Ceritasilat Novel Online

7 Pendekar Pedang Thiansan 18


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 18



Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen

   

   "Mengapa bisa begitu?"

   Kata Hian-cin mengkerut kening. Dari samping segera Ci-pang menyela.

   "Ia adalah murid Tohtayhiap yang aku wakilkan menerimanya menurut pesan Sin Liong-cu sebelum ajalnya."

   "Dan kau ini siapa, apa kau pun anak murid golongan kami?"

   Tanya Hian-ijin sambil memelototi Ci-pang.

   Namun Cipang menggeleng kepala.

   Dan melihat percakapan mereka yang simpang-siur tak jelas itu, lekas Wan-lian maju ke tengah buat menerangkan dan sesudah susah payah akhirnya duduk perkaranya baru bisa dijelaskan seluruhnya.

   Tentu saja Hian-cin menjadi kurang senang.

   Golongan Butong mereka selamanya suka membeda-bedakan derajat, tak terduga hari ini baru saja bertemu dua Susiok sudah mengeroyok seorang murid keponakan dan ternyata masih tak bisa menang, bahkan sikap Tiong-bing sama sekali tidak menghormati mereka sebagai orang tua, seakan tidak rela mengaku mereka sebagai Susiok.

   Tapi karena sungkan mengumbar dongkolnya itu di hadapan Pho Jing-cu dan kawan-kawan, kemudian Hian-cin bertanya lagi.

   "Dan kini apa kau ada urusan penting lainnya?"

   "Tentu saja, kalau tidak untuk apalagi jauh-jauh datang ke Tibet ini dengan menghadapi segala bahaya?"

   Sahut Tiongbing tertawa. Keruan wajah Hian-cin makin bersungut oleh sahutan orang yang kasar itu, katanya pula.

   "Bila begitu aku memberi tempo sebulan padamu, sehabis urusanmu selesai, segera kau harus datang ke puncak Onta di Thian-san untuk memindahkan tulang jenazah gurumu ke tanah air!"

   Seketika Tiong-bing bingung tak bisa menjawab oleh pelintah itu. Namun dengan menarik muka, Hian-cin buka suara lagi.

   "Meski aku tak cakap, namun sedikitnya Ciangbun dari Butong- pay, kau adalah anak murid golongan kita, kau harus tahu segala aturannya."

   Lekas Pho Jing-cu menyela juga menjelaskan.

   "Ia masih terlalu hijau plonco, wataknya lurus dan usianya masih muda, Totiang adalah angkatan lebih tua, hendaklah jangan menyesalkan dia. Baiklah, nanti bila sudah tiba waktunya pasti kusuruh dia ke Thian-san menuruti pesan Totiang tadi."

   Karena itu, baru Tiong-bing menjawab dengan ketololan.

   "Ya, Susiok tak perlu sungkan, kini tidak sempat, biarlah kelak kau suka memberi petunjuk lebih banyak."

   Mendongkol sekali Hian-cin, ia menjengek sekali dan tak menjawab, habis itu ia lantas memberi salam perpisahan kepada Pho Jing-cu.

   Dalam pada itu Nilan Yong-yo harus berpisah juga dengan Boh Wan-lian, rasanya sangat berat sekali, cuma di hadapan orang banyak tak berani ia mengunjuk perasaannya itu dan ditahan sedapat mungkin, ia menjadi duka dan getir tak terhingga.

   Waktu ia memutar kuda kembali ke jalan semula, sepanjang jalan wajahnya muram terus, sudah tentu Thio Sing-pin dan kawan-kawan tak berani bertanya, tapi Ho Lok hua meski wanita, namun wataknya bebas dan suka bergurau, maka segera ia menggoda Nilan Yong-yo.

   "He, orang muda, apa yang menyebabkan kau murung?"

   Demikian tegurnya.

   Tapi Yong-yo tidak menjawab, sebaliknya air matanya terus berlinang, lalu dari atas kudanya ia malah bersyair yang penuh mengandung perasaan terpendam.

   Di antara semua orang itu Ho Lok-hua agak mengenal syair dan paham sajak, ketika mendengar lagu syair Yong-yo itu, seketika ia terkejut.

   "Eh, apakah kau inilah penyair bangsa Boan yang bernama Nilan Yong-yo itu?"

   Tanyanya segera.

   "Hm, kiranya kau juga kenal nama Kongcu kami?"

   Sela Thio Sing-pin menjengek dari samping. Hian-cin menjadi gusar melihat sikap orang.

   "Di antara bangsamu yang berdosa itu hanya dia ini saja yang masih dapat dikatakan arang baik. Tapi kau masuk hitungan apa?"

   Demikian dampratnya.

   Berbareng ia terus menyikut hingga Thio Sing-pin disodok jatuh dari kuda.

   Keruan jago pengawal lainnya menjadi gusar, segera mereka hendak melabrak, baiknya Nilan Yong-yo dan Ho Lokhua sama-sama mencegah.

   Setelah rombongan Nilan Yong-yo itu sampai di tempat kedudukan pasukan Boan semula prajurit penjaga garis depan segera melaporkan ke belakang.

   Kemudian Yong-yo berkata juga pada Hian-cin.

   "Kini dapatlah kalian pergi saja."

   Dan tidak lama sesudah Hian-cin bertiga pergi ke jurusannya sendiri, dari markas besar pasukan Boan sudah dikirim barisan gerak cepat untuk menyongsong kembalinya Nilan Yong-yo.

   Tapi empat jago pengawal yang mengiring Nilan Yong-yo rupanya masih penasaran, mereka saling memberi tanda lalu mengajak lagi 5-6 kawan lain terus menyemplak kuda dengan cepat menuju ke selatan.

   Sing-pin tahu jago pengawal itu tentu marah terhadap Imam tua yang kasar itu dan kepergiannya ini tentu akan menghajar adat mereka maka ia pun tinggal diam, bahkan mengalingi di hadapan Nilan Yong-yo bila bertanya.

   Sementara itu Hian-cin dan kawan-kawan sudah melarikan kuda mereka sejauh belasan li, dan sudah keluar garis pengepungan tentara Boan itu.

   Ketika tiba-tiba mereka mendengar dari belakang ada suara derapan kuda yang riuh diseling suara kele-ningan.

   Mereka menoleh dan tertampak ada belasan penunggang kuda bagai terbang sedang menyusul datang.

   Hian-cin tertawa dingin melihat musuh memburu, pedang mereka pun segera dilolos.

   "Imam jahat berhenti dulu!"

   Bentak jago pengawal yang menjadi pemimpin itu.

   Namun tiba-tiba Hian-cin menjawab orang dengan sekali tusukan membalik ke belakang.

   Dan karena jitu serta cepat, tanpa menduga jago pengawal itu terluka lengannya.

   Segera pula para jagoan pengawal itu merubung maju dan mengepung Hian-cin bertiga di tengah.

   Meski jago pengawal inipun terhitung jago kelas tinggi dari kerajaan, namun mana bisa mereka melawan Hian-cin dan kawan-kawan, hanya sejenak saja sudah ada tiga kawan mereka tertusuk jatuh dari kuda dan selebihnya lekas mengeprak kudanya lari tungganglang- gang.

   Cepat Ho Lok-hua mengejar dan berhasil pula menggulingkan dua orang musuh, sekarang tinggal lima orang yang masih melarikan kudanya secepat terbang.

   Melihat musuh sudah ngacir, senang luar biasa Hian-cin, ia bergelak tertawa sambil mengelus jenggotnya.

   "Biarkan mereka lari!"

   Demikian katanya.

   Siapa tahu, belum lenyap suaranya mendadak kelima jago pengawal itu terjungkal dari kuda mereka.

   Keruan saja Hiancin terkejut.

   Sementara itu dilihatnya dari balik semak-semak batu sana telah muncul seorang gadis berbaju merah dan seorang pelajar berwajah putih.

   Tiba-tiba gadis itu tertawa terkikik-kikik.

   "Ha, Toya (tuan Imam) ini bagus amat ilmu pedangnya cuma sayang masih kurang keji."

   Tentu saja Hian-cin kurang senang dicela.

   "Jika begitu, tentunya nona adalah seorang ahli bukan?"

   Demikian sahurnya dingin. Tetapi gadis itu tertawa tidak menjawab, hanya ditunjuknya beberapa jago pengawal yang sudah menggeletak itu dan kemudian baru berkata.

   "Aku telah membantu kalian membasmi semua musuh ini, dan belum lagi kalian mengucapkan terima kasih padaku, sebaliknya lantas hendak menguji soal ilmu pedangku?"

   Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, tentu saja Hian-cin tak bisa menelan mentah-mentah rasa mendongkol itu, ketika pedangnya diangkat, dengan suara lantang segera ia menjawab.

   "Ya memang Kiam-hoat kami tak berguna hingga musuh berhasil lolos, sungguh sangat memalukan. Tapi berkat petunjuk nona tadi, aku imam tua ini menjadi tak tahu diri dan ingin mencoba berkenalan beberapa jurus dengan nona."

   Mendengar orang menantang, si pemuda pelajar cakap itu telah memandang gadis baju merah itu dengan sikap ragu.

   "Tak perlu kau urus, tonton saja keramaian ini,"

   Kata gadis itu tiba-tiba tertawa. Habis itu pedangnya menuding ke depan terus menjawab. Hian-cin.

   "Baiklah, cuma maafkan Siaupwe yang kurang sopan."

   "Seranglah!"

   Sahut Hian-cin sambil bersiap.

   Dalam hati Hian-cin menaksir meski gadis itu tadi sekaligus bisa merobohkan kelima jago pengawal dengan senjata rahasia dan ia merasa terkejut juga, tapi mengandalkan keuletan latihannya selama puluhan tahun, apalagi seorang ketua suatu aliran silat yang terkemuka, sesungguhnya ia tidak pandang berat atas diri si gadis itu.

   Maka kini tujuannya ialah hendak menjajal orang sekalian memberi hajaran pada 'angkatan muda' ini.

   Nyata ia tidak tahu bahwa gadis itu sebaliknya juga bertujuan hendak menjajalnya.

   Kiranya sepasang muda mudi ini bukan lain daripada Li Jiak-sim dan Bu Ging-yao.

   Ketika Pho Jing-cu dan kawan-kawan berangkat dari padang rumput Garsin, waktu Hui-ang-kin menerima kabar itu, ia menjadi kuatir sekali.

   Dasar Ging-yao suka bergerak, segera ia minta perkenan kakak-gurunya itu buat pergi ke Sinkiang juga bersama Li Jiak-sim.

   Li Jiak-sim sudah banyak berpengalaman di kalangan Kangouw, pula orangnya berbakat ilmu militer, ditambah lagi didampingi Bu Ging-yao yang sangat hafal seluk-beluk daerah perbatasan itu, maka sepanjang jalan mereka berdua tidak pernah terjadi apa-apa.

   Malahan kadang Li Jiak-sim sekalian menyelidiki keadaan setempat yang dilalui dan memperhatikan cara tentara Boan mengatur diri dan diam-diam ia melukiskan peta biru bagi keperluan militer kelak.

   Begitulah kedua muda-mudi itu melanjutkan perjalanan panjang dan cukup makan waktu itu, namun cinta asmara mereka pun kian hari kian bertambah.

   Hari itu ketika hampir mereka melintasi perbatasan, dari jauh Jiak-sim melihat asap mengepul tebal, suara kuda perang meringkik ramai, tiba-tiba ia terkejut.

   "Ah, di perbatasan ini pasti ditutup rapat oleh pasukan besar, lalu bagaimana baiknya?"

   Demikian katanya.

   "Padang rumput begini luas, belum tentu setiap tempat ada pasukan penjaganya,"

   Ujar Ging-yao.

   Setala! Jiak-sim berpikir sejenak, lalu mereka memandang dari atas suatu tanah tinggi, tapi tiba-tiba dilihat mereka ada belasan jagoan tentara Boan sedang mengejar Imam tua.

   Siapakah gerangan Imam tua itu? Beraninya ia menerobos lewat tapal batas ini?"

   Demikian Jiak-sim merasa heran. Bila mereka menegas pula, nyata di samping itu masih ada seorang wanita cantik setengah umur dan seorang laki-laki bre-wok bersama Imam tua tadi sedang melawan belasan musuh itu. Tentu saja mereka"bertamban heran.

   "Aku tahu asal-usul ketiga orang ini."

   Kata Ging-yao kemudian sesudah memandang sejenak.

   "Ya, ketiga orang ini semuanya tokoh kelas tinggi dari Bulim (dunia persilatan),"

   Sahut Jiak-sim.

   "Bahkan angkatan tua juga dari Bu-tong-pay,"

   Sambung Ging-yao tertawa.

   "Coba biar aku membantu mereka sedikit, habis itu nanti aku menggoda mereka juga."

   "Ah, kau selalu nakal,"

   Ujar Jiak-sim.

   Namun Ging-yao hanya tertawa tak menjawab lagi.

   Padahal sekali ini bukannya Ging-yao sengaja berlaku nakal.

   Sesudah tiga tahun gadis ini berguru pada Pek-hoat Mo-li, sedikit banyak sudah diketahuinya pula tentang sukaduka masa muda sang guru dengan Toh It-hang dan orang Bu-tong-pay lainnya.

   Karena itu Ging-yao ikut penasaran bagi gurunya, ia pikir Suhu dan Toh-tayhiap sebenarnya adalah pasangan yang sangat sesuai, tapi paman-paman gurunya justru tampil ke muka merintangi dan macam-macam lagi hingga percintaan itu gagal dan gurunya selama beberapa tahun ini harus hidup sunyi di pegunungan dengan batin tersiksa.

   Oleh sebab itu, kalau orang lain merasa tabiat Pekhoat Mo-li terlalu aneh dan menyendiri, adalah sebaliknya hanya Bu Ging-yao serta kakak-seperguruannya, Hui-ang-kin, yang paham perasaan sang guru.

   Begitulah, maka sesudah Ging-yao dan Jiak-sim menyaksikan sejenak lagi pertarungan itu, kemudian Jiak-sim berkata pula.

   "Ilmu pedang Bu-tong-pay nyata memang lihai."

   "Cukup gesit dan tangkas, tapi soal kekejian masih jauh dari cukup,"

   Ujar Ging-yao tertawa.

   Betul saja, sampai akhirnya ada lima jago pengawal itu berhasil lolos.

   Dan dengan tertawa Ging-yao telah menghamburkan jarum saktinya merobohkan kelima buronan itu.

   Kembali tadi, oleh karena pancingan Bu Ging-yao hingga Hian-cin naik darah dan menyilakan si gadis membuka serangan.

   Segera Ging-yao menerima baik tanpa sungkan.

   Tiba-tiba bahu kirinya bergerak, Hian-cin menyangka si gadis hendak menyerang dulu ke dada kanannya maka cepat ia sedikit mengegos sambil mengayun pedangnya hendak menangkis dulu.

   Tak ia duga gerak tubuh Ging-yao tadi hanya pura-pura saja bahu kirinya bergerak, tapi serangan tidak lantas dilontarkan sebaliknya pedang Hian-cin yang sudah telanjur ditangkiskan itu mendadak disampuknya dengan membentak.

   "Pergi!"

   Berbareng itu dengan gerak tipu 'Pek-ho-liang-ih' atau bangau putih pentang sayap, cepat ia memotong ke bawah sekalian hendak mengarah urat nadi pergelangan tangan lawan.

   Ilmu pedang ciptaan Pek-hoat Mo-li nyata keji luar biasa, lebih-lebih tipu serangan Ging-yao ini sangat membahayakan, hanya dalam sekejap saja sama sekali Hian-cin tak menduga anak dara ini bisa melontarkan serangan begitu ganas, baiknya ia sudah cukup makan asam-garam, tepat pada waktunya ia sempat menarik tangannya ke pinggir, tubuh membungkuk terus menggeser ke samping, dengan demikian barulah ia mampu menghindarkan senjata si gadis yang lihai itu.

   Namun sekali tak kena sinar pedang si gadis yang gemerlapan dengan cepat sudah menusuk pula.

   Tapi Hian-cin tidak menjadi bingung, ia pasang kuda-kuda dengan kuat dan pedangnya diputar rapat menjaga seluruh tubuhnya dimana ujung pedang si gadis sampai, di situlah lantas terasa suatu kekuatan besar yang membentur kembali.

   Maka tahulah Ging-yao, orang terlalu ulet dan sudah melindungi diri dengan ilmu pedang yang maha tinggi, ia pikir harus melontarkan serangan terlebih cepat dan jangan memberi kesempatan berganti napas pada musuh.

   Maka beruntun kembali ia menusuk pula beberapa kali ke depan dan ke belakang, tiba-tiba dari kiri, tahu-tahu dari kanan pula kesemuanya tipu serangan yang membahayakan.

   Dalam keadaan demikian, asal sedikit Hian-cin meleng maka tanpa ampun lagi darahnya pasti akan menyirami pasir kering.

   Melihat pertarungan seru ini, suami-isteri Ho Lok-hua ikut berdebar, sebaliknya Bu Ging-yao diam-diam mengeluh juga.

   Kiranya meski Kiam-hoat si gadis sangat keji, tapi soal keuletan harus diakui Hian-cin terlebih kuat.

   Kalau sampai lama tak bisa merobohkan orang, akhirnya ia kuatir bisa kalah malah terhadap Imam tua ini.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitulah, maka yang satu terus merangsek dan yang lain tetap bertahan dan detik-detik berbahaya selalu menggetarkan orang.

   Melihat setiap serangan Bu Ging-yao semakin cepat dan bertambah kencang daripada serangan lainnya meski tahu juga tidak sampai Hian-cin bisa kalah, namun tidak urung Ho Lok-hua berdua yang menonton di samping diam-diam kuatir.

   Sementara itu Hian-cin sendiri sudah dapat melihat asalusul ilmu pedang Bu Ging-yao, ia menjadi sangat gusar.

   Pikirnya.

   "Hm, kiranya kau adalah anak murid Pek-hoat Mo-li, pantas kau sengaja hendak menguji aku!"

   Karena itu, demi nama besar golongan Bu-tong-pay mereka, ia menjadi gemas tidak bisa sekali hantam mengalahkan si gadis.

   Tetapi ilmu pedang tunggal ciptaan Pek-hoat Mo-li itu benar-benar keji luar biasa, betapapun Hian-cin tak berani berlaku sembrono.

   Maka sesudah beberapa puluh jurus lagi, masih tetap ia tak bisa lebih unggul.

   Hian-cin menaksir meski kepandaiannya lebih ulet daripada si gadis, kalau berlangsung lama tentu akan di atas angin, namun pihak lawan menang dalam hal usia lebih muda semangat menyala-nyala dan tenaga kuat, untuk menentukan unggul atau asor entah harus menunggu sampai kapan? Padahal pasukan Boan hanya berada belasan li jauhnya bila konangan dan mengejar datang, bukankah itu berarti kedua pihak bakal celaka? Maka dalam hati diam-diam ia pun mengeluh.

   Di sebelah sana suami-isteri Ho Lok-hua berpikir begitu juga.

   Tapi Hian-cin adalah Suheng mereka merangkap ketua, kalau sedang berada di bawah angin lalu kedua pihak dicegah buat berhenti bertempur, tentu buat pamor sang Suheng akan ku Tang baik, pula nama baik Bu-tong-pay mereka akan tercemar.

   Ketika mereka ragu, sementara pertarungan kedua orang itu semakin sengit, tiba-tiba Ging-yao meloncat ke samping, menyusul dengan tipu serangan 'Ngo-eng-bok-tho' atau elang mencengkeram kelinci, dari samping pedangnya cepat menikam ke perut musuh.

   Tapi latihan puluhan tahun Hian-cin tidak percuma, mendadak ia pun menggunakan tipu berbahaya, ketika senjatanya dia angkat dan orangnya menggeser ke samping, tampaknya seperti menghindari serangan, tak terduga mendadak malah terus maju balas menyerang, cepat pedangnya menyabet ke bawah sambil membentak.

   "Awas kaki!"

   Tak terduga ilmu pedang si gadis sangat cepat lagi keji, belum sempat serangan Hian-cin itu dilontarkan, tahu-tahu sinar tajam pedang Ging-yao sudah menyambar tiba ke lengannya, kalau Hian-cin membentak.

   "Awas kaki!"

   Sebaliknya ia memperingatkan.

   "Awas tangan!"

   Dan pada saat itulah segera terdengar suara gemerincing yang nyaring, pedang kedua orang tahu-tahu mencelat terbang ke angkasa.

   Kiranya serangan Hian-cin tadi telah menggunakan seluruh tenaganya, tapi tipu tusukan Ging-yao yang cepat bisa tiba lebih dulu, dalam keadaan begitu kalau Hian-cin tidak menarik tangan, pasti pergelangan tangannya akan tertabas.

   Siapa duga saking gusarnya Hian-cin menjadi nekad, mendadak pedangnya ia goncangkan keras menimpuk ke atas dengan kecepatan bagai anak panah.

   Ketika Ging-yao coba menangkis, nyata tenaga yang terlalu besar itu tak dapat ditahannya hingga senjatanya ikut tergetar terbang, dibarengi letikan api kedua pedang itu mencelat ke angkasa untuk kemudian jatuh semua ke tanah rumput.

   Serang-menyerang terjadi secepat kilat, tapi Ho Lok-hua dan Li Jiak-sim berbarengpun melompat ke tengah, Lok-hua menarik Hian-cin sambil berteriak.

   "Berhenti, Suheng!"

   Begitu pula Jiak-sim menahan Ging-yao sambil mencegah.

   "Tahan dulu, Ging-moay!"

   Karena itu, dengan napas yang masih tersengal Hian-cin memelototi Ging-yao tanpa buka suara.

   "Sudahlah, kalian berdua sama kuatnya, tak perlu bertanding lagi,"

   Demikian kata Lok-hua dan Jiak-sim bersama. Segera Hian-cin menjemput pedangnya kembali, dan selagi Jiak-sim hendak menyuruh Bu Ging-yao meminta maaf, namun Hian-cin sudah mencemplak ke atas kudanya sambil berkata.

   "Sungguh hebat, aku betul-betul kagum. Baiklah sebulan kemudian kita bertemu lagi di puncak Onta pegunungan Thian-san saja?"

   Habis itu, tanpa menunggu jawaban si gadis, ketika kedua kakinya mengempit kencang, segera kudanya berlari pergi. Setelah menyatakan maaf, segera suami-isteri Ho Lok-hua berdua pun mengeprak kuda menyusul sang Suheng.

   "Ha, si hidung kerbau (kata olok-olok bagi Imam) sungguh sombong,"

   Kata Ging-yao tertawa sesudah mengambil kembali juga pedangnya. Lalu ia pun menceritakan sebab-sebabnya ia menjajal orang tadi.

   "Ya, meski orang Bu-tong-pay telah membikin menyesal gurumu, tapi kau pun keterlaluan!"

   Ujar Jiak-sim tertawa juga. Dan bila kemudian pandangannya tertarik pada mayat jago pengawal yang menggeletak di tanah itu, tiba-tiba ia mendapatkan akal.

   "Ah, sekarang kita ada jalan buat menembusi garis penjagaan musuh,"

   Demikian katanya bertepuk tangan.

   Segera ia mencopot pakaian lengkap dua jago bayangkara yang sudah tak bernyawa itu dan menyuruh Ging-yao menyamar juga, lalu mereka pun berlari menuju ke tapal batas.

   Betul juga dengan menyamar sebagai dua jago bayangkara, kedua muda-mudi ini dengan selamat dapat mengelabui prajurit penjaga garis depan dan tanpa berhenti akhirnya mereka sampai di Lhasa, ibukota Tibet.

   Di situ segera mereka berunding cara bagaimana harus mencari Pho Jing-cu dan kawan-kawan.

   Kata Ging-yao.

   "Ayahku mempunyai hubungan sangat rapat dengan saudara-saudara Thian-te-hwe di daerah barat-laut ini, istilah dan kode-kode rahasia yang biasa mereka gunakan aku pun tahu. Empat tahun yang lalu aku bersama ayah pernah datang ke Sinkiang bersama pemimpin Thian-te-we seperti Njo It-wi, Hoa Ci-san dan sebagainya, ada sebagian anggota Thian-te-hwe mereka yang disebar masuk ke Tibet, aku menduga mereka pasti berada di kota Lhasa ini, dan tentu ada cabang mereka di sini. Kota Lhasa tidak begitu besar, asal kita sering keluar masuk kedai arak dan rumah makan, besar kemungkinan akan bertemu dengan mereka. Seumpamanya tak bisa bertemu, asal kita meninggalkan kode rahasia, rasanya mereka pasti akan datang mencari kita."

   Dan pada suatu hari, mereka berdua mendatangi sebuah restoran yang paling besar di Lhasa untuk makan-minum.

   Tatkala itu waktu tengah lohor, tamu penuh sesak, baiknya mereka bisa mendapatkan sebuah meja di tempat bagus, mereka minta sepoci arak 'Tiok-yap-jing' yang terkenal dan asyik minum sambil pasang omong.

   "Mari kita coba berlomba minum, maukah?"

   Ajak Ging-yao tiba-tiba timbul hasratnya. Soal minum arak Li Jiak-sim boleh dikata 'jago minum', sudah tentu ia tidak mau kalah. Tapi dengan tertawa ia menjawab.

   "Ah, kita ada tugas, jika kau mabuk lalu bagaimana?"

   Namun Ging-yao tidak mau mengalah, dengan mulut menjengkit ia menjawab pelahan.

   "Darimana kau tahu aku bakal mabuk?"

   Mendengar itu, Jiak-sim menduga pasti si gadis akan memamerkan Lwekangnya, maka dengan pelahan ia membisikinya lagi.

   "Di sini terlalu banyak orang, jangan kau sembrono main pamer."

   "Jangan kau kuatir, aku tanggung tidak sampai diketahui orang lain,"

   Sahut Ging-yao. Tentang ilmu pedang Ging-yao yang hebat Jiak-sim sudah menyaksikannya, karena itu sesungguhnya ia pun ingin tahu betapa tinggi Lwekang si gadis. Dan karena melihat Ging-yao terus mendesak, lalu ia pun berkata.

   "Baiklah, tapi kita harus pakai taruhan."

   "Taruhan apa?"

   Tanya si gadis.

   "Begini, siapa yang kalah, maka dia harus berjanji untuk menurut sepatah kata pihak yang menang,"

   Kata Jiak-sim.

   "Baik, akur!"

   Sahut Ging-yao cepat.

   Habis fy, secawan demi secawan mereka pun mulai minum sepuasnyaK Tidak lama kemudian, isi poci arak tadi berturut-turut sudah ditambah 4-5 kali, pelahan Li Jiak-sim tak tahan lagi akan pengaruh alkohol itu.

   Ketika ia memandang Bu Ging-yao, ternyata kepala anak dara itu mengepulkan hawa panas, keringatnya berbutir-butir bagai hujan, maka tahulah ia gadis itu sedang menggunakan Lwekang yang tinggi untuk mendesak keluar arak yang sudah diminumnya itu.

   Daerah perbatasan suhu dingin sekali, maka rakyat penggembala di barat laut itu suka minum arak buat obat penahan dingin, maka kekuatan minum mereka jauh lebih kuat daripada peminum arak daerah pedalaman umumnya.

   Dan waktu itu di restoran itu juga tidak sedikit orang yang sedang minum besar, maka Jiak-sim pun tidak banyak menaruh perhatian.

   Tapi Ging-yao adalah wanita yang menyamar sebagai lelaki, ia kuatir gadis ini terlalu banyak minum hingga kelihatan sifat kewanitaannya, hal ini akan membikin orang curiga.

   Dan karena ia sendiri sudah delapan bagian terpengaruh air kata-kata itu, maka dengan suara rendah ia coba membisiki si gadis.

   "Sudahlah, aku mengaku kalah saja."

   Keruan saja senang luar biasa Ging-yao, matanya mengerling bening dan dengan tertawa baru ia berkata.

   "Baiklah, boleh kau selesaikan rekening minum kita dan pulang. Dan nanti kau harus turut sepatah kata omonganku."

   Tapi ketika Li Jiak-sim hendak memanggil pelayan buat membayar, tiba-tiba dilihatnya di meja sebelah ada seorang dengan sinar mata tajam tak berkedip lagi mengawasi mereka.

   "Celaka!"

   Kata Jiak-sim diam-diam.

   Lekas ia membereskan rekening minum itu dan keluar dari restoran.

   Waktu kemudian ia coba menoleh, dilihatnya orang tadi juga sedang mengintil di belakang mereka.

   Karena itu, diamdiam Jiak-sim memberitahukan hal itu kepada Ging-yao.

   "Bagus, biar nanti dia tahu rasa,"

   Ujar Ging-yao tak gentar.

   "Jangan,"

   Cegah Jiak-sim.

   "Orang ini kalau bukan kawan tentu adalah lawan. Jangan kau sembarangan turun tangan!"

   Lalu mereka berdua memasuki sebuah gang kecil yang sepi, tiba-tiba.

   dari depan sebuah gerobak sapi mendalangi.

   Karena jalanan sempit, maka mereka harus mengegos tubuh buat lewat.

   Tapi baru saja mereka melewati gerobak sapi itu, orang tadi tahu-tahu sudah berada di belakang mereka dan pura-pura menghindari tumbukan dengan gerobak itu, sekonyong-konyong tubuhnya sengaja menubruk ke depan terus menindih ke punggung Li Jiak-sim.

   Tahu akan hal itu, diam-diam Jiak-sim mengumpulkan tenaga dalamnya dengan mementang kedua tangannya ke belakang dengan maksud memaksa orang itu melompat mundur.

   Tak terduga orang itu terus menggunakan lututnya menyodok ke depan hingga tekukan lutut Li Jiak-sim linu pegal, rasanya menjadi lemas dan hampir jatuh mendeprok.

   Keruan saja pemuda itu sangat terkejut.

   Baiknya dengan cepat Bu Ging-yao membaliki tangan terus menotok hingga tanpa ampun lagi orang itu terguling.

   Tapi cepat sekali dengan gerakan 'Le-hi-pak-ting' atau ikan lele meletik tubuh, orang itu segera bisa berbangkit lagi.

   Segera Ging-yao hendak membentak bertanya, namun orang itu tiba-tiba menegur.

   "Apakah kalian kenal Leng Bwehong?"

   "Siapa kau?"

   Balas Jiak-sim bertanya. Tampaknya orang itu menjadi gugup dan tak sabar.

   "Jangan kau urus siapa aku,"

   Demikian sahurnya. Lalu ia mendesak lagi.

   "Aku hanya ingin bertanya apakah kau kawan Leng Bwe-hong?"

   "Ada apa bila benar?"

   Kata Ging-yao.

   "Keadaan Leng Bwe-hong sangat berbahaya"

   Tutur orang itu kemudian.

   "Dan bila kedatangan kalian ini ialah untuk menolongnya, maka hendaklah diusahakan selekasnya."

   "Darimana kau bisa tahu?"

   Tanya Jiak-sim curiga.

   "Tentu saja tahu,"

   Sahut orang itu tertawa.

   "Akulah orang yang menjaganya. Kelak bila ia menjalani hukuman, mungkin pula akulah yang menjadi algojonya. Cuma sungguh tak nanti aku bisa membunuhnya."

   Mendengar itu, wajah Jiak-sim berubah hebat.

   "Betulkah kata-katamu ini?"

   Desaknya pula.

   "Untuk apa aku mendustaimu?"

   Sahut orang itu.

   "Kalau begitu, lekas kau kembali menemui Leng-tayhiap dan bilang padanya pertemuan kita ini, dan malam nanti kita bertemu lagi di Se-sian-san,"

   Kata Jiak-sim kemudian.

   Kiranya orang itu adalah Bu-su atau jago silat bangsa Hwe yang baru diterima In Te, namanya Be Hong.

   Bersama Ciu Jing ditugaskan menjaga Leng Bwe-hong itu, mereka berdua malah sudah menjadi orang kepercayaan Bwe-hong sekarang, maka tak pernah mereka lupa untuk berusaha menolong Leng Bwe-hong dari tawanan musuh.

   Cuma sayang, karena orangnya sedikit dan tenaga lemah, maka sebegitu jauh mereka masih tak berdaya.

   Seringkah di malam hari Leng Bwe-hong suka pasang omong dengan mereka dan menceritakan pengalamannya maka siapa yang menjadi kawan Bwe-hong, kedua orang itupun rada paham.

   Be Hong sudah banyak berpengalaman mengembara di Kangouw, ketika hari ini di restoran itu dilihatnya Bu Ging-yao dan Li Jiak-sim berdua sedang minum besar, diam-diam ia menjadi heran dan curiga.

   Kiranya wajah Li Jiak-sim dan Bu Ging-yao putih halus dan sikapnya lemah-lembut, terang kelihatan datang dari daerah pedalaman, tetapi kekuatan minum araknya ternyata tidak di bawah mereka yang hidup di daerah dingin, inilah yang telah menimbulkan perhatian Be Hong.

   Setelah ia menegasi lagi, roman pemuda yang berdandan sebagai cendekiawan ini mirip sekali dengan orang yang pernah dilukiskan dalam cerita Leng Bwe-hong, dan sesudah ditanya, ternyata tidak salah lagi.

   "Mengapa kau tidak berjanji bertemu di tempat penginapan saja?"

   Tanya Ging-yao pada Li Jiak-sim sesudah Be Hong pergi.

   "Perkataan orang ini boleh dipercaya, tapi juga tak boleh percaya seluruhnya,"

   Kata Jiak-sim. Sambil jalan sambil bicara, sampai akhirnya tiba-tiba Bu Ging-yao memegang kencang tangan Jiak-sim sambil berkata dengan tersenyum.

   "Li-kongcu, tadi kau telah kalah taruhan miniiTri arak., kini kau harus menurut sesuatu padaku."

   "Baiklah aku menurut, katakanlah,"

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Jiak-sim.

   "Kau suka tidak terhadap padang rumput di Sinkiang?"

   Tanya Ging-yao tiba-tiba dengan tertawa dan menundukkan kepala. 'Tidak datang di Sinkiang, belum bisa mengetahui luasnya negeri kita,"

   Sahut Jiak-sim.

   "Padang rumput yang luas tak berbatas, tak jemu-jemunya dalam pandangan mata, membikin semangat orang bangkit dan perasaan menjadi lapang, sungguh aku suka sekali."

   "Kalau begitu aku ingin kau selama hidup ini tinggal di padang rumput dan senantiasa mendampingi aku, maukah?"

   Kata Ging-yao pelahan sambil tangannya meremas tangan Li Jiak-sim. Hati Jiak-sim tergoncang mendengar permintaan orang, tapi segera ia pun menjadi girang.

   "Memang inilah yang kuharapkan,"

   Akhirnya ia berkata dengan suara rendah juga.

   Pemuda yang hidup dalam keluarga militer dan sudah lama memimpin pasukan tentara ini, sedikit sekali ia memikirkan soal hubungan antara laki-perempuan.

   Maka sejak berkenalan dengan Bu Ging-yao, walaupun dua hati sudah saling mencintai, namun selalu tak berani mengunjuk rasa cintanya itu.

   Selama setengah bulan mereka dalam perjalanan, Ging-yao sebenarnya sudah lama menanti Li Jiak-sim mengutarakan cintanya, tak tahunya dalam soal ini, Jiak-sim jauh lebih pemalu daripada kaum wanita, oleh karena itu, di bawah pengaruh air kata-kata hari ini Bu Ging-yao telah mengutarakan perasaan hatinya yang selama ini tersekap.

   Dengan saling bersandaran, kedua muda-mudi berjalan di jalan besar yang panjang dan sunyi, Li Jiak-sim merasa bau harum yang semerbak meresap seakan memabukkan orang, banyak sekali kata-kata dalam hatinya sampai ia tidak tahu cara bagaimana harus memulainya.

   "Sudah sampai, apa kau masih hendak jalan terus?"

   Akhirnya Ging-yao yang menegur dengan tertawa, sesudah mereka jalan pula tak lama dengan bergandengan tangan.

   Dan ketika Li Jiak-sim mendongak, maka terlihatlah rumari penginapan mereka ternyata sudah di depan mata, tak terasa ia tersenyum.

   Setelah mereka masuk ke rumah penginapan dan membuka pintu kamar, sekonyong-konyong terdengar suara pertanyaan o-rang tertahan dari dalam kamar.

   "Baru kini kalian kembali?"

   Waktu Jiak-sim memandang, maka tertampak di tempat tidurnya berduduk seorang tua, ternyata bukan lain daripada o-rang yang mereka harapkan siang dan malam, Pho Jing-cu adanya.

   "Pho-pepek, ayahku mengirim salam selamat padamu, kenapa diam-diam kau pun datang ke sini!"

   Segera Ging-yao memanggilnya.

   "Orang kita telah dapat melihat tanda rahasiamu, dan aku lantas datang ke sini diam-diam!"

   Jing-cu menerangkan.

   "Pho-pepek telah membawa berapa orang kemari?"

   Tanya Jiak-sim tiba-tiba.

   "Tidak sedikit memang orang yang kita bawa, tetapi penjagaan di istana Potala kuat sekali, sedang Leng Bwe-hong belum diketahui pula disekap dimana?"

   Sahut Jing-cu menghela napas.

   "Kalau kita menggempurnya dengan berani, mungkin belum sampai masuk ke dalam, Leng Bwe-hong sudah kena dibunuh lebih dulu."

   "Kalau ada bantuan dari dalam, pasti berhasil,"

   Kata Jiaksim. Sinar mata Pho Jing-cu tiba-tiba menyorot terang, agaknya ia tersadar.

   "Ya, apa di dalam pasukan Boan itu, kau mempunyai kenalan?"

   Tanyanya cepat.

   "Kenalan sih tidak ada, tapi sebaliknya sudah ada orang yang menghubungi kita,"

   Sahut Jiak-sim. Lalu ia pun menceritakan pengalamannya tentang diri Be Hong. Pho Jingcu terdiam sejenak, ia sedang berpikir.

   "Kalau begitu tiada halangannya coba menemuinya,"

   Katanya kemudian.

   "Tetapi harus berjaga juga jangan sampai terjebak, malam ini biar aku bersama beberapa saudara yang lain menunggu di Se-sian-san untuk membantumu bila perlu."

   Sesudah berjanji baik-baik tanda rahasia dan waktu yang ditetapkan, Pho Jing-cu lantas berlalu sendirian.

   Kiranya sesudah Pho Jing-cu bersama beberapa ratus orangnya berhasil menyelundup masuk ke Lhasa, segera mereka membagi diri dalam beberapa kelompok kecil, Pho Jing-cu tinggal di rumah seorang penggembala bangsa Kazak.

   Waktu Jing-cu sampai di rumah tinggalnya itu dan baru saja melangkah masuk, ia sudah dipapaki oleh Lauw Yu-hong dengan muka muram.

   "Ci-pang telah pergi tanpa pamit,"

   Tutur Yu-hong dengan suara sedih.

   "Kemana? Adakah ia meninggalkan surat?"

   Tanya Jing-cu dengan heran.

   "Tiada sama sekali,"

   Kata Yu-hong pula. Jing-cu mengkerut kening oleh berita itu, ia berpikir sejenak, habis itu ia berkata pula.

   "Ci-pang bukan manusia yang tamak hidup dan takut mati, kepergiannya ini kukira tentu ada sebabnya."

   Kiranya selama Leng Bwe-hong tertawan, selalu Yu-hong muram dan tak suka berkata.

   Beberapa hari ini Han Ci-pang senantiasa menghiburnya dengan penuh simpatik, ia benarbenar seorang sahabat baik dalam penderitaan.

   Sebaliknya bila teringat akan sikapnya yang dingin selama sepuluh tahun ini terhadap Ci-pang, diam-diam Yu-hong merasa menyesal, ia kuatir kalau Han Ci-pang seperti kejadian di Hunkang dulu itu, telah pergi tanpa pamit.

   Nampak Yu-hong bermuka muram tak bergembira, lekas Pho Jing-cu memberitahu padanya tentang Li Jiak-sim yang telah dapat menghubungi orang dalam pasukan Boan.

   Hal inilah yang membikin Lauw Yu-hong menjadi girang.

   Malamnya menurut waktu yang telah ditetapkan, Li Jiaksim dan Bu Ging-yao sudah menunggu di Se-sian-san.

   Namun sesudah menunggu agak lama masih belum tampak batang hidung Be Hong, sudah tentu mereka sangat curiga.

   Sementara itu sudah dekat tengah malam, sedang angin dan salju turun dengan lebat.

   "Lebih baik pulanglah,"

   Usul Ging-yao. Tetapi Jiak-sim tidak menyahut. Tiba-tiba ia bersuara heran dan bila Ging-yao berpaling, maka terlihat olehnya dari atas gunung itu tiba-tiba sesosok bayangan hitam berlari cepat menuju mereka.

   "Toako, orang ini bukan Be Hong,"

   Kata Ging-yao, ia biasa melatih ilmu menggunakan senjata rahasia Bwe-hoa-ciam, semacam jarum yang lembut, maka penglihatannya sangat tajam sekali.

   Tak lama lagi, orang itu makin lama makin dekat, waktu Li Jiak-sim menegasi, ternyata orang yang mendatangi ini adalah seorang pemuda berusia antara dua puluhan tahun, padahal Be Hong sudah berusia setengah umur atau lebih dari empat puluh tahun.

   "Ia hanya seorang diri, coba kau amat-amati dari samping, biar kutanya dia,"

   Pesan Jiak-sim pada Bu Ging-yao. Sedang mereka bicara, maka orang itupun sudah sampai di depan mereka dan segera mengucapkan tanda rahasia yang sudah ditetapkan dengan Be Hong, setelah mana tiba-tiba ia membuka tangannya lalu berkata.

   "Ini adalah surat Lengtayhiap kepada kalian."

   Jiak-sim kuatir kalau terjebak, untuk menjaga segala kemungkinan, maka diam-diam ia menggunakan gerakan 'Kim-na-jiu' atau ilmu cara memegang dan menangkap, dengan tiga jarinya ia memencet kencang urat nadi tangan orang, setelah itu baru ia melihat ke tangan orang.

   Ia lihat di atas telapak tangan itu tertulis.

   "Yang datang adalah sahabat baikku, boleh rundingkan cara-cara untuk merampas penjara."

   Tidak salah lagi tulisan itu memang tulisan Leng Bwe-hong sendiri.

   "Aku selamanya belum pernah berjumpa dengan Enghiong- hokiat (pahlawan dan orang gagah perkasa) dari kalangan Kangouw, kini aku telah mengenal Leng-tayhiap, dan dapat berkenalan pula dengan kalian, sungguh hal yang menggembirakan sekali dalam hidupku ini,"

   Dengan tertawa orang itu mengutarakan perasaannya setelah tangannya dilepaskan oleh Li Jiak-sim.

   "Eh, gerakan 'Kim-na-jiu' tadi bagus sekali, dari cabang manakah gerak tipu itu? Ah, sudah banyak sekali aku bercerita tapi masih belum memberitahu padamu, aku bernama Ciu Jing, dengan Be Hong, kami bersahabat baik sekali."

   Melihat sifat erang yang lincah dan menarik, sungguh L i J iak-sirn.

   heran mengapa pemuda yang sedikitpun belum berpengalaman di Kangouw, bisa menjadi bayangkara kepercayaan di kerajaan*? Nyata ia tidak tahu bahwa Ciu Jing adalah pengawal yang telah turun temurun.

   "Hari ini justru Be-toako berdinas jaga, karena itu aku yang mewakilinya kemari,"

   Terdengar Ciu Jing berkata pula. Sembari omong sambil ia mengeluarkan selembar peta terr bikin dari kulit.

   "Nampak itu, sungguh tidak kepalang girang Li Jiak-sim. Di atas peta itu ternyata dilukiskan semua jalan dan pintu di dalam istana Potala yang sangat ruwet itu, tempat dimana Leng Bwe-hong disekap, malahan diberi tanda bundaran merah pula.

   "Inilah yang kami gambar secara diam-diam, beribu jalan dan pintu di dalam istana yang simpang-siur itu ada sebagian kami sendiri pun tidak jelas, oleh karena itu peta ini kami gambar hanya menurut ingatan kami saja,' kata Ciu Jing pula.

   "Kalau kalian sudah hafal dan ingat betul, malam lusa, harap mengirim jagoan ke sana, kami nanti membantu dari dalam."

   Dan sehabis Ciu Jing pergi, dengan tertawa berbahak lalu Pho Jing-cu unjukkan diri dari tempat gelap.

   "Leng Bwe-hong sungguh hebat sekali!"

   Katanya sambil mengacungkan jempolnya.

   "Sampai musuh yang menjaganya kena dihasut menjadi sahabatnya."

   Pada malam itu juga lantas mereka menentukan siasat untuk menggempur istana Potala.

   Besoknya Li Jiak-sim dan Bu Ging-yao telah pindah dan sekalian tinggal bersama dengan Pho Jing-cu.

   Kembali pada Leng Bwe-hong yang dikurung dalam istana yang agung itu, ia sudah hampir sebulan terkurung, tetapi di dalam penjara ia pun tidak membuang tempo percuma, ia pergunakan tiap kesempatan untuk berbicara dengan pengawal yang menjaganya, ia menceritakan kepada mereka kejadian dalam Kangouw yang menarik, kadang ia malah memberi petunjuk ilmu silat kepada mereka.

   Di samping itu, pada malam-malam yang terasa panjang itu, ia selalu menyelami dan memperdalam rahasia ilmu silat yang lebih tinggi, bukan saja Thian-san-kiam-hoat sudah ia yakinkan hingga masak betul, bahkan ia menciptakan banyak gerak serangan baru dan aneh berdasarkan pengalamannya selama ini.

   Ia merasa dirinya kini sudah jauh lebih matang daripada dahulu.

   "Meskipun aku sudah tak memiliki jari jempol kanan, tetapi asal aku tidak mati dalam penjara, aku masih dapat mengajarkan orang memainkan pedang,"

   Begitu pikirnya.

   Ia tahan uji oleh segala penderitaan, ia merasa bangga kepada jiwanya sendiri yang kukuh teguh itu.

   Dan akhirnya tibalah pada malam yang telah dijanjikan dengan Pho Jing-cu.

   Dalam malam yang gelap gulita, sekonyong-konyong terdengar suara ledakan yang gemuruh.

   Tak lama kemudian tertampak Ciu Jing berlari mendatangi, ketika ia memberi tanda dengan kedipan mata, menyusul segera terdengar Leng Bwe-hong menggertak terus meronta sekuatnya, semua borgol di badannya retak dan hancur semuanya, bahkan dengan telapak tangannya segera ia membikin hancur pula meja batu yang berada di dalam kamar penjara.

   Beberapa pengawal yang menjaganya menjadi ternganga kaget oleh kejadian yang mendadak itu.

   Sementara itu Ciu Jing pura-pura menjerit ketakutan dikejar oleh Leng Bwe-hong.

   Maka tidak antara lama, kedua orang itu sudah melewati banyak pintu dan jalanan.

   Bercerita pula mengenai Pho Jing-cu dan kawan-kawan, mereka telah menyerbu masuk ke dalam istana Potala dengan menurut apa yang dilukiskan dalam peta, meskipun tentara Boan berjumlah banyak, namun musuh yang datang semua terdiri dari ahli silat kelas tinggi, lagi pula di malam gelap dan diserbu mendadak, maka tanpa banyak rintangan penjagaan dibobol Pho Jing-cu dan kawan-kawan hingga masuk tiga lapis pintu luar.

   Ketika Lauw Yu-hong sedang berteriak memanggil Leng Bwe-hong, mendadak tiga pintu lapisan sebelah dalam terbuka, dengan pedang tergantung di pinggang, Coh Ciaulam berdiri di tengah sambil tertawa terbahak.

   "Hahaha, kalian jauh-jauh sudi datang ke sini, marilah silakan masuk minum dulu!"

   Demikian teriak Coh Ciau-lam mengejek.

   Tak sabar lagi Ie Lan-cu, cepat ia mengenjot tubuh, bagai burung terbang ia melesat maju dan pedangnya segera menusuk, namun Ciau-lam sempat menangkis.

   Habis itu dengan cepat ia mundur pula masuk ke dalam pintu yang lain, berbareng Thio Hua-c iau dan Kui Tiong-bing pun memburu maju.

   "Hati-hati!"

   Terdengar Pho Jing-cu memperingatkan mereka tetapi tidak urung ia sendiripun ikut masuk ke dalam bersama orang banyak.

   "Pho-lothauji, hayo kita bertanding sekali lagi,"

   Tantang Ciau-lam dari dalam.

   Akan tetapi Bu Ging-yao telah mewakilkan menjawab dengan segenggaman jarum peraknya disertai suara gelak tertawanya cepat Coh Ciau-lam mengenjot kaki dan tubuhnya lantas mencelat ke belakang, kembali ia masuk ke pintu yang lain lagi.

   "Jangan buru-buru, kita boleh menyerbu masuk menurut peta, keparat ini pasti tak akan lolos, sementara ini jangan kita terjebak oleh tipu muslihatnya!"

   Ujar Li Jiak-sim tenang Dan.belum habis ia berkata, mendadak pintu-pintu di sekitarnya berputar-putar cepat, setelah mana semua orang tak bisa membedakan pula jurusan mana yang harus ditempuh, mereka merasa pintu itu berderet-deret dan bersusun, tiap tempat seperti dijaga dengan kuat Li Jiak-sim mengeluh, tetapi segera ia memutar senjata 'Liu-sing-tui' dengan cepat ia menghantam hancur sebuah daun pintu, menyusul itu dari dalam segera menerjang keluar belasan jago pengawal secara beramai, tapi sehabis menempur beberapa jurus, kemudian dengan cepat mereka berpencar menghilang pula masuk ke dalam lapisan dinding dari pintu kecil dan melalui jalan lorong yang dibikin mirip seperti jala laba-laba.

   Hanya sekejap saja mereka sudah menghilang tak tampak bayangannya yang terdengar hanya suara tertawa Coh Ciau-lam yang terkekeh-kekeh.

   Kembali lagi pada Leng Bwe-hong, setelah ia pura-pura mengejar Ciu Jing sampai ruangan besar di tengah, tiba-tiba keadaan sepi senyap tak tampak barang seorang pun, ia merasa curiga tiba-tiba pintu-pintu di empat penjuru terbuka lebar semuanya dan beratus jago pengawal berbareng menerjang keluar di bawah pimpinan Coh Ciau-lam.

   "Coh Ciau-lam, beranikah kau bertempur untuk menentukan mati-hidup denganku!'?"

   Teriak Bwe-hong menantang dengan sikapnya yang angkuh dan gagah berani.

   Dan karena bentakan itu, para pengawal itu jadi tertegun tak berani maju, tak terduga sedikit salah bertindak ia menjadi tertegun, seketika Ciu Jing pun berhenti berlari dan oleh karena itu tipu dayanya jadi ketahuan.

   "Tangkap Ciu Jing dulu!"

   Teriak Ciau-lam mendadak dengan bengis sambil menerobos maju di antara orang banyak.

   Mendengar perintah itu, dua Thongling dari pasukan 'Kimwi- kun' segera mengembut maju juga, akan tetapi Leng Bwehong telah mendahului memapakinya, ketika kedua tangannya mengulur mendadak, segera seorang yang di depan telah kena terpegang.

   "Pergi!"

   Terdengar gertakan Leng Bwe-hong, menyusul ia lemparkan sekuatnya hingga orang yang datang belakangan itupun kena ditumbuk terguling sekalian, waktu tangannya bergerak lagi, maka ia menarik Ciu Jing dan segera dibawanya lari menuju pintu di samping kiri, dalam pintu itu sebenarnya ada beberapa penjaga tetapi mereka hanya berteriak tems menyingkir pergi.

   Sambil mendukung Ciu Jing, Leng Bwe-hong melompat naik ke atas suatu pagar tembok, dan baru saja ia menancapkan kakinya di atas, tiba-tiba ia sudah merasakan di belakangnya ada angin tajam menyambar, dengan cepat senjata musuh sudah menyerang.

   Lekas Leng Bwe-hong memutar tubuh menggeser pergi, ia mendorong Ciu Jing keluar pagar tembok sambil berkata.

   "Lekas selamatkan jiwamu sendiri!"

   Dalam pada itu, Yu-liong-kiam, pedang pusaka Coh Ciaulam sudah menyambar pula ke bawah iganya.

   Leng Bwe-hong menarik dirinya ke belakang, tapi segera ia merasa sudah sampai di tepi pagar tembok itu, untuk mundur lagi sudah tak mungkin, dalam gugupnya ia memiringkan tubuh dan berkelit ke samping, namun perubahan serangan Coh Ciau-larn pun cepat ian hebat sekali, sekali bergerak ujung pedangnya telah menusuk pula dari sebelah kanan.

   Tiba-tiba Bwe-hong membaliki tangannya lantas menghantam.

   "creng"

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar suara nyaring, ternyata pokiam Coh Ciau-lam telah kena dipukul terpental dari cekalannya.

   Pukulan Leng Bwe-hong tidak lain adalah pukulan aneh yang ia ciptakan sendiri dan dikombinasikan dengan Thian-san-cio-hoat dan Tat-mo-cio-hoat.

   Coh Ciau-lam tak pernah menyangka lawan bisa menghantam dengan tipu pukulan itu, maka ia telah kecundang.

   Namun Coh Ciau-lam sudah biasa menghadapi musuh tangguh, begitu Leng Bwe-hong memukul, ia lantas tahu tak berdaya menghindari pukulan itu dan tak sempat menarik pedangnya, maka ia membarengi mengangkat sebelah kakinya mendu-pak.

   Sebaliknya begitu Leng Bwe-hong tangan kirinya memukul, tangan kanannya menyusul menahan ke depan, karena itu keduanya berbareng menyerang dan samasama terkena, di antara suara gablokan dua kali, Leng Bwehong kena terdupak dan Coh Ciau-lam menerima satu pukulan, mereka terjatuh ke bawah tembok.

   Namun sebelum berbangkit kembali, kaki Leng Bwe-hong bekerja lebih dulu, sambil duduk di atas tanah ia menyerampang pula, segera dua pengawal di dekatnya kena disapu pergi hingga jauh.

   Sementara itu Coh Ciau-lam menjemput kembali Yu-liong-kiamnya dan datang menyerang lagi.

   "Tanpa pedang aku pun sanggup menghajarmu pengkhianat ini!"

   Kata Bwe-hong dengan gusar.

   Segera dengan tangan kiri mengepal dan tangan kanan telapak terbuka, ia rnerangsek maju, sekalipun senjata Yuliong- kiam Coh Ciau-lam berulang-ulang menusuk dan membabat, namun sama sekali ia tak mampu mengenai sasarannya, sedang para pengawal lain mengelilingi empat penjuru tidak berani maju membantu.

   Kiranya Coh Ciau-lam yang menyangka dirinya memakai pokiam tentu tidak akan dikalahkan Leng Bwe-hong, oleh karena itu, sebelumnya ia sudah berpesan kepada kawankawannya agar jangan membantunya Memangnya banyak pengawal juga tak ingin bermusuhan dengan Leng Bwe-hong, maka sudah tentu mereka 1 ebih suka menonton saja di pinggiran.

   Maka dalam sekejap saja, kedua orang telah saling gebrak hampir tiga puluh jurus, namun Coh Ciau-lam sedikitpun masih belum bisa memperoleh keuntungan, sebaliknya Leng Bwe-hong telah mengunjuk kegagahannya, ia bertarung dengan siasat menyerang cepat, dengan tangan kosong ia memaksa hendak merebut pokiam Coh Ciau-lam.

   Karena itu Ciau-lam terpaksa melawan mati-matian, beruntun ia menusuk pula beberapa kali, tenaganya besar dan serangannya berat.

   Tak ia duga gerak tubuh Leng Bwe-hong ternyata sangat cepat, begitu berkelit segera ia balas menyerang, tiba-tiba ia sedikit berjongkok lantas melangkah maju, dua jarinya secepat kilat menjojoh ke muka Coh Ciaulam.

   Mengerti akan bahaya yang mengancam dirinya lekas Ciau-lam meloncat ke samping beberapa tindak dan beruntung baru bisa menghindarkan serangan itu.

   Nampak' pemimpin mereka terdesak, beberapa orang kepercayaannya tak menghiraukan lagi pesan Coh Ciau-lam, berduyun-duyun mereka segera maju.

   Sementara itu dengan gelak tertawa Coh Ciau-lam mundur sampai di pintu pojok.

   "Leng Bwe-hong, umpama kubiarkan kau lari, kau pun takkan bisa lolos keluar dari sini!"

   Demikian teriaknya.

   Setelah mana sekali ia memberi tanda, para pengawal yang ada di situ semuanya lantas menghilang pula masuk ke dalam pintu yang berlapis-lapis, beberapa pengawal yang mengembut Leng Bwe-bong pun mundur juga walaupun belum kalah.

   Sunyi senyap Leng Bwe-hong memandang sekelilingnya, ia coba melayang naik ke atas atap sebuah rumah untuk memandang, namun tetap tidak nampak bayangan seorang pun.

   la menerobos ke sini dan menyelusup ke sana, tapi meski sudah ribut sendirian setengah hari, masih tetap juga ia tak mendapatkan jalan keluar dari istana yang membingungkan itu.

   Dan pada waktu yang sama juga, Pho Jing-cu dan kawankawan pun terkurung di lapisan pintu ketiga di sebelah luar istana itu, mereka maju setindak demi setindak sambil menerobos ke sini dan menerjang ke sana, namun tetap belum mendapatkan jalan keluarnya sebaliknya dari segala jurusan dalam istana yang luar biasa itu penjaga-penjaga yang telah disiapkan lebih dulu bergerak serentak, tiap tempat yang pentung di situ pasti ada tentara Boan menghadang dengan memasang kaitan dan anak panah.

   "Bangsa tikus berani kurang ajar!"

   Pho Jing-cu menggertak gusar, setelah mana dengan pedangnya ia membacok sebuah pilar batu yang segera tergumpil, dan dengan sekali memutar, secepat kilat ia menubruk maju menuju tempat yang paling banyak terdapat penjaga.

   Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu pun tidak tinggal diam, dengan dua pokiam, mereka membuka jalan di kanan dan kiri, siapa yang berani merintangi tentu mati.

   Tetapi sekali berteriak ramai, tentara Boan yang tadinya menggerombol itu tahu-tahu berlari berpencar.

   Para pahlawan menerjang ke beberapa tempat, mereka memilih di mana terdapat banyak orang, di situlah mereka lantas menerjang.

   Dan setelah berputar kian kemari hampir setengah harian, tiba-tiba Pho Jing-cu berseru.

   "Berhenti!"

   Kemudian ia menuding pada sebuah tiang batu di sampingnya ternyata pada tiang itu tertampak tanda bekas bacokan pedangnya tadi, sesudah mereka berputar setengah hari, akhirnya ternyata kembali lagi pada tempat semula.

   "Sudahlah, paling baik kalau kita berdiam saja, agar tidak membuang tenaga percuma"

   Ujar Jing-cu. Lantas mereka berjajar menjadi sebuah lingkaran, dengan saling mendempet menghadap ke depan, mereka melayani anak panah yang menghujani mereka.

   "Tidak nyana setelah berjuang selama hidup ini, kini harus terbinasa di sini dengan penasaran,"

   Demikian Li Jiak-sim menghela napas, ia putus asa setelah bertahan beberapa lama lagi masih tak berdaya.

   "Lauw-toaci, tidakkah kau membawa 'Coa-yam-ci'?"

   Tibatiba Bu Ging-yao bertanya pada Lauw Yu-hong.

   "Di tempat ini angin besar dan benda kering, nyalakan api dan bakar saja!"

   "Kita tidak tahu jalan keluarnya kalau menyalakan api nanti, jangan-jangan kita sendiri yang mati terbakar di lautan api,"

   Kata Li Jiak-sim.

   Pho Jing-cu adalah satu-satunya orang yang paling tua dengan pengalaman yang luas pula namun ia pun hanya garuk-garuk kepala saja tanpa berdaya.

   Selagi mereka bingung dan kuatir, tiba-tiba dari pintu pojok sebelah barat terdengar ada suara orang membentak, menyusul itu terlihat seorang jago pengawal yang masih berusia muda secepat terbang sedang berlari keluar.

   "Ciu Jing apakah kau sudah gila mengapa berlari tak keruan?"

   Terdengar para penjaga lain pada berteriak ramai.

   Dalam pada itu, disertai suara tertawanya yang panjang, Pho Jing-cu tiba-tiba melayang maju, orang berikut pedangnya yang diputar cepat hingga merupakan selarik sinar perak terus menyergap dari atas.

   Kemudian tangan kirinya menjambret, bagai elang menyambar kelinci, sekaligus ia menarik naik tubuh Ciu Jing, berbareng itu pedang di tangan kanannya diayun pula hingga para pengawal yang mengejar datang kena disapu pergi simpang- siur.

   Dalam sekejap itu, Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu pun sudah menyusul di belakang Pho Jing-cu, kedua pedang mereka bekerja cepat, segera seperti memotong semangka dan merajang sayur saja belasan musuh kena dirobohkan.

   Karena itu, sambil berteriak ramai, kembali tentara musuh berpencar bubar pula ke empat penjuru.

   Tadi waktu rahasia Ciu Jing terbongkar oleh Coh Ciau-lam, berkat pertolongan Leng Bwe-hong, ia berhasil menyelamatkan jiwanya dengan melintasi pagar tembok, tentara dan pengawal lainnya belum mengetahui bahwa dia telah berkhianat, ternyata memberi kesempatan padanya untuk mengeluyur sampai di luar dan bergabung dengan Pho Jing-cu dan kawan-kawan.

   Maka sesudah berhasil menolong Ciu Jing, girang sekali rasa hati Pho Jing-cu, dengan cepat ia lantas tanya "Kenalkah kaujalan di sini?"

   "Boleh coba,"

   Sahut Ciu Jing.

   Habis itu, dengan apa yang ia tahu, ia membawa para pahlawan menerjang menuju ke pintu keluar.

   Akan tetapi pada saat ilu juga, di antara anak panah yang laksana hujan itu, tifca-tiba Coh Ciau-lam telah menampakkan diri pula "Ciu Jing, kau banyak menerima budi dari negara, berani kau berkhianat?"

   Bentak Ciau-lam.

   Menyusul itu ia menyambar sebuah busur dan lantas memanah Ciu J ing.

   Tetapi Pho Jing-cu tidak membiarkan kejadian itu berlangsung, ia menarik Ciu Jing ke kiri, setelah itu pedangnya lantas menyampuk, anak panah itu tersampuk menceng terus menancap masuk ke sebuah tiang di jurusan lain.

   Bukan main takut Ciu Jing, sementara itu beruntun saling susul Coh Ciau-lam telah melepaskan pula dua panah.

   Kali ini Kui Tiong-bing yang mengunjukkan kemahirannya, ia mengayun tangannya, dua 'Kim-goan' atau anting emas segera menyambar dari tangannya dengan membawa suara angin mendesir dan dengan cepat membentur jatuh kedua panah yang dilepaskan Coh Ciau-lam itu, bahkan 'Kim-goan' itu masih berputar di angkasa sejenak, kemudian baru jatuh ke barisan tentara Boan.

   Coh Ciau-lam heran dan terperanjat sekali, ia tidak menyangka kepandaian 'bocah cilik' ini bisa maju begitu pesat, ia memberi tanda dengan tangannya, lalu mendadak pintu besar dari sebuah jalanan lorong terpentang lebar, segera ia menghilang pula masuk ke dalam.

   Sedang jago pengawal lainnya tampak berjalan kian-kemari di antara lorong yang berbentuk jala laba-laba itu, kadang mereka masih melepaskan pula anak panah.

   Ciu Jing coba membawa para pahlawan berputar lagi beberapa kali, tetapi akhirnya ia pun mengeluh.

   "Pintu-pintu sudah banyak berubah dan jalanan simpang-siur, aku sendiri tak mengenal lagi,"

   Katanya terhadap Pho Jing-cu. Terpaksa Jing-cu berhenti sambil terpekur.

   "Bagaimana baiknya kini!"

   Mau tak mau ia pun mengeluh tanpa berdaya.

   Istana Potala itu sebenarnya adalah bangunan pujaan kaum Larnma, tapi sesudah In Te tiba, istana itu telah diubahnya menurut bentuk Pat-kwa, ia menambahi pintu dan merombak jalanan di dalamnya, yang Ciu Jing kenal hanya sebagian saja dan tidak mengenai semua rahasia di dalamnya.

   Karena itu, mereka tetap terkurung oleh Coh Ciau-lam.

   Setelah Pho Jing-cu menenangkan diri, tiba-tiba didengarnya di antara lapisan pintu itu berkumandang suara terompet dan genderang yang ramai saling sahut, mungkin pasukan musuh sedang disiapkan untuk mengepung mereka lebih rapat.

   Selagi ia berkuatir, tiba-tiba dari pintu di pojok kanan, dari dalam pasukan musuh mendadak muncul seorang bertopeng, kelihatan Coh Ciau-lam yang berada di dalam pintu besar jalanan lorong itu lagi membentak.

   "Tangkap dia, bunuh saja tanpa perkara!"

   Demikian bentak Ciau-lam.

   Menyusul itu empat jago pengawal segera memburu maju dengan cepat, Pho Jing-cu yang jaraknya agak jauh tak sempat maju buat membantu, karena itu ia hanya bisa menyaksikan saja dengan terkesima.

   Keempat jago pengawal yang memburu itu, semuanya adalah jagoan terpilih di antara 'Kim-wi-kun' itu, Coh Ciau-lam menaksir mereka tentu akan berhasil menangkap orang bertopeng itu.

   Waktu sudah dekat, seorang pengawal yang menggunakan 'Hui-jiau', semacam senjata berbentuk cakram bertali, segera hendak mencengkeram ke atas kepala orang, tetapi secepat kilat orang bertopeng tadi mendadak mendekam ke bawah untuk kemudian dengan sekali menggerakkan kakinya ia menyerampang dengan kuat, tak ampun lagi pengawal pemakai cakram kena disapu pergi, menyusul itu pengawai lain yang mengikut di belakangnya dengan senjata 'Kau-lianchio', semacam tombak berkali, tiba-tiba pun menjerit terguling pula.

   Pengawal ketiga memiliki ilmu silat paling kuat, ia menubruk maju sambil membentak, tetapi manusia bertopeng itu mendadak memapak maju, tiba-tiba ia menyeruduk ke depan malah, saking gugupnya karena tak menduga musuh bisa berbalik me-mapakinya, baru saja pengawal itu hendak menggunakan kedua ruyungnya, mendadak telapak tangan orang bertopeng sudah menghantam dari samping, tetapi belum sampai terkena, tiba-tiba pula diganti dengan menotok dengan dua jarinya, maka terdengarlah pengawal itu bersuara tertahan, kedua nryungnya terjatuh dan tubuhnya segera kena diangkat oleh orang bertopeng itu terus diayun ke belakang, keruan saja pengawal keempat yang baru saja tiba pun kena tersapu pergi jauh.

   "Lepas panah!"

   Terdengar Coh Ciau-lam memberi perintah.

   Tetapi manusia bertopeng itupun tidak kurang akal, ia mengayunkan tubuh pengawal yang ia tangkap tadi sambil terus berlari ke depan, karena kuatir akan mengenai kawan sendiri, di antara pasukan Boan itu hanya beberapa orang saja yang melepaskan panah.

   Sementara itu secepat angin orang bertopeng tadi sudah bergabung dengan rombongan Pho Jingcu.

   Hanya dalam beberapa gebrakan saja orang bertopeng itu sudah merobohkan empat jago pengawal, bukan saja Pho Jing-cu merasa heran, bahkan Coh Ciau-lam juga terperanjat.

   Orang itu berdandan sebagai pengawal 'Kim-wi-kun', akan tetapi Coh.

   Ciau-lam tak bisa ingat siapa di antara bawahannya yang memiliki kepandaian begitu tinggi, tak tertahan lagi ia sangat kuatir, ia tidak tahu di antara orangorangnya itu sebenarnya ada berapa banyak yang telah menjadi mata-mata musuh? Dan sesudah bergabung dengan rombongan Pho Jing-cu, orang bertopeng itu lantas membanting tubuh pengawal yang ditangkapnya itu ke tanah, sementara itu Pho Jing-cu sudah mendekatinya.

   "Siaute adalah Han Ci-pang,"

   Tiba-tiba orang itu berkata dengan suara pelahan. Sungguh tak terduga oleh Pho Jing-cu bahwa orang ini ialah Han Ci-pang, ia terkejut bercampur girang.

   "Aku paham jalanan lama dalam istana ini, tapi jalanan baru yang ditambah paling belakang ini aku tidak kenal,"

   Demikian Ci-pang berkata pula.

   Tapi sudah tiada tempo lagi bagi Pho Jing-cu bertanya sampai hal sekecil-kecilnya maka ia lantas memanggil Ciu Jing untuk merundingkan cara bagaimana mencari jalan keluar.

   Kiranya Han Ci-pang yang telah bersumpah pada Lauw Yuhong pasti akan menolong Leng Bwe-hong keluar dari bahaya diam-diam ia telah menghilang.

   Sesudah beberapa hari ia Yu-long pasti akan menolong Leng Bwe-hong keluar dari bahaya, diam-diam ia telah menghilang.

   Sesudah beberapa hari ia mencari, akhirnya ia menemukan beberapa Lamma yang habis diusir oleh In Te, Lamma-Lamma ini dengan yang masih tinggal di dalam istana Potala masih berhubungan dengan baik, malahan Lamma besar yang baru saja diangkat oleh In Te bukan lain ialah Congtat Wancin yang pernah mengawal 'Sik-li-ci' dulu.

   Sebagaimana diketahui, secara tak sengaja dulu Han Cipang telah merebutkan kembali 'benda suci' itu untuk Lamma Tibet dan ia telah diarak ke Lhasa dan dianggap sebagai tuan penolong mereka oleh karena itu, kalau ada sesuatu permintaan tiada yang pernah ditolak.

   Maka Han Ci-pang telah berdaya menemui Congtat Wancin dan berkat bantuannya lebih dulu ia menyamar sebagai Lamma dan bersembunyi di dalam istana Potala sampai pada waktu Pho Jing-cu dan kawan-kawan terkurung di dalamnya, ia berhasil mencuri pula seperangkap pakaian 'Kim-wi-kun', terus menyelusup masuk sampai di lapisan pintu ketiga dan berkat tipu silatnya yang aneh, sekaligus ia merobohkan empat jago pengawal.

   Kini setelah saling tukar pikiran dan menuturkan apa yang diketahui masing-masing dengan Ciu Jing, Boh Wan-lian pun mendengarkan di samping dengan cermat, berkat kecerdikan gadis ini, tak lama kemudian setelah ia mencorat-coret pula di atas peta yang Ciu Jing pernah lukis, akhirnya Wan-lian dapat menyelami seluruh jalan keluar dalam istana itu.

   "Kekuatan pasukan musuh sementara terpusat di sini, kita lebih baik menerjang keluar saja dahulu,"

   Usul Ci-pang akhirnya.

   "Ya tiada jalan lain, terpaksa harus begitu,"

   Kata Jing-cu dengan menghela napas.

   Kemudian segera Boh Wan-lian bersama Kui Tiong-bing membuka jalan, mereka menerjang keluar dari pintu yang satu ke pintu yang lain.

   Sebaliknya Coh Ciau-lam yang belum mengetahui bahwa mereka sudah dapat menyelami rahasia di dalam istana itu, ia perintahkan bawahannya jangan menempur mati-matian, rnelainkan mengurung saja mereka agar letih dan tak berdaya dengan sendirinya.

   Tak tersangka, Kui Tiong-bing dan Boh Wan-lian yang membuka jalan di depan dapat menerjang dengan leluasa dan cepat sekali, dalam sekejap saja mereka sudah menembusi beberapa lapis pintu, sesampainya di tiga pintu lapisan luar, baru pasukan Boan insyaf, namun sudah terlambat dan tak bisa mengepung lagi.

   Dan begitulah belasan pahlawan itu laksana banteng ketaton terus menerjang keluar dari istana Potala yang membingungkan itu.

   Kembali mengenai diri Leng Bwe-hong, sesudah ia berputar setengah hari sendirian, ternyata tak dapat ia menemukan jalan keluar, sedang bantuan dari luar pun tak tampak datang, ia sudah letih dan kelaparan, sementara itu Coh Ciau-lam bersama serombongan jago pengawal mendadak menampakkan diri lagi.

   "Sekalipun Leng Bwe-hong berkepandaian setinggi langit, akhirnya takkan lolos juga dari genggamanku,"

   Kata Coh Ciaulam tertawa puas sambil memandang sombong ke barisannya sendiri dan meneruskan perkataannya.

   "Kini rupanya ia sudah sangat letih dan payah, siapa berani mewakilkan aku menangkapnya?"

   Tetapi para pengawal begundalnya itu, ada yang takut akan kewibawaan Leng Bwe-hong dan ada pula yang menaruh hormat dan segan padanya sebagai hasil hasutannya selama dalam penjara, kini ternyata tiada yang ingin bergebrak dengannya dan mereka pun hanya saling pandang saja.

   Melihat sikap bawahannya itu, sudah tentu Coh Ciau-lam mendongkol dan selagi ia hendak mengumbar amarahnya, mendadak dari dalam barisan telah melompat maju empat orang, yang tiga ialah orang kepercayaan Coh Ciau-lam, sedang yang seorang lagi ialah Be Hong.

   Dalam pada itu Leng Bwe-hong sudah maju menyerang sekali, ia bersiul panjang, telapak tangannya secepat kilat memotong ke pergelangan tangan seorang pengawal, namun pengawal itu ternyata tidak lemah juga, dengan gesit ia berkelit dan lantas balas menghantam.

   Siapa tahu ilmu pukulan Leng Bwe-hong ternyata lihai sekali, sekali memotong tidak kena, menyusul ia telah memukul pula, maka tak ampun lagi pengawal itu segera terpukul roboh, sementara itu dua pengawal yang lain berbareng maju pula dengan pedang mereka dan secepat kilat menusuk kedua bahu Leng Bwehong.

   Sekonyong-konyong Bwe-hong berjongkok ke bawah terus mendepak, seorang pengawal segera kena didepak terguling, berbareng itu juga Leng Bwe-hong mendadak menegak sambil menggertak, saking kagetnya pengawal yang lain lagi tanpa terasa melompat mundur.

   Pada saat lain, Be Hong menyerbu juga, kedua kepalannya memukul berbareng, sekilas Leng Bwe-hong melihat mata orang mengedip, segera ia tahu apa maksudnya, maka mendadak ia malah melompat maju.

   "plak"

   Segera terdengar, ternyata Be Hong sudah terpukul dulu pundaknya, sebaliknya dada Leng Bwe-hong sendiri pun sengaja diberikan, hingga dengan keras ia terkena satu pukulan juga dan terhuyunghuyung hendak roboh.

   Sementara itu dua pengawal yang terguling tadi, masih rebah di bawah, mereka mengambil kesempatan itu untuk menyandung kaki musuh, keruan saja Leng Bwe-hong terpaksa jatuh mencium tanah.

   Maka berantai Be Hong berempat lantas menubruk berbareng, empat orang delapan tangan mereka memegang Bwe-hong kencangkencang, namun dengan sekali mengangkat tangan, tahu-tahu keempat orang itu ternyata tak kuat menahan dan Leng Bwehong berbangku kembali.

   Dan selagi mereka merasa terkejut, mendadak Leng Bwehong menghela napas panjang, habis itu dengan meluruskan tangan ia berkata.

   "Baiklah, ambil tali dan ringkuslah aku."

   Tidak kepalang girangnya ketiga pengawal tadi, mereka mengerti sekali Leng Bwe-hong sudah omong begitu, mereka boleh mempercayainya maka mereka lantas minta tali rantai dari kawan mereka untuk mengikat kencang diri Leng Bwehong.

   "Ehm, orang Hwe ini ternyata boleh juga,"

   Kata Coh-Ciaulam diam-diam setelah nampak keempat orangnya benjalbenjol dan babak-belur, lebih-lebih Be Hong terluka lebih parah hingga muntah darah.

   Setelah itu, lantas ia menotok 'Hun-hian-hiat', yakni tempat yang membikin Leng Bwe-hong tak sadarkan diri, lalu ia memerintah orangnya memanggil Seng Thian-ting untuk menjaga Leng Bwe-hong sendiri, malah ia membisiki di telinga Seng Thian-ting dan memberi pesan seperlunya Kiranya Be Hong yang menjadi sahabat Ciu Jing sesudah kawannya ini diketahui telah berkhianat, untuk keselamatannya sendiri agar tidak dicurigai orang, cepat Be Hong telah maju dan berhantaman dengan Leng Bwe hong, yang tersebut belakangan inipun tahu akan maksud orang, lagi pula ia sendiripun takkan bisa lolos lagi, maka dengan sukarela ia pura-pura tertangkap.

   Tapi Coh Ciau-lam pun jago kawakan, maka supaya tidak menimbulkan curiga Bwe-hong menggunakan pukulan yang tampak berat dari luar, tetapi sebenarnya enteng di dalam, Be Hong dipukulnya hingga muntah darah.

   Setelah Seng Thian-ting menggusur Leng Bwe-hong masuk ke kamar tahanan rahasia di tengah istana ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk dan secara paksa ia mencekoki Leng Bwe-hong.

   Jika kemudian Leng Bwe-hong sadar kembali tahutahu seluruh badannya terasa lemas tak bertenaga.

   Obat bubuk yang Seng Thian-ting cekokkan pada Leng Bwe-hong itu ternyata adalah obat mujizat kerajaan yang khusus dipakai untuk mempermainkan orang yang memiliki ilmu silat tinggi, setelah minum obat itu lantas seperti minum arak yang keras, rasanya pening dan lemas tak bertenaga ditambah pula kini Seng Thian-ting menjaga pula di sampingnya seumpama kepandaian Leng Bwe-hong setinggi langit pun takkan bisa kabur lagi.

   Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bercerita pula mengenai Pho Jing-cu dan kawan-kawan, sesudah kembali ke tempat kediaman mereka, lantas mereka berunding dan berdaya upaya agar bisa menolong diri Leng Bwe-hong.

   "Kini jalanan dalam istana itu kita sudah hafal, baiklah sekalian kita lantas kerjakan secara besar-besaran,"

   Ujar Pho Jing-cu.

   "Orang-orang kita yang berada dalam kota Lhasa sini kalau kita kumpulkan sedikitaya ada dua-tiga ribu orang."

   "Ya memang kita bisa menggerakkan orang-orang kita secara serentak, kuatirnya bila kita sudah berhasil menyerbu ke dalam, sementara itu Leng-tayhiap sendiri sudah lebih dulu dicelakai,"

   Demikian pendapat Li Jiak-sim.

   Karena perundingan mereka yang tidak menghasilkan sesuatu rumusan itu, maka yang paling merasa masgul ialah Lauw Yu-hong, seorang diri ia kembali ke kamarnya.

   Besok paginya Yu-hong ternyata masih murung oleh rasa sedih yang tertumpuk, karena itu ia merebah saja di pembaringan.

   Selagi pikirannya terbenam dalam lautan kedukaan, tiba-tiba didengarnya di luar jendela ada orang mengetok beberapa kali, menyusul itu terdengar pula suara Bu Ging-yao tertahan.

   "Lauw-toaci, di bawah loteng ada seorang hendak menemuimu,"

   Demikian gadis itu. Waktu Yu-hong turun ke bawah, maka terlihatlah olehnya telah menunggu seorang laki-laki berperawakan tegap dan memakai serban atau ubel-ubel kain putih di kepalanya.

   "Orang gagah ini bernama Be Hong, ia adalah pengawal yang menjaga Leng Bwe-hong,"

   Demikian Pho Jing-cu ikut berada di samping memperkenalkannya.

   Seperti diketahui, Be Hong adalah bangsa Hwe yang kebanyakan Muslimin, oleh karena itu memakai serban seperti Haji.

   Be Hong memandang Lauw Yu-hong dengan penuh perhatian, setelah itu baru ia bertanya "Apa kaukah Lauwtoaci, ketua dari Thian-te-hwe? Aku membawa sepucuk surat untukmu."

   "Su surat?"

   Tanya Yu-hong terputus-putus dan agak gemetar, ia memegang meja untuk menahan dirinya yang terasa lemas.

   "Ya surat dari Leng-tayhiap yang ditulisnya dengan darah jarinya tanpa menghiraukan bahaya"

   Kata Be Hong dengan suara terharu.

   "Dan sesudah berada di sini, aku pun tak bisa kembali ke sana lagi."

   Sambil memegang sampul surat yang diterimanya tadi, Yuhong terpekur sejenak, setelah itu ia menghirup hawa segar di pinggir jendela, lalu dengan pelahan baru ia membuka surat itu.

   Terlihat olehnya huruf dalam surat itu tertulis dengan men-cang-menceng, maka dapat dibayangkan betapa gemetarnya jari tangannya sewaktu menulis, malahan pada beberapa tempat, tulisan di atasnya samar-samar tak begitu jelas.

   Surat itu ternyata tertulis .

   "Enci Kheng, Malam nanti adalah saat terakhir hidupku sebelum ajal sudah seharusnya aku memberitahukan apa yang sesungguhnya padamu mengenai diriku. Dua puluh tahun yang lalu, dengan Enci pernah kita menikmati pemandangan air pasang di Ci-tong-kang, secara main-main Enci pernah berkata, 'Jika kau dapat dipercaya seperti air pasang yang datangnya tertentu, maka meskipun dalam peperangan atau dalam keadaan dunia kiamat misalnya, pasti aku akan menantikan kedatanganmu kembali'. Sayang, perkataan main-main itu kini betul-betul menjadi kenyataan. Enci tidak perlu berduka karena kesalah-pa-haman dulu itu, cinta sejati Enci sudah cukup seperti gelombang air di Ci-tong-kang yang berlebihan untuk membersihkan sepuluh kali kesalahanmu seperti itu sekalipun Pula, Enci tak usah bersedih akan kematianku, seorang Leng Bwe-hong mati, sepuluh Leng Bwe-hong segera akan tumbuh lagi. Manusia bercita-cita dan pahlawan setia adalah seperti rumput yang tumbuh tiada habisnya walaupun dibakar dan diinjak-injak yang harus disesalkan hanya janji untuk menikmati keindahan bersama di Thian-san, agaknya hanya bisa terlaksana pada jelmaan hidup yang akan datang. Tulisan akhir, Bok "

   Sehabis membaca surat itu, tiba-tiba penglihatannya menjadi lapat-lapat seperti berlapiskan kabut, nyata sekali lagi ia harus kehilangan dia.

   Ia cemas, pedih dan berat laksana puncak es di Thian-san dengan tepat menindih hatinya.

   Dan surat itupun terjatuh tanpa terasa.

   Kiranya 'Kheng' yang disebut itu ialah nama kecil Lauw Yuhong dan 'Bok' atau lengkapnya 'Bok-long', nama kecil Leng Bwe-hong, nama yang sebenarnya ialah Nio Bok-long, kakek moyangnya adalah kaum imigran dari daerah barat-laut.

   Dengan perasaan putus asa Yu-hong bersandar di depan jendela sambil termenung, mukanya pucat lesu.

   Para pahlawan yang lainpun tak berdaya, mereka mengerti dalam saat demikian ini, segala kata-kata menghibur hanya akan sia-sia belaka.

   Hanya Bu Ging-yao sendiri dengan sebelah,tangan memegang pundak Yu-hong dan tangan yang lain membelai rambutnya yang kusut.

   "Malam nanti apakah mungkin Leng Bwe-hong akan tertimpa bencana?"

   Tanya Jing-cu pada Be Hong diam-diam, setelah menariknya menyingkir ke ruangan lain.

   "Sejak terjadi penyerbuan istana, Coh Ciau-lam menjadi takut bukan kepalang,"

   Demikian tutur Be Hong dengan perasaan tak tenteram.

   "Ya, jauh lebih takut daripada waktu ia terdesak di tepi sungai es oleh Leng Bwe-hong. Dalam pertempuran kemarin itu, ia mengetahui bahwa banyak di antara jago pengawal tidak ingin bermusuhan lagi dengan Leng Bwe-hong, sudah tentu tiada sesuatu yang lebih menakutkan daripada pengkhianatan dari dalam. Aku mendengar perundingannya dengan Seng Thian-ting, bahwa tengah malam nanti mereka diam-diam akan membereskan jiwa Leng-tayhiap, agar tidak membikin goncang pikiran orang lain di dalam penjara."

   Setelah mendengar penuturan ini, Pho Jing-cu menunduk, jidatnya berkerut kencang, terang ia sedang memeras otak berpikir.

   Dalam keadaan sunyi senyap karena tiada yang sanggup buka suara itu, mendadak Han Ci-pang menerobos masuk, kiranya ia sudah mendapat tahu juga tentang kabar buruk itu, maka buru-buru ia datang hendak mencari Lauw Yu-hong, tapi begitu ia masuk, segera ia terperanjat oleh suasana berduka dalam ruangan itu, tak tahan lagi ia menarik Lauw Yu-hong dan dengan suara terputus-putus ia bertanya.

   "Lauw-toaci, kenapakah kau? Ai, kau telah mencucurkan air mata? Aku masih ingat kau dahulu tidak pernah menangisi Leng-tayhiap, aku aku "

   "Memang betul-betul dia! Dialah yang dua puluh tahun lalu bersamaku menikmati pemandangan air pasang di Ci-tong kang, si anak tanggung itu!"

   Demikian sekonyong-konyong Yuhong mendongak dengan matanya yang tampak sayu guram dan berkata dengan cepat Ia melepaskan tangan Ci-pang, kemudian ia menjemput surat yang penuh noda darah dan air mata itu, cepat dimasukkan ke dalam sakunya, lalu La berkata pula dengan lemas tak bertenaga.

   "Ci-pang, bolehlah kau pergi, kini aku tak ingin mengatakan apa-apa lagi."

   Han Ci-pang tak berani bicara pula, dengan cemas ia hanya menggigit bibir sendiri, tapi tak tertahan ia ingin mengutarakan sekali lagi perasaan hatinya yang suci murni, perasaan suci yang selama ini menekan jiwanya sejak bertemu kembali dengan Lauw Yu-hong.

   Tetapi Yu-hong sedikitpun ternyata tidak memperhatikan lagi pada perkataannya.

   Tiba-tiba Ci-pang ingat pula apa yang pernah ia katakan pada beberapa tahun yang lalu tentang 'kenalan baru' yang memisahkan 'sahabat lama', tak terasa ia menjadi jengah dan parasnya berubah merah.

   Sungguh ia tak tahu bahwa Leng Bwe-hong justru adalah sahabat baik Lauw Yu-hong sejak masih kanak-kanak.

   Karena itu diam-diam Han Ci-pang mengeluyur pergi.

   Pho Jing-cu sedang termenung berpikir, yang lain pun sedang mengerumuni Lauw Yu-hong, maka tiada seorang pun yang memperhatikannya.

   Dengan cepat Han Ci-pang mendatangi sebuah kuil Lamma yang berdekatan, begitu bertemu dengan Lamma besar di dalam kuil itu, lantas ia minta diberikan obat luka, ketika ditanya apakah untuk mengobati kawannya yang terluka namun Ci-pang hanya mendesak lekas diberi obat yang ia minta tanpa menjawab.

   Obat luka bikinan Lamma di Tibet khasiatnya sangat manjur sekali, setelah mendapatkan itu segera Han Ci-pang kembali ke kamar tempat ia menginap dan lantas mengunci dirinya di dalam, tiba-tiba ia melolos pedang pusaka dari Thian-liong-pay pemberian Sin Liong-cu itu, sesudah bercermin pada kaca yang tergantung di tembok dan memperhatikan dirinya sejenak, mendadak ia mengangkat pedangnya terus menggores dua luka di mukanya, darah segar mengucur deras, saking sakitnya sampai ia menjerit.

   Terhadap kelakuan Ci-pang itu, Lamma besar memang SS sudah curiga, kini tiba-tiba didengarnya ada suara rintihan di dalam kamar, tanpa menunggu lagi segera ia mendobrak pintu kamar.

   "Ci-pang, mengapakah kau?"

   Demikian teriaknya segera. Sementara itu di antara suara gedubrakan itu, pedang Cipang pun terjatuh, lekas Lamma besar itu maju mendukungnya "Apa kau sudah gila?"

   Teriak pula Lamma itu. Akan tetapi Ci-pang lantas mengeluarkan obat luka yang ia dapatkan tadi agar diobati Lamma besar.

   "Harap kau lantas membawaku menemui Buddha Hidup,"

   Pinta Ci-pang dengan tertawa getir sesudah lewat sejenak. Sudah tentu atas permintaan orang itu, Lamma besar menjadi bingung.

   "Harap kau mengingat jasaku atas 'Sik-li-ci', lakukanlah permintaanku dan jangan kau bertanya"

   Kata Ci-pang pula dengan suara rendah. Melihat pikirannya masih jernih dan tidak seperti orang sinting, kemudian Lamma besar itu menurut meski dengan ragu-ragu.

   "Bagaimana aku bisa menolak permintaan tuan penolong kami,"

   Ujarnya kemudian.

   Lalu ia memberi sebuah mantel hitam pada Ci-pang dan lantas mengajaknya pergi melalui pintu belakang.

   Kembali pada Leng Bwe-hong rupanya ia sendiri merasa juga sudah dekat ajalnya sekalipun ia adalah seorang pahlawan yang tiada pernah merasa gentar, namun ia pun tidak terluput dari pikiran menyesal pada saat terakhir itu.

   "Terlalu kejamkah aku ini, tidak seharusnya aku berbuat demikian kejam terhadap Kheng-ci,"

   Demikian teringat olehnya masa mudanya yang menggembirakan, malam terang bulan di tepi Ci-tong-kang di waktu air pasang dan sinar mata Lauw Yu-hong yang penuh penyesalan pada waktu di daerah Hunlam, dan entah mengapa ia menjadi teringat juga pada wajah Han Ci-pang yang jujur polos itu.

   Tiba-tiba timbul pikiran dalam hatinya.

   "Ya mengapa aku tidak merangkap jodoh mereka pada saat sebelum aku mati?"

   La berpikir apakah masih ada kesempatan untuk menulis pula sepucuk surat darah yang dikirim melalui penjaga keper- cayaarmya sebelum ia menghadapi elmaut*? Tetapi di sekelilingnya hanya kegelapan belaka, melulu sebuah lilin kecil yang kelap-kelip di pojokan.

   "Sudah waktu, apa ini?"

   Tanyanya cepat pada Seng Thian ting.

   "Masih ada sejam lagi akan menginjak tengah 0131301,"

   Dengan tertawa Thian-ting menjawab.

   "Leng Bwe-hong sebelum kematianmu apakah kau masih ada pesan terakhir yang hendak kautinggalkan?"

   "Ada, kau boleh memberitahukan pada Coh Ciau-lam, bahwa manusia seperti dia yang terima menjadi anjing dan alap-alap bangsa asing, kalau tidak mau lekas insyaf, akhirnya maupun tiada tempat mengubur baginya,"

   Demikian Bwe-hong menjawab menyindir, ia tahu bahwa Seng Thian-ting termasuk juga salah seorang yang mati-matian membela kepentingan pemerintah Boan, maka sengaja ia menyindirnya pula.

   "Coba, begitu gemasnya kau terhadap Suhengmu, padahal Suhengmu itu sebaliknya selalu memikirkan dirimu. Pada sebelum kau menjalani hukuman mati, masih ia mengizinkan Buddha Hidup datang bersembahyang untukmu dan membakar mayatmu menurut adat bangsa Tibet di sini,"

   Dengan tertawa Seng Thian-ting berkata.

   "Dengarkan itu, suara tindakan orang di luar itu agaknya merekalah yang sudah datang. He, malah jauh lebih gasik daripada tempo yang telah ditetapkan."

   Kiranya Congtat Wancin, Budha Hidup angkatan In Te pada waktu senja sengaja pergi menemui In Te dan menyatakan bahwa Potala adalah istana agung dan suci dari agama Larnma, jika menghukum mati orang di dalam, seharusnya meminta persetujuannya dahulu dan harus memperkenankan ia pergi bersembahyang untuk orang hukuman itu.

   In Te mengetahui bahwa malam ini Coh Ciau-lam diamdiam hendak membereskan jiwa Leng-Bwe-hong dalam istana yang hebat itu, maka ia agak heran juga oleh kecepatan kabar yang Congtat Wancin terima, kemudian ia pikir dalam hal-hal kecil ini tiada halangannya menghargai adat istiadat mereka, maka ia lantas menyetujuinya Apalagi di dalam istana itu tiada tempat penting yang tak rapat dijaga oleh pengawal berkepan- laian tinggi, yang menjaga Leng Bwe-hong malahan adalah Seng Thian-ting sendiri yang terpandai di kalangan pengawal kerajaan, maka ia tidak kuatir akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

   Begitulah, maka waktu mendengar Seng Thian-ting berkata bahwa bakal ada Larnma yang datang bersembahyang untuknya, Leng Bwe-hong agak heran juga, ia membatin.

   "Sebagai laki-laki sejati mengapa harus takut mati?"

   Tetapi kemudian ia berpikir pula pada waktu merebut 'Sik-lik-ci' dulu, dirinya banyak membantu dan ada ikatan persahabatan dengan para Larnma besar itu, kini mereka hendak bersembahyang untuknya justru ada kesempatan untuk titip surat darah pada mereka.

   Sedang ia termenung, tiba-tiba dua bayangan orang telah mendatangi, yang di depan bukan lain adalah Congtat Wancin.

   Dengan senjata 'Boan-koan-pit' atau potlot jaksa yang siap sedia, Seng Thian-ting sedikit membungkuk memberi hormat, tetapi dalam sekejap itu juga Larnma yang berada di samping Congtat Wancin mendadak melompat maju, sekali jarinya men-jojoh, Seng Thian-ting telah kena ditotok hingga tak bisa berkutik.

   Jika kemudian Larnma itu menyingkap kerudung kepalanya, menyusul lantas terdengar suara seman orang kaget.

   "Hantoako, mengapa kau berubah begini?"

   Nyata Leng Bwe-hong sangat terkejut Sementara itu meski menggelongsor di atas tanah, mata Seng Thian-ting masih mendelik gusar, tetapi toh tak bisa berkutik.

   Sebenarnya Seng Thian-ting yang kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Han Ci-pang tak mungkin terjungkal begitu gampang, namun tadi ia sama sekali tidak menduga akan dibokong, lagipula Han Ci-pang telah banyak menambah pelajaran ilmu silat Tat-mo, dengan gerak serangan aneh, Ce Cin-kun saja pada waktu bertemu untuk pertama kalinya juga kena diselomoti, apalagi Seng Thian-ting.

   Maka setelah Seng Thian-ting diringkus di atas kursinya, segera Ci-pang melolos pedang pula mematahkan semua rantai dan borgol yang mengikat Leng Bwe-hong, kemudian baru ia berkata dengan suara pelahan.

   "Leng-tayhiap, keluarlah kau ikut tersama Buddha Hidup!"

   Dengan kecerdasan Leng Bwe-hong, tentu, saja segera ia mengerti apa maksud perkataan orang.

   "Terima kasih Hantoa- ko,"

   Sahurnya kemudian dengan menggoyang kepala.

   "Sayang kau hanya membuang tenaga percuma saja, tidak mungkin aku pergi keluar dari sini."

   Tapi Ci-pang lantas, menyopot mantel dan kerudungnya serta diserahkan pada Leng Bwe-hong.

   "Aku yang tinggal di sini,"

   Demikian katanya pula.

   "Keluarlah kau dengan memakai kerudung, mereka takkan mengenalimu."

   "Tidak, Han-toako,"

   Sahut Bwe-hong tetap.

   "Itu tidak boleh jadi, bagaimana aku bisa membiarkan kau mati untukku."

   "Kau banyak lebih berguna daripadaku, kau harus tetap hidup dan biarlah aku yang mati,"

   Ujar Ci-pang ikhlas.

   "He, apa kau ingin aku menjadi manusia yang tak berbudi?"

   Kata Leng Bwe-hong gusar.

   "Aku sendiri hidup, sebaliknya menyuruh kawan sendiri yang harus mati?"

   Namun Han Ci-pang tidak menjawab lagi, mendadak jarinya menotok Leng Bwe-hong di tempat 'Ah-hiat' atau tempat yang membikin orang menjadi gagu.

   Lerig Bwe-hong baru saja hilang dari pengaruh obat bubuk yang dicekokkan Seng Thian-ting itu, tenaganya masih lemas, ilmu silatnya yang begitu tinggi ternyata tak mampu dipergunakannya terpaksa ia hanya melihat dirinya diperbuat sesukanya oleh Han Ci-pang tanpa berdaya.

   Dengan cepat Ci-pang lantas mengenakan kerudung dan mantel pada Leng Bwe-hong, dan dipasrahkan pada Congtat Wancin.

   "Buddha Hidup, selanjurnya semuanya terserah padamu,"

   Pesannya sambil memberi hormat pada Congtat Wancin.

   "Han-gisu (tuan yang budiman), kaulah yang benar-benar harus disebut Buddha Hidup,"

   Kata Congtat Wancin mencucurkan air mata terharu sambil membungkuk mencium tungkak kaki Han Ci-pang.

   Habis itu ia memutar tubuh dan dengan setengah menarik setengah menyeret ia membawa Leng Bwe-hong keluar dari istana Potala yang luar biasa itu.

   Lalu Ci-pang duduk di atas dipan berhadapan dengan Seng Thian-ting, meskipun kadang ada jago penjaga yang dinas lewat di kamar tahanan itu dan tempo-tempo melongok ke dalam juga, namun perawakan Han Ci-pang yang memang tidak banyak berbeda dengan Leng Bwe-hong, ditambah mukanya ada bekas luka pula, sedang penerangan di dalam kamar pun guram, maka para penjaga itu sedikitpun tidak menaruh curiga.

   Dalam keadaan putus asa sambil menantikan saat terakhirnya itu, tiba-tiba Han Ci-pang mendengar di luar pintu ada penjaga yang berdinas sedang berkata.

   "Coh-mongling, waktunya belum tiba kenapa siang-siang kau sudah datang."

   "Aku ingin kapan ia mati, setiap waktu ia harus mati, kau berhak mengurus?"

   Terdengar Ciau-lam mendamprat.

   Sembari berkata, terdengar pintu kamar tahanan didorong.

   Agaknya Coh Ciau-lam masih ingin berusaha untuk penghabisan kalinya mendesak Leng Bwe-hong agar mengaku dimana kitab pelajaran peninggalan gurunya disimpan.

   Sementara itu, Han Ci-pang dengan tangan mengepal kencang sedang menantikan saat yang baik, saking bersemangatnya sampai tulang lengannya berkeretakan.

   "Seng Thian-ting, kau boleh keluar,"

   Kata Coh Ciau-lam sesudah masuk dalam kamar tahanan itu.

   Akan tetapi yang diperintah ternyata diam saja dan membisu.

   
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Coh Ciau-lam melangkah maju dan selagi ia hendak bertanya pula, mendadak Han Ci-pang melesat maju, kepalannya segera memukul ke depan.

   Dalam terkejutnya Coh Ciau-lam masih coba menarik tubuh ke belakang, namun tidak urung dadanya sudah terkena pukulan yang tidak ringan itu.

   Di bawah sinar lilin yang remang-remang segera Coh Ciaulam dapat melihat bahwa musuh ini ternyata bukan Leng Bwehong lagi, keruan terkejutnya tidak kepalang.

   "Siapa kau? Kemana Leng Bwe-hong pergi?"

   Bentaknya segera Tapi belum habis bentakannya tiba-tiba dari belakang angin tajam menyambar pula, gerak tubuh Han Ci-pang yang se-bat dan aneh itu, sekali menyerang lalu menukar lain serangan pula hanya dilakukannya dalam sekejap saja Jika kemudian Coh Ciau-lam coba berkelit lagi, namun pinggangnya kembali terkena pula totokan Han Ci-pang.

   Dengan menggeram menahan sakit, senjata Yu-liong-kiam dengan cepat sudah ia cabut, lalu dengan mendengarkan angin membedakan senjata, ia mengayun pedangnya dan menyusul itu lelatu api bercipratan, Han Ci-pang berbalik kena tergetar mundur sampai di pinggir dinding baru dapat menahan diri.

   Sementara itu Coh Ciau-lam sudah berpaling, kini ia dapat melihat jelas siapa adanya lawannya ini.

   "Halia! Han Ci-pang, kau berani mengantarkan nyawamu!"

   Ciau-lam tertawa iblis dan segera menubruk maju pula.

   Sekali Yu-liong-pokiam bergerak, dengan cepat menuju tenggorokan Han Ci-pang.

   Berkat tipu serangan Tat-mo yang aneh, Han Ci-pang berhasil memukul dan menotok Coh Ciau-lam tadi, tapi sayang kepandaiannya masih selisih jauh dibanding lawannya itu, pula Coh Ciau-lam sudah bongkotan, pada waktu masuk ke kamar tahanan dan nampak gelagat mencurigakan, ia telah menutup rapat semua jalan darahnya, kepalan dan jari Ci-pang seperti mengenai kulit tebal saja, tangannya malahan terasa sakit sendiri.

   Kini melihat Coh Ciau-lam dengan gemas menusuk, tibatiba Ci-pang tergerak pikirannya untuk mengulur waktu, cepat ia menerobos ke samping berbareng pedangnya mencukit dan serangannya ia ubah lagi, jika kemudian Coh Ciau-lam menarik pedang buat rnerangsek, namun Ci-pang telah menerobos ke jurusan lain pula.

   Tetapi Coh Ciau-lam tidak gampang diselomoti, ia cukup cerdik, ia mengetahui Han Ci-pang sengaja mengandalkan gerak tubuhnya yang aneh untuk menggoda padanya.

   Pikirnya.

   "Han Ci-pang hanya seperti penyakit kulit saja yang tak usah digubris, yang penting adalah Leng Bwe-hong yang agaknya belum lama kabur, kalau sampai terlibat pertarungan dengan Han ci-pang, mungkin musuh yang terbesar menjadi lolos?"

   Oleh karena pikiran itu, lantas ia pura-pura membacok untuk kemudian segera berlari ke pintu sambil berteriak.

   "Leng Bwe-hong telah kabur, lekas uber!"

   Di pihak lain, tanpa berkata Han Ci-pang menyusul dari belakang dengan cepat terus menusuk, ketika tiba-tiba Ciaulam merasa hawa dingin seakan mengiris badannya, tahu-tahu ujung pedang musuh sudah sampai di bawah iga, ia jadi teringat bahwa Han Ci-pang pun memakai pokiam atau pedang pusaka, terpaksa ia menarik pedang buat menangkis.

   Karena benturan kedua pedang itu, kembali api meletik pula, tetapi pedang masing-masing tiada yang terusak.

   Coh Ciau-lam menjadi murka, ia pikir kalau tidak membunuh Han Ci-pang dahulu, susah untuk bisa keluar dengan leluasa.

   Maka Yu-liong-kiam segera berputar cepat, ia mengeluarkan tipu serangan mematikan yang paling hebat dari Thian-san-kiam-hoat, bagai angin badai secara kencang ia rnerangsek.

   "Han Ci-pang, sungguhkah kau tidak menginginkan jiwamu lagi?!"

   Bentaknya sengit.

   "Memangnya aku tidak mau jiwaku lagi, tetapi kau juga jangan mengharap bisa menyandak Leng Bwe-hong,"

   Sahut Ci-pang membandel.

   Sudah tentu Coh Ciau-lam tidak mau membuang tempo lagi, pedangnya berputar dan menyerang bertubi-tubi, tapi berkat gerak tubuh Han Ci-pang yang aneh, seketika Coh Ciau-lam tak mampu melukainya.

   Saking gemasnya mendadak Coh Ciau-lam berteriak kalap, ia mengumpulkan tenaga dalamnya dan mengayun pedangnya, angin pedang yang santar menyirap padam semua api lilin yang ada dalam kamar tahanan, hanya sinar pedangnya yang gemerlapan menyambar di dalam ruangan, malahan tertampak lebih terang daripada api lilin tadi, Ci-pang merasa seperti seluruh penjuru melulu bayangan Coh Ciau-lam belaka, ia insyaf dirinya tak mungkin lolos lagi, maka berbalik ia malah tertawa terbahak-bahak, tertawa puas.

   Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya terus menerjang ke depan, kesempatan itu dipergunakan Coh Ciau-lam dengan baik, cepat ia menusuk, maka tak ampun lagi pedangnya menembusi tubuh Han Ci-pang.

   Dengan bermandi darah dan pokiamnya terjatuh, Han Cipang masih tertawa sepuas-puasnya sambil berteriak.

   "Lauwtoaci, selesailah sudah kewajibanku kepadamu."

   Sementara itu Coh Ciau-lam mencabut kembali pedangnya dan mendupak pergi tubuh Han Ci-pang terus melompat keluar dari kamar tahanan itu.

   Tetapi tiba-tiba terdengar suara letusan yang gemuruh, menyusul mana sinar api berkobar menjulang langit, para pengawal berlari keluar lapisan pintu bagian depan.

   Ketika sampai di pintu bagian tengah, di bawah sinar api, Coli Ciau-lam melihat Pho Jing-cu dan kawan-kawan secara berbondong-bondong sedang menyerbu masuk, karena tak tahan serbuan mereka yang hebat, para pengawal terpaksa harus mundur ke belakang.

   "Jangan ribut, kepung saja mereka!"

   Perintah Ciau-lam untuk menambah semangat bawahannya.

   Dan sesudah mundur sampai di pintu pojok, segera ia memerintahkan lagi melepaskan panah.

   Tak ia duga, musuh sepert sangat hafal sekali pada jalanan di dalam istana, mereka menerobos ke kiri dan menerjang ke kanan, dalam sekejap saja mereka sudah mengejar tiba pula.

   "Pasukan besar kita segera datang, mereka tiada yang bisa lolos, dengan mati-matian kita harus menahan mereka!"

   Teriak Ciau-lam lagi sambil menjaga sendiri jalan mundur begundalnya.

   Akan tetapi segera terdengar Pho Jing-cu tertawa panjang, ia memberi tanda anak buahnya yang sudah siap sedia di luar pintu beramai menyerbu masuk, panah berapi beterbangan serabutan dan api membakar di sana sini, waktu Coh Ciau-lam memandang sekelilingnya maka tertampak di dalam istana itu dimana-mana hanya musuh belaka, sungguh ia tidak mengerti darimanakah Pho Jing-cu bisa mengumpulkan pengikut yang begitu banyak.

   Kali ini memang dengan niat mati-matian Pho Jing-cu menghimpun seluruh anggota Thian-te-hwe dan pejuangpeju- ang bangsa Kazak yang berada di Lhasa, jumlah seluruhnya lebih dari tiga ribu orang, dengan gagah berani menghadapi bahaya, mereka menyerbu masuk ke istana Potala maksud tujuan mereka bukan melulu untuk menolong Leng Bwe-hong saja, tapi juga sekalian memberi satu pukulan hebat pada In Te.

   Di malam yang gelap gelita itu In Te tak tahu keadaan musuh, maka tak berani ia menghadapi serbuan hebat itu, di bawah iringan pengawalnya ia melarikan diri keluar istana Potala pasukannya diberi perintah mengepung rapat empat pintu gerbang istana, sebaliknya membiarkan Coh Ciau-lam bersama pasukan Kim-wi-kun yang dipimpinnya itu bertempur mati-matian di dalam istana.

   Karena itu, In Te lari keluar istana sama sekali tak diketahui Coh Ciau-lam.

   Pasukan Kim-wi-kun yang menjaga istana Potala itu hanya berjumlah dua ribu orang, tentu saja mereka tak sanggup melawan tiga ribu orang yang dibawa Pho Jing-cu itu, setelah saling tempur setengah jam, mayat prajurit Kim-wi-kun sudah bergelimpangan, seluruh istana Potala diliputi asap tebal yang bergulung-gulung, suara robohnya dinding diselingi jatuhnya tiang patah gemuruh bercampur-aduk.

   "Coh Ciau-lam, lekas kauserahkan Leng Bwe-hong, bila tidak, biar kau mati tiada terkubur!"

   Bentak Pho Jing-cu keras. Mendengar itu, diam-diam Ciau-lam mengertilah kalau lolosnya Leng Bwe-hong masih belum diketahui Pho Jing-cu dan kawan-kawan, maka segera ia menjawab.

   "Kalian harus mundur keluar dahulu dan kita boleh berunding secara baikbaik. Bila tidak, biar aku binasakan Leng Bwe-hong dahulu."

   "Kematianmu sudah di depan mata, masih berani kau main gila!"

   Teriak Li Jiak-sim gusar. Berbareng itu tangannya mengayun dan sebuah panah berapi belerang lantas meledak terbakar di samping Coh Ciau-lam.

   "Hahaha, agaknya kalian memang tidak memikirkan Leng Bwe-hong lagi?"

   Sahut Ciau-lam terbahak-bahak. Lalu ia berpaling pada begundalnya dan berteriak.

   "Ong Tong dan Thio Cay, kalian berdua boleh masuk pergi mengambil kepala Leng Bwe-hong kemari!"

   Karena gertakan itu, wajah Lauw Yu-hong berubah hebat, lekas ia berkata pada Pho Jing-cu.

   "Susiok, baiknya kita tukar j iwanya dengan j iwa Bwe-hong."

   Tapi Jing-cu kenal Coh Ciau-lam yang banyak akal licik, ia kuatir bila mundur keluar dulu malahan akan terjebak oleh muslihat musuh, maka sesaat ia menjadi ragu. Sementara itu Coh Ciau-lam telah berteriak lagi.

   "Nah, bila mau lekas kalian mundur keluar pintu lapisan ketiga dan segera kulepaskan Leng Bwe-hong, lalu kedua pihak mengadakan gencatan senjata. Bila tidak, boleh kalian saksikan kepala Leng Bwe-hong yang sudah terpisah. Sekarang biar aku menghitung tiga kali, habis itu jika kalian masih belum menjawab, maka jangan sesalkan aku berlaku keji"

   Lalu ia mulai menghitung,"satu..... dua!"

   Tentu saja yang paling kuatur dan cemas adalah Lauw Yuhong. Ketika Coh Ciau-lam berhenti sejenak dan angka "tiga"

   Belum disebut, tiba-tiba ada beberapa Larnma menerjang keluar dari sebuah kamar yang sudah runtuh terbakar, Larnma yang memimpin memakai jubah padri merah terus berteriak.

   "Jangan tertipu, Leng Bwe-hong sudah lama lari keluar istana ini!"

   Tentu saja Ciau-lam amat gusar karena rahasianya dibongkar, sekali ia memberi tanda, segera begundalnya menghujani panah pada beberapa Larnma itu.

   Larnma baju merah itu ternyata agak lihai, ia memutar tongkatnya kencang dan menerjang maju di bawah hujan panah itu.

   Lekas Pho Jing-cu dan kawan-kawan menyerbu maju juga buat menolongnya.

   Di lain pihak, saking gemasnya Coh Ciau-lam menyambar sebuah gendewa dari seorang bawahannya dan beruntun ia membidikkan tiga anak panah.

   Larnma jubah merah itu dapat menghantam jatuh panah pertama dan menghindarkan panah yang lain, tapi panah ketiga tak keburu ditangkapnya hingga tepat menembus tenggorokannya.

   Namun begitu ia masih kuat berlari sampai di depan Pho Jing-cu untuk kemudian lantas roboh terkulai.

   Waktu Jing-cu mengamati, kiranya Larnma ini adalah Angih Larnma yang tempo dulu pernah ikut Coh Ciau-lam ke Ngotai- san itu.

   Tatkala mana baru saja Ciau-lam mengkhianati Go Sam-kui, tapi muslihatnya diketahui Ang-ih Larnma hingga dari malu Coh Ciau-lam menjadi nekad dan di lembah gunung Angih Larnma akan dibunuhnya Untung Leng Bwe-hong keburu datang dan berhasil menyelamatkan jiwanya.

   Tak terduga pada akhirnya tewas juga di bawah panah Coh Ciau-lam.

   Dan setelah Larnma jubah merah itu roboh di depan Pho Jing-cu, dengan suara serak dan tak lancar ia masih coba menutur.

   "Leng-tayhiap sudah selamat sampai di luar, jangan kalian lepaskan bangsat durhaka ini!"

   Ia berkata sambil menuding Coh Ciau-lam dan kemudian menghembuskan napasnya yang terakhir.

   Ketika mendadak Pho Jing-cu memberi tanda sekali, segera Kui Tiong-bing dan Ie Lan-cu menubruk maju mati-matian hingga para jago pengawal pada berlari menyingkir.

   Begitu pula Coh Ciau-lam, ia pura-pura menyerang sekali, lalu melompat mundur hendak lari.

   Namun sekuat tenaga Tiong-bing melompat maju dan pedang pusakanya terus menusuk ke punggung orang.

   Lekas Ciau-lam mengayun senjatanya menangkis ke belakang sambil memutar.

   Tak terduga Tiong-bing menyampuk keras ke samping hingga pedang lawan terpisah pergi, menyusul mana beruntun ia melontarkan lagi tiga kali tusukan lihai.

   Diam-diam Ciau-lam sangat terkejut, sungguh tak disangkanya bocah dogol ini bisa maju begitu pesat ilmu pedangnya Baiknya ia sudah kawakan, ketika pedangnya berputar keras dan mematahkan semua serangan Tiong-bing, lalu dengan enteng ia meloncat ke atas menembus asap, ia naik ke atas atap sebuah rumah yang sedang berkobar oleh api terus melarikan diri sebisanya.

   Siapa tahu di antara api yang menjilat-jilat itu tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat, menyusul sinar tajam memecah asap terus menusuk ke arahnya, lekas Ciau-lam menangkis dan melompat ke atap rumah yang lain.

   Namun belum sempat ia berdiri tegak, kembali dari belakang angin tajam menyambar lagi, pedang orang lagi-lagi sudah dekat punggungnya, ketika Ciau-lam membaliki pedangnya ke belakang dan orangnya pun meloncat turun ke bawah tanah, tahu-tahu bayangan orang itupun menyusul turun juga, bila Ciau-lam menegasi, kiranya Ie Lan-cu adanya.

   Melihat Lan-cu yang mengejarnya, hati Ciau-lam menjadi agak lega.

   Pikirnya.

   "Anak dara ini bukan tandinganku, cuma keadaan tidak menguntungkan bila terlibat bertempur lebih lama dengannya"

   Karena itu, ketika ia menekan alat rahasia sebuah dinding, mendadak dinding itu retak dan tertampak ada sebuah pintu rahasia, cepat sekali Coh Ciau-lam menyelinap masuk, dan selagi ia hendak menekan alatnya untuk menutup pintu itu kembali, sekonyong-konyong angin tajam sudah menyambar, ia tak berani berpaling, maka lekas melompat ke samping dan kemudian baru pedangnya menyampuk ke belakang.

   "Lan-cu, kau beruntung bisa lolos dahulu, apa kini kau mencari mati?!'"

   Demikian bentak Ciau-lam kemudian.

   Namun wajah Lan-cu dingin saja, ia mengunjuk senyuman mengejek dan tanpa berkata pedang 'Toan-giok-kiam' secepat kilat menyerang bertubi-tubi dan merangsek maju terus.

   Tiba-tiba Coh Ciau-lam mengenjot tubuh dan melayang pergi pula lebih dalam dan sekalian tangannya menekan dinding, karena itu pintu rahasia tadi lantas merapat kembali, habis mana ia melompat pergi beberapa tombak lagi.

   "Ha, Lan-cu, hari ini jangan kau sesalkan paman gurumu ini terlalu keji!"

   Demikian ejeknya dengan tertawa sinis.

   Ketika mendadak Lan-cu merasa keadaan menjadi gelap, sementara itu senjata Coh Ciau-lam sudah lantas membacok, lekas ia berkelit sambil pedangnya menyampuk mematahkan serangan orang, lalu ia pun melompat ke samping beberapa tindak dan dengan penuh perhatian menantikan serangan musuh lagi.

   Kiranya tempat yang dimasuki Coh Ciau-lam ini adalah jalan rahasia bawah tanah dari istana Potala ujung lain menembus keluar istana, jalan lorong ini jarang diketahui orang, bagi Coh Ciau-lam tujuannya ialah untuk menyelamatkan diri, tak terduga dengan kecepatan luar biasa Ie Lan-cu menyusulnya masuk.

   Seketika tergerak pikiran Ciau-lam, segera ia mengubah maksudnya pula ia pikir dengan menangkap gadis ini dulu sebagai jaminan barulah kemudian bisa lari keluar istana dengan selamat.

   Sebab Lan-cu adalah pembunuh To Tok, bila dapat menawannya meski Leng Bwe-hong lolos mungkin Hongsiang tak akan mendampratnya.

   Dan karena perubahan pikiran, Coh Ciau-lam menjadi angkara murka, maka di jalan lorong itu ia malah merangsek kembali pada Ie Lan-cu.

   Waktu itu pintu rahasia tadi sudah menutup, di dalam lorong itu gelap-gulita, hanya bayangan orang yang terasa bergerak-gerak, mau tak mau hati Lan-cu rada tergetar juga.

   Belum pernah Lan-cu bertanding dengan orang di tempat gelap, meski ia pernah belajar juga ilmu 'Thing-hong-pian-gi' atau mendengarkan angin membedakan senjata musuh, tapi betapapun masih kalah pengalaman dibanding Coh Ciau-lam.

   Maka sesudah menangkis beberapa kali ia sudah merasa sangat payah.

   Tiba-tiba Ciau-lam tertawa terkekeh, tubuhnya mendadak melesat dan sinar pedangnya terus menyambar ke bahu kiri si gadis.

   Lekas Lan-cu mengegos, lalu dengan gerak tipu 'Liong-bunko- long' atau bermain ombak di gerbang naga secepat kilat ia menangkis terus balas menyerang.

   Terkejut Ciau-lam oleh kesehatan orang, maka cepat ia menggunakan tipu 'Kim-tiau-tian-ih' atau garuda emas pentang sayap, ia membaliki senjatanya terus membabat ke lengan kanan le Lan-cu.

   Karena serang-menyerang yang hebat ini hingga sinar pedang kedua pihak gemerlapan, pada saat lain Ie Lan-cu memutar kencang lagi pedangnya dan hanya sekejap saja sudah melontarkan tiga tusukan.

   Namun Ciau-lam sempat menarik diri dan mengempiskan perut, berbareng ia melompat mundur mengikuti angin senjata orang, dalam hati diam-diam ia terheran-heran oleh serangan si gadis yang hebat itu.

   Betapapun latihan Lan-cu masih belum cukup masak, setelah tiga kali serangan tak mengenai musuh, ia tak berani merangsek maju sembarangan, segera pedangnya bergerak hendak merubah tipu serangan lagi, namun mendadak Coh Ciau-lam memutar kembali dan balas menyerang dengan tipu 'Giok-tay-wi-yo' atau sabuk kemala mengikat pinggang, dengan cepat ia membabat pinggang si gadis.

   Terpaksa Lan-cu harus menangkis hingga lelatu api bercipratan.

   Karena tangkisan ini, sekilas dapat dilihatnya wajah Ciau-lam mengunjuk rasa jeri, sebaliknya Lan-cu sendiripun tergetar mundur beberapa tindak dengan tangan terasa pegal linu.

   


Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Sarang Perjudian -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini