Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sejati 9


Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Bagian 9



Pendekar Sejati Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Betul,"

   Jawab Siau Liong-sing.

   "Orang itu bernama Sebun Bok-ya,"

   Tutur Cap-si-koh.

   "Dia adalah salah satu di antara kelima iblis terkenal di zaman ini. Bahwa kau sanggup melawannya tanpa terluka boleh dikata sudah untung. Selanjutnya jangan kau cari gara-gara padanya."

   "Mengapa Piau-koh mengundang tamu orang begitu?"

   Kata Sin Liong- sing dengan mengerut kening.

   "Terlalu panjang kalau diceritakan, bukankah besok kau masih berdiam di sini?"

   Tanya Cap-si-koh. Sin Liong-sing cukup cerdik, seketika dia paham maksud sang bibi, cepat ia menjawab.

   "Ya, aku menjadi lupa bahwa bibi masih harus melayani tamu. Biarlah kalau bibi ada tempo luang barulah kita bicarakan lagi, aku mohon diri dulu. Nona Hi juga silakan mengaso, sampai berjumpa pula besok."

   "Besok mungkin nona Hi takkan kau jumpai lagi,"

   Ujar Cap-si-koh.

   "Mengapa? Nona Hi akan segera berangkat pergi?"

   Tanya Sin Liong-sing dengan melengak. Sebelum Giok-kun menjawab, syukur Cap-si-koh menengahi pula.

   "Selanjutnya kau masih ada kesempatan bertemu dengan nona Hi. Tapi sekarang kita harus merahasiakan hubungan nona Hi dengan kita."

   "O, jika begitu semoga kelak dapat bertemu lagi,"

   Kata Sin Liong-sing dengan menyesal. Sesudah pemuda itu mengundurkan diri, lalu Cap-si-koh menuang pula satu cangkir teh hangat kepada Giok-kun, katanya.

   "Tanpa terasa sudah malam, apakah kau sudah mengantuk? Silakan minum teh ini untuk membangkitkan semangat."

   "Di rumah aku pun sering tidur agak jauh malam,"

   Sahut Giok-kun sambil minum teh yang disodorkan tuan rumah.

   "Tadi kita merancang suatu akal untuk mengantar Pek-hoa-ciu kepada Han Tay-wi, soalnya sekarang tergantung dirimu, apakah kau bersedia menyerempet bahaya?"

   Kata Cap-si-koh pula.

   "Aku sudah menyatakan bersedia sekali pun harus terjun ke lautan api,"

   Kata Giok-kun.

   "Begini, dahulu Beng Jit-nio pernah minta aku mencarikan seorang pelayan serba pintar untuk dia, maka sekarang aku minta kau sudi merendahkan diri dengan menyamar seperti kaum budak dan akan kukirim kau kepada Piau-moayku itu, dengan demikian kau dapat masuk ke benteng kuno itu secara leluasa,"

   Kata Cap-si-koh. Dengan rada ragu-ragu Giok-kun menjawab.

   "Tapi tapi aku telah dikenal oleh Cu Kiu-bok yang kini berada di benteng kuno itu, mungkin usaha kita akan gagal jika aku dilihat iblis tua itu."

   "Soal ini tidak sulit,"

   Ujar Cap-si-koh.

   "Aku sanggup merias kau dengan obat-obatan sehingga wajahmu akan berubah sedemikian rupa, mungkin kau sendiri pun akan pangling melihat wajahmu nanti. Maksud tujuan menyelundupkan dirimu ke sana adalah menemukan kembali arak Pek-hoa- ciu yang digondol Beng Jit-nio itu. Hendaklah diketahui, sebabnya Beng Jit- nio menawan Han Tay-wi di rumahnya adalah akibat dendam karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Betapa pun Beng Jit-nio takkan membiarkan Han Tay-wi mati, yang diharapkan dia adalah Han Tay-wi mau tunduk kepadanya. Maka arak yang dia curi itu hendak digunakan sebagai alat pemeras terhadap Han Tay-wi. Jika Han Tay-wi mau tunduk kepadanya, dengan sendirinya kita pun tidak perlu sungkan-sungkan mencuri kembali arak itu. Akan tetapi watak Han Tay-wi teramat kaku, tidak mudah tunduk kepada orang lain, apalagi dipaksa, biarpun Beng Jit-nio membujuk secara halus agar dia minum arak obat itu mungkin juga dia tidak sudi minum."

   "O, jadi bukan maksud Cap-si-koh hendak mencuri kembali arak itu melainkan suruh aku membujuk Han-pepek suka minum arak,"

   Kata Giok- kun.

   "Tapi membujuk Han-pepek minum arak itu mungkin jauh lebih sulit daripada mencuri kembali araknya."

   "Dengan kecerdasanmu tentu tidak sulit mengambil hati dan memperoleh kepercayaan Piau-moayku, untuk mencuri araknya rasanya juga tidak sulit. Sedangkan hubunganmu dengan puteri Han Tay-wi laksana saudara sekandung, dia pasti takkan percaya bahwa kau adalah pembantu setia Beng Jit-nio, jika kau membawa arak itu kepadanya dan menjelaskan duduknya perkara, tentunya takkan sulit lagi membujuk Han Tay-wi minum arak itu."

   "Aku bersedia menempuh segala bahaya,"

   Kata Giok-kun.

   "Cuma Han- pepek tidak melulu terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang. Bukankah katanya dia juga terluka oleh Hoa-hiat-to?"

   "Benar, tapi racun Hoa-hiat-to lebih mudah diobati,"

   Kata Cap-si-koh.

   "Aku akan memberikan satu bungkus obat bubuk padamu, meski bukan obat mujarab penawar racun, tapi dengan lwekang Han Tay-wi yang tinggi, rasanya racun Hoa-hiat-to takkan berbahaya baginya. Obat bubuk ini boleh kau campurkan di dalam Pek-hoa-ciu dan suruh dia minum sekaligus."

   "Cap-si-koh benar-benar telah berusaha dengan segala daya-upaya, semoga aku tidak menggagalkan tugas yang dibebankan padaku,"

   Sahut Giok-kun.

   "Baiklah, sekarang bolehlah kau pergi tidur,"

   Kata Cap-si-koh.

   Lalu ia bertepuk tangan, Si Bwe lantas muncul dan membawa Giok-kun ke kamar yang disediakan.

   Kamar tamu itu teratur sangat indah.

   Di depan jendela ada sebuah meja marmer kecil, sebuah ang-lo kecil mengepulkan asap cendana wangi yang serupa dupa wangi kegemaran Han Pwe-eng.

   Si Bwe menunjuk sebuah botol kecil warna hijau di atas meja, katanya.

   "Botol itu berisi minyak pelumas kulit dan punya khasiat mengubah warna kulit, sebelum tidur boleh nona Hi poles di muka sendiri."

   Nyata Si Bwe sudah mengetahui tentang maksud Cap-si-koh akan merias dan mengubah wajah Hi Giok-kun.

   "Enci Si Bwe, apakah besok engkau yang akan mengantar aku ke sana?"

   Tanya Giok-kun.

   "Belum ada perintah dari majikan, entah aku atau Si Kiam, sesungguhnya aku tidak suka bertemu dengan Piau-koh yang bertabiat aneh itu,"

   Jawab Si Bwe.

   "Nona Hi, pakaian tidur ini adalah milik hamba, jika engkau tidak menolak boleh dipakai saja. Teh di atas meja ini baru saja diseduh untuk nona. Sekarang hamba mohon diri dulu."

   Setelah Si Bwe pergi, menghadapi asap dupa wangi yang mengepul tipis itu, pikiran Giok-kun melayang-layang membayangkan kehidupan manusia yang aneh-aneh, apa yang dialaminya sehari semalam ini benar-benar di luar dugaan.

   Han Tay-wi yang berkepandaian tinggi ternyata mengalami nasib rumah hancur dan keluarga berantakan, tiba-tiba diketemukan pula seorang Sin Cap-si-koh yang serba tahu segala seluk-beluk Han Tay-wi, sungguh aneh ditambah aneh.

   Sementara itu sudah jauh malam, dengan menahan perasaan Giok-kun memoles obat di mukanya, lalu berbaring dan tidur.

   Namun sukar pulas rasanya meski sudah dipaksakan.

   Tanpa terasa fajar pun tiba dan Si Bwe datang pula kepadanya, ia memberitahukan bahwa tugas mengantar ke tempat Beng Jit-nio ternyata jatuh pada Si Bwe.

   "Bikin susah kau saja, kembali mesti suruh kau ikut menemui orang yang tidak kau sukai,"

   Kata Giok-kun.

   "Ah, janganlah nona Hi sungkan-sungkan kepadaku, biarlah aku merias engkau sekarang,"

   Kata Si Bwe sambil mengeluarkan sebuah cermin perunggu yang mengkilap.

   "Nona Hi, meski aku tidak suka kepada pribadi Piau-koh itu, tapi aku tahu wanita macam apa yang dia suka."

   Waktu Giok-kun bercermin, tertampak wajahnya kini rada-rada pucat lesi, padahal selama berkelana ini kulit mukanya rada-rada merah kecoklat- coklatan, kini ternyata berubah menjadi nona yang kepucat-pucatan sehingga hampir tidak kenal diri sendiri lagi.

   "Obat poles Cap-si-koh benar-benar hebat, sekarang aku tidak takut lagi bertemu dengan iblis she Cu itu,"

   Kata Giok-kun dengan tertawa.

   "Nona Hi, kedudukanmu adalah puteri keluarga terpelajar yang miskin, lantaran terpaksa barulah menjual diri sebagai budak,"

   Kata Si Bwe sambil mendandani Giok-kun. Selesai berdandan barulah mereka menuju ke ruang tamu, Cap-si-koh sudah menunggu di situ dan segera menegur dengan tertawa melihat munculnya Giok-kun.

   "Sungguh cantik dalam penyamaranmu ini, nona Hi, tentunya Si Bwe sudah memberitahukan tentang kedudukanmu dalam penyamaran."

   "Ya, aku dapat pula mengarang suatu kisah palsu, soalnya apakah mata Beng Jit-nio dapat dikelabui atau tidak,"

   Sahut Giok-kun.

   "Piau-moayku adalah seorang tokoh silat, kau sendiri mahir ilmu silat, untuk menipu dia seluruhnya kukira tak dapat. Cuma sebagian kepandaianmu saja yang ditonjolkan rasanya masih dapat mengelabui dia. Boleh kau katakan baru belajar silat padaku, tentu dia takkan curiga."

   Lalu Cap-si-koh memberi pesan kepada Si Bwe.

   "Setelah bertemu dengan Piau- koh, tentu dia akan tanya diriku, maka boleh kau katakan terus terang bahwa aku benci kepada kedua tamunya. Bila tamu-tamu itu sudah pergi tentu aku akan pergi ke sana untuk menjenguknya."

   Si Bwe mengiakan. Kemudian Cap-si-koh tanya apakah Sin Liong-sing sudah bangun tidur belum.

   "Tit-siauya masih tidur nyenyak,"

   Jawab Si Bwe.

   "Baiklah, jika begitu kalian boleh berangkat sekarang,"

   Kata Cap-si-koh.

   Sambil berjalan, diam-diam Giok-kun membatin mengapa keberangkatannya sengaja di luar tahu Sin Liong-sing, padahal jelas Sin Cap- si-koh berhasrat mendekatkan pemuda itu kepadanya jika melihat gelagat perkenalan kemarin.

   Sedang melamun, tiba-tiba Giok-kun dikejutkan oleh suara gemericiknya air.

   Waktu dia mendongak, kiranya sudah sampai di tepi air terjun itu, bangunan kuno di atas gunung samar-samar sudah kelihatan.

   Tiba-tiba terdengar Si Bwe berkata.

   "Nona Hi, bagaimana pendapatmu tentang Tit-siauya kami?"

   Pertanyaan tak tersangka ini membikin Giok-kun melengak, segera ia pun menjawab.

   "Aku belum kenal Sin-kongcu kalian sehingga tidak tahu apa-apa tentang dia. Pertanyaanmu ini sukar bagiku untuk menjawabnya."

   "Meski baru kenal pertama kali, tentunya juga akan terasa apakah orang ini menjemukan atau menarik bukan?"

   Ujar Si Bwe. Giok-kun tidak tahu apakah Sin Cap-si-koh yang suruh budaknya memancing pendapatnya atau timbul dari pikiran Si Bwe sendiri, namun dengan sewajarnya ia menjawab pula.

   "Dia masih muda dan telah diangkat sebagai murid ahli waris Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, sudah tentu aku menaruh hormat padanya. Tapi tak dapat disimpulkan apakah suka atau tidak suka."

   "Sin-kongcu agaknya sangat menaruh perhatian padamu, semalam dia pesan padaku agar pagi-pagi membangunkan dia supaya dapat mengantar keberangkatanmu,"

   Kata Si Bwe.

   "Syukur kau tidak membikin kaget dia sehingga aku pun tidak perlu banyak adat segala,"

   Ujar Giok-kun.

   "Engkau keliru sangka, nona Hi,"

   Kata Si Bwe.

   "Bukan aku tidak menurut pesan Sin-kongcu, tapi majikan yang sengaja mempermainkan Tit- siauya, biarpun aku memanggil dia juga dia takkan mendusin. Apakah engkau tahu sebabnya, nona Hi?"

   Sebenarnya Giok-kun enggan bicara tentang diri Sin Liong-sing, tapi kata- kata Si Bwe itu menimbulkan rasa herannya, maka ia pun bertanya.

   "Apa sebabnya?"

   "Sebelum Tit-siauya tidur aku telah membakar sedikit dupa cendana wangi yang khas, khasiatnya sebagai obat tidur, maka sebelum lohor Tit- siauya pasti sukar mendusin,"

   Tutur Si Bwe.

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Giok-kun. Diam-diam ia heran mengapa Sin Cap-si-koh bertindak demikian? Dalam pada itu Si Bwe sedang menyambung.

   "Aku pun tidak tahu mengapa majikan suruh aku berbuat demikian, namun perintah majikan terpaksa kulaksanakan. Aku merasa wajib memberitahu nona agar mengetahui maksud pikiran Tit-siauya."

   "Ah, tidak menjadi soal,"

   Ujar Giok-kun dengan tersenyum.

   "Bagimu tidak jadi soal, tapi Tit-siauya tampaknya sangat serius, besok juga dia akan berangkat pergi, mungkin selanjutnya sukar bertemu lagi dengan engkau."

   Meski sudah punya pacar, tapi hati Giok-kun merasa senang juga jika ada orang jatuh hati padanya. Dengan tawar ia pun berkata.

   "Banyak terima kasih atas perhatian Sin-kongcu kalian. Orang hidup ada waktunya berkumpul dan ada kalanya berpisah. Perkenalan secara kebetulan saja kenapa mesti dipikirkan. Harap kau sampaikan ucapanku ini kepada Sin- kongcu."

   "Jika demikian, engkau tidak punya maksud menemui dia lagi?"

   Kata Si Bwe.

   "Seperti kau ketahui, aku sedang mengemban tugas berat dan berbahaya, bukan saja Sin-kongcu, mungkin orang-orang lain yang ingin kujumpai kelak pun tidak dapat bertemu semua,"

   Jawab Giok-kun. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar seruan orang.

   "Nona Hi, tunggu dulu!"

   Giok-kun terkejut demi mengenali suara itu. Waktu menoleh, siapa lagi yang datang itu kalau bukan Sin Liong-sing yang sedang dibicarakan. Tentu saja Si Bwe juga heran, serunya.

   "Tit-siauya, mengapa kau menyusul ke sini? Lekas kembali saja, jika majikan tahu....."

   Belum habis ucapannya, tahu-tahu Sin Liong-sing sudah tiba di depannya, dengan terseyum pemuda itu menyela.

   "Jangan kuatir, Si Bwe!"

   Mendadak jarinya menotok Hiat-to budak cilik itu. Kontan Si Bwe tergeliat dan roboh.

   "Apa yang kau lakukan?"

   Teriak Giok-kun kaget, sama sekali tak diduganya bahwa Sin Liong-sing bisa menyerang pelayan kecil itu. Namun sebelum tubuh Si Bwe menggeletak ke tanah, Sin Liong-sing keburu memegangnya dan direbahkan di semak-semak sambil berkata.

   "Enci Si Bwe, maaf saja, silakan mengaso sebentar di sini. Ada urusan penting hendak kubicarakan padamu, nona Hi. Marilah kita pergi ke sana sedikit."

   Melihat cara Sin Liong-sing menotok Si Bwe dengan keras tadi, Giok-kun menduga biarpun kepandaian budak itu mampu membuka Hiat-to sendiri yang tertotok toh sedikitnya diperlukan waktu cukup lama.

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia menjadi heran urusan penting apakah yang hendak dibicarakan oleh Sin Liong-sing? Apalagi Si Bwe adalah pelayan kepercayaan bibi pemuda itu, kalau Si Bwe tidak boleh mendengar apa yang dibicarakan tentu berani pula bibinya juga tidak boleh tahu.

   Tiba-tiba Giok-kun teringat kepada Sin Cap-si-koh yang sengaja memberangkatkan dia dan Si Bwe di luar tahu Sin Liong-sing, ia menjadi ragu-ragu apakah mungkin di antara bibi dan keponakan itu ada sesuatu yang tidak beres sehingga masing-masing saling tidak mempercayai pihak lain? Sin Liong-sing seperti dapat menerka pikiran si nona, dengan tersenyum ia lantas menjelaskan.

   "Urusan yang hendak kubicarakan harus di luar tahu bibi. Engkau jangan kuatir, aku tidak bermaksud jelek kepadamu."

   Sebagai murid pewaris Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam dan diberi tugas penting mengadakan kontak dengan pemimpin persilatan di daerah utara, Giok-kun yakin pribadi Sin Liong-sing tentu dapat dipercaya.

   Maka tanpa sangsi ia lantas ikut pemuda itu ke sebelah sana.

   "Nona Hi,"

   Kata Sin Liong-sing kemudian.

   "coba silakan mengerahkan tenaga dalam menurut caramu, apakah pada Hong-hu-hiat di bagian tulang punggung ada sesuatu perasaan yang aneh?"

   Giok-kun menurut, ia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam hingga bergerak merata di seluruh tubuh, semula tidak merasakan apa-apa, tapi sejenak kemudian Hong-hu-hiat yang disebut itu memang benar terasa sedikit pegal-pegal dan gatal.

   Keruan ia terkejut dan cepat berbangkit, katanya.

   "Ya, bagian itu terasa seperti tergigit oleh semut, mengapa bisa begini? Dan dari darimana engkau mengetahuinya?"

   "Sebab engkau telah terkena semacam racun yang aneh, racun itu baru akan bekerja tujuh hari lagi,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Aku keracunan?"

   Giok-kun menegas dengan kaget.

   "Darimana kau mendapat tahu? Apakah mungkin....."

   Sebagai nona yang cerdik segera ia dapat menduga bila apa yang dikatakan Sin Liong-sing itu memang betul, maka orang yang meracuninya itu pasti Sin Cap-si-koh adanya.

   Diam-diam ia pun merasa ngeri jika betul dirinya diracuni Sin Cap-si-koh, sungguh hati manusia sukar diukur, untuk apakah Sin Cap-si-koh meracuni dia? Benar- benar sukar dibayangkan.

   Terdengar Sin Liong-sing berkata pula padanya.

   "Nona Hi, harap kau bicara terus terang padaku, bukankah bibi menyuruh engkau ke tempat Beng Jit-nio untuk melakukan sesuatu urusan baginya?"

   "Ya, bibimu minta aku menyaru sebagai pelayannya dan menyerahkan diriku kepada Beng Jit-nio, tujuannya hendak menolong Han Tay-wi dan puterinya. Cuma urusan inipun sudah mendapatkan persetujuanku sebelumnya."

   "Nyata tidak meleset dari dugaanku. Urusan ini tidak boleh dibuat main- main, nona Hi, hendaklah kau jangan berangkat ke sana."

   "Aku sendiri pun tahu kepergianku ini lebih banyak celaka daripada selamat,"

   Sahut Giok-kun dengan tak acuh. Sin Liong-sing menggeleng kepala, katanya.

   "Beng Jit-nio adalah aku punya Piau-koh, engkau belum kenal pribadinya!"

   "Apa yang akan dia perbuat atas diriku? Hm, paling-paling aku dibinasakan?"

   Jengek Giok-kun.

   "Watak Piau-koh sangat aneh, gusar dan gembira tidak menentu, hatinya keji dan tangannya gapah pula. Di waktu suka padam, sekali pun kau minta jiwanya juga akan dia serahkan padamu. Tapi kalau dia marah, wah, dia dapat membikin engkau serba susah, minta hidup tidak dapat, minta mati juga sukar. Karena cintanya kepada Han Tay-wi, maka ia bermaksud menolong Han Tay-wi dan puterinya, ini justru paling bertentangan dengan dia. Maka sukar untuk dilukiskan betapa bahaya perjalananmu ini."

   "Biarpun di rumahnya telah tersedia lautan api atau air mendidih juga aku tetap berangkat ke sana,"

   Jawab Giok-kun tegas.

   "Ilmu silat Beng Jit-nio sangat tinggi, bibi sendiri pun jeri padanya, sekarang ditambah lagi Cu Kiu-bok dan Sebun Bok-ya. Nona Hi, bukan maksudku merendahkan kemampuanmu, tapi sekali pun jiwamu melayang juga tetap sukar menyelamatkan Han Tay-wi dari tempatnya."

   "Aku pun tahu, tapi ingin kubalas bertanya padamu, Sin-siauhiap, tugas yang diberikan gurumu padamu ke utara sini bukankah juga sangat berbahaya?"

   Sin Liong-sing melengak, lalu sahutnya.

   "Tugas negara adalah kewajiban setiap orang. Apa maksud pertanyaanmu ini, nona Hi?"

   "Ya, memang urusanku ini tidak dapat disamakan dengan tugasmu, tapi ada suatu hal yang sama, yaitu urusannya perlu dilakukan atau tidak. Kalau perlu dilakukan, biar betapa pun bahaya juga harus dilaksanakan, betul tidak?"

   Terpaksa Sin Liong-sing menjawab.

   "Ya, kaum pendekar kita memang harus begitu. Namun....."

   "Kau tidak perlu mencarikan alasan lain bagiku. Meski aku tidak sesuai untuk dianggap kaum pendekar, tapi demi kepentingan kawan aku pun siap berkorban."

   Habis berkata demikian Giok-kun tiba-tiba merasa malu diri, ia membatin apa yang hendak dilakukannya ini apakah benar demi kepentingan Pwe-eng dan bukan untuk kepentingan sendiri? Sudah tentu Sin Liong-sing tidak tahu pikiran si nona yang ruwet itu, ia menjadi sangat kagum mendengar ucapan tegas si nona.

   Katanya kemudian.

   "Nona Hi, kata-katamu ini membikin aku tidak enak merintangi kau lagi. Cuma sayang....."

   Sampai di sini ia menjadi serba susah untuk melanjutkan ucapannya.

   "Sayang apa?"

   Tanya Giok-kun.

   "Sayang bibi tidak tahu akan tekadmu ini,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Tidak, dia seharusnya tahu. Sebab aku sudah bicara terlalu jelas dengan dia."

   "Jika begitu terang bibi yang tidak mau percaya padamu. Beliau dasarnya memang orang yang suka curiga."

   "Bibimu tidak percaya padaku, apa pula persoalannya?"

   "Nona Hi, engkau adalah orang yang cerdik, tentu engkau sudah dapat menduga bahwa orang yang diam-diam meracuni kau tak lain tak bukan ialah bibiku."

   Sejak tadi Giok-kun memang sudah menduga demikian, kini hal ini dibuktikan pula dengan ucapan keponakan Sin Cap-si-koh sendiri, mau tak mau timbul pula rasa ngerinya. Pikirnya.

   "Lo-cianpwe itu tampaknya ramah- tamah dan serba halus pribadinya, siapa tahu dia tega meracuni seorang anak kecil. Manusia demikian inilah yang paling menakutkan. Entah kapan dia meracuni aku, ternyata sedikit pun aku tidak tahu."

   Terdengar Sin Liong-sing sedang berkata pula.

   "Bibiku terhitung ahli nomor satu atau dua dalam hal racun yang dia racik tiada warna dan tak berbau, caranya meracun orang juga aneka ragamnya. Untung sekali ini aku mengetahui racun apa yang dia gunakan terhadap dirimu, kalau tidak, tentu sukar untuk menyelamatkan kau."

   "Sungguh aku tidak paham, jika dia minta aku membantu dia menolong Han Tay-wi, mengapa dia sengaja meracuni aku pula? Apakah obat racun yang kuminum ini sangat lihai?"

   Tanya Giok-kun.

   "Kemarin kau minum dua cangkir teh bukan?"

   Jawab Sin Liong-sing. Giok-kun mengangguk. Baru sekarang dia mengetahui teh yang sedap itu kiranya ditaruhi racun. Dalam pada itu Sin Liong-sing menyambung pula.

   "Racun yang digunakan bibi itu sangat aneh, namanya Hong-jiau-san (puyer tertawa latah). Racun itu baru akan bekerja tujuh hari kemudian. Bila sudah bekerja akan membikin orang merasa geli tak terkatakan dan terpaksa tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. Tapi jiwanya takkan terganggu. Kau diberi racun ini, agaknya bibi sudah menduga bila kau ingin minta obat penawar racun terpaksa harus memohon padanya. Mungkin bibi yakin di dalam tujuh hari kau tentu dapat menyelamatkan Han Tay-wi dan puterinya, sesudah pulang, di luar tahumu dia akan memberikan obat penawar padamu."

   "Tapi kalau aku berhasil lolos dari tempat Beng Jit-nio, selanjutnya kau pun tak dapat ke sana lagi, bibimu juga tak dapat memperalat diriku lagi,"

   Kata Giok-kun.

   "Kelihaian bibi tidak di bawah Beng Jit-nio, jika kau membangkang perintahnya betapa pun beliau pasti takkan melepaskan kau. Bila kau ingin mohon obat penawar, tiada pilihan lain kecuali diperbudak olehnya."

   "O, kiranya sedemikian keji akalnya,"

   Kata Giok-kun gegetun. Dia sendiri adalah seorang nona yang banyak tipu akalnya, tak terduga ketemukan seorang Sin Cap-si-koh yang jauh lebih licin, keruan dia merasa ngeri membayangkan kelihaian Cap-si-koh.

   "Untunglah atas bantuan Si Bwe aku berhasil mencuri satu biji obat penawar,"

   Kata Sin Liong-sing pula.

   "Si Bwe adalah orang kepercayaan bibi, obat-obat simpanan bibi banyak dipahami olehnya, maka obat penawar yang dia berikan ini pasti tidak keliru."

   "Apakah dia tahu obat penawar ini dicuri untukku?"

   Tanya Giok-kun sambil menerima obat penawar itu.

   "Aku tidak memberitahukan dia, cuma, kukira dia tentu tahu,"

   Kata Liong-sing.

   "Dia begitu baik padamu, tapi kau malah menotok dia dengan keras,"

   Kata Giok-kun.

   "Yang kita bicarakan ini adalah keburukan bibi, mana boleh didengar olehnya?"

   "Dia berani menyerempet bahaya dan mencuri obat bagimu, masakah dia mau melaporkan pula perbuatanmu?"

   Diam-diam Giok-kun pikir Si Bwe yang pintar dan cerdik itu sebenarnya adalah pasangan yang setimpal bagi Sin Liong-sing, cuma sayang Si Bwe adalah kaum pelayan.

   Pada saat itulah tiba-tiba terdengar di sebelah sana ada suara keluhan Si Bwe.

   Cepat Sin Liong-sing berkata.

   "Wah, rupanya Si Bwe memaksakan tenaga dalamnya untuk membuka Hiat-to yang tertotok, mungkin dia akan terluka dalam."

   "Lekas kau memunahkan Hiat-to yang tertotok itu,"

   Kata Giok-kun. Segera mereka mendekati Si Bwe, ternyata kedua mata budak cilik itu sudah terbuka dan memancarkan sorot mata penasaran karena diperlakukan tidak layak. Si Bwe berbangkit, katanya dengan tawar.

   "Percakapan kalian yang akrab sudah selesai belum, kenapa buru-buru membangunkan aku? Sesungguhnya Tit-siauya tidak tahu bahwa dupa cendana pembius yang kubakar di kamarmu itu sengaja kukurangi kadarnya asalkan memenuhi kewajibanku menurut perintah majikan. Padahal aku sangat berharap kau dapat menyusul kemari untuk bertemu dengan nona Hi."

   Wajah Giok-kun menjadi merah, ia tidak enak memberi penjelasan kepada Si Bwe, terpaksa ia diam saja.

   Sin Liong-sing membungkuk tubuh kepada Si Bwe, katanya "Enci yang baik, jangan kau marah padaku.

   Di hadapan bibi masih diharap engkan suka menutupi kejadian ini."

   "Ah, janganlah Tit-siauya bersikap begini kepada hamba,"

   Kata Si Bwe, dari marah berubah menjadi senang.

   "Apakah kau masih akan bicara lebih akrab lagi, hari sudah siang."

   "Enci Si Bwe jangan berolok-olok, Sin-kongcu hanya memperingatkan padaku tentang kekejian Beng Jit-nio, padahal sebelumnya kau sudah katakan padaku,"

   Ujar Giok-kun. Tak tersangka Sin Liong-sing lantas berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Nona Hi, aku memang ingin bicara lagi padamu."

   "Baiklah, akan kutunggu kau di depan sana,"

   Kata Si Bwe dengan tertawa terus berlari menjauhi mereka berdua. Tentu saja Giok-kun merasa jengah. Tapi Sin Liong-sing lantas berkata padanya dengan suara tertahan.

   "Nona Hi, aku ingin memberikan sebentuk cincin padamu."

   Lalu ia mengulurkan sebuah cincin bermata jamrud kepada Giok-kun.

   "Ap apa artinya ini,"

   Kata Giok-kun dengan muka merah dan menolak pemberian itu.

   "Kau jangan salah paham, nona Hi,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Cincin ini kuberikan hanya sebagai jimat penyelamat saja dan tiada maksud lain."

   "Mengapa cincin ini dapat digunakan sebagai jimat penyelamat?"

   Tanya Giok-kun.

   "Si Bwe sedang menunggu, aku tak dapat menjelaskan padamu,"

   Kata Sin Liong-sing.

   "Pendek kata, dengan memakai cincin ini Beng Jit-nio tentu akan memperlakukan kau secara lain, sekali pun kau membuat marah dia, sedikitnya jiwamu akan diampuni olehnya."

   Mestinya Giok-kun hendak menolak lagi, tapi melihat kesungguhan Sin Liong-sing, apalagi tujuannya hendak menolong Han Pwe-eng, kalau saja cincin itu benar-benar berguna tentu akan banyak manfaatnya bagi usahanya nanti.

   Karena itu ia pun terima cincin itu dan berkata.

   "Terima kasih, Sin- kongcu, sekarang bolehlah kau pulang saja."

   "Baiklah, aku mohon diri untuk pulang,"

   Kata Liong-sing dengan suara keras agar didengar oleh Si bwe. Ketika Si Bwe mendekati mereka, tiba-tiba Giok-kun berkata pula sebelum berpisah dengan Sin Liong-sing.

   "Sin-kongcu, aku pun hampir lupa sesuatu dan ingin minta bantuanmu. Kakakku Giok-hoan saat ini berada di tempat Kay-pang, jika Sin-kongcu nanti menemui Liok Pang-cu, tolong sekalian memberitahukan jejakku kepada kakakku dan suruh dia menyampaikan berita ini kepada Kok Siau-hong agar dia tidak menguatirkan diriku."

   Sin Liong-sing rada heran, tanyanya kemudian.

   "Kok Siau-hong? Bukankah dia itu bakal menantu keluarga Han?"

   "Benar, tapi dia juga datang bersama aku,"

   Jawab Giok-kun.

   "Enci Si Bwe, bila Siau-hong nanti datang ke tempat kalian untuk mencari diriku, tolong kau pun memberitahukan dia tentang diriku ini. Baiklah, selamat berpisah, Sin-kongcu."

   Habis berkata segera Giok-kun melangkah pergi.

   Terpaksa Sin Liong-sing kembali ke tempat bibinya dengan penuh rasa sangsi dan heran.

   Meski masih kecil, tapi kecil-kecil cabe rawit, mendengar ucapan Giok- kun tadi dalam hati Si Bwe sudah dapat menerka seluk-beluk hubungan si nona dengan Kok Siau-hong, maka ia hanya menghela napas gegetun saja dan tidak banyak omong.

   Mereka melangkah dengan cepat, tidak lama sampailah di depan bangunan kuno itu, seorang lelaki brewok muncul menanyai mereka.

   Giok- kun kenal si brewok ini adalah murid Sebun Bok-ya, yaitu Pok Yang-kian.

   Sebaliknya Pok Yang-kian sudah pangling kepada Giok-kun.

   "Wah, cantik amat kedua nona ini, siapa kalian dan mau apa datang ke sini?"

   Tegur Pok Yang-kian dengan mata jelilatan seperti mata maling. Dengan mendongkol Si Bwe menjawab.

   "Hm, dan kau sendiri siapa dan mau apa berada di sini?"

   "Eh, budak kurangajar!"

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Omel Pok Yang-kian.

   "Aku yang tanya kau, masakah kau balas bertanya padaku?"

   "Kalau datang ke sini selamanya aku tidak pernah permisi, apalagi ditanyai orang, jika ditanya juga bukan kau yang berhak untuk menanyai aku,"

   Jawab Si Bwe dengan mendelik, lalu ia berjalan ke depan tanpa mempedulikan orang.

   Yang tinggal di lembah pegunungan ini kecuali keluarga Beng Jit-nio hanya ada keluarga Sin Cap-si-koh.

   Pok Yang-kian dapat menduga Si Bwe tentu budak Sin Cap-si-koh.

   Tapi lantaran Si Bwe bersikap angkuh, dengan sendirinya ia pun mendongkol dan sengaja merintangi Si Bwe.

   Segera ia pentang kedua tangannya dan berkata.

   "Kini berbeda daripada biasanya, jika kau tidak menjawab pertanyaanku tadi, maka kau dilarang lewat!"

   Menyusul sebelah tangannya terus menolak ke dada Si Bwe.

   "Kau cari mampus, berani main gila padaku!"

   Bentak Si Bwe mendadak.

   "bluk", tahu-tahu Pok Yang-kian jatuh telentang tak berkutik. Kiranya Si Bwe telah mendapat ajaran ilmu Tiam-hiat yang lihai dari Sin Cap-si-koh, sudah tentu Pok Yang-kian tidak menduga budak cilik itu sedemikian lihai, pula dia punya Hoa-hiat-to telah dipunahkan oleh Kong- sun Bok, tenaga dalamnya masih lemah, selain itu serangan Si Bwe dilakukan sama sekali di luar dugaannya, maka dengan sedikit menotok saja, kontan Si Bwe membuat Pok Yang-kian roboh. Suara ribut-ribut ia lantas mengagetkan orang di dalam benteng, seorang budak perempuan berlari keluar dan bertanya.

   "Ada apa? He, enci Si Bwe, kiranya engkau!"

   Budak perempuan ini bermuka sangat jelek, hidungnya pesek, mulutnya lebar, daun telinga besar seperti kuping gajah.

   Diam-diam Giok-kun merasa heran, mengapa budak-budak Sin Cap-si- koh cantik-cantik, sebaliknya budak Beng Jit-nio begini jelek.

   Kata peribahasa, makhluk berkumpul menurut jenisnya.

   Kalau budaknya sejelek ini, rasanya kecantikan Beng Jit-nio juga tidak seberapa.

   Pantas Han-pepek tidak suka padanya.

   Demikian pikirnya.

   Budak bermuka buruk itu bernama Pik Ki, budak kesayangan Beng Jit- nio.

   Maka Si Bwe tidak berani ayal, cepat ia memberi hormat dan menjawab.

   "Orang ini melarang aku masuk ke sana, apakah dia ini budak belian baru?"

   "Ah, rupanya kalian telah salah paham,"

   Ujar Pik Ki.

   "Dia bukan budak baru, tapi murid tamu kami."

   Lalu Pik Ki membuka Hiat-to Pok Yang-kian yang tertotok dan mengomel padanya.

   "Meski kau adalah tamu kami, tapi tidaklah pantas berlaku kasar kepada Cici ini. Tahukah kau siapa dia? Dia adalah orang Sin Cap-si-koh, Piau-ci majikan kami. Jika kejadian barusan ini sampai diketahui Cap-si-koh tentu urusan bisa runyam."

   Dengan malu terpaksa Pok Yang-kian diam saja dan menyingkir.

   "Kedua Cici silakan ikut padaku,"

   Kata Pik Ki kemudian dan membawa Si Bwe berdua ke kamarnya. Agaknya Pik Ki mempunyai hubungan akrab dengan Si Bwe, dia sangat senang akan kunjungan kawannya itu, dengan girang ia berkata.

   "Sudah lebih sebulan kita tidak berjumpa, hari ini angin apa yang meniup kau ke sini? Cici ini....."

   "Cici ini baru datang dari Kang-lam,"

   Sahut Si Bwe.

   "Dia berasal dari keluarga baik-baik, ayahnya adalah seorang Siucay (gelar kesusasteraan), lantaran miskin terpaksa menjual diri untuk menghidupi orang tua. Katanya di tempat kalian ini mencari seorang pelayan yang serba pintar, sebab itulah majikan suruh aku membawanya ke sini untuk diperlihatkan kepada Piau- koh."

   "O, kiranya demikian. Cici ini sangat cantik, siapakah namamu?"

   Tanya Pik Ki kepada Giok-kun. Dengan pura-pura menunduk kepala Giok-kun menjawab.

   "Majikan memberi nama Si Khim padaku."

   "Enci Si Bwe,"

   Kata Pik Ki pula.

   "majikanmu sungguh hebat, tanpa keluar pintu beliau ternyata mampu mendapatkan seorang Cici cantik dan pintar dari Kang-lam yang jauh."

   "Tit-siauya kami yang mencarikan bagi bibinya,"

   Tutur Si Bwe.

   "Kebetulan Tit-siauya hendak pulang, maka sengaja membawanya sendiri ke sini."

   "Bagus sekali, dengan datangnya Cici yang pintar ini aku menjadi ada teman yang baik,"

   Kata Pik Ki.

   "Terus terang aku sendiri adalah budak bodoh yang serba tidak tahu, selanjutnya masih diharapkan petunjuk-petunjuk Cici."

   "Ah, Enci Pik Ki terlalu sungkan padaku, akulah yang banyak minta pengajaran padamu,"

   Sahut Giok-kun dengan rendah hati.

   "Hanya saja entah aku ada rezeki buat menemani Cici atau tidak."

   "Engkau sangat cantik dan pintar pula, aku saja suka, masakah majikan takkan menerima kau,"

   Ujar Pik Ki dengan tertawa.

   Melihat Pik Ki terus mengajak mengobrol saja, diam-diam Si Bwe merasa heran.

   Biasanya kalau dia datang, dengan cepat Pik Ki lantas melaporkan kepada majikannya, bahkan langsung membawanya menemui Beng Jit-nio, tapi sekarang mereka hanya diajak ngobrol melulu.

   Agaknya Pik Ki mengetahui pikiran Si Bwe, segera ia berkata.

   "Maaf, jika kalian harus menunggu lama, kedatangan kalian tidak kebetulan, saat ini majikan sedang menemui tamu."

   "O, tidak apa, aku justru senang duduk-duduk dan omong-omong dengan kau,"

   Jawab Si Bwe.

   "Bahwa di tempat kalian ada dua orang tamu agung memang sudah kuketahui. Terus terang, justru disebabkan mereka itulah maka aku sungkan berkunjung ke sini. Selama sebulan lebih ini kau pun tidak pernah datang ke tempatku, mungkin sibuk melayani tamu."

   Pik Ki mengangguk, katanya dengan suara tertahan.

   "Kedua tamu busuk ini sesungguhnya sangat menjemukan. Cuma tamu yang ditemui majikan sekarang ini bukanlah kedua iblis itu."

   "Kalau orang biasa saja majikanmu pasti takkan menemuinya. Siapakah tamu itu?"

   Tanya Si Bwe.

   "Han Tay-wi dan puterinya dikurung di sini, tentu kalian sudah mengetahui,"

   Tutur Pik Ki.

   "Dan sekarang yang ditemui majikan justru adalah nona Han itu."

   "Kabarnya nona Han itu sangat cantik, cuma sayang aku tidak pernah melihatnya,"

   Kata Si Bwe.

   "Sebentar bila mereka keluar tentu akan lewat di sini, kau boleh mengintipnya,"

   Ujar Pik Ki. Mendengar Han Pwe-eng saat itu berada di ruang tamu, hati Hi Giok- kun menjadi berdebar-debar. Si Bwe sengaja tanya Pik Ki dengan suara bisik-bisik.

   "Kabarnya di waktu mudanya majikanmu pernah jatuh cinta kepada Han Tay-wi, tentunya dia memperlakukan mereka dengan baik bukan? Dia mau menemui nona Han itu, agaknya dia juga sangat suka padanya?"

   Pik Ki melongok keluar jendela, melihat tiada orang di luar ia menjawab dengan suara lirih.

   "Aku pun tidak dapat meraba pikiran majikan, tampaknya dia memang rada suka kepada nona Han itu, cuma cara bagaimana dia akan membereskan Han Tay-wi dan puterinya kini tak dapat diputuskan lagi oleh majikan."

   "Memangnya kedua tamu jahat itu telah mengangkangi hak tuan rumahnya?"

   Kata Si Bwe.

   "Tidak cuma mengangkangi saja, bahkan boleh dikata sudah merampasnya,"

   Kata Pik Ki dengan penasaran.

   "Tampaknya di luar kedua iblis itu menghormati majikanku, tapi sesungguhnya mereka telah anggap tempat ini adalah milik mereka. Mereka mendatangkan kawan, anak muridnya diboyong pula ke sini, sekarang dimana-mana dijaga oleh orang- orang mereka, sebab itulah kalian mengalami kejadian tadi."

   Diam-diam pikiran Giok-kun menjadi tertekan, melihat gelagatnya, untuk menyelamatkan Pwe-eng mungkin akan jauh lebih sulit daripada perkiraannya semula. Tiba-tiba Pik Ki mendesis.

   "Ssst, itulah dia, nona Han itu sudah keluar, jangan bersuara, lekas kalian mengintip di sini!"

   Waktu Giok-kun mengintip keluar, benar juga dilihatnya Han Pwe-eng mengikuti seorang budak perempuan dan sedang menuju ke arah sini.

   Mengenai Han Pwe-eng, setelah berkumpul dengan ayahnya di dalam kamar tahanan, dalam sekejap saja dua hari sudah lalu.

   Semula Han Tay-wi bermaksud mogok makan untuk bunuh diri, tapi tibanya Han Pwe-eng telah membatalkan maksudnya, dia mulai makan dan tenaga pun pulih kembali sedikit demi sedikit.

   "Ayah,"

   Kata Pwe-eng pada hari itu.

   "air mukamu kelihatan bertambah lebih segar daripada kemarin, engkau sudah dapat menggunakan tenaga."

   "Ya, sudah mulai dapat menghimpun hawa murni, tapi untuk mengerahkan tenaga dalam rasanya belum sanggup,"

   Kata Han Tay-wi.

   "Racun Siu-lo-im-sat-kang di dalam tubuhku belum lenyap seluruhnya, lalu ditambahi lagi luka Hoa-hiat-to, tentu tidak mudah untuk memulihkan kesehatanku dalam waktu singkat."

   "Asalkan mereka tidak membunuh kita, pada akhirnya tentu akan tiba saatnya ayah akan sembuh,"

   Ujar Pwe-eng.

   "Apalagi ada harapan pula akan datang penolong kita."

   "Kau mengharapkan Siau-hong datang menolong kau?"

   Tanya Tay-wi.

   Disebutnya Kok Siau-hong membangkitkan rasa pedih hati Han Pwe-eng.

   Yang membuatnya sedih bukan karena Kok Siau-hong mencintai orang lain, tapi peristiwa pembatalan perkawinan yang menyakitkan hati itu terpaksa harus dirahasiakan dulu di luar tahu sang ayah.

   Demi tetap merahasiakan hal ini, terpaksa ia mengangguk dan menjawab.

   "Ya, biarpun kepandaian Siau-hong belum cukup, tapi kuyakin dia pasti akan berdaya untuk menolong kita."

   Han Tay-wi menghela napas, katanya.

   "Di antara angkatan muda, kepandaian Siau-hong boleh dikata lumayan, cuma masih jauh memang kalau dibandingkan kedua iblis tua itu. Namun dia dapat minta bala bantuan, hanya cara bagaimana dia mampu mencari ke sini?"

   "Biarlah kita terus mengulur waktu saja, semoga tenaga ayah dapat pulih selekasnya."

   "Aku pun berharap demikian, tapi menurut perkiraanku sukar untuk mengulur waktu lebih lama lagi. Sementara itu mereka takkan membikin susah kita karena mereka menginginkan aku takluk kepada mereka. Tapi selang sedikit waktu lagi, jika mereka mengetahui tekadku, biarpun Beng Jit- nio tidak tega membunuh aku, tentu Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok takkan tinggal diam."

   "Sebenarnya siapakah gerangan Beng Jit-nio itu? Mengapa dia berdaya upaya memasang perangkap ini dan menawan ayah? Kalau dia sudah berusaha menawan ayah, mengapa ayah percaya dia tidak akan membunuh engkau?"

   Han Tay-wi terdiam, sejenak kemudian baru menjawab.

   "Urusan Beng Jit-nio pada akhirnya tentu akan kuceritakan padamu. Rasanya aku pasti sukar lolos dari sini, tapi bisa jadi kau ada kesempatan kabur dari sini dengan selamat."

   "Kita ayah dan anak sama-sama terkurung, kalau dapat keluar tentu juga bersama, memangnya mereka mau membebaskan aku sendirian?"

   "Jangan kau tanya dulu apa sebabnya. Andaikan benar kau dapat keluar dari sini, aku ingin menyerahkan suatu tugas padamu."

   "Silakan ayah mengatakan!"

   "Bahwa harta pusaka di rumah kita adalah milik Siangkoan Hok, hal ini sudah kau ketahui. Siangkoan Hok adalah orang negeri Liau, dia terima menjadi wakil Kok-su negeri Mongol, tujuannya berusah membangun kembali kerajaan Liau. Di waktu mudanya Siangkoan Hok pernah berbuat suatu kesalahan, tapi hanya mengenai urusan pribadi dan tidak terlalu gawat. Jika kau dapat keluar dari sini, hendaklah kau mencari dia dan menjelaskan tentang kesalah pahaman sehingga harta pusaka titipannya itu telah kau sumbangkan kepada laskar rakyat, dengan demikian agar dia tidak menyangka aku telah menipu dan memakan harta titipannya itu. Kau harus pergi menemui pula Liu-lihiap, Lok-lim-beng-cu kelima propinsi utara dan menerangkan juga duduknya perkara ini. Bila dia tidak percaya, boleh silakan dia pergi tanya Jing-leng Suthay di Leng-cu-san. Hanya Jing-leng Suthay yang tahu jelas segala maksud tujuan Siangkoan Hok."

   "Ya, anak ingat baik-baik pesan ayah ini,"

   Kata Pwe-eng.

   "Selain itu ada pula suatu hal yang juga perlu kau ketahui. Apakah kau tahu cara bagaimana kematian ibumu?"

   Pwe-eng terkejut, cepat ia menegas.

   "Bukankah ibu meninggal karena sakit?"

   Teringat olehnya waktu ibunya meninggal adalah tepat genap dua tahun dia mengikat jodoh dengan Kok Siau-hong, waktu itu dia baru berumur lima.

   Kini kalau dipikir kembali, memang kematian ibunya dirasakan rada tidak wajar.

   Ibunya biasanya berbadan sehat, orang yang berlatih silat, mengapa tanpa sebab jatuh sakit, lalu meninggal pada usia tigapuluhan.

   Belum lenyap pikirannya itu, terdengar ayahnya berkata pula.

   "Ibumu bukan meninggal karena sakit, tapi dia mati diracun orang."

   "Diracun orang?"

   Pwe-eng menegas dengan terperanjat.

   "Siapakah yang meracuni dia? Lekas ayah memberitahukan padaku."

   "Hati ibumu teramat baik, meski orang meracuni dia, tapi dia justru tidak suka aku menuntut balas baginya. Sebenarnya aku pun ingin memaafkan orang itu, namun orang itu tetap berdaya upaya dengan segala jalan untuk mencelakai aku. Sekarang aku pun berubah pendirian dan ingin kau menuntut balas bagi ibumu. Orang itu ialah....."

   Sampai di sini tiba-tiba terdengar suara pintu kamar tahanan itu dibuka, cepat Han Tay-wi menghentikan ucapannya. Terlihat seorang budak cilik melangkah masuk dan berkata.

   "Han-siocia, majikan kami ingin menemui kau, harap kau ikut padaku."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dia mau menemui aku boleh datang saja ke sini, aku tidak ingin meninggalkan ayah,"

   Jawab Pwe-eng.

   "Majikan ingin bicara padamu,"

   Bisik budak cilik itu dengan suara tertahan. Di luar ada penjaga murid Sebun Bok-ya, terang apa yang dikatakannya harus di luar tahu penjaga itu.

   "Baiklah, anak Eng, boleh kau pergi menemuinya,"

   Ujar Han Tay-wi.

   Karena disuruh ayahnya, terpaksa Pwe-eng menurut.

   Dalam hati timbul rasa sangsinya bahwa orang yang meracuni ibunya mungkin adalah Beng Jit- nio.

   Tanpa terasa dia telah ikut budak cilik itu memasuki sebuah kamar rahasia dan Beng Jit-nio ternyata sudah menunggu di situ.

   "Ada apa kau mengundang aku ke sini?"

   Tanya Pwe-eng dengan nada dingin. Beng Jit-nio seperti tidak mendengar ucapannya itu, dia mengamat-amati Pwe-eng sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia memegang tangannya dan berkata.

   "Sungguh mirip sekali, kau benar-benar mirip dengan mendiang ibumu!"

   EMANGNYA kau mengundang aku ke sini hanya ingin memberitahukan padaku tentang ini? Aku adalah anak ibu, sudah tentu mirip ibuku,"

   Jengek Pwe-eng sambil mengibaskan

   Jilid 10

   "M tangannya. Tapi aneh, rasanya pihak lawan sedikit pun tidak menggunakan tenaga, namun tangannya yang dipegang itu ternyata sukar terlepas. Baru sekarang Pwe-eng mengetahui kepandaian Beng Jit-nio memang sangat tinggi sebagaimana kata ayahnya, agaknya kepandaian Beng Jit-nio tidak di bawah kedua iblis tua. Tapi Beng Jit-nio sama sekali tidak mengerahkan tenaga balasan, agaknya lawan juga tidak bermaksud jahat padanya. Terdengar Beng Jit-nio berkata dengan tersenyum.

   "Ibumu berperangai halus dan ramah, tapi tabiatmu lebih mirip ayahmu daripada ibumu. Duduklah kau, sudah tentu aku ingin membicarakan hal lain dengan kau."

   Karena berprasangka Beng Jit-nio yang meracuni ibunya, maka dengan gusar Pwe-eng lantas berkata pula.

   "Ya, lantaran ibuku terlalu halus sehingga dia dianiaya dan dicelakai orang. Nah, jika kau juga sirik lantaran aku mirip ibuku, bolehlah kau bunuh sekalian diriku dan tidak perlu pura-pura segala!"

   Beng Jit-nio melengak, dia melepaskan tangan Pwe-eng, katanya kemudian.

   "Apa katamu? Kau mengira aku yang mencelakai ibumu? Ayahmu yang berkata demikian padamu?"

   "Ayah tidak menyebut namamu, tapi aku tahu pasti kau!"

   Jawab Pwe-eng.

   "Kau salah sangka,"

   Kata Beng Jit-nio sambil menghela napas.

   "Terus terang, ibumu benci padaku, tapi aku sendiri suka kepada ibumu. Selamanya aku tidak pernah memandang dia sebagai musuh. Orang yang membinasakan dia bukanlah aku."

   "Tidak perlu kau membohongi aku dengan macam-macam ocehan, aku takkan tertipu olehmu,"

   Jawab Pwe-eng dengan tertawa dingin.

   "Aku tidak perlu menipu kau,"

   Ujar Beng Jit-nio.

   "Coba kau pikir, kini kau berada di dalam cengkeramanku, untuk membunuh kau adalah terlalu mudah bagiku, buat apa aku menipu kau? Ada pun siapa yang mencelakai ibumu itu kelak kau pasti akan tahu sendiri."

   Mengingat kata-kata orang cukup beralasan, Han Pwe-eng menjadi setengah percaya dan setengah ragu-ragu. Ia coba menahan perasaannya dan berduduk, lalu berkata dengan nada dingin.

   "Baiklah, apa yang akan kau katakan padaku, bicaralah lekas!"

   "Aku ingin berunding sesuatu dengan kau, tapi kau harus percaya kepada apa yang kukatakan!"

   "Coba kudengar dulu apa yang akan kau katakan baru dapat kukatakan percaya atau tidak."

   Beng Jit-nio menggeleng kepala, katanya.

   "Prasangkamu terhadap diriku terlalu mendalam, namun sesungguhnya aku menyukai kau. Hendaklah kau jangan curiga bahwa aku bermasud jahat padamu, terus terang kukatakan, tujuanku memancing kau ke sini justru karena aku ingin menolong kau. Kuharap kau dapat melakukan apa yang kukatakan nanti."

   "Engkau kan pemilik tempat ini? Apakah kau ingin membunuh aku atau hendak melepaskan diriku boleh kau lakukan sesukamu, mengapa mesti berunding dengan aku? Pula, jika benar kau bemaksud menolong diriku, kenapa dengan segala daya upaya kau menipu aku ke sini?"

   "Kau cuma tahu satu tapi tidak tahu dua,"

   Ujar Beng Jit-nio.

   "Memang betul aku adalah pemilik rumah ini, tapi kini keadaan sudah terbalik, kekuasaan telah direbut orang, aku tidak berhak lagi."

   "O, maksudmu kau terancam oleh kedua iblis tua itu?"

   Desis Pwe-eng dengan suara tertahan.

   "Belum sampai setaraf demikian, namun lahirnya saja mereka menghormati aku, tapi dalam persoalan kalian ayah dan anak memang aku tidak mampu berbuat apa-apa lagi."

   Timbul rasa simpatik Pwe-eng karena orang mau bicara hal-hal yang menyangkut rahasianya itu. Terdengar Beng Jit-nio melanjutkan pula.

   "Aku tidak menipu kau, bahwa ayahmu memang aku yang suruh mereka menawannya ke sini, tapi tiada maksud menawan kau, hanya secara kebetulan saja kau pulang ke rumah, dengan sendirinya mereka tak dapat melepaskan kau."

   "Mengapa kau menawan ayahku?"

   Tanya Pwe-eng.

   "Sesungguhnya cuma untuk melampiaskan rasa dendam saja,"

   Sahut Beng Jit-nio dengan menghela napas.

   "tapi kini aku sangat menyesal, hendaklah kau jangan tanya sebab-musabab urusan ini."

   Teringat oleh Pwe-eng bahwa ayahnya juga tidak mau menerangkan ketika ditanya, jangan-jangan di antara mereka ada sesuatu rahasia yang sukar diceritakan, sampai-sampai anaknya sendiri juga tidak boleh tahu.

   "Ayahmu berada di bawah pengawasan mereka,"

   Kata Beng Jit-nio pula.

   "Aku sendiri pun sukar menolongnya. Sedangkan kau kurang diperhatikan oleh mereka, maka ada harapan untuk menyelamatkan kau bagiku."

   "Coba uraikan dulu caranya,"

   Pinta Pwe-eng. Ia menjadi ingat ayahnya pernah mengatakan dia sendiri mungkin dapat meloloskan diri, agaknya apa yang terjadi kini memang sudah dalam dugaan ayahnya.

   "Begini,"

   Beng Jit-nio melanjutkan.

   "hendaklah kau menjadi pelayanku, sudah tentu hanya pura-pura saja, bagiku kau adalah seperti anak perempuanku sendiri. Dengan menjadikan kau sebagai pelayanku, tentu kedua iblis itu akan mengira aku sengaja hendak menyiksa kau dan mereka tentu pula takkan merintangi kehendakku."

   Kembali Pwe-eng merasa ragu-ragu, ia pikir sekali pun apa yang dikatakan Beng Jit-nio itu betul, namun menjadi pelayannya jelas merupakan penghinaan baginya. Maka dengan tertawa dingin ia menjawab.

   "Sayang aku tidak sesuai menjadi anak perempuanmu. Ibuku sudah meninggal, kini tinggal aku dan ayah saja, aku sudah bertekad mendampingi ayah hidup atau mati."

   Beng Jit-nio mengira Pwe-eng masih tetap menganggapnya sebagai musuh pembunuh ibu, mau tak mau ia merasa kurang senang, katanya kemudian.

   "Baiklah, jika begitu boleh kau berunding dulu dengan ayahmu. Siapa adalah musuh pembunuh ibumu agaknya kau pun boleh tanya ayahmu sejelas-jelasnya."

   Habis berkata ia lantas menepuk tangan, ia panggil budak cilik tadi untuk membawa Pwe-eng kembali ke tempat tahanannya.

   Saat itulah Hi Giok-kun dan Si Bwe didampingi Pik Ki sedang menunggu giliran menghadap Beng Jit-nio, ketika Han Pwe-eng muncul, segera Pik Ki mendesis.

   "Ssst, nona Han itu sudah keluar, coba kalian melihatnya dari sini!"

   Ketika Hi Giok-kun mengintip melalui jendela, benar juga dilihatnya Han Pwe-eng mengikuti seorang budak cilik sedang menuju ke arah sini.

   Hati Giok-kun menjadi berdebar, dilihatnya Han Pwe-eng rada pucat dan kurus.

   Kini terbuktilah apa yang dikatakan Yim Thian-ngo itu bohong belaka, hanya tidak diketahui apakah Pwe-eng masih menaruh sirik padaku atau tidak? Demikian Giok-kun membatin.

   Dalam pada itu Si Bwe sedang membisikinya.

   "Budak cilik itu bernama Pik Po, terkenal paling nakal di sini, tapi juga sangat disayang oleh Jit-nio. Pik Po juga sangat baik dengan aku, cuma sayang sekarang aku tidak leluasa menemuinya."

   Agaknya Si Bwe mengetahui tugas perjalanan Giok-kun, sebab itulah dia sengaja memberi keterangan, secara tidak langsung ia memberi jalan agar selanjutnya Giok-kun boleh menghubungi budak cilik itu.

   Budak cilik bernama Pik Po itu benar-benar sangat cerdik, ketika lewat kamar tunggu itu, sekilas ia melihat Si Bwe dan Pik Ki berada di balik jendela, dengan girang ia terus menegur.

   "He, enci Si Bwe, angin apa yang meniup kau ke sini? Sudah lama tidak bertemu, sungguh sangat merindukan dirimu."

   Memang seruan Pik Po itulah yang diharap-harapkan Si Bwe, bersama Giok-kun mereka lantas melangkah keluar kamar itu, jawab Si Bwe kepada Pik Po.

   "Tampaknya kau sedang sibuk, maka aku tidak berani mengganggu kau."

   "Ah, kau juga bukan orang luar, kenapa main sungkan-sungkan segala?"

   Ujar Pik Po.

   "Eh, enci Si Bwe, kau jangan buru-buru pulang, tunggu dulu, sesudah aku mengantar nona Han ini ke tempatnya, sebentar kita omong- omong lagi. O, siapakah Cici ini?"

   "Cici ini juga bukan orang luar, sebentar lagi ia pun akan menjadi kawan kita di sini,"

   Sela Pik Ki dengan tertawa.

   "Dia adalah saudara kita yang didapatkan Sin Cap-si-koh dari daerah Kang-lam dan sengaja di antar ke sini untuk majikan."

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Pik Po.

   "Baiklah, sampai bertemu sebentar lagi."

   Ketika melihat Giok-kun, tanpa terasa hati Pwe-eng juga tergetar, ia merasa muka orang sudah pernah dilihatnya, cuma lupa entah dimana.

   Mendadak Giok-kun batuk-batuk beberapa kali.

   Maka terkejutlah Pwe- eng.

   Dahulu waktu Han Pwe-eng jatuh sakit di rumah Giok-kun lantaran terluka oleh Siu-lo-im-sat-kang, sering Pwe-eng berbatuk-batuk dengan suara batuk yang sama seperti suara batuk yang ditirukan Hi Giok-kun sekarang.

   Sungguh mimpi pun Han Pwe-eng tidak mengira Hi Giok-kun akan datang ke tempat Beng Jit-nio ini, maka ia menjadi sangsi apakah budak ini benar-benar Hi Giok-kun atau cuma secara kebetulan saja sama orangnya? Setelah Pik Po dari Han Pwe-eng pergi, Giok-kun pura-pura minta maaf atas batuknya di depan orang banyak tadi.

   Pik Ki menyatakan tidak menjadi soal.

   Lalu membawa dia dan Si Bwe menghadap sang majikan.

   Melihat Giok-kun, ternyata Beng Jit-nio sangat senang.

   Maka legalah hati Giok-kun yang semula rada tegang.

   Tadinya ia mengira Beng Jit-nio adalah momok yang entah betapa macamnya, kini sesudah berhadapan ternyata tiada sesuatu yang perlu ditakutkan.

   Cuma manusia tidak boleh dinilai dari wajahnya, contohnya Sin Cap-si-koh, kelihatannya adalah wanita yang halus dan baik budi, siapa duga tanpa sesuatu tanda diam-diam ia meracuninya.

   Maka yang paling penting baginya sekarang adalah waspada terhadap segala kemungkinan.

   Sebagaimana diketahui Sin Liong-sing memberikan sebentuk cincin kepada Giok-kun, katanya Beng Jit-nio akan bersikap lain daripada yang lain bila melihat dia memakai cincin itu.

   Tapi lantaran kuatir Beng Jit-nio salah sangka dia ada hubungan istimewa dengan Sin Liong-sing, maka Giok-kun sengaja tidak memakai cincin itu.

   Begitulah Beng Jit-nio mengamat-amati Giok-kun sejenak, katanya kemudian dengan tertawa.

   "Ehm, cantik juga kau. Kau berasal darimana? Siapa namamu, pernahkah bersekolah?"

   Giok-kun menjawab menurut apa yang telah dirancang sebelumnya.

   "O, kiranya puteri seorang Siucay, sungguh merendahkan dirimu saja,"

   Ujar Beng Jit-nio. Lalu ia berpaling kepada Si Bwe dan berkata.

   "Aku harus berterima kasih kepada majikanmu yang telah jauh-jauh mencarikan seorang nona manis begini dari Kang-lam, katakan kepada majikanmu bahwa aku sangat senang. Entah siapakah yang mengantar dia dari Kang-lam."

   "Hamba memang hendak melapor kepada Piau-koh,"

   Jawab Si Bwe.

   "Tit- siauya kami baru saja pulang kemarin. Dia yang mencarikan Si Khim ini bagimu."

   "O, Liong-sing sudah pulang? Mengapa tidak mampir ke tempatku ini?"

   Kata Jit-nio.

   "Kabarnya kepulangan Tit-siauya ini adalah perintah gurunya dan ada macam-macam tugas yang perlu dikerjakan, maka hanya sekadar mampir ke rumah untuk satu-dua hari saja, besok juga Tit-siauya akan masuk kota untuk menemui Liok Pang-cu darj Kay-pang. Selain itu Tit-siauya mendengar Piau- koh ada tamu agung, dia tidak berani mengganggu, maka hamba disuruh menyampaikan salam kepada Piau-koh dan minta dimaafkan karena tidak dapat mampir ke sini."

   Beng Jit-nio mengerut kening, katanya.

   "Sudah beberapa tahun tak bertemu, aku menjadi, rada kangen kepada anak itu. Dia adalah murid ahli waris Bu-lim-beng-cu daerah Kang-lam, pantas kalau dia tidak sudi bertemu dengan tamu-tamu yang berada di tempatku ini. Baiklah, sekali ini aku tidak menyalahkan dia, tapi lain kali kalau pulang lagi dan tidak mampir....."

   "Kalau lain kali Tit-siauya pulang lagi, tanpa dipesan juga dia pasti akan mampir kemari,"

   Sela Si Bwe.

   "Padahal Tit-siauya sendiri juga sangat merindukan engkau."

   "Si Bwe, kau memang pintar bicara, pantas di waktu kecilnya Liong-sing suka ditemani kau dan tidak mau dilayani oleh budak yang lain,"

   Kata Jit-nio dengan tertawa. Muka Si Bwe menjadi merah, jawabnya.

   "Enci Si Khim ini lebih-lebih pintar, tiada seorang pun di antara kaum hamba kami dapat menandingi dia."

   Nada yang mengandung rasa cemburu itu membikin hati Giok-kun tergerak, diam-diam ia merasa geli sendiri.

   "Kalian berdua sama-sama kusukai, cuma sayang majikanmu tidak dapat berpisah dengan kau sehingga aku tidak berani buka mulut untuk minta kau,"

   Kata Jit-nio.

   "Ah, sayang aku tidak punya rezeki sebesar enci Si Khim sehingga dapat meladeni engkau,"

   Sahut Si Bwe. Sudah tentu Giok-kun dapat merasakan pula nada cemburu Si Bwe itu, pikirnya, Memangnya aku ingin disukai ole Tit-siauya kalian itu? Meski dia adalah murid pewaris Bun-tayhiap, tapi Kok Siau-hong juga tidak lebih jelek daripadanya."

   Seakan-akan merenungkan sesuatu, kembali Beng Jit-nio memandang sekejap kepada Hi Giok-kun, tiba-tiba ia bertanya.

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Liong-sing mengantar kau ke sini, sepanjang jalan tentu kau diperlakukan dengan baik bukan?"

   Giok-kun tidak dapat menyangkal, terpaksa ia menunduk sebagai tanda mengiakan. Dengan tersenyum Beng Jit-nio berkata pula.

   "Kau dipilih Liong-sing, dengan sendirinya karena dia juga suka padamu. Kau boleh tinggal dengan tenang di sini, kau pasti akan kuperlakukan dengan baik."

   "Ah, yang dipilih Tit-siauya adalah budak, kaum budak macam kita ini hanya mengharapkan majikan yang baik saja, mana berani mimpi hal yang muluk-muluk,"

   Jawab Giok-kun tak tahan, habis berkata barulah ia merasa ucapannya itu tanpa sengaja telah menyinggung Si Bwe, namun menyesal pun sudah terlambat.

   Beng Jit-nio tertegun, diam-diam ia menganggap budak baru ini punya harga diri, hatinya menjadi tambah senang, katanya kemudian.

   "Hendaklah kau jangan salah paham, aku tahu kau adalah puteri Siucay dan terpaksa menghambakan diri, mana aku berani memandang hina padamu. Eh, kau bernama Si Khim (perawat kecapi), tentunya kau mahir seni petik, coba kau bawakan satu lagu daerah Kang-lam yang baru, maukah?"

   Giok-kun tahu Beng Jit-nio hendak menguji dia apakah benar berasal dari Kang-lam atau bukan, terpaksa ia menjawab.

   "Hamba belajar kesenian secara serampangan saja, tak dapat disebut mahir. Tentang lagu Kang-lam, hamba kuatir tak dapat membawakannya dengan baik dan akan ditertawai majikan."

   "Kau tidak perlu rendah hati, di sini ada sebuah kecapi kuno, coba kau memetiknya,"

   Kata Beng Jit-nio.

   Segera Giok-kun mendekati kecapi yang ditunjuk, lebih dulu ia setel nada kecapi itu, lalu mulai memetiknya, ia membawakan sebuah lagu daerah selatan berisikan syair gubahan Liok Yu yang mengisahkan kehampaan hati seorang wanita.

   Beng Jit-nio sendiri adalah wanita yang patah hati dan tidak menikah selama hidup, maka isi syair lagu itu cocok benar dengan keadaannya.

   Ia menjadi terkesima dan terharu sambil memejamkan mata, sampai sekian lamanya sesudah lagu itu selesai baru ia membuka matanya.

   "Piau-ci serba mahir akan macam-macam kesenian, lebih-lebih dalam hal memetik kecapi, apakah kau sudah pernah mendengar dia memetik kecapi?"

   Tanya Jit-nio tiba-tiba.

   "Semalam hamba baru saja mendengar beliau memetik sebuah lagu kuno,"

   Jawab Giok-kun.

   "O, apakah kau masih ingat lagunya, dapatkah kau memetiknya sekarang?"

   Kata Jit-nio.

   "Asalkan majikan tidak menertawakan hamba suka meniru, mungkin pula hamba tidak dapat memetiknya secara baik,"

   Kata Giok-kun.

   Lalu ia pun mulai memetik pula lagu yang didengarnya semalam waktu Sin Cap-si-koh memetik kecapi di rumahnya.

   Sambil mendengarkan lagu itu, terlihat Beng Jit-nio tersenyum dingin, lagaknya seperti mencemooh.

   Selesai memetik kecapinya, berkatalah Giok-kun.

   "Mungkin hamba tidak baik membawakan lagu ini sehingga membikin majikan kurang senang?"

   "Tidak, biarpun caramu memetik kecapi ini belum semahir Piau-ciku, tapi sudah lumayan. Aku tidak menertawai kau, aku cuma merasa Piau-ci melagukan syair ini rasanya agak agak....."

   Agak apa tak jadi dikatakannya, tapi mendadak ia tertawa terbahak-bahak, tertawa yang amat pedih.

   Sebagai nona yang cerdas, segera Giok-kun dapat merasakan di antara Beng Jit-nio dan Sin Cap-si-ko tentu ada ganjalan hati mengenai sesuatu urusan, jadi tawa Beng Jit-nio itu ditujukan terhadap Sin Cap-si-koh.

   Sesudah tertawa, sikap Beng Jit-nio tertampak rada lesu, katanya kemudian.

   "Si Bwe, boleh kau pulang dan beritahukan majikanmu bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian nona yang serba pintar ini."

   Dan baru saja Si Bwe hendak mohon diri, tiba-tiba terdengar suara seorang tua berkata.

   "Tampaknya Jit-nio gembira benar, maaf jika aku mengganggu." ~ Maka muncullah seorang tua yang bertubuh tinggi besar, siapa lagi kalau bukan Sebun Bok-ya. Dalam hati Beng Jit-nio merasa kurang senang karena orang masuk begitu saja tanpa permisi sebelumnya, tapi ia tidak enak mengumbar perasaannya, dengan nada dingin ia balas menyapa.

   "Sebun-siansing, ada urusan apakah?"

   "Ha, ha, pertama aku hendak memberi selamat kepada Jit-nio yang baru mendapatkan seorang pelayan idaman,"

   Kata Sebun Bok-ya dengan tertawa.

   "Kedua aku sengaja datang buat minta maaf padamu."

   Beng Jit-nio melengak, katanya.

   "Ada urusan apa yang kau merasa bersalah sehingga perlu minta maaf padaku?"

   "Soalnya muridku yang tidak becus Pok Yang-kian itu bermata buta, dia telah mengganggu budak kesayangan sanak famili Jit-nio, maka aku datang buat mintakan maaf baginya,"

   Kata Sebun Bok-ya.

   "Tapi entah nona manakah yang diganggunya tadi?"

   Berbareng itu sorot mata Sebun Bok-ya mengerling ke arah Si Bwe untuk kemudian mengamat-amati pula kepada Hi Giok-kun. Si Bwe tidak mengira orang akan mencari urusan, terpaksa ia tampil ke muka dan berkata.

   "Aku inilah. Aku pun tidak tahu dia adalah murid Sebun- siansing sehingga timbul sedikit pertengkaran, yang mesti minta maaf seharusnya adalah diriku."

   "Pok Yang-kian yang salah, dia merintangi enci Si Bwe masuk ke sini, terpaksa enci Si Bwe menghajar adat padanya,"

   Timbrung Pik Ki.

   "Banyak mulut, kau tidak perlu ikut campur,"

   Omel Beng Jit-nio.

   "Ya, memang muridku yang kasar itu pantas diberi hajaran, aku sendiri ikut malu, maka perlu juga minta dimaafkan meski dia telah diberi hajaran oleh nona itu,"

   Kata Sebun Bok-ya.

   "Ah, sedikit salah paham saja buat apa dipikirkan,"

   Kata Beng Jit-nio.

   "Jika sekiranya Sebun-siansing anggap persoalan ini harus ada suatu penyelesaian, maka boleh kau pergi bicara dengan Piau-ciku, aku sendiri malas untuk ikut campur. Cuma perlu Sebun-siansing ketahui, Piau-ciku baru saja berhasil meyakinkan Pek-tok-cin-keng, Sebun-siansing sendiri juga ahli dalam bidang ini, kesempatan ini dapat digunakan untuk saling belajar kenal."

   Diam-diam Sebun Bok-ya mendongkol, pikirnya.

   "Memangnya aku takut kepada Sin Cap-si-koh, kalau saja tiada urusan lain tentu aku sudah pergi mencari dia. Tapi seorang budaknya saja mampu mengalahkan Pok Yang- kian, maka sang majikan dapatlah dibayangkan betapa lihainya. Malahan budak yang baru ini tampaknya lebih hebat daripada Si Bwe yang mengalahkan Yang-kian itu."

   Maka sedapat mungkin ia coba menutupi perasaan jeri sendiri, katanya kemudian.

   "Baiklah, beberapa hari lagi jika ada tempo senggang tentu aku akan pergi minta maaf kepada Piau-cimu. Eh, nona yang satu inikah yang baru datang tadi?"

   "Benar, dia adalah pelayan pemberian Sin Cap-si-koh, namanya Si Khim,"

   Jawab Jit-nio.

   "Nah, berilah hormat kepada Sebun-siansing, Si Khim."

   Segera Giok-kun memberi hormat dan berkata.

   "Aku baru datang, tentunya serba tidak tahu, jika ada yang kurang adat mohon Sebun-siansing suka maklum."

   "Sungguh seorang pelayan yang cerdik dan pintar,"

   Puji Sebun Bok-ya.

   Tiba-tiba hatinya tergerak, ia merasa budak ini seperti sudah pernah dilihatnya, tapi lantaran wajah Giok-kun sudah dirias sedemikian rupa sehingga dia sudah pangling, hanya merasa pernah melihatnya saja, tapi tidak ingat lagi dimana.

   "Baiklah, sedikit persoalan kecil kini sudah diselesaikan, apakah Sebun- siansing masih ada urusan lain?"

   Kata Jit-nio, nadanya mengusir tamu. Maka Sebun Bok-ya lantas menjawab.

   "Benar, memang ada suatu urusan lain perlu kuminta maaf juga kepada Jit-nio. Kembali Beng Jit-nio melengak, katanya.

   "Memangnya budak mana lagi yang berbuat salah padamu?"

   "Ah Jit-nio jangan berolok-olok, sekali ini aku benar-benar ingin minta maaf padamu,"

   Kata Sebun Bok-ya dengan mengiring tawa.

   "Soalnya aku telah melakukan sesuatu urusan yang mungkin tidak cocok dengan pikiranmu."

   "Urusan apakah?"

   Tanya Jit-nio.

   "Besok juga aku hendak pergi ke kota (Lok-yang), mungkin makan waktu tiga hari baru dapat pulang ke sini,"

   Tutur Sebun Bok-ya. Diam-diam Jit-nio besyukur akan kepergian orang, katanya.

   "Sebun- siansing hanya sekadar menjadi tamuku di sini, mana aku dapat mengikat kebebasan bergerakmu. Untuk pergi ke kota kenapa mesti minta maaf segala padaku?"

   "Berhubung perlu waktu tiga hari, maka aku menjadi rada kuatir atas diri Han Tay-wi, sebab itulah aku telah berlaku sedikit kasar dengan menutup dua saluran urat nadinya, dalam tiga hari dia akan lumpuh seluruh badan, tangan tak dapat bergerak dan mulut tak dapat bicara."

   Beng Jit-nio terkejut, namun dia berlagak setenang mungkin, katanya.

   "Apakah dia tak dapat memunahkan sendiri totokanmu itu?"

   "Meski lwekang Han Tay-wi sangat tinggi, tapi dia telah terluka oleh Hoa- hiat-to, sedikitnya mesti tiga hari kemudian baru kuat membuka sendiri,"

   Tutur Sebun Bok-ya.

   "Tapi caraku menutup saluran urat nadi itu jika dipaksakan untuk membukanya sendiri, maka itu berarti akan mempercepat kematiannya. Untuk tindakanku ini sebelumnya tidak kuberitahukan kepada Jit-nio, hendaklah engkau jangan marah."

   "Ah, untuk menjaga segala kemungkinan, mengingat ilmu silat Han Tay- wi yang memang sangat tinggi, tindakanmu itu memang tepat,"

   Sahut Jit-nio dengan tertawa.

   "Baiklah, jika Jit-nio tidak menyalahkan aku, maka legalah hatiku, sekarang aku mohon diri saja,"

   Kata Sebun Bok-ya. Sesudah Sebun Bok-ya pergi, Beng Jit-nio mengertak gigi saking gemasnya.

   "Pada suatu hari iblis tua ini pasti juga akan merasakan kelihaianku!"

   Katanya dengan gregetan. Menyusul Si Bwe juga mohon diri, Beng Jit-nio berkata.

   "Baiklah, boleh kau antar dia, Pik Ki, Si Khim tinggal saja di sini menemani aku main catur."

   "Kepandaian main catur hamba terlalu rendah, jika perlu mohon majikan suka memberi petunjuk,"

   Ujar Giok-kun.

   "Kau memang pintar bicara,"

   Puji Beng Jit-nio.

   "Main catur berbeda dengan main kecapi. Bicara terus terang, dalam hal ilmu silat memang aku dapat memberi petunjuk padamu, tapi mengenai main catur, agaknya kau yang harus memberi petunjuk padaku."

   Benar juga, setelah permainan catur mereka sampai setengah mainan, keadaan menjadi saling bertahan dan sukar diselesaikan. Beng Jit-nio menjadi ragu-ragu untuk mengambil langkah, dia menggumam sendiri.

   "Situasi begini menjadi serba susah."

   Hati Giok-kun tergerak, ia pikir entah bagaimana pendirian Beng Jit-nio menghadapi urusan negara, ada baiknya kucoba memancingnya. Maka ia lantas menanggapi.

   "Ya, situasi memang tidak menguntungkan, apakah majikan mendengar berita apa-apa?"

   Beng Jit-nio melengak, sahutnya.

   "Apa yang kau maksudkan?"

   "Hamba maksudkan situasi umum di luar,"

   Kata Giok-kun.

   "Bagaimana keadaan di luar?"

   Jit-nio balas bertanya.

   "Pasukan berkuda Mongol sudah menyerbu ke Tiong-goan, kabarnya sedang menuju ke Lok-yang sini."

   "Masakah begitu cepat?"

   Jit-nio menegas dengan terkejut.

   "Sungguh harus diselesaikan, sedikit pun aku tidak tahu keadaan demikian."

   "Tapi biarpun pasukan Mongol menyerbu ke sini, tempat kita ini rasanya takkan berhalangan apa pun."

   "Ya, tempat ini memang seperti dunia lain, pihak Tartar pasti tidak tahu tempat rahasia ini. Cuma, ai, manusia tentunya tidak boleh memikirkan diri sendiri melulu....."

   "Benar, kita tidak menjadi soal, tapi rakyat jelata tentu akan menjadi korban keganasan musuh."

   Beng Jit-nio terdiam sejenak, kemudia dia berkata pula.

   "Tapi apa daya kita?" ~ Dia menjemput satu biji catur dan diletakkan perlahan pada tempatnya, tiba-tiba ia menggumam seperti teringat sesuatu.

   "Aneh, mengapa iblis tua Sebun Bok-ya itu sengaja pergi ke Lok-yang pada saat genting begini?"

   Giok-kun sengaja mengembalikan pokok persoalan, katanya dengan hambar.

   "Situasi buruk demikian rasanya sukar diubah oleh kekuatan manusia, setiap orang harus bersyukur bilamana dapat menyelamatkan diri masing-masing. Hamba pikir sekali pun Tartar Mongol berhasil menerobos ke sini, rasanya kita pun tak perlu takut."

   "Kenapa?"

   Tanya Beng Jit-nio dengan mata terbelalak.

   "Di sini kan ada Sebun-siansing dan Cu-siansing berdua,"

   Kata Giok- kun.

   "Apa artinya ucapanmu ini?"

   Jit-nio menegas.

   "Cu Kiu-bok belum kau lihat, darimana kau mengetahui ada seorang Cu-siansing di sini."

   "Kudengar dari Sin-kongcu, hamba juga tidak tahu dengan pasti benar tidak kenyataannya, maka hamba tidak berani sembarangan omong."

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apakah Liong-sing mengatakan kedua tua bangka ini ada hubungan dengan Tartar Mongol?"

   "Sin-kongcu hanya menarik kesimpulan menurut akal sehat saja. Dia bilang pada saat pasukan musuh menyerbu tiba, selagi Lok-yang menghadapi saat genting, kebetulan pada waktu demikianlah kedua iblis tua itu datang ke sini, betapa pun hal ini harus dicurigai."

   "Ya, betul juga,"

   Kata Jit-nio sambil manggut-manggut.

   "Kapan dia bicara demikian padamu?"

   "Bukan bicara padaku, tapi semalam Sin-kongcu bicara dengan bibinya dan kebetulan hamba juga hadir di situ."

   "Apakah Cap-si-koh tidak memberitahukan kepada Liong-sing bahwa aku yang mengundang kedua iblis itu ke sini?"

   "Ada dikatakan. Tapi apa yang diuraikan Cap-si-koh rada berbeda dengan apa yang majikan katakan."

   "Dimana letak perbedaannya?"

   Tanya Jit-nio.

   "Cap-si-koh bilang kedua iblis itulah yang datang sendiri untuk bekerja bagi majikan."

   "Aku sendiri tidak pernah berkata demikian padanya, darimana dia tahu?"

   "Sin-kongcu juga tanya demikian kepada bibinya, tapi Cap-si-koh anggap majikan pasti tidak mau membohongi beliau, kalau majikan tidak pernah mengatakan mengundang kedua iblis itu, dengan sendirinya merekalah yang datang sendiri. Sin-kongcu juga sependapat dengan bibinya dan yakin majikan pasti tidak sudi mengundang kedua iblis yang terkenal jahat itu."

   Diam-diam Jit-nio merasa malu sendiri karena Sin Cap-si-koh ternyata menganggapnya sebagai kawan sejati, malahan penilaian baik Sin Liong-sing kepadanya juga rada di luar dugaannya, padahal ia menyangka Sin Liong- sing pasti akan membantu bibinya sendiri dan tak berkesan baik atas pribadinya.

   Kiranya Hi Giok-kun hanya menebak tepat sebagian saja persoalan ini, memang betul Cu Kiu-bok datang atas kemauan sendiri, tapi Sebun Bok-ya sebelumnya ada hubungan surat menyurat dengan Beng Jit-nio dalam usaha menghadapi Han Tay-wi, jadi Sebun Bok-ya bukan datang sendiri untuk bekerja sama dengan Beng Jit-nio.

   Begitulah Jit-nio berkata pula.

   "Liong-sing baru pulang dari Kang-lam, mengapa dia mempunyai berita begitu cepat?"

   "Dia mendengar dari orang Kay-pang, katanya kemarin dulu ada dua pemuda memergoki kedua iblis tua itu di pegunungan sini, maka begitu pulang Sin-kongcu lantas bertanya kepada bibinya. Katanya nama kedua pemuda itu adalah Kok Siau-hong dan seorang lagi she Kong-sun apa, namanya hamba tidak ingat lagi. Kabarnya pemuda she Kong-sun itu sudah berada di markas cabang Kay-pang di Lok-yang, sedangkan kemana perginya Kok Siau-hong belum diketahui. Agaknya Sin-kongcu berkawan baik dengan Kok Siau-hong, maka dia merasa kuatir atas diri kawannya itu."

   Giok-kun tidak tahu kalau Kok Siau-hong juga sudah berada di markas Kay-pang, ia berharap mendapatkan sedikit kabar berita pemuda itu dari mulut Beng Jit-nio. Sudah tentu Beng Jit-nio tidak tahu maksud tujuan Giok-kun, ia berkata pula.

   "Aneh, meski aku tidak hadir di tempatnya waktu itu, tapi setahuku Kok Siau-hong telah kabur bersama Kong-sun Bok, mengapa tak diketahui kemana perginya? Eh, Si Khim, kau asal mana di daerah Kang-lam?"

   "Hamba berasal dari Siang-ciu,"

   Jawab Giok-kun sekenanya karena Siang- ciu dan Yang-ciu kedengarannya hampir sama.

   "Siang-ciu terletak tidak jauh dari Yang-ciu, apakah kau tahu keluarga Kok Yak-hi yang sudah meninggal. Kabarnya setengah tahun yang baru lalu Kok Siau-hong telah menikah, apakah kau mengetahui hal ini?"

   "Hamba terlalu kurang pengalaman, walaupun tahu juga keluarga Kok yang terkenal itu, tapi tidak mendengar kalau keluarga Kok merayakan pesta nikah."

   "Sungguh aneh. Padahal keluarga Kok sangat terkenal di dunia persilatan, apalagi Kok Siau-hong adalah putera tunggal keluarga Kok, jika dia menikah pasti akan dirayakan dengan meriah, pula calon istrinya juga dari keluarga terkenal di kota yang jauh letaknya, masakah peristiwa nikah yang menggemparkan ini tak kau dengar?"

   Kiranya Beng Jit-nio merasa curiga juga, kalau Kok Siau-hong sudah menikah dengan Han Pwe-eng, pantasnya Han Pwe-eng tidak dapat pulang sendirian mengingat mereka adalah pengantin baru, mana mungkin tidak didampingi Kok Siau-hong.

   "Hamba memang tidak tahu peristiwa itu,"

   Sahut Giok-kun. Lalu ia berlagak ingin tahu dan sengaja bertanya.

   "Majikan mengatakan calon pengantin perempuannya datang dari jauh, entah orang macam apakah dia itu?"

   "Tadi Pik Po membawa seorang nona keluar dari sini, kau melihatnya tidak?"

   Tanya Beng Jit-nio.

   "Ya, ketika enci Si Bwe saling menyapa dengan enci Pik Po, hamba melihat seorang nona cantik, entah siapakah dia?"

   "Itulah dia pengantin perempuan istri Kok Siau-hong, sekarang dia berada di tempat kita ini."

   Giok-kun pura-pura heran, katanya.

   "Mengapa dia tidak berada bersama suaminya, sebaliknya tinggal di sini? Kalau Sebun-siansing adalah tamu majikan, sedangkan istri Kok Siau-hong juga tamu di sini, kenapa mereka saling hantam pula?"

   "Nona itu bernama Han Pwe-eng, dia boleh dikatakan adalah tamuku, tapi juga dapat dikatakan bukan tamuku,"

   Tutur Beng Jit-nio.

   "Mengapa begitu?"

   Tanya Giok-kun dengan lagak penuh heran dan bingung.

   "Sebab beradanya dia di sini karena tertawan,"

   Jawab Jit-nio.

   "Menurut cerita Sin-kongcu, katanya Kok Siau-hong adalah pendekar muda yang terkenal baik, rasanya nona Han inipun bukan orang jahat, mengapa Sebun-siansing menawannya ke sini dan majikan membiarkan tindakannya ini?"

   "Si Khim, kau bertanya terlalu banyak!"

   Tiba-tiba Jit-nio menarik muka. Giok-kun pura-pura gugup dan menjawab.

   "Ya, harap majikan mengampuni kebodohan hamba."

   "Aku ingin tanya sesuatu padamu,"

   Kata Beng Jit-nio kemudian.

   "Jika Liong-sing yakin Sebun Bok-ya dan Cu Kiu-bok bersekongkol dengan pihak Mongol, sekarang kedua orang itu berada di tempatku ini, apakah Liong-sing pernah berunding dengan bibinya cara bagaimana menghadapi diriku?"

   "Sin-kongcu yakin majikan pasti takkan menerima mereka, Sin-kongcu sangat menghormati dan menghargai majikan, maka majikan tidak perlu sangsi,"

   Kata Giok-kun.

   Diam-diam Beng Jit-nio merasa menyesal sendiri telah berhubungan dengan Sebun Bok-ya, tadinya ia mengira gembong iblis itu muncul kembali hanya untuk merebut jabatan Bu-lim-beng-cu saja, makanya mau bergabung untuk menghadapi Han Tay-wi.

   Sekarang kalau betul iblis itu bersama Cu Kiu-bok bersekongkol dengan Mongol, itu berarti dirinya telah tertipu olehnya.

   Berpikir demikian, Beng Jit-nio menjadi masgul, segera ia berhenti bercatur dan memanggil Pik Ki agar menyiapkan kamar bagi Giok-kun.

   Pik Ki membawa Giok-kun menyusuri sebuah serambi panjang, sambil berjalan sembari bicara, katanya.

   "Si Khim, kau benar-benar ada jodoh dengan majikan, begitu melihat kau beliau lantas suka padamu."

   "Aku baru datang dan tidak tahu watak majikan, tadi hampir saja aku membikin marah majikan ketika aku tanya dia mengapa menawan Han- siocia itu,"

   Kata Giok-kun.

   "Untung kau tidak dimarahi, kalau kami yang tanya mungkin sudah dihajar setengah mati,"

   Ujar Pik Ki.

   "Terus terang kami juga sangat ingin tahu apa sebabnya. Aku curiga jangan-jangan ada sangkut-pautnya ke sini dengan sebentuk cincin yang sengaja diperlihatkan oleh Pok Yang-kian, muridnya itu."

   Kemudian Pik Ki memberi keterangan bahwa serambi panjang itu merupakan batas antara luar dan dalam, bagian luar telah didiami oleh kedua iblis tua itu bersama begundalnya, maka jika tiada soal penting Giok- kun diharap jangan mendekati rumah sebelah sana yang didiami Sebun Bok- ya.

   Sejak itu Giok-kun lantas tinggal di rumah Beng Jit-nio sebagai pelayan, berturut-turut tiga hari Beng Jit-nio selalu menyuruh dia mengiringinya main catur atau main kecapi, tapi selama itu belum pernah menyuruh Giok-kun masuk kamar tidurnya.

   Giok-kun juga tidak berani mencari tahu kepada budak-budak lain sehingga belum diketahui Pek-hoa-ciu tersimpan dimana.

   Soal lain yang menekan perasaan Giok-kun adalah Han Tay-wi yang katanya dua tempat urat nadinya telah ditotok oleh Sebun Bok-ya, untuk itu diperlukan tiga hari baru dapat punah sendiri, padahal entah betul tidak hal itu.

   Jika Sebun Bok-ya membohongi Beng Jit-nio dan paman Han akhirnya cacat, maka urusan menjadi runyam dan usahaku ke sini menjadi sia-sia pula.

   Demikian pikirnya.

   Pada hari ketiga itu ketika Beng Jit-nio memanggil Giok-kun untuk mengiringinya main catur, lantaran memikirkan diri Han Tay-wi, pikiran Giok-kun menjadi rada buyar, berturut-turut ia kalah dua babak.

   "Si Khim, kau seperti menanggung pikiran apa-apa, padahal permainanmu tidak seharusnya dikalahkan olehku,"

   Kata Jit-nio heran.

   "Ah, bukan hamba menanggung pikiran, soalnya kepandaian main catur majikan yang sudah jauh lebih maju daripada kemarin,"

   Jawab Giok-kun. Pada umumnya manusia memang suka diumpak, dengan sendirinya Beng Jit-nio senang oleh pujian Giok-kun itu. Katanya pula dengan tertawa.

   "Apa betul? Terus terang, kau tidak menanggung pikiran apa-apa, sebaliknya aku sendiri ada sedikit persoalan."

   "Persoalan apakah yang merisaukan majikan, bolehkah hamba mendapat tahu?"

   "Sebenarnya tidak terlalu penting, katanya Sebun Bok-ya akan pulang hari ini, tapi sampai saat ini belum nampak batang hidungnya. Lok-yang entah sudah jatuh belum? Sesudah mendengar ceritamu kemarin, kini aku pun rada sangsi dia benar-benar bersekongkol dengan pihak Mongol."

   Sampai di sini, tiba-tiba terlihat si Pik Po cilik berlari-lari masuk ke situ.

   "Ada urusan apa, apakah Sebun Bok-ya sudah pulang?"

   Tanya Jit-nio cepat.

   "Sebun Bok-ya belum pulang, tapi seorang lain telah tiba,"

   Lapor Pik Po.

   "Siapa dia? Katakan hari ini aku tidak terima tamu."

   "Orang itu bukan mohon bertemu dengan majikan, tapi hendak mencari Sebun Bok-ya."

   "Sebun Bok-ya tidak ada, suruh dia enyah saja!"

   Pik Po menjadi heran mengapa hari ini sang majikan suka marah-marah. Ia pikir kebetulan dapat kugunakan kesempatan ini untuk mengadu biru agar majikan mengusir pergi keparat-keparat itu. Maka dengan lagak penasaran ia sengaja berkata.

   "Maaf, hamba tidak berani melakukan perintah majikan ini, soalnya ada orang yang telah menyilakan tamu itu masuk."

   "Siapa berani lancang, apakah Cu Kiu-bok?"

   "Ya,"

   Jawab Pik Po.

   "Makin lama mereka makin menganggap enteng kepada majikan dan memandang tempat ini seakan-akan rumah mereka sendiri."

   "Apakah kau tahu siapakah gerangan orang yang datang itu?"

   Tanya Beng Jit-nio.

   "Katanya murid Yim Thian-ngo yang tertua dan bernama Ih Hoa-liong,"

   Tutur Pik Po.

   Keterangan ini membuat Giok-kun ikut terkejut.

   Yim Thian-ngo adalah paman (kakak ibu) Kok Siau-hong, namanya cukup terhormat di dunia persilatan, sudah tentu mimpi pun Giok-kun tidak menduga bahwa murid tertua Yim Thian-ngo bisa muncul di tempat Sebun Bok-ya dan begundalnya ini.

   Dalam pada itu terdengar Beng Jit-nio telah menjengek.

   "Hm, kiranya murid Yim Thian-ngo, mengapa tua bangka she Yim itu tidak datang sendiri?"

   "Hamba tidak tahu, apakah majikan perlu tanya Ih Hoa-liong?"

   Kata Pik Po.

   "Melihat cecongornya saja aku sudah gemas, buat apa memanggil dia?"

   Ujar Beng Jit-nio.

   "Memangnya,"

   Demikian Pik Po sengaja membakar pula.

   "Semuanya keparat-keparat yang tidak tahu aturan, Cu Kiu-bok juga begitu, seakan-akan anggap tempat ini adalah miliknya, masuk keluar sesukanya, sembarangan orang juga diundang, bahkan tanpa permisi kepada majikan sama sekali. Sekarang Ih Hoa-liong sudah berada di tempat Cu Kiu-bok, untuk mengenyahkan dia hanya majikan sendiri yang sanggup."

   Beng Jit-nio termenung sejenak, katanya kemudian.

   "Aku malas mengurus dia, hari ini biarkan saja, lihat saja lain kali. Kau boleh pergi, tanpa perintahku jangan kau cari gara-gara."

   Terpaksa Pik Po mengiakan dan mengundurkan diri.

   "Siapakah Yim Thian-ngo itu, mengapa majikan benci kepada mereka guru dan murid?"

   Tanya Giok-kun.

   "Yim Thian-ngo adalah manusia rendah, kesatria palsu yang lain di mulut lain di hati,"

   Jawab Beng Jit-nio.

   "Selanjutnya jika kau berkelana di luaran, kau harus waspada menghadapi mereka guru dan murid."

   "O, kiranya begitu,"

   Kata Giok-kun.

   "Hamba juga paling benci kepada manusia rendah begitu."

   "Sebenarnya aku tidak tahu kepalsuannya, tapi hubunganku dengan dia ada sebab lain, tadinya malah tertipu olehnya. Kini aku hendak menyesal juga sudah terlambat. Terus terang, tempat kita sampai jadi begini justru gara-gara perbuatan tua bangka Yim Thian-ngo itu."

   Giok-kun pura-pura melengak heran dan tidak berani ikut bicara. Maka Beng Jit-nio lantas menyambung.

   "Sumber berita tua bangka she Yim itu juga sangat tajam, entah darimana dia mendapat tahu sengketaku dengan Han Tay-wi. Han Tay-wi adalah ayah si nona Han yang kau lihat tadi."

   Ia tidak tahu bahwa kedatangan Hi Giok-kun ke tempatnya ini justru untuk Han Tay-wi dan puterinya, maka diam-diam Giok-kun merasa geli ketika orang menerangkan siapa diri Han Tay-wi itu.

   "Han Tay-wi adalah maha guru ilmu silat pada zaman ini,"

   Demikian Beng Jit-nio melanjutkan.

   "Aku benci karena dia memandang hina padaku, maka rasa dendamku ini harus kulampiaskan. Aku tidak bermaksud membunuh dia, hanya ingin menyiksanya agar dia tahu rasa dan tunduk padaku. Untuk itulah Yim Thian-ngo sengaja datang mencari aku, katanya dapat membantu mengabulkan keinginanku. Semula aku mengira dia hendak bergabung dengan aku untuk melawan Han Tay-wi, siapa tahu dia memang manusia licin dan licik, hakikatnya dia tidak mau menonjolkan diri, dia hanya ingin memperalat tanganku untuk melenyapkan Han Tay-wi."

   "Hamba merasa tidak paham, lalu cara bagaimana dia membantu engkau?"

   Tanya Giok-kun.

   "Kiranya dia hanya bertindak sebagai perantara bagi Sebun Bok-ya untuk menghubungi aku,"

   Tutur Jit-nio.

   "Katanya Sebun Bok-ya berhasrat menjadi Bu-lim-beng-cu, maka Han Tay-wi dipandangnya sebagai musuh utama, kalau Han Tay-wi tidak dilenyapkan, berarti Sebun Bok-ya sukar menduduki kursi Beng-cu. Sebab itulah dia bersedia membantu aku untuk menghadapi Han Tay-wi dan akan menangkapnya ke sini untuk diserahkan padaku. Memang salahku sendiri yang mau percaya saja kepada ocehannya, akhirnya aku jadi tertipu. Kejadian selanjutnya tentunya sudah dapat kau ketahui. Memang betul Sebun Bok-ya telah membantu aku menawan Han Tay-wi ke sini. Tapi Sebun Bok-ya juga telah mengumpulkan begundalnya di sini sehingga menyerupai perebutan hak milik rumahku ini, kini resminya aku adalah tuan rumah, tapi sesungguhnya aku tidak berkuasa lagi, Han Tay-wi sudah jatuh dalam genggaman mereka. Kemarin dulu, ketika Sebun Bok-ya menotok dua Hiat-to penting Han Tay-wi sehingga membuatnya seakan-akan orang cacat, dia memberitahukan hal itu padaku sesudah dilakukannya, maka dapat kau bayangkan sendiri hal-hal lainnya."

   Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sampai di sini tanpa terasa hati Giok-kun tergerak, pikirnya.

   "Kiranya lantaran Han Tay-wi disiksa oleh Sebun Bok-ya, makanya Beng Jit-nio marah-marah. Aneh juga, di samping bermaksud menyiksa Han Tay-wi, nyatanya dia juga ingin melindunginya dari siksaan orang lain, cuma keadaannya sekarang agak kepepet, makanya timbul rasa menyesal dan gusar. Entah apa sebabnya?"

   Giok-kun yakin di antara Beng Jit-nio dan Han Tay-wi tentu ada urusan lain yang dirahasiakan, ia tidak berani bertanya, sebaliknya ia tanya soal lain.

   "Entah di antara Yim Thian-ngo dan Han Tay-wi ada permusuhan apa?"

   "Permusuhan apa? Setahuku dia pernah datang ke Lok-yang, Han Tay-wi tidak meladeni dia dengan baik, makanya dia dendam, sungguh aku tidak menduga bahwa jiwa Yim Thian-ngo ternyata begitu sempit."

   Namun Hi Giok-kun yang suka berpikir secara mendalam, ia tidak sependapat dengan Beng Jit-nio.

   Bahwasanya Yim Thian-ngo berjiwa sempit memang tidak perlu diragukan, tapi mengapa dia menjerumuskan Han Tay- wi, hal ini tentu tidak sederhana.

   Sehari-hari Yim Thian-ngo dipandang orang sebagai angkatan tua yang berbudi luhur dan berjiwa kesatria, siapa tahu diam-diam dia berkomplot dengan iblis jahat macam Sebun Bok-ya.

   Apalagi sekarang ada bukti-bukti bahwa Sebun Bok-ya adalah orang yang bersekongkol dengan pihak Mongol, pada umumnya makhluk berkumpul menurut jenisnya, tampaknya Yim Thian-ngo juga bukan mustahil adalah agen rahasia Mongol.

   Demikian pikirnya.

   Tiba-tiba ia menjadi kuatir bagi keselamatan kakaknya, yaitu Hi Giok- hoan.

   Yim Thian-ngo yang mengajak Giok-hoan ke Kay-pang, sebaliknya diam-diam dia mengirim muridnya ke tempat Sebun Bok-ya ini, entah tipu muslihat apa yang telah diaturnya, bila betul dia adalah agen rahasia pihak Mongol, maka kedudukan kakaknya tentu sangat berbahaya.

   Namun rasa kuatirnya itu tak dapat diceritakan kepada Beng Jit-nio, terpaksa dia hanya kelabakan di dalam hati saja.

   Tampaknya Beng Jit-nio menjadi lesu, ia suruh Giok-kun kembali ke kamarnya saja untuk mengaso.

   Sesudah mohon diri dan keluar dari ruangan itu, segera Giok-kun pergi mencari si Pik Po cilik.

   Di tepi kolam bunga teratai budak kecil itu dapat ditemuinya.

   "Eh, kau sudah keluar, apakah majikan masih marah? Kukira kau disuruh tinggal di sana untuk melayani beliau,"

   Tegur Pik Po begitu nampak Giok-kun.

   "Majikan sedang kesal, beliau ingin sendirian saja, kukira beliau hendak memikirkan suatu cara yang baik untuk menghadapi kedua iblis tua itu,"

   Kata Giok-kun.

   "Memang, jangankan majikan, aku pun gemas terhadap keparat-keparat itu,"

   Kata Pik Po.

   "Sejak mereka datang, tempat ini menjadi kacau-balau. Hakikatnya mereka tidak pandang sebelah mata kepada majikan kita, pergi datang sesukanya, benci aku."

   "Hanya benci saja tak berguna, kita harus berdaya membantu majikan,"

   Ujar Giok-kun.

   "Apa daya kita?"

   Kata Pik Po.

   "Kedua iblis itu ditambah lagi seorang Yim Thian-ngo sudah membikin pusing majikan kita, lalu kaum kita dapat berbuat apa? Si Khim, engkau lebih pintar, apakah kau punya akal yang baik."

   "Akal sih ada, sedikit banyak rasanya dapat membantu kesukaran majikan kita,"

   Kata Giok-kun.

   "Bagus, lekas kau jelaskan akalmu yang hebat,"

   Seru Pik Po dengan girang.

   "Kau jangan memuji diriku dulu,"

   Ujar Giok-kun.

   "Kupikir Yim Thian- ngo mengutus muridnya ke sini untuk menghubungi kedua iblis tua, tentunya tidak punya kerja baik."

   "Memangnya perlu disangsikan lagi, tentu saja tiada kerja baik,"

   Kata Pik Po.

   "Bisa jadi mereka sengaja berkomplot pula untuk menjebak kita."

   "Kalau melihat kemurungan majikan kita, agaknya beliau juga pusing karena tidak tahu apa maksud tujuan kedatangan murid Yim Thian-ngo itu,"

   Kata Giok-kun.

   "Maka menurut pendapatku, bila kita dapat mengetahui urusan apa yang mereka bicarakan, sedikitnya kita dapat melapor kepada majikan agar beliau waspada. Untuk ini jalan paling baik adalah mencuri dengar pembicaraan mereka."

   "Benar, hal ini sangat sederhana, mengapa tak terpikir olehku sejak tadi,"

   Kata Pik Po.

   "Baiklah, sekarang juga kita ke sana."

   "Mungkin tidak sederhana sebagaimana kau kira,"

   Ujar Giok-kun.

   "Di sekitar sana banyak terdapat begundal mereka, jika kita ke sana dan kepergok, bukankah bisa membikin runyam urusan?"

   "Jangan kuatir, aku jamin kita pasti takkan kepergok orang, mari ikut padaku,"

   Kata Pik Po dengan tertawa.

   "Dekat kamar kita sana ada sebuah lorong di bawah tanah yang menembus ke taman bagian luar. Lubang keluarnya adalah sebuah gunung-gunungan, dengan bersembunyi di dalam gua gunung-gunungan itu dapat terlihat kamar tidur Cu Kiu-bok. Apa yang mereka bicarakan di dalam kamar tentu pula dapat kita dengar dengan jelas."

   "Rahasia jalan di bawah tanah itu apakah diketahui mereka?"

   Tanya Giok- kun.

   "Hm, di dalam taman terdapat banyak sekali pesawat-pesawat rahasia, kalau bukan orang kepercayaan sendiri masakah majikan mau memberitahukan mereka?"

   Dengus Pik Po.

   Begitulah budak cilik itu lantas membawa Giok-kun menyusup ke lorong di bawah tanah dan kemudian bersembunyi di dalam gua gunung- gunungan, waktu melongok keluar, benar juga terlihat Cu Kiu-bok berada di dalam kamarnya sedang berbicara dengan seorang laki-laki setengah umur.

   "Laki-laki itu murid Yim Thian-ngo yang bernama Ih Hoa-liong,"

   Desis Pik Po.

   "Tampaknya pembicaraan mereka sedang mencapai keasyikan, wah, pakai tertawa-tawa segala, agaknya mereka sedang berunding cara bagaimana membikin susah kita. Coba kita pasang telinga untuk mendengarkan."

   Suara orang berbicara di dalam kamar itu memang dapat didengar dengan jelas. Saat itu terdengar Cu Kiu-bok sedang berkata.

   "Kiranya kau juga membawa kabar baik untuk disampaikan padaku. Baiklah, coba kudengarkan dulu ceritamu."

   "Lebih baik Cu-locianpwe bicara dulu agar aku bisa tenteram,"

   Kata Ih Hoa-liong.

   "Baiklah, jika kau buru-buru ingin tahu boleh kukatakan sekarang,"

   Kata Cu Kiu-bok dengan tertawa.

   "Ketahuilah bahwa Han Tay-wi sudah berada dalam cengkeraman kita, biarpun dia bersayap sekarang juga sukar kabur."

   "Apakah tidak kuatir Beng Jit-nio melepaskan dia di luar tahu kalian?"

   Desis Ih Hoa-liong.

   "Kamar tahanan itu dijaga oleh orang-orangku, mana dia dapat bertindak di luar tahu kami?"

   Ujar Cu Kiu-bok.

   "Apalagi keadaan Han Tay-wi sekarang sudah mirip orang cacat, selain terluka oleh Siu-lo-im-sat-kangku dan kena Hoa-hiat-to pukulan Sebun Bok-ya, dia kena dikerjai pula oleh Sebun Bok- ya tiga hari yang lalu sebelum Sebun-heng berangkat."

   "Aku tidak paham, mengapa kalian tidak membinasakan dia saja, kan beres segalanya? Apakah kalian kuatir terhadap Beng Jit-nio?"

   Tanya Ih Hoa- liong.

   "Jelek-jelek dia adalah tuan rumah di sini, betapa pun kita harus memberi muka padanya. Cuma masih ada dua sebab lain. Pertama kami ingin memaksa dia menyerah agar dapat kita peralat. Kedua, kita ingin tahu rahasia harta pusakanya, jika kita bunuh dia, maka rahasia harta pusakanya akan lenyap pula."

   "Orang she Han itu sangat kepala batu, mungkin maksud kalian sukar terkabul."

   "Benar, mati pun dia tak mau bicara terus terang. Aku sudah berunding dengan Sebun-heng, sesudah dia pulang dari Lok-yang nanti dan diizinkan oleh panglima Mongol, dan kalau Han Tay-wi masih membandel, maka segera kami bereskan dia."

   Diam-diam Giok-kun terkejut mendengar sampai di sini, pikirnya.

   "Dugaanku ternyata tepat, kedua iblis tua itu dan Yim Thian-ngo benar- benar agen rahasia Mongol."

   Tiba-tiba terdengar Ih Hoa-liong bergelak tertawa dan berkata.

   "Ha, ha, rahasia harta pusaka itu sudah diketahui oleh guruku, bahkan sudah diangkut pergi. Maka kedua Cianpwe tidak perlu lagi bersusah payah memaksa pengakuan Han Tay-wi."

   "Apa betul?"

   Cu Kiu-bok menegas dengan girang.

   "Jika demikian aku harus memberi selamat kepada gurumu. Konon harta pusaka itu tak ternilai jumlahnya, apakah Ih-laute sendiri sudah melihatnya?"

   "Jangan memberi selamat dulu, kedatanganku justru hendak minta bantuan kepada kalian,"

   Jawab Ih Hoa-liong.

   "Harta pusaka itu sudah jatuh di tangan gurumu, lalu bantuan apa yang diharapkan dari kami?"

   Ujar Cu Kiu-bok.

   "Tidak, harta pusaka itu kini berada di tangan pihak Kay-pang,"

   Tutur Ih Hoa-liong.

   "Cuma guruku yang mengawal pengangkutannya ke tempat Gi- kun (laskar rakyat). Selain guruku, yang mengawalnya ada pula dua Hiang- cu dari Kay-pang dan seorang pemuda bernama Hi Giok-hoan. Bocah she Hi ini adalah ahli waris keluarga Hi di Pek-hoa-kok, kepandaiannya tidaklah rendah."

   "Ya, partai harta pusaka itu sekali-kali tidak boleh jatuh kepada Gi-kun!"

   Seru Cu Kiu-bok sambil menggebrak meja.

   "Betul, makanya guruku mengutus aku datang ke sini untuk minta bantuan kepada kedua Locianpwe,"

   Kata Ih Hoa-liong.

   "Cara bagaimana bantuan kami yang diharapkan gurumu?"

   Tanya Kiu- bok.

   "Pura-pura menyamar sebagai kawanan bandit dan membegalnya di tengah jalan!"

   "Ha, ha, akal bagus! Akal bagus!"

   Seru Cu Kiu-bok tetawa.

   "Tapi jadinya kami kan harus bergebrak dengan gurumu?"

   "Benar, guruku justru menghendaki kedua Lo-cianpwe memainkan sandiwara ini secara sungguh-sungguh agar tidak menimbulkan curiga orang- orang Kay-pang. Guruku juga bersedia mengalami sedikit luka sebagai bukti perlawanannya kepada kaum begal. Hanya saja di waktu bertarung mohon kedua Cianpwe suka kira-kira sedikit."

   "Sudah tentu, bila perlu aku pun akan membiarkan gurumu melukai aku agar lebih membuktikan usaha gurumu yang mati-matian mempertahankan barang kawalannya,"

   Kata Cu Kiu-bok dengan tertawa.

   "Ya, bagus sekali, akan kulaporkan kepada guruku untuk melaksanakannya menurut rencana,"

   Kata Ih Hoa-liong dengan girang.

   "Sesudah urusan selesai, kita membagi rata harta pusaka itu masing-masing satu per tiga."

   Mendengar sampai di sini, Giok-kun menjadi gusar dan terkejut.

   Sama sekali tak tesangka bahwa paman Kok Siau-hong ternyata adalah manusia pengkhianat yang begitu keji, jika rencana busuk mereka itu terlaksana, bukan mustahil kakak (Giok-hoan) juga akan menjadi korban.

   Terdengar Cu Kiu-bok mengucapkan terima kasih atas ucapan Ih Hoa- liong tadi, katanya.

   "Tapi kita harus bicara di muka dulu, cara pembagian harta pusaka itu mungkin tak dapat menurut kata-katamu tadi. Hendaklah Ih-laute jangan salah paham, soalnya tentang harta pusaka itu lebih dulu sudah ada pihak lain yang mengincarnya."

   "Ada pihak Iain yang mengincarnya? Siapa itu?"

   Tanya Ih Hoa-liong bingung.

   "Bahwasanya harta pusaka simpanan Han Tay-wi itu sudah lama diketahui oleh Kok-su negeri Mongol,"

   Tutur Cu Kiu-bok.

   "Mereka menyangsikan harta karun itu adalah titipan orang kepada Han Tay-wi, sebab itulah sasaran mereka yang lebih penting adalah untuk mengetahui asal-usul harta pusaka itu. Untuk ini aku justru ingin tanya kau, apakah gurumu mendengar sesuatu?"

   "Entahlah, bila pulang nanti Wanpwe akan tanya Suhu,"

   Sahut Ih Hoa- Iiong.

   "Tapi kalian jangan kuatir, nilai harta pusaka itu tak terkirakan, andaikan kebagian satu bagian saja sudah kaya-raya, apalagi jasa kalian tentu pula akan dihargai orang Mongol bilamana mereka berhasil memerintah dunia, kedudukan kalian guru dan murid di masa depan sungguh sukar diukur,"

   Demikian kata Cu Kiu-bok pula untuk membesarkan hati Ih Hoa-liong. Maka senanglah Ih Hoa-liong, jawabnya.

   "Baiklah, segera Wanpwe akan pulang saja untuk melapor kepada Suhu."

   "Hari sudah lewat lohor, mengapa Sebun Bok-ya belum pulang, kau tidak menunggu dia lagi?"

   Kata Cu Kiu-bok.

   "Kulcira cukup Cu-locianpwe menyampaikan saja kepada Sebun- siansing,"

   Kata Ih Hoa-liong.

   "Apalagi tempo masih cukup, biarpun Sebun- siansing pulang besok juga masih sempat menyusul barisan pengangkut harta pusaka itu."

   "Baiklah jika begitu, harap saja gurumu nanti ikut berusaha memperlambat perjalanan barisan pengangkut itu,"

   
Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Urar Cu Kiu-bok.

   Ih Hoa-liong mengiakan dan lantas mohon diri.

   Mendengar rencana mereka akan membegal harta pusaka itu, Hi Giok- kun menjadi kuatir bagi kakaknya yang ikut serta dalam pengawalan itu.

   Untuk mengirim berita ke sana terang tidak mungkin.

   Keruan ia menjadi serba susah.

   Pada saat itulah terdengar suara langkah orang.

   Cu Kiu-bok sedang mengantar keluar Ih Hoa-liong.

   Segera Pik Po membisiki Giok-kun agar lekas pulang saja.

   Selagi Giok- kun ragu-ragu, tanpa terasa bajunya menggesek dinding gua dan mengeluarkan suara kresek yang perlahan sekali.

   Saat itu Cu Kiu-bok baru lewat di samping gunung-gunungan palsu itu, suara kresekan itu dapat didengarnya.

   Tanpa pikir ia terus menghamburkan segenggam senjata rahasia mata uang.

   Maka terbitlah suara gemerincing benturan mata uang itu pada dinding batu, ada beberapa buah mata uang itu menyambar masuk ke dalam gua yang sempit itu.

   Karena tiada tempat buat berkelit, terpaksa Giok-kun menggunakan tenaga jarinya untuk menyelentik.

   "crengcreng", dua buah Kim-ci-piau (senjata rahasia mata uang) itu kena diselentik jatuh, tapi ada sebuah mata uang itu luput terselentik dan tetap menyambar ke depan. Pik Po cepat mendekam ke tanah sehingga mata uang itu menyerempet lewat di punggungnya dan jatuh ke bawah sesudah membentur dinding. Dengan menahan sakit, cepat Pik Po menekan pesawat rahasia di dinding, begitu pintu rahasia terbuka segera mereka menyelinap masuk. Ketika Cu Kiu-bok memburu tiba, namun pintu rahasia itu sudah menutup kembali, dipandang dari luar hanya dinding batu yang halus saja. Padahal Cu Kiu-bok tadi yakin di dalam gua gunung-gunungan palsu itu pasti ada orang bersembunyi, tapi sekarang ternyata tiada bayangan seorang pun, ia menjadi ragu-ragu apa salah dengar atau suara kresekan tikus saja? "Apa Cu-locianpwe menyangka ada orang bersembunyi di sini? Kukira tiada yang berani,"

   Ujar Ih Hoa-liong.

   "Tadi aku benar-benar mendengar sesuatu suara,"

   Ujar Cu Kiu-bok.

   "Betapa pun kita harus berjaga-jaga bocornya pembicaraan kita tadi. Untuk menghadapi segala kemungkinan, sepulangnya harap kau katakan kepada gurumu agar rencana perjalanan diubah sedikit. Aku pun akan mengawasi keadaan di sini kalau-kalau Beng Jit-nio atau orang-orangnya pergi dari sini dalam beberapa hari ini."

   Dengan tertawa Ih Hoa-liong mengiakan dan berpisahlah mereka. Sesudah Pik Po dan Giok-kun keluar dari jalan bawah tanah dan kembali ke tempat mereka. Baru saja merasa syukur tidak kepergok Cu Kiu-bok, tiba- tiba terdengar suara orang menghardik.

   "Kalian berdua berbuat apa di sini?"

   Waktu mereka menoleh, kiranya Beng Jit-nio sedang mendatangi ke arah mereka dengan menyusuri taman.

   "Hamba baru akan melapor kepada majikan,"

   Sahut Pik Po.

   "Kami baru saja mencuri dengar pembicaraan Cu Kiu-bok dengan orang she Ih."

   Beng Jit-nio mengerut kening, katanya.

   "Pik Po, terlalu kau. Apakah kalian kepergok?"

   "Tidak,"

   Jawab Pik Po.

   "Ketika iblis she Cu itu menghamburkan Kim-ci- piau, cepat kami melarikan diri melalui lorong di bawah tanah, hanya punggung hamba sedikit terlecet oleh sambaran sebuah piau itu."

   Habis itu Pik Po lantas menuturkan apa yang didengarnya tadi.

   "Hm, ternyata bukan pekerjaan baik yang mereka lakukan,"

   Jengek Beng Jit-nio.

   "Cuma urusan mereka ini tiada sangkut-pautnya dengan diriku, kalian juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain."

   Giok-kun sangat kecewa oleh ucapan Beng Jit-nio itu, terpaksa ia dan Pik Po hanya mengiakan belaka. Lalu Beng Jit-nio berkata pula.

   "Si Khim, ada suatu urusan hendak kubicarakan padamu, kau boleh ikut padaku, Pik Po boleh pulang ke kamar sendiri untuk mengobati lukamu itu, jangan cari perkara lagi."

   Begitulah Giok-kun lantas ikut Beng Jit-nio ke kamarnya, untuk pertama kali inilah Giok-kun memasuki kamar tidur pemilik rumah.

   Tanpa terasa hatinya menjadi kebat-kebit, ia tidak tahu ada urusan apa dirinya dibawa ke situ.

   Tapi begitu berada di dalam kamar, tiba-tiba Giok-kun melihat sesuatu benda yang membuatnya terkejut dan bergirang.

   Dilihatnya di atas sebuah meja teh tertaruh sebuah guci yang dikenalnya adalah guci arak Pek-hoa-ciu, itulah barang yang menjadi tujuan Hi Giok-kun.

   "Si Khim, kau boleh duduk dan dengarkan kata-kataku,"

   Terdengar Beng Jit-nio berkata padanya dengan halus. Dengan perasaan tidak tenteram Giok-kun setengah berduduk di atas kursi yang ditunjuk, lalu berkata.

   "Hamba siap mendengarkan pesan majikan."

   "Tampaknya kita ada jodoh, meski kau baru tiga hari di sini, tapi aku seperti sudah kenal lama padamu,"

   Kata Jit-nio.

   "Aku tidak punya anak, maka boleh kau jadi anak perempuanku saja."

   "Ah, mana hamba berani,"

   Jawab Giok-kun.

   "Kau adalah puteri Siucay yang serba pintar, mempunyai puteri angkat sepintar kau mungkin akulah yang beruntung. Maka selanjutnya kau tidak perlu mengaku hamba lagi di hadapanku,"

   Kata Beng Jit-nio dengan tertawa. Melihat kesungguhan orang, akhirnya Giok-kun memanggil "ibu angkat"

   Dengan mesra, katanya.

   "Banyak terima kasih atas kebaikan ibu angkat, tiada jalan lain, Si Khim terpaksa menurut saja."

   Dengan gembira Beng Jit-nio lantas merangkul Giok-kun, katanya.

   "Beginilah baru puteriku yang baik. Si Khim, bukan maksudku sengaja memuji kau, kau sesungguhnya memang sangat menyenangkan. Kau tahu tidak bahwa di sini masih ada seorang yang juga ada jodoh dengan kau."

   Giok-kun menjadi bingung dan berdebar, ia pikir jangan-jangan yang dimaksudkan adalah Sin Liong-sing? Tapi pemuda itu kan bukan orang di sini? Didengarnya Beng Jit-nio telah berkata pula.

   "Si Khim, apakah kau masih ingat kepada nona Han yang pernah kau lihat pada hari pertama kedatanganmu itu?"

   Kembali hati Giok-kun kebat-kebit karena mengira Beng Jit-nio sengaja hendak memancingnya, maka dengan hati-hati ia menjawab.

   "Ya, ingat. Waktu Pik Po membawanya keluar kebetulan bertemu dengan aku. Apakah ibu anggap ada sesuatu yang tidak betul?"

   "Tidak ada soal, aku malah ingin minta bantuanmu untuk melakukan sesuatu urusan,"

   Jawab Jit-nio.

   "Ah, ibu terlalu sungkan padaku, ada pekerjaan apa yang harus kulakukan boleh silakan ibu memberi perintah saja,"

   Kata Giok-kun.

   "Agaknya nona Han itupun menaruh simpatik padamu, dia juga selalu ingat akan dirimu,"

   Kata Jit-nio.

   "Tapi kami hanya bertemu secara kebetulan saja dan tidak berbicara,"

   Kata Giok-kun.

   "Ya, makanya aku bilang kau dan dia rupanya juga ada jodoh,"

   Ujar Jit- nio.

   "Nona Han itu rada salah paham padaku, orang-orang di sini juga tidak begitu dipedulikan olehnya. Tapi sejak melihat kau kemarin dulu, sudah berulang kali dia mencari tahu keadaan dirimu melalui Pik Giok dan Pik Ca."

   Pik Giok dan Pik Ca adalah dua budak perempuan lain yang bertugas setiap hari mengirim makanan kepada Han Tay-wi dan Han Pwe-eng.

   Diam-diam Giok-kun terkejut, ia anggap Pwe-eng keterlaluan, mana boleh sembarangan menanyakan diriku kepada orang lain, kan penyamarannya ini bisa terbongkar nanti? Demikian pikirnya.

   Dalam pada itu terdengar Beng Jit-nio sedang bicara pula.

   "Nona Han itu bertanya tentang dirimu apakah baru datang? Dia juga memuji-muji akan kecantikanmu. Pik Giok memberitahukan dia bahwa kau serba mahir, dia menjadi tambah senang dan banyak menanyakan pula asal-usul dirimu. Dia juga merasa gegetun ketika mengetahui kau adalah puteri seorang Siucay. Maka biarpun nona Han itu tidak bicara terang-terangan dapat juga kuduga pasti sangat senang melihat kau. Sesungguhnya aku pun sangat suka kepada nona Han itu, aku menjadi ingin membiarkan kalian bertemu muka pula. Maka hari ini bolehlah kau mewakilkan Pik Ca bertugas mengirim rangsum."

   "Ai, pekerjaan sepele begini, kenapa ibu main sungkan-sungkan dengan anak,"

   Kata Giok-kun.

   "Dan kau boleh sekalian membawakan satu guci arak dan membujuk Han Lo-siansing itu suka meminumnya,"

   Kata Jit-nio pula.

   "Jika nona Han itu tanya arak apakah ini, maka tiada berhalangan kau katakan terus terang bahwa arak ini adalah Pek-hoa-ciu berasal dari keluarga Hi di Pek-hoa-kok."

   Sungguh tidak terperikan rasa girang dan kejut Giok-kun.

   Benar-benar "pucuk dicinta ulam tiba".

   Arak yang sedang diincar untuk dicurinya itu tanpa susah-susah oleh Beng Jit-nio akan diserahkan begitu saja.

   Hanya saja ia juga terkejut dan kuatir, sebab tidak tahu apakah ucapan Beng Jit-nio tadi itu sungguh-sungguh atau cuma pura-pura saja untuk memancing isi hatinya? Walaupun ragu-ragu, namun kesempatan baik ini tidak boleh disia- siakan, sedapat mungkin ia tabahkan hati, lalu secara tak acuh ia bertanya.

   "Apakah Han Lo-siansing itu yang katanya Hiat-to tertotok oleh Sebun Bok- ya dengan caranya yang khas? Dapatkah dia membuka mulut untuk minum arak? Andaikan mulut tak dapat membuka, percuma juga anak membawa arak baginya."

   "Hari ini adalah hari ketiga, sekali pun Hiat-to yang tertotok itu belum terbuka dan belum dapat bicara, rasanya minum arak pasti bisa,"

   Ujar Beng Jit-nio.

   "Sudah tentu, untuk minum arak perlu juga kerelaannya, kalau tidak, biarpun kau paksa dia minum juga takkan berhasil. Sebab inilah maka aku minta bantuanmu ke sana untuk membujuknya suka minum. Nona Han menaruh simpatik besar padamu, asal kau membujuknya dengan halus, jika nona Han itu sudah percaya padamu, tentu pula nona Han itu akan bantu kau membujuk ayahnya."

   "Tapi anak tidak pandai bicara, entah cara bagaimana membujuknya?"

   Kata Giok-kun. Dalam hati ia berharap segera mengantar Pek-hoa-ciu kepada Han Tay-wi. Tapi agar tidak menimbulkan curiga Beng Jit-nio, ia sengaja berlagak bodoh.

   "Kau tidak perlu sangsi, asalkan kau katakan kepada mereka bahwa selama gunung tetap menghijau masakah kekurangan kayu bakar, dengan begitu mereka tentu paham,"

   Kata Jit-nio.

   Dalam pada itu seorang budak cilik masuk dengan membawa sebuah nampan yang berisi satu mangkuk bubur dan dua porsi kecil sayuran.

   Lalu Beng Jit-nio mengeluarkan sebuah poci arak, ia sendiri menuang penuh poci itu dengan Pek-hoa-ciu dan diserahkan kepada Hi Giok-kun.

   Kembali bercerita tentang Han Pwe-eng.

   Pada hari pertama kedatangan Hi Giok-kun, sesudah bertemu dengan Beng Jit-nio kemarin dulu itu, dia menjadi sangsi dan timbul berbagai tanda tanya dalam benaknya.

   Menurut nada ucapan Beng Jit-nio agaknya orang yang meracuni ibunya bukan dia, tapi seorang lain, lalu siapakah gerangannya? Jangan-jangan Beng Jit-nio sengaja menipu aku? Ah, paling benar tanya saja kepada ayah, tentu akan lebih jelas duduknya perkara.

   Demikian pikirnya.

   Siapa duga begitu tiba kembali di kamar tahanan, ketika ia memanggil ayahnya, ternyata tiada terdengar suara jawaban sang ayah.

   Keruan ia sangat terkejut dan cepat berlari mendekati tubuh sang ayah yang menggeletak tak berkutik di lantai itu.

   Ia coba memeriksa napasnya, ternyata masih bekerja dengan baik, maka rada legalah hatinya.

   Segera ia membangunkan sang ayah, ia coba memeriksa tubuh orang tua itu, tapi tiada tanda-tanda keracunan baru, hanya denyut nadi sang ayah terasa rada luar biasa.

   Pwe-eng sendiri sudah cukup mahir berlatih lwekang yang tinggi, segera ia paham duduknya perkara, kiranya dua saluran nadi sang ayah tertutup oleh totokan kaum ahli dan sekarang sang ayah sedang berusaha mengerahkan lwekang sendiri untuk memunahkan dan membuka Hiat-to yang tertotok itu.

   Dalam keadaan demikian maka Han Tay-wi tidak dapat membuka suara.

   Begitulah Pwe-eng lantas menggunakan segala kemampuan tenaga dalam sendiri untuk membantu sang ayah.

   Sudah tentu lwekang Pwe-eng berselisih jauh dibandingkan ayahnya, namun sedikit banyak tentu juga ada manfaatnya.

   Selama tiga hari kecuali berhenti untuk bersantap sendiri dan menyuapi ayahnya, sisa waktu lainnya selalu digunakan mereka untuk duduk semadi dan mengerahkan tenaga dalam agar selekas mungkin Hiat-to yang tertotok dapat ditembus.

   


Rahasia Iblis Cantik -- Gu Long Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Legenda Bunga Persik -- Gu Long

Cari Blog Ini