Ceritasilat Novel Online

Rahasia 180 Patung Mas 12


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 12


an dengan hidup, maka jangan lagi Ang-pang-cu suka marah-marah padaku."

   "Asal saja kamu Pek-li-Pin tidak melulu mementingkan diri sendiri saja tentu aku pun tidak perlu banyak omong."

   "Baiklah kan sejak mula sudah aku katakan mau membantu Su-Kiam-eng mengambil Jian-lian-hok-leng,"

   Kata Sam-bi-sin-ong.

   "Tapi kau pun harus mengerti, kerja sama kita hanya terbatas untuk menghadapi si orang berkedok hijau saja, mengenai emas di kota misterius yang hendak kau rebut itu adalah urusan sendiri,"

   Kata It-sik-sinkai dengan kereng.

   "Sudah tentu. Cuma menurut pandanganku, selama si orang berkedok hijau belum ditumpas, selama itu pula Su-Kiam-eng takkan mampu mengambil Jian-lian-hok-leng dan selamanya juga harta karun itu takkan aku peroleh."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Jadi maksudmu harus menumpas dulu si orang berkedok hijau?"

   Tanya si pengemis tua.

   "Betul,"

   Sam-bi-sin-ong mengangguk.

   "Biarpun belum pernah aku bergebrak dengan orang itu, namun aku tahu kung-fu nya sangat tinggi dan sukar untuk ditandingi kita dengan satu lawan satu. Maka aku kira perlu gabungan kita baru dapat menumpasnya."

   It-sik-sin-kai tampak marasa ragu, katanya.

   "Hm, selama aku berkecimpung di dunia kang-ouw belum pernah aku main kerubut ...

   "

   "Akan tetapi jangan lupa, keadaan sekarang luar biasa, jika kamu benar-benar ingin membantu Su-Kiam-eng mendapatkan Jian-lian-hok-leng, maka untuk sementara kamu harus kesampingkan dahulu nama baik dan kedudukanmu di dunia persilatan."

   "Lalu, siapa pula yang akan menghadapi ke tiga orang yang lain?"

   "Dengan sendirinya dia yang harus melayani mereka,"

   Sam-bi-sin ong menuding Su-Kiam-eng. Kamu saja tidak dapat menandingi mereka, masa Su-lau-te sanggup?"

   "Bila ke dua pihak sudah berhadapan tentu dapat aku bantu dia dengan Yan-mo-tan, asalkan dia sanggup bertahan sebentar, mungkin kita sudah dapat membereskan si orang berkedok hijau."

   Lalu It-sik-sin-kai tanya Su-Kiam-eng.

   "Dapatkah kamu bertahan sebentar di tengah Yan-mo-tan?"

   "Mungkin bisa, kalau tidak tahan, biarlah aku berdiri diam saja, dengan cara begini sudah cukup membuat bingung mereka,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Baiklah, boleh lakukan cara begitu,"

   Kata si pengemis tua.

   "Jika begitu, sekarang juga kita masuk saja ke kota itu,"

   Ajak Sam-bi-sin-ong.

   "Sekarang juga? Kau tahu kota emas itu terletak di dekat sini?"

   It-sik-sin-kai menegas dengan heran.

   "Betul,"

   Sam-bi-sin-ong mengangguk.

   "Tadi waktu aku melayang di puncak pohon sudah aku lihat benteng emas itu. Kalau tidak percaya boleh coba kalian loncat ke atas untuk melihatnya sendiri."

   Habis berkata ia terus mendahului meloncat lagi ke puncak pohon.

   Tergetar juga hati It-sik-sin-kai dan Su-Kiam-eng demi mendengar orang sudah menemukan kota emas atau benteng emas.

   Cepat mereka ikut meloncat ke atas.

   Sudah berada di puncak pohon dan coba memandang jauh ke sana, seketika It-sik-sin-kai dan Su-Kiam-eng berseru gembira.

   Ternyata memang benar, kira-kira beberapa li di tengah rimba sana berdiri menjulang tinggi lima buah pagoda itu mirip sumbu bunga teratai, tinggi tegak dan memantulkan cahaya ditimpa sinar matahari senja, dipandang dari jauh mirip lima buah obor raksasa, sungguh megah dan indah sekali.

   Itulah Kota Emas! Itulah Benteng Emas! Benteng Emas purba yang sudah dilupakan oleh manusia! Terbelalak Kiam-eng memandangi kemegahan bangunan kuno yang indah itu, darah serasa bergolak dalam rongga dadanya, sangat gembiranya hampir saja ia berteriak seperti orang gila.

   Sebelum ini, betapapun ia ragu apakah di tengah rimba purba ini bisa terdapat sebuah bangunan kuno yang indah? Tapi percaya! Cukup melihat bangunan ke lima pagoda raksasa itu saja sudah tidak sulit untuk membayangkan keadaaan di dalam benteng, juga tidak sulit untuk menerka dahsyat yang pernah menghuni kota itu dahulu dan orang mencatat dalam lembaran sejarah yang gemilang.

   Akan tetapi, mereka itu termasuk orang apa? Suku bangsa apa? Negara mana?

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Mengapa pula mereka bisa punah? Kiam-eng termenung sampai lama dan ingin menemukan setitik jawaban. Setelah memandang sejenak, tiba-tiba It-sik-sin-kai berpaling dan tanya Sam-bi-sin-ong.

   "Pek-li-Pin, jika kota emas itu sudah kau temukan, mengapa kamu tidak datang sendirian ke sana?"

   "Hehe, sebabnya aku dapat hidup panjang umur sampai sekarang, yang utama adalah karena aku selalu waspada dan hati-hati ...

   "

   Jawab Sam-bi-sin-ong dengan tertawa.

   "Aku yakin si orang berkedok hijau pasti bersembunyi di sana untuk menjebak mangsanya."

   "O, maka kau perlu cari beberapa pembantu begitu?"

   Tanya si pengemis tua.

   "Betul. Sebaiknya bila kalian tidak aku bantu sama juga bahayanya, betul tidak?"

   It-sik-sia-kai tidak menanggapi lagi, ia lompat turun dan berseru.

   "Ayo berangkat mumpung hari belum gelap, marilah kita masuk ke benteng itu!"

   Ke tiga orang lantas melompat turun ke bawah.

   Segera It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong mendahului berangkat disusul oleh Su-Kiam-eng dan Kalina.

   Setelah meneruskan perjalanan dua-tiga li, mendadak hutan lebat di depan menghilang yang muncul di depan mereka adalah sebidang tanah rumput yang lapang dan seperti pernah diolah manusia.

   Dan bangunan raksasa yang misterius tadi kini pun sudah terlihat jelas di depan tanpa halangan apa pun.

   Terlihat di bawah ke lima pagoda raksasa itu ada benteng kurung sepanjang dua li dipandang dari jauh seperti berlapis-lapis dan berderet-deret, sungguh sangat megah.

   Cuma benteng batu raksasa ini tampaknya tidak mirip sebuah kota melainkan lebih mirip sebuah puri raksasa.

   Selagi mereka berempat memandang dengan terkesima, lebih-lebih Kalina, wajahnya tampak pucat dan tubuh pun gemetar.

   Kiam-eng memegang tangan si nona dengan erat, katanya lirih dengan menahan perasaan sendiri yang bergolak.

   "Jangan takut, nona Ka, masa tidak kau rasakan betapa indah bangunan benteng kuno ini"

   Dengan gemetar Kalina menjawab.

   "Kabarnya ... kabarnya kota emas ini pernah ... pernah dimanterai oleh setan iblis ... barang siapa masuk ke sana pasti akan mati. Apakah benar kalian hendak ... hendak masuk ke sana?"

   "Jangan percaya pada obrolan yang menyesatkan itu."

   Ujar Kiam-eng tertawa.

   "Bukankah ayahmu dan su-heng ku pernah masuk ke sana, kemudian juga sama pulang dengan selamat?"

   "Tapi sesudah pulang ayahku pernah jatuh sakit payah dan hampir saja meninggal,"

   Tutur Kalina.

   "Sam-bi-sin-ong melirik si nona sekejap dengan rasa geli, lalu berkata kepada Kiam-eng, Su-Lau-te, tampaknya su-heng mu pernah berdusta juga."

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Kiam-eng dengan melengak.

   "Bahwa bangunan ini sebuah benteng kuno memang tidak salah, namun jelas bukan dibangun dengan emas seperti cerita su-heng mu itu."

   "Apakah menurut bayanganmu, kau kira 'kota emas' ini dibangun dengan emas murni,"

   Tukas It-sik-sinkai. Muka Sam-bi-sin-ong agak merah, jawabnya.

   "Ya, mungkin yang dimaksud dia adalah ke-180 patung dan puri yang dibangun dengan lantakan emas, semuanya terdapat di dalam benteng kuno."

   Kiam-eng menunjuk bangunan raksasa itu dan bertanya.

   "Menurut pandangan Ang-pang-cu, bangunan itu lebih tepat disebut benteng atau puri?"

   "Aku pun tidak mengerti,"

   Jawab si pengemis tua.

   "Kalau dibilang benteng, ternyata tidak ada tembok bentengnya, dikatakan puri, nyatanya ada parit yang mengelilingi bangunan raksasa itu."

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Sam-bi-sin-ong mendahului jalan ke depan, katanya.

   "Peduli kelenteng atau benteng, marilah kita periksa ke sana dan semuanya akan jelas."

   Setelah melintasi sebuah parit pelindung benteng yang lebarnya beberapa meter, lalu menelusuri sebuah jalan sepanjang beberapa ratus meter, kemudian mereka mendaki tiga tingkat panggung batu yang datar dan luas, lalu mendaki lagi banyak undak-undakan batu, akhirnya mereka berada di depan pintu gerbang bangunan yang bukan benteng dan bukan puri ini.

   Baru sekarang mereka dapat melihat jelas, bangunan bukan benteng dan bukan puri ini disusun oleh batu-batu raksasa, dinding dan lantai penuh ditumbuhi lumut dan rumput, sebuah pagoda tinggi yang tepat menghadap pintu gerbang tingginya hampir seratus meter, dipandang dengan mendongak dapat membuat orang pusing kepala dan mata berkunang-kunang.

   Ke dua samping gerbang adalah dua serambi yang luas dan lurus, panjangnya ada satu li, pilar batu yang besar berjajar dan sukar dihitung jumlahnya.

   Meski di mana-mana sama tertutup oleh lumut dan debu, namun samar-samar terlihat jelas bangunan raksasa ini pernah mengalami masa jayanya yang gemilang.

   Hampir di mana-mana terdapat ukiran timbul gambar malaikat dan setan.

   Mereka tidak berani langsung memasuki pintu gerbang itu, lebih dulu mereka meninjau di sekitar serambi dan melihat pilar dan dinding juga banyak terukir gambar timbul bidadari, semua gambar bidadari itu diukir telanjang bulat, hanya bagian kepala memakai topi bunga yang entah apa namanya, leher pun pakai hiasan kalung dan bagian pinggang memakai "gaun"

   Yang terbuat mirip benang atau rumput. Cuma gaya ukiran bidadari itu tampak sangat indah, semuanya bergaya seperti lagi menari, kelihatannya sangat suci dan anggun, tiada tanda-tanda cabul setitik pun.

   "Aha, tempat ini tentu bekas sebuah puri raksasa untuk upacara adat!"

   Kata It-sik-sin-kai sambil berhenti. Sam-bi-sin-ong dan Su-Kiam-eng sama mengangguk dan menjawab.

   "Betul, tempat ini memang sebuah puri tempat upacara sembahyang."

   "Bahkan berani aku katakan bahwa inilah puri upacara sembahyang yang terbesar sejak dulu sampai sekarang,"

   Ucap si pengemis tua dengan khidmat.

   "Wah, melulu sebuah puri saja dibangun sebesar ini, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya keseluruhan kota emas ini,"

   Ujar Sam-bi-sin-ong dengan gegetun. Sorot mata It-sik-sin-kai berpindah dari ukiran dinding ke wajah Kalina, tiba-tiba ia tanya "Nona Ka, suku Pek-ih kalian apakah sudah lama mengetahui tempat seperti kota emas ini?"

   "Ya, sudah lama mengetahuinya,"

   Jawab Kalina, sambil mengangguk.

   "Jika begitu, tentu kau tahu sejarah yang menyangkut kota emas ini?"

   Tanya si pengemis tua dengan girang.

   "Tidak, aku tidak tahu, orang dalam suku kami juga tiada seorang pun yang tahu sejarah kota emas ini mungkin sudah berumur ribuan tahun,"

   Tutur Kalina.

   "Suku Pek-ih kami tidak serupa bangsa Han kalian yang mempunyai catatan sejarah, maka sejauh ini kami cuma tahu di tengah rimba ini terdapat sebuah kota purba, lain tidak.

   "Jika suku Pek-ih kalian sudah tahu adanya kota kuno ini, mengapa kalian merahasiakannya, padahal hubungan suku Pek-ih kalian dengan bangsa Han kami biasanya cukup akrab"

   Tanya pula si pengemis tua.

   "Soalnya kami menganggap kota kuno ini tempat bermukimnya setan iblis dan menakutkan, maka siapa pun tidak berani menyebutnya,"

   Tutur Kalina. It-sik-sin-kai memandang lagi kian kemari, katanya kemudian.

   "Aku percaya orang yang menghuni kota ini dahulu pasti ada hubungan dengan negeri Tiong-goan kita. Sayang pengemis tua tidak banyak mengenyam sekolahan, entah di dalam kitab kita terdapat catatan mengenai kota emas ini atau tidak?"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Dahulu pernah aku baca se

   Jilid buku yang berjudul 'Catatan adat istiadat Canla' karangan Ciu-Tat-koan pada jaman kerajaan Goan.

   Kitab itu menulis kebiasaan penduduk sebuah negeri Canla yang terletak jauh terpencil di selatan, entah kota emas ini apakah sama dengan negeri Canla yang ditulis itu ...

   "

   "Bagaimana menurut penuturan dalam buku itu?"

   Tanya It-sik-sin-kai.

   "Kalau tidak salah ingat, kitab itu mencatat bahwa negeri Canla itu dibangun oleh orang Kimi (mungkin bangsa Khmer di negeri Kamboja sekarang) dan merupakan sebuah negeri yang kuat dan berpengaruh, sering menyerbu dan menaklukkan negeri lain, lalu menawan rakyat negeri yang dikalahkannya itu untuk disuruh kerja paksa menggali batu dan membangun istana, hidup bangsa kami itu sangat mewah dan boros, kehidupan orang Kimi itu dilukiskan dengan gambaran. Pangan mudah diperoleh, perempuan gampang didapat tempat tinggal mudah dibangun, alat perabot serba cukup, jual-beli lancar terlaksana. Hanya begitu saja yang aku ingat."

   "Jika diumpamakan kota kuno ini benar negri Canla yang disebut dalam kitab karangan Ciu-Tat-koan itu, lalu segenap penduduknya pergi ke mana?"

   Kata pengemis tua.

   "Ada tiga kemungkinan. Pertama, karena kejayaan orang Kimi itu akhirnya menimbulkan iri negeri lain yang juga sama kuatnya dan akhirnya orang Kimi tertumpas habis. Kedua, mungkin terjadi semacam penyakit menular sehingga segenap rakyat negri ini mati semua. Ke tiga, mungkin terjadi pemberontakan kaum budak yang disuruh kerja paksa itu, segenap orang Kimi terbunuh habis, lalu semua harta benda negeri Canla dirampok habis dan dibawa kabur entah ke mana."

   "Betul,"

   It-sik-sin-kai mengangguk.

   "Dan kota kuno yang megah ini lambat-laun pun terkubur oleh rimba raya, lama kelamaan urusan negri ini pun terlupakan orang."

   
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sembari bicara mereka sambil menikmati ukiran dinding serambi, kata pula si pengemis tua dengan bersemangat.

   "Apa pun juga, yang jelas bangunan ini adalah sebuah kota purba yang luar biasa. Coba kau lihat ukiran timbul pada dinding ini takkan habis kita tinjau selama beberapa hari."

   "Apakah Ang-heng bermaksud menikmati ukiran indah ini selama beberapa hari."

   "Apakah Ang-heng bermaksud menikmati ukiran indah ini selama beberapa hari?"

   Tanya Sam-bi-sin-ong dengan tertawa.

   "Tidak, beberapa hari saja tidak cukup,"

   Jawab It-sik-sin-kai.

   "Harus aku nikmati dengan perlahan dan aku pelajari dengan teliti sehingga seluruh pelosok kota kuno ini."

   "Tapi aku kira, urusan yang paling penting sekarang adalah mencari Jian-lian-hok-leng dan emas yang ingin aku dapatkan itu,"

   Tukas Sam-bi-sin-ong dengan tergelak.

   "Baiklah, coba kita lihat dulu ke dalam puri raksasa ini,"

   Kata It-sik-sin-kai.

   Waktu mereka putar balik ke pintu gerbang, hari ternyata sudah gelap, suasana itu tampak gelap gulita dan menimbulkan rasa seram seperti berada di tempat setan, juga menimbulkan keraguan jangan-jangan si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya mungkin bersembunyi di dalam dan siap menyergap setiap saat.

   Maka It-sik-sin-kai lantas mencari beberapa gebung rumput kering dan diikat, lalu dinyalakan sebagai obor serta mendahului masuk ke sana.

   Siapa duga, baru saja ia melangkah masuk pintu gerbang, kontan ia disambut oleh serangkum angin dahsyat yang menerjang dari depan.

   It-sik-sin-kai berteriak kaget dan cepat mendak ke bawah, berbareng sebelah tangan terus menghantam.

   Sam-bi-sin-ong dan Su-Kiam-eng yang mengikuti di belakangnya juga cepat setengah berjongkok untuk menghindar.

   Terdengar Suara "berrr"

   Sesosok bayangan melayang lewat kepala mereka dengan cepat.

   Waktu mereka menoleh, tanpa terasa mereka menghela napas panjang.

   Ternyata bayangan itu adalah seekor macan tutul, setelah meloncat ke luar segera binatang buas itu menuruni undak-undakan batu dan menyusup ke dalam semak-semak.

   "Busyet! Rupanya puri kuno ini telah dijadikan sarang oleh binatang buas,"

   Ucap Kiam-eng dengan terkejut.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Keparat!"

   Caci It-sik-sin-kai.

   "Aku kira orang berkedok hijau itu hendak menyergap kita."

   "Jika di dalam bangunan ini ada binatang buas, ini menandakan orang berkedok hijau itu tidak sembunyi di sini, maka bolehlah Ang-heng maju terus dan kuatir,"

   Ujar Sam-bi-sin-ong. Belum lenyap suaranya, kembali terdengar suara "ser-ser"

   Yang ramai dan melayang dari depan sana. Kembali si pengemis tua berteriak.

   "Semua lekas mundur, ini kawanan kelelawar!"

   Cepat mereka melompat mundur ke serambi di luar, terlihat kawanan kelelawar berterbangan bergerombol terbang ke udara di luar gerbang yang gelap.

   Begitu banyak jumlah kelelawar itu sehingga serupa asap yang mengepul dari cerobong.

   Sampai sekian lama baru kawanan kelelawar itu habis terbang ke luar.

   Kening Su-Kiam-eng berkerenyit, katanya.

   "Ada pendapatku, lebih baik kita menjelajahi seluruh kota ini, esok pagi baru kita masuk ke dalam puri itu. Dengan begitu rasanya akan lebih aman."

   "Ya, aku kira begitu lebih baik,"

   Sahut It-sik-sin-kai setuju.

   Meski Sam-bi-sin-ong sangat ingin lekas menemukan ke-180 patung emas, tapi ia pun merasa kurang aman bila harus mencarinya dalam kegelapan.

   Maka ia tidak membantah, segera mereka berempat menuju ke sebelah kanan melalui serambi yang panjang itu.

   Setelah menelusuri serambi yang panjangnya hampir satu li itu dan membelok ke kanan, akhir nya mereka dapat mengitari puri raksasa itu.

   Di belakang puri juga hutan yang lebat, ketika mereka memasuki hutan, ternyata di dalam hutan juga banyak bangunan dari batu, yang mengherankan adalah banyak rumah batu itu sama terkurung oleh akar pohon raksasa.

   Itu menandakan bahwa sudah ribuan tahun tidak terdapat manusia di situ sehingga akar pohon pun tidak pernah ditebas, maka bangunan itu pun ditelan oleh tetumbuhan alam yang mirip jari-jari setan iblis itu.

   Setelah menelusuri hutan sekian jauh, kembali mereka menemukan banyak rumah berhala yang megah dan jalanan yang lebar, cuma sebagian besar pun sudah terdesak oleh tetumbuhan liar sehingga berubah menjadi tumpukan puing.

   Di dalam kota purba ini masih ada lebih 50 buah pagoda dan dua ratusan patung kepala manusia itu hampir sama, semuanya memakai topi berujung runcing dan tingginya belasan meter, semuanya diukir dari batu raksasa.

   It-sik-sin-kai terheran-heran, katanya.

   "patung kepala manusia sebanyak ini entah melambangkan apa?"

   "Aku kira patung kepala manusia ini merupakan ukiran kepala para raja yang pernah ikut membangun kota kuno ini, dia memerintahkan kepalanya diukir, maksudnya untuk memperlihatkan wibawa dan kekuasaannya,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Jika benar begitu, maka raja yang berkuasa di sini pasti tokoh yang berwatak keras dan tentu juga lalim."

   Sam-bi-sin-ong tampak celingukan kian kemari dan berkata.

   "Aneh, sudah sekian jauh kita mengitari tempat ini, mengapa tidak terlihat sebuah bangunan yang terbuat dari emas?"

   It-sik-sin-kai memandangnya dengan mendongkol.

   "Terhadap segala apa yang terdapat di dalam kota kuno ini, selain emas apakah tiada sesuatu lagi yang menarik bagimu?"

   "Sudah tentu aku pun tertarik oleh kota purba ini,"

   Sam-bi-sin-ong menyengir.

   "Cuma kedatanganku dari jauh ini, tujuan yang utama kan jelas adalah untuk mendapatkan emas ...

   "

   "Huh!"

   Jengek si pengemis tua dengan jemu dan segera melangkah lagi ke depan sambil berkata kepada Kiam-eng.

   "Su-lau-te, mari kita coba melihat ke tempat lain."

   Mereka berempat lantas menyusuri kota kuno itu tanpa tempat tujuan, sampai setengah malaman ternyata belum lagi mengelilingi seluruh kota itu.

   "Wah, luas amat tempat ini,"

   Seru si pengemis tua.

   "Entah perlu berapa lama untuk bisa menjelajahi

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ seluruh kota kuno ini?"

   "Jika kota ini merupakan suatu negara, mungkin diperlukan perjalanan beberapa hari baru dapat menjelajahi seluruh tempat ini,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Kalau begitu, kota kuno ini tentu dapat memuat ratusan ribu penduduk,"

   Kata It-sik-sin-kai.

   "Bila benar kota kuno ini adalah negeri Canla yang dimaksudkan Ciu-Tat-koan dalam bukunya itu, maka penduduknya bisa mencapai satu juta,"

   Kata Kiam-eng.

   "Wah, ini kan jauh lebih besar daripada kota raja di negeri kita?"

   Ucap si pengemis tua sambil menjulur lidah.

   "Akan tetapi apakah kota kuno ini benar negri Canla dahulu atau bukan, hal ini tidak berani aku pastikan,"

   Kata Kiam-eng pula dengan tertawa.

   "Aku yakin pasti benar negri Canla dahulu, kalau tidak masakah ada kota sebesar ini?"

   Ujar It-sik-sin-kai. Sembari bicara mereka sampai di depan setumpuk puing. Mendadak Sam-bi-sin-ong menarik It-sik-sinkai dan membisikinya.

   "Awas, di tengah puing itu bersembunyi musuh!"

   Kiam-eng dan It-sik-sin-kai terkejut dan serentak berhenti sambil tanya.

   "Kau lihat orang sembunyi di sana?"

   "Ya,"

   Sam-bi-sin-ong mengangguk.

   "Baru saja aku lihat sebuah kepala orang mengeret ke balik tembok onggokan puing sana."

   "Apakah si orang berkedok hijau?"

   Dengan tegang Kiam-eng ikut tanya.

   "Entah, terlampau cepat kepala orang itu mengeret ke balik tembok, tak sempat aku lihat jelas siapa dia,"

   Jawab Sam-bi-sin-ong. It-sik-sin-kai mendesis.

   "Biarlah kita bertindak menurut rencana, Su-lau-te melindungi nona Ka dan pengemis tua dan Pek-li-Pin menghadapi musuh."

   Segera Sam-bi-sin-ong mengeluarkan tiga buah Yan-mo-tan dan diserahkan kepada Su-Kiam-eng, katanya lirih.

   "Aku beri tiga Yan mo-tan ini, kalau musuh memperlihatkan diri, setiap seminuman teh boleh aku lemparkan sebuah granat berasap ini dan aku jamin kalian takkan berhalangan."

   Kiam-eng menerima ke tiga granat berasap itu dengan ucapan terima kasih.

   Segera It-sik-sin-kai dan-Sam-bi-sin-ong tertunduk ke depan dan mengepung puing tembok itu dari dua jurusan.

   Hanya sekejap saja bayangan mereka sudah menghilang di balik kerimbunan pohon.

   Perlahan Kiam-eng melolos pedang dan berdiri rapat di samping Kalina.

   Ia tahu setiba di kota kuno ini, kalau kepergok si orang berkedok hijau adalah kejadian yang sudah terduga.

   Cuma yang membuatnya tenang adalah kung-fu lawan sesungguhnya terlampau tinggi, pula orang sangat apal terhadap segala sesuatu di kota purba ini, berdasarkan kung-fu dan keuntungan tempat, untuk mengalahkan It-sik-sinkai dan Sam-bi-sin-ong rasanya juga bukan mustahil, apalagi si orang berkedok hijau masih ada tiga anak buah yang langsung, maka Kiam-eng merasakan pertempuran yang bakal terjadi ini akan merupakan suatu pertarungan antara hidup mati.

   Kalina juga merasakan tenangnya suasana, dengan takut ia merapat di samping Su-Kiam-eng, tanyanya lirih.

   "Kau lihat apakah si orang berkedok hijau atau bukan?"

   Selagi Kiam-eng hendak menjawab, tiba-tiba meledak suara gelak tertawa It-sik-sin-kai di tengah puing sana, lalu dari tumpukan puing itu meloncat ke luar dua sosok bayangan.

   "Blang,"

   Terjadi suara benturan keras, dua sosok bayangan yang melayang ke udara itu telah saling mengadu pukulan, lalu seorang di antaranya melayang turun lurus dan satu lagi tergetar oleh tenaga pukulan dan mencelat jauh ke sana.

   Pandangan Kiam-eng cukup tajam, ia lihat yang melayang turun itu adalah It-sik-sin-kai dan orang yang tergetar mencelat itu adalah orang berkedok kain hitam.

   Keruan ia kegirangan dan berseru.

   "Ahh, kiranya dia!"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Sembari bersuara segera ia tarik Kalina dan berlari ke onggokan puing sana.

   Setiba di situ, ternyata betul, orang yang terkurung di situ memang betul si orang berkedok hitam.

   Sekarang It-sik-sin-kai berdiri di depan musuh dan Sam-bi-sin-ong berdiri di belakangnya.

   Jarak masing-masing ada dua-tiga meter dan semuanya siap tempur.

   Si orang berkedok hitam itu serupa seekor serigala yang terperangkap, berulang ia celingukan kian kemari, agaknya ingin mencari jalan untuk lolos, sikapnya kelihatan sangat tegang dan gelisah.

   Melihat Kiam-eng memburu tiba, It-sik-sin-kai terbahak dan berkata.

   "Su-lau-te, inilah orang berkedok kain hitam yang menculik su-heng mu itu bukan?"

   Dengan bersemangat Kiam-eng menjawab.

   "Betul, memang dia ini!"

   Dia memang sangat gembira.

   Sejak pihak lawan menculik su-heng dan Kalana, selama ini dia telah berdaya upaya untuk mencari tahu siapa pihak lawan.

   Akan tetapi pihak lawan terlampau licin, jejaknya misterius, caranya keji, semua itu tidak di bawah perbuatan si orang berkedok hijau.

   Namun sekarang tidak perlu pusing kepala lagi, pengganas yang menculik su-heng dan istrinya serta pembunuh para ketua Hoa-san-pai dan lain-lain itu kini sudah kelihatan belangnya.

   Mendengar jawab Kiam-eng tadi, segera It-sik-sin-kai berpaling dan berkata kepada orang berkedok hitam.

   "Nah, sobat, sekarang biarpun kamu tumbuh sayap juga sukar terbang lagi. Kenapa tidak buka saja kedokmu agar kita bisa saling kenal?"

   Si orang berkedok hitam tidak menjawab, mendadak kaki melejit, secepat kilat ia melayang ke sebelah kiri.

   Akan tetapi, baru saja ia bergerak, Sam-bi-sin-ong yang berdiri di belakangnya tahu-tahu sudah menubruk tiba, tongkat berkepala ular terus menebas pinggang lawan sambil berseru.

   "Haha, apakah kamu ingin kabur begitu saja kawan?"

   Tidak lemah juga orang berkedok hitam, tubuhnya yang mulai mengapung itu mendadak berjumpalitan dan melayang ke samping sehingga sabetan tongkat Sam-bi-sin-ong dapat dihindarkan.

   
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu sebelah kakinya memanjat pilar batu yang tersisa di tengah puing itu, kembali tubuhnya melayang lagi ke sebelah kiri sana, nyata tujuannya hendak menyusup ke dalam hutan.

   It-sik-sin-kai tidak membiarkan orang lolos begitu saja, melihat cara orang menghindari serangan Sambi-sin-ong segera ia tahu ke mana langkah lawan selanjutnya, maka sebelum si orang berkedok melayang ke hutan sana, lebih dulu sudah dicegat oleh si pengemis tua, pentung penggebuk anjing langsung mengemplang kepalanya.

   Terhadap musuh umumnya kemplangan pentung bambu It-sik-sin-kai itu biasanya tidak pernah meleset, maka terdengarlah suara "plok", pundak kiri si orang berkedok hitam dengan tepat terpukul, kontan tubuhnya terbalik dan jatuh terbanting?.

   Menyusul Sam-bi-sin-ong lantas memburu maju, tongkat kepala ular segera menutuk sehingga Koh-cing-hiat lawan kena ditutuknya.

   Maka si orang berkedok hitam tidak dapat bergerak lagi.

   Kiam-eng sangat girang, secepat kilat ia melompat ke sana dan menarik kain penutup muka lawan.

   Seketika ia pun menjerit.

   "Hahh, ternyata kau!?"

   Ia menjerit dengan melengong.

   Ketika It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong tahu jelas siapa orang berkedok hitam itu, mereka pun melongo sehingga tidak dapat bicara.

   Kiranya orang berkedok kain hitam ini tak-lain-tak-bukan ialah Sai-hoa-to Sim Tiong-ho adanya!"

   Hal ini mungkin mimpi pun tak pernah terpikir oleh siapa pun.

   Siapa yang menyangka orang yang menculik Gak-Sik-lam dan Kalana serta dua kali bermaksud mencelakai Su-Kiam-eng dan hendak membunuh para ketua Hoa-san-pai dan lain-lain ternyata adalah si tabib sakti yang dipandang sebagai kawan yang paling terpercaya oleh Su-Kiam-eng itu? Sekujur badan Su-Kiam-eng terasa dingin bagai terendam air es.

   Untuk pertama kalinya ia merasakan manusia adalah makhluk yang paling menakutkan di dunia ini.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Teringat olehnya untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, ketika itu si tabib sakti sedang memancing ikan di tepi sungai, tampaknya serupa seorang pertapa yang jauh dari keramaian dunia ...

   "Wah, 180 patung emas, ada lagi bangunan kuil yang terbuat dari emas murni, cara bagaimana menilai barang-barang itu?"

   "Hm, engkau Sai-hoa-to juga tertarik bukan oleh harta karun itu?"

   "Ya, kalau saja kota emas itu dapat dikangkangi menjadi milik sendiri, maka jadilah aku orang kaya raya, memangnya siapa yang tidak tertarik?"

   Itulah percakapan yang terjadi dahulu antara Wi-ho Lo-jin dan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho.

   Waktu itu Kiam-eng menyangka mereka hanya bergurau saja, siapa tahu si tabib sakti benar-benar tertarik oleh harta karun.

   Oleh karena bertekad akan ikut berebut kota emas, maka Sai-hoa-to telah berperan menjadi dua tokoh yang berbeda.

   Di satu pihak ia membantu usaha Kiam-eng dengan nama dan wajah asli Sim-Tiong-ho, di lain pihak ia menyamar sebagai orang berkedok hitam untuk membuntutinya, pada waktu Kiam-eng membunuh Ih-Wan-hui dan Gu-Thong dulu, dia bersama Te-Long dan Oh-Sam lantas menyerbu ke penjara di bawah tanah, ia gunakan granat berasap untuk membawa lari Gak-Sik-Lam suami-istri.

   Kemudian, mungkin Gak-Sik-lam tidak mau mengaku letak kota emas, maka dia sengaja membiarkan dirinya diculik anak buah Tok-pi-sin-kun dan bermaksud merebut peta kota emas, akhirnya ia berbalik "ditolong"

   Oleh Su-Kiam-eng. Begitulah makin dipikir makin gemas hati Kiam-eng, mendadak ia cengkeram Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho dan membentak.

   "Bagus sekali perbuatanmu, orang she Sim!"

   Muka Sim-tiong-ho tampak merah padam, ia pejamkan mata dan tidak mau bicara. Kalau saja Hiat-to tidak tertutuk, sungguh ia ingin menyusup ke dalam bumi bilamana ada lubang. Kiam-eng mengguncang-guncang tubuh tabib sakti itu dan berteriak.

   "Ayo bicara! Kamu tua bangka bermuka manusia tapi berhati binatang, kamu telah mengapakan su-heng dan istrinya?"

   Karena tidak tahan diguncang sekerasnya itu, akhirnya Sim-Tiong-ho menyengir dan berucap.

   "Lepaskan aku, biar aku bicara sejelasnya."

   Kiam-eng mendorongnya sehingga tabib itu terguling di tanah, bisiknya.

   "Lekas mengaku terus terang, kalau tidak, hm, jangan menyesal bila aku tidak kenal ampun lagi."

   Perlahan Sim-Tiong-ho berkata.

   "Su-heng mu dan istrinya masih hidup, aku tidak mencelakai mereka ..."

   "Mereka berada di mana sekarang?"

   "Di rumah Lau-bu-lai Te-Long."

   "Di mana rumah Lau-bu-lai?"

   "Di suatu kota kecil dekat Han-yang."

   "Di mana letaknya, bicara yang jelas!"

   "Biar aku katakan dengan jelas juga tidak ada gunanya sekarang, nanti kalau mau pulang ke Tiong-goan biarlah aku bawa kalian untuk menemui mereka."

   "Tidak, sekarang juga harus kau katakan!"

   Bentak Kiam-eng tak sabar.

   "Setelah aku katakan, segera akan kau bunuh diriku, begitu bukan?"

   "Hm, orang yang ingin membunuhmu masih banyak, buat apa perlu aku turun tangan?"

   "Jika begitu, setelah aku katakan tempat su-heng mu dikurung, selera akan kau bebaskan diriku?"

   Tanya Sai-hoa-to.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Huh, memangnya begitu enak bagimu?"

   Jengek Kiam-eng.

   "Habis, cara bagaimana akan aku perlakukan diriku?"

   Tanya pula si tabib sakti.

   "Hanya kung-fu saja akan aku musnahkan."

   "Di tengah rimba raya yang banyak binatang buas seperti ini, jika kau punahkan kung-fu ku, itu terlebih kejam daripada sekali tusuk kau bunuh diriku. Seorang lelaki sejati harus bisa membedakan baik dan buruk, coba kalau dahulu tidak aku beri obat anti gas padamu, cara bagaimana kamu dapat mendatangi tempat ini?"

   "Tapi jangan lupa, dua kali pernah aku hendak kau celakai."

   "Itu perbuatan Te-Long dan Oh-Sam, aku tidak setuju dan tidak dapat mencegah mereka ..."

   "Jangan omong kosong, lekas katakan di mana su-heng ku terkurung?"

   Bentak Kiam-eng.

   "Jika kung-fu ku akan kau punahkan, ke sana atau ke sini akhirnya tetap mati, buat apa aku beri keterangan lagi?"

   "Hm, jadi kamu berkepala batu dan tetap tidak mau mengaku?"

   "Ya, tidak!"

   "Baik, biar kau rasakan dulu betapa enaknya otot-tulangmu dipuntir-puntir ...

   "

   Bicara sampai di sini, sekali depak Kiam-eng membuat Sai-hoa-to terguling, segera pula ia hendak meremas iga orang. Pada saat itulah mendadak terdengar suara jeritan anak perempuan berkumandang dari jauh.

   "Kakak Eng, lekas kemari, tolong!"

   Jelas itulah suara Ih-Keh-ki. Seketika tubuh Kiam-eng tergeser dan urung menyerang Sai-hoa-to, sinar matanya mencorong terang dan berteriak.

   "Hm, Keh-ki, itulah suara Keh-ki!"

   "Betul, memang betul suara nona Ih,"

   Sam-bi-sin-ong juga berkata dengan terkejut.

   Semula Kiam-eng menyangka nasib Ih-Keh-ki pasti lebih celaka dari pada selamatnya, sekarang mendadak terdengar suara jeritan minta tolong di kota emas ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang, ia tidak sempat mengurus Sai-hoa-to lagi, cepat ia berkata kepada It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong.

   "Harap kalian mengawasi dia dan menjaga nona Ka, biar aku pergi menolong nona Ih."

   Habis berkata segera ia lari cepat ke sana.

   Ia pun tahu Ih-Keh-ki pasti berada dalam cengkeraman si orang berkedok hijau, ia pun tahu kung-fu orang jelas sukar ditandingi, namun sekarang ia tidak peduli lagi semua itu, tujuannya hanya ingin menyelamatkan Ih-Keh-ki dengan cara apa pun.

   Suara jeritan Keh-ki itu berkumandang dari sebuah pagoda di sebelah selatan sana, segera ia lari menurut ke arah suara.

   Tapi setiba di bawah pagoda itu, kembali ia dengar suara teriakan serupa, akan tetapi sekarang suara itu berkumandang dari pagoda lain yang terletak di kejauhan.

   Segera pula Kiam-eng lari ke pagoda itu, baru beberapa puluh meter ia lari, tiba-tiba terdengar ada orang mengejar dari belakang, cepat ia lolos pedang dan menahan diri, sedikit mendak, sekonyong-konyong pedang menebas ke belakang.

   Begitu pedang bergerak, serentak tubuh pun ikut berputar, terlihatlah sesosok bayangan meloncat ke atas untuk menghindarkan serangannya berbareng pihak lawan pun berseru.

   "Hei, Su-lau-te, aku inilah!"

   Kiranya It-sik-sin-kai adanya. Kiam-eng melengong, cepat ia tarik pedang dan bertanya.

   "Maaf, Ang-pang-cu, mengapa engkau tidak mengawasi Sai-hoa-to?"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Aku rasa keselamatan Su-lau-te terlebih penting daripada Sai-hoa-to maka sengaja aku susul kemari!"

   Jawab si pengemis tua. Kiam-eng juga merasa harapan tertolongnya Ih-Keh-ki akan jauh lebih besar bilamana dibantu pengemis tua ini, muka ia lantas menuding pagoda di kejauhan dengan pedang dan berkata.

   "Nona Ih berada di pagoda itu, mari lekas kita susul ke sana!"

   Berbareng mereka lantas melompat ke depan, dengan gin-kang yang tinggi mereka lari ke sana secepat terbang.

   Hanya sebentar saja mereka sudah sampai di bawah pagoda yang dituju, waktu mereka mendongak, terlihat tinggi pagoda itu ada 40-50 meter, pada sebuah jendela mendekati tingkat teratas terlihat si orang berkedok hijau berdiri di sana dengan memondong Ih-Keh-ki.

   Darah panas Kiam-eng bergolak, selagi ia hendak menerjang ke atas, cepat It-sik-sin-kai mencegahnya dan berbisik.

   "Sabar dulu, jangan terperdaya!"

   Si orang berkedok hijau juga sudah melihat kedatangan mereka di bawah pagoda dengan tergelak ia berteriak.

   "Pengemis tua, kalau berani ayolah kalian naik kemari."

   "Hehe, kau kira pengemis tua tidak berani?"

   Jengek It-sik-sin-kai.

   "Kalau berani, ayo, coba saja!"

   Sahut si orang berkedok hijau.

   "Baik, tapi kalau memang jantan janganlah kamu lari,"

   Seru si pengemis tua sambil tertawa. Kembali si orang berkedok hijau terbahak-bahak.

   "Hahaha, lari atau tidak itu kan urusanku jika kalian dapat menangkap diriku barulah terhitung lihai."

   It-sik-sin-kai tidak menanggapi lagi ia mendesis terhadap Su-Kiam-eng.

   "Boleh kau tunggu saja di bawah sini biar pengemis tua yang naik ke sana untuk melabraknya."

   "Kan lebih baik aku ikut bersama Ang-pang-cu?"

   Ujar Kiam-eng dengan lirih.

   "Tidak, kau jaga saja di bawah pagoda jika dia melompat turun tentu dapat kau cegat dia, dengan begitu baru dia tidak sempat kabur."

   Habis berkata ia taruh tikar bututnya, dengan memegang pentung penggebuk anjing segera ia melangkah ke pintu pagoda.

   Selama berpuluh tahun bila bertempur dengan orang, tidak pernah It-sik-sin-kai menaruh tikar bututnya.

   Sekali ini di luar biasanya ia tinggalkan tikar butut, suatu tanda dia sangat prihatin terhadap pertarungan yang akan terjadi.

   Menyaksikan pengemis tua itu masuk ke pagoda, hati Kiam-eng merasa kurang tentram, ia merasa membebaskan Ih-Keh-ki adalah kewajibannya sendiri, biarpun harus terjun ke lautan api atau masuk air mendidih seyogianya dilakukan olehnya, namun dia juga sungkan berbantah dengan It-sik-sin-kai, sebab pengemis tua itu adalah tokoh yang sama tingginya dengan gurunya, pula dia pernah dikalahkan orang berkedok hijau itu, jika orang tua itu tidak dibiarkan maju dulu akan berarti memandang rendah padanya dan hal ini tentu takkan dilakukan olehnya.

   Lantaran itulah Su-Kiam-eng hanya diam-diam berdoa saja dengan harapan pengemis tua itu dapat kembali dengan selamat, apakah berhasil menolong Ih-Keh-ki atau tidak menjadi urusan kedua malah.

   Ia coba menengadah, dilihatnya si orang berkedok hijau masih memondong Keh-ki dan berada di depan jendela, ia pikir selama beberapa hari ini si nona tentu kenyang menderita, ia coba berseru.

   "Keh-ki, adakah engkau mengalami cedera?"

   Keh-ki diam saja berada dalam pondongan orang, tidak memberontak juga tidak menjawab. Kiam-eng tahu si nona tentu tertutuk hiat-to bisu dan kelumpuhannya, maka tidak dapat bicara dan juga tidak dapat bergerak. Ia coba tanya si orang berkedok hijau.

   "Hei, bukalah hiat-to bisunya, biar dia bicara denganku, boleh?"

   "Apa yang ingin kau bicarakan dengan dia?"

   Tanya si orang berkedok hijau.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Kiam-eng juga sengaja hendak main ulur waktu dan memancarkan perhatian lawan, supaya It-sik-sin-kai ada kesempatan untuk menyergapnya, maka dengan tersenyum ia menjawab.

   "Asalkan kau buka hiat-to bisunya tentu akan tahu apa yang akan kami bicarakan kenapa mesti tanya lagi?"

   "Hehe, kamu sangat suka kepada nona Ih ini bukan?"

   Tanya pula orang itu dengan terkekeh.

   "Peduli apa kau tanya macam-macam?"

   Jengek Kiam-eng. Si orang berkedok hijau tertawa.

   "Meski aku bukan comblang, senang juga bila aku lihat pasangan kekasih berhasil menjadi suami-istri. Jika kamu benar suka kepada nona Ih ini, segera juga aku lempar mengembalikannya padamu."

   Diam-diam Kiam-eng terkejut dan kuatir, ucapnya.

   "Biar aku katakan padamu, dia itu cucu angkat Kiam-ong Ciong-Li-cin, jika sampai kau bikin susah dia, tentu nanti Kiam-ong tidak tinggal diam."

   "Hahahaha!"

   Orang itu tergelak.

   "Kiam-ong Ciong-Li-cin itu terhitung barang apa, masakah hendak kau gunakan namanya untuk menggertak padaku?"

   "Hm, kung-fu mu memang hebat, tapi hanya pandai membikin susah seorang nona, terhitung orang gagah macam apa itu?"

   Jengek Kiam-eng.

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, benar juga ucapanmu, biar aku lemparkan kembali nona Ih ini kepadamu,"

   Seru si orang berkedok dengan tertawa.

   Habis berkata, kedua tangannya mendorong ke luar dan Ih-Keh-ki benar-benar dilemparkannya.

   Tenaga lemparannya cukup kuat sehingga tubuh Ih-Keh-ki yang terlempar ke luar pagoda itu serupa panah yang terlepas dari busurnya, dengan cepat meluncur ke hutan di belakang Su-Kiam-eng berdiri sana.

   Seorang biasa tanpa cedera pun kalau dilemparkan dari ketinggian seperti itu pasti juga akan terbanting mampus apalagi seorang yang hiat-to tertutuk dan tak bisa berkutik, kalau tidak cepat ditangkap tubuhnya, mustahil takkan terbanting hancur.

   Karena itulah Kiam-eng sangat terkejut ia menjerit kuatir dan secepat kilat melayang ke sana.

   Pada saat itulah terdengar suara bentakan It-sik-sin-kai di atas pagoda, menyusul terdengar pula suara tertawa panjang si orang berkedok hijau, nyata si pengemis tua sudah memburu sampai di atas pagoda dan mulai bergebrak dengan lawan.

   Namun yang paling mendebarkan hati adalah si pihak Su-Kiam-eng sini, lantaran Ih-Keh-ki dilemparkan dari tempat ketinggian dan jelas daya luncurnya sangat cepat, maka Kiam-eng tidak sanggup sekali loncat mencapai tempat Ih-Keh-ki akan jatuh itu, maka baru saja ia memburu sampai setengah jalan sudah terdengar suara "bluk"

   Yang keras, nyata Ih-Keh-ki sudah terbanting ke tanah, Di tanah pegunungan itu banyak batu yang tidak rata dan tajam, maka akibatnya dapat dibayangkan.

   Kiam-eng menjerit, hancur luluh hatinya.

   Ia menubruk ke samping Ih-Keh-ki dan dirangkulnya erat-erat sambil meratap.

   "Keh-ki! O, Keh-ki!"

   Tapi cuma dua kali saja ia berteriak dan mendadak ia berhenti dengan melongo.

   Ternyata orang yang berada dalam pangkuannya itu meski sudah terbanting hancur, jelas sudah mati, namun sekali pandang saja Kiam-eng lantas mengenalnya bahwa nona ini bukanlah Ih-Keh-ki melainkan seorang gadis suku bangsa setempat yang memakai baju Ih-Keh-ki.

   Hati Kiam-eng rada lega setelah mengetahui korban itu bukan Ih-Keh-ki.

   Ia tahu telah tertipu oleh akal si orang berkedok yang ingin memancingnya meninggalkan kawannya.

   Ia pun menyadari It-sik-sin-kai tentu juga akan menghadapi bahaya, maka tanpa ayal ia taruh mayat gadis itu dan putar balik ke arah pagoda tadi.

   Tak terduga, baru saja ia sampai di bawah pagoda, dilihatnya It-sik-sin-kai sedang datang dari depan, ia terkejut dan heran, cepat ia berhenti dan tanya.

   "Hai, Ang-pang-cu tidak menyusul dia?"

   "Tidak, dia sempat kabur,"

   Tutur si pengemis tua sambil menggeleng kepala. Kiam-eng memandang ke atas pagoda dengan bingung, ucapnya kemudian.

   "Pagoda setinggi ini, cara

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ bagaimana dia dapat kabur?"

   "Ia menggunakan gin-kang maha tinggi dan melayang ke luar melalui jendela, ketika aku susul kemari sudah ketinggalan ..."

   Tutur si pengemis tua dengan lesu. Lalu ia tanya dengan kuatir.

   "Bagaimana keadaan nona Ih itu?"

   "Dia bukan nona Ih melainkan seorang gadis suku setempat, ia hanya memakai baju nona Ih,"

   Tutur Kiam-eng.

   "Oo, apa maksudnya keparat itu main gila cara begini?"

   Ucap It-sik-sin-kai dengan melengak.

   "Semula aku sangka orang itu pasti memasang perangkap di dalam pagoda, sekarang Ang-pang-cu ternyata tidak mengalami sesuatu bahaya, mungkin yang akan celaka adalah Sam-bi-sin-ong malah ..."

   "Ya, betul, Pek-li-Pin mungkin akan disergap mari lekas kita kembali ke sana,"

   Seru si pengemis itu.

   Habis bicara segera ia mendahului lari ke tempat reruntuhan tadi.

   Kiam-eng segera menyusul dengan kencang hanya sekejap saja mereka sudah berada kembali di tempat reruntuhan tadi.

   Terlihat Sam-bi-sin-ong masih berjaga ketat di depan Kalina dengan memegang tongkat kepala ular, namun Sai-hoa-to yang semula rebah di sebelahnya kini sudah tidak tampak lagi.

   Di udara situ masih mengepul asap hitam yang cukup tebal, jelas baru saja terjadi pertarungan sengit di situ.

   Melihat It-sik-sin-kai dan Su-Kiam-eng sudah kembali, Sam-bi-sin-ong tampak merasa lega, dengan gembira dan juga kikuk ia berkata.

   "Ang-heng, sekali ini aku kehilangan orang yang kalian percayakan padaku."

   It-sik-sin-kai sudah dapat menerka apa yang terjadi, tanyanya.

   "Sai-hoa-to telah dibawa lari mereka, begitu maksudmu?"

   "Betul, tidak lama sesudah kalian pergi, ke tiga pedang emas, perak dan baja itu lantas datang. Langsung aku ledakkan Yan-mo-tan untuk melindungi nona Kalina, siapa juga sasaran mereka bukanlah nona ini melainkan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho. Ketika aku tahu maksud tujuan mereka, namun sudah nasib, Sai-hoa-to sudah dibawa kabur."

   "Keparat,"

   Umpat It-sik-sin-kai dengan gemas.

   "Orang berkedok hijau itu memang pandai mengikat sahabat, dengan ditolongnya Sai-hoa-to ini, jelas selanjutnya dia akan bekerja sepenuh tenaga untuk keparat itu."

   "Hm, tahu begini, seharusnya sekali kita hantam mampus dia tadi, sekarang kita berbalik tambah seorang musuh malah,"

   Ujar Kiam-eng.

   "Adakah kalian melihat nona Ih?"

   Tanya Sam-bi-sin-ong.

   "Tidak,"

   Tutur Kiam-eng.

   "Si orang berkedok memperalat nona Ih untuk memancing kepergian kami dari sini tujuannya justru ingin menolong Sai-hoa-to ...

   "

   Lalu ia ceritakan apa yang terjadi tadi. Air muka Sam-bi-sin-ong tampak prihatin, katanya.

   "jika begitu, sekarang si orang berkedok hijau telah bertambah seorang pembantu Sai-hoa-to, kekuatannya sudah jauh di atas kita, tentu dia akan menghadapi kita secara terbuka."

   "Betul, maka kita harus lekas memikirkan cara bagaimana menghadapi mereka,"

   Ujar Kiam-eng. Sam-bi-sin-ong termenung sejenak, katanya.

   "Cara yang terbaik adalah menghindari pengintaian mereka, posisi kita dari terang berubah menjadi gelap."

   It-sik-sin-kai mengangguk setuju.

   "Ya, untuk sementara ini terpaksa begitu, tetapi cara bagaimana supaya kita dapat melepaskan penguntitan mereka?"

   "Ke tiga anak buahnya sekarang mungkin sedang membawa Sai-hoa-to untuk menemui bosnya, pada kesempatan ini hendaknya lekas kita mencari suatu tempat sembunyi,"

   Ucap Sam-bi-sin-ong.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Bagus, di sini banyak bangunan terpisah, biarlah kita sembunyi di dalam salah sebuah kuil,"

   Kata pengemis tua.

   Setelah mengambil keputusan, diam-diam mereka meninggalkan reruntuhan puing dan menemukan sebuah kuil yang dikelilingi pepohonan, di situlah mereka sembunyi.

   Kuil itu seluruhnya terkurung oleh pepohonan tua dan lebat dan hampir tidak tertembus cahaya rembulan.

   Sebab itulah di dalam kuil gelap gulita segala apa pun tidak terlihat.

   Untung di dalam kuil tidak bersembunyi binatang buas, mereka lantas duduk di ruangan tengah lantai terasa basah dan berbau tidak enak.

   Kalina bersandar erat di samping Su-Kiam-eng katanya dengan takut.

   "Apakah kita akan sembunyi terus di sini?"

   "Tidak,"

   Bisik Kiam-eng.

   "Sesudah hari terang segera kita tinggalkan tempat ini."

   "Mencari Jian-lian-hok-leng?"

   Tanya Kalina pula lirih. Kiam-eng mengangguk.

   "Sesudah menemukan Jian-lian-hok-leng segera kita tinggalkan tempat ini?"

   Kata Kalina.

   "Baik, sekarang lekas kau tidur saja,"

   Jawab Kiam eng.

   "Aku tidak dapat tidur,"

   Ucap Kalina manja.

   "Apakah kamu sangat takut?"

   Tanya Kiam-eng tertawa. Kalina menggeleng.

   "Tidak, berada di sampingmu, apa pun aku tidak takut."

   Setelah berpikir, Kiam-eng tanya pula.

   "Pada waktu siang hari, sendirian kau berani sembunyi di sini atau tidak?"

   "Mengapa harus sembunyi sendirian di sini."

   Tanya Kalina malah.

   "Soalnya besok juga kami akan pergi mencari Jian-lian-hok-leng itu, sangat mungkin akan aku pergoki si orang berkedok hijau itu, sekarang mereka bertiga dan pihak kita cuma bertiga yang mahir ilmu silat, bilamana bertempur, mungkin sukar melindungi keamananmu."

   Chapter 17. Rahasia 180 Patung Mas "Baiklah, biar aku tinggal saja di kuil ini,"

   Kalina mengangguk.

   "Paling lambat kami akan pulang pada waktu hari mulai gelap, maka jangan kamu sembarangan ke luar,"

   Pesan Kiam-eng.

   "Ya, aku tahu, engkau jangan kuatir,"

   Jawab Kalina. Kiam-eng merasa si nona sangat penurut diam-diam timbul rasa suka nya, ia coba pegang tangan si nona yang halus itu, ucapnya lembut.

   "Sekarang jangan bicara lagi, tidurlah sebaiknya."

   Kalina bersuara perlahan dan sekalian menjatuhkan diri ke dalam pangkuan anak muda itu ...

   Setengah malaman itu berlalu tanpa terjadi sesuatu.

   Malam gelap berganti remang fajar lagi, samar-samar keadaan sekitar kuil tempat mereka bermalam ini sudah mulai tampak.

   Bagian belakang kuil terlihat rada luas, yang dipuja di atas altar adalah patung yang duduk dengan badan telanjang kecuali patung ini tidak ada benda lain lagi dalam kuil ini.

   Melihat kotoran lembab yang tebal memenuhi lantai, jelas segala benda yang menghias kuil ini dahulu sudah lapuk semua menjadi tanah.

   It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong semalaman hanya duduk semadi, ketika terdengar suara kicau burung dari luar kuil baru diketahui hari sudah menjelang pagi.

   Keduanya serentak membuka mata bersama.

   Sekilas mereka melihat patung yang dipuja di kuil ini, serentak mereka melompat bangun ke sana untuk meraba badan patung, air muka yang semula menampilkan rasa girang dan bersemangat itu seketika

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ buyar lagi dengan rasa kecewa.

   "Hm, kembali patung batu ..."

   Gumam mereka kesal. Si pengemis tua mengulet kemalasan dan berdiri katanya.

   "Pek-li-Pin, mungkin pada waktu tidur pun selalu kau pikirkan ke-180 patung emas itu?"

   "Memangnya Ang-heng sendiri tidak ingin melihat patung-patung emas itu?"

   Jawab Sam-bi-sin-ong dengan menyengir.

   "Sudah tentu aku pun ingin tahu cuma tidak ada niatku untuk berebut dan memilikinya,"

   Ujar pengemis tua.

   "Jiwa luhur Ang-heng sungguh aku harus mengaku malu dan tidak sanggup mengikuti namun setiap benda di kota kuno ini kan tidak ada pemiliknya, apa salahnya jika kita mengambilnya?"

   It-sik sin-kai tidak ingin banyak omong dengan dia, ucapnya dengan tertawa.

   "Betul juga ucapanmu. Cuma semalam sudah aku pikirkan dengan masak, aku kira ke-180 buah patung emas dan kuil yang dibangun dengan emas itu sangat mungkin sudah diusung pergi oleh orang."

   "Berdasarkan apa Ang-heng berpikir begitu?"

   Tanya Sam-bi-sin-ong.

   "Sangat sederhana,"

   Tutur it-sik-sin-kai.

   "Orang berkedok hijau itu mengaku sebagai Raja Rimba, ini menandakan dia adalah kelahiran dan dibesarkan di tempat ini. Kau percaya tidak pada hal ini?"

   "Tidak, dia dan ke tiga anak buahnya itu jelas orang dari Tiong-goan,"

   Jawab Sam-bi-sin-ong sambil menggeleng.

   "Itu dia, kalau benar mereka orang Tiong-goan pula pada waktu Gak-Sik-lam datang kemari mereka sudah berkeliaran di sini, setelah mengalami waktu sekian lama, biarpun seluruh benteng kuno ini terbangun dari emas tentu juga sudah mereka boyong hingga bersih."

   "Hahh, masa bisa jadi begitu?"

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sam-bi-sin-ong melengong.

   "Memangnya kau kira takkan terjadi begitu?"

   Ujar si pengemis tua. Sam-bi-sin-ong mondar-mandir dengan gelisah akhirnya ia menggeleng kepala dan berkata.

   "Tidak tidak mungkin ...

   "

   "Tidak mungkin bagaimana?"

   Tanya si pengemis tua dengan tertawa.

   "Aku yakin patung emas itu masih berada di benteng kuno ini,"

   Ucap Sam-bi-sin-ong dengan pasti.

   "Apa dasarnya, coba ingin aku dengar pendapatmu?"

   Kata pengemis tua.

   "Dalil ini sangat sederhana. Apabila segenap emas di sini sudah diangkut pergi oleh si orang berkedok hijau buat apa lagi ia tetap tinggal di sini?"

   "Tujuannya tinggal di sini merintangi Su-lau-te yang hendak mengambil Jian-lian-hok-leng itu,"

   Ujar It-sik-sin-kai. Tapi Jian-lian-hok-leng itu akan disembunyikan di dalam salah sebuah daripada ke-180 patung emas itu?"

   Sampai di sini Sam-bi-sin-ong berpaling dan tanya Kiam-eng.

   "Betul tidak, Su-lau-te?"

   "Betul, dari mana kau tahu?"

   Jawab Kiam-eng.

   "Pernah aku dengar dirimu,"

   Kata Sam-bi-sin-ong.

   "Apa betul? Seingatku tidak pernah aku beritahukan kepadamu?"

   Ujar Kiam-eng dengan tercengang. Sam-bi-sin-ong angkat dan berucap.

   "Tempo hari waktu kau bicara dengan nona Ih, diam-diam aku sembunyi dan mendengarkan di dekat kalian."

   "Oo, kiranya begitu, mungkin mengenai Jian-lian-hok-leng itu disembunyikan di dalam patung ke berapa juga sudah kau ketahui?"

   Kata Kiam-eng.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Sam-bi-sin-ong menggeleng dengan tertawa jawabnya.

   "Wah, itu sih tidak aku ketahui. Cuma tujuanku tidak terletak pada Jian-lian-hok-leng, hendaknya kamu jangan kuatir."

   Lalu ia berpaling dan berkata kepada It-sik-sin-kai.

   "Nah, dalilku ini cukup untuk membantah dugaanmu tadi atau tidak?"

   "Belum cukup, sebab si orang berkedok belum tentu tahu Jian-lian-hok-leng disembunyikan di dalam salah sebuah patung emas."

   Kata si pengemis tua. Sam-bi-sin-ong melengak.

   "Oo, makanya dia tidak rela meninggalkan benteng kuno ini?"

   "Begitulah sedangkan tujuannya menculik nona Ih justru hendak menunggu kalau Su-lau-te sudah menemukan Jian-lian-hok-leng nanti, dengan ancaman akan membunuh nona Ih, Su-lau-te hendak dipaksa menyerahkan bahan obat mujijat itu."

   "Wah, jika begitu, kita justru dapat berlagak hendak mencari patung emas itu secara terang-terangan,"

   Gumam Sam-bi-sin-ong.

   "Biarpun begitu, tentu orang itu pun dapat berpikir bilamana kita bertiga dapat dibunuh, tentu akan jauh lebih baik daripada memaksa Su-lau-te menyerahkan Jian-lian-hok-leng, sebab orang yang sudah terbunuh pun takkan menimbulkan lagi bencana di kemudian hari."

   "Menurut pendapatmu, lalu cara bagaimana harus bertindak?"

   Tanya Sam-bi-sin-ong.

   "Menurut perkiraanku, tentang ke-180 patung emas itu sudah diangkut pergi oleh si orang berkedok atau belum, ini memang belum jelas. Maka kita tidak boleh tinggal diam dan harus tetap melacaknya, adapun cara mencarinya tetap harus lakukan secara diam-diam di luar tahu lawan."

   "Cara bagaimana supaya tidak dilihat lawan?"

   Tanya Sam-bi-sin-ong.

   "Kita bertiga boleh mencarinya secara berpencar dan sedapatnya jangan sampai diketahui musuh. Kota kuno ini sangat luas, pula lebat dengan pepohonan, sedangkan pihak lawan cuma ada lima orang, asalkan kita berlaku sedikit cerdik, belum tentu lawan akan dapat menemukan kita,"

   Bicara sampai di sini si pengemis tua berpaling dan tanya Kiam-eng.

   "Bagaimana pendapatmu, Su-lau-te?"

   Yang paling dikuatirkan Su-Kiam-eng sekarang adalah tentang kebenaran ke-180 patung emas yang mungkin sudah diangkut pergi oleh si orang berkedok hijau itu, soal cara bagaimana bertindak dan bahaya yang akan dihadapi tidaklah membuatnya gentar.

   Maka ia mengangguk dan menjawab.

   "Baiklah, biar kita mencarinya secara terpencar apakah akan berhasil atau tidak, paling lambat saat magrib besok kita tetap berkumpul lagi di sini."

   Selesai mengambil keputusan, mereka berempat lantas makan kenyang babi panggang yang masih ada, setelah Kiam-eng memberi pesan lagi seperlunya kepada Kalina, lalu mereka bertiga mengulur ke luar dari kuil itu dari tiga buah pintu yang tidak sama.

   Karena fajar baru saja, menyingsing, di luar kuil masih diliputi kabut yang tebal.

   Setelah keluar dari kuil itu, dengan cepat Kiam-eng menyusup ke dalam hutan dan berjongkok di tengah semak-semak untuk mendengarkan dengan cermat, setelah tidak mendengar sesuatu suara yang mencurigakan barulah ia meloncat ke atas pohon.

   Ia merasa untuk menghindarkan mata-telinga musuh, cara terbaik adalah menggunakan rerimbunan hutan itu untuk menutupi gerak-geriknya.

   Serupa kera saja manjat pohon dan melayang dari satu pohon ke pohon yang lain.

   Ketika melompat ke atas pohon tadi sekilas terpikir olehnya.

   "Ah, kenapa tidak aku gunakan daun pohon untuk menutupi tubuhku, jika berjalan di tanah datar juga tidak mudah diketahui musuh."

   Berpikir begitu, ia lantas menebas beberapa ranting pohon berdaun dan digunakan untuk mengelilingi tubuhnya, lalu dibedolnya akar-akaran untuk menutup kepala dan kaki, hanya sebentar saja ia sudah berubah bentuk serupa orang liar.

   Kemudian ia mulai merenung, ke mana sekiranya dia harus melacak? Ke-180 buah patung emas itu bukanlah benda kecil, semalam dia sudah banyak menjelajahi berbagai tempat dan belum menemukan sebuah patung pun.

   Jika patung-patung itu masih berada di kota kuno ini, tentu terbayang di dalam kuil atau di dalam pagoda.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Jika demikian halnya, lantas kuil atau pagoda mana yang besar kemungkinan dijadikan tempat penyimpanan patung emas sebanyak itu? Teringat olehnya kuil yang ditemuinya pertama semalam itulah bangunan terbesar di benteng kuno ini, sangat mungkin ke-180 patung emas itu terletak di kuil itu.

   Berpikir sampai di sini, segera Kiam-eng melompat jauh ke sana dan langsung menuju ke kuil yang dimaksud.

   Setiap kali ia melintasi sebatang pohon tentu dia berhenti untuk mendengarkan dengan cermat, ketika yakin di sekitarnya tidak ada musuh dan bila ada tiupan angin yang menimbulkan suara gemersik daun barulah ia melayang lagi ke pohon yang lain.

   Akhirnya, dalam keadaan tak diketahui setan sekali pun dia sampai di atas wuwungan kuil raksasa itu.

   Ia mendekam diam di atas wuwungan kuil, setelah yakin pula di sekitarnya tidak ada musuh, selagi ia hendak melompat turun melalui ruang terbuka di halaman tengah, tiba-tiba terdengar suara orang bicara berkumandang dari depan kuil sana.

   "Haha, Lo-toa, meski kita tidak memegang pita, akhirnya kita pun dapat mencapai benteng emas ini! "Memang, coba kau lihat bangunan raksasa ini, sesungguhnya sebuah puri atau sebuah kuil?"

   Tergetar hati Kiam-eng, tanpa melihat pun ia tahu itulah Kui-kok-ji-bu-siang.

   Ia coba merambat ke tepi atap kuil dan mengintip ke bawah, terlihat kedua setan kayu dan lempung itu berdiri berjajar di tanah rumput di depan kuil besar itu dan sedang memandang kemegahan bangunan kuno ini dengan tercengang.

   Saat itu terdengar si setan lempung sedang bicara, Sungguh aneh, kalau dibilang sebuah puri, mengapa tidak ada tembok sekitar.

   Kalau dikatakan kuil, ternyata di sekitar sini ada parit pelindung puri."

   Diam-diam Kiam-eng merasa geli oleh komentar orang dogol itu, sebab apa yang dikatakan si setan lempung sekarang serupa benar dengan apa yang diucapkan It-sik-sin-kai kemarin. Tertampak si setan kayu tepekur sejenak, lalu berkata.

   "Ya, juga sangat aneh benteng kuno ini disebut kota emas, padahal, coba kau lihat, bangunan ini kan dibuat dari batu belaka!"

   "Betul,"

   Ujar si setan lempung.

   "cuma apa yang disebut kota emas kan tidak mesti terbuat dari emas seluruhnya. Yang kita lihat sekarang baru bangunan besar ini bisa jadi masih ada kuil dan ke-180 patung besar yang terbuat dari emas murni siapa tahu?"

   "Eh, bagaimana kalau kita coba masuk ke sana untuk melihat keadaannya,"

   Kata si setan kayu.

   "Baiklah, mari kita masuk ke sana,"

   Si setan lempung mengangguk setuju.

   Bicara sampai di sini mereka lantas melangkah maju bersama melintas sebidang tanah berumput dan mulai mendaki undak-undakan kuil menuju ke pintu depan.

   Diam-diam Kiam-eng merasa senang melihat mereka masuk melalui pintu besar, ia pikir kedua setan dogol itu belum tahu adanya seorang yang menamakan dirinya sebagai "raja rimba"

   Sekarang mereka masuk begitu saja, jika kebetulan si orang berkedok hijau dan anak buahnya berada di dalam kuil, maka pasti akan terjadi pertarungan pendahuluan.

   Selagi berpikir, sekonyong-konyong terdengar si setan lempung menjerit kaget.

   Lalu terlihat kedua orang dogol itu melompat mundur ke luar secepat kilat.

   Ketika sudah hinggap di dekat undak-undakan batu air muka mereka kelihatan kaget dan heran.

   Habis itu empat orang berkedok lantas muncul dari dalam kuil dan berdiri berhadapan dengan Kui-kok-ji-bu-siang.

   Memang tidak salah lagi, ke empat orang berkedok hijau yang menyebut dirinya sebagai "Raja Rimba"

   Beserta ke tiga anak buahnya, yaitu si pedang emas, pedang perak dan pedang baja. Sikap ke empat orang itu tetap garang dan menakutkan.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Ji-bu-siang memandang mereka dengan curiga dan heran, perlahan si setan kayu pulih ketenangannya, tegurnya sambil menatap tajam si orang berkedok hijau.

   "Siapa engkau ini?"

   "Raja Rimba!"

   Jawab orang berkedok hijau itu dengan dingin. Si setan kayu melengak, ucapnya dengan tidak mengerti.

   "Apa artinya raja rimba itu?"

   "Aku menguasai segenap suku bangsa di daerah masih biadab ini dan segala jenis binatang buas, maka disebut raja rimba!"

   "Hehe, maksudmu, kota emas ini pun termasuk dalam wilayah kekuasaanmu?"

   Si setan kayu menegas dengan tertawa.

   "Betul,"

   Si orang berkedok hijau mengangguk.

   "Maka barang siapa sembarangan menerobos ke wilayah kekuasaanku, semuanya harus mati."

   Si setan kayu terkekeh, umpatnya.

   "Kentut busuk makmu! Jika kamu ini raja rimba segala, maka aku pun dapat menyebut diriku sebagai kakek moyangnya rimba ini!"

   Si orang berkedok melangkah maju dua-tiga tindak, ucapnya dengan tertawa seram.

   "Hehe, tampaknya kalian takkan menitikkan air mata sebelum melihat peti mati. Pendek kata tidak perlu banyak bacot lagi, boleh kalian maju saja sekaligus."

   Si setan kayu mengangkat alis, ucapnya dengan tertawa.

   "Hah, memangnya kamu ini ingin melawan kami berdua?"

   "Betul dalam seratus jurus akan aku cabut nyawa tikus kalian berdua!"

   Jengek si orang berkedok hijau.

   "Aha, barangkali kamu belum tahu siapa kami ini ya?"

   Jawab si setan kayu dengan sorot mata tajam.

   "Tidak aku justru kenal kalian ini Kui-kok-ji-bu-siang, betul tidak?"

   Kata si kedok hijau. Seketika lenyap tertawa si setan kayu, katanya terkesiap.

   "Jika begitu, apakah kau tahu bahwa di dunia ini yang mampu mengalahkan kami berdua hanya Kiam-ong Ciong-Li-cin dan Kiam-ho Lok-Cing-hui saja?"

   "Aku tahu,"

   Jawab si kedok hijau.

   "Tapi sebaliknya dalam seribu jurus aku dapat mengalahkan Kiam-ho dan Kiam-ong."

   "Cis, omong kosong,"

   Damprat si setan kayu.

   "Kalau mau membual hendaknya lihat gelagat. Justru murid Kiam-ho yang bernama Su-Kiam-eng sekarang sudah berada di kota emas ini."

   Si kedok hijau terbahak-bahak sambil menengadah.

   "Hahahaha! Aku tahu, tidak cuma Su-Kiam-eng saja, bahkan It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong juga sudah berada di sini. Akan tetapi sekarang mereka justru serupa kura-kura, mengeret dan tidak berani memperlihatkan tampangnya."

   Si setan kayu tergetar, tanyanya dengan terbelalak.

   "Sesungguhnya siapakah anda ini sehingga berani omong besar begini?"

   "Jika kalian Ji-bu-siang tidak percaya aku ini raja rimba, silakan turun tangan dan coba membuka kain penutup mukaku, kenapa mesti banyak bertanya?"

   Kata si orang berkedok hijau.

   "Baik, tapi sebelum turun tangan, ingin aku minta sedikit keterangan lagi,"

   Ucap si setan kayu dengan rada gemetar.

   "Lekas bicara,"

   Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jengek orang berkedok hijau.

   "Jika kau sebut dirimu sebagai raja rimba, tentu kau tahu benar sejarah kota emas ini,"

   Tanya si setan kayu.

   "Nah ingin aku tanya bilakah kota emas ini dibangun dan siapa pendirinya?"

   Kota emas ini semula bernama Uko, dibangun lebih seribu tahun yang lalu oleh orang Kimi, mereka banyak menyerap kebudayaan barat dan mendirikan negara dengan nama Kamboja. Nah, apalagi yang ingin kau tanya?"

   "Kemudian, ke mana perginya penghuni kota kuno ini?"

   Tanya si setan kayu.

   "Hal ini tidak aku ketahui,"

   Jawab orang berkedok sambil menggeleng.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Si setan kayu menuding kuil dan bertanya pula.

   "Menurut pendapatmu, bangunan ini puri atau kuil?"

   "Kuil,"

   Jawab orang berkedok.

   "Kuil tempat upacara."

   "Wah, di dunia ini ternyata ada kuil upacara sebesar ini?"

   Ucap si setan kayu dengan tercengang.

   "Nah, sudah habis belum bicaramu?"

   Tanya si orang berkedok dengan tidak sabar.

   "Belum, ingin aku tanya satu hal lagi,"

   Kata si setan kayu.

   "Apakah benar di kota kuno ini ada 180 buah patung emas dan istana yang dibangun dengan emas murni?"

   "Benar, malah banyak lagi wuwungan kuil yang di hias dengan batu manikam yang tak terkira jumlahnya,"

   Sahut si orang berkedok.

   "Dan semua benda mestika itu telah kau ambil semua?"

   Tanya setan kayu.

   "Betul, sebab aku lah yang pertama menemukan kota kuno ini, maka segala apa yang terdapat di sini adalah milikku,"

   Ucap si orang berkedok tegas.

   "Omong kosong,"

   Seru si setan kayu dengan melotot.

   "Harta karun tanpa tuan, barang siapa melihatnya mendapat bagian. Mana boleh kau kangkangi sebagai milikmu sendiri?"

   "Memangnya kalian juga ingin mendapat bagian?"

   Jengek si orang berkedok hijau.

   "Ya, setelah masuk gunung berharta karun, mana boleh pulang dengan tangan hampa, memang harus kau bagi sedikit kepada kami,"

   Seru si setan kayu.

   "Betul juga ucapanmu, cuma perlu kau tanya dulu apakah tanganku ini setuju atau tidak,"

   Ujar si orang berkedok dengan mengangkat ke dua tangannya. Si setan kayu mendengus, ia berpaling dan berucap kepada saudaranya.

   "Lo-ji, jauh-jauh kita ke sini dengan menghadapi berbagai bahaya, jerih payah kita ini tidak boleh tersia-sia, betul tidak?"

   "Ya, tentu,"

   Sahut si setan lempung.

   "Setiap urusan yang sudah kita campur tangan tidak pernah ditinggalkan setengah jalan. Dengan sendirinya sekali ini juga tidak terkecuali."

   Seketika wajah si setan kayu berubah beringas, ke sepuluh jarinya juga lantas mengeluarkan suara gemertak, ucapnya dengan menyeringai.

   "Jika begitu, marilah kita coba belajar kenal dengan orang yang mengaku sebagai raja rimba ini."

   Sembari bicara ia pun menatap si orang berkedok hijau dan bertanya.

   "Tapi kau bilang seluruh harta karun di kota kuno ini sudah kau temukan jika begitu, mengapa engkau masih tinggal di sini, dan tidak mau angkat kaki?"

   "Boleh juga aku beritahukan padamu,"

   Jawab si orang berkedok.

   "Banyak harta pusaka di kota ini yang telah aku angkat pergi, namun ke-180 patung emas itu lantaran mendadak timbul sesuatu di luar dugaan dan tidak dapat segera aku boyong pergi, maka sejauh ini aku masih tinggal di sini."

   Mendengar bahwa ke-180 patung emas masih berada di kota kuno ini, Ji-bu-siang merasa senang, cepat si setan lempung bertanya.

   "Timbul sesuatu apa di luar dugaan?"

   "Hm, mengapa harus aku beritahukan padamu?"

   Jengek si orang berkedok. Si setan lempung menuding kuil dan bertanya pula.

   "Apakah ke-180 patung emas itu tersimpan di dalam rumah pemujaan itu?"

   "Betul, asalkan kalian mampu membunuhku, tentu dapat kalian memilikinya,"

   Ujar si kedok hijau dengan tertawa. Segera si setan lempung berkata kepada kawannya.

   "Lo-toa, harta pusaka sudah berada di depan mata apa lagi yang kita tunggu?"

   Habis bicara segera ia mulai melangkah maju ke arah si orang berkedok.

   Kiam-eng mendekam di atas wuwungan kuil melihat sampai di sini ia tidak berani mengintip lebih lanjut, sebab ia tahu Ji-bu-siang pasti bukan tandingan si orang berkedok hijau, paling banyak beberapa puluh

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ gebrakan saja Ji-bu-siang pasti akan dilukai kalau tidak terbinasa.

   Padahal kesempatan sekarang sukar dicari lagi, kalau dirinya tidak segera masuk ke dalam kuil untuk mencari patung emas dan mengambil Jian-lian-hok-leng, kelak mungkin tidak ada kesempatan lagi.

   Karena itu, ketika melihat Ji-bu-siang mendekati si orang berkedok, cepat ia menyurut mundur dan coba melongok halaman tengah kuil, terlihat di bawah sana ada sebuah kamar besar, ia membuang ranting pohon dan akar-akaran yang membungkus tubuhnya, pedang dilolos dan segera ia lompat turun.

   Di sekeliling dinding kamar batu itu juga banyak ukiran indah, namun tidak ada sesuatu benda lain, di lantai juga penuh debu tebal, jelas segala alat perabot yang pernah menghias ruangan ini pun kini sudah lapuk dan berubah menjadi debu.

   Karena sejak tadi tidak terlihat munculnya Sai-hoa-to, Kiam-eng menduga si tabib sakti mungkin sembunyi di dalam kuil ini, maka ia tidak berani sembrono, dengan berjingkat ia coba mendekati satu-satunya pintu kamar batu itu.

   Sesudah dekat, ia coba mengintai ke dalam, dilihatnya di balik pintu adalah sebuah serambi panjang, di kedua samping serambi banyak pula pintu batu bentuknya serupa pintu batu di mana ia berdiri sekarang.

   Sebab itulah ia menduga kamar-kamar ini dahulu tentu adalah kamar tidur para padri atau penghuni kuil ini.

   Melihat di serambi panjang itu tidak ada orang segera Kiam-eng menyelinap ke luar, dengan gin-kang yang tinggi ia lari ke bagian dalam kuil itu.

   Sepanjang serambi itu pun penuh kotoran yang lembab, agar tidak meninggalkan jejak, maka ia gunakan gin-kang yang tinggi untuk melayang maju.

   Setelah beberapa puluh meter jauhnya, ia tiba di suatu persimpangan jalan, ia coba celingukan ke kanan dan ke kiri, dilihatnya keadaan sama pula serambi yang panjang dengan kamar yang tak terhitung jumlahnya.

   Diam-diam ia kagum dan gegetun, ia pikir kamar sebanyak ini bilamana dahulu digunakan sebagai kamar tidur kaum padri, maka betapa banyak kawanan padri di kuil ini, mungkin berjumlah dua-tiga ribu orang.

   Ia taksir pendopo kuil ini seyogianya terletak di ujung serambi sebelah kiri, maka ia lantas belok ke kiri.

   Karena dia sudah berada di bagian dalam kuil, maka meski pada waktu siang hari, keadaan serambi situ tetap gelap gulita, setelah ia merambat ratusan langkah, akhirnya sampai juga di ujung serambi itu.

   Namun di situ ia di hadang oleh segundukan batu besar.

   Setelah diperiksa dengan teliti baru diketahui reruntuhan batu besar yang menyumbat ujung serambi itu bukanlah buatan manusia melainkan karena runtuh sendiri karena lamanya.

   Pandangan Kiam-eng perlahan beralih ke atas, terlihatlah di atas runtuhan batu besar setinggi belasan meter itu ada sebuah peluang seperti dapat didaki.

   Segera ia simpan pedangnya, lalu merambat ke atas tumpukan batu, selagi ia hendak melongok ke sebelah sana melalui lubang runtuhan batu itu tiba-tiba terdengar di depan runtuhan batu sebelah sana bunyi suara letusan yang keras disertai kilatan api.

   Ia terkejut dan cepat melompat turun dan menyelinap ke dalam sebuah kamar batu.

   Ia sangka jejaknya sudah diketahui Sai-hoa-to, maka si tabib sakti meledakkan Yan-mo-tan.

   Tapi setelah didengarkan sejenak dan tidak terlihat ada suara lain lagi, diam-diam ia merasa heran.

   Ia ke luar lagi dari kamar batu itu, dilihatnya dari lubang reruntuhan batu bagian atas sana ada gemerdepnya cahaya api serta kepulan asap tipis.

   Ia sangka jangan-jangan memang Sai-hoa-to telah meledakkan Yan-mo-tan di sebelah sana.

   Namun segera ia bantah dugaannya sendiri, sebab warna asap Yan-mo-tan si tabib sakti adalah kuning, sedangkan asap mengepul sekarang serupa asap dapur, jelas bukan asap Yan-mo-tan yang dapat membuat orang pingsan itu.

   Akan tetapi suara letusan tadi jelas pula suara ledakan Yan-mo-tan ...

   Begitulah Kiam-eng menjadi ragu dan termenung bingung, akhirnya ia merambat reruntuhan batu itu untuk melihat apa yang terjadi sesungguhnya di sebelah sana.

   Dengan menahan napas ia mendaki reruntuhan batu lagi dan mengintip ke sebelah, apa yang terlihat membuatnya rada terkesiap pula.

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Ternyata di depan reruntuhan sana adalah sebuah kuil besar.

   Cahaya api itu berasal dari segundukan api unggun di ruang pendopo kuil besar itu.

   Seorang tua dengan sikap tegang tampak berjongkok di samping api unggun, siapa lagi dia kalau bukan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho.

   Orang tua itu sedang menatap sebuah pintu batu di sebrang api unggun sembari menambahi ranting kayu kering pada gundukan api sehingga lidah api selalu dipertahankan dalam ketinggian beberapa meter sehingga pintu batu di baliknya terhalang rapat.

   Sebaliknya dari balik pintu batu tatkala itu juga tampak lagi mengepulkan asap kuning yang tipis.

   Ini membuktikan tadi Sai-hoa-to memang pernah meledakkan sebuah Yan-mo-tan, cuma sasarannya bukan Kiam-eng melainkan "musuh"

   Yang berada di balik pintu batu. Lantas siapakah gerangan yang terkurung di balik pintu batu itu?"

   Mendadak teringat oleh Kiam-eng akan ucapan si orang berkedok hijau bahwa "lantaran timbul sesuatu hal yang tak terduga sehingga ke-180 patung emas belum sempat diangkut pergi itu, mau-tak-mau ia heran dan terkesiap juga sebab kalau si orang berkedok hijau mampu mengalahkan It-sik-sin-kai dengan mudah, apakah mungkin orang yang terkurung di dalam kamar batu itu sekarang memang terlebih lihai daripada si orang berkedok hijau? Dan oleh karena itulah si orang berkedok hijau menyuruh Sai-hoa-to mengurung musuh itu dan meledakkan Yan-mo-tan dengan tujuan agar musuh dibuat pingsan.

   Tengah Kiam-eng berpikir, terlihat Sai-hoa-to mengeluarkan lagi sebuah Yan-mo-tan dan dilemparkan ke dalam kamar batu di depan.

   "Blang,"

   Granat itu meledak, asap kuning total lantas mengepul dari dalam kamar itu.

   Kemudian terlihat Sai-hoa-to merogoh keluar satu kotak kecil seperti tempat obat salep, dengan jari ia colek sedikit salep itu di depan hidung, lalu ia menuju ke kamar batu itu menyongsong asap tebal.

   Melihat si tabib sakti sudah masuk ke kamar batu itu, cepat Kiam-eng pun menerobos lewat ke sana dan melompat turun di ruang pendopo kuil besar itu.

   Ia menahan napas dan merunduk ke samping pintu kamar batu, terlihat asap kuning lebat masih menyelimuti seluruh kamar, ia pikir asap ledakan Yan-mo-tan itu harus dapat buyar sekian lama, padahal napas sendiri tidak dapat ditahan sekian lama, lalu bagaimana baiknya?"

   "Srat-sret-sret"? tiba-tiba terdengar suara gemersek, suara bergesernya sesuatu benda berat timbul dari dalam kamar batu. Jelas orang itu sudah roboh pingsan oleh granat berasap Sai-hoa-to. Pikiran Su-Kiam-eng bekerja dengan cepat, segera ia berdiri mepet dinding di samping pintu, ia siap menyergap Sai-hoa-to selagi. orang tidak berjaga-jaga.

   "Srat-sret-sret,"

   Suara gemersek tadi sudah mendekati pintu besar.

   Segera terlihat ke dua tangan Sai-hoa-to merangkul sesosok makhluk aneh besar, ia melangkah mundur keluar dari batu itu.

   Girang sekali Kiam-eng kesempatan baik itu tidak disia-siakan olehnya, telapak tangan kanan serentak memotong.

   "Plak,"

   Dengan tepat belakang kepala tertusuk dan tubuh terkulai.

   Dan berbareng itu dari tangan Sai-hoa-to juga merosot jatuh ke lantai, ternyata sebuah kepala ular sawa sebesar kepala kerbau.

   Belum pernah Kiam-eng melihat ular sawa sebesar itu, sungguh ia kaget setengah mati, baru sekarang ia paham "sesuatu di luar dugaan"

   Yang dimaksudkan si orang berkedok hijau, rupanya di dalam kamar batu meringkuk seekor ular raksasa sehingga mereka tidak mampu masuk ke situ untuk mengambil ke 180 patung emas, sebab itulah dia menculik Sai-hoa-to dan memaksa tabib sakti itu menaklukkan ular raksasa itu dengan Yan-mo-tan ..."

   "Hanya sekilas saja timbul pikirannya, selagi hendak berjongkok untuk memeriksa apakah ular raksasa itu sudah mati atau masih hidup, tiba-tiba dari belakang bergema suara langkah orang. Tidak menoleh pun ia tahu pasti si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya telah pulang. Cepat Kiam-eng mengangkat Sai-hoa-to dan dilemparkan ke dalam kamar batu, lalu ular sawa raksasa pun diseret ke dalam. Lantaran di dalam kamar masih penuh asap kuning maka bila sembunyi di situ

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ untuk sementara tentu dapat mengelabui mata telinga si orang berkedok hijau.

   Dan baru saja ia seret ular sawa itu ke dalam kamar, langkah ke tiga orang sudah terdengar di luar pintu.

   Namun tanpa gugup ia mendekati Sai-hoa-to lagi, ia rogoh keluar sebuah kotak kecil dari baju tabib sakti itu, ia buka tutup kotak dan coba dicolek dengan jari, terasa benar semacam salep, ia tahu salep itu dioles di depan hidung berarti tidak takut lagi akan pingsan terkena asap beracun.

   Cepat ia gosok salep itu di bawah hidung dan terasa nyaman, maka tanpa kuatir lagi bernapas dengan leluasa.

   Pada saat itulah terdengar suara si orang berkedok hijau berteriak di luar.

   "Hai, Sim-Tiong-ho sudah berhasil belum?"

   Kiam-eng menirukan suara Sai-hoa- to dan menjawab.

   "Belum, awas, kalian jangan masuk dulu!"

   Sembari berbicara ia pun mulai meraba-raba di dalam kamar dengan harapan sebelum dipergoki musuh akan dapat menemukan patung emas dan mendapatkan Jian-lian-hok-leng. Terdengar orang berkedok hijau lagi bertanya.

   "Apakah ular raksasa itu gentar terhadap granat berbisamu?"

   "Entah,"

   Jawab Kiam-eng tetap menirukan suara Sai-hoa-to.

   "Setelah aku ledakkan granat ke dua, lalu tidak terdengar lagi suaranya ...

   "

   "Hendak hati-hati, semburan hawa berbisa sawa itu sangat lihai,"

   
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ujar si orang berkedok hijau.

   "Ya, aku tahu ... aduhh!"

   Si orang berkedok hijau terkejut mendengar suara jeritannya, cepat ia tanya.

   "Hei, ada apa?"

   Sembari meraba Kiam-eng menjawab.

   "aku ... aku tersembur hawa berbisanya?"

   "Wah, celaka, lekas kau keluarkan!"

   Seru si orang berkedok.

   Kiam-eng tidak menjawab lagi, sebab ia telah berhasil meraba sebuah patung.

   Saking senangnya sampai tangan Kiam-eng rada gemetar.

   Terasa patung emas yang tersentuh tangannya itu keras lagi lembab dan dingin, tingginya antara tujuh kaki, sekujur badan patung tidak mengenakan sesuatu, hanya tangan patung memegang sebatang pedang dengan gaya terangkat ke atas.

   Ya, dia masih ingat, ke-180 patung itu tidak cuma terbuat dari emas murni, tapi semuanya punya sikap sendiri dan mencakup sejurus pelajaran ilmu pedang sakti.

   Dengan sendirinya yang membuatnya kegirangan bukanlah nilai patung emas dan berharganya ilmu pedang itu melainkan karena merasa jerih payah perjalanannya yang jauh ini tidak sia-sia dan Jian-lian-hok-leng itu selekasnya akan ditemukannya.

   Jian-lian-hok-leng itu tersembunyi dalam tubuh patung emas ke-14.

   Akan tetapi di manakah letak patung emas ke-14 itu? Dan patung emas yang dapat dipegangnya sekarang ini patung yang ke berapa? Bila asap kuning itu sudah buyar, berbareng itu jejak dirinya pasti juga akan diketahui oleh si orang berkedok.

   Tatkala itu biarpun dirinya dapat mengambil Jian-lian-hok-leng juga sukar lolos dari kerubutan lawan.

   Pikiran demikian baru saja terbayang olehnya segera terdengar si orang berkedok lagi berteriak pula di luar.

   "Sim-Tiong-ho, bagaimana, Sim-Tiong-ho?"

   Kiam-eng mengambil keputusan takkan menjawab agar pihak lawan menyangsikan dirinya telah mati kena semburan racun ular, dengan begitu pihak lawan tentu akan jeri terhadap keganasan racun ular dan tidak berani sembarangan menerobos ke dalam.

   Terdengar lagi suara teriakan di luar.

   "Sim-Tiong-ho, bagaimana kamu di situ?"

   Lalu seorang anak

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ buahnya berkata.

   "Su-hu, aku kira dia sudah mampus?!"

   "Tidak, aku dengar dia masih bernapas dengan baik!"

   Kata si orang berkedok.

   "Oo, jika begitu mungkin dia cuma pingsan keracunan dan belum putus napas."

   "Juga tidak, setiap orang yang pingsan kena racun napasnya tentu cekak dan memburu, namun aku dengar suara napasnya sangat normal."

   Kiam-eng terkesiap, ia pikir pihak lawan ternyata dapat mendengar suara napasnya dengan jelas, bahkan dapat menganalisa keadaannya dari suara napasnya kemahiran ini sungguh sangat mengejutkan.

   Segera Kiam-eng bernapas dengan cekak dan berlagak ngos-ngosan, berbareng ia terus meraba kian kemari dengan harapan dapat mengetahui jelas keadaan barisan ke-180 patung emas itu, dengan begitu mungkin akan menjadi jelas tempat letak patung emas ke-14 yang dicarinya itu.

   "Eh, suara napasnya berubah?!"

   Terdengar si orang berkedok bergumam.

   "Berubah bagaimana, Su-hu?"

   Tanya seorang anak buahnya.

   "Ya, berubah memburu dan cekak."

   "Jika begitu, mungkin racun ular telah menyerang jantungnya!"

   "Tidak, meski ada tanda keracunan dari suara napasnya itu, namun dia masih terus berkeliaran di dalam kamar batu itu. Hm ...

   "

   Setelah mendengus, lalu si orang berkedok berteriak "Sim-Tiong-ho, kamu sedang main gila di situ?"

   Kiam-eng tidak memperdulikannya, ia terus meraba dan mencari di dalam kamar batu, sudah 12 patung emas telah dirabanya dan dirasakan setiap patung emas bergaya tidak sama, namun semuanya terletak di kaki dinding kamar.

   Hal ini merupakan semacam tanda menyenangkan baginya, sebab kalau patung emas itu terbaris di kaki dinding, asalkan dia sudah jelas meraba keadaan kamar itu, akhirnya dia dapat memperkirakan patung mana yang nomor satu dan patung emas yang nomor 14.

   Yang membuatnya agak cemas adalah asap tebal kuning di dalam kamar itu kini telah mulai menipis.

   Rupanya orang berkedok hijau itu sangat marah karena tidak mendapat jawaban Sai-hoa-to, kembali ia terkekeh dan mengancam "Sim-Tiong-ho, semalam kamu baru saja bersumpah akan bekerja dan setia padaku sekarang kamu sudah mulai berkhianat.

   Hehe, mungkin kau kira ada kesempatan bagimu untuk mengangkangi sendiri ke 180 patung emas di dalam kamar itu? Huh, biar aku katakan padamu, Kui-kok-ji-bu-siang baru saja aku celakai dengan pukulan maut, paling lama setengah jam lagi jiwa mereka pasti akan melayang.

   Maka tidak ada seorang pun mampu membuat diriku pergi dari sini.

   Padahal kamu sendiri sekarang berada di dalam ruangan batu ini dan tiada jalan ke luar lain, maka hari ini sudah pasti kamu akan mampus di sini."

   Kiam-eng tetap diam saja menggubrisnya.

   Tapi tiba-tiba teringat olehnya ada kemungkinan masih ada sisa granat berasap pada Sai-hoa-to.

   Maka cepat ia putar balik lagi ke samping Sai-hoa-to dan coba meraba bajunya, benar juga ditemukan empat buah granat berasap.

   Tentu saja ia sangat girang, ia pikir asap beracun setiap granat itu dapat bertahan antara seperempat jam dengan empat buah granat ini ditambah lagi tiga buah Yan-mo-tan pemberian Sam-bi-sin-ong berarti dapat bertahan lebih dari satu jam.

   Sedangkan dalam waktu satu jam lebih ini dirinya tentu dapat menemukan Jian-lian-hok-leng, kemudian ia dapat meledakkan granat bertabir asap milik Sam-bi-sin-ong itu untuk meloloskan diri dan mungkin ada harapan untuk menyelamatkan diri melalui lubang tumpukan batu tadi.

   Berpikir sampai di sini, segera ia melemparkan sebuah granat pencabut nyawa milik Sai-hoa-to.

   "Blang", di tengah suara ledakan asap kuning tebal kembali menyelimuti seluruh ruang. Tentu saja si orang berkedok hijau sangat gusar, teriaknya.

   "Sim-Tiong-ho, memangnya kau kira aku jeri terhadap granatmu ini?"

   Kiam-eng tetap menirukan suara Sai-hoa-to menjawab.

   "Hahaha, mungkin benar kamu tidak jeri tapi jangan lupa, di sini masih ada seekor ular raksasa!"

   

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ "Huh, kalau ular raksasa itu tidak terbius pingsan oleh granatmu, memangnya kamu berani masuk ke situ?"

   Jengek si orang berkedok.

   "Betul, tadi ular itu memang pernah terbius pingsan, tapi sekarang sudah aku buat ular ini siuman kembali,"

   Ucap Kiam-eng dengan tertawa. Agaknya si orang berkedok sangat jeri terhadap ular sawa raksasa itu, ia mendengus.

   "Hm, jika benar begitu, mengapa tidak kau lepaskan dia keluar?"

   "Soalnya belum tiba waktunya."

   Kata Kiam-eng.

   "Memangnya apa yang kau tunggu?"

   Tanya si orang berkedok hijau.

   "Tunggu nanti kalau sudah apal aku pelajari jurus ilmu pedang dari ke-180 patung emas ini barulah akan aku suruh ular ini menyerang kalian,"

   Jawab Kiam-eng.

   "Hm, kiranya tujuanmu adalah ilmu pedang sakti itu?"

   Jengek si orang berkedok.

   "Betul, sesudah berhasil aku pahami ilmu pedang itu, tanpa bantuan ular raksasa ini aku yakin dapat mengalahkanmu."

   "Hehe, jangan kamu mimpi!"

   Si orang berkedok terkekeh murka.

   "Betapa ajaib ilmu pedang itu, sudah setahun aku pelajari pun belum berhasil memangnya kamu Sai-hoa-to mampu?"

   Sebenarnya Su-Kiam-eng tidak memperhatikan ilmu pedang sakti yang terkandung pada ke-180 patung emas itu.

   Tapi sekarang setelah mendengar cerita si orang berkedok bahwa sudah mempelajari selama setahun tetap tidak menghasilkan apa-apa, mau-tak-mau hatinya tergetar dan tarik, ia pikir dengan kemampuan lawan itu ternyata tidak sanggup memahami inti sari ilmu pedang sejati itu, hal ini menandakan ilmu pedang tersebut adalah semacam kepandaian ajaib yang tidak ada bandingannya.

   Apabila dirinya dapat memahaminya dengan baik, bukanlah akan sangat mudah mengalahkan lawan? Tapi ia lantas menggeleng kepala sendiri dan membatin.

   "Ah, tidak mungkin. It-sik-sin-kai saja dikalahkan olehnya dalam waktu singkat, kemahiran kung-fu nya jelas jauh di atas gurunya dan Kiam-ong Ciong-Li-cin jika tokoh selihai ini saja tidak sanggup memahami inti sari ilmu pedang terkandung pada ke-180 patung emas ini, mungkinkah dirinya mampu?"

   "Sim-Tiong-ho, jika kamu tidak segera ke luar aku gunakan api untuk membakar mampus dirimu!", demikian terdengar si orang berkedok memang gusar di luar. Kiam-eng terkejut dan tidak berani sembarang pikir lagi, ia coba meraba lagi ke depan, hanya sebentar saja sudah lebih 50 buah patung digerayanginya. Ketika ia maju lagi, ternyata dinding batu berukir menghadang di depan. Ia melangkah lagi sampai 30-an tindak menyusuri kaki dinding dan meraba ujung dinding dan, lalu meraba lagi ke depan mengikuti dinding batu berikutnya, akhirnya ia dapat meraba patung emas lagi. Dengan demikian segera ia mengerti bahwa ke-180 buah patung emas itu berjajar di bagian kanan dan kiri, masing-masing sisi ada 60 buah patung. Ada pun yang pertama dirabanya tadi adalah bagian kanan dinding, sebabnya cuma 50-an patung yang teraba olehnya adalah karena patung pertama yang teraba olehnya itu bukanlah, patung nomor satu. Lantaran itu pula ia pun paham patung pertama yang dirabanya sekarang adalah patung nomor satu barisan sebelah kiri. Segera ia meraba terus ke depan mengikuti patung nomor satu itu ketika meraba sampai patung nomor 14, terasa patung itu bergaya setengah berjongkok atau setengah mendak. Tapi ketika sekujur badan patung diraba, dirasakan pula tubuh patung yang bulat itu tidak ada sesuatu tempat yang dapat dibuat tempat menyimpan Jian-lian-hok-leng. Padahal dalam surat sang su-heng tertulis dengan jelas bahwa "Jian-lian-hok-leng tersembunyi dalam patung emas ke-14", kata "dalam patung", tentu berarti di dalam perut patung. Berpikir demikian, segera Kiam-eng menggunakan ke dua tangannya untuk merangkul pinggang patung, selagi hendak diputar sekuatnya, terdengar suara "serr"

   Sebatang ranting kayu yang terbakar dilempar ke dalam kamar batu. Menyusul ada lagi dua-tiga batang ranting berapi yang dilemparkan ke dalam dan jatuh di samping tubuh

   KANG ZUSI
http.//cerita-silat.co.cc/ Sai-hoa-to, api pun terus menyala.

   Nyata, si orang berkedok hijau benar-benar mulai menyerang dengan api.

   Kiam-eng terkesiap, ia coba memutar patung emas yang dirangkulnya itu, namun segenap tenaga sudah dikerahkan ternyata tidak sanggup menggoyahkan patung itu sedikit pun.

   Ia pikir jangan-jangan patung emas itu berkarat dan melengket dengan lantai.

   Namun segera terpikir pula olehnya emas tidak mungkin berkarat.

   Ia pikir bagian sambungan patung mungkin terletak pada leher patung.

   Segera ia ganti tempat dan merangkul kepala patung serta diputar sekuatnya, terdengar suara "cit"

   Sekali, kepala benar-benar dapat berputar.

   Dengan cepat ia putar kepala patung hingga terlepas, lalu merogoh bagian leher patung, terasa tangan menyentuh sesuatu barang.

   Apakah itu Jian-lian-hok-leng? Ternyata bukan melainkan sesuatu benda kecil yang berat dan serupa medali emas.

   Kiam-eng sangat kecewa.

   Tapi lantas teringat olehnya bahwa ke-180 patung emas itu terbagi menjadi dua baris di kanan-kiri, sangat mungkin patung ke-14 pada barisan sebelah kanan itulah patung ke-14 yang dimaksudkan sang su-heng.

   Maka tanpa pikir ia masukkan benda seperti medali itu ke dalam saku, berlari ke sebelah kanan.

   Sekarang ia sudah mengerti bahwa ruangan ini sangat luas, lebarnya lebih 20 meter dan panjang hampir 50 meter, cukup untuk memuat ratusan orang yang sedang berlatih kung-fu sekaligus.

   Ya, ruang besar ini sangat mungkin adalah tempat berlatih kung-fu orang Kimi dahulu.

   Ia lari sampai tengah ruangan, terlihat banyak lagi ranting kayu terbakar yang dilemparkan ke dalam oleh si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya.

   Lamat-lamat terlihat pula sebatang ranting berapi tepat terlempar di atas tubuh Sai-hoa-to.

   Seketika timbul rasa tidak tega, cepat Kiam-eng mendepak menyingkirkan ranting kayu berapi itu ia angkat tubuh Sai-hoa-to dan dilemparkan ke luar pintu kamar.

   Ia merasa keadaan sudah berkembang sejauh ini, biarpun si orang berkedok hijau tahu duduknya perkara juga takkan membuat keadaan bertambah gawat.

   Pula biarpun Sai-hoa-to mati juga setimpal namun jelek-jelek dia adalah si tabib sakti yang tidak ada bandingannya di dunia persilatan bilamana membiarkan dia mati konyol terbakar, rasanya agak sayang, maka Kiam-eng sengaja hendak menyelamatkan nyawanya.

   Siapa tahu ketika Sai-hoa-to terlempar ke luar kamar, si orang berkedok hijau yang berjaga di luar itu mengira Sai-hoa-to tidak tahan oleh sebangsa api mereka dan kini hendak kabur ke luar.

   Maka begitu tampak Sai-hoa-to "melayang"

   Ke luar, kontan ia menyongsongnya dengan suatu pukulan dahsyat. Dan pukulan itu tepat mengenai muka Sai-hoa-to.

   "plok", kontan muka Sai-hoa-to hancur luluh, tubuh pun jatuh terguling di pendopo kuil itu, jiwa pun jelas melayang. Sih-Hou mendekat dan coba mencungkil mayat Sai-hoa-to dengan sebelah kakinya, lalu berpaling dan melapor kepada si orang berkedok hijau "Su-hu, dia sudah mampus!"

   "Hm, terlampau enak baginya!"

   Jengek si orang berkedok hijau.

   Melengong juga Kiam-eng yang berada di dalam ruang batu, tujuannya hendak menyelamatkan Sai-hoa-to, siapa tahu malah mempercepat kematiannya, sungguh tak terduga olehnya sejak mula.

   Diam-diam ia menyesali diri sendiri, bilamana tadi waktu ia lemparkan tubuh Sai-hoa-to ke luar lebih dulu ia menjelaskan apa yang terjadi, tentu jiwa tabib sakti itu takkan tamat.

   Namun bila dipikir lagi, mendingan juga terjadi begini, sebab si orang berkedok tetap tidak tahu di dalam ruang batu masih ada orang, sebelum asap tebal buyar dan sebelum api ranting kayu yang berkobar itu padam, jelas musuh takkan menyerbu ke dalam.

   Sembari berpikir ia pun melangkah ke sebelah kanan dengan berjingkat-jingkat perlahan, setiba di kaki dinding kanan, dengan cepat dapat dirabanya patung nomor satu.

   KAN


Amarah Pedang Bunga Iblis -- Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Peristiwa Bulu Merak -- Gu Long

Cari Blog Ini