Pendekar Sejati 5
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 5
Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen
Keruan Pwe-eng terkesiap, diam- diam ia merasa malu diri.
Sementara itu hari sudah mendekati lohor, Kiong Kim-hun berkata.
"Han-toako, marilah kita mengaso dulu di tepi hutan sana, makan dulu sedikit rangsum baru melanjutkan perjalanan."
Pwe-eng mengiakan, lalu kedua orang itu menuju ke hutan dan mencari suatu tanah berumput, di situlah mereka berduduk. Kiong Kim-hun mengeluarkan sebuah kotak kecil, katanya.
"Tentunya engkau tidak membawa rangsum, biar kusuguh kau dengan kue buatan Gi- ciau-lau yang terkenal itu."
Waktu tutup kotak itu dibuka, benar juga isinya adalah berbagai penganan dengan tanda buatan restoran Gi-ciu-lau yang terkenal itu. Pwe- eng menjadi heran, tanyanya.
"Bilakah kau datang ke restoran itu untuk membeli kue-kue ini?"
"Sehabis aku mendapat rezeki semalam, pulangnya aku sengaja mampir ke sana untuk membeli kue-kue ini,"
Tutur Kiong Kim-hun.
"Engkau jangan salah mengerti Han-toako, aku benar-benar membeli, meski aku mengambilnya tanpa permisi, tapi aku telah meninggalkan uangnya di atas meja sehingga tidak merugikan penjualnya. Nah, coba cicipi, yang ini adalah kue kenari dan yang itu adalah Tau-soh-pia (pia isi kacang hijau)."
"Ai, engkau benar-benar nakal, adik cilik,"
Kata Han Pwe-eng sambil menggeleng.
"Han-tako, apa yang kulakukan ini adalah untuk membikin senang padamu, masakah engkau malah tega mengomeli aku?"
Kata Kiong Kim-hun dengan aleman, sikapnya semakin mirip lenggak-lenggok anak perempuan.
"Mengapa engkau begini baik padaku?"
Tanya Pwe-eng dengan tertawa.
"Eh, engkau tidak marah lagi padaku. Han-toako?"
Seru Kiong Kim-hun dengan girang.
"Kemarin kau telah banyak membantu kesukaranku, untuk itu aku belum berterima kasih padamu, masakah aku malah marah padamu?"
"Andaikan kemarin aku telah mempermainkan kau dan kau juga takkan marah padaku?"
"Sudah tentu tidak. Cuma aku rada heran, mengapa engkau sengaja menyamar sebagai anak pencari arang yang kotor?"
"Soalnya aku tidak ingin asal-usul diriku diketahui orang-orang itu agar mereka tidak merecoki aku pula. Sebab bila kena direcoki mereka, maka aku menjadi tidak bebas lagi,"
Sampai di sini tanpa terasa Kiong Kim-hun tertawa pula, sambungnya lagi.
"Sungguh lucu, mereka telah salah sangka engkau diriku sehingga engkau yang menelan pil pahit."
"Tapi aku pun mendapatkan keuntungan berkat urusanmu itu,"
Ujar Pwe-eng dengan tertawa.
"Tadi engkau tanya mengapa aku begini baik padamu, sekarang bolehlah aku memberitahukan terus terang. Sebabnya karena engkau juga sangat baik kepadaku. Kemarin aku menyamar sebagai anak muda yang kotor dan telah menyenggol bajumu hingga kotor, tapi kau tidak marah padaku, sebaliknya malah mentraktir aku makan minum. Selama ini belum pernah ada seorang pun yang begitu baik kepadaku."
Diam-diam Han Pwe-eng membatin.
"Sebabnya aku baik padamu adalah karena aku mengetahui kau bukan orang biasa. Coba kalau sejak mula aku mengetahui ayahmu adalah gembong iblis dari Oh-hong-to apa segala, siapa yang suka bergaul dengan kau?"
Dalam pada itu Kiong Kim-hun menyambung pula.
"Aku dibesarkan di Oh-hong-to (pulau angin hitam) yang dikitari lautan belaka dengan ombaknya yang besar, kapal saja jarang ada yang lewat di sana. Di atas pulau cuma didiami oleh ayahku dan beberapa budak tua, sejak kecil aku tidak punya teman bermain."
Han Pwe-eng menjadi kasihan, katanya.
"Wah, kalau begitu engkau benar-benar sangat kesepian."
"Benar, makanya aku minggat dari rumah di luar tahu ayah."
"O, kiranya kau meninggalkan rumah secara diam-diam?"
"Ya, tujuanku melarikan diri dari rumah adalah ingin mengikat beberapa sahabat baik, tapi aku menjadi sangat kecewa."
"Apakah karena penilaianmu terlalu tinggi dalam hal memilih sahabat!"
"Tidak, bukan disebabkan penilaianku terlalu tinggi, disebabkan nama ayahku teramat besar. Orang yang mengetahui asal-usul diriku, kalau tidak segera menjauhi aku, tentu pula berusaha menjilat dan mengumpak diriku agar aku mau memuji mereka di hadapan ayah. Jadi tiada seorang pun yang benar-benar bersahabat dengan aku secara tulus. Karena itulah saking gemasnya aku lantas menyamar sebagai tukang perahu, lalu menyaru sebagai anak pencari arang serta menyamar macam-macam orang rendahan agar sukar dikenali oleh orang-orang itu."
"O, kiranya begitu, jadi selama itu kau belum mendapatkan kawan sejati?"
"Ya, sampai kemarin barulah aku bertemu dengan kau, ketika Coh Tay- peng dan kawan-kawannya menyangka kau sebagai diriku, aku menjadi tertarik dan ingin tahu lebih lanjut, maka secara diam-diam aku mengikuti jejakmu, aku ingin tahu orang macam apakah engkau ini."
"Dan sekarang kau sudah tahu bukan?"
"Engkau adalah seorang yang berhati baik. Aku tahu, sama sekali kau tidak kenal asal-usulku, tapi engkau toh begitu baik padaku. Han-toako, sudah lebih setengah tahun aku minggat dari rumah dan sudah berkelana ke sana kemari, tapi engkau adalah sahabat pertama yang kutemukan."
"Oya, syukurlah engkau bisa cocok dengan diriku."
"Di rumahmu masih ada siapa lagi, Han-toko?"
"Hanya seorang ayah yang sudah berusia lanjut."
"Tidak ada saudara, laki-laki maupun perempuan?"
"Ya, tidak ada, tidak punya adik dan kakak, bahkan juga belum kawin!"
Sekaligus ia menerangkan keterangan dirinya, sebab Pwe-eng sekarang yakin benar-benar Kiong Kim-hun pasti seorang anak perempuan, bahkan tampaknya menaruh hati padanya. Tiba-tiba Kiong Kim-hun tampak bergirang, katanya.
"Pantas kau kelihatan murung, kiranya memikirkan ayahmu yang sudah tua itu."
Han Pwe-eng tidak menyangkal dan mengiakan saja.
"Engkau juga tidak perlu kuatir, pasukan Mongol belum sampai di daerah Ho-lam, keadaan rumahmu tentu aman dan selamat."
"Semoga begitu hendaknya,"
Sahutnya Pwe-eng.
"Han-toako,"
Tiba-tiba Kiong Kim-hun memanggil pula dengan tertawa.
"jika hatimu kesal, bagaimana kalau aku menyanyikan sebuah lagu untuk menghibur engkau?!"
"Bagus sekali jika kau suka menyanyi bagiku,"
Kata Pwe-eng. Maka Kiong Kim-hun mulai tarik suara.
"Malam sunyi, angin meniup sepoi-sepoi....."
Yang dibawakan kiranya adalah sebuah lagu roman, suatu lagu rakyat yang melukiskan seorang gadis remaja sedang menantikan kekasih.
Mendengar lagu itu, kini Han Pwe-eng seratus persen yakin Kiong Kim- hun pasti anak perempuan adanya.
Selagi Pwe-eng menimang-nimang apakah memberitahukan saja keadaan sendiri yang sebenarnya kepada kawan sejenisnya itu, tiba-tiba Kiong Kim- hun berkata pula.
"Han-toako, hendaklah kau tunggu di sini, aku akan pergi mencari air bagimu."
"Biar aku saja yang pergi mencari air,"
Kata Pwe-eng.
"Tidak, kau tunggu saja di sini dan jangan pergi!"
Tanpa permisi lagi ia ambil tempat air Han Pwe-eng terus berlari ke sana.
Diam-diam Pwe-eng merasa bingung, entah permainan apalagi yang hendak dilakukan orang.
Sedang sangsi dan menerka tiada menentu, tiba-tiba pandangan Pwe-eng terbeliak, dilihatnya seorang gadis cantik molek sedang berjalan menuju ke arahnya sini.
Kiranya Kiong Kim-hun sudah kembali dalam pakaian wanita.
Meski sebelumnya Han Pwe-eng sudah yakin Kiong Kim-hun pasti anak perempuan, maka perubahan mendadak ini tidak terlalu mengherankan dia, tapi kini demi melihat nona yang sedemikian cantiknya, tanpa terasa ia menjadi terkesima.
Melihat dirinya ditatap begitu tajam, hati Kiong Kim-hun menjadi senang dan malu-malu pula, pipinya lantas bersemu merah, omelnya.
"Han-toako, memangnya kau sudah pangling pada adikmu ini?"
Dengan tertawa Han Pwe-eng lantas menjawab.
"Adik Kiong, sungguh tidak tersangka bahwa engkau sebenarnya adalah wanita secantik ini."
Padahal sejak tadi-tadi ia sudah dapat menerkanya. Kiong Kim-hun semakin senang karena Pwe-eng memuji kecantikannya, ia memberi hormat dan berkata pula.
"Han-toako, engkau tidak marah karena aku telah membohongi kau bukan?"
Diam-diam Pwe-eng merasa geli karena dirinya sendiri toh juga sama saja seperti Kiong Kim-hun, maka ia lantas menjawab.
"Nona Kiong, mengapa engkau tidak keberatan memperlihatkan keadaan aslimu kepadaku?"
"Soalnya aku merasa Han-toako sedemikian baik padaku, kupikir tidaklah pantas bila aku membohongi kau,"
Jawab Kiong Kim-hun dengan rasa mesra.
"Setelah engkau melihat wajahku yang asli, sebentar lagi aku akan menyamar sebagai lelaki pula."
"Wajahmu yang asli jauh lebih sedap dipandang daripada menyamar sebagai lelaki, buat apa kau menyamar pula?"
Ujar Pwe-eng dengan tertawa.
"Perjalanan bersama antara seorang lelaki dan seorang perempuan kan kurang leluasa,"
Ujar Kiong Kim-hun dengan suara lirih.
Pwe-eng pikir lebih baik keadaan diri sendiri sementara ini tidak diberitahukan kepada anak perempuan gembong iblis dari Oh-hong-to itu, malahan sekarang aku ada alasan untuk melepaskan diri dari dia.
Maka dengan tertawa ia berkata pula.
"Tapi sekarang aku sudah tahu engkau adalah perempuan, meski kau menyamar sebagai lelaki, dalam perjalanan nanti tentu juga kurang leluasa."
"Han-toako, kau adalah seorang kesatria sejati, aku percaya penuh padamu, makanya aku tidak kuatir engkau mengetahui keaslianku, asal orang lain tidak tahu, tentunya tidak perlu takut apa-apa lagi."
Dengan sengaja bersikap sungguh-sungguh, Pwe-eng berkata sambil menggeleng.
"Meski aku yakin diriku tidak sampai berbuat hal-hal yang melampaui batas, tapi rasanya toh rada-rada kurang enak."
"Han-toako, janganlah kau anggap aku sebagai gadis yang tidak tahu malu,"
Kata Kiong Kim-hun.
"Aku aku hanya ingin meneruskan perjalanan bersamamu, masakah aku betul-betul ingin tidur sekamar dengan kau? Kemarin aku cuma bergurau saja, jangan kau anggap sungguh-sungguh."
"Aku pun tidak bermaksud begitu,"
Kata Pwe-eng. Sejenak kemudian ia bertanya pula.
"Nona Kiong, apakah engkau harus pergi ke Lok-yang?"
"Apakah engkau tidak suka ditemani aku, Han-toako?"
Tanya Kim-hun. Pwe-eng tersenyum, ia pegang tangan si nona dan berkata.
"Kau jangan salah paham nona Kiong. Engkau begini baik padaku, masakah aku tidak suka padamu? Cuma aku pikir....."
"Engkau pikir apa, Han-toako?"
Tanya Kim-hun dengan muka merah dan melepaskan tangan dari genggaman Pwe-eng.
"Eh, nona Kiong, apakah kau pernah mendengar nama Hong-lay-mo-li Liu Jing-yau?"
Tanya Pwe-eng tiba-tiba.
"Dia adalah Lok-lim-beng-cu dari lima propinsi utara dan terkenal sebagai pendekar wanita nomor satu pada zaman ini."
Air muka Kiong Kim-hun tampak rada berubah, jawabnya.
"Ada apa sih?"
"Liu Beng-cu itu sangat suka kepada anak perempuan yang berkepandaian tinggi, saat ini dia banyak memerlukan pembantu- pembantu,"
Tutur Pwe-eng.
"Aku mempunyai seorang paman bernama Lui Biau. Sesudah pulang ke rumah, kemudian aku pun akan menggabungkan diri ke tempat Liu Beng-cu."
"Jadi maksudmu....."
"Nona Kiong, saat ini engkau tiada tempat tujuan tertentu, tidakkah lebih baik kau pergi saja ke tempat pangkalan Hong-lay-mo-li itu untuk menunggu aku di sana. Asal kau bertemu dengan paman Lui, katakan aku perantaranya dan dia pasti akan mempertemukan engkau kepada Hong-lay-mo-li."
Menurut perhitungan Han Pwe-eng, jika Kiong Kim-hun menerima usulnya, maka di samping dapat membantu Hong-lay-mo-li, sesudah Kiong Kim-hun bertemu Lui Biau nanti dan menuturkan hal ikhwalnya, dengan sendirinya pula Lui Biau akan memberitahukan duduknya perkara kepada Kiong Kim-hun, dengan begitu dirinya tidak perlu buru-buru menerangkan bahwa dirinya juga seorang perempuan.
Tak terduga Kiong Kim-hun menggeleng kepala, katanya.
"Tidak, aku tidak ingin bergabung dengan Mo-li itu."
"Sebab apa?"
Tanya Pwe-eng heran.
"Dia adalah musuh ayahku!"
Jawab Kim-hun. Keruan Pwe-eng terkejut.
"Cara bagaimana ayahmu mengikat permusuhan dengan Hong-lay-mo-li?"
Ia menegas.
"Entahlah. Ayah tidak pernah menerangkan padaku duduknya perkara. Aku cuma tahu sebabnya ayah melarikan diri keluar lautan adalah karena terdesak oleh Mo-li itu."
"Selain itu ayahmu menceritakan apa lagi?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanya Pwe-eng.
"Menurut ayah, katanya hantu perempuan (Mo-li) itu berhati keji dan bertangan gapah, seorang pamannya sendiri juga mati di bawah pedangnya,"
Jawab Kim-hun.
Kiranya ayah Kiong Kim-hun bernama Kiong Cau-bun dan menjadi murid pertama Liu Goan-ka, paman Hong-lay-mo-li sendiri.
Liu Goan-ka mengekor kepada kerajaan Kim dan banyak melakukan kejahatan, kemudian dia mencuri belajar kedua macam ilmu beracun dari keluarga Siang, akhirnya menimbulkan kelumpuhan dan tewas (kisah ini dapat mengikuti cerita Pendekar Latah).
Karena kehilangan guru yang diandalkan itu, Kiong Cau-bun menjadi takut kalau kaum pendekar mencarinya dan membikin perhitungan dengan dia, buru-buru ia kabur keluar lautan, di tempat baru itulah dia berlatih dengan tekun.
Sesudah meyakinkan ilmu silatnya selama duapuluh tahun, kini tingkat kepandaiannya sudah dapat memadai mendiang gurunya, yaitu Liu Goan-ka.
Akan tetapi pada duapuluh tahun yang lampau, Kiong Cau-bun paling- paling cuma jago kelas dua-tiga saja.
Sebab itulah Han Pwe-eng pernah mendengar cerita ayahnya tentang Hong-lay-mo-li serta Liu Goan-ka, tapi sama sekali tidak tahu orang yang bernama Kiong Cau-bun.
Begitulah sesudah berpikir sejenak, kemudian Han Pwe-eng berkata.
"Nona Kiong, aku ingin bicara sesuatu, entah kau suka mendengarkan tidak?"
"Silakan bicara saja,"
Sahut Kiong Kim-hun.
"Begini, tentang permusuhan ayahmu dengan Hong-lay-mo-li, siapa di antara mereka yang salah atau yang benar tidaklah kuketahui. Cuma di dunia persilatan Hong-lay-mo-li terkenal sebagi seorang pendekar wanita yang dikagumi setiap orang. Peristiwa terbunuhnya Liu Goan-ka, menurut apa yang kuketahui juga tidak seperti apa yang diceritakan ayahmu itu."
Kiong Kim-hun menjadi ragu-ragu apakah mungkin ayahnya yang keliru.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara berdetaknya kuda lari, dua laki-laki penunggang kuda tampak mendatangi dengan membawa pula seekor kuda tanpa penunggang.
Kedua penunggang kuda itu kiranya adalah Coh Tay-peng dan Ang Kin, kuda yang mereka bawa itu ternyata bukan lain daripada kuda Han Pwe-eng yang dicuri itu.
"Kalian mau apa lagi menyusul ke sini?"
Tegur Kiong Kim-hun dengan kurang senang. Mendadak Coh Tay-peng dan Ang Kin bertekuk lutut, masing-masing mencabut keluar sebilah belati, kata mereka.
"Kami punya mata api buta, tidak kenal kepada nona, maka sengaja datang buat minta ampun!"
Habis berkata, belati masing-masing terus menikam ke atas paha sendiri-sendiri. Cepat Kiong Kiam-hun mengebaskan lengan bajunya.
"tring-tring", kedua bilah belati itu kena disampuk jatuh, katanya.
"Aku tidak suka melihat kalian berlumuran darah, biarlah kubebaskan hukuman tiga tusuk enam lubang kalian."
Menurut peraturan di kalangan berbagai Pang dan Hwe, jika seorang berbuat sesuatu kesalahan besar dan ingin minta ampun kepada pihak lain, maka yang salah itu harus menikam tubuh sendiri dengan senjata tajam hingga tembus tiga kali, makanya disebut "tiga tusuk enam lubang", hukuman ini lebih ringan setingkat daripada "membunuh diri".
Maka Ang Kin lantas menjawab.
"Banyak terima kasih atas kemurahan hati nona. Tapi meski nona sudah mengampuni kami, namun kami tidak dapat memaafkan diri sendiri. Aku orang she Ang ini benar-benar pantas mampus, tidak saja merecoki nona, bahkan juga membikin susah kepada sahabat nona ini."
Habis berkata.
"plak-plok", kontan ia gampar pipi sendiri dua kali. Lalu ia berpaling kepada Han Pwe-eng dan berkata pula.
"Cay-he terlalu sembrono, semalam telah mengirim seorang anak buah yang sembrono ke hotel dan secara sembrono pula dia telah mencuri kuda dan bekalmu. Kini kuda itu sudah kubawa kembali, selain itu Cay-he sediakan pula sedikit biaya yang tak berarti, harap engkau sudi menerimanya."
"Ah, sudahlah, asal kudaku sudah dikembalikan, hadiah Ang Pang-cu yang lain aku tak berani menerimanya,"
Jawab Pwe-eng dengan tertawa.
"Tidak soal, hutang harus bayar rente, buat apa engkau sungkan-sungkan dengan dia,"
Kata Kiong Kim-hun. Segera ia mewakilkan Han Pwe-eng menerima bungkusan hadiah itu, ia timbang-timbang dan meremasnya dengan tangan, lalu berkata dengan tertawa.
"Perak ditukar dengan emas, cara dagang begini tidaklah jelek."
Lalu ia masukkan bungkusan itu ke dalam rangsel Pwe-eng. Kemudian ia menyambung lagi.
"Nah, kalian mau apa lagi, Han-toako sudah mengampuni kalian, mengapa kalian masih terus berlutut saja di situ?"
"Nona Kiong, kelima Pang-hwe kami di lembah Hong-ho ini masih mengharapkan pertolongan padamu,"
Kata Coh Tay-peng.
"Benar, aku menjadi lupa, tadi kalian melakukan tiga tusuk enam lubang di hadapanku, tentunya kalian tidak datang melulu minta ampun saja,"
Ujar Kiong Kim-hun.
"Tapi aku tidak suka orang lain munduk- munduk di depanku, kalian boleh bangun saja."
Coh Tay-peng dan Ang Kin lantas berdiri kembali, lalu berkata.
"Kelima Pang-hwe kami telah ketemukan bencana, hanya nona saja yang mampu menolong kami."
"Hm, bukankah kalian sudah punya sandaran yang kuat, masakah perlu minta tolong pula padaku?"
Jengek Kiong Kim-hun.
"Terus terang, Pok Yang-kian itu justru adalah bencana bagi kami, katanya dia mau menolong kami, tapi kami tidak untung berbalik buntung,"
Jawab Ang Kin dengan wajah seperti mau menangis.
"Cara bagaimana Pok Yang-kian itu membikin susah kepada kalian?"
Tanya Kim-hun dengan heran.
"Padahal aku pun tak dapat menandingi dia, cara bagaimana aku dapat menolong kalian?"
"Pok Yang-kian melukai kawan-kawan kami dengan Hoa-hiat-to, lalu mengancam kami agar mendukung gurunya menjadi Lok-lim-beng-cu,"
Kata Coh Tay-peng.
"Ya, soal ini sudah kudengar dan saksikan sendiri, bukankah kalian juga sudah suka dan rela?"
Ujar Kiong Kim-hun.
"Kami hanya terpaksa saja menerima penghinaannya,"
Kata Ang Kin dengan gemas.
"Siapa tahu keparat itu mendapatkan hati lantas mau merogoh ampela, bahkan mau membetot usus pula. Bukannya dia menyembuhkan kami, sebaliknya dia gunakan hal itu sebagai alat pemeras agar kami terima menjadi budaknya untuk selamanya."
"Bukankah kemarin dia telah memunahkan racun Hoa-hiat-to bagi kalian?"
Kata Kiong Kim-hun.
"Benar, tapi cara penyembuhannya itu tidak lebih cuma perbuatan licik saja,"
Jawab Ang Kin dengan tersenyum getir.
"Racun Hoa-hiat-to itu dapat segera bekerja dan juga bekerja secara berkala. Nyatanya keparat itu sengaja menunda kematian kami dengan maksud keji, dengan cara yang sama pula dia pura-pura menyembuhkan kawan-kawan kami yang lain."
"Keparat Pok Yang-kian itu benar-benar licin dan keji,"
Sambung Coh Tay-peng.
"Dia sengaja membikin kelima Pang-hwe kami berada di bawah ancamannya, dengan begitu bila kelak gurunya menjadi Lok-lim-beng-cu, maka kami tentu juga akan menjadi budak mereka untuk selamanya."
"Pantas kalian merasa penasaran, memangnya jelek-jelek kalian juga gembong penguasa suatu daerah, mana kalian terima diperbudak orang?"
Ujar Kim-hun dengan tertawa.
"Memang begitu soalnya,"
Kata Coh Tay-peng.
"Ketimbang kami menjadi budak Pok Yang-kian, lebih baik kami menjadi budak ayahmu saja. Pok Yang-kian telah membual setinggi langit tentang kepandaian gurunya, betapa pun ayahmu nona pasti tidak dapat menerima."
"O, rupanya kalian bermaksud minta aku memancing ayahku tampil ke muka untuk membantu kalian menghadapi Sebun Bok-ya, tapi ibarat air yang jauh di sana sukar memadamkan kebakaran di sini, ayahku kan tinggal jauh di Oh-hong-to sana?"
Kata Kim-hun.
"Sedikitnya tiga bulan lagi baru Sebun Bok-ya akan tiba di sini,"
Kata Coh Tay-peng.
"Tapi aku belum puas pesiar, aku tidak ingin lekas-lekas pulang ke rumah,"
Kata si nona.
"Sudah tentu kami tidak berani mengganggu hasrat pesiar nona,"
Ujar Coh Tay-peng.
"Kami ada suatu akal satu pipa dua saluran, asalkan nona mau tinggal lagi beberapa hari saja di sini."
"Satu pipa dua saluran bagaimana?"
Tanya Kim-hun.
"Begini, pertama, mohon nona suka membantu kami mengenyahkan keparat Pok Yang-kian serta menolong kawan-kawan kami yang keracunan itu,"
Kata Coh Tay-peng.
"Habis itu, bila nona sudah puas pesiar dan pulang, tatkala itu barulah dimohonkan bantuan ayahmu tampil ke muka. Jika Sebun Bok-ya sudah datang sebelum ayah nona diundang, terpaksa kami yang akan menyingkir ke tempat lain untuk menghindari keganasan iblis itu."
"Bukankah sudah kukatakan, pertama, aku tidak mampu menandingi Pok Yang-kian, kedua, aku pun tidak dapat memunahkan racun kalian, cara bagaimana pula aku dapat menolong kalian?"
Ujar Kim-hun dengan mengerut kening.
"Pendekar muda yang menghajar Pok Yang-kian hingga lagi terbirit-birit di atas restoran kemarin itu, kini kami telah mengetahui asal-usulnya. Dia adalah putera Kong-sun Ki, kemahiran Hoa-hiat-to yang dikuasainya jauh di atas Pok Yang-kian, asal dia mau membantu, maka soal mengenyahkan Pok Yang-kian dan menyembuhkan kami boleh dikata hal yang sangat gampang,"
Demikian Coh Tay-peng bicara dengan munduk-munduk.
"Cuma sayang kami sama sekali tiada hubungan baik dengan Kong-sun Siau- hiap, dengan sendirinya kami tidak dapat minta bantuannya."
"O, jadi maksud kalian agar aku mengundangkan orang kosen bagi kalian?"
Ujar Kiong Kim-hun.
Tentunya mereka menyangka aku adalah sobat baik putera Kong-sun Ki itu, padahal aku pun baru kenal dia kemarin meski keluarga kami ada hubungan baik sejak dulu, demikian pikirnya pula.
Dalam pada itu Coh Tay-peng dan Ang Kin lantas mengiakan berbareng.
"Benar, memang begitulah harapan kami, sudilah nona memberi pertolongan."
"Tapi sejak kemarin dia sudah pergi, kemana lagi aku harus mencarinya?"
Ujar Kiong Kim-hun.
"Kami sudah mendapatkan beritanya, jalan yang ditempuh Kong-sun Siau-hiap itu adalah jalan raya, kalau kita melintasi bukit sana melalui jalan yang kecil, tanggung akan dapat mencegat di depannya,"
Kata Coh Tay-peng.
"Maaf, aku harus mengiringi Han-toako ke Lok-yang, aku tiada tempo buat mengurus urusan tetek-bengek kalian,"
Kata Kim-hun.
"Jika nona Kiong ada urusan lain boleh silakan saja dan tidak perlu pikirkan diriku,"
Ujar Han Pwe-eng.
"Aku sudah biasa jalan sendirian."
"Bukankah kau kuatir diganggu oleh musuh-musuhmu di tengah jalan?"
Kata Kim-hun.
"Jangan kuatir Han-kongcu, kejadian-kejadian sebelum ini adalah karena salah paham, selanjutnya orang-orang kami pasti akan melindungi kau secara diam-diam dan takkan mengganggu kau lagi,"
Cepat Coh Tay-peng menukas. Han Pwe-eng tersenyum, katanya.
"Nona Kiong, menolong orang lebih penting, tentang kebaikanmu padaku sudah kuterima dalam hati. Biarlah kita sampai berjumpa lagi kelak." ~ Sembari bicara ia pun genggam tangan Kiong Kim-hun dan digoyangkan sebagai tanda terima kasih. Syur juga rasa hati Kiong Kim-hun, pikirnya.
"Memangnya ayah ingin mencari tahu dimana beradanya putera Kong-sun Ki, sekarang asal-usulku sudah ketahuan, rasanya tidak enak lagi menemani perjalanan Han-toako, asal Han-toako sudah tahu maksud hatiku, biarlah kesempatan ini kugunakan untuk mencari Kong-sun Bok."
Maka dengan muka merah jengah Kiong Kim-hun menarik kembali tangannya, katanya kemudian.
"Jika bantuanku masih diperlukan, biarlah akan kulakukan sebisanya. Han-toako, lain hari akan kucari kau di Lok- yang."
"Baiklah, sampai bertemu,"
Jawab Pwe-eng sambil mencemplak ke atas kudanya serta memberi salam perpisahan kepada Kiong Kim-hun.
Diam- diam ia pun merasa geli.
Sungguh tak tersangka bahwa dirinya dapat mengakibatkan Kiong-siocia ini jatuh cinta sepihak.
Lalu Coh Tay-peng berdua menuntun kuda mereka dan memberi hormat pula kepada Kiong Kim-hun, katanya.
"Apakah nona perlu iringan kami? Silakan menunggang kuda kami ini."
"Tidak, tidak perlu,"
Jawab Kim-hun mendongkol.
"Aku pun tidak memerlukan kuda."
Kiranya kepergiannya mencari Kong-sun Bok sebenarnya juga menyangkut urusan pribadinya, dengan sendirinya dia tidak suka diikuti orang.
Apalagi dibesarkan di pulau yang dikelilingi lautan belaka, kepandaiannya menunggang kuda kurang mahir.
Coh Tay-peng tidak tahu sebab apa mendadak si nona uring-uringan, terpaksa mereka hanya mengiakan saja dan membiarkan Kiong Kim-hun berangkat sendiri.
Bahwasanya saat itu Kiong Kim-hun memang sedang dirundung sesuatu persoalan pelik, sembari berjalan ia pun sedang berpikir.
"Mengapa begini kebetulan, sudah tiga kali ayah menjelajahi Tiong-goan dan tidak pernah bertemu dia, tapi aku baru satu kali datang ke sini sudah lantas bertemu. Konon ibunya masih hidup, entah ibunya memberitahukan dia tentang urusan itu atau tidak?"
Ayah Kim-hun, Kiong Cau-bun, adalah murid pertama Liu Goan-ka.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dahulu Kong-sun Ki dan Liu Goan-ka adalah satu komplotan, sebab itu Kong-sun Ki juga bersahabat rapat dengan Kiong Cau-bun.
Ketika istri masing-masing sedang hamil, kedua orang itu pernah saling menuding perut istri masing-masing dengan janji.
"Jika yang dilahirkan satu lelaki dan satu perempuan, maka keduanya harus terikat menjadi suami-istri."
Ketika Kong-sun Bok lahir, belum genap berusia setahun, Siang-keh-po, yaitu kediaman ayah-bundanya, telah diserbu dan dihancurkan oleh para pahlawan.
Kong-sun Ki dan Liu Goan-ka lari ke Mongol, sedangkan istri Kong-sun Ki, ibu Kong-sun Bok, yaitu Siang Jing-hong, atas bantuan Hong- lay-mo-li dapatlah dibebaskan dari cengkeraman iblis.
Kemudian Kong-sun Bok dan ibunya diantar ke Kong-bing-si, sebuah kuil yang dihuni oleh Bing- bing Taysu, Liu Goan-cong dan Kong-sun In, tiga tokoh maha guru ilmu silat pada zaman itu.
Liu Goan-cong adalah ayah Hong-lay-mo-li, kakak Liu Goan-ka yang khianat itu, sedangkan Kong-sun In adalah guru Hong-lay-mo- li, sebab itulah Hong-lay-mo-li mengantar mereka ibu dan anak ke Kong- bing-si agar mereka ada yang menjaganya (Kisah tokoh-tokoh itu di atas dapat dibaca dalam Pendekar Latah).
Waktu Siang-keh-po diserbu para pahlawan, Kiong Cau-bun sendiri sudah kabur lebih dulu.
Kemudian Kong-sun Ki mati di Mongol karena kelumpuhan akibat gagalnya ilmu yang dia yakinkan, Kiong Cau-bun sendiri hanya tahu tentang kematian kawannya itu dan tidak tahu jelas sebab- musababnya.
Sebab itulah selama duapuluh tahun dalam pengasingannya Kiong Cau-bun tidak pernah melupakan dua persoalan, yang pertama adalah dimana beradanya putera Kong-sun Ki itu dan yang kedua adalah kitab pusaka Kong-sun Ki mengenai ilmu racun itu entah jatuh di tangan siapa? Kedua persoalan itu satu dan lain tak dapat dipisah-pisahkan, sebab menurut jalan pikiran Kiong Cau-bun, seumpama kitab pusaka ilmu racun itu tidak keburu diturunkan kepada anaknya sendiri oleh Kong-sun Ki, kalau sekarang anaknya dapat diketemukan, tentunya akan dapat diselidiki dimana beradanya kitab pusaka itu, paling tidak dapat saling tukar informasi, sebab ibu dan anak itu tentu pula akan berusaha mencari kitab pusaka yang menjadi hak warisan mereka.
Lantaran timbul jalan pikiran begitu, makanya Kiong Ciau-hun tidak menutupi ikatan perjodohan anak masing-masing itu kepada puterinya.
Pada waktu Kiong Kim-hun berulang tahun kedelapanbelas lantas diberitahukannya kepada puterinya mengenai hal itu.
Malahan Kiong Cau-bun juga bicara terus terang kepada anak perempuannya akan perhitungannya sendiri, yakni, kalau putera Kong-sun Ki itu diketemukan, jika dia mahir kedua macam ilmu racun keluarga Siang, maka soal perjodohan dengan sendirinya akan tetap dipertahankan menurut janji semula.
Bilamana putera Kong-sun Ki tidak paham ilmu beracun itu, namun ada tanda-tanda kitab pusaka itu dapat diketemukan, maka soal perjodohan itu juga dapat dilangsungkan walaupun tidak perlu segera dilaksanakan.
Sebaliknya kalau putera Kong-sun Ki itu hanya seorang yang biasa saja ilmu silatnya serta tidak menguasai kedua macam ilmu racun itu, serta tiada harapan buat menemukan kitab pusakanya, maka soal perjodohan itu diteruskan atau tidak akan terserah saja kepada pilihan anak perempuannya.
Teringat kepada persoalan itu, hati Kiong Kim-hun menjadi kesal.
Terpikir olehnya, Kong-sun Bok mengalahkan Pok Yang-kian dengan Hoa- hiat-to, jelas kedua macam ilmu racun keluarga Siang sudah berhasil diyakinkannya.
Jadi ilmu silatnya sudah jauh di atasku, dengan sendirinya dia bukan orang biasa.
Tampaknya dia juga sangat jujur dan lugu.
Cuma, meski ilmu silat Han-toako tidak dapat menandingi dia, namun dalam hal ketampanan terang lebih unggul, apalagi Han-toako seorang yang pintar bicara dan mahir melayani orang, berbeda sekali dengan pemuda kampungan macam Kong-sun Bok.
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa muka Kiong Kim-hun menjadi panas, pikirnya pula.
"Tentang perjodohan yang ditetapkan dengan menuding perut ibu masing-masing entah dia (Kong-sun Bok) sudah tahu belum. Waktu ayahnya meninggal dia baru berumur satu tahun, entah ibunya memberitahu atau tidak mengenai persoalan itu? Jika dia sudah tahu, rasanya rada kikuk bila aku menemuinya nanti."
Sesudah dipikir lagi, akhirnya Kiong Kim-hun mengambil satu keputusan.
"Tak peduli dia sudah tahu atau belum, yang pasti aku akan pura- pura tidak tahu, coba saja bagaimana dia akan bicara nanti. Jika dia menyinggung dulu tentang persoalan itu barulah aku berunding dengan dia untuk membatalkan perjodohan. Tampaknya dia adalah pemuda yang tulus dan lugu, tentunya takkan memaksa aku menjadi istrinya."
Begitulah kalau Kiong Kim-hun sedang dirundung pikiran yang merisaukan itu, saat itu Kong-sun Bok juga sedang memikirkan sesuatu.
Cuma yang dia risaukan bukan persoalan jodoh segala.
Ibunya, yaitu Siang Jing-hong, dalam keadaan terpaksa ketika kawin dengan Kong-sun Ki.
Rasa kesal dan benci itu tidak lantas lenyap meski Kong-sun Ki sudah meninggal, terhadap teman-teman mendiang suaminya itu tiada satu pun yang tidak dibencinya.
Karena itu urusan perjodohan berdasarkan menuding perut masing-masing dengan keluarga Kiong hakikatnya tidak diperhatikan olehnya serta tidak dianggapnya sungguh- sungguh, sebab itu dengan sendirinya ia tidak memberitahukan peristiwa itu kepada puteranya.
Lalu urusan apa yang sedang menggoda pikiran Kong-sun Bok? Kiranya disebabkan dia mengetahui ada seorang lain yang juga mahir menggunakan ilmu beracun Hoa-hiat-to.
Boleh dikata sejak Kong-sun Bok dilahirkan ia sudah tidak dapat dipisahkan dengan ilmu racun Hoa-hiat-to itu.
Dia pernah tersiksa oleh racun Hoa-hiat-to, dia tidak sudi meyakinkan ilmu jahat itu, tapi toh mau tidak mau dia harus meyakinkannya juga.
Jadi pengaruh Hoa-hiat-to sungguh teramat besar dalam hidupnya.
Sembari mengayun langkahnya, pikiran Kong-sun Bok juga terus bergolak.
Kejadian selama duapuluhan tahun ini satu demi satu terbayang kembali dalam benaknya.
Teringat olehnya sejak kecil dirinya sangat lemah dan suka sakit-sakitan, hampir setiap hari mesti makan obat melulu, sejak dia mulai mempunyai daya ingatan, apa yang dia masih ingat di masa anak-anak boleh dikata senantiasa tenggelam dalam cekokan obat minuman.
Lapat-lapat masih teringat olehnya ketika ibunya meneteskan air mata waktu memberi minum obat padanya, ia pun masih ingat seringkali dia terjaga bangun di tengah malam oleh sebab rasa sakit yang tak tertahankan.
Dalam keadaan begitu Liu Kong-kong (Liu Goan-cong) dan kakeknya (Kong- sun In) lantas memeluknya erat-erat serta menggenggam tangannya yang kecil, dengan demikian lantas terasa suatu arus hawa hangat mengalir masuk dalam tubuhnya melalui telapak tangannya, rasanya sangat enak dan kemudian ia pun dapat tidur pulas.
Kira-kira dia berumur tujuh atau delapan tahun, obat yang dia minum mulai berkurang, tubuhnya juga mulai sehat dan kuat, ketika berumur sepuluh barulah dia tidak minum obat sama sekali.
Pada tahun itu datanglah seorang paman Kheng yang kemudian menjadi gurunya, yaitu Kheng Ciau yang terkenal sebagai Kang-lam-tay-hiap (pendekar besar daerah Kanglam).
Untuk pertama kalinya dia meninggalkan ibunya karena sang ibu menyuruhnya ikut pergi bersama sang guru, sesudah meninggalkan Kong-bing-si barulah dia mulai belajar ilmu silat.
Gurunya, yaitu Kheng Ciau, hanya mempunyai seorang anak perempuan yang tiga tahun lebih muda daripadanya, sebab itulah sang guru sangat sayang padanya dan menganggapnya sebagai putera kandung sendiri.
Sudah tentu dia sangat berterima kasih kepada sang guru, cuma ada suatu hal yang membuatnya rada heran, yakni mengenai diri kakeknya (Kong-sun In), Liu Kong-kong dan Bing-bing Taysu.
Ketika masih tinggal di Kong-bing-si, sama sekali dia tidak tahu bahwa ketiga orang tua itu sesungguhnya adalah maha guru ilmu silat kelas wahid pada zaman ini.
Setelah ikut gurunya, dari sahabat-sahabat gurunya itu kemudian diketahui bahwa ketiga kakek yang setiap hari mengasuh dirinya itu sesungguhnya adalah tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka yang sangat disegani, malahan ketiga orang tua itu jauh lebih hebat daripada gurunya.
Karena itu diam-diam ia merasa heran mengapa ibunya tidak minta kakek mengajarkan ilmu silat padanya, sebaliknya malah suruh dia berguru kepada paman Kheng? Ada sesuatu pula yang membuatnya terheran-heran adalah ibu dan gurunya itu selama ini tidak pernah bicara tentang ayahnya.
Yang diketahuinya cuma ayahnya sudah meninggal dunia pada waktu dia masih kecil, lain tidak.
Kedua tanda tanya itu sudah lama terpendam di dalam hati sanubarinya dan baru terjawab ketika dia berumur delapanbelas.
Pada tahun itu sudah genap delapan tahun dia belajar kepada Kheng Ciau, sudah tamat belajar dan pulang ke Kong-bing-si.
Hari kedua ibunya membawanya ke atas gunung di belakang kuil itu dan menunjukkan sebuah makam kepadanya sambil berkata.
"Inilah kuburan topi-sandang ayahmu, boleh kau menjura padanya."
Dengan sendirinya ia tanya sang ibu.
"Mengapa selama ini ibu tidak pernah membawaku ke kuburan ayah ini? Dan mengapa kuburan ini hanya kuburan topi-sandang?"
Sang ibu lantas memberitahukan padanya bahwa mendiang ayahnya sebenarnya adalah seorang gembong iblis yang maha jahat, sejak kecil Kong- sun Bok berbadan lemah dan suka sakit-sakitan justru karena menderita keracunan akibat perbuatan ayah sendiri.
Cerita itu kalau tidak didengar dari ibunya sendiri, hampir-hampir ia tidak percaya kepada telinga sendiri.
Kata peribahasa, betapa ganasnya harimau tidak mungkin makan anaknya sendiri.
Sudah tentu ia tidak berani membayangkan bahwa ayahnya sendiri pernah sengaja mencelakainya.
Begitulah sesudah mendengar cerita ibunya itu barulah dia mengetahui bahwa di antara ayah-ibunya ternyata terseling macam-macam suka-duka serta dendam dan benci yang amat mendalam.
Kiranya ayah Kong-sun Bok, yaitu Kong-sun Ki, mula-mula berisiterikan Siang Pek-hong, kakak perempuan Siang Jing-hong, ibu Kong-sun Bok, dengan intrik keji Kong-sun Ki berusaha merebut kitab pusaka ilmu racun keluarga Siang, maka dengan licin ia telah membinasakan istrinya sendiri, kemudian dengan akal keji pula dia paksa adik perempuan istrinya untuk menjadi istrinya yang kedua.
Selain itu dia bergendakan pula dengan perempuan lain yang terkenal dengan julukan "Giok-bin-yau-hou" (si rase kemala bermuka putih).
Demi untuk membalas sakit hati kakak perempuannya, ibunya sengaja menyesatkan sang suami ke jalan yang keliru dalam ilmu yang dilatihnya.
Ketika para pahlawan menyerbu Siang-keh-po, pada waktu itu juga Kong-sun Ki sedang menderita kelumpuhan akibat Cau-hwe-jip-mo dari ilmu yang dilatihnya.
Ketika Kong-sun Ki mengetahui duduknya perkara, timbul suatu pikirannya yang paling keji untuk membikin susah selama hidup istrinya, yakni dia melukai anaknya sendiri dengan Hoa-hiat-to.
Cara Kong-sun Ki menggunakan Hoa-hiat-to sungguh hebat sekali, bayi yang terkena racun Hoa-hiat-to itu tidak mati, tapi ibunya harus menggunakan inti lwekang asli dari keluarga Siang untuk menyembuhkan anaknya itu.
Bila anak itu sudah berumur delapanbelas barulah racun Hoa- hiat-to dapat dipunahkan hingga bersih.
Tapi akibatnya racun Hoa-hiat-to dari tubuh si anak akan berpindah seluruhnya ke tubuh sang ibu, dengan begitu ibunya akan mengalami pula Cau-hwe-jip-mo dan akhirnya akan mati.
Untung Liu Goan-cong adalah tabib sakti yang tiada bandingan, dengan ilmu pertabibannya yang maha sakti itu disertai kekuatan lwekang dari tiga tokoh besar, tanpa susah-payah sang ibu, tidak sampai sepuluh tahun lamanya kesehatan Kong-sun Bok sudah dapat dipulihkan.
Bahkan Kong- sun Bok malah mendapatkan rahmatnya dari kecelakaan itu, sebab sejak kecil dia telah mendapatkan bantuan lwekang dari ketiga tokoh besar sehingga terpupuklah dasar yang kuat bagi jalan menuju latihan lwekang yang sempurna.
Sebabnya sang ibu menyuruh dia berguru kepada Kheng Ciau juga ada tujuan tertentu, meski ilmu silat Kheng Ciau tidak sehebat ketiga Taysu (maha guru) itu, tapi Kheng Ciau pernah mendapat didikan orang kosen dan paham ilmu Khik-heng-keng-meh (pemutaran balik urat nadi), dengan melatih lwekang berasal dari golongan Cing dan Sia (baik dan jahat) itu akan dapat mencegah bahaya Cau-hwe-jip-mo yang akan menghinggapinya.
Sesudah mengetahui kisah hidupnya sendiri, Kong-sun Bok menangis sedih.
Siang Jing-hong membiarkan anaknya itu menangis sepuasnya, habis itu barulah ia berkata.
"Anak Bok, sekarang mesti kau dapat memahami arti daripada nama yang kuberikan padamu itu. Kau bernama "Bok"
Dan "Gi- ok", aku ingin kau putih mulus tanpa cacat dan tetap berharga sebagai "Bok" (batu kemala), selain itu aku harap selama hidupmu senantiasa berbuat baik dan mengenyahkan kejahatan (Gi-ok) sebagai penebus dosa ayahmu, apakah kau dapat melaksanakannya?"
Tanpa ragu-ragu Kong-sun Bok mengiakan dan bersumpah di hadapan makan ayahnya itu. Maka tersenyumlah Siang Jing-hong, katanya.
"Baiklah, mulai besok akan kuajarkan kedua macam ilmu racun dari keluarga Siang kami."
Kong-sun Bok terkejut, jawabnya.
"Begitu lahir anak lantas menderita akibat racun Hoa-hiat-to, aku benci kepada ilmu yang keji itu, aku tidak mau melatih ilmu racun begituan."
"Sebenarnya aku pun benci kepada kedua macam ilmu racun itu, selama ini aku tidak pernah berpikir mengajarkannya kepadamu, tapi sekarang mau tidak mau kau harus meyakinkan ilmu-ilmu ini."
"Sebab apa?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Sesudah ayahmu meninggal, kitab pusaka ilmu racun itu lantas hilang, aku mengira sejak itu takkan ada orang mempelajari ilmu itu. Siapa duga akhir-akhir ini diketahui ada orang yang mahir menggunakan kedua macam ilmu racun itu, orang itu bernama Sebun Bok-ya, seorang gembong iblis dari Kwan-gwa. Maka kau harus meyakinkan pula kedua macam ilmu racun ini, kalau tidak, di dunia persilatan tiada orang yang mampu mengatasi Sebun Bok-ya itu."
"Mengapa anak yang diharus meyakinkannya, orang lain masakah tidak dapat?"
Ujar Kong-sun Bok. Perlahan-lahan Siang Jing-hong membelai kepala anaknya dan berkata pula.
"Soalnya hal ini merupakan kewajiban bagimu. Kau pernah menderita oleh Hoa-hiat-to, masakah kau dapat membiarkan orang lain melakukan keganasan lagi dengan ilmu racun itu? Apalagi kalau kau dapat menumpas Sebun Bok-ya, berarti akan ikut menebus dosa ayahmu."
Maka sadarlah Kong-sun Bok akan petuah sang ibu.
Segera ia mulai berlatih ilmu-ilmu Hoa-hiat-to dan Hu-kut-ciang di Kong-bing-si.
Selama tiga tahun berlatih dengan giat, akhirnya berhasil dilatihnya dengan baik.
Selama tiga tahun itu Liu Goan-cong dan Kong-sun In juga banyak mengajarkan macam-macam ilmu silat yang hebat padanya.
Sebab itulah meski sekarang dia baru berumur duapuluh satu tahun, namun tinggi ilmu silatnya sudah memadai jago kelas satu.
Setamat belajar kedua macam ilmu racun itu, sebenarnya dia segera bermaksud berangkat ke Kwan-gwa, untuk mencari Sebun Bok-ya, tapi lantaran pasukan Mongol mulai menyerbu ke selatan, maka atas perintah ibunya dia harus berangkat ke Kim-keh-nia untuk membantu Hong-lay-mo- li.
Tidak terduga pula di tengah jalan ia sudah bertemu murid Sebun Bok- ya, yaitu Pok Yang-kian.
Begitulah selagi Kong-sun Bok tenggelam dalam lamunannya tiba-tiba terdengar di depan sana ada suara orang membentak-bentak.
Waktu ia memandang ke sana, tertampak seorang penunggang kuda sedang mengejar seorang anak muda.
Penunggang kuda itu dikenalnya sebagai Pok Yang-kian dan anak muda yang dikejar itu bukan lain daripada anak pencari arang yang mentraktir dia makan minum di restoran kemarin itu.
Sesudah Pok Yang-kian menaklukkan pimpinan kelima Pang-hwe di sekitar Hong-ho, ia menduga dalam setahun kawanan bajak itu pasti tidak berani berkhianat, maka sesudah digebah lari oleh si pemuda desa itu, cepat ia pulang ke Liau-tang untuk melaporkan hasil kerjanya itu kepada sang guru.
Kebetulan waktu itu Kiong Kim-hun yang baru berpisah dengan Han Pwe-eng juga datang kembali hendak mencari Kong-sun Bok, tanpa disengaja dia kepergok oleh Pok Yang-kian.
Keruan Pok Yang-kian sangat girang melihat Kiong Kim-hun berada sendirian, ia pikir Kiong To-cu dari Oh-hong-to juga merupakan salah satu lawan tangguh gurunya dalam usaha menjagoi dunia persilatan, kalau tidak salah bocah ini adalah orang Oh-hong-to, besar kemungkinan adalah anak Kiong To-cu, sungguh kebetulan bagiku untuk membekuknya di sini.
Maka dengan bergelak tertawa ia lantas membentak.
"Anak setan, sekarang kau kepergok lagi padaku, coba kau akan lari kemana?"
Kiong Kim-hun terkejut, dalam pada itu dengan cepat sekali Pok Yang- kian telah melarikan kudanya ke arahnya, begitu mendekat segera pecutnya menyabet.
Lekas Kiong Kim-hun melolos pedangnya untuk menangkis.
Tapi segera ia merasakan tangannya kesakitan, ternyata cambuk Pok Yang-kian itu disertai tenaga dalamnya yang kuat, pedang Kiong Kim-hun tidak dapat menabas putus cambuknya, sebaliknya pedang hampir terlepas dari tangannya malah.
"Untuk lari terang sukar, lebih baik kau turut saja kepada perintahku,"
Ejek Pok Yang-kian sambil memutar cambuknya untuk menyabet pula ke atas kepala lawan.
Dengan ginkang yang tinggi Kiong Kim-hun meloncat miring ke sana untuk menghindar, tapi pedangnya ternyata kena dilibat oleh cambuk Pok Yang-kian, ketika Pok Yang-kian menyabet pula untuk ketiga kalinya, dengan gesit Kiong Kim-hun menggeser ke samping sehingga serangan lawan dapat dihindarkannya.
Dengan gemas Pok Yang-kian melarikan kudanya menerjang lagi ke depan, cepat Kiong Kim-hun menjatuhkan diri dan menggelinding ke pinggir, cara menghindarkan sangat mengenaskan, tapi sabetan cambuk Pok Yang-kian kembali dapat dielakkan pula.
Sedangkan kuda Pok Yang-kian yang menerjang terlalu kencang itu baru dapat berputar kembali sesudah berlalu belasan meter ke depan sana.
Kiong Kim-hun menyadari bilamana berlari harus di jalan besar, betapa tinggi ginkangnya tentu juga kalah cepat daripada lari kuda.
Karena itu ia lantas mengutamakan kegesitan, ia menghindar ke kanan dan berkelit ke kiri secara zig-zag sembari lari ke arah hutan.
Kecepatan lari kuda hanya kalau berlari lurus, bila setiap saat harus ganti haluan, betapa pun kalah gesit daripada kelincahan Kiong Kim-hun.
Tentu saja Pok Yang-kian menjadi gregetan, bentaknya pula.
"Bagus, coba kau lari lagi, biar kumampuskan kau saja!"
Ia tahu kalau sasarannya lari masuk hutan, tentu akan tambah sulit untuk ditangkap.
Segera timbul maksud membunuhnya, mendadak ia melompat dari atas kudanya, dengan tangannya yang lebar terus mencengkeram ke kepala Kiong Kim-hun.
Tampaknya Kiong Kim-hun sukar menghindarkan tubrukan gaya "Ngo- eng-bok-tho" (elang lapar menyambar kelinci), pada saat berbahaya itulah tiba-tiba terdengar suara mendesing perlahan, sebutir batu kecil mendadak menyambar keluar dari hutan sana.
Dalam keadaan terapung di udara, sukar bagi Pok Yang-kian untuk menghindar, telapak tangannya dengan tepat tersambit batu kecil itu.
Padahal tangan Pok Yang-kian yang biasa berlatih Tiat-sah-tiang itu sangat kuat, siapa tahu hanya satu biji batu kecil saja telah membuat telapak tangannya berlubang kecil, sakitnya melebihi disayat pisau, darah pun mengucur keluar, seketika dadanya terasa panas dan sesak akibat urat nadi ikut tergetar.
Kejut Pok Yang-kian tak terkatakan, pikirnya.
"Pantas bocah ini berlari ke arah hutan, kiranya dia menyembunyikan bala bantuan."
Kepandaian Pok Yang-kian juga sangat hebat, ketika jatuh ke bawah, sebelah tangan sempat menahan di atas tanah, tubuhnya lantas melejit lagi ke atas dan tepat duduk kembali ke atas kudanya.
Kiong Kim-hun sendiri sama sekali tidak menduga akan terhindar dari ancaman elmaut tadi.
Waktu ia memandang ke depan sana, dilihatnya seorang pemuda berbaju kelabu dan menggendong buntalan muncul dari dalam hutan sana.
"Hah, kiranya engkau, sungguh kebetulan sekali!"
Seru Kiong Kim-hun kegirangan.
Lantaran membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba ia merasa suatu arus hawa dingin menyerang ke dalam tubuh, tanpa terasa ia menggigil sehingga kata-kata terakhir tadi hampir-hampir tak terdengar.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keruan ia terkejut, cepat ia tenangkan diri dan mengatur napas.
Penolongnya itu terang ialah Kong-sun Bok, dengan menuding Pok Yang-kian segera pemuda itu membentak.
"Lekas pulang saja buat berlatih lagi! Jika ingin menuntut balas, boleh suruh gurumu datang ke Kim-keh-nia untuk mencari aku!"
Telapak tangan Pok Yang-kian ditembus batu kecil tadi tempatnya tepat pada Lau-kiong-hiat, suatu Hiat-to yang merupakan pangkal urat nadi bagian tangan.
Dengan luka itu, tenaga dalam Pok Yang-kian lantas bocor sehingga kekuatan latihan Hoa-hiat-to yang dihimpun selama hampir sepuluh tahun termusnah dalam sekejap.
Melihat datangnya Kong-sun Bok, Pok Yang-kian menjadi ketakutan setengah mati, mana dia berani bersuara lagi, tanpa pikir dia terus melarikan kudanya dan lari sipat kuping.
Kemudian Kong-sun Bok berpaling dan menyapa Kiong Kim-hun.
"Ya, sungguh sangat kebetulan. Mengapa engkau sendirian datang ke sini?"
"Aku sengaja datang ke sini mencari kau,"
Jawab Kim-hun. Sebelum dia bicara lebih lanjut, sekonyong-konyong Kong-sun Bok memberi tanda agar dia jangan bersuara pula, katanya dengan air muka prihatin.
"Jangan bicara dulu, diam saja. Coba ikut padaku!"
Sudah tentu Kiong Kim-huhn merasa heran dan bingung, pikirnya.
"Memangnya aku hendak bicara dengan kau, apa salahnya kalau aku ikut kau ke dalam hutan?"
Sebagai anak perawan yang masih mulus, ilmu silat Kong-sun Bok jauh lebih tinggi pula daripada dia, seharusnya dia menaruh was-was untuk ikut pemuda itu ke dalam hutan yang sepi.
Tapi entah mengapa sedikit pun dia tidak ragu-ragu, ia merasa pemuda yang tulus itu boleh dipercaya penuh.
Begitulah setiba di tengah hutan yang lebat, di situlah Kong-sun Bok berhenti, lalu ia mengamati-amati Kiong Kim-hun dengan penuh perhatian.
Dengan sendirinya Kiong Kim-hun menjadi likat, katanya kemudian dengan tertawa.
"Memangnya kau tidak kenal lagi padaku?"
"Jangan bersuara!"
Desis Kong-sun Bok, tiba-tiba ia pegang pergelangan tangan si nona dalam penyamaran lelaki itu.
Keruan Kiong Kim-hun terkejut, tapi sukar baginya untuk melepaskan tangannya itu.
Dilihatnya sikap Kong-sun Bok sungguh-sungguh dan prihatin, sedikit pun tiada tanda-tanda akan berbuat tidak senonoh, maka legalah hatinya.
Kong-sun Bok memegang nadi tangan Kiong Kim-hun itu dengan tiga jarinya, sejenak kemudian baru dia berkata pula.
"Kiong-heng, kau sudah terluka, apakah kau tahu?"
Baru sekarang Kiong Kim-hun tahu pemuda itu sengaja memeriksa nadinya, tentu saja ia terkejut dan cepat bertanya.
"Terluka? Cara bagaimana aku bisa terluka?" ~ Seingatnya dalam pertarungannya dengan Pok Yang-kian tadi sama sekali tubuhnya tidak tersentuh sedikit pun oleh cambuk lawan.
"Hoa-hiat-to yang dilatih Pok Yang-kian sudah mencapai tingkatan kelima,"
Demikian Kong-sun Bok menjelaskan.
"Tadi waktu dia menubruk kau dari atas, meski tangannya tidak menyentuh badanmu, tapi ada setitik hawa berbisa menyerang ke dalam Jong-hu-hiat di belakang kepalamu. Untung hawa berbisa itu cuma setitik saja hingga tidak terlalu berbahaya."
Diam-diam Kiong Kim-hun terperanjat, pikirnya.
"Konon Hoa-hiat-to meliputi sembilan tingkat, Pok Yang-kian baru mencapai tingkat kelima dan sudah begini lihai, kalau saja mencapai tingkat kesembilan entah betapa hebatnya? Kepandaian Kong-sun Bok jauh lebih tinggi dari dia, entah tingkat kesembilan itu sudah dicapainya belum?"
Dalam pada itu Kong-sun Bok menambahkan pula ucapannya.
"Meski tidak berat racunnya, tapi juga perlu lekas disembuhkan, Kiong-heng, silakan buka pakaianmu."
Keruan muka Kiong Kim-hun menjadi merah.
"Mau apa?"
Tanyanya.
"Akan kuurut jalan darahmu, kalau diurut dari luar baju akan kurang cepat khasiatnya,"
Kata Kong-sun Bok.
"Jika tidak berat racunnya, tidak perlulah membikin susah padamu, aku aku takut geli,"
Sahut Kim-hun.
Kong-sun Bok tertawa, ia pikir mengapa Kiong-toako ini seperti anak kecil saja takut geli segala, lagaknya kikuk-kikuk mirip anak perempuan pula.
Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Kiong Kim-hun memang anak perempuan.
Maka dengan tertawa ia berkata pula.
"Baiklah, boleh tidak usah buka baju. Kau minum saja Pik-leng-tan yang mujarab untuk memunahkan racun ini, cuma saja obat ini bukan khusus obat untuk racun Hoa-hiat-to, mungkin perlu tiga hari baru dapat membersihkan racun dalam tubuhmu. Selama dua hari ini bila dadamu terasa dingin, maka janganlah kau terkejut dan kuatir."
Sesudah minum pil Pik-leng-tan itu, Kiong Kim-hun merasakan hawa hangat mengalir ke seluruh tubuh, rasanya segar sekali. Seketika terbangkit semangatnya, cepat ia mengucapkan terima kasih kepada Kong-sun Bok.
"Terima kasih apa, kemarin kau telah mentraktir aku makan minum dan aku pun tidak sungkan-sungkan padamu,"
Ujar Kong-sun Bok.
"Makan minum ditukar dengan obat mujarab, obatmu ini tidakkah terlalu murah?"
Kata Kim-hun dengan tertawa.
"Masakah begitu? Jika demikian boleh kau traktir aku makan minum lagi,"
Sahut Kong-sun Bok tertawa.
Melihat cara bicara si pemuda sederhana ini cukup menarik, sikapnya juga simpatik, mau tak mau kesan baik Kiong Kim-hun atas diri Kong-sun Bok menjadi bertambah beberapa bagian.
Walaupun dia tidak menaruh hati padanya, tapi sedikitnya merasa orang ini toh tidak menjemukan.
"Eh, tadi Kiong-heng bilang sengaja datang mencari aku, entah ada urusan apa?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Justru lantaran keparat Pok Yang-kian ini, tapi sekarang dia sudah kau usir pergi, maka persoalan yang orang ingin memohon padamu melalui aku sudah selesai kau kerjakan sebagian."
"Apakah orang lain yang kau maksudkan itu Coh Tay-peng dan kawan- kawannya itu?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Benar. Mereka ingin mohon dua urusan padamu. Pertama, agar engkau mengusir pergi Pok Yang-kian. Kedua, supaya menyembuhkan kawan- kawannya yang terkena racun Hoa-hiat-to, entah kau suka meluluskan tidak permohonan mereka ini?"
Sesudah berpikir sejenak, kemudian Kong-sun Bok menggeleng kepala sebagai tanda tidak dapat menerima.
"Meski orang-orang itupun pantas menerima ganjarannya, tapi kalau dibandingkan Pok Yang-kian, boleh dikata mereka jauh lebih baik,"
Kata Kim-hun.
"Bukan maksudku hendak membela mereka, soalnya kalau mereka tidak disembuhkan, maka mereka pasti akan menjadi alat pemerasan Pok Yang-kian agar orang-orang itu menjadi begundalnya. Padahal guru Pok Yang-kian, yaitu Sebun Bok-ya terang berambisi merajai dunia persilatan, sedapat mungkin kita harus mencegah kekuatan yang akan dia pupuk itu."
"Hal inipun sudah kupikir, aku kan tidak mengatakan tidak mau menolong mereka,"
Ujar Kong-sun Bok. Kiong Kim-hun melengak, habis tadi mengapa kau menggeleng kepala? Demikian pikirnya. Dalam pada itu Kong-sun Bok sudah menyambung pula.
"Jika Pok Yang- kian bertujuan memeras mereka dengan racun Hoa-hiat-to, maka dalam waktu singkat ini tentunya takkan membikin mati orang-orang itu. Sedikitnya mesti menunggu hingga datangnya Sebun Bok-ya bukan?"
"Benar. Menurut Ang Kin, katanya luka racun mereka itu baru akan mematikan setahun kemudian."
"Ah, tahulah aku, kau sengaja membiarkan mereka menderita dulu baru kemudian menyembuhkan mereka sekadar sebagai hukuman bagi mereka, bukan?"
"Betul juga, cuma ada sebab lain lagi."
"Ada sebab lain? Apa itu?"
"Terus terang, Siau-te hendak menemui Liu Beng-cu di Kim-keh-nia. Tentunya Kiong-heng juga tahu bahwa Lok-lim-beng-cu dari proopinsi- propinsi utara ini adalah seorang perempuan."
Tentang nama Hong-lay-mo-li yang menjadi Lok-lim-beng-cu memang baru saja Kiong Kim-hun mendengar dari cerita Han Pwe-eng, maka segera ia menjawab.
"Apakah namanya Liu Jing-yau berjuluk Hong-lay-mo-li itu?"
"Betul,"
Kata Kong-sun Bok.
"Liu Beng-cu itu hendak menyerukan pasukan sukarelawan agar bangkit melawan penyerbuan orang Mongol. Maka persoalan kita ini harus dilaporkan dulu kepada Liu Beng-cu, bila beliau setuju, segera minta beliau mengirim utusan berangkat bersama aku untuk mengobati kawan-kawan Coh Tay-peng itu, dengan demikian kelima Pang-hwe di lembah Hong-ho sini dapat pula ditarik ke bawah panji pasukan sukarelawan. Hm, Sebun Bok-ya benar-benar terlalu tidak tahu diri, ingin menjadi Lok-lim-beng-cu segala, sungguh mimpi belaka. Selama masih ada Liu Beng-cu masakah dia dapat dibiarkan main gila?"
"Apakah sudah lama engkau kenal Hong-lay-mo-li?"
Tanya Kim-hun.
"Di waktu kecil pernah aku melihatnya, aku percaya dia pasti juga masih ingat padaku,"
Jawab Kong-sun Bok.
Padahal kakek Kong-sun Bok, yaitu Kong-sun In, justru adalah guru Hong-lay-mo-li yang berbudi itu.
Dahulu ketika para pahlawan membobol Siang-keh-po, pada saat itu pula Hong-lay-mo-li menyelamatkan Kong-sun Bok dari perkampungan keluarga Siang dan membawanya ke Kong-bing-si, maka hubungan kedua keluarga boleh dikata lain daripada yang lain.
Hanya saja Kong-sun Bok tidak suka menonjolkan hal-hal begituan, sebab itu secara sederhana saja ia melukiskan hubungan baiknya dengan Hong-lay-mo-li.
"Bagaimana tingkat ilmu silat Hong-lay-mo-li? Menurut ucapanmu tadi, agaknya dia jauh lebih hebat daripada Sebun Bok-ya?"
"Aku sendiri belum tahu betapa tinggi ilmu silat Sebun Bok-ya. Tapi melihat kepandaian muridnya, cukup kiranya untuk mengukur kepandaian gurunya. Betapa pun masakah dia dapat menandingi Liu Beng-cu? Apalagi untuk merajai dunia Kang-ouw tidak melulu berdasarkan ilmu silat saja, tapi diperlukan pula keluhuran budi dan kebijaksanaan tindakan. Dalam hal ilmu silat Liu Beng-cu tidak perlu disangsikan lagi, yang harus dipuji adalah kebijaksanannya serta ketegasan tindakannya tanpa pandang bulu. Meski beliau adalah wanita yang berambut panjang, tapi pengetahuan dan kepandaiannya jauh di atas kaum pria."
"Tampaknya engkau benar-benar kagum dan memuja Liu Beng-cu ini,"
Kata Kim-hun dengan tertawa.
"Masakah cuma diriku saja yang kagum padanya,"
Sahut Kong-sun Bok.
"Coba pikir saja, jika apa yang kukatakan tidak benar, masakah beliau mampu mengatasi anak buahnya yang begitu banyak dan menjadi Lok-lim- beng-cu selama duapuluh tahun?"
Diam-diam Kiong Kim-hun membatin.
"Hong-lay-mo-li yang dikatakan Kong-sun Bok ternyata bertentangan sama sekali daripada apa yang dilukiskan oleh ayah. Kalau dipikirkan dengan cermat, memang apa yang dikatakan Kong-sun Bok ini lebih masuk akal. Tapi Hong-lay-mo-li adalah musuh ayah, jika dia benar-benar begitu baik sebagaimana dikatakan Kong- sun Bok, kan berbalik ayah yang bersalah? Hm, betapa pun aku tidak percaya ayah adalah orang jahat."
Untuk pertama kalinya timbul pikiran demikian dalam benak Kiong Kim-hun, pikirannya menjadi kusut, lapat-lapat ia pun rada kuatir.
"Eh, dimanakah Han-toako yang bersama kau itu?"
Tiba-tiba Kong-sun Bok bertanya.
"Dia tinggal di Lok-yang, maka dia sudah pulang ke sana,"
Jawab Kim- hun dengan pipi bersemu merah.
Ia menduga Kong-sun Bok pasti belum tahu bahwa dia adalah samaran wanita, dengan sendirinya juga tidak tahu dia adalah bakal istrinya.
Maka timbul keraguannya apakah perlu memberi sedikit isyarat padanya agar dia mengetahuinya.
Namun orang yang kusukai adalah Han-toako, cara bagaimana aku harus bicara terus terang padanya? Sebaliknya kalau aku tidak menerangkan persoalannya, bila kelak dia mengetahui diriku adalah bakal istrinya, kan tambah serba susah bagiku? Demikian pikiran Kiong Kim-hun semakin bingung.
Dalam pada itu Kong-sun Bok sedang berkata.
"O, jadi Han-toako itu sudah pulang. Lalu engkau sendirian tanpa teman hendak kemana?"
"O, aku..... aku pun tiada tempat tujuan tertentu,"
Jawab Kim-hun sesudah ragu-ragu sejenak.
"Tidakkah lebih baik ikut aku pergi ke Kim-keh-nia saja?"
Ajak Kong-sun Bok.
"Kini orang Mongol sudah mulai menjajah negeri kita, suasana sudah gawat, Liu Beng-cu tentu sangat memerlukan tenaga pembantu."
"Aku pun ingin menemui kesatria wanita yang jarang ada bandingannya seperti Hong-lay-mo-li itu, cuma sekarang belum tiba waktunya,"
Kata Kiong Kim-hun. Diam-diam ia merasa geli, baik Kong-sun Bok maupun Han-toako sama-sama mengajaknya pergi ke Kim-keh-nia, padahal dia justru ingin menghindarkan mereka bertiga berkumpul bersama.
"Apakah barangkali engkau hendak pergi ke tempat Coh Tay-peng sana?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Mengapa kau bisa menduga begitu?"
Kata Kim-hun sambil mengerut kening.
"Hakikatnya kupandang hina orang-orang macam mereka itu, masakah aku sudi ke tempat mereka."
"Tampaknya mereka sangat menghormati kau,"
Kata Kong-sun Bok dengan tertawa.
"Malahan Han-toako itupun memperoleh berkahmu, sepanjang jalan mendapat pelayanan yang baik dari mereka."
"Darimana engkau mendapat tahu?"
Tanya Kim-hun.
"Masakah kau lupa tempo hari aku pun berada di restoran itu? Dari percakapan mereka itu sedikit banyak dapatkah kau menyelami persoalannya,"
Kata Kong-sun Bok.
"Cuma aku tidak paham mengapa orang- orang itu sedemikian menghormat kepadamu?"
Tergerak hari Kiong Kim-hun. Dengan tertawa ia menjawab.
"Itu karena mereka ingin mengambil hati Kiong To-cu dari Oh-hong-to, sedangkan mereka tahu Kiong To-cu adalah ayahku, dengan sendirinya mereka pun sungkan padaku."
Berulang-ulang Kim-hun sengaja menyebut Kiong To-cu dari Oh-hong- to, ia ingin melihat bagaimana reaksi orang. Ternyata Kong-sun Bok hanya manggut-manggut saja, katanya.
"O, ayahmu tentunya seorang tokoh besar di dunia persilatan?"
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiong Kim-hun menjadi heran mendengar ucapan Kong-sun Bok jelas pemuda itu sama sekali tidak tahu "Kiong To-cu dari Oh-hong-to".
Waktu Kiong Kim-kun dilahirkan, hubungan antara keluarga mereka memang sudah berpisah, maka tidaklah heran jika Kong-sun Bok tidak kenal nama calon istrinya menurut janji orang tua kedua pihak itu.
Tapi sedikitnya nama bakal mertua toh diketahuinya kecuali ibunya memang tidak pernah memberitahukan tentang peristiwa menuding perut dan mengikat jodoh itu.
Untuk mencobanya lagi segera Kiong Kim-hun berkata.
"Ayahku tak dapat dikatakan sebagai tokoh besar, hanya saja kepandaian beliau memang lebih tinggi daripada orang-orang macam Coh Tay-peng dan lawan- lawannya, agaknya orang-orang itu ingin mendukung ayahku sebagai Beng- cu. Tapi syukur ayah tidak menyanggupinya sehingga tidak sampai menjadi saingan Hong-lay-mo-li."
"Ayahmu tidak sudi diperalat orang lain, beliau sungguh bijaksana,"
Ujar Kong-sun Bok.
"Dahulu ayahmu sendiri pernah mengguncangkan dunia persilatan dan sesuai untuk disebut sebagai tokoh maha besar dunia persilatan, ayahku juga sangat kagum sekali terhadap ayahmu,"
Kata Kim-hun. Tapi Kong-sun Bok tidak menjadi senang oleh pujian itu, sebaliknya air mukanya tampak susah, katanya dengan gegetun.
"Aku tahu bahwa ayahku adalah gembong iblis yang melakukan segala macam kejahatan, mana ada harganya untuk dikagumi ayahmu? Apa Kiong-heng bukan sengaja hendak menyindir padaku?"
Kiong Kim-hun menjadi terkejut, jawabnya dengan gugup.
"Ah, urusan orang tua di masa lalu aku pun tidak tahu sama sekali, harap Kong-sun Toako jangan anggap sungguh-sungguh ucapanku tadi."
Diam-diam ia pun merasa aneh mengapa Kong-sun Bok memaki ayahnya sendiri, jika begitu Kong-sun Ki memang benar seorang jahat.
Tapi mengapa dahulu ayah mau mengikat perbesanan dengan dia? Tiba-tiba Kong-sun Bok bersuara kaget, katanya dengan suara tertahan.
"He, seperti ada orang datang!"
Benar juga, baru selesai ucapannya sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu seorang kakek berjubah hijau berjenggot cabang tiga muncul di hadapan mereka.
Begitu cepat datangnya si kakek tanpa suara sedikit pun, mau tak mau Kiong Kim-hun terperanjat juga.
Kakek jubah hijau itu menatap tajam kepada mereka, tiba-tiba ia tuding Kong-sun Bok dan bertanya.
"Apakah kau bocah yang mengalahkan Pok Yang-kian di restoran Gi-ciau-lau kemarin itu?"
Sorot mata kakek itu tajam dingin sehingga orang merasa seram melihat sinar matanya itu. Kong-sun Bok terkejut, pikirnya.
"Yang diyakinkan orang ini agaknya lwekang dari Sia-pay, ilmunya sudah mencapai tingkatan sempurna. Jangan-jangan dia inilah Sebun Bok-ya yang sengaja datang buat menuntut balas padaku karena mengetahui Pok Yang-kian telah kukalahkan kemarin?"
Maka dengan tenang kemudian Kong-sun Bok menjawab.
"Ya, benar. Entah Lo-siansing ada keperluan apa?"
Kakek itu hanya mendengus saja, lalu ia berpaling dan bertanya kepada Kiong Kim-hun sambil menuding.
"Kiong Cau-bun dari Oh-hong-to itu ayahmu bukan? Kabarnya kemarin kau pun berada di restoran itu?"
"Sedikit pun tidak keliru, aku pun punya andil menghajar Pok Yang-kian, bila kau ingin menuntut balas baginya boleh silakan saja, kami berdua siap melayani kau,"
Jawab Kiong Kim-hun tanpa pikir, apa yang terkandung dalam hati Kong-sun Bok ternyata keburu diucapkan olehnya. Kembali kakek itu cuma mendengus saja, katanya.
"Hm, Pok Yang-kian itu manusia apa sehingga ada harganya bagiku untuk menuntut balas buat dia? Yang jelas ilmu silat keluarga kalian berdua aku memang ingin belajar kenal, cuma sayang Kong-sun Ki sudah mati, sedangkan Kiong Cau-bun jauh di lautan sana!"
Nyata di balik ucapannya ini seakan-akan anggap kepandaian Kong-sun Bok dan Kiong Kim-hun tiada nilainya untuk diperlihatkan padanya. Keruan Kiong Kim-hun menjadi gusar, teriaknya segera.
"Sebenarnya mau apa kau mencari kami?"
"Bukankah masih ada lagi satu orang?"
Kata si kakek.
"Siapa yang hendak dicari Lo-siansing?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Kalian tidak perlu berlagak pilon,"
Kata si kakek.
"Kemarin kan masih ada seorang she Han yang berada bersama kalian, kemanakah dia pergi, lekas katakan!"
"Aku memang tahu kemana perginya Han-toako, tapi mengapa harus kuberitahukan padamu?"
Jengek Kim-hun.
"Kurangajar!"
Damprat kakek itu sambil melangkah maju.
"Kau mau mengaku tidak?"
"Tidak!"
Jawab Kim-hun dengan bandel.
Dari jarak beberapa langkah jauhnya si kakek terus melontarkan satu pukulan ke arah Kiong Kim-hun.
Lekas Kong-sun Bok menghadang di depan Kim-hun dan menangkiskan serangan itu.
Maka terbenturlah tenaga pukulan jarak jauh kedua orang itu dan menerbitkan suara keras.
Kong-sun Bok tergeliat sedikit, sedangkan jubah si kakek tergetar berkibar.
Tenaga pukulan si kakek tidak sampai mengenai Kiong Kim-hun, namun hawa dingin pukulan kakek itu sudah membuatnya menggigil kedinginan.
Terdengar kakek itu bersuara heran, agaknya rada melengak juga terhadap kekuatan Kong-sun Bok.
Segera ia pun membentak.
"Baik, akan kulihat Hoa-hiat-to yang kau latih sudah mencapai tingkatan keberapa?" ~ Habis berkata ia terus menubruk maju, pukulannya kini tidak lagi pukulan jarak jauh, tapi dari jarak dekat. Angin dingin seketika berjangkit sehingga Kong-sun Bok merasa merinding. Kong-sun Bok merasa tiada permusuhan apa-apa dengan kakek yang tak dikenal itu, ia sungkan untuk menghadapinya dengan ilmu racun dari Sia- pay. Maka ketika pukulan lawan sudah mendekat, barulah cepat dia menjulurkan jari tengah, telapak tangan musuh terus ditotoknya. Serangan ini adalah "Keng-sin-ci-hoat" (ilmu jari maha sakti) ajaran Liu Goan-cong. Untung juga Kong-sun Bok melayani kakek berjubah hijau itu dengan Keng-sin-ci, kalau kedua pihak sama-sama menggunakan ilmu Sia-pay, maka sekali kebentur, seumpama si kakek akan terluka parah, maka jiwa Kong-sun Bok sendiri pun mungkin juga berbahaya. Sebab yang diyakinkan si kakek jubah hijau itu adalah semacam ilmu jahat dari Sia-pay yang sangat lihai, tapi Keng-sin-ci yang digunakan Kong- sun Bok justru adalah ilmu mematikan bagi ilmu jahatnya itu. Hanya saja Keng-sin-ci-hoat yang dilatih Kong-sun Bok belum mencapai tingkatan sempurna, kalau saja si kakek mengadu kekuatan dengan dia, sukarlah untuk diramalkan siapa yang kecundang, cuma kerugian yang diderita Kong-sun Bok mungkin lebih besar. Namun kakek jubah hijau itu adalah seorang yang mahir menilai lawan, begitu melihat lawan mengeluarkan Keng-sin-ci, ia menjadi terkejut dan tidak berani menyerempet bahaya untuk mengadu kekuatan. Kepandaian kakek itu sudah mencapai tingkatan yang dapat dikendalikan sesuka hatinya, pada detik terakhir itulah, yaitu pada saat ujung jari Kong-sun Bok hampir mengenai telapak tangannya, secepat kilat ia menarik kembali pukulannya tadi terus melayang pergi. Tertampak segulungan bayangan hijau berkelebat di kejauhan dan hanya sekejap saja sudah menghilang. Kong-sun Bok mengusap keringat dingin di dahinya, gumamnya kemudian.
"Kiranya gembong iblis Cu Kiu-bok, pantas begini lihai!"
Saat itu Kiong Kim-hun sedang mengerahkan tenaga dalam buat menahan serangan hawa dingin, tapi sekali mengerahkan tenaga dalam rasa dingin itu tambah sukar ditahan.
Ia sedang menggigil kedinginan, tiba-tiba suatu arus hawa hangat menyalur masuk tubuhnya melalui telapak tangan.
Kiranya Kong-sun Bok sudah berduduk di sampingnya sambil menggenggam kencang kedua tangannya.
Rasa hangat itu dengan cepat menjalari seluruh tubuhnya, Kiong Kim- hun merasa segar dan enak tak terkatakan.
Tiba-tiba ia menjadi merah jengah, maklumlah, selama hidup baru untuk pertama kali ini dia berdekatan dengan seorang lelaki.
Hawa dingin kemudian teruap keluar ikut air keringat, rasa sesak dada Kiong Kim-hun lantas lenyap seluruhnya.
Lalu Kong-sun Bok melepaskan tangannya, katanya dengan tertawa.
"Baiklah sudah. Syukur pukulan iblis tua itu tidak sampai mengenai tubuhmu."
"Orang macam apakah Cu Kiu-bok itu?"
Tanya Kim-hun.
"Ilmu apa yang dia gunakan? Sungguh lihai sekali!"
"Asal-usul iblis itupun aku tidak jelas, aku cuma tahu dia adalah satu- satunya orang di zaman ini yang mampu meyakinkan Siu-lo-im-sat-kang hingga mencapai tingkatan kedelapan."
Kiong Kim-hun terkejut.
"Siu-lo-im-sat-kang?"
Ia menegas.
"Konon ilmu ajaib dari Se-ek (benua barat) itu sudah lama lenyap?"
"Benar, ilmu itu berasal dari Thian-tiok (India), menurut cerita, ratusan tahun yang lalu ilmu itu menurun sampai pada seorang Lhama dari sekte Mi di Tibet. Paderi sakti itu merasa Siu-lo-im-sat-kang teramat keji, maka kitab wasiat cara melatih ilmu itu telah dimusnahkannya, sejak itu tidak mengajarkan lagi ilmu itu kepada muridnya."
"Habis darimana iblis Cu Kiu-bok mendapatkan ilmu itu?"ujar Kim-hun.
"Ya, entah mengapa kemudian Siu-lo-im-sat-kang itu muncul pula di dunia ini kira-kira ada duapuluh-tigapuluh tahun yang lalu,"
Tutur Kong-sun Bok.
"Tokoh yang mahir itu bernama Kim Ciau-gak, Kok-su dari negeri Kim. Tapi dia hanya mencapai tingkatan ketiga daripada ilmu itu. Namun Kim Ciau-gak memang manusia cerdas, dia telah berlatih Siu-lo-im-sat-kang bersama ilmu perguruan sendiri, yaitu Lui-sin-ciang sehingga tercipta ilmu gabungan yang disebut Im-yang-ngo-heng-ciang, ilmu pukulan yang sekaligus mengeluarkan hawa panas dingin dari kedua telapak tangannya, kalau cuma jago silat biasa saja pasti tidak tahan sekali hantam olehnya. Dengan ilmu itulah Kim Ciau-gak telah malang melintang di dunia Kang-ouw dan akhirnya menjabat sebagai Kok-su kerajaan Kim. Akhirnya dia bertemu sepasang suami-istri yang sakti, yaitu Siau-go-kan-kun dan Hong-lay-mo-li, maka terbinasalah dia."
Diam-diam Kiong Kim-hun terkejut dan membatin.
"Kiranya engkong luarku itu tewas di tangan Hong-lay-mo-li dan suaminya, pantas ayah begitu benci dan dendam kepada Mo-li itu. Tapi Gwa-kong (kakek luar) pernah menjabat Kok-su kerajaan Kim, kenapa ayah tidak pernah menceritakan hal ini padaku."
Kiranya ibu Kiong Kim-hun bernama Kim Ting-nio, yaitu anak perempuan Kim Ciau-gak. Sejak kecil Kiong Kim-hun sudah mendengar cerita ibunya tentang betapa lihainya Siu-lo-im-sat-kang dan baru sekarang dia menyaksikannya sendiri.
"Siu-lo-im-sat-kang itu makin tinggi setingkat makin tambah satu kali lipat kekuatannya,"
Demikian Kong-sun Bok menyambung pula.
"Jika sudah mencapai tingkatan kesembilan, yaitu tingkatan yang tertinggi, asal ujung jari menyentuh sasarannya, kontan sang korban akan mati beku perdarahannya. Untung Cu Kiu-bok baru mencapai tingkatan kedelapan sehingga aku masih sanggup melawannya."
"Wah, celaka!"
Tiba-tiba Kiong Kim-hun berseru. Keruan Kong-sun Bok terkejut.
"Kau kedinginan atau merasa panas?"
Tanyanya cepat. Ia menyangka hawa racun dingin dalam tubuh Kiong Kim- hun belum punah seluruhnya dan karena itu merasa sakit.
"Bukan, bukan soal itu,"
Jawab Kim-hun.
"Iblis she Cu itu telah mencari tahu kepada kita tentang diri Han-toako, jangan-jangan dia hendak mencari perkara pada Han-toako. Meski kepandaian Han-toako cukup tangguh, tapi pasti bukan tandingan iblis tua itu!"
"Apakah kau kenal asal-usul Han-toako itu?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Aku pun baru kenal dia kemarin,"
Jawab Kiong Kim-hun.
"Tapi dia sangat baik padaku, jika dia ada kesukaran, betapa pun aku tidak dapat tinggal diam."
Terpikir oleh Kiong Kim-hun bahwa besar kemungkinan Cu Kiu-bok itu akan menyusul ke rumah Han Pwe-eng di Lok-yang, maka ia menjadi kuatir, tanpa sabar lagi ia terus melangkah pergi. Tapi sebelum keluar hutan itu Kong-sun Bok sudah menyusul tiba.
"Kiong-heng, marilah kita pergi bersama!"
Seru pemuda itu.
"Bukankah kau hendak pergi mencari Hong-lay-mo-li di Kim-keh-nia?"
Ujar Kim-hun. ARI sini ke Lok-yang hanya makan waktu lima-enam hari saja, pergi-datang juga tidak lebih setengah bulan,"
Kata Kong-sun Bok. Kiong Kim-hun menjadi girang, katanya.
"Tapi engkau sudah banyak membantu aku, mana boleh engkau menghadapi bahaya lagi."
"Tenagamu belum pulih, tidakkah terlebih bahaya menempur gembong iblis itu?"
Jilid 6
"D "Ya, aku pun menyadari bukan tandingan iblis tua itu sekali pun bergabung dengan Han-toako, tapi demi membela kawan, terpaksa tak dapat pikirkan sebanyak itu."
"Bagus, memang orang Kang-ouw paling mengutamakan setia kawan. Jika engkau bertekad membela kawan, masakah aku tidak boleh berbuat hal yang sama? Bukankah kawanmu berarti kawanku pula?"
Diam-diam Kiong Kim-hun bergirang dan merasa malu diri pula, pikirnya.
"Dia anggap aku sebagai kawan, tak tahunya aku justru hendak membatalkan pertunanganku dengan dia."
Maka dengan tertawa ia pun menerima maksud baik Kong-sun Bok serta mengucapkan terima kasih.
Begitulah mereka lantas mengeluarkan ginkang masing-masing untuk meneruskan perjalanan.
Biasanya Kiong Kim-hun rada bangga atas ginkangnya sendiri, tapi setelah berlomba dengan ginkang Kong-sun Bok, mau tak mau ia harus mengakui keunggulan pemuda itu.
Beberapa kali ia mencoba meninggalkan Kong-sun Bok, tapi selalu gagal, pemuda itu tetap mengintil di belakangnya tanpa kendur sedikitpun.
Malahan terkadang Kong-sun Bok memperingatkan dia bila menghadapi jalanan yang terjal dan licin di jalan pegunungan itu sehingga Kiong Kim-hun terhindar dari bahaya jatuh tergelincir.
Sudah tentu sikap Kong-sun Bok yang simpatik itu menimbulkan rasa bimbang pada Kiong Kim-hun.
Pikirnya.
"Kawan yang simpatik seperti dia sungguh sukar dicari. Andaikata aku tidak bertemu lebih dulu dengan Han- toako, bisa jadi aku pun akan suka padanya. Hanya sayang, meski ilmu silatnya tinggi, tapi kurang romantis. Untuk menjadi sahabat memang baik, tapi jika kau harus hidup bersama dia untuk selamanya, maka aku pun lebih suka memilih Han-toako."
Kalau Kiong Kim-hun tenggelam dalam lamunannya sendiri, Kong-sun Bok ternyata acuh tak acuh dan tidak mengajak bicara padanya.
Sementara itu hari sudah dekat magrib, dari napas orang dapatlah Kong- sun Bok mengetahui kawannya itu sudah lelah, katanya kemudian.
"Di depan sana ada suatu kota kecil, marilah kita mengaso di sana, besok saja melanjutkan perjalanan."
Kiong Kim-hun menjadi serba susah menghadapi bermalam bersama Kong-sun Bok mengingat dirinya adalah seorang perempuan.
Setiba di kota kecil itu dan mendapatkan sebuah hotel, baru saja Kong- sun Bok minta disediakan sebuah kamar, tiba-tiba Kiong Kim-hun menyela dan minta disediakan dua buah kamar.
Kong-sun Bok tercengang memandangi sang kawan.
Maka dengan tertawa Kiong Kim-hun lantas menerangkan.
"Aku sudah biasa tidur satu kamar sendirian, karena itu biarlah kita masing-masing berdiam satu kamar saja agar tidak saling mengganggu."
Cara ini rupanya dia jiplak dari Han Pwe-eng yang menolak bersatu kamar dengan dia tempo hari.
Meski tidak bersatu kamar, tapi waktu makan toh harus bersama.
Begitulah waktu makan malam, Kiong Kim-hun pesan beberapa macam daharan ke kamarnya untuk bersantap bersama Kong-sun Bok.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah sama-sama minum beberapa cawan arak, Kong-sun Bok melihat Kiong Kim-hun mengerut kening, dengan tertawa ia bertanya.
"Kiong-heng, apakah kau merasa daharan ini kurang lezat?"
"Lezat sekali,"
Jawab Kiong Kim-hun dengan tertawa.
"Jauh lebih enak daripada masakan di restoran Gi-ciau-lau tempo hari."
"Ah, Kiong-heng suka bergurau, daharan dusun begini mana dapat menandingi masakan restoran Gi-ciau-lau yang termasyhur itu?"
Ujar Kong- sun Bok setelah melenggong sejenak. Kembali Kiong Kim-hun mengerut kening, ia pikir kalau Han-toako tentu tidak segoblok dia ini. Terdengar Kong-sun Bok bertanya pula.
"Sebenarnya Kiong-heng sedang memikirkan apa?"
"Ya, aku sedang teringat kepada sesuatu dan merasa heran,"
Kata Kim- hun.
"Soal apa? Dapatkah katakan padaku?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Aku heran, ayahku jarang datang ke Tiong-goan sini, entah darimana iblis tua Cu Kiu-bok itu kenal nama ayahku?"
Jawab Kiong Kim-hun. Ia sengaja mencoba apakah Kong-sun Bok benar-benar tidak tahu hal-ikhwal pertunangan mereka sejak masih di dalam kandungan perut ibu masing- masing. Kong-sun Bok bergelak tertawa, katanya.
"Kenapa mesti heran? Ayahmu adalah tokoh silat ternama dan termasyhur, orang-orang macam Coh Tay- peng saja tahu, apalagi gembong iblis seperti Cu Kiu-bok?"
Kiong Kim-hun menjadi kecewa, tapi juga senang.
Nyata dari jawaban itu jelas Kong-sun Bok memang tidak tahu hubungan pertunangan mereka itu.
Maka ia pun pura-pura berlagak menyadari apa yang dikatakan Kong-sun Bok, ia ikut terbahak-bahak dan bertanya.
"Ha, ha, dasar aku memang bodoh, masakah hal begini saja tak bisa berpikir. Engkau benar-benar pintar, Kongsun-toako."
Tapi di dalam hati diam-diam ia menertawakan Kong-sun Bok adalah "orang tolol", masakah sedikit pun tidak curiga terhadap pertanyaannya tadi.
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara roda kereta yang berhenti di pekarangan hotel itu.
Pengurus hotel berlari-lari keluar menyambut tamu.
Saat itu sudah dekat tengah malam, tapi cahaya bulan sangat terang, pengurus hotel itu membawa lentera pula, sedangkan jendela kamar Kiong Kim-hun menghadap pekarangan, maka keadaan di luar dapat dilihatnya dengan jelas.
Pertama-tama yang menarik perhatian adalah kereta yang megah itu, samar-samar kelihatan penumpangnya adalah seorang lelaki dan seorang perempuan.
Saat itu kereta baru saja berhenti dan kedua penumpang itu belum turun.
"Sungguh kereta yang sangat indah, penumpangnya kalau bukan kaya tentu adalah orang berpangkat,"
Puji Kiong Kim-hun.
"Keretanya masih belum apa-apa, coba perhatikan keempat ekor keledai penarik kereta itu,"
Kata Kong-sun Bok.
"Keempat ekor keledai kelabu itu berkaki panjang dan berpinggang kecil, tapi tingginya melebihi kuda biasa, tampaknya keledai-keledai itu adalah pilihan semua, lebih hebat lagi adalah empat keledai berbulu sama. Keledai bagus begini tentu larinya tidak kalah cepatnya daripada kuda."
Sementara itu kedua penumpang kereta sudah turun, terdengar yang lelaki berkata kepada pengurus hotel agar disediakan dua buah kamar kelas satu.
"Tentunya kakak beradik,"
Bisik Kiong Kim-hun kepada Kong-sun Bok.
"Hah, benar-benar kakak beradik yang amat cakap, mirip sepasang boneka saja."
"Mereka membawa senjata, dapatkah kau melihatnya?"
Kata Kong-sun Bok. Kim-hun mengangguk, jawabnya.
"Entah bagaimana kepandaian mereka? Aku menjadi ingin menjajal mereka."
"Orang kosen teramat banyak di dunia Kang-ouw ini, hendaklah Kiong- heng jangan cari gara-gara,"
Ujar Kong-sun Bok.
"Aku cuma omong saja, memangnya kita tidak punya pekerjaan lain?"
Sahut Kim-hun dengan tertawa. Dalam pada itu pengurus hotel sedang memanggil pelayan agar mengusung barang-barang bawaan tetamu.
"Guci arak ini biar kubawa sendiri, tidak perlu kalian menggotongnya,"
Terdengar penumpang puteri itu berkata.
Yang dimaksudkan adalah sebuah guci arak ukuran sedang, kira-kira dapat mengisi arak tigapuluhan kati.
Bentuk gucinya sudah kuno, entah arak apa di dalam guci itu karena tiada tempelan kertas etiket.
Kupingan guci itu digandeng dengan tali, penumpang puteri itu hanya menggunakan dua jarinya saja untuk mengangkat guci arak itu.
Diam-diam pengurus hotel terkejut bahwa seorang perempuan lemah ternyata memiliki tangan yang kuat.
Kiong Kim-hun juga merasa heran.
Sudah tentu herannya bukan lantaran penumpang puteri itu sanggup mengangkat guci arak itu dengan dua jari saja, tapi heran mengapa dia begitu memperhatikan seguci arak sehingga perlu membawanya sendiri ke dalam hotel? "Sungguh tidak nyana nona secantik itu ternyata seorang pemabukan!"
Kata Kiong Kim-hun dengan tertawa.
"Darimana kau mengetahui dia peminum arak?"
Tanya Kong-sun Bok.
"Habis dia membawa satu guci arak dalam perjalanan, bahkan tidak boleh disentuh orang lain, mungkin arak yang dia bawa teramat mahal dan enak, dia kuatir guci araknya pecah bila digotong oleh pelayan hotel,"
Ujar Kim-hun.
"Bisa jadi isi guci itu bukan arak, melainkan harta benda mestika?"
Kata Kong-sun Bok.
"Betul, betul, kau sangat pintar, aku tidak berpikir sampai di situ,"
Puji Kiong Kim-hun dengan tertawa.
Sebenarnya Kong-sun Bok bukan orang bodoh, dia cuma kurang pengalaman berkelana di dunia Kang-ouw, otaknya tidak selincah Kiong Kim-hun yang dapat berpikir dengan cepat.
Maka sesudah berpikir lagi sejenak, tanpa terasa ia pun ikut tertawa.
Katanya.
"Ya, benar, dengan kepandaian mereka, biarpun isi guci itu penuh benda mestika yang herharga juga tidak perlu dijaga secara begitu ketat."
Sesudah minum beberapa cawan arak lagi, terdorong oleh pengaruh arak, tiba-tiba Kiong Kim-hun bertanya.
"Kongsun-toako, engkau sudah mengikat jodoh belum?"
Pertanyaan mendadak ini membikin Kong-sun Bok tercengang, jawabnya kemudian.
"Sejak kecil aku dan ibu tinggal di pegunungan, maka belum mengikat jodoh apa-apa. Ada apakah Kiong-heng tanyakan soal ini?"
"Aku ingin menjadi comblang bagimu,"
Kata Kim-hun dengan tertawa. Melihat kedua pipi Kiong Kim-hun bersemu merah, Kong-sun Bok pikir kawannya itu tidak kuat minum arak, agaknya sudah mendekati mabuk. Maka dengan tertawa ia menjawab.
"Aku belum ada pikiran buat berkeluarga, banyak terima kasih atas maksud baikmu."
"Apakah Kongsun-toako tidak ingin tahu puteri keluarga mana yang hendak kuperantarakan kepadamu?"
Tanya Kim-hun.
"Ya, entah sanak familimu yang mana?"
Jawab Kong-sun Bok. Kiong Kim-hun minum pula satu cawan arak, lalu berkata dengan tertawa.
"Bukan sanak juga bukan familiku, bila jauh di ujung langit, kalau dekat justru di depan mata saja. Yang kumaksudkan tak lain tak bukan adalah nona yang baru tiba dengan kereta keledai itu, menurut kau cantik tidak dia? Jika engkau ada minat, nanti aku mencari jalan untuk berkenalan dengan dia, kemudian menjadi perantara bagimu."
"Kau sudah terlalu banyak minum, Kiong-heng,"
Kata Kong-sun Bok dengan tertawa.
"Sudahlah, kita mengaso saja siangan sedikit, besok kita masih harus melanjutkan perjalanan."
Waktu itu penumpang puteri tadi sudah memasuki kamarnya yang terletak di depan kamar Kiong Kim-hun, entah apakah mendengar perkataan mereka itu, sekonyong-konyong penumpang puteri itu menggabrukkan daun jendelanya hingga rapat.
"Jangan sembarangan omong lagi, Kiong-heng lekas tidur saja,"
Demikian Kong-sun Bok mendesis. Sesudah Kong-sun Bok kembali ke kamarnya, diam-diam Kiong Kim-hun berpikir.
"Aku telah memancing dan mencoba dia, tapi dia masih tetap tidak tahu, maka dapat dipastikan dia memang benar-benar tidak tahu tentang pertunangan menuding perut ibu masing-masing itu."
Memangnya Kiong Kim-hun sedang kesal berhubung entah cara bagaimana harus membuka mulut untuk membatalkan pertunangan, kini diketahui Kong-sun Bok sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hal itu, maka longgarlah tekanan batinnya sekarang.
Sesudah pelayan membersihkan mejanya, lalu ia pun berbaring dan tidur.
Sampai tengah malam, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh sesuatu suara, baru membuka mata, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang sudah berada di depan tempat tidurnya.
Keruan dia sangat terkejut, pengaruh arak dan rasa kantuk lenyap sama sekali, cepat ia melolos pedang terus menusuk.
Namun orang itu sempat menjepit batang pedangnya dengan kedua jari sambil mendesis.
"Ssst, jangan bersuara, akulah!"
Tidak kepalang kaget Kiong Kim-hun, cepat ia menegas.
"Kongsun-toako, mau apa kau datang ke sini?"
"Iblis tua she Cu itu sudah tiba!"
Desis pula Kong-sun Bok.
Rupanya dia kuatir Kiong Kim-hun tidur terlalu nyenyak lantaran mabuk dan kena disergap oleh Cu Kiu-bok, maka sengaja datang membangunkan dia.
Dalam pada itu terdengarlah suara benturan senjata di luar sana, menyusul lantas terdengar Cu Kiu-bok sedang bergelak tertawa dan berkata.
"Kau jangan salah paham. Aku bukan maling cabul yang hendak berbuat tidak senonoh kepadamu, aku cuma ingin minta sesuatu barang padamu."
Cepat Kiong Kim-hun memakai kopiahnya (zaman dahulu lelaki dan perempuan sama-sama memelihara rambut panjang), diam-diam ia bersyukur tidur tanpa membuka baju sehingga rahasia penyamarannya tidak sampai diketahui oleh Kong-sun Bok.
Kemudian ia mendekati jendela dan mengintip keluar, dilihatnya nona penumpang kereta dengan pedang terhunus sedang bergebrak dengan Cu Kiu-bok.
Berturut-turut nona cantik itu melancarkan tiga kali serangan dengan gaya yang sangat indah.
Jurus pertama tampaknya seperti Tat-mo-kiam-hoat dari Siau-lim-pay yang disebut "Kim-ciam-toh-jiat" (jarum emas memunahkan maut), tiba-tiba jurus kedua berubah menjadi "Liong-teng-toh- cu" (merebut mutiara di kepala naga), suatu jurus ilmu pedang dari Bu-tong- pay, sedangkan jurus serangan ketiga tampaknya adalah ilmu pedang Go-bi- pay yang disebut "Ci-li-tau-soh" (si gadis tenun melempar jarum).
Jurus-jurus serangan itu kelihatannya mirip ilmu pedang ketiga aliran itu, tapi toh bukan begitu halnya, bahkan jauh lebih indah daripada asli ilmu pedang ketiga aliran tadi.
Diam-diam Kiong Kim-hun memuji kebagusan ilmu pedang orang, tapi ilmu pedang apakah itu ia pun tidak tahu.
Cu Kiu-bok tampak menghadapi ilmu pedang si nona dengan tenang- tenang saja, berulang ia hindarkan ketiga serangan itu, ketika si nona melancarkan serangan keempat kalinya, barulah mendadak Cu Kiu-bok menyelentik dengan jarinya.
"cring", pedang si nona diselentik ke samping. Kontan nona cantik itupun tergetar mundur dua-tiga tindak serta merasakan hawa dingin yang menggigilkan badan.
"Hm, Pek-hoa-kiam-hoat....."
Baru saja Cu Kiu-bok menjengek akan ilmu pedang si nona, sekonyong-konyong angin tajam menyambar tiba, seorang laki-laki mendadak melompat turun dari atas rumah sambil membentak.
"Mau apa kau jika Pek-hoa-kiam-hoat?"
Kiranya kakak si nona itupun sudah muncul. Sekali mengebas lengan bajunya, Cu Kiu-bok menyampuk pedang si pemuda ke samping sambil mendengus.
"Tidak apa-apa, hanya sayang latihan kalian belum sempurna."
Pemuda itu balas mendengus.
"Hm, biarpun belum sempurna juga dapat membereskan kau bangsat tua ini!"
"Boleh saja kau mencobanya!"
Jawab Cu Kiu-bok.
Berbareng kelima jarinya terus mencengkeram untuk merampas pedang lawan.
Gerak mencengkeram ini sangat ganas dan jitu, tampaknya pergelangan tangan si pemuda segera akan terpegang, syukur si nona keburu melompat maju, pedangnya lantas menusuk punggung musuh.
Terpaksa Cu Kiu-bok harus menyelamatkan diri lebih dulu, mendadak ia menendang ke belakang sehingga si nona dipaksa melompat mundur, pada saat itu pula terdengarlah suara "bret", lengan baju Cu Kiu-bok terpapas robek sebagian, sedangkan pergelangan tangan si pemuda juga terserempet oleh jari Cu Kiu-bok dan berdarah, hampir pedangnya terlepas dari cekalan.
Maka tahulah kedua belah pihak bahwa masing-masing telah ketemukan lawan tangguh.
Diam-diam si pemuda bersyukur dapat bekerja sama dengan baik dengan adik perempuannya sehingga terhindar dari cengkeraman maut musuh.
Sebaliknya Cu Kiu-bok juga merasa ilmu pedang si pemuda jauh di luar dugaannya.
Untuk mengalahkan gabungan kakak beradik itu rasanya tidak mudah, terkecuali mesti mengeluarkan Siu-lo-im-sat-kang.
Akan tetapi Cu Kiu-bok juga mesti berpikir dua kali sebelum mengeluarkan Siu-lo-im-sat-kang, sebab ia harus menimbang diri kedua muda-mudi yang berasal dari keluarga tokoh persilatan terkenal itu, jika sampai mencelakai mereka tentu urusan akan menjadi makin ruwet.
Karena itu pada saat kedua kakak beradik itu didesak mundur, segera Cu Kiu-bok berkata.
"Aku cuma hendak minta minum arakmu saja dan tiada maksud mencelakai kalian. Maka kalau kalian bisa melihat gelagat, lekas serahkan arak yang kalian bawa itu agar tidak membikin susah kalian sendiri."
Si pemuda tercengang, ia menegas.
"Kau ingin minta arak apa?"
"Serahkan arak Pek-hoa-ciu dalam guci yang tersimpan di kamar adikmu itu, habis itu aku lantas angkat kaki,"
Jawab Cu Kiu-bok.
Mendengar itu, diam-diam Kiong Kim-hun merasa heran juga, ia pikir kiranya isi guci yang dibawa si nona cantik itu ternyata benar arak yang bernama Pek-hoa-ciu.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa penjelasan lebih lanjut tentunya sudah dapat diketahui bahwa kedua muda-mudi itu bukan lain adalah Hi Giok-hoan dan Hi Giok-kun adanya.
Mereka sedang dalam perjalanan ke Lok-yang dengan membawa guci arak Pek-hoa-ciu untuk mengobati penyakit Han Tay-wi.
Begitulah terdengar Cu Kiu-bok berkata pula dengan tertawa.
"Aku sedang mau pergi melawat kematian Han Tay-wi, sebab itu aku tahu Pek-hoa- ciu ini sangat diharapkan oleh Han Tay-wi dan sebab itu pula aku harus menggagalkan harapannya itu. Nah, sekarang kalian sudah paham belum?"
Hi Giok-kun coba mengerahkan tenaga dalam untuk mengatur pernapasannya, ia merasa hawa dingin tadi belum lenyap seluruhnya. Sesudah mendengar jawaban lawan, segera ia pun tahu siapa yang dihadapinya, segera ia berseru.
"Hah, kiranya kau adalah iblis tua Cu Kiu- bok."
"Ha, ha, ha, jika kalian sudah tahu siapa diriku, kenapa tidak lekas serahkan arak yang kuminta itu?"
Kata Cu Kiu-bok bergelak tertawa.
"Hm, bangsat tua macam kau ini jangan sekali-kali mengharapkan Pek- hoa-ciu yang kubawa itu!"
Jawab Giok-kun dengan gusar.
"Ah, jika kau tidak mau memberi, memangnya aku tak dapat mengambilnya sendiri?"
Jengek Cu Kiu-bok.
Berbareng ia menghantam pula dengan kedua tangannya, masing-masing menuju ke dua kakak beradik itu.
Giok-kun tidak tahan oleh tenaga pukulan lawan, cepat ia mengegos ke samping.
Mendadak Cu Kiu-bok melayang maju dengan cepat, laksana burung menyelinap di antara pepohonan, tahu-tahu ia menerobos lewat di tengah kedua muda-mudi itu terus berlari ke kamar Giok-kun, maksudnya hendak merebut Pek-hoa-ciu tentunya.
Letak kamar Hi Giok-kun berhadapan dengan kamar Kiong Kim-hun, dengan jelas Kim-hun dapat mengikuti semua kejadian itu.
Dengan suara perlahan ia mendesis.
"Bagaimana Kongsun-toako, kau tidak membantu mereka?"
"Jangan buru-buru, tunggu dan lihat dulu!"
Ujar Kong-sun Bok.
Rupanya Kong-sun Bok dapat menilai ilmu silat kedua kakak beradik she Hi itu sangat tinggi, ia yakin Cu Kiu-bok tidak mudah mengalahkan mereka.
Diam-diam ia pun heran, darimanakah kedua muda-mudi yang berkepandaian tinggi ini, rasanya sukar bagi Cu Kiu-bok untuk mengalahkan mereka dalam waktu singkat, sebentar kalau iblis tua itu sudah banyak membuang tenaga barulah aku ikut turun tangan dan pasti akan dapat menundukkan dia.
Maklumlah, meski siangnya Kong-sun Bok telah membikin ngacir Cu Kiu-bok dengan Keng-sin-ci-hoat, tapi hal ini boleh dikata rada kebetulan karena Cu Kiu-bok belum kenal asal-usulnya.
Jika bertanding betul-betul, Kong-sun Bok sendiri merasa belum sanggup menandingi Cu Kiu-bok.
Tapi bila sebagian tenaga Cu Kiu-bok sudah diperas oleh Hi Giok-hoan berdua, lalu Kong-sun Bok turun tangan, maka dia yakin akan dapat mengalahkan iblis itu, bahkan tak sukar untuk membinasakannya.
Pancaindera Cu Kiu-bok benar-benar sangat awas dan tajam, meski Kiong Kim-hun bicara dengan Kong-sun Bok dengan suara tertahan, tapi sedikit mendesis itu saja sudah dapat didengar oleh si iblis tua, hanya saja tidak terdengar jelas apa yang diucapkannya itu.
Keruan ia terperanjat, terutama suara orang rasanya sudah dikenalnya.
Ia pikir.
"Apakah mungkin bocah Kong-sun Bok itupun berada di sini, masakah begini kebetulan?"
Karena perhatiannya terpencar, lompatan Cu Kiu-bok ke kamar Hi Giok- kun di atas loteng itu menjadi gagal, baru sebelah tangannya memegang tiang pagar loteng dan hendak melintas ke atas, tahu-tahu Hi Giok-hoan juga telah melompat ke atas menyusulnya.
"sret", pedang si pemuda lantas menusuk punggungnya. Dalam keadaan badan terapung di udara, sukar bagi Cu Kiu-bok untuk menangkis, sekenanya ia ayun tangannya.
"krak", pagar kayu patah, sepotong kayu tergetar mencelat dan membentur pedang Hi Giok-hoan. Walaupun begitu, pedang Giok-hoan dapat menabas patah potongan kayu itu dan ujung pedang tetap menyambar ke depan sehingga melukai Cu Kiu- bok walau tidak parah. Hi Giok-hoan tergetar jatuh kembali ke bawah karena tenaga pukulan musuh, sedangkan Cu Kiu-bok menyusul juga jatuh ke bawah. Kedua orang sama-sama jatuh ke bawah, tapi tidak roboh. Dalam pada itu Hi Giok-kun sudah menubruk tiba, kedua pedang kakak beradik segera mengancam pula ke tempat mematikan di tubuh lawan. Meski luka Cu Kiu-bok tidak parah, tapi tokoh terkemuka seperti dia dilukai oleh seorang muda, tentu saja ia menjadi murka. Tadinya ia merasa sungkan terhadap kakak beradik itu mengingat keluarga Hi yang disegani di dunia persilatan, tapi sekarang hal itu tak terpikir lagi olehnya. Begitu kedua pedang kakak beradik she Hi itu tiba, perlahan-lahan Cu Kiu-bok memukulkan sebelah tangannya, mendadak Hi Giok-kun menarik kembali pedangnya dan melompat mundur. Di bawah sinar bulan yang cukup terang, tertampak wajahnya putih pucat, giginya berkertukan karena menggigil kedinginan. Keadaan Hi Giok-hoan tidak seburuk adiknya, namun ia pun tergeliat mundur dua-tiga tindak. Kiong Kim-hun menjadi heran, katanya.
"Pukulan itu tampaknya tidak keras, mengapa mereka tidak tahan?"
"Iblis tua itu sudah menggunakan Siu-lo-im-sat-kang tingkat kedelapan,"
Kata Kong-sun Bok.
Kiranya pukulan Siu-lo-im-sat-kang itu bila sudah mencapai tingkat kedelapan, tenaga pukulan yang dilontarkan takkan mengeluarkan suara apa-apa sehingga sukar diduga.
Dalam pada itu tampak Hi Giok-hoan menubruk maju lagi sambil membentak.
"Coba saja kau punya Siu-lo-im-sat-kang bisa mengapakan diriku?"
Berbareng pedangnya berkelebat, kembali ia menusuk pula.
"Hm, dengan minum Pek-hoa-ciu kau sangka tidak takut lagi kepada Siu- lo-im-sat-kang bukan? Hah, cuma sayang kekuatan kalian terlalu cetek, jika berturut-turut terkena tiga kali pukulanku, mungkin satu guci Pek-hoa-ciu itupun tidak dapat menyelamatkan jiwa kalian,"
Demikian jengek Cu Kiu- bok.
"Apa betul? Aku justru ingin coba-coba!"
Jawab Giok-hoan dengan ketus. Cu Kiu-bok menjadi gusar.
"Baik, kau sendiri yang cari mampus dan jangan salahkan aku tidak kenal ampun!"
Bentaknya sembari melancarkan tiga kali pukulan berturut-turut.
Tenaga pukulannya membikin pedang Hi Giok-hoan terguncang ke samping, pemuda itupun berulang-ulang terdesak mundur, tapi dia hanya menggigil saja dan tiada tanda-tanda terluka apa-apa.
Waktu Cu Kiu-bok melontarkan pukulan ketiga, saat itu Hi Giok-kun juga sedang mengayun pedangnya untuk menyerangnya.
Segera Cu Kiu-bok memutar tangannya ke belakang sehingga Giok-kun dipaksa melompat mundur lagi.
Agaknya nona itu tidak berani menempur iblis tua itu secara berhadapan, namun sekarang giginya tidak berkerutukan menggigil lagi.
Tampaknya ia pun tidak sampai terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang.
Keruan Cu Kiu-bok terkesiap, tiba-tiba terpikir sesuatu olehnya, bentaknya segera.
"Apakah kalian sudah berlatih Siau-yang-sin-kang keluarga Yim?"
"Memangnya mau apa kau bertanya?"
Jawab Giok-hoan menjengek.
"Aku menjadi semakin tak dapat mengampuni kau!"
Bentak Cu Kiu-bok.
Supaya diketahui bahwa di antara bermacam Lwekang dari aliran Cing- pay, hanya Siau-yang-sin-kang saja yang dapat melawan Siu-lo-im-sat-kang.
Kalau Giok-hoan dan Giok-kun sudah meyakinan Siau-yang-sin-kang, maka tanpa Pek-hoa-ciu juga mereka dapat mengobati Han Tay-wi, yakni dengan menggunakan tenaga Siau-yang-sin-kang yang mereka latih.
Padahal Han Tay-wi adalah musuh besar Cu Kiu-bok, sudah tentu ia lebih bernapsu untuk merintangi kepergian kedua kakak beradik Hi itu ke Lok-yang.
Begitulah napsu membunuh Cu Kiu-bo seketika berkobar, pikirnya.
"Umpama tidak membinasakan kedua bocah ini, sedikitnya juga mesti memunahkan ilmu silat mereka."
Dalam hati berbareng ia pun terheran- heran, Aneh, Siau-yang-sin-kang keluarga Yim selamanya tidak diajarkan kepada orang di luar keluarganya, mengapa kedua bocah ini berhasil melatihnya?"
Sudah tentu Cu Kiu-bok tidak tahu bahwa Siau-yang-sin-kang yang dilatih Hi Giok-hoan adalah ajaran Kok Siau-hong.
Hanya saja belum sempurna, baru mencapai enam-tujuh bagian saja.
Bahkan Giok-kun terlebih rendah lagi, kalau tidak bergabung dengan Giok-hoan, mungkin satu kali pukul saja ia tidak tahan oleh tenaga Siu-lo-im-sat-kang Cu Kiu-bok itu.
Dengan kedua tangannya yang berputar naik-turun, serangan Cu Kiu-bok makin lama makin cepat.
Dalam sekejap saja sudah belasan jurus dilontarkan, setiap pukulan selalu membawa kekuatan Siu-lo-im-sat-kang tingkat kedelapan.
Hi Giok-hoan terpaksa main mundur dengan mengitari dua pohon besar di tengah pekarangan itu, dia sudah mulai basah kuyup oleh keringat, dahinya juga mengepulkan uap putih.
Lebih-lebih Hi Giok-kun, ia pun berulang-ulang main berkelit sehingga jaraknya dengan Cu Kiu-bok juga semakin menjauh.
Makin lama suara kertukan giginya yang menggigil kedinginan itupun makin keras sehingga dapat didengar pula oleh Kong-sun Bok.
Diam-diam Kong-sun Bok membatin.
"Iblis tua itu menyerang secara kalap, akhirnya tentu akan banyak mengorbankan tenaga murni. Sebentar lagi bila dia mengerahkan Siu-lo-im-sat-kang sepenuh tenaga, lalu aku menghantamnya secara mendadak dengan terjun dari atas sini, tentu jiwanya dapat kubikin tamat."
Akan tetapi ia pun prihatin atas keselamatan kedua kakak beradik she Hi itu, ia tidak tahu apakah mereka sanggup bertahan sebentar lagi? Saking tegangnya tanpa sadar ia sampai melongok keluar jendela untuk mengikuti pertarungan sengit di bawah agar dapat mengetahui keadaan kedua pihak secara lebih jelas.
Sejak tadi Cu Kiu-bok memang sudah curiga, maka dia senantiasa menaruh perhatian terhadap gerak-gerik sekelilingnya.
Ketika sekilas dilihatnya kepala Kong-sun Bok menongol dari balik jendela sana, ia menjadi terkejut.
Pikirnya.
"Ternyata bocah itu benar-benar berada di sini. Ya, tentunya mereka sudah berkomplot hendak menjebak diriku."
Untuk mengalahkan kakak beradik she Hi itu saja sukar, apalagi masih ada seorang lawan tangguh yang mengintai di samping sana, keruan Cu Kiu- bok tidak berani bertempur lebih lama lagi.
Sekali ia pura-pura menyerang, segera ia melompat ke atas pohon terus melayang keluar pagar tembok hotel sana.
Hi Giok-hoan menjadi bingung, ia tidak paham musuh yang berada di atas angin itu mengapa mendadak melarikan diri malah.
Sudah tentu ia pun tidak berani mengejar.
Tamu-tamu hotel itu cuma terdiri dari rombongan Kiong Kim-hun dan kakak beradik Hi saja, pertempuran itu tidak mengagetkan tamu yang lain.
Sesudah pertempuran selesai, barulah pengurus hotel berani keluar untuk menghibur tetamunya.
"Ah, tidak apa, hanya maling kecil begitu saja, biarpun dua maling sekaligus masakah mampu mencuri barang kami?"
Kata Giok-kun. Diam-diam Kiong Kim-hun mendongkol, jengeknya dalam hati.
"Hm, kalau Kongsun-toako tidak menongol, mungkin jiwa kalian sudah melayang, tapi kau malah menyangka kami adalah maling yang mengincar barangmu. Kau suka berlagak sombong, aku justru ingin menjajal kau nanti."
Sementara itu Kong-sun Bok telah menutup jendela dan berkata.
"Sudahlah, lekas tidur saja agar tidak dicurigai mereka."
"Bicara lagi sebentar,"
Ujar Kim-hun.
"Kongsun-toako, aku ingin tanya sesuatu padamu."
"Urusan apa?"
Jawab Kong-sun Bok.
"Han Tay-wi yang mereka bicarakan itu sebenarnya orang macam apa? Dari percakapan mereka tadi agaknya pertempuran mereka ada sangkut- pautnya dengan orang she Han itu, cuma entah bagaimana duduk perkaranya?"
"Dahulu aku seperti pernah mendengar cerita guruku, katanya Han Tay- wi adalah seorang tokoh Bu-lim yang telah mengasingkan diri, ia terkenal dengan ilmu pedang dan ilmu pukulan, tapi lantaran sudah lama tidak bergerak di dunia Kang-ouw, maka orang yang kenal namanya tidaklah banyak. Ada sangkut-paut apa antara kedua kakak beradik itu dengan Han Tay-wi juga tidak kuketahui. Hanya dari nada ucapan mereka, agaknya Cu Kiu-bok bermusuhan dengan Han Tay-wi, tapi untuk apa mereka harus bercekcok atas satu guci arak, inipun sukar dipahami."
"Orang manakah Han Tay-wi itu?"
Tanya Kim-hun pula.
"Menurut cerita Suhu, katanya di waktu mudanya Han Tay-wi telah menjelajahi dunia Kang-ouw, kemudian mendadak menghilang dan tak diketahui menetap dimana.
"Jika keluarga Han terkenal dengan ilmu pukulan dan ilmu pedang, biarpun Han Tay-wi sudah mengasingkan diri, tentu anak muridnya akan mendapat ajaran kepandaiannya yang sakti itu. Apakah hingga kini anak muridnya belum muncul di dunia Kang-ouw?"
"Benar, kau telah mengingatkan padaku tentang hal ini. Kabarnya Han Tay-wi punya seorang anak perempuan yang telah mendapatkan kepandaiannya yang hebat itu. Empat tahun yang lalu pernah muncul satu kali di Kang-ouw dan mengalahkan Ting Leng-koan, seorang begal besar di daerah Soa-tang."
"Siapakah nama anak perempuan Han Tay-wi itu?"
"Entah. Dari permainan ilmu pedang nona itulah baru Ting Leng-koan mengetahui dia adalah puteri Han Tay-wi."
"Apakah Han Tay-wi tidak punya anak lelaki?"
"Kabarnya dia cuma punya seorang anak perempuan saja dan tidak punya anak lelaki."
Kong-sun Bok baru saja berkelana di Kang-ouw setelah belajar tiga tahun di Kong-bing-si.
Maka sama sekali dia tidak tahu tentang peristiwa Han Pwe- eng mengalahkan kawanan begal di Lo-long-ko serta pembatalan pertunangannya dengan Kok Siau-hong sehingga menimbulkan pengepungan Pek-hoa-kok oleh para pahlawan.
Karena yang diketahui Kong- sun Bok hanya suatu kejadian pada empat tahun yang lampau.
Setelah Kong-sun Bok kembali ke kamarnya sendiri, diam-diam Kiong Kim-hun berpikir pula.
"Orang she Han di dunia ini teramat banyak, jika Han Tay-wi yang dikatakan itu tidak punya anak laki-laki, maka dengan sendirinya dia bukan ayah Han-toako yang kukenal itu. Tapi bukan mustahil mereka berasal dari nenek-moyang yang sama. Katanya kedua kakak beradik itu hendak mengantar arak Pek-hoa-ciu kepada Han Tay-wi, aku menjadi berharap dia adalah sanak famili Han-toako."
Tentang khasiat Pek-hoa-ciu yang dikatakan itu, Kong-sun Bok tidak paham, sebaliknya Kiong Kim-hun cukup mengetahui.
Ayah Kim-hun adalah gembong aliran Sia-pay, maka cukup paham terhadap beberapa macam ilmu sakti dalam aliran Sia-pay, walaupun dia sendiri tidak melatihnya.
Sebab itulah Kiong Kim-hun pernah mendengar dari ayahnya tentang khasiat Pek-hoa-ciu yang sangat manjur untuk mengobati luka pukulan Siu-lo-im-sat-kang.
Andaikan Kiong Kim-hun mengetahui Han Tay-wi adalah ayah Han Pwe- eng, tentunya takkan timbul pikirannya untuk mencuri arak yang dibawa Hi Giok-kun itu.
Tapi lantaran dia tidak tahu jelas adakah hubungan keluarga antara Han-toako yang dikenalnya itu dengan Han Tay-wi, maka maksudnya hendak mencuri arak tanpa terasa lantas timbul.
Menurut jalan pikiran Kiong Kim-hun, karena Cu Kiu-bok bermaksud buruk terhadap Han-toako, jika Han-toako sampai terluka oleh pukulan Siu-lo-im-sat-kang, maka Pek- hoa-ciu yang dikatakan itu kebetulan dapat menolongnya.
Apalagi nona yang membawa Pek-hoa-ciu itu sudah mencurigai diriku, orangnya sangat sombong pula, jika aku minta terang-terangan padanya pasti dia takkan memberikan araknya kepadaku.
Begitulah, maka sesudah lewat tengah malam, diam-diam Kim-hun menggeremet ke bawah jendela kamar Hi Giok-kun, ia mengeluarkan sebuah bumbung kecil dan meniupkan bubuk "Keh-koh-hoan-hun-hiang", semacam obat tidur.
Ia tahu Kong-sun Bok adalah orang yang jujur, terpaksa ia melakukan perbuatannya di luar tahu pemuda itu.
"Keh-koh-hoan-hun-hiang"
Adalah sejenis obat bius yang banyak dipakai orang Kang-ouw, tapi obat pembius buatan Oh-hong-to ini mempunyai khasiat yang lain daripada yang lain, cepat bekerjanya obat itu, bahkan orang yang mengisap bau harum obat itu akan segera merasa lemas sekujur badannya.
Rupanya Hi Giok-kun sudah berjaga-jaga sebelumnya, saat itu dia sedang duduk bersila di atas tempat tidurnya dan sedang mengatur pernapasan dengan mengerahkan lwekang yang tinggi, tujuannya memulihkan kelelahan sehabis bertempur tadi.
Ketika mendadak ia mengendus bau harum obat bius yang memabukkan itu, semula Giok-kun menertawakan lawan yang terlalu menilai rendah padanya, hanya obat tidur saja masakah dapat merobohkannya.
Tak terduga setelah bau harum itu tersedot, segera ia merasa enak sekali, sayup-sayup rasanya menjadi ingin tidur.
Keruan ia terkejut dan tahu gelagat jelek, cepat ia menggigit ujung lidah sendiri, berkat rasa sakit ujung lidah itulah rasa kantuknya dipunahkan, lalu merebahkan diri serta menahan napas dengan pura-pura tidur nyenyak.
Ia pikir bila musuh berani masuk kamar, segera akan dibekuknya tanpa ampun.
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lwekang yang dilatih Giok-kun sudah punya dasar yang kuat, dengan menahan napas dapat bertahan hingga sekian lamanya.
Tapi dia tidak tahu bahwa obat tidur buatan Oh-hong-to itu mempunyai khasiat membikin lemas otot tulang orang, meski cuma sedikit saja yang terisap toh sudah membawa pengaruh atas lwekangnya.
Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung