Dendam Empu Bharada 4
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Bagian 4
Dendam Empu Bharada Karya dari S D Djatilaksana
Karena tanpa bumi, sumber2 air, sungai2 dan parit2 akan bertumpah ruah menjadi lautan.
Air menguapkan awan, awan mencairkan hujan.
Hujan meresap ke dalam bumi, kembali kepada sumbernya.
Demikian Nararya melambung dalam angkasa lamunan walaupun kakinya masih berjalan di bumi "Mahabesarlah keagungan Hyang Widdhi yang telah menciptakan bumi, langit dan seisi alam dengan sempurnanya.
Manusia merupakan insan yang terkasih.
Apa yang diminta dengan segala kesungguhan hati oleh manusia, tentu direstuiNYA.
Tetapi harus dengan sarana usaha dan daya upaya.
Dewata takkan menghujankan berkah apabila manusia itu tidak berusaha.
Demikian pula, hutan dan alam bumi yang terbentang luas ini, tak mungkin memberi manfaat kepada kita apabila kita tak mengusahakannya"
Tiba2 ia teringat akan ucapan gurunya, resi Sinarnaya "Nararya, aku hanya dapat memberi pet unjuk tetapi tak kuasa memberimu. Segala sesuatunya semata-mata tergantung pada usahamu sendiri"
"Jika demikian"
Ia melanjut pula "bertapa ke makam eyang buyut Ken Arok di Kagenengan itu hanya mencari petunjuk. Kemudian yang penting adalah usaha untuk melaksanakan petunjuk itu"
Bukan karena tak mau mengajak bicara kedua punakawannya itu untuk menghilangkan kesepian dalam perjalanan, tetapi berbicara dengan mereka hanya menambah beban pemikiran dan mungkin kemengkalan.
Karena sikap dan alam pembicaraan mereka seolah masih seper kanak- kanak.
Lebih baik ia mengisi kesepian itu dengan merenung dan melamunkan apa yang pernah terjadi dan apa yang akan terjadi.
Sedaplah kiranya berjalan melamun ditempat yang sunyi.
Beberapa hari kemudian ke ka ba di sebuah jalan pegunungan mereka terkejut mendengar suara riuh macam kaki kuda menderap bumi.
Ditempat yang sesunyi seper saat itu, hembusan angin, derak pohon, bunyi burung mengepak sayap bahkan daun kering yang berguguran jatuh, mudah terdengar.
Dan suara riuh di kejauhan itupun cepat menyusup kedalam telinga mereka.
"Hujan, raden"
Seru Noyo Nararya gelengkan kepala "Bukan, derap kuda mencongklang"
Sahutnya. Ia memberi isyarat agar kedua punakawannya itu berhen dan waspada "mudah-mudahan jangan terjadi sesuatu. Lebih baik kita menyingkir ke tepi jalan apabila mereka tiba"
Ia memberi pesan kepada Noyo dan Doyo.
Suara riuh itu makin terdengar dekat dan beberapa kejab kemudian dari tikung jalan dibalik sebuah gerumbul pohon, muncullah lima ekor kuda yang dilarikan kencang oleh penunggangnya.
Saat itu surya sudah condong ke barat.
Sekeliling penjuru, alam menampakkan kelengangan yang sayu.
Derap kuda itu memecah kesunyian, menyibak ketenangan tanah pegunungan di- penghujung hari.
Debu mengepul, bumi bergetar.
Ke ka ba pada sepelepas pandang mata, Nararya segera dapat melihat orang-orang yang mengendarai kuda itu.
Kuda berjumlah lima ekor tetapi penunggangnya hanya empat orang.
Lelaki2 yang bertubuh perkasa dan berwajah seram, membekal pedang dan tombak.
Sebagai gan daripada kuda yang tak berpenunggang itu.
tampak menggunduk sebuah buntalan kain hitam, entah apa isinya.
Dengan ha 2 keempat orang itu pengawal kuda bermuat buntalan kain hitam, Yang dua disebelah kanan, yang dua di kiri.
Tentulah buntalan itu sebuah benda yang berharga.
Pikir Nararya "Ah, lebih baik aku menyingkir ke tepi"
Ia hendak mengajak kedua punakawannya tetapi terlambat. Rombongan penunggang kuda itu pada lain kejabpun sudah tiba. Hanya terpisah dua tombak dari tempat Nararya.
"Hai, berhen "
Ba2 salah seorang penunggang yang terdepan dari sebelah kanan berteriak.
Sambil melarikan kuda, diapun sudah menyiapkan tombak.
Nararya terkejut.
Ia dan kedua punakawannya berhen .
Akan menimbulkan kecurigaan apabila ditegur orang dak menjawab tetapi menyingkir pergi.
Nararya hendak menjawab pertanyaan orang itu.
Dia sudah siap dengan keterangan bahwa, ia hanya seorang pejalan yang kebetulan lalu ditempat itu.
"Mampuslah!"
Selekas ba, penunggang kuda bertubuh perkasa itu terus menusuk Nararya.
Sudah barang tentu pemuda itu terkejut sekali.
Ia tak kenal dan tak bersalah kepada orang itu, mengapa dia hendak membunuhnya? Cepat Nararya loncat menghindar ke samping.
Maksudnya hendak memberi keterangan agar orang jangan salah faham.
Tetapi penunggang kuda itu memang liar sekali.
Luput menusuk Nararya, ia gerakkan tombak menyapu Noyo dan Doyo yang masih tegak terlongong karena terkejut.
"Aduh! Aduh!"
Susul menyusul Noyo dan Doyo menjerit dan rebah ditanah, Bahu kedua punakawan itu termakan tombak, berlumuran darah dan berguling-guling jatuh dan menjerit-jerit.
Tanpa menghiraukan korbannya, rombongan penunggang kuda itupun segera memacu kudanya kencang2.
Peris wa itu terjadi cepat sekali.
Hampir secepat mata mengejab.
Nararya terpisah jauh dengan kedua punakawannya.
Ia sendiri tertegun melihat perbuatan penunggang kuda itu.
Serangan penunggang kuda kepada Noyo dan Doyo hanya menyibak rasa kejutnya tetapi tak menyempatkan ia untuk memberi pertolongan.
Bahkan sebelum ia sempat bergerak, rombongan penunggang kuda itupun sudah mencongklang jauh "Hai, berhen !"
Cepat ia lari memburu tetapi debu2 yang mengepul tebal itu menghalang pandang matanya.
Ke ka kepul debu menipis, rombongan penunggang itupun sudah merupakan titik2 hitam dalam keremangan senja.
Terpaksa Nararya kembali ke tempat punakawannya.
Mereka Sudah duduk tetapi masih meraung-raung kesakitan, diseling dengan hamun makian dan sumpah, serapah kepada penyerangnya "Jika tahu keparat itu hendak membunuh aku, tentu lebih dulu akan kuhantam kepalanya"' "Pengecut itu menyerang tanpa memberitahu.
Jika kelak berjumpa lagi, aduh ..."
Noyo mendekap erat2 luka pada bahunya yang karena ia bergerak maka luka itupun merigalirkan darah lagi.
Geli dalam ha Nararya mendengar sesumbar kedua hambanya itu.
Tetapi ia kasihan juga mereka menderita luka maka dibiarkannya saja mereka mengingau menurut dendam kemarahannya.
Biasanya, rasa sakit akan berkurang apabila si penderita dapat menumpahkan isi ha nya, entah merin h entah menyumpah.
Tetapi heran juga Nararya terhadap kedua punakawannya itu.
Walaupun sudah menghambur makian, melantangkan sesumbar, tetapi mereka masih merintih-rintih kesakitan pula.
"Coba kuperiksa"
Kata Nararya seraya menghampiri. Noyo terluka pada bahunya, Doyo pada lengannya. Untung karena menusuk sambil melarikan kuda, luka itu walaupun berdarah tetapi tak parah.
"Tunggu dulu disini, kucarikan obat"
Kata Nararya seraya melangkah ke dalam gerumbul pohon. Ia mencari pohon kemlanding, memetik daunnya lalu diremas sampai lembut. Ia kembali lagi ketempat kedua pengiringnya, melumurkan remasan daun kemlanding itu pada luka mereka.
"Siapakah mereka, raden"
Tanya Noyo setelah lukanya tak mengalirkan darah dan rasa sakitpun berkurang. Nararya gelengkan kepala "Aku sendiripun tak tahu tetapi yang jelas gerak gerik mereka memang mencurigakan"
"Apakah buntalan kain hitam yang dimuatkan dipunggung kuda itu, raden"
Tanya Doyo.
"Entahlah"
Jawab Nararya "kemungkinan benda yang amat berharga ...."
Ba2 ia hen kan kata2, mengerut dahi.
Serentak teringat akan peris wa di candi Wengker.
Tidakkah keempat penunggang kuda, sejenis kaum perampok seper gerombolan Singa Barong itu? Jika demikian halnya, jelas buntalan kain hitam itu tentu barang2 hasil rampasan.
Serentak Nararya berbangkit "Noyo, Doyo, tunggulah disini"
"Hendak kemanakah. raden?"
Seru kedua hamba itu terkejut.
"Mengejar kawanan perampok berkuda tadi"
Sahut Nararya seraya lepaskan langkah.
"Jangan raden"
Noyo dan Doyo serempak berbangkit dan melangkah "amat berbahaya mengejar orang pada petang hari menjelang malam.
Dan lagi belum tentu mereka itu kawanan perampok.
Yang ketiga, apabila mengejar tidakkah raden akan terhambat dalam perjalanan ke Kagenengan ?"
Nararya tertegun, menghela napas. Beralasan juga kata2 kedua hambanya itu. Memang kadang2 mereka dapat mengeluarkan pendapat yang baik "Baiklah"
Katanya "apakah kalian sudah kuat berjalan?"
Karena yang terluka bahu dan lengannya, kedua hamba itupun mengatakan sanggup untuk beijalan.
Merekapun kua r akan kemalaman di hutan.
Nararya segera melanjutkan perjalanan.
Hari makin gelap, malam segera tiba.
Mereka gegaskan langkah agar mencapai sebuah desa.
Belum berapa lama berjalan, mereka mulai melihat bayang2 hitam yang menggunduk dikeremangan malam.
Nararya girang karena menduga bayang2 hitam itu tentu gerumbul pohon yang menjadi tanda batas desa.
Tiba2 mereka terkejut melihat suatu pemandangan yang aneh.
Sekerumun api merekah dari kegelapan, bergerak-gerak maju,makin lama makin besar makin banyak pula jumlahnya.
"Obor"
Kata Nararya setelah memperhatikan beberapa saat dan melihat api2 itu bertangkai, dipegang oleh bayangan hitam.
Tentulah kawanan penduduk yang hendak mencari katak atau berburu binatang.
Pikirnya.
Secepat ia menerka, secepat itu pula kerumun api itu makin dekat.
Dan Nararya tak meragukan dugaannya lagi.
Memang api itu adalah batang obor yang dibawa oleh sekelompok orang.
Di ngkah cahaya obor, Nararya dapat melihat bahwa orang2 itu membekal senjata.
Walapun pakaiannya bukan seragam keprajuritan tetapi mereka adalah lelaki2 yang bertubuh tegap.
Dan cepat mepekapun ba di hadapan Nararya.
Melihat Nararya dan kedua pengiringnya, mereka segera berhamburan mengelilingi dan berteriak-teriak "Inilah penjahatnya, hayo kita tangkap!"
Nararya terkejut ke ka mendapatkan dirinya bersama Noyo dan Doyo telah dikepung. Seorang lelaki berbaju hitam pendek, menghunus pedang, segera melangkah maju "Lekas bilang, siapakah kalian ber ga ini!"
Ia memberi isyarat agar rombongannya yang berjumlah hampir duapuluh orang itu menghentikan gerak dan teriakannya. Setelah memberitahu nama dan perjalanannya. Nararya bertanya "Siapakah yang ki Sanak cari itu?"
Diam2 ia sudah mempunyai dugaan bahwa rombongan orang itu tentu hendak mengejar penjahat.
Melihat wajah Nararya yang tampan dan tutur bahasanya lembut, rombongan lelaki2 itu saling bertukar pandang, sementara lelaki yang melangkah ke hadapan Nararya itu berkata "Jawablah dengan jujur, apakah engkau bukan kawan dari penjahat2 berkuda?"
"O"
Seru Nararya makin jelas "ki sanak hendak mencari rombongan orang berkuda? Ya, benar, memang mereka telah lewat di jalan ini"
"Hm"
Desuh orang itu "jika tahu bahwa mereka lalu disini, mengapa dak kalian tangkap? Jelas kalian tentu kawan mereka"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, tangkapi Bunuh!"
Serempak menggelegarlah rombongan orang2 itu bersorak-sorak. Namun Nararya tak terkecoh oleh kehirukan itu "Ki sanak sekalian"
Serunya nyaring "lihatlah"
Ia Segera menarik Noyo "bukankah lengan paman ini terluka? Dan lihat pula ini"
Ia menarik Doyo dan menunjukkan bahunya "juga paman ini terluka bahunya. Salah seorang penunggang kuda itu telah menusuk mereka"
Rombongan itupun sirap seke ka. Teriakan Nararya amat mengejutkan mereka. Bagaikan halilintar menelan bunyi cengkerik. Dan luka pada kedua orang itu pun menyerap perha an mereka. Lelaki yang berhadapan dengan Nararya tadipun terkesiap "O"
Desuhnya "mereka menyerang kalian?"
"Ya"
Sahut Nararya lalu menuturkan perbuatan salah seorang dari keempat penunggang kuda dikala berpapasan dengan mereka ber ga tadi "hendak kukejar manusia liar itu tetapi dia mencongklangkan kudanya sepesat angin sedang aku hanya berlari"
Orang itu meminta maaf dan memerintahkan kawan-kawannya supaya berkumpul lagi. Atas pertanyaan Nararya orang itu menerangkan "Kami adalah petugas2 kademangan Lodoyo yang hendak mengejar perampok2 berkuda tadi"
"O"
Seru Nararya "memang kuduga mereka tentulah kawanan perampok. Apakah yang dirampok?"
"Benda pusaka peninggalan kerajaan Panjalu"
"Oh"
Teriak Nararya "apakah benda pusaka itu? Pedang, tombak atau senjata pusaka?"
Orang itu gelengkan kepala "Bukan, melainkan sebuah gong peninggalan empu Bharada"
"Hai"
Nararya melonjak kaget "gong pusaka peninggalan empu Bharada yang sakti itu?"
Orang itu mengangguk "Tiada dua Bharada kecuali empu Bharada yang pernah di tahkan prabu Airlangga untuk membelah kerajaan Panjalu jadi dua dan empu itu melaksanakannya dengan terbang sambil mencurahkan air kendi dari langit"
"Jika demikian gong itu memang sebuah pusaka yang amat berharga sekali"
Kata Nararya "tetapi mengapa berada di kademangan? Kademangan manakah itu? Dan daerah manakah tempat ini?"
"Engkau sudah memasuki telatah Balitar. Apabila terus ke selatan akan ba di kademangan Lodoyo. Disitu terdapat sebuah candi bernama Gandi Simping. Gong empu Bharada itu oleh baginda Kertanagara dari kerajaan Singasari di tahkan disimpan dalam candi itu dan demang Lodoyo dititahkan pula untuk menjaganya baik-baik"
"O"
Desuh Nararya pula agak heran "mengapa pusaka semacam itu tak disimpan saja dalam keraton Singasari ? Bukankah lebih aman ?"
"Aku bernama Kebo Saloka, berpangkat bekel bhayangkara dari, keraton Singasari. Melihat kesetyaan dan keberanianku, karena umurku sudah setengah tua, maka baginda Kertanagara berkenan menitahkan aku sebagai penjaga gong pusaka itu, bersama resi Para yang di tahkan baginda untuk mengepalai candi itu. Demang Lodoyopun diperintahkan untuk membantu tenaga2 penjaga"
"Apakah resi Para dan ki demang berada disini?"
"Tidak, mereka masih berada di candi untuk memeriksa bekas2 jejak penjahat itu"
"Lalu bagaimana tujuan ki bekel sekarang ini?"
Tanya Nararya pula.
"Mengejar penjahat itu"
"Kemana?"
Tanya Nararya. Kebo Saloka tertegun tak dapat menjawab. Ia hanya mengatakan hendak menyusur jejak penjahat itu melalui jalan2 yang telah dilalui mereka.
"Sayang ki bekel tak berkuda"
Kata Nararya "sekalipun begitu, aku bersedia ikut ki bekel untuk mengejar mereka"
Noyo dan Doyo terkejut "Raden"
Seru mereka gopoh "kita belum tahu siapa penjahat itu. Tidakkah hal itu akan makan waktu lama?"
Nararya tertegun.
Memang benarlah kata2 kedua hambanya itu.
Namun kali ini lain pula penilaiannya.
Gong peninggalan empu Bharada itu merupakan pusaka yang wajib diselamatkan dan dijaga.
Entah siapa kawanan penjahat yang telah mencuri itu, tetapi wajiblah ia membantu usaha orang2 kademangan itu untuk membekuk penjahatnya.
Kemungkinan tentu ada sebabnya mengapa prabu Kertanagara menaruhkan gong pusaka itu di Lodoyo.
Mengapa tidak disimpan di keraton atau di lain tempat yang lebih sentausa.
Tertarik perha an Nararya akan rahasia yang menyelimut di balik gong pusaka empu Bharada.
Biarlah tujuannya ke Kagenengan terhen beberapa waktu tetapi gong pusaka itu memang berharga untuk didapatkan, kembali.
Adakah ini suatu k2 permulaan daripada jalan kearah menyongsong Wahyu Agung itu? "Tidak"
Cepat Nararya menghapus pemikiran semacam itu "bukan karena wahyu itu yang mendorong aku akan merebutnya kembali.
Bukan pula keinginan apa2 yang bersifat peribadi, tetapi memang gong pusaka itu harus direbut kembali dari tangan penjahat.
Pusaka peninggalan semacam itu tak boleh hilang atau jatuh di tangan penjahat"
"Tetapi benarkah engkau melihat sendiri sebuah buntalan kain hitam di punggung kuda mereka?"
Ulang bekel Kuda Saloka.
"Ya"
Sahut Nararya "buntalan kain hitam sebesar pemeluk tangan orang. Tampaknya kuda itu berlari sarat membawanya"
Kata Nararya.
"Benar"
Sabut Kuda Saloka "jika demikian tentulah gong pusaka itu.
Ketahuilah, bahwa walaupun besarnya hanya sepemeluk tangan orang tetapi gong Pradaitu beratnya sama dengan seekor lembu"' "Jika demikian mari kita lekas berangkat, ada harapan kita dapat mengejar mereka"
Seru Nararya. Tetapi bekel Kuda Saloka mencegah "Jangan terburu nafsu. Siapakah sesungguhnya dirimu ini, ki bagus? Mengapa kedua orang itu menyebutmu raden?"
Nararya terkesiap.
Walaupun telah dipesan ternyata Noyo dan Doyo telah lupa dan menyebutnya raden.
Tetapi hal itu tak mengapa.
Yang menjadi pemikirannya adalah kedua punakawannya yang terluka.
Memang benar, kurang layak kalau mengajak mereka ikut dalam pengejaran itu "Ki bekel, sesungguhnya aku bernama Nararya, putera resi Sinamaya di gunung Kawi.
Aku habis melakukah perintah rama ke Wengker dan dalam perjalanan pulang aku sengaja mengambil jalan di daerah selatan.
Untuk menambah pengalaman sekalian menikma pemandangan alam"
Memang sejak melihat wajah Nararya, bekel Kuda Saloka sudah menarik kesimpulan bahwa pemuda itu tentu bukan pemuda kebanyakan.
Ia mempunyai kesan baik terhadap Nararya dan ia percaya penuh atas keterangan pemuda itu "Baiklah raden.
Apabila raden setuju, akan kusuruh salah seorang rombonganku untuk membawa kedua pengiringmu itu ke kademangan.
Biarlah mereka menunggu di kademangan sampai nanti kita kembali"
Nararya girang sekali.
Ia menerima usul itu lalu memerintahkan Noyo dan Doyo ikut ke kademangan.
Setelah seorang dari rombongan kademangan membawa Noyo dan Doyo pergi, barulah Nararya berangkat bersama rombongan bekel Kuda Saloka.
Malam makin sunyi ditelan kekelaman.
Bekel Kuda Saloka tak tahu bagaimana harus menyusuri jejak kawanan penjahat itu.
Ia hanya menurutkan jalan besar yang merentang ke arah utara.
Pikirnya, karena naik kuda, kawanan penjahat itu tentu menempuh jalan besar.
Untuk menghilang rasa sepi dan dingin maka Nararya bertanya tentang peris wa hilangnya gong Prada itu.
"Aku nggal disebuah bangunan batu, dekat candi Simping dan resi Para nggal dalam candi bersama seorang murid yang bernama putut Gubar. Kemarin siang, putut Gubar disuruh resi Para ke Balitar untuk berbelanja keperluan sesaji dan bahan-bahan untuk dapur. Petang hari putut Gubar tergopoh-gopoh pulang dengan membawa berita bahwa resi Para dan aku, diundang ki demang Lodoyo karena perlu diajak berunding tentang persiapan2 upacara pemandian dan sesaji untuk Gong Prada. Memang tiap tahun gong pusaka itu tentu dimandikan dengan suatu upacara"
"O"
Seru Nararya "mengapa?"
"Hal itu dimulainya sejak baginda Kertanagara naik tahta menggan kan rahyang ramuhun baginda Wisnuwardhana"
Kata bekel Kuda Saloka "oleh tah baginda maka ap Asyura, Gong Prada supaya dimandikan dengan sebuah upacara yang khidmat dan doa mantra agar gong suci itu tetap memancarkan daya kesak an untuk menangkal kutuk yang dilimpahkan sang mahayogi empu Bharada kepada pohon kamal tetapi yang kemudian akibatnya memancarkan daya malapetaka sehingga Daha dan Jenggala yang telah dipecah dari kerajaan Panjalu oleh empu sak itu, selalu pecah benar-benar.
Kedua kerajaan itu selalu bermusuhan dan perang"
Nararya terpikat perha annya sehingga ia tak merasakan kedinginan malam di tengah musim kemarau.
"Telah berjalan bertahun upacara pemandian Gong Prada itu dan nyatanya sampai sekarang, baginda Kertanagara dapat memerintah dengan aman"
Lanjut bekel Kuda Saloka pula.
"O, jika demikian"
Tukas Nararya "amat pen nglah ar gong pusaka itu bagi keamanan dan keselamatan negara"
Bekel Kuda Saloka mengangguk "Benar, raden. Itulah pula sebabnya maka baginda menitahkan aku, seorang bhayangkara-pendamping baginda, untuk menjaga candi tempat penyimpan gong pusaka itu"
"Tetapi ki bekel"
Seru Nararya "bukankah tugas sebagai bhayangkara-pendamping yang selalu menjaga keselamatan baginda itu lebih penting dari tugas di candi Simping?"
Bekel Kuda Saloka menghela napas "Ah, raden, apabila membicarakan peris wa itu, mungkin darahku akan naik lagi"
Nararya matan tenggelam dalam rasa keinginan tahu. Maka dengan ramah ia meminta bekel Kuda Saloka untuk menceritakan hal itu "Tetapi apabila ki bekel berat ha , akupun tak memaksa"
Katanya.
Bekel Kuda Saloka tertawa.
Entah bagaimana, walaupun perkenalannya dengan Nararya itu baru berlangsung beberapa saat, namun ia sudah menaruh kepercayaan penuh kepada pemuda itu.
Ada suatu perasaan, yang ia tak menger sendiri, bahwa pemuda itu seolah mempunyai kewibawaan yang layak ditaati.
"Baik, raden"
Katanya "menurut wawasanku dalam pemerintahan di pura Singasari memang terdapat gejala2 perebutan pengaruh diantara para menteri.
Di-antaranya yang berhasil menonjolkan diri adalah demang Aragani.
Sejak demang itu berhasil mempersembahkan siasat dalam peperangan di Gelagah Arumantara pasukan Singasari dengan pasukan pangeran Kanuruhan sehingga dalam peperangan itu pangeran Ka-nuruhan menderita kekalahan, maka demang Aragani segera dinaikkan pangkat sebagai tumenggung dan makin mendapat kepercayaan penuh dari baginda"
"Sedemikian dekat hubungan antara tumenggung Aragani dengan baginda Kertanagara sehingga menimbulkan kecemasan para mentri2 lain, terutama patih sepuh Raganata dan demung Wirakreti, kepala angkatan perang Singasari"
"Tetapi ki bekel"
Tak tahan Nararya untuk tak bertanya "apabila untuk mengatur pemerintahan, apa buruknya baginda erat berhubungan dengan tumenggung Aragani.
Bukankah Aragani telah berjasa dalam peperangan di Gelagah Arum? Eh, siapakah pangeran Ka-nuruhan itu, ki bekel?"
"Pangeran Kanuruhan adalah putera dari rahyang ramuhuh Wisnuwardhana yang dilahirkan dari seorang selir. Sesungguhnya rahyang ramuhun Wisnuwardhana amat kasih kepada putera sulungnya itu karena baik wajah maupun perangainya, hampir sama dengan ayahandanya. Tetapi karena putera sulung itu lahir dari selir maka baginda Wisnuwardhana hanya memberinya bumi di Gelagah Arum dan menggiatnya sebagai kanuruhan. Antara baginda Kertanagara dengan kakandanya pangeran Kanuruhan, tak akur. Baginda Kertanagara menghendaki agar Glagah Arum tunduk pada Singasari. Dalam eh a-citanya untuk mempersatukan seluruh nuswantara, perabu Kertanagara hanya menghendaki sebuah kerajaan yalah Singasari. Tetapi pangeran Kanuruhan menolak dan akhirnya terjadilah peperangan diantara kedua saudara itu"
Bekel Kuda Saloka berhen sejenak lalu melanjutkan pula "Dan sesungguhnya, tumenggung Araganilah yang menjadi biangkeladi dari peperangan itu.
Diapun menghasut baginda agar menggempur Glagah Arum.
Patih sepuh Raganata dan demung Wirakreti berusaha untuk mencegah tetapi tak dihiraukan baginda.
Baginda lebih percaya pada Aragani.
Dan setelah Gkigah Arum dapat dihancurkan maka baginda makin erat dan percaya kepada Aragani"
Ia berhen pula "jika hubungan itu dalam rangka mengatur pemerintahan, memang layak. Tetapi ternyata Aragani hendak merusak jiwa baginda dan melemahkan semangat baginda"
"O"
Nararya terkejut "bagaimana caranya?"
"Tumenggung itu selalu menghaturkan tuak apabila menghadap baginda. Dengan dalih bahwa tuak itu merupakan obat pelipur yang dapat menghilangkan segala kele han pikiran dan menambah kesegaran semangat, bagindapun mulai terpikat. Aragani makin giat mengumpulkan tuak hingga sampai membeli tuak dari Bali. Melihat gejala2 yang tak sehat itu, pada suatu hari aku memberanikan diri untuk menyongsong kedatangan tumenggung Aragani ke keraton. Kuperingatkan bahwa hendaknya janganlah dia merusah jiwa dan semangat baginda dengan tuak. Dia hanya tertawa mencemoh. Beberapa bulan kemudian, baginda memindahkan aku ke Lodoyo untuk menjaga Gong Prada, sedang kedudukanku digan oleh senopa -pendamping Bandupoyo yang sekarang"
"Eh, ki bekel, bagaimana dengan kelanjutan cerita putut Gubar itu?"
Tiba2'Nararya teringat.
"O, benar"
Kata bekel Kuda Saloka "malam itu aku bersama resi Para menuju ke Lodoyo.
Tetapi ki demang pergi ke Balitar dan kami terpaksa menunggu di kademangan.
Kami menunggu-sampai-jauh malam baru ki demang pulang.
Tetapi alangkah kejut kami ke ka ki demang, mengatakan bahwa dia tak merasa mengundang kami berdua.
Bahkan diapun marah karena merasa telah dipermainkan orang yang mengatakan bahwa buyut Lodoyo mengundangnya datang ke Balitar.
Sampai disana, buyut Balitarpun tercengang karena merasa tak memanggil ki demang"
"Siapakah yang menyampaikan undangan kepada ki demang?"
Tanyaku.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Putut Gubar, murid ki resi Para"
Sahut demang Lodoyo.
Saat itu aku menyadari bahwa ada sesuatu yang tak wajar.
Karena putut Gubarlah yang menyampaikan berita tentang kami dipanggil ki demang Lodoyo.
Kemudian demang itupun menerima undangan dari putut Gubar yang mengatakan kalau buyut Balitar memanggilnya.
Demang Lodoyo dan resi Para juga terkejut ke ka kuutarakan tentang kecurigaanku terhadap putut Gubar.
Segera kuajak resi Para pulang.
Ternyata putut Gubar tak berada dalam candi.
Setelah kami cari beberapa waktu, barulah kami ketemukan dia terikat pada sebatang pohon, mulutnya disumbat, kaki tangan dan tubuhnya diikat.
Setelah kami tolong, ia memberitahu bahwa sepulang dari berbelanja ke Balitar, ba2 ia dihadang oleh empat orang lalu ditangkap dan diikat pada pohon.
Pakaiannya dilucuti.
"Jika demikian jelas kalau putut Gubar yang menyampaikan berita kepada kita itu, bukan putut Gubar ini melainkan salah seorang dari keempat orang yang menghadangnya itu"
Kataku kepada resi Para. Resi Para kerutkan dahi "Mari kita periksa keadaan candi"
Katanya.
Setelah memeriksa dengan teli , ada terdapat suatu apa yang hilang.
Tetapi ke ka kami memeriksa tempat penyimpanan gong Prada, kami menjerit kaget.
Gong suci itu telah hilang.
Jelas keempat orang yang.
menghadang putut Gubar itulah yang mencuri.
Mereka menggunakan siasat yang cerdik, memanggil aku dan resi Para ke Ledoyo sementara demang Ledoyo disiasa supaya pergi ke Balitar, Waktu setengah malam itu cukup bagi mereka untuk mengangkut gong Prada.
Demikian bekel Kuda Saloka mengakhiri ceritanya, Nararya mengangguk.
Diam2 ia memuji kecerdikan penjahat yang telah berhasil mengambil gong pusaka itu "Ki bekel"
Katanya sesaat kemudian "menurut jejak dan dugaan, siapakah kiranya yang melakukan pencurian itu?"
Bekel Saloka menghela napas "Sukar untuk mengatakan dengan pas . Karena sudah berpuluh tahun gong pusaka itu tersimpan dalam candi Simping dengan selamat dan baru kali ini peris wa itu terjadi"
"Menurut dugaan ki bekel, kira2 siapakah yang cenderung untuk dicurigai melakukan pencurian itu?"
Kata Nararya.
"Menilik jalan yang mereka tempuh ini, akan menuju ke pura Daha"
Kata bekel Kuda Saloka "tetapi kusangsikan apakah akuwu Daha yang memerintahkan pencurian itu? Karena sukar untuk menduga, apa tujuannya jika benar fihak Daha yang memerintahkan pencurian itu?"
"Ki Demang"
Kata Nararya sesaat kemudian "kecuali Daha, adakah di daerah lain terdapat gerombolan penjahat yang sering mengganggu keamanan?"
Bekel Kuda Saloka merenung sejenak "O, benar raden"
Serunya sesaat kemudian "digunung Kelud sudah beberapa lama muncul sebuah gerombolan perampok yang sering melakukan perampokan ke beberapa daerah. Namun sampai sekian lama belum pernah Balitar diganggu"
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah dan merekapun ba di desa Ponggok.
Bekel Kuda Saloka mengajak rombongannya beris rahat di desa itu.
Mereka singgah ditempat lurah Ponggok.
Lurah terkejut menerima kedatangan mereka namun disambutnya juga dengan ramah.
Ke ka mendengar tentang peris wa hilangnya gong Prada, lurah itu makin terkejut.
Atas pertanyaan bekel Saloka, lurah menyatakan bahwa sejak semalam didesanya tak pernah dilalui oleh rombongan orang berkuda.
"Pernahkah ki lurah mendengar tentang gerombolan gunung Kelud yang mengganggu rakyat?"
"O, benar"
Seru lurah Ponggok "memang sejak beberapa waktu ini di gunung Kelud telah muncul gerombolan penyamun. Tetapi agak istimewa juga mereka itu"
Nararya terkesiap "Bagaimana?"
"Mereka dak mau mengganggu rakyat jelata tetapi hanya- merampok orang2 kaya terutama pembesar2 kerajaan Singasari"
"O, jika demikian"
Sambut Nararya "apakah mereka memusuhi Singasari atau sekurang- kurangnya orang-orang yang mendendam kepada Singasari?"
Lurah Ponggok mengangguk "Kemungkinan begitu, tetapi entah bagaimana keadaan yang sebenarnya"' Setelah mendapat keterangan dari lurah maka Nararya segera berunding dengan bekel Kuda Saloka "Ki bekel, dalam mengejar jejak penjahat itu, kita harus menyusuri se ap kemungkinan yang mengandung kemungkinan.
Desa ini, mempunyai dua simpang jurusan.
Yang ke barat, akan mencapai Daha dan yang ke utara akan ba di gunung Kelud.
Kedua fihak itu mempunyai kemungkinan yang layak kita selidiki"
Sejenak merenung, bekel Kuda Saloka memberi tanggapan "Jika keterangan ki lurah itu benar, maka gerombolan di gunung Kelud itu mempunyai kemungkinan yang lebih besar"
"Mengapa?"
Tanya Nararya.
"Mereka bersikap memusuhi Singasari. Sedang Dahar jelas mengunjuk sikap setya dibawah kekuasaan Singasari. Apakah alasan Daha untuk mencuri gong pusaka itu?"
Nararya tak lekas menyahut melainkan merenung.
Peristiwa pertemuannya dengan pangeran Ardaraja.
putera akuwu Jayakatwang di Daha, terbayang pula.
Betapa jelas ia mendengar keterangan putera akuwu Daha yang menyatakan bahwa Daha giat sekali membentuk pasukan yang kuat, mencari prajurit2 yang.
gagah.
Walaupun tak jelas mengatakan tentang maksud tujuannya, tetapi apakah tujuan gerakan mereka itu? Dan menilik sejarahnya, Daha selalu berperang dengan Singasari.
Daha mau tunduk pada Singasari karena kalah.
Tetapi apabila Daha sudah memiliki pasukan yang kuat, adakah mereka masih taat kepada kekuasaan Singasari? Kemudian teringat pula ia akan keterangan dari ramanya bahwa akuwu Jayakatwang yang sekarang memerintah Daha itu seorang akuwu yang pandai dan digdaya, memiliki senopa dan mentri yang pandai.
Dalam hubungan itu apabila mereka sudah mempunyai angkatan perang yang kuat, tidakkah akan terjadi per-obahan dalam alam pikiran mereka? Namun karena ia belum memiliki gambaran yang jelas tentang keadaan Daha, tak beranilah ia mengemukakan pendapatnya secara pas "Ki bekel, segala sesuatu dalam dunia ini tak langgeng sifatnya.
Terutama pikiran dan pendirian manusia.
Mudah sekali goyah dan berobah.
Dan untuk mencari jejak gong pusaka itu setiap kemungkinan harus kita telusur"
"Tetapi akan makan waktu lama apabila kita harus menyelidiki ke Daha kemudian ke gunung Kelud"
Sanggah bekel Kuda Saloka.
Nararya tersenyum kemudian berkata dengan nada bersungguh "Ki bekel, aku sudah berjanji akan menyediakan tenaga dan pikiran bahkan bila perlu jiwaku untuk mendapatkan gong Prada itu.
Karena gong itu merupakan pusaka peninggalan yang bersejarah.
Dan apabila benar mempunyai daya pengaruh gaib untuk menolak bala dari empu Bharada, maka lebih wajib kita mendapatkan kembali"
"Maksud raden?"
Tanya bekel Kuda Saloka.
"Berilah aku lima orang pengikut yang akan menyertai aku ke gunung Kelud. Sedangkan ki bekel bersama sisa kawan2 rombongan ini yang menuju ke Daha"
Kata Nararya. Bekel Kuda Saloka menimang sejenak lalu menjawab "Ah, lebih baik aku yang ke gunung Kelud dan-raden yang ke Daha"
"Mengapa? "
Tanya Nararya.
"Karena lebih besar kemungkinan gerombolan gunung Kelud itu yang melakukan pencurian. Bila raden ke gunung Kelud, bahayanya tentu lebih besar. Padahal akulah yang bertanggung jawab atas hilangnya benda pusaka itu dan raden hanya membantu saja"
Nararya tertawa "Ki bekel, salah pandanganmu itu.
Berbicara tentang tanggung jawab, pendirianku beda dengan ki bekel.
Gong Prada itu benda pusaka yang telah menjadi milik kerajaan.
Dan gong pusaka itu dianggap mempunyai khasiat gaib untuk menolak bala agar negara jangan sampai -terlanda bahaya peperangan lagi.
Sehingga demikian gong pusaka itu mempunyai nilai sebagai suatu sarana yang mendatangkan keamanan dan ketenteraman rakyah Berbicara soal keamanan negara dan ketenteraman rakyat, bukanlah semata tanggung jawab dari para narapraja melulu tetapi se ap kawula negara juga mempunyai tanggung jawab.
Karena rakyat dan negara ibarat tanah dengan pohon"
Bekel Saloka tertegun.
"Mengapa kuminta ki bekel yang menuju Daha, bukanlah karena Kelud lebih besar kemungkinannya untuk diduga. Karena dalam soal itu, kita masih belum dapat memas kan dan menurut hematku, kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama. Hanya aku merasa sebagai seorang pemuda gunung yang belum pernah menjelajah pura, tentu akan canggung dan tak leluasa. Hal itu mudah menimbulkah kecurigaan orang atau petugas2 pemerintah Daha. Beda halnya apabila ki bekel yang sudah pernah menjabat sebagai bhayangkara keraton tenfu lebih faham akan seluk beluk keadaan dan alam kehidupan pura. Demikian pula dalam cara2 untuk menyelidiki, ki bekel tentu jauh lebih berpengalaman dari diriku. Bukankah demikian, ki bekel?"
Bekel Kuda Saloka mengangguk. Alasan yang di-kemukakan pemuda itu memang tepat. Akhirnya ia menerima saran Nararya "Tetapi raden, bilakah kita akan bertemu kembali?"
"Sepuluh hari kemudian, hasil atau tidak hasil, kita bertemu di desa ini lagi"
Kata Nararya.
Demikian setelah beris rahat beberapa waktu, kedua rombongan itupun segera berangkat.
Nararya membawa lima orang menuju ke gunung Kelud.
Bekel Kuda Saloka dengan duabelas orang menuju ke Daha.
Dalam menempuh perjalanan ke gunung Kelud, Nararya seolah membebaskan pikiran., dari tujuannya bertapa di candi Kagenengan.
Ia menganggap bahwa bertapa itu adalah untuk kepen ngan diri peribadi.
Dan ia pun belum dapat membayangkan, apakah hasil daripada usahanya bertapa itu nan .
Hal itu bukan berar ia tak menganggap hal itu pen ng.
Tetapi hilangnya Gong Prada itu ia anggap lebih pen ng untuk diusahakan kembalinya.
Hal itu sesuai dengan dharmanya baik sebagai seorang ksatrya.
maupun sebagai seorang kawula.
Sebagai seorang ksatrya ia membantu pada bekel Kuda Saloka yang bertanggung jawab atas keamanan gong pusaka itu.
Sebagai seorang kawula, ia menunaikan wajib untuk memperjuangkan benda milik negara yang dicuri orang.
Dan pusaka itu mempunyai arti besar bagi keamanan negara.
Pada hari kedua menjelang petang, balah Nararya di kaki gunung Kelud.
Nararya mengajak kelima pengiringnya berhen .
Ia memutuskan akan mendaki ke puncak gunung pada keesokan harinya.
Karena ada perumahan penduduk, ia mencari sebuah tempat peris rahatan di bawah pohon besar.
Ke ka malam ba, sekonyong-konyong ia mendengar suara sungu atau terompet dari tanduk, melengking memecah kesunyian.
Serentak ia melonjak bangun "Apakah itu?"
"Macam bunyi sungu ditiup"
Sahut salah seorang rombongannya yang bernama Juwaru.
"Mungkin tak jauh dari tempat ini terdapat perkampungan"
Seru pula kawannya yang lain.
"Lalu apa bunyi sungu itu?"
Tanya Juwaru.
"Mungkin anak2 bermain meniup sungu"
Kata kawannya itu.
"Tidak mungkin"
Ba2 seorang kawannya yang lain bernama Bera membantah "bukarikah di kademangan Lodoyo tak pernah terdengar anak2 bermain meniup sungu?"
Bera tak dapat menjawab dan juwarupun membenarkan "Jika demikian, tentu ...."
Belum selesai ia berkata, ba- ba terdengar pula suara sungu menyambut suara sungu pertama yang sudah hampir reda itu.
Kemudian ke ka nada suara sungu yang kedua itu menurun, terdengar pula suara sungu yang ketiga.
Tiap kali jaraknya makin jauh keatas gunung.
"Hm"
Desuh Juwaru "jika demikian jelas suatu pertandaan dari gerombolan yang bersarang di gunung ini"
Nararya mengangguk "Ternyata mereka mempunyai susunan penjagaan yang teratur. Cepat sekali kedatangan kita mereka ketahui dan segera melaporkan kepada pimpinannya"
Kemudian Nararya mengatur siasat "Kawan2, sebentar lagi gerombolan perampok itu tentu akan turun kemari.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jelas mereka tentu lebih besar jumlahnya.
Maka baiklah kita atur, siasat.
Mudah- mudahan siasat ini dapat mengurangi kekuatan mereka.
Paling tidak memecah perhatian mereka"
"Silahkan raden memberi petunjuk. Kami pasti akan siap melakukan"
Kata Juwaru dan kawan2.
"Aku dan salah seorang dari kamu berlima, yang akan menyambut mereka. Sedang yang empat orang supaya memencar diri bersembunyi di empat penjuru sekeliling tempat ini. Apabila terjadi pertarungan, buatlah gerakan agar mereka ketakutan karena mengira bahwa kita membawa sejumlah besar anakbuah. Apabila mereka membagi orang untuk memburu ketempat kalian jangan melawan tetapi pancinglah agar mereka mengejar kalian dan tercerai berai dari induk gerombolannya. Sementara aku yang akan menghadapi kepala gerombolan itu dan menangkapnya"' Kelima orang itu setuju. Seorang yang bernama Pamot dipilih untuk menemani Nararya. Yang empat orang segera berpencar ke empat penjuru. Tak lama dari lereng gunung turun serombongan orang lelakientah berapa jumlahnya. Tetapi menilik jumlah batang obor yang mengiring perjalanan mereka, jumlahnya tak kurang dari duapuluh batang. Tak berapa lama merekapun tiba di tempat Nararya menunggu. Kesan pertama, Nararya melihat gerombolan itu memiliki suatu tata peraturan yang teratur. Dari keseragaman pakaian mereka yang serba hitam sampai dengan susunan mereka berjalan yang diatur seper sebuah barisan yang berjalan dua orang. Pada ap lima pasang terdapat seorang kepala kelompok yang berjalan disamping. Juga langkah kaki mereka menarik perha an Nararya karena teratur dalam derap yang seragam. Agak heran Nararya ke ka pandang matanya yang mencari kepala gerombolan itu, masih tetap belum bersua. Karena pada umumnya dalam pasukan, pemimpinnya tentu mengenakan busana yang berbeda dengan anakbuahnya. Juga dalam gerombolan penyamun tentu demikian juga. Misalnya gerombolan Singa Barong. Singa Barong cepat dapat dikenal sebagai kepala gerombolan. Tetapi dak demikian dengan gerombolan gunung Kelud ini. Siapakah gerangan kepala gerombolan itu? Nararya bertanya-tanya dalam hati. Gerombolan itu berhen pada jarak lima langkah dari tempat Nararya. Begitu berhen maka anakbuah yarig bagian belakang terus bergerak melingkari Nararya. Nararya terkejut tetapi terlambat. Ia dan Pamot sudah berada dalam kepungan mereka. Tiba2 dari tiga kepala kelompok tadi, tampillah seorang lelaki muda, bertubuh tegap, ke hadapan Nararya "Siapakah ki sanak ini ?"
Serunya tenang dan nyaring.
"Aku pengalasan dari kademangan Lodoyo"
Sahut Nararya yang kemudian,balas bertanya orang itu.
"Tanpa tedeng aling2, ki sanak sedang berhadapan dengan Lembu Peteng kepala gerombolan gunung Kelud"
Kata orang muda itu "lalu apa maksud kedatangan ki sanak kemari?"
"Akan meminta agar ki sanak suka mengembalikan gong Prada kepadaku"
Kata Nararya "karena gong pusaka itu adalah milik kerajaan Singasari"
Nararya tak mau terlalu panjang menanyakan adakah gerombolan Lembu Peteng itu yang mencuri gong pusaka.
Ia tahu, pencuri tak mungkin mau mengaku.
Maka langsung saja ia meminta kembali gong pusaka.
Dalam hal itu dia memang benar.
Tetapi pada lain langkah, secara tak disadari ia telah melakukan kesalahan.
Wajah kepala gerombolan Lembu Peteng yang semula tenang walaupun dituduh sebagai pencuri gong Prada, ba2 berobah tegang demi mendengar Nararya menyebut kerajaan Singasari.
"Ki pengalasan"
Serunya dengan getar "jika gong itu milikmu ataupun milik rakyat, walaupun bukan aku yang mengambil tetapi aku bersedia mencarikan sampai ketemu.
Tetapi karena gong pusaka itu milik kerajaan Singasari, hm, jangan harap aku, Lembu Peteng, akan mengembalikannya"
"O"
Desuh Nararya "mengapa ki Lembu bersikap demikian? Tidakkah kita ini kawula kerajaan Singasari yang wajib membantu negara. Gong Prada itu mempunyai hikmah yang dapat menjaga ketenangan dan kesejahteraan negara"
"Pengalasan"
Seru Lembu Peteng "kepadamu tak perlu ku uraikan mengapa alasanku bersikap demikian. Cukup kukatakan, jika raja Singasari yang datang kemari meminta kepadaku, barulah kukembalikan benda itu"
"Dan kalau aku ?"
Tanya Nararya. Lembu Peteng menatap wajah pemuda itu,sahutnya "Baik, engkaupun akan kuberikan asal engkau dapat memenuhi imbalannya"
Mendengar itu berserilah wajah Nararya "Terima kasih, ki Lembu Peteng. Berapakah imbalan yang engkau kehendaki?"
Lembu Peteng tertawa cemoh "Bukan uang yang kuminta tetapi benda pusaka harus digan dengan benda pusaka juga"
Nararya tak terkecoh walaupun keliru menduga. Ia menegas "Benda pusaka apakah yang engkau kehendaki, ki Lembu Peteng?"
"Benda pusaka dari setiap orang yang hendak meminta kembali gong pusaka itu kepadaku"
Sahut Lembu Peteng.
"Benda pusaka dari diriku? Pada hal aku tak memiliki pusaka apa2"
Seru Nararya.
"Ada"
Jawab Lembu Peteng "engkaupun mempunyai benda pusaka yang kuinginkan itu"
Nararya terbeliak, serunya "Apakah itu ?"
"Batang kepalamu !"
Seru Lembu Peteng tertawa. Nararya terbeliak "Oh"
Desuhnya "janganlah ki Lembu bergurau. Benarkah engkau menghendaki benda pusaka kepalaku ini? "
"Lembu Peteng tak pernah menjilat kata"
Seru kepala gerombolan itu "jika. engkau serahkan batang kepalamu, gong Prada itu tentu akan kukembalikan"
Nararya sudah siap dengan jawaban yang segera dilancarkannya "Baik, ki Lembu, aku bersedia menyerahkan batang kepalaku ini. Tetapi aku kuatir, apakah engkau mampu mengambilnya"
"Untuk mengambil batang kepalamu?"
Ulang Lembu Peteng kemudian tertawa gelak2
"mungkin lebih sukar memetik buah kepala daripada mengambil batang kepalamu, pengalasan"
"Jika demikian, silahkan"
Sambut Nararya "tetapi akupun ingin mengajukan permohonan"
"Katakan"
"Yang mengambil batang kepalaku ini harus engkau sendiri ki Lembu. Jangan anakbuahmu"
Lembu Peteng tertawa "Baiklah"
"Nan dulu"
Ba2 Nararya berseru ke ka melihat Lembu Peteng bersiap "apa katamu jika engkau tak mampu mengambil batang kepalaku?"
Lembu Peteng kerutkan dahi tetapi secepat itu ia tertawa pula "Aku bersedia memenuhi permintaanmu"
"Baik, ki Lembu"
Kata Nararya "kita nanti bicara lagi setelah kita selesai adu kesaktian"
"Mengapa tak mau mengatakan sekarang?"
Seru Lembu Peteng.
"Aku belum tentu menang"
Sahut Nararya "mengapa aku harus berkokok dulu? Nan apabila aku menang barulah aku mau mengatakan. Bukankah engkau bersedia memenuhi apa saja yang kuminta?"
Karena sudah terlanjur mengatakan maka Lembu Petengpun mengiakan.
Kemudian ia bersiap.
Sekalian anakbuah gcrombolanpun berbenah, menyurut mundur agar gelanggang lebih lapang dan mengatur tempat penjagaan.
Dalam meniti sikap dan gaya serangan yang dibuka Lembu Peteng, tahulah Nararya bahwa kepala gerombolan gunung Kelud itu memandang rendah kepadanya.
Sesungguhnya ingin Nararya marah.
Tetapi setelah beberapa saat bertukar cakap dengan Lembu Peteng, ia mendapat kesan bahwa kepala gerombolan itu memiliki sifat2 yang tegas, berani dan teguh peraturan.
Juga dalam nada bahasanya, bukanlah seorang golongan kasar dan jahat tetapi lebih menyerupai seorang prajurit yang bengis.
Dan masih ada sebuah hal yang menarik perha an, bahwasanya Lembu Peteng mengunjuk sikap yang tak senang kepada raja dan kerajaan Singasari.
Dalam merangkai kesan kcarah suatu kesimpulan balah Nararya pada suatu k keputusan, bahwa ia akan mengalahkan kepala gerombolan itu dengan cara yang lunak, jangan sampai membuatnya malu atau mendendam.
Apabila mungkin, ia ingin tahu apakah yang terjadi pada diri kepala gerombolan itu dalam hubungannya dengan kerajaan Singasari.
Setelah menghindar dari sebuah terjangan tinju Lembu Peteng, Nararya segera berkisar ke samping dan menampar bahu kepala gerombolan itu.
Tetapi ia segera, tertumbuk kejutan besar ketika sambil berputar tubuh, Lembu Peteng mengirim sebuah tendangan kearah perut.
Pada jarak yang sedekat itu dan menghadapi gerak kaki yang sedemikian cepat, Nararya tak sempat menghindar ataupun menangkis lagi.
Dalam saat yang berbahaya hanya sebuah jalan yang dapat ia tempuh.
Sambil agak mengisar sedikit ke samping ia terus menyongsong maju merapat lawan.
Dengan demikian ujung kaki Lembu Peteng berada disisi tubuh Nararya, agak menjorok ke belakang.
Dan tubuh Nararya saat itu berada disisi paha Lembu Peteng.
Bukan kepalang kejut Lembu Peteng atas gerakan lawan yang tak terduga-duga itu.
Memang dengan cara itu, Nararya hanya menderita kesakitan kecil karena pahanya terlanggar lututnya tetapi kini ia berbalik terancam.
Untuk menolong agar Nararya jangan sempat mencengkeram paha maka dengan menggembor keras, Lembu Peteng segera ayunkan kedua tangannya dalam gerak mengacip leher lawan.
Tetapi serempak dengan gerakannya itu, ia rasakan dadanya agak sakit dan tiba3 Nararya loncat mundur melepaskan diri.
Gemparlah sekalian anakbuah gerombolan gunung Kelud ke ka menyaksikan pertandingan yang seru itu.
Gerakan yang berlangsung amat cepat itu tak menyempatkan mereka untuk dapat melihat jelas apa yang telah terjadi.
Dalam pandang mereka, setelah melancarkan ilmu bentakan aji Senggoro Macan yang kumandangnya menyerupai aum harimau, kemudian kedua tangan bergerak mengacip kearah leher, tampak Nararyapun loncat mundur.
Mereka menganggap Nararya tentu terluka.
Maka mereka segera menghambur sorak gegap gempita menyongsong kemenangan Lembu Peteng.
"Berhen !"
Ba2 Lembu Peteng memekik nyaring sehingga gema sorak yang bergempita itu, sirap seke ka.
Kini seluruh anakbuah gunung Kelud memandang kearah pemimpinnya dengan heran.
Tampak Lembu Peteng tegak dengan wajah gelap.
Sedang ke ka mereka beralih pandang, tampak Nararya berdiri dengan tenang' Apakah yang terjadi ? Demikian mereka bertanya-tanya dalam ha , namun tak bersua jawaban.
Terpaksa mereka menunggu dengan penuh perhatian.
"Ki Lembu Peteng"
Ba2 Nararyalah yang membuka pembicaraan lebih dulu "aku tak sanggup melawan engkau. Aku menyerah, terserah bagaimana engkau hendak mempedaya diriku"
Sekalian anakbuah gunung Kelud hampir hendak meledakkan pekik teriak yang menggetarkan angkasa tetapi mereka meragu karena kuatir akan dibentak Lembu Peteng lagi.
Dan keraguan itu lebih dipertandas ketika melihat pemimpin mereka yang diam saja.
Sama sekali tak mengunjukkan sikap seorang jago yang menang bertanding.
Tampak pemimpin gerombolan itu menundukkan kepala memeriksa dadanya, kemulian mengangkat muka dan memandang Nararya dengan terbeliak.
"Maaf, ki Lembu"
Seru Nararya seraya melangkah menghampiri "aku lancang mengambil benda yang tentunya engkau sayangi. Maka sekarang hendak kukembalikan kepadamu"
Nararya menyongsongkan tangan kanannya yang menggenggam lalu membuka genggamannya.
Lembu Peteng termmgu-mangu ke ka melihat bahwa dalam telapak tangan pemuda itu ternyata berisi sejemput bulu rambut.
Jelas bulu itu adalah rambut yang tumbih pada dadanya.
Dalam memeriksa tubuhnya tadi, diam2 ia terkejut karena bulu lebat yang menghias dadanya telah hilang dan gundul dibagian tengahnya.
Kini tahulah Lembu Peteng apa yang telah terjadi.
Rasa sakit aneh yang terasa pada dadanya tadi tak lain adalah ke ka Naraiya mencabut segenggam bulu dadanya.
Ia malu, marah dan penasaran.
Tetapi pada lain saat, pikiran yang sadar segera melintas "Ah, ternyata pemuda itu bukan hendak menghina aku melainkan karena tak mau mencelakai diriku.
Bukankah jika mau, ia dapat meninju dadaku daripada hanya mencabut bulu dada saja"
Pemikiran itu segera mengembangkan, suatu rasa syukur atas.
kebaikan ha Nararya.
Kemuiian mbul pula suatu rasa kesadaran bahwa jelas pemuda yang dihadapinya itu berilmu lebih tinggi dari dirinya.
Menyadari akan semua yang terjadi pada sekelilingnya, lembu Peteng melangkah maju sehingga rapat berhadapan dengan Nararya "Sinatrya, apa yang engkau kehendaki? Aku bersedia menyerahkan jiwaku"
Serunya seraya menegakkan kepala. Nararya tertegun, menatapnya "Mengapa, ki Lembu Peteng?"
"Engkau telah melepaskan kebaikan kepadaku"
Kata Lembu Peteng "Sebagai gan menghunjam dadaku, engkau hanya mencabut segenggam bulu dadaku"
"Karena kupercaya, dadamu tentu berlapis kekuatan sekeras baja, tak mungkin nju akan berhasil membobolkannya"
Seru Nararya.
"Sinatrya"
Seru Lembu Peteng dengan nada sarat "jangan bergurau, lekas engkau sebutkan permintaanmu"
Nararya terkesiap, kemudian berkata "Sebelum mengatakan apa2, aku hendak bertanya. Maukah ki sanak menjawab dengan jujur?"
"Silahkan"
"Adakah gong Prada itu berada padamu?"
"Tidak!"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nararya terbeliak, menatap Lembu Peteng lekat2, seolah hendak menembus isi ha kepala gerombolan itu. Beberapa jenak kemudian, ia berkata "Jika demikian, silahkan ki sanak pergi"
Kini bergan Lembu Peteng yang tertegun "Pergi?"
Ulangnya setengah tak percaya "bukankah engkau belum menjatuhkan pidana kepadaku?."
Nararya tersenyum "Mengapa harus menjatuhkan pidana? Kita tak bermusuhan. Aku hendak mencari gong Prada yang hilang itu. Jika engkau tak mengambil, mengapa aku harus bermusuhan denganmu"
"Tetapi aku sudah berjanji akan menerima apapun yang engkau kehendaki apabila aku kalah"
Bantah Lembu Peteng.
"Ya, dan aku sudah mengatakannya. Silahkan engkau membawa anakbuahmu pulang"
Kata Nararya.
"Tetapi itu bukan hukuman"
"Kedatanganku kemari bukan hendak menghukum orang tetapi hendak mencari gong pusaka itu"
"Apakah engkau tak marah karena seolah tadi aku mengakui bahwa gong pusaka itu aku yang mengambil?"
Masih Lembu Peteng bertanya.
"Tidak"
Jawab Nararya "aku dak marah melainkan justeru tertarik perha anku untuk mengetahui, apa sebab engkau bersikap begitu ?"
"O, jika demikian"
Kata Lembu Peteng "akan kuterangkan. Tetapi rasanya kurang layak berbicara disini. Maukah tuan singgah ke tempat kami di Lembah Badak?"
Nararya gelengkan kepala "Maaf, aku ada waktu. Aku harus cepat2 ke Daha menyusul kawan2 yang menyelidiki ke sana"
Habis berkata Nararya terus berputar tubuh dan ayunkan langkah.
Tetapi ia terkejut ke ka anakbuah Lembu Peteng masih tetap tegak ditempatnya, bahkan serempak menghunus tombak dan pedangnya.
Dengan begitu jalan Nararya terhadang "Kawan2, sukalah memberi jalan.
Persoalanku dengan ki Lembu Peteng sudah selesai"
Tetapi anakbuah gunung Kelud itu tetap tegak di tempatnya, memandang Nararya dengan sikap hendak menyerang apabila pemuda itu melanjutkan langkah.
Nararya terkejut.
Cepat ia berputar tubuh hendak menegur Lembu Peteng.
Ternyata kepala gerombolan itu sudah berada di belakangnya.
"Ki Lembu Peteng, harap suruh anakbuahmu menyisih ke samping"
Seru Nararya.. Lembu Peteng tersenyum "Mereka sudah mendapat perintahku dan melaksanakannya"
Nararya terbeliak "Engkau sudah memberi perintah ?"
Ia menegas. Lembu Peteng mengangguk "Mereka telah mendengar aku mengundang tuan ke Lembah Badak maka rnerekapun siap mengiring tuan ke sana"
Nararya tertawa mencemoh "O, kutahu, ki sanak. Bukankah engkau hendak menawan aku ? Jika demikian akupun terpaksa akan menghadapi"
"Sinatrya"
Seru Lembu Peteng "engkau salah faham.
Walaupun Lembu Peteng saat ini hanya sebagai seorang kepala gerombolan di gunung, tetapi jiwaku masih jiwa ksatrya seperti dulu.
Engkau telah mengunjukkan kebesaran jiwa yang menundukkan hatiku.
Sebagai ganti melukai diriku, engkau hanya mencabut segumpal bulu dadaku.
Dan akupun sudah berjanji akan rela menerima hukuman apapun yang hendak engkau jatuhkan.
Walaupun engkau ternyata tak mau menghukum, tetapi aku tetap akan menjalankan hukuman itu"
"Ki Lembu Peteng ...."
"Walaupun gong Prada itu bukan aku yang mencuri, tetapi aku sanggup akan mencarikan sampai ketemu. Maka kuundang tuan ke pesanggrahan kami untuk bicara lebih lanjut. Jika tuan ingin mendengar, akan kuceritakan kissah perjalanan hidupku mengapa sampai menjadi kepala gerombolan digunung ini. Pun kuminta, apabila tuan tak keberatan, memberi keterangan, tentang peristiwa hilangnya gong pusaka itu agar kami dapat segera mulai melakukan pencarian"
Nararya terkesiap.
Ia agak malu ha karena telah menduga salah terhadap kepala gerombolan itu.
Akhirnya ia menerima undangan Lembu Peteng.
Dikala belum jauh menempuh perjalanan, ba2 mereka mendengar suara gemuruh dari empat penjuru.
Antara mirip derap langkah kaki orang dengan derap lari kuda.
"Siap"
Teriak Lembu Peteng memberi perintah kepada anakbuahnya "
Barisan Jaladri-pasang dan panah"
Nararya terkejut mendengar aba-aba yang dikeluarkan Lembu Peteng.
Jaladri-pasang atau laut pasang merupakan gelar tata barisan perang.
Adakah gerombolan gunung Kelud itu dila h dengan barisan yang menggunakan gelar dalam peperangan? Ah,makin keras dugaannya bahwa Lembu Peteng itu tentu bukan berasal dari golongan penjahat.
Kemungkinan bekas perwira atau lurah prajurit.
"Jangan"
Cepat ia mencegah "tak perlu menyiapkan barisan. Mereka adalah para rombongan pengalasan dari kademangan Lodoyo yang menyertai aku dan kuperintahkan mereka bersembunyi dibeberapa tempat"
Untuk melonggarkan keraguan Lembu Peteng, Nararya mengiring keterangannya dengan tertawa kecil. Lembu Peteng ikut tertawa "Jika demikian ajaklah mereka ke pesanggrahan kami"
Katanya. Tetapi Nararya mengatakan tak perlu.
"Biarlah mereka menunggu di kaki gunung"
Selama melakukan pendakian, Nararya sempat pula memperhatikan keadaan gunung itu.
Terdapat beberapa desa.
Setiap tiba disehuah desa, tentu disambut dengan beberapa orang penduduk.
Hubungan penduduk dengan gerombolan Lembu Peteng, baik sekali.
Mereka tak menganggap Lembu Peteng sebagai gerembolan jahat, bahkan kebalikannya sebagai pelindung pedesaan itu.
Memang Lembu Peteng amat keras sekali memegang tata tertib peraturan.
Anakbuahnya dilarang mengambil, mengganggu milik penduduk, mengganggu kaum wanita, menerima pemberian apabila tanpa memberi jasa.
Bahkan wajib memberi pertolongan dan membantu kebutuhan dan kepentingan mereka.
Berkat peraturan yang keras dan tertib dari Lembu Peteng, ada beberapa anakmuda di pedesaan daerah situ yang menyatakan hendak masuk menjadi anakbuah.
Lembu Peteng keras sekali dalam tata peraturan.
Siapa yang melanggar, tentu akan diberi hukuman berat bahkan kalau tak dapat diampuni, tentu dibunuh.
Tetapi ia amat memperha kan kepen ngan anakbuahnya.
Sebagai pemimpin ia tak mau diis mewakan tetapi menghendaki pelayanan yang sama dengan anakbuahnya, baik makan, pakaian dan tempat nggal.
Itulah sebabnya di kaki gunung tadi Nararya bingung mencari siapa yang menjadi pimpinan gerombolan itu.
Setelah beberapa waktu mendaki, mereka menuju sebuah puncak yang disebut gunung Sumbing yang bentuknya lurus mirip sapu lidi.
Tiba di bawah puncak itu mereka menyusur lereng dan akhirnya tiba disebuah lembah.
"Inilah sarang kami"
Kata Lembu Peteng mengajak tetamunya masuk ke dalam sebuah gua.
Gua itu telah dibangun dan diperlengkapi dengan segala pekakas sehingga merupakan sebuah bangunan yang luas dan tenang.
Di muka gua terbentang sebuah halaman yang luas di kelilingi pohon2.
Memandang kearah selatan, samar2 tampak daerah Balitar.
Sehabis makan dan minum, Lembu Peteng memerintahkan anakbuahnya kembali ke tempat masing2, sementara ia duduk bercakap-cakap dengan Nararya "Benarkah engkau seorang pengalasan dari kademangan Lodoyo?"
Lembu Peieng mulai mengajukan pertanyaan. Setelah menyaksikan, bicara dan meresapi keadaan gerombolan gunung Kelud, terutama peribadi Lembu Peteng, timbullah kesan yang baik dalam hati Nararya. Dengan terus terang ia menuturkan tentang dirinya.
"O, pantas"
Seru Lembu Peteng "memang aku tak percaya apabila raden seorang pengalasan. Baiklah raden, akan kuceritakan sekelumit perjalanan hidupku"
Ternyata Lembu Peteng seorang pimpinan pengawal pangeran Kanuruhan di Glagah Arum.
Karena hanya berpangkat rendah di kerajaan Singasari, Aragani pernah menghadap pangeran Kanuruhan dan menawarkan kerjasama.
Ia sanggup membantu pangeran Kanuruhan untuk merebut tahta Singasari dari tangan baginda Kertanagara, asal pangeran Kanuruhan berkenan mengangkatnya sebagai pa h apabila kelak berhasil menjadi raja Singasari.
Pangeran Kanuruhan menolak karena betapapun Kertanagara itu adalah adindanya.
Ia rela menjadi pangeran Kanuruhan di Glagah Arum dan tak menginginkan tahta kerajaan karena Kertanagara sebagai putera yang lahir dari permaisuri lebih berhak atas tahta itu.
Tetapi Aragani tetap melancarkan bujukan2 antara lain dengan mengemukakan bahwa walaupun dilahirkan dari ibu garwa selir tetapi pangeran Kanuruhan lebih tua dan merupakan putera sulung dari rahyang ramuhun Wisriuwardhana.
Juga para mentri dan kawula Singasari lebih suka pangeran Kanuruhan yang menjadi raja daripada baginda Kertanagara yang keras.
Bujukan lidah beracun dari Aragani itu tetap ditolak bahkan karena jengkel, pangeran Kanuruhan menitahkan Lembu Peteng mengusir Aragani.
Seke ka itu Aragani diseret ke luar.
Rupanya karena kesakitan ia marah dan memukul.
Lembu Peteng membalas.
Dengan langkah terseok-seok ia nggalkan Glagah Arum.
Namun sebelum pergi, ia melantangkan ikrar bahwa kelak ia pas akan membalas hinaan dari pangeran Kanuruhan itu.
Beberapa tahun kemudian benar juga tentara Singasari menyerang Glagah Arum.
Karena kalah besar jumlah pasukannya, Glagah Arum pecah dan pangeran Kanuruhanpun menderita luka parah.
Pada saat itu Lembu Peteng mengajak kawan2 mengamuk.
Tetapi pangeran Kanuruhan memanggil dan mencegahnya.
Saat itu pangeran mandi darah dan tengah menghadapi maut "Lembu Peteng, apakah engkau setya kepadaku?"
Lembu Peteng berlutut menyembah kaki pangeran serta menyatakan kesetyaannya sampai diakhir hayat. Pangeran Kanuruhan tersenyum "Baik, nggalkan aku dan lekas engkau cari puteraku. Lindungi dan selamatkanlah dia dari kematian"
Lembu Peteng meragu tetapi pangeran Kanuruhan segera membentaknya.
Akhirnya dengan bercucuran airmata dia nggalkan pangeran di tengah medan laga yang bergenangan darah.
Dia mengamuk membuka jalan darah dalam kepungan prajurit Singasari.
Walaupun menderita beberapa luka, akhirnya ia dapat lolos juga.
Gedung kediaman pangeran telah dibakar.
Seper orang gila, dia kalap menerjang api untuk mencari putera pangeran yang masih kecil.
Tetapi sia2.
Dan pangeran Kanuruhan akhirnyapun gugur.
Peperangan telah selesai, Glagah Arum diduduki prajurit Singasari.
Lembu Peteng terpaksa lolos tinggalkan kota dan melanjutkan usahanya mencari putera pangeran Kanuruhan.
Sampai beberapa hari ketika tiba disebuah desa, ia mendengar keterangan dari seorang tua bahwa apabila datang seorang prajurit Glagah Arum yang hendak mencari putera pangeran, supaya disampaikan kepadanya bahwa putera pangeran Kanuruhan selamat.
Tak perlu mencarinya.
Kelak apabila sudah tiba saatnya, putera pangeran Kanuruhan itu akan disuruhnya muncul ke Singasari untuk membalas dendam kematian ayahandanya.
Lembu Peteng terkejut.
Tetapi ia tak dapat bertanya keterangan apa2 lagi kepada orang desa tua itu karena orang itu hanya menerima pesan dari seorang brahmana tua.
"Demikianlah raden"
Lembu Peteng mengakhiri kissahnya "sejak itu aku mengembara ke berbagai daerah.
Aku tetap benci kepada Singasari.
Lebih pula apabila melihat ngkah laku narapraja atau prajurit2 yang sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan untuk menindas rakyat, aku marah sekali.
Pernah kubunuh beberapa prajurit yang tengah membawa lari seorang wanita.
Bahkan pernah kutikam seorang demang yang memungut pajak pada rakyat secara sewenang-wenang"
Nararya. mengangguk dan memuji ndakan Lembu Peteng "Tetapi bagaimana kakang Lembu menetap di gunung Kelud ini ?"
Tanyanya.
"Peris wa itu memang cukup menggemparkan"
Kata Lembu Peteng "kudengar berita tentang tawanan prajurit2 Glagah Arum yang dijatuhi hukuman kerja paksa membuat candi Jajaghu yang akan menjadi tempat persemayaman terakhir dari jenazah raja Wisnuwardana, ayahanda baginda raja Kertanagara.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku segera menuju ke tempat pembuatan candi itu di sebelah tenggara Singasari.
Apa yang kusaksikan ke ka itu, membuat darahku meluap.
Tawanan2 prajurit Glagah Arum itu dipaksa mengangkut batu.
Tubuh mereka kurus2 seper kurang makan dan apabila agak lambat, mereka tentu mendapat pukulan, paling dak hamun makian.
Karena tak tahan, segera kuserang penjaga2 itu dan kuajak prajurit2 Glagah Arum melarikan diri ke barat.
Akhirnya kami bersembunyi di gunung ini"
Tertarik ha Nararya melihat perjuangan Lembu Peteng yang begitu gigih dalam pengabdiannya kepada pangeran Kanuruhan.
Dia tak mau bekerja pada Singasari dan rela hidup mengasingkan diri di lembah gunung Kelud.
Dia membentuk gerombolan tetapi hanya menggarong orang2 kaya dan narapraja Singasari yang/ jahat.
Dengan setulus ha ia memuji sepak terjang Lembu Peteng dan menyatakan kekagumannya.
Kemudian ia beralih pada pembicaraan tentang gong Prada yang hilang.
Berkata Lembu Peteng "Raden, bagaimana pendapat raden tentang hilangnya gong pusaka itu? "
"Kami berangkat dari kademangan Lodoyo dengan membekal dua tujuan. Ke Daha dan ke gunung Kelud. Karena hanya kedua tempat itulah tempat kami mencurahkan kecurigaan"
Kata Nararya "tetapi karena jelas kakang Lembu dak tahu menahu tentang, benda pusaka itu maka ada lain jalan lagi kecuali harus menumpahkan penyelidikan ke Daha"
Lembu Peteng merenung sejenak lalu berkata "Memang kemungkinan begitu tetapi belum pas begitu. Dalam hal ini Singasaripun layak diperhitungkan dalam kemungkinan itu"
"Heh?"
Nararya terkesiap "Singasari? Bukankah gong Prada itu milik kerajaan Singasari?"
Lembu Peteng tersenyum "Disitulah letak kemungkinan itu, raden"
"Kakang Lembu, aku benar2 tak mengerti ucapanmu"
Seru Nararya.
Lembu Peteng membenahi sikap dan suara "Raden, memang yang paling besar kemungkinannya adalah Daha..
Tetapi janganlah kita menutup pintu kemungkinan itu kepada Singasari.
Walaupun aku tak sempat menyelidiki keadaan pemerintahan di pura Singasari tetapi aku sempat mendengar cerita orang tentang diri Aragani yang kini telah naik pangkat menjadi tumenggung dan makin mendapat kepercayaan baginda"
Nararya mulai terpikat perhatiannya.
"Menilik dahulu Aragani pernah menghasut pangeran Kanuruhan supaya merebut tahta kerajaan Singasari, bukan mustahil apabila dalam peris wa hilangnya gong Prada kali ini, Aragani juga ikut campur"
Kata Lembu Peteng.
"Tetapi kakang Lembu"
Sanggah Nararya "Bukankah Aragani sudah menjadi tumenggung dan mendapat kepercayaan dari baginda? Mengapa dia masih harus menimbulkan gara2? Apakah manfaat kepada dirinya?"
"Demikian jalan pikiran orang pada umumnya"
Kata Lembu Peteng "
Tetapi apabila raden pernah berhadapan dan mengiku gerak gerik orang itu, tentulah raden takkan terkejut mendengar dugaan yang kuurai-kan ini. Dia memang berbakat besar dalam soal kelicikan dan penghianatan"
"Tetapi aku tak melihat sesuatu yang bermanfaat baginya apabila dia ikut campur dalam peristiwa gong Prada ini, kakang Lembu"
Lembu Peteng tersenyum "Baiklah, raden, akan kututurkan dasar daripada dugaanku itu.
Begini.
Dia tentu sudah memperhitungkan bahwa karena gong Prada itu milik kerajaan Singasari, orang tak akan menuduh dia atau orang2 Singasari yang diperalatnya, yang mencuri gong pusaka itu.
Orang tentu cepat akan menduga bahwa Dahalah yang melakukan hal itu.
Apabila hilangnya benda pusaka itu terdengar baginda, baginda' tentu murka dan akan menitahkan supaya mencarinya sampai ketemu.
Nah, pada saat itulah Aragani akan menyemburkan lidahnya yang beracun, menjatuhkan tuduhan kepada Daha.
Walaupun baginda tak percaya tetapi Aragani tentu akan mendesak supaya dilakukan penyelidikan.
Bahkan kalau perlu, ia sanggup untuk melaksanakan titah baginda"
Lembu Peteng berhen sejenak lalu melanjut "Apabila Aragani sudah mendapat tadi baginda, maka dia tentu akan menuju ke Daha.
Pada tahap ini, akan mbul dua kemungkinan.
Pertama, mungkin Aragani akan mengulangi perbuatannya kepada akuwu Jayakatwang dari Daha sebagaimana dulu pernah ia lakukan kepada pangeran Kanuruhan.."
"Menghasut akuwu Daha supaya berontak kepada Singasari?"
Tukas Nararya.
Lembu Peteng mengangguk "Benar.
Seorang yang haus akan kekuasaan dan temaha pangkat, tak mungkin pejamkan mata melihat setiap kesempatan yang terbuka.
Dan kemungkinan kedua, dia akan menciptakan suasana yang buruk, misalnya dengan menghaturkan laporan buruk terhadap akuwu Jayakatwang, agar baginda curiga.
Dengan begitu hubungan Singasari dan Daha akan retak.
Disitulah ia akan menarik keuntungan.
Dia akan menunggu pecahnya perang antara Daha dan Singasari dan melihat mana yang menang.
Apabila Daha yang menang, dia tentu akan bertindak untuk menghancurkan baginda Kertanagara agar dia memperoleh jasa dari Daha.
Tetapi apabila Singasari yang menang, diapun segera akan melakukan pembunuhan menumpas akuwu Jayakatwang agar dia mendapat jasa dan kenaikan pangkat dari baginda Singasari.
Pokok, untuk mencapai cita- citanya, negara harus selalu goncang tak boleh aman, agar dia mempunyai kesempatan untuk mengail di air keruh "
Nararya terkejut mendengar uraian itu.
Ia tak menyangka bahwa Lembu Peteng dapat memberi ulasan yang begitu menarik.
Walaupun belum tentu tepat, tetapi cara2 pengulasan itu hampir menjangkau keseluruhan persoalan.
Diam2 ia kagum terhadap bekas bekel prajurit Glagah Arum itu "Menurut pendapat kakang Lembu, bagaimana tindakan kita sekarang?"
"Aku setuju akan langkah raden yang hendak menuju ke Daha"
Kata Lembu Peteng "apa yang kukemukakan tadi hanyalah suatu reka dugaan terhadap tumenggung Aragani. Hal itu akan kita selidiki juga setelah, tak menemukan gong pusaka itu di Daha"
Nararya setuju. Ia menyatakan esok segera akan berangkat ke Daha "Baik, raden, aku akan menyertai raden"
Kata Lembu Peteng.
"Ah"
Nararya terkejut "mengapa kakang Lembu berjerih payah sedemikian rupa? Kurasa kakang lebih baik tetap di lembah ini memimpin kawan-kawan disini"
Lembu Peteng gelengkan kepala "Sekali aku sudah berjanji akan mencarikan gong pusaka itu, tentu akan kulaksanakan janji itu.
Soal anakbuah di lembah ini, takkan menjadi persoalan.
Mereka sudah terla h hidup mengatur diri.
Ada atau ada pimpinan, serupa bagi mereka.
Dan mereka memiliki rasa gotong-royong setya-kawan yang nggi.
Sudahlah, raden, jangan berbanyak ha .
Besok aku bersama seorang anakbuahku akan menyertai raden ke Daha"
Melihat kesungguhan ha Lembu Peteng, Nararya pun tak mau menolak lagi.
Demikian setelah malam itu bermalam di Lembah Badak, keesokan harinya ia dan Lembu Peteng dengan diantar oleh seluruh anakbuah gerombolan gunung Kelud, turun ke kaki gunung.
Mereka disambut oleh empat orang kademangan yang menyertai Nararya.
Lembu Petengpun menyediakan lima ekor kuda.
Nararya dipersilahkan naik kuda putih, ia sendiri naik kuda hitam.
Sedang yang tiga ekor kuda diperuntukkan anakbuah Lembu Peteng dan pengiring Nararya.
Memang dengan naik kuda, perjalanan ke pura Daha itu dapat lebih lancar dan cepat.
Tiba di desa Ponggok, Nararya mendapat keterangan bahwa Kebo Saloka belum kembali dan belum mengirim berita apa-apa.
Menjelang petang, balah rombongan Nararya diluar pura Daha.
Agar tak menarik perha an orang maka kuda mereka disembunyikan disebuah hutan.
Begitu pula waktu masuk kedalairi pura, mereka tidak berkelompok tetapi berjalan dua seiring.
Sebelumnya mereka telah bersepakat menyelidiki secara berpencar, kemudian berkumpul kembali di hutan tempat mereka menyembunyikan kuda.
Kebetulan pula, Nararya berkawan dengan Pamot dan secara kebetulan pula, Pamot faham akan keadaan pura Daha karena dulu pernah tinggal di pura ilu.
Atas pertanyaan Nararya, Pamot menerangkan bahwa kekuasaan pasukan Daha berada di tangan pa h Kebo Mundarang.
Dan pa h itu mempunyai seorang kepercayaan tumenggung Pangelet "Jika demikian kita selidiki tempat kediaman tumenggung Pangelet"
Kata Nararya.
Malam itu ada rembulan.
Bintang kemintangpun tak penuh.
Suasana sekeliling alam sunyi senyap.
Gedung kediaman tumenggung Pangelet seolah terlelap dalam kegelapan.
Sesekali hanya terdengar suara burung kulik memecah kesunyian.
Nararya dan Pamot bersembunyi di balik gerumbul, tengah berunding "Hampir tengah malam"
Bisik Nararya "sebentar lagi kita memasuki gedung itu"
"Tetapi pagar tembok cukup tinggi, bagaimana mungkin kita masuk, raden? "
Pamot meragu.
"Mudah, punggungmu akan kujadikan tempat pijakan. Selekas aku loncat ke puncak tembok, engkau akan kutarik ke atas"
Jawab Nararya.
Pamot tak menjawab melainkan mengerut dahi.
Tiba2 terdengar bunyi kentung peronda.
Makin lama makin dekat.
Nararya memberi isyarat agar Pamot lebih rapat menyembunyikan diri agar.
jangan terlihat.
Tak berapa lama, tampak dua orang pengalasan berjalan.
Yang seorang memukul kentung, yang seorang menyanggul tombak.
Mereka berjalan berjajar.
Orang itu menghen kan talu kentung "Tumenggung Pangelet memang aneh dan selalu ada saja akal yang baru.
Seper kali ini, tumenggung mengadakan sayembara ganjil.
Bukan adu ilmu kesak an dan kanuragan tetapi mengumumkan, barang siapa dapat memperoleh benda pusaka dari kerajaan Singasari akan.
mendapat hadiah besar dan pangkat.
Apabila benda pusaka itu benar2 hebat, akan diberi pangkat tumenggung"
Katanya.
"Benar"
Sahut kawannya yang rnembekal tombak "sayembara itu telah memberi perangsang yang menggelorakan semangat prajurit dan para perwira untuk berlomba-lomba mencari pusaka"
"Tetapi adakah hasilnya ?"
"Tentu"
Sahut peronda yang bertombak "ku dengar banyak sudah yang memperoleh pusaka itu. Di-antaranya sebuah pusaka yang hebat sekali"
"Apa? Keris, tombak, gada? "
Tanya peronda yang membawa kentung. Kawannya gelengkan kepala "Bukan"
Katanya lalu mengeliarkan pandang ke sekeliling seolah hendak meyakinkan diri bahwa ada orang atau sesuatu yang menimbulkan kecurigaan. Kemudian dia berkata "Sebuah gong"
"Gong?"
Teriak kawannya yang tanpa sadar karena terhunjam rasa kejut telah melantangkan suara keras.
"St"
Cepat peronda yang membawa tombak mendekap mulut kawannya "jangan keras2. Apakah engkau tak teringat akan perintah ki tumenggung yang mengumumkan larangan untuk membicarakan tentang pusaka2 yang dibawa ke Daha sebelum dipertandingkan nanti?"
"Ih"
Peronda yang membawa kentung mendesuh seraya meraba lehernya.
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya benar, lehermu akan dipenggal "
Kata peronda bertombak.
"Aku tak sengaja, kakang"
Kata peronda pembawa kentung itu "aku tersengat rasa kejut mendengar kata-katamu tadi. Gong apakah itu, kakang?"
"Gong peninggalan dari empu Prada ...."
"Wah, hebat sekali"
Diluar kesadaran peronda pembawa kentung itu berseru agak keras lagi.
"St"
Peronda bertombak cepat mendesis peringatan "sudahlah, hayo kita lanjutkan perjalanan. Jangan membicarakan hal itu lagi. Lekas bunyikan kentung lagi"
Irama kentung ronda kembali mengalun di tengah kesunyian malam. Makin lama makin jauh dan lenyap. Pamot berpaling kearah Nararya yang berada di gerumbul sebelah kanan. Tampak pemuda itu masin termenung "Raden ..."
Serunya seraya mendekat "jelas gong Prada diambil oleh orang Daha"
"Ya"
Sahut Nararya "kita harus berusaha mencarinya. Mari kita kembali, tak perlu masuk gedung ini"
Dalam perjalanan menuju ke luar pura, Nararya merangkai beberapa rencana.
Pertama, menyelidiki siapa yang mencuri dan menyimpan gong pusaka itu.
Kedua, bilakah sayembara itu akan diselenggarakan.
Ia harus mendahului bertindak sebelum sayembara itu dilaksanakan.
Bergegas Nararya ayunkan langkah karena ia ingin mendengar juga laporan2 yang dibawa oleh lain2 pengalasan, terutama Lembu Peteng.
Ke ka hampir ba di gapura, ba2 ia terkejut mendengar desuh napas menggeram kemarahan dan dering senjata beradu.
Cepat ia membilukkan langkah menuju kesebuah gerumbul pohon.
Dugaannya tepat.
Tampak beberapa sosok tubuh sedang bertempur dengan senjata.
Ia berhen dan memperhatikan mereka.
"Ah"
Tiba2 Nararya mendesuh kejut. (Oo^dw.kz~ismoyo^oO)
Jilid 4 Persembahan . Dewi KZ
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com/ &
http.//dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2
http.//cersilindonesia.wordpress.com/ I Gagah perkasa, bersemangat kokoh kuat dalam pendirian, cakap, ulet dalam perjuangan, pemurah hati dan agung, adalah kodrat dari kaum Ksatrya.
Demikian wejangan yang pernah diterima Nararya dari gurunya, resi Sinamaya.
"Manusia barulah mencapai kesempurnaan jika menjalankan apa yangt sudah ditetapkan oleh kodrat masing2"
Resi dari gunung Kawi itu menambahkan pula "janganlah mengabaikan sifat pembawaan dari lahir atau kodrat. Meskipun hal itu terlekat dengan kesalahan atau cacat, sebab tak ada pekerjaan yang tak bercacat seperti juga tak ada api yang tak berasap"
Pada saat itu, Nararya masih belum dalam menyerap kata2 gurunya. Ia bertanya "Tetapi guru, adakah sifat dari kodrat seorang ksatrya itu harus berperang?"
Resi Sinamaya mengangguk.
"Benar, Nararya"
Kata resi itu "sebagaimana dahulu ke ka Arjuna bimbang ha dalam menghadapi peperangan dengan kaurnKorawa, Sri Kresna memperingatkan akan kodratnya sebagai seorang ksatrya.
Berkata Sri Kresna "Kalau engkau berkukuh dalam niatmu untuk dak berperang, itu sia2 belaka, sebab kodratmu yang akan mendorong engkau berjuang.
Karena engkau sudah terikat pada kodratmu sebagai seorang ksatrya, akhirnya mau tak mau engkau akan berjuang juga diluar kehendakmu sendiri"
"Nararya"
Sambung pula resi Sinamaya "ksatrya harus berjuang bahkan berperang untuk melenyapkan kejahatan.
Berperang anakku, bukan selalu harus berperang dalam medan laga, bunuh membunuh.
Tetapi dalam batin kitapun mengalami peperangan antara nafsu2 satwa dengan rajas-tamas.
Kalau engkau berkukuh tidak berniat berperang, itu akan sia2 belaka.
Engkau akan kehilangan sifat kodratmu sebagai seorang ksatrya"
Wejangan resi yang berilmu nggi itu tak pernah terlupa dalam ha Nararya.
Dalam perkelanaan untuk melakukan anjuran gurunya supaya ikut berkecimpung dalam menyongsong Wahyu-agung yang akan diturunkan dewata, Nararyapun bertapa ke makam eyang Batara Narasinga di Wengker.
Setelah itu ia akan bertapa juga ke makam candi Kagenengan tempat persemayaman jenazah eyang buyut sri Rajasa sang Amurwabhumi.
Tetapi setelah mengalami beberapa peris wa selama ini, mbullah suatu kesadaran dalam ba n.
Bahwa laku untuk mencapai harapan menerima anugerah besar dari dewata itu, bukanlah semata dengan laku tapa-brata, melainkan juga dengan laku nienjalankan dharma sesuai dengan kodratnya sebagai seorang ksatrya.
Ia telah melambari pendirian dan langkah perjalanan hidupnya dengan alas in sari wejangan gurunya itu.
Maka tergeraklah ha Nararya ke ka berhadapan, dengan peris wa hilangnya gong Prada di candi Simping, Lodoyo.
Gong Prada adalah milik kerajaan Singa sari.
Bukan karena baginda Kertanagara itu masih ada hubungan keluarga dengan dirinya, tetapi sebagai seorang kawula Singasari, wajiblah ia melindungi kepen ngan kerajaan.
Dan pula, karena gong itu merupakan tumbal keselamatan dan kedamaian agar jangan terjadi peperangan lagi antara Daha dengan Singasari, maka lebih wajib lagi Nararya mewajibkan diri untuk melindunginya.
Bukan karena ia tak kokoh pendirian tetapi bukankah kodrat seorang ksatrya itu harus berjuang membasmi kejahatan? Bukankah perjuangan itu memang dan telah menjadi suatu kenyataan dalarn ba n pikiran orang se ap hari? Bukankah melakukan dharma itu termasuk salah suatu yoga yang disebut Sankhya Yoga? Bukankah amal dharma itu juga mempunyai nilai seper orang bertapa mensucikan batin? "Ah"
Ba2 ia teringat pula akan pesan gurunya, resi Sinamaya"Nararya, dalam melakukan sesuatu, jangan engkau mengikat pikiranmu dengan suatu keinginan atau harapan.
Karena keinginan itu, baik keinginan untuk berhasil menyelesaikan tugas itu ataupun keinginan untuk mendapat balas, jasa dan anugerah, akan merusak kemurnian dari amal dharmamu itu.
Karena kemungkinan, amal dharmamu itu bukan keluar dari suara ha nuranimu yang murni, melainkan karena didorong oleh keinginan mendapat balas.
Keinginan2 mendapatkan sesuatu itulah yang menjadi pendorong utama dalam amal dharmamu.
Jika demikian, hilanglah sifat dari pada kodrat keksatryaanmu, angger"
"Guru benar sekali"
Pikir Nararya "mencari gong Prada yang hilang itu bukan karena didorong oleh keinginan akan mendapat balas jasa dari baginda Kertanagara tetapi aku menetapi kodratku sebagai seorang ksatrya, melindungi keselamatan para kawula.
Andaikata karena dalam melakukan dharma ini aku sampai melakukan sesuatu yang melanggar pantangan orang bertapa, misalnya terpaksa harus mengalirkan darah orang jahat, sehingga dewata tak merestui dan tak berkenan menganugerahkan Wahyu Agung itu kepadaku, akupun rela"
Demikian Nararya menimang-nimang pikiran menjalin keputusan dan membulat-bulat tekad.
Maka iapun mengajukan diri untuk ikut serta dalam rombongan bekel Kuda Saloka untuk mencari gong pusaka itu.
Kemudian setelah mendengar percakapan dua orang peronda di gedung tumenggung Pangelet, bahwa gong Prada itu benar telah berada di Daha ditangan salah seorang perwira yang akan maju dalam sayembara mencari pusaka, Nararya bergegas mengajak Pamot menuju keluar kota untuk menemui bekel Kuda Saloka.
Ia hendak merundingkan masalah yang didengarnya itu.
Tetapi ke ka hampir ba di gapura, disebuah gerumbul yang agak jauh dari jalan, ia mendengar suara napas memburu keras berseling desis dan desus serta gemerincing senjata beradu.
Cepat, ia menghampiri dan kejutnya makin meluap demi diketahuinya siapa yang bertempur dua orang melawan empat orang.
"Berhen , kawan-kawan"
Serunya seraya lari menghampiri. Keenam orang yang sedang berkelahi itupun berhenti, mencurah pandang ke arah Nararya.
"Kalian ini kawan sendiri"
Kata Nararya "jangan berkejahi"
Keenam orang itu terbeliak, memandang makin lebar kepada Nararya dengan pandang meminta penjelasan "Kedua kawan ini"
Nararya menunjuk pada dua orang lelaki kekar "adalah anakbuah dari ki Lembu Peteng. Dan keempat orang ini"
Ia segera menunjuk pada empat orang yang lain "adalah anakbuah bekel Saloka"
Walaupun sudah mendengar keterangan itu tetapi keenam orang itu tak jelas. Apa hubungan bekel Kuda Saloka dengan Lembu Peteng? Pikir mereka.
"Mari, ikut aku menemui ki bekel"
Kata Nararya yang walaupun tahu akan kebimbangan mereka tetapi ia tak mau memberi penjelasan lebih lanjut karena hanya membuang waktu saja.
Hanya dalam perjalanan secara singkat Nararya menyinggung bahwa apa yang disebut gerombolan Lembu Peteng dari gunung Kelud itu kini sudah ada persoalan dan mau membantu orang2 Lodoyo untuk mencari gong Prada itu.
Agak lama juga Nararya berjalan, sejak keluar dari gapura pura sampai saat itu "Kemanakah kita sekarang ini?"
Akhirnya ia bertanya kepada keempat orang Lodoyo.
"Ki bekel telah memilih gua Selamangleng sebagai tempat kami berkumpul"
Sahut salah seorang pengalasan Lodoyo.
"Dimana gua Selamangleng itu ?"
Tanya Nararya.
"Di desa Pohsarang tak jauh dari pura Daha"
Kata orang itu pula. Nararya tak bertanya lagi. Ia beralih kepada kedua anakbuah Lembu Peteng "Mana ki Lembu Peteng ?"
"Waktu masuk pura, kami berpencar. Bapak memerintahkan kami berdua supaya berpencar ketempat kediaman mentri yang berpengaruh, yani senopa Sagara Winotan dan ki Lembu Peteng menuju ke kepatihan ...."
"Tempat kediaman patih Kebo Mundarang?"
Nararya menegas agak kejut. Orang itu mengiakan.
"Adakah dia sudah kembali ketempat kita berkumpul lagi?"
Tanya Nararya.
Orang itu mengatakan tak tahu karena tadi sebetulnya ia hendak menuju ketempat itu tetapi di tengah jalan telah berpapasan dengan keempat orang dari Lodoyo.
Karena saling curiga, akhirnya mereka berkelahi.
Tiba2 Nararya berhen "Jika demikian baiklah kalian berdua kembali ketempat itu dan menunggu ki Lembu Peteng.
Apabila datang, ajaklah dia berkumpul ke gua Selamangleng"
Kedua orang Lodoyo itupun segera mohon diri.
Sedang Nararya bersama keempat pengalasan Lodoyo melanjutkan perjalanan.
Tak berapa lama kemudian tibalah mereka di tempat, tujuan.
Gua Selamangleng terletak di kaki gunung Wilis, walaupun tak berapa besar tetapi suasananya yang tenang, menimbulkan rasa hening tenteram.
Bekel Kuda Saloka telah membagi keduabelas pengikutnya menjadi empat kelompok.
Tiga kelompok masing2 terdiri dari empat orang pengalasan, sedang bekel itu seorang diri "Cobalah kalian berusaha untuk mendengar kabar2 di kalangan prajurit2 dan rakyat.
Mungkin ada sesuatu yang memberi petunjuk kepada penyelidikan kita"
"Tetapi mengapa ki bekel hanya seorang diri?"
Tanya seorang pengalasan Lodoyo.
"Aku pernah nggal di Daha dan kenal dengan beberapa prajurit yang mungkin kini sudah menjadi bekel"
Jawab bekel Kuda Saloka "hendak kutemui mereka. Mudah-mudahan dapat memperoleh sesuatu. Maka lebih baik aku pergi seorang diri agar jangan menimbulkan kecurigaan"
Beberapa orang Lodoyo telah menyambut kedatangan Nararya bersama keempat kawan mereka "Mana ki bekel?"
Demikian ucapan pertama yang dilontarkan Nararya kepada orang2 Lodoyo itu.
"Belum kembali"
Sahut mereka. Nararya terkesiap "Malam sudah selarut ini, mengapa dia belum juga kembali? Adakah sesuatu yang terjadi .pada dirinya?"
Ia berkata seorang diri "Apakah sejak kalian datang ke sini, juga demikian adat kebiasaan ki bekel?"
"Tidak, raden"
Sahut mereka "biasanya paling lambat sebelum tengah malam, ki bekel tentu sudah kembali"
Nararya merenung.
Terlintas sesuatu kekua ran dalam perasaannya.
Kekua ran dari suatu kemungkinan, yang walaupun pis, namun tetap dapat terjadi juga "Baiklah, jika demikian aku akan menemui ki Lembu Peteng dulu.
Akan kuajak dia kemari bertemu dengan ki bekel"
Akhirnya ia berkata kepada beberapa pengalasan Lodoyo.
"Siapa Lembu Peteng itu ?"
Mereka bertanya.
Nararya segera memberi keterangan tentang segala sesuatu yang dialaminya di gunung Kelud dengan Lembu Peteng "Ki Lembu Peteng bukan gerombolan penyamun, tetapi bekas prajurit dari pangeran Kanuruhan di Glagah Arum, yang tak mau tunduk pada kerajaan Singasari.
Dia bersedia membantu kita untuk mencari gong pusaka yang hilang itu"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Salah seorang pengalasan yang rupanya dapat berpikir segera menyela "Tetapi daklah janggal kedengarannya bahwa seorang yang mendendam kepada kerajaan Singasari mau berusaha untuk mencarikan pusaka milik Singasari yang hilang, raden?"
Nararya mengangguk "Engkau benar.
Tetapi ki Lembu Peteng memang berwatak aneh dan ksatrya.
Karena kalah bertanding dengan aku, dia hendak menebus janji untuk menerima apa yang kujatuhkan kepadanya.
Aku tak mau membunuh ataupun menuntut suatu pidana kepadanya, kubebaskan dia dari perjanjian yang telah kita sepaka sebelum berkelahi.
Tetapi rupanya dia tetap bersitegang dan sebagai' gan dari pidana yang tak kujatuhkan, dia akan membantu usahaku mencari gong pusaka itu"
"O, jika demikian bantuannya itu bersifat bantuan peribadi kepada raden?"
"Katakan begitu"
Jawab Nararya "dan soal itu tak perlu kita perbincangkan lebih lanjut. Pokoknya, dia telah bersedia membantudan bahkan telah bertindak nyata bersama ?aku ke Daha"
Setelah memberi keterangan dan meninggalkan pesan agar apabila sudah kembali, ki bekel supaya menunggu kedatangannya, Nararya segera pergi.
"Raden ...."
Ba2 ia terkejut karena seseorang memanggilnya. Ia berpaling dan melihat yang berseru itu adalah Pamor, pengalasan dari Lodoyo yang sejak di desa Ponggok selalu menyertainya "baiklah, Pamot, mari ikut aku"
Tiba di hutan sebelah luar pura, juga Nararya mendapat keterangan dari keempat anakbuah gunung Kelud bahwa Lembu Peteng belum kembali.
Nararya kerutkan dahi.
Ha nya makin tak enak dibayang oleh duga dan reka dalam kemungkinan2 yang dikua rkan "Jika demikian aku hendak masuk kedalam pura pula"
Katanya kepada keempat anakbuah gunung Kelud itu "katakan kepada ki Lembu Peteng, apabila kembali, supaya menunggu kedatanganku"
Ia segera mengajak Pamot masuk kedalam pura.
Suasana makin lelap, cuaca gelap dan malampun kelam.
Bintang kemintang mulai memenuhi cakrawala.
Nararya dan Pamot menyusur lorong2 yang sepi.
Keraton dan gedung2 kediaman para mentri, senopati dan para pri-agung, hanya merupakan gunduk2 bangunan yang sunyi.
Para penghuninya dilelap dalam mimpi masing2.
Ada yang bermimpi indah, bercengkerama dalam taman bunga diiring dayang perwara yang cantik.
Ada yang bermimpi rebah disebuah pembaringan beralaskan permadani indah, dipijati dan dilayani oleh wanita2 cantik dan dara2 ayu.
Ada pula yang bermimpi naik pangkat, memakai busana kebesaran yang cemerlang.
Dan lain2 mimpi indah yang hanya menjadi mimpi para mentri, senopati dan narapraja berpangkat tinggi.
Beda dengan mimpi para kawula.
Tentulah mereka tak mengalami mimpi seperti yang sering menjadi buah tidur dari para priagung itu.
Mereka jarang atau bahkan tak pernah bermimpi.
Selepas kerja dengan penuh tenaga sehari, akan membawa mereka dalam tidur yang lelap.
Dan mereka adalah kawula biasa, biasa pula keinginannya, sederhanalah cita-citanya.
Mereka tidak menginginkan suatu kehidupan yang mewah megah, cukup asal dapur selalu berasap setiap hari.
Mereka tidak men-cita-citakan pangkat dan kekuasaan yang melangit, cukup asal pekerjaan atau usaha mereka dapat lancar, negara aman dan kehidupan rakyat sejahtera "Mereka rakyat yang bersahaja dalam kehidupan dan alam pikirannya.
Mereka tak menuntut suatu apa melainkan menginginkan keamanan negara dan kesejahteraan hidup.
Tidakkan hal itu wajib dilakukan oleh para mentri, senopati dan narapraja yang memegang kekuasaan di pemerintahan"
Nararya mengakhiri lamunan dengan suatu pertanyaan. Pertanyaan yang tiada bersahut karena pertanyaan itu hanya memancar dari pikirannya. Pikiran yang menampung suara hatinya.
"Pamot"
Tiba2 ia hentikan langkah "tidakkah engkau mendengar, suara orang merintih-rintih ?"
Pamot mempertajam .pendengarannya. Dalam keheningan malam, lapat2 ia mendengar suara orang mengerang-erang "Benar, raden"
Sahutnya.
Nararya bergegas menuju kearah suara itu.
Sesungguhnya setelah habis menelusuri lorong2 dalam pura dan tak menemukan suatu apa, Nararya ayunkan langkah menuju ke gapura utara.
Selama belum menemukan jejak kedua orang itu, ia hendak menjelajahi seluruh tempat di pura Daha.
Dan ketika tiba di gapura timur, ia mendengar suara aneh itu.
Setelah melintas sebuah gerumbul pohon, mereka, berhadapan dengan sebuah lapangan rumput yang tak berapa luas.
Nararya dan Pamot terkejut ke ka melihat dua sosok tubuh menggeletak di tanah.
Yang satu disebelah selatan dan yang seorang rebah dibawah sebatang pohon.
Nararya cepat lari menghampiri kepada orang yang rebah dibawah pohon itu karena dialah yang mengeluarkan suara erang itu.
"Kakang Lembu Peteng!"
Nararya menjerit kejut ke ka melihat siapa yang rebah dibawah pohon itu. Segera ia mengangkat tubuh orang itu "Kakang Lembu Peteng, mengapa engkau ?"
Belum mendapat jawab Nararya sudah menjerit pula "ah, bahumu berdarah! Engkau tentu terluka"
Buru2 ia meletakkan tubuh Lembu Peteng lagi kemudian merobek baju dan membalut bahu Lembu Peteng.
"Terima kasih, raden"
Sesaat kemudian Lembu Peteng berkata "ya, aku memang terkena tabasan pedang"
"Siapa yang menabas?"
Setelah dibalut, rasa sakit Lembu Petengpun agak berkurang. Dia dapat duduk "Orang yang terkapar diatas rumput itu, raden. Entah dia pingsan atau mati"
Katanya seraya menunjuk ke sosok tubuh yang menggeletak di rumput.
"O"
Desuh Nararya setelah melihat sosok tubuh itu "siapakah dia?"
"Entah"
Sahut Lembu Peteng "tetapi dia hendak merebut gong pusaka .... hai. kemanakah gong itu!"
Ba2 dia berpaling memandang kearah segunduk batu yang terletak di ujung lapangan sebelah mur. Serentak ia berbangkit dan lari menghampiri tempat itu "Keparat, gong pusaka dilarikan orang itu lagi!"
Teriaknya seraya hendak lari. Sudah tentu Nararya tak menger apa yang diucapkan Lembu Peteng. Lebih dak menger pula mengapa sikap Lembu Peteng aba2 berobah sedemikian tegang dan memberingas "Nan dulu, kakang Lembu Peteng"
Serunya seraya memegang bahu Lembu Peteng "siapakah yang hendak engkau kejar"
"Pencuri Gong Prada itu"
Sahut Lembu Peteng. Nararya terkejut "Bilakah peristiwa itu terjadi?"
Lembu Peteng mengerut dahi, menengadahkan kepala memandang cakrawala "Lebih kurang dua jam yang lalu, raden"
"Ah"
Nararya, mendesah "dua jam cukup panjang bagi seorang yang melarikan diri"
"Ya, ya"
Akhirnya Lembu Peteng berkata geram "dia memang naik kuda"
Nararya mengajaknya duduk dibawah pohon lagi. Kemudian ia meminta kepada Lembu Peteng supaya menceritakan pengalaman yang dialaminya.
"Sampai surya terbenam, belum juga aku berhasil mendengar suatu berita apa2"
Lembu Peteng mulai menutur "karena geram akupun mulai memberanikan diri masuk kesebuah kedai.
Sambil makan kudengar beberapa tetamu membicarakan soal sayembara yang dir langsungkan besok lusa.
Aku terkejut dan tertarik ketika mendengar bahwa sayembara itu bukan pertandingan adu kedigdayaan, melainkan suatu sayembara aneh yang baru kali ini kudengar.
Cobalah engkau terka, sayembara apakah itu?"
Nararya tersenyum "Sayembara mencari pusaka, bukan ?"
Sahutnya.
"Hai!"
Lembu Peteng berseru kejut "ternyata raden juga tahu akan hal itu"
Nararya mengangguk "akupun telah memperoleh berita tentang sayembara itu, kakang. Rupanya makin dekat berlangsungnya sayembara makin luas tersiarnya berita, itu. Teruskan, kakang"
"Pucuk dicinta ulam ba"
Kata Lembu Peteng pula "tengah aku hendak bertanya lebih lanjut tentang sayembara itu, ba2 masuklah dua orang yang mengenakan dandanan sebagai prajurit.
Memang di kedai itu banyak dikunjungi orang yang silih bergan datang dan pergi.
Melihat kehadiran kedua prajurit, orang yang membicarakan tentang sayembara itupun hen kan ceritanya.
Rupanya mereka takut kepada prajurit itu"
"Bukan ada sebabnya mereka takut itu, kakang"
Kata Nararya "menurut keterangan dari orang yang membicarakan tentang peris wa itu, memang sayembara itu takkan dibuka untuk semua rakyat, melainkan berlaku untuk semua kaum prajurit dan hanya disaksikan dalam lingkungan mereka sendiri.
Dengan begitu orang yang bercerita di kedai itu tentu takut apabila sampai terdengar oleh kedua prajurit pendatang itu"
Lembu Peteng mengangguk dan membenarkan, kemudian melanjutkan pula "Terpaksa aku tambah makanan dan minuman agar dapat berada lebih lama di-situ dan mungkin akan mendengar sesuatu dari kedua prajurit itu.
Ternyata harapanku tak sia2.
Sambil makan kedua prajurit itupun mulai bercakap-cakap.
Prajurit yang agak tua mulai membuka mulut dengan bersungut-sungut "Aneh benar, mengapa sampai terjadi bunuh membunuh diantara keempat orang itu ?"
Sahut prajurit yang lebih muda dan bertubuh tegap "Ya, kutahu. Seta, Gita, Tumbuk dan Kalila itu merupakan kawan yang karib dan disayang sekali oleh bekel Sindung, mengapa akhirnya mereka saling bunuh membunuh sendiri?"
"Apakah engkau tak tahu pula bahwa beberapa hari yang lalu keempat prajurit itu telah menuju ke daerah selatan?"
Tanya prajurit yang agak tua.
"Ke daerah selatan? Kemana?"
Tanya Prajurit bertubuh tegap.
"Apakah engkau benar2 tak tahu?"
Prajurit agak tua itu menegas.
"Ah, kakang Galuh"
Kata prajurit bertubuh tegap "kalau tahu masakan aku bertanya"
Prajurit yang disebut Galuh itu mengangguk.
Sejenak ia lepaskan pandang kearah tetamu2 yang berada di kedai itu.
Tak berapa banyak.
Saat itu Lembu Peteng pura2 menunduk untuk menyuap hidangannya, seolah-olah tak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Kemudian terdengar prajurit Galuh itu berkata kepada kawannya "Mereka berempat diutus ki bekel ke Lodoyo"
"Celaka raden"
Kata Lembu Peteng kepada Nararya yang mendengarkan penuturan itu dengan penuh perha an "saat itu aku tengah menggigit paha ayam.
Ke ka mendengar kata2 prajurit setengah tua itu, karena terkejut, tulangnya sampai meluncur ke dalam kerongkonganku.
Aku ketulangan dan batuk2 tak hen -hen nya.
Kedua prajurit itu terkejut juga.
Mereka menghampiri.
Setelah tahu keadaan diriku, ba2 prajurit yang agak tua itu menampar punggungku sekeras- kerasnya.
Akupun menguak dan tulang itu meluncur keluar juga"
Terpaksa Nararya tertawa mendengar cerita Lembu Peteng yang dibawakan dengan lucu itu "Lalu bagaimana setelah itu?"
"Akupun menghaturkan terima kasih dan mereka dengan tertawa-tawa lalu kembali ke tempat duduknya. Sengaja aku masih mengurut-urut leherku agar mereka mengira aku benar2 masih kesakitan. Entah bagaimana aku pura2 membawa sikap sebagai seorang desa yang tolol. Ternyata siasatku itu berhasil menghilangkan kecurigaan mereka. Tetapi prajurit Galuh itu memang bedebah sekali"
"Mengapa kakang Lembu ?"
Nararya heran.
"Walaupun sudah tak mencurigai diriku, namun ke ka menerangkan tentang tujuan keempat kawan mereka ke Lodoyo, dia merapatkan muka ke hadapan kawannya dan berkata dengan bisik2 sehingga aku tak mendengar apa yang dikatakan itu"
"O, engkau tak mendapat keterangan apa2 ?"
Tanya Nararya.
"Akhirnya mendapat juga tetapi harus peras keringat"
Kata Lembu Peteng. Kemudian ia menuturkan kissah peristiwa itu lebih lanjut. Kedua prajurit itu masih melanjutkan percakapannya. Tanya prajurit yang bertubuh tegap "Lalu apakah keempat orang itu berhasil memperoleh bendaku?"
Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prajurit Galuh mengangguk "Soal itu sangat dirahasiakan bekel Sindung. Dan keempat prajurit itupua dipesan keras supaya jangan menceritakan hal itu kepada siapapun juga"
"Hm, bekel Sindung memang cerdik benar"
Seru prajurit bertubuh tegap. Prajurit Galuh tersenyum "Tetapi manakah api yang tiada berasap, Wrasta"
"O"
Seru prajurit bertubuh tegap yang disebut Wrasta "adakah rahasia itu bocor?"
Prajurit Galuh mengangguk sarat "Secara kebetulan, aku bertemu dengan prajurit Seta.
Dia mengeluh dan tampak sedih.
Atas pertanyaanku, dia mengatakan bahwa manusia itu sukar diduga ha nya.
Ke ga kawannya, Gita, Tumbuk dan Kalila yang begitu akrab dan dianggap seper saudara sekandung, ternyata sampai ha hendak mengambil jiwanya.
Lalu kutanyakan tentang sebabnya.
Karena hubunganku dengan dia erat sekali, maka dengan terus terang dia menuturkan peris wa itu"
Berhen sejenak prajurit Galuh melanjutkan "Dia mengatakan telah diperintah bekel Sindung untuk mencari sebuah pusaka di Lodoyo bersama dengan Gita, Tumbuk dan Kalila. Mereka berhasil mendapat pusaka itu dan diserahkan kepada bekel"
"Lalu mengapa Seta kua r jiwanya terancam? Bagaimana dia tahu kalau jiwanya hendak diarah oleh ketiga kawannya ?"
"Ki bekel yang memberitahu kepadanya supaya dia berhati-hati terhadap ketiga kawannya itu"
Prajurit bertubuh tegap mengerut dahi. Sejenak kemudian ia bertanya pula "Mengapa mereka saling bunuh membunuh di lembah itu?"
"Soal itu aku tak tahu"
Sahut prajurit Galuh.
Kemudian ia mengajak kawannya pulang Bercerita sampai disini, Lembu Peteng berhen sejenak untuk membenahi kain pembalutnya yang agak melongsor.
Setelah itu ia melanjutkan "Karena ingin mendapat kepas an pusaka apakah yang berhasil diperoleh keempat prajurit itu diam-diam aku mengiku perjalanan kedua prajurit tadi.
Tetapi malang benar.
Rupanya kedua prajuri itu tahu jejakku dan curiga.
Tiba- ba mereka berputar tubuh dan menyergap.
Karena terkejut segeralah kuhantam mereka.
Prajurit bertubuh tegap terpelan ng jatuh menimpa batu, sedang prajurit Galuh rubuh terkapar di tanah.
Rupanya prajurit bertubuh tegap itu terkena dadanya sehingga tak ingat diri, sedang prajurit Galuh hanya mengerang-erang kesakitan, budah terlanjur melukai mereka, kupaksa prajurit Galuh untuk memberi keterangan tentang pusaka dari Lodoyo itu.
Karena takut kubunuh, dia mengaku terus terang bahwa pusaka itu tak lain adalah gong Prada dan gong pusaka itu masih berada di rumah bekel Sindung.
Dibawah ancaman pedang dia-pun mau menunjukkan letak rumah bekel itu "Maaf, ki sanak, terpaksa engkau harus kusuruh menderita sedikit "kataku lalu menampar kepalanya hingga pingsan.
Kedua prajurit itu kuikat pada pohon dan kusumbat mulutnya supaya jangan berteriak"
"Segera aku menuju ke rumah bekel Sindung"
Kata Lembu Peteng pula "tetapi ba2 kulihat sesosok bayangan hitam menggunduk dibelakang pohon yang tumbuh di samping rumah.
Akupun lalu bersembunyi dibalik gerumbul dan melihat apa yang akan dilakukan orang itu.
Setelah malam makin larut, diapun menyelinap masuk kedalam rumah bekel.
Aku berdebar-debar menunggu.
Hanya ada dua kemungkinan.
Orang itu seorang pencuri biasa atau memang bertujuan hendak mencuri gong pusaka"
Ke ka Lembu Peteng berhen memulangkan napas, Nararya menunggu dengan penuh perha an. Ia tertarik dengan penuturan Lembu Peteng.
"Tak lama kemudian, orang itupun keluar dari rumah bekel Sindung dengan membawa sebuah benda yang ditutup dengan kain hitam. Saat itu aku segera hendak ber ndak menyergapnya tetapi ba2 muncul seorang kawannya yang membantu membawa gong pusaka itu. Mereka berdua menuju kesebuah gerumbul. Di situ mereka sudah mempersiapkan seekor kuda hitam. Mereka mengangkut gong pusaka itu pada punggung kuda"
Kata Lembu Peteng melanjutkan ceritanya.
Aku tetap tak mau bertindak.
Nanti setelah tiba diluar gapura barulah aku akan turun tangan.
Tetapi alangkah kejutku ketika terjadi suatu peristiwa yang tak pernah kuduga sama sekali.
Tatkala kedua pencuri itu hampir mendekati gapura, sekonyong-konyong dari balik sebuah gerumbul di tepi jalan, loncat keluar seorang lelaki yang terus menyerang kedua pencuri itu "Hm, bedebah engkau berani mencuri gong pusaka dari Lodoyo!"
Teriak orang itu seraya menghantam"
"O"
Desuh Nararya "adakah orang itu yang menyergapnya"
Tanyanya seraya menunjuk ke sosok tubuh yang masih menggeletak di rumput.
Lembu Peteng mengiakan "Benar, memang dia.
Ternyata dia digdaya juga.
Dalam beberapa gebrak salah seorang dari pencuri itu telah rubuh sedang yang seorang berusaha hendak melarikan diri.
Karena kulihat yang melarikan diri naik kuda bersama dengan gong pusaka maka aku tak dapat menahan diri lagi dan terus loncat menerkamnya.
Orang itu pun terpelan ng jatuh.
Akupun segera hendak mengambil buntalan kain hitam yang termuat dipunggung kuda tetapi sekonyong bahuku dicengkeram orang dan disentakkan kebelakang sehingga aku terpelanting ke tanah"
"Marahku bukan kepalang ke ka melihat yang menyentakkan bahuku itu bukan lain adalah orang yang-menyergap pertama kali tadi "Keparat, engkau hendak merampas benda itu !"
Akupun berteriak dan loncat menerkamnya."
"O, kakang berganti lawan dengan orang itu ?"
Tanya Nararya.
"Benar"
Jawab Lembu Peteng "dia juga perkasa sekali.
Aku harus memeras keringat sampai beberapa waktu baru dapat menyelesaikannya.
Ah, hampir saja aku kalah ke ka dalam sebuah terjangan dia berhasil menabas bahuku.
Aku tak tahu kalau diam2 karena terdesak dia lantas mencabut pedang.
Aku terhuyung-huyung mundur karena itu.
Rupanya dia masih belum puas dan hendak membunuh aku.
Cepat ia memburu dan ayunkan pedangnya pula.
Dia telah termakan siasatku.
Memang aku membawa sikap seper orang yang sudah tak berdaya karena menderita luka maka dia hanya mencurahkan perha an untuk menabas tanpa memikirkan pertahanan.
Kesempatan itu tak kusia-siakan.
Tiba2 aku melangkah maju dan menendang perutnya.
Kuhimpun seluruh tenagaku dalam tendangan itu dan hasilnyapun mengerikan sekali.
Orang itu mengaum seper singa kesakitan, tubuh terlempar sampai beberapa'langkah dan ke ka jatuh ke tanah tak berku k lagi.
Entah masih hidup atau sudah ma .
Aku sendiri karena terlalu banyak mengeluarkan darah, lemas lunglai dan rubuh dibawah batang pohon ini"
"Dan kakang tak memperhatikan lagi kedua pencuri itu?"
Tanya Nararya. Lembu Peteng gelengkan kepala "Bagaimana aku mungkin membagi perha an kepada orang itu? Sedikit pikiran terpecah, tentu aku sudah mati dibawah pedang orang itu"
"Baiklah "
Kata Nararya "mari kita periksa siapakah orang yang menyerangmu itu. Rupanya dia juga mempunyai kepen ngan dengan gong pusaka dari Lodoyo. Kalau masih hidup kita dapat menggali keterangan dari mulutnya"
Keduanya segera menghampiri orang yang masih terkapar di rumput. Ke ka dekat, ba2 Nararya memekik "Ki bekel Saloka ...."
Ia terus lari menghampiri dan mengangkat tubuh orang itu. Orang itu tak lain memang bekel Kuda Saloka. Nararya memeriksa dadanya, pernapasannya masih berjalan walaupun lemah "Dia masih hidup"
Serunya penuh harapan.
"Siapa dia ?"
Lembu Petengpun terkejut.
"Kita tolong dulu, baru nan kuceritakan"
Jawab Nararya seraya sibuk mengurut-urut dada bekel Saloka dan memijat-mijat kaki tangannya.
"Minumkan air ini "
Kata Lembu Peteng seraya mengangsurkan kantong air yang dibekalnya. Setelah beberapa saat diberi pertolongan akhirnya bekel Salokapun mulai merin h. Dan beberapa saat lagi, iapun dapat membuka mata.
"Engkau raden ... hai, keparat ... !"
Ba2 mata bekel Saloka membelalak dan wajah memberingas memandang Lembu Peteng.
Serentak dia hendak bangun tetapi ia harus pejamkan mata dan mengerut dahi karena menahan sakit.
Rupanya luka pada perutnya cukup berat sehingga masih sakit untuk bergerak.
"Ah, ki bekel salah faham"
Kata Nararya yang segera menger duduk perkara bekel itu dengan Lembu Peteng "dia adalah kawan kita sendiri"
"Huh?"
Bekel Saloka membuka mata "kawan sendiri ? Siapa ?"
"Kakang Lembu Peteng dari gunung Kelud"
"Hah!"
Bekel Saloka memberingas lebih tegang "bukankah Lembu Peteng itu kepala gerombolan gunung Kelud ?"
Nararya mengangguk "Benar. Tetapi mereka bukan gerombolan jahat melainkan pelarian dari bekas prajurit2 Glagah Arum yang tak mau tunduk pada Singasari. Kini kakang Lembu Peteng membantu usaha kita dalam mencari gong pusaka itu"
Bekel Saloka menegas dengan pandang mata menatap wajah Nararya.
Mata Nararya yang memancar sinar tenang mengandung wibawa itu, memberi kepas an akan kebenaran dari ucapannya "Ki bekel tak perlu sangsi.
Jika keteranganku bohong, kuserahkan batang kepalaku kepada ki bekel"
"Ki bekel, maaf"
Setelah mendengar percakapan mereka, Lembu Peteng dengan dada lapang meminta maaf "kita telah saling salah faham.
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl