Pendekar Pemetik Harpa 27
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 27
Pendekar Pemetik Harpa Karya dari Liang Ie Shen
Hu Kian-seng keheranan katanya.
"Ini., apakah bukan surat laporan Lau-congping?"
"Coba kau periksa sendiri,"
Sentak Cu Kian-sin.
Surat laporan dari komandan militer kota Tay-tong itu dibungkus kain sutra kuning, bagian luarnya ditulis dengan tinta yang bermutu paling baik, di sebelah atas kiri diberi tanda nomor arsip dan di bawahnya terdapat tanda tangan Taykam penerima surat laporan itu yang tembusannya dikirim balik kepada si pengirim.
Tapi kertas lempitan yang sekarang dipegang dan dibaca Baginda ternyata dari kertas yang berkwalitet rendah, jadi tidak memenuhi syarat sebagai surat laporan lazimnya.
Sementara itu Cu Kian-sin sudah membuka lempitan surat dengan kertas kasar itu, lekas Hu Kian-seng menghampiri ke belakang, dari jarak yang agak jauh dia ikut membaca, tampak kertas kasar itu ditulisi huruf-huruf besar yang bergaya kuat dan indah, jadi tidak sesuai lagi sebagai laporan yang sudah ditentukan harus ditulis dengan huruf-huruf kecil yang rapi dan rajin.
Hu Kian-seng kaget, serunya.
"Ini. siapakah yang menukar surat laporan ini."
Cu Kian-sin gusar, bentaknya.
"Kau tanya aku malah? Coba baca inilah surat tulisan Kim-to Cecu yang ditujukan kepadaku."
Hu Kian-seng mendekat maju serta membaca lebih cermat, baru sekarang dia melihat jelas baris pertama tulisan di atas kertas kasar itu berbunyi.
"Ciu San-bin rakyat jelata dari kaum liar berani mati menyampaikan sepatah dua kata.
"
Saking kagetnya H u Kian-seng sampai gemetar, tiba-tiba dilihatnya di pojok sampul surat terdapat lempitan kertas lain yang terselip di dalamnya, lekas dia melolosnya keluar begitu melihat tulisan di atas kertas halus ini, tanpa terasa tangannya gemetar matanya melirik, agaknya dia tidak berani dan tidak ingin kertas tulisan ini dilihat atau diketahui oleh Sri Baginda.
Tapi Cu Kian-sin cukup tajam.
"Siapa punya? Serahkan kepadaku."
"Inilah surat laporan Laucongping yang asli, tapi..."
Belum habis dia bicara Cu Kian-sin sudah merebut surat laporan itu dari tangannya, setelah dibeber tampak di balik surat laporan ada huruf-huruf besar yang berbunyi demikian.
"Jerih melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau, pandai membual lagi.
"
Cu Kian-sin membeber surat laporan komandan militer kota Tay-tong dan surat lempit Kim-to Cecu di atas meja lalu dicocokkan satu dengan yang lain.
Hu Kian-seng melayani dari samping, tampak junjungannya kadang mengerutkan alis, kejap lain berseri tawa lalu manggut-manggut, adakalanya menepekur sekian lamanya seperti sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba mengetuk meja serta bernyanyi-nyanyi kecil entah apa yang sedang dipikir dalam benaknya.
Yang terang sikapnya kelihatan kaget, senang dan lega, namun dalam rasa senangnya terselip juga rasa risau dan masgul.
Walau Tan Ciok-sing tidak tahu apa isi surat itu, tapi dia membadek Kim-to Cecu pasti memberi nasehat dan memberi pengarahan situasi dan kondisi dalam negeri, membeber seluk beluknya serta menggambarkan bagaimana Sri Baginda harus bertindak.
dinasehatinya pula supaya dia tidak menyerah atau minta damai terhadap pihak Watsu.
Dalam hati Ciok-sing membatin.
"Bila dia mau mendengar nasehat Kim-to Cecu kali ini kurasa tidak perlu aku menemuinya secara langsung."
Tengah berpikir, dilihatnya Cu Kian-sin sudah angkat kepala, wajahnya masih mengulum senyum katanya kepada Hu Kian-seng.
"Beritanya sih lumayan."
"Berita tentang apa?"
Tanya Hu Kian-seng.
"Pihak Kim-to Cecu mendapat kemenangan gilang gemilang dalam pertempuran diluar Gan-bun-koan."
Hu Kian-seng heran, katanya.
"Tapi dalam laporan Laucongping..."
"Kemenangan dicapai oleh pihak Kim-to Cecu jadi tiada sangkut pautnya dengan Lau-congping. Sudah jelas bahwa laporan Lau-congping ini, hm, huh, memang betul membual dan menjilat belaka, situasi digambarkan sedemikian jelek dan buruk."
Hu Kieng-seng berkomentar.
"Dari tanggalnya kedua surat ini dikirim dalam waktu yang sama, jadi tidak mungkin dalam satu tempat dan waktu yang sama, pihak Watsu sama-sama menghadapi dua peperangan besar. Dan lagi dinilai keseluruhan dari peperangan itu, yang satu bilang menang gilang gemilang, yang lain justru bijang kalah total, ini, ini..."
"Lau-congping berhadapan dengan musuh seperti melihat harimau, ini memang benar, jadi laporannya ini terang palsu dan membual, dia mengharap Tim selekasnya mengirim bantuan tentara dan rangsum."
Diluar kesadarannya dia gunakan istilah Kim-to Cecu dalam mencemooh perbuatan Lau-congping.
Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Cu Kiansin lebih percaya kepada laporan Kim-to Cecu dari laporan dinas Komando militer kota Tay-tong.
Sampai disini, mau tidak mau hati Tan Ciok-sing amat girang, pikirnya.
"Gelagatnya raja muda ini masih tidak terlampau bejat."
Tak nyana tiba-tiba, didengarnya Cu Kian-sin menggumam dengan melamun.
"Yang Tim kuatirkan justru kelanjutan dari peperangan ini."
Kiriman surat Kim-to Cecu dia simpan, sementara surat laporan Komandan militer kota Tay-tong dia remas-remas lalu dilempar ke tempat sampah akhirnya dia menghela napas panjang.
Walau dia tidak melanjutkan perkataannya tapi Hu Kian-seng pandai melihat sikap dan rona muka orang menebak isi hatinya, diam-diam dia sudah tahu kemana kiblat pikiran junjungannya.
Hu Kian-seng yang sudah kelihatan tak berani banyak bersuara ini diam-diam bersorak dalam hati, katanya.
"Baginda cekatan bertindak dan bijaksana dalam menentukan sikap, Hamba ada pendapat yang mungkin kurang enak didengar kuping, sebelumnya mohon Baginda memberi ampun."
"Bukankah Tim sudah lama bilang kepadamu,"
Demikian ujar Cu Kian-sin.
"Tim memang memerlukan usul dan pendapat para pembesar jujur dan baik hati. boleh kau katakan saja."
"Harap Baginda periksa dan pikirkan, pasukan negeri kalah perang sebaliknya kaum berandal mencapai kemenangan di medan laga kukira hasilnya tidak akan membawa untung bagi Baginda."
"Pcndapatmu memang tepat. Memang itulah yang Tim kuatirkan,"
Ujar Cu Kian-sin.
"Memang Kim-to Cecu akan membantuku dengan setia bila Tim mau kerahkan pasukan besar negeri mengusir penjajah. Namun Tim masih sangsi akan kesetiaan dan kejujurannya. Dan masih ada lagi. Walau kali ini dia mendapat kemenangan besar siapa tahu lain kali..." .
"Betul."
Timbrung Hu Kian-seng.
"kalah menang di medan laga adalah kejadian logis, umpama benar Kim-to Cecu dapat menang perang betapapun dia adalah brandal yang menduduki satu pegunungan sebagai daerah kekuasaannya melulu, anak buahnya tidak lebih adalah kelompok campur aduk yang tidak karuan kalau bertempur sungguhan, mana mereka mampu menghadapi pasukan Watsu yang bersenjata lengkap? Kalau kita mengandal kekuatan kaum berandal ini, bila pihak Watsu mengerahkan seluruh kekuatan perangnya dan berhasil menumpas mereka, bukankah posisi kita serba repot dan runyam? Dalam keadaan kepepet seperti itu, mana mungkin mereka mau menerima permintaan damai kita."
Maklum Hu Kian-seng sudah disogok dan memperoleh banyak keuntungan dari duta Watsu, begitu ada kesempatan maka dia membesarkan kekuatan musuh dan meruntuhkan semangat juang pihak sendiri.
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
Tanya Cu Kiansin.
"Menurut pendapat hamba yang bodoh, mumpung memperoleh sedikit kemenangan ini kita adakan kontak dengan Watsu mengajaknya berunding, syarat yang kita ajukan mungkin bisa lebih menguntungkan bagi kepentingan kita."
Cu Kian-sin menepekur sejenak, katanya kemudian.
"Setelah menemui, utusan rahasia pihak Watsu, sebetulnya Tim akan merundingkan persoalan ini kepada pembesar lainnya dalam sidang balairung besok pagi. Kalau begitu baiklah kita laksanakan sesuai rencana semula."
"Betul. Mari kita lihat sikap dan pendapat utusan rahasia Watsu ini bagaimana kenyataan dari hasil peperangan di luar Yan-bu-koan. Baginda akan dapat mengambil kesimpulan lebih jelas dari mulut mereka. Apakah sekarang juga kita undang mereka kemari?"
"Baiklah, lekas kau suruh orang mengundang Tiangsun Co kemari."
Baru sekarang Tan Ciok-sing tahu.
"kiranya Tiangsun Co datang pula sebagai utusan rahasia. Maka seorang lagi yang akan diundang Baginda pasti adalah Milo Hoatsu."
Pada hal Hu Kian-seng masih berada di atas loteng, bila kedua jago kosen dari Watsu itu sudah tiba, bagaimana mungkin dia bisa berhadapan langsung dengan Sri Baginda.
Tengah dia bimbang, dilihatnya Hu Kian-seng melongokkan kepalanya memandang keluar jendela.
Ternyata Hu Kian-seng mendengar seseorang memanggil namanya, suaranya seperti mengambang dan tidak diketahui arah datangnya, sayup-sayup lagi seperti ada tapi juga tiada, entah itu suara manusia atau teriakan setan, tanpa sadar berdiri bulu kuduknya.
Melihat sikap dan rona muka orang agak ganjil Cu Kian-sin bertanya.
"Hu Kian-seng, apa yang kau lihat diluar?"
Setelah tersirap lekas Hu Kian-seng tenangkan hati, katanya.
"Tidak apa-apa. Hamba ingin memeriksa keadaan diluar, akan kukerahkan tenaga untuk memperkuat penjagaan diluar."
Diam-diam dia curiga kemungkinan Tan Ciok-sing secara sembunyi-sembunyi telah menyelundup masuk ke istana pula.
Di samping kuatir sang raja tidak berani menanda tangani surat perjanjian damai itu, tadi dia sudah kebacut omong besar, bila Tan Ciok-sing betul-betul menyelundup ke Yangsim- tiam ini, pamor dan kedudukannya sebagai komandan pasukan Bayangkari ini sih boleh tidak usah dipikirkan, celaka bila Sri Baginda menjatuhkan vonis berat akan kesalahannya.
Karena itu bila betul Tan Ciok-sing menyelundup masuk, sebelum dia menerjang kedalam Yan-sim-tiam dia sudah harus membekuknya.
Sudah tentu dia juga tahu bahwa In San pasti datang bersama Tan Ciok-sing, tapi dia yakin tenaga yang dia sebar di sekitar Yang-sim-tiam cukup kuat untuk menghadapi In San maka dia tidak perlu takut bila Tan Ciok-sing memancingnya keluar meninggalkan tempat tugasnya.
Cu Kiam-sin berpikir sejenak, katanya kemudian.
"Bolehlah kau memeriksa keadaan diluar. Sudah saatnya Koksu dari Watsu dan Tiangcun Pwecu tiba disini, boleh kau wakili Tim menyambut kedatangan mereka."
Hu Kian-seng memanggil dua Wisu pembantunya masuk serta berpesan kepada mereka.
"Aku akan keluar menyambut kedatangan utusan Watsu, kalian disini hati-hati menjaga keselamatan Baginda. Kedua Wisu ini yang satu bernama Pek Ting, Ciangbunjin dari Eng-jiau-bun sekte utara. Seorang lagi bernama Kiang Swan, jago kosen yang liehay dalam permainan Pat-kwa-ciang. Kedua orang ini merupakan jagojago top di kalangan Wisu di istana raja, taraf Kungfu mereka hanya setengah urat di bawah Hu Kian-seng, boleh dikata termasuk jago di antara jago. Dengan adanya mereka berada di samping sang raja, betapapun cukup kuat hanya untuk menghadapi In San seorang, maka dengan lega hati Hu Kianseng berlalu. Baru saja dia keluar dan belum jauh meninggalkan Yangsim- tiam, tiba-tiba didengarnya suara "Seeer"
Yang lirih, mata kuping Hu Kian-seng setajam radar, kontan dia mengayun tangan memukul dengan Bik-khong-ciang, sebutir lempung kena dipukulnya hancur tapi mukanya kecipratan beberapa lempung lembut.
Sebagai seorang ahli silat, sudah tentu dia tahu kalau lempung tadi ditimpukkan oleh seorang ahli senjata rahasia.
Dia kira pembokong itu adalah Tan Ciok-sing, karuan hatinya gusar, pikirnya.
"Kau keparat ini berani mempermainkan aku."
Dia tidak ingin membuat ribut-ribut membuat kaget sang junjungan maka tanpa bersuara segera dia menubruk ke arah datangnya lempung.
Beruntun orang itu menimpuk tiga kali.
Hu Kian-seng selalu gagal menemukan jejaknya.
Tanpa terasa dia dipancing semakin jauh meninggalkan Yang-sim-tiam.
Karena tidak mendapat petunjuk selanjutnya dari orang itu, Tan Ciok-sing sedang berpikir apakah perlu sekarang dia menerjang kedalam Yang-sim-tiam, tiba-tiba dilihatnya dua orang telah muncul dikiar Yang-sim-tiam.
Sinar lampu yang menyorot keluar dari Yang-sim-tiam cukup benderang, maka Tan Ciok-sing yang sembunyi di atas pohon dapat melihat jelas.
Yang jalan di depan adalah seorang Taykam, dia bukan lain adalah samaran In San.
Tapi yang berjalan di belakang ternyata mengenakan pakaian seragam bangsa Watsu, dia bukan lain adalah utusan rahasia pihak Watsu, yaitu Tiangsun Co.
Tiga bulan yang lalu Ciok-sing pernah bertemu dengan dia, maka dia masih kenal tampangnya.
Mau tidak mau Ciok-sing heran.
Bagaimana bisa In San berada di samping Tiangsun Co? Sudah tentu cepat sekali dia sudah menduga mungkin Tiangsun Co yang ini adalah samaran Han Cin? Tapi Han Cin bersama ln San waktu menyelundup ke istana tadi sama-sama menyamar jadi Taykam.
Dalam waktu sesingkat ini dari mana dia bisa memperoleh seragam pakaian orang Watsu? Apalagi pakaian kebesaran seorang Pwecu? Di saat hatinya bimbang dan bertanya-tanya sementara In San bersama Tiangsun Co sudah tiba di depan Yang-sim-tiam.
Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, yang menyamar Tiangsun Co bukan lain adalah Han Cin.
Ternyata diluar tahu Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin yang sembunyi di belakang gunung-gunungan telah disambit sebutir malam bundar, setelah malam bundar itu dipecah, di dalamnya ada segulung lempitan kertas, setelah dibeber tampak kertas kecil itu bertuliskan empat patah kata.
"Masuk gua ganti pakaian.
"
Itulah pesan orang yang memberi petunjuk jalan. Tanpa ragu In San dan Han Cin menyelinap kesana memasuki gua, didalam gua memang ada seperangkat pakaian. Setelah diambil dan diperiksa, In San berkata.
"Hancici bukankah ini seragam pakaian orang Watsu?"
Han Cin cukup cerdik, segera dia paham, katanya.
"Orang itu suruh aku menyaru Tiangsun Co." 000OOO000 Perawakan Tiangsun Co termasuk pendek di kalangan Bangsa Watsu yang kekar besar. Tapi badannya masih lebih tinggi dari Han Cin. Tapi ditumpukan pakaian ini terdapat sepasang sepatu slop yang berukuran tinggi, di dalamnya disumbat kapas. Bila Han Cin memakai sepatu ini, maka tinggi badannya kira-kira sebanding dengan Tiangsun Co. Kepandaian merias Han Cin sekarang mungkin susah dicari bandingannya di dunia, dibalik pakaiannya dia sumbat lagi dengan gumpalan kapas sehingga tubuhnya kelihatan lebih besar, sehingga samarannya lebih mirip lagi. Selalu dibawanya bahan-bahan keperluan rias lagi, segera dia ganti pakaian serta merias diri sendiri dibantu In San pula, maka sekejap saja dia sudah ganti rupa menjadi Tiangsun Co sungguhan, katanya tertawa.
"Adik In, mirip tidak samaranku?"
"Jikalau tidak diamati dengan teliti siapapun takkan bisa membedakan, sekarang malam gelap lagi, yakin kawanan Wisu itu akan bisa dikelabui."
Dugaan memang tidak meleset, ada empat Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam, satu di antaranya pernah melihat Tiangsun Co, namun juga hanya melihat sekali saja, ternyata dia memang tidak curiga.
Diluar dugaannya kawanan Wisu itu memang tidak curiga kepada Tiangsun Co palsu, tapi justru curiga terhadap dirinya.
Siapa-siapa Thaykam kecil yang selalu berada di samping raja mereka tahu jelas dan kenal baik, sebaliknya Thaykam yang disamar oleh In San, selama ini mereka tidak kenal dan belum pernah lihat.
Pada hal urusan hari ini betapa penting artinya, Bong Tit kepala dari para Thaykam kenapa justru mengutus Thaykam kecil yang masih asing? Tapi mereka hanya curiga saja, tidak berani menegur apa lagi memastikan bahwa Thaykam kecil ini adalah mata-mata yang menyelundup dari luar.
Maka Wisu yang pernah melihat Tiangsun Co itu maju menyapa.
"Harap Pwelek tunggu sebentar."
Lalu dia menoleh dengan dingin dia tanya kepada In San.
"Agaknya kami belum pernah melihatmu, apakah Bong-kokong ada memberi tanda bukti melaksanakan tugas kepada kau? Kau harus tahu siapapun malam ini yang mau memasuki Yang-sim-tiam harus memiliki medali tembaga."
Untung In San sudah siap, segera dia keluarkan kipas lempit bergagang emas itu serta digoyang-goyang, katanya.
"Coba kalian periksa dengan teliti apakah kipas ini tidak lebih berharga dari lencana tembaga Bong-kokong?"
Kipas gagang emas ini adalah kipas yang diberikan oleh sang raja kepada Siau-ong-ya dari Watsu tiga bulan yang lalu.
Di atas kipas ada lukisan kembang Cu Kian-sin serta sajak ciptaannya pula.
Waktu dihadiahkan kepada pangeran kecil Watsu itu, Cu Kian-sin ada membubuhi cap dan tanda tangannya.
Sudah tentu kawanan Wisu itu tiada yang tahu akan pemberian kipas ini, tapi mereka kenal cap dan tanda tangan junjungan mereka.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kipas pribadi yang dibubuhi cap tanda tangan sang raja di tangan In San, sudah tentu jauh lebih kuat dan terpercaya dari pada lencana tembaga Bongkokong, kawanan Wisu tidak berani mempersulit dirinya.
Maklum jumlah Thaykam di istana ada ribuan, sudah tentu kawanan Wisu itu tidak mungkin kenal seluruhnya.
Wisu itu kira In San adalah Thaykam kecil yang belakangan ini mendapat kepercayaan sang raja, mana berani dia merintangi? Mendengar utusan Watsu telah tiba agaknya Cu Kian-sin melengak, katanya.
"Lho cepat sekali kalian datang, kenapa Hu-congkoan tidak kelihatan."
Dua Wisu yang melindungi sang raja yaitu Pek Ting dan Kiang Swan jadi curiga, Pek Ting berkata.
"Bukankah Baginda menyuruh dia menyambut mereka, mungkin mereka tidak bertemu di tengah jalan?"
Cu Kian-sin berkata.
"Tiangsun Pwelek Tim pernah melihatnya kurasa siapa punya nyali sebesar itu berani menyaru dirinya."
In San serahkan kipas itu kepada Han Cin, sambil menggoyang kipas Han Cin segera berlenggang naik ke loteng serunya.
"Tiangsun Co, mohon bertemu dengan raja junjungan dynasti Bing."
Han Cin pernah tinggal di markas Kim-to Cecu, di markas itu ada tawanan orang Watsu maka dia meniru logat orang Watsu bicara dalam bahasa Han, tiruannya ternyata mirip delapan puluh persen.
Sudah tentu logat suara Tiangsun Co tidak pernah diperhatikan oleh Cu Kian-sin, cuma lapat-lapat dia masih kenal bentuk wajahnya, namun dalam waktu sesingkat ini mana bisa dia membedakan apakah ini barang tulen atau palsu? Tapi melihat kipas emas itu, segera dia teringat akan kejadian yang menyenangkan dulu sehingga dia hadiahkan kipasnya itu kepada pangeran kecil bangsa Watsu.
Melihat kipas itu hatinya terasa riang dan bangga, pikirnya.
"Agaknya kipasku itu sengaja diserahkan kepada Tiangsun Co untuk diperlihatkan di hadapanku bahwa mereka menghargai karyaku, sungguh harus dipuji."
Dia kira orang sengaja menaruh hormat dan menghargainya maka cara ini memang amat berhasil dari pada menjilat dengan kata-kata.
Pepatah ada bilang kau menghargai aku satu kaki, aku menghormatimu satu tombak, apalagi Cu Kian-sin memang sudah sejak mula merasa jeri terhadap orang Watsu, sekarang dia anggap dirinya sebagai raja dari negeri yang lemah menyambut kedatangan utusan besar negeri kuat, maka bergegas dia berdiri, katanya.
"Dalam jangka tiga bulan Pwelek harus pulang pergi menempuh perjalanan jauh, sungguh melelahkan. Tidak usah sungkan silahkan duduk, silahkan duduk."
Melihat sang raja menyambut dengan riang dan mengucapkan kata-kata yang meyakinkan sudah tentu Pek Ting dan Kiang Swan tidak berani curiga lagi bahwa Pwelek yang satu ini tiruan? Tersipu-sipu mereka menarik kursi membersihkan meja lalu memberi hormat menyilahkan tamunya duduk.
Dalam pada itu pintu kamar telah tertutup.
Baru sekarang Cu Kian-sin sempat melihat In San adalah Thaykam yang asing dan belum pernah dilihatnya, namun dia tidak ambil di hati, dia kira Thaykam ini adalah pembantu setia dan terpercaya dari Bong Tit, melihat bibirnya merah giginya putih rapi, hatinya agak senang dan ketarik katanya.
"Baiklah disini tiada urusanmu, kau boleh keluar."
In San mengiakan maju dua langkah memberi hormat, tibatiba tangannya bergerak membalik menutuk Hiat-to Pek Ting.
Dalam waktu yang sama Han Cin juga telah menutuk Hiat-to Kiang Swan dengan kipas lempitnya itu.
Kungfu kedua orang ini sebetulnya tidak lebih asor dari mereka, soalnya mereka sedang membungkuk, mimpipun tidak pernah menyangka, bahwa utusan Watsu ini bakal turun tangan membokongnya, mana mereka bisa menghindar, tanpa mengeluarkan suara keduanya roboh terkulai.
Sudah tentu kejadian membuat Cu Kian-sin kaget setengah mati, mukanya pucat.
"Ka... kalian si..."
Demikian katanya tergagap. Sebelum 'siapa' sempat diucapkan, In San sudah terima kipas lempit itu dari tangan Han Cin terus dibeber di depan mata Cu Kian-sin, katanya dengan tersenyum.
"Apakah Baginda masih ingat janji pertemuan denganku dulu? Mohon maaf Binli (perempuan jelata) datang terlambat beberapa hari. Kuharap Baginda tidak bicara keras-keras."
Kipas itu ada lukisan dan sajak tulisan Cu Kian-sin tapi di sebelahnya ada tulisan tangan Tan Ciok-sing pula yang berbunyi.
"Janji tiga bulan, harap Baginda selalu ingat. Mengingkari janji dan kebenaran, tidak terampunkan oleh yang Kuasa.
"
Sebelum meninggalkan istana tempo hari Tan Ciok-sing pernah meninggalkan pesannya ini di hadapan Cu Kian-sin sebagai peringatan tegas. Mana Cu Kian-sin berani melupakan melihat huruf-huruf besar di balik kipas itu hatinya gugup seketika.
"Lalu dia ini..."
Matanya melirik ke arah Han Cin, baru sekarang dia sadar, makin diamati Tiangsun Co yang satu ini agak berbeda dengan Pwelek yang pernah dilihatnya tiga bulan yang lalu, tapi juga tidak mirip Tan Ciok-sing. In San berterus-terang, katanya.
"Dia ini bukan Tiangsun Pwelek, dia adalah teman baikku nona Han."
Lega sedikit hati Cu Kian-sin, pikirnya.
"Pemuda itu tidak datang syukurlah."
"Nona In, kakekmu pernah membuat pahala besar bagi negara, ayahmupun menjadi pembesar teladan, keluargamu adalah keluarga pembesar setia bagi kerajaan, Tim tidak pernah melupakan jasa-jasa baik keluargamu. Ada persoalan apa boleh kau bicarakan di depanku, silahkan duduk."
"Memang ada persoalan yang ingin kubicarakan dengan kau maka aku datang pula kemari."
Tawar suara In San.
"Umpama aku mau membunuhmu sekarang, semudah aku membalikkan telapak tanganku saja?"
Setelah lenyap rasa kagetnya hati Cu Kian-sin menjadi tenang dan mantap, pikirnya.
"Bila kau tidak menbunuhku urusan sih gampang diselesaikan, maka dengan suara lembut dia berkata.
"Baik apa yang ingin kau utarakan, boleh kau kemukakan di hadapan Tim, Tim pasti menuruti kehendakmu."
"Apa yang perlu kukatakan didalam surat Kim-to Cecu sudah dijelaskan, sekarang tergantung sikap Baginda apakah kau mau menerima nasehat baiknya."
"Peperangan adalah urusan negara, menyangkut kehidupan urat nadi bangsa dan tanah air, soal ini kukira Tim masih harus berpikir secara cermat."
"Kami sudah memberi waktu tiga bulan untuk kau berpikir panjang, seorang laki-laki harus berani berkeputusan dalam sepatah kata, apalagi kau adalah raja yang berkuasa, apa pula yang membuatmu bimbang..."
Belum habis dia bicara tiba-tiba dilihatnya mimik Cu Kian-sin agak ganjil seperti hendak menekan atau menyembunyikan perasaan, tapi perasaan kaget dan senang itu tak kuasa dia tutupi.
Tergerak hati In San, mendadak dirasakan angin berkesiur ada orang membokong di belakangnya.
Pembokong ini adalah Pek Ting yang tadi telah ditutuk Hiattonya, ternyata Lwekang Pek Ting memang tangguh, tadi In San kurang teliti menutuk tidak dengan Jong-jiu-hoat, setelah mengatur napas dan mengerahkan Lwekang ternyata Pek Ting berhasil membebaskan tutukan jalan darahnya.
Sedikitpun In San tidak siaga, sergapan ini sebetulnya takkan bisa dia hindarkan, untung dia melihat mimik muka Cu Kian-sin aneh otaknya cukup cerdik lagi, meski belum tahu apa yang bakal terjadi secara reflek dia menggeser ke samping.
Dia berhadapan dengan raja berarti membelakangi Pek Ting.
Cengkraman Pek Ting memang mengincar tulang pundaknya.
kalau Bi-ba-kut kena dicengkram ilmu silatnya yang pernah diyakinkan In San akan punah seketika.
Gerakan menghindar ke samping tanpa sengaja justru tepat dan berhasil menyelamatkan dirinya.
"Krak"
Jari-jari Pek Ting mencengkram bolong meja.
Karena serangan luput, sigap sekali dia sudah membalik seraya mencengkram ke arah Han Cin.
Pek Ting adalah Ciangbunjin Eng-jiau-bun sekte utara, Kim-na-jiu-hoat yang diyakinkan jarang ketemu tandingan di Bulim.
Melihat jari lawan sekuat baja, mau tidak mau Han Cin tersirap kaget.
Cepat sekali In San sudah memutar tubuh, pedang sudah terlolos terus menusuk.
"Wut, wut"
Dua kali gerakan tangan Pek Ting menderu menyerang untuk membela diri Han dan In kena didesak mundur beberapa langkah.
Setelah mendengus baru saja dia hendak berteriak, tiba-tiba tubuhnya mengejang kaku seperti kena sihir saja berdiri mematung, kedua tangannya bergaya seperti hendak mencengkram, wajahnya beringas dengan mulut menyeringai, keadaannya kelihatan lucu menggelikan.
Tiada angin, tiba-tiba daun jendela terbuka sendiri, sesosok bayangan laksana panah tiba-tiba menyeplos masuk.
Pendatang ini adalah Tan Ciok-sing.
Sembunyi di atas pohon dari ketinggian dia dapat melihat jelas keadaan didalam rumah.
Melihat Pek Ting menyergap dari belakang In San segera dia bertindak, sebelum tubuhnya menerjang masuk senjata rahasianya telah bekerja, senjata rahasia yang digunakan adalah biji buah yang baru dipetiknya di atas pohon.
Gerakan Ciok-sing cepat dan seenteng daun melayang, dari pohon dia meluncur kedalam rumah tunpa mengeluarkan suara.
Sehingga kawanan Wisu yang jaga di bawah tiada satupun yang memergoki perbuatannya.
Tapi suara ramai di atas loteng, mereka sih sudah mendengarnya.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi di atas loteng, namun mereka tahu bahwa Baginda sedang berunding dengan utusan rahasia negeri Watsu, jikalau mereka tidak diminta naik ke loteng, betapapun mereka tidak berani gegabah bertindak.
Seorang Wisu berkata bisik-bisik.
"Agaknya orang Watsu berangasan dan kasar, karena gusar Baginda mendebatnya sehingga terjadi perang mulut. Suara tadi mirip orang yang menggebrak meja. Entah Baginda atau orang Watsu tadi yang menggebrak meja?"
Wisu lain berkata.
"Kalau demikian kurasa tidak perlu kita risaukan."
Wan Giap adalah Wisu tertua didalam pasukan bayangkari yang bertugas di istana, sudah puluhan tahun dia setia kepada kerajaan, sejenak dia berpikir, lalu katanya.
"Jikalau Baginda yang dihina orang Watsu, kurasa kita tidak boleh berpeluk tangan. Hu-congkoan tidak berada disini, umpama terjadi sesuatu diluar dugaan siapa di antara kita yang harus bertanggung jawab. Menurut hematku, satu di antara kita perlu naik melihat keadaan."
Tiga Wisu temannya cuma menggeleng, katanya.
"Mencuri dengar perundingan"
Baginda dengan utusan Watsu bisa dihukum mati, jikalau kau berani menanggung akibatnya boleh kau saja yang naik."
Seorang lagi bicara.
"Justru karena Hucongkoan tidak disini, kami tidak berani sembarangan bertindak tanpa mendapat perintahnya. Wan toako, kau berani, boleh kau mewakili kami naik ke atas. Ai, kami memang bernyali kecil yang kami harapkan hanya selamat, aku tidak ingin mengejar jasa."
Wan Giap yakin dirinya adalah Wisu tertua yang biasa mendapat kepercayaan dan disayang raja, terhadap sang junjungan dia memang amat setia, makin dia pikir hatinya makin kuatir, akhirnya dia menepuk dada, katanya.
"Baiklah biar aku naik ke atas."
Setelah menutuk Hiat-to kedua Wisu pula, lekas Tan Cioksing membalik tubuh merenggut Cu Kian-sin serta mengancam.
"Aku tidak bermaksud jahat kepada Baginda, tapi Baginda harus bertindak menurut petunjukku. Jikalau satu di antara kami ada yang cidera akupun tidak akan menjamin keselamatan Baginda. Saking ketakutan dan kaget muka Cu Kian-sin pucat pasi, katanya gemetar.
"Baiklah aku mendengar petunjuk Hiapsu."
Biasanya dia yang memberi perintah, kapan dia pernah tunduk kepada orang lain, selama hidup mungkin baru sekali ini dia bilang mau menerima petunjuk orang lain.
Tanpa sungkan Tan Ciok-sing segera berbisik di pinggir telinganya memberi petunjuk apa-apa.
Pada saat itulah terdengar derap langkah naik ke atas, Wan Giap si Wisu tua telah naik ke atas loteng.
Meski bernyali besar, namun Wan Giap tidak berani gegabah.
Didengarnya Cu Kian-sin membentak.
"Siapa diluar?"
Mana dia berani mendorong pintu, tersipu-sipu dia berlutut diluar pintu serta berseru.
"Hamba Wan Giap sengaja naik kemari untuk melayani Baginda."
Cu Kian-sin membentak.
"Kau adalah Wisu tertua, kenapa masih tidak tahu aturan. Tanpa Tim yang mengundang untuk apa kau kemari. Mengingat jasamu selama ini setia dan berbakti kepada kerajaan, kali ini tidak kutimpakan hukuman kepadamu lekas menggelinding ke bawah."
Wan Giap berkeringat dingin, tersipu dia mengiakan terus merangkak turun ke bawah loteng.
Meski kaget den ketakutan namun hatinya lega.
Karena dia sudah mendengar suara junjungannya jelas bahwa sang raja tidak kurang suatu apa.
Pada hal suara makian Cu Kian-sin juga gemetar.
Tapi karena Wan Giap sendiri juga gemetar mana dia memperhatikan secermat itu.
Kalau hati Wan Giap sudah lega, adalah perasaan Cu Kiansin makin tertekan.
Pada hal Tan Ciok-sing paling dia takuti, lalu apa yang akan dilakukan Tan Ciok-sing pada dirinya? Tan Ciok-sing membimbingnya duduk, lalu memberi hormat, katanya.
"Aku terlambat beberapa hari, mohon Baginda memaafkan."
Walau hanya penghormatan biasa sebagaimana lazimnya yang terjadi di kalangan rakyat jelata, Cu Kian-sin merasa lega juga, pikirnya.
"Gelagatnya mereka tidak bermaksud jahat terhadap Tim"
Katanya.
"Hiapsu tidak usah banyak adat, Tim tidak akan menyalahkan kau. Entah kedatangan Hiapsu kali ini..."
Kalem suara Tan Ciok-sing.
"Percakapanmu dengan nona In tadi sudah kudengar jelas, kedatanganku kali ini hanya mengulang pertanyaan lama. Apakah harus angkat senjata melawan serbuan Watsu atau akan minta damai kepada mereka, apakah kau masih belum memutuskannya?"
Cu Kian-sin tertunduk diam, hatinya berpikir.
"Kenapa utusan Watsu belum juga tiba, Hu Kian-seng kenapa pergi begini lama?"
Pada hal setengah jam lebih lewat. Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut.
"Kuharap Baginda tidak banyak curiga. Jikalau Kim-to Cecu ingin jadi raja, kenapa di saat pasukan Watsu menyerbu ke Tay-tong dia angkat senjata melawannya, tidak mengalihkan sasarannya merebut tahta kerajaan, pada hal kekuatannya ibarat telur menumbuk batu, betapa besar korban yang telah dideritanya? Kini mereka terpencil diluar Gan-bun-koan tapi masih gigih melawan musuh demi kemerdekaan nusa dan bangsa."
"Harap Baginda berpikir lebih cermat, mungkin Baginda berpendapat, minta damai dan terima dihina dapat bertahan hidup sementara sebaliknya menurut pendapatku, bangsa Watsu liar dan punya ambisi besar mereka tidak akan memberikan kehidupan tentram dan sejahtera kepadamu. kepada rakyat jelata yang hidup tertindas 'dalam kemiskinan. Bila tiba saatnya mereka menyusun kekuatan besar menyerbu datang mungkin singgasana Bagindapun takkan bisa dipertahankan lagi. Dari pada Baginda dihina dan ditipu oleh bangsa Watsu, mumpung sekarang ada kesempatan untuk mencapai kemenangan kenapa tidak kau bangkit melawannya."
Pidato Tan Ciok-sing memang tidak enak bagi pendengaran sang Raja, tapi tepat mengorek penyakit hati Cu Kian-sin, rasa curiganya terhadap Kim-to Cecu rada berkurang.
Di samping itu dia memang merasa keki dan penasaran melihat sikap pongah orang-orang Watsu meski dia bukan seorang raja besar yang memiliki kemampuan besar pula, tapi juga bukan raja lalim yang terlalu ceroboh, mendengar anjuran Tan Cioksing semangat terbakar jiwa patriotnya bangkit.
Akhirnya Cu Kian-sin manggut-manggut, katanya.
"Utusan Watsu sebentar lagi akan tiba, baiklah Tim akan menerima petunjuk."
"Bagaimana pula persoalan Liong Bun-kong?"
Tanya In San.
"Tim tahu dia adalah musuhmu, besok juga Tim akan pecat dia dari semua jabatan."
"Bangsat tua itu merugikan rakyat dan negara, tujuanku bukan melulu untuk menuntut balas sakit hati pribadi. Hukuman yang Baginda jatuhkan kepadanya kurasa terlalu ringan."
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tolong Baginda memberi surat kuasa kepadaku, biar aku yang membekuk bangsat tua itu."
Ujar In San.
Cu Kian-sin masih ragu-ragu tapi akhirnya dia terima permintaan In San.
Semula dia masih ingin melindungi dan mempertahankan Liong Bun-kong tapi setelah dipikir lebih mendalam, bila kepala Liong Bun-kong terpenggal tapi dapat meredakan kemarahan masa bukankah ada manfaatnya juga bagi dirinya.
Maka dia berkata.
"Baik, boleh kau susun redaksinya nanti Tim yang tanda tangan dan dibubuhi cap pula."
Dalam kamar itu tersedia lengkap peralatan tulis, hanya beberapa kejap In San sudah rampung menulis surat kuasa itu. Pada saat itulah diluar tiba-tiba terjadi keributan. Seorang membentak.
"Kurang ajar, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek, lalu siapa Tiangsun Pwelek?"
Ucapan bahasa Han orang ini amat fasih tapi logat suaranya terang dan nyata bahwa dia adalah Tiangsun Co, utusan rahasia Watsu yang tulen. Suara seorang yang lain kedengaran amat jelek, seperti gesekan benda logam.
"Kalian sedang apa disini? Hayo tunjukan tempatnya aku akan bicara dengan rajamu. Hmm siapa berani menghadangku?"
Yang bicara bukan lain adalah Koksu negeri Watsu, Milo Hoatsu adanya.
Sengaja dia mau pamer Lwekangnya yang tangguh suaranya mendengung keras,, Cu Kian-sin yang ada di atas loteng merasa pekak telinganya.
Sebetulnya bujukan Tan Ciok-sing sudah termakan oleh Cu Kian-sin, kini mendengar utusan Watsu telah tiba hatinya menjadi gugup dan gelisah.
Tapi diapun merasa heran.
"Kemana sih Hu Kian-seng yang membawa mereka kemari?"
In San berkata.
"Baginda tidak usah gugup biar kami yang menghadapi mereka, supaya selanjutnya tidak berani bertingkah di hadapan Baginda." 000OOO000 Bagaimana In Sah akan melayani utusan Watsu, baiklah kukesampingkan dulu. Mari kita ikuti pengalaman Hu Kianseng. Mengudak jago kosen yang mempermainkan dirinya, tanpa terasa Hu Kian-seng terus mengudak sampai pojok Sia-hoa wan yang belukar dan jarang diinjak orang. Betapapun Hu Kian-seng adalah orang yang berpengalaman, akhirnya dia sadar, pikirnya.
"Kungfu Tan Ciok-sing pernah kusaksikan. Ilmu pedangnya amat tinggi, Ginkangnya juga tidak lemah. Tapi Ginkangnya tidak setinggi ini, mungkin aku salah raba orang yang mempermainkan aku bukan dia."
Mau tidak mau hatinya jadi tidak tentram.
"Walau aku sudah mengatur segala sesuatunya, tidak takut dipancing dari tempat dinasku, bila Tan Ciok-sing dan In San bergabung dengan ilmu pedang mereka menerjang masuk ke Yang-simtiam, Pek Ting dan Kiang Swan jelas bukan tandingan mereka. Em, ya, entah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co sudah tiba di Yang-sim-tiam belum, bila mereka sudah tiba disana, Milo Hoatsu pasti dapat menghadapi mereka."
Tengah dia kebingungan sayup-sayup tiba-tiba didengarnya suara Milo Hoatsu yang lagi marah-marah.
Milo Hoatsu berkaok-kaok sambil berlari, pada hal mereka belum tiba di Yang-sim-tiam.
Tapi Hu Kian-seng dapat membedakan arah datangnya suara maka dia tahu bahwa Milo Hoatsu sedang menuju ke Yang-sim-tiam.
Milo Hoatsu memaki dengan bahasa Mongol sayup-sayup Hu Kian-seng hanya paham sepatah dua patah kata, karena pulang pergi dia memaki.
"Kurang ajar."
Karuan Hu Kian-seng melengak heran, pikirnya.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar kepada mereka?"
Karena tidak tentram, Hu Kian-seng tidak berani mengudak jago kosen yang misterius tadi.
Tapi baru saja dia putar badan, bayangan misterius itu mendadak muncul, terasa angin menyamber tahu-tahu orang telah menyergap di belakangnya.
Reaksinya Hu Kian-seng cukup cekatan, secara reflek dia membalik tangan mencengkram ke belakang.
Suaranya masih dekat di kupingnya, tak nyana cengkramannya mengenai tempat kosong.
Begitu Hu Kianseng menoleh, dilihatnya sesosok bayangan hitam menyelinap ke semak-semak kembang.
Orang itu sudah menampakkan diri, tapi Hu Kian-seng belum melihat bentuk wajahnya tapi akhirnya dia melihat juga bayangannya.
Dia seorang gembong silat, cengkramannya tidak berhasil namun dia sudah tahu bahwa Lwekang orang ini sedikit di bawahnya.
Tapi meski dia sudah tahu namun Ginkang sendiri jauh ketinggalan, bila kejar mengejar ini dilanjutkan, mungkin pihak sendiri yang bakal runyam.
Akhirnya dia sadar.
"Orang ini melibatku disini, jelas tujuannya menahanku selama mungkin, kenapa aku harus ditipunya."
"Setan alas, kau tidak berani keluar, memangnya aku harus melayanimu disini, biar malam ini kuampuni jiwamu."
Demikian bentak Hu Kian-seng. Orang itu tertawa, katanya.
"Setan alas, kau tidak berani mengejar, aku justru ingin bermain petak dengan kau."
Kali ini Hu Kian-seng sudah siaga, begitu merasa angin menyamber kedua tangannya segera bergerak, Pun-lui-ciang dilancarkan dengan sembilan puluh persen tenaganya.
"Aduh."
Orang itu menjerit. Hu Kian-seng kira orang itu terluka, hatinya girang. Tak nyana belum lenyap suara jeritannya, orang itu telah berkata pula.
"Syukur aku selamat. Tidak kena."
Begitu dia menoleh seperti tadi dia hanya melihat bayangan orang sekali berkelebat telah lenyap di balik rumpun kembang. Meski berkepandaian tinggi bernyali besar, mau tidak mau Hu Kian-seng tersirap hatinya.
"Gerak gerik orang ini laksana setan gentayangan aku harus hati-hati jangan terbokong olehnya."
Kali ini dia sudah kapok dan tak berani menoleh lagi, segera dia angkat langkah seribu lari menuju ke Yang-simtiam.
Baru setengah jalan dia ketemu seorang Thaykam yang sedang lari kencang dengan napas sengal-sengal.
Hu Kianseng kenal Thaykam ini kepercayaan Bong Tit, kali ini Bong Tit mengutus Thaykam ini untuk menemani utusan Watsu menghadap kepada Baginda.
Hampir saja mereka bertumbukan, keduanya sama-sama kaget.
"Eh, Hu-congkoan, kenapa kau tidak berada di samping Baginda, koh berada disini malah?"
"Bukankah Bong-kokong mengutusmu menemani utusan Watsu menghadap Baginda? Kenapa seorang diri kau berlarilari sipat kuping."
Tanpa berjanji kedua orang sama mengajukan pertanyaan. Hu Kian-seng berkata.
"Semula tujuanku memang hendak ke tempatmu menyambut utusan Watsu, tadi kudengar suara Milo Hoatsu yang marah-marah. Aku tahu kalian sudah menuju ke Yang-sim-tiam, kukira kau telah temani mereka. Apakah yang telah terjadi?"
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi,"
Tutur Thaykam itu.
"kejadian memang aneh dan ganjil."
"Baiklah, coba kau jelaskan kejadian yang menimpa dirimu, nanti kita menganalisa bersama."
"Bukankah Baginda berjanji akan menerima utusan Watsu pada kentongan ketiga, akhirnya ditunda setengah jam lagi. Milo Hoatsu sudah kurang senang. Tak tahu..."
"Ada kejadian apa?"
"Tak nyana, tiba saat yang ditentukan Tiangsun Pwelek tidur di ranjang tidak bisa bangun."
"O, dia, dia dibokong orang?"
"Bukan begitu saja, pakaiannya malah dibelejeti orang."
Hu Kian-seng kaget, teriaknya.
"Wah celaka, pasti seseorang telah menyaru dirinya menemui Baginda."
Tanpa banyak bicara segera Hu Kian-seng berlari kencang meninggalkan si Thaykam berdiri terlongong. 000OOO000 Dengan marah-marah akhirnya Milo Hoatsu dan Tiangsun Co tiba di depan Yang-sim-tiam. Sambil membusung dada Tiangsun Co berseru.
"Apakah raja kalian ada disini? Lekas beritahu padanya, aku sudah datang."
Kawanan Wisu yang dinas saling pandang, katanya seseorang.
"Tuan ini..."
Tiangsun Co naik pitam, sentaknya.
"Kau ini anggota bayangkari yang bertugas jaga disini malam ini?"
Wisu itu mengiakan sambil manggut. Tiangsun Co mendengus, rasa gusarnya makin bertambah.
"Kalau benar kau petugas jaga disini kenapa tidak tahu siapa yang malam ini akan diterima rajamu di Yang-sim-tiam ini? Aku inilah Tiangsun Pwelek dari Watsu."
Wan Giap, Wisu tertua tampil ke depan, katanya.
"Apa betul kau ini Tiangsun Pwelek? Lalu kenapa..."
Maksudnya mau tanya kenapa tiada Thaykam yang mengiringi mereka, karena menurut kebiasaan dan rencana yang telah disepakati, kedatangan mereka sebenarnya diiringi seorang Thaykam yang dapat dipercaya dengan membawa lencana tembaga sebagai tanda dinas.
Memangnya Tiangsun Co sudah marah dan penasaran, karuan dia tak kuat menahan gejolak penasarannya lagi, semprotnya.
"Bedebah, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek lalu siapa Tiangsun Pwelek. Aku tidak maki kalian bertugas tidak genah, malah memeriksa diriku. Minggir, biar aku masuk sendiri menemui Cu Kian-sin, tak usah kalian memberi laporan."
Wan Giap adalah Wisu tua yang paling setia kepada raja, mendengar Tiangsun Co kurang ajar langsung menyebut nama junjungannya, hatinya marah juga, pikirnya.
"Umpama benar kau ini utusan Watsu, tapi petingkah dan seangkuh ini, betapapun aku tidak akan biarkan kau kurang ajar terhadap junjungan kita. Maka dia coba bicara halus.
"Maaf, dalam istana ada tata tertib, harap tuan tunggu sebentar."
Dengan menyeringai dingin Wan Giap mengadang di depannya. Tiangsun Co berjingkrak gusar.
"Tata tertib kentut anjing. Minggir."
Wan Giap memang sudah siap waktu mengadang di depan orang, kedua jarinya segera menutuk ke Lau-kiong-hoat di tengah telapak tangan lawan yang memukul tiba, sementara sisa tiga jarinya yang lain agak ditekuk, itulah salah satu gerakan liehay dari Liong-jiau-jiu.
Sebagai ahli silat, sekali turun tangan, lantas tahu apakah lawannya berisi.
Mau tidak mau Tiangsun Co kaget juga, insaf dirinya bukan tandingan Wan Giap lekas dia menarik tangan.
"Kalau benar tuan adalah utusan Watsu kuharap kau menjaga harga diri."
Demikian kata Wan Giap tawar sambil menarik gerakan Liong-jiau-jiu.
Tiba-tiba Milo Hoatsu melangkah lebar dalam matanya seolah-olah tiada Wan Giap yang berdiri di depannya.
Jari Wan Giap segera mencengkram, Milo mengebas lengan baju, kontan Wan Giap sempoyongan tujuh tindak, setelah berputar dua lingkar baru dia berhasil kendalikan dirinya.
Ternyata dalam kebutan lengan bajunya, Milo Hoatsu telah kerahkan tujuh lapis Liong-siang-kang.
Untung yang melawan adalah Wan Giap, kalau Wisu lain tanggung sudah jatuh terjengkang sungsang sumbel.
"Mutiara sebesar beras juga coba memancarkan cahaya."
Demikian jengek Milo Hoatsu.
"sudah tahu keliehayanku? Pwelek, mari kita masuk coba siapa berani merintangi?"
Pada saat itulah seorang Thaykam beranjak keluar sambil memegang kipas lempit. Thaykam ini jelas adalah samaran In San. Menuding dengan kipasnya In San membentak.
"Ada apa ribut-ribut disini?"
Wan Giap segera menyahut.
"Ada orang yang mengaku sebagai utusan Watsu minta bertemu dengan Baginda."
"Baginda sudah tahu. Baginda ada perintah suruh orang yang mengaku sebagai utusan Watsu masuk menghadap kepadanya."
"Kurcaci,"
Maki Tiangsun Co penasaran.
"aku ini jelas adalah utusan Watsu, kenapa dikatakan mengakui?"
Milo tahu di belakang kejadian ini pasti ada sebabnya maka dia berkata.
"Pwelek tak usah marah, setelah kita berhadapan dengan Cu Kian-sin nanti tanyakan persoalannya."
In San menuding pula dengan kipasnya.
"Yang diundang hanya orang yang mengaku sebagai utusan Watsu, Hwesio ini dilarang masuk."
Milo Hoatsu adalah Koksu negeri Watsu kedudukannya lebih tinggi dari Tiangsun Co mendengar Cu Kian-sin hanya mengundang Tiangsun Co, karuan gusarnya bukan buatan.
Sementara itu banyak Wisu telah lari mendatangi, Wan Giap segera memberi tanda Milo Hoatsu segera dikurung rapat.
Melihat dirinya dikurung, otak Milo Hoatsu malah menjadi jernih, pikirnya.
"Tidak sukar aku membunuh habis kawanan Wisu kentut busuk ini, bukankah urusan malah runyam? Baiklah hari ini aku telan penghinaan demi tercapainya rencana besar, biar hari ini aku mengalah, biar Tiangsun Co seorang diri menemui Cu Kian-sin. Asal perjanjian damai sudah ditanda-tangani, apapun kehendak kami dia harus tunduk dan melaksanakannya, coba saja apa dia berani menentang kehendakku untuk menghukum mati kawanan Wisu ini."
Bahwa Milo Hoatsu tidak berani mengumbar amarah, sudab tentu Tiangsun Co juga hanya menelan penasaran, seorang diri dia ikut In San naik ke loteng.
Han Cin yang menyaru Tiangsun Co sementara itu sudah berganti pakaian mengenakan seragam Thaykam, sementara Pek Ting dan Kiang Swan yang tertutuk Hiat-tonya masih berdiri kaku dengan gaya masing-masing yang lucu.
Tan Ciok-sing memang berpakaian sekolah, kini dia mengenakan serenceng kalung mutiara berdiri di belakang Cu Kian-sin pura-pura menjadi pelayan pribadinya.
Begitu In San membawa Tiangsun Co masuk ke kamar dinas dimana Cu Kiam-sim bekerja, daun pintu .yang tebal dan besar itu segera dia tutup dan kunci.
Tiangsun Co tidak tahu kalau Pek Ting dan Kiang Swan tertutuk Hiat-tonya, melihat gaya mereka amarahnya makin berkobar, pikirnya.
"Kurang ajar, Cu Kian-sin suruh kedua Wisu ini petingkah untuk menghinaku, memangnya aku gampang digertak?"
Dengan membusung dada segera dia berkata lantang.
"Khan Agung dari Watsu ada perintah untuk menyampaikan salam hormatnya kepada Raja dynasti Bing."
"O,"
Cu Kian-sin mengangguk.
"silahkan duduk."
Tak tahan Tiangsun Co menahan emosi serunya keras.
"Kedatanganku ini untuk membicarakan perjanjian damai, tolong tanya Baginda, orang-orangmu ini sedang main apa, bertindak..."
"Kurang ajar."
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum sempat dia mengucapkan katakatanya, Tan Ciok-sing telah menghardiknya.
"Tiangsun Co, di hadapan Baginda Raja kau petingkah."
Tiangsun Co kira dia hanya sebagai pembantu sekretaris yang akan membuat notulen pembicaraan hari ini, hakikatnya dia tidak pandang sebelah mata, bentaknya.
"Aku belum menuding kalian, kalian malah menuding aku. Hm, kau ini barang apa, berani kau membacot disini."
Sikap kasar Tiangsun Co sudah diduga oleh Tan Ciok-sing, bagaimana dia akan menghadapinya juga telah dia rancang bersama Cu Kian-sin, segera dia memberi lirikan mata kepada Cu Kian-sin.
Pertama Cu Kian-sin memikirkan keselamatan jiwa sendiri, kedua melihat sikap Tiangsun Co yang jumawa, hatinya keki maka segera dia bertindak sesuai pesan Tan Ciok-sing tadi, bentaknya sambil menggebrak meja.
"Kau ini utusan Watsu yang mau minta damai terhadap Tim bukan?"
Begitu dia gebrak meja meski tidak keras tapi Tiangsun Co sudah dibuat kaget setengah mati, matanya mendelik, katanya.
"Betul. Aku membawa mandat penuh sebagai wakil Khan Agung, memangnya Baginda belum tahu?"
"Tim tahu. Tapi apa kau tahu siapakah Tan-haksu ini?"
Tiangsun Co kira, pemuda ini paling adalah pembesar kesayangannya, tetap angkuh dia berkata.
"Dia siapa? Omongnya kasar, kenapa Baginda membelanya?"
"Dia inipun sebagai wakil Tim sepenuhnya. Kau ingin damai boleh kau bicara dengan dia."
Kaget dan gusar pula hati Tiangsun Co, katanya.
"Soal ini menyangkut urusan besar nasib negara, kenapa Baginda mengajukan wakil, umpama perlu kumohon supaya Baginda mengganti seorang lain..."
"Siapa utusan Khan Agung kalian, Tim tidak peduli. Siapa wakilku yang akan berunding dengan kau kalianpun tidak perlu turut campur. Kau harus tahu di garis mana kau berbicara, disini kau harus tunduk kepadaku, Tim yang berkuasa."
Di bawah pengawasan Tan Ciok-sing dengan membesarkan nyali, petunjuk apa yang tadi Tan Ciok-sing berikan kepadanya sekarang dia bacakan seperti murid yang lagi menghapal pelajaran yang diberikan gurunya, sehingga suaranya sudah agak gemetar.
Tapi karena suaranya yang bergetar ini lebih menunjukkan bahwa dia seperti menekan emosi saking marahnya.
Mimpipun Tiangsun Co tidak menyangka bahwa Cu Kian-sin bakal menuding dirinya serta bicara sekeras dan seberani itu, mau tidak mau ciut nyalinya maka dia tidak berani banyak bicara lagi.
Maka Tan Ciok-sing menimbrung dengan suara dingin.
"Sebelum kau mengajukan permohonanmu untuk mengikat perdamaian, ingin aku bertanya kepadamu, entah kau tahu tidak akan dosa-dosamu?"
Mendelik Tiangsun Co, tanyanya.
"Aku punya dosa apa?"
"Sebagai utusan sebuah negara, sepantasnya kau tahu tata tertib seorang diplomat. Kenapa setelah berhadapan dengan raja kita, kau tidak segera berlutut?"
Lalu dia menghardik dengan suara kereng.
"Hayo berlutut."
Tangan diulur menekan tubuh orang.
Umpama Tiangsun Co mau berlutut, dalam keadaan seperti ini juga pasti melawan karena dipaksa secara kasar, saking gusar matanya menjadi gelap, kontan dia ulur jari menutuk Jiti- hiat disikut orang, maksudnya hendak membikin malu Tan Ciok-sing dengan tubuh terguling jatuh, supaya tak mampu merangkak berdiri lagi.
Tak nyana ujung jarinya seperti menumbuk dinding batu waktu menyentuh anggota badan Tan Ciok-sing, jelas jarinya telah menutuk Ji-ti-hiat, tapi sikap Tan Ciok-sing tetap wajar tidak berobah sama sekali, malah dia sendiri yang menjerit kesakitan.
Cepat sekali tangan Tan Ciok-sing sudah pegang pundaknya.
Karuan Tiangsun Co tidak tahan lagi, pundaknya seperti ditindih benda ribuan kati, tanpa kuasa kedua lututnya tertekuk sehingga dia jatuh berlutut.
"Bagus, sekarang boleh kau bicara. Bagaimana maksud damai negerimu?"
Pelan-pelan dia melepas pegangan dan tekanan tangannya di pundak orang. Kejut Tiangsun Co lebih besar lagi, pikirnya.
"Cu Kian-sin sengaja hendak menghina aku. Haksu apa orang ini, jelas dia seorangjago silat kosen yang menyamar jadi sekretaris raja. Seorang laki-laki harus bisa melihat gelagat, biarlah kubicarakan dulu soal perjanjian damai itu baru nanti berusaha membuat perhitungan."
Dia insaf gelagat tidak menguntungkan dirinya, perjanjian damai juga belum tentu dicapai namun betapapun harus dicoba. Maka dia angkat kepala, serunya membantah.
"Tiga bulan yang lalu, konsep perjanjian itukan sudah dibuat. Kedatangan kali ini hanya ingin tahu jawaban Baginda, kenapa sejauh ini perjanjian itu belum juga kau tanda tangani."
"Tan-haksu,"
Kata Cu Kian-sin.
"lemparkan kembali konsep perjanjian damai itu kepadanya."
Tan Ciok-sing mengiakan, lalu dia robek konsep perjanjian damai yang ditulis sendiri oleh Liong Bun-kong tiga bulan yang lalu serta dibuang di atas lantai. Saking marah mata Tiangsun Co mendelik merah padam, katanya.
"Apa maksudmu Baginda?"
"Dari pada perang aku memang lebih cinta damai, tapi bagaimana perjanjian damai itu ditanda tangani, kalian harus tunduk akan kehendakku."
"Konsep perjanjian damai itukan sudah dirancang bersama oleh dua pihak setelah redaksinya diganti berulang kali, bila mau dirobah juga hanya mengganti beberapa huruf yang dirasa perlu saja,"
Demikian bantah Tiangsun Co.
"Tutup mulutmu!"
Bentak Tan Ciok-sing.
"kau sedang bicara dengan raja kami, mana boleh bersikap kasar, main bentak lagi. Ketahuilah konsep tetap konsep, jadi belum positip. Kami sudah tentu mempunyai maksud tujuan kami sendiri, mana boleh kau mencampuri kehendak kami."
Baru saja Tiangsun Co sudah merasakan keliehayannya, melihat Ciok-sing bicara dengan muka bengis dan bersikap gagah, mau tidak mau menciutkan nyalinya. Sesaat kemudian baru dia menghela napas, giginya berkerutuk saking menahan emosi, katanya dingin.
"Baiklah lalu menurut pendapat kalian, bagaimana perjanjian damai ini harus ditanda tangani?"
Cu Kian-sin berkata.
"Tan-haksu silahkan kau bicarakan dengan dia."
Tan Ciok-sing berkata.
"Tiongkok adalah negara berbudaya tinggi, kalian kalah perang dan minta damai, kami mau tidak menerima adalah hak kami. Tapi Baginda memang arif bijaksana beliau mau menerima permohonan kalian, oleh karena itu cukuplah asal sebetulnya kalian mengirim pernyataan menyesal akan kesalahan yang telah dilakukan."
"Apa-apaan, kenapa kami harus menyesal dan minta maaf?"
"Kalian mengerahkan pasukan menyerbu dan menduduki wilayah kami, apakah tidak pantas kalian minta maaf dan mengaku salah, memangnya kami yang harus minta maaf malah?"
Tiangsun Co berkata.
"Memberi sedikit kelonggaran kepada kalian memang bukan mustahil, tapi kami mengajukan beberapa syarat yang harus dipatuhi. 1. Dua negeri kita harus bergabung memberantas kawanan brandal di perbatasan. 2. Dynasti Bing harus menarik mundur pasukannya dari Taytong. 3. Harus menyerahkan Coh-hun, Yu-giok dan beberapa daerah. 4...."
Belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah menggebrak meja serta menudingnya.
"Besar mulutmu, kalian kalah perang, daerah kita harus diserahkan kepadamu malah, menarik mundur tentara, minta damai segala? Syarat-syarat itu sepantasnya kalian sendiri yang harus memikulnya. Tapi sekarang kami cukup murah hati kami hanya menuntut kalian mohon maaf dan menarik mundur pasukan, persoalan boleh dianggap rampung, lalu apa pula kehendak kalian?"
"Baginda harus berpikir cermat,"
Tiangsun Co masih berusaha putar lidah.
"pemerintahmu terlalu mengandal kekuatan kaum brandal, itu jelas tidak akan mengangkat gengsi. Memang beberapa kali kami pernah mengalami kegagalan tapi bila kami mau mengerahkan pasukan besar."
Tan Ciok-sing menjengek dingin.
"Bila Khan Agungmu masih tidak sadar, mengerahkan tentara main kekerasan, terpaksa kami akan memberi hajaran setimpal kepadanya. Bila kalian berani mengerahkan pasukan besar boleh silahkan kapan saja akan kami sambut."
Mau tidak mau timbul curiga Tiangsun Co, pikirnya.
"Haksu yang satu ini bagaimana berani bicara sebebas ini di depan junjungannya? Baiklah peduli siapa dia, aku harus menakuti Cu Kian-sin..."
Segera dia menarik muka, katanya membusung dada dengan sikap temaha.
"Baginda, kau harus berani berkeputusan mencari jalan yang benar, jangan mudah kau dipermainkan kaum dorna, kalau tidak, hm, hm..."
Sikapnya yang sombong dan tengik justru menimbulkan reaksi tegas Cu Kian-sin, jengeknya sinis.
"Kalau tidak kenapa?"
"Jikalau pasukan besar kita sudah kerahkan batu jadepun bakal menjadi abu, kedudukanmu sebagai raja tidak akan berlangsung lama lagi."
Walau Cu Kian-sin takut terhadap Watsu kini dia tidak tahan lagi, serunya gusar.
"Kurang ajar! Kau sedang bicara dengan Tim tahu!"
Tiba-tiba Tan Ciok-sing mencengkram kuduk Tiangsun Co serta menjinjingnya ke atas, katanya.
"Utusan Watsu berani menghina Baginda, kalau bersalah tidak dijatuhi hukuman, akan menghilangkan pamor negeri besar kita."
Setelah amarahnya berkobar, diam-diam Cu Kian-sin kuatir bila bertindak terlampau jauh.
Tapi Tan Ciok-sing bertindak demi mempertahankan nama baik dan gengsinya, apalagi ada Tan Cioksing di sampingnya, sementara pasukan besar Watsu jauh ribuan li diluar perbatasan maka rasa takut terhadap Tan Ciok-sing sekarang jauh lebih besar bila pasukan besar negeri Watsu kenyataan menyerbu negerinya.
Maka samar-samar dia berkata.
"Tan-haksu memang betul hukuman apa yang harus dia terima, boleh terserah kepadamu saja."
Tan Ciok-sing mengiakan, pelan-pelan dia gunakan Hunkin- joh-kut-jiu-hoat, Tiangsun Co yang dijinjingnya dia lempar ke atas lantai. Rasa sakit seperti meresap ke tulang sungsum, sekuatnya Tiangsun Co berusaha menahan sakit, bentaknya serak.
"Boleh buktikan kalian bisa berbuat apa terhadapku..."
Mulutnya masih ingin memaki tapi Hun-kin-joh-kut-jiu yang digunakan Tan liehay, tenaga yang disalurkan kedalam tulang sungsum tubuhnya baru sekarang mulai bekerja, kontan tubuhnya mengejang, seperti dicocoki ribuan jarum, meski sudah kertak gigi menahan napas, akhirnya tak tertahan dia merintih juga, rangkaian kata-kata yang siap dilontarkan tak kuasa diucapkan lagi.
Tan Ciok-sing berkata.
"Kau menghina Raja, semestinya hukumannya mati. Tapi mengingat kau ini seorang utusan negara asing hari ini kuampuni jiwamu."
Sampai disini sengaja dia merandek. Meski kesakitan namun dalam hati Tiangsun Co amat senang, pikirnya.
"Memangnya kau berani membunuh aku? Asal jiwaku selamat, kapan saja aku pasti menuntut balas."
Saking kesakitan dia tidak mampu bersuara, juga tidak berani bicara. Tapi rasa bangga dan puas tak urung tampil di wajahnya. Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut.
"Hukuman mati boleh diperingan menjadi hukuman siksa. Baiklah, laksanakan pukulan empat puluh kali."
In San dan Han Cin mengiakan bersama.
Mereka tarik Tiangsun Co serta membalikkan tubuhnya hingga tidur tengkurap serta ditekan punggungnya, palang pintu memang tersedia di kamar buku itu, dengan palang pintu itulah pantat Tiangsun Co dihajar empat puluh kali.
Waktu Hu Kian-seng buru-buru kembali ke Yang-sim-tiam, anak buahnya masih mengurung Milo Hoatsu.
Melihat gelagat jelek ini, sungguh terkejut H u Kian-seng bukan main.
Lekas dia tarik Wan Giap ke pinggir serta tanya perlahan.
"Kenapa hanya Milo Hoatsu yang ada disini? Mana Tiangsun Co?"
"Baginda hanya mengizinkan Tiangsun Co saja yang menghadap."
Sahut Wan Giap. Hu Kian-seng tahu kedudukan Milo Hoatsu lebih tinggi, katanya.
"Bagaimana mungkin Baginda memberi perintah begitu. Apakah baginda sendiri yang memberi pesan kepadamu?"
"Bukan, seorang Thaykam keluar menyampaikan perintahnya."
Demikian tutur Wan Giap.
"Thaykam itu memegang kipas pribadi Baginda."
"Sebelum ini kalian belum pernah melihat Thaykam itu?"
Tanya Hu Kian-seng.
"Belum pernah melihatnya."
"Bagaimana dia bisa masuk?"
"Bukankah Bong-kokong yang mengutusnya mengantar utusan Watsu? Oh ya, hampir lupa aku memberitahu kepadamu, urusan agak ganjil, Tiangsun Co yang duluan memang tidak mirip Tiangsun Co yang belakangan."
Hu Kian-seng kaget, pikirnya.
"Ternyata ada orang yang menyaru."
Katanya gugup.
"Jangan kalian berbuat salah kepada Milo Hoatsu, Tiangsun Co yang datang bersama dia itu yang tulen. Sekarang aku harus segera menemui Baginda..."
Baru saja Hu Kian-seng beranjak di undakan loteng, dia sudah mendengar suara palang pintu menghajar pantat, rasa kejutnya bertambah besar, tapi dia belum berani memastikan bahwa Tiangsun Co yang dihajar pantatnya, lekas dia memburu ke atas serta berteriak.
"Baginda, Baginda..."
Ternyata kejadian selanjutnya menambah rasa kejutnya pula, baru dua kali dia berteriak, belum sempat dia mohon supaya menghentikan hukuman hajar pantat itu, suara junjungannya sudah membentak.
"Siapa berani naik ke atas tanpa kuperintah?"
Terpaksa Hu Kian-seng menghentikan langkah, serunya lantas.
"Hamba Hu Kian-seng sudah kembali."
Sebagai Komandan pasukan Bayangkari, biasanya selalu mendampingi raja, tadi atas kehendak raja dia keluar untuk menyambut kedatangan utusan Watsu.
Sekarang sudah kembali sebetulnya adalah kejadian yang logis, jadi hakikatnya tidak perlu harus dipanggil.
Maka setelah dia berteriak, dia harap Cu Kian-sin akan mengenal suaranya dan segera memanggilnya.
Tak nyana didengarnya suara Cu Kian-sin lebih beringas, bentaknya.
"Disini tak perlu tenagamu. Disana tenagamu diperlukan kenapa kau tidak kesana. beginikah rasa baktimu terhadap Tim?"
Saking kaget dan takut lekas Hu Kian-seng berlutut diluar pintu, serunya.
"Mohon Baginda memberi petunjuk."
"Ada apa di bawah loteng, kenapa ribut?"
Sentak Cu Kiansin.
"Ada, ada..."
"Jangan membela orang luar, apakah Koksu dari Watsu yang membuat onar?"
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terpaksa Hu Kian-seng memberi laporan.
"Ya, ya, Milo Hoatsu mohon izin untuk naik kemari, menemui Baginda."
Kereng suara Cu Kian-sin.
"Tim larang dia naik kemari, dia berani membuat keributan, memangnya dia masih memberi muka kepada Tim? Hu Kian-seng, tenagamu tidak diperlukan disini, tidak lekas kau turun ke bawah melarang dia membuat onar!"
Sudah tentu apa yang diucapkan Cu Kian-sin telah didikte oleh Tan Ciok-sing, mana Hu Kian-seng tahu bahwa di belakang peristiwa ini Tan Ciok-sing telah memegang peranan.
Namun demikian, rasa curiganya bertambah besar.
Sikap keras dan tindakan tegas Cu Kian-sin kali ini, tidak mirip keadaan biasanya yang dia ketahui benar.
Setelah pantatnya dihajar keras, meski tidak mampu bersuara, tak tertahan Tiangsun Co merintih-rintih.
Begitu mendengar suara Hu Kian-seng diluar pintu, segera dia berkaok-kaok kesakitan.
In San tidak berani menutuk Hiattonya.
Hu Kian-seng mendengar rintihan, namun dia tidak berani menerjang masuk.
Maklum setiap patah kata yang keluar dari mulut sang raja merupakan perintah yang tak boleh dibantah.
Dengan kupingnya sendiri dia mendengar Baginda marahmarah memaki Koksu negri Watsu kalau Koksunya juga dimaki, menghajar utusan Watsu juga menjadi urusan biasa.
Dia pikir bila dugaannya meleset, bila menghajar pantat utusan Watsu memang kehendak Baginda sendiri, kalau dirinya menerjang masuk berarti melanggar aturan, mana berani dia memikul dosa yang tidak terampun? Karena itu dia tidak pingin mengejar pahala, syukurlah kalau awak sendiri tidak berbuat salah.
Dan lagi Hu Kian-seng memang seorang yang pandai menggunakan otak, berpandangan jauh dan luas, dia pikir bila Baginda menjadi sandera, kalau dirinya masuk bukankah keadaan Cu Kian-sin akan lebih berbahaya? Kalau Baginda sudah dijadikan sandera, dirinya gegabah lagi, akibatnya tentu fatal, salah-salah jiwa sang raja bisa mati secara konyol.
Apa boleh buat terpaksa Hu Kian-seng mengiakan, buruburu dia lari turun ke bawah.
Ternyata keributan semakin besar di bawah.
Kiranya Milo Hoatsu sudah mendengar rintihan Tiangsun Co yang sedang disiksa di atas.
Melihat Hu Kian-seng keluar, Milo Hoatsu lantas membentak.
"Apa yang dilakukan raja kalian? Kenapa Tiangsun Pwelek merintih-rintih?"
Hu Kian-seng jeri bila padri asing ini benar-benar mengamuk, terpaksa dia membual.
"Koksu, mungkin kau salah dengar. Jangan banyak curiga, sabarlah, tunggu lagi sebentar."
"Apa, jadi kau tidak disuruh mengundangku naik ke atas?"
Semprot Milo Hoatsu.
"aku harus menunggu disini pula, kalian, hm, hm, termasuk raja kalian memangnya sudah tidak ingin hidup?"
Wan Giap paling setia kepada sang junjungan, tak tahan berkobar amarahnya, bentaknya.
"Kami menyambutmu dengan kehormatan, kalianpun harus tahu diri, mana boleh kau lancang dan petingkah disini,"
Kata-katanya mengobarkan pula amarah kawanan Wisu yang lain, serempak mereka bersorak terus merubung maju. Milo Hoatsu membentak.
"Aku, jijik melayani kalian, Hu Kian-seng, hayo temani aku naik ke atas."
Hu Kian-seng berkata perlahan.
"Maaf, atas perintah Baginda, aku disuruh turun menemani kau disini."
"Apa?"
Milo Hoatsu berjingkrak.
"kau juga melarang aku ke atas?"
"Bukan aku yang melarang, Baginda ingin supaya kau menunggu di bawah saja."
"Bedebah, aku justru ingin berhadapan dengan raja dan akan kutanya kepadanya, memangnya kalian mampu menahanku disini. Di tengah bentaknya kedua lengannya menggentak, dua Wisu terpental setombak lebih. Apa boleh buat, urusan sudah terlanjur sejauh ini, terpaksa Hu Kian-seng turun tangan. Milo Hoatsu mendorongkan telapak tangannya, terpaksa dia gunakan jurus Hud-in-jiu, pukulan lunak yang dapat memunahkan tenaga keras. Sayang Lwekangnya, memang setingkat lebih asor dibanding Milo Hoatsu apa lagi dia tidak berani kerahkan seluruh tenaganya, akibatnya meski pukulan Milo Hoatsu berhasil dipunahkan sebagian besar tak urung dia sendiri tergentak mundur beberapa langkah, setelah berputar satu lingkaran baru berdiri tegak. Wan Giap membentak.
"Berani kau betingkah lagi, biar aku adu jiwa dengan kau."
Kedua wisu tadi dilempar jatuh hingga kepalanya bocor tulang patah, karuan teman-temannya naik pitam, belasan orang segera merangsak maju.
Milo Hoatsu juga seorang ahli, gebrak percobaan dengan Hu Kian-seng tadi dirasakan bahwa lawannya belum menggunakan tenaga sepenuhnya, dia pikir bila terjadi pertempuran sengit, Hu Kian-seng dibantu belasan anak buahnya, pihak sendiri yang tetap dirugikan.
Terpaksa dia berdiri tegak di tempatnya, bentaknya beringas.
"Hu Kian-seng, sementara boleh aku memberi muka kepadamu, kau harus memberi penyelesaian kepadaku, apa yang terjadi di atas?"
"Aku tidak tahu."
"Kau melihat Tiangsun Pwelek tidak?"
"Tidak."
Karuan Milo kaget dan gusar, makinya sambil menuding Hu Kian-seng.
"Hu Kian-seng, lalu apa kerjamu?"
"Apa kerjaku memangnya kau tidak tahu, aku komandan bayangkari yang berkuasa disini, tahu!"
Akhirnya Hu Kian-seng naik pitam setelah dibentak dan dituding.
"Sebagai Komandan bayangkari yang berkuasa, ada musuh menyelundup kedalam istana kenapa tidak kau usut dan periksa."
Hardik Milo Hoatsu. Bercekat hati H u Kian-seng, tapi dia mengeraskan kepala, katanya.
"Darimana kau tahu ada mata-mata musuh menyelundup ke istana?"
"Tiangsun Pwelek telah dikerjai orang di penginapannya, pakaiannya diblejeti dan dicuri orang, setiba kami disini, anak buahmu ternyata mencurigai kami, coba kau berterus terang bukankah ada seorang Tiangsun Pwelek lain yang telah datang lebih dulu?"
Milo Hoatsu ternyata cukup teliti, walau dia tidak mendengar persoalan apa yang diucapkan Wan Giap dengan Hu Kian-seng, tapi bahwa seseorang telah menyaru jadi Tiangsun Pwelek sudah dalam dugaannya.
Maka dia duga Wan Giap melaporkan kejadian ini kepada Hu Kian-seng.
Hu Kian-Seng pentang kedua tangannya, katanya.
"Hoatsu, sabarlah, jangan marah-marah dengarkan penjelasanku."
"Tulen atau palsu sudah jelas, apa pula yang perlu dibicarakan?"
Seru Milo Hoatsu gusar. Lahirnya dia bersikap kasar dan garang, namun hatinya juga jeri menghadapi Hu Kian-Seng, setelah maju dua langkah dia berhenti pula.
"Seperti apa yang kau bilang,"
Demikian ujar Hu Kian-Seng.
"urusan pasti bisa diusut sampai terang, harap kau tunggu sebentar? Tiangsun Pwelek segera akan keluar."
Milo Hoatsu mendengus.
"Siapa tahu apa yang rajamu yang bodoh itu lakukan terhadap Tiangsun Pwelek. Bila kalian menganiayanya sampai mati, apa aku harus menunggunya seumur hidup?"
Wan Giap menyemprot gusar.
"Kata-katamu terlalu kurang ajar terhadap Baginda, jangan kau menyesal bila kami bertindak kasar terhadapmu."
Diam diam Hu Kian-seng panggil seorang Wisu serta memberi pesan apa-apa terhadapnya, tugasnya ialah mengundang bala bantuan sebanyak mungkin, diberitahukan pula bahwa ada mata-mata musuh berada di Sia-hoa-wan.
Sebelum kawanan Wisu tiba, Tiangsun Pwelek telah keluar.
Tapi bukan berjalan tegak, tapi dengan merintih-rintih dia terguling jatuh dari atas tangga.
Maklum empat puluh kali pukulan palang pintu cukup membuat pantatnya mekar, untung Lwekangnya sudah punya dasar kuat meski luka-luka luar cukup parah, sebetulnya masih cukup kuat.
Bahwa dia sengaja menggelinding jatuh dari atas loteng, tujuannya, adalah mau memancing kemarahan Milo Hoatsu, supaya sakit hati dan dendamnya terbalas.
Melihat keadaannya Milo Hoatsu memang naik pitam, amarahnya seperti api disiram bensin, teriaknya.
"Tiangsun Pwelek, siapa menghajarmu sampai begini?"
Tiangsun Pwelek merangkak, serunya serak.
"Siapa lagi kecuali raja anjing mereka!"
Sambil menggerung Milo Hoatsu lantas menerjang, bentaknya.
"Kalian berani menghina utusan negeri kita, biar aku membuat perhitungan dengan raja anjing kalian."
Mendengar Baginda dimaki "Raja anjing"
Amarah Wan Giap lebih berkobar, bentaknya.
"Peduli siapa dia, gampar mulutnya."
Dua orang Wisu lain juga tidak kuat menahan amarah, mereka menelat tindakan Wan Giap memburu kesana terus meringkusnya.
Lekas Milo Hoatsu tarikan sepasang telapak tangannya, Wan Giap kena dipukulnya jungkir balik, demikian pula dua Wisu yang lain kena ditendangnya mencelat.
Urusan amat mendesak Hu Kian-seng tidak banyak pikir lagi, terpaksa dia maju merintangi.
"Blang", mereka adu pukulan.
"Huuuaaaah", kontan Hu Kian-seng muntah darah. Taraf Lwekang mereka sebetulnya tidak terpaut jauh, sayang Hu Kian-seng tidak berani menggempur sekuat tenaga, maka dia yang kena rugi. Melihat pemimpin mereka muntah darah entah bagaimana luka-lukanya, kawanan wisu marah-marah. Mereka tidak hiraukan keselamatan sendiri, tidak peduli apa pula akibatnya, ganyang musuh lebih dulu, maka beramai-ramai mereka merangsak. Milo Hoatsu menanggalkan jubahnya, bentaknya.
"Siapa merintangi aku dia mati. Aku akan membuat perhitungan dengan Cu Kian-sin anak keparat itu."
Wan Giap yang terpukul jungkir balik itu, luka-lukanya lebih parah dari Hu Kian-seng, tapi mendengar Milo Hoatsu langsung menyebut nama sang raja serta memakinya pula, amarahnya tak terbendung lagi, entah dari mana datangnya kekuatan, segera dia meletik bangun, bentaknya.
"Hayo kawan-kawan, kita adu jiwa."
Milo Hoatsu sudah menyendal jubahnya laksana segumpal mega merah, jubahnya menggulung ke arah kawanan Wisu yang menyerbu dirinya.
Kawanan Wisu ini terhitung jago-jago kosen dalam istana, tapi dibanding Hu Kian-seng terang ketinggalan jauh, pula dibanding Milo Hoatsu.
Maka terdengarlah suara gemerantang yang ramai, gaman ketiga orang Wisu kena digulung lepas dan jatuh.
Di kala jubah Milo menggulung ke depan tiba-tiba terasa angin kencang menyamber, sinar kemilau menyilau mata, dari samping seorang Wisu menusuk dengan pedang secepat kilat.
Bercekat hati Milo Hoatsu.
"Siapa kira anak buah Hu Kianseng ada juga yang berkepandaian setinggi ini."
Tersipu-sipu dia memutar tubuh menghadapi serangan orang ini, sekaligus jubah yang menggulung ke depan disendai miring ke pinggir, sebelah tangan yang lain menyambut serangan Hu Kian-seng dan dua orang pembantunya.
Karena itu perhatian terpencar tenagapun tidak seimbang karena harus melayani dua pihak.
"cret"
Jubah kasanya yang tebal itu telah tertusuk bolong oleh pedang lawan.
Kasanya itu digunakan sebagai senjata setelah dilandasi kekuatan Lwekangnya, berkembang kencang laksana layar.
Kini mendadak tertusuk bolong, karuan seketika melambai lemas seperti ban kempes, sudah tentu kekuatannya seketika sirna.
Tadi Hu Kian-seng tidak gunakan tenaga sepenuhnya hingga mengalami rugi besar.
Kini menghadapi detik-detik mati hidup, mana berani dia berlaku ayal? Blang, telapak tangan beradu, kali ini Milo Hoatsu tergempur mundur tiga langkah.
Terasa kerongkongannya anyir, darah yang sudah menyembur ke lehernya telah ditelannya pula bulat-bulat.
Maklum sebagai seorang Koksu yang berwatak tinggi hati, betapapun dia malu dikalahkan.
Hu Kian-seng berterima kasih kepada Wisu yang telah menolongnya, dalam keadaan genting seperti itu, tak sempat dia berpikir, di antara anak buahnya siapa yang memiliki kepandaian pedang seliehay itu? Kini baru dia ada kesempatan, sekilas dia pandang Wisu di sebelahnya.
Hatinya lantas heran dan bertanya-tanya, karena Wisu ini bukan anak buahnya, agaknya diapun belum pernah melihat Wisu ini.
Saat mana Wan Giap baru saja melompat berdiri melihat Wisu ini diapun melengak, tanyanya.
"Siapa kau?"
Sikap setianya memang takkan luntur meski jiwanya hampir mampus, maka dalam keadaan seribut itu, dia masih tidak lupa memperhatikan lawan dan kawan.
Wisu ini bukan lain adalah samaran Toan Kiam-ping.
Seperti diketahui Toan Kiam-ping sembunyi di belakang gunung-gunungan siap menyambut dan membantu Tan Cioksing.
Mendengar Milo Hoatsu membuat keributan di depan Yang-sim-tiam, terpaksa dia keluar dari tempat sembunyinya.
Kedatangannya tepat pada waktunya, sehingga jiwa Hu Kianseng berhasil ditolong.
Satu hal yang tidak dia kira, dalam keadaan seribut ini, Wan Giap, Wisu yang setia kepada rajanya ini masih sempat memperhatikan dirinya.
Seluruh Wisu yang ada di istana semua kenal baik dengan Wan Giap hanya Wisu yang satu ini yang tidak dikenalnya.
Toan Kiam-ping sudah tahu, masih mungkin dia mengelabui Hu Kian-seng, tapi sukar ngapusi Wan Giap.
Dasar cerdik, hatinya tabah lagi, segera dia mengeluarkan sebentuk lencana terus diacungkan, katanya.
"Aku disuruh Bok-jongling kemari untuk membantu melindungi Baginda, inilah lencana pemberian Bong-kokong. Bok-jongling dan Bong-kokong sudah bilang, peduli siapapun, bila dia berani membuat onar di istana, kita harus mengusirnya."
Bok Su-kiat adalah komandan Gi-lim-kun, Gi-lim-kun adalah pasukan pribadi sang raja tugasnya melindungi keselamatan istana di bagian luar, bila sang raja mengadakan inspeksi ke daerah, menjadi tugas Gi-lim-kun untuk mengawal dan melindunginya.
Jadi jelas tugas Gi-lim-kun berbeda dengan pasukan Bayangkari, satu tugas diluar yang satu bertugas didalam, tanpa mendapat perintah raja Gi-lim-kun dilarang sembarang masuk ke istana.
Satu hal lagi, bahwa seragam pasukan Gi-lim-kun berbeda dengan seragam pasukan bayangkari.
Toan Kiam-ping mengaku seorang perwira Gi-lim-kun, tapi mengenakan seragam pasukan Bayangkari.
Sudah tentu Toan Kiam-ping tidak tahu akan seluk beluk ini, karena di hadapan komandan pasukan Bayangkari dan Wisu tua ini tidak mungkin dia mengaku sebagai anggota pasukan Bayangkari, sekenanya dia menyaru jadi anggota Gi-lim-kun.
Bualannya memang menyerempet bahaya dengan pengharapan lawan percaya, dan tidak sempat perhatikan dirinya lagi.
Ternyata dia berhasil.
Bukan Wan Giap tidak melihat kelemahan alasannya, tapi keterangannya yang membual itu, justru hampir cocok dengan kenyataan.
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Janji pertemuan Cu Kian-sin dengan Tan Ciok-sing sebetulnya terjadi lima hari yang lalu, kuatir tenaga pasukan bayangkari masih belum kuat, pernah timbul niatnya hendak meminta kepada Bok Su-kiat untuk mengirim beberapa jago kosennya bantu bertugas didalam istana.
Persoalan ini dia serahkan kepada Hu Kian-seng, tapi Hu Kian-seng kurang senang jikalau Bok Su-kiat menginterfensi ke daerah kekuasaannya, maka dia simpan maksud atau kehendak sang raja dan tidak memberi tahu kepada Bok Su-kiat.
Yang terang sang raja hanya berpesan secara lisan, tiada bukti hitam di atas putih.
Beberapa hari kemudian, suasana tentram tidak terjadi apa-apa, Bagindapun telah melupakan akan hal ini.
Tapi Wan Giap tahu akan pesan raja, cuma dia tidak tahu bila Hu Kian-seng menahan pesan secara lisan ini.
Karena terdesak sekenanya Toan Kiam-ping membual, ternyata hampir cocok dengan kenyataan.
Lenyap rasa curiga Wan Giap, serta merta matanya melirik ke arah Hu Kian-seng.
Sudah tentu Hu Kian-seng tahu bahwa Toan Kiam-ping membual, tapi Toan Kiam-ping telah menolong jiwanya, sedikit banyak dia merasa hutang budi, maka dia segan untuk bertindak membalas kebaikan orang dengan membongkar asal-usulnya.
Apalagi dia harus menyimpan rahasia, jikalau perintah raja yang dia peti eskan sampai terbongkar kedudukannya tidak terjamin lagi, sudah kebacut salah biarlah salah lebih lanjut.
Apalagi dia belum mendapat laporan tentang asal-usul Toan Kiam-ping, kepandaian silatnya tinggi lagi, maka dia menduga bukan mustahil Bok Su-kiat memang mengutus dia masuk ke istana.
Hatinya maklum lirikan mata Wan Giap kepada dirinya adalah ingin memperoleh jawaban dari mulutnya.
Tapi dalam keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah pura-pura tidak tahu sementara diam sebagai jawaban.
Melihat Hu Kian-seng diam saja, Wan Giap kira dia membenarkan.
Maka sisa curiganya telah sirna.
Apalagi keadaan segawat ini, mana sempat dia tanya kepada Hu Kianseng.
Pembicaraan beberapa patah kata itu berlangsung amat singkat, tapi peluang ini telah dimanfaatkan oleh Milo Hoatsu untuk mengatur napas lalu melancarkan rangsakan pula.
Pelan-pelan dia mengembangkan kedua lengannya, terdengar ruas-ruas tulangnya berbunyi berkeretekan, sinar matanya tambah menyala, bentaknya.
"Kurang ajar, berani kau memaki aku gegabah? Hm, baiklah, coba buktikan, siapa yang akan terlempar keluar dari sini."
Belum lenyap suara bentakannya, kedua tangannya bekerja pula, kali ini membelah ke arah Wan Giap.
Jarak mereka ada satu tombak, telapak tangannya tidak mungkin mencapai Wan Giap, tapi perbawa Bik-khong-ciangnya ternyata sedahsyat gugur gunung.
Wan Giap tertindih oleh damparan angin pukulan, dadanya sesak seketika, sakit dan tak mampu bicara.
Toan Kiam-ping bertindak cekatan.
"Sret"
Pedangnya telah menusuk Lau-kiong-hiat di telapak tangan lawan.
Bila Laukiong- hiat tertusuk, betapapun tinggi Lwekangnya, bila hawa murni bocor Kungfunya akan punah.
Sudah tentu Milo Hoatsu tidak membiarkan telapak tangannya tertusuk tembus, jarinya tertekuk lantas menjentik.
Kungfunya memang sudah mencapai taraf tinggi, jentikannya tepat dan telak.
"Creng"
Pedang lawan kena diselentiknya pergi.
Telapak tangan Toan Kiam-ping pecah berdarah, getaran selentikan lawan ternyata hampir membuat dia tidak kuat memegang pedang.
Tanpa kuasa dia menjejak kaki, tubuhnya jumpalitan mundur beberapa tombak.
Hu Kian-seng sudah berada di damping Wan Giap, berdampingan mereka menyerang bersama, baru gempuran Milo Hoatsu berhasil dibendung.
Kekuatan tiga jago top menimbulkan getaran hawa yang cukup dahsyat, jendela tak jauh di samping mereka tergetar jebol.
Beberapa Wisu lain yang tidak terluka segera terjun ke arena pertempuran, sekuat tenaga mereka merintangi Milo Hoatsu yang hendak menerjang ke atas loteng.
Dalam pada itu Toan Kiam-ping sudah berdiri pula, dari jendela dia melongok keluar lapat-lapat di tempat sembunyi Tan Ciok-sing tadi kini muncul pula bayangan seorang.
Tapi jelas bukan Tan Ciok-sing, tapi adalah Han Cin.
Han Cin melambaikan tangan ke arahnya.
Walau dihajar empat puluh kali gebukan di pantatnya, lukaluka Tiangsun Co hanya di kulit dagingnya saja, diam-diam dia sudah merangkak bangun, terus menyergap seorang Wisu.
Wisu itu tercengkram tulang pundaknya, saking kesakitan dia menjerit sekali terus jatuh semaput.
Tapi di kala meronta seraya menyikut, sikutannya telah mengenai dada Tiangsun Co sehingga pandangannya berkunang-kunang tanpa kuasa dia menyurut mundur beberapa langkah dan jatuh terguling.
Toan Kiam-ping mencelat maju, pedang dipindah ke tangan kiri, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, langsung dia menusuk ke arah Tiangsun Co.
Umpama segar bugar Tiangsun Co bukan tandingannya, apalagi sekarang luka ditambah luka, mana dia mampu melawan tusukan pedang secepat kilat ini? Tahu dirinya tidak mampu berkelit, amarahnya malah berkobar, tidak mundur dia malah memapak maju, bentaknya.
"Berani kau membunuhku."
Dia pikir sebagai utusan negrinya, dalam keadaan kepepet dia jadi nekat.
Tapi belum habis dia bicara, dadanya sudah terasa dingin, serasa sudah terbang arwahnya, anehnya ternyata tidak merasa sakit sama sekali.
Ternyata ilmu pedang Toan Kiamping sekarang telah mencapai taraf sempurna, gerakannya dapat dikendalikan menurut perintah otaknya, begitu ujung pedang menyentuh tubuh lawan, segera dia robah serangannya menjadi tutukan ke Hiat-to lawan, yang diincar adalah Hiat-to pelemas di dada orang sehingga Tiangsun Co lunglai, seperti menjinjing kucing layaknya, Toan Kiam-ping merenggut Tiangsun Co terus dilempar ke arah Wan Giap, serunya.
"Bila dia berani membuat onar pula, pukul lagi bocah ini empat puluh kali."
Bukan kawanan wisu itu tidak mikir untuk menyandera Tiangsun Co, soalnya orang adalah utusan Watsu, maka mereka tidak berani bertindak secara gegabah.
Bahwa Toan Kiam-ping melempar Tiangsun Co ke arah Wan Giap, tepaksa Wan Giap menerimanya.
Begitu Tiangsun Co jatuh ke tangannya, keadaan seperti orang di punggung harimau, langkah yang tidak dia lakukan terpaksa juga harus dihadapinya.
Sudah tentu amarah Milo Hoatsu tak tertahankan lagi, langsung dia menubruk ke arah Wan Giap sambil membentak.
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap Pwelek kami, hayo turunkan, kupuntir kepalamu."
Berulang kali dirinya dimaki dan terluka pula, akhirnya Wan Giap mata gelap dan nekat, Tiangsun Co diangkat terus diputar sebagai tameng, bentaknya balik.
"Baik, mari, kau puntir, coba buktikan kepala siapa yang kepuntir patah."
Lekas Hu Kian-seng menerobos ke tengah mereka, teriaknya.
"Hoatsu berhenti dulu, persoalan bisa dibicarakan. Wan Giap, jangan kau kurang ajar terhadap Tiangsun Pwelek, lekas turunkan dia."
Betapapun Hu Kian-seng adalah atasannya, karena dibentak terpaksa Wan Giap turunkan Tiangsun Pwelek, tapi jari-jarinya mencengkram punggungnya.
Meski amarah berkobar, tapi orang sendiri disandera lawan, Milo Hoatsu tidak berani sembarang bertindak lagi.
"Kalian berani menghina utusan kita, persoalan apa pula yang perlu dibicarakan?"
"Kalau kau tidak ribut, sudah tentu kami tidak akan bertindak kasar."
Wan Giap balas membentak.
"Sebetulnya apa kehendak kalian?"
Bentak Milo Hoatsu.
"Kami justru ingin tahu apa kehendakmu?"
Bantah Wan Giap pula.
"Wan Giap,"
Sentak Hu Kian-seng.
"jangan kurang ajar lekas bebaskan Tiangsun Pwelek."
"Paling tidak dia harus berjanji dulu tidak akan membuat keributan, baru aku akan membebaskan orangnya. Tiangsun Co memang sebagai utusan Watsu, tapi Baginda Raja kita berada disini, mana boleh kalian petingkah disini, sama-sama berlaku hormat kan juga harus dipatuhi kedua pihak."
Tekad setianya kepada raja memang harus dipuji, bila dia mengumbar adat, meski Hu Kian-seng adalah atasannya juga berani dibantah.
Sudah tentu makin murka Milo Hoatsu mendengar ocehan Wan Giap.
Tapi dalam keadaan kepepet begini, seorang diri jelas dirinya kewalahan, apalagi tadi dia mengerahkan Thianmo- ciang-lat yang teramat ganas, hawa murni sendiri sudah banyak dikorting, jikalau urusan belum beres dan harus bertempur lagi, umpama dirinya berhasil menerjang kepungan, dirinya pasti akan jatuh sakit parah.
Apalagi umpama dia berhasil lari, Tiangsun Co masih menjadi tawanan lawan.
Begitu menerima Tiangsun Co segera dia membebaskan tutukan Hiat-tonya, tanpa banyak bicara lagi terus beranjak keluar.
"Hoatsu, Pwelek,"
Teriak Hu Kian-seng.
"tunggu sejenak, biar aku menghadap Baginda, nanti kita bicara lagi. Kuyakin dalam kejadian ini pasti ada kesalah pahaman..."
Hu Kian-seng menduga pasti ada mata-mata musuh yang sengaja mengadu domba, sayang pihaknya tiada orang yang tepat diserahi tugas untuk memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu.
Tapi urusan menjadi ribut sebesar ini memang diluar dugaannya.
Segera dia cwlingukan, Wisu yang tadi menolong dirinya sudah tidak kelihatan, sekarang baru dia paham duduknya perkara.
Tapi bila dia membongkar rasa curiganya ini.
Wan Giap tentu menyalahkan dirinya, kenapa tidak sejak tadi membeber soal ini.
Oleh karena itu, dia bertindak menurut perhitungannya sendiri, setelah dia menemui baginda, dan jelas duduk persoalan seluruhnya, baru akan memberi penjelasan kepada Milo Hoatsu.
Tapi tak pernah terpikir olehnya, setelah Tiangsun Co dihajar, Milo Hoatsu kebacut marah, apakah perhitungannya dapat dapat terlaksana? Dengan muka merah padam, Milo Hotsu membentak.
"Hu Kian-seng, tiada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau berani hayo bunuh kami berdua, memangnya kami harus kau tahan disini mendengar penghinaan kalian."
Sembari bicara kedua lengannya bekerja terus menerjang ke depan. Para Wisu yang dibuat kaget dan melenggong mana berani merintangi. Setelah Hiat-to dibebaskan, rasa sakit Tiangsun Co bertambah-tambah, dengan murka diapun berteriak serak.
"Beritahu kepada raja anjingmu, tunggulah pasukan besar Watsu kita menyerbu tiba."
"Tiangsun Co,"
Bentak Wan Giap.
"mulut anjingmu tidak tumbuh gading, berani-berani kau bermulut kotor, aku, aku..."
Belum habis dia bicara, mulutnya sudah didekap Hu Kian-seng. Sebetulnya Tiangsun Co juga sudah kapok, namun dia pura-pura temberang.
"Kau berani apa?"
Tersipu-sipu bersama Milo Hoatsu mereka meninggalkan Yang-sim-tiam. Kawanan Wisu tiada yang berani mengadang, terpaksa mereka dibiarkan pergi. Lega hati Wan Giap, katanya.
"Hu-congkoan, mari kutemani kau menghadap Baginda."
Terbeliak mata Hu Kian-seng, katanya.
"Kau kira urusan sudah beres? Hm, jangan kau mimpi, tak usah kau kuatir akan keselamatan Baginda, sekarang lekas sampaikan perintahku, kerahkan seluruh pasukan untuk mengudak jejak mata-mata."
"Mata-mata dari . mana datangnya? Macam apa mata-mata itu?"
Tanya Wan Giap, dia maklum Tiangsun Co yang datang duluan tadi pasti mata-mata, tapi Tiangsun Co tiruan itu sejauh ini belum dilihatnya keluar dari Yang-sim-tiam, buat apa mengejar jejaknya ke tempat lain? Saking jengkel Hu Kian-seng membanting kaki, katanya.
"Aku tiada tempo menjelaskan, aku sendiri juga belum berhadapan dengan mata-mata itu, mana aku tahu bagaimana tampangnya? Pendek kata, melihat orang yang tidak kau kenal ringkus dia."
"Tapi Baginda sendiri..."
"Aku yang akan melindungi Baginda, kau tidak usah kuatir, lekas, lekas laksanakan."
Setelah komandannya sendiri yang berjanji akan menjaga keselamatan junjungannya, Wisu tua yang setia ini baru merasa lega, bergegas dia meninggalkan tempat tugasnya.
Hu Kian-seng sendiri belum tahu apakah Tiangsun Co tiruan sekarang masih berada di samping Baginda, dengan perasaan kebat-kebit, dengan langkah munduk-munduk dia naik tangga mendekati kamar buku, di depan pintu dia batukbatuk beberapa kali.
"Siapa diluar."
Cu Kiam-sin membentak dari dalam.
"Hamba Hu Kian-seng."
"Kenapa baru sekarang kau datang?"
Hu Kian-seng melenggong, katanya.
"Tadi hamba sudah kemari, tapi Baginda suruh hamba turun menemani Koksu dari Watsu."
Cu Kian-sin mendengus hidung, katanya lagi.
"Kedatanganmu sudah terlambat. Tahukah kau, orang yang Tim ingin temui telah kemari."
Setelah melihat Baginda, duduk persoalannya sudah terang bagi Hu Kian-seng, tapi Cu Kiam-sin sendiri masih kebat-kebit, perasaannya tidak tenang, seperti kehilangan apa-apa, tapi juga seperti memperoleh sesuatu.
Menurut rencananya semula dia hendak minta damai dengan pihak Watsu, tapi setelah bertemu dengan Tan Cioksing, malah tak pernah dia bayangkan meski dalam mimpi setelah kejadian ini, rencananya semula mau tidak mau harus direnungkan kembali.
Dia sudah tahu bahwa Kim-to Cecu telah memperoleh kemenangan besar diluar Gan-bun-koan.
dia sudah menerima janji setia Kim-to Cecu yang diwakili Tan Ciok-sing, bersumpah bila dia angkat senjata melawan Watsu, Kim-to Cecu tidak akan memberontak.
Dengan tangannya sendiri dia membuang konsep perjanjian damai yang telah dirobek itu di depan Tiangsun Co, malah memaki Tiangsun Co pula yang berani kurang ajar dan mengancam dirinya.
Empat puluh pukulan di pantat Tiangsun Co itupun atas persetujuannya.
Walau dia setuju karena terpaksa karena dia disandera.
Tapi betapapun dia masih memiliki wibawa seorang raja, betapapun dia malu untuk membeber kenyataan yang dihadapi di hadapan orang Watsu, apa lagi mengaku dosa dan meminta maaf kepada Watsu.
Apalagi seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, bila Kim-to Cecu setia membantu dirinya, kenapa dia takut tidak kuat melawan Watsu.
Sebaliknya bila Kim-to Cecu memberontak, rakyat banyak pasti tunduk pada perintahnya, sama-sama angkat senjata melawan penjajah.
Bila hal itu terjadi, maka singgasananya yang sekarang telah agak kukuh ini akan goyah dan bukan mustahil akan terguling.
Satu hal lagi, kepandaian Tan Ciok-sing betul-betul amat menakjubkan, sehingga nyalinya pecah, Tan dan In boleh pergi datang seenak udelnya.
Bila gagal menangkap mereka, pasti akan meluruk datang pula.
Bila teringat peringatan.
"ingkar janji menghianati bangsa, Yang Kuasa tidak akan memberi ampun "
Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hatinya goncang tubuh gemetar.
Apa boleh buat, terpaksa dia harus berani mengorbankan Liong Bun-kong, dan mencegah Hu Kian-seng turut campur.
Walau Hu Kian-seng tidak turut campur tapi Tan In berempat tidak seleluasa yang mereka duga untuk meninggalkan istana.
Waktu itu sudah menjelang pagi, cuaca sudah remangremang tampak sebarisan Gi-lim-kun memasang busur telah berjaga dan menanti di punggung kuda.
Ternyata pasukan jaga Gi-lim-kun yang berada diluar istana telah mendengar juga gema lonceng peringatan dari istana, tapi mereka tidak tahu apa yang telah terjadi didalam, tanpa diundang, mereka tidak berani masuk, terpaksa mempersiapkan diri, seluruh pasukan yang ada dikerahkan dan siap siaga, seluruh jalan keluar ditutup dan dijaga ketat.
Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat saat mana kebetulan berada di Tang-hoa-bun.
Toan Kiam-ping berkaok-kaok.
"Minggir. Atas perintah Baginda, kita akan keluar kota, lekas memberi jalan."
Sembari berteriak lencana tembaga diangkat tinggi-tinggi. Tiba-tiba seorang membentak.
"Peduli siapa, harus berhenti."
Seorang penunggang kuda tampil dari barisan berkuda Gi-lim kun, suaranya keras membuat kuping mendengung pekak. Pembentak ini bukan lain adalah Komandan Gi-lim-kun sendiri Bok Su-kiat adanya. Melihat gelagat jelek, lekas Han Cin berteriak.
"Sedang menjalankan tugas, maaf kami tidak boleh menunda waktu."
Dia yakin Bok Su-kiat tidak akan berani merintangi, kuda tetap dikeprak menuju ke arah yang berlawanan. Diluar tahunya, Bok Su-kiat tidak pandang lencana Bong Tit, mengambil panah memasang busur.
"ser, ser, ser". Beruntun empat batang panah dia bidikan. Ke empat batang anak panah ternyata melesat bersama ke arah tujuan, dua mengincar ln San, dua lagi membidik Han Cin. Tidak sukar untuk memukul jatuh kedua anak panah itu, tapi ln San dan Han Cin, sekarang masih menyaru sebagai Thaykam, meski para Taykam di istana tidak sedikit yang bisa main silat, tapi tiada yang memiliki kepandaian tinggi. Daya luncuran panah berantai bidikan Bok Su-kiat amat kencang bidikkannyapun tepat, bila mereka memperlihatkan dirinya pandai silat, maka samaran mereka akan terbongkar. ln dan Han memang cerdik dan tangkas tanpa berjanji mereka berpikir.
"Betapapun besar nyali Bok Su-kiat, dia tidak akan berani memanah Thaykam pribadi junjungannya."
Maka mereka hanya sedikit menarik tali kendali, tapi tidak mengembangkan kepandaian menyambuti anak panah.
Gerakan mereka ternyata tepat.
Dua batang panah melesat terbang menyerempet pelipis mereka, mereka merasakan batang panah yang dingin, namun kulit mereka sedikitpun tidak terluka.
Betapa liehay dan menakjubkan kepandaian memanah Bok Su-kiat, tak urung mereka sampai kaget gemetar dan merinding, jantung mereka serasa hampir melonjak keluar dari rongga dada.
Tapi untung juga mereka memperlihatkan sikap gugup dan kaget, sehingga rasa curiga Bok Su-kiat agak berkurang.
Toan Kian-ping mengacungkan medali tembaga seraya berseru.
"Apakah Bok-jongling tidak percaya bahwa kami utusan Bong-kokong?"
"Untuk apa Bong-kokong mengutus kalian keluar?"
"Untuk itu, maaf kami tidak berani menjawab."
Sahut Han Cin. Bok Su-kiat mendengus, katanya.
"Kalian tidak mau menerangkan, aku tidak akan. izinkan kalian keluar."
Tan Ciok-sing menimbrung.
"Urusan memang tidak boleh ditunda. Kalau tidak percaya Bok-jongling boleh suruh orang tanya kepada Bong-kokong, biarlah kami berangkat lebih dulu."
"Tidak boleh. Aku pasti akan suruh orang tanya kepada Bong-kokong, tapi kalian harus tunggu jawabnya disini. Bila asal-usul kalian sudah genah, baru aku akan izinkan kalian pergi."
"Bok-jongling," ,ujar In San dingin.
"kau boleh tidak usah peduli apakah benar medali ini dikeluarkan oleh Bong-kokong, memangnya tanda kebesaran baginda juga kau tidak pandang sebelah mata."
Sembari bicara dia melebarkan kipas lempit emas yang ada tulisan dan tanda tangan serta cap pribadi baginda.
Bok Su-kiat kenal tulisan baginda, semula dia memang kaget, tapi rasa curiganya belum lenyap, dia tetap bandel tidak mau memberi jalan.
Dalam hati dia berpikir.
"Para Thaykam dan wisu di istana memang tidak seluruhnya kukenal, tapi urusan sebesar dalam suasana segenting ini, bila benar mereka mendapat tugas penting, yang diutus pasti juga Thaykam pribadi yang dipercaya oleh Raja. Demikian pula Wisu yang dipilih pasti seorang yang berkepandaian tinggi dan cekatan, kalau benar mereka, mana mungkin aku tiada satupun tidak kenal."
Tapi karena In San memperlihatkan kipas berkerangka emas itu, maka Bok Su-kiat tidak bercuriga bahwa mereka tiruan? "Aku tahu kipas itu milik Baginda, tapi itu bukan tanda kuasa,"
Kata Bok Su-kiat.
"O, jadi kau ingin melihat surat kuasa dari Baginda?"
Jengek Han Cin.
"Betul,"
Ujar Bok Su-kiat.
"dalam istana sedang terjadi keributan, aku sedang menjalankan tugas, lebih baik aku disalahkan baginda surat kuasa itu aku tetap ingin melihatnya."
Han Cin tertawa dingin, katanya.
"kau ingin lihat, boleh kuperlihatkan, tapi tak boleh kuserahkan kepadamu. Ini menyangkut urusan besar, Baginda berpesan supaya kami tidak membocorkan kepada siapapun."
Sembari bicara dia membeber gulungan kertas yang berisi surat kuasa untuk Tan Ciok-sing dalam memberantas anasir-anasir jahat kerajaan termasuk Liong Bun-kong yang jadi pentolannya.
Hanya sedikit yang dibuka Han Cin, dia memperlihatkan tanda tangan dan cap baginda.
Surat kuasa ini ditulis di atas kertas tebal yang mempunyai dasar warna biru dengan corak khusus yang diperuntukan raja saja orang lain tiada yang menggunakan kertas macam itu, hanya melihat kertasnya saja, sebetulnya Bok Su-kiat sudah percaya bahwa itulah surat kuasa, melihat cap dan tanda tangannya, maka dia yakin tidak salah lagi.
Sayang waktu Han Cin sedikit membuka gulungan kertas itu, meski redaksi surat kuasa tidak sampai terlihat, namun mata Bok Su-kiat memang jeli, sekilas dia sudah melihat di baris terakhir dari surat kuasa itu ada tercantum nama Liong Bun-kong.
Hubungan pribadi Bok Su-kiat dengan Liong Bun-kong amat intim, melihat surat kuasa ini ada mencantumkan namanya, diam-diam dia amat kaget, hatinya bimbang.
"Surat kuasa ini bermaksud baik atau membawa malapetaka baginya?"
Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda, waktu Bok Su-kiat menoleh dilihatnya dua orang menunggang kuda sedang dibedal dari arah Tang-hoa-bun, kedua orang ini bukan lain adalah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co.
Dalam kalangan Gi-lim-kun terbatas pada beberapa perwira saja yang tahu adanya utusan rahasia negeri Watsu yang masuk ke istana, anak buahnya boleh dikata tiada yang tahu asal-usul mereka.
Pasukan Gi-lim-kun sekarang dikerahkan atas perintah komandan mereka, siapapun, sebelum diperiksa identitasnya, dilarang keluar.
Oleh karena itu, meski mereka merasa heran melihat orang-orang Watsu ini, maka beramai-ramai mereka maju menghadang, bagaimana juga mereka tidak diijinkan keluar.
Memangnya hati sedang keki, Milo Hoatsu keprak kudanya terus menerjang, beberapa anggota Gi-lim-kun yang di depan barisan diterjangnya jatuh terguling, bentaknya.
"Siapa berani merintangi aku? Yang ingin hidup lekas menyingkir."
Seorang perwira yang jujur berangasan segera membentak gusar.
"Hayo turun, peduli kau ini anak kura-kura, siapapun tidak boleh mondar-mandir sesuka hatinya di daerah terlarang ini."
Sembari membentak tombak panjang terangkat terus menusuk kuda Milo Hoatsu.
Perwira ini hanya memiliki Kungfu biasa mana kuat dia melawan Milo Hoatsu? Sambil tertawa dingin, sekali raih Milo Hoatsu telah merampas tombaknya, tahu-tahu perwira itu sendiri yang terjungkal roboh dari punggung kudanya termakan oleh tombaknya sendiri.
Sudah tentu kekasarannya menimbulkan amarah masai, umumnya anggota Gi-lim-kun memang membenci orangorang Watsu, soalnya mereka terikat disiplin dan selalu ditekan oleh atasan, maka rasa dendam mereka sukar terlampias.
Kini mumpung komandan mereka ada perintah, cukup kuat untuk dijadikan alasan, sebelum perintah dirobah, kedua orang Watsu ini bertingkah lagi, maka beramai-ramai mereka maju hendak menggasaknya.
Entah siapa yang memberi aba-aba, tiba-tiba anak panah berhamburan sederas hujan lebat.
Hujan anak panah seluruhnya dirontokkan oleh jubahnya yang lunak tapi kuat itu.
Sayang Tiangsun Co tidak memiliki kepandaian setinggi Milo Hoatsu, terluka lagi, karena Milo Hoatsu sedikit lena, paha Tiangsun Co terkena sebatang panah, kontan dia tersungkur ke bawah kuda.
Mau tidak mau Milo kaget dan kebingungan, terpaksa dia berteriak.
"Berhenti, berhenti. Kalian tidak kenal kami. Bok Sukiat kenal baik dengan aku, lekas suruh komandan kalian keluar minta maaf kepadaku."
Sebetulnya Bok Su-kiat masih ingin tanya kepada Tan Cioksing, tapi kejadian mendadak ini lebih menarik perhatiannya, mau tidak mau dia ikut gugup juga. Lekas dia putar kuda serta dikeprak kesana, serunya.
"Berhenti, berhenti. Lekas hentikan."
Mendengar suaranya baru pasukan Gi-lim-kun menghentikan aksinya.
Karena paha terpanah, ditambah luka Tiangsun Co tidak mampu bangun lagi.
Untung meski luka luar cukup berat, tenaganya tidak lenyap seluruhnya.
Mumpung ada keributan, lekas Han Cin gulung pula surat kuasa itu terus keprak kudanya, berempat mereka bedal kuda keluar dari kota terlarang.
Dalam keadaan seperti itu.
Bok Su-kiat tidak sempat banyak tanya lagi, apalagi dia sudah percaya bahwa surat kuasa itu memang tulisan sang raja, maka dia tidak berani perintahkan anak buahnya mencegat mereka pula.
Tapi setelah anak buahnya menghentikan serangannya, sebelum dia minta maaf kepada Milo Hoatsu, tidak lupa dia panggil tiga orang perwira, kepada mereka Bok Su-kiat menyuruhnya lekas pergi ke sekretariat negara menemui Liong Bun-kong.
Bukan dia curiga akan surat kuasa tadi, tapi karena hubungan pribadi yang kental, maka anak buahnya ini disuruh mencari berita kesana bila ada kesempatan boleh bekerja mendahului surat perintah itu memberi kisikan kepada Liong Bun-kong.
Ketiga perwira itu cukup cerdik dan tangkas bekerja, tak perlu dijelaskan secara terperinci, mereka juga sudah maklum.
Melihat Bok Su-kiat muncul, baru Milo Hoatsu lega hati, katanya setelah mendengus.
"Kalian memanah Tiangsun Pwelek, sakit hati ini akan kucatat saja, kelak akan kuperhitungkan. Sekarang lekas kalian ganti dua ekor kuda, kau sendiri antar kami sejauh tiga puluh li."
Sekretariat negara dimana Liong Bun-kong menempati kantornya dibangun diluar kota lewat pintu barat, itulah daerah pariwisata yang indah dan permai pemandangannya.
Setelah mereka keluar dari pintu barat, tak lama kemudian, mereka mendengar derap lari kuda yang dibedal, tahulah mereka bahwa di belakang ada pengejar.
Begitu mereka men6leh, betul ada tiga perwira Gi-lim-kun tengah mengaburkan kudanya.
Sudah tentu ketiga perwira ini tidak berani menyusul mereka, mereka hanya menguntit dari jarak tertentu.
Kalau ditegur mereka punya alasan untuk mengatakan atas perintah atasan, secara diam-diam melindungi utusan raja ke tempat tujuan, cara itu memang tidak melanggar kedisiplinan.
Tapi walau Tan Ciok-sing dan kawan-kawannya tidak tahu tujuan mereka, mau tidak mau kebat kebit hati mereka.
Kalau putar balik menggasak ketiga perwira ini, kuatir terjadi onar yang lebih besar, bukan mustahil bisa menggagalkan rencana.
Sebetulnya ketiga perwira itu terus menguntit, entah kenapa beberapa kejap kemudian jarak mereka semakin jauh.
Setiba di suatu pengkolan jalan, waktu mereka menoleh pula ketiga perwira itu sudah tidak pernah kelihatan lagi.
Tan Ciok-sing berkata.
"Aneh, kuda tunggangan mereka tidak lebih lemah dari kuda yang kita naiki, kenapa mereka tidak menyusul pula?"
In San tertawa, ujarnya.
"Mungkin mereka insyaf bila bertindak diluar perintah mereka bisa celaka sendiri, apalagi kita membawa perintah raja, akhirnya mereka mundur teratur."
Yang benar, bukan mereka jeri mengingat surat perintah Baginda itu, tapi adalah karena kuda tunggangan mereka yang roboh tak bangkit lagi.
Setelah mengudak beberapa jauh kemudian, entah kenapa kuda mereka tiba-tiba tersengal-sengal mulutnya mengeluarkan buih dalam sekejap beruntun sama terjungkal roboh tak berkutik.
Tiga orang sama keheranan, tengah mereka memeriksa kuda masing-masing, tiba-tiba terdengar suara kelintingan dari belokan jalan di arah kiri muncul seorang penunggang kuda gagah, penunggangnya juga seorang perwira Gi-lim-kun.
Lekas sekali perwira penunggang kuda ini telah dekat, ketiga perwira yang duluan ini sama kaget, serempak mereka berdiri siap memberi hormat.
Ternyata Perwira yang duluan ini pangkatnya lebih tinggi, merupakan salah satu dari atasannya, karena dia adalah wakil Komandan Gi-lim-kun, jadi hanya di bawah Bok Su-kiat, namanya Ing Siu-goan.
"Apa yang kalian alami disini?"
Tanya Ing Siu-goan. Salah seorang menjawab.
"Lapor Tayjin, entah kenapa, kuda kami mendadak terserang penyakit, mulutnya berbuih tak mampu jalan lagi, sungguh mengherankan."
Seorang lagi berkata.
"Atas perintah Bok-tayin, kami disuruh pergi ke tempat kediaman Liong-tayjin, tak terduga mengalami kejadian menyebalkan ini, mohon Ing-tayjin memberi petunjuk, bagaimana sebaliknya?"
Seorang lain bertanya.
"Ing-tayjin, kenapa kaupun kemari?"
Orang ini lebih teliti dari dua temannya, agaknya dia menaruh curiga terhadap atasannya ini, meski sikap dan tutur katanya menghormat, namun sepasang matanya menatap tajam mengawasi mimik muka Ing Siu-goan. Ing Siu-goan mendengus sekali, katanya.
"Untung aku keburu datang, kalau tidak urusan pasti terbengkelai. Bokjongling memang kuatir kalian mengalami sesuatu, maka aku disuruh menyusul kemari menyelesaikan soal ini. Kalian boleh pulang saja, ada tugas lain untuk kalian, temui langsung kepada Bok-jongling."
Dua perwira di antaranya memang ogah pergi ke tempat kediaman Liong Bun-kong, mendengar perkataan Ing Siugoan, kebetulan malah bagi mereka, diam-diam mereka berpikir.
"Seluk beluk dan lika-liku pemerintahan para pembesar memang scrb;i membingungkan. Bok-jongling, suruh kami memberi kabai, tujuannya jelas hendak menjilat kepada Liong Bun-kong, begitu Liong Bun-kong jatuh, Bok jongling punya jabatan tinggi, dia tidak perlu kuatir kedudukannya roboh, sebaliknya bila perkara diusut dan konangan kami yang memberi kabar kepada Liong Bun-kong, malapetaka bakal menimpa kami bertiga."
Karena itu dengan senang kedua orang ini berkata.
"Terima kasih akan perhatian Ing Tayjin, menyusahkan kau saja sampai harus menunaikan tugas sendiri."
Meski orang ketiga agak curiga, namun melihat kedua temannya tunduk akan petunjuk orang terpaksa dia tidak berani banyak bicara lagi.
Seperti pelari marathon yang lagi berlomba saja, ketiga perwira ini terpaksa pulang dengan lari.
Setelah mereka pergi jauh Ing Siu-goan mengulum senyum ejek, akhirnya dia putar kudanya mengejar rombongan Tan Ciok-sing.
Baru saja Tan Ciok-sing melewati suatu tegalan dan membelok keluar dari selat gunung, tiba-tiba terdengar lari kuda yang menyusul datang sekencang angin badai.
Waktu mereka menoleh.
tampak yang mengejar tiba hanya seorang perwira.
Tan Ciok-sing heran, katanya perlahan.
"Cakar alap-alap yang satu ini agaknya bukan ketiga orang yang tadi."
Setelah agak dekat In San melihat jelas wajah orang seketika hatinya kaget, diam-diam dia berbisik kepada Tan Ciok-sing.
"Aku kenal dia, dia adalah wakil Komandan Gi-limkun, namanya Ing Siu-goan."
Tan Ciok-sing berpikir. Bahwa Gi-lim-kun mengutus Ing Siugoan wakil Bok Su-kiat untuk mengejar mereka, gelagatnya mereka sudah tahu akan tiruan mereka, bentrokan agaknya tidak bisa dihindari lagi, maka dia berkata.
Sukma Pedang -- Gu Long Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung