Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 37


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 37



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   Thia Piau tetap tidak puas, katanya.

   "Kami minta tiga kamar, mengapa cuma dua? Baiklah, supaya urusan menjadi beres, para tamu diharuskan keluar ke sini, akan kami periksa dan tanyai satu per satu."

   "Tapi..... tapi para tamu kami adalah orang baik-baik seluruhnya, Tayjin (paduka tuan) sudi memberi kelonggaran, tentang sewa kamar dan daharan tentu kami tak berani minta bayaran dan....."

   Demikian pemilik hotel memohon dengan sangat, sebab biasanya kawanan petugas sering menggunakan alasan hendak memeriksa tamu, tapi tujuannya untuk memeras.

   "Srigala Kuning"

   Thia Ting, putera kedua Thia Piau ikut menimbrung.

   "Huh, siapa ingin tinggal dan makan gratis? Kau harus bicara yang betul! Kau bilang tetamu di sini adalah orang baik-baik semua, apakah kau berani menjamin kebenarannya? Coba kau jawab dahulu, apakah di antara tetamu adalah seorang kakek berjenggot putih dan seorang nona cilik?"

   "O, tidak, tidak ada!"

   Jawab pemilik hotel cepat.

   "Sekarang tidak ada, tapi nanti bakal ada!"

   Mendadak seorang lelaki menyela. Lelaki itu baru melangkah masuk hotel itu, lagaknya tengik, tampaknya adalah seorang buaya atau cecunguk.

   "He, kau sudah mendapatkan kabar?"

   Tanya Thia Piau kepada orang itu.

   "Mereka sudah masuk kota dan sedang makan di suatu restoran, habis makan tentu mereka akan mencari hotel,"

   Demikian jawab cecunguk itu.

   "Di kota ini hanya ada dua buah hotel, hotel ini lebih besar, besar kemungkinan mereka akan ke sini."

   "Ha, ha, kalau begitu kita istirahat saja di sini dan menantikan kedatangan mereka,"

   Kata Thia Piau dengan tertawa.

   "Tapi bisa jadi mereka menginap di hotel satunya, maka lekas kau pergi mencari kabar lebih lanjut."

   Cecunguk itu mengiakan dan segera melangkah pergi.

   Thia Piau lantas minta disediakan daharan lezat.

   Pemilik hotel mengiakan dengan hormat serta membawa mereka ke kamar yang disediakan.

   Ternyata cecunguk tadi menyelinap kembali mencari pemilik hotel, katanya dengan menyengir.

   "Nah, sudah kutengahi urusanmu tadi, kukira kau tahu sendiri....."

   Cepat pemilik hotel menjejalkan sepotong uang perak ke tangan cecunguk itu dan berkata.

   "Ya, tentu saja aku tahu. Sedikit uang perak ini harap kau terima dengan baik."

   Setelah terima sogokan itu barulah cecunguk itu betul-betul pergi.

   Rombongan Thia Piau mengira sebuah hotel di kota kecil tentu tiada terdapat sesuatu yang perlu ditakuti, makanya mereka berani bicara tanpa tedeng aling-aling, sedikit pun mereka tidak menghiraukan pepatah yang mengatakan.

   "Ada telinga di balik dinding sebelah". Begitulah Kok Siau-hong berempat baru yakin bahwa maksud rombongan Thia Piau hendak memeriksa tetamu hotel bukanlah alasan untuk pemerasan, tapi memang betul hendak mencari buronan.

   "Entah siapakah kakek dan nona cilik yang hendak mereka cari itu?"

   Dengan suara lirih Han Pwe-eng tanya kawannya.

   "Lawan orang jahat tentunya orang baik,"

   Ujar Hong-siau dengan tertawa.

   "Benar, kebetulan kita pergoki urusan ini, betapa pun kita harus ikut campur,"

   Kata Pwe-eng. Untuk menyenangkan hati tamunya, pemilik hotel membuatkan daharan yang lezat ditambah satu guci arak baik untuk rombongan Thia Piau. Sehabis makan minum kenyang, dengan menepuk perut An Tat berkata.

   "Seharian menempuh perjalanan terus menerus, sampai lupa makan dan minum. Tidak nyana daharan hotel kecil ini ternyata lumayan juga."

   "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum, sebentar kita harus banyak menggunakan tenaga,"

   Ujar Thia Piau.

   "Takut apa? Masakah kita berenam tidak mampu membereskan seorang tua reyot dan seorang anak dara ingusan?"

   Jawab An Tat tak acuh.

   "Kalau perlu, sendirian juga aku sanggup membereskan mereka. Cuma anak dara itu terhitung lumayan juga walaupun tidak secantik Hi Giok-kun dan Han Pwe-eng. He, he, saudara Giok, kuharap kau jangan berebut cewek dengan aku nanti." ~ Yang terakhir ini dia tujukan kepada putera Thia Piau yang bungsu, yaitu Srigala Putih Thia Giok.

   "An-toasiok,"

   Jawab Thia Giok dengan tertawa.

   "nona yang kau penujui masakah kuberani menjamahnya. Hanya saja perlu kuperingatkan agar engkau suka hati-hati, jangan terjadi seperti peristiwa dahulu, nona manis tidak berhasil direbut, tapi engkau malah mengalami cidera."

   Yang dia maksud adalah kejadian hendak membegal Han Pwe-eng dahulu, dimana sebelah mata An Tat sendiri malahan kena dibutakan oleh nona itu. Mendengar itu, serentak ketiga saudara tua Thia Giok bergelak tertawa. Cepat Thia Piau membentaknya.

   "Hus, kalian sudah mabuk barangkali, bicara tidak tahu aturan, masakah kalian berani bergurau dengan paman An mengenai kejadian itu?"

   Pada umumnya, manusia paling sirik jika boroknya dikorek orang, begitu pula dengan An Tat, seketika ia naik pitam, makinya sambil menggebrak meja.

   "Huh, memangnya kalian kira aku takut kepada budak liar she Han itu? Sayang dia tidak kepergok olehku di Tay-toh!"

   "Kalau kepergok lalu kau bisa berbuat apa?"kata Thia Giok dengan tertawa.

   "Memangnya aku tidak punya kawan? Tentu anak buah Siau-ongya dapat membekuknya dan aku dapat mohon agar anak dara itu dihadiahkan padaku untuk dijadikan selir?"

   Jawab An Tat dengan menyengir.

   "Huh, enak saja kau mengoceh, kalau betul dia tertangkap, memangnya Siau-ongya sendiri tidak mau dan diberikan padamu?"

   Ejek Thia Giok.

   Mendengar ocehan mereka yang kotor dan menyinggung dirinya, Han Pwe-eng menjadi murka dan bermaksud melabraknya, syukur Kok Siau- hong keburu menahannya dan minta si nona bersabar agar tidak membikin runyam urusan.

   Dalam pada itu terdengar Thia Piau telah mendamprat puteranya dan minta maaf kepada An Tat, katanya.

   "Sudahlah, An-laute, jangan kau gubris ocehan anak muda seperti mereka ini. Kukira engkau juga jangan minum terlalu banyak, kita masih ada tugas penting, sebelum Ong-ya menyuruh kita mengirim surat dinas ke Kun-ciu, beliau juga pesan kita agar di tengah jalan jangan membikin gara-gara."

   Selagi An Tat hendak membual pula, tiba-tiba cecunguk tadi muncul pula dan memberi laporan bahwa si kakek dan cucu perempuannya yang ditunggu mereka itu kini mondok di hotel yang lain.

   "Baiklah, sekarang juga kita pergi ke sana,"

   Seru An Tat sambil menggabrukkan cawan araknya.

   Pemilik hotel bersembunyi di sudut sana dan menyaksikan kepergian mereka dengan rasa takut.

   Mendadak ia lihat Kok Siau-hong berempat juga hendak keluar.

   Siau-hong menyodorkan serenceng uang perak kepada pemilik hotel sambil berkata.

   "Inilah sewa kamar kami. Jangan kuatir, kawanan pengganas itu pasti takkan kembali lagi ke sini."

   Dalam pada itu rombongan An Tat sampai di hotel satunya yang terletak tidak jauh, dengan berjajar di depan hotel An Tat lantas berteriak.

   "Kakek Ciu, jika tahu gelagat, lekas keluar! Mengingat cucu perempuanmu tentu kami takkan membikin susah kau, malahan aku bersedia memanggil kakek padamu!"

   Belum lenyap suaranya, tahu-tahu di atas wuwungan hotel itu telah muncul dua orang, siapa lagi kalau bukan si kakek she Ciu dan cucu perempuannya.

   "Bangsat cabul, rasakan seranganku ini!"

   Damprat nona itu sambil menyambitkan sebuah Piau.

   Walaupun cukup banyak menenggak arak, tapi kepandaian An Tat tidak menjadi berkurang.

   Kipasnya bergerak perlahan, sekali tahan dan angkat, tahu-tahu Piau itu telah jatuh di permukaan kipasnya, telah dia tangkap dengan mudah saja.

   Dengan memicingkan matanya yang tinggal satu itu An Tat berkata dengan tertawa.

   "Wah, bagus amat senjatamu ini, nona Hong, bolehlah aku anggap sebagai mas kawin yang kau berikan padaku!"

   Nona itu menjadi gusar, segera ia bermaksud melompat turun untuk melabraknya. Tapi si kakek keburu mencegahnya dan berkata.

   "Mulut anjing mana bisa tumbuh gading, jangan gubris dia, anak Hong!" ~ Sembari berkata ia pun menghamburkan segenggam senjata rahasia Kim-ci-piau (mata uang), berbareng ia tarik cucu perempuannya dan melayang ke wuwungan rumah sebelah sana, dengan Ginkang mereka terus lari ke depan sana. Senjata rahasia si kakek ternyata jauh lebih lihai daripada Piau si nona tadi, terpaksa Thia Piau dan An Tat harus memutar senjata mereka untuk menyampuk ke sana sini barulah dapat menjatuhkan berpuluh mata uang yang tajam itu. Sementara itu si kakek dan cucu perempuannya sudah kabur sampai di jalanan sana.

   "Kejar!"

   Seru An Tat dan segera mencemplak ke atas kudanya dan mendahului mengudak ke sana disusul oleh Thia Piau dan keempat puteranya.

   Waktu Kok Siau-hong berempat keluar tempat pondoknya, kebetulan masih sempat terlihat larinya si kakek dan gadis cilik itu.

   Cuma jaraknya cukup jauh, maka An Tat dan begundalnya tidak melihat munculnya rombongan Kok Siau-hong.

   "He, kiranya Ciu Lo-yacu dan cucu perempuannya, ai, mengapa aku tidak ingat kepada mereka?"

   Kata Pwe-eng terkejut dan girang pula.

   Kiranya kakek itu bernama Ciu Tiong-gak, itu kepala rumah tangga keluarga Hi di Pek-hoa-kok, cucu perempuannya, Ciu Hong, sejak kecil dibesarkan bersama Hi Giok-kun sehingga keduanya seperti saudara sekandung saja.

   Dahulu waktu Han Pw-eeng dibegal dalam perjalanan ke Yang-ciu, Ciu Tiong-gak dan Ciu Hong juga berada di sana.

   Begitulah Kok Siau-hong berempat segera memburu juga ke sana.

   Im- peng hanya suatu kota kecil, hanya dua perajurit yang menjaga pintu benteng, tembok benteng juga rendah, maka dengan mudah Ciu Tiong-gak dan cucunya dapat melintasi pagar tembok.

   Thia-si-ngo-long dan An Tat menunggang kuda, terpaksa mereka membentak penjaga membukakan pintu.

   Melihat mereka berseragam perwira, tentu penjaga ketakutan dan cepat membukakan pintu.

   Dan sebelum pintu benteng ditutup kembali, Kok Siau-hong berempat sudah menyusul tiba, sebelum kedua penjaga itu sempat melihat jelas, tahu-tahu mereka sudah menerobos keluar.

   Dengan cepat mereka mengudak ke depan, tidak lama tertampaklah enam ekor kuda terlepas di tepi jalan sedang makan rumput.

   Rupanya Ciu Tiong-gak berdua telah lari masuk ke dalam hutan, An Tat berenam menyusul tiba dan meninggalkan kuda mereka untuk mencari jejak buronannya.

   Kok Siau-hong berempat tiba pada waktunya yang tepat, saat itu Ciu Tiong-gak dan Ciu Hong sudah terkepung musuh, keadaan sangat gawat.

   Terdengar An Tat mengejek dengan tertawa.

   "Kakek Ciu, dengan sesungguh hati aku ingin menjadi cucu menantumu, asal kau mengangguk setuju saja segera kita dapat berdamai dan menjadi orang sendiri."

   "Kentut makmu!"

   Damprat Ciu Tiong-gak. Ia menyadari sukar lolos dari kepungan musuh, ia menjadi nekat, mendadak ia menerjang maju, sebelah kakinya melayang ke arah An Tat, ia pikir biarpun mati juga harus gugur bersama musuh.

   "Haya, Ciu Lo-yacu, mengapa kau begini keji, memangnya kau ingin cucumu menjadi janda?"

   An Tat berolok-olok pula. Sembari bicara ia pun berkelit ke samping. Namun segera terdengar suara "bluk"

   Yang keras, seorang kawannya telah terjungkal.

   Yang tertendang jatuh adalah putera ketiga Thia Piau, yaitu Thia Soh, di antara keluarga Thia, hanya dia yang paling lemah.

   Tendangan Ciu Tiong- gak ternyata tidak ringan, Thia Soh menjerit dan terpental sejauh dua-tiga meter dan menggeletak tak bisa bergerak lagi, entah hidup atau sudah mati.

   Senjata Thia Piau adalah cangklong tembakau panjang, tadinya dia melayani musuh sembari udut, kini dia menjadi terkejut dan gusar melihat puteranya ditendang terjungkal oleh Ciu tiong-gak, ia pun tidak sungkan lagi dan melancarkan serangan maut.

   Lebih dahulu Thia Piau menyemburkan asap tembakau, saat itu Cu Tiong-gak belum berdiri tegak setelah sebelah kakinya digunakan menendang, selain itu ia pun harus menghadapi serangan balasan An Tat, karena itu ia menjadi kelabakan kena semburan asap tembakau, menyusul perutnya tertikam oleh ujung cangklong dan mengucurkan darah.

   Dengan bergelak tertawa An Tat segera bermaksud menubruk maju untuk menangkap Ciu Hong.

   Di luar dugaan tiba-tiba terdengar bentakan orang.

   "Bangsat cabul, sekali ini jangan kau harap lolos dari tanganku!"

   Suaranya lenyap orangnya pun muncul, siapa lagi dia kalau bukan Han Pwe- eng.

   Keruan sukma An Tat serasa meninggalkan raganya saking kagetnya.

   Dalam pada itu dengan cepat luar biasa pedang Han Pwe-eng telah menyambar tiba, yang dilabraknya lebih dahulu adalah An Tat.

   Menyusul Kok Siau-hong bertiga juga menerjang maju dan mencari lawan.

   "Hong cilik, kau urus saja kakekmu, kawanan serigala ini boleh serahkan kepada kami, tanggung satu pun tak bisa lolos,"

   Kata Pwe-eng. Tidak kepalang girang Ciu Hong, serunya.

   "Nona Han, terima kasih sebelumnya!" ~ Lalu ia memayang kakeknya ke samping sana untuk istirahat, ia membawa obat luka dan segera dibubuhkan pada luka kakeknya. Sementara itu Kok Siau-hong telah mendahului melabrak Thia Piau, sedangkan Li Tiong-cu menghadapi ketiga ekor serigala yang lain.

   "Li-toako, serahkan satu padaku!"

   Seru Yim Hong-siau, berbareng ia terus menerjang Thia Giok dengan sepasang goloknya.

   Thia Piau tahu keadaan cukup gawat, ia menjadi nekat dan menyerang mati-matian.

   Tapi mana dia mampu melawan Kok Siau-hong, tidak lama, pada suatu gerakan pancingan dia kena ditusuk oleh pedang Kok Siau-hong, kontan Thia Piau roboh tak bisa berkutik.

   Keadaan An Tat lebih payah lagi.

   Lantaran benci kepada prilakunya, cara Han Pwe-eng menyerang tanpa kenal ampun sedikit pun, selalu ia incar tempat maut di tubuh musuh.

   An Tat tahu gelagat jelek, dengan segala daya upaya ia mencari jalan untuk kabur.

   Akan tetapi serangan Han Pwe-eng terlalu kencang dan rapat, hakikatnya tiada peluang sedikit pun baginya.

   Suatu ketika, sekaligus Han Pwe-eng menusuk tiga kali, An Tat menjerit ngeri, mata kanan yang masih tersisa itupun tertusuk buta oleh pedang Han Pwe-eng, malahan tulang pundak juga ditabas putus ditambah lagi dua biji gigi depannya juga rompal.

   Serangan berantai Han Pwe-eng itu tidak hanya membikin An Tat menjadi buta sama sekali, bahkan memunahkan ilmu silatnya.

   Habis itu Pwe-eng menjengek.

   "Nah, bangsat yang tidak tahu malu macam kau ini apakah selanjutnya masih bisa berbuat jahat lagi? Membikin kotor tanganku saja jika kubinasakan kau, nah, lekas enyah saja!"

   Sambil mendekap mukanya yang berlumuran darah, laksana anjing yang dipentung saja, sambil merintih kesakitan dan berjalan sempoyongan lari pergilah An Tat.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Saat itu Li Tiong-cu menghadapi Thia Go dan Thia Ting berdua.

   Sudah tentu kedua orang ini bukan tandingan Li Tiong-cu.

   Secara mudah saja Li Tiong-cu dapat mencecar lawannya.

   Pada suatu ketika Thia Ting menjadi nekat, gadanya mengemplang sekerasnya ke arah kepala Li Tiong-cu.

   Akan tetapi seruling Li Tiong-cu sempat menyampuk perlahan terus ditarik sekalian, dengan meminjam tenaga kemplangan lawan, Tiong-cu menyeret Thia Ting ke depan dan gadanya berbalik tepat mengenai batok kepala saudaranya sendiri, yaitu Thia Go, kontan buah kepala Thia Go hancur luluh, Thia Ting sendiri juga terhuyung ke depan dan akhirnya jatuh terjerembab, kebetulan jatuh di atas tubuh Thia Go.

   Cepat Thia Ting merangkak bangun, tampaknya ia menjadi kalap dan berniat mengadu jiwa dengan Li Tiong-cu, gadanya terangkat tinggi, tapi bukannya mengemplang Li Tiong-cu, sebaliknya mengetuk ke arah kepala sendiri.

   Rupanya saking murka dan sedih pula karena salah membunuh saudaranya sendiri, Thia Ting menjadi putus asa dan bermaksud membunuh diri.

   Di antara keluarga Thia itu jiwa Thia Ting paling keras dan lebih polos, maka Li Tiong-cu menjadi tidak tega, cepat ia sengkelit gada orang hingga terlepas dari cekalan, berbareng ia berseru.

   "Kuampuni jiwamu, nah pergilah kau!"

   Thia Ting masih penasaran dan tidak mau pergi. Segera Thia Piau yang menggeletak tak bisa berkutik itu membentaknya.

   "Selama gunung tetap menghijau, masakah takut tiada kayu bakar? Apa kau tidak ingin menuntut balas bagi ayah dan saudaramu, mengapa tidak lekas pergi?"

   Mendengar ucapan sang ayah, barulah Thia Ting melangkah pergi dengan lesu.

   Kini yang tertinggal hanya Thia Giok saja yang menghadapi Yim Hong-siau.

   Kepandaian Thia Giok hanya sedikit di bawah sang ayah dan lebih tinggi daripada ketiga saudaranya.

   Walaupun Hong-siau sedikit di atas angin, tapi untuk mengalahkannya juga belum bisa.

   Thia Giok cukup licin, melihat pihaknya mengalami kekalahan mengenaskan, ia pikir jalan paling baik adalah menyelamatkan jiwa dahulu.

   Karena itu mendadak ia melontarkan suatu serangan maut, habis itu ia terus melompat mundur dan angkat langkah seribu.

   Hati Yim Hong-siau sangat welas asih, ia lihat kedua saudara Thia Giok telah binasa dengan mengenaskan, maka ia tidak tega membunuhnya lagi dan tidak mengejarnya.

   Maka berakhirlah pertarungan sengit itu.

   Dari baju Thia Piau oleh Kok Siau-hong ditemukan surat rahasia Wanyan Tiang-ci kepada Bupati di kota Kun-ciu.

   "Coba kulihat apa isi surat itu,"

   Kata Pwe-eng. Siau-hong menyerahkan surat itu, lalu berkata kepada Thia Piau.

   "Hm, seharusnya kau pun tak bisa diampuni, tapi aku hanya memusnahkan ilmu silatmu saja, walaupun cacat untuk selamanya, sedikitnya kau masih dapat menjadi manusia yang baik."

   Akan tetapi sebelum dia bertindak, mendadak Thia Piau telah menjerit, menyusul dari mulut, hidung dan telinganya telah mengeluarkan darah.

   "Wah, dia telah membunuh diri!"

   Seru Pwe-eng.

   Kiranya Thia Piau menyadari keadaannya yang sulit, selama hidupnya banyak berbuat kejahatan dan dengan sendirinya banyak mengikat permusuhan, apabila ilmu silatnya dimusnahkan Kok Siau-hong, itu berarti dia akan cacat selamanya, dalam keadaan begitu dia pasti sukar terhindar dari pencarian dan penyiksaan musuhnya.

   Ia pikir daripada hidup tersiksa lebih baik mati saja.

   Karena itu ia telah memutus urat nadi sendiri untuk membunuh diri.

   "Sayang dia telah membunuh diri,"

   Ujar Pwe-eng.

   "sebenarnya kita perlu menanyai keterangannya, dari isi suratnya ini ada tanda-tanda di Kim-keh- nia seakan-akan ada agen rahasia musuh yang berselubung."

   Kiranya isi surat rahasia Wanyan Tiang-ci kepada Bupati Kun-ciu itu selain memberi perintah agar mengawasi gerak-gerik pihak Kim-keh-nia, malahan juga diberi isyarat agar mereka mengadakan kontak dengan "kawan sendiri"

   Yang berada di Kim-keh-nia, cuma nama "kawan sendiri"

   Itu tidak disebutkan, pembuktiannya adalah tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Wanyan Tiang-ci.

   Apa tanda pengenalnya juga tidak dijelaskan mungkin sebelumnya Wanyan Tiang-ci sudah memberitahu Bupati itu, makanya tidak disebut lagi secara terperinci.

   Kok Siau-hong merenung sejenak, lalu katanya.

   "Hal ini rada repot juga, saudara kita di Kim-keh-nia berjumlah belasan ribu, entah siapa agen rahasia musuh, cara bagaimana kita menyelidikinya. Tapi Lebih baik mengetahui hal ini daripada sama sekali tidak tahu. Setiba di Kim-keh-nia dapat kita rundingkan lebih lanjut dengan Liu Beng-cu."

   Sementara itu Ciu Hong sudah selesai membubuhkan obat dan membalut luka kakeknya, Kok Siau-hong dan lain-lain lantas mendekati mereka. Sudah tentu Ciu Tiong-gak sangat berterima kasih atas pertolongan jiwanya oleh Siau-hong berempat.

   "Sungguh tak terduga kita dapat bertemu di sini,"

   Kata Pwe-eng kemudian.

   "Selama ini kalian berada dimana, Cu Lo-yacu?"

   "Sejak Kong-cu dan Sio-cia kami meninggalkan Pek-hoa-kok, para kerabat juga lantas terpencar dan kami pun tak pernah pulang ke sana lagi,"

   Tutur Ciu Tiong-gak.

   "Kini ternyata Kok Kong-cu dan Han-siocia sudah dapat berkumpul kembali, sungguh kami ikut bergembira bagi kalian. Sekali ini kami pulang dari Soh-ciu, aku sudah mendapatkan calon jodoh Hong cilik."

   Ciu Hong menjadi malu, cepat ia menyela.

   "Ah, mengapa baru bertemu nona Han lantas kakek ceritakan hal ini."

   "O, selamat, adik Hong,"

   Kata Pwe-eng dengan girang.

   "Keluarga manakah yang berbahagia itu?"

   "Keluarga Nyo di Soh-ciu,"

   Jawab Ciu Tiong-gak.

   "Keponakan Nyo Gan- seng, yaitu murid kakek luar murid Kang-lam-tayhiap Kheng Ciau. Maksud kami hendak lapor dulu kepada Sio-cia, kemudian menentukan hari nikah mereka."

   "Jika begitu kalian tidak perlu pulang lagi ke Pek-hoa-kok, Hi-cici tidak di rumah, tapi berada di Kim-keh-nia,"

   Kata Pwe-eng.

   "Han-siocia, ada sesuatu ingin kutanya padamu,"

   Tiba-tiba Ciu Hong menyela.

   "Urusan apa?"

   Jawab Pwe-eng.

   "Kabarnya Sio-cia kami sudah mendapatkan jodoh, katanya suaminya bernama Sin Liong-sing, apakah betul?"

   Tanya Ciu Hong.

   "Berita yang kau dengar ini memang betul,"

   Kata Pwe-eng.

   "Tapi urusan manusia terkadang dapat berubah di luar dugaan, sebab pernikahan siocia kalian kini telah mengalami perubahan lagi, yaitu konon karena tiada kecocokan, maka mereka sudah berpisah."

   "Ai, nasib Sio-cia kami sungguh harus dikasihani, pantas juga kalau memang begitu,"

   Ujar Ciu Hong gegetun.

   "Pantas bagaimana?"

   Tanya Pwe-eng tercengang.

   "Dua hari yang lalu, dalam perjalanan kami telah bertemu dengan Sin Liong-sing, dia berada bersama seorang nona cantik,"

   Tutur Ciu Hong.

   "Aku tidak kenal Sin Liong-sing, tapi kakek kenal dia. Tampaknya mereka berdua sangat mesra, tadinya kukira dia menyeleweng di luar tahu Sio-cia kami."

   "Nona cantik itu tentu Ki Ki adanya,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Siapakah Ki Ki itu?"

   Tanya Ciu Hong.

   "Duapuluh tahun yang berlalu di dunia persilatan ada seorang tokoh terkenal, namanya Ki We....."

   "O, kiranya nona itu adalah puteri iblis tua itu?"

   Kata Ciu Tiong-gak dengan terkejut.

   "Sebenarnya Ki-locianpwe itu tidak seburuk sebagaimana disangka orang,"

   Sambung Siau-hong.

   "Mungkin dia dapat dianggap tokoh yang berdiri antara baik dan buruk, tapi kini dia sudah kembali ke jalan yang baik. Tak kusangka bahwa Ciu-lopek juga kenal Sin Liong-sing, apa yang dia bicarakan dengan kau waktu kalian bertemu, aku memang ingin tahu keadaannya."

   "Aku memang kenal dia, sebaliknya dia tidak kenal aku, makanya kami juga tidak bicara,"

   Tutur Ciu Tiong-gak.

   "Aku kenal dia di rumah Bun-tayhiap antara belasan tahun yang lalu, waktu itu dia baru masuk perguruannya, tapi tampaknya dia sangat angkuh, hanya mau bergaul dengan tokoh yang menonjol, sedangkan aku hanya seorang budak saja, mana dia sudi berkenalan dengan aku."

   "Kau benar, dahulu Sin Liong-sing memang mempunyai penyakit begitu,"

   Ujar Kok Siau-hong.

   "Cuma setahuku, lambat-laun sikapnya itu kini sudah mulai berubah."

   "Sebenarnya aku pun hampir tidak mengenalnya lagi, sebab dahulu dia sangat cakap, tapi kini mukanya ada codet bekas luka bersilang, setelah kuamat-amati barulah kukenali dia adalah murid Bun-tayhiap dahulu itu."

   "Jika setahun sebelumnya kau bertemu dia, mukanya jauh lebih jelek lagi daripada sekarang,"

   Kata Siau-hong dengan tertawa.

   "Ki We yang telah mencarikan obat baginya sehingga wajahnya dapat diperbaiki."

   "Ya, jika kemudian aku tidak mendengar percakapan orang mengenai dia, mungkin aku pun tak kenal lagi mukanya,"

   Kata Ciu Tiong-gak.

   "Siapa yang mempercakapkan Sin Liong-sing? Tentang urusan apa?"

   Siau-hong menegas. Ciu Tiong-gak pikir betapa pun Sin Liong-sing adalah murid Bun-tayhiap dan sahabat baik Kok Siau-hong, urusan ini harus kuberitahukan padanya. Maka ia lantas berkata.

   "Kudengar dari percakapan dua orang Busu bangsa Mongol yang menyaru sebagai bangsa Kim."

   Siau-hong terkejut.

   "He darimana kau mendapat tahu mereka adalah Busu bangsa Mongol?"

   Cepat ia bertanya.

   "Waktu muda pernah aku bekerja sebagai belantik kuda di Mongol, maka paham sedikit bahasa Mongol,"

   Tutur Ciu Tiong-gak.

   "Dari percakapan mereka itu agaknya mereka ditugaskan mengikuti jejak Sin Liong-sing, hanya beberapa kalimat percakapan mereka yang kudengar dan dapat kudengar nama Sin Liong-sing, yang mereka sebut serta asal-usulnya, terdengar mereka menyebut pula nama Sin Cap-si-koh serta seorang tokoh lain yang namanya dahulu pernah menggetarkan Kang-ouw."

   Pwe-eng pikir apakah Sin Cap-si-koh sekarang berada di Mongol, bukankah ilmu silatnya sudah dipunahkan olehku dan Siau-hong? Segera Kok Siau-hong juga bertanya.

   "Siapa tokoh lain yang dimaksud itu?"

   "Yaitu Siangkoan Hok yang dahulu sama terkenalnya dengan Ki We,"

   Jawab Ciu Tiong-gak.

   "Aku tidak kenal Siangkoan Hok, cuma kutahu dia juga seorang tokoh yang berdiri di antara baik dan jahat, kabarnya dia menyingkir ke Mongol untuk menghindari pencarian musuh, di sana dia telah menjadi pembantu utama Liong Siang Hoat-ong."

   "Cara bagaimana kedua Busu Mongol itu menyinggung nama Siangkoan Hok?"

   Siau-hong menegas dengan rada melengak.

   "Mereka tidak menyangka Sin Liong-sing adalah keponakan Cap-si-koh dan juga menantu Ki We, mereka anggap tidak dapat menangkap Siangkoan Hok, sebagai gantinya kalau Sin Liong-sing dapat ditawan juga merupakan hadiah yang baik bagi Wanyan Tiang-ci, selain itu mereka anggap masih ada faedah lain, tapi faedah apa tidak kudengar lagi karena mereka telah berlalu dengan cepat."

   "Waktu kudengar penuturan kakek tentang apa yang didengarnya itu, aku pun heran dan gemas pula,"

   Kata Ciu Hong.

   "Tentunya kau gemas lantaran Sin Liong-sing telah berubah menjadi menantu keluarga Ki bukan?"

   Ujar Pwe-eng dengan tertawa.

   "Ya, itu salah satu sebabnya,"

   Kata Ciu Hong.

   "Selain itu, seperti dikatakan kakek tadi bahwa Siangkoan Hok adalah pembantu utama Liong Siang Hoat-ong di Mongol, tapi nada ucapan kedua Busu Mongol itu seperti menganggap Sin Liong-sing adalah sejalan dengan Siangkoan Hok, kalau betul mereka sejalan, mengapa pula Busu Mongol itu hendak menangkap mereka?"

   "Memang tanda tanya inipun membuat bingung padaku,"

   Ciu Tiong-gak menambahkan.

   "Biarlah kujelaskan,"

   Tutur Siau-hong dengan tertawa.

   "Asalnya Siangkoan Hok adalah pejuang negeri Liau yang dicaplok oleh kerajaan Kim, dia berusaha mendirikan kembali negaranya, maka sengaja merahasiakan asal-usulnya dan bersembunyi di Mongol untuk menjadi pembantu Liong Siang Hoat-ong. Tapi tiga tahun yang lalu rahasia pribadinya telah diketahui Liong Siang Hoat-ong, sejak itu dia telah melarikan diri dari Ho-lin. Dia adalah sahabat baik ayah Pwe-eng, pernah membantu laskar bangsa Han kita. Setahuku, selama beberapa tahun ini dia masih dicari-cari oleh anak buah Liong Siang Hoat-ong."

   "O, kiranya begitu, rupanya aku sendiri yang cupet pendengaran,"

   Kata Ciu Tiong-gak.

   "Persoalan ini hanya diketahui oleh ayah mertuaku serta Kay-pang Pang- cu, Bu-lim-thian-kiau, Siau-go-kan-kun, Hong-lay-mo-li serta beberapa orang lagi yang terbatas, Sin Liong-sing pasti tidak mengetahuinya, dia juga tidak mungkin kenal Siangkoan Hok,"

   Demikian Siau-hong menambahkan Iagi.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Jadi aku pun tidak habis mengerti, antara Sin Liong-sing dan Siangkoan Hok tiada sangkut-paut apa pun, mengapa ucapan kedua Busu itu telah menghubungkan nama mereka, sungguh aneh."

   "Paman Ciu, kapan dan dimanakah kau memergoki kedua Busu Mongol dan Sin Liong-sing?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Tengah hari kemarin kulihat Sin Liong-sing bersama nona Ki,"

   Jawab Ciu Tiong-gak.

   "Selang dua jam lagi baru kupergoki kedua Busu Mongol, berada di Oh-ciok-kang."

   "Hu-ci-lip dan Oh-ciok-kang terletak satu arah dari sini, tapi bukan satu jalan yang sama,"

   Ujar Siau-hong.

   "Betul, pada simpang tiga sana kulihat Sin Liong-sing, dia tidak sama jalan dengan aku, hanya sama arah, sedangkan kedua Busu Mongol itu sama arah dan sama jalan dengan aku, cuma kuda mereka lebih cepat, kini mungkin sudah berada seratus lie lebih di depan sana."

   "Bisa jadi kedua Busu Mongol yang mengejar Sin Liong-sing itupun kesasar ke jalan yang keliru,"

   Kata Pwe-eng.

   "Oh-ciok-kang adalah tempat yang harus dilalui jika hendak pergi ke Kim- keh-nia, tentunya kedua Busu itu mengira dia hendak pergi ke Kim-keh-nia, makanya mereka terus menyusul ke sana. Tapi Sin Liong-sing mengapa mengambil jalan yang kedua dan tidak menuju ke Kim-keh-nia? Apakah mungkin dia merasakan ada orang sedang menguntitnya?"

   Kata Siau-hong.

   "Hm, dia tahu Sio-cia kami berada di Kim-keh-nia, mana dia berani ke sana untuk menemui Sio-cia?"

   Jengek Ciu Hong.

   "Setahuku Sio-cia kalian kini juga tidak membenci Sin Liong-sing lagi, bahwa kau bersimpatik pada Sio-ciamu dapat kami pahami dan harus dipuji,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Baiklah, sekarang kita boleh berangkat saja. Ciu- lopek, bagaimana keadaanmu?"

   "Kukira tidak menjadi soal, walaupun tidak leluasa untuk lari, menunggang kuda kiranya dapat,"

   Jawab Ciu Tiong-gak. Kebetulan kuda yang ditinggalkan rombongan Thia Piau dan An Tat itu berjumlah enam ekor dan dapat digunakan mereka.

   "Marilah kita menuju ke arah Oh-ciok-kang dahulu untuk mengikuti jejak kedua Busu Mongol itu,"

   Ajak Kok Siau-hong.

   "Benar, mereka mengintil Sin Liong-sing, sebaliknya mereka pun kita kuntit,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Sin Liong-sing mengambil jalan satunya, rasanya takkan kepergok mereka, sedangkan kesempatan kita akan menemukan jejak mereka sangat besar, secara tidak langsung berarti pula kita telah memberi bantuan kepada Tam-tayhiap."

   Ciu Tiong-gak merasa bingung, ia bertanya.

   "Ada hubungan apa kedua Busu itu dengan Bu-lim-thian-kiau?"

   "Ada suatu pekerjaan besar hendak dilakukan Tam-tayhiap dengan mendapat bantuan dari Siangkoan Hok, kini Tam-tayhiap sedang menunggunya di Tay-toh,"

   Tutur Siau-hong.

   "Sudah tentu Siangkoan Hok tidak gentar terhadap kedua Busu Mongol itu, tapi kalau kita dapat mendahuluinya membereskan kedua ekor anjing pemburu ini akan berarti meringankan tenaga Siangkoan Hok juga."

   "Oh-ciok-kang adalah tempat yang harus dilalui jika hendak ke Kim-keh- nia, jika Sio-cia kami berada di sana maka jalan yang kau pilih ini sungguh sangat kebetulan bagi kami,"

   Ujar Ciu Hong dengan tertawa.

   Mengenai Sin Liong-sing dan Ki Ki, mereka memang telah memilih jalan yang satunya untuk menghindari pertemuan dengan Hi Giok-kun, hal ini memang benar sebagaimana diduga oleh Ciu Hong dan Kok Siau-hong.

   Cuma apa yang terjadi justru di luar dugaan mereka pula.

   Selain itu Kok Siau-hong mengira Sin Liong-sing tiada hubungan apa pun dengan Siangkoan Hok, hal inipun ada sesuatu yang belum diketahuinya dan akan kita uraikan nanti.

   Sementara ini kita mengikuti pengalaman Sin Liong-sing dan Ki Ki.

   Ketika mereka sudah melalui jalan simpang tiga, Ki Ki tampak merenungkan sesuatu.

   "Adik Ki, apa yang sedang kau pikirkan?"

   Tanya Liong-sing. Mendadak Ki Ki balas bertanya.

   "Engkoh Liong, apakah wanita tadi adalah kenalanmu?"

   "Kau maksudkan perempuan yang berada bersama kakeknya yang kita lihat di persimpangan jalan tadi itu?"

   Liong-sing menegas.

   "Ya, tampaknya kakeknya juga kenal kau,"

   Jawab Ki Ki.

   "Tidak, aku tidak kenal mereka,"

   Kata Liong-sing sambil menggeleng.

   "Kan aneh,"

   Ujar Ki Ki.

   "Nona itu memandang kau sampai terkesima, begitu juga kakeknya."

   "Mana kutahu mengapa mereka memandang diriku sedemikian rupa?"

   "Malahan sorot mata nona itu ketika melirik padaku tampaknya penuh mengandung rasa dendam dan benci, aku dapat meraba isi hatinya,"

   Kata Ki Ki pula dengan tertawa. Hati Liong-sing terkesiap, jawabnya dengan tersenyum getir.

   "Adik Ki, agaknya kau terlalu banyak curiga. Biarpun di masa lampau kelakuanku kurang baik, tapi juga tidak sampai berbuat tidak senonoh. Pula, setelah mendapatkan cintamu yang murni, boleh dikata tiada sesuatu lagi yang perlu kurahasiakan padamu. Macam-macam kesalahanku pada masa lampau kan sudah kuceritakan padamu semua."

   Mendengar ucapan yang tulus itu, terasa bahagia hati Ki Ki, dengan tersenyum ia berkata.

   "Engkoh Liong, kau telah salah paham, aku tidak curiga padamu, aku cuma merasa heran saja mengapa orang yang tidak pernah kenal memandang kau sedemikian."

   "Waktu ikut Suhu, tidak sedikit tetamu yang pernah kujumpai, bisa jadi mereka kenal padaku, tapi aku tidak ingat lagi, percayalah padaku,"

   Kata Liong-sing. Walaupun demikian katanya, sebenarnya ia sendiri juga merasa heran, sebab kalau benar kakek itu adalah sahabat gurunya, mengapa tidak menegur sapa padanya.

   "Sudah tentu kupercaya penuh padamu, engkoh Liong. Kutahu engkau mencintai diriku dengan sepenuh hati, Cuma..... cuma, apa sebabnya engkau tidak berani pergi ke Kim-keh-nia?"

   Muka Sin Liong-sing menjadi merah, jawabnya.

   "Untuk sementara aku tidak..... tidak ingin bertemu dengan kawan-kawan lama."

   "Kukira engkau sengaja menghindari bertemu dengan Hi-cici, betul tidak?"

   Tanya Ki Ki dengan suara lembut. Sin Liong-sing diam saja tanpa menjawab. Maka Ki Ki berkata pula.

   "Engkoh Liong, cintamu padaku betapa pun takkan berubah, bukan?"

   "Memangnya apakah perlu aku mengorek hatiku untuk diperlihatkan padamu?"

   Ujar Sin Liong-sing.

   "Bahwa untuk sementara ini aku tidak ingin bertemu dengan Giok-kun adalah karena..... karena, ai, buat apa kujelaskan lagi....."

   "Sebenarnya juga tidak perlu dijelaskan, lebih-lebih tidak perlu mengorek hatimu,"

   Kata Ki Ki dengan tertawa.

   "Aku hanya ingin menunjukkan jalan pikiranku bahwa cinta kita ini takkan tergoyahkan dan takkan terpengaruh oleh apa pun yang akan terjadi. Dan jika sudah begitu, mengapa mesti takut bertemu Hi-cici? Terus terang, sesungguhnya aku pun merindukan dia."

   "Bukannya aku takut menemuinya,"

   Kata Liong-sing dengan tergagap.

   "aku Cuma..... cuma takut....."

   "Kau takut menimbulkan cemburuku bukan?"

   Tanya Ki Ki dengan tersenyum lembut.

   "Padahal tiada sesuatu pikiran apa pun lagi dalam hatiku, mengenai pribadi Hi-cici, meski aku cuma bertemu satu kali dengan dia, tapi kuyakin ia pun tiada punya rasa sirik apa pun terhadap diriku."

   Sin Liong-sing terdiam sejenak, kemudian berkata.

   "Aku pun percaya dia suka bertemu dengan kita, cuma karena kesalahanku di masa lampau bukan kesalahan secara kebetulan, maka....."

   "Sudah lama engkau insyaf kesalahanmu dan menempuh jalan baru, kawan-kawan di Kim-keh-nia kan juga mengetahuinya,"

   Ujar Ki Ki.

   "Ya, kutahu mereka akan memaafkan kesalahanku dahulu, tapi aku sendiri yang merasa malu,"

   Ujar Liong-sing.

   "Salah satu kelemahanmu ialah terlalu tinggi hati, kuatir dipandang rendah orang dan sedapat mungkin ingin berbuat sesuatu untuk mendapatkan pujian,"

   Kata Ki Ki dengan tertawa.

   "Sebenarnya tenaga seorang betapa pun terbatas, untuk bisa melakukan sesuatu yang besar harus dilakukan secara bersama. Hal ini kudengar dari paman Siangkoan Hok, kepandaian paman Siangkoan sangat tinggi, tapi beliau juga mengutamakan perjuangan bersama. Dahulu aku tidak paham hal lain, tapi setelah banyak bergaul, lambat-laun kupahami juga arti nasehat paman Siangkoan Hok itu."

   Pendirian Sin Liong-sing mulai goyah, ia terdiam sejenak, akhirnya ia dapat menerima bujukan Ki Ki itu, awan mendung yang tadinya menyelimuti benaknya kini telah buyar. Katanya.

   "Baiklah, kuturut perkataanmu, marilah kita putar kembali ke sana. Entah saat ini Siangkoan Hok sudah sampai di Kim-keh-nia belum? Sungguh sama sekali tak kuduga bahwa Siangkoan Hok adalah sahabat baik ayahmu."

   "Dia berangkat tiga hari yang lalu, kini tentu sudah berada di sana,"

   Kata Ki Ki.

   "Aku pun baru kenal dia, sebelumnya tak pernah ayah katakan padaku."

   "Adik Ki, selanjutnya kita sehidup semati, dua menjadi satu, tiada perbedaan lagi antara kau dan aku,"

   Kata Liong-sing dengan gembira. Ki Ki hanya tersenyum penuh arti tanpa menjawab.

   "Ayah menyuruh kita ke Kim-keh-nia, mengapa beliau sendiri tidak ke sana?"

   Kata Liong-sing.

   "Ayah hendak ke tempat lain untuk mencari teman, bisa jadi ada urusan lain lagi yang lebih penting,"

   Ujar Ki Ki.

   "Dengan kepandaian ayahmu yang sangat tinggi itu, malam itu beliau toh terluka, syukur lukanya tidak parah,"

   Kata Liong-sing pula.

   "Teringat pada pertarungan sengit malam itu, sungguh suatu pertarungan maut yang belum pernah kualami."

   "Ya, kalau teringat sekarang pun aku masih kebat-kebit,"

   Kata Ki Ki.

   Peristiwa itu terjadi tujuh hari yang lalu.

   Di tempat pengasingan Ki We di Sun-keng-san itu tiba-tiba datang seorang tamu, ialah Siangkoan Hok.

   Waktu Siangkoan Hok tiba, kebetulan Sin Liong-sing baru pulang dari bepergian, maka dia yang menemui dulu sang tamu.

   Karena tidak kenal, dengan sendirinya Liong-sing mengajukan pertanyaan teliti pada maksud kedatangan Siangkoan Hok.

   Sebaliknya Siangkoan Hok juga tidak berani mengaku terus terang karena tidak tahu siapa Sin Liong-sing sebenarnya, maka ia pun memberi jawaban yang samar-samar dan malahan berbalik tanya siapa Sin Liong-sing.

   Lantaran itulah kedua orang menjadi saling ngotot dan salah paham.

   Sin Liong-sing meragukan Siangkoan Hok adalah musuh Ki We.

   Sebaliknya Siangkoan Hok juga sangsi apakah Ki We sudah pindah tempat tinggal atau sudah dibunuh oleh musuh dan bisa jadi pemuda ini adalah kawanan penjahat.

   Untuk membikin jelas persoalannya, Siangkoan Hok mengambil keputusan akan menjajal kepandaian Sin Liong-sing agar dapat mengetahui asal-usulnya.

   Maka terjadilah gebrakan, tapi setelah dua-tigapuluh jurus tetap siangkoan Hok tak dapat mengenali asal-usul perguruan Sin Liong-sing.

   Maklumlah, kepandaian Sin Liong-sing itu bercampur tiga perguruan, yaitu ajaran bibinya, gurunya serta yang terakhir juga mendapatkan ajaran dari Ki We.

   Dalam pertarungan seru itu, suatu saat Sin Liong-sing rada meleng, dia tergentak oleh lengan baju Siangkoan Hok dan terlempar ke atas.

   Sebisanya Sin Liong-sing berjumpalitan di atas untuk memperlambat jatuhnya, dalam hati ia pikir dirinya pasti akan terbanting cukup keras.

   Syukur pada saat itu juga mendadak seorang melompat tiba dan tepat dapat menangkap tubuhnya.

   Siapa lagi pendatang ini kalau bukan Ki We adanya.

   Segera Ki We memeriksa nadi Sin Liong-sing, ia merasa lega mengetahui tiada terjadi suatu apa pun atas diri pemuda itu, ia tahu Siangkoan Hok sengaja bermurah hati pada lawannya.

   Dengan tertawa ia lantas berseru.

   "Ha, ha, kukira siapa, rupanya sobat lama!"

   "Kesatria muda ini....."

   "Namanya Sin Liong-sing,"

   Sela Ki We sebelum Siangkoan bertanya lebih lanjut.

   "ialah menantuku."

   "Kiranya menantumu, pantas begini hebat,"

   Ujar Siangkoan Hok.

   "Tapi kepandaiannya bukanlah ajaranku, bibinya ialah Sin Yu-ih, sedang gurunya adalah Bun-tayhiap dari Kang-lam. Nah, lekas memberi hormat kepada paman Siangkoan, Liong-sing!"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siangkoan Hok tidak pernah menduga bahwa Sin Liong-sing adalah keponakan Sin Yu-ih alias Sin Cap-si-koh, sebaliknya Sin Liong-sing juga terkesiap setelah mengetahui tamunya adalah Siangkoan Hok.

   "Tentunya kau pernah mendengar asal-usulku,"

   Kata Siangkoan Hok dengan tertawa kepada Liong-sing.

   "selama ini di kalangan pendekar aku dianggap sebagai orang maha busuk, untunglah ayah mertuamu ini cukup kenal seluk-beluk kepribadianku."

   "Aku pegang teguh janji kita pada delapanbelas tahun yang lalu, maka seluk beluk pribadimu tak pernah kuceritakan kepada siapa pun juga termasuk puteriku sendiri,"

   Kata Ki We dengan tertawa.

   Kiranya waktu mereka berpisah dahulu, yang seorang mengasingkan diri ke pegunungan sunyi dan yang lain hijrah ke Mongol dalam usahanya membangun kembali negerinya, kedua orang telah berjanji takkan membocorkan rahasia masing-masing.

   Begitulah kedua sahabat lama yang sudah berpisah selama delapanbelas tahun itu lantas pasang omong dengan asyiknya sambil minum arak.

   Tak terduga, pada malam itu juga datang pula tiga orang penyantron, mereka adalah seorang Lhama berjubah merah, namanya Bu-bong Siangjin, kakak seperguruan Wanyan Tiang-ci.

   Seorang lagi adalah pembantu Wanyan Tiang-ci, yaitu Cian Tiang-jun, sedangkan orang ketiga adalah seorang Busu Mongol, Umong, yaitu murid Liong Siang Hoat-ong.

   Bu-bong Siangjin sendiri adalah orang Mongol walaupun dia seperguruan dengan Wanyan Tiang-ci.

   Dapatnya Wanyan Tiang-ci berkomplot dengan Liong Siang Hoat-ong justru Bu-bong Siangjin inilah yang menjadi penghubungnya.

   Dengan sendirinya pertarungan sengit tak terhindarkan lagi, terjadilah pertarungan tiga partai.

   Sin Liong-sing menandingi Umong, Ki We menghadapi Bu-bong Siangjin dan Siangkoan Hok melawan Cian Tiang- jun.

   Akhirnya ketiga musuh itu dapat dikalahkan dan ngacir dengan menderita luka.

   Ki We sendiri juga terluka ringan.

   "Nyata Liong Siang Hoat-ong tidak pernah melupakan aku,"

   Kata Siangkoan Hok kemudian dengan tersenyum getir.

   "Mungkin jago yang dia kirim masih akan datang lagi susul menyusul. Ki-heng tempatmu ini kini pun jadi tidak aman lagi. Sungguh menyesal aku telah membikin susah kau....."

   "Ah, sahabat lama mengapa berkata demikian?"

   Ujar Ki We tertawa.

   "Berapa banyak kawanan musuh datang pasti kita hadapi bersama, hanya Liong Siang Hoat-ong sendiri entah datang atau tidak."

   "Kukira Liong Siang Hoat-ong takkan muncul sendiri, cuma jago setingkatan Bu-bong Siangjin memang masih ada beberapa orang, namun setahuku hampir semuanya masih berada di Tay-toh,"

   Tutur Siangkoan Hok.

   "Jika begitu aku masih sempat tinggal lagi beberapa hari lagi di rumah,"

   Kata Ki We.

   "Andaikan mereka datang lagi sedikitnya perlu waktu belasan hari lagi, sementara itu kesehatanku juga sudah pulih."

   "Memangnya Ki-heng hendak kemana?"

   Tanya Siangkoan Hok.

   "Tiada tempat tujuan yang tetap,"

   Jawab Ki We.

   "Cuma kau pun jangan kuatir bagiku, tentu ada tempat yang dapat ku kunjungi. Kutahu engkau mengemban tugas penting, maka bila perlu bolehlah engkau berangkat lebih dulu."

   Siangkoan Hok memang sudah ada janji dengan Bu-lim-thian-kiau, maka ia pun berkata.

   "Ya, aku memang hendak pergi ke Kim-keh-nia untuk menemui Hong-lay-mo-li, habis itu baru pergi ke Tay-toh untuk menjumpai Bu-lim-thian-kiau, jadi aku tak dapat tinggal lama di sini. Ki-heng, sekiranya engkau tiada tempat tujuan yang baik, kurasa Kim-keh-nia adalah tempat bernaung yang tepat bagimu, untuk ini dapat kukatakan lebih dulu kepada Hong-lay-mo-li jika engkau setuju."

   "Terima kasih atas maksud baikmu,"

   Jawab Ki We.

   "Untuk sementara ini aku tidak ingin ke Kim-keh-nia, aku sudah biasa hidup bebas, selain itu Kim-keh-nia adalah tempat berkumpulnya kaum kesatria pendekar, sebaliknya aku sudah lama terkenal sebagai gembong iblis yang jahat."

   "Ha, ha, padahal dahulu Hong-lay-mo-li juga terkenal sebagai iblis perempuan yang ditakuti,"

   Ujar Siangkoan Hok dengan tertawa.

   "Tapi jika sudah kuberitahukan mereka, tentu takkan terjadi lagi salah paham."

   "Suami isteri Siau-go-kan-kun dan Hong-lay-mo-li adalah pasangan kesatria yang terpuji, sudah tentu aku pun berharap dapat berkenalan dengan mereka, hanya saja belum tiba waktunya sekarang."

   "Jika engkau ada tempat tujuan, maka aku pun takkan memaksa kau, biar kuberangkat saja,"

   Kata Siangkoan Hok. Tiba-tiba Ki We ingat sesuatu, katanya dengan tertawa.

   "Meski aku sendiri tak dapat ikut ke sana, tapi menantu dan puteriku ingin kukirim ke Kim-keh-nia."

   "Benar, Sin-heng adalah murid pewaris Bun-tayhiap, adalah tepat sekali jika dia mengajak isterinya ke sana,"

   Kata Siangkoan Hok.

   "Silakan paman Siangkoan berangkat saja lebih dulu, andaikan kami harus ke Kim-keh-nia juga mesti menunggu sembuhnya ayah mertuaku,"

   Ujar Sin Liong-sing.

   Dengan alasan ini dia menolak berangkat bersama Siangkoan Hok, hal yang sebenarnya adalah dia tidak ingin ke Kim-keh-nia.

   Tapi kini, setelah dibujuk oleh Ki Ki, akhirnya dia berpaling kembali dan mau berangkat ke Kim-keh-nia.

   Ia merasa ucapan Ki Ki tadi memang benar, betapa pun akhirnya dia juga mesti bertemu dengan Hi Giok-kun dan lain- lain.

   Apalagi sekarang dirinya seakan-akan sudah menjadi manusia baru, asal diberi kesempatan untuk menebus dosa dan dapat berjuang bersama laskar rakyat di Kim-keh-nia, kenapa mesti takut bertemu dengan Hi Giok-kun dan teman lain? Setelah awan mendung yang menyelimuti benaknya itu tertembus, hatinya menjadi lapang kembali, pikirannya menjadi terang, langkahnya menjadi cepat dan enteng.

   Begitulah saat melihat Sin Liong-sing berjalan sambil termenung, Ki Ki lantas bertanya.

   "Apa yang sedang kau pikirkan, Sin-toako?"

   Sementara itu mereka sudah melintasi Oh-ciok-kang, Sin Liong-sing tersadar dari renungannya, cepat ia menjawab.

   "O, aku sedang berpikir apakah Siangkoan Hok saat ini berada di Kim-keh-nia atau tidak. Dia kan berangkat lebih dulu tiga hari daripada kita."

   "Andaikan paman Siangkoan tidak berada di sana, kukira masih ada Kok Siau-hong, Han Pwe-eng atau Hi-cici yang dapat kita temui, memangnya kau masih takut bertemu dengan mereka?"

   Ujar Ki Ki dengan tertawa. Dengan perlahan Liong-sing menggenggam tangan Ki Ki, jawabnya.

   "Berada bersamamu, apalagi yang perlu kutakuti?"

   Wajah Ki Ki menjadi merah, tapi terasa bahagia hatinya.

   "Jika begitu lekaslah kita berjalan. Lihatlah, awan mendung memenuhi langit, mungkin sebentar lagi akan hujan. Sedapatnya kita harus mencapai kota kecil di depan sana."

   Tapi tidak seberapa lama lagi hujan lantas turun, bahkan makin lama makin lebat sehingga mereka basah kuyup.

   "Tampaknya kita tak dapat mencapai kota kecil di depan sana, kita harus mencari suatu tempat berteduh dulu,"

   Ujar Liong-sing. Tidak lama hujan rada reda, tapi cuaca mendung sangat gelap. Sin I.iong- sing mendengar suara mendeburnya arus air, ia terkejut dan berkata.

   "Wah, celaka, kita salah jalan. Di depan adalah sungai."

   "Memangnya jalan yang kita arah ini harus menyeberangi Tay-bun-to baru kemudian bisa mencapai Kim-keh-nia,"

   Kata Ki Ki.

   "Ya, tapi di tempat seperti ini, kemana kita dapat menemukan tempat berteduh?"

   Ujar Liong-sing. Di tengah berkelebatnya sinar kilat, sekilas Ki Ki melihat sesuatu, dengan girang ia berseru.

   "Aha, lihatlah, di depan sana ada sebuah bangsal."

   "Betul, malahan di dalamnya seperti ada suara orang,"

   Jawab Liong-sing cepat.

   Kiranya bangsal yang dimaksud adalah sebuah gudang penimbunan kayu, pedagang kayu setempat menggunakan arus air sungai untuk mengangkut kayu, cuma sekarang gudang kayu ini dalam keadaan kosong, hanya ada satu tumpukan kecil saja yang bertimbun di pojok sana.

   Sin Liong-sing dan Ki Ki lantas memasuki bangsal itu, terlihat belasan orang sedang mengerumuni suatu gundukan api unggun untuk menghangatkan badan.

   Lebih dulu Sin Liong-sing memberi salam, lalu berkata.

   "Maaf jika kami mengganggu kalian. Kami salah jalan dan tiada tempat berteduh lain, maka....."

   Tampaknya orang-orang itupun cukup ramah, seorang di antaranya menukas dengan tertawa.

   "Ah, jangan sungkan, tempat ini bukan milik kami, kami juga cuma numpang bernaung saja. Wah, pakaian kalian basah kuyup, lekas, silakan menghangatkan badan kalian." ~ Sembari bicara mereka pun meluangkan dua tempat bagi Liong-sing berdua. Setelah mengucapkan terima kasih, Liong-sing berdua lantas berduduk dan pasang omong dengan mereka. Habis itu baru diketahui bahwa mereka adalah saudagar obat-obatan, karena air sungai pasang naik dan sukar mendapatkan kapal tambangan, terpaksa mereka bermalam di gudang kayu ini. Juragan bahan obat-obatan itu bernama An To-seng, dia membawa empat pegawai dan tujuh kuli pemikul. An To-seng mengaku baru saja membeli bahan obat dari Keng-ciu dan hendak mengangkutnya ke Kun-ciu. Dalam tanya jawab itu Sin Liong-sing juga memberitahukan suatu nama samaran.

   "Apakah nona ini adalah famili Sin-heng?"

   Tanya An To-seng. Liong-sing pikir kalau mengaku kakak beradik mungkin malah akan menimbulkan curiga orang karena air muka mereka selisih jauh, terpaksa ia menjawab.

   "Ya, dia adalah isteriku."

   Ki Ki menjadi malu dan menunduk.

   "Barangkali kalian baru saja menikah?"

   Tanya pula juragan she An itu. Sin Liong-sing berlagak heran dan menjawab.

   "He, mengapa tepat sekali tebakanmu, juragan An?"

   An To-seng tertawa, katanya.

   "Pengantin baru biasanya suka malu-malu, aku kan orang yang sudah berpengalaman, masakah tak tahu? He, silakan kalian lebih mendekati api unggun agar baju kalian lekas kering, kalau sampai masuk angin bisa berabe."

   Melihat juragan obat itu cukup polos dan baik hati, Sin Liong-sing merasa cocok mengobrol dengan dia.

   "Kalian hendak kemana?"

   An To-seng bertanya pula.

   "Ada seorang kawan baik di Kun-ciu, kami ingin mencari pekerjaan padanya,"

   Jawab Liong-sing.

   "Di wilayah Kun-ciu ada sebuah bukit Kim-keh-nia, di sana ada suatu gerombolan bandit yang dipimpin seorang wanita bernama Hong-lay-mo-li, kabarnya akhir-akhir ini suasana di sana agak kacau, entah Sin-toako tahu tidak? Apakah kalian tidak takut kepergok kawanan bandit itu?"

   "Ah, kami tidak membawa sesuatu benda berharga, tidak perlu takut dibegal,"

   Ujar Liong-sing.

   "Apalagi kabarnya kawanan bandit di Kim-keh-nia itupun tidak sembarangan mengganggu orang baik. Entah berita ini betul tidak?"

   "Ya, berita yang kalian dengar itu memang tidak salah, kalau tidak, masakah kami berani berdagang di Kun-ciu,"

   Kata An To-seng dengan tertawa.

   Setelah percakapan itu, mau tak mau kedua belah pihak sama-sama timbul rasa curiga, masing-masing menyangka pihak lawan hendak memancing keterangannya, karena itu pembicaraan selanjutnya menjadi rada canggung.

   Dalam keadaan begitulah telah datang pula dua orang berteduh.

   Seorang adalah pemuda berumur likuran, berbadan perlente seperti putera hartawan atau bangsawan.

   Seorang lagi adalah laki-laki kekar, tampaknya adalah sebangsa pengiring atau tukang pukul.

   Begitu memasuki gudang kayu itu, segera lelaki kekar itu berteriak.

   "Hayo, semua menyingkir! Kongcu-ya kami hendak memanaskan badan!"

   Sementara itu hujan di luar sudah mulai mereda, kedua pendatang baru inipun membawa payung, tapi lantaran baru kehujanan, maka pakaian mereka pun basah kuyup.

   Mengenali kedua pendatang baru itu, yang paling terkejut adalah Sin Liong-sing.

   Kiranya Kongcu-ya yang disebut oleh lelaki kekar itu adalah putera kedua perdana menteri kerajaan Song selatan Han To-yu, yaitu Han Hi-sun, sedangkan lelaki kekar itu adalah pelatih silat istana perdana menteri, yakni Su Hong adanya.

   Merasa diperlakukan dengan kasar, An To-seng menjadi gusar dan menjawab.

   "Hm, kau tahu sopan santun tidak? Api unggun ini kami yang membuatnya, jika kalian ingin menggarang kan harus permisi dulu kepada kami. Mengapa kau berkaok-kaok sesukamu, memangnya kau anggap ini di rumah majikanmu dan boleh sembarangan main bentak?"

   "Hm, Kongcu-ya kami sudi memanggang api bersama kalian berarti suatu kehormatan bagimu, tahu? Sungguh berani kau, masakah kau berani suruh Kongcu-ya kami permisi padamu segala?"

   Demikian Su Hong balas mendamprat.

   "Hah, dia kan Kongcu-yamu dan bukan Kongcu-ya kami, buat apa kami menjilat padanya?"

   Demikian An To-seng menjengek pula.

   "Kukira cara bicaramu harus halus sedikit, mengingat keadaan kalian yang harus dikasihani bisa jadi aku akan terima permohonan majikanmu untuk memanggang api unggun kami itu."

   Sementara itu kawanan pedagang obat itu ada yang dongkol dan ada yang gusar atas ucapan Su Hong tadi.

   Hanya Sin Liong-sing dan Ki Ki berdua yang tetap berdiam diri.

   Sin Liong-sing pernah mewakili gurunya berunding dengan Han To-yu dalam urusan mengadakan perlawanan kepada penyerbuan pasukan Kim, sebab itu dia kenal Han Hi-sun, malahan dia pernah tinggal di istana perdana menteri itu.

   Sorot mata Han Hi-sun dari tubuh An To-seng mulai bergeser ke arah Sin Liong-sing, ia merasa sudah pernah kenal orang bermuka buruk ini, tapi seketika tak teringat.

   Dalam pada itu seorang kuli pengangkut obat-obatan itu sengaja selonjorkan kedua kakinya sehingga suatu tempat yang lowong juga terpenuhi, ia sengaja tidak memberi tempat kepada Han Hi-sun.

   Malahan dia ikut mengolok-olok.

   "Hm, entah darimana datangnya kerbau gila ini. Kita lebih suka memberikan tempat kepada manusia yang tahu sopan santun daripada berjubel dengan seekor kerbau gila."

   Sudah tentu Su Hong menjadi gusar, kontan ia balas mendamprat.

   "Apa katamu? Kau anggap aku ini kerbau gila?"

   Berbareng itu ia terus mendorong kuli itu. Tapi An To-seng sempat menangkis dorongan Su Hong itu sambil berkata.

   "Eh, memangnya kau ingin berkelahi?"

   Kedua tangan beradu dan ternyata sama kuatnya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cuma An To-seng menangkis sambil berduduk, jelas kekuatannya masih setingkat lebih tinggi daripada Su Hong.

   Baru sekarang Sin Liong-sing tahu bahwa juragan obat-obatan she An itu ternyata bukan sembarangan orang.

   Sebab ia kenal kepandaian Su Hong, walaupun tidak tinggi toh sedikitnya terhitung jago kelas dua di dunia Kang- ouw, kini kepandaian An To-seng ternyata lebih tinggi daripada Su Hong, dengan sendirinya orang she An ini bukan pedagang biasa.

   Tiba-tiba Sin Liong-sing ikut bicara.

   "Sesama orang dalam perjalanan, sedapat mungkin harus saling membantu, asalkan kalian bersikap ramah sedikit, tentu juragan An suka memberi bantuan kepada kalian."

   Sembari bicara ia dan Ki Ki terus berbangkit, lalu menambahkan pula.

   "Biarlah kuberikan tempat kami ini dan tidak perlu kalian ribut lagi."

   Kiranya Sin Liong-sing tidak ingin terjadi perang tanding antara Han Hi- sun dan Ang To-seng.

   menurut pertimbangannya, Su Hong tidak perlu ditakuti, tapi kepandaian Han Hi-sun adalah ajaran pendekar jembel Thio Tay-tian dan mahir Keng-sin-ci-hoat, Sin Liong-sing sendiri pun merasa sukar mengalahkannya, An To-seng dapat mengalahkan Su Hong, namun pasti bukan tandingan Han Hi-sun.

   Kalau sampai terjadi pertarungan, akhirnya pasti akan melibatkan Sin Liong-sing.

   Padahal ia tidak ingin dirinya dikenali oleh Han Hi-sun.

   Sebab itulah ia berusaha menjadi juru damai agar An To-seng tidak menelan pil pahit.

   Han Hi-sun melirik sekejap kepada Sin Liong-sing, lalu berkata dengan tertawa.

   "Ha, ha, ucapan saudara ini memang benar. Su Hong, memang cara bicaramu rada kasar, kau mesti minta maaf kepada juragan ini. Eh, juragan, engkau she apa, sudilah kalian merapat sedikit agar kami pun dapat menghangatkan badan?"

   "Kalau sejak tadi engkau berkata demikian kan segala urusan menjadi beres,"

   Omel An To-seng. Lalu ia menyilakan orang berduduk dan memberitahu she dan jenis usahanya. Dengan penasaran kuli pikul obat tadi masih menggerundel.

   "Hm, biarlah kami mengalah menuruti kehendak juragan kami dan Sin-toako ini, tapi jangan kau sangka kami takut padamu."

   Sudah tentu Su Hong sangat mendongkol, tapi lantaran sang majikan sudah memberi perintah, terpaksa ia minta maaf kepada An To-seng dan tidak menggubris kuli itu.

   Ia pun heran mengapa sang majikan mendadak berubah menjadi penakut terhadap beberapa orang kasar itu.

   Dalam pada itu hati Han Hi-sun jadi tergerak ketika mendengar kuli tadi menyebut "Sin-toako", kembali ia pandang sekejap Sin Liong-sing, pikirnya.

   "Ia pun she Sin, tampaknya juga rada mirip murid Bun Yat-hoan itu. Tapi kabarnya Sin Liong-sing sudah mati, apalagi Sin Liong-sing adalah pemuda yang tampan, masakah wajahnya bisa berubah seburuk ini?"

   Di lain pihak Sin Liong-sing juga penuh tanda tanya, ia heran putera perdana menteri kerajaan Song mengapa dan untuk apa datang ke negeri Kim ini? Melihat pandangan sang majikan terarah kepada Sin Liong-sing, sedangkan Sin Liong-sing duduk rapat berdampingan dengan Ki Ki, Su Hong menyangka Han Hi-sun telah penujui nona cilik yang cantik ini, maka ia lantas buka suara pula.

   "He, orang she Sin, apakah nona itu adalah adik perempuanmu? Apa pekerjaan kalian?"

   "Aku adalah orang gelandangan biasa,"

   Sahut Liong-sing tanpa menjawab pertanyaan yang lain.

   "O, jadi kau ini orang gelandangan melarat,"

   Kata Su Hong sambil tertawa.

   "Tapi mudah sekali jika kau ingin cari sesuap nasi, Kongcu-ya kami bersedia memberi makan padamu asalkan mulai sekarang kau dan adik perempuanmu ikut saja Kongcu-ya kami. Mengingat adik perempuanmu yang lumayan ini....."

   Belum habis ucapannya, mendadak An To-seng membentaknya.

   "Kau jangan sembarangan mengoceh, orang she Su! Mereka adalah suami-isteri, tahu?"

   "Ah, suami-isteri kiranya?"

   Tukas Su Hong.

   "Ai, seperti bunga mawar tumbuh di atas kotoran."

   Dengan murka segera Ki Ki bermaksud memberi hajaran kepada Su Hong, tapi diam-diam Sin Liong-sing telah mencegahnya. Namun An To- seng menjadi tidak tahan lagi, segera ia mendamprat.

   "Tutup bacotmu! Sin- toako ini adalah sahabatku, jika kau sembarangan omong lagi, jangan kau menyalahkan aku nanti."

   "Memangnya ucapanku salah? Dia sendiri bermuka buruk, itulah kenyataan, mengapa kau tidak terima? Apa kau ingin berkelahi lagi?"

   Jawab Su Hong tak acuh. Tiba-tiba Sin Liong-sing buka suara.

   "Engkau jangan marah, juragan An, ucapan tuan ini sebenarnya juga betul, memang wajahku sendiri dilahirkan buruk, apa mau dikata lagi?"

   "Nah, bocah inipun mengaku sendiri bahwa ucapanku memang tidak salah,"

   Kata Su Hong dengan bergelak tertawa.

   "He, he, tampaknya bocah ini cukup tahu keadaan juga. Nah, apakah kau mau ikut Kongcu-ya kami, kujamin kau bakal makan enak dan hidup senang."

   "Baiklah, lebih dulu kuhaturkan terima kasih!"

   Kata Sin Liong-sing. Ia duduk di depan Su Hong, maka dengan sedikit membungkuk ia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Jangan sungkan, jangan sungkan. isterimu ini....."

   Belum habis ucapan Su Hong, mendadak ia jatuh telentang, sebelah kakinya terlonjor ke dalam gundukan api hingga dia berkaok-kaok kesakitan terbakar.

   Kiranya Sin Liong-sing telah menggunakan gaya "Tong-cu-pay-kwan-im" (anak menyembah dewi Kwan-im) dan diam-diam mengerahkan tenaga dalam yang kuat dan tepat menggetar Koan-tiau-hiat di bagian dengkul Su Hong.

   Melihat kepandaian Sin liong-sing, Han Hi-sun terkejut.

   Sedangkan An To-seng terkesiap dan juga girang, diam-diam ia merasa bersyukur dapat mengikat persahabatan dengan seorang tokoh silat macam Sin Liong-sing.

   Dengan tertawa An To-seng lantas berolok-olok.

   "He, orang she Su, mulutmu sendiri tidak bersih, pantas kalau mendapat ganjaran setimpal. Lekas bangun saja, nanti api unggun bisa padam."

   Cepat Su Hong merangkak bangun, sebenarnya ia hendak umbar rasa dongkolnya, tapi Han Hi-sun keburu melotot padanya dan berkata.

   "Kau selalu membikin malu saja, jangan ngaco lagi!"

   Lalu ia berkata pula.

   "Sin- toako, kiranya engkau adalah seorang tokoh tersembunyi, aku menjadi kurang hormat padamu. Jika engkau tidak menolak, marilah kita menjadi sahabat." ~ Berbareng ia mengulurkan sebelah tangan mengajak berjabat tangan Sin Liong-sing.

   "Ah, aku mana berani,"

   Sahut Liong-sing merendah diri.

   Ia tahu tak dapat menghindarkan ajakan Han Hi-sun itu, terpaksa ia menjulurkan tangan untuk mengadu tenaga dengan lawan.

   Begitu kedua tangan saling genggam, serentak kedua pihak sama-sama tergetar.

   Diam-diam Sin Liong-sing mengakui tenaga lawan ternyata jauh lebih maju daripada dahulu.

   Sebaliknya Han Hi-sun juga terkejut, ia merasa lwekang lawan sangat aneh, entah berasal dari aliran mana.

   Rupanya Sin Liong-sing kuatir dirinya dikenali orang, maka sengaja menggunakan tenaga dalam ajaran Ki We sehingga membikin Han Hi-sun merasa ragu.

   Selagi Han Hi-sun hendak mengerahkan tenaga sakti Keng-sin-ci-hoat, tiba-tiba terasa disodok oleh semacam tenaga yang sangat kuat dan membuat sesak napasnya.

   Ia terkejut dan cepat melepaskan tangannya agar tidak terluka oleh tenaga dalam lawan yang aneh itu.

   Menyaksikan itu, An Tong-seng juga terkejut, semula ia mengira Han Hi- sun hanya putera hartawan biasa saja dan Su Hong adalah tukang pukulnya, tapi kini dapat diketahui bahwa justru kepandaian "putera bangsawan"

   Itu jauh lebih tinggi daripada Su Hong.

   Begitulah Han Hi-sun menjadi sangsi dan sukar meraba asal-usul Sin Liong-sing, selagi hendak membuka suara pula untuk memancing jawaban dari Sin Liong-sing, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa di luar, hampir bersamaan dengan itu orang yang tertawa itupun melangkah masuk gudang kayu itu.

   Kedua pendatang baru ini terdiri dari seorang lelaki tinggi besar dan seorang lagi pendek kecil, tapi senjata yang tergantung pada pinggang kedua orang ini sama bentuknya, golok panjang.

   "Aha, kita tidak keliru, tempat ini sungguh baik untuk berteduh di samping ada api untuk memanggang daging,"

   Demikian terdengar lelaki kekar tadi berkata. Lalu kawannya yang pendek itu menanggapi.

   "Benar, malahan terdapat tidak sedikit sahabat di sini, kita menjadi tidak kesepian."

   Sembari bicara, lelaki kekar tadi terus menanggalkan mantel yang dia pakai dan dikebaskan sekuatnya sehingga air muncrat mengenai muka orang-orang yang berkerumun di sekeliling api unggun itu.

   Rombongan pedagang obat tadi jadi sangat mendongkol, dengan mata mendelik mereka bermaksud mendamprat, tapi An To-seng keburu memberi tanda kepada mereka agar jangan mencari perkara.

   Lelaki yang pendek tadi juga lantas berseru.

   "Hei, para sahabat, mengapa kalian tidak menyapa kepada tamu yang baru datang dan mengundang kami memanaskan badan?"

   Sambil berkata ia terus melangkah maju, mendadak sebelah kakinya mendepak sehingga sebuah keranjang obat-obatan terguling.

   Sebenarnya keranjang obat-obatan itu tertaruh di pinggir dan tidak menghalangi jalannya, maka mudah diketahui bahwa si pendek itu memang sengaja menggulingkan keranjang itu.

   Tidak begitu saja, bahkan si pendek malah mengomel.

   "Kurangajar! Keranjang sampah apakah sembarangan ditaruh di sini, hampir saja aku jatuh tersandung!"

   Berbareng ia cabut goloknya terus menusuk ke dalam keranjang yang sudah tumplek itu.

   Karena tergulingnya keranjang itu, isinya yang terdiri dari macam-macam bungkusan obat lantas tercecer, sekarang ditusuk pula oleh golok, tentu saja isi bungkusan itu lantas berserakan dan kelihatan apa jenisnya.

   "Aha, sungguh hebat, ada Ko-le-som, Sia-hio, Tang-kui, Ho-si-uh-oh dan sebagainya, semuanya barang mahal dan suka dicari!"

   Demikian seru lelaki pendek itu dengan tertawa.

   Sebagian dari bahan obat-obatan itu berbentuk bubuk, karena bungkusnya pecah dan berserakan di lantai, dengan sendirinya sukar dikumpulkan lagi.

   Tentu saja hal ini sangat menyedihkan dan menimbulkan rasa gusar kawanan pedagang obat tadi.

   Namun An To-seng telah memberi tanda kepada anak buahnya agar menahan perasaan, ia sendiri lantas berdiri dan membentak.

   "Sebenarnya apa kehendak kedua sahabat ini?"

   "Juragan An, kau sendiri sudah berpengalaman, memangnya kau tidak tahu bahwa sudah dua hari kami menguntit jejakmu, memangnya masih perlu tanya pula?"

   Jawab lelaki kekar tadi.

   "Hm, jadi tujuan kedatangan kalian ini adalah diriku,"

   Jengek An To- seng.

   "Jika begitu, hayolah bicara terus terang, mengapa mesti merusak barang kami?"

   "Baiklah jika kau ingin berunding,"

   Kata orang itu.

   "Obat-obatan yang kau bawa ini kami pun perlu pakai, bagi juragan An dapat kami beri kelonggaran, kami hanya minta separohnya saja. Nah boleh kalian kumpulkan lagi dan dibagi rata menjadi dua, kupercaya penuh padamu. Besok pagi-pagi segera kami berangkat, untuk itu minta beberapa tenaga kuli pula darimu."

   "Huh, enak benar cara bicaramu!"

   Jengek An To-seng.

   "Memangnya kau anggap permintaan kami terlalu banyak?"

   Sambung lelaki pendek kecil tadi.

   "Padahal harga yang kami buka cukup pantas dan tanggung bersaing."

   "Juragan, sebenarnya kau ingin cara membagi 4 banding 6 atau minta 3 banding 7, silakan bicara saja,"

   Seru lelaki kekar.

   "Aku tidak ingin cara membagi apa pun juga, aku ingin kalian enyah sekarang juga!"

   Kata An To-seng dengan suara geram.

   "He, he, sekali kami sudah datang, mana bisa enyah begini saja!"

   Jawab lelaki pendek.

   "Wah, menurut ucapanmu, tampaknya kau tak bisa diajak berunding lagi?"

   "Benar,"

   Jawab An To-seng tegas.

   "Jika kalian tidak mau pergi, biarlah kita selesaikan menurut peraturan."

   "Baik, coba katakan bagaimana caranya?"

   Kata lelaki kekar.

   "Kau ingin main kerubut atau satu lawan satu?"

   Tanya An To-seng.

   "Sebelum mulai, kita harus bicara lebih dulu sejelasnya,"

   Ujar lelaki kekar itu, ia memandang sekeliling ruangan, lalu berkata pula dengan tertawa.

   "Aha, pantas juragan An tidak gentar sedikit pun, kiranya kau sudah mengundang bala bantuan di sini. Eh, yang ini bukankah Su Hong, Su-toako adanya?"

   "Kiranya kau masih kenal diriku, Pah-lotoa,"

   Jawab Su Hong.

   "Tapi kau telah salah sangka, seburuk-buruknya orang she Su juga tidak sampai membantu pedagang obat."

   "Ya, memang sudah lama kudengar Su-toako telah mendapatkan Cukong, tentu tidak perlu melakukan pekerjaan tanpa modal (maksudnya membegal) lagi. Selama ini Su-toako tentu makmur dan tinggal dimanakah?"

   "Tajam juga sumber beritamu,"

   Ujar Su Hong.

   "Han-kongcu inilah majikan mudaku. He, he, rasanya juragan An ini belum cocok untuk menjadi sahabat Kongcu-ya kami."

   "Hm, biarpun orang she An adalah kaum keroco juga tidak sudi bergaul dengan kaum pengkhianat,"

   Jengek An To-seng.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tampaknya kalian adalah kenalan lama, nah boleh juga jika kalian mau mengeroyok kami."

   Han Hi-sun mengebaskan kipasnya, katanya dengan acuh tak acuh.

   "Kalian ribut sendiri, sangkut-paut apa dengan diriku?"

   Dengan sikap angkuh ia anggap pertengkaran orang Kang-ouw ini tiada harganya untuk melibatkan dirinya. Maka dengan tertawa Su Hong lantas menyambung.

   "Juragan An, kau tidak perlu kuatir, jelas Kongcu-ya kami tidak mau ikut campur urusan kalian. Sudah tentu aku pun tidak membantu pihak mana pun. Nah, Pah- lotoa dan Han-loji, dengan kepandaian kalian kukira masih cukup berlebihan untuk membereskan kawanan tukang obat ini, bukan?"

   "Ha, ha, ha, terima kasih atas kesediaan Kongcu-ya kalian yang tidak sudi campur tangan, bagi Su-toako tentu kami tahu sendiri dan pasti ada komisinya nanti,"

   Ujar lelaki kekar itu dengan tertawa.

   Setelah mendengar she kedua bandit yang disebut Su Hong tadi, An To- seng jadi teringat kepada kedua penjahat yang terkenal dengan ilmu golok kilat, yaitu Pah Thian-hok dan Han Thian-siu.

   Kedua bandit ini adalah saudara seperguruan dan cukup terkenal di kalangan hitam selama belasan tahun ini.

   Cuma selama ini An To-seng tak pernah bertemu dengan mereka.

   Dalam pada itu sorot mata Han Thian-siu mulai beralih kepada Sin Liong-sing, ia berkata pula.

   "Dan bagaimana dengan sahabat ini?"

   Selagi Sin Liong-sing hendak bicara, mendadak An To-seng mendahului.

   "Mereka suami-isteri kebetulan berteduh di sini karena tadi kehujanan, tidak perlu melibatkan mereka yang tiada sangkut-paut dengan urusan kita."

   "Baik, tak peduli kalian ada berapa orang, yang pasti kami siap menghadapi,"

   Ujar lelaki kasar yang bernama Pah Thian-hok.

   "Nah, sekarang juragan An ingin satu lawan satu juga boleh."

   "Bagus, kau harus pegang teguh ucapanmu ini, biar aku menghadapi kau untuk menentukan kalah menang,"

   Jawab An To-seng.

   "Tapi kalau juragan An kalah, maka barang yang kau bawa ini tidak terbatas separoh lagi yang kami kehendaki,"

   Kata Pah Thian-hok dengan tertawa.

   "Ya, jika kukalah, semua barangku boleh kau ambil, bahkan kuberikan kepalaku pula,"

   Jawab An To-seng dengan gusar.

   "Dan bagaimana jika kau yang kalah?"

   "Bagaimana keinginanmu?"

   Tanya Pah Thian-hok.

   "Aku tidak perlu kepalamu, cukup asal kalian segera enyah dari sini!"

   Jawab An To-seng.

   "Jadi!"

   Seru Pah Thian-hok.

   "Nah, Han-sute, kau awasi mereka!"

   "Aku tahu,"

   Jawab Han Thian-siu.

   "Asal mereka tidak bergerak tentu aku pun tidak perlu turun tangan."

   "Baiklah, majulah sekarang!"

   Bentak An To-seng sambil pasang kuda- kuda.

   "Sudah lama kudengar ketujuhpuluh dua jurus Kim-na-jiu-hoat juragan An sangat hebat, biarlah sekarang kubelajar kenal dengan kepandaianmu. Awas!"

   Kata Pah Thian-hok, berbareng goloknya lantas menabas.

   "Golok kilat"

   Pah Thian-hok memang tidak bernama kosong, dalam sekejap saja semua orang yang menyaksikan di samping merasa silau oleh sinar golok yang kemilauan di tengah berkelebatnya bayangan orang.

   Dengan tenang An To-seng menghadapi lawannya, ia menerobos kian kemari di antara sinar golok yang menyambar dengan cepatnya.

   Bila Pah Thian-hok mendesak maju, segera ia mencengkeram bagian mematikan di tubuh musuh sehingga terpaksa Pah Thian-bok melompat mundur lagi.

   Sekaligus Pah Thian-hok telah memainkan gerakan 6 X 6 = 36 jurus goloknya, tapi sama sekali tak dapat mengenai sasaran, sebaliknya beberapa kali ia sendiri hampir kena dicengkeram tangan An To-seng.

   Melihat pertarungan itu, Sin Liong-sing merasa lega, ia yakin akhirnya pasti juragan An yang keluar sebagai pemenang meski sekarang tampaknya Pah Thian-hok menyerang dengan ganas.

   Sama sekali tak tersangka oleh Pah Thian-hok bahwa permainan tangan kosong An To-seng ternyata jauh lebih lihai daripada apa yang diduganya.

   Diam-diam ia mengeluh, apalagi pihak lawan masih ada teman lain lagi.

   Walaupun sudah berjanji satu lawan satu, terpaksa ia memberi isyarat kepada Han Thian-siu agar mencari kesempatan untuk membantunya.

   Han Thian-siu memang sudah melihat keadaan sang Suheng yang tidak menguntungkan itu, setelah mendapat kode, segera ia mencari perkara.

   Ia sengaja mendepak sebuah keranjang obat pula sehingga isinya tertumpah porak-poranda.

   Keruan kawanan tukang obat menjadi gusar, tanpa pikir mereka lantas memaki, ketika Han Thian-siu balas memaki, bahkan meludahi salah seorang kuli pikul, serentak kawanan tukang obat itu mengerubut maju, dan memang inilah yang diharapkan Han Thian-siu agar ada alasan untuk ikut bertempur.

   Sudah tentu kawanan tukang obat itu bukan tandingan Han Thian-siu, beberapa orang kena ditendang terjungkal, dua-tiga orang terluka pula oleh goloknya, untung hanya luka ringan saja.

   Ketika golok Han Thian-siu menyambar pula dan tampaknya jiwa seorang kuli itu bakal melayang, terpaksa An To-seng melompat ke sana untuk menolongnya.

   Lebih dulu kedua jarinya menyolok mata Han Thian- siau.

   Dalam keadaan demikian kalau golok Han Thian-siu tetap menabas dan jiwa kuli pikul itu pasti melayang, tapi kedua matanya sendiri juga pasti buta.

   Dengan sendirinya Han Thian-siu tak mau mengambil resiko ini, terpaksa ia mendongak ke belakang untuk menghindari serangan dan menarik kembali goloknya untuk balas menyerang pada An To-seng.

   Setelah menyelamatkan anak buahnya, segera An To-seng berseru.

   "Lekas kalian berangkat dengan barang kita, biar kulayani sendiri bandit ini!"

   Tapi kawanan tukang obat itu mana mau meninggalkan pimpinannya, seru seorang.

   "Tidak, An-toako! Hidup atau mati biarlah kita hadapi bersama, terpaksa kami tak dapat menuruti perintahmu!"

   An To-seng tahu anak buahnya itu cukup setia kawan, tidak nanti mau meninggalkan dia dalam keadaan bahaya.

   Sementara itu golok Pah Thian- hok telah menyambar lagi dari belakang, terpaksa An To-seng mengertak gigi dan bertempur dengan mati-matian.

   Dalam keadaan biasa sebenarnya An To-seng cukup kuat untuk melawan Han Thian-siau atau Pah Thian-kok jika satu lawan satu, tapi kini kedua saudara seperguruan itu bergabung dengan ilmu golok mereka yang dapat bekerja sama dengan rapat, apalagi dia harus pula mengawasi keselamatan anak buahnya, tentu saja keadaannya makin gawat dan payah.

   "Ha, ha, ha! Tampaknya komisi bagianku sudah pasti kudapat!"

   Seru Su Hong dengan bergelak tertawa. AMBIL mengipas perlahan Han Hi-sun juga bersuara dengan angkuh.

   "Ramai juga perkelahian mereka, cuma tidak begitu menarik!"

   Diam-diam Sin Liong-sing memperkirakan kawanan tukang obat itu pasti akan celaka jika dirinya tidak segera turun tangan, tapi kalau ikut campur, tentu Han Hi-sun juga akan maju.

   Perimbangannya tetap pihak lawan lebih kuat.

   Tapi dalam keadaan gawat terpaksa tak dapat berpikir terlalu banyak lagi.

   Sedang Sin Liong-sing bermaksud turun tangan, tiba-tiba terdengar suara berdetaknya kaki kuda untuk kemudian mendadak berhenti di depan gudang kayu itu.

   Sementara itu hujan sudah berhenti, maka terdengar dengan jelas pendatang itu adalah tiga penunggang kuda.

   "Entah siapa yang datang ini, syukurlah kalau kawan juragan An ini,"

   Pikir Sin Liong-sing. Dalam pada itu tiga orang itu telah melangkah masuk, seketika Liong-sing terkejut. Kiranya pendatang itu adalah dua orang Busu bangsa Mongol dan seorang perwira kerajaan Kim.

   "Berhenti semua!"

   Demikian perwira Kim itu membentak. Tapi pertarungan yang berlangsung sengit itu seketika sukar dihentikan. Maka perwira itu berteriak pula.

   "Kalian tidak menurut perintahku, baik, biar kalian tahu rasa!"

   Di tengah suaranya itu, sekonyong-konyong selarik sinar perak berkelebat, terdengarlah suara gemerincing nyaring, golok yang dipegang Han Thian-siu dan Pah Thian-hok terkutung menjadi dua, lengan baju An To-seng juga tertabas robek, pikulan kuli obat juga tertabas putus, belum terhitung senjata lain.

   Hanya satu jurus ilmu pedang saja perwira itu sudah mengutungi atau menjatuhkan senjata sebanyak itu, keruan semua orang melongo kaget, mau tak mau semuanya berhenti bertempur.

   Jilid 44 S Sin Liong-sing juga terkejut, ia jadi ingat pada cerita gurunya bahwa Wanyan Tiang-ci mempunyai seorang pembantu yang terkenal sebagai ahli pedang, namanya Kim Kong-jan, apakah mungkin orang ini adanya? Benar juga segera terdengarlah salah seorang Busu Mongol tadi berkata dengan tertawa.

   "Kim-tayjin, ilmu pedangmu sungguh maha lihai dan tidak bernama kosong."

   "Mereka tidak ada harganya dibereskan kalian, terpaksa aku yang bergerak,"

   Ujar Kim Kong-jan dengan tertawa. Lalu ia berpaling dan membentak pula kepada kawanan tukang obat tadi.

   "Kalian berdiri di tempat dan dilarang bergerak, tunggu kuperiksa semuanya!"

   Karena tidak ingin dirinya dikenali orang, apalagi menduga pihaknya pasti bukan tandingan pihak lawan yang jauh lebih kuat, terpaksa Sin Liong- sing ikut berdiri. Begitu pula Su Hong. Hanya Han Hi-sun saja yang masih tetap berduduk dengan angkuhnya.

   "Siapa kau? Berani kau....."

   Belum habis Kim Kong-jan membentak, mendadak Han Hi-sun membentang kipasnya yang bersepuh emas itu, sambil mengebas perlahan ia menjawab dengan angkuh.

   "Kau perwira kerajaan Kim bukan? Tentunya kau kenal kipas ini? Setelah mengamati sekejap, Kim Kong-jan terkejut, katanya.

   "O, kiranya engkau adalah sahabat Siau-ongya kami, maafkan!"

   Rupanya kipas Han Hi-sun itu adalah pemberian Wan-yan Ho, di atas kipas ada tulisan tangan Wan-yan Ho sendiri, Kim Kong-jan kenal tulisan tangan Wan-yan Ho itu. Dengan lagak tuan besar Han Hi-sun berkata.

   "Tidak apalah karena kau tidak tahu. Aku pun tidak menghalangi tugasmu, bolehlah kau periksa mereka."

   Mendadak kedua Busu Mongol mendekati Han Hi-sun dan Su Hong, setelah mengawasi sejenak, seorang di antaranya berkata.

   "O, jadi kau ini sahabat Wan-yan Ho, kau datang darimana?"

   "Dari Kang-lam,"

   Jawab Han Hi-sun tanpa pikir.

   "O, dari Kang-lam? Siapa namamu?"

   Tanya Busu itu pula. Cepat Kim Kong-jan mengedipi Han Hi-sun dan mewakilkan menjawab.

   "Dia she Kim, dia diperintahkan Siau-ongya kami untuk mencari berita musuh di Kang-lam, dia bukan orang Song."

   Barulah sekarang Han Hi-sun menyadari kekeliruan jawabannya tadi, mestinya tidak boleh bicara terus terang kepada Busu Mongol itu.

   Sebaliknya Sin Liong-sing seketika menjadi bingung mendengar tanya jawab mereka itu, ia tidak paham mengapa Kim Kong-jan sengaja menutupi asal-usul Han Hi- sun.

   Ternyata Busu Mongol tadi sudah mulai curiga, ia berkata pula kepada Kim Kong-jan.

   "Tadi kau tidak kenal dia, mengapa sekarang kau mengetahui dia she Kim?"

   "Pernah kudengar dari Siau-ongya, ketika dia memperlihatkan kipasnya tadi, segera kuingat siapa dia,"

   Jawab Kim Kong-jan.

   "Apa betul dia she Kim? Kukira tidak betul!"

   Ujar Busu Mongol itu, berbareng pergelangan tangan Han Hi-sun terus dicengkeramnya.

   Seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, apabila mendadak mendapat serangan, secara otomatis pasti akan mengeluarkan kepandaiannya untuk melawan.

   Begitu ketika Han Hi-sun terkejut, segera ia memutar tangannya, berbareng jarinya balas menotok tangan lawan.

   Dengan kuat Busu Mongol mengipatkan tangannya, Han Hi-sun tergentak mundur dua-tiga tindak, tapi segera terdengar suara gedubrakan, ternyata Su Hong telah jatuh terjengkang.

   Rupanya dia memburu maju hendak membantu sang majikan, akibatnya dia kena dibanting roboh oleh Busu Mongol yang lain.

   Busu yang menghadapi Han Hi-sun tadi lantas berkata pula dengan tertawa.

   "Ha, ha, kau she Han dan putera Han To-yu, betul tidak?"

   Lekas Han Hi-sun menjawab.

   "O, bukan, aku..... aku....."

   Belum habis ucapannya, mendadak Busu Mongol itu mengeluarkan kepandaian khas orang Mongol, yaitu ilmu gulat sejenis judo, dengan sekali pegang ia tarik Han Hi-sun ke atas pundaknya terus dibantingnya ke belakang.

   Dalam keadaan kepepet, segera Han Hi-sun menotok juga Koh-cing-hiat di pundak lawan dengan Keng-sing-ci-hoat yang lihai.

   Tentu saja Kim Kong-jan menjadi kelabakan, cepat ia berseru.

   "Harap kalian menghormati Siau-ongya kami, orang ini memang betul ditugaskan ke Kang-lam atas perintah Siau-ongya kami."

   Belum habis ucapannya, terdengarlah suara "bret"

   Satu kali, baju Han Hi-sun terobek, sepucuk surat telah berpindah ke tangan Busu Mongol itu.

   Han Hi-sun sendiri lantas roboh terkulai.

   Kejadian mendadak ini tidak melulu Kim Kong-jan saja yang terkejut, bahkan Sin Liong-sing juga melongo kaget.

   Tadinya Sin Liong-sing kuatir kalau Han Hi-sun dan Kim Kong-jan adalah satu komplotan dengan kedua Busu Mongol itu, tak terduga orang pertama yang dirobohkan Busu Mongol itu justru adalah Han Hi-sun malah.

   Padahal kepandaian Han Hi-sun juga tidak lemah, mengapa hanya sekali dua gebrak saja lantas terbanting roboh oleh lawannya? "Hei, coba sini, bacakan surat ini, apa yang tertulis pada surat ini, apakah surat ini berasal dari kerajaan Song?"

   Tiba-tiba Busu Mongol itu memanggil Sin Liong-sing. Sudah tentu Sin Liong-sing tidak sudi membantu orang Mongol biarpun Han Hi-sun juga bukan manusia baik. Segera ia menjawab.

   "Maaf, aku tidak pernah sekolah, aku buta huruf."

   Dengan mendongkol Busu Mongol itu hendak mendamprat, tapi mendadak tangannya terasa gemetar, surat yang dipegangnya mendadak jatuh ke lantai.

   Kiranya dia juga tertotok oleh Keng-sin-ci-hoat yang digunakan Han Hi- sun, meski lwekangnya cukup lihai dan tidak mengalami cidera apa pun, namun Keng-sin-ci-hoat memang hebat, betapa pun tangan Busu Mongol itupun tergetar, sedikit gemetar itulah surat yang dipegangnya itu lantas jatuh.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kesempatan itu segera digunakan oleh Han Hi-sun, sebelah kakinya lantas menyapu sehingga surat itu masuk gundukan api unggun, dalam sekejap saja surat itupun terbakar menjadi abu.

   Busu Mongol itu menjadi gusar, segera ia angkat Han Hi-sun dan dibanting ke api unggun itu.

   Syukur Kim Kong-jan keburu melompat maju untuk memegang tubuh Han Hi-sun, katanya.

   "Harap mengingat Ong-ya kami dan suka ampuni orang ini."

   Dengan mendengus Busu Mongol itu berkata.

   "Ong-ya kalian ingin bersekutu dengan kami untuk membasmi Song, tapi secara diam-diam Siau- ongya kalian juga berkomplot dengan pihak Song, tentunya bermaksud jahat terhadap Mongol kami. Hm, masakah Ong-ya dan Siau-ongya kalian bertindak sendiri-sendiri, kukira satu dan lain adalah tipu muslihat Ong-ya kalian bukan?"

   Baru sekarang Sin Liong-sing mengetahui jalan pikiran mereka.

   Rupanya Wanyan Tiang-ci bersekongkol dengan Mongol dengan maksud merebut takhta, sedangkan Han To-yu dan puteranya bersekongkol dengan Wanyan Tiang-ci juga ingin menjual negara demi kedudukan sendiri.

   "Harap tuan jangan curiga, mana Ong-ya kami dapat berbuat begitu?"

   Ujar Kim Kong-jan dengan tertawa.

   "Apabila Ong-ya kami mempunyai maksud buruk, mana beliau mau mengutus diriku ikut membantu kalian?"

   Dalam pada itu Han Hi-sun menjadi murka, sebagai putera perdana menteri, selamanya dia belum pernah mengalami hinaan begitu. Maka begitu dia dilepaskan Kim Kong-jan, dengan mendelik segera dia menubruk pula ke arah si Busu Mongol.

   "He, kau ingin berkelahi lagi?"

   Bentak Busu Mongol yang lain.

   Dia memegang sepotong gada, begitu bergerak, serentak ujung gada mengancam tiga Hiat-to di tubuh Han Hi-sun.

   Ilmu menotok Busu Mongol ini sungguh aneh dan lihai luar biasa, biarpun Han Hi-sun sendiri terhitung ahli Tiam-hiat, ternyata tidak mampu menghindari serangan musuh, tahu-tahu satu tempat Hiat-to tertotok, kontan ia roboh pula.

   Sekali ini dia tidak sanggup merangkak bangun lagi.

   Kiranya Busu Mongol pertama tadi bernama Sipatoh, terhitung jago pilihan yang jarang ada tandingannya, di negeri Mongol kepandaiannya hanya di bawah Liong Siang Hoat-ong saja.

   Malahan kepandaiannya yang khas, yaitu ilmu gulat gaya Mongol, boleh dikata terhitung nomor satu di Mongol.

   Jika berkelahi secara wajar sebenarnya Han Hi-sun dapat bertahan beberapa puluh jurus, sebabnya dia dirobohkan tadi adalah karena tidak terduga-duga dan tahu-tahu dibanting dengan ilmu gulat Mongol.

   Busu Mongol yang menotok Han Hi-sun dengan gada tadi bernama Ubun Hoa-kip, dia adalah murid ketiga Liong Siang Hoat-ong.

   Meski murid ketiga, tapi kepandaiannya terhitung nomor satu di antara sesama saudara seperguruannya, lebih-lebih ilmu Tiam-hiat yang menjadi kebanggaannya.

   Karena cara menotoknya yang khas ajaran Liong Siang Hoat-ong itu, maka sukar bagi Han Hi-sun untuk membuka Hiat-to sendiri yang tertotok meskipun ia sendiri pun ahli Tiam-hiat.

   Begitulah Sipatoh lantas berkata.

   "Baiklah, sementara ini boleh kuampuni bocah ini, nanti setelah beres urusan kita, akan kubawa dia pulang untuk diperiksa lagi."

   Kim Kong-jan pikir kalau sudah pulang ke Tay-toh, tentu Wanyan Tiang- ci dapat menyelamatkan Han Hi-sun, maka sementara ia pun tidak banyak bicara lagi, ia berpaling dan menanyai An To-seng dan lain-lain.

   "Siapakah kalian ini, mengapa kalian berkelahi di sini?"

   "Kami adalah pedagang obat-obatan,"

   Tutur An To-seng.

   "dan mereka ini adalah kaum bandit, mereka hendak merampas bahan obat kami yang berharga ini."

   Cepat Pah Thian-ho menukas.

   "Lapor Tayjin, sebabnya kami hendak merampas barang mereka ada cukup alasannya?"

   "O, apa alasanmu?"

   Tanya Kim Kong-jan.

   "Orang ini she An, dia bersekongkol dengan kawanan bandit di Kim- keh-nia, bahan obat yang mereka angkut ini hendak diberikan kepada kawanan bandit di Kim-keh-nia itu,"

   Tutur Pah Thian-hok.

   "Ngaco-belo!"

   Damprat An To-seng.

   "Kalian sendiri adalah bandit, tapi berani memfitnah orang lain?"

   Mendengar An To-seng bersekongkol dengan kawanan bandit Kim-keh- nia, hati Kim Kong-jan terkesiap, cepat ia tanya Pah Thian-hok pula.

   "Kau bilang mereka berkomplot dengan bandit Kim-keh-nia, apa kau mempunyai bukti?"

   "Bukti tidak ada, tapi hal ini betul-betul kami ketahui dengan pasti,"

   Jawab Pah Thian-hok.

   "Agar Tayjin yakin akan keterangan kami, harap maklum bahwa Houyan Hoa yang kini juga mengabdi di bawah Wanyan-ongya adalah kenalan baik kami,"

   Cepat Han Thian-siu menyambung.

   "O, jadi kalian kenal Houyan Hoa,"

   Kata Kim Kong-jan.

   "Baiklah, tentang urusanmu ini sementara tak perlu kutanya, aku hanya ingin tahu, apakah kalian pernah melihat dua orang tua, nama mereka Siangkoan Hok dan Ki We, juga seorang bernama Sin Liong-sing....." ~ Lalu ia pun melukiskan wajah orang-orang yang dimaksud. Akan tetapi Pah Thian-hok dan lain-lain menjawab tidak tahu. Sipatoh menjadi tidak sabar, omelnya.

   "Buat apa banyak omong dengan mereka, enyahkan saja mereka dari sini!"

   Habis itu segera ia tarik seorang anak buah An To-seng dan dilemparkan ke pojok sana.

   Dia menggunakan cara memegang gulat Mongol, keruan orang itu tidak mampu melawan, ia terbanting dan tak bisa berkutik.

   Segera Kim Kong-jan melolos pedang dan berturut-turut Hiat-to Pah Thian-hok dan Han Thian-siau ditusuknya sehingga terjungkal.

   Ubun Hoa- kip juga menjojoh Hiat-to An To-seng dengan gadanya sehingga roboh terkulai.

   Segera anak buah An To-seng yang lain mengerubut maju, tapi dengan mudah saja mereka dipegang dan dilemparkan ke sudut ruangan sana setelah Hiat-to mereka tertotok.

   Dalam waktu singkat saja belasan orang itu tertimbun menjadi tumpukan yang cukup tinggi.

   Ketika akan tiba giliran Han Hi-sun dilemparkan, mendadak ia berseru.

   "Kalian ingin mencari Sin Liong-sing bukan? Aku tahu dia berada dimana!"

   "Dimana dia? Lekas katakan!"

   Seru Kim Kong-jan kegirangan.

   "Cara bagaimana aku harus bicara, sedangkan aku ini tawanan atau tamu juga belum jelas,"

   Jengek Han Hi-sun. Kim Kong-jan merasa serba salah, terpaksa ia membujuk kawannya pula.

   "Ubun-tayjin, tuan ini memang betul adalah kawan baik Siau-ongya kami, apalagi dia membawa berita bagi kita, sudikah engkau membebaskan dia saja?"

   "Suruh dia bicara dulu, kalau beritanya benar tentu akan kubebaskan dia!"

   Kata Sipatoh.

   "Ba..... bagaimana tuan..... tuan ini,"

   Terpaksa Kim Kong-jan membujuk pula Han Hi-sun.

   "silakan memberi sedikit keterangan tentang Sin Liong- sing, mengenai salah pahammu dengan Si-tayjin sebentar tentu dapat diselesaikan."

   "Baiklah, mengingat Siau-ongya kalian, biarlah aku mengalah,"

   Ujar Han Hi-sun.

   "Tentang Sin Liong-sing, bukan saja aku dapat mendapat berita, bahkan segera kalian dapat menangkapnya."

   "Apa betul?"

   Kim Kong-jan merasa ragu.

   "Dimana dia sekarang?"

   "Jauh di ujung langit, dekat seperti di depan mata!"

   Kata Han Hi-sun sambil menuding Sin Liong-sing.

   "Nah, inilah dia orangnya. Aku pernah bergebrak dengan dia, aku tahu dengan pasti bahwa dia inilah Sin Liong- sing adanya."

   Sedapatnya Sin Liong-sing bersikap tenang, jengeknya.

   "Hm, kau bukan tandinganku, sekarang main fitnah, sungguh kotor!"

   "Betul atau tidak, sekali coba segera kutahu!"

   Bentak Kim Kong-jan, berbareng ia terus menghantam.

   Melihat serangan maut musuh sudah tiba, tiada jalan lain bagi Sin Liong- sing kecuali harus menangkis.

   Maka terdengarlah suara keras beradunya tangan, Kim Kong-jan tergetar mencelat mundur, sebaliknya Sin Liong-sing juga terhuyung.

   Dengan gusar Kim Kong-jan membentak pula.

   "Keparat, sekarang kau tak bisa menyangkal lagi! Lekas serahkan dirimu!"

   "Aku tak tahu apa yang kau maksud, tapi kalau kau bersikeras menuduhku, apa boleh buat!"

   Terlihat cahaya pedang berkilauan, Kim Kong-jan telah mencabut pedangnya, sambil menuding ke dada lawan, bentaknya.

   "Tampaknya kau tak mau menyerah sebelum melihat sungai Hong-ho, akan kusuruh kau merasakan kelihaianku!"

   Habis itu lantas terdengar suara mendering nyaring memekakkan telinga, Kim Kong-jan telah melolos pedang dan menyerang dengan cepat, tapi serangan balasan Sin Liong-sing juga tidak kalah cepatnya, pedangnya juga berputar dan terjadilah pertarungan sengit.

   Ilmu pedang Kim Kong-jan memang hebat, tapi Sin Liong-sing melayani dengan ilmu pedangnya yang sama lihainya, sampai ratusan jurus Kim Kong- jan tetap tak dapat mengatasi lawannya, sebaliknya malah kelihatan mulai kewalahan.

   Melihat pertarungan yang berlangsung itu, kedua orang Busu Mongol itu manggut-manggut sambil membatin.

   "Kim Kong-jan disebut jago nomor wahid dari negeri Kim, tapi kepandaian yang dimiliki bocah itu jauh lebih hebat, kelihatannya dia memang Sin Liong-sing."

   Begitu melepaskan tusukan, ujung pedang Kim Kong-jan yang bergetar nyaring membentuk tiga kuntum bunga pedang, inilah jurus pamungkas dari ilmu pedang Sam-jay-kiam-hoat andalannya, dalam satu tusukan terbagi tiga sasaran, serangan yang terpancar seolah menyerang ke kiri dan seakan mengancam sisi kanan, membuat musuh susah menghadapi.

   Sin Liong-sing tidak mundur atau berkelit, dengan membentuk gerak lingkaran dia songsong datangnya ancaman itu.

   "Ilmu pedang hebat, kalian berdua sama-sama lihai!"

   Puji Sipatoh nyaring.

   Kembali terjadi bentrokan nyaring disusul dua sosok bayangan saling terpisah.

   Rupanya dalam keadaan kritis, Sin Liong-sing telah melancarkan sebuah serangan balasan dengan ilmu pedang ajaran Sin Cap-si-koh.

   Jurus pedang ini aneh dan sakti, biarpun Kim Kong-jan seorang jagoan tangguh, untuk sesaat dia dibuat kelabakan juga menghadapi ancaman lawan.

   Masih untung ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi, begitu hatinya tergerak, cepat dia ubah gerakan pedangnya dari menyerang jadi bertahan, dalam waktu singkat terjadi tujuh-delapan benturan keras dan tetap bertahan seimbang.

   Hanya saja, biarpun Kim Kong-jan tidak memahami rahasia ilmu pedang keluarga Sin, namun setelah menghadapi serangkaian serangan yang dilancarkan Sin Liong-sing, bukan saja dia segera tahu lawannya adalah ahli waris ilmu pedang keluarga Sin, bahkan berani memastikan pemuda bercodet yang bertarung melawan dirinya sekarang adalah keponakan Sim Cap-si-koh, yang juga merupakan murid Bun Yat-hoan, Sin Liong-sing adanya.

   Ini disebabkan jurus pedang yang digunakan Sim Liong-sing meski merupakan ilmu pedang keluarga Sin, namun tenaga dalam yang dipakai adalah aliran kaum lurus.

   Siapa lagi orang yang memiliki dua jenis ilmu sakti itu sekaligus kecuali Sin Liong-sing? Dengan tertawa dingin Kim Kong-jan segera mengejek.

   "Bocah keparat, rahasiamu sudah terbongkar, buat apa mungkir lagi?"

   Begitu mundur dia merangsek maju lagi, secara beruntun dia melancarkan tiga serangan berantai yang membuat sekujur tubuh Sin Liong- sing terkurung di bawah cahaya pedangnya. Lagi-lagi ujarnya.

   "Sipatoh-tayjin, telah kubuktikan identitas aslinya. Keparat ini memang tak lain adalah menantu Ki Wi, berarti budak itu pasti puteri Ki Wi. Tolong kau bebaskan jalan darah Kim-heng dan tangkap budak itu."

   "Tak usah terburu napsu,"

   Jawab Sipatoh sambil tertawa.

   "rasanya belum terlambat menunggu sampai kau berhasil menangkap dia, menanyai dirinya kemudian baru membebaskan totokan jalan darahnya. Tentang nona cilik ini, biar aku mengawasinya dan takkan kubiarkan dia kabur. Kami kaum Busu dari Mongol tidak terbiasa menganiaya seorang nona cilik."

   Tentu saja hal ini bukan lantaran "niat baik"

   Sipatoh, rupanya dia memang berniat mengamati permainan pedang jago nomor wahid dari negeri Kim ini.

   "Biar saja dia mendapat sedikit pelajaran,"

   Demikian pikirnya.

   "setelah itu baru aku turun tangan membekuk bocah she Sin ini, agar dia kagum dengan kehebatanku."

   Sebagaimana diketahui, intisari suatu ilmu pedang kenamaan biasanya susah terlihat dalam keadaan biasa.

   Sipatoh yakin Sin Liong-sing dan Ki Ki tak mungkin lolos dari situ, maka dia berniat menikmati dulu kehebatan ilmu pedang kedua orang itu karena hal itu akan sangat bermanfaat bagi dirinya.

   Dongkol bercampur jengkel Kim Kong-jan, pikirnya.

   "Sialan, kalau aku gagal membekuk keparat ini, kau pasti memandang hina diriku."

   Siapa sangka semakin panik hatinya, makin susah baginya untuk menaklukkan lawan.

   Sin Liong-sin menghadapi desakan lawan dengan tenang, sebentar dia hadapi musuh dengan ketangguhan ilmu pedang warisan keluarganya, terkadang dia pun menyerang dengan menggunakan jurus totokan pit ajaran Bun Yat-hoan yang disisipkan dalam jurus pedangnya.

   Tak selang berapa saat kemudian seratus gebrakan sudah lewat, bukan saja Kim Kong-jan gagal memperoleh keuntungan, sebaliknya dia justru mulai tercecar hebat.

   Sekonyong-konyong dentingan nyaring diiringi percikan bunga api bergema di angkasa, ujung pedang Kim Kong-jan tahu-tahu gumpil sebagian, dengan terperanjat ia melompat mundur.

   "Mundur dulu, Kim-tayjin, serahkan padaku saja!"

   Seru Sipatoh dengan tertawa, berbareng ia terus menerjang maju menggantikan Kim Kong-jan, dengan kedua tangannya ia main cengkeram, memotong, menotok dan macam-macam gerak serangan yang lihai.

   Tenaga Sin Liong-sing sudah banyak hilang melawan Kim Kong-jan tadi, ia merasa daya tekanan kedua tangan musuh makin lama semakin kuat, bayangan tangan lawan seakan-akan selalu menyambar di depan mukanya dan setiap saat dapat merobeknya.

   Dengan mempertaruhkan keselamatan jiwanya Sin Liong-sing bertarung mati-matian, ujarnya dingin.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Toh nyawaku hanya satu, tak bakal aku takut menghadapi taktik pertarungan bergilir kalian berdua!"

   Sipatoh menarik muka, sepasang tangan dipentang, lagi-lagi dia melancarkan cengkeraman maut.

   Pedang Sin Liong-sing bergetar membentuk gerakan setengah lingkaran, bertahan sambil menyerang.

   Bila Sipatoh memaksakan diri dengan cengkeramannya, niscaya lengannya akan terkutung.

   Kim-na-jiu-hoat Sipatoh memang hebat, cepat dia membabat lutut lawan, memaksa Sin Liong-sing menarik kembali ancamannya.

   Sipatoh memaki.

   "Bocah keparat, hebat juga kepandaianmu, tak sangka kau mampu menghadapi tiga jurus seranganku. Lebih baik menyerah saja, kau tak bakal menangkan aku! Mengingat kau sanggup menahan tiga seranganku, pasti aku akan mintakan ampun kepada Kok-su agar tidak membunuhmu."

   Sementara itu matanya melirik ke arah Kim Kong-jan. Betapa mendongkolnya Kim Kong-jan menyaksikan hal ini, pikirnya.

   "Huh, apa hebatmu, kau toh hanya mengambil keuntungan dariku."

   Dalam pada itu Sin Liong-sing telah mengumpat.

   "Kentut, biar tak mampu melawanmu, aku tetap akan bertarung."

   "Ai, kau bocah busuk ini memang tak tahu diri,"

   Sahut Sipatoh sambil menggeleng.

   Sepasang tangannya menyerang makin gencar, memaksa Sin Liong-sin mundur terus, biarpun ia berpedang, namun ia hanya bisa menangkis dan berkelit.

   Makin bertarung makin sengit, tiba-tiba terdengar Kim Kong-jan menyindir.

   "Sipatoh-tayjin, bukankah kau bilang Kungfumu hebat, kenapa selewat limapuluh gebrakan masih belum berhasil membekuknya? Untung dia sudah bertarung dulu denganku, anggap saja kau hebat, buktinya bisa bertahan sampai kini."

   Merah padam paras muka Sipatoh.

   "Baiklah,"

   Ia berteriak.

   "saksikan saja, tak sampai limapuluh gebrakan aku pasti berhasil membekuk bocah busuk ini!"

   Biarpun tidak dihitung, namun dia tahu empatpuluh gebrakan sudah lewat, itu berarti dalam sepuluh gebrakan berikutnya ia harus mengeluarkan seluruh kemampuannya.

   Saat itu posisi Sin Liong-sing sudah di ujung tanduk, ia sadar bila musuh mengerahkan segenap kemampuannya, kecil kemungkinan baginya untuk bertahan.

   "Lekas lari, adik Ki!"

   Cepat ia berseru kepada Ki Ki. Namun mendadak si nona melompat maju dan berteriak.

   "Engkoh Liong, biarlah kita mengadu jiwa saja dengan mereka!"

   Berbareng golok terus membacok Sipatoh dari arah yang sama sekali tak terduga sehingga hampir saja Sipatoh termakan.

   Walaupun begitu, Sipatoh memang tidak malu sebagai Busu terkemuka di negeri Mongol, sebagai murid Liong Siang Hoat-ong, ilmu pukulannya Liong-siang-kang sungguh luar biasa dahsyatnya.

   Berulang Sin Liong-sing harus melompat mundur untuk menghindari pukulan maut musuh.

   Pada suatu ketika, mendadak Sipatoh melontarkan pukulan dahsyat Liong-siang-kang yang telah mencapai tingkatan tertinggi, terdengar suara gemuruh, sebagian dari bangsal kayu itu telah ambruk karena sebuah tiangnya patah oleh tenaga pukulan Sipatoh itu.

   Kim Kong-jan sempat melompat keluar, bahkan dia masih sempat mendepak Han Hi-sun ke pinggir sana.

   Sial bagi yang lain, mereka tertindih sungsang-sumbel oleh papan kayu, untung robohnya bangsal itu cuma sebagian saja sehingga mereka tidak sampai mati tertindih.

   Pada detik berbahaya itu Sin Liong-sing juga sempat melompat ke sana sambil menarik Ki Ki.

   Ternyata lwekang Sin Liong-sing juga banyak maju sejak mendapatkan penyembuhan dari tabib Ong, bukan saja dia mampu menahan kekuatan pukulan Liong-siang-kang musuh, bahkan dia telah menyelamatkan Ki Ki pula, sungguh hal inipun rada di luar dugaan Sipatoh.

   "Hebat juga kau!"

   Seru Sipatoh sambil menyeringai dan mendekati Sin Liong-sing pula.

   "Tapi kalau berkelahi lagi, mustahil kau mampu menahan sekali pukulanku berikutnya? Begini saja, kau menyerahkan dirimu dan nona kesayanganmu ini akan kubebaskan. Nah, bagaimana?"

   "Apa betul ucapanmu ini?"

   Seru Sin Liong-sing.

   "Tidak, engkoh Liong!"

   Teriak Ki Ki.

   "Hidup atau mati biarlah kita bersama. Kau adalah lelaki sejati, aku lebih suka mati bersamamu daripada menyerah kepada musuh!"

   Serentak timbul semangat jantan Sin Liong-sing, hatinya terasa bahagia pula mempunyai kekasih yang rela berkorban baginya. Segera ia pun berseru.

   "Ya, biarlah kita sehidup semati. Marilah maju, Sipatoh!"

   "Ha, ha, aku bermaksud baik mengampuni jiwa kalian, tapi kalian ternyata tidak tahu diri,"

   Jawab Sipatoh.

   "Baiklah, kalian ingin mati bersama, biarlah kupenuhi keinginan kalian!"

   Pada saat kedua pihak akan mulai bergebrak lagi, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari yang riuh, lima ekor kuda dengan enam penumpangnya tampak sedang mendatangi secepat terbang.

   Sesudah dekat dan melihat siapa para pendatang itu, sungguh tidak kepalang girang Sin Liong-sing.

   Kiranya keenam pendatang itu adalah Kok Siau-hong, Han Pwe-eng, Li Tiong-cu, Yim Hong-siau, Ciu Tiong-gak dan cucu perempuannya, yaitu si Ciu Hong.

   Karena Ciu Tiong-gak terluka, maka Ciu Hong bersatu kuda dengan kakeknya itu.

   Sementara itu Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng yang berada paling depan sudah tiba lebih dulu.

   Dengan rada kaget Kok Siau-hong lantas berseru.

   "He, Sin-toako?"

   "Ya, memang akulah adanya!"

   Jawab Sin Liong-sing dengan girang dan malu pula.

   Tanpa berjanji sekaligus Kok Siau-hong dan Han Pwe-eng melompat berbareng dari kudanya, pedang mereka dilolos terus menusuk ke arah Sipatoh.

   Tak gentar Sipatoh menghadapi serangan kedua orang itu, dengan tangan kanan menggunakan Liong-siang-kang dan tangan kiri memakai Kim- na-jiu-hoat segera ia hendak merampas senjata Han Pwe-eng.

   Pedang Kok Siau-hong terguncang ke samping oleh tenaga sakti Liong- siang-kang, tapi Kim-na-jiu-hoatnya ternyata tidak mampu menahan serangan pedang Han Pwe-eng.

   "bret, lengan bajunya terobek sebagian, untung dia berganti serangan pula dengan cepat sehingga tidak sampai terluka. Dalam pada itu Li Tiong-cu juga sudah menerjang tiba, Ubun Hoa-kip putar gadanya, dengan ilmu Tiam-hiat yang khas ia totok Ih-gi-hiat di dada lawan.

   "Bagus!"

   Bentak Li Tiong-cu, serulingnya menangkis dan berputar, dengan cepat ia balas menotok tiga tempat Hiat-to musuh. Ubun Hoa-kip terkejut akan ilmu Tiam-hiat lawan, rasanya malah melebihinya. Terpaksa ia tarik gada untuk menjaga diri.

   "krak", gada berbentur dengan seruling pusaka Li Tiong-cu, tahu-tahu gada itu patah menjadi dua. Kiranya seruling pusaka Li Tiong-cu itu melebihi baja kerasnya, tentu saja gada Ubun Hoa-kip tidak mampu menandinginya. Cepat Ubun Hoa-kip mengeluarkan senjata yang khas yang lain, yaitu dua buah roda yang terbuat dari baja murni sehingga tidak kuatir lagi dipatahkan seruling lawan. Sebenarnya kekuatan Ubun Hoa-kip terlebih hebat daripada Li Tiong-cu, maka setelah berganti senjata, segera ia dapat mengubah kedudukannya yang terdesak tadi. Kedua buah roda bergerak, terdengarlah suara mendering beradunya senjata, dalam sekejap itu seruling Li Tiong-cu telah membentur roda lawan beberapa kali, kini keduanya bertarung dengan sama cermatnya sehingga sukar menentukan kalah menang dalam waktu singkat. Dalam pada itu Yim Hong-siau serta Ciu Tiong-gak dan Ciu Hong juga sudah tiba, Yim Hong-siau terlibat pertarungan menghadapi Kim Kong-jan. Sudah tentu dia bukan tandingan jago kerajaan Kim itu, hanya beberapa kali gebrak saja goloknya sudah hampir mencelat dari cekalannya. Tapi Kim Kong-jan juga melengak setelah menyaksikan permainan golok si nona.

   "Kau puteri Yim Thian-ngo bukan?"

   Segera Kim Kong-jan bertanya.

   "Betul atau bukan, peduli apa dengan kau?"

   Bentak Yim Hong-siau sambil menangkis serangan musuh.

   Seketika Kim Kong-jan menjadi ragu dan tidak berani melancarkan serangan maut.

   Di sebelah sana Sin Liong-sing sempat menarik diri dari pertarungan dengan Sipatoh yang kini telah digantikan oleh Kok Siau-hong dan Han Pwe- eng, segera ia menerjang ke arah Kim Kong-jan dan membentak.

   "Perkelahian kita tadi belum selesai, marilah kita sambung lagi!"

   "Memangnya aku takut padamu!"

   Teriak Kim Kong-jan dengan gusar.

   Yim Hong-siau ditinggalkannya untuk menghadapi Sin Liong-sing.

   Kedua orang sama-sama menggunakan serangan kilat, pedang beradu pedang dan terdengar suara nyaring mendering tiada hentinya.

   Sayangnya Sin Liong-sing sudah bertarung beberapa kali, tadi juga telah mengadu tenaga dalam dengan Liong-siang-kangnya Sipatoh, maka setelah belasan jurus melawan Kim Kong-jan, akhirnya ia merasa tenaga sendiri mulai payah.

   Kok Siau-hong dapat melihat keadaan Sin Liong-sing itu, mendadak ia melancarkan serangan gencar, Han Pwe-eng juga tidak tinggal diam, ia pun menyerang dengan sama hebatnya.

   Betapa pun Sipatoh menjadi kewalahan dan terpaksa mundur.

   Kesempatan itu segera digunakan oleh Kok Siau-hong berdua untuk menggeser ke arah Sin Liong-sing.

   Pertarungan yang tadinya terbagi menjadi tiga partai itu kini terbaur menjadi satu dan terjadilah pertempuran gaduh.

   Ciu Tiong-gak baru sembuh, tenaganya belum pulih.

   Ciu Hong merasa kepandaiannya tidak cukup untuk ikut bertempur, maka mereka berdua hanya menonton saja di samping.

   "Banyak orang tertindih di bawah bangsal yang roboh itu, hampir semuanya adalah kawan kita, harap Ciu Lo-yacu menyelamatkan mereka!"

   Seru Sin Liong-sing.

   "Adik Ki, harap kau ikut menolong mereka!"

   Ki Ki pikir kepandaian sendiri juga terbatas, andaikan ikut bertempur juga tiada banyak manfaatnya, apalagi kedudukan di pihak Sin Liong-sing kini sudah di atas angin, juragan An dan anak buahnya itu memang perlu ditolong lebih dulu.

   Mendadak Kim Kong-jan ingat sesuatu, cepat ia berseru kepada kawannya.

   "Si-tayjin dan Ubun-toako, lekas kita minta bala bantuan, bukankah kita ada seorang penolong kuat di sini?"

   Semula Sipatoh dan Ubun Hoa-kip melengak bingung, tapi segera mereka menyadari siapa yang dimaksudkan Kim Kong-jan, yaitu Han Hi-sun yang ditotoknya roboh tadi.

   Ubun Hoa-kip pikir ada betulnya juga anjuran Kim Kong-jan itu, segera ia melancarkan suatu pukulan kepada Yim Hong-siau yang dianggapnya paling lemah, ketika nona itu berkelit, segera peluang itu digunakannya untuk menerobos ke sana.

   Cepat Li Tiong-cu memburu maju, akan tetapi rada terlambat, Ubun Hoa-kip sempat mendekati Han Hi-sun yang menggeletak di pojok sana dan telah membuka Hiat-to yang tertotok itu, habis itu senjata rodanya lantas membalik untuk menangkis serangan Li Tiong-cu yang sudah memburu tiba.

   Dengan cepat Han Hi-sun berdiri sambil menjengek dongkol.

   "Persoalan kita biarlah kita selesaikan kelak, kini kita perlu bahu membahu menghadapi musuh bersama!"

   Ujar Ubun Hoa-kip. Segera Sin Liong-sing juga berseru kepada Han Hi-sun.

   "Han-kongcu, hendaklah kau dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, sudah pernah salah jangan berbuat salah lagi. Asalkan kau tidak bekerja sama dengan musuh, maka kita masih tetap dapat berkawan dan kesampingkan perselisihan yang lalu."

   Akan tetapi Kim Kong-jan juga lantas berseru.

   "Han-kongcu, hendaklah mengingat hubungan baik Ong-ya kami dan ayahmu, jangan kau kena dihasut oleh musuh!"

   Nadanya setengah memperingatkan akan hubungan rahasia antara ayah Han Hi-sun dengan Wanyan Tiang-ci.

   Dengan ucapan ini, maka siapa diri Han Hi-sun menjadi terbongkar semuanya dan sama dengan mengakui apa yang dikatakannya kepada Sipatoh dan Ubun Hoa- kip tadi adalah dusta.

   Maka Sipatoh juga lantas berpikir.

   "Nyata dia telah bohong padaku dan nyata pula Wanyan Tiang-ci tidak sesungguh hati hendak berserikat dengan Khan Agung kita. Hm, persoalan ini kelak pasti akan kubereskan."

   Bagi Han Hi-sun, dia harus cepat mengadakan pilihan, betapa pun dia adalah putera perdana menteri, demi kepentingan keluarganya, akhirnya dia condong untuk memihak Kim Kong-jan.

   Dalam pada itu cepat luar biasa Han Pwe-eng telah menubruk maju dan bergabung dengan Kok Siau-hong, serangan mereka membuat Sipatoh rada kerepotan.

   "Kalian adalah buronan pemerintah, masakah aku dapat berdamai dengan kalian!"

   Bentak Han Hi-sun sambil mengayun kipasnya untuk membantu Sipatoh menangkiskan suatu serangan Han Pwe-eng.

   "Dasar pengkhianat,"

   Damprat Pwe-eng dengan gusar.

   Sret-sret-sret, sekaligus ia melancarkan tiga kali serangan.

   Sebenarnya kepandaian Han Hi-sun tidak di bawah Han Pwe-eng, tapi lantaran dia baru saja tertotok, rasanya masih kaku, maka serangan gencar itu membuatnya sedikit kewalahan, untung Sipatoh lantas melancarkan suatu pukulan dahsyat untuk menolongnya.

   


Sang Ratu Tawon -- Khulung Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long

Cari Blog Ini