapuluh prajurit itu ? Mengapa sampai saat ini ada seorangpun yang kembali?."
Demang Kartika juga gelisah.
"Idinkanlah hamba menyusul mereka, gusti patih."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pa h Aragani mengerut dahi "Jangan engkau ki demang. Tetapi kirimkan anakbuahmu ke atas gunung menyusul mereka."
Diam2 demang Kartika tertawa dalam hati.
Ia tahu patih itu tentu cemas apabila ditinggalkannya.
Dan memang benar.
Dia sendiripun enggan untuk pergi.
Bukan karena takut menyusul anakbuahnya ke atas gunung melainkan sebagai pimpinan prajurit pengiring, ia bertanggung jawab atas keselamatan patih Aragani.
Dia lalu menyuruh dua orang anakbuahnya menyusul kawan-kawannya tadi.
Cuaca makin remang, anakbuah yang diperintah menyusul itupun tak kelihatan kembali.
Demang Kar ka mulai gelisah.
Ia menghadap pa h Aragani "Gus pa h, rupanya terjadi sesuatu pada anakbuah kita "katanya "bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan untuk mencapai desa yang terdekat."
"Lalu bagaimana dengan mereka?"
Tanya patih Aragani.
"Yang pen ng adalah keselamatan gus "
Kata demang Kar ka "prajurit2 memang ditugaskan mengawal perjalanan gus pa h. Andai mereka mendapat halangan, adalah sudah menjadi tanggung jawab mereka."
"Tetapi ki demang sebagai pimpinan harus bertanggung jawab pula atas keselamatan mereka."
"Tentu, gus pa h "
Kata demang Kar ka "tetapi yang pen ng adalah pertanggungan jawabku atas keselamatan gus pa h.
Karena gus pa h adalah utusan sang nata.
Soal mereka, selekas kita ba di pura tentu akan kulaporkan pada tumenggung Wirakre sebagai mentri angabaya untuk mengirim pasukan ke puncak kawi."
Demikian setelah tercapai permufakatan, patih Araganipun setuju untuk melanjutkan perjalanan.
Tetapi alangkah kejutnya ke ka sekeliling tempat itu telah terkepung oleh berpuluh lelaki berpakaian hitam dan bersenjata.
Sikap dan keadaan mereka menyerupai gerombolan penyamun.
Seorang yang mukanya tertutup kain hitam, tampil ke muka.
"Terlambat, ki sanak "
Serunya dengan nyaring. Demang Kartika segera maju menghadapi "Siapa engkau! "
"Siapa diriku, rasanya tak penting. Aku mengaku siapapun boleh saja."
"Gerombolan penyamun ?."
"Terserah bagaimana engkau hendak menganggapnya. Tetapi yang jelas, aku bukan penyamun harta benda."
"Apa maksudmu ? "
Tegur demang Kartika pula.
"Itu yang pen ng dan perlu kuketahui!", sahut orang itu "dengarkanlah. Aku hendak minta sesuatu dari rombonganmu ini."
"Engkau bekel Mahesa Rangkah ! "
Ba2 pa h Aragani berteriak demi mengenal nada suara orang itu. Orang itu tertawa "Tajam benar pendengaranmu ki pa h. Memang tak perlu aku harus kua r mengakui diriku ini bekel Mahesa Rangkah."
"Bekel Rangkah "
Seru pa h Aragani "beda benar nada ucapanmu saat ini. Adakah engkau tak tahu dengan siapa engkau berhadapan?."
Bekel Mahesa Rangkah tertawa.
"Sudah tentu aku tahu sedang berhadapan dengan Panji Aragani pa h Singasari yang sedang mengemban tugas dari sang nata untuk menghadap akuwu Jayakatwang di Daha."
"Dan engkau menyadari kedudukanmu sebagai seorang bekel prajurit?"
Seru Aragani pula.
"Menyadari"
Sahut Mihesa Rangkah "mungkin ki pa h sendiri yang belum menyadari kedudukan diriku."
"Apa maksudmu?."
"Kemarin Mahesa Rangkah memang bekel bhayangkara yang ikut dalam rombongan pengiring ki pa h ke Daha"
Kata Mahesa Rangkah "tetapi sejak semalam, Mahesa Rangkah sudah bukan seorang bekel lagi."
"Lalu ? "
Patih Aragani kerutkan dahi.
"Seorang pemimpin gerombolan yang mencegat perjalanan rombongan pa h Singasari. Demikian keadaan Mahesa Rangkah saat ini."
Pa h Aragani terkejut. Namun ia berusaha untuk menenangkan diri "Mencegat perjalananku ? Apa maksudmu ? Apakah engkau hendak menyamun harta bendaku?"
Mahesa Rangkah tertawa.
"Bukan "
Serunya "aku bukan sekedar merampok harta benda saja. Tetapi hendak menagih pertanggungan jawab ki patih."
"Apa ? "
Patih Aragani terbeliak "apa maksudmu?."
"Aku hendak minta pertanggungan jawab ki pa h dalam peris wa selama kita berada di Daha "
Kata Mahesa Rangkah "mengapa ki patih menghianati aku?."
Seke ka berobahlah cahaya wajah pa h Aragani mendengar kata2 itu "Menghiana engkau? Dalam soal apa aku menghianati engkau? "Siapa yang mengutus seorang pengawal untuk menyampaikan surat kepada raden Ardaraja, memberi-tahu tentang bahaya yang akan mengancamnya malam itu?."
Patih Aragani terbeliak.
"Ki pa h "
Kata Mahesa Rangkah "akan ku-paparkan seluruh isi ha ku selama ini terhadap ki pa h.
Siapa yang mendepak empu Raganata sebagai pa h kerajaan Singasari, .siapa yang menyebabkan demung Banyak Wide dipindah ke Sumenep, siapa pula yang menjatuhkan kedudukan tumenggung Wirakre , kalau bukan demung Aragani yang kini menggan kan kedudukan patih Singasari itu?."
"Keparat! "
Teriak Aragani "tangkap penghianat itu, Kartika!."
Mahesa Rangkah tertawa cemoh.
"Jangan sembarang ber ndak, demang Kar ka. Lihatlah disekelilingmu. Berpuluh-puluh anakbuahku telah siap dengan senjata terhunus. Apabila melihat aku diserang, mereka tentu akan turun tangan. Dan apakah engkau percaya dengan kekuatan yang nggal duapuluhan orang itu mampu mengatasi serangan mereka?."
Demang Kar ka tertegun.
Pikirnya, ia harus dapat ber ndak sesuai dengan kenyataan.
Yang pen ng ia harus melindungi keselamatan pa h Aragani.
Baiklah ia tunggu perkembangan lebih lanjut dan tak perlu harus menuruti perintah patih Aragani yang sedang dirangsang kemarahan itu.
"Kini setelah menjabat pa h, engkau makin bernafsu sekali untuk merebut kekuasaan. Seri bagindapun makin terjerumus dalam jerat mulut manismu. Engkau racuni baginda dengan memperkenalkan minuman tuak. Engkau sanjung baginda dengan rangkaian kata2 madu beracun. Dalam meni ke puncak tangga kekuasaan itu, engkau terkejut karena keputusan baginda hendak memungut menantu pada raden Ardaraja. Engkau ketakutan. Apabila Ardaraja menjadi putera menantu dan masuk kedalam-pemerintahan Singasari, engkau kua r akan kehilangan pengaruh ....."
"Bedebah ! "
Teriak pa h Aragani "bukankah engkau meminta gurumu datang kepadaku supaya diperkenankan ikut dalam rombongan pengiringku? Apa tujuanmu kalau bukan hendak membunuh pangeran Ardaraja? Engkau sendiri hendak membunuh pangeran Daha itu, tetapi mengapa engkau menuduh aku yang ketakutan menghadapi pengaruh Ardaraja? Bukankah engkau sendiri seorang bekel yang tak tahu diri berani memimpikan puteri seri baginda dan nekad hendak melenyapkan pangeran Ardaraja yang engkau anggap akan merebut puteri idamanmu itu?."
Mahesa Rangkah tertawa.
"Benar "
Serunya "memang Mahesa Rangkah seorang lelaki.
Salahkah seorang lelaki mengharapkan seorang puteri raja ? Bukankah secara jantan kuakui rencanaku itu dihadapanmu ? Kebalikannya, engkau seorang patih yang licin.
Engkau hendak berdiri diatas dua perahu.
Engkau setuju akan rencanaku.
Apabila aku berhasil membunuh Ardaraja, engkau pasti gembira sekali.
Tetapi apabila aku gagal, engkau akan mengorbankan diriku agar dapat mengambil muka pangeran itu.
Bukankah bukti menyatakan, bahwa dengan mengirim surat kepada Ardaraja itu, engkau hendak meminjam tangan pangeran itu untuk membunuh aku ?."
Pucat seketika wajah Aragani.
"Mahesa Rangkah "
Serunya "aku seorang patih yang sedang mengemban tugas sebagai utusan nata. Jika engkau membunuh pangeran Ardaraja, hubungan Daha dan Singasari pasti buruk."
"Hm "
Desuh Mahesa Rangkah "bukankah sebelumnya telah kujelaskan maksudku itu ? Dan bukankah ki patih telah menyetujuinya?."
"Ya "
Sahut pa h Aragani "tetapi engkau mengatakan hendak melakukan hal itu dengan secara amat peribadi sehingga tak melibatkan diriku sebagai utusan sang nata."
"Dan adakah tindakanku itu dapat melibatkan diri ki patih ?."
"Setelah engkau mengalahkan tumenggung Pencok Sahang, engkau telah menunjukkan dirimu kepada fihak Daha. Hanya orang semacam engkaulah yang mampu menyusup ke dalam keraton untuk mencidera pangeran Ardaraja. Tidakkah engkau kira aku dapat bebas dari tuduhan mereka ?."
"Dan karena itulah maka engkau lantas menjerumuskan aku sekali dengan mengirim surat kepada pangeran Daha itu agar aku tertangkap dan terbunuh ma ! "
Teriak Mahesa Rangkah.
Kemudian ia tertawa nyaring.
Nararya dan Gajah Pagon yang masih bersembunyi di atas pohon randu alas, mendengar juga tawa Mahesa Rangkah itu.
Adalah karena jaraknya cukup jauh, keduanya tak berhasil mendengar perbantahan antara Mahesa Rangkah dan patih Aragani.
"Mahesa Rangkah !"
Hardik Aragani dengan marah. Ia merasa tersinggung karena kewibawaannya sebagai seorang patih utusan sang nata diremehkan "apa maksudmu!."
"Ki pa h "seru Mahesa Rangkah "engkau tentu sudah maklum, bahwa Mahesa Rangkah tak mungkin lagi kembali ke pura Singasari. Seri baginda tentu akan mendapat laporan tentang peris wa di keraton Daha. Oleh karena itu, akupun tak mau kepalang tanggung lagi. Jika Mahesa Rangkah lenyap, Panji Araganipun harus sirna."
Patih Aragani terbeliak "Keparat! "
Teriaknya sesaat kemudian "engkau sudah berani melakukan percobaan membunuh pangeran Ardaraja, sekarang engkau berani pula hendak membunuh patih Singasari?."
Mahesa Rangkah tertawa.
"Panji Aragani "
Serunya "di kerajaan Singasari engkau memang seorang pa h tetapi disini engkau tak lebih hanya seorang biasa.
Dan hanya apabila pa h yang bernama Aragani itu lenyap, kerajaan Singasari pas takkan tenggelam.
Mahesa Rangkah rela lepas dari kedudukan bekel bhayangkara, rela pula menjadi buronan negara asal dengan pengorbanan itu aku dapat menyelamatkan Singasari."
Patih Aragani terkejut dalam hati.
Rombongan prajurit pengiringnya hanya tinggal dua puluhan orang sedang.anakbuah Mahesa Rangkah berjumlah lebih besar.
Diam2 ia menyesal mengapa harus berhenti di kaki gunung Kawi.
Tetapi karena hal itu sudah menjadi kenyataan maka tiada lain jalan baginya untuk menghadapi.
Pikiran patih itu bekerja cepat.
Ia hendak menempuh cara lunak dulu.
"Bekel Rangkah ....
"
Baru dia berkata begitu, Mahesa Rangkah sudah cepat menukas "Engkau lupa ki patih, aku bukan lagi seorang bekel."
"Tidak bekel Rangkah,"
Sahut pa h Aragani "engkau tetap kuanggap seorang bekel. Soal kesalahanmu, itu soal lain yang akan diputuskan oleh ki pa h Kebo Anengah. Namun ada suatu hal yang akan kubicarakan dengan engkau."
"Silahkan."
"Engkau mengatakan bahwa aku telah mengirim surat kepada pangeran Ardaraja tentang tindakanmu hendak membunuhnya. Ketahuilah, bahwa hal itu karena aku kuatir akan melibatkan kerajaan Singasari. Hubungan Singasari dengan Daha akan retak dan berarti pula kegagalanku untuk melakukan titah baginda. Karena ternyata engkaupun gagal untuk membunuh pangeran Ardaraja maka aku bersedia untuk melindungi dirimu dari kemurkaan baginda."
"Ah, tak mungkin "
Seru Mahesa Rangkah.
"Bekel Rangkah "
Seru pa h Aragani dengan suara yang bernada keperbawaan "engkau tentu tahu siapa aku di pura Singasari itu.
Apabila kulaporkan ke hadapan baginda bahwa pembunuh gelap itu bukan engkau tetapi seseorang yang belum diketahui, tentulah baginda akan percaya.
Soal ki patih Kebo Anengah lebih mudah lagi."
Mahesa Rangkah mengerut dahi.
Dia juga seorang yang cerdik.
Sukar untuk mempercayai janji pa h Aragani itu.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andaikata pa h itu memegang janji, pun selanjutnya ia akan berada dalam genggaman pa h itu.
Pa h Aragani mengetahui rahasianya, ap waktu dia dapat menggunakan rahasia itu untuk mencelakainya.
Bukankah pa h Aragani yang saat itu berada di kaki gunung, akan jauh bedanya dengan pa h Aragani di pura kerajaan ? Demikian pula, mungkinkah untuk menutup mulut sekian banyak prajurir2 anakbuah demang Kar ka yang telah mendengar pembicaraan tadi dan mengetahui rahasianya.
"Tidak "
Katanya dalam ha "lebih aman melepaskan seekor harimau dari kandang daripada melepaskan seorang pa h Aragani.
Bila dan dimana lagi aku mendapat kesempatan yang sebaik ini untuk melenyapkan pa h itu ? Jika kubasmi pa h dan seluruh rombongan pengiringnya, tentulah sukar untuk mencari siapa yang melakukan pembunuhan ini."
"Mengapa engkau diam saja, bekel Rangkah ? "
Tegur patih Aragani pula.
"Aku sedang berunding dan kawanku ternyata tak setuju "
Sahut Mahesa Rangkah. Pa h Aragani terbeliak. Jelas dia tak melihat barang seorangpun yang diajak berunding Mahesa Rangkah, mengapa bekel itu berkata demikian.
"Bekel Rangkah, jangan bergurau !"
Teriak patih Aragani.
"siapa yang engkau ajak berunding?"
Mahesa Rangkah tertawa.
"Ada dua, yang seorang tak kelihatan dan yang satu kelihatan."
"Siapa ltu"
"Yang tidak kehihatan itu adalah batinku."
"Dan mana yang kelihatan itu ?."
"Ini"
Ejek Mahesa Rangkah seraya mencabut pedangnya "engkau dapat melihatnya, ki patih ?."
Patih Aragani menyeringai.
"Ba nku menentang dan pedangkupun menolak. Maka aku terpaksa menurut. Sekarang nggal dua pilihan bagimu, ki patih."
Dalam saat keduanya bertukar pembicaraan, demang Kar ka telah memberi isyarat kepada anakbuahnya untuk tegak berjajar melindungi pa h Aragani.
Kemudian demang itupun beringsut kesamping pa h Aragani dan membisiki "Gus pa h, apabila mereka menyerang, harap gus segera masuk kedalam ratha dan perintahkan kusir untuk menerjang mereka."
Patih Aragani mengangguk.
"Engkau menyerah dan kami bunuh kemudian akan kami kubur secara baik2. Atau engkau melawan dan kami hancurkan mayatmu beserta seluruh pengiringmu agar menjadi makanan burung "
Seru Mahesa Rangkah.
"Mahesa Rangkah, jangan engkau bermulut besar. Aku adalah patih kerajaan Singasari. Lebih baik aku mati daripada menyerah kepadamu"
Patih Aragani marah dan unjukkan kewibawaannya sebagai seorang patih.
"Di Singasari engkau seorang pa h, disini akulah yang berkuasa,"
Sahut Mahesa Rangkah lalu memberi perintah kepada anakbuahnya untuk menerjang.
Pekik teriakan yang menggemuruh segera menggema dikesunyian penghujung senja.
Berpuluh- puluh lelaki bersenjata tembak dan pedang serempak menyerbu rombongan prajurit pengiring patih Aragani.
Prajurit pengiring pa h Araganipun segera menyambut mereka.
Mahesa Rangkah hendak menyerbu pa h Aragani tetapi ditahan demang Kar ka.
Dalam pada itu sesuai dengan rencana yang dibisikkan demang Kar ka tadi, pa h Araganipun segera masuk ke dalam ratha dan kusir Ranupun segera mengayunkan cambuk.
Roda2 berderak, kedelapan kuda itupun meringkik lalu mencongklang, menerjang anakbuah Mahesa Rangkah yang mengepung tempat itu.
Kedelapan ekor kuda tegar itu memang hebat.
Beberapa anakbuah Mahesa Rangkah berhamburan rubuh diterjangnya.
Ada beberapa yang beruntung sempat loncat menghindar.
Rathapun menerobos ke luar dari kepungan tetapi baru beberapa tombak berjalan, dari kedua samping jalan, melayanglah berpuluh-puluh tombak menghujani kuda itu.
Karena suasana gelap dan hujan tombak sedemikian deras, kedelapan ekor kuda itupun tak dapat menghindar lagi.
Rasa sakit karena tubuhnya berhias tombak, kedelapan kuda itupun meringkik sekuat-kuatnya dan terus menerjang maju.
Tetapi binatang itu telah kalap sehingga salah arahnya.
Mereka dak menuju ke timur melainkan kembali kearah barat lagi.
Juga dibagian barat, sudah siap berpuluh anakbuah Mahesa Rangkah.
Tombak dan pedang diacungkan untuk memagari ratha agar pa h Aragani tak dapat melarikan diri.
Tetapi kedelapan kuda yang terluka itu sudah binal dan tak terkuasai lagi.
Kusir Ranu telah rubuh termakan tombak lawan.
Kini tinggal ratha itu yang gemuruh diseret oleh kedelapan kuda terluka.
Riuh rendah gemuruh kawanan gerombolan ke ka kedelapan kuda itu menerjang.
Tombak dilontarkan, pedangpun dilayangkan.
Darah berhamburan pada tubuh kedelapan kuda itu.
Namun merekapun nekad dan kalap.
Beberapa kawanan gerombolan dapat diterjang dan disepak.
Jerit teriakan disusul oleh tubuh2 yang terlempar kian kemari.
Bum ....
Akhirnya kuda yang terdepan tak kuat.
Mereka menderita luka parah.
Namun kedua kuda itu memang kuda pilihan, tegar dan perkasa, pantang menyerah, Mereka lari membinal sekencang- kencangnya dan akhirnya membentur pohon.
Karena yang muka rubuh, maka kuda yang dibelakangpun ikut terpelan ng.
Gerbong ratha terjungkir balik menghantam gunduk batu.
Seke ka suasana sekitar tempat ilu makin gelap.
Cuaca malam dan debu serta dahan pohon yang jatuh, menimbulkan kabut yang gelap.
Pertempuranpun mencapai puncak, diakhiri dengan gelombang jerit teriakan yang mengerikan.
Demang Kar ka dan keduapuluh prajurit, akhirnya gugur dalam pertempuran dahsyat itu.
Gerombolan anakbuah Mahesa Rangkah menggunakan juga anak panah untuk menghancurkan prajurit2 Singasari.
Tiada seorangpun yang masih hidup.
Mayat2 berserakan ndih menindih, darah memerah tanah.
Mahesa Rangkah berseru memberi perintah agar anakbuahnya berkumpul "Bagaimana dengan patih Aragani ? "teriaknya.
Anakbuahnya serempak berseru "Patih telah binasa bersama ratha dan kuda penghelanya."
"Lekas angkut kawan-kawan kita yang terluka dan ma agar jangan dapat diketahui bala bantuan Singasari esok hari "
Kembali Mahesa Rangkah memberi perintah.
Setelah mayat2 dan kawan2 mereka yang terluka dinaikkan di atas kuda, Mahesa Rangkah segera memberi aba2 untuk tinggalkan tempat itu.
Malampun makin gelap dan sunyi.
Tempat yang beberapa saat menjadi medan pertempuran berdarah, kini sunyi senyap.
Ditengah jalan masih berserakan mayat-mayat dari prajurit2 Singasari.
Prajurit2 pengiring patih Aragani itu merupakan prajurit2 pilihan.
Tetapi karena gerombolan itu jumlahnya lebih banyak dan .menggunakan senjata panah, merekapun harus menyerah binasa.
Malampun kelam.
Makin membisu.
Hanya burung hantu yang mulai berdendang mengantar arwah2 yang telah meninggalkan raganya.
Di celah2 kesunyian malam, terdengar suara orang berbisik-bisik "Ki sanak, terima kasih atas pertolonganmu.
Apabila engkau mau mengantarkan aku ke pura Singasari, besar nian ganjaranmu."
"Siapakah sesungguhnya tuan ini? "
Tanya seorang suara pula. Tiada penyahutan. Rupanya orang yang pertama berkata tadi tengah merenung. Ada sesuatu yang dipikirkannya "Siapakah engkau, anakmuda ? "
Sesaat kemudian ia kedengaran bertanya.
"Kami berdua ini sedang menuju ke Singasari "
Jawab orang yang kedua tadi.
"O "
Kata pula orang yang pertama "apa tujuanmu ?."
"Hanya sekedar melihat-lihat keindahan pura kerajaan."
"O "
Desus orang pertama itu pula "adakah ki sanak ini orang Daha ?."
"Bukan "
Sahut yang ditanya "kami rakyat didesa gunung Kawi sini."
"Hm, baik "
Kata orang itu "jika kalian mau mengantarkan aku ke pura Singasari, akan kuberimu pangkat."
"Terima kasih, ki sanak "
Sahut orang kedua itu "tetapi kami sudah biasa hidup di alam pedesaan yang bebas. Kami tak menginginkan pangkat dan kedudukan apa8."
"Baik "
Kata orang pertama pula "akan kuberimu ganjaran yang setimpal."
"Terima kasih "
Kata orang kedua itu "kami sudah hidup senang dari hasil bercocok tanam. Kami tak mengharapkan apa2."
"Lalu apa permintaanmu?."
"Kami hanya ingin tahu, siapakah tuan ini?."
Tanpa sangsi lagi orang pertama itu segera menyahut "Aku adalah pa h Aragani dari kerajaan Singasari"
I Setelah memperkenalkan diri, rupanya pa h itu akan mengharap orang yang diajak bicara itu akan tersipu-sipu memberi sembah hormat. Tetapi ternyata kedua orang itu tenang2 saja.
"Hamba Nararya dan ini kakang Pagon, gus pa h "
Kata orang yang bertanya nama dari pa h Aragani tadi "hamba berdua bersedia mengantar gusti patih ke pura kerajaan."
"Bagus Nararya "
Seru orang itu atau pa h Aragani.
Dia memang benar2 pa h Aragani.
Ke ka kedelapan kuda membentur pohon dan ratha terbalik, pa h Aragani beruntung dapat loncat ke luar.
Dilindungi oleh kepul debu yang gelap dan anak gerombolan sedang sibuk menyingkir, dapatlah patih Aragani menyusup ke dalam gerumbul pohon dan terus meloloskan diri.
Karena malam gelap ia tak tahu arah.
Pokok asal dapat meloloskan diri.
Entah berapa lama beijalan ba2 ia dihadang oleh dua orang lelaki berpakaian hitam, menghunus pedang "Menyerah saja, engkau patih Aragani "
Seru kedua orang itu. Betapapun kecil nyali nya, tetapi dalam menghadapi kenyataan yang ada memungkinkan lain pilihan kecuali harus ma , akhirnya pa h Aragani bangkit semangatnya. Sebelum ma ia harus berpantang ajal.
"Hm, gerombolan anjing hutan, siapakah sesungguhnya kalian ini ? "
Hardiknya sembari mencabut keris Kedua orang itu tertawa. Kemudian salah seorang berseru "Engkau ingin tanya diri kami ? Baiklah agar supaya jangan engkau ma penasaran, akan kuberitahukan. Dengarkanlah, kami adalah anakbuah dari gunung Butak !."
"Hm "desuh Aragani "adakah Mahesa Rangkah itu pemimpin gerombolan gunung Butak?."
"Mahesa Rangkah ?"
Ulang orang itu "siapakah Mahesa Rangkah? kami tak mempunyai pemimpin yang bernama Mahesa Rangkah !."
"Siapa pemimpinmu ?."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pasirian."
"Dan siapa yang memimpin gerombolanmu yang menyerang rombongan utusan kerajaan itu ?."
"Kebo Manyura."
"Kebo Manyura? Ah, dia jelas bekel Mahesa Rangkah dari keraton Singasari."
"Seluruh anakbuah gunung Butak hanya tunduk pada dua pimpinan, Banyak Pasirian dan Kebo Manyura "
Seru orang itu "sudahlah, sekarang bagaimana maksudmu ? Menyerah atau melawan !."
"Aku seorang pa h kerajaan Singasari. Lebih baik aku ma daripada harus menyerah pada gerombolan anjing hutan yang tak kenal undang-undang."
"Bagus "
Seru orang itu seraya loncat menikam.
Pa h Araganipun berusaha untuk melawan.
Pada masa muda iapun juga gemar menuntut ilmu kanuragan dan kedigdayaan.
Namun setelah tua dan bermanja dalam kegemaran tuak yang berkelebihan, tenaganyapun merosot.
Dalam beberapa babak saja, napasnya sudah mulai memburu keras, kepalanya mulai berkunang-kunang.
"Ah, ma aku sekarang"
Diam2 pa h Aragani mengeluh.
Serentak ia memutuskan untuk melarikan diri.
Setelah menyerang dengan nekad sehingga lawan terpaksa loncat mundur, pa h Aragani pun terus berputar tubuh dan lari.
Kedua orang gerombolan itupun mengejarnya.
Rupanya memang masih belum ba saatnya pa h Aragani harus ma .
Secara tak disengaja ia ba di tempat Nararya dan gajah Pagon bersembunyi.
Melihat pakaian kedua anakmuda itu beda dengan kawanan gerombolan, mbullah harapan Aragani "
Ki sanak"
Serentak ia berseru dengan nada beriba "tolonglah aku. Kedua penyamun itu hendak membunuhku."
Walaupun belum pernah berhadapan tetapi Nararya mendasarkan dugaannya, bahwa lelaki setengah tua yang berbusana indah tetapi lusuh, wajah ketakutan dan rambut terurai itu, tentulah pa h Aragani.
Nararya tak tahu bagaimana sesungguhnya peribadi pa h Aragani itu.
Yang diketahuinya Aragani itu seorang pa h kerajaan Singasari yang sedang mengemban tah baginda ke Daha.
Nararya pun tak jelas siapakah gerombolan yang menyerang rombongan pa h itu.
Dalam keadaan seper saat itu, ia hanya memutuskan untuk melakukan dharmanya sebagai seorang ksatrya, menolong orang yang membutuhkan pertolongan, menyelamatkan seorang mentri kerajaan dari gangguan orang jahat.
"Silahkan bersembunyi di belakang kami "
Katanya seraya maju menggagah untuk menyambut kedatangan kedua anakbuah gerombolan itu "berhenti ki sanak ! "
Serunya. Kedua lelaki bersenjata pedang itupun berhen dan membelalak "Ho, engkau pengawal pa h itu?."
"Bukan "
Sahut Nararya "tetapi aku akan melindunginya ?"
"Jika bukan pengawalnya, jangan engkau ikut campur urusan ini. Perlu apa engkau melindunginya?."
"Siapa kalian dan mengapa hendak membunuh ki patih?"
Seru Nararya pula.
"Kami anakbuah dari gunung Butak"
Sahut salah seorang gerombolan itu tanpa ragu2 lagi "pa h itu biangkeladi kehancuran kerajaan Singasari, harus dilenyapkan ?."
"Anak muda"
Tiba2 patih Aragani berseru dari arah belakang "jangan percaya ucapannya!."
"Pa h keparat"
Teriak orang itu pula "jangan engkau menyangkal. Siapa yang menjatuhkan gus pa h empu Raganata, gus demung Banyak Wide dan gus tumenggung Wirakre . Mereka mentri2 tua kerajaan yang setya tetapi menderita fitnah patih itu."
"Ki sanak"
Seru Nararya "bagaimana engkau tahu jelas akan persoalan itu ?."
"Pemimpin kami telah memberi penjelasan tentang tujuan perjuangan anakbuah gunung Butak dan menguraikan tentang keadaan yang terjadi dalam kerajaan Singasari."
"Jika demikian kalian bukan gerombolan penyamun ? "
Nararya menegas.
"Raden Pasirian, putera dari gus Linggapa yang dahulu dibunuh raja Wisnuwardana, ayahanda baginda Kertanagara yang sekarang, hendak menuntut balas terhadap Singasari."
"O, jika hendak menuntut balas, mengapa kalian tak mendukung ndakan pa h Aragani ? Bukankah seper yang kalian katakan tadi, bahwa pa h Aragani telah ber ndak menghancurkan kerajaan Singasari ? Tidakkah hal itu sesuai dengan tujuan kalian?."
"Pimpinan kami yang seorang, raden Kebo Manyura menentukan sikap lain. Yang akan dihancurkan adalah patih Aragani, karena patih itu telah mencelakai patih sepuh empu Raganata."
"Dia hendak menuntut balas untuk empu Raganata ?."
"Ya."
"Adakah dia pengikut dari empu Raganata ? "
"Kami tak tahu. Kami hanya diwajibkan menurut perintah garis tujuan itu."
"Sudahlah kakang, tak perlu banyak bicara dengan dia "
Seru kawannya yang seorang "menyingkirlah, jangan engkau mengganggu urusan kami."
"Ah, engkau terlalu pemberang, ki sanak"
Nararya tenang2 menjawab "apabila engkau dapat memberi penjelasan yang dapat kuterima, akupun akan menurut perintahmu menyingkir dari sini."
"Sudah kujelaskan, patih Aragani harus dilenyapkan karena dia membahayakan kerajaan."
"Apa wewenangmu untuk membunuh seseorang, terutama seorang pa h kerajaan ? "
Tegur Nararya.
"Tanggung jawab pengabdianku terhadap kerajaan merupakan wewenang yang menghaya tindakanku."
"Tidak "
Bantah Nararya "hanya kerajaan yang berwewenang untuk memper mbangkan dan memutuskan salah benarnya patih Aragani. Bukankah kerajaan sudah memiliki undang-undang?."
"Kakang, tak perlu berbanyak kata dengan orang itu "
Seru kawan orang itu "jelas dia tentu pengawal patih Aragani. Kita gempur saja."
Serentak orang itupun terus loncat menerjang Nararya tetapi ia segera disambut Gajah Pagon.
Dalam beberapa gebrak saja, dapatlah sudah Gajah Pagon merubuhkan orang itu.
Melihat kawannya terkapar, orang yang pertama tadi terbelalak.
Apalagi ke ka melihat Gajah Pagon menghampiri.
Tiada sempat berpikir apa2 lagi, orang itu ba2 taburkan pedangnya kepada Gajah Pagon lalu loncat ke belakang, berputar tubuh dan terus lari menyusup kebalik gerumbul gelap.
"Awas, kakang Pagon "
Teriak Nararya ke ka melihat orang itu gerakkan tangan. Untung Gajah Pagon cukup waspada. Ia condongkan kepala ke samping dan dapat menyelamatkan mukanya dari taburan pedang. Tetapi sebagian dari ikat kepalanya di samping kiri, terpapas.
"Jangan kakang Pagon! "
Teriak Nararya pula ke ka melihat Gajah Pagon hendak mengejar "berbahaya mengejar musuh dalam tempat yang gelap."
Gajah Pagon hentikan langkah dan kembali ke tempat Nararya.
Demikianlah asal mula patih Aragani berada dengan Nararya dan Gajah Pagon.
Saat itu patih Aragani meminta Nararya supaya mengantarkannya ke pura Singasari.
Mereka kembali ke tempat pertempuran.
Patih Aragani ngeri dan sedih melihat nasib yang diderita pengiringnya.
Ia akan memerintah kepada buyut desa yang terdekat untuk merawat jenasah mereka.
Singkatnya menjelang siang pada esok harinya, balah pa h Aragani bersama Nararya dan Gajah Pagon di pura Singasari.
Langsung pa h Aragani menghadap baginda dan mengajak kedua anakmuda itu.
Tetapi Nararya menolak.
"Tugas hamba telah selesai, gus pa h. Hamba mohon hendak kembali ke desa lagi,"
Kata Nararya.
"Jangan"
Cegah pa h Aragani "engkau harus menghadap baginda agar baginda dapat lebih lengkap menerima laporan tentang peristiwa itu."
Nararya terpaksa menurut.
Dalam hal itu bukan karena ia mengharapkan balas jasa atau ganjaran.
Ia tak mengandung keinginan menerima anugerah ganjaran dari seri baginda.
Pertama, seper yang dikatakan pa h Aragani tadi, agar baginda lebih jelas tentang peris wa itu.
Kedua, memang ia ingin mengetahui dari dekat bagaimana sesungguhnya peribadi baginda Kertanagara yang termashyur itu.
Jika ada peris wa itu, tak mungkin ia dapat diterima menghadap baginda.
Disamping itu, ah.
ia tersipu-sipu sendiri karena mengharapkan mudah-mudahan puteri2 baginda juga ikut hadir di samping baginda.
Bukan kepalang kejut baginda ke ka menerima, pa h Aragani.
Hampir baginda tak dapat mengenali bahwa lelaki setengah tua yang menghadap dihadapannya itu pa h Aragani.
Saat itu ada seorang mentri atau senopa yang hadir.
Dan yang menerima hanya baginda sendiri dengan pengawal-pendamping Bandupoyo.
Memang pengawal-pendamping yang telah dianugerahi pangkat tumenggung itu selalu berada di samping barang kemana baginda berada.
"Apakah engkau benar pa h Aragani?"
Tegur baginda terheran-heran melihat keadaan diri dan busana Aragani.
"Sesungguhnya hamba adalah pa h Aragani, hamba paduka yang setya, junjungan hamba"
Sahut Aragani. Ternyata dalam keadaan yang pontang pan ng itu, masih Aragani dapat merangkai kata sanjung yang sedap. Baginda geleng2 kepala "Bagaimana mungkin keadaanmu sampai sedemikian rupa, patih ?."
"Kiranya diperkenankan pa h paduka untuk mempersembahkan laporan tentang perjalanan hamba ke Daha untuk menunaikan amanat paduka, gusti."
Baginda memberi perkenan.
"Hamba telah diterima menghadap akuwu Jayakatwang dan telah pula hamba haturkan segala maksud kedatangan hamba seperti yang telah tersirat dalam amanat paduka."
"Lalu ?."
"Amat bersyukur dan bersukacita kiranya akuwu Jayakatwang menerima limpahan budi dan anugerah paduka yang tiada taranya itu, gusti."
"Ya"
Baginda mengangguk "demikian agar dia menghaya maksud keinginanku untuk mempersatukan Singasari - Daha dalam suatu ikatan keluarga."
"Semoga keluhuran tah paduka akan membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi seluruh kawula kerajaan Singasari "
Kembali patih Aragani bermain rangkaian kata indah.
Kemudian bagindapun bertanya tentang sikap akuwu Jayakatwang terutama pangeran Ardaraja waktu menyambut amanat baginda itu.
Pa h Aragani memang licin.
Ia tahu bahwa saat itu akan sia2 belaka apabila ia mengungkap kandungan ha Jayakatwang yang tercurah dalam percakapan itu.
Lebih baik dia memberi ulasan lain yang akan menyenangkan hati baginda.
Maka pa h Araganipun menghaturkan saja betapa gembira, bersyukur akuwu Jayakatwang atas amanat baginda itu.
"Lalu bagaimana dengan Ardaraja sendiri ?."
"Pangeran Ardaraja memang seorang pangeran yang tampan, gagah dan perwira, gus "
Pada saat itu mulailah patih Aragani melaksanakan rencananya.
"Bagaimana maksud kata-katamu itu, Aragani."
"Pangeran Ardaraja gemar mela h diri dalam ilmu kedigdayaan, ilmu tata-praja dan lain2 ilmu yang berguna bagi seorang pangeran yang kelak akan menggan kan kedudukan ayahandanya. Disamping itu pangeran memiliki pambek yang luhur. Pangeran amat bersukacita atas amanat paduka tetapi pangeran dengan segala kerendahan ha tak menginginkan bahwa dengan menerima amanat paduka itu, jangan orang menganggap bahwa ia mengandung maksud untuk mengarah tahta kerajaan paduka."
Baginda terbeliak "Apa maksudnya, patih?."
"Dengan segala kerendahan dan keikhlasan ha , pangeran mohon agar puteri yang paduka hendak anugerahkan kepadanya itu, janganlah puteri2 paduka yang mempunyai hak atas warisan tahta kerajaan Singasari. Misalnya gusti ayu Tribuana dan gusti ayu Gayatri."
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ardaraja mempunyai hati yang sedemikian tulus, patih?."
"Benar, gusti."
Gerahlah seketika wajah baginda Kertanagara "Memang dalam hal itu tak lepas dari pemikiranku.
Sesungguhnya aku sedang periha n untuk mengambil keputusan.
Tribuana dan Gayatri masih mempunyai seorang ayunda yang lahir dari lain ibu.
Sebagai puteri yang sulung, sudah tentu Laksmi harus menikah lebih dulu.
Tetapi aku sudah berkenan menerima permohonan ibunda Tribuana dan Gayatri, bersedia menjadi permaisuriku apabila putera keturunannya yang kelak menggan kan tahta kerajaan Singasari ini.
Namun bila kujodohkan Laksmi kepada Ardaraja, akupun kua r Jayakatwang dan puteranya akan tersinggung perasaannya.
Kini setelah Ardaraja sendiri menyatakan keinginannya, tentulah kuperkenankan puteriku yang sulung itu untuk menjadi isteri Ardaraja.
Kelak Ardaraja tentu akan kuangkat sebagai pengganti ayahanda Jayakatwang."
Diam2 pa h Aragani girang karena rencananya telah menjadi kenyataan. Singasari takkan jatuh dalam kekuasaan pangeran Daha.
"Disamping itu, gus "
Katanya pula "mohon diampunkan segala dosa hamba karena selama hamba berada di keraton, telah terjadi suatu peris wa yang hampir saja akan menggagalkah seluruh titah paduka."
"Apakah itu, patih ?."
Dengan panjang lebar, pa h Aragani lalu mempersembahkan laporan tentang peris wa Mahesa Rangkah hendak mengadakan percobaan membunuh pangeran Ardaraja. Semua peris wa yang telah dialaminya di keraton dihaturkan ke hadapan baginda.
"Keparat! "
Teriak baginda "Mahesa Rangkah berani melakukan hal itu? "
"Karena dia iri ha dan marah kepada Ardaraja. Menurut dugaannya, paduka tentu akan menjodohkan gusti ayu Tribuwana kepada pangeran Ardaraja"
"Itu wewenangku sebagai raja dan ayah. Mengapa dia tak puas ?."
"Rupanya bekel itu sudah melampaui batas kesusilaan karena berani mengharapkan gus ayu Tribuwana"
Lalu pa h Aragani mengungkap semua ngkah laku selama bekel Rangkah berada di keraton Singasari.
"Bawa dia kemari dan akan kujatuhi hukuman mati "
Seru baginda murka sekali.
"Ampun, gus "
Sembah pa h Aragani pula "bekel itu telah melarikan diri dan ternyata dia menggabungkan diri dengan gerombolan gunung Butak yang hendak melawan kekuasaan paduka "
Pa h Aragani lalu menuturkan tentang peris wa yang dialaminya di lembah pegunungan Kawi ketika diserang oleh gerombolan gunung Butak yang dipimpin Mahesa Rangkah. Baginda terperanjat dan makin murka.
"Siapa gerombolan gunung Butak itu?."
Pemimpinnya adalah Banyak Pasirian, putera dari Linggapa di daerah Mahibit yang dulu hendak berontak dan ditumpas oleh ayahanda paduka rahyang ramuhun Wisnuwardana.
Dia menghimpun kekuatan di gunung Butak hendak mengadakan kraman pula terhadap kerajaan Singasari."
"Dan si Rangkah itu telah menggabung dengan mereka?"
Ujar baginda.
"Dengan membawa beratus anakbuah, dia telah menyerang dan membunuh semua prajurit pengiring hamba termasuk demang Kartika, gusti."
Merah padam wajah baginda Kertanagara.
"Lekas tahkan pa h Kebo Anengah menghadap kemari, dan ku tahkan supaya besok membawa pasukan Singaasari menumpas gerombolan gunung Butak!." ~dewikz~ismoyo~mch~
Jilid 10 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ Editor .
MCH I Ke ka masuk ke keraton, Nararya di tahkan pa h Aragani supaya menunggu di pendapa luar.
Pa h Aragani masuk menghadap baginda sendiri.
Lama sekali Nararya menan namun pa h Aragani tak kunjung datang.
Ia hendak menyusul masuk kedalam tetapi ia takut.
Takut kalau dituduh kurang aturan.
Mungkin akan menerima teguran dari para pengawal-dalam.
Mungkin pula patih Aragani akan marah.
Tetapi dia tak sampai pada dugaan bahwa mungkin juga patih Aragani akan memerintahkan penangkapan atas dirinya.
Bagai seorang penguasa, terutama yang licin dan kejam seperti patih Aragani, mudah sekali untuk mencari alasan.
Bahkan tanpa alasan, pun patih itu berkuasa untuk menitahkan prajurit menangkapnya.
Kekuasaan ditangan penguasa yang tak bijaksana, memang akan dapat menimbulkan derita.
Terpaksa ia menahan diri.
Beberapa saat kemudian mbul keinginannya untuk meninggalkan paseban luar itu.
Lebih baik ia pergi karena ia memang tak mengharapkan balas jasa atau anugerah apa2 dari seri baginda.
Tetapi ndakan itupun juga menimbulkan akibat yang kurang baik juga.
Keraton penuh dijaga dengan prajurit2 pengawal keamanan.
Apabila terlihat oleh mereka, tentu dia akan di tangkap.
Selama pengalamannya berkelana ini, ia mempunyai pengalaman juga dalam keraton dan tempat kediaman mentri, senopa dan orang2 berpangkat, ia mendapat kesan, bahwa dalam se ap peris wa dimana dia harus berhadapan dengan kawanan prajurit atau penjaga, selalu ia mendapat kesulitan dan akan berakhir dengan kekerasan Berurusan dengan prajurit bawah, memang lebih sulit.
Sering ia harus mengalami perlakuan kasar.
Beda dengan pimpinan atau yang atasan.
Mereka lebih baik dalam perlakuan dan lebih bijaksana dalam tindakan.
Apabila merenungkan hal itu, Nararya meragu dan batalkan rencananya lagi.
Apa boleh buat.
Ia harus menahan kesabarannya untuk menunggu patih Aragani.
Tak berapa lama pa h Aragani pun muncul.
Dia di ajak pulang ketempat kediaman pa h itu.
Setelah dipersilahkan membersihkan badan menikma hidangan, Nararya dipanggil pula oleh pa h Aragani.
"Ki bagus"
Kata pa h Aragani "baginda amat murka mendengar persembahan laporanku.
Maka lebih baik dak kubawa engkau menghadap baginda.
Soal ndakanmu yang telah menolong aku dan mengantar aku pulang ke pura Singasari, takkan kulupakan, Akan kuberimu hadiah yang setimpal"
Nararya terkejut.
"Terima kasih gus pa h"
Katanya "
Ada sekali-kali hamba mengharap hadiah dan anugerah dari paduka."
"Ah, janganlah engkau menolak, ki bagus"
Kata pa h Aragani "sudah layak apabila se ap jasa itu mendapat anugerah, se ap kebaikan mendapat imbalan. Dari aku sebagai pa h kerajaan Singasari, wajib memberi hadiah sebagai tanda penghargaan dan terima kasihku kepadamu."
Namun Nararya tetap menolak.
Memang bukan tiada sebabnya patih Aragani tak menghaturkan Nararya kehadapan seri baginda.
Semula dia memang mempunyai rencana demikian, agar Nararya mendapat pujian dan kedudukan dari seri baginda.
Tetapi entah bagaimana, ketika tiba di pura kerajaan, pikirannya berobah.
Dia teringat akan putera manantunya, raden Kuda Panglulut.
Sebagai seorang mentua, lebih layak apabila dia berjuang untuk menampilkan putera menantunya ke tangga kedudukan yang lebih tinggi.
Jika seri baginda berkenan akan Nararya, tidakkah hal itu berarti suatu rintangan bagi perjalanan Kuda Panglulut dalam menanjak ke tangga kedudukan yang tinggi ? Dengan pemikiran yang datangnya secara ba- ba itu maka pa h Aragani dak jadi membawa Nararya ke hadapan seri baginda melainkan menitahkan pemuda itu di pendapa agung.
Dan kini dia hendak menyelesaikan soal Nararya itu sendiri.
Pikirnya, asal diberi hadiah besar tentulah pemuda itu sudah puas.
Tetapi pa h Aragani kecele ke ka mendapat penolakan dari Nararya.
Pemuda itu tak mau diberi hadiah uang dan busana.
"Ki bagus"
Kata pa h Aragani sejenak teringat sesuatu.
"kuminta engkau menunggu di kepa han sini. Aku hendak melaksanakan titah baginda untuk memanggil kakang patih Kebo Arema."
"O, hamba menunggu disini ?."
Pa h Aragani membawa Nararya ke dalam.
Diperintahkan hambanya untuk menyediakan hidangan kepada pemuda itu.
Kemudian ia meninggalkan Nararya untuk menemui pa h Kebo Arema.
Dayang yang melayani Nararya itu sudah setengah tua.
Nyi Su namanya yang dalam pekerjaan sehari-hari bertugas melayani Dyah Arini, puteri pa h Aragani yang telah bersuamikan raden Kuda Panglulut.
Agak terkesiap nyi Su ke ka melihat Nararya.
Wajah pemuda itu dalam pandang matanya seper memancarkan sinar yang terang.
Menurut perasaannya, belum pernah ia melihat seorang pemuda yang memiliki wajah seperti Nararya.
"Ki bagus, siapakah nama tuan?"
Nyi Su mengajukan pertanyaan ke ka menghaturkan hidangan kepada Nararya.
"Nararya, bibi."
"Ah, nama yang bagus seperti orangnya"
Puji nyi Suti.
Sekalipun baru berumur tigapuluh tahun lebih, tetapi nyi Suti sudah menjanda karena suaminya meninggal.
Nyi Suti memiliki paras yang terang karena kulitnya bersih dan kuning.
Kemudian dayang itu bertanya juga apa sebab Nararya berada dalam kepa han.
Dengan terus terang Nararya menceritakan tentang peristiwa di kaki gunung Kawi.
"Oh"
Desuh nyi Su "jika demikian tentu besar sekali ganjaran gus pa h kepada ki bagus. Benar ki bagus, hal itu bukan main- main. Engkau telah menolong jiwa gus pa h. Seharusnya engkau dihaturkan kehadapan seri baginda agar diberi pangkat."
Nararya tersenyum.
"Tidak bibi ....."
"Ah, janganlah ki bagus menyebut aku bibi. Adakah aku ini sudah tua dan layak engkau sebut bibi?" .
"Lalu bagaimana aku harus memanggil ?."
"Nyi Suti. Namaku Suti"
Nararya mengiakan.
"Ki bagus"
Kata nyi Suti pula "tidakkah engkau senang tinggal di pura kerajaan?."
Nararya diam2 terkejut melihat ngkah ulah dayang kepa han yang begitu ramah sekali kepadanya. Namun sebagai seorang tetamu ia harus bersikap sopan.
"Lalu apa kerjaku di pura?"
Katanya.
"Ah, gus pa h tentu dapat memberi pekerjaan kepadamu, ki bagus. Syukur engkau diterima di kepatihan sini ...."
Nyi Suti tertawa.
Nararya menghela napas.
Sebenarnya ia muak melihat ngkah ulah dayang yang begitu genit.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi sebagai seorang tetamu, tak mau ia mengucapkan kata2 kasar.
Terutama tak mau ia menyakiti hati wanita, bujang sekalipun dia itu.
Tiba2 datang pula seorang dayang yang memanggil nyi Su "Gus puteri menitahkan engkau menghadap.."
Bergegas nyi Suti mendapatkan junjungannya.
"Kemana engkau Suti? Mengapa lama benar engkau tak muncul?"
Puteri Arini menegurnya. Karena ketakutan nyi Su pun menceritakan tentang perintah pa h Aragani yang telah dilakukan terhadap seorang pemuda.
"Siapa?"
Tanya Arini.
"Namanya Nararya"
Nyi Suti lalu menceritakan penuturan pemuda itu kepadanya.
"O, dia tentu seorang pemuda yang gagah perkasa"
Seru puteri Arini.
"Tidak, gus "
Kata nyi Su "dia seorang pemuda yang tampaknya lemah, berbudi halus dan tampan. Hamba rasa dia tentu berdarah bangsawan tetapi dia mengaku sebagai seorang pemuda desa."
Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung