Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 5


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 5


ti yang hangat dan penuh kasih sayang.

   Iapun tahu dalam menghadapi manusia macam mereka, ada banyak persoalan yang selamanya tak mungkin dapat dijelaskan.

   Oleh sebab itu, terpaksa dia harus minum arak itu.

   Selamanya tak dapat menampik kebaikan orang apalagi orang itu adalah manusia macam si bisu.

   Menyaksikan ia mengeringkan secawan arak, si bisupun tertawa, cepat ia penuhi kembali cawannya yang kosong itu dengan arak, meskipun banyak perkataan hendak diucapkan keluar, dari tenggorokannya hanya bisa mengeluarkan suara parau yang panjang pendek tak menentu.

   ~Bersambung ke Jilid-8 Jilid-8 Untunglah ia mempunyai seorang isteri yang telah lama mendampinginya, ia dapat memahami perasaan hati suaminya waktu itu.

   Maka dengan suara lirih ia menjelaskan.

   "Si bisu ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kau bersedia minum araknya berarti kau telah menghargainya, ia telah menganggapmu sebagai sahabat yang paling karib, saudara yang paling baik!"

   Ketika A-kit mendongakkan kepalanya, ia dapat merasakan sorot mata si bisu yang penuh dengan perasaan persahabatan serta keakraban yang hangat.

   Ya, dalam keadaan ini mana mungkin arak tersebut tidak ia teguk sampai habis? Si bisu sendiripun meneguk satu cawan arak, lalu menghela napas dengan puas.

   Baginya minum arak sudah merupakan suatu perbuatan yang amat sulit untuk tercapai, seperti juga ia begitu mendambakan suatu persahabatan yang akrab dan hangat.

   Ia suka minum arak, tapi sangat jarang ada arak yang bisa diminum, ia suka berteman tapi belum pernah ada orang yang bersedia menganggapnya sebagai teman.

   Sekarang kedua-duanya telah ia dapatkan, terhadap kehidupan manusia, ia tidak mempunyai keinginan yang lain lagi, dia hanya merasa puas dan amat berterima kasih.

   Ya, ia berterima kasih kepada Thian karena telah memenuhi segala sesuatu yang diinginkan.

   Menyaksikan mimik wajahnya itu, A-kit merasa tenggorokannya seakan-akan kembali tersumbat.

   Sumbatan tersebut hanya bisa disingkirkan dengan minum arak sebanyaknya, maka sudah banyak arak yang berpindah ke dalam perutnya.

   Dalam keadaan beginilah tiba-tiba Han toa-nay-nay menerobos masuk ke dalam, dengan terkejut dan mata terbelalak ditatapnya cawan kosong di tangannya itu, kemudian tegurnya.

   "Hei, kau lagi-lagi sedang minum arak?"

   "Hanya minum sedikit!", jawab A-kit.

   "Kau sendiri juga tahu bahwa pada hari ini tidak sepantasnya kau minum arak, kenapa kau minum arak juga?"

   "Karena si bisu adalah sahabatku!"

   Han toa-nay-nay menghela napas panjang.

   "Teman, teman, berapa tahilkah harganya seorang teman? Apakah ia jauh lebih berharga daripada selembar jiwamu sendiri?"

   A-kit tidak menjawab, diapun tidak perlu menjawab.

   Siapapun jua pasti dapat mengetahui, bahwa ia memandang suatu persahabatan jauh lebih berharga daripada selembar nyawa sendiri.

   .......Nyawa sebenarnya hanya sesuatu yang kosong, sekalipun kekosongan tersebut dapat diisi dengan pelbagai persoalan yang berharga, tapi kalau di antaranya kekurangan suatu persahabatan, maka berapa banyak lagi yang masih tersisa? Han toa-nay-nay sendiripun seorang peminum arak, ia cukup memahami bagaimanakah perasaan dari seorang setan arak yang mulai minum arak lagi setelah berpantang banyak waktu? Dalam suasana menjelang pertarungannya melawan manusia macam toa-tauke dan manusia macam Thi-hou, keadaan semacam itu justru akan menghancurkan semangat dan tenaga seseorang.

   Tiba-tiba Han toa-nay-nay mengulurkan tangannya dan menyambar poci arak di meja, diteguknya hingga habis sisa arak yang masih tertinggal dalam poci tersebut.

   Arak berkwalitet rendah biasanya merupakan arak keras, sinar matanya segera menunjukkan tanda-tanda mabuk, sambil melotot ke arah A-kit segera tegurnya.

   "Tahukah kau barusan ada manusia macam apa yang datang mencari jejakmu.......?"

   "Thi-hou maksudmu?"

   "Tahukah kau manusia macam apakah itu?"

   "Seorang manusia yang sangat lihay!"

   Han toa-nay-nay segera tertawa dingin.

   "Heeehhh.......heeeeehhh.....heeeeehhh....bukan cuma lihay, bahkan jauh lebih lihay daripada apa yang kau bayangkan semula!"

   "Oya?"

   "Bukan saja dia mengetahui bahwa kau pasti berada di sini, lagi pula diapun bisa menduga siapakah kau?"

   "Siapakah kau?"

   "Seorang yang sebenarnya sudah mati!"

   Paras muka A-kit sedikitpun tidak berubah, hanya ujarnya dengan ewa.

   "Tapi sekarang aku toh masih hidup!"

   "Diapun tidak percaya kalau kau telah mati, tapi aku percaya!"

   Setelah berhenti sejenak, dengan suara lantang dia lantas berteriak kembali.

   "Aku percaya, dia pasti dapat membuat kau mati sekali lagi!"

   "Kalau aku adalah seorang yang seharusnya sudah mati, apa salahnya kalau mati sekali lagi?"

   Han toa-nay-nay tidak dapat berbicara lagi. Terhadap manusia semacam ini, dia benar-benar merasa kehabisan akal dan daya, terpaksa ujarnya setelah menghela napas panjang.

   "Padahal Thi-hou sendiripun mengakui, seandainya kau benar-benar adalah orang itu, maka dia sendiripun bukan tandinganmu, tapi kau......mengapa kau justru menghancurkan dirimu sendiri? Kenapa kau justru minum arak dalam keadaan seperti ini?"

   Makin berbicara kobaran hawa amarah dalam dadanya makin memuncak, dibantingkan poci arak itu ke atas tanah keras-keras, kemudian makinya kalang kabut.

   "Apalagi arak yang diminum adalah arak kwalitet rendah semacam Sau-to-cu yang bisa membuat nyawapun ikut terminum ludas!"

   Paras muka A-kit masih tetap dingin tanpa emosi, ia hanya mengucapkan dua patah kata.

   "Keluar kau!"

   "Apa? Kau tahu aku adalah manusia macam apa di sini? Kau suruh aku keluar dari sini?", teriak Han toa-nay-nay sambil mencak-mencak kegusaran.

   "Aku tidak ambil perduli siapakah kau dan apa jabatanmu di sini, aku hanya tahu tempat ini adalah rumah temanku, entah siapapun yang berani berteriak dan berkaok-kaok dalam rumah sahabatku, aku pasti akan mempersilahkannya keluar dari sini"

   "Tahukah kau siapa yang telah memberikan rumah ini kepadanya?"

   Pelan-pelan A-kit bangkit berdiri, sambil memandang wajahnya lekat-lekat dia berseru.

   "Aku hanya tahu aku minta kepadamu untuk keluar dari sini, lebih baik kau segera ke luar dari tempat ini!"

   Dengan terperanjat Han toa-nay-nay memandang ke arahnya, lalu selangkah demi selangkah mundur ke belakang.

   Dalam sekejap mata itulah dia baru merasakan bahwa A-kit yang tak berguna ini seakan-akan telah berubah menjadi seseorang yang lain, berubah menjadi begitu sadis begitu kejam dan tidak berperasaan.

   Setiap perkataan yang ia ucapkan kini telah berubah menjadi perintah, entah siapapun juga orang itu, mereka tak akan berani membangkang perintahnya itu.

   Karena pada saat itu, siapapun juga akan merasakan bahwa barang siapa berani membangkang perintahnya, maka dia akan segera merasa menyesal.

   Seseorang tak nanti akan mengalami perubahan sedemikian cepatnya, hanya seseorang yang sudah lama terbiasa memberi perintah kepada orang lain yang bisa memiliki kewibawaan sebesar ini.

   Hingga mundur sampai di pintu luar, Han toa-nay-nay baru berani mengucapkan kata-kata seperti apa yang ingin dia katakan.

   "Kau pasti orang itu, kau pasti adalah orang itu!"

   "Bukan!", seseorang menyambung ucapannya secara tiba-tiba dari belakang tubuhnya. Ketika Han toa-nay-nay memutar tubuhnya, ia telah menyaksikan Thi-hou si harimau baja telah berdiri di situ. Wajahnya sekaku batu karang yang terkikis oleh hembusan angin, begitu kasar, begitu seram dan begitu mantap. Wajah Han-toa-nay-nay mulai berkerut dan gemetar keras lantaran ngeri dan takut, bisiknya tergagap.

   "Kau......kau bilang dia........dia bukan?"

   "Terlepas siapakah dia dahulunya, sekarang ia telah berubah, sekarang ia telah berubah menjadi seorang setan arak yang sama sekali tak ada gunanya!"

   "Dia bukan setan arak, jelas dia bukan setan arak!", bantah Han-toa-nay-nay.

   "Perduli siapakah dia, hanya manusia pengecut, hanya setan arak saja yang berani minum arak menjelang berlangsungnya suatu duel!"

   "Tapi akupun tahu bahwa dalam dunia persilatan terdapat tidak sedikit pendekar arak, dia harus minum sampai mabuk lebih dahulu sebelum kepandaian saktinya dapat dipergunakan!"

   Thi-hou tertawa dingin.

   "Cerita-cerita tentang pendekar arak hanya bisa dipakai untuk membohongi anak kecil!"

   "Tapi setiap kali aku sudah minum arak, tanpa terasa nyaliku menjadi bertambah besar!", bantah Han toa-nay-nay lagi.

   "Seorang lelaki yang sejati, tidak akan mempergunakan arak untuk membesarkan nyalinya"

   "Setelah minum arak, tenagaku pun terasa bertambah lebih besar dan kuat........"

   "Pertarungan antara dua orang jago lihay, bukan tenaga yang dipertarungkan"

   Han toa-nay-nay bukannya seorang perempuan yang tak pernah bergaul dengan masyarakat luas, tentu saja diapun memahami ucapan tersebut.

   Sesungguhnya ia sengaja mengajak Thi-hou mengobrol dengan tujuan agar membuyarkan perhatian orang itu serta menciptakan kesempatan baik A-kit.

   Entah mau kabur, atau hendak turun tangan, ia dapat membantu A-kit untuk menciptakan kesempatan baik itu.

   Akan tetapi A-kit sama sekali tidak berkutik, bergeserpun tidak.

   Kembali si harimau baja berkata.

   "Arak dapat membuat reaksi seseorang menjadi lambat, membuat dugaannya menjadi keliru, dalam pertarungan antara sesama jago lihay, hanya sedikit kesalahan yang dilakukan akan mengakibatkan suatu kegagalan total"

   Kata-kata semacam itu sudah tidak ditujukan lagi kepada Han toa-nay-nay, sepasang matanya yang tajam telah menatap wajah A-kit tanpa berkedip, kemudian sepatah demi sepatah kata, dia melanjutkan.

   "Kalau ada dua orang jago lihay sedang bertarung, bila kalah dalam satu gerakan saja, maka akibatnya adalah kematian yang mengerikan!"

   Paras muka A-kit sama sekali tidak memperlihatkan perubahan emosi, hanya tanyanya dengan suara ewa.

   "Kau adalah seorang jago lihay?"

   "Kalau toh aku sudah mengetahui siapakah kau, seharusnya kau juga telah mengetahui siapakah aku!"

   "Aku hanya tahu kau adalah orang yang mengundang aku makan bakmi daging sapi, sayang kau tidak memberi uang untuk membayar rekening tersebut, jadi rekening itu akhirnya aku bayar sendiri"

   Setelah berhenti sebentar, lanjutnya lagi dengan suara tawar.

   "Walaupun aku bukan seorang jago lihay, tapi aku tak pernah makan makanan orang tanpa membayar!"

   Thi-hou menatapnya lekat-lekat, sekujur tubuhnya terutama setiap bagian tulang persendiannya tiba-tiba memperdengarkan suara letupan-letupan nyaring bagaikan berondong mercon.

   Itulah ilmu tenaga gwakang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang paling tinggi, orang menyebutnya sebagai ilmu It-cuan-pian (serenteng mercon).

   Dalam dunia persilatan dewasa ini hanya dua orang yang berhasil melatih ilmunya hingga mencapai ke tingkatan setinggi ini.

   Mereka adalah Hong-im-lui-hou (Harimau geledek penimbul badai) Lui Ceng-thian, yang belum pernah menjumpai tandingannya selama hidup dan selama ini berkeliaran di wilayah Liau-pak, serta Giok-pah-ong (Raja bengis kemala) Pek Im-shia, seorang pentolan kaum Liok-lim yang selama dua puluh tahun menguasai bukit Ci-lian-san.

   Sejak berhasil menguasai sebagian besar dunia persilatan, Giok-pah-ong pun mengundurkan diri dari keramaian dunia, jejaknya sudah jarang sekali ditemukan dalam dunia persilatan.

   Jejak si Harimau geledek penimbul badai pada hakekatnya memang misterius dan jarang ditemui orang, apalagi belakangan ini bahkan kabar beritanyapun tak kedengaran lagi.

   Ada orang yang mengatakan bahwa dia telah tewas di ujung pedang seorang jago pedang kenamaan, tapi ada pula orang yang mengatakan bahwa ia telah mati bersama si jago pedang itu.

   Konon menurut cerita yang tersiar di dalam dunia persilatan, jago pedang yang dimaksudkan itu tak lain adalah Yan Cap-sa, si jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit.

   Bahkan ada pula orang yang berkata bahwa Lui Ceng-thian telah menggabungkan diri dengan suatu organisasi rahasia dalam dunia persilatan, ia telah menjadi salah seorang pentolan di antara delapan pentolan yang memimpin organisasi rahasia tersebut.

   Menurut cerita, organisasi rahasia itu jauh lebih rahasia lagi bila dibandingkan dengan perkumpulan Cing-liong-hwee (naga hijau) yang termashur di masa lampau, bahkan kekuasaannya jauh lebih besar dan luas........

   Setelah berkumandangnya serentetan bunyi mercon tadi, tubuh Thi-hou yang tinggi besar seakanakan berubah lebih besar dan mengerikan.

   Tiba-tiba ia menghembuskan napas panjang sambil membentak keras.

   "Masihkah kau tidak tahu siapa aku ini?"

   A-kit menghela napas panjang.

   "Aaaaiiii......hanya satu hal yang masih belum kupahami!", sahutnya.

   "Dalam hal yang mana?"

   "Seharusnya kau tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, kenapa sekarang kau malah menjadi kakitangannya orang lain?"

   Thi-hou menatapnya tajam-tajam, mendadak diapun menghela napas panjang.

   "Aaaaiiiii.......ternyata memang kau, ternyata memang benar-benar kau, aku tak salah lagi!"

   "Kau mempunyai keyakinan?"

   "Kecuali kau, siapakah manusia di dunia ini yang begitu berani bersikap kurang ajar kepada aku Lui Ceng-thian?"

   "Apakah toa-tauke mu juga tidak berani?"

   Thi-hou tidak menjawab, kembali katanya.

   "Hampir selama tujuh tahun terakhir ini, setiap waktu setiap saat aku selalu mengharapkan bisa memperoleh kesempatan baik untuk berduel denganmu, tapi justru kau juga orang yang paling tidak ingin kutemui, karena aku sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk bisa menangkan dirimu......."

   "Pada hakekatnya kau sama sekali tidak mempunyai kesempatan tersebut!"

   "Tapi hari ini kesempatan baikku telah tiba, belakangan ini terlalu banyak arak yang kau minum, kesempatanmu untuk berlatih diri tentu jauh lebih berkurang"

   A-kit tak dapat menyangkal kebenaran dari ucapannya itu.

   "Sekalipun hari ini aku bakal mati di ujung pedangmu", demikian Thi-hou melanjutkan.

   "itupun merupakan apa yang ku idamkan selama ini, jadi matipun tak akan menyesal, cuma saja........."

   Tiba-tiba sinar matanya memancarkan hawa pembunuhan yang sangat mengerikan, terusnya.

   "Cuma dalam pertarungan kita hari ini, baik siapa akan menang dan siapa akan kalah, kita tak boleh membiarkan orang ke tiga yang mengetahui rahasia kita ini menyiarkan rahasia tersebut di luaran"

   Paras muka A-kit berubah hebat.

   Thi-hou telah memutar badannya secepat kilat sebuah kepalan segera di sodok ke depan, tubuh Han toa-nay-nay seketika itu juga mencelat jauh sekali dari tempat semula.

   Ketika tubuhnya tergeletak di tanah, selamanya ia tak dapat menjual belikan tubuh dan masa remaja setiap perempuan di dunia ini lagi, diapun tak akan sanggup untuk membocorkan rahasia dari siapapun juga.

   Paras muka A-kit berubah sepucat kertas, namun ia tidak mencegah perbuatannya itu.

   Thi-hou menghembuskan napas panjang, tenaga baru kembali pulih, katanya kemudian.

   "Apakah dua orang yang berada dalam rumah ini adalah sahabatmu?"

   "Benar!"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku tidak ingin membinasakan temanmu, tapi dua orang itu bagaimanapun jua harus mati!"

   "Kenapa?"

   "Di kolong langit dewasa ini ada berapa orang yang mampu mengalahkan Lui Ceng-thian?", tanya Thi-hou dingin.

   "Tidak terlalu banyak"

   "Bila kau berhasil menang, tentunya kaupun tidak ingin membiarkan orang lain membocorkan rahasia dari hasil pertarungan ini kepada orang lain, bukan?"

   A-kit tak dapat menyangkal perkataan tersebut.

   Asal tidak ada orang lain yang membocorkan rahasia mereka, andaikata ia menang, maka yang dikalahkan olehnya tidak lebih hanya seorang budak di bawah pimpinan Toa-tauke, sebaliknya jika dia yang kalah, maka yang mati tidak lebih hanya seorang A-kit yang tak berguna.

   Bagaimana jika A-kit tetap hidup? Dan bagaimana pula jika ia mati? "Mati hidup kita bukan persoalan", kembali Thi-hou berkata.

   "tapi rahasia kita tak boleh sekali-kali sampai bocor dan diketahui orang lain"

   A-kit membungkam dalam seribu bahasa, wajahnya berubah semakin pucat pasi.

   "Kalau memang demikian, mengapa kau masih juga belum turun tangan sendiri?", tegur Thi-hou. A-kit termenung lama sekali, akhirnya pelan-pelan ia baru berkata.

   "Aku tidak dapat pergi, sebab mereka semua adalah sahabat-sahabatku.......!"

   Thi-hou menatapnya lekat-lekat, mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak.

   "Haaaaahhhh..... haaaahhhhh..... haaahhhhh.... teringat di kala kau malang melintang dalam dunia persilatan dengan sebilah pedangmu dan tidak menemui tandingan di mana-mana, nyawa siapakah yang pernah kau hargai seperti ini? Demi memperoleh kemenangan perbuatan apapun pernah kau lakukan, tapi sekarang kenapa kau tidak tega turun tangan terhadap dua orang manusia semacam itu?"

   Kemudian sambil menengadah kembali ia tertawa tergelak.

   "Haaaahhhhh....... .haaaaaahhh...... haaahhhh....aku tahu kau sendiripun pernah berkata, untuk menjadi seorang jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, maka kau musti tidak berperasaan dan tidak kenal rasa kasihan, tapi sekarang.....? Heeehhhhh....... heeehhhhh.... heeeehhhh.... sekarang kau telah berubah, kau sudah bukan jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit lagi. Dalam pertarungan ini kau sudah pasti akan menderita kekalahan total!"

   Tiba-tiba A-kit mengepal sepasang telapak tangannya kencang-kencang, kelopak matapun ikut menyurut.

   "Padahal apakah kau hendak membunuh mereka atau tidak, aku sama sekali tidak ambil perduli, sebab asal aku berhasil mengalahkan dirimu, asal aku mampu membinasakan dirimu, apakah mereka bisa pergi dari cengkeramanku dengan begitu saja?"

   Kali ini A-kit benar-benar terbungkam, dia benar-benar tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Setelah hening sejenak, Thi-hou si Harimau Baja, kembali berkata lebih jauh.

   "Sekalipun kau telah mengalami perubahan, tapi kau tetap masih hidup, di manakah pedangmu?"

   A-kit tidak menjawab, pelan-pelan ia membungkukkan badan dan memungut sebatang ranting dari atas tanah.

   "Itukah pedangmu?", jengek Thi-hou setelah mengawasi beberapa kejap ranting kayu yang berada dalam genggaman A-kit itu. A-kit tetap tenang, bahkan suaranya kedengaran agak hambar.

   "Aku telah banyak mengalami perubahan, demikian pula dengan pedangku, senjata itupun ikut mengalami banyak perubahan!"

   "Bagus........bagus sekali........!"

   Hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan, dalam keadaan demikian kecuali beberapa patah kata tadi, apalagi yang sanggup diutarakan keluar? Tiba-tiba bunyi gemerutukan yang amat nyaring bagaikan bunyi serenteng mercon kembali berkumandang memecahkan kesunyian.

   Sekali lagi dia telah menghimpun segenap tenaga dalam kekuatannya untuk bersiap-siap melancarkan serangan.

   Tenaga dalam yang paling dia andalkan adalah tenaga gwakang yang telah dilatihnya hingga mencapai puncak kesempurnaan itu, suatu kepandaian sakti yang sukar ditemukan keduanya di dunia ini.

   Dan orangnya memang tak lain adalah Lui Ceng-thian, si jago tangguh yang malang melintang dalam dunia persilatan selama ini tanpa berhasil ditemukan tandingannya.

   Dalam hatinya penuh diliputi keyakinan serta percaya pada diri sendiri, dan tampaknya ia sudah mempunyai keyakinan serta persiapan yang cukup masak untuk menghadapi pertempuran kali ini.

   ooooOOOOoooo Bab 10.

   Pedang Si A-kit Sinar matahari senja memancar merah bagaikan darah, tapi darah belum sampai mengalir ke luar.

   Pedang A-kit masih berada dalam genggamannya.

   Meskipun senjata tersebut bukan sebilah pedang sungguhan, sekalipun hanya sebatang ranting kering yang terjatuh dari atas dahan, tapi setelah berada di tangannya segera berubah menjadi sebuah senjata pembunuh yang tak terkirakan dahsyatnya.

   Ketika ilmu sakti 'serentengan mercon' dari Lui Ceng-thian baru saja dikerahkan, ketika seluruh tubuhnya sedang dipenuhi oleh daya penghancur serta rasa percaya pada diri sendiri, pedang Akit telah menusuk ke depan, persis menutul di atas persendian tulang yang baru saja mengeluarkan bunyi gemeretukan itu.

   Serangan itu dilakukan sangat enteng dan sedikit mengambang, bahkan ranting kering itupun ikut bergetar mengikuti bunyi gemerutukan persendian tulang itu.

   Mula pertama ranting itu berada di atas jari manis tangan kirinya, kemudian melompat naik ke atas pergelangan tangan, lalu melompat lagi ke atas sikut kiri, bahu, punggung.....

   Begitu ilmu sakti 'serentengan mercon' dikerahkan, ibaratnya guntur yang membelah bumi, untuk sesaat tak mungkin bisa dihentikan di tengah jalan.........

   Sekujur tubuh Thi-hou ibaratnya sudah tertempel pada ranting kering tersebut, bergerak sedikitpun tak bisa.

   Ketika ranting kayu itu melompat naik ke atas bahu kirinya, wajah orang itu telah berubah menjadi pusat pasi seperti mayat, peluh dingin sebesar kacang mengucur keluar bagaikan hujan gerimis.

   Menanti setiap persendian tulang di sekujur tubuhnya telah berbunyi dan pada akhirnya berhenti pada jari kelingking pada tangan kanannya, ranting kayu itu tiba-tiba berubah menjadi bubuk dan membuyar terhembus angin dingin.

   Tubuhnya masih juga berdiri tak bergerak di tempat semula, peluh dingin yang membasahi wajahnya tiba-tiba saja menjadi kering dan merekah, bola matanya penuh dengan jalur-jalur merah darah.

   Lama sekali ia menatap wajah A-kit, akhirnya meluncur juga sepatah kata.

   Suaranya ketika itu ikut berubah menjadi berat, rendah dan parau.

   Sepatah demi sepatah kata ia bertanya.

   "Ilmu pedang apakah itu?"

   "Itulah ilmu pedang yang khusus dipergunakan untuk memecahkan ilmu 'serentengan mercon'!"

   "Bagus, bagus......."

   Ketika kata 'bagus' yang kedua kalinya terlontar keluar dari mulutnya, mendadak tubuhnya yang lebih kuat dari sebuah patung Lo-han baja itu mulai lemas, mulai ambruk dan roboh ke tanah.......

   Tubuhnya yang kuat dan keras bagaikan baja, kini telah berubah menjadi lemas dan sama sekali tak berguna lagi.

   Bubuk ranting masih terbang menyebar mengikuti hembusan angin, tapi tubuhnya telah berhenti bergerak untuk selamanya.

   Sinar matahari sore telah pudar.

   Pelan-pelan A-kit membuka telapak tangannya, sepotong ranting kering yang masih berada dalam genggamannya segera berubah menjadi bubuk dan ikut tersebar mengikuti hembusan angin.

   Itulah suatu kekuatan yang amat menakutkan, bukan saja ranting kering itu telah tergetar hancur menjadi bubuk, tangannya ikut tergetar pula sehingga terasa kaku.

   Akan tetapi ia sendiri sama sekali tidak mempergunakan tenaganya walau hanya sedikit jua.

   Semua kekuatan terpancar keluar dari setiap persendian yang meletup-letup di sekujur badan Thihou, dan dia tak lebih hanya menggunakan tenaga yang ada untuk meminjam tenaga belaka, dengan mempergunakan getaran serta kekuatan yang terpancar ke luar dari tulang persendian Thi-hou.

   Yang pertama dia menghancurkan tulang persendian, kedua yang berada di atas seluruh tubuhnya pula.

   Sekarang seluruh tulang persendian di sekujur tubuh Thi-hou telah terpukul hancur......

   terpukul hancur oleh kekuatannya sendiri.

   Seandainya A-kit pun mengerahkan tenaganya, maka kemungkinan besar kekuatan tersebut akan berbalik mengalir ke dalam ranting, menyusup lengan dan menghantam isi perutnya.

   Itulah yang dikatakan bila dua orang jago lihay sedang bertarung, mereka bukan bertarung dengan kekuatan.

   Thi-hou sendiri memahami pelajaran tersebut, sayang ia menilai terlalu rendah musuhnya yang bernama A-kit ini.

   ......Kau telah berubah, kau sudah bukan seorang jago pedang yang tiada tandingannya lagi di dunia ini, kau pasti akan menderita kalah dalam pertarungan ini.

   Sombong, tinggi hati, pada hakekatnya persis seperti arak, bukan saja dapat salah dalam penilaian, dapat pula membuat orang menjadi mabuk.

   A-kit telah minum arak, iapun telah memberikan pula sepoci kepadanya.......'sepoci kesombongan'.

   A-kit tidak mabuk, tapi ia telah mabuk.

   ......Yang dipertarungkan oleh jago-jago lihay bukan cuma kekuatan dan kepandaian silat, merekapun harus beradu kecerdasan.

   Bagaimanapun juga, memang selalu lebih baik daripada kalah, untuk mendapatkan kemenangan.

   Orang memang musti berusaha serta memperjuangkannya dengan cara apapun.

   Ketika angin berhembus lewat, A-kit masih juga berdiri termangu di tempat semula, saat itulah ia menemukan bahwa si bisu suami isteri masih berdiri di luar rumah mereka sambil memandang ke arahnya.

   Sorot mata si bisu memancarkan suatu perubahan mimik wajah yang aneh, sedangkan istrinya tertawa dingin tiada hentinya.

   "Heeeehhhh..... heeeehhh.... heehhhhhh.... sekarang kami baru tahu manusia macam apakah kau sebenarnya", demikian ia berseru. A-kit tidak menjawab, sebab diapun sedang bertanya pada diri sendiri.

   "Manusia macam apakah sebenarnya aku ini?"

   Jawab bininya si bisu.

   "Sesungguhnya kau tak boleh minum arak, tapi kau memaksa untuk minumnya, hal ini disebabkan kau tahu bahwa Thi-hou pasti akan datang, kaupun ingin membunuh kami, tapi tidak juga melakukannya, ini disebabkan karena kau tahu bahwa hakekatnya kami tak akan berhasil kabur, kalau tidak mengapa kau biarkan Thi-hou membunuh Han-toa-nay-nay?"

   Nada suaranya selalu lebih tajam daripada sebuah gurdi, terusnya lebih jauh.

   "Kau sengaja berbuat demikian karena kau berharap Thi-hou menganggapmu telah berubah, sengaja membuat ia tak pandang sebelah mata kepadamu, dan kini setelah kau membunuhnya, kenapa masih belum juga datang ke mari untuk membunuh kami suami isteri berdua? Apakah kau tidak tahu kalau sampai kami membocorkan rahasiamu kepada orang lain?"

   Pelan-pelan A-kit berjalan maju ke depan. Dengan penuh kemurkaan bininya si bisu telah membanting uang perak itu keras-keras ke tanah, lalu teriaknya lebih jauh.

   "Dari dalam periuk nasi tak akan muncul uang sendiri, kamipun tidak menginginkan uang perakmu, kalau toh kau anggap sudah tidak berhutang lagi kepada kami, kamipun tidak merasa berhutang lagi kepadamu........."

   A-kit mengulurkan tangannya pelan-pelan ke depan.

   Tapi bukan uang perak di atas tanah yang diambil, diapun tidak membunuh mereka, ia tak lebih hanya menggenggam tangan si bisu.

   Si bisupun menggenggam tangannya.

   Ke dua orang itu sama-sama tidak bersuara, seakan-akan di dunia ini banyak terdapat persoalan dan perasaan yang sesungguhnya tak dapat diutarakan dengan perkataan.

   Persoalan di antara kaum pria, sesungguhnya terdapat pula banyak hal yang tidak akan dipahami oleh kaum perempuan.

   Sekalipun seorang perempuan sudah banyak tahun hidup berdampingan dengan seorang pria, walaupun mereka sudah hidup senang bersama menderita bersama selama banyak waktu, belum berarti ia dapat memahami seluruh jalan pikiran serta perasaan dari lelaki tersebut.

   .......Pria sendiri belum tentu juga benar-benar bisa memahami jalan pemikiran serta perasaan dari kaum perempuan.

   Akhirnya A-kit berkata.

   "Meskipun kau tak pandai berbicara, tapi apa yang ingin kau katakan di dalam hati telah kupahami semua!"

   Si bisu manggut-manggutkan kepalanya, air mata tampak mengembang dalam kelopak matanya, kemudian meleleh keluar........

   "Aku percaya kau tak akan membocorkan rahasiaku, aku amat mempercayai dirimu!", kembali Akit berkata. Sekali lagi digenggamnya tangan si bisu kencang-kencang, kemudian tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak tega untuk berpaling, sebab diapun tahu sepasang suami-isteri yang sederhana itu mungkin tak akan merasakan lagi penghidupan meski sengsara tapi amat tenang dan penuh kedamaian itu. Tanpa terasa ia mulai berpikir kepada diri sendiri. .......Sesungguhnya manusia macam apakah aku ini? Kenapa selalu mendatangkan banyak kesulitan serta kesengsaraan bagi orang lain? .......Perbuatanku ini sebenarnya betul atau salah? Ketika ia telah pergi jauh, air mata dalam kelopak mata si bisu benar-benar tak dapat di bendung lagi, bagaikan hujan deras melelehlah air mata itu dengan derasnya. Bininya masih juga mengomel.

   "Hanya kesulitan yang ia berikan untuk kita berdua, kenapa kau masih bersikap demikian kepadanya?"

   Dalam hati kecilnya si bisu menjerit.

   ".....Karena ia tidak memandang hina diriku, karena ia menganggap aku sebagai sahabatnya, kecuali dia belum pernah ada orang yang benar-benar menganggapku sebagai seorang sahabatnya"

   Untuk pertama kalinya perempuan itu tidak berhasil memahami jeritan di dalam hati suaminya, karena ia tak pernah dapat memahami arti kata dari suatu 'persahabatan', iapun tak tahu berapa beratkah bobot dari persahabatan dalam hati seorang pria.

   Seorang pria yang benar-benar sejati, seorang lelaki jantan yang gagah perkasa.

   Mayat Thi-hou diangkut pulang dengan mempergunakan selembar pintu kayu, kini mayat tersebut membujur di dalam gardu segi empat dalam kebun bunga......

   Senja telah menjelang tiba, cahaya lentera mulai dipasang orang di sekitar gardu itu.

   Sambil bergendong tangan dengan tenangnya Tiok Yap-cing mengawasi mayat yang berbaring di atas pintu kayu itu, wajahnya amat hambar sedikitpun tanpa emosi.

   Seakan-akan ia sudah tidak merasa kaget atau tercengang lagi dalam menghadapi kejadian seperti ini.

   Menanti Toa-tauke muncul secara tergesa-gesa, rasa sedih dan murung baru muncul dan menghiasi wajahnya.

   Toa-tauke telah melompat masuk, ketika menyaksikan jenazah dari Thi-hou membujur dalam gardu tersebut, ia melompat sambil berteriak penuh kemarahan.

   "Apakah lagi-lagi hasil perbuatan dari A-kit?"

   Tiok Yap-cing menundukkan kepalanya, lalu menjawab dengan sedih.

   "Tak pernah kusangka klau secepat ini ia dapat menemukan A-kit, lebih-lebih tak pernah kusangka kalau ia bakal mati dalam keadaan yang begini mengenaskan!"

   Toa-tauke tidak berhasil menemukan luka di tubuhnya, maka kembali Tiok Yap-cing memberi penjelasan.

   "Sebelum menemui ajalnya seluruh tulang persendian dalam tubuhnya telah kena dihajar sampai hancur lebur"

   "Dihancurkan oleh benda apa?"

   "Aku tidak berhasil menebaknya!"

   Kembali Tiok Yap-cing termenung sebentar, kemudian ujarnya lebih lanjut.

   "Aku hanya dapat mengetahui bahwa A-kit tidak mempergunakan golok atau pedang, iapun tidak mempergunakan benda keras!"

   "Dari dasar apakah kau dapat berkata demikian?", Toa-tauke segera bertanya dengan perasaan ingin tahu.

   "Di atas pakaian yang digunakan Thi-hou, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda bekas kena di pukul benda besi, pun tidak dijumpai pakaian yang robek, sebaliknya malah tertinggal bekas-bekas hancuran kayu"

   Sepasang mata Toa-tauke terbelalak lebar-lebar.

   "Masakah benda yang dipergunakan A-kit tidak lebih hanya sebuah tongkat kayu?", teriaknya.

   "Ya, kemungkinan sekali memang demikian!"

   "Tahukah kau kepandaian apakah yang telah dilatih oleh Thi-hou?"

   "Agaknya ilmu Kim-ciong-cang, atau Thi-bu-san dan sebangsanya, jelas semua kepandaian yang dilatihnya adalah sejenis kepandaian yang termasuk kepandaian Gwa-kang!"

   "Pernahkah kau menyaksikan sendiri kepandaian yang dimilikinya itu.....?"

   "Tidak!"

   "Aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, justru lantaran kepandaian yang dimilikinya terlampau tangguh maka aku tak pernah menanyakan asal-usulnya lagi setelah menerima dia sebagai anak buahku, kemudian baru diketahui bahwa dia bukan lain adalah Imtiong- kim-kong (Manusia raksasa dari Im-tiong) Huo Lo-sam yang sudah termashur namanya selama banyak tahun di wilayah Liau-pak!"

   "Aku pernah mendengar persoalan ini dari Toa-tauke!", Tiok Yap-cing segera menerangkan.

   "Meskipun ia pernah dipaksa dan dikejar oleh Lui Ceng-thian sehingga tak mampu untuk kabur lagi, tapi aku yakin kalau kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tidak selisih banyak jika dibandingkan dengan kepandaian yang dimiliki oleh orang she Lui tersebut, diapun tak selisih banyak pula dengan Giok Pah-ong (Raja bengis pualam) tersebut!"

   Tiok Yap-cing tidak berani membantah. Tak ada orang yang berani mencurigai ketajaman mata Toa-tauke, sebab semua persoalan yang sudah melewati pertimbangan dari Toa-tauke tak mungkin bakal salah lagi.

   "Tapi ternyata kau mengatakan bahwa A-kit yang tak berguna, hanya mengandalkan sebuah tongkat kayu telah berhasil meremukkan seluruh tulang persendian di tubuhnya?", seru Toa-tauke lebih lanjut. Tiok Yap-cing tak berani buka suara. Toa-tauke menggenggam sepasang kepalannya kencang-kencang, kembali ia bertanya.

   "Kau jumpai mayatnya di mana?"

   "Di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

   "Tempat itu bukan sebuah kuburan, tentunya ada beberapa orang yang menyaksikan mereka bertarung bukan?"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tempat di mana pertarungan itu berlangsung adalah sebuah halaman kecil di belakang dapur yang merupakan sebuah tempat berisi kayu bakar serta tumpukan sampah. Nona-nona sekalian jarang sekali berkunjung ke situ, maka kecuali A-kit dan Thi-hou sendiri, hanya tiga orang yang ikut hadir di sana pada waktu itu"

   "Siapakah ke tiga orang itu?"

   "Han toa-nay-nay serta sepasang suami isteri si bisu yang bekerja sebagai koki di dapur!"

   "Sekarang apakah kau telah membawa mereka datang kemari?"

   "Belum!"

   "Kenapa?", tanya Toa-tauke dengan marah.

   "Karena mereka telah dibunuh oleh A-kit untuk menghilangkan saksi hidup!"

   Semua otot-otot hijau di atas jidat Toa-tauke pada menonjol keluar semua, sambil gigit bibir menahan emosi, ia berseru.

   "Baik, baik, begitu banyak orang yang ku pelihara, sudah banyak tahun ku pelihara kalian semua, tapi kalian betul-betul bodoh seperti gentong nasi, masa untuk menghadapi seorang bocah keparat pemikul tinjapun tak becus!"

   Tiba-tiba ia melompat sambil meraung lagi keras-keras.

   "Mengapa kalian masih belum juga menyingsingkan lengan bajumu dan berangkat?"

   Menanti hawa amarahnya sudah agak reda, Tiok Yap-cing baru berbisik dengan suara rendah.

   "Karena kami masih harus menunggu beberapa orang lagi!"

   "Siapa yang akan kita tunggu?"

   Tiok Yap-cing berbisik dengan suara yang lebih rendah lagi.

   "Menunggu beberapa orang yang bisa kita pakai untuk menghadapi manusia yang bernama A-kit!"

   Segera mencorong ke luar sinar tajam dari balik mata Toa-tauke, diapun merendahkan suaranya sambil berbisik.

   "Apakah kau merasa yakin pasti berhasil?"

   "Ya, aku yakin!"

   "Bagaimana kalau kau sebutkan dahulu sebuah nama dulu di antaranya.....?"

   Tiok Yap-cing membungkukkan badan dan membisikkan sesuatu di sisi telinganya. Semakin tajam sinar mata yang memancar ke luar dari balik mata Toa-tauke. Dari balik bajunya Tiok Yap-cing mengambil ke luar segulung kertas, lalu ujarnya lagi.

   "Inilah daftar nama yang ia berikan untukku, dia akan bertanggung jawab untuk membawa datang semua orang tersebut"

   Setelah menerima gulungan kertas tersebut, Toa-tauke segera bertanya lagi.

   "Sampai kapan mereka baru akan tiba di sini?"

   "Paling lambat besok sore!"

   Toa-tauke segera menghembuskan napas panjang.

   "Aaaaiii......baiklah atur semua persiapan bagiku, besok sore akan kutemui A-kit!"

   "Baik!"

   Kembali Toa-tauke menepuk-nepuk bahunya lalu berkata lagi.

   "Aku hanya tahu dalam persoalan apapun kau pasti dapat aturkan segala sesuatunya bagiku"

   Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya, ia berkata lebih jauh.

   "Malam ini kau boleh beristirahat dengan nyenyak, besok pagipun boleh bangun rada lambat, perempuan itu.........."

   Ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya. Tiok Yap-cing segera membungkukkan badannya memberi hormat, katanya sambil tertawa paksa.

   "Aku tahu, aku pasti tak akan menyia-nyiakan maksud baik Toa-tauke terhadap diriku!"

   Toa-tauke tertawa terbahak-bahak.

   "Haaaahhhh.......... haaaahhhhhh...... haaahhhhhh....... bagus, bagus sekali!"

   Jenazah Thi-hou masih membujur di sana, tapi ia tidak memandang barang sekejappun.

   Toa-tauke belum pergi lama, Thi-jiu (si tangan baja) A-yong telah memburu datang, ia berlutut di hadapan jenazah Thi-hou dan menangis tersedu-sedu.

   Menyaksikan keadaan tersebut, Tiok Yap-cing segera mengernyitkan alis matanya, lalu menegur.

   "Air mata seorang lelaki sejati tak akan mengucur keluar secara sembarangan, manusia yang telah mati tak akan hidup kembali, apalagi yang kau tangisi?"

   "Aku bukan menangis baginya, aku menangisi diriku sendiri", sahut A-yong sedih. Lalu sambil menggigit bibir dan mengepal sepasang tinjunya, ia berkata lebih jauh.

   "Karena pada akhirnya aku telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimanakah nasib dari orang-orang yang bekerja baginya!"

   "Sikap Toa-tauke terhadap orang toh terhitung baik sekali.....", kata Tiok Yap-cing.

   "Tapi sekarang setelah Thi-hou mati, paling tidak Toa-tauke harus aturkan penguburannya dengan sepantasnya......."

   "Toa-tauke tahu bahwa aku bisa mengaturkan segala sesuatunya itu baginya", tukas Tiok Yapcing dengan cepat.

   "Kau? Thi-hou mampus lantaran urusan Toa-tauke ataukah karena urusanmu?"

   Dengan cepat Tiok Yap-cing menutup bibirnya, tapi dua puluhan orang laki-laki kekar yang berdiri dalam gardu persegi enam telah berubah wajah sesudah mendengar perkataan itu.

   Siapapun tahu betapa setianya Thi-hou terhadap Toa-tauke, siapapun tak ingin mempunyai nasib seperti apa yang dialaminya sekarang.........

   Kembali Tiok Yap-cing menghela napas panjang, katanya.

   "Aku tak mau tahu Thi-hou mati karena siapa, aku hanya tahu jika sekarang Toa-tauke suruh aku mati, aku akan segera berangkat untuk mati!"

   Malam telah menjelang tiba.

   Tiok Yap-cing menembusi jalan kecil di belakang gardu persegi enam, berjalan ke luar dari pintu sudut dan masuk ke sebuah lorong sempit di luar dinding pekarangan.

   Setelah menembusi tikungan lorong sempit tadi, muncullah sebuah pintu kecil.

   Ia mengetuk pintu itu tiga kali, lalu mengetuk lagi dua kali, pintupun segera terbuka, itulah sebuah halaman kecil yang redup, gelap dan sama sekali tak bercahaya.

   Seorang kakek bungkuk menutup pintu itu, lalu diberi palang kayu di belakangnya.

   "Mana orangnya?", tegur Tiok Yap-cing dengan suara dalam. Kakek bungkuk itu tidak menjawab, dia hanya menggeserkan sebuah gentong air dari sudut ruangan, lalu memindahkan sebuah ubin batu dari permukaan lantai. Gentong air maupun ubin batu itu bukan benda yang enteng, tapi sewaktu memindahkannya ternyata ia seperti tidak ngotot, seakan-akan sama sekali tidak mempergunakan tenaga. Sebercak sinar lirih memancar keluar dari bawah ubin, dan menyinari undak-undakan batu. Sambil bergendong tangan pelan-pelan Tiok Yap-cing menuruni undak-undakan batu itu. Ruangan bawah tanah itu lembab dan gelap, di sudut ruangan duduk dua orang, ternyata mereka adalah si bisu dengan bininya. Tentu saja mereka belum mampus, A-kit sama sekali tak melenyapkan jiwa mereka, tapi siapapun tidak tahu mengapa mereka bisa sampai di situ. Bahkan mereka sendiripun tidak tahu. Mereka cuma teringat batok kepalanya dipukul orang secara tiba-tiba, ketika sadar kembali tahutahu mereka sudah berada di sini. Hawa amarah masih menghiasi raut wajah si bisu, sebab begitu ia sadar kembali dari pingsannya, sang bini lantas mulai menggerutu tiada hentinya.

   "Aku tahu hanya kesulitan dan kesialan yang ia berikan untuk kita berdua, aku sudah tahu kalau kali ini........"

   Perkataan itu tidak berkelanjutan karena ia telah menyaksikan seseorang menuruni anak tangga batu, meskipun sekulum senyuman masih menghiasi ujung bibirnya, tapi di bawah sinar lampu yang redup, tampaklah betapa misteriusnya orang itu.

   Tak tahan lagi ia bergidik dan merinding, dipegangnya lengan suaminya yang besar dan kasar itu erat-erat.

   Tiok Yap-cing tersenyum sambil memandang ke arah mereka berdua, ujarnya dengan lembut.

   "Kalian tak usah takut, aku bukan datang untuk mencelakai kalian, aku tidak lebih hanya ingin mengajukan beberapa buah pertanyaan kepada kamu berdua"

   Dari sakunya dia mengeluarkan setumpuk daun emas dan dua keping uang perak putih, sambil disodorkan ke muka ia berkata.

   "Asal kalian bersedia menjawab dengan sejujurnya, semua emas dan perak ini akan menjadi milik kalian, uang tersebut sudah lebih dari cukup bagi kalian sebagai modal untuk membuka sebuah warung makan kecil"

   Si Bisu menggigit bibirnya kencang-kencang, sementara isterinya menunjukkan sinar mata yang rakus, selama hidupnya belum pernah ia menjumpai uang emas sebanyak itu.

   Perempuan manakah yang tidak suka uang emas? Senyuman yang menghiasi bibir Tiok Yap-cing lebih lembut dan hangat.

   Ia paling suka menyaksikan orang lain menunjukkan titik kelemahan di hadapan mukanya, diapun telah melihat bahwa cara yang ia pergunakan pasti akan mendatangkan hasil seperti apa yang ia harapkan.

   Maka ia segera bertanya.

   "Sebelum mereka langsungkan pertarungan, pernahkah kedua orang itu terlihat dalam suatu pembicaraan sengit?"

   "Ya, pernah!"

   "Benarkah nama asli dari Thi-hou adalah Lui Ceng-thian? Hong-im-lui-hou (Harimau guntur angin dan mega) Lui Ceng-thian?"

   "Agaknya betul!", jawab bininya si bisu.

   "aku seperti mendengar ia mengakuinya sendiri, tidak banyak orang dalam dunia persilatan yang bisa mengalahkan Lui Ceng-thian!"

   Tiok Yap-cing tersenyum. Sekalipun dalam soal ini Thi-hou berhasil membohongi Toa-tauke, tapi tak akan mampu untuk membohonginya, tak pernah ada orang yang mampu membohonginya. Maka ia kembali bertanya.

   "Apakah A-kit telah menyebutkan namanya sendiri?"

   "Tidak!", kembali bininya si bisu menjawab.

   "tapi aku lihat Thi-hou sepertinya telah mengetahui siapa gerangan dirinya......."

   Selama ini si bisu hanya melotot ke arahnya, hawa amarah memenuhi sorot matanya, tiba-tiba telapak tangannya melayang dan........."Plok!", sebuah tamparan bersarang telak di atas wajahnya membuat perempuan itu hampir saja terangkat ke udara.

   Perempuan itu dengan kalap berteriak.

   "Aku sudah hidup sengsara denganmu semenjak muda, kesempatan baik telah tiba, kenapa kita mesti melepaskannya dengan begitu saja? Atas dasar apa kau harus menjaga rahasia buat temanmu yang mendatangkan kesialan itu? Kebaikan apa yang telah ia berikan kepada kita?"

   Sekujur badan si bisu gemetar keras, ia benar-benar amat mendongkol dan marah.

   Kini, perempuan tersebut sudah bukan istri yang baik dan lembut lagi, sekarang dia sudah menjadi seorang perempuan tamak yang bersedia menjual segala-galanya demi untuk mendapatkan uang emas.

   Perempuan yang tak mau mengakui lagi suaminya lantaran emas bukan cuma dia seorang, pun dia bukan perempuan yang terakhir.

   Secara tiba-tiba saja ia menemukan bahwa perempuan itu dulu bersedia hidup sengsara dengannya lantaran selama ini belum pernah ada kesempatan baik yang pernah dijumpainya, coba kalau tidak, mungkin semenjak dulu-dulu ia telah pergi meninggalkannya.

   Jalan pemikiran tersebut ibaratnya sebuah jarum tajam yang masuk ke dalam hati kecilnya.

   Dia masih saja berteriak keras.

   "Kau melarang aku mengucapkannya keluar, tapi aku justru sengaja mengucapkannya, kalau kau tidak ingin menikmati kebahagiaan sekarang juga, kau boleh enyah, enyah makin jauh semakin baik, aku.........."

   Belum sampai ucapan tersebut di selesaikan, si bisu telah menerkam ke depan, sekuat tenaga dicekiknya leher perempuan itu, sedemikian besarnya tenaga yang dipakai untuk mencekik sehingga seluruh otot-otot hijau pada lengannya pada menonjol keluar.

   Tiok Yap-cing sedikitpun tidak bermaksud melerai atau mencegah terjadinya tragedi tersebut, ia hanya menonton dengan tenang dari samping, malah sekulum senyum menghiasi ujung bibirnya.

   Menanti si bisu menemukan bahwa tenaga yang dipergunakan untuk mencekik terlampau besar, ketika dia mengetahui napas isterinya sudah berhenti, ia baru melepaskan cekikannya, sayang sudah terlalu lambat.

   Dengan terkejut ditatapnya sepasang tangannya sendiri, kemudian diperhatikan pula istrinya yang sudah menjadi mayat, air mata dan keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya seperti hujan yang bercucuran.

   Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya.

   "Bagus, bagus sekali! Kau memang seorang lelaki sejati, tidak banyak kaum pria di dunia ini yang sanggup mencekik mampus bini sendiri dalam waktu singkat, aku sangat mengagumimu!"

   Si Bisu memperdengarkan suara raungan rendah seperti pekikan binatang buas, tiba-tiba ia putar badan dan menerkam ke depan. Tiok Yap-cing segera mengebaskan ujung bajunya untuk menahan gerak maju si Bisu, katanya dengan dingin.

   "Yang membunuh binimu toh kau sendiri dan bukan aku, kenapa kau musti menerkam aku?"

   Tanpa berpaling lagi ia berjalan ke luar dari bawah tanah, belum sampai melangkah undakundakan batu, tiba-tiba ia mendengar suara benturan nyaring.......

   "Braaaaaakkkk........!"

   Tak usah berpaling ia sudah tahu bahwa suara itu berasal dari kepala manusia yang membentur di atas dinding batu, hanya batok kepala yang hancur baru akan memperdengarkan suara semacam ini.

   Tiok Yap-cing belum juga palingkan kepalanya.

   Terhadap kejadian tersebut, ia tidak merasa di luar dugaan, pun tidak merasa bersedih hati, bukan saja ia telah memperhitungkan akibat tersebut, masih banyak nasib manusia yang berada dalam cengkeramannya.

   Terhadap keberhasilannya ia merasa puas, dia harus mencari akal untuk baik-baik memberi hadiah kepada diri sendiri.

   ****************** Hal.

   53-54 hilang.

   ****************** "Aaaahhh.....! Kesemuanya ini tidak lain karena kau terlalu pandai bersandiwara, ternyata kau bisa membuat dia mengira bahwa kau paling benci kepadaku, dan membuat dia sudah menjadi telur busuk tuapun masih merasa sangat bangga"

   Dengan ujung jarinya pelan-pelan Ki-ling membuat lingkaran di atas dada kekasihnya, lalu berbisik lagi.

   "Tapi aku sendiripun merasa tidak habis mengerti, sesungguhnya permainan setan apakah yang sedang kau lakukan selama ini?"

   "Permainan setan apa yang sedang kulakukan?"

   "Bukankah kau telah mencarikan lagi sejumlah bala bantuan untuk membantu si kura-kura tua itu?"

   "Ehmmm! Benar......."

   "Siapa-siapa saja yang telah kau undang datang?"

   "Pernahkah kau mendengar tentang Hek-sat (Pembunuh hitam)?"

   Ki-ling gelengkan kepalanya berulang kali.

   "Apakah Hek-sat adalah seorang manusia?", ia balik bertanya.

   "Bukan, bukan cuma seorang manusia melainkan sekelompok manusia!"

   "Kenapa mereka harus mencari nama yang tak begitu sedap didengar untuk diri sendiri?"

   "Karena pada hakekatnya mereka seperti semacam penyakit menular, barang siapa bertemu dengan mereka, maka jangan harap jiwanya bisa ketolongan lagi!"

   "Manusia macam apa saja yang tergabung dalam kelompok tersebut.....?"

   "Manusia beraneka ragam ada semua dalam kelompok itu, ada yang berasal dari aliran rendah, ada pula yang berasal dari partai Bu-tong atau partai Siau-lim, tapi lantaran melanggar peraturan, maka mereka dikeluarkan dari perguruan, bahkan ada pula yang datang dari Hu-siang-to di lautan Timur, orang-orang itu dinamakan orang suku Ainu yang kebanyakan mengembara ke daratan kita!"

   Suku Ainu adalah penduduk asli Jepang yang kebanyakan berdiam di pulau Okinawa.

   "Apakah mereka semua memiliki serangkaian ilmu silat yang amat luar biasa hebatnya?"

   Tiok Yap-cing manggut-manggut.

   "Ya, cuma bagian yang benar-benar paling menakutkan dari mereka bukanlah ilmu silat yang mereka miliki!"

   "Lantas apa?"

   "Mereka adalah sekelompok manusia yang paling tidak tahu malu dan paling tak menyayangi nyawa sendiri!"

   Mendengar ucapan tersebut, Ki-ling menghela napas panjang, mau tak mau dia harus mengakuinya juag.

   "Ya, manusia semacam ini memang benar-benar amat sukar untuk dilayani........"

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Oleh karena itu kau baru merasa heran, kenapa aku musti mencari orang-orang itu untuk membantu kura-kura tua guna menghadapi A-kit........?"

   "Ehmmm! Benar........."

   Tiok Yap-cing kembali tersenyum.

   "Kenapa tidak kau bayangkan, sekarang bahkan Thi-hou yang tersohor karena kelihayannya pun sudah mampus, kalau tiada orang-orang itu yang melindungi keselamatan jiwanya, mana ia berani pergi menjumpai A-kit? Kalau A-kit bahkan wajahnyapun tak pernah djumpai, mana mungkin jiwanya bisa direnggut?"

   Dengan cepat Ki-ling dapat memahami maksud hatinya, meski demikian toh tak tahan ia bertanya lagi.

   "Setelah ada orang-orang semacam itu yang melindungi keselamatan jiwanya, mana mungkin dia bakal mampus?"

   "Ya, justru dia akan mampus dengan lebih cepat lagi!"

   "Masakah manusia-manusia yang begitu lihaypun masih juga buka tandingan dari A-kit?", Ki-ling nampak kurang percaya.

   "Pasti bukan tandingannya!"

   "Maka dari itu, kali ini dia sudah pasti akan mampus!"

   "Kemungkinan besar memang demikian!"

   Ki-ling segera melompat bangun dan menindih di atas badannya dengan kening berkerut tiba-tiba ia berseru.

   "Tapi kau telah melupakan akan satu hal!"

   "Oya?"

   "Setelah kematian Toa-tauke, bukankah yang bakal dihadapi A-kit adalah kau sendiri?"

   "Kemungkinan besar memang demikian!"

   "Sampai waktunya, apa yang siap kau lakukan?"

   Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab.

   "Apakah kau sudah mempunyai cara bagus untuk menghadapinya?, desak Ki-ling lagi. Tiok Yap-cing tidak menyangkal, tapi diapun tidak berkata apa-apa........

   "Kau yakin pasti berhasil?"

   "Kapan sih kulakukan pekerjaan yang tidak kuyakini?", tiba-tiba Tiok Yap-cing balik bertanya. K-ling segera menghembuskan napas lega, dengan ujung bajunya ia mengerling sekejap ke arahnya, lalu ujarnya.

   "Menanti kejadian itu telah berlangsung, sudah barang tentu kau adalah Toa-tauke baru, bagaimana dengan aku?"

   "Tentu saja kau adalah nyonya tauke!", jawab Tiok Yap-cing sambil tertawa tergelak. Ki-ling tertawa merdu, seluruh tubuhnya menindih di atas badan pemuda itu, lalu sambil menggigit pelan ujung telinganya, ia berbisik.

   "Lebih baik kau musti ingat, nyonya tauke hanya ada satu, kalau tidak maka........"

   Perkataannya belum habis diucapkan ketika tiba-tiba Tiok Yap-cing menutup bibirnya sambil berbisik rendah.

   "Siapa?"

   Bayangan manusia berkelebat lewat di luar jendela, menyusul seseorang menjawab dengan suara yang rendah dan parau.

   "Aku, Cui losam!"

   "Silahkan masuk......!", bisik Tiok Yap-cing lagi sambil menghembuskan napas panjang. Kembali sesosok bayangan manusia berkelebat lewat.

   "Kreeekkk", daun jendela di buka orang, cahaya lampu pun berkelebat lebat, tahu-tahu seseorang telah berdiri di hadapan mereka. Ketika sinar lampu menimpa di atas wajahnya, maka tampaklah raut mukanya yang hijau membesi serta bibirnya yang tampak kejam dan buas. Sepasang matanya tajam tersembunyi di balik topi lebarnya yang terbuat dari anyaman bambu dan menatap bahu Ki-ling yang telanjang lekat-lekat. Sekalipun sebagian besar tubuh Ki-ling sudah tersembunyi di balik selimut, tapi barang siapapun yang berada di situ pasti dapat menyaksikan dengan jelas sebagian kecil tubuhnya yang berada di luar, dan dari bagian yang terlihat itu orang pasti bisa membayangkan keseluruhan dari tubuhnya yang telanjang itu, tak bisa disangkal lagi bagian tubuh lainnya yang bugil sudah pasti sama halus dan putihnya seperti kulit pada bahunya. Sudah barang tentu Ki-ling juga bisa menduga, apa yang mereka pikirkan di kala kaum pria sedang memperhatikannya. Akan tetapi ia sama sekali tidak menarik kembali bagian tubuhnya yang berada di luar selimut, ia paling suka menyaksikan kaum lelaki memandang ke arahnya dengan sinar mata seperti itu. Cui losam merendahkan lagi topi lebarnya sehingga hampir menutupi sebagian besar wajahnya, dengan dingin ia bertanya.

   "Siapakah perempuan itu?"

   "Dia adalah orang kita sendiri. Tidak menjadi soal!", jawab Tiok Yap-cing cepat. Ki-ling mencibirkan bibirnya, tiba-tiba diapun bertanya.

   "Cui losam yang ini bukankah Im-li-kim-kong (Kim kong dalam mega) Cui losam yang dimaksudkan?"

   Sambil tersenyum Tiok Yap-cing manggut-manggut.

   "Betul, banyak tahun sudah kami telah berkenalan ketika kita masih ada di wilayah Liau pak tempo hari"

   "Oleh karena itu kaupun sudah tahu kalau Thi-hou sesungguhnya bukan dia.......?", sambung Kiling lagi. Menyinggung soal Thi-hou, sepasang tangan Cui losam segera mengepal kencang-kencang. Tiok Yap-cing tertawa katanya.

   "Sekarang perduli siapakah Thi-hou itu sudah tidak menjadi soal lagi, karena aku telah membunuhnya untuk dia!"

   "Sekarang apakah jenazahnya masih ada di sini?", tanya Cui losam sambil menahan geramnya.

   "Ya, masih berada di luar, setiap waktu setiap saat kau boleh mengangkutnya pergi!"

   Cui losam mendengus dingin. Kalau seseorang yang sudah matipun mayatnya tidak dilepaskan dengan begitu saja, dari sini dapat diketahui bahwa permusuhan serta rasa dendam mereka berdua sudah benar-benar amat mendalam.

   "Dimana orang-orang yang ku kehendaki?", Tiok Yap-cing gantian bertanya kepadanya.

   "Aku telah berjanji membawa mereka datang, tentu saja mereka pasti akan datang!"

   "Ke sembilan orang itu pasti akan datang semua?"

   "Ya, seorangpun tak akan berkurang!"

   "Kita akan bertemu muka di mana?"

   "Merekapun amat suka bermain perempuan, mereka semua pernah mendengar pula kalau di sini terdapat seorang perempuan yang bernama Han toa-nay-nay!"

   Tiok Yap-cing segera tersenyum, katanya. ~Bersambung ke Jilid-9 Jilid-9

   "Sekalipun saat ini Han toa-nay-nay sudah tidak ada lagi, tapi aku masih dapat menjamin bahwa mereka tentu akan memperoleh kepuasan seperti apa yang diharapkan!"

   Setajam sembilu sorot mata Cui losam yang memancar keluar dari balik topi lebarnya, dengan dingin dia berkata.

   "Kau harus memberi kepuasan secukupnya untuk mereka, sebab kepuasan itu merupakan kepuasan paling akhir yang bisa mereka rasakan!"

   Tiok Yap-cing mengernyitkan alis matanya.

   "Kenapa bisa dibilang kepuasan yang terakhir kalinya?", dia balik bertanya. Cui losam tertawa dingin.

   "Heeeehhhh..... heeehhhh..... heeehhhhh.... kau sendiri seharusnya juga tahu, adapun kedatangan mereka kali ini bukan untuk membunuh, melainkan hanya datang untuk menghantar kematian sendiri!"

   "Menghantar kematian sendiri?"

   "Kalau Thi-hou yang tangguhpun bisa disingkirkan oleh A-kit. Merekapun pasti ikut terbunuh pula di tangannya!"

   Kali ini Tiok Yap-cing tertawa, katanya.

   "Waaahhhh........rupa-rupanya dalam persoalan apapun aku tak mungkin bisa mengelabui dirimu!"

   Cui losam kembali mendengus.

   "Hmmm. Aku bisa hidup sampai sekarang, semuanya bukanlah menggantungkan pada nasib!"

   "Oleh karena itu kau pasti bisa hidup lebih jauh!"

   "Hammm!", Cui losam cuma mendengus.

   "Lagi pula akupun menjamin kehidupanmu selanjutnya pasti akan jauh lebih bahagia daripada kehidupanmu yang lewat!", Tiok Yap-cing menambahkan lebih jauh.

   "Oya?"

   "Oleh karena itu sekalipun orang lain mati karena nasibnya buruk, kaupun tak usah merasa terlampau sedih"

   Sekali lagi Cui losam menatapnya tajam-tajam, lama, lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata.

   "Walaupun aku turut serta dalam golongan Hek-sat, tapi orang-orang itu bukanlah terhitung temantemanku"

   "Tentu saja mereka masih belum pantas untuk menjadi sahabatmu!"

   "Pada hakekatnya aku memang tak berteman, seorang temanpun tidak kumiliki, karena selamanya aku tak pernah percaya kepada siapapun juga!"

   Dengan cepat Tiok Yap-cing dapat memahami maksud sesungguhnya dari perkataan itu.

   "Oleh karena itu kaupun tidak terlalu percaya terhadap apa yang kuucapkan sekarang!", sambungnya. Cui losam tertawa dingin.

   "Tapi kau tak perlu kuatir", sambung Tok Yap-cing lebih jauh.

   "aku dapat memberi jaminan kepadamu!"

   "Jaminan apa?"

   "Apapun yang kau kehendaki pasti akan kupenuhi!"

   "Aku menghendaki agar kau menulis sepucuk surat keterangan yang isinya menerangkan bahwa kau telah suruh aku melaksanakan pekerjaan itu......!"

   "Boleh!", Tiok Yap-cing segera menyanggupi tanpa berpikir panjang lebih jauh.

   "Aku minta agar sebelum tengah hari besok, kau musti setor uang sebesar sepuluh laksa tahil perak ke dalam bank 'Lip-gwan' atas nama pribadi!"

   "Boleh!"

   Pelan-pelan Cui losam mengalihkan sorot matanya ke atas bahu Ki-ling yang telanjang kemudian menambahkan.

   "Dan akupun menghendaki perempuan ini!"

   Sekali lagi Tiok Yap-cing tertawa.

   "Aaaahhhh.....! Kalau cuma urusan itu sih gampang, sekarang juga kau boleh membawanya pergi!"

   Tiba-tiba ia menyingkap kain selimut yang menutupi tubuh Ki-ling.

   Ketika angin dingin berhembus masuk dari luar jendela, tiba-tiba tubuh perempuan itu kembali bergetar keras seperti seekor ular.

   Tiba-tiba saja Cui losam merasakan segulung hawa panas menyembur naik ke dalam tenggorokannya, ternyata bagian lain dari perempuan ini jauh lebih indah dan mempesonakan dari pada apa yang dibayangkan semula......

   Sekujur tubuh Ki-ling gemetar semakin keras, sepasang pahanya dikempit kencang-kencang.

   Menyaksikan adegan yang begitu merangsang dan menggairahkan, Cui losam merasakan tenggorokannya seakan-akan sudah tercekik kencang.

   Pada saat itulah, tiba-tiba selimut disingkap orang lagi, menyusul kemudian serentetan cahaya pedang berkelebat lewat.

   Tahu-tahu sebilah pedang sudah menusuk di atas tenggorokannya.

   Sepasang matanya segera menongol ke luar, melotot ke wajah Tiok Yap-cing tanpa berkedip.

   Para muka Tiok Yap-cing sama sekali tidak berubah, hanya ujarnya dengan hambar.

   "Tentunya kau tak pernah menyangka kalau aku masih bisa mempergunakan pedang!"

   Dari tenggorokan Cui losam hanya memperdengarkan suara gemuruh yang mengerikan, sepatah katapun sudah tak mampu diucapkan lagi.

   Ia bisa hidup sampai sekarang sesungguhnya sudah merupakan suatu perjuangan yang tidak gampang, ternyata kali ini ia mampus dengan cara yang begitu gampang.

   Di ujung pedang itu masih ada noda darah.

   Tiba-tiba Ki-ling menghela napas lagi, katanya.

   "Bukan hanya dia yang tidak menyangka, bahkan aku sendiripun tidak pernah mengira!"

   "Kau tidak mengira kala aku bisa mempergunakan pedang?", Tiok Yap-cing berkata.

   "Kau bukan saja pandai menggunakan pedang, lagi pula pasti adalah seorang jago lihay!"

   Tiok Yap-cing tertawa dingin.

   "Heeehhhh.....heeehhhh....heeehhhhh....sekarang tentunya kau sudah mengerti, bukan saja aku adalah seorang jago, bahkan merupakan jago diantara jago lihay"

   Tiba-tiba sinar mata Ki-ling memancarkan inar takut dan ngeri, sambil menubruk ke depan dan menempelkan tubuhnya yang telanjang di atas tubuhnya ia memohon.

   "Tapi kau tentunya sudah tahu bukan bahwa aku tak akan membocorkan rahasiamu, aku seakanakan sudah tahu kalau kau tak akan menghadiahkan tubuhku untuk orang lain!"

   Tiok Yap-cing termenung agak lama, akhirnya ia memeluk pinggangnya dan menjawab dengan lembut.

   "Aku mengerti!"

   Ki-ling menghembuskan napas panjang.

   "Asal kau bersedia mempercayaiku, pekerjaan apapun jua pasti akan kulakukan untukmu!", bisiknya.

   "Sekarang aku justru mempunyai sebuah tugas penting yang harus kau lakukan!"

   "Pekerjaan apakah itu?"

   "Gantikan kedudukan Han toa-nay-nay untuk melayani saudara-saudara dari kelompok Hek-sat, berusahalah mencari akal agar mereka merasa puas dalam segala hal, dengan begitu mereka baru bersedia menjual nyawanya demi Toa-tauke, mengadu jiwa untuk membunuh, A-kit pun pasti tak akan melepaskan mereka!"

   Tiba-tiba ia berkata lagi sambil tertawa.

   "Cuma semua persoalan itu adalah pekerjaan untuk besok sore, sekarang tentu saja kita masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan dengan segera!"

   Bila seorang perempuan benar-benar berhasil kau taklukkan, dia memang bersedia pula untuk melakukan semua pekerjaan yang kau perintahkan kepadanya.

   Ketika Ki-ling sadar kembali, ia merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga, pinggangnya terasa linu dan amat sakit, bahkan hampir saja sepasang matanya tak sanggup dipentangkan kembali.

   Menanti sepasang matanya betul-betul sudah terpentang lebar, ia baru mengetahui bahwa Tiok Yap-cing telah tiada di sisi pembaringan lagi, sementara noda darah dan mayat yang semula membujur dan mengotori lantai, kini sudah lenyap tak berbekas.

   Lam sekali dia menyembunyikan kembali tubuhnya di balik selimut, seakan-akan sedang teringat kembali kegilaan dan kehangatan permainan mereka semalam.

   Tapi menanti ia sudah merasa yakin bahwa Tiok Yap-cing betul-betul sudah tidak berada di rumah tersebut, dengan cepatnya dia melompat bangun, hanya menutupi tubuhnya dengan selembar jubah panjang dan bertelanjang kaki dia lari keluar dari pintu ruangan.

   Tapi begitu pintu dibuka dan ia bermaksud melangkah keluar dari situ, dengan cepat perempuan itu berdiri tertegun.

   Apa yang ia lihat di situ? Mungkinkah ada sesuatu yang mengerikan hatinya atau suatu pemandangan yang membuatnya terperanjat? Ternyata seorang kakek bertubuh bungkuk yang rambutnya telah berubah semua telah berdiri angker di luar pintu.

   Seluruh wajahnya penuh bercodet, mukanya seram dan mengerikan, sekulum senyuman yang aneh dan misterius selalu menghiasi ujung bibirnya hingga membuat kakek itu tampak begitu seram dan menggidikkan hati siapapun jua.

   Ketika itu dia sedang mengawasi ke arahnya dengan sinar mata yang cukup mendirikan bulu roma orang.

   Ki-ling menjerit lengking saking kagetnya.

   "Aaaahhhhh......! Siapa........siapakah kau.........?", teriaknya keras-keras. Bukan potongan tubuhnya atau mimik wajahnya saja yang tampak menggidikkan hati, ternyata suara dari kakek bungkuk itu jauh lebih parau, lebih dingin dan mengerikan daripada Cui-losam.

   "Heeehhhh...... heeeeehhhhh..... heeeehhhhh..... aku sengaja datang untuk menyampaikan kabar penting untukmu!", jawabnya kemudian. Ki-ling menarik napas panjang-panjang. Ia berusaha keras untuk menenangkan hatinya yang berdebar cepat serta pikirannya yang makin kalut itu. Sesaat kemudian, ketika perasaannya berhasil ditenangkan kembali, ia baru bertanya.

   "Kabar berita apakah itu?"

   "Saudara-saudara dari Hek-sat telah datang lebih pagi, sekarang mereka sedang menanti nona di gedung kediaman Han toa-nay-nay!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah kau hendak menemani aku ke sana?"

   Gelak tertawa kakek bungkuk itu betul-betul menakutkan.

   "Heeeeehhhh......heehhhhh....heeeehhhhh.....Yap-sianseng telah berpesan, jika aku berani meninggalkan nona selangkah, maka sepasang kakiku hendak dipenggal untuk makanan anjing"

   OoooOOOOoooo Bab 11.

   Pembunuh Hitam Tempat itu bukan pantai pohon Yang-liu, di sanapun tiada hembusan angin atau rembulan di angkasa.

   A-kit sendiripun belum mabuk.

   Semalam, hampir saja dia mabuk, untungnya ia tak sampai mabuk lupa daratan.

   Ia telah mengunjungi banyak warung penjual arak, diapun banyak kali ingin berhenti membeli arak dan minum sampai mabuk, tapi ia tak mampu mengendalikan diri.

   Hingga tengah malam tiba, ia benar-benar sudah tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, maka diapun pergi mencari Biau-cu dan gadis menamakan diri si Boneka itu.

   Ia percaya pada waktu ia menemukan mereka, kedua orang itu pasti sudah selamat dan aman tenteram.

   Karena walaupun Toa-gou bukan seorang yang benar-benar bisa dipercaya, tapi rumah tangganya betul-betul adalah sebuah rumah tangga yang benar dan bahagia.

   Begitu wajar, begitu biasa dan amat tenteram.

   Dalam keluarga semacam ini, tak mungkin ada orang yang akan berkunjung lagi di tengah malam buta, seharusnya mereka sudah tidur semua.

   Maka dalam keadaan demikian, secara diam-diam ia dapat menyusup masuk ke dalam, pergi menggenggam tangan Biau-cu, memperhatikan sepasang mata si Boneka.

   Sekalipun tindakannya itu akan mengejutkan istri Toa-gou, dia pun bisa minta maaf kepadanya sebelum ngeloyor pergi meninggalkan tempat itu.

   Ia pernah berjumpa dengan istrinya Toa-gou, dia adalah seorang perempuan yang sederhana jujur, asal suaminya dan anak-anaknya bisa hidup dengan baik, ia sudah merasa amat puas sekali.

   Keluarga mereka adalah di bimbing dan dibangun dari keharmonisan keluarga, kehematan mereka menabung, serta sepasang tangan yang pandai jahit menjahit itu.

   Rumah itu adalah sebuah rumah kecil yang sederhana, terdiri dari tiga buah ruangan dengan sebuah ruang tengah, kamar paling kecil dipakai untuk dayangnya, dia dan suaminya serta anak yang paling bungsu menempati kamar paling besar, sedang sebuah kamar lainnya dipakai oleh putra sulung serta putrinya.

   Tahun ini putra sulungnya baru sebelas tahun.

   A-kit pernah berkunjung satu kali ke rumah mereka yaitu ketika menghantar si Boneka dan Biau-cu ke situ.

   Ia pernah pula menyaksikan kehidupan keluarga mereka, bukan saja perasaan A-kit tersentuh, diapun merasa amat keheranan....

   Ia heran kenapa setelah seseorang mempunyai keluarga semacam ini, dia masih bisa melakukan pekerjaan semacam itu? "Aku berbuat demikian demi memelihara kehidupan keluargaku", Toa-gou pernah menerangkan.

   "demi kelangsungan hidup, demi seluruh isi keluargaku, terpaksa pekerjaan apapun harus kulakukan"

   Mungkin saja apa yang dia katakan adalah pengakuan yang sejujurnya, mungkin juga bukan.

   Ketika mendengar pengakuan tersebut, A-kit merasakan hatinya agak pedih dan sakit.

   Sesudah melampaui masa kehidupan yang penuh kesengsaraan dan pahit getir, ia baru mengetahui bahwa untuk kelangsungan hidup seseorang di dunia ini sesungguhnya tidak segampang apa yang pernah ia bayangkan dulu.

   Mereka seringkali memang dipaksa untuk melakukan suatu pekerjaan yang sebenarnya sangat tidak dikehendaki.

   Walaupun dia hanya berkunjung sekali, tapi kesan yang ditinggalkan rumah tangga itu dalam benaknya amat mendalam sekali, oleh sebab itu ketika ia berkunjung kembali ke sana, sengaja dibelinya sebungkus gula-gula untuk dihadiahkan kepada putra-putri mereka.

   Tapi kini gula-gula itu sudah berserakan di atas lantai.

   Sebab ia tidak menjumpai lagi Toa-gou suami isteri, iapun tidak menjumpai putra-putrinya, bahkan sang dayangpun sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya......

   Pada hakekatnya hanya seorang yang berdiam dalam rumah itu......hanya Biau-cu seorang yang duduk termangu-mangu di ruang tamu, duduk di hadapan sebuah meja perjamuan yang penuh dengan sayur dan arak dengan sepasang mata mendelong.

   Perabot dalam ruangan tamu amat sederhana, di atas meja pemujaan berdirilah dua buah patung yang pada hakekatnya tiada perbedaan lagi di tempat manapun juga......yakni patung dari Kwanim Pousat serta Kwan Kong.

   Meja sembahyang itu berada di tepi dinding persis depan meja tersebut sebuah meja yang sudah kuno, kotor dan lapuk, tapi sekarang justru tersedia aneka macam hidangan yang lezat dan nikmat, jelas bukan arak dan sayur yang bisa dicicipi oleh manusia semacam mereka ini.

   Seguci arak Tiok Yap-cing yang berusia dua puluh tahun, ditambah kepiting besar, udang bago serta Ang-sio-hi-sit.

   Biau-cu seperti duduk tertegun di depan arak dan hidangan yang lezat-lezat itu.

   Sepasang matanya kosong melompong, wajahnya kaku sama sekali tiada emosi.

   Seketika itu juga A-kit merasakan hatinya berat dan seolah-olah terjatuh dari atas tebing yang tingginya mencapai beberapa ratus kaki.

   Dari pandangan matanya yang kosong dan hampa itu, ia telah merasakan suatu firasat serta alamat yang tak enak, seakan-akan dia tahu bahwa bencana telah berada di depan mata.

   Biau-cu mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba ia berkata.

   "Duduk!"

   Di hadapannya tersedia sebuah bangku kosong, A-kit pun duduk di tempat yang telah tersedia itu. Tiba-tiba Biau-cu mengangkat cawannya dan berkata lagi.

   "Minum!"

   Di depan meja tersedia cawan, dalam cawan telah berisi penuh arak wangi....... Tapi A-kit tidak meneguk arak tersebut. Biau-cu segera menarik muka, katanya.

   "Sayur dan nasi ini khusus disediakan untukmu, arak itupun khusus disiapkan bagimu!"

   "Maka dari itu aku harus meneguknya?", sambung A-kit.

   "Ya, harus!"

   A-kit ragu-ragu sejenak, akhirnya ia meneguk isi cawan itu hingga habis ludas.

   "Ehmm.......inilah arak Tiok Yap-cing", katanya.

   "Ya, Tiok Yap-cing adalah arak bagus!"

   "Walaupun arak bagus, sayang bukan orang baik!"

   Raut wajah Biau-cu berkerut kencang telinganya yang besar seperti kipas mulai kelihatan agak gemetar.

   "Kau pernah menjumpai manusia yang bernama Tiok Yap-cing itu.....?", kembali A-kit bertanya. Biau-cu mengigit bibir menahan diri, tiba-tiba ia mengambil seekor kepiting besar dan di lemparkan ke hadapannya.

   "Makan!", ia berseru keras. Itulah kepiting gemuk yang baru saja dikeluarkan dari kukusan, dagingnya yang putih dan penuh itu mengepulkan asap putih. Ini membuktikan bahwa sayur dan arak itu belum lama dihidangkan di atas meja. Mungkin Tiok Yap-cing telah memperhitungkan bahwa A-kit pasti akan tiba di situ, maka sengaja ia siapkan sayur dan arak untuk menantikan kehadirannya?. Lama kelamaan A-kit tak dapat mengendalikan diri lagi, tiba-tiba ia bertanya.

   "Sekarang di manakah orangnya?"

   "Siapa?"

   "Tiok Yap-cing!"

   Biau-cu segera mengangkat sepoci penuh arak wangi.

   "Inilah Tiok Yap-cing!", katanya.

   "Tiok Yap-cing berada di sini!"

   Tangannya sudah gemetar, sedemikian gemetarnya sehingga hampir saja poci arak itu tak sanggup digenggam lagi dengan baik.

   A-kit menyambut poci arak itu, ia baru merasa bahwa tangan sendiri ternyata lebih dingin daripada poci arak itu sendiri.

   Sekarang ia telah mengetahui bahwa dugaan sendiri sesungguhnya keliru besar, sebab ia sudah terlalu menilai rendah manusia yang bernama Tiok Yap-cing itu.

   Walaupun kekeliruan dugaannya tak sampai membinasakan dirinya, tapi sudah pasti telah mencelakai orang lain.

   Kembali ia penuhi cawan arak sendiri yang telah kosong itu, kemudian ia baru mempunyai keberanian untuk bertanya.

   "Di manakah si Boneka?"

   Meskipun sepasang kepalan Biau-cu mengepal kencang-kencang, tapi toh masih gemetar sangat hebat, tiba-tiba ia berteriak keras.

   "Kau masih ingin menjumpainya atau tidak?"

   "Masih ingin!"

   "Kalau begitu lebih baik turutilah perkataanku. 'Banyak makan, banyak minum dan sedikit bertanya'!"

   Benar juga sejak itu A-kit tidak lagi bertanya kepadanya, walau hanya sepatah katapun.

   Biau-cu suruh dia makan, diapun makan dengan lahap, Biau-cu suruh dia minum, diapun minum dengan rakus, arak Tiok yap-cing yang seharusnya wangi dan enak, ketika masuk ke dalam mulutnya ternyata telah berubah menjadi getir, kecut dan amat tak sedap.

   Tapi, bagaimanapun kecut dan getirnya arak tersebut, dia harus meneguknya terus, bahkan sekalipun arak itu arak beracun, diapun harus meneguknya sampai habis.

   Biau-cu hanya memandang dirinya, di antara sepasang matanya yang kosong dan hampa, tibatiba terpercik butiran air mata.

   A-kit tidak tega menyaksikan dirinya, dia pun tak berani memandang ke arahnya.

   Biau-cu sendiripun meneguk beberapa cawan arak secara beruntun, tiba-tiba berkata lagi.

   "Di belakang rumah sana ada pembaringan!"

   "Aku tahu!"

   "Setelah kenyang bersantap dan puas minum arak, tidurpun baru terasa nyenyak!"

   "Aku tahu!"

   "Bila tidurnya nyenyak, semangat badan baru menyala, dengan kekuatan serta semangat yang berkobar-kobar, kau baru bisa pergi membunuh orang!"

   "Membunuh Toa-tauke?"

   Biau-cu manggut-manggut.

   "Setelah Toa-tauke terbunuh, kau baru bisa bertemu dengan si Boneka.......", bisiknya. Ketika ia selesai mengucapkan kata-kata itu, air mata yang mengembang dalam kelopak matanya hampir saja meleleh keluar membasahi pipinya. Kelopak mata A-kit pun ikut mengembang kempis, ucapan tersebut diulanginya sekali lagi.

   "Setelah Toa-tauke terbunuh, aku baru bisa bertemu dengan si Boneka........."

   Sehabis mengucapkan perkataan itu, ia segera mulai bersantap lagi dengan lahap, minum dengan gencar.........

   Biau-cu tidak ambil diam, malah ia minum lebih banyak dan makan lebih cepat daripada rekannya.

   Kedua orang itu sama-sama tidak berbicara lagi, seguci besar arak wangi dan semeja penuh hidangan lezat, dalam waktu singkat telah tersapu habis oleh kedua orang itu.

   "Sekarang aku harus pergi tidur!", kata A-kit kemudian.

   "Pergilah!"

   Pelan-pelan A-kit bangkit berdiri dan berjalan ke ruang belakang, ketika tiba di depan pintu ia tak tahan untuk berpaling dan memandang rekannya sekejap, dia baru tahu kalau wajah Biau-cu telah basah kuyup oleh air matanya yang meleleh keluar....

   Di bawah sinar lentera, Toa-tauke sedang merentangkan gulungan kertas yang diserahkan Tiok Yap-cing kepadanya, di atas kertas tercantumlah nama dari sembilan orang.

   Pek Bok.

   Seorang murid dari partai Bu-tong, telah diusir dari perguruannya dan gemar mengenakan dandanan seorang imam, senjatanya pedang, tinggi badan enam depa delapan inci, ciri-ciri.

   Muka kuning, badan ceking, di antara alis matanya ada tahi lalat.

   Toh- hwesio.

   Berasal dari Siau-lim-pay, berdandan seorang Tauto ( hwesio yang memelihara rambut), tinggi badan delapan depa, kepandaian andalannya Hu-hou-lo-han-sin-kun (Pukulan sakti Lo-han penakluk harimau), ciri-ciri.

   Memiliki tenaga dalam yang maha sakti.

   Hek-kui.

   Seorang gelandangan dari wilayah Kwan-si, menggunakan golok dan gemar membunuh orang, tinggi badan enam depa dan sepanjang tahun mengenakan baju hitam, goloknya merupakan golok lemas yang bisa dipakai sebagai ikat pinggang.

   Suzuko.

   Seorang gelandangan dari negeri Kiu-ciu-kok yang ada di pulau Tang-ing-to, senjatanya sebilah samurai yang panjangnya delapan depa, gemar membunuh orang.

   Kanyo, adik Suzuko.

   Seorang jago dari negeri matahari terbit yang ahli dalam ilmu meringankan tubuh dan senjata rahasia.

   Ting Ji-long.

   Sesungguhnya dia adalah serang hartawan dari wilayah Kwan-tiong, setelah kekayaannya ludas, ia mulai mengembara dalam dunia persilatan, gemar minum arak dan main perempuan, senjata andalannya pedang.

   Cing Coa.

   Tinggi badan enam depa tiga inci, otaknya hebat dan tipu muslihatnya bisa diandalkan.

   Lo-cay.

   Usianya paling tua, jenggotnya panjang, gemar minum arak dan sering mabuk, sejak dulu sudah merupakan pembunuh bayaran, tak sedikit korban yang tewas di tangannya, belakangan ini karena sering minum sampai mabuk, pekerjaannya banyak yang terbengkalai.

   Hu Tau.

   Seorang lelaki kekar yang mempunyai tinggi badan sembilan depa, senjatanya sebuah kampak besar, perawakannya besar dan kuat, wataknya amat berangasan.

   Ketika selesai membaca nama dari ke sembilan orang itu, Toa-tauke baru menghela napas panjang, sambil mendongakkan kepalanya dia bertanya pelan.

   "Bagaimana menurut pendapatmu?"

   Yang ditanya adalah seorang laki-laki yang berusia masih amat muda, tapi mukanya segar dan memancarkan kecerdikan yang luar biasa.

   Di hari-hari biasa jarang sekali ada orang yang menyaksikan dia berada di samping toa-tauke, tentu saja tak ada yang mengetahui pula bahwa dia sesungguhnya adalah seseorang yang makin hari dipandang semakin tinggi oleh toa-tauke, oleh karena itu orang-orang memanggilnya dengan sebutan 'Siau-te' atau adik cilik.

   Ia sendiri tampaknya sudah melupakan pula nama aslinya.

   Di waktu-waktu biasa ia jarang sekali berbicara, hanya ketika toa-tauke mengajukan pertanyaan kepadanya, ia baru menjawab.

   "Tampaknya ke sembilan orang itu semuanya adalah pembunuh-pembunuh yang sangat berpengalaman!"

   Toa-tauke menyetujui pendapatnya itu.

   "Ya, memang! Tidak sedikit jumlah orang yang telah mereka bunuh!", sahutnya.

   "Ehmmm......."

   "Menurut pendapatmu, sanggupkah mereka menghadapi A-kit yang tak berguna itu?, kembali Toatauke bertanya. Siau-te ragu-ragu sebentar, kemudian jawabnya.

   "Mereka semuanya terdiri dari sembilan orang, sedang A-kit hanya mempunyai sepasang tangan, orang yang mereka bunuh tentu saja jauh lebih banyak dari A-kit!"

   Toa-tauke tersenyum, gulungan kertas itu diserahkan kepadanya lalu berkata lagi.

   "Esok pagi suruhlah orang untuk menyambut kedatangan mereka, asal mereka telah datang semua, hantar mereka ke gedung kediaman Han toa-nay-nay.........."

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Baik!"

   "Mereka pasti datang secara tidak berombongan, sebab kalau sembilan orang melakukan perjalanan bersama, rombongan itu tentu akan menarik perhatian banyak orang"

   "Benar!"

   Toa-tauke tersenyum, dia ulangi sekali lagi apa yang telah diucapkannya tadi.

   "Kau musti ingat baik-baik, bila ingin membunuh orang, lebih baik jangan sampai menarik perhatian orang"

   Fajar telah menyingsing.

   Pasar pagi telah mulai, waktu itu merupakan waktu yang paling ramai untuk kedai-kedai teh.

   Dalam kedai-kedai teh inilah merupakan pergerakan dari saudara-saudara kecil anak buah Toatauke.

   Di antara sekian banyak orang bahkan ada diantaranya yang belum pernah berjumpa dengan Toatauke sendiri, akan tetapi mereka semua bersedia untuk menjual nyawa buat Toa-tauke.

   Selama ini Toa-tauke dapat berkuasa dan menancapkan kakinya di sini, tak lebih karena ada banyak sekali kurcaci-kurcaci yang bersedia menjadi anak buahnya tanpa di minta.

   Oleh sebab itu ketika ada orang menanyakan Toa-tauke, serentak mereka melompat bangun.

   Orang yang menanyakan tentang Toa-tauke ini adalah seorang laki-laki yang perawakan tubuhnya seperti batang tombak, tapi di pinggangnya tersoren sebilah pedang.

   Ia amat jangkung, tapi sangat ceking, pakaian yang dipakai adalah baju ringkas berwarna hitam, gerak-geriknya sangat lincah dan gesit, tapi angkuhnya bukan kepalang.

   Ia datang sambil menunggang kuda cepat, bersamanya mengikuti pula dua orang lainnya, dilihat dari debu yang melekat di wajah mereka, tak bisa diragukan lagi orang-orang itu pasti baru datang dari tempat yang jauh sekali.

   Begitu kuda cepat itu berhenti berlari, seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, ia lantas menyusup masuk ke dalam ruangan, kemudian setelah memandang sekejap semua orang yang berada di sana dengan sepasang matanya yang lebih tajam dari elang, segera tanyanya.

   "Adakah saudara-saudara dari Toa-tauke yang berada di sini?"

   Tentu saja ada. Ketika mendengar perkataan itu, paling tidak ada belasan orang yang segera melompat ke luar dari dalam kedai teh itu.

   "Kalian semua adalah saudara-saudaranya Toa-tauke?", manusia berbaju hitam itu segera bertanya. Lotoa dari anak buah Toa-tauke yang berada di sekitar tempat itu bernama Tiang San, dengan cepat ia balik bertanya.

   "Ada urusan apa kau datang mencari Toa-tauke kami?"

   "Ada sedikit barang yang ingin kujual kepadanya!", jawab manusia berbaju hitam itu cepat.

   "Benda apakah itu?"

   "Nyawa dari kami bertiga!"

   "Kalian bermaksud menjualnya dengan harga berapa?"

   "Sepuluh laksa tahil perak!"

   Tiang-san segera tertawa.

   "Tiga lembar nyawa manusia sepuluh laksa tahil perak tidak terhitung terlalu mahal!"

   "Ya, siapa bilang kalau terlalu mahal!"

   Tiba-tiba Tiang San menarik mukanya hingga tampak jauh lebih jelek lagi, jengeknya.

   "Tapi tidak kutemui dengan andalkan apa kalian berani memberi harga sepuluh laksa tahil perak?"

   "Apa lagi? Tentu saja mengandalkan pedangku ini!"

   Ketika ucapan terakhir diutarakan, pedangnya sudah diloloskan dari sarung dan......"Criiiing!", desingan angin tajam menembusi angkasa menyusul kemudian..."Triiiing!"

   Tahu-tahu tiga buah cawan teh yang ada di meja sudah ditembusi oleh ujung pedang hingga berlubang.

   Ketika cawan-cawan teh itu diangkat ke udara dengan pedang tersebut, ternyata cawan itu tidak pecah atau hancur, ini menunjukkan bahwa dalam mempergunakan kekuatan maupun dalam kecepatan, ia telah melakukannya dengan begitu cepat dan tepat, sehingga sekalipun seseorang yang tak pandai mempergunakan pedangpun akan mengetahuinya.

   Paras muka Tiang San segera berubah hebat.

   "Bagaimana?", tanya manusia berbaju hitam itu.

   "Bagus, suatu ilmu pedang yang cepat sekali!"

   "Bagaimana kalau dibandingkan dengan manusia yang bernama A-kit itu....?"

   "A-kit?"

   "Konon di sini telah muncul seorang manusia yang bernama A-kit, katanya ia sering memusuhi Toa-tauke!"

   "Ooohhh...jadi kalian sengaja datang kemari untuk membantu Toa-tauke guna menyelesaikan persoalan ini?"

   "Barang bagus selamanya toh harus ditawarkan kepada orang yang mengerti mutu barang!"

   Mendengar itu, Tiang San menghela napas dan tertawa paksa, katanya.

   "Aku jamin Toa-tauke pasti adalah seseorang yang mengetahui kwalitet barang"

   "Sayang ke tiga saudara ini bukan barang berkwalitet baik!", seseorang menyambung secara tibatiba dengan suara dingin. Tiang San tertegun. Ucapan tersebut bukan diutarakan oleh salah seorang di antara saudara-saudaranya, orang yang berbicara itu berada di belakang manusia berbaju hitam itu. Dua orang yang barusan dengan jelas diketahui sebagai rekan komplotannya, kini secara tiba-tiba berubah menjadi tiga orang. Siapapun tak tahu sedari kapan orang itu menggabungkan diri dengan mereka, siapapun tak tahu dari mana ia datang? Orang itu mengenakan juga seperangkat pakaian berwarna hitam, perawakan tubuhnya jauh lebih ceking daripada manusia berbaju hitam itu, ketika berdiri di antara dua orang rekannya yang tinggi besar, ia kelihatan begitu kecil dan mengenaskan sehingga menimbulkan kesan bagi siapapun bahwa setiap saat ia dapat dijepit sampai gepeng. Tapi dua orang rekannya yang tinggi besar itu justru bergerak sedikitpun tidak. Sebenarnya mereka bukan termasuk manusia-manusia yang tak berani menampilkan keberaniannya setelah dihina dan dianiaya orang lain. Mereka sudah banyak tahun mengikuti lelaki berbaju hitam itu, pernah juga menghadapi beratusratus kali pertarungan besar kecil mati dan hidup. Ketika mendengar suara pembicaraan tadi, manusia berbaju hitam itu segera menyusup ke depan, tanpa berpaling lagi ia membentak keras.

   "Tangkap dia!"

   Heran! Ternyata kedua orang rekannya sama sekali tidak memberi reaksi apa-apa, cuma paras muka mereka sedikit berubah, berubah menjadi sangat aneh.

   Manusia berbaju hitam itu segera berpaling, tapi paras mukanya ikut berubah pula.

   Bukan saja paras muka kedua orang rekannya telah berubah warna, malah panca indera merekapun telah mengalami perubahan, berubah menjadi begitu jelek, begitu berkerut dan menyeramkan, kemudian darah kental hampir bersamaan waktunya meleleh keluar dari telinga, mata, hidung dan mulut mereka.

   Laki-laki ceking berbaju hitam yang berdiri di antara mereka berdua masih tetap tenang, paras mukanya tidak berubah, bahkan sedikit pancaran emosipun tak ada.

   Mukanya sangat kecil, matanya juga kecil, cuma di balik sepasang matanya tersembunyilah senyuman yang keji bagaikan bisanya ular paling beracun di dunia ini.

   Ular beracun tak dapat tertawa, tapi seandainya ular beracun bisa tertawa, tampangnya pasti persis dengan tampangnya.

   Memandang sepasang matanya yang berbisa, tanpa terasa manusia berbaju hitam itu bergidik dan menggigil keras, segera tegurnya dengan suara keras.

   "Kau yang telah membunuh mereka?"

   "Kecuali aku masih ada siapa lagi?", jawab laki-laki berbaju hitam yang mempunyai sepasang mata berbisa seperti ular beracun itu dingin.

   "Siapa kau?"

   "Hek-kui (Setan hitam) dari Hek-sat (Pembunuh hitam)!"

   Mendengar empat huruf tersebut, paras muka laki-laki berbaju hitam itu berubah semakin mengerikan.

   "Aku she Tu, bernama Tu Hong", katanya lambat.

   "Hek-sat-kiam (Pedang malaikat hitam) Tu Hong?", tanya si setan hitam sinis. Tu Hong manggut-manggut.

   "Selama ini kau boleh dibilang kita bagaikan air sumur yang tidak melanggar air sungai, kau........"

   "Kalau memang begitu, tidak sepantasnya kalian datang kemari", tukas Setan hitam cepat.

   "Apakah persoalan ini sudah kalian sanggupi?"

   "Memangnya kami tak boleh menyanggupi?", Hek-kui mengejek ketus.

   "Aku tahu asal persoalan yang telah disanggupi oleh Hek-sat, maka orang lain tak boleh mencampurinya!"

   "Kalau kau sudah tahu, ini lebih baik lagi!"

   "Tapi aku sama sekali tidak tahu kalau kalian telah menyanggupi tugas ini!", keluh Tu Hong.

   "Oya? Lantas?"

   "Maka kau tidak perlu harus membunuh orang.......!"

   "Tidak! Aku harus membunuh!"

   "Kenapa?"

   "Sebab aku gemar membunuh orang!"

   Dia memang bicara jujur, siapapun yang pernah menyaksikan sepasang matanya, seharusnya dapat merasakan juga bahwa dia memang gemar membunuh orang.

   Tu Hong sedang mengawasi mata lawan, raut wajah mereka berdua sama-sama berkerut, menyusul kemudian pedang Tu Hong telah menusuk ke depan dengan suatu kecepatan tinggi.

   Tenaga yang disertakan dalam tusukannya kali ini jauh lebih kuat daripada tenaga yang dipakai untuk menembusi cawan teh, kecepatannya tentu saja berkali-kali lipat lebih hebat.

   Sasaran dari tusukan itu adalah Hek-kui, bukan tenggorokannya, sebab sasaran di atas dada lebih luas dan tidak gampang untuk dihindari.

   Tapi Hek-kui berhasil menghindarkan diri.

   Ketika tubuhnya berkelit ke samping, dua orang laki-laki kekar yang berada di kedua belah sisinya segera roboh ke arah Tu Hong.

   Dalam kejutnya Tu Hong mengangkat tangannya untuk menangkis tapi Hek-kui telah menyusup ke bawah ketiaknya.

   Tiada seorangpun menyaksikan Hek-kui turun tangan, mereka hanya menyaksikan paras muka Tu Hong mendadak berubah hebat, seperti juga kedua orang rekannya, bukan cuma paras mukanya yang berubah, letak panca inderanya ikut pula berubah, berubah menjadi mengejang keras dan jeleknya mengerikan hati orang, kemudian darah kental bersamaan waktunya meleleh keluar dari ke tujuh lubang inderanya.

   Dalam ruangan warung teh segera tersiar bau busuk yang menusuk hidung, dua orang manusia berjongkok dengan wajah merah membara, rupanya celananya sudah basah kuyup.

   Tapi tiada seorangpun yang mentertawakan mereka, sebab setiap orang hampir pucat nyalinya karena ketakutan.

   Membunuh orang bukan suatu kejadian yang menakutkan, yang menakutkan justru caranya melakukan pembunuhan tersebut, baginya membunuh orang bukan cuma membunuh saja, melainkan termasuk sejenis seni, semacam kenikmatan yang mendatangkan perasaan nyaman di badan.

   Hingga sekujur tubuh Tu Hong menjadi dingin dan kaku, Hek-kui masih menempel di bawah ketiaknya sambil menikmati bagaimana rasanya menyaksikan orang lain menghadapi ajalnya.

   Jika kaupun bisa merasakan perubahan suhu tubuh seseorang yang menempel di tubuhmu makin lama makin dingin dan kaku, maka kau dapat memahami kenikmatan macam apakah yang telah dirasakan olehnya itu.

   Entah lewat berapa lama kemudian, Tiang San baru berani beranjak dari tempatnya semula.

   Tiba-tiba Hek-kui mendongakkan kepala dan memandang ke arahnya, kemudian berkata.

   "Tentunya sekarang kau sudah tahu siapakah aku, bukan?"

   "Ya!", Tiang San menundukkan kepalanya. Ia tak berani memandang wajah orang itu, pakaiannya telah basah oleh keringat dingin.

   "Kau takut kepadaku?", Hek-kui bertanya. Tiang San tak dapat menyangkal, pun tak berani menyangkal.

   "Aku tahu kaupun tentu pernah juga membunuh orang, kenapa kau takut kepadaku?"

   "Karena......karena......."

   Tiang San tak dapat menjawab, diapun tak berani menjawab. Tiba-tiba Hek-kui bertanya lagi.

   "Kau pernah berjumpa dengan Pek Bok?"

   "Belum!", Tiang San gelengkan kepalanya berkali-kali.

   "Bila kau dapat menyaksikan caranya membunuh orang, saat itulah baru akan kau pahami membunuh orang dengan cara apakah baru disebut benar-benar membunuh orang!"

   Telapak tangan Tiang San telah basah oleh keringat dingin........mungkinkah cara Pek Bok membunuh orang jauh lebih cepat, jauh lebih kejam dan buas daripadanya? Kembali Hek-kui bertanya.

   "Pernah kau berjumpa dengan Kanyo dan Suzuko?"

   "Belum pernah!"

   "Bila kau telah berjumpa dengan mereka, kau baru akan mengerti harus manusia macam apakah baru bisa disebut manusia yang gemar membunuh orang......!"

   Dengan suara hambar ia melanjutkan kata-katanya lebih lanjut.

   "Aku membunuh orang paling tidak masih ada alasannya, tapi mereka membunuh orang hanya lantaran hobby, untuk membuat dirinya gembira, senang dan puas!"

   "Jadi, asal mereka senang, maka setiap waktu, setiap saat mereka akan membunuh orang?", tak tahan Tiang San bertanya.

   "Ya, setiap waktu setiap saat, manusia dari jenis apapun!"

   Tu Hong telah roboh pula.

   Setelah terkapar di tanah, semua orang baru dapat melihat bahwa pakaian di bawah ketiaknya sudah basah oleh darah kental, namun tak ada yang melihat golok dari Hek-kui.

   Hanya Tiang San yang menyaksikan kilatan goloknya, hanya dalam sekali kelebatan saja tahutahu sudah masuk kembali ke balik ujung bajunya.....

   Di atas ujung baju terdapat pula noda darah.

   Tiba-tiba Hek-kui bertanya lagi.

   "Tahukah kau bagaimana rasanya darah?"

   Tiang San segera menggelengkan kepalanya. Hek-kui mengulurkan tangannya dan menyodorkan ujung baju itu ke hadapannya.

   "Asal kau mencicipinya sekarang, akan kau ketahui bagaimana rasanya darah!", demikian ia berkata. Sekali lagi Tiang San gelengkan kepalanya berulang kali, kali ini dia menggeleng terus tiada hentinya, sebab lambungnya mulai mual dan beraduk-aduk tak keruan, hampir saja semua isi perutnya tumpah keluar....... Melihat itu Hek-kui segera tertawa dingin.

   "Heeehhhhh........heeehhhh.......heeehhhh.....apakah anak buah Toa-tauke semuanya adalah gentong-gentong nasi yang untuk mencicipi rasanya darahpun tidak berani?"

   "Tidak!"

   Jawaban itu sebenarnya berasal dari luar pintu, tapi tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya.

   Dengan suatu gerakan cepat Hek-kui memutar tubuhnya, ia menyaksikan seorang pemuda berbaju hijau yang bertubuh jangkung dan tampan telah berdiri tegap di belakangnya.

   Usia yang sebenarnya mungkin masih muda sekali, tapi di atas wajahnya telah dihiasi kerutankerutan yang menandakan bahwa ia pernah tersiksa dan hidup menderita selama banyak tahun, maka tampaknya ia menjadi jauh lebih tua dari usia yang sesungguhnya.

   "Kau juga merupakan anak buah dari Toa-tauke?", Hek-kui bertanya.

   "Ya, akupun anak buahnya, aku bernama Siau-te!"

   "Kau pernah mencicipi bagaimana rasanya darah?"

   Siau-te membungkukkan badannya memungut pedang milik Tu Hong itu, lalu ujung pedangnya ditusukkan ke atas genangan darah hingga senjata itu penuh berlepotan darah.

   Setelah menjilat darah di ujung pedang, tiba-tiba ia membalikkan tangannya dan menggurat pula di atas lengan kirinya hingga terluka dan darah mengucur keluar.

   Dengan mulutnya ia menjilat pula darah yang baru meleleh ke luar itu.

   Kemudian ia baru mendongakkan kepalanya, dengan paras muka tak berubah katanya hambar.

   "Darah orang hidup rasanya asin, darah orang mati rasanya asin rada getir!"

   Paras muka Hek-kui agak berubah menghadapi kejadian tersebut, ujarnya dengan dingin.

   "Aku tidak bertanya sebanyak itu!"

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau ingin melakukan suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebut harus dilakukan selengkap dan senyata mungkin", Siau-te menerangkan.

   "Siapa yang mengucapkan kata-kata tersebut?"

   "Toa-tauke yang bilang!"

   Tiba-tiba Hek-kui tertawa terbahak-bahak.

   "Haaahhhhh.......haaaahhhh....haaahhhhh......bagus-bagus, dapat melakukan pekerjaan untuk manusia semacam ini, rasanya kedatangan kita kali ini tidak terhitung sia-sia belaka"

   "Kalau begitu harap ikutilah diriku!", ucap Siau-te sambil membungkukkan badan memberi hormat. Ketika ia memutar tubuhnya dan berjalan ke luar, setiap orang memancarkan rasa hormat dan kagumnya yang luar biasa. Hanya sorot mata Tiang San yang memancarkan rasa malu, menyesal dan penuh penderitaan. Ia tahu, tamat sudah riwayatnya. Tengah hari menjelang tiba. Suasana lalu-lintas di tengah kota yang ramai dan hiruk pikuk mendadak menjadi tenang.

   "Proook! Proook! Proook!", suara kayu yang beradu dengan batu berkumandang memecahkan kesunyian. Mula-mula suara itu masih berada sangat jauh sekali, tapi dalam waktu singkat sudah berada dekat sekali dengan tengah kota. Itulah dua orang manusia yang memakai sepatu bakiak dari kayu yang tingginya lima inci. Dengan langkah lebar mereka berjalan di tengah jalan raya. Kalau dilihat dari rambutnya yang awut-awutan serta tampangnya yang garang, kedua orang itu mirip gelandangan dari negeri matahari terbit, jubah mereka lebar, salah seorang di antaranya mengenakan ikat pinggang yang tujuh inci lebarnya, sebilah samurai yang panjangnya delapan depa tersoren di pinggangnya, sementara sepasang tangannya disembunyikan di balik ujung bajunya yang lebar. Yang seorang lagi memakai jubah hitam dengan bakiak hitam pula, bahkan wajahnya berwarna hitam pekat pula seperti pantat kuali, tampaknya misterius dan menyeramkan. Rupanya Suzuko dan Kanyo telah datang! Setelah menjumpai mereka berdua, setiap orang menutup mulutnya, sekalipun tak ada orang yang mengenali mereka, tapi setiap orang dapat merasakan hawa pembunuhan yang terpancar keluar dari tubuh mereka berdua. Seorang perempuan muda yang montok dan bahenol sedang membopong anaknya yang berusia lima bulan keluar dari ruang belakang Sui-tek-siang. Sui-tek-siang adalah sebuah rumah pemintalan benang sutera yang amat besar, nyonya muda itu bukan lain adalah istri majikan muda rumah pemintalan yang baru dikawininya belum lama berselang. Tentu saja umurnya masih muda, mana cakep lagi wajahnya, tentu saja tubuhnya sudah amat masak dan dewasa t


Rase Emas Karya Chin Yung Golok Bulan Sabit -- Khu Lung /Tjan Id Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long

Cari Blog Ini