Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 34


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 34



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Tanya Le Kim-liong pula dengan tertawa.

   "Darimana kau mengetahuinya?"

   Ujar Oh-hong-tocu.

   "Tadi kau selalu bilang kita adalah sahabat lama, kenapa kau masih berlagak pilon terhadap sobat lama? Bukankah kedatanganmu ke sini hendak merundingkan urusan penting dengan Hong-ho-ngo-pa? Dan dua teman yang sedang kau tunggu itu ialah Umong, murid Liong Siang Hoat- ong dan seorang lagi adalah Sebun Bok-ya, betul tidak?"

   "Belum lengkap keteranganmu itu, Le-pepek,"

   Sela Kong-sun Bok.

   "Kan masih ada keponakan Sebun Bok-ya, Sebun Cu-sik serta anak buah Wan- yan Ho yang bernama Tok-ko Heng itu?"

   "Mereka itu adalah keroco yang tidak masuk hitungan, kita cuma bicara tentang Umong dan Sebun Bok-ya saja,"

   Ujar Le Kim-liong dengan tertawa.

   "Ada apa tentang mereka berdua?"

   Tanya Oh-hong-tocu, di balik ucapannya ini secara tak langsung dia telah mengakui apa yang ditanyakan Le Kim-liong tadi.

   "Supaya kau tidak perlu menunggu mereka lagi, sebab mereka takkan datang ke sini?"

   Kata Le Kim-liong dengan perlahan.

   "Sebab apa?"

   Oh-hong-tocu menegas.

   "Umong sudah terluka parah dihantam menantumu, walaupun tidak mampus, sedikitnya akan jatuh sakit,"

   Tutur Le Kim-liong.

   "Mengenai Sebun Bok-ya, tentu kau tahu kitab yang kuberikan padamu ini adalah hasil yang kurebut dari dia, sekarang aku berada di sini, pikir saja, apakah dia berani menyusul kemari?"

   Diam-diam Oh-hong-tocu terkejut, apabila benar Sebun Bok-ya dan Umong tidak dapat datang ke Uh-seng, maka itu berarti berantakan pula semua rencananya yang ditugaskan oleh Wanyan Tiang-ci padanya.

   "Selain itu akan kuberitahukan pula sesuatu padamu,"

   Sambung Le Kim- liong pula.

   "Tentunya kau tidak tahu untuk apakah menantumu ini datang ke sini bukan? Nah, silakan kau bicara sendiri saja, Kongsun-hiantit."

   "Aku ditugaskan Liu Beng-cu ke sini untuk mengadakan pesekutuan dengan Hong-ho-ngo-pa,"

   Tukas Kong-sun Bok. Mendengar ini, Oh-hong-tocu terdiam, berulang ia menenggak araknya. Pada saat itulah Le Kim-liong mengedipi Kiong Kim-hun, si nona lantas ikut bicara.

   "Ayah, apa jeleknya kita hidup aman tenteram di Oh-hong-to, buat apa mesti menjual jiwa bagi orang lain. Marilah ayah, kita pulang saja ke Oh-hong-to, jangan engkau ke Tay-toh."

   Oh-hong-tocu menghabiskan lagi secawan arak, lalu menjawab dengan menyengir.

   "Kini masakah aku sudi bergaul lagi dengan manusia sebangsa Sebun Bok-ya segala? Kau jangan kuatir, sudah tentu ayah akan pulang ke Oh-hong-to bersama kau."

   "Bagus sekali, ayah!"

   Seru Kim-hun kegirangan.

   "Selamanya aku pasti akan menjadi puterimu yang berbakti dan penurut."

   Bicara sampai di sini, terdengar suara tindakan orang naik ke atas loteng restoran.

   Semua orang mengira yang datang tentulah Kiau Sik-kiang, tak tahunya yang muncul ternyata Pang-cu Tiang-keng-pang, yaitu Ang Kin.

   Rupanya Ang Kin mendengar Kok Siau-hong dan lain-lain sedang makan minum di Gi-ciau-lau, maka dia sengaja datang hendak menemuinya.

   Tak terduga dilihatnya Oh-hong-tocu juga hadir di situ, keruan ia terperanjat.

   Tapi segera ia pun melihat Kong-sun Bok juga hadir, maka legalah hatinya, ia lantas menyalami semua orang.

   "Kedatanganmu sangat kebetulan, Ang Pang-cu,"

   Seru Kong-sun Bok.

   "Memangnya kami hendak berkunjung ke tempatmu."

   "Kongsun-siauhiap, engkau adalah tuan penolong kami, selama ini kami belum sempat membalas budi kebaikanmu, jika engkau sudi mampir ke tempat kami, sunggguh ini melebihi harapan kami,"

   Kata Ang Kin sambil mengedipi Kong-sun Bok.

   "Kiong To-cu baru dua hari berada di sini, beliau juga tinggal di tempat kami, kebetulan kalian dapat bicara lebih asyik nanti."

   Ucapan Ang Kin ini sengaja ditujukan kepada Kong-sun Bok agar pemuda itu tidak sembarangan omong di hadapan Oh-hong-tocu. Tak terduga Kong-sun Bok sama sekali tidak pantang bicara, dengan tegas ia berkata pula.

   "Ang Pang-cu, aku ditugaskan Liu Beng-cu dari Kim-keh-nia khusus untuk menemui kau. Kebetulan di tengah jalan aku bertemu pula dengan Le To-cu ini. Tentunya kau belum kenal Le To-cu bukan?"

   Baru sekarang Ang Kin tahu kakek yang duduk di depan Oh-hong-tocu ini adalah Beng-sia-tocu Le Kim-liong yang namanya sama termasyhurnya dengan Oh-hong-tocu.

   Dalam hati ia sangat girang, ia pikir dengan hadirnya Kong-sun Bok dan Le Kiam-liong, betapa pun lihainya Oh-hong-tocu tentunya tidak perlu ditakuti lagi.

   Dengan tertawa Le Kim-liong lantas berkata.

   "Ang Pang-cu, Kiong To-cu dan aku adalah sahabat lama, sebentar kami akan pulang kandang dan mungkin tidak sempat mampir lagi ke tempatmu."

   Diam-diam Ang Kin merasa senang, tapi lahirnya dia berlagak menyesal, katanya.

   "Kiong To-cu, kami tidak tahu engkau akan berangkat secepat ini, baiklah kesempatan ini kugunakan untuk mengucapkan selamat jalan padamu."

   Segera ia berteriak kepada pelayan agar membawakan daharan baru lagi.

   "Sudahlah, kau tidak perlu repot, aku hanya menunggu dua teman saja, begitu mereka datang segera aku akan berangkat,"

   Kata Oh-hong-tocu.

   "Aha, kau tidak perlu menunggu lagi, Kiong-heng, mereka sudah datang,"

   Seru Le Kim-liong dengan tertawa. Betul juga, terdengar suara orang ramai naik ke atas loteng restoran itu, ternyata Kiau Sik-kiang telah kembali dengan membawa Hi Giok-hoan dan Le Say-eng.

   "Ayah!"

   Seru Le Say-eng sambil menubruk ke dalam pelukan sang ayah.

   "Anak telah dihina orang, janganlah ayah tinggal diam."

   "Ah, paman Kiong cuma bergurau dengan kau, jangan anggap sungguhan,"

   Ujar Le Kim-liong.

   "Malahan beliau sudah berjanji akan meninggalkan puterinya di sini buat teman kau."

   Le Say-eng cukup cerdik, segera ia paham duduknya perkara, dengan tertawa ia berkata pula.

   "O, kiranya kalian menjadikan diriku sebagai barang tukaran dengan Kiong-cici. Tapi Kiong-cici tinggal di sini bukan untuk menemani aku, yang benar untuk menemani Kongsun-toako bukan?"

   Dalam pada itu Kong-sun Bok telah membuka Hiat-to Ciong Bu-pa, katanya.

   "Nah, lekas kalian enyah saja!"

   Tanpa bicara Kiau Sik-kiang terus menarik Ciong Bu-pa dan melangkah pergi.

   "Nanti dulu!"

   Mendadak Le Kim-liong membentaknya pula. Kiau Sik-kiang merandek dengan terkejut.

   "Mau apa lagi?"

   Tanyanya dengan kuatir.

   "Katakan kepada Su Thian-tik, jika kupergoki dia masih di Uh-seng sini, tentu akan kubinasakan dia tanpa ampun, begitu pula kalian berdua,"

   Kata Le Kim-liong tegas. Ia yakin kawan Kiau Sik-kiang satunya lagi pasti Su Thian-tik adanya, maka secara blak-blakan langsung ia membongkarnya.

   "Baik, segera kami bertiga akan pergi dari sini,"

   Kata Kiau Sik-kiang. Dengan sorot mata penuh dendam ia pandang Le Kim-liong sekejap, lalu melangkah pergi. Segera Oh-hong-tocu juga akan pergi.

   "Ayah, terimalah secawan suguhan arak ini!"

   Kata Kim-hun sambil menuangkan secawan arak. Selamanya Oh-hong-tocu belum pernah mendapat pelayanan semesra itu dari puterinya, dengan rasa bahagia ia habiskan arak itu dan berkata.

   "Kau ikut Kongsun-toakomu, aku tidak perlu kuatir lagi akan dirimu."

   "Paman Kiong, apakah engkau mengetahui keadaan ayahku?"

   Tiba-tiba Yim Hong-siau bertanya.

   "Ya, pernah kulihat ayahmu di Tay-toh, dia berada di tempat Wanyan Tiang-ci,"

   Tutur Oh-hong-tocu.

   "Baiklah, sekarang aku akan berangkat saja."

   Melihat Oh-hong-tocu sudah pergi, Ang Kin, itu Pang-cu Tiang-keng- pang merasa terhindar dari beban berat.

   Ia bercerita bahwa Hong-ho-ngo-pa telah mendapat tekanan agar menyerah kepada kekuasaan musuh, tadinya mereka sudah bertekad akan mengadakan perlawanan, syukur kini semua itu dapat diselesaikan dengan baik.

   Yang masih dikuatirkan kini hanya Sebun Bok-ya yang kemungkinan akan datang dalam waktu singkat.

   Tapi Kong-sun Bok lantas memberitahu.

   "Kau pun tidak perlu kuatir lagi, iblis tua Sebun Bok-ya itu sudah digertak lari oleh Le To-cu, kukira dia tak berani lagi muncul di sini."

   Dengan girang Ang Kin berkata.

   "Asal kedua iblis itu sudah kabur, betapa pun kami tidak gentar terhadap pasukan musuh yang berkuasa."

   "Pemerintah Kim sendiri sedang sibuk menghadapi serbuan pihak Mongol, kukira kalian tidak perlu kuatir akan diganggu,"

   Ujar Kong-sun Bok.

   "Cuma kalau pasukan Mongol menyerbu Tiong-goan secara besar-besaran, untuk itu kawan Kang-ouw kita harus siap menghadapi segala kemungkinan dengan bersatu-padu. Untuk itulah aku ditugaskan oleh Liu Beng-cu agar berunding dengan kalian untuk mengadakan kerja sama yang baik."

   "Kongsun-siauhiap, jiwaku ini engkau yang menyelamatkannya, kini apa yang engkau kehendaki segenap Hong-ho-ngo-pa kami akan tunduk sepenuhnya di bawah pimpinanmu dan Liu Beng-cu. Sejak kini kami adalah anak buah beliau dan siap menerima segala perintahnya. Aku sendiri adalah orang kasar, maka urusan yang lebih jelas bolehlah kita rundingkan bersama dengan saudara kami."

   Kong-sun Bok merasa puas bahwa tugasnya dapat diselesaikan dengan cepat dan mudah.

   Selagi dia asyik berunding dengan Ang Kin, di sebelah sana Kok Siau-hong dan Hi Giok-hoan juga sedang bicara mengenai pengalaman masing-masing sejak berpisah.

   Kiranya Hi Giok-hoan dan Le Say-eng bermaksud pergi ke Kim-keh-nia untuk mencari kabar berita Hi Giok-kun.

   "Aku pernah melihatnya di Yang-ciu, tapi kini dia tiada di Kim-keh-nia lagi,"

   Tutur Kok Siau-hong.

   "Kemana dia?"

   Tanya Giok-hoan. Siau-hong merasa ragu untuk menceritakan kejadian sesungguhnya. Ia pandang Han Pwe-eng, maka nona itu lantas berkata.

   "Hi-toako, apakah kau mengetahui persoalan Sin Liong-sing?"

   "Kabarnya dia sudah meninggal, entah betul tidak?"

   Jawab Giok-hoan. Pwe-eng pikir peristiwa itu akhirnya toh akan diketahui juga, maka tidak perlu kiranya merahasiakannya. Dengan menghela napas ia berkata pula.

   "Biarlah kuberitahu padamu, hendaklah kau jangan berduka, bahwasanya Sin Liong-sing sebenarnya tidak meninggal."

   Semula Giok-hoan melengak, ia pikir hal itu kan berita baik, kenapa disuruh jangan berduka.

   Tapi sesudah Han Pwe-eng menceritakan semua persoalannya dengan jelas barulah Giok-hoan mengetahui adik perempuannya sudah berpisah dengan Sin Liong-sing, dengan pedih kemudian ia berkata.

   "Ya, sejak mula aku pun sudah memperkirakan mereka takkan rukun hingga tua. Dengan kejadian itu kiranya juga ada baiknya."

   "Bulan yang lalu ketika hendak berpisah dengan enci Kun di Sun-keng- san, katanya akan kembali ke Kang-lam untuk menemui Bun-tayhiap, habis itu mungkin akan pulang ke rumah. Jika sekarang kau pun pulang tentu akan dapat bertemu dengan dia,"

   Kata Pwe-eng pula. Dalam pada itu pembicaraan Ang Kin dan Kong-sun Bok sudah berhenti, Le Kim-liong berpaling kepada Giok-hoan dan mengajaknya berangkat.

   "Engkoh Hoan baru mendapat kabar adik perempuannya telah pulang ke rumahnya,"

   Kata Le Say-eng.

   "O, jadi kau hendak ikut dia pulang untuk memenuhi iparmu itu?"

   Ujar Le Kim-liong dengan tertawa. Muka Le Say-eng menjadi merah, katanya.

   "Rumahnya adalah Pek-hoa- kok yang terkenal berpemandangan indah di daerah Yang-ciu, bagaimana kalau ayah juga ikut pesiar ke sana?"

   "Asalkan kalian tidak jemu kepada kakek macamku, tentu saja aku pun ingin bertamu ke sana,"

   Kata Le Kim-liong. Tapi Ang Kin lantas menyela.

   "Le To-cu berada di sini, sudilah kiranya mampir dulu ke tempat kami agar kami dapat memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah?"

   "Aku tidak soal, mungkin Giok-hoan yang terburu-buru ingin pulang,"

   Kata Le Kim-liong.

   Sesungguhnya Giok-hoan memang ingin lekas bisa pulang, tapi lantaran permintaan Ang Kin dengan sangat itu, pula ia pun ingin berkumpul lebih lama dengan Kok Siau-hong dan Kong-sun Bok, maka ia lantas menerima undangan Ang Kin.

   Siapa tahu setiba mereka di markas Tiang-keng-pang, kembali terjadi sesuatu peristiwa yang tak terduga.

   Belum mereka memasuki ruang tamu, terdengarlah suara gaduh di dalam, suara seorang nenek yang parau menusuk telinga sedang mendengus.

   "Hm, kalian tidak perlu dusta, lekas panggil Oh-hong-tocu menemui aku!"

   Rupanya nenek itu sengaja datang mencari Oh-hong-tocu, tapi diberitahu oleh anak buah Tiang-keng-pang bahwa Oh-hong-tocu sedang keluar, tapi nenek itu tidak percaya dan berkeras hendak bertemu dengan Oh-hong-tocu.

   Ang Kin sangat heran, ia sangka nenek itu sengaja datang mencari Oh- hong-tocu untuk menuntut balas, diam-diam ia anggap si nenek sungguh terlalu berani.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dalam pada itu Han Pwe-eng telah bersuara heran, katanya.

   "Kedengaran seperti suara Sin Cap-si-koh!"

   Terdengar di dalam suara Ting Ho, wakil Pang-cu Tiang-keng-pang, sedang mendamprat nenek itu.

   "Kami tidak peduli ada urusan apa antara Oh-hong-tocu dengan kau, yang pasti dia tidak berada di sini sekarang. Jangan kau membikin ribut lagi di sini jika kau tidak ingin kami berlaku kasar padamu."

   "Aku justru ingin membikin ribut, coba cara bagaimana kalian akan berlaku kasar padaku?"

   Jengek nenek itu. Cepat Ang Kin berlari masuk ke dalam. Serentak anak buahnya bersorak.

   "Itu dia Pang-cu sudah pulang!"

   Saat itu tertampak Ting Ho bermaksud menarik si nenek keluar, tak terduga si nenek lantas pegang tangannya terus ditelikung hingga Ting Ho meringis kesakitan.

   Padahal Ting Ho memiliki ilmu Tiat-sah-ciang (pukulan pasir besi) yang lihai, siapa duga satu kali gebrak saja sudah kecundang.

   Keruan Ang Kin terkejut, cepat ia membentak.

   "Berhenti! Siapa kau, untuk apa kau mencari Oh-hong-tocu?"

   Sementara itu Kok Siau-hong, Han Pwe-eng dan lain-lain juga sudah menyelinap masuk dan bercampur di antara orang banyak, mereka melihat nenek itu memang betul Sin Cap-si-koh adanya. Segera Sin Cap-si-koh melepaskan Ting Ho, lalu berkata.

   "Ah, tentunya kau inilah Ang Pang-cu bukan? Hendaklah kau beritahukan Oh-hong-tocu dan suruh dia menemui aku, setelah persoalannya sudah dia jelaskan, maka persengketaanku dengan dia boleh dihapus seluruhnya."

   "Jika kau ingin mencari dia, silakan pergi ke Oh-hong-to saja!"

   Jawab Ang Kin.

   "Ngaco, dengan jelas aku tahu dia dan Kiau Sik-kiang berkunjung ke tempat kalian ini, masakah kau berdusta padaku??"

   Semprot Sin Cap-si-koh.

   "Memang betul ucapan Ang Pang-cu!"

   Seru Le Kim-liong mendadak sambil tampil ke muka.

   "Oh-hong-tocu memang sudah pulang ke Oh-hong- to atas nasehatku."

   Sama sekali Sin Cap-si-koh tidak menduga akan bertemu dengan Le Kim- liong di tempat Tiang-keng-pang ini, sekali ini dia yang terkejut. Dalam pada itu dengan cepat Han Pwe-eng dan Kok Siau-hong sudah lantas melangkah maju sambil membentak.

   "Kau ingin mencari Oh-hong- tocu, tapi kami justru ingin mencari kau!"

   Sin Cap-si-koh memandang sekelilingnya, dilihatnya Kong-sun Bok, Kiong Kim-hun dan lain-lain juga berada di antara orang banyak, diam-diam ia mengeluh bisa celaka.

   Ia pikir keadaan benar-benar gawat, paling baik kalau bisa menawan salah seorang di antara mereka barulah aku ada harapan bisa lolos.

   Cara bertindaknya sungguh amat cepat, sebenarnya dia terkepung di tengah, tapi dalam sekejap saja, entah cara bagaimana dia telah dapat lolos dari kepungan, dengan licin ia menerobos kian kemari di antara orang banyak dan sukar dirintangi.

   Dengan kecepatan luar biasa, mendadak tongkat bambunya bekerja, segera ia menotok ke Hiat-to di punggung Han Pwe-eng.

   "Huh, tidak malu, memusuhi anak muda!"

   Bentak Le Kim-liong.

   Tapi sebelum dia bertindak, terdengar suara nyaring benturan senjata, pedang Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng telah bekerja bersama dan dengan tepat dapat menangkis sergapan Sin Cap-si-koh tadi, malahan ujung pedang mereka terus menyelonong mengancam muka lawan.

   Cepat Sin Cap-si-koh menarik kembali tongkatnya buat menangkis sehingga mematahkan serangan kedua anak muda itu.

   Kejut dan girang pula hati Le Kim-liong, pikirnya.

   "Tampaknya ilmu pedang Jit-siu-kiam-hoat yang dimiliki Kok Siau-hong sekarang malahan lebih tinggi daripada pamannya, yaitu Yim Thian-ngo. Ilmu pedang Liap-in- kiam-hoat Han Pwe-eng juga sudah mewarisi semua kepandaian ayahnya, agaknya kekuatan mereka berdua cukup untuk menandingi iblis perempuan ini." ~ Karena itulah ia pun urung maju membantu.

   "Le To-cu,"

   Seru Sin Cap-si-koh.

   "selamanya aku tiada bermusuhan dengan kau, tapi kalau kau ingin menarik keuntungan pada saat orang kepepet, maka silakan maju saja sekalian, mati di tanganmu, rasanya terlebih berharga bagiku."

   Maklumlah bahwa Le Kim-liong adalah tokoh persilatan kelas wahid, maka Sin Cap-si-koh sengaja menggunakan ucapannya itu untuk mengoloknya agar dia kikuk untuk ikut campur. Dalam pada itu pedang Han Pwe-eng telah menusuk pula sambil membentak.

   "Kau telah meracuni ibuku hingga meninggal, beberapa kali kau hendak mencelakai aku pula, kau dan aku boleh dikata sejak dulu hingga sekarang sudah bermusuhan, maka hutang piutang ini biarlah kami berdua membikin perhitungan langsung dengan kau."

   Sin Cap-si-koh juga merasakan ilmu pedang kedua muda-mudi itu jauh lebih lihai daripada dahulu, tapi dia tetap salah menilai lawannya, ia mengira dirinya masih tetap mampu mengalahkan mereka, sebab itu dia sengaja menonjolkan peraturan Kang-ouw untuk membikin orang lain tidak enak untuk ikut mengerubutnya.

   Sebagai seorang ahli silat, setelah melihat satu-dua gebrak segera Le Kim- liong merasa lega, ia tahu dengan kekuatan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng sekarang, biarpun tak dapat mengalahkan musuhnya dengan pasti, tapi juga tidak mungkin dikalahkan.

   Maka ia pun menjawab olok-olok Sin Cap-si-koh tadi.

   "Baik, boleh kita laksanakan peraturan Kang-ouw, tapi kalau kau berani sembarangan menggunakan racun sehingga orang lain ikut menjadi korban, maka janganlah kau menyalahkan aku jika terpaksa aku ambil tindakan tegas padamu."

   Legalah hati Sin Cap-si-koh, ia pikir tanpa menggunakan racun tentu dirinya sanggup mengalahkan kedua anak muda itu.

   Tak terduga kerja sama sepasang pedang Kok Siau-hong dan Han Pwe- eng segera mengurung dia dengan rapat, biarpun dia memutar tongkatnya sedemikian kencang dengan aneka macam perubahannya, tapi juga cuma dapat bertahan saja dan sama sekali tiada peluang baginya untuk menggunakan senjata rahasia berbisa.

   Senjata rahasia berbisa yang selalu dibawa Sin Cap-si-koh, dua macam yang paling lihai adalah granat berapi dan berjarum berbisa, satu lagi adalah Hwe-coa-ciam yang berbisa jahat.

   Dua macam senjata rahasia ini kalau digunakan tentu akan mengambil korban orang lain kecuali kedua lawannya itu.

   Tapi dengan beradanya tokoh seperti Le Kim-liong di situ, Sin Cap-si- koh juga menyadari kedua macam senjata rahasia keji itu pasti tidak mampu melukainya.

   Begitulah karena berlangsungnya pertempuran itu, ruangan pendopo markas Tiang-keng-pang itu telah diluangkan di bagian tengah, anggota Tiang-keng-pang sudah menyingkir ke pinggir.

   Akan tetapi sinar pedang Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng semakin menjadi sempit, tidak lama Sin Cap- si-koh sudah terkurung di tengah dan tidak ada lagi peluang baginya untuk bergeser kian kemari.

   Mau tak mau Sin Cap-si-koh menjadi gugup dan heran pula, ia tidak tahu mengapa dalam waktu setengah bulan saja ilmu pedang kedua anak muda itu sudah maju sepesat itu, padahal dahulu mereka bukanlah tandingannya.

   Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Han Pwe-eng telah diberi petunjuk oleh ayahnya cara bagaimana menghadapi permainan tongkat Sin Cap-si-koh, apalagi selama setengah tahun ini dia telah berlatih bersama Kok Siau-hong sehingga ilmu pedang mereka dapat bekerja sama dengan sangat rapi.

   Kalau saja satu lawan satu memang kedua anak muda itu sama sekali bukan tandingan Sin Cap-si-koh.

   Tapi kini gabungan kedua macam ilmu pedang mereka yang rapi itu pasti takkan terkalahkan oleh Sin Cap-si-koh, sebaliknya kemenangan pasti di tangan mereka.

   Begitulah Sin Cap-si-koh masih berusaha menerobos keluar kurungan sinar pedang kedua lawannya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka, setiap saat tampaknya dia pasti akan terkena pedang, keringat dingin mulai membasahi dahinya.

   Mendadak ia memuntahkan sekumur darah segar.

   Aneh juga, setelah muntah darah, sekonyong-konyong kekuatan tongkatnya bertambah sehingga pedang Kok Siau-hong berdua dapat disampuk ke samping.

   Peluang itu segera digunakan Sin Cap-si-koh untuk menerobos keluar kalangan pertempuran.

   Ang Kin yang pertama-tama diterjang olehnya, sekali cengkeraman segera Sin Cap-si-koh hendak menawan Ang Kin untuk digunakan sebagai sandera.

   Dalam usahanya meloloskan diri, kini Sin Cap-si-koh tidak menghiraukan peringatan Le Kim- liong tadi agar dia jangan menimbulkan korban lain.

   Syukur Le Kim-liong selalu mengikuti pertarungan mereka, betapa pun cepatnya Sin Cap-si-koh tetap kalah cepat daripada Le Kim-liong.

   Pada saat tangannya hampir mencengkeram pundak Ang Kin, mendadak angin keras menyambar tiba.

   Le Kim-liong telah mengebaskan lengan bajunya untuk merintanginya.

   "Bret", lengan baju Le Kim-liong terobek, tapi Sin Cap-si- koh sendiri juga tergetar mundur dua-tiga tindak oleh kebasan baju itu. Dalam pada itu Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng telah menubruk maju pula dan melancarkan serangan. Terpaksa Sin Cap-si-koh angkat tongkat bambunya untuk menangkis, berbareng darah segar tertumpah lagi dari mulutnya. Kok Siau-hong tahu tumpahan darah yang dilakukan Sin Cap-si-koh itu adalah ilmu "Thian-mo-kay-teh-tay-hoat"

   Yang lihai, dengan merusak tubuh sendiri dapat menimbulkan kekuatan mendadak secara berlipat ganda dan dahsyat, maka ia menjadi kuatir entah serangan maut apa yang hendak dilakukan musuh kejam itu.

   Tak tahunya sekali ini kekuatan tongkat Sin Cap-si-koh ternyata tidak tambah kuat sebaliknya menjadi lemah, dengan mudah saja pedang Kok Siau-hong dapat menyampuk tongkatnya ke samping.

   Rupanya ilmu maut Sin Cap-si-koh itu tidak dapat bertahan lama, tambahan lagi kena kebasan lengan baju Le Kim-liong yang dahsyat, kini dia telah tumpah darah sungguhan.

   Maka tangkisan pedang Kok Siau-hong dapat menyampuk tongkat Sin Cap-si-koh ke samping dengan enteng.

   Berbareng itu Siau-hong lantas berseru.

   "Turun tangan, adik Eng!"

   Menyusul pedangnya menyambar lagi dan memaksa Sin Cap-si-koh berkelit ke samping.

   Kiranya serangan Kok Siau-hong itu sudah diperhitungkan bahwa Sin Cap-si-koh terpaksa pasti akan berkelit, dan arah yang akan dihindarinya itu tepat akan berada di bawah ancaman pedang Han Pwe-eng, ini berarti Sin Cap-si-koh yang menyerahkan diri untuk dikerjai si nona.

   Tanpa ayal pedang Han Pwe-eng lantas menusuk ke tenggorokan lawan, Sin Cap-si-koh tidak mampu menangkis lagi dengan tongkatnya, putus asa dan menghela napas, katanya.

   "Aku adalah musuhmu, tapi aku pun pernah merawat ayahmu, dia pernah berjanji akan mengampuni kesalahanku."

   Belum lenyap suaranya.

   "sret", ujung pedang Han Pwe-eng bergetar dan menusuk sambil membentak.

   "Kematianmu kuampuni, lekas enyahlah!"

   Berbareng terdengar Sin Cap-si-koh menjerit ngeri sembari berjumpalitan mundur ke belakang.

   "Hendak lari kemana?"

   Bentak Ting Ho, itu wakil Ang Kin.

   Dia ingin membalas kekalahannya tadi, segera ia mengudak dan menghantam.

   Tongkat Sin Cap-si-koh sempat menyabet, tapi segera dapat dirampas oleh Ting Ho, saking napsunya Ting Ho membetot sehingga dia sendiri kehilangan imbalan badan dan jatuh terjungkal.

   Belum sempat dia bangun kembali, secepatnya Sin Cap-si-koh sudah berlari pergi.

   Ang Kin memburu maju untuk membangunkan Ting Ho sambil bertanya bagaimana keadaannya.

   "Jangan kuatir, ilmu silat perempuan itu sudah dipunahkan oleh nona Han, dia tidak mampu mencelakai orang lagi,"

   Kata Le Kim-liong.

   Kiranya bergetarnya ujung pedang Han Pwe-eng ketika menusuk tadi sengaja dilakukannya untuk menghindari tenggorokan Sin Cap-si-koh, yang ditusuk kemudian adalah tulang.

   pundaknya.

   Saking cepatnya serangan Pwe- eng itu, meski tulang pundak Sin Cap-si-koh sudah tertusuk putus, namun Ang Kin, Ting Ho dan kawan-kawannya tidak mengetahui.

   Dengan lega Ang Kin berkata.

   "Nona Han telah punahkan ilmu silat perempuan jahat itu, tindakan ini sungguh cocok dengan harapan kita. Tapi terlalu murah baginya."

   "Sebenarnya mati pun perempuan siluman itu belum cukup untuk menebus dosanya,"

   Ujar Pwe-eng.

   "tapi ayahku pernah berjanji takkan membunuhnya, maka aku harus mentaati janji ayah itu. Cuma selanjutnya tentu dia takkan membikin susah orang lain lagi."

   "Tulang pundaknya sekali ini putus oleh tusukan pedang, tentu sukar dipulihkan kembali dengan ilmu apa pun juga,"

   Kata Le Kim-liong.

   Sementara itu semua begundal musuh sudah terusir, dengan sendirinya Hong-ho-ngo-pa sangat gembira, segera mereka mengadakan perjamuan untuk merayakan kemenangan.

   Perundingan antara Kong-sun Bok sebagai wakil pihak rakyat di Kim-keh-nia dan Hong-ho-ngo-pa juga berjalan lancar dengan persetujuan yang cukup terperinci, maka kedua pihak sama-sama merasa puas.

   Besoknya mereka lantas menempuh perjalanan ke arah masing-masing.

   Menurut rencana semula, Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun kembali ke Kim-keh-nia untuk memberi Iapor kepada Hong-lay-mo-li, Le Kim-liong dan puterinya serta Hi Giok-hoan pulang ke Pek-hoa-kok, tempat kediaman keluarga Hi di Yang-ciu, sedangkan Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng menuju ke Tay-toh untuk mencari Beng Ting, itu Cong-piauthau dari Cin- wan Piaukiok.

   Ang Kin memberitahukan kepada Kok Siau-hong berdua bahwa Hong- ho-ngo-pa mempunyai agen rahasia di Tay-toh yang berlagak membuka sebuah toko kain, setiba di sana kedua muda-mudi itu dianjurkan menghubunginya dan bisa juga mondok di sana.

   Tentu saja usul ini amat kebetulan bagi Siau-hong, segera ia minta sesuatu tanda pengenal diri Ang Kin, lalu mohon diri buat berangkat.

   Semua orang mempunyai tempat tujuan sendiri hanya Yim Hong-siau saja yang masih terkatung-katung tiada tempat berteduh.

   Sebenarnya Kiong Kim-hun hendak mengajaknya ke Kim-keh-nia saja, tapi Yim Hong-siau memutuskan akan ikut Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng ke Tay-toh.

   Kim-hun tahu maksud Yim Hong-siau ke sana adalah ingin membujuk ayahnya agar mau kembali ke jalan yang baik.

   Maka ia hanya menghela napas saja dan tidak merintangi kepergian Yim Hong-siau itu.

   Di tengah jalan Han Pwe-eng menceritakan kisah hidup Sin Cap-si-koh kepada Yim Hong-siau, mereka menjadi terharu memikirkan nasib perempuan itu.

   "Yang beruntung ialah Oh-hong-tocu, dia mempunyai seorang puteri yang baik dan menantu pilihan, tampaknya selanjutnya dia pasti akan menjadi orang baik. Aku hanya menguatirkan ayahku yang tetap tersesat, bukan mustahil kelak beliau akan mengalami nasib seperti Sin Cap-si-koh,"

   Demikian kata Yim Hong-siau.

   "Aku pun berharap Ku-ku (paman, adik ibu. Maksudnya Yim Thian-ngo, ayah Hong-siau) dapat sadar dan cepat kembali ke jalan yang baik,"

   Kata Kok Siau-hong.

   "Biarlah kita berusaha sebisanya menurut gelagat setiba di Tay- toh nanti."

   Dalam hati Kok Siau-hong pikir sang paman itu lebih licik dan lebih kotor daripada Oh-hong-tocu, untuk menyadarkan dia mungkin susah, maka Piau-moay (Hong-siau) harus setiap saat diperingatkan agar jangan tertipu oleh ayahnya sendiri.

   Begitulah sepanjang jalan tiada terjadi apa pun, akhirnya mereka sampai di Tay-toh.

   Agen rahasia Hong-ho-ngo-pa yang berada di Tay-toh bernama Ting Sit, adalah adik laki-laki Ting Ho, itu wakil Ang Kin.

   Toko kain sutera yang diusahakannya itu terletak pada jalan raya Timur yang paling ramai di kotaraja Kim.

   Agar namanya cocok dengan seorang saudagar, maka Ting Sit telah memakai nama samaran Ting Kui-seng, artinya manusia kaya dan makmur.

   Kok Siau-hong merasa tidak leluasa menemui Ting Sit bersama kedua nona, maka ia suruh Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau menunggunya saja di suatu rumah makan, bilamana dia sudah menghubungi Ting Sit dengan lancar barulah nanti kedua nona itu dijemput.

   Kebetulan tidak jauh di depan toko kain sutera itu adalah sebuah kedai minum, dari sana juga leluasa mengintai keadaan toko kain itu.

   Maka Han Pwe-eng menyatakan akan menunggu saja di kedai itu, diminta jika terjadi sesuatu hendaklah Kok Siau-hong bersuit saja, tentu mereka akan mendengarnya karena letak kedai itu tidak jauh.

   Dengan tertawa ia mengiakan, ia pikir masakah akan terjadi sesuatu, bukankah dirinya cuma ingin menghubungi Ting Sit saja dan bukan hendak mengajaknya berkelahi.

   Memang tiada terjadi sesuatu, tapi setiba di toko kain itu ternyata Kok Siau-hong tidak dapat menemui juragan she Ting itu.

   Setiba di sana, ia pikir sesudah memperkenalkan diri datang dari Uh-seng, tentu dirinya akan disambut dengan istimewa.

   Dan nyatanya memang demikian, sebelum dia membuka suara, serentak orang toko kain sutera itu sudah menyambutnya dengan "istimewa".

   Begitu dia memasuki toko, pandangan semua orang lantas tertuju padanya dengan sikap yang rada tegang.

   Malahan ada dua pegawai muda yang tampaknya mengunjuk rasa takut-takut dan kuatir.

   Segera juga kuasa toko menyapa dan bertanya dengan tak acuh.

   "Apakah tuan tamu ingin membeli kain sutera? Ingin mencari motif macam apa? Untuk dijual lagi secara eceran atau partai?"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kok Siau-hong rada sangsi, pikirnya.

   "Konon orang di kota Tay-toh ini pada umumnya sopan santun dan ramah-tamah, terutama kaum pedagangnya, mengapa sikap mereka begini dingin padaku? Apakah barangkali ada tanda-tanda mencurigakan pada diriku?"

   Maka ia lantas menjawab.

   "O, aku bukan hendak membeli kain, aku ingin mencari juragan Ting kalian."

   "Untuk apa kau mencari juragan kami? Apakah kau sahabat beliau?"

   Tanya kuasa toko itu dengan muka cemberut.

   "Meski aku bukan sahabat juraganmu, tapi kedatanganku ini atas perantara seorang sahabat baiknya,"

   Jawab Siau-hong dengan tertawa.

   "Siapa?"

   Tanya kuasa toko itu.

   "Seorang juragan she Ang di kota Uh-seng, aku datang dari sana,"

   Kata Siau-hong. Jawaban ini membikin sikap para pegawai toko kain itu bertambah tegang. Si kuasa toko juga lantas menjawab dengan ketus.

   "Juragan kami tidak berada di sini."

   "Tidak di toko, apa di rumah tinggalnya? Dimanakah rumah tinggalnya?"

   Tanya Siau-hong pula.

   "Untuk apa kau mencari juragan kami, beliau tidak ingin terima tamu,"

   Kata pula si kuasa toko. Tiada jalan lain, terpaksa Siau-hong bicara lebih jelas, katanya.

   "Juragan Ang itu titip sesuatu untuk juragan Ting kalian, maka aku ingin menyerahkan padanya langsung."

   "O, tapi, tapi kedatanganmu kurang kebetulan, juragan kami sedang keluar menagih hutang,"

   Ujar si kuasa toko.

   "Kapan pulangnya? Biar kudatangi rumahnya saja, dimana rumah tinggalnya?"

   "Aku tidak tahu!"

   Jawab orang itu dingin. Mau tak mau Kok Siau-hong menjadi dongkol, katanya.

   "Mustahil rumah tinggal juragan kalian sendiri tidak tahu?"

   "Kau tidak percaya padaku, memangnya suruh aku percaya padamu?"

   Jawab orang itu ketus.

   "Sudahlah, kami sibuk, silakan kau pergi saja jika tidak ingin membeli."

   Sedapatnya Kok Siau-hong menahan gusarnya agar tidak terjadi pertengkaran yang akan menimbulkan hal-hal yang merunyamkan rencana.

   Kebetulan waktu itu datang lagi beberapa tamu, si kuasa toko dan pegawainya tidak mengurus Kok Siau-hong lagi dan beralih melayani tetamu lain.

   Dengan mendongkol terpaksa Kok Siau-hong meninggalkan toko kain itu, ia pikir hendak berunding dahulu dengan Han Pwe-eng.

   Dalam pada itu Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau yang menunggu di kedai minum itupun mengalami sesuatu yang aneh.

   Ketika mereka asyik minum dan makan kue, tidak lama masuklah seorang pemuda baju putih dan duduk bersanding meja di depan mereka, yang membuat mereka mendongkol adalah mata pemuda itu selalu melirik ke arah mereka, tampaknya terlebih menaruh perhatian terhadap Yim Hong-siau.

   Sudah tentu Yim Hong-siau merasa kheki, ia berbisik menyatakan rasa dongkolnya itu kepada Han Pwe-eng.

   "Jangan peduli dia, asal dia tidak mengganggu kita biarkan saja,"

   Ujar Pwe-eng. Tak terduga pemuda baju putih itu lantas mendekati mereka dan melancarkan "gangguan". Dia memberi salam dan berkata.

   "Kedua Sio-cia ini datang darimana? Tampaknya seperti sudah pernah kenal."

   "Selamanya aku tidak pernah melihat kau, siapa kenal kau? Lekas enyah!"

   Damprat Yim Hong-siau kontan. Tapi pemuda itu tidak menanggapi dampratan itu, ia menuang secangkir teh dan berkata pula.

   "Ya, anggaplah aku salah melihat, tapi Sio-cia tidak perlu marah bukan? Bagaimana kalau kita bersahabat? Eh, minumlah suguhanku ini!"

   "Siapa sudi minum suguhanmu!"

   Bentak Yim Hong-siau, jari tengahnya terus menjentik cangkir teh yang disodorkan pemuda itu.

   Kepandaian Hong-siau belum tergolong kelas satu, tapi tenaga selentikannya ini cukup hebat, kalau cuma jago silat biasa saja tidak mungkin tahan tenaga selentikan jarinya itu, apalagi kalau orang yang tidak mahir ilmu silat.

   Dalam pandangan Yim Hong-siau si pemuda baju putih itu tidak lebih hanya seorang bajingan biasa saja, tenaga selentikannya itu pasti akan membuatnya kesakitan dan menjerit minta ampun.

   Di luar dugaan.

   "tring", cangkir teh itu memang tepat kena diselentik, tapi pemuda itu tetap berdiri tenang saja seperti tidak terjadi apa pun, malahan teh di dalam cangkir juga tidak tercecer barang setetes pun.

   "Eh, ternyata Sio-cia masih marah padaku, baiklah, terpaksa teh ini kuminum sendiri,"

   Kata pemuda tadi dengan tertawa.

   "Maaf jika aku telah mengganggu kalian."

   Bahwa pemuda itu tahan tenaga selentikan Yim Hong-siau itu tidak perlu diherankan, yang hebat adalah caranya memunahkan tenaga selentikan itu secara acuh tak acuh dan seperti tiada terjadi apa-apa, malahan air teh dalam cangkir juga tidak tumpah.

   Ini menandakan bahwa lwekang pemuda itu jauh lebih tinggi daripada Yim Hong-siau.

   Tentu saja Han Pwe-eng juga terkejut, segera ia pun siap hendak memberi bantuan bila perlu.

   Tak terduga kembali mereka kecele, mereka mengira setelah memperlihatkan kebolehannya, tentu si pemuda akan mencari perkara.

   Tapi sesudah minum teh, dengan sopan pemuda itu lantas minta maaf terus pergi.

   Tentu saja Han Pwe-eng dan Yim Hong-siau saling pandang dan bingung, mereka tidak dapat meraba asal-usul pemuda itu.

   Tidak lama kemudian Kok Siau-hong lantas muncul dan memberitahukan apa yang dialaminya.

   Segera Han Pwe-eng juga bercerita tentang kelakukan si pemuda yang mencurigakan tadi.

   Kok Siau-hong menjadi sangsi juga, ia pikir apakah mungkin jejak mereka sudah diketahui musuh? Ia coba bersikap tenang dan suruh Han Pwe-eng berdua lebih waspada saja.

   Lalu mereka berunding cara bagaimana akan mencari Ting Sit.

   Menurut Kok Siau-hong, tentu Ting Sit sengaja menghindar untuk menemuinya.

   Yang penting sekarang adalah mencari akal untuk menemuinya.

   Kedai minum itu terletak tidak jauh di depan toko kain sutera itu, tiba- tiba Han Pwe-eng lihat seorang kacung pengantar arang keluar dari toko itu.

   Segera Pwe-eng berseru.

   "Kalian tunggu sebenar, aku ada akal!"

   Ia terus melangkah pergi dan di pengkolan jalan sana ia dapat menyusul kacung pengantar arang tadi. Tampak Pwe-eng bicara dengan kacung itu, sejenak kemudian ia lantas kembali ke kedai.

   "Marilah kita berangkat, sekarang aku sudah tahu dimana tempat tinggal juragan Ting,"

   Kata Pwe-eng tertawa.

   Di tengah jalan Yim Hong-siau coba bertanya cara bagaimana Han Pwe- eng mendapat keterangan tempat kediaman Ting Sit.

   Dengan tertawa Han Pwe-eng lantas bercerita caranya memancing keterangan dari si kacung pengantar arang itu.

   Kiranya dia berlagak menegur mengapa kacung itu tidak mengantar arang ke tempat juragan Ting sebagaimana telah dipesan kemarin.

   Kacung itu tampak gugup dan menjawab bahwa tiga hari yang lalu arang yang dipesan sudah dikirim.

   Tapi Pwe-eng sengaja main gertak dan minta si kacung coba bercerita dimana tempat kediaman juragan Ting apabila memang betul arang pesanan sudah dikirim.

   Dengan begitu maka si kacung lantas menyebutkan alamat tempat tinggal Ting Sit.

   Yim Hong-siau terpingkal-pingkal mendengar cerita itu, katanya.

   "Sungguh enci Eng mempunyai akal selicin itu. Engkau harus hati-hati, Piau- ko!"

   Dengan tertawa Kok Siau-hong menjawab.

   "Yang ku kuatirkan adalah nanti di tempat kediaman Ting Sit mungkin akan terjadi keonaran."

   Tidak lama dapatlah mereka mencapai rumah kediaman Ting Sit yang terletak di barat kota. Pintu rumah tampak tertutup, segera Kok Siau-hong mengetuk pintu. Seorang centeng membukakan pintu dan bertanya dengan curiga.

   "Tuan mencari siapa? Juragan kami tidak menerima tamu!"

   Habis itu segera pintu hendak ditutup pula. Tapi Kok Siau-hong lantas menahannya dan berkata.

   "Aku telah mencari juragan kalian di toko, tapi tidak bertemu, makanya kucari lagi ke sini."

   "Tapi juragan kami sedang sakit, tidak terima tamu,"

   Kata centeng itu sambil mendorong pintunya lagi. Namun sedikit tolak saja Kok Siau-hong telah membikin centeng itu tergetar mundur. Keruan centeng itu terkejut. Dengan tertawa Kok Siau-hong berkata pula.

   "Aku datang dari Uh-seng atas petunjuk seorang kawan juragan kalian, karena itu aku harus menemuinya."

   Walaupun masih sangsi, dengan mendongkol centeng itu lantas menjawab.

   "Baiklah, rasanya kalian takkan pergi jika tidak bertemu dengan majikan kami. Marilah masuk dan tunggu sebentar di ruang tamu."

   Setelah menyilakan tamunya duduk di ruang tamu, centeng itu lantas bergegas masuk ke belakang. Tidak lama kemudian muncul seorang lelaki kekar. Melihat mukanya rada mirip Ting Ho, segera Kok Siau-hong berbangkit dan menyapa.

   "Tentunya inilah juragan Ting, Cay-he datang dari Uh-seng."

   Lelaki itu mengamati Kok Siau-hong dengan sikap sangsi, jawabnya kemudian.

   "Benar, akulah orang she Ting. Kabarnya kau telah mencari aku di toko, sekarang kau datang lagi ke sini, sungguh aku tidak mengerti maksud tujuanmu?"

   "Cay-he Kok Siau-hong, Ang Pang-cu dari Uh-seng minta aku menyampaikan sesuatu padamu,"

   Kata Siau-hong sambil menyodorkan sebuah cincin bambu loreng.

   Bambu loreng adalah tumbuhan khas di Uh-seng, bentuknya persegi dan berwarna kuning loreng, sama sekali berbeda daripada bambu biasa.

   Sebab itulah Ang Kin menggunakannya sebagai tanda pengenal antara kawan Tiang-keng-pang sendiri, melihat cincin bambu itu laksana melihat kedatangan sang Pang-cu.

   Maka Ting Sit rada terkejut, cepat ia menerima cincin tanda pengenal itu dengan sikap hormat, katanya.

   "Maaf sebelum ini tak diketahui kalau Kok- siauhiap adalah kawan sendiri sehingga berlaku kurang hormat. Kedua nona ini....."

   "O, yang ini nona Han dan yang itu nona Yim,"demikian Siau-hong memperkenalkan mereka. Ting Sit cukup luas pengetahuannya, segera ia bertanya.

   "Han Tay-wi, Han-tayhiap di Lok-yang entah pernah apa dengan nona Han?"

   "Beliau adalah ayahku,"

   Jawab Pwe-eng. Ting Sit juga sudah dengar Kok Siau-hong telah bertunangan dengan Han Pwe-eng, dengan tertawa ia berkata pula.

   "Nona Han, ayahmu adalah pahlawan tua yang paling kukagumi, syukurlah engkau datang bersama Kok- siauhiap."

   "Tentang nona Yim ini, dia adalah puteri pamanku, Yim Thian-ngo,"

   Kata Siau-hong. Ting Sit mengerut kening, ia pikir apakah barangkali Kok Siau-hong belum tahu kalau pamannya itu sudah berkhianat? Tapi lantaran baru berkenalan, tidak enak baginya untuk bicara secara terus terang. Tapi Kok Siau-hong lantas berkata.

   "Piau-moay sudah minggat dari rumah, kabarnya ayahnya kini berada di Tay-toh, agar tidak diketahui ayahnya, maka kami ingin mencari suatu tempat sembunyi bagi Piau-moay."

   Ting Sit sudah berpengalaman, dari nada Kok Siau-hong itu ia lantas tahu kalau Kok Siau-hong memandang sang paman sebagai musuh, maka ia pun tidak sangsi lagi, dengan tertawa ia berkata.

   "Cari tempat mana lagi, silakan kalian tinggal saja di sini apabila kalian sudi."

   Setelah beramah-tamah sejenak, kemudian Ting Sit bertanya maksud kedatangan Kok Siau-hong.

   "Kudengar Cin-wan Piaukiok yang dipimpin Beng Ting akan membuka usahanya kembali di Tay-toh sini, maka aku ingin menemui Beng- lopiauthau!"

   Tutur Siau-hong.

   "Cuma urusan ini tidak boleh diketahui orang luar. Ang Pang-cu suruh aku ke sini dan minta bantuanmu."

   "Beng Ting sendiri tidak kenal asal-usulku,"

   Tutur Ting Sit.

   "cuma toko kami ada hubungan dengan Cin-wan Piaukiok, ketika kantor pusatnya berada di Lok-yang pernah juga kami minta pengawalannya. Nanti kalau tiba hari pembukaan Piaukiok mereka itu, kau boleh menyamar sebagai pembantuku dan pergi memberi selamat bersamaku."

   Siau-hong mengucapkan terima kasih.

   Lalu ia pun tanya ada persoalan apa sehingga Ting Sit sengaja bersembunyi di rumah dan tidak mau terima tamu.

   Dengan tertawa Ting Sit lantas menutur.

   Kiranya tiga hari yang lalu toko kain sutera Ting Sit itu kedatangan seorang tamu yang juga mengaku datang dari Uh-seng dan ingin menemui Ting Sit.

   Biasanya orang yang dikirim Tiang-keng-pang semuanya hampir dikenal Ting Sit dan kuasa toko, andaikan tidak kenal tentu juga dapat mengucapkan kata-kata sandi yang ditentukan.

   Tapi tamu yang datang itu tidak dikenal, bahkan juga tidak paham kata-kata sandi Tiang-keng-pang.

   Waktu itu Ting Sit sendiri berada di toko, tapi tamu itupun tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu ialah juragan toko sendiri.

   Ting Sit memang cerdas dan cermat, dengan sendirinya ia tidak memperkenalkan diri begitu saja, ia berlagak sebagai pegawai dan bertanya tamunya ada urusan apa, tamu itu menjawab kedatangannya hendak menagih hutang.

   Keruan keterangan ini membuat Ting Sit heran dan terperanjat.

   "Macam apakah tamu itu?"

   Tanya Siau-hong.

   "Hampir sama dengan kau,"

   Tutur Ting Sit.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"baik usia maupun dandanan tidak banyak berbeda dengan kau, ia pun pemuda yang tampan dan berdandan sebagai Su-seng (pelajar). Dia juga mengatakan datang dari Uh-seng seperti kau."

   "O, pantas kalau kedatanganku menambah curiga kalian, mungkin kalian menyangka akulah komplotan orang itu,"

   Ujar Siau-hong dengan tertawa.

   "Ya, memang kuasa toko kami itu mempunyai perasaan demikian,"

   Kata Ting Sit.

   "Tadi dia menyampaikan laporan padaku tentang kedatangan dirimu. Cuma kau pun menyatakan hendak menyampaikan sesuatu barang dari Pang-cu kami, hal inilah yang meragukan aku apakah kau sekomplotan dengan pemuda pertama itu."

   "Kemudian apa lagi yang terjadi?"

   Tanya Siau-hong.

   "Kuasa toko kami tanya dia tagihan apa? Dia menyatakan tahun yang lalu kami pernah membeli satu partai kain halus di Uh-seng dan sisa hutang belum dilunasi, maka sekarang dia hendak menagih sisa hutang itu. Sudah tentu hal ini tidak pernah terjadi. Kupikir orang ini sungguh berani melakukan pemerasan kepada kami, agaknya dia mengetahui sedikit rahasia kami, makanya dia menyatakan datang dari Uh-seng agar kami tahu ada kelemahan yang tergenggam olehnya.

   "Waktu itu aku pun tidak banyak rewel, aku memberi isyarat kepada kuasa toko kami agar memenuhi saja apa yang diminta. Maka kuasa toko kami lantas menyilakan pemuda itu berduduk dan pura-pura akan memeriksa pembukuan dahulu. Selang tidak lama kuasa toko dan aku yang menyamar sebagai pegawai toko lantas membawa keluar sejumlah uang perak dan menyatakan pembukuan sudah diperiksa, ternyata betul kami ada hutang sejumlah itu, maka orang itu disilakan menerimanya dengan betul. Agaknya tindakan kami itu teramat di luar dugaannya, dia berbalik menyatakan akan datang lagi lain hari bila juragan kami sudah pulang, tapi kuasa kami menyatakan dia berhak penuh untuk membayarnya dan boleh diterima saja. Tentu saja orang itu tiada alasan lain lagi. Cuma sebelum pergi dia telah unjuk sesuatu permainan lagi untuk menakuti orang."

   "Permainan apa?"

   Tanya Siau-hong.

   "Entah dia sengaja menjajal diriku atau memang anggap aku sebagai pegawai toko, waktu dia akan pergi aku telah diberi persen sepotong uang perak,"

   Tutur Ting Sit pula sambil mengeluarkan potongan uang perak yang dimaksud dengan bekas remasan jari yang jelas.

   "Inilah permainannya yang bermaksud menakuti aku, tapi aku tenang saja dan mengucapkan terima kasih malah padanya. Tapi setelah itu aku sengaja berpura-pura sakit dan berdiam di rumah, diam-diam aku menyuruh orang menyelidiki asal-usul orang itu. Selama tiga hari ini diketahui jejaknya selalu muncul di sekitar toko kain kami."

   Hati Han Pwe-eng tergerak mendengar sampai di sini, baru dia hendak menceritakan pengalamannya di kedai minum itu, kebetulan kuasa toko kain yang pernah ditemui Kok Siau-hong itu datang.

   Tampaknya kuasa toko itu terkejut melihat Kok Siau-hong hadir di situ.

   Sesudah Ting Sit menjelaskan duduknya perkara barulah kuasa toko itu meminta maaf atas sikapnya itu.

   Lalu Ting Sit bertanya.

   "Bagaimana dengan bocah itu, kelihatan muncul lagi tidak?"

   "Untuk itulah perlu kulaporkan kepada juragan, bocah itu sudah pergi,"

   Tutur kuasa toko itu sambil mengeluarkan secarik kartu.

   "Inilah suratnya, dengan rendah hati dia menyatakan terima kasihnya karena tagihannya berjalan dengan lancar, disesalkannya tidak sempat bertemu dengan juragan, hanya surat mohon diri ini yang ditinggalkannya untukmu. Tampaknya dia sudah puas setelah menerima seribu tahil perak kita itu."

   Waktu Ting Sit membaca kartu terima kasih itu, terlihat dibubuhi nama penanda tangan "Li Tiong-cu". Ia mengerut kening dan tanya Kok Siau- hong.

   "Nama orang ini sama sekali belum kudengar, apakah Kok-siauhiap kenal dia?"

   Kok Siau-hong membaca nama yang tertulis itu dan menegas.

   "Li Tiong- cu? Rasanya belum pernah kudengar nama ini!"

   Yim Hong-siau rada menaruh perhatian atas nama itu, tapi ia pun tidak memberi komentar apa pun.

   Sebenarnya Han Pwe-eng hendak menceritakan pengalamannya di kedai minum itu, tapi mendengar pemuda itu sudah pergi, maka ia pun urung bercerita.

   Malamnya Ting Sit mengobrol lagi dengan Kok Siau-hong dan membicarakan diri Yim Thian-ngo.

   Ting Sit memberitahukan bahwa menurut keterangan yang didapat, konon Yim Thian-ngo telah mengekor pada Wanyan Tiang-ci, malahan Ting Sit sudah pernah melihat murid Yim Thian-ngo, yaitu Sia Hoa-liong dalam seragam perwira bayangkara kerajaan Kim.

   Kalau Yim Thian-ngo masih suka main sembunyi-sembunyi akan perbuatannya yang khianat, tidak demikian dengan tingkah polah Sia Hoa- liong, dia adalah manusia yang jahat, pihak mana yang menguntungkan dia ke sana pula dia menggelendot.

   "Jahanam ini bila kepergok olehku pasti takkan kuampuni,"

   Kata Kok Siau-hong dengan gemas.

   "Ya, dasar antek, kini tugasnya benar-benar sesuai dengan pribadinya,"

   Tutur pula Ting Sit.

   "Wanyan Tiang-ci telah memperalat dia untuk menghubungi tokoh silat bangsa Han di Tay-toh yang mempunyai nama baik dan kedudukan seperti para pemimpin Piau-kiok yang terkemuka tentu didatangi olehnya. Sebab itu bila Kok-siauhiap hendak memergoki dia kukira tidaklah sukar, pada hari pembukaan Cin-wan Piaukiok besar kemungkinan dia akan hadir juga."

   "Baik, nanti aku ikut ke sana dengan menyamar, bila ada kesempatan biar kubinasakan dia,"

   Kata Siau-hong.

   "Hendaklah engkau bersabar dan bertindak menurut keadaan agar tidak membikin susah Beng-lopiauthau."

   "Sudah tentu, aku pasti akan melihat gelagat dan takkan turun tangan di tempat,"

   Kata Siau-hong pula. Besoknya menjelang lohor, kembali rumah Ting Sit kedatangan meorang tamu yang tak diundang. Penjaga pintu membawa sehelai kartu nama kepada Ting Sit, nama yang tertera di kartu nama itu ialah "Li Tiong-cu".

   "Ha, ha, kemarin dia sengaja meninggalkan kartu mohon diri di toko, tapi sekarang dia meluruk ke sini, tampaknya dia berkeras ingin bertemu dengan aku,"

   Ujar Ting Sit dengan tertawa.

   "Biar aku yang mengenyahkan dia saja,"

   Kata Siau-hong.

   "Sabar dulu, biarkan dia masuk saja,"

   Kata Ting Sit, lalu ia perintahkan penjaga menyilakan tamunya masuk.

   "Kukira kemarin dia telah menguntit kalian sampai di sini, makanya kediamanku ini dapat diketahuinya,"

   Kata Ting Sit pula.

   "Tapi kebetulan juga, biar kubikin terang maksud kedatangannya sekarang juga. Sebentar harap Kok-siauhiap mewakilkan aku menerima tamu, aku tetap pura-pura sakit. Jangan gunakan kekerasan, sedapatnya selidiki dulu apa maksud kedatangannya."

   Dalam pada itu terdengar suara tindakan orang mendatangi, cepat Ting Sit bersembunyi ke ruangan dalam. Selagi Kok Siau-hong hendak memapak tamunya, tiba-tiba Han Pwe-eng berkata padanya dengan suara tertahan di balik pintu angin.

   "Ssst, Siau- hong, justru pemuda inilah yang kami lihat di kedai minum itu kemarin."

   Waktu itu tamu yang bernama Li Tiong-cu baru mendaki undak- undakan, maka dari balik pintu angin dapat terlihat dengan jelas. Segera terdengar Yim Hong-siau menambahkan.

   "Sebentar hendaklah kau menanyakan dia berasal darimana."

   Sementara itu Li Tiong-cu itu sudah berada di ruang tamu, segera Siau- hong memapaknya. Li Tiong-cu itu mengamati Kok Siau-hong sekejap, katanya.

   "Toa-ko ini....."

   "O, Cay-he she Kok, aku hanya pegawai toko saja dan terkadang juga membantu urusan rumah tangga juragan kami,"

   Jawab Siau-hong.

   "Ha, ha, tampaknya Toa-ko ini suka rendah hati, kulihat engkau tidak mirip pegawai biasa,"

   Kata Li Tiong-cu dengan tertawa.

   "Kudengar juragan kalian sudah berada di rumah, maka aku ingin bertemu dengan dia."

   "Sumber berita Li-heng sungguh cepat sekali,"

   Kata Siau-hong.

   "Juragan kami memang sudah pulang, tapi beliau tidak enak badan, belum dapat menerima tamu. Pesan juragan kami, ada urusan apa boleh Li-heng bicarakan dengan Cay-he saja."

   Sampai di sini, seorang kacung membawakan nampan dengan dua cangkir teh untuk tamu.

   "Berikan padaku,"

   Kata Siau-hong kepada kacung itu sambil memegang nampan itu, lalu berkata pula.

   "Li-heng, silakan minum sekadar pelenyap dahaga."

   Dengan sebelah tangan Kok Siau-hong memegangi nampan teh itu, ketika ia kerahkan tenaga dalam, mendadak cangkir teh meloncat ke atas.

   Dalam keadaan begitu kalau Li Tiong-cu menangkap cangkir terpaksa dia harus menggunakan tenaga dalam sekuatnya, dan benturan dua arus tenaga pasti akan mengakibatkan isi cangkir itu muncrat dan pasti pula akan membikin muka orang she Li itu basah kuyup.

   Dari balik pintu angin Han Pwe-eng dapat mengikuti kejadian itu, diam- diam ia pikir cara Kok Siau-hong menjajal kepandaian tamunya itu sungguh bagus sekali.

   Dalam pada itu tertampak Li Tiong-cu tenang saja menyambut suguhan Kok Siau-hong itu, katanya.

   "Ah, jangan sungkan, Kok-heng!" ~ Berbareng mulutnya terbuka terus menghirup tanpa bibir menempel cangkir dan tangan tanpa memegang cangkir, tapi isi cangkir itu terus tersedot ke mulutnya laksana seutas tali air saja. Setelah menyedot habis isi cangkir, ia menarik napas dan memuji.

   "Hm, sungguh teh yang sedap sekali!"

   Habis itu cangkir teh kelihatan anjlok lagi ke bawah dan tepat berada di tengah nampan.

   Pertandingan lwekang secara diam-diam ini boleh dikata sama hebatnya dan sama bagusnya.

   Siau-hong merasa heran, semula dia menyangka pemuda ini hanya kaum keroco biasa saja, siapa tahu lwekang yang dimilikinya ternyata dari aliran yang baik dan lihai.

   Entah orang ini anak murid tokoh kosen mana? "Waktu kudatang ke toko kalian agaknya Kok-heng tidak berada di sana,"

   Kata Li Tiong-cu.

   "Ya, kebetulan waktu itu Cay-he tidak berada di toko, tapi sudah kudengar persoalannya,"

   Jawab Siau-hong.

   "Kunjungan ulang Li-heng ini apakah karena ada sesuatu perhitungan yang tidak beres? Segala sesuatu tentu akan Cay-he selesaikan menurut pesan juragan kami."

   Li Tiong-cu bergelak tertawa, ia melepaskan sebuah buntalan panjang yang digendongnya, lalu berkata.

   "Ini adalah pembayaran juragan kalian kemarin, tapi urusannya ternyata ada yang keliru, kedatanganku sekarang bukan untuk menagih lagi, tapi untuk membayar kembali."

   "Sungguh aneh, hutang kami kepada Li-heng sudah dibayar, mengapa Li- heng mengembalikannya malah?"

   Ujar Siau-hong.

   "Soalnya memang salahku sendiri, aku telah salah alamat,"

   Kata Li Tiong- cu.

   "Kemarin aku mendapat susulan berita dari Uh-seng bahwa toko yang mempunyai hutang kepada kami adalah toko lain dan bukan juragan kalian."

   "Tapi..... tapi juragan kami hanya suruh membayar dan tidak memberi kuasa padaku untuk menerima uang,"

   Ujar Siau-hong.

   "Apabila memang betul ada kekeliruan, silakan Li-heng berkunjung ke toko saja." ~ Ia tidak tahu ada kehendak tamunya ini, maka ia pikir harus mengenyahkannya lebih dulu.

   "Namun untuk menghemat waktu dan tenaga, kukira Kok-heng dapat mewakilkan toko kalian untuk menerimanya kembali,"

   Kata Li Tiong-cu pula.

   Habis itu mendadak ia lemparkan buntalan panjang itu ke arah Kok Siau-hong.

   Buntalan itu ada seribu tahil perak, itu berarti benda seberat enampuluh kati lebih, maka tenaga lemparan ini sungguh sangat hebat.

   Mendongkol juga hati Kok Siau-hong.

   Tanpa pikir kedua tangannya menyodok ke depan sehingga buntalan itu tertolak kembali ke sana.

   Tak terduga buntalan itu mendadak bolong sehingga enam atau tujuh potong uang perak terjatuh keluar.

   Kiranya waktu Li Tiong-cu melemparkan buntalan itu tadi, secara diam- diam ia menggunakan tenaga dalam untuk menggencet buntalan itu sehingga membuatnya pecah.

   Siau-hong pikir kalau lawan tidak diberi rasa sedikit tentu takkan kenal kelihaiannya.

   Maka dengan gerakan yang gesit dan indah, sekali raup ia sambar ketujuh bongkahan perak itu, lalu katanya.

   "Li-heng, beberapa potong uang perak itu silakan ambil sekalian!"

   Berbareng ia terus lemparkan ketujuh bongkah perak itu ke depan, semuanya mengincar Hiat-to di tubuh lawan.

   Tapi dengan tenang saja Li Tiong-cu memutar tubuh, sekali mengebas, ketujuh bongkah perak itu telah tergulung ke dalam lengan bajunya.

   Ia menahan lubang buntalannya yang robek itu dan berkata.

   "Baiklah, kalau Kok-heng tidak sudi menerimanya, terpaksa kusimpan kembali. Cuma ada suatu urusan pribadi aku ingin tanya kepadamu."

   "Kita baru kenal, ada urusan pribadi apa yang menarik perhatian Li- heng?"

   Ujar Siau-hong.

   "Logat Kok-heng seperti berasal dari Yang-ciu, maka kalau tidak keberatan aku ingin tanya seseorang padamu,"

   Tutur Li Tiong-cu.

   "Siapa yang kau maksud?"

   "Seorang Lo-cianpwe kalangan Kang-ouw, yaitu Yim Thian-ngo, dia mempunyai adik perempuan menikah dengan keluarga Kok di Yang-ciu, tuan muda keluarga Kok kabarnya bernama Kok Siau-hong, entah pernah sanak famili dengan Kok-heng tidak?"

   Tadi Siau-hong baru memberitahukan she dan tidak namanya, maka hatinya tergerak oleh pertanyaan orang, jawabnya kemudian.

   "Ada keperluan apa kau tanya Yim Thian-ngo dan Kok Siau-hong? Li-heng sendiri asal darimana?"

   Dengan suara rendah Li Tiong-cu berkata.

   "Terus terang aku adalah sahabat baik Sia Hoa-liong, murid tertua Yim-locianpwe itu, aku berasal dari Bu-seng di Soa-tang, apakah Kok-heng hendak memberi petunjuk sesuatu?"

   "Ya, aku memang hendak memberi hajaran kepada bangsat macam kau ini!"

   Bentak Kok Siau-hong.

   "He, mengapa Kok-heng bicara kasar begini?"

   Ujar Li Tiong-cu.

   "Hm, terus terang kukatakan, aku inilah Kok Siau-hong adanya,"

   Jengek Siau-hong.

   "Bahwa Yim Thian-ngo sudah berkhianat, maka sudah lama aku tidak mengakui dia sebagai Ku-ku lagi. Kau adalah begundal muridnya, tentu kau pun bukan manusia baik-baik. Hm, jangan kau harap dapat keluar dari rumah ini." ~ Sembari berkata segera ia mencengkeram pundak orang. Pada saat itulah terdengar di balik pintu angin ada orang bersuara heran dengan perlahan. Siau-hong jadi ingat pesan Yim Hong-siau tadi, ia menjadi heran mengapa Piau-moaynya suruh dia menanyai asal-usul pemuda she Li ini, apakah mungkin mereka sudah kenal? Tapi dia sudah telanjur turun tangan, betapa pun orang harus ditawannya lebih dahulu. Hati Li Tiong-cu juga tergerak ketika mendengar suara orang yang lirih tadi, ia pikir tidak keliru lagi, tentu nona itulah yang dia cari. Namun serangan Siau-hong teramat cepat sehingga Li Tiong-cu tak sempat memberi penjelasan, lekas Li Tiong-cu mengelak ke samping, diam- diam ia pun mendongkol dan ingin menjajal kepandaian lawan untuk lebih meyakinkan apakah benar Kok Siau-hong tulen atau bukan? Dalam pada itu dengan cepat sekali serangan kedua dan ketiga yang lebih dahsyat telah dilancarkan pula oleh Kok Siau-hong. Terpaksa Li Tiong-cu menggunakan buntalan uang yang panjang itu sebagai senjata, ia menyabet dengan kuat. Tapi sedikit mendek tubuh dapatlah Kok Siau-hong menghindarinya, menyusul ia lantas balas menghantam. Pukulan Siau-hong menggunakan Siau-yang-sin-kang yang dahsyat, tak kuasa lagi Li Tiong-cu memegangi buntalannya itu sehingga terlepas, maka terdengarlah suara gemerincing nyaring, bongkahan perak itu berserakan memenuhi lantai.

   "Eh, hati-hati Kok-heng, jangan sampai terpeleset,"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seru Li Tiong-cu dengan tertawa. Beratus-ratus bongkahan perak itu berhamburan di lantai sehingga sangat mengganggu, biarpun mempunyai Ginkang yang tinggi, kalau lena sedikit saja bisa juga jatuh tergelincir.

   "Hm, bagaimana pun akal licikmu juga takkan dapat lolos dari tanganku!"

   Bentak Siau-hong dengan gusar. Sekonyong-konyong sebelah kakinya menyapu dengan kuat, kontan bongkahan perak yang berserakan itu disapu bersih ke pinggir, menyusul jarinya laksana pisau terus menotok ke muka musuh.

   "Aha!"

   Seru Li Tiong-cu sambil tangannya memutar ke atas untuk menotok pelipis lawan. Serangan ini merupakan totokan lawan totokan, caranya indah dan serangannya lihai. Terkesiaplah hati Kok Siau-hong, berbareng juga merasa heran, pikirnya.

   "Ilmu menotok orang ini sedemikian hebat, tampaknya sangat mirip dengan Keng-sin-ci-hoat yang dimiliki Kong-sun Bok, sungguh aneh."

   Karena merasa ilmu Tiam-hiat sendiri tak dapat menandingi totokan musuh, segera Kok Siau-hong berganti serangan, ia gunakan jari tangan sebagai pedang, sekaligus ia melancarkan tujuh kali serangan kepada Li Tiong-cu.

   Mendadak Li Tiong-cu melompat keluar kalangan dan memuji.

   "Jit-siu- kiam-hoat sungguh hebat! Kok-heng, kita tidak perlu bergebrak lagi, aku hanya menjajal kau saja."

   Siau-hong masih sangsi, tapi sebelum dia menjawab, Yim Hong-siau sudah muncul dan berseru.

   "Berhenti dulu, Piau-ko! He, Cu cilik, kiranya betul kau!"

   "Ha, ha, ternyata kau si budak setan ini masih kenal padaku, kemarin aku telah bersikap kurang sopan padamu,"

   Kata Li Tiong-cu dengan tertawa.

   "Eh, Cu cilik, sebenarnya apa-apaan ini? Sudah tahu akan diriku, mengapa kemarin kau tidak bicara terus terang?"

   Tegur Yim Hong-siau.

   "Kemarin aku masih ragu kalau salah mengenali orang, maka tidak berani menegur kau, kini setelah kau menyebut namaku barulah aku yakin akan dirimu,"

   Ujar Li Tiong-cu. Bahwasanya Li Tiong-cu menyebut Yim Hong-siau sebagai "budak setan"

   Ternyata nona itu sama sekali tidak marah, hal ini membuat Kok Siau-hong merasa heran, segera ia bertanya.

   "Siapakah saudara ini sebenarnya?"

   Li Tiong-cu lantas mengeluarkan sebuah seruling terus ditiupnya, nadanya memilukan dan membuat pendengarnya merasa terharu.

   Selagi Siau-hong merasa heran mengapa pemuda she Li itu mendadak meniup seruling, sementara itu Ting Sit dan Han Pwe-eng juga sudah keluar.

   Pwe-eng paham seni suara, segera ia membisiki Siau-hong.

   "Lagu yang dibawakan serulingnya itu berasal dari syair gubahan Tu Fu yang menyesali bahaya perang yang membikin sengsara rakyat jelata."

   Siau-hong pikir pemuda she Li ini ternyata serba pintar, orang berbakat begini masakah sudi menjadi anjing musuh, jangan-jangan dia memang benar menjajal diriku saja.

   Sementara itu selesai meniup satu lagu, Li Tiong-cu lantas memberi hormat kepada Ting Sit dan menyapa.

   "Ini tentulah juragan Ting Sit bukan? Kedatanganku ini khusus untuk minta maaf padamu."

   "Sesungguhnya engkau ini siapa?"

   Tanya Siau-hong. Sedangkan Ting Sit kelihatan kejut-kejut girang, segera ia pun berkata.

   "Li-heng, gurumu tentulah Tam-tayhiap adanya? Yang harus minta maaf adalah diriku, maklumlah aku tidak tahu kalau engkau adalah murid Tam- tayhiap."

   "Betul,"

   Jawab Li Tiong-cu dengan tertawa.

   "Hanya mendengarkan satu lagu saja juragan Li lantas tahu siapa diriku. Jika begitu asal-usulku kiranya tidak perlu lagi kukatakan kepada Kok-heng."

   Kejadian ini sungguh tak terduga oleh Kok Siau-hong, sebab "Tam- tayhiap"

   Yang dimaksud Ting Sit itu tak lain tak bukan adalah salah satu guru besar ilmu silat yang paling termasyhur pada zaman ini, yaitu Bu-lim-thian- kiau Tam Ih-tiong.

   Bu-lim-thian-kiau dan Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau serta Siau-go-kan-kun Hoa Kok-ham adalah sahabat karib, hubungan mereka betiga sudah cukup jelas diketahui Kok Siau-hong walaupun ia sendiri belum pernah bertemu dengan Bu-lim-thian-kiau.

   Baru sekarang Siau-hong sadar, pantas ilmu Tiam-hiatnya tadi kelihatan mirip dengan kepandaian Kong-sun Bok.

   Sebagaimana diketahuinya Keng- sin-ci-hoat yang dimiliki Kong-sun Bok itu sebagian adalah ajaran Bu-lim- thian-kiau.

   Dengan girang Yim Hong-siau lantas menyapa juga.

   "He, Cu cilik, kiranya kau telah mendapatkan guru pandai, sungguh aku ikut senang dan bangga. Tapi mengapa Ting Hiang-cu lantas tahu asal-usul si Cu cilik begitu mendengar suara serulingnya?"

   "Sebenarnya sama sekali aku tidak paham seni suara,"

   Jawab Ting Sit tertawa.

   "Tapi lagu ini pernah kudengar dibawakan oleh Tam-tayhiap, ya, itu kira-kira pada waktu duapuluh tahun yang lalu."

   Duapuluh tahun yang lalu untuk pertama kalinya para kesatria kelima propinsi daerah utara berkumpul di Kim-keh-nia, pada pertemuan itulah Hong-lay-mo-li diangkat sebagai Lok-lim-beng-cu.

   Ketika itu Ting Sit masih plonco, dia ikut hadir di Kim-keh-nia hanya sebagai pengiring Ang Kin saja dari Tiang-keng-pang.

   Dalam pertemuan besar itu Bu-lim-thian-kiau juga hadir sebagai tamu undangan khusus, untuk menyemarakkan suasana berhubung dipilihnya Hong-lay-mo-li sebagai ketua persekutuan kaum persilatan itu, sehabis perjamuan Bu-lim-thian-kiau telah meniup serulingnya dengan lagu seperti apa yang dibawakan Li Tiong-cu tadi.

   Seruling yang digunakan juga seruling kemala yang dipakai Li Tiong-cu sekarang.

   Karena itulah Ting Sit masih ingat dengan baik suara seruling yang mengharukan tadi.

   EGITULAH Kok Siau-hong lantas mengulangi beramah-tamah kembali dengan Li Tiong-cu dan saling minta maaf atas sikap masing-masing tadi.

   Li Tiong-cu juga minta maaf kepada Han Pwe- eng atas perbuatannya di kedai minum kemarin itu.

   Kemudian Pwe-eng bertanya tentang persahabatan Li Tiong-cu dan Yim Hong-siau.

   Kiranya sejak kecil mereka adalah tetangga dan sering bermain bersama.

   Hampir sepanjang tahun Yim Hong-siau tinggal di rumah kakek luarnya yang bertetangga dengan keluarga Li.

   Setelah kakeknya wafat, jarang pula Hong-siau berkunjung ke tempat sang kakek.

   Sejak itu pula ia pun putus hubungan dengan Li Tiong-cu.

   Waktu sama-sama kecil, Hong-siau memanggil Li Tiong-cu dengan sebutan Cu cilik, sedangkan Li Tiong-cu memanggilnya dengan budak setan.

   "Coba kemarin kalau kau panggil aku dengan julukan lama tentu aku lantas tahu siapa dirimu,"

   Demikian kata Hong-siau dengan tertawa.

   "Kemarin aku memang ragu-ragu akan dirimu, mana aku berani sembarangan memanggil julukanmu?"

   Kata Li Tiong-cu.

   "Apalagi aku pun takkan memanggil kau dengan julukan itu, kini kau sudah pendekar wanita sejati yang terpuji. Buktinya kau tidak sudi ikut ayahmu, sungguh kau adalah nona yang bijaksana."

   Teringat kepada ayahnya, Hong-siau menjadi muram, dalam hati ia merasa malu bahwa ayahnya ternyata terima menjadi pengkhianat. Li Tiong-cu seperti dapat meraba pikiran si nona, katanya.

   "Bunga teratai tumbuh dari dalam lumpur dan bunga teratai tetap suci bersih. Ayahmu adalah ayahmu dan kau tetap kau, dalam pandanganku kau masih tetap seperti dahulu kala, kau tidak perlu sedih mengenai urusan ayahmu."

   "Apakah lantaran urusan ayahku, maka kau ingin memberitahukan kepada juragan Ting?"

   Tanya Hong-siau.

   "Ya, ini hanya salah satu tujuan kedatanganku,"

   Kata Li Tiong-cu.

   "Cuma urusan ini hanya kebetulan saja, sebelumnya aku sama sekali tidak menduga kalian akan berada di rumah juragan Ting."

   

   Jilid 40 B "Benar, kukira kau pun perlu memberi penjelasan padaku, cara bagaimana kau mengetahui rahasia perusahaanku?"

   Ujar Ting Sit dengan tertawa.

   "Kedatanganku ini atas perintah guruku,"

   Tutur Li Tiong-ci.

   "Guruku adalah sahabat karib Siau-go-kan-kun dan Hong-lay-mo-li, tentunya kau sudah tahu bukan?"

   Cepat juga Ting Sit paham duduknya perkara katanya.

   "Ya, akhir-akhir ini Pang-cu kami sedang berunding untuk menggabungkan diri dengan Liu Beng-cu, tentunya Pang-cu kami yang memberitahukan Liu Beng-cu tentang usahaku ini dan Liu Beng-cu kemudian memberitahukan kepada gurumu. Tapi entah ada urusan apakah gurumu menyuruh engkau mencari diriku?"

   "Sesungguhnya tiada urusan khusus,"

   Kata Li Tiong-cu.

   "Soalnya Tay-toh masih asing bagiku, kelak kalau perlu mengirim berita diperlukan bantuan sahabat yang dapat dipercaya, makanya aku disuruh menemui juragan Ting."

   Kiranya Bu-lim-thian-kiau adalah bangsawan kerajaan Kim, seorang centeng istana Wanyan Tiang-ci adalah putera mak inang Bu-lim-thian-kiau.

   Karena Bu-lim-thian-kiau sendiri tidak leluasa berdiam di Tay-toh, maka dia sengaja menyuruh Li Tiong-cu, murid kesayangannya yang baru mulai berkecimpung di Kang-ouw ini, untuk menjadi penyelidik bagi Hong-lay-mo- li.

   "Sekarang juga aku tinggal di rumah putera mak inang guruku itu,"

   Tutur Li Tiong-cu.

   "Sementara ini aku telah mendapatkan beberapa berita penting, cuma berita-berita ini mungkin juragan Ting sudah mengetahuinya."

   "Berita apa?"

   Tanya Ting Sit.

   "Pertama adalah rencana Wanyan Tiang-ci hendak menaklukkan Hong- ho-ngo-pa, termasuk Tiang-keng-pang kalian,"

   Tutur Li Tiong-cu.

   "Intrik ini sudah dijalankan mereka dan gagal,"

   Sela Siau-hong.

   "Namun kita harus waspada kemungkinan akan diulangi lagi."

   "Dan berita yang kedua ada sangkut-pautnya dengan Kim-keh-nia,"

   Sambung Li Tiong-ci.

   "Konon pihak Kim bersedia takluk dan berdamai dengan Mongol, dengan demikian mereka akan dapat menarik sebagian besar pasukan yang berjaga di tapal batas untuk menghadapi laskar rakyat kita."

   "Hal ini sudah lama berada dalam teropong kami,"

   Kata Ting Sit.

   "Sekarang kalau pihak Kim sudah jelas akan melaksanakan rencana mereka ini, tentu kita akan berusaha menyampaikan berita ini ke Kim-keh-nia."

   "Urusan ketiga adalah soal pengkhianatan Yim Thian-ngo,"

   Kata Tiong- cu pula.

   "Tadinya aku kuatir kalangan pendekar kita belum mengetahuinya dan akan tertipu olehnya. Tapi sekarang aku tidak perlu kuatir lagi."

   Setelah menguraikan persoalannya, kemudian Li Tiong-cu berkata pula dengan tertawa.

   "Juragan Ting, harap suka memaafkan sikapku yang kasar tempo hari di tokomu itu. Maksudku hanya ingin memancing kau keluar, dengan pura-pura menagih hutang, kukira kau akan gusar dan akan melabrak aku, dengan begitu aku akan punya kesempatan memberi penjelasan padamu secara langsung. Tak terduga tindakanku itu berbalik membikin urusan menjadi runyam."

   "Syukur engkau cukup cerdik dan berhasil menemukan kediamanku ini,"

   Ujar Ting Sit dengan tertawa.

   "Kalau tidak, beberapa hari lagi pembukaan Cin-wan Piaukiok, aku menjadi serba susah untuk hadir dan menyampaikan selamat kepada Beng-lopiauthau."

   "Kabarnya Beng-lopiauthau berbudi luhur, hal ini pernah kudengar juga dari guruku,"

   Kata Li Tiong-cu.

   "Pada hari pembukaan perusahaannya aku pun ingin hadir mengucapkan selamat padanya, apakah engkau dapat membawa serta diriku?"

   "Tentu saja dapat,"

   Jawab Ting Sit.

   "Nanti engkau dan Kok-heng boleh menyamar sebagai pembantuku. Sementara ini kalian boleh tinggal saja di sini, anggap saja seperti rumah sendiri. Aku harus mengunjungi toko yang sudah tiga hari kutinggalkan. Nona Yim dan Li-siauhiap baru berjumpa kembali, tentunya kalian perlu bercengkerama selama berpisah ini."

   Bahwasanya Yim Hong-siau dapat bertemu dengan sahabat karib masa kanak-kanak, tentu saja Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng ikut bergirang baginya.

   Di belakang rumah keluarga Ting itu ada sebuah taman bunga, sesudah Ting Sit pergi, mereka lantas pesiar di taman itu.

   Siau-hong dan Pwe-eng sengaja menyingkir agak jauh untuk memberi kesempatan kepada Hong-siau dan Tiong-cu berbicara secara bebas.

   Dengan asyiknya Li Tiong-cu dan Yim Hong-siau saling menceritakan pengalaman masing-masing sejak berpisah, dengan demikian jalinan cinta mereka menjadi semakin mendalam.....

   Tiga hari kemudian pembukaan Cin-wan Piaukiok di Tay-toh telah dilakukan dengan meriah.

   Sesuai rencana semula, Kok Siau-hong dan Li Tiong-cu menyamar sebagai pembantu Ting Sit dan ikut menghadiri pesta pembukaan Cin-wan Piaukiok.

   Tidak kepalang meriahnya perusahan pengawalan yang termasyhur itu, tetamu silih berganti tak terhitung banyaknya.

   Ting Sit cuma juragan toko sutera, dengan sendirinya tidak memerlukan pelayanan langsung oleh Beng Ting, yang melayani mereka adalah pembantu Beng Ting yang bernama Ji Cu-kah.

   Ji Cu-kah adalah satu di antara empat pembantu utama Beng Ting, dahulu waktu Beng Ting mengawal Han Pwe-eng ke Yang-ciu ia pun ikut serta.

   Ji Cu-kah pernah juga bertemu satu kali dengan Kok Siau-hong.

   Untung Kok Siau-hong menyamar sehingga Ji Cu-kah pangling padanya, orang lain pun tidak menaruh perhatian terhadap seorang pegawai toko biasa.

   Sementara itu seorang lelaki setengah umur bersama seorang pemuda mendekati mereka.

   Segera Ju Cu-kah memperkenalkan mereka.

   Kiranya lelaki itu bernama Tio Pin dan pemuda itu adalah puteranya.

   Tio Pin diketahui oleh Ting Sit sebagai seorang tokoh Bu-lim yang cukup terkenal di Tay-toh, hanya Ting Sit tidak pernah kenal dia secara langsung, malahan Ji Cu-kah lantas memberitahukan bahwa Tio Pin adalah sekutu baru Beng Ting dalam Cin-wan Piaukiok.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tentu saja Ting Sit dan Kok Siau-hong rada heran, padahal Cin-wan Piaukiok adalah perusahaan keluarga Beng turun-temurun, mengapa sekarang dikongsikan dengan Tio Pin ini? Dalam pada itu ada tamu baru lagi yang datang, Ji Cu-kah lantas pergi melayaninya.

   Maka Tio Pin mewakili melayani Ting Sit bertiga.

   Sebagai basa- basi Tio Pin menyatakan sering berbelanja ke toko kain Ting Sit, juga dimintakan bantuan Ting Sit suka memberi petunjuk bilamana perlu kepada puteranya yang dikatakan masih plonco itu.

   "Ah, aku hanya seorang pedagang, sama sekali tidak becus ilmu silat, mana aku sanggup memberi petunjuk segala kepada puteramu,"

   Kata Ting Sit dengan tertawa.

   "Engkau salah paham, juragan Ting,"

   Ujar Tio Pin tertawa.

   "Yang kumaksudkan adalah dalam urusan perdagangan. Perusahaan juragan Ting tentu banyak memerlukan pengawalan Cin-wan Piaukiok, apabila anak ini kelak sudah tamat belajar dan sudah bekerja pula, tentunya diperlukan bantuan perusahaanmu agar suka minta anak ini yang mengawalnya. Supaya juragan Ting maklum, sebabnya aku menjadi pesero Cin-wan Piaukiok ini justru ingin anak ini bisa mendapatkan ajaran kepandaian Beng-lopiauthau di sini. Kini dia sudah diterima menjadi murid ketiga Beng-lopiauthau."

   Akan tetapi Ting Sit berlagak tidak tahu seluk-beluk ilmu silat dan kalangan persilatan, sedangkan Tio Pin lantas bicara urusan perdagangan dengan dia seakan-akan seorang usahawan besar.

   Lama-lama Ting Sit menjadi jemu dan merasa Tio Pin ini terlalu ceriwis.

   Syukur tidak lama ada tamu baru lagi, maka Tio Pin dan puteranya bergegas pergi melayani tamu baru.

   Seperginya Tio Pin berdua, Ting Sit mendengar di belakangnya ada dua tamu lain sedang bisik-bisik menyindir Tio Pin, dengan lagak tak acuh, tapi diam-diam Ting Sit pasang kuping mendengarkan.

   "Betapa pun Beng Ting adalah seorang tokoh Piaukiok yang termasyhur, mengapa dia mencari seorang sekutu macam ini, apakah merek Cin-wan Piaukiok takkan tercemar?"

   Demikian terdengar seorang berkata.

   "Soalnya bukan begini,"

   Ujar seorang lagi.

   "Ilmu silat Tio Pin cukup lumayan, kenalannya di Tay-toh juga luas. Sedangkan Piaukiok milik Beng Ting baru pindah dari Lok-yang, untuk kemajuan perusahan di sini tentunya dia perlu sekutu yang cocok macam Tio Pin ini."

   "Bukan begitu maksudku, yang kukatakan adalah pribadi Tio Pin,"

   Kata orang pertama tadi.

   "Apakah kau tidak merasa pribadi Tio Pin dan Beng- lopiauthau itu berbeda banyak?"

   "Ya, memang Tio Pin ini orang yang licin, akhirnya Beng Ting tentu akan tertipu olehnya,"

   Jawab orang kedua.

   "Cuma ada suatu hal mungkin kau tidak tahu. Saat ini Beng Ting sedang miskin, sebab itulah dia perlu mencari sekutu yang bermodal kuat. Kau tahu Piaukioknya di Lok-yang telah terbakar ludes bukan?"

   "O, kiranya begitu, pantas!"

   Ujar kawannya. Dari percakapan kedua orang itu barulah Ting Sit tahu duduk perkaranya. Pada saat itulah terdengar pembantu Beng Ting berseru.

   "Tamu agung tiba!"

   Ketika semua orang memandang ke arah pintu masuk, tertampak murid Beng Ting yang pertama mengiringi seorang tamu yang bermantel kulit berbulu, dari dandanannya jelas seorang putera bangsawan, di belakangnya mengikut pula empat pengiringnya, seorang kakek gundul, seorang lelaki setengah umur dengan muka benjal-benjol penuh daging, seorang lagi tampaknya seperti pemuda yang alim dan orang yang terakhir berusia tigapuluhan dan bersolek seperti perempuan, namun matanya buta sebelah.

   Kui Pek-keh yang mendampingi tetamu itu kelihatan bersikap kikuk.

   Sedangkan di antara hadirin ada yang kenal "pemuda bangsawan"

   Itu menjadi kaget. Kiranya "tamu agung"

   Itu bukan lain daripada Wan-yan Ho, itu putera Wanyan Tiang-ci, panglima pasukan pengawal kerajaan Kim.

   Wanyan Tiang-ci sendiri adalah pangeran keluarga raja Kim, maka kedudukan Wan- yan Ho dengan sendirinya adalah pangeran muda.

   Bahwa hari pembukaan sebuah Piaukiok mendapat kunjungan seorang tamu agung seperti "pangeran muda", tentu saja hal ini tak diduga oleh siapa pun.

   Yang paling merasa bangga adalah Tio Pin, hatinya ingin memapak sang tamu agung untuk mencari muka, tapi sayang, kedua kakinya terasa lemas saking kedernya terhadap wibawa sang tamu agung.

   Tapi selain Tio Pin, para Piausu (tukang kawal) serta anak murid Beng Ting, semuanya merasa tidak senang atas kunjungan tamu yang baru ini, hanya tiada seorang pun yang berani mengemukakan pikirannya.

   Soalnya yang diperhatikan oleh Tio Pin ialah si pangeran muda Wan-yan Ho, sedangkan yang diperhatikan dan juga yang membuat para Piausu itu tidak senang adalah keempat pengiring Wan-yan Ho itu.

   Kiranya si kakek gundul itu bukan lain daripada bandit terkenal, yaitu Thia Piau, Si Serigala tua dari "Thia-si-ngo-long" (kelima Serigala keluarga Thia).

   Adapun lelaki setengah umur dengan muka buruk itu adalah putera sulungnya, si Serigala hijau Thia Ting, sedangkan si pemuda alim itu adalah puteranya yang bungsu, si Serigala putih Thia Giok.

   Kedua putera Thia Piau yang lain ialah Serigala hitam Thia Eng, Serigala kuning Thia Go, mereka berlima disebut Thia-si-ngo-long, tapi kedua puteranya yang itu belakangan itu ternyata tidak ikut datang.

   Adapun lelaki bersolek seperti perempuan dan mata buta sebelah itu juga mempunyai nama cukup terkenal, dia adalah "Serigala Liar"

   An Tat, itu maling cabul terkenal di dunia Kang-ouw.

   Bahwa hari pembukaan Cin-wan Piaukiok mendapat kunjungan seorang busuk macam An Tat, tentu saja di antara tetamu yang kenal siapa An Tat, tentu saja mereka merasa terhina selain suatu penghinaan terhadap tuan rumah.

   Tapi lantaran An Tat datang sebagai pengiring Wan-yan Ho, terpaksa tiada seorang pun yang berani bicara walaupun di dalam hati merasa gusar.

   Sebenarnya para tamu itu tidak mengetahui bahwa beberapa pengiring Wan-yan Ho itu bahkan adalah musuh Beng Ting.

   Seperti diketahui ketika Beng Ting mengawal Han Pwe-eng ke Yang-ciu, di tengah jalan mereka telah dibegal oleh kawanan bandit yang diotaki oleh Thia-lolong dan An Tat, untung Han Pwe-eng sendiri turun tangan dan menyelamatkan para Piausu, kalau tidak, nama baik Beng Ting pasti akan runtuh, malahan jiwanya mungkin juga sudah melayang.

   Peristiwa itu tidak diketahui oleh Tio Pin, tapi para Piau-su lama di Cin- wan Piaukiok dan anak murid Beng Ting cukup mengetahui kejadian itu.

   Sebab itulah makanya Kui Pek-keh merasa kikuk ketika menyambut kedatangan rombongan tetamu itu.

   Tapi mereka berada di bawah pengaruh orang, tiada jalan lain terpaksa Beng Ting memapak maju dan memberi hormat.

   Dengan gelak tertawa Wan-yan Ho lantas berkata.

   "Ha, ha, Beng- lopiauthau, kabarnya engkau pernah bersengketa dengan beberapa kawanku ini, sekarang aku membawa mereka ke sini, tentunya kau tidak marah bukan?"

   Beng Ting menjawab dengan tenang.

   "Segenap keluarga Piaukiok kami merasa bangga dan bahagia atas kunjungan Siau-ongya (pangeran kecil), bahwasanya dalam urusan pekerjaan terkadang tak terhindar akan bertengkar dengan kawan kalangan Kang-ouw, tapi betapa pun kami tidak berani sengaja merecoki anak buah Siau-ongya. Maka kalau ada kesalahan kami yang tidak sengaja, mohon Siau-ongya sudi memberi ampun."

   Di balik ucapannya ini dapat diartikan bahwa hakikatnya dia tidak pernah menduga bahwa kawanan orang-orang busuk ini bisa menjadi anak buah seorang pangeran terhormat. Namun Wan-yan Ho tidak mengacuhkan sindiran itu, dengan tertawa ia berkata pula.

   "Ah, Beng-lopiauthau tidak perlu rendah hati, aku tahu mereka pernah membegal barang kawalanmu, tapi itu adalah kejadian dahulu, kini mereka sudah cuci tangan dan tidak berbuat lagi, mereka telah menjadi pengawal di rumahku. Sebab itulah aku sengaja membawa mereka hadir ke sini agar mereka dapat memunahkan semua sengketa dengan Beng- lopiauthau di masa lampau."

   "Ah, ucapan Siau-ongya ini teramat berat, padahal perusahaan Piaukiok mengalami pembegalan adalah peristiwa biasa di dunia Kang-ouw, sedikit selisih paham ini boleh dianggap sudah selesai saja,"

   Demikian jawab Beng Ting.

   "Ha, ha, ha, Beng-lopiauthau sungguh seorang yang bijaksana,"

   Seru Wan-yan Ho dengan tertawa.

   "Kata peribahasa, Tidak berkelahi tidak saling kenal. Maka kalian selanjutnya dapat berhubungan dengan akrab."

   Begitulah Thia-lolong, An Tat dan rornbongannya lantas memberi salam kepada Beng Ting secara bergantian.

   "Beng-lopiauthau,"

   Kata Thia-lolong kemudian.

   "kalau bicara kejadian dahulu malahan aku harus berterima kasih padamu."

   "Terima kasih apa?"

   Ujar Beng Ting melengak.

   "Coba kalau kami tidak terjungkal di tanganmu, tentu kami tidak selekas itu cuci tangan dan meninggalkan dunia hitam,"

   Kata Thia-lolong.

   "Ya, aku belum lagi mengucapkan selamat kepada kalian yang telah mendapatkan kedudukan tinggi,"

   Ucap Beng Ting.

   "Bahwa kalian bisa mendapatkan majikan baik seperti Siau-ongya adalah nasib kalian yang beruntung sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan diriku."

   Dengan menyeringai Thia-lolong berkata pula.

   "Ha, ha, ucapan Beng- lopiauthau ini juga ada benarnya. Kejadian dahulu itu bagi kami boleh dikata dari celaka menjadi bahagia. Bagimu yang mengalami malapetaka itu, tapi akhirnya juga selamat, betapa pun itu juga nasibmu memang sedang mujur. He, he, Beng-lopiauthau dan kami ternyata sama-sama salah mata atas peristiwa dahulu itu, tak tersangka bahwa calon pengantin perempuan yang kalian kawal itu ternyata memiliki kepandaian setinggi itu."

   Mendengar mereka menyinggung diri Han Pwe-eng, tentu saja Kok Siau- hong menaruh perhatian lebih banyak, ia pikir apakah mungkin mereka sudah tahu hubungan baik Han Pwe-eng dan Hong-lay-mo-li dan sekarang sengaja datang menyelidikinya? Betul saja, segera terdengar An Tat membuka suara.

   "Beng-lopiauthau, sebenarnya ada suatu urusan yang membingungkan aku, untuk inilah kuminta engkau suka memberi penjelasan."

   "Urusan apa yang dimaksudkan An-heng?"

   Tanya Beng Ting dengan hati rada tergetar. An Tat mengebas kipas lempit yang dipegangnya sambil berkata.

   "Beng- lopiauthau, waktu kau mengawal dahulu itu, apakah sebelumnya kau tidak tahu bahwa bakal pengantin perempuan itu adalah puteri Han Tay-wi yang termasyhur itu?"

   "Sungguh malu kalau dibicarakan,"

   Jawab Beng Ting.

   "Yang kuketahui cuma keluarga Han adalah hartawan terkenal di Lok-yang, kemudian baru kuketahui bahwa yang minta pengawalanku ialah Han Tay-wi, kalau tidak masakah aku tidak tahu diri dan berani menjadi pengawal barang kirimannya?"

   "Apakah kau juga tidak tahu siapakah bakal menantunya itu?"

   Tanya An Tat pula.

   "Aku cuma menerima pesan agar mengirim nona Han itu ke Yang-ciu untuk melangsungkan pernikahan, tentang siapa bakal suaminya aku kan tidak perlu urus?"

   Kata Beng Ting.

   "Dan sekarang kau tentu sudah tahu keadaan mereka suami-isteri bukan?"

   Tanya An Tat.

   "Pertanyaanmu ini sungguh aneh, untuk apa aku mesti tahu?"

   Jawab Beng Ting dengan mendongkol.

   "Padahal kau tentu juga tahu bahwa hakikatnya pengawalanku dahulu itu tidak pernah mencapai alamat penerimanya, yaitu pada esok harinya setelah kedatangan kalian."

   "Ya, aku pun pernah mendengar kejadian itu, katanya orang yang mencegat kalian itu adalah Toa-siocia keluarga Hi dari Pek-hoa-kok?"

   Kata An Tat.

   "Benar, maka hakikatnya aku tidak pernah bertemu Kok Siau hong, mana bisa berhubungan baik pula dengan dia?"

   Ujar Beng Ting.

   "Tapi aku pun mendengar pula bahwa Hi-siocia itu telah mengirim pulang bakal pengantin perempuan itu, mereka cuma bergurau saja sebagai sahabat,"

   Kata An Tat.

   "Bagaimana pun kejadian dahulu itu tidak seluruhnya gagal bagi tugasmu itu. Makanya aku mengetahui sedikit berita mengenai mereka."

   "Terus terang, setelah aku gagal melaksanakan tugasku, hakikatnya aku tiada muka untuk menemui orang yang memberi order kepadaku, yaitu Han Tay-wi,"

   Kata Beng Ting.

   "Apalagi selama dua tahun ini aku berada di Tay- toh sini, mana aku bisa mengetahui mengenai mereka?"

   "Tapi kudengar bocah she Kok itu berada di Kang-lam dan kini membantu Bun Yat-hoan membentuk laskar rakyat segala dengan maksud mengadakan perlawanan terhadap kerajaan Kim!"

   Kata Thia-lolong dengan ketus.

   Di tengah tetamu yang banyak itu Kok Siau-hong dapat mengikuti percakapan mereka, diam-diam ia merasa geli bahwa orang yang dibicarakan justru berada di depan kalian, tapi kau ternyata tidak tahu.

   Dalam pada itu si Serigala tua sedang berkata pula.

   "Kabarnya Han Pwe- eng kini juga berada di tempat Hong-lay-mo-li, seperti juga bakal suaminya, dia juga memusuhi kerajaan Kim. Apakah urusan ini Beng-lopiauthau juga tidak tahu?"

   Beng Ting berlagak terkejut dan menjawab.

   "Ya, sama sekali aku tidak tahu. Orang yang melakukan pekerjaan seperti kami ini hanya tahu terima order saja, mana kami berani tanya pada yang diusahakan orang lain?"

   "Beng-lopiauthau jangan kuatir, bukan maksud kami hendak mengusut peristiwa dahulu itu,"

   Kata Wan-yan Ho.

   "Cuma kejadian itu rada menarik juga bagiku, kabarnya ilmu silat pengantin perempuan itu sangat hebat, entah bagaimana wajahnya?"

   "Wajahnya boleh dikata cantik molek, cuma caranya juga cukup keji,"

   Sela Thia-lolong.

   "Kami pernah merasakan kelihaiannya, malahan An-laute mengalami cidera lebih berat daripada kami."

   Sebelah mata An Tat itu justru dibutakan oleh Han Pwe-eng dengan sendirinya dendamnya kepada si nona merasuk tulang. Maka dengan murka ia pun berkata.

   "Hm, bilamana budak busuk itu kepergok olehku....."

   "Kalau kepergok kau, lantas akan kau apakan?"

   Sambung Thia-lolong.

   "Akan kuminta Siau-ongya menghadiahkan dia kepadaku untuk kujadikan isteri muda,"

   Kata An Tat.

   Mendengar ucapan yang tidak senonoh ini sebagian besar hadirin yang, segan dan hormat kepada Han Tay-wi itu menjadi gusar.

   Coba kalau kehadian An Tat sekarang ini bukan sebagai pengiring Wan-yan Ho, mungkin serentak dia akan dihajar adat oleh orang banyak.

   Sebenarnya Wan-yan Ho juga hendak mengucapkan kata-kata yang berbau bangor, tapi melihat sikap para hadirin yang gusar itu, ia sadar akan kedudukan sendiri, maka ia hanya tersenyum saja dan berkata.

   "Asal kau mampu menaklukkan perempuan itu, apa kehendakmu atas dia masakah kupeduli."

   An Tat belum lagi menyadari telah memancing kegusaran orang banyak, dengan berseri-seri dia masih bicara.

   "Baiklah, terima kasih lebih dulu atas hadiah Siau-ongya ini. Mungkin aku belum mampu mengalahkan budak busuk itu, tapi dengan bantuan kawan sebanyak ini masakah tidak dapat membekuk dia? He, he, sekali kucengkeram dia segera kupunahkan lebih dulu ilmu silatnya sehingga dia mau tak mau harus menurut untuk menjadi isteri mudaku!"

   Habis berkata ia terus tertawa terbahak-bahak.

   Sungguh tidak kepalang murka Kok Siau-hong mendengar bakal isterinya dihina, hampir saja dadanya meledak, syukur ia dapat menahan perasaannya agar tidak membikin runyam urusan.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Menurut kebiasaan perjamuan besar, sebelum daharan resmi disajikan, pada tiap meja tentu tersedia makanan kecil sebangsa kwaci, buah-buahan dan sebagainya.

   Saat itu Li Tiong-cu sedang makan Ang-co (sejenis kurma merah), ia menjadi gemas juga melihat ulah An Tat itu, maka dia sengaja ambil satu biji Ang-co, lebih dulu ia gosok buah itu pada telapak sepatunya, habis itu ia gunakan lengan baju sebagai pengaling, lalu jarinya menjentik, kontan Ang-co itu melayang ke depan.

   Waktu itu mulut An Tat sedang terbuka karena sedang bergelak tertawa.

   "plok", tahu-tahu satu biji Ang-co menyelonong masuk ke dalam mulutnya. Keruan An Tat menjerit kaget, gigi depannya rompal satu, orangnya juga lantas kaku mematung tanpa bergerak dengan mulut masih ternganga. Dengan suara tertahan Li Tiong-cu membisiki Kok Siau-hong.

   "Tadi tanpa sengaja aku telah menginjak tahi kuda di jalanan, maka rasa Ang-co ini sungguh luar biasa baginya."

   Hati Kok Siau-hong merasa geli dan puas juga akan hajaran Li Tiong-cu itu kepada An Tat, tapi diam-diam ia pun kuatir, katanya dengan perlahan.

   "Li-heng, apakah kau tidak kuatir menimbulkan keonaran? Bagi kita tidak menjadi soal, tapi tuan rumah yang akan terima akibatnya."

   Li Tiong-cu membisiknya lagi.

   "Jangan kuatir, Kok-heng, urusan takkan menjadi besar. Jangankan cuma giginya yang rompal, biarpun kubutakan sekalian matanya yang tersisa satu itu tanggung Wan-yan Ho juga tak berani mengusut lebih lanjut."

   Kok Siau-hong merasa percaya dan ragu pula, ia heran mengapa kawannya berani omong begini, apakah mungkin Wan-yan Ho juga takut padanya? Dalam pada itu para hadirin menjadi kaget juga melihat pengiring Wan- yan Ho mendadak dikerjai orang hingga giginya rompal.

   Tapi apa yang terjadi selanjutnya ternyata tepat sebagaimana sudah diduga oleh Li Tiong-cu, Wan-yan Ho tampak melengak, habis itu tiba-tiba ia menggeleng kepala dan mendamprat An Tat malah.

   "He, mengapa kau bicara tidak sopan begitu, pantas orang merasa sirik dan ingin menghajar adat padamu."

   Si Rase liar An Tat tampak mengedipkan matanya yang tinggal satu itu, Ang-co yang menyelak tenggorokannya tadi telah dimuntahkan kembali, namun mulutnya masih ternganga tak dapat terkatup dan juga tak bisa bicara.

   Hanya kelihatan mukanya berkerut seperti orang kejang, nyata dia sedang menahan semacam siksaan yang sukar dijelaskan.

   Thia Piau, si Serigala tua tergolong orang yang berpengalaman, melihat keadaan An Tat yang tidak beres itu, segera ia berkata kepada Wan-yan Ho.

   "Siau-ongya, tampaknya dia seperti tertotok bagian Hiat-to tertentu, engkau adalah ahli dalam bidang ini, kiranya engkau dapat....."

   Disanjung demikian tentu saja Wan-yan Ho sangat senang, segera memotong.

   "Benar, pandanganmu cukup tajam, biarlah aku membuka bagian Hiat-to yang tertotok."

   Lalu ia pijat hidung An Tat, serentak An Tat bersin, kontan ia pun dapat bicara dan mengucapkan terima kasih kepada Wan-yan Ho. Wan-yan Ho berlagak kereng dan mengomeli An Tat.

   "Nah, ketahuilah An Tat bahwa bencana itu timbul dari mulut, maka selanjutnya kau harus menjaga mulutmu sebaiknya."

   An Tat menjadi malu dan dongkol, tapi ia tak berani sembarangan mengoceh lagi, terpaksa ia hanya mengiakan belaka.

   Kiranya Li Tiong-cu telah menggunakan Keng-sin-ci-hoat (ilmu jari sakti) untuk menyelentik Ang-co tadi, satu serangan dua tujuan, selain membikin rompal gigi An Tat, sekaligus juga memukul Hiat-to di atas bibirnya.

   Keng-sin-ci-hoat yang menjadi kebanggaan Bu-lim-thian-kiau, yaitu guru Li Tiong-cu, berasal dari gambar pusaka kerajaan Kim, yaitu gambar "Hiat- to-tong-jin".

   Ilmu Tiam-hiat ini kecuali Bu-lim-thian-kiau, orang yang paling mahir hanyalah ayah Wan-yan Ho saja, yaitu Wanyan Tiang-ci.

   Wan-yan Ho sendiri juga sudah belajar beberapa tahun akan ilmu menotok itu, tapi paling banyak baru mencapai setengah kepandaian sang ayah, hanya cukup untuk membuka Hiat-to yang tertotok oleh ilmu itu.

   Sebab itulah ketika Wan-yan Ho melihat An Tat tertotok oleh Keng-sin- ci-hoat, segera ia terkejut dan curiga, disangkanya penyerang gelap ini adalah Bu-lim-thian-kiau Tam Ih-tiong.

   Dalam keluarga kerajaan Kim, menurut silsilah kerajaan, kedudukan Bu- lim-thian-kiau terlebih tinggi daripada Wan-yan Ho, ilmu silatnya juga jauh melebihi dia.

   Biarpun Wanyan Tiang-ci yang bergelar sebagai "jago nomor satu negeri Kim"

   Juga rada keder apabila bicara tentang Bu-lim-thian-kiau.

   Makanya Wan-yan Ho tidak berani bertindak ketika mengetahui pengiringnya dikerjai orang, justru dia jeri terhadap Bu-lim-thian-kiau.

   Sudah tentu ia tidak tahu bahwa penyerang gelap itu bukanlah Bu-lim-thian- kiau yang ditakutinya, melainkan muridnya.

   Begitulah suatu kejadian yang sama sekali tak terduga telah berakhir juga secara tak tersangka, semua hadirin merasa lega juga karena keonaran tidak timbul lebih lanjut, suasana perjamuan mulai tenang kembali.

   Sudah tentu Wan-yan Ho masih tetap sangsi oleh kejadian tadi, mendadak ia ingat kepada seorang.

   He, kenapa aku lupa kepada Kong-sun Bok? Bocah itu pernah mendapat petunjuk Bu-lim-thian-kiau, dia kan juga paham Keng-sin-ci-hoat? Akan tetapi Kong-sun Bok adalah seorang jujur, tampaknya dia bukan manusia yang suka bertindak secara pengecut."

   Begitulah Wan-yan Ho menjadi ragu dan bimbang, kalau Bu-lim-thian- kiau, jelas dia tidak sanggup menghadapinya, tapi kalau Kong-sun Bok, rasanya penasaran kalau dibiarkan begitu saja.

   Karena sangsinya itu, segera ia panggil Thia Piau dan memberi pesan rahasia padanya agar coba mengawasi para hadirin kalau ada yang mencurigakan.

   Perintah Wan-yan Ho ini segera diteruskan oleh Thia Piau kepada kedua puteranya dan An Tat, segera mereka menyusur kian kemari di antara para tetamu dan memperhatikan setiap orang yang terasa mencurigakan.

   Tio Pin melihat Thia Piau sedang menuju ke arahnya, segera ia memapaknya buat mencari muka.

   Ternyata Thia Piau tidak mengacuhkan dia, hanya bicara sekadarnya saja dengan dia, lalu berduduk di samping si juragan toko sutera Ting Sit untuk mengajaknya bercengkerama.

   Segera Tio Pin hendak memperkenalkan mereka, tapi Thia Piau lantas tertawa dan berkata.

   "Tidak perlu kau memperkenalkan juragan Ting padaku. Sesungguhnya aku sudah lama mengetahui akan dirimu, juragan Ting!"

   Ting Sit rada terkejut sebab mengira ada kelemahannya yang diketahui orang. Sebisanya ia bersikap tenang dan menjawab.

   "Ah, aku cuma seorang pedagang kecil, sungguh aku merasa bahagia bahwa Thia-tayjin ternyata kenal juga akan namaku yang tak berarti ini."

   "Ah, juragan Ting terlalu rendah hati,"

   Ujar Thia Piau tertawa.

   "Padahal toko suteramu cukup terkenal, siapakah yang tidak tahu akan perusahaanmu yang besar itu? Kabarnya kalian juga mempunyai cabang daerah selatan, kalian juga cukup sedia kain sutera halus keluaran Soh-ciu dan Hang-ciu yang sukar diperoleh di toko lain di kotaraja kita ini."

   "Terima kasih atas pujianmu,"

   Kata Ting Sit.

   "Persediaan toko memang cukup lengkap, soalnya kami mempunyai cabang perusahaan di Yang-ciu, dari situlah sutera Hang-ciu dan Soh-ciu dikirim kemari."

   Yang-ciu termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kim, sedangkan seberang sungai (Yang-tze) termasuk wilayah Song.

   Ting Sit sengaja menonjolkan cabang perusahaan di Yang-ciu untuk menghindarkan tuduhan ada hubungan dengan "negeri musuh".

   Begitulah Ting Sit berusaha menghindarkan curiga orang, sebaliknya Thia Piau terus berusaha menjajaki rahasianya.

   Namun setelah bicara sekian lama, Thia Piau tetap tidak mendapatkan sesuatu yang meragukan.

   Tengah bicara, tampak An Tat mendekati mereka dengan mengebas kipasnya.

   "Eh, gembira sekali tampaknya pembicaraan kalian!"

   Kata An Tat dengan tertawa.

   "Inilah juragan Ting yang simpatik, marilah kuperkenalkan padamu,"

   Kata Thia Piau, lalu ia pun beritahukan nama An Tat kepada Ting Sit.

   "Sudah lama kudengar namamu yang terhormat, juragan Ting,"

   Kata An Tat dengan hormat.

   "Apakah juragan Ting datang sendiri atau bersama teman?"

   Ting Sit rada melenggong karena tidak tahu maksud pertanyaan orang, terpaksa ia menjawab secara samar.

   "O, aku datang mewakili toko kami yang tak berarti, maka tiada perantara teman lain."

   "Juragan Ting membawa serta dua pembantunya dan bukan teman,"

   Tiba-tiba Tio Pin menimbrung.

   "O, kebetulan jika sekiranya aku dapat berkenalan dengan pembantu juragan Ting, dengan begitu lain hari kalau berbelanja ke toko kalian sudah saling kenal,"

   Ujar An Tat dengan tertawa.

   "Dimanakah pembantu juragan Ting itu?"

   Terpaksa Ting Sit berlagak mencari sekitarnya dan berkata.

   "Tadi berada di sini, entah menyusup kemana? Jangan kuatir, An-toako, apabila engkau sudi berkunjung ke toko kami, tentu akan kami layani dengan baik."

   "Itu dia, di sana!"

   Tio Pin berseru, rupanya ia ingin mencari muka, maka dia menuding ke arah beradanya Li Tiong-cu dan Kok Siau-hong.

   "Apakah perlu dipanggil ke sini?"

   "Tidak perlu,"

   Kata An Tat.

   "Pantasnya aku yang pergi ke sana untuk mengajak berkenalan dengan mereka."

   Begitulah An Tat lantas mendekati Li Tiong-cu berdua, dia cuma pandang sekejap saja kepada Li Tiong-cu, lalu ia berpaling kepada Kok Siau- hong dan bertanya.

   "Eh, rasanya kita sudah pernah bertemu, siapakah she saudara?"

   Dua tahun yang lalu Kok Siau-hong memang pernah bertemu dengan An Tat, yaitu medan perang yang kacau, mereka hanya bertemu dan tidak bertempur ketika Kok Siau-hong jatuh terguling ke bawah bukit oleh panah seorang ahli panah Mongol.

   Sekarang Kok Siau-hong menyamar sebagai seorang pegawai toko, terang jauh berbeda daripada Kok Siau-hong yang gagah berani di medan perang ketika itu.

   Sebenarnya Kok Siau-hong ingin menghindari An Tat, nyatanya An Tat yang mencari dia malah, diam-diam ia menjadi gusar dan ingin memberi hajar adat padanya.

   Maka dengan lagak bingung ia menjawab.

   "O, mungkin An-tayjin yang keliru, rasanya cay-he belum kenal An-tayjin, biasanya tamu yang pernah berkunjung ke toko kami pasti kuingat dengan baik."

   Di balik kata-katanya ini seakan-akan dia hendak berkata bahwa orang yang buta sebelah masakah aku bisa pangling. Dengan mendongkol An Tat lantas berkata pula.

   "BaikIah, jika begitu marilah kita berkenalan!"

   Segera ia mengulur tangan buat berjabatan tangan dengan Kok Siau-hong, ia pikir bocah ini berani kurang ajar padaku, biar dia rasakan kelihaianku. Kok Siau-hong berlagak gugup dan berkata.

   "Ah, mana Cay-he berani bergaul dengan An-tayjin yang terhormat."

   Namun An Tat tak peduli, segera ia pegang tangan Siau-hong. Sambil menjerit kesakitan, Kok Siau-hong berlagak kaget pula dan berkata.

   "Wah, besar amat tenaga An-tayjin, sakit sekali tanganku ini."

   An Tat merasakan orang sama sekali tak mahir silat, maka rasa sangsinya banyak berkurang.

   Tapi ia masih tetap merasa pernah kenal pegawai toko ini, hanya lupa entah dimana.

   Baru dia hendak bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar seruan penyambut tamu yang menyatakan kedatangan tamu agung pula.

   Waktu An Tat memandang ke sana, terlihatlah Sia Hoa-liong, itu murid Yim Thian- ngo, dengan seragam perwira pasukan pengawal kerajaan Kim telah melangkah masuk.

   Ia menjadi heran mengapa Sia Hoa-liong tidak tinggal di istana, tapi muncul di sini? Apakah karena telah terjadi sesuatu? Benar saja terlihat Sia Hoa-liong langsung mendekati Wan-yan Ho untuk melapor.

   Segera juga An Tat dan Thia Piau kembali ke samping sang majikan untuk menunggu perintah.

   Ternyata kedatangan Sia Hoa-liong adalah untuk memanggil pulang Wan-yan Ho, katanya ada tamu yang perlu dilayani sendiri oleh sang pangeran muda.

   "Tamu siapa?"

   Demikian Wan-yan Ho bertanya. Akan tetapi Sia Hoa-liong menjawab tidak tahu.

   "Ong-ya suruh hamba mencari Siau-ongya, maka kurang jelas siapa tamu yang dimaksud,"

   Tutur Sia Hoa-liong.

   "Baiklah, mari kita pulang!"

   Kata Wan-yan Ho. Selagi dia hendak mohon diri kepada tuan rumah, mendadak An Tat yang berdiri di sampingnya merintih kesakitan sambil memegangi perut. Wan-yan Ho terkejut.

   "Ada apa, An Tat?"

   Tanyanya cepat.

   "Aku..... aku....."

   Sambil merintih An Tat hendak menjawab, tapi mendadak matanya mendelik, butiran keringat menetes dari dahinya.

   "Bluk", dia jatuh terguling dan berkelojotan, mulutnya ternganga seperti mau bicara, namun sukar mengeluarkan suara.

   "Apakah dia kena dikerjai orang? Tadi dia bicara kurang sopan dan sudah mendapatkan ganjaran setimpal, jika orang itu menyiksanya lagi rasanya juga keterlaluan,"

   Kata Thia Piau. Wan-yan Ho memandang sekejap kepada An Tat, lalu berkata sambil menggeleng kepala.

   "Sekali ini bukan Hiat-to yang tertotok."

   Cepat Thia Piau dan putera-puteranya membangunkan An Tat agar Wan-yan Ho dapat memeriksa denyut nadinya. Tapi mendadak terendus bau busuk yang memuakkan, cepat Wan-yan Ho melengos sambil mendekap hidung. Lalu berseru.

   "Lekas gotong pergi dia!"

   "Gotong kemana?"

   Tanya Thia Piau dengan menahan bau busuk kotoran.

   "Kita akan pulang, memangnya harus membawa serta dia?"

   Damprat Wan-yan Ho.

   "Bawa saja dia ke belakang, minta bantuan orang Piaukiok merawatnya sementara. Kukira dia sudah tiada gunanya lagi."

   Kejadian yang tak terduga-duga ini membikin para hadirin merasa bingung. Di tengah orang banyak Li Tiong-cu berbisik kepada Kok Siau- hong.

   "Kau sungguh hebat, Kok-heng. Caramu ini jauh lebih bagus daripada caraku tadi. Rase liar ini benar-benar sial, mati pun dia tidak tahu apa sebabnya."

   "Dengan kepandaiannya kukira dia tak sampai mampus,"

   Ujar Siau- hong.

   "Tidak mampus, namun siksaan itupun cukup baginya,"

   Kata Li Tiong- cu dengan tertawa.

   Kiranya si Rase liar An Tat itu memang kena dikerjai Kok Siau-hong, tapi dia sama sekali tidak tahu apa sebabnya.

   Soalnya Kok Siau-hong benci pada ucapannya yang menghina bakal isterinya, maka ketika berjabatan tangan tadi dia telah menyalurkan Siau-yang-sin-kang.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siau-yang-sin-kang sudah diyakinkan Kok Siau-hong hingga dekat puncak yang paling sempurna, waktu itu An Tat sama sekali tidak merasakan apa pun, habis itu barulah tenaga sakti itu mulai bekerja.

   Dan sekali Siau-yang- sin-kang sudah bekerja, maka sukarlah ditahan.

   Isi perut An Tat telah bergolak oleh Siau-yang-sin-kang yang lihai, sakitnya sukar dilukiskan sampai terberak-berak.

   Begitulah selagi keadaan rada kacau, tiba-tiba datang pula seorang tamu.

   Kiranya orang ini ialah Yim Thian-ngo, ayah Yim Hong-siau, paman Kok Siau-hong.

   Para hadirin belum tahu kalau Yim Thian-ngo sudah lama menjadi anjing pemburu kerajaan Kim, maka banyak di antaranya merasa girang oleh datangnya tokoh dunia persilatan yang terkenal itu.

   Kok Siau-hong juga terkejut, ia pikir penyamarannya pasti akan diketahui oleh Yim Thian-ngo apabila berhadapan.

   Karena itu pada waktu tiada orang memperhatikan dia, cepat ia menyingkir dan mengeluyur keluar ruang tamu dari pintu samping.

   Diam-diam Wan-yan Ho merasa girang melihat datangnya Yim Thian- ngo.

   Kiranya dia dan Yim Thian-ngo sudah berjanji akan hadir secara berturut-turut.

   Dia ingin Yim Thian-ngo hadir dalam kedudukannya sebagai "tokoh pendekar"

   Agar dapat menyelidiki para tamu undangan Beng Ting.

   Lantaran sudah ada perjanjian dengan Wan-yan Ho, maka setibanya Yim Thian-ngo berlagak tidak kenal sang pangeran muda.

   Dia langsung mendekati Beng Ting untuk mengucapkan selamat.

   Sementara itu Thia Piau dan puteranya sedang menggotong An Tat dan masih berdiri di samping Beng Ting dengan bingung.

   Melihat keadaan An Tat, betapa pun Yim Thian-ngo juga terkejut, setelah berbicara sejenak dengan tuan rumah, segera ia pura-pura tanya siapa tamu ini dan menderita sakit keras apa? "Kedatanganmu sangat kebetulan, Yim-tayhiap,"

   Kata Beng Ting dengan tersenyum getir.

   Engkau banyak berpengalaman, mohon engkau suka memeriksanya, apakah dia kena dikerjai orang atau memang jatuh sakit.

   Oya, biar kuperkenalkan lebih dulu.

   Ini adalah Wanyan Siau-ongya, penderita sakit ini adalah pengiring beliau, namanya An Tat."

   Yim Thian-ngo berlagak dingin dan acuh tak acuh, seperti terpaksa saja dia berkenalan dengan Wan-yan Ho, lalu berkata dengan hambar.

   "Aku cuma rakyat kecil, urusan yang menyangkut pengiring orang besar mana aku berani ikut campur."

   Wan-yan Ho juga berlagak seakan-akan terpaksa memohon.

   "Pengiringku ini mendapat sakit keras, seketika sukar mengundang tabib pandai, jika tidak keberatan sudilah Yim-losiansing bantu memeriksanya. Mati atau hidup engkau bebas bertanggung jawab."

   Sebagai tuan rumah yang tidak ingin ada orang luar mati di rumahnya, Beng Ting juga ikut mohon pertolongan Yim Thian-ngo.

   "Baiklah,"

   Kata Yim Thian-ngo dengan lagak enggan.

   "biar aku berusaha sebisanya."

   Segera ia memeriksa denyut nadi An Tat, diam-diam ia terkejut.

   Maklumlah, meski Siau-yang-sin-kang yang juga diyakinkan Yim Thian-ngo itu tidak setinggi Kok Siau-hong, tapi luka yang diderita An Tat akibat getaran Siau-yang-sin-kang dapat diketahuinya.

   Maka ia menjadi curiga apakah Kok Siau-hong juga hadir di sini? "Bagaimana Yim-losiansing, apakah dia kena dikerjai orang?"

   Tanya Wan- yan Ho.

   "O, dia menderita sakit, tapi tak berhalangan, aku akan menyembuhkan dia,"

   Jawab Yim Thian-ngo.

   "Baiklah, jika begitu mohon pertolonganmu,"

   Ujar Wan-yan Ho, lalu ia pun mohon diri.

   "Hm, masih untung nasib kawan ini, kalau dia bukan tamumu, tentu aku tidak pedulikan dia,"

   Jengek Yim Thian-ngo sesudah Wan-yan Ho dan begundalnya pergi.

   "Ya, harap Yim-losiansing suka menolongnya, katakan saja apa yang diperlukan?"

   Kata Beng Ting.

   "Aku cuma minta sebuah kamar yang sunyi saja,"

   Kata Yim Thian-ngo.

   "Ada, marilah ikut padaku,"

   Jawab Beng Ting. Tio Pin dan lain-lain lantas menggotong An Tat yang berbau busuk itu ke kamar yang dimaksud, Beng Ting dan Yim Thian-ngo mengikut dari belakang. Tiba-tiba Yim Thian-ngo berseru.

   "He, siapakah orang itu?"

   Kiranya pada saat itu sesosok bayangan tampak menyelinap masuk ke dapur yang terletak pada serambi sana. Antara kamar sunyi yang dimaksud dan dapur itu terdapat sebuah jalanan yang agak gelap sehingga bayangan orang tadi jelas kelihatan.

   "Mungkin kacung tukang api di dapur,"

   Ujar Beng Ting, ia pun melengak oleh bayangan orang itu.

   "Tapi rasanya bayangan tubuh itu seperti sudah kukenal,"

   Kata Yim Thian-ngo pula. Pada saat itulah putera Beng Ting yang kedua, bernama Beng In, tampak membawa kacung itu hendak melangkah keluar melalui pintu pojok sana. Segera Beng Ting berseru.

   "Siapakah kacung itu, darimana dia?"

   "Dia mengantarkan arang ke sini,"

   Jawab Beng In.

   Yim Thian-ngo dapat melihat muka kacung itu memang penuh hangus, maka rasa curiganya menjadi berkurang.

   Apalagi Beng In itu adalah bocah tanggung berusia limabelas-enambelas tahun, ia pikir bocah itu pasti takkan berdusta pada ayahnya.

   Pula dia pasti tidak kenal Kok Siau-hong.

   Sebenarnya Yim Thian-ngo hendak mendekatinya untuk memeriksanya lebih jelas, tapi pada saat itu juga terdengar An Tat yang sudah digotong masuk ke kamar itu sedang merintih kesakitan.

   Segera Beng Ting minta Yim Thian-ngo supaya mengobatinya lebih dulu.

   "Baiklah, Beng-lopiauthau sendiri kalau perlu melayani tamu boleh silakan saja,"

   


Rahasia Bukit Iblis -- Kauw Tan Seng Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Duel Dua Jago Pedang -- Khu Lung

Cari Blog Ini