7 Pendekar Pedang Thiansan 4
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Bagian 4
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya dari Liang Ie Shen
Perjamuan itu diadakan di ruang istana yang semerbak oleh asap kayu wangi, di bawah pendopo sana bersiap pasukan pengawal berseragam lengkap, sedang di meja perjamuan terdapat pula panglima dan orang kepercayaan Go Sam-kui, malahan diiringi pula oleh nyanyian dan tari-tarian yang membuat suasana menjadi lebih semarak.
Dengan angkuhnya pemuda sastrawan itu masuk ke ruang perjamuan itu, tetapi Go Sam-kui tidak tampak di tempat, yang mewakili sementara adalah seorang panglima yang berperawakan gagah tegap.
"Orang ini adalah panglima Go Sam-kui yang paling perkasa, namanya Po Tiau,"
Demikian pemuda itu membisiki Leng Bwe-hong.
Sementara itu para tetamu sudah datang, maka lekas Po Tiau menyambut dengan hormat dan menyilakan duduk.
Lalu datanglah seorang untuk menuang arak bagi para tetamu.
Dandanan orang ini tampak sebagai jago silat, cara menuang arak juga aneh, tiap kali ia menuang ke cawan dan menaruh cawan itu ke atas meja, tahu-tahu cawan itu ambles hampir separoh ke dalam meja.
"Mari, silakan minum!"
Seru Po Tiau kemudian sesudah arak semua tamu dituang.
Lalu ia mendahului mengangkat cawannya, ia menjepit dengan dua jari dan dengan ringan saja cawan yang ambles dalam meja itu sudah terlepas tanpa tercecer setetes pun.
Dan araknya ia teguk habis sekaligus.
Menyusul giliran si pemuda sastrawan itu, ia tersenyum melihat orang menunjukkan kepandaian Lwekangnya tadi, ia pun tidak mau kalah, malahan ia hanya menggunakan satu jari telunjuk saja terus mengait cawan arak yang setengah ambles itu, ketika ia putar sedikit, tahu-tahu cawan itu telah melambung ke atas terus disambut mulurnya, isi cawan itu pun ia teguk sampai kering tanpa menetes sedikit pun.
Giliran selanjutnya adalah Leng Bwe-hong, terus Lauw Yuhong.
Waktu Bwe-hong melirik, ia lihat Yu-hong lagi berkerut kening tanda ada kesukaran.
Pikir Bwe-hong.
"Sungguhpun Kiam-hoat Yu-hong sangat bagus, tetapi soal Lwekang mungkin ia belum sampai puncaknya?"
Lengan ia oerpitur, uuuiauiya ucngau congKaK uau iciiiberang berulang kali Po Tiau mendesak agar Bwe-hong iekas minum.
"Congsu, silakan minum,"
Demikian Po Tiau mendesak. Bwe-hong menarik alis, sinar matanya mengerling para hadirin, kedua tangannya menahan di atas meja, ketika ia tepuk meja pelahan. berbareng ia berseru.
"Ya. marilah silakan minum semua!"
Semua cawan arak yang masih ketinggalan dan ambles dalam meja tahu-tahu telah melambung keluar.
Cepat sekali Leng Bwe-hong, Lauw Yu-hong dan Kim Khe lantas menyambar cawan arak masing-masing dan meneguknya hingga kering.
Ada beberapa orang lain yang semeja dengan mereka dan tak keburu menyambar cawan yang telah melambung itu, hingga cawan berserakan berikut isinya.
Sekilas wajah Po Tiau berubah, tetapi segera ia tertawa terbahak-bahak dan berkata.
"Maafkan, maafkan! Biar ganti cawan yang baru lagi!"
Habis itu ia mengambil semua cawan arak yang masih berada di meja itu dan dimasukkan ke lengan bajunya, ketika kemudian ia mengebas lengan bajunya, seperangkat cawan yang terdiri sepuluh buah telah tertancap dengan rapinya di atas tembok yang jauhnya beberapa tombak.
Kiranya cawan itu terbikin dari baja, kebasan lengan baju Po Tiau tadi sungguh sangat hebat tenaga Lwekangnya.
Mau tak mau Leng Bwe-hong memuji kepandaian orang, ia taksir ilmu silat orang ini pasti tidak di bawah Coh Ciau-lam.
Tidak lama kemudian cawan arak telah diganti dan Po Tiau sendiri yang kini menuang arak melayani tetamunya.
Ketika sampai di depan Leng Bwe-hong, ia sengaja hendak menjajal orang lagi, ketika cawan arak ia sodorkan, baru saja tangan Bwe-hong memegang tepi cawan, mendadak ia menyalurkan tenaga dalamnya memaksa arak dalam cawan itu meluap ke atas.
Tentu saja Leng Bwe-hong tahu maksud orang, ia pun memperlihatkan ketangkasannya, ia mengumpulkan tenaga pada tangan yang memegang cawan itu dan ketika ia kerahkan tenaga, seketika arak yang meluap itu dapat ditekannya ke bawah.
Habis itu cawan arak ini ia sambut dan diteguk habis.
"Terima kasih atas hadiah arak Ciangkun ini,"
Kata Leng Dwe-iiuiig tertawa. Fo Tiau menjadi kikuk karena saling jajal iiu, ia jadi menyeringai.
"Hm. boleh juga pengikutmu ini,"
Demikian katanya pada si pemuda sastrawan. Pemuda itu tertegun sejenak, dan segera ia ingin menjelaskan siapa diri Leng Bwe-hong, tetapi Leng Bwe-hong keburu mengedipinya hingga ia urung bicara.
"Ahh, Ciangkun suka memuji saja, orang dusun seperti aku ini, mana dapat menandingi ilmu Ciangkun yang tinggi,"
Demikian Leng Bwe-hong menyahut. Setelah tiga keliling menyuguh arak, kemudian Po Tiau bicara lagi.
"Karena ada halangan, maka Ping-se-ong sedikit terlambat datang, untuk melewatkan waktu luang, silakan menikmati nyanyian dan tari-tarian dahulu."
Lalu Po Tiau menepuk tangan sekali dan segera keluarlah dua pasang laki-perempuan.
Setelah memberi hormat, kedua pasang muda-mudi ini pun mulai bergaya sambil berdendang mengitari ruang perjamuan itu.
Cara menari dan bernyanyi agak aneh, makin lama mereka berputar semakin cepat dan suara mereka kian lama kian keras.
Sampai suatu saat, tiba-tiba kelihatan mereka mementang tangan seperti orang menarik busur dan tangan sebelah muka terus diayun ke depan, beberapa lilin besar di sisi kiri meja Leng Bwe-hong seketika padam.
Menyusul mereka mengitari lagi dan mementang tangan bergaya seperti tadi, terus berjalan ke meja sebelah kanan Leng Bwe-hong.
Tapi Bwe-hong tak mau tinggal diam lagi, ia merasakan betapa hebat angin pukulan keempat orang penari itu, tatkala itu api lilin di sebelah kanan sedang miring hendak padam karena sambaran angin, mendadak Leng Bwe-hong menggeser sedikit tubuhnya, tiba-tiba ia pun mengulur sebelah tangannya terus mengayun ke arah meja sebelah kanan, dan api lilin yang tadinya miring ke sebelah Leng Bwehong dan hampir padam itu sudah tegak dan menyala kembali.
"Perjamuan makan malam yang indah dengan sinar lilin ini, kalau sampai padam semua tentunya kurang baik,"
Demikian ujar Bwe-hong tersenyum.
Kiranya dua pasang laki-perempuan itu ahli 'Pi-khong-cio' atau ahli memukul dengan telapak tangan kosong.
Dengan alasan menari, sebenarnya mereka hendak mengunjuk kepandaian, siapa tahu sekali gebrak, tenaga gabungan mereka berempat baru bisa menahan kekuatan Leng Bwehong seorang, keruan saja mereka menjadi jengah.
Dan karena kata-kata Bwe-hong tadi, Po Tiau menuruti arah angin, katanya.
"Ya, apa yang Congcu katakan cocok dengan pendapatku, permainan mereka boleh berhenti saja."
Tak lama kemudian Po Tiau memberi tanda dan keempat orang itu lantas mengundurkan diri dengan malu.
Berulang kali mempersulit dan menjajal diri orang tanpa hasil, diam-diam Po Tiau sangat mendongkol.
Rupanya seorang perwira bawahannya yang semeja dengan dia tahu perasaan Po Tiau, segera perwira ini berdiri dan berkata.
"Sayang kalau perjamuan ramai ini tanpa selingan, maka Caihe (aku yang rendah) bersedia menghibur para tamu agung dengan tarian pedang. Sudah lama ilmu pedang Li-kongcu dikagumi, maka sudilah memberi petunjuk padaku agar bisa membuang yang jelek dan menerima yang baik."
Tetapi pemuda itu tidak menjawab, ia hanya diam saja sambil tersenyum.
"Cobalah kautunjukkan dulu, kalau memang masih ada nilainya untuk dilihat, jangan kuatir Li-kongcu tak akan memberi petunjuk,"
Kata Po Tiau.
Kiranya Po Tiau tahu akan kedudukan pemuda itu, tak nanti sudi bergebrak dengan perwira bawahannya, maka sengaja dengan kata-kata itu ia memancing orang turun tangan.
Perwira itu bernama Hwan Cing, waktu Ciau-lam masih menghamba pada Go Sam-kui bersama Thio Thian-bong, mereka bertiga disebut 'Ong-hu-samkiat' atau tiga perkasa dari istana, ilmu pedang Hwan Cing yang lihai adalah Mo-hunkiam- hoat dari Lam-pay atau aliran selatan.
Sementara itu ia telah maju ke tengah dengan langkah lebar, ia memberi hormat dulu pada pemuda itu, habis itu ia melolos pedangnya, ketika sedikit bergerak, sinar pedangnya berkelebat cepat sekali, ia memutar terus meloncat tinggi, lalu mendekam ke bawah, makin lama semakin cepat dan kian lama kian dekat dengan si pemuda.
"Li-kongcu, ilmu pedang ini ada nilainya tidak untuk ditonton?"
Tanya Po Tiau pada pemuda sastrawan itu. Tetapi pemuda itu tetap tak menjawab melainkan tertawa dingin saja. Sebaliknya Leng Bwe-hong yang berdiri.
"Daripada bermain seorang diri, lebih baik dua orang bertanding, biar aku mewakili Li-kongcu turun kalangan,"
Demikian Leng Bwe-hong menyela.
Karena ia sudah telanjur dianggap sebagai pengikut Likongcu, maka tanpa menunggu jawaban Po Tiau, segera Leng Bwe-hong melangkah maju.
Dan karena majunya Bwe-hong ini, Hwan Cing lantas menghentikan permainan pedangnya, ia memandang dengan mata mendelik.
"Hayolah, silakan maju,"
Sambutnya kemudian.
Tapi Bwe-hong diam saja, ia melolos pedang Yu-liong-kiam pelahan dan seketika sinar pedang gemerlapan menyilaukan mata.
Sebagai bekas kawan Coh Ciau-lam, dengan sendirinya Hwan Tiing mengenali pedang itu, keruan seketika wajahnya berubah hebat.
"Darimana kau memperoleh pedang ini?"
Bentaknya. Tetapi Leng Bwe-hong tak lantas menjawab, ia melemparkan dulu pedangnya ke udara dan kemudian ditangkapnya kembali. Habis itu, barulah ia buka suara.
"Ada seorang manusia she Coh yang sesumbar katanya ilmu pedangnya tiada bandingannya di kolong langit, maka aku telah melabraknya,"
Demikian kata Leng Bwe-hong pelahan seperti apa yang sudah terjadi itu bukan suatu yang hebat. Lalu ia menyambung pula.
"Siapa tahu manusia she Coh itu hanya Eng-hiong gadungan belaka, cuma pedangnya ini yang benar-benar Pokiam sejati, maka tanpa sungkan lagi aku mengambilnya, dan berkat pedangnya yang aku penujui inilah, jiwanya lantas kuampuni. Nah, lihat, bukankah pedang ini cukup bagus?"
Habis berkata, kembali ia lemparkan pedangnya ke atas seperti anak-anak yang bermain dengan mainan yang paling disukainya.
Sebaliknya karena kata-kata Leng Bwe-hong tadi, seketika Hwan Cing terbungkam.
Ia insyaf ilmu pedangnya tidak melebihi Coh Ciau-lam, sedangkan pedang Ciau-lam saja berhasil dirampas, cara bagaimana ia sanggup melawan orang? Karena itu ia menjadi ragu dan serba salah, sampai lama ia tak bisa buka suara.
Leng Bwe-hong tersenyum pula, Yu-liong-pokiam telah dimasukkan kembali ke sarungnya.
"Pedangku ini adalah pedang wasiat, menang dengan mengandalkan senjata bukanlah seorang jantan sejati, maka biar aku bergebrak dengan tangan kosong saja,"
Katanya lagi sambil pasang kuda-kuda menantikan serangan orang. Dalam keadaan serba salah itu ia didesak lagi oleh Bwehong, mau tak mau Hwan Cing berpikir juga.
"Coh Ciau-lam saja tak berani melawan aku yang bersenjata dengan tangan kosong, andaikan orang ini memang lebih lihai dari Coh Ciau lam, rasanya juga tak akan sanggup melawan Mo-hun-kiamhoat kemahiranku ini."
Karena pikiran itulah, ia mendapat hati, segera ia menggerakkan senjatanya.
"Dengan tangan kosong kau hendak menjajal Kiam-hoatku, ini menandakan betapa tinggi ilmu silatmu,"
Demikian ia berkata.
"Cuma pedang tajam tak bermata, kalau sampai ada yane terluka atau mampus, lalu bagaimana baiknya, padahal kau adalah tamu?"
"Kalau terluka atau mampus sekali pun, itu mungkin sudah takdir,"
Sahut Bwe-hong tertawa.
"Baiklah kita boleh berjanji sebelumnya, barang siapa yang terluka atau mati, pihak lain tak boleh disalahkan. Dan sekarang kau boleh menyerang sebisamu, pedangmu meski tajam, belum tentu kau sanggup membacok tanganku yang kosong ini."
Sembari berkata, Bwe-hong mengulurkan kedua tangannya dan ditekuk-tekuk pula seperti sedang melemaskan otot, lagaknya memandang rendah lawan.
Karena itu Po Tiau pun mendongkol sekali oleh tantangan Bwe-hong itu, ia pikir pemuda sastrawan ini mungkin susah diganggu, tetapi menghajar adat sedikit pada pengikutnya mungkin dapat juga melenyapkan lagak sombong mereka.
"Hwan Cing, kau bisa bertemu orang kosen, boleh kau mohon petunjuk beberapa jurus padanya, ada kami yang menjadi saksi, kalau terjadi sesuatu, rasanya Li-kongcu tak akan menyalahkanmu,"
Katanya dengan tertawa, lalu ia berpaling pada si pemuda itu dan berkata lagi.
"Betul tidak kataku, Li-kongcu?"
Pemuda sastrawan itu sudah menyaksikan gerak-gerik H wan Cing waktu memainkan Kiam-hoat tadi yang tidak lemah, tetapi kata-kata Leng Bwe-hong tadi sudah terlalu jauh, terpaksa ia pun mengangguk tanda setuju.
Melihat Po Tiau membela dirinya, hati Hwan Cing bertambah besar.
Segera pedangnya bergerak, sekaligus ia menusuk tenggorokan Leng Bwe-hong dengan cepat.
Namun Leng Bwe-hong sudah siap, sedikit ia mengegos, berbareng tangan kanan menyampuk gagang pedang musuh, sedang telapak tangan kiri terus memotong pergelangan tangan orang.
Untuk tidak sampai patah tulang tangannya, lekas Hwan Cing menggeser, menyusul dari samping ia membabat pula.
Bwe-hong tak sabar lagi, tiba-tiba ia bersuit panjang, ketika kedua tangannya dipentang sambil sedikit menekuk tubuh, ia biarkan pedang lawan lewat di depan perutnya, habis itu secepat kilat ia menubruk maju, maka terdengar suara "plak"
Yang keras, pundak Hwan Tiing tahu-tahu telah kena ditamDarnya sekali. Tenaga yang dipakai Bwe-hong hanya sepertiga bagian saja, tetapi Hwan Cing sudah kesakitan. Cepat ia melompat mundur untuk menghindarkan serangan susulan lawan.
"Ah, jangan sungkan,"
Ejek Bwe-hong tertawa.
Hwan Cing menjadi kalap, tanpa berkata lagi dengan mengertak gigi ia merangsek maju pula, mendadak pedangnya menusuk ke selangkangan Leng Bwe-hong.
Leng Bwe-hong menjadi gusar melihat kekurang-ajaran lawannya, ia pun tidak mau bertahan lagi, segera ia mengeluarkan Cat-jiu-hoat atau ilmu memotong dengan tangan, salah satu ilmu silat Thian-san-cio-hoat atau ilmu pukulan aliran Thian-san yang lihai, di bawah sambaran pedang lawan ia mengincar urat nadi yang berbahaya untuk menotoknya.
Sungguh tak pernah diduga Hwan Cing bahwa ilmu pukulan orang bisa begitu hebat, berulang-ulang ia terpaksa harus mundur.
Dan pada suatu ketika, mendadak ia balas menusuk, siapa tahu dengan sedikit mengegos Leng Bwe-hong telah menyambar tangannya terus ditarik pelahan, segera pula Leng Bwe-hong melangkah maju, dengan sebelah tangannya ia menyangga bawah perut orang dan sekuat tenaga terus dilempar pergi.
Karena itu pedang Hwan Cing terjatuh, Bwe-hong mengambil senjata itu, dengan tertawa ia lemparkan pedang itu ke udara, waktu jatuh kembali, mendadak ia lolos Yu-liong pokiam terus ditangkiskan, maka terdengar suara nyaring yang keras, tahu-tahu pedang Hwan Cing sudah terkutung menjadi dua, lalu Leng Bwe-hong kembali ke tempat duduknya tadi.
Sedang Hwan Cing sudah dibangunkan juga oleh anak buahnya.
Saat itu jago-jago Go Sam-kui menjadi gusar, beramairamai ada tujuh-delapan orang telah maju ke tengah mengerumuni Bwe-hong.
"Congsu ini bisa mengalahkan Hwan Cing, aku tak akan urus, tetapi pedang itu adalah milik pemimpin kami Coh Ciaulam yang dicuri. Lebih dari itu kau berani bertingkah di sini, sudah mengalahkan orang, tetapi senjatanya dipatahkan pula, sungguh kami ingin tahu peraturan darimanakah ini?"
Demikian kata mereka beramai. Dalam keadaan ribut itu, tiba-tiba dari belakang terdengar suara genderang berbunyi tiga kali, seorang perwira mengibarkan sebuah bendera kuning lantas berteriak "Yang Mulia Ping-se-ong datang!"
Dan diiringi suara genderang itu, dengan pelahan kemudian tampaklah Go Sam-kui memasuki ruangan dan disambut dengan penghormatan para bawahannya.
Hanya si pemuda sastrawan dan Lauw Yu-hong yang masih duduk seenaknya, Leng Bwe-hong yang lagi cekcok dengan beberapa orang itu, sengaja ikut duduk juga.
Waktu Bwe-hong mengamati, ia lihat usia Go Sam-kui sudah lewat enam puluh tahun, tetapi belum ada tanda-tanda lemah, gerak-geriknya masih tangkas dan kuat.
Dalam pada itu, pemuda sastrawan itu duduk diam di tempatnya, hanya matanya menyorotkan sinar gusar, kedua tangannya menahan meja seperti sedang menahan perasaan.
"Sungguh Li-kongcu orang yang dapat dipercaya, jauh-jauh kini sudah datang ke sini, selamat datang dan selamat bertemu!"
Go Sam-kui menyapa dengan muka berseri setelah berhadapan dengan pemuda sastrawan itu. Dan karena teguran itulah baru pemuda sastrawan she Li itu berdiri.
"Ya, Ping-se-ong, baik-baikkah kau?"
Sahutnya kemudian sambil sedikit membungkukkan badan. Kata "Ping-se-ong"
Sengaj a diucapkan dengan keras, dan karena itu wajah Go Samkui segera berubah, ia menyeringai kikuk.
"Hendaklah Li-kongcu jangan pakai sebutan begitu lagi padaku,"
Kata Go Sam-kui menahan perasaannya.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pertemuan kita kari ini harus dilakukan secara jujur."
Sementara itu para jago yang mengerumuni Leng Bwehong tadi masih belum pergi, mereka masih penasaran. Melihat itu Go Sam-kui menjadi heran.
"Siapakah sobat ini, Li-kongcu?"
Segera Go Sam-kui bertanya.
"Ia adalah pendekar besar yang namanya tersohor di daerah barat-daya, Leng Bwe-hong, Leng-tayhiap adanya!"
Kata pemuda itu tersenyum.
Sungguh terperanjat sekali Po Tiau mendengar keterangan itu, nama Leng Bwe-hong yang tersohor sudah pernah ia dengar, tetapi tak pernah diduganya bahwa pendekar besar itu bisa datang ke Kun-bing.
bahkan datang bersama dengan pemuda sastrawan itu.
Dan karena dirinya diperkenalkan, maka dengan pelahan Leng Bwe-hong lantas berdiri.
"Para jagoan Ongya ini sedang menyesalkan diriku yang berani mengambil pedang ini "
Katanya sembari mengangkat pedang Yu-liong-kiam yang tergantung di pinggangnya. Dan sambungnya.
"Pedang ini aku dapat merebut dari seorang yang bernama Coh Ciau-lam, ia kini adalah orang kepercayaan Kaisar yang bertakhta sekarang ini. Apakah Ongya kenal padanya?"
Mendengar penuturan Leng Bwe-hong ini, seketika suasana ruang perjamuan itu menjadi panik dan gempar.
Sungguh tak pernah mereka duga bahwa Coh Ciau-lam telah berkhianat.
Namun Bwe-hong tak banyak bicara lagi, ia mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkan pada Po Tiau sambil berkata.
"Tolong serahkan pada Ongya!"
Waktu surat itu diterima Go Sam-kui dan dibaca, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Kiranya surat yang Leng Bwe-hong rampas dari begundal Khu Tong-lok itu adalah sepucuk surat perintah sangat rahasia pemerintah Boan-jing kepada An-se-ciangkun Li Pun-tian agar pembesar ini selekasnya menghubungi Cu Kok-ti, Sunbu atau Komisaris di Hun-lam dan berusaha membasmi Go Sam-kui.
Begitulah, maka sehabis membaca, surat itu diremasnya.
Ia mencoba menenangkan diri dan tertawa dingin.
Kemudian ia memberi pesan pada ajudannya serta memerintahkan anak buahnya keluar dahulu, maka dalam ruangan itu menjadi sepi, yang masih tertinggal hanya beberapa orang kepercayaan Go Sam-kui ditambah rombongan Leng Bwe-hong serta Kim Khe.
Go Sam-kui memerintahkan pula perjamuan diperbarui.
Habis itu, lalu Go Sam-kui mengangkat cawan araknya mengajak minum pemuda sastrawan tadi dan mulai bercakap.
"Engkong Li-kongcu gagah perkasa, jasanya setinggi langit, hanya dahulu aku telah menuruti napsu mudaku dan kurang berpikir hingga telah salah bertindak, maksud kami bukan hendak menumpas kakek Li-kongcu, tetapi tujuan kami hendak membasmi dorna seperti Lauw Cong-bing, Gu Kimsing dan lain-lain, siapa tahu lantas berakhir seperti sekarang ini. Kini tiga puluh tahun sudah berlalu, tiap kali aku teringat semua peristiwa itu, sungguh hatiku menjadi pedih. Maka belum lama ini aku telah menyurati kakekmu dan syukurlah sekarang mendapat kunjungan Li-kongcu sendiri yang sengaja datang dari jauh, maka harap suka mengeringkan secawan arak ini sebagai tanda berakhirnya saling dendam kedua belah pihak!"
Luar biasa terkejutnya Leng Bwe-hong demi mendengar pidato Go Sam-kui itu, sungguh tak pernah diduganya bahwa pemuda sastrawan itu adalah cucu Li Cu-sing.
Di sebelah sana Kim Khe juga baru insyaf bahwa kedudukan dirinya memang masih jauh dibandingkan dengan pemuda itu.
Hanya saja ia tak habis mengerti, mengapa Go Sam-kui yang diketahui semua orang sebagai pengkhianat yang mengundang masuk pasukan Boan hingga menyebabkan gagalnya pemberontakan Li Cu-sing cara bagaimana permusuhan yang begitu mendalam itu bisa dihilangkan? Lebih-lebih ia tak mengerti cucu Li Cu-sing malahan berani datang ke Kun-bing dan Go Sam-kui melayaninya sebagai tamu agung? Tentang pertemuan aneh yang diadakan Go Sam-kui ini memang harus kita ikuti sejarah tiga puluh tahun yang lampau.
Waktu itu adalah masa berakhirnya kaisar Cong-cing dari dinasti Beng, laskar rakyat yang dipimpin Li Cu-sing dari Se-an (selatan) telah menyerbu sampai ibukota Pakkhia atau Beijing sekarang hingga kaisar Cong-cing bunuh diri.
Tatkala itu Go Sam-kui menjabat Cong-ping (komandan militer setingkat kolonel sekarang) di daerah Liautang dan berkedudukan di San-hay-koan, benteng pertahanan yang tersohor dan sangat penting dari Tembok Besar di ujung timur, dengan kekuatan meliputi beratus ribu tentara.
Waktu Li Cu-sing melancarkan serangan total dan mengancam ibukota, kerajaan Beng telah menaikkan pangkat Go Sam-kui sebagai 'Ping-se-pek' (gelar bangsawan setingkat jenderal) dan memerintahkannya lekas menolong ibukota yang sedang genting itu.
Tak terduga, sampai di tengah jalan Go Sam-kui sudah mendapat kabar ibukota telah jatuh, karena itu pasukannya ia tarik kembali ke pangkalan semula.
Setelah Li Cu-sing menduduki Pakkhia, kekuatan kerajaan Beng waktu itu boleh dikata sudah lumpuh, hanya Go Sam-kui saja yang masih ada sedikit pengaruh.
Karena ingin lekas seluruh negeri pulih dalam keadaan aman sentosa, Li Cu-sing memerintahkan ayah Go Sam-kui, Go Yang, agar menyurati puteranya supaya takluk saja.
Karena kekuatannya terpencil dan berdiri sendiri.
Go Samkui tahu bukan tandingan Li Cu-sing, maka akhirnya ia bersedia untuk menyerahkan diri.
Tak terduga, sebelum tiba di Pakkhia, ia menerima kabar bahwa seorang selirnya yang paling ia sayangi, Tan Wan-wan, telah direbut oleh panglima Li Cu-sing yang bernama Lauw Cong-bin.
Ia menjadi gusar, pikirnya kalau dirinya menyerah pada Li Cu-sing, kedudukannya nanti pasti akan di bawah Lauw Cong-bin dan Gu Kim-sing yang waktu itu menjabat sebagai menteri.
Karena sakit hati selir kesayangan direbut orang dan sebab angkara murkanya akan kedudukan dan pangkat, tiba-tiba ia pun berubah pikiran, ia tidak jadi takluk kepada Li Cu-sing, sebaliknya ia bersekongkol dengan bangsa Boan-jing dengan perjanjian 'meminjam' pasukan Boan-jing untuk melawan Li Cu-sing.
Betul juga, akhirnya ia berhasil membasmi kekuatan Li Cu-sing dan kerajaan Beng yang masih ada di daerah selatan.
Akan tetapi pasukan Boan-jing sudah melintasi Tembok Besar, untuk selamanya mereka tak mau pergi lagi.
Begitulah meski akhirnya Go Sam-kui bisa mendapatkan kembali selirnya yang ia sayangi, namun sebab itu juga ia pun merupakan orang berdosa pada nusa dan bangsa.
Kemudian dalam kepungan dan gencatan antara pasukan Boan-jing dan Go Sam-kui, akhirnya Li Cu-sing tewas dalam pertempuran seru di gunung Kiu-kiong-san di daerah Oupak.
Tetapi Li Cu-sing masih meninggalkan laskarnya yang berjumlah lebih empat ratus ribu orang dan tersebar di beberapa tempat di bawah pimpinan puteranya, Li Kim.
Dan untuk menghadapi musuh dari luar, maka laskar rakyat di bawah pimpinan Li Kim itu memutuskan kerja-sama dengan sisa-sisa kekuatan pasukan Beng di daerah selatan, hanya Li Kim tetap bebas bertindak dan mempertahankannya, ia tetap memakai tanda pengenal 'Tay Sun' atau Sun raja, sebutan kerajaan yang didirikan Li Cu-sing.
Belakangan Li Kim tewas juga dalam pertempuran di Oupak, puteranya yang bernama Li Jiak-sim waktu itu masih terlalu kecil, maka laskarnya lalu dipimpin oleh anak angkatnya bernama Li Lay-hing.
Pertempuran melawan pemerintah Boan kemudian beralih ke daerah perbatasan antara propinsi Su-cwan dan Hun-lam, di-mana beratus ribu laskar rakyat itu bersembunyi di bukitbukit dan menggunakan siasat gerilya.
Kemudian pemerintah Boan mengangkat Go Sam-kui sebagai Ping-se-ong, gelar raja muda yang turun temurun dan diserahi pemerintahan dua propinsi Su-cwan dan Hun-lam.
Tetapi maksud tujuan yang sebenarnya ialah menggunakan Go Sam-kui sebagai tameng untuk menghadapi bekas laskar Li Cusing itu.
Setelah Go Sam-kui bersinggasana di Kun-bing, ibukota propinsi Hun-Iam, ia pun berkali-kali mengadakah gerakan pembersihan, akan tetapi di daerah perbatasan propinsi Hunlam dan Su-cwan penuh dengan bukit dan sungai, tempatnya sangat strategis.
Sedang pasukan gerilya Li Lay-hing pergi datang tiada juntrungannya, maka walaupun kerajaan Beng sudah runtuh, pasukannya masih tetap merupakan suatu ancaman besar bagi kerajaan Boan-jing.
Keadaan itu terus berlangsung hingga lebih dua puluh tahun, walaupun Li Lay-hing terbatas oleh kekuatannya yang tidak begitu besar dan tak dapat mengadakan pukulan hebat bagi musuhnya, namun Go Sam-kui juga tak berani gegabah memasuki daerah gerilya mereka.
Dalam pada itu, putera Li Kim atau cucu Li Cu-sing, Li Jiaksim sudah dewasa, ia cukup mempunyai kecerdasan, pandai ilmu silat dan surat, pemuda ini disegani kawan maupun lawan, walaupun bukan ia yang menjadi pemimpin, tapi namanya tersohor malahan di atas kakaknya, Li Lay-hing.
Setelah tahun ketiga belas Khong-hi naik takhta, karena desakan pemerintah Boan, diam-diam Go Sam-kui hendak memberontak.
Teringat olehnya sisa pengikut Li Cu-sing yang justru merupakan ancaman belati di belakang punggungnya, apabila ia tidak memperoleh pengertian mereka dan gegabah menggerakkan pemberontakan, begitu mereka keluar dari bukit-bukit, ia sendiri pasti akan diserang dari depan-belakang, hal inilah yang sangat ia kuatirkan.
Situasi di Hun-lam waktu itu ibarat malam sebelum ada angin badai, orang-orang kepercayaan pemerintah Boan, para Gubernur propinsi-propinsi di barat-daya, Ping-lam-ong, utusan Cing-lam-ong dan pengikut Li Lay-hing, kesemuanya mengadakan gerakan 'perang dingin' di Kun-bing.
Karena keadaan yang ruwet itu, sampai lama Go Sam-kui tidak mendapatkan jalan keluar, akhirnya menuruti usul seorang stafnya, tanpa malu-malu lagi ia mengirim utusan membawa surat rahasia kepada Li Lay-hing yang ada di perbatasan Hun-lam dan Su-cwan, dengan maksud memperbaharui persahabatan.
Karena ajakan Go Sam-kui, L i Lay-hing berunding dengan stafnya, akan tetapi masing-masing berlainan pendapat, ada yang bilang Ge Sam-kui adalah orang yang menyebabkan tewasnya 'almarhum Kaisar' Li Cu-sing, mana bisa bekerjasama dengan musuh besar iri? Tetapi ada pula yang setuju bekerja-sama, dengan alasan kalau hendak melawan musuh 'bangsa asing' ke dalam harus mempersatukan segala kekuatan dahulu.
Akhirnya Li Jiak-sim memutuskan dengan satu perkataan, ia mengemukakan delapan huruf sebagai dasar siasat .
Thngo- wi-cu, sian-gwe-hou-lwe', artinya apabila kerja-sama dengan Go Sam-kui, harus pihak kita sendiri yang memegang peranan pokok, dan untuk melayani Boan-jing, tidak berhalangan mengesampingkan dahulu dendam lama pada Go Sam-kui.
Karena usulnya itu, Li Jiak-sim bahkan berani menghadapi bahaya besar, dengan seorang diri ia datang ke Kun-bing.
Begitulah, maka sewaktu Go Sam-kui bertemu dengan Li Jiak-sim yang ia sebut Li-kongcu, berulang-ulang ia memberi penjelasan dengan tertawa.
Tetapi dengan dingin Li Jiak-sim berkata.
"Ongya tak usah banyak omong lagi, kalau kami masih dendam, hari ini tak nanti kami datang di sini!"
"Itulah tepat, maka kami mengagumi Li-kongcu yang sangat bijaksana,"
Kata Go Sam-kui memuji.
"Pokoknya hari ini, kita harus mengusir pergi penjajah dahulu."
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Leng Bwe-hong berpantun, ia menyindir, mula-mula yang mendatangkan pasukan Boan adalah Go Sam-kui, kini yang akan mengusir pergi penjajah itu juga Go Sam-kui.
Po Tiau menjadi gusar, matanya berapi karena mendengar pantun sindiran orang.
"Apa yang kaukatakan?"
Bentaknya pada Bwe-hong.
"Ah, tidak, hanya iseng, maka aku berpantun,"
Sahut Leng Bwe-hong tertawa. Go Sam-kui kuatir urusan menjadi runyam, lekas ia berkata dengan tertawa.
"Congsu (orang gagah) ini sungguh suka iseng, tetapi hendaklah kita bicarakan urusan pokok saja. Ping-lam-ong Siang Go-hi dan Cing-lam-ong Kheng Cin-tiong sudah berjanji memberi sokongan di daerah selatan, menurut pandangariku sekali bergerak, pasti kita akan berhasil. Lihat, apakah ini bukan utusan dari Ping-lam-ong?"
Katanya sembari menuding ke arah Kim Khe.
"Ya, kami semua menurut apa yang menjadi kehendak Ping-se-ong,"
Kata Kim Khe membungkuk. Mendengar sebutan "Ping-se-ong"
Orang, tiba-tiba Go Samkui mendelik, katanya.
"Selanjutnya jangan menyebut aku Ping-se-ong lagi, kini jabatanku adalah 'Thian-he-cui-liok-taygoanswe, Hin-beng-tho-lo-tay-ciangkun!"
Habis itu, dengan tersenyum ia berkata lagi pada Li Jiaksim.
"Li-kongcu biasanya pandang mengusir penjajah sebagai kewajiban utama, kini tentunya tiada alasan lagi bukan?"
Dengan jabatan yang Go Sam-kui sebut tadi ia artikan, 'Panglima tertinggi angkatan darat dan laut, jendral penegak kerajaan Beng dan pengusir bangsa asing'. Akan tetapi Li Jiak-sim menyambut dengan tersenyum dingin, katanya.
"Soal pemberontakan adalah mudah, hanya teks proklamasi yang susah ditulis!"
"Mohon tanya, jabatan Thian-he-cui-liok-tay-goanswe dan Hin-beng-tho-lo-tay-ciangkun, siapakah yang menganugerahi?"
Tiba-tiba Leng Bwe-hong menyela.
"Kalau ada orang menanyakan nasib Eng-bing-ong, bagaimana pula jawaban Tay-ciang-kun?"
Eng-bing-ong adalah keturunan lurus dari kerajaan Beng, juga adalah kekuatan Beng terakhir yang melawan Boan-jing di selatan.
Eng-bing-ong telah dikejar oleh Go Sam-kui sendiri sampai di Birma, kemudian dapat ditangkap dan dihukum gantung olehnya.
Dengan pertanyaan Leng Bwe-hong itu terang lebih mirip ia mencaci-maki di hadapan orang, tetapi belum Go Sam-kui bersuara, dengan cepat Po Tiau telah mencabut pedangnya dan ditusukkannya ke arah Leng Bwe-hong, namun Jiak-sim telah mengebas lengan bajunya terus menghadang di tengah kedua orang.
"Berhenti!"
Teriak Go Sam-kui juga. Dengan muka merah Po Tiau menarik kembali pedangnya, akan tetapi ia masih memandang Leng Bwe-hong dengan melotot.
"Harap Tay-ciangkun jangan gusar,"
Ujar Jiak-sim kemudian.
"Perkataan Leng-tayhiap walaupun menyinggung, tetapi bukannya tanpa alasan!"
"Alasan apa? Harap terangkan!"
KataGo Sam-kui dingin.
"Baiklah, karena Tay-ciangkun mengadakan pertemuan ini dengan sungguh hati, maka tentu tak akan mencela perkataanku yang terus terang,"
Kata Li Jiak-sim. Dan sambungnya.
"Dengan kedudukan Tay-ciangkun kini, kalau masih pakai semboyan 'Hwan-jing-hok-beng' sebagai daya tarik, itu mungkin tidak cocok. Kerajaan Beng hancur di tangan Tay-ciangkun, hal itu seluruh rakyat cukup mengetahui, kini kalau Ciangkun masih menyebut diri sendiri Hin-beng-biat-lo, aku kuatir susah untuk dipercayai rakyat!"
Karena kata-kata ini, Go Sam-kui menyeringai, ia menjadi malu, tetapi di dalam hati luar biasa marahnya, ia coba menahan perasaan dan bertanya.
"Kalau begitu, menurut Likongcu jalan apa yang lebih sempurna?"
"Daripada memakai istilah Hwan-jing-hok-beng adalah lebih baik pakai semboyan Ki-lo-bin-han, dan pula daripada menggunakan nama Tay-ciangkun, adalah lebih baik memakai nama kakakku sebagai penggerak,"
Kata Li Jiak-sim dengan terus terang.
"Bolak-balik hanya akan menguntungkan pihakmu saja dan menyuruh kami berjuang untuk kamu,"
Kata Po Tiau dengan gusar.
"Aku hanya pilih jalan menguntungkan semua pihak dan mengharap bisa mengusir bangsa asing, lain tidak. Tetapi kami pun tidak nanti merendah pada orang lain,"
Sahut Li Jiaksim mendongkol.
"Li-kongcu betul-betul lelaki sejati,"
Kata Go Sam-kui tertawa sambil bangkit.
"Urusan ini sementara susah diputuskan, biarlah lain hari dirundingkan lagi!"
Habis itu, katanya pula pada Po Tiau.
"Sementara kau tineaal di sini melavani nara tetamu, aku mengundurkan diri dahulu."
Sementara bicara, dengan pelahan ia pun mencolek dan memberi tanda pada Po Tiau. Diiringi para perwira dan orang-orang kepercayaannya, Go Sam-kui tertindak pergi, sampai di depan pintu tiba-tiba ia memberi pesan lagi.
"Po Tiau, selesai kau mengantar tamu, lekas kembali!"
Dan sesudah Go Sam-kui pergi, tanpa berkata lalu Po Tiau mengantar pergi para tamu yang lain.
Dalam ruangan kini hanya Li Jiak-sim, Lauw Yu-hong dan Leng Bwe-hong serta Po Tiau saja, sesudah mengantar tamu yang lain, Po Tiau terus duduk di tempatnya semula, ia tidak mengantar Leng Bwehong bertiga.
Li Jiak-sim mengira tentu karena bentrokan tadi, maka orang sengaja dingin kepada mereka, maka dalam hati ia menertawai Go Sam-kui dan Po Tiau terlalu sempit pikiran, maka ia pun tidak ambil perhatian akan hal itu.
Tetapi Leng Bwe-hong yang sudah kawakan berkelana di dunia Kangouw, ia menjadi curiga.
Sesudah berjalan beberapa tindak, waktu berpaling ia lihat Po Tiau sedang tertawa sinis.
"Awas, Li-kongcu!"
Seru Bwe-hong dengan tiba-tiba.
Akan tetapi sudah terlambat, mendadak Po Tiau menekan dinding di sebelahnya, lalu terdengar suara gemuruh, lantai tengah ruangan besar itu tiba-tiba ambles ke bawah.
Lekas Bwe-hong menggunakan ilmu meringankan tubuh yang hebat, tiba-tiba ia mengenjot tubuhnya meluncur menubruk ke arah Po Tiau.
Cepat juga Po Tiau segera menyambitkan sebuah cawan emas, namun Leng Bwe-hong sempat berkelit mengelakkan serangan orang, dan bagai elang ia masih menubruk Po Tiau.
Datangnya Leng Bwe-hong terlalu cepat, Po Tiau tertegun sejenak dan tahu-tahu Bwe-hong sudah menerjang sampai di depannya.
Dalam gugupnya, Po Tiau memukul cepat dengan kedua tinjunya.
Bwe-hong tidak mencoba berkelit, dengan menahan sakit kena pukulan orang, ia dapat merangkul tubuh Po Tiau.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu itu jebakan lantai yang ambles itu masih belum kembali, dengan masih merangkul Po Tiau sambil sekali membentak Leng Bwe-hong melompat ke dalam lubang lantai yang beberapa tombak dalamnya itu.
Di bawah lubang itu gelap gulita, Bwe-hong menunggu setelah menancapkan kakinya dengan baik, barulah ia berteriak memanggil.
"Lanw-toaci, kalian adadimana?"
"Leng-toako, kami ada di sini,"
Suara nyaring menjawab di suatu pojok.
Lantas Bwe-hong melepaskan rangkulannya pada tubuh Po Tiau dan ia melangkah hendak mencari kawannya, tak tahunya begitu tubuhnya terlepas, kembali Po Tiau memukul lagi dengan cepat, Leng Bwe-hong tidak tinggal diam, ia tangkis pukulan itu.
"Kaucari mampus?' bentak Bwe-hong. Tapi Po Tiau tak menghiraukan, dengan gusar beruntun ia memukul lagi, tiap pukulan mengarah tempat berbahaya. Tadi Leng Bwe-hong telah merasakan beberapa kali pukulan Po Tiau, ia tahu kekuatan lawan tidak lemah dan tak bisa dibuat gegabah, maka dalam kegelapan itu segera ia keluarkan gerakan 'Pat-kwa-yu-sin-cio-hoat' (semacam gerak menggeser tubuh terus menerus), ia mengitari Po Tiau dan balas menyerang kalau ada kesempatan yang baik. Tapi Po Tiau juga bukan sembarang orang, dalam keadaan gelap, ia dapat mendengarkan angin membedakan tempat, pukulannya tidak pernah kendor, selalu mengarah dimana Leng Bwe-hong menancapkan kaki. Bwe-hong mengenali gerak yang dimainkan orang adalah Lo-han-kun dari golongan Siau-lim-si, yang mengutamakan serangan cepat dan tenaga besar, begitu hebat pukulannya, hingga susah dilawan begitu saja. Mendadak ia menggertak, kedua telapak tangannya bergerak cepat, telapak kanan membabat bagaikan pedang, telapak kiri membelah dan jari menotok bagaikan golok dan belati. Dalam keadaan gelap, Po Tiau hanya mendengar sambaran angin pukulan yang menderu keras, tiap serangan lawan selalu mencari jalan darah di tubuhnya. Ia terkejut sekali, ia pikir nama Leng Bwe-hong yang tersohor nyata bukan omong kosong belaka, di tempat gelap begini ternyata dapat mengincar tempat totokan dengan jitu. Di tempat gelap itu, Li Jiak-sim dan Lauw Yu-hong sudah mendengar juga suara pukulan, mereka tidak tahu Leng Bwehong sedang bertarung dengan siapa, hanya suara pukulan kedua belah pihak kedengarannya hebat dan luar biasa, mereka menjadi terheran-heran.
"Nona Lauw, apakah kau membawa ketikan api?"
Tanya Jiak-sim.
Ketikan api memang selalu dibawa orang yang berkelana di Kangouw, maka Yu-hong menyahut dan lantas menyalakan api, mereka mendekati kedua orang yang sedang bergebrak itu.
Melihat Yu-hong dengan pelahan mendekat, Bwe-hong tambah bersemangat, mendadak ia menggertak, sekali pukul ia membuat Po Tiau terpelanting, tapi begitu jatuh segera Po Tiau terus bangkit kembali, ia lolos goloknya dan membacok.
Cepat Leng Bwe-hong berkelit dan mengirim tendangan yang mengenai pergelangan tangan Po Tiau, hingga goloknya terpental, dengan sebat Bwe-hong memburu maju dan menyusul hantamannya telah membikin Po Tiau terguling lagi, terus diinjaknya dan membentak.
"Apakah kau masih bisa berkelahi lagi?"
Karena kena diinjak 'Yong-cwan-hiat' di punggungnya, Po Tiau merasakan seluruh tubuhnya seakan-akan hancur, sakitnya meresap ke dalam tulang.
"Kaubunuhlah aku!"
Teriak Po Tiau serak.
"Kalau aku mati, kau pun tak akan dapat hidup."
Mendengar itu, Leng Bwe-hong mengkerutkan kening, tibatiba ia angkat injakan kakinya dan menendang Po Tiau ke pojok.
"Siapa sudi membunuhmu!"
Bwe-hong membentak. Dan selagi Bwe-hong hendak bertemu dengan Lauw Yuhong, tiba-tiba terdengar ada suara gemericiknya air.
"Ah, kiranya ini adalah penjara air!"
Kata Bwe-hong dengan tertawa getir.
Sementara itu Po Tiau yang meringkuk di pojokan sana dalam keadaan tertotok, terdengar tertawa terkekeh-kekeh.
Li Jiak-sim menjadi gusar, ia angkat tubuh Po Tiau dan direndam ke kolam air penjara.
Selamanya Po Tiau hidup di dataran tinggi daerah barat-daya, ia tak pernah turun ke dalam air, kini kena direndam begitu, ia terkejut dan berteriakteriak seperti babi.
Setelah merendamnya berkali-kali, Jiak-sim mengangkatnya pula, dengan tertawa ia berkata mengejek.
"Coba, sekarang kau bisa tertawa lagi tidak.....?"
Dalam pada itu, suara air di luar mendadak berhenti lalu ada suara orang berteriak.
"Minta Li-kongcu berbicara!"
Dari sinar api Bwe-hong dapat melihat penjara air ini hanya terbikin dari papan kayu saja, bangunannya tidak begitu kuat, walaupun jendela dipagari dengan ruji-ruji besi, tetapi tidak susah untuk membobolnya, hanya saja di luar penjara itu penuh dikelilingi air di bawah tanah, sekalipun dapat merusak rumah penjara ini, toh tidak mungkin bisa buron.
Lalu ia mendekati jendela, dengan memegangi ruji besi ia membentak.
"Siapa? Ada apa?"
Orang di luar itu seperti dapat membedakan suara orang, ia balas membentak.
"Tidak perlu denganmu, suruh Li-kong-cu keluar!"
Dengan pelahan Li Jiak-sim mendekati jendela, lalu berkata dingin tetapi lantang.
"Kamu punya Ongya pintar juga menggunakan tipu muslihat, cuma sayang kamu paling banyak hanya bisa mampuskan kami beberapa orang saja, tapi tidak mungkin menghabiskan saudara-saudara kami yang beratus ribu itu!"
"Ongya mana berani sembrono pada Kongcu,"
Kata orang itu, suaranya berubah halus.
"Hanya saja Kongcu yang terlalu bandel, maksud Ongya ialah ingin Kongcu membuat satu surat kepada kakak Kongcu dan minta supaya ia angkat senjata memasuki Oupak, dan kita kedua belah pihak terus berserikat! Jika Kongcu setuju, segera dapat keluar!"
Mendengar itu, Jiak-sim tahu bahwa Go Sam-kui hendak menggunakan dirinya sebagai jaminan dan berharap laskarnya bertempur dahulu dan merekalah yang mengeduk keuntungannya.
"Tak perlu lagi tawar menawar,"
Katanya kemudian dengan tertawa dingin.
"Jika kau memang sungguh-sungguh hendak memberontak pada pemerintah Boan-jing, maka seharusnya segera mengganti nama kesatuanmu, mengganti dandanan pakaianmu dan mengakui sebutan kerajaan Tay Sun, soal jahanam Go Sam-kui ini, andaikata tidak bunuh diri buat menebus dosanya, ia karus menyerahkan mandat dan mengundurkan diri selamanya!"
Tiba-tiba di luar menjadi sepi, suara air kembali berbunyi dengan kerasnya, dengan cepat air hampir menggenangi jendela.
Li Jiak-sim tertawa dingin lagi berulang-ulang, ia tak ambil perhatian air yang hampir masuk jendela itu.
Mendadak suara air kembali berhenti, di atas penjara itu tiba-tiba terbuka sebuah lubang, lalu ada orang mengerek turun keranjang yang penuh berisikan makanan.
"Harap Li-kongcu dahar,"
Kata seseorang di atas. Yu-hong memandang makanan itu, tetapi ia tak berani menyentuh. Sebaliknya Leng Bwe-hong lantas saja mengambil makanan itu dan dimakan dengan lahapnya.
"Saat ini mereka masih belum berani meracuni kita,"
Katanya tertawa sambil terus melangsir makanan ke dalam perutnya. Waktu berkata ia melirik Po Tiau, lalu ia lemparkan sebagian makanan padanya. Tetapi Po Tiau menjadi tergerak pikirannya, ia mendapatkan akal.
"Jangan turunkan makanan lagi, aku dapat menahan lapar!"
Demikian teriaknya keras pada orang di atas.
Dengan gusar Li Jiak-sim menendang orang pula hingga Po Tiau lagi-lagi terjungkal namun ia masih tetap tertawa terkekeh-kekeh.
Kiranya Po Tiau menduga dalam keadaan begitu mereka bisa saling bertahan, Go Sam-kui tak berani membunuh mereka, mereka pun tak berani membunuh dirinya, biar semua menderita kelaparan, kalau sudah terlalu lapar, tentu mereka akan menyerah dengan sendirinya.
Malahan ia telah menghitung, jika semua sudah kelaparan, lemas dan tak bertenaga, orang-orang di luar tentu bisa menerjang masuk dan ia sendiri bisa terlepas dari genggaman mereka.
Dan karena teriakan Po Tiau itulah, betul saja bagian atas telah menghentikan pemberian makanan.
Beruntun empat hari telah berlalu, mereka menjadi kuatir karena kelaparan, bahkan tiba-tiba Leng Bwe-hong jatuh sakit pula, seluruh tubuhnya gemetaran tak hentinya.
Yu-hong sendiri sudah lemas tak bertenaga, namun dengan pelahanlahan ia mendekati Leng Bwe-hong, ia pegang tangan orang dan memandangnya sedih.
Walaupun dalam penjara air yang gelap, namun Leng Bwehong dapat merasakan betapa sedih orang lewat kedipan mata Lauw Yu-hong, hatinya terasa bergetar.
Sungguh sakit kejang yang ia rasakan sekarang ini boleh dikata bukan apaapa kalau dibandingkan penderitaan batinnya selama ini.
"Bwe-hong, aku kuatir kita tak dapat keluar lagi dengan hidup,"
Demikian kata Lauw Yu-hong setengah meratap. Dan sambungnya.
"Maukah kaukatakan apa yang sebenarnya kepadaku?"
Maka Bwe-hong melepaskan tangan orang, seperti biasa ia menekuk-nekuk jarinya.
"Apabila aku tahu pasti sudah sampai pada ajalku, sebelum mangkat akan kukatakan semuanya padamu,"
Sahutnya sambil menghela napas. Nampak Leng Bwe-hong menekuk-nekuk jari, Lauw Yuhong memegang lagi kedua tangan Bwe-hong, dengan suara cepat seperti letusan ia berkata.
"Selama hidupmu pernahkah kau berbuat sesuatu yang paling kejam? Kalau pernah, pasti kau tahu bahwa penderitaan batin itu lebih sukar dirasakan daripada mati! Sahabatku yang kubunuh itu, kalau betul-betul ia sudah tewas, sungguh aku akan menyesali diriku selama hidup ini. Tetapi apabila ia sepertimu, ia tidak tewas melainkan pergi ke tempat yang jauh sekali dan selama hidupnya ia terus mendendam padaku, maka itu tidak saja membuatku menyesal seumur hidup, bahkan akan menempatkan diriku dalam impian buruk setiap saat, dalam mimoi tentunva keadaan gelap gulita seperti dalam menara air ini...!."
"Apa yang kaukatakan cukup kejam,"
Sahut Leng Bwe-hong dengan perasaan getir.
"Aku harap sahabatmu itu lebih baik sudah tewas saja, kalau ia masih hidup, tragedi ini mungkin akan lebih kejam lagi. Ah, aku belum pernah menceritakan padamu keadaan sewaktu aku masih anak-anak, kini kita sudah dewasa, tetapi ada kalanya kita akan terkenang pada cara berpikir masa anak-anak, bukankah begitu?"
"Ya. ceritakanlah!"
Kata Yu-hong pelahan dengan sinar mata menanti. Bwe-hong melepaskan dulu tangannya yang dipegang Yuhong.
"Ibuku sangat mengasihiku, tetapi kadang kala juga sangat bengis,"
Tutur Leng Bwe-hong sambil menekuk-nekuk jari lagi.
"Ada suatu kali seorang anak lain mengakaliku dan aku telah memukulnya tetapi ibuku malahan memarahiku. Aku sangat penasaran, segera aku meninggalkan rumah secara diam-diam dan rebah di atas suatu bukit dan berpikir, 'Sekarang ia tentu mengira aku telah mati, saat ini ia tentu sedang menangis sedih. Dengan pikiran itu, hatiku seperti terhibur, tetapi juga menderita Hai, Yu-hong, kau sedang tertawa atau menangis? Kau bilang pikiran anak-anak itu sangat lucu bukan?"
"Ya, mengapa kau ingin menyiksa orang yang kaukasihi?"
Tanya Yu-hong dengan tersedu-sedan.
"Aku sendiri tidak tahu,"
Sahut Bwe-hong.
"Waktu itu mungkin aku berpendapat kalau ibu begitu sayang padaku, seharusnya ia tidak memarahiku tanpa membedakan benar atau salah. Bukankah pikiran anak-anak memang begitu?"
Napas Yu-hong menjadi cepat, untuk ketiga kalinya ia genggam tangan Leng Bwe-hong.
"Tetapi kini kau bukan anak-anak lagi,"
Katanya kemudian.
"Aku tidak membicarakan urusan kita, tentu aku bukan pula sahabatmu itu,"
Kata Leng Bwe-hong dengan menahan perasaandan sengaja memperdengarkan suara tertawa.
"Tetapi aku yakin ia pernah berpikir sepertiku,"
Katanya melanjutkan.
"Dan lagi kalau ia sepertiku, dan masih muda sekali sudah pergi ke tempat yang jauh dan dingin, eh, aku lupa mengatakan padamu tadi, aku sering sakit kejang-kaku, penyakit ini justru didapat di tempat yang jauh dan dingin itu."
"Dan apakah sedikitpun kau tak bisa memaafkan dia?"
Tanya Lauw Yu-hong cepat sembari menggenggam kencang tangan orang, suaranya terharu tapi penuh harapan akan jawaban orang yang pasti. Tiba-tiba Bwe-hong berbisik.
"Kukira masih bisa "
Belum selesai ia bicara, tiba-tiba dari atas penjara itu telah dikerek turun saru orang. Meski sudah kelaparan beberapa hari, namun Li Jiak-sim masih cukup kuat untuk bergerak.
"Siapa!?"
Segera ia menegur dan memapak maju ketika dilihatnya dari atas dikerek turun orang itu.
Tetapi orang itu tidak menjawab, wajah mukanya hampir tertutup semua oleh mantelnya dan pelahan-lahan ia mendekat.
Waktu berhadapan mendadak Li Jiak-sim pegang pergelangan tangan orang dan sekuat tenaga ia pun memencet urat nadi 'Koan-goan-hiat' dengan kedua jarinya.
Meski dalam keadaan kelaparan dan tenaganya banyak berkurang, namun ilmu menotok Li Jiak-sim masih cukup jitu dan hebat, pula 'Koan-goan-hiat' merupakan urat nadi yang sangat berbahaya di badan orang, asal dipencet keras, pasti orangnya akan kaku kesemutan dan lumpuh seketika.
Tak terduga oleh serangan Li Jiak-sim yang mendadak, orang itu hanya bersuara heran, dan tiba-tiba Jiak-sim merasakan tangannya seakan-akan meremas kapas lunak, keruan ia terkejut, ia tahu itu adalah ilmu menutup jalan darah yang hebat dari kaum Lwekeh, sekalipun ia sendiri baru memahami sedikit dasarnya saja, ia menjadi heran darimana Go Sam-kui mendapatkan seorang tokoh silat yang begini lihai? Tak tahunya orang tadi lantas tersenyum, malahan ia membisiki telinga Li Jiak-sim dan menghiburnya.
"Li-kongcu jangan kuatir, kita adalah kawan sendiri. Hendaklah kaukatakan padaku, apakah Leng Bwe-hong berada di sini?"
Jiak-sim menjadi jengah oleh sapaan orang, lekas ia lepaskan tangannya terus menunjukkan tempat dimana Leng Bwe-hong rebah.
Sinar mata orang itu menyorot tajam, cepat saja ia mendekati Leng Bwe-hong.
Dalam pada itu Lauw Yu-hong sedang terombang-ambing bagai orang mabuk dan tak sadar kalau ada orang sedang mendatangi, ia masih memegang kencang tangan Bwe-hong dan menegasi lagi.
"Apa katamu? Katakanlah sekali lagi. Kau bilang bisa dimaafkan bukan? Jika begitu, jadi kau memang orang itu?"
Bwe-hong tidak menjawab, tetapi mendadak ia kipatkan tangannya dan mendorong pergi Yu-hong sembari membisikinya.
"Ada orang datang!"
Yu-hong jatuh terduduk di lantai karena dorongan Bwehong itu, dan barulah ia sadar kembali seperti mendusin dari impian buruk.
Tetapi tiba-tiba ia melompat bangun, entah tenaganya timbul darimana, mendadak ia hantam orang yang datang tadi dengan gusar.
Namun sedikit berkelit orang itu telah menghindarkan pukulan Lauw Yu-hong itu hingga karena terlalu besar mengeluarkan tenaga, maka Yu-hong sendiri terpelanting ke depan dengan sempoyongan, syukur dengan cepat ia telah ditahan oleh orang yang baru datang ini dan kembali ia dengan bisik-bisik berkata di telinga Yu-hong.
"Sadarlah, Titli (keponakan perempuan) yang baik! Akulah yang datang buat mengobati kalian."
Dan setelah orang itu mengulangi bisikannya dua kali, barulah Yu-hong mengenali suara itu, sekonyong-konyong ia menangis tergerung-gerung.
Orang yang datang itu ternyata tinggi sekali kepandaiannya dan matanya sudah terlatih, dalam kegelapan ia telah memeriksa muka Yu-hong lalu ia memandang Leng Bwe-hong yang masih rebah itu.
"Jangan kuatir, biar kuobati Leng Bwe-hong dahulu,"
Kata orang itu kemudian sembari menepuk-nepuk pundak Yu-hong.
Agaknya ia menyangka Yu-hong menangis karena tak tahan derita dalam penjara itu, tak tahunya soal lain.
Mendengar orang menyebut Leng Bwe-hong barulah Yuhong ingat kembali, dengan masih terguguk segera ia pun menjawab.
"Aku tak apa-apa, Siok-siok (paman), lekas kauperiksa keadaannya, aku kuatir"
Tetapi ia tidak melanjutkan ucapannya.
Orang itu menjadi heran dan memandang Yu-hong sekejap, ia geleng-geleng kepala dan lantas berjongkok untuk memeriksa denyut nadi Leng Bwe-hong.
Sementara itu Bwe-hong sudah dapat melihat jelas siapa adanya pendatang itu, dan ketika ia hendak menyapa orang, tiba-tiba dia malah memberi tanda supaya jangan bersuara.
Dan setelah selesai memeriksa urat nadinya, kemudian orang itu mengeluarkan sebatang jarum perak yang hanya beberapa inci panjangnya dan tampak putih mengkilat.
Dengan cepat pula ia membuka baju Leng Bwe-hong dan tiba-tiba ia tusukkan jarum perak itu ke tubuhnya.
Dalam pada itu Li Jiak-sim juga sudah berada dekat mereka dan demi melihat kekuatan orang itu, dalam terkejutnya segera ia membentak.
"Apa yang kaulakukan?"
"Jangan kuatir, ia sedang mengobati Bwe-hong, ia adalah tabib sakti,"
Kata Lauw Yu-hong cepat sambil berpaling ke jurusan lain ketika orang itu mencopoti baju Leng Bwe-hong.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat jarum orang yang panjang itu tertusuk hampir setengahnya ke dalam tubuh Leng Bwe-hong dan tampaknya seperti tidak terasa apa-apa, dalam terkejutnya tadi, Li Jiaksim menjadi heran juga.
Setelah ditusuk-tusuk sampai lama, akhirnya terdengarlah Leng Bwe-hong merintih pelahan.
Dan barulah orang itu mencabut jarum peraknya.
"Sudahlah, kini telah baik,"
Demikian kata orang itu dengan tertawa. Dan betul saja, dengan cepat Bwe-hong telah melompat bangun dan terus memberi hormat pada orang itu sambil memuji.
"Pengobatan sakti dengan jarum. Sungguh sangat mengagumkan!"
Dalam pada itu, Li Jiak-sim mendengar dari belakangnya seperti ada suara tindakan, ketika ia berpaling, ia lihat Po Tiau sedang mendekati mereka.
Mendadak, begitu Po Tiau dekat, cepat sekali Leng Bwe-hong mengulur jarinya dan dengan tepat kena menotok 'Hun-hin-hiat' di pinggang Po Tiau hingga terguling tanpa dapat lagi berkutik.
Orang tadi memandang sekejap pada Po Tiau yang menggeletak itu, kemudian ia menuding ke atas.
Waktu Li Jiak-sim mendongak, lapat-lapat dapat dilihatnya di atas penjara itu seperti ada bayangan orang.
"Li-kongcu "
Tiba-tiba orang itu berkata dengan suara keras, dan lanjutnya.
"Dengan maksud baik Ongya mengirim diriku untuk menyembuhkanmu, tujuannya memang tiada lain kecuali ingin bersekutu dengan pihakmu, tetapi mengapa Kongcu masih begitu kukuh?"
Habis itu, ia membisiki Li Jiak-sim.
"Lekas Li-kongcu jawab!"
Jiak-sim sangat cerdik, dengan segera ia dapat menangkap maksud orang.
"Tutup mulutmu, tabib,"
Demikian ia pura-pura membentak.
"Aku menghargai jasamu mengobatiku, tapi urusan negara yang besar kau tidak berhak ikut campur bicara."
Orang itu pura-pura menghela napas, lalu ia sengaja mengomel kalang kabut, dan karena itu kemudian Li Jiak-sim berkata lagi dengan suara yang lebih halus.
"Aku bersedia bersahabat denganmu, tetapi kalau kau mau jadi suruhan Go Sam-kui, pasti usahamu ini akan sia-sia belaka!"
Orang itu menghela napas lagi, lalu ia tarik tali kerekan untuk kemudian ia pun dikerek ke atas. Seperginya orang itu, Leng Bwe-hong tertawa saling pandane dengan Li Diiak-sim. Segera ia pun melepaskan totokan Po Tiau.
"Kau hendak membikin kami mati kelaparan, tetapi Ongyamu justru tidak mau menuruti pikiranmu itu!"
Dengan tersenyum Bwe-hong mengejek orang.
Betul saja, belum habis ia bicara, tiba-tiba dari atas telah dikerek turun makanan.
Segera Li Jiak-sim dan kawannya melalap makanan itu sekenyang-kenyangnya dan sisa makanan serta tulang-tulang dilemparkan kepada Po Tiau.
Keruan saja Po Tiau mendongkol setengah mati, percuma saja ia ikut menderita lapar beberapa hari, akhirnya orang di atas ternyata tak mau menuruti rencananya.
Dan sejak itulah, tiap dua hari sekali tabib itu pasti mengunjungi mereka, dan selalu tabib itu membawakan obat kuat untuk menambah tenaga Leng Bwe-hong bertiga, malahan tiap kali datang ia sengaja bersenda gurau dengan Li Jiak-sim hingga lambat laun bayangan orang di atas penjara itu mulai berkurang daripada tadinya.
Setelah sepuluh hari, kesehatan Leng Bwe-hong dan kawannya sudah pulih kembali.
Suatu hari, tiba-tiba tabib itu melompat turun dari atas dan terus saja meneriaki mereka.
"Hayo, lekas ikut aku pergi!"
Di sebelah sana Po Tiau sedang bingung entah apa yang terjadi, tahu-tahu ia telah dipukul roboh oleh orang itu dengan Hun-kin-co-kut-hoat atau ilmu bikin tulang meleset dan bagian urat keseleo, hingga seketika Po Tiau jadi lemas tak dapat berkutik.
"Coba pinjam kau punya Kim-hun-tau,"
Dengan cepat tabib itu berkata pula pada Yu-hong sembari mengeluarkan sebuah belati. Li Jiak-sim mengerti maksud orang, maka cepat ia pun melepaskan senjata Liu-sing-tui dan disodorkan pada orang.
"Pakai saja ini mungkin lebih cocok,"
Demikian katanya.
"Sungguh cepat Li-kongcu memahami maksud orang,"
Puji tabib itu.
Mendadak belatinya tadi ditimpukkan dan menancap di dinding lubang penjara itu setinggi beberapa tombak, waktu ia enjot tubuh sekuatnya, bagai seekor burung yang menjulang ke angkasa, tangan kanannya memegang erat belati yang menancap itu, sedang sebelah tangan lain melepas Liu-sing-tui ke bawah.
Waktu Yu-hong ikut melompat ke atas setinggi mungkin, cepat sekali ujung bandul itu dapat dicekalnya dan ketika tabib tadi menarik dan diayun cepat, dengan enteng sekali Yu-hong telah melayang ke atas penjara air itu.
Ternyata tinggi penjara itu ada berpuluh tombak, dengan kepandaian tabib itu sudah tentu tidak susah untuk melompat keluar, tetapi ia menduga Yu-hong masih belum mampu sekali lompat keluar dari penjara, maka sengaja ia menggunakan belati yang menancap dinding itu sebagai tangga, lalu dengan gerak tali bandulan itu Yu-hong pun keluar.
Dan habis itu, menyusul Li Jiak-sim juga melompat keluar dengan cara yang sama.
Ketika sampai giliran Leng Bwe-hong, tiba-tiba ia kempit Po Tiau sekencangnya, ia tidak menyambut bandulan tali si tabib yang sedang diulurkan ke bawah, tetapi dengan sekali lompat setinggi beberapa tombak dengan sebelah kakinya ia mengenjot pada sisi dinding menyusul ia melompat naik terus menahan lagi dengan sebelah kaki ke sisi dinding yang lain, dan begitulah seterusnya hanya beberapa kali berganti gerakan, akhirnya ia pun melompat keluar dari penjara air.
"Ilmu meringankan tubuh yang hebat!"
Puji tabib tadi sambil menarik bandulannya, lalu ia pun menyusul melompat keluar.
Di atas lubang pintu penjara itu ternyata sudah menggeletak beberapa tubuh orang tanpa dapat berkutik, tak usah ditanya lagi tentu itulah perbuatan si tabib yang telah menotok roboh semua penjaga itu.
Tetapi dalam penjara sedikitpun Leng Bwe-hong tidak mendengar suatu suara, maka dapat dibayangkan betapa cepat gerak tangan si tabib itu.
Menotok tidak sulit, yang sulit ialah dalam sekejap bisa merobohkan beberapa orang sekaligus tanpa dapat berkutik.
Keruan saja Li Jiak-sim sangat kagum, dan baru sekarang ia dapat melihat jelas wajah tabib itu yang merah bercahaya, rambutnya sudah kelihatan penuh uban dengan jenggot bercabang tiga.
"Di dalam penjara belum sempat aku memperkenalkan padamu, maka kini biarlah kukatakan, ia adalah aku punya Sustok (paman guru) Pho Jing-cu!"
Demikian kata Yu-hong sebelum orang bertanya.
"O, kiranya Pho-locianpwe adanya, pantas kepandaiannya begitu tinggi!"
Ujar Li Jiak-sim girang. Habis itu ia hendak memberi hormat, namun Pho Jing-cu sudah keburu menarik badannya sembari berseru.
"Tempat ini bukanlah tempat saling memberi hormat, lekas ikut aku pergi saja."
Jalanan dalam istana itu agaknya sudah hapal bagi Pho Jing-cu, ia meloncat ke atas genting terus menuju ke taman di belakang istana. Tengah mereka berlari, tiba-tiba Po Tiau yang dikempit Leng Bwe-hong telah berteriak nyaring.
"Hayo kawan, kenapa belum keluar!"
Menyusul, mana, tiba-tiba mereka dihujani senjata rahasia dari berbagai penjuru.
"Kaucari mampus?"
Bentak Bwe-hong gusar sambil mengempit lebih kencang, keruan saja Po Tiau tak tahan, ia pingsan.
Habis itu, cepat sekali Leng Bwe-hong sudah melolos pedang 'Yu-liong-kiarn', begitu bergerak, senjata rahasia musuh telah tersampuk jatuh oleh sinar putih yang kemilauan.
Namun begitu dari bawah senjata-senjata rahasia masih terus membanjir.
Sementara Jiak-sim sudah memutar juga senjata Liu-singtui hingga banyak senjata rahasia yang terbentur jatuh.
Cara Pho Jing-cu lebih hebat lagi, ia hanya mengebas lengan bajunya, dan hujan senjata rahasia musuh itu ternyata tiada satupun yang bisa menyentuh tubuhnya.
Dalam pada itu, Leng Bwe-hong sempat mengeluarkan beberapa 'Sin-bong', senjata rahasianya yang tunggal itu.
"Kalau menerima tanpa memberi itu kurang hormat!"
Bentaknya tiba-tiba sambil mengayun tangannya, beberapa sinar hitam keemas-emasan bagai kilat telah menyambar ke bawah, menyusul terdengarlah jeritan ngeri, beberapa orang Go Sam-kui sudah terbinasa ditembus oleh Sin-bong.
Dan ketika di bawah ribut oleh serangan balasan itu, cepat sekali Jing-cu membawa kawan-kawannya melayang ke taman belakang.
Tatkala itu Po Tiau masih tetap dikempit Leng Bwe-hong dan lambat laun sudah sadar kembali.
Dari belakang Li Jiaksim dapat melihat wajah Po Tiau mengunjuk senyum mengejek.
Pikirannya tergerak mendadak, dan betul saja tahu-tahu terdengar suara "fung", dari depan mereka telah disemprot dengan api belerang yang lihai, lekas mereka menyingkir ke samping.
Akan tetapi dari empat penjuru, tiba-tiba api sudah menyemprot lagi dan semuanya mengincar diri Leng Bwehong bagai naga berapi yang hendak menelannya mentahmentah.
Bwe-hong menjadi gusar, dengan sekali geraman ia melompat ke atas api yang berkobar itu dan mendadak menubruk ke bawah taman, ia menggelundung untuk memadamkan api yang sementara itu sudah menjilat tabuhnya, dan karena itulah Po Tiau terlempar pergi sejauh beberapa tombak dari kempitannya dengan muka dan kepala ikut terbakar juga.
Tetapi begitu terlempar segera Po Tiau melompat bangun terus menyambar sebatang toya dari bawahannya dan bagai kerbau mengamuk ia memimpin orang-orangnya mengembut maju, sungguh ketangkasan Po Tiau tidak menghilangkan pamornya sebagai jago utama Go Sam-kui.
Sementara itu Pho Jing-cu dan lain-lain terpaksa ikut melompat ke bawah, segera mereka terkepung dalam taman yang penuh manusia itu, beberapa orang di antaranya membawa alat semprot berdiri paling depan dan segera menyemburkan api hingga seketika seluruh taman itu berkobar dengan hebatnya.
Bwe-hong berempat berusaha meloloskan diri dengan menerjang ke sana kemari, celakanya di antara api yang berkobar hebat itu, mereka masih dihujani pula dengan senjata rahasia.
Lambat laun karena semburan api itu, mereka berempat terpaksa berpencar, dengan ilmu mengentengkan tubuh yang gesit mereka mencoba bertahan, tetapi kemana mereka menyingkir, selalu api menyambar ke arah mereka.
Bwe-hong menjadi sengit, tiba-tiba dilepasnya baju luarnya, ia mengeluarkan ilmu 'Tiat-poh-san' atau baju kain baja, ia kebas ke sana dan kebut ke sini dengan kuat hingga membawa sambaran angin yang keras.
Ketika seorang penyembur api itu menyemprotkan apinya ke arah Bwe-hong, karena kebasan bajunya, tahu-tahu api itu membalik hingga senjata makan tuan, berbareng itu Bwe-hong menubruk maju, ia menutup tubuhnya dengan baju untuk menjaga semprotan api lainnya, berbareng itu segenggam Sin-bong yang sudah disiapkan lantas dihamburkan.
Dalam kesimanya karena ketangkasan Bwe-hong itu, para penyembur api itu tak sempat menghindarkan diri ketika mendadak dilihatnya sinar hitam keemasan menyambar datang, terpaksa mereka angkat bumbung semprotan untuk menangkis, dan sebab itulah berturut-turut terdengarlah letusan, bumbung semprot itu meledak dan belerang membakar balik, tanpa ampun lagi parapenyemprot itu terbakar hidup-hidup bagai babi panggang.
Dan karena semburan api yang membalik itu, serdaduserdadu di sekitarnya lari tunggang-langgang.
Sementara itu dengan kain bajunya yang sudah terbakar juga Bwe-hong lantas menguber, ia mengayun sekuatnya baju berapi itu ke tempat bergerom-bolnya orang banyak, sedang sebelah tangan yang lain segera melolos pedangnya, ia merangsek musuh dengan sengit.
Semprotan api itu guna mencapai jarak jauh, bila musuh sudah dekat tidak berguna lagi, maka terpaksa para penyemprot lain melemparkan bumbung semprot mereka terus melawan dengan mencabut golok.
Karena diterjang Bwe-hong, jurusan ini segera menjadi bobol, kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Pho Jingcu dan segera diikuti oleh kawan-kawannya, bagaikan banteng luka yang tak tertahankan mereka berempat menerjang musuh.
Namun serdadu-serdadu penjaga taman itu terlalu banyak, waktu melihat mereka menerjang keluar, dengan segera garis pengepungan dilakukan dari segala jurusan hingga seluruh taman seketika berwujud lautan senjata.
Mereka mencoba ganti siasat, Bwe-hong membuka jalan di depan.
Jing-cu sendiri menjaga di belakang Jiak-sim dan Yuhong diapit di tengah.
Jiak-sim memutar Liu-sing-tui dengan kencang hingga musuh terpaksa tak berani mendekat, sedang Yu-hong mencari kesempatan untuk membantu Leng Bwehong membuka jalan.
Meski Yu-liong-kiam bisa memotong besi seperti merajang sayur, namun jumlah musuh terlalu banyak, pula kalau terbentur senjata berat juga tak mempan, maka meski Bwehong berusaha sekuat mungkin dibantu kawan-kawannya hingga pertempuran itu berlangsung sangat dahsyat, akhirnya mereka masih tetap terkurung rapat tak berdaya.
Pada saat yang genting itulah, mendadak Jing-cu bersuit aneh berkali-kali, menyusul terdengar suara tiupan terompet yang panjang, tentu saja para serdadu penjaga taman istana itu kaget dan tertegun.
Mendadak pula suara gemuruh terdengar, tembok benteng sebelah barat taman itu meledak hingga batu pasir beterbangan dan serdadu-serdadu yang dekat dengan tembok itu banyak yang ikut hancur lebur.
Pengepung Bwe-hong dan lain-lainnya meski sudah terlatih, namun menghadapi suasana panik itu terpaksa mereka pun mendekam di tanah hingga kesempatan itu digunakan oleh Leng Bwe-hong dan kawan-kawan untuk menerjang keluar kepungan.
Menyusul suara ledakan itu, dari luar taman telah menerjang masuk dua-tiga puluh orang laki-laki tegap di bawah pimpinan seorang gadis berbaju hijau dan seorang pemuda berbaju kuning.
Begitu menerjang masuk rombongan orang ini segera membidikkan anak panah yang membawa batu dan botolbotol berisi obat peledak ke tempat musuh bergerombdl, karena itulah api kembali berkobar dan debu berhamburan hingga musuh kini yang menjadi kacau balau.
Sebaliknya Jiak-sim tidak mengenal sepasang muda-mudi ini, tetapi selebihnya yang lain dikenal semua sebagai bawahannya.
Kiranya sebelum ia masuk ke kota Kun-bing, lebih dulu ia sudah menyelundupkan bawahannya ke dalam kota untuk menjaga segala kemungkinan.
Hanya ia tidak mengerti cara bagaimana bawahannya itu bisa berada di bawah pimpinan muda-mudi yang tak dikenalnya itu? Dalam pada itu makin bertempur rombongan orang itu semakin gagah, lebih-lebih si pemuda baju kuning dengan sepasang pedangnya yang bersinar mengkilat dan membawa suara gemuruh sewaktu senjatanya diayun, siapa berani merintangi pasti mati.
Di sebelah sana, Po Tiau menjadi murka juga, ia mengincar Li Jiak-sim dan mendadak menubruk pemuda ini, ia mengemplang kepala orang dengan toyanya tadi.
Lekas Jiak-sim mengayun Liu-sing-tui untuk menangkis hingga toya orang kena dilihat tali bandulnya, waktu ia menarik sekuatnya tak terduga ia sendiri yang terseret maju, keruan saja ia sangat terkejut.
Nampak kawannya dalam bahaya, dengan cepat Bwe-hong memburu maju.
Namun sebelum dekat, tiba-tiba dilihatnya pemuda baju kuning tadi telah menggeram sekali terus menubruk maju secepat terbang, tanpa bertanya lagi sepasang pedangnya tahu-tahu memotong ke tengah, karena itulah tali Liu-sing-tui kena terta-bas putus hingga bola bandulan itu mencelat ke udara sedang ujung toya juga tertabas sebagian.
Tentu saja Po Tiau dan Jiak-sim sama-sama terkejut, cepat mereka melompat mundur beberapa tindak.
"Dia adalah orang sendiri,"
Kata pemudi baju hijau yang ternyata adalah Boh Wan-lian pada pemuda itu sembari menunjuk Li Jiak-sim.
Dan tanpa berkata pula pemuda itu lantas menguber Po Tiau terus membacok lagi.
Lekas Po Tiau menggeser langkah dan memiringkan tubuhnya, toya yang terkurung itu tiba-tiba dipakai menjojoh dengan tipu 'Tiang-coa-jip-tong' atau ular panjang masuk goa.
Tetapi bacokan pemuda tadi hanya memakai sebelah pedangnya, pedang tangan kiri masih belum digunakan, maka dengan cepat dipakainya menangkis dan terdengarlah suara nyaring, tahu-tahu toya Po Tiau terkurung lagi sebagian.
Dalam pada itu pedang yang membacok tadi sudah ditarik kembali dan telah menusuk pula secepat kilat, maka menjeritlah Po Tiau, pundaknya telah kena tertusuk tembus, beruntung baginya masih bisa melompat kabur sambil menahan sakit.
Demi melihat kawannya terluka, Hwan Cing, satu di antara tiga perkasa dari istana, dengan cepat menggantikan maju, ilmu pedangnya 'Mo-hun-kiam-hoat' mengutamakan cepat dan gesit, mendadak ia melompat naik, dari atas ia menusuk muka orang, berbareng itu sebelah kakinya yang mengenjot ke atas terus memancal ke dada pemuda baju kuning.
Karena tusukannya itu, cepat si pemuda mengangkat pedangnya dengan gerakan 'Ki-hwe-liu-thian' atau mengangkat obor menerangi langit, dengan sekali 'mengobor' tahu-tahu senjata Hwan Cing terpental ke udara, namun demikian dada si pemuda telah kena dipancal kaki Hwan Cing dengan antap.
Nampak pemuda itu kena ditendang, lekas Leng Bwe-hong melayang maju hendak menolong, siapa tahu belum sempat ia mendekat mendadak tertampak Hwan Cing sendiri telah terpental pergi beberapa tombak jauhnya dan menggeletak terluka parah oleh getaran tenaga dalam orang.
Nyata si pemuda baju kuning itu memiliki Lwekang dan Gwakang yang sempurna.
Sungguh Bwe-hong terkejut sekali, usia pemuda itu belum ada tiga puluh tahun tetapi kepandaiannya sudah begitu tinggi, hanya dua-tiga gebrakan saja Po Tiau dan Hwan Cing sudah dibikin keok, tampaknya ilmu silat orang tidak di bawah dirinya.
Di lain pihak demi menyaksikan pemimpin mereka telah dikalahkan, para serdadu itu lari kocar-kacir.
Waktu Wan-lian bersuit sekali, maka dengan bebas ia membawa semua orang menerjang keluar melalui lubang tembok yang meledak tadi.
Di luar ternyata sudah menanti lebih dua puluh ekor kuda.
"Dua orang setunegansan. lekas mundur!"
Seru pula Boh Wan-lian.
"Mari kita bersama-sama satu kuda!"
Ajak Bwe-hong sambil menarik si pemuda baju kuning tadi.
Pemuda itu tidak buka suara, ia pun tidak menolak.
Dan ketika sudah mencemplak ke atas kuda, serta merta ia mengempit perut binatang itu sekuatnya, karena kesakitan kuda itu berlari kesetanan hingga sekejap saja kawan-kawan mereka sudah tertinggal jauh.
Bwe-hong sedang heran akan diri orang, maka pelahan ia tekan nundak si DO muda sambil berkata.
"Sukalah kau oc lahan sedikit!"
"Hei, bagus kau!"
Jengek pemuda itu tiba-tiba dan tubuhnya sedikit tergetar. Mendadak ia pun melompat turun dari kuda dan berkata lagi.
"Kauhilang terlalu cepat? Baiklah kau menunggang sendiri saja!"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Habis itu ia terus berlari dengan cepat, begitu cepat sehingga terpaksa Bwe-hong mengeprak kudanya baru bisa menyusul.
Tak lama kemudian pemuda itu berhenti di bawah sebatang pohon Liu, lalu seenaknya saja ia bernyanyi-nyanyi tanpa menghiraukan orang lain.
Waktu Bwe-hong mendekat, ia pun tidak menggubris padanya.
Lagu yang dinyanyikan pemuda itu juga aneh, nadanya gembira tidak, sedih pun bukan, diam-diam Bwe-hong berpikir.
"Jangan-jangan sepertiku, dalam usia semuda ini ia telah mengalami macam-macam penderitaan?"
Maka ia mendekatinya. Dengan sopan ia menyapa lagi.
"Aku bernama Leng Bwe-hong dan datang dari Sinkiang. Dan dapatkah aku mengetahui nama dan she Hengtay (saudara yang terhormat) dan berasal darimanakah?"
Dengan memperkenalkan diri yang namanya sudah tersohor, Leng Bwe-hong berharap orang tergerak hatinya. Siapa sangka pemuda ini seolah-olah tak pernah mendengar nama Leng Bwe-hong, ia hanya mengangguk-angguk, sorot matanya guram dan menjawab.
"Aku sendiri tidak tahu siapa she dan namaku dan berasal darimana, aku justru ingin mencari seseorang yang bisa memberitahu padaku!"
Terkejut bercampur heran Bwe-hong oleh sahutan orang, pikirnya lagi.
"Apakah ada rahasianya dan sedang bersedih, maka namanya tidak mau diperkenalkan pada orang lain?"
Karena pikiran itu ia lantas berkata lagi.
"Kita sama-sama orang pengelana dan tak perlu harus kenal nama, tidaklah menjadi soal jika Hengtay tak mau katakan. Cuma saja atas bantuanmu tadi, sungguh aku sangat berterima kasih dan sebagai kawan maukah kita omong-omong?"
"Apa yang aku bisa omongkan?"
Sahut pemuda itu dengan tak acuh.
"Aku benar-benar seoerti bavi baru lahir, seeala aoa aku tidak tahu."
Dan bila dilihatnya wajah Bwe-hong mengunjuk rasa kurang senang karena jawabannya, ia telah membanting tangan dan berkata lagi.
"Apa yang kukatakan adalah sebenarnya, jika kau tidak percaya, aku bisa apa?"
Belum pernah Bwe-hong bertemu dengan orang seaneh ini, lama-lama ia mendongkol juga, maka waktu pemuda itu membanting tangannya, diam-diam ia mengumpulkan tenaga dan mendadak menggenggam tangan orang dengan kuat.
Kejadian cepat ini membuat pemuda itu bersuara kaget, tetapi segera pula ia tahan tangannya ke bawah dan meronta sedikit, maka tangannya terlepas pula dari genggaman Bwehong.
"He, kenapa kau begitu tidak tahu aturan?"
Serunya kurang senang.
Dan karena rontaannya tadi Leng Bwe-hong tak kuat lagi menggenggam terus, ia pun bersuara heran.
Ilmu kepandaian mereka ternyata seimbang alias sama kuat.
Melihat orang rada gusar, ia menduga pasti orang akan pakai kepalan, siapa tahu pemuda itu malah menyingkir pergi dan bersandar pada pohon lain sambil kedua tangannya memegang kepala sendiri seakan-akan sedang memeras otak.
"Siapa saja asal bertemu pasti bertanya namaku, tetapi kepada siapa aku harus minta keterangan, siapakah aku ini?"
Teriak pemuda itu tiba-tiba dan air matanya terus menetes. Bwe-hong bingung melihat kelakuan orang. Waktu ia berpaling, ia lihat debu mengepul tinggi. Pho Jing-cu, Boh Wanliari dan Li Jiak-sim serta yang lain bagai terbang cepatnya sedang mendatangi.
"Pho-pepek, aku bilang dia pasti di sini, nah, bukankah itu dia*? Ia masih ingat baik-baik tempat yang kita janjikan, kenapa tidak bisa menyembuhkannya?"
Demikian Wan-lian lantas berkata kepada Pho Jing-cu begitu mereka sampai di bawah pohon itu.
"Ya, tetapi menurut pandanganku tetap sangat sulit,"
Sahut Jing-cu sambil menggeleng kepala.
"Sulit bukan berarti putus harapan bukan?"
Kata Wan-lian. Habis itu ia mendekati pemuda baju kuning itu dan berkata padanya dengan suara lemah lembut.
"Marilah ikut kami pergi mengaso dulu. Banyak sekali kawan-kawan kami dan juga kawan-kawanmu, rumah kawanku adalah rumahmu juga. Marilah turut pada kataku, beberapa hari lagi pasti kuberitahukan padamu, siapa kau ini dan pasti akan ketemukan kembali 'kau' yang hilang itu."
Habis itu ia pun memperkenalkan Li Jiak-sim padanya.
"Ini dia cucu Li Jwan-ong!"
"Li Jwan-ong, Li Jwan-ong!"
Tiba-tiba pemuda itu menggumam.
"Ya, pernahkah kau mendengar nama itu? Li Jwan-ong!"
Tanya Wan-lian cepat.
"Sudah lupa, entah pernah mendengar atau tidak, cuma nama itu aku seperti hapal daripada nama orang lain,"
Sahut pemuda itu sambil memegangi kepalanya lagi dan berpikir keras. Melihat kelakuan orang, Wan-lian tertawa.
"Sudahlah, kalau lupa, untuk sementara jangan dipikir dulu. Hayolah, kita berangkat saja!"
Katanya kemudian. Si pemuda ternyata sangat menurut pada kata-kata Boh Wan-lian, ia menarik-narik tangan Leng Bwe-hong dan berkata kepadanya.
"Kau adalah kawannya dan dengan sendirinya adalah juga kawanku, kini aku mau lagi bersama satu kuda denganmu!"
Jing-cu tersenyum, dipandangnya Wan-lian hingga si gadis merah jengah, lekas Wan-lian mendesak Yu-hong dan lainnya supaya lekas berangkat.
Tempat yang mereka tuju adalah kediaman seorang bekas bawahan Li Kim.
Waktu sampai di tempat tujuan, hari pun sudah magrib.
Siang-siang tuan rumah sudah mempersiapkan segala yang perlu, maka para tetamu lantas dijamu dengan meriah.
Pekarangan depan rumah yang mereka tinggali ini terdapat dua batang pohon Kui yang sedang berbunga hingga baunya semerbak memabukkan.
Waktu pemuda baju kuning itu lewat pekarangan itu, tiba-tiba ia mengerutkan alisnya rapat-rapat dan mendadak seperti kesal.
Wan-lian melihat kelakuan orang, tetapi ia tinggal diam saja.
Habis bersantap, oleh tuan rumah para tetamu disuguhi manisan yang terbuat dari bunga Kui.
Tiba-tiba pemuda baju kuning mengamuk, ia sampuk semua manisan itu hingga berceceran memenuhi lantai, keruan saja tuan rumah terkejut.
Maka cepat Pho Jing-cu membisikinya, sedangkan pemuda itu lantas minta maaf juga.
"Entahlah, bila nampak Kui-hoa (bunga Kui) lantas aku seperti teringat sesuatu, tetapi meski aku berpikir lagi pergi datang, tetap saja tidak bisa aku mengingatnya dan hati lantas merasa kesal, maka harap tuan rumah sudi memaafkan,"
Demikian kata pemuda itu.
Meski semua orang menganggap kelakuan si pemuda agak aneh dan kurang sopan, tetapi mengingat jasanya siang tadi yang menerjang musuh paling gagah berani, semua orang pun dapat memaafkannya.
Dalam hati Li Jiak-sim dan Leng Bwe-hong berdua samasama penuh pertanyaan.
Jiak-sim heran darimana bawahannya bisa berkumpul bersama dengan pemuda baju kuning itu.
Sedang Bwe-hong ingin tahu juga mengapa Pho Jing-cu tiba-tiba sudah berada di Kun-bing, bahkan bisa menyelundup ke dalam istana dan menjadi tabib Go Sam-kui? Pho Jing-cu seperti tahu isi hati mereka, maka sehabis perjamuan itu lantas dikatakannya pada mereka.
"Hari ini kita sudah terlalu lelah, biarlah besok saja kuceritakan dari awal sampai akhir."
Pho Jing-cu adalah Locianpwe atau kaum angkatan tua, kata-katanya terpaksa harus dituruti Li Jiak-sim dan Leng Bwe-hong, maka dengan penuh tanda tanya mereka pun pergilah mengaso.
Semalaman itu pikiran Leng Bwe-hong bergolak, ia tak bisa pulas, sebentar-sebentar terbayang olehnya wajah Lauw Yuhong yang menggoncangkan tatkala masih dalam penjara itu, lain saat ia teringat juga kelakuan aneh si pemuda baju kuning ini.
Akhirnya ia bangun lagi dan memakai bajunya, ia bermaksud jalan-jalan di tanah pekarangan di bawah sinar sang dewi malam yang indah untuk menghibur hati yang lara.
Di luar kamar Bwe-hong adalah ruangan tengah, dan karena keluarnya itu, suatu kejadian aneh telah disaksikannya.
Di ruangan tamu ternyata Pho Jing-cu sedang duduk sendirian sambil membaca buku di bawah sinar lilin, waktu dilihatnya Bwe-hong keluar, segera ia menyapanya.
"Lengtayhiap, baiknya kau masuk saja, sebentar lagi jika melihat apa yang terjadi, harap kautinggal diam dan jangan ikut campur tangan!"
Melihat orang berkata dengan sungguh-sungguh, Bwe-hong menurut dan segera kembali ke kamarnya, akan tetapi ia mengintip juga dari sela-sela pintu untuk mengetahui apa yang bakal terjadi di luar.
Keadaan yang sunyi berlalu dengan cepat, kini sudah lewat tengah malam, tetapi Bwe-hong belum melihat sesuatu di luar.
Pho Jing-cu juga masih tetap duduk anteng, pandangannya tak pernah meninggalkan bukunya.
Bwe-hong menjadi kesal, ia mengantuk dan hendak pergi tidur.
Tiba-tiba ia mendengar tangga loteng berbunyi, ada orang setindak demi setindak sedang turun ke bawah.
Waktu Bwehong mengintip lagi, ia lihat si pemuda baju kuning dengan sepasang pedang terhunus di tangan, badan tegak bagai mayat hidup, matanya terpaku dan parasnya lapat-lapat mengunjuk napsu membunuh, dan setindak demi setindak sedang mendekati Pho Jing-cu.
Sungguh terkejut Bwe-hong bukan main, ia pikir hendak mencegah, tetapi teringat olehnya pesan Pho Jing-cu tadi.
Waktu ia menegasi lagi, ia lihat Pho Jing-cu seperti tak mengetahui apa-apa dan masih asyik membaca bukunya.
Bwe-hong sudah berpengalaman di Kangouw dan sudah banyak menghadapi segala rupa bahaya, boleh dikata kejadian yang betapa tegangnya sudah pernah dialaminya, musuh yang betapa ganasnya tak dipandangnya sebelah mata.
Akan tetapi aneh, kini nampak si pemuda baju kuning yang berjalan tegak bagai mayat dengan biji matanya terpaku tak bergerak, tanpa terasa bulu ramanya berdiri mengkirik.
Sementara pemuda itu sudah semakin dekat dan hampir berada di depan Pho Jing-cu, napsu membunuh di mukanya juga semakin nyata, saking kuatirnya hampir saja Bwe-hong menjerit.
Namun ia tahu Pho Jing-cu tentu sudah siap sedia sebelumnya, melihat sikapnya yang begitu tenang, akhirnya ia menjadi lega dan tak kuatir lagi.
Pikirnya, pemuda baju kuning ini betapapun tinggi ilmu silatnya, namun Pho Jing-cu adalah tokoh ternama dalam dunia persilatan, pasti tidak nanti bisa di-bokong pemuda itu, andaikan terjadi sesuatu ia masih bisa maju membantu, dan dengan kekuatan dua orang, mustahil tidak dapat mengatasinya.
Dalam pada itu Jing-cu menunggu sampai pemuda baju kuning itu sudah dekat, baru pelahan-lahan ia bangkit, dengan sikap biasa ia bertanya.
"Nyenyakkah tidurmu?"
Dengan mata terpaku pemuda itu memandang Pho Jing-cu tanpa menjawab, Jing-cu tersenyum dan kemudian ia mengangkat secangkir teh dan disodorkan padanya sambil berkata lagi.
"Minumlah ini!"
Tiba-tiba tangan kanan pemuda itu menjadi kendor dan pedangnya terjatuh, ia terima cangkir teh itu dan diminumnya.
"Nah, sekarang bolehlah tidur lagi!"
Kata Jing-cu tertawa sambil bertepuk tangan.
Betul saja pemuda itu lantas roboh lemas dan tak seberapa lama sudah menggeros pulas.
Dan selagi Leng Bwe-hong hendak keluar, tiba-tiba terdengar derapan kaki yang turun dengan cepat dari atas loteng, ia heran dan pikirnya.
"Apakah ada seorang linglung lain yang turun pula?"
Sementara tindakan kaki itu ternyata makin cepat dan kemudian tertampaklah seorang gadis turun dengan tergopohgopoh, ternyata gadis itu adalah Boh Wan-lian.
Nampak pemuda itu sudah menggeletak di lantai dan pedangnya jatuh di samping, dengan rasa kuatir Wan-lian bertanya.
"Apakah ia melukaimu?"
"Tidak, sama sekali ia tak bergebrak denganku,"
Jawab Jing-cu. Lalu dengan tersenyum ia menyambung pula.
"Nona, biarlah kumusnahkan dia saja, bagaimana pendapatmu?"
"Ha, jangan!"
Seru Wan-lian kaget.
"Maksudku bukan membunuh dia,"
Kata Jing-cu.
"Juga aku tidak bermaksud membuat cacad dia, yang kumaksudkan ialah memusnahkan ilmu silatnya, cukup kukeluarkan sedikit ilmu, segera kubikin dia tak bertenaga walaupun ilmu silatnya begitu baik."
"Kenapa kau begitu tega?"
Kata Boh Wan-lian dengan rasa sayang.
"Selamanya kausuka mengobati orang sakit, kini tidak kausembuhkan dan mengapa malahan hendak mempermainkannya?"
"Ya, sebab aku tidak dapat mengobati penyakit ini,"
Ujar Pho Jing-cu.
"Ia punya penyakit 'Li-hun-cin' (penyakit mimpi berjalan) ini tentu disebabkan sesuatu peristiwa yang sangat menggoncangkan pikirannya, dan justru ia telah melupakan segala sesuatu sehingga tiada jalan untuk menyelidiki sumber penyakitnya ini, dengan demikian cara bagaimana aku bisa sembuhkan dia? Yang paling menguatirkan ialah di waktu penyakitnya kumat, meski di siang hari ia orang baik-baik, tetapi di waktu malam kalau kumat penyakitnya, sangat mungkin membunuh orang pun tak disadarinya, sedangkan ilmu silatnya begitu tinggi, kalau aku tidak memusnahkannya, siapa lagi yang dapat mengatasinya?"
"Tadi apakah ia hendak membunuhmu?"
Kata Wan-lian.
"Tanda itu masih belum terlihat, hanya wajahnya penuh mengunjuk napsu membunuh,"
Jawab Jing-cu.
"Aku jadi teringat cerita Pepek dulu tentang penyakit 'Lihun- cin', bahwa bila ada sesuatu pikiran yang terpendam dalam hati seseorang, biasanya ia sendiri pun tidak mengetahui, tetapi dalam mimpi di kala ingatan sehatnya tak bekerja lagi, lantas timbul sesuatu pikiran yang terpendam itu untuk sekedar dipuaskan dalam mimpinya dan hal-hal jahat tidak sampai diperbuatnya. Dalam keadaan begitu meski ia sudah seorang 'dia' yang lain, tetapi toh tidak membahayakan keselamatan orang lain, dan penyakit ini disebut 'Sian-seng-lihun- cin' (penyakit mimpi bawaan), bukankah begitu?"
Mendengar sampai di sini, tiba-tiba Jing-cu menggoyanggoyang tangannya dan cepat berdiri.
"Pho-pepek, apa yang hendak kaulakukan?"
Tanya Wan-lian terkejut.
"Dalam keadaan demikian ini ternyata kau masih sempat bicara tentang ilmu tabib,"
Ujar Pho Jing-cu.
"Apakah ia membahayakan orang atau tidak, siapa pun tak mengetahuinya aku pun tak dapat menghadapi resiko ini, dan membiarkan ilmu silatnya yang begini tinggi buat keluyuran di waktu malam."
Habis berkata dengan pelahan ia mendekati pemuda baju kuning yang masih menggeros itu. Karena gugup dan cemasnya hampir-hampir Wan-lian menangis.
"Pho-pepek. apakah kau tak sayang lagi padaku?"
Katanya tak lancar. Dan belum Pho Jing-cu menjawab, sekonyong-konyong sesosok bayangan melesat tiba.
"Haha, memang aku tahu kau tak tahan dan akan keluar, kenapa kau tidak turut pesanku?"
Seru Jing-cu tertawa. Bayangan orang itu ternyata Leng Bwe-hong adanya.
"Aku menurut pesanmu, tapi kalau kau hendak memusnahkan ilmu silatnya, itulah aku tidak setuju,"
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Bwe-hong cepat.
"Coba pikir, ilmu silatnya yang begitu tinggi apa gampang dilatihnya? Jika penyakitnya ini bisa disembuhkan, entah betapa besar manfaatnya bagi kita! Sungguh aku tak tahan melihat orang demikian ini akan kaumusnahkan!"
"Pho-pepek, coba lihat, Leng-tayhiap juga berkata demikian, aoakah kau masih iuea teaa untuk turun tanean?"
Uiar Wan-lian. Mendengar itu Pho Jing-cu tertawa terbahak-bahak dan tiba-tiba ia duduk kembali di tempatnya semula.
"Aku sudah pikirkan sebisanya cara bagaimana menyembuhkan penyakit anak muda ini, dan kini telah dapat kukete-mukan,"
Demikian katanya kemudian.
"Ha, sungguh?"
Tanya Wan-lian terheran-heran.
"Apa kaukira benar-benar aku hendak musnahkan dia? Ha, aku hanya ingin mencoba saja bagaimana pikiranmu padanya dan kini boleh dikata telah kena dicoba!"
Sahut Jing-cu tertawa.
"Ah, lagi-lagi Pepek telah mempermainkanku."
Kata Wanlian dengan mulut menjengkit.
"Sedikitpun aku tidak main-main!"
Kata Jing-cu sungguhsungguh.
"Kau tahu, penyakit hati harus disembuhkan dengan obat hati, kini ia memerlukan seorang gadis yang dapat mendampinginya dengan penuh kasih sayang dan gadis ini harus dapat mempercayainya, dengan begitu baru ia mau menuruti perkataannya, dan gadis inilah nantinya yang bisa menyelidiki sumber penyakitnya. Namun ia adalah orang sakit yang berbahaya, kalau gadis itu tidak bersedia berkorban dan tidak simpati padanya, tentu tidak bersedia mengawani orang sakit yang demikian ini, andaikan bersedia juga tak akan menghasilkan sesuatu. Penderita serupa ini perasaannya paling tajam, siapa yang sungguh-sungguh atau pura-pura simpatik padanya, ia dapat menyelaminya. Maka ia memerlukan seorang ibu, seorang saudara, seorang sahabat, ya, pendeknya seorang yang bisa dia ajak bicara dari hati ke hati. Dan kaulah orang yang paling sesuai buat melayaninya. Akan tetapi sebelum kejadian tadi aku masih belum tahu perasaanmu terhadapnya, maka dengan sengaja aku mencoba dan menyelami hatimu."
Habis Jing-cu menutur, Wan-lian termangu-mangu tak berkata.
"Coba bukankah Pho-pepek sangat sayang padamu?"
Kata Jing-cu pula tiba-tiba menggoda. Leng Bwe-hong ikut tertawa oleh perkataan itu.
"Ya, malam ini tidak saja aku telah berhasil mencoba Wanlian, bahkan sekalian telah menjajal Leng-tayhiap,"
Kata Pho Jing-cu pula dengan tertawa lebar sambil memandang Leng Bwe-hong.
"Untuk apa kau mencoba diriku?"
Tanya Leng Bwe-hong heran.
"Ya, hanya ksatria yang dapat menghargai ksatria,"
Sahut Jing-cu.
"Kau termasuk tokoh silat yang disegani, tentu lebihlebih tahu menghargai kepandaian orang. Dan karena percobaan malam ini. betul juga kau sangat suka padanya malahan hampir bertengkar denganku! Terus terang saja meski aku sudah mencoba dan tahu Wan-lian bersedia mendampinginya, tapi aku masih kuatir seumpama dia kumat dan benar-benar hendak melakukan keganasan, lalu tiada orang yang dapat mengatasinya. Kini jika ada kau bersama Wan-lian di sampingnya, pasti usaha ini tidak akan gagal. Tentu saja pada waktu mendampinginya sedapat mungkin kau biarkan Wan-lian lebih berdekatan dengannya, kau hanya melindungi dari samping saja."
Habis berkata Jing-cu bergelak tertawa lagi.
"Ilmu tabib Pho-losiansing sungguh sangat mengagumkan, kalau ada tugas pasti aku tak akan menolak,"
Ujar Leng Bwehong.
"Hanya saja dapatkah Pho-losiansing menceritakan sedikit padaku asal-usul penderita sakit ini? Umpamanya menceritakan kisah pertemuan kalian dengan dia?"
Pho Jing-cu tidak menolak, maka mulailah ia menceritakan pengalamannya yang sangat menarik dan tegang.
Hari itu setelah Pho Jing-cu dan Boh Wan-lian berpisah dengan para pahlawan di Bu-keh-ceng.
melalui Soa-say dan Siam-say, mereka terus menuju ke Su-cwan.
Lewat beberapa hari mereka telah sampai di Kiam-kok.
suatu tempat yang tersohor karena bahaya dan curamnya jurang yang harus dilalui jika hendak memasuki daerah Su-cwan.
Pada hari itu melalui benteng 'Kiam-bun-kwan' di antara bukit-bukit yang menjulang tinggi, mereka berada di jalanan 'Can-to' yang terkenal dalam sejarah.
Yang disebut 'Can-to' adalah jalanan kecil yang berliku-liku bagai usus kambing di antara tebing-tebing jurang yang curam, malahan ada bagian-bagian yang sebenarnya adalah jalanan buntu, lalu dipasang dengan batang kayu di antara tebing curam itu sehingga berupa jembatan terapung di udara, ada pula bagian jalanan di tebing terjal yang dibikin seperti tangga dengan beribu undakan.
Berada di jalan Can-to yang hebat itu, bilamana Jing-cu dan Wan-lian mendongak, yang tampak hanya bukit-bukit tinggi yang mengaling-alingi sinar matahari dan langit, sebaliknya kalau memandang ke bawah yang terdengar hanya suara meng-gerujuknya air yang jatuh ke jurang yang dalamnya susah dilukiskan.
Berada di jalanan seperti itu, Pho Jing-cu masih tak mengapa, tetapi Wan-lian sudah keder dan kuatir.
Meski tatkala itu sudah permulaan musim panas, tetapi di dataran tinggi Can-to angin pegunungan yang santar terasa sangat dingin.
Dan kisah perjalanan Jing-cu dan Wan-lian dimulailah di sini.
"Hari itu, kami berjalan di Can-to. Sungguh memalukan, kami termasuk orang yang ada sedikit kepandaian, tetapi sudah satu hari penuh berjalan ternyata masih belum bisa melintasi pegunungan itu, waktu itu cuaca sudah remangremang dan hari hampir magrib, aku mulai kuatir. Kalau bermalam di pegunungan semacam ini bukanlah menjadi soal bagiku, tetapi Wan-lian adalah seorang gadis bahkan melihat wajahnya seperti sedang menderita sakit, sehingga aku menjadi kuatir pula."
"Ah, kau anggap aku masih anak-anak saja,"
Sela Wan-lian tiba-tiba.
"Sebenarnya waktu itu aku tidak sakit, hanya sejak malam menyelidiki Ngo-tai-san selama setengah bulan hatiku selalu merasa kesal!"
Mendengar itu diam-diam Bwe-hong menghela napas.
Malam di Ngo-tai-san itu, Wan-lian hendak mencari ibunya, siapa tabu hanya menemukan baju kudung sang ibu yang sudah meninggal.
Adegan yang menyedihkan pada malam itu diam-diam ia pun menyaksikan sendiri, maka ia memahami mengapa hati Wan-lian menjadi kesal.
"Kenapa kau tidak tahu hatimu kesal? Justru aku kuatir dari kesal kau menjadi sakit!"
Demikian kata Pho Jing-cu kemudian dengan agak muram. Wan-lian menjadi berduka, matanya merah, mendadak ia pandang pemuda baju kuning yang masih menggeros di lantai itu dan meneteskan air mata. Leng Bwe-hong berpikir.
"Pantas ia mencintai pemuda baju kuning ini, kedua muda-mudi ini sama-sama anak piatu, yang seorang malahan tidak mengetahui asal usul dirinya sendiri, rupanya nasib yang sama bagaikan seutas benang merah telah menggandengkan mereka."
Sementara itu Ph(c) Jing-cu lantas meneruskan ceritanya.
"Selagi aku berkuatir, tiba-tiba kami melihat di belokan jalanan gunung sana ada seoTang gadis yang sedang mengumpulkan rotan hutan, ia membetot dan menarik sekenanya, dengan gampang saja ia sudah mendapatkannya. Rotan semacam itu sangat kuat dan ulet, dipotong dengan pisau saja cukup memakan waktu, tetapi ia ternyata sedikit pun seakan-akan tidak membuang tenaga, tentu saja aku menjadi heran. Wanlian segera menyapa padanya, nona itu sangat senang melihat Wan-lian, ia mendekati dan menarik tangan Wan-lian, ia bertanya kepadanya apakah bukan bidadari yang tiba-tiba jatuh ke pegunungan karena tertiup angin? Sebab sudah lama sekali ia tidak pernah bertemu orang luar di pegunungan yang curam itu."
"Sebenarnya ia yang sungguh cantik bagaikan mawar hutan yang mekar di pegunungan!"
Sela Wan-lian.
"Aku memberitahu kepadanya bahwa kami adalah pelancong biasa. Lantas ia mengajak kami menginap di rumahnya. Pikirku, tanah curam dan puncak berbahaya begitu siapa tahu masih ada rumah tinggal, pasti keluarga ini bukan orang biasa!"
"Rumah tinggal nona itu tidak begitu jauh, tetapi dipandang dari jauh sedikit pun tak nampak,"
Sambung Jing-cu.
"Ternyata rumahnya terbikin di atas tebing curam di antara dua puncak, di atas tebing itu tumbuh dua batang pohon cemara yang persis menutupi rumah itu dari pandangan orang. Kami memasuki rumah itu, penghuninya hanya seorang kakek berusia antara enam puluhan, mukanya hitam kurus, jarinya mirip cakar burung, kukunya panjang sekali tetapi penuh semangat. Begitu bertemu, kami menjadi heran, ia pun heran melihat kami. Kami memberitahu padanya kalau kami orang yang tersesat jalan, tetapi ia seperti tak ambil perhatian. Aku menyangka ia tidak senang karena kedatangan kami, atau sekiranya kami adalah orang-orang jahat, akan tetapi pelayanannya cukup memuaskan juga"
"Habis bersantap malam, ia berpesan pada kami, 'Khekkoan (tuan tamu), kelihatannya kalian bukan tamu biasa dan tentunya memiliki sedikit ilmu silat, cuma malam ini kalau ada sesuatu kejadian, kalian jangan sekali-kali bersuara dan ikut campur tangan. Kalau kalian ikut campur tangan, tidak saja akan membikin susah diri sendiri, bahkan juga akan mencelakai aku, dapatkah kalian berjanji?!' Demikian ia berpesan pada kami dengan muka serius."
"Ha, persis seperti yang kaupesankan padaku tadi bukan?"
Sela Bwe-hong dengan tertawa.
"Aku hanya bergurau denganmu, tetapi ia sungguhsungguh dan kereng sekali, sikapnya betul-betul sangat menakutkan!"
Kata Jing-cu.
"Tatkala itu nona tadi telah bertanya pada ayahnya, 'Ayah, ibu belum kembali! Apakah orang jahat yang dulu itu telah datang lagi? Kini aku sudah besar, biar aku membantu ayah.'. Mendengar itu wajah si orang tua berubah,"
Demikian tutur Wan-lian menambah cerita Jing-cu.
"Kemudian orang tua itu mengomeli anak gadisnya, 'Tidak, tak boleh kau ikut campur, jika kau ikut campur, aku tidak akan mengakuimu sebagai anak lagi, seumpama aku kena dibunuh, kau pun tidak boleh bergebrak dengan orang itu, jika ia hendak membawamu pergi, malahan kau harus turut dia dan sekali-kali tak boleh membalas sakit hatiku!' Dengan menangis gadis itu berkata, 'Ayah kenapa kau berkata begitu?' Akan tetapi dengan suara kereng kakek itu membentak, 'Kalau kaubantah pesanku, mati pun aku tidak meram!' Mendengar percakapan mereka, aku pun merasa keadaan orang itu agak luar biasa, aku memandang Pho-pepek tetapi separah kata pun ia tak bersuara, aku bermaksud mengatakan bersedia membantu, tetapi kepandaianku belum cukup, agaknya nona itu saja lebih kuat daripadaku. Suasana sedih dan mengharukan memenuhi rumah kecil itu, hatiku pun ikut terasa berat."
"Ya, sudah berpuluh tahun aku merantau di Kangouw, tetapi belum pernah ketemukan kejadian aneh semacam itu,"
Sambung Pho Jing-cu.
"Kakek itu seperti meyakinkan 'Tay-likeng- jiau-kang', ilmu cakar elang bertenaga raksasa, kedua matanya bersinar, sekilas saja orang akan tahu dia adalah ahli Lwe-kang, namun sama sekali aku tidak mengenali siapakah dia ini, diam-diam aku merasa aneh, dan aku belum tahu juga apakah dia orang baik-baik atau orang jahat. Aku menduga bisa jadi karena urusan balas-membalas di kalangan Kangouw, dan kebetulan dapat diketahui kami, tetapi kalau soal balas membalas di kalangan Kangouw, orang yang berkepentingan pasti tiada alasan buat menolak bantuan orang lain, sebaliknya kakek itu tidak mau menerima bahkan oleh anak gadisnya sendiri, hal ini betul-betul membuatku menjadi bingung dan tak mengerti."
Sampai di situ, angin malam di luar jendela tiba-tiba menderu- deru diselingi suara burung malam yang tajam melengking seram. Sekonyong-konyong Leng Bwe-hong menepuk tangan dan berkata.
"Aku dapat menerka siapakah gerangan orang tua itu!"
Dan belum lenyap suara perkataannya, tiba-tiba di luar jendela ada suara orang menyambung.
"Aku pun dapat menerka siapa kakek itu!"
Leng Bwe-hong melompat bangun, ia lihat sesosok bayangan hitam dengan cepat telah menerobos masuk dari jendela.
Ternyata orang ini adalah Li Jiak-sim.
Karena hati pemuda ini penuh dengan pertanyaan sehingga ia pun tak dapat tidur pulas, tiba-tiba ia dibikin kaget oleh suara tindakan Wan-lian waktu turun dari tangga tadi, maka ia pun ikut turun.
Bwehong sedang terpesona oleh cerita Pho Jing-cu, sehingga tidak merasa ada orang mendekam di luar jendela.
Sementara itu mendengar bahwa Bwe-hong dan Jiak-sim kenal siapa adanya kakek itu, Pho Jing-cu menjadi terheranheran.
"Aku pernah mendengar dari Suhu mengenai jago-jago silat dari berbagai aliran dan tokoh-tokoh ternama,"
Demikian Bwehong menutur.
"Katanya di atas puncak Can-to di Kiam-kok ada seorang tua yang mengasingkan diri, namanya Kui Thianlan yang mahir menggunakan 'Tay-lik-eng-jiau-kang' dan 'Micio' (pukulan lunak), ilmunya sudah mencapai puncaknya. Eng-jiau-kang adalah ilmu yang hebat dari kaum Lwekeh, sedang Mi-cio adalah semacam ilmu yang paling susah dipelajari dari kaum Lwekeh, orang ini bisa meyakinkan ilmu dari dua golongan sekaligus, sungguh boleh dikata adalah tokoh sakti dari kalangan persilatan."
"Orang tua itu she Kui?"
Tanya Wan-lian mendadak dengan heran. Bwe-hong mengangguk. Dan Wan-lian kelihatan termangu- mangu, matanya berputar, tangannya menunjang janggut seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Aku pun pernah mendengar dari ayahku almarhum,"
Kata Li Jiak-sim.
"Bahwa ada seorang yang bernama Kui Thian-lan, ilmu silatnya sangat tinggi, tatkala Thio Hian-tiong memerintah daerah Su-cwan, pernah dia mengabdi pada Panglima Thio Hian-tiong yang bernama Li Ting-kok. Tidak lama setelah Thio Hian-tiong dan Li Ting-kok berturut-turut gugur, orang ini lantas tak diketahui jejaknya. Belakangan ada orang bilang ia mengasingkan diri di Kiam-kok, dan ayahku memerintahkan orang pergi mencarinya, tetapi tak bisa diketemukan. Pholocianpwe bilang ada orang mencari dia buat membalas dendam, kukira bukan musuh perseorangan, tapi adalah jago pemerintah Boan yang telah menemukan jejaknya."
"Dugaanmu hanya betul separoh,"
Kata Jing-cu dengan menggelengkan kepala, lalu ia melanjutkan.
"Semula orang yang datang mencari balas padanya itu bukan jagoan pemerintah, pada waktu si kakek lagi bicara dengan gadisnya, di atas rumah mendadak menyambar tiga panah bersuara susul menyusul, suaranya aneh dan menyeramkan. Aku tahu itu adalah tanda peringatan pada pihak lawan yang biasa dipakai di kalangan Kangouw. Umumnya kalau belum yakin bahwa ilmu silatnya lebih tinggi dari lawan, tidak nanti memberi tanda peringatan lebih dulu. Dan tentu saja aku terheran-heran, kedua ayah dan gadisnya itu sudah jarang diketemukan di kalangan persilatan, masakah masih ada orang pandai lagi yang berani begitu takabur? Dan setelah panah bersuara tadi lewat, betul saja di luar lantas terdengar suara bentakan orang bagai halilintar, 'Hayo, kenapa kau masih belum keluar?' Wajah kakek itu pun terlihat sedih."
"la kemudian berdiri dan berkata pada gadisnya, 'Sekali-kali jangan kaulupakan pesanku tadi.', lalu ia berkata pula kepada kami, 'Sekali-kali kalian juga jangan ikut campur.'. Setelah itu, ia lantas menerjang keluar rumah, tanpa bisa menahan diri lagi aku pun ikut keluar. Waktu aku berpaling, kulihat nona cilik itu pun sudah keluar bersama Wan-lian."
"Ternyata yang berdiri di luar adalah seorang tua bermuka merah dan brewokan, waktu nampak aku ikut keluar, ia melotot memandang beberapa kali padaku dan kemudian dengan tertawa dingin ia berkata, 'Ha, ternyata kau begini rendah, masih pakai pembantu!'. Lekas aku bilang, 'Aku hanya tetamu yang kebetulan lewat saja.'. Aku tahu urusan balas membalas dendam di kalangan Kangouw semacam ini, kalau hanya seorang yang maju, pasti itu sudah ada perjanjian untuk bertempur satu lawan satu. Siapa yang kebetulan menyaksikan juga harus menyingkir, kecuali kalau yakin tidak dapat menandingi pihak lawan dan sebelumnya sudah minta bantuan sobat-handai, itu adalah soal lain lagi."
"Namun begitu, juga harus membiarkan orang yang bersangkutan turun tangan lebih dahulu. Aku seharusnya menyingkir, tapi tidak tahan oleh rasa ingin tahu, aku masih terus mengawasi dari jauh cara mereka bertanding. Saat itu juga tiba-tiba aku melihat di bawah jalanan Can-to sana di tengah-tengah bukit seperti ada bayangan-bayangan hitam yang sedang merayap. Dan ketika aku menegasi lagi, tahu-tahu kakek paras merah itu sudah membentak, 'Sekalipun kau memakai pembantu, aku pun tak gentar!'. Dan tanpa banyak bicara lagi ia memukul si kakek hitam kurus itu dengan gemas. Aku berdiri sejauh puluhan tombak toh masih mendengar juga menyambarnya angin pukulan yang keras itu"
Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung Rahasia Hiolo Kumala Karya Gu Long Keajaiban Negeri Es -- Khu Lung