Pendekar Penyebar Bunga 1
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 1
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Tiraikasih Website
http.//kangzusi.com
Pendekar Wanita Penyebar Bunga San Hoa Lie Hiap Karya . Liang Ie Shen Saduran . Bu Beng Cu
Jilid 1 Suara tertawanya sekawanan anak nakal telah memecahkan kesunyian suatu dusun pegunungan.
Pesta Goan-siauw (Capgomeh) baru lewat tiga hari, tapi sang bunga sudah mekar di seluruh lembah.
Entah gunung Couwlay san yang menahan angin utara barat, entah musim semi memangnya datang terlalu siang, tapi kenyataannya adalah daerah pegunungan itu seakan-akan sudah ditutup dengan rangkaian bunga yang beraneka warna.
Couwlay san terletak di propinsi Shoatang, sebelah utara Sungai Besar (Tiangkang),akan tetapi keadaannya pada waktu itu adalah seperti suasana dalam musim semi di daerah Kanglam (sebelah selatan Sungai Besar).
Di sana-sini orang dapat melihat beberapa rumah penduduk yang bersembunyi di antara pohon-pohon yang rindang daunnya.
Di luar dusun, di sebidang tanah yang agak datar, terdapat satu empang besar, entah milik siapa.
Kawanan anak nakal itu sedang bermain-main di pinggir empang, dengan disoroti oleh matahari lohor yang hawanya hangat.
Ada yang sedang menangkap kutu-kutu kecil tanpa memakai baju, ada yang berlari-lari main petak dan sebagainya.
Di antara mereka terdapat seorang anak yang macamnya agak luar biasa.
Anak itu berusia kira-kira dua belas tahun, mukanya yang hitam agak berminyak di bawah sinar matahari, kedua kakinya yang telanjang memperlihatkan urat-urat yang berwarna hijau, badannya tegap, sedang paras mukanya yang seperti jagoan memberi kesan bahwa dia itu adalah pemimpin dari kawan-kawannya.
Mendadak ia membuka baju.
"Hei!"
Ia berseru.
"Siapa berani turut aku turun ke empang menangkap ikan?"
Meskipun dihangatkan sinar matahari, tapi tanpa baju kapas, hawa dingin masih terlalu hebat.
Kawanan anak nakal itu saling mengawasi, tak satu pun yang berani menurut contohnya si Hitam.
Salah seorang berjongkok dan mencelupkan sebelah tangannya ke dalam air.
"Fui!"
Ia berseru.
"Siauw Houwcu (si Harimau Kecil), otakmu benarbenar miring!Air luar biasa dinginnya, kau mau menyebur, nyeburlah sendiri."
Si Hitam yang dina makan "Siauw Houwcu"
Senyum tawar, kedua matanya menyapu kawan-kawannya."Setan-setan pengecut!"
Ia berteriak.
"Tak ada satu yang berani nyebur?"
Kawan-kawannya semua menggelengkan kepala sembari tertawa. Siauw Houwcu mengawasi satu kawannya dan berseru.
"Siauw-liong (si Naga Kecil)! Kau saja turut aku!"
"Aku lebih suka berlutut tiga kali dihada-panmu!"
Jawab Siauw-liong.
"Baiklah,"
Kata si Hitam.
"Mari sini kau!"
Ia jambret bajunya Siau-wliong yang lantas didorong.
"Plung!", Siauwliong kecebur, lalu disusul olehnya. Ia ambil segenggam lumpur yang lalu dipoleskan di mukanya Siauwliong. Kawan-kawannya lantas saja menepuk-nepuk tangan sambil berteriak-teriak kegirangan.
"Dingin! Mati aku!"
Berteriak Siauwliong, badannya menggigil.
"Justa!"
Berteriak si Hitam sembari nyengir.
"Kau pakai baju kapas, mana bisa dingin?"
"Baju ini baju baru,"
Kata Siauwliong, meringis.
"Baru dijahit oleh ibu."
Siauw Houwcu tidak menggubris, ia terus mengeduk lumpur yang langsung dipoleskan ke muka dan bajunya Siauwliong.
Selagi ramai bersen-da gurau, kawanan anak nakal yang berada di daratan mendadak menengok ke belakang dan suara tertawa tiba-tiba berhenti.
Siauw Houwcu meno-ngolkan kepalanya dari dalam air dan melihat, dari dalam selat gunung muncul tiga orang yang menunggang kuda.
Di sebelah barat Couwlay san terdapat jalan raya yang menerus sampai di kota Ceelam.
Dahulu, antara jalan raya tersebut dan dusunnya Siauw Houwcu terdapat sebuah jalan gunung yang cukup baik.
Akan tetapi, oleh karena diserang banjir dan lama tak pernah dibikin betul, maka sekarang jalan gunung itu sudah jadi rusak sekali.
Penduduk dusun yang berjalan kaki masih dapat juga menggunakan jalan itu, akan tetapi, bagi orang luar, terutama yang menunggang kuda, jalan tersebut sungguh sukar dilewati.
Dusun tersebut yang dikurung gunung-gunung, sebegitu jauh belum pernah kedatangan tetamu.
Maka dapatlah di mengerti, jika kawanan anak nakal itu menjadi sangat heran melihat kedatangannya tiga penunggang kuda itu, dua antaranya adalah perwira tentara yang memakai sepatu tinggi, sedang yang satunya lagi adalah seorang laki-laki brewokan yang kedua matanya bersinar terang dan berusia tiga puluh tahun lebih.
Sebaliknya ketiga tetamu itu pun tak kurang herannya melihat kawanan anak nakal tersebut, terlebih pula ketika Siauw Houwcu muncul dari dalam air dengan celana kuyup.
Pakaian ketiga penunggang kuda itu, walaupun terbuat dari sutera, kelihatan compang-camping dan penuh debu, seperti juga mereka baru habis berkelahi.
Kedua perwira itu agaknya lelah sekali dan pada bajunya terlihat noda-noda darah.
Pada jalan gunung di mulut dusun terdapat lubang akibat banjir, yang lebarnya kira-kira dua tombak.
Lubang itu belum ditutup dan di atasnya hanya dipasangkan beberapa lembar papan kayu, yang selalu bergoyang-goyang jika ditiup angin dan tak mungkin dapat dilewati kuda yang badannya berat.
Begitu tiba di depan lubang, mereka loncat turun dari kudanya dengan niatan turun ke bawah untuk melewati solokan itu.
Siauw Houwcu yang berdiri di tengah empang, mengawasi tiga tetamu itu dengan sorot mata tajam, tanpa berkata suatu apa.
Melihat sikapnya si Hitam, perwira yang jalan paling dulu berpaling ke belakang.
"Loohoan,"
Katanya kepada lelaki brewokan.
"Mula-mula aku sunguh tak percaya bahwa di dalam dusun ini bersembunyi orang pandai. Tapi sekarang ternyata, bahwa mungkin sekali di sini terdapat naga atau harimau yang menyembunyikan dirinya."
Orang yang dipanggil "Loohoan"
Senyum lebar sembari tuntun kudanya turun ke solokan.
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar berbengernya kuda.
Larinya binatang itu luar biasa cepat.
Barusan saja, ditaksir dari suaranya, dia masih berada kira-kira setengah lie jauhnya, tapi di lain detik, binatang itu tahu-tahu sudah berada di belakang mereka! Sebelum sempat menengok, mereka merasakan kesiuran angin yang sangat tajam dan satu bayangan hitam loncati kepala mereka, akan kemudian hinggap di seberang solokan! Ternyata, kuda itu bersama penunggangnya sudah meloncati solokan itu yang lebarnya kira-kira dua tombak.
Kedua perwira dan "Loo-hoan"
Saling mengawasi dengan perasaan terkejut, sedang kawanan anak nakal itu bersoraksorai dengan girangnya.
Begitu tiba di seberang, si penunggang kuda lantas saja turun dari tunggangannya yang ke empat kakinya putih bagaikan salju, sedang badannya penuh dengan totol-totol putih.
Kedua perwira itu adalah orang-orang yang banyak pengalamannya dan pernah melihat beribu-ribu kuda jempolan, tapi mereka sungguh belum pernah melihat kuda yang sebagus itu.
Orang yang dipanggil "Loohoan"
Lebih-lebih kaget.
"Apakah dia kembali munculkan diri dalam dunia Kangouw?"
Ia menanya dalam hatinya.
Begitu melihat tegas macamnya si penunggang kuda, mereka terkesiap.
Ia itu adalah seorang pemuda yang baru berusia kira-kira enam belas tahun, badannya kurus dan mukanya cakap luar biasa, dengan kulit yang putih laksana batu pualam.
Sembari menuntun kuda, perlahan-lahan, dengan tindakan ayu, ia menghampiri kawanan anak nakal itu.
Gerakan-gerakan badannya ada sedemikian rupa, sehingga, jika ia tidak mengenakan baju busu (orang yang pandai silat), orang tentu akan menduga, bahwa ia itu adalah wanita cantik yang menyamar sebagai lelaki.
Kawanan bocah nakal yang barusan lari berpencaran akibat "terbangnya"
Si penunggang kuda, sekarang sudah berkumpul kembali.
Mereka jadi hilang takutnya oleh karena melihat penunggang kuda itu adalah seorang muda yang usianya cuma lebih tua sedikit dari mereka dan pada bibirnya yang merah, tersungging senyuman ramah tamah.
Sembari menggapai ke tengah empang, pemuda itu berkata.
"Eh, sahabat kecil! Kau naiklah!"
Siauw Houwcu merangkak naik ke darat, sikapnya yang kaku berbeda dengan lain-lain kawannya.
"Eh, aku tidak mengenal kau, untuk apa kau panggil-panggil aku?"
Ia menanya sembari mendelikkan matanya. Badan Siauw Houwcu yang jangkung hanya lebih kate (pendek) sedikit dari pemuda itu. Melihat sikap menantang itu, si pemuda jadi tertawa, suaranya merdu nyaring, bagaikan kelenengan perak.
"Tertawa apa kau?"
Menanya Siauw Houwcu, agak kaget.
"Kau tertawai mukaku jelek, bukan?"
Dengan mukanya yang seperti pantat kuali dan badannya yang telanjang, Siauw Houwcu kelihatan sangat lucu, terutama ketika ia membetulkan celananya yang merosot turun. Mukanya si pemuda bersemu dadu dan kemudian ia berkata pula.
"Siapa kata, mukamu jelek? Sebaliknya, mukamu sungguh menarik. Apa tak dingin menangkap ikan di empang itu?"
"Tidak", jawabnya.
"Hanya kawanan setan pengecut yang takut dingin. Hm! Aku malahan kepanasan!"
Pemuda itu senyum-senyum urung.
"Benar,"
Katanya.
"Aku pun merasa gerah. Orang-orang gagah memang tak takut dingin."
Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sebuah kipas indah dan segera berkipas-kipas dengan perlahan, sambil mengusap-usap mukanya yang berkeringat. Sikap Siauw Houwcu berobah, ia mengawasi sembari tertawa-tawa.
"Yah", katanya.
"Boleh juga kau mendapat julukan orang gagah. Eh, untuk apa kau panggil aku?"
"Aku mau tanya, di mana rumahnya Thio Toasiok (Paman Thio)?"
Kata si pemuda. Pertanyaan si pemuda disambut dengan suara tertawa oleh kawanan anak nakal itu.
"Thio Toasiok?"
Berkata salah seorang anak.
"Thio Toasiok adalah ayahnya sendiri. Kau tak tahu?"
Pemuda itu jadi girang sekali.
"Ha!"
Ia berseru.
"Kalau begitu, dugaanku tepat sekali. Siapa namamu?"
"Namanya Thio Houwcu. Siauw Houwcu."
Seorang anak mendahului.
"Oh, Siauw Houwcu?"
Kata si pemuda.
"Siauw Houwcu! Tolong kau antarkan kepada ayahmu."
Siauw Houwcu tidak tertawa lagi. Ia mengawasi dengan mata dibuka lebar-lebar.
"Kau ingin bertemu dengan ayahku?"
Menanya ia.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar,"
Jawab si pemuda.
"Antarlah aku. Sebentar aku persen kembang gula."
Mendadak si Hitam angkat kedua tangannya yang penuh lumpur, dan sebelum orang dapat menduga, ia berbuat apa, kedua tangan itu sudah me-nyamber ke arah muka si pemuda! Kawan-kawannya mengeluarkan seruan tertahan.
Semua orang mengetahui, bahwa si Hitam nakal luar biasa.
Akan tetapi, bahwa dia berani berlaku begitu kurang ajar terhadap seorang tetamu, adalah di luar dugaan kawankawannya.
Si pemuda pun kelihatan agak terkejut, tapi pada bibirnya terus tersungging senyuman manis.
"Siauw Houwcu, aku tak mempunyai tempo buat main-main dengan kau,"
Katanya sembari mengipas. Kipasan itu mengeluarkan sambaran angin tajam dan air berlumpur lantas saja berbalik menghantam mukanya si Hitam. Kedua perwira dan "Loohoan"
Kaget bukan main. Sedikitpun mereka tidak menduga, bahwa pemuda itu mempunyai tenaga dalam yang begitu kuat dan dapat mengeluarkan ilmu menimpuk dengan senjata rahasia yang sedemikian indah.
"Plung!"
Siauw Houwcu sudah menyebur lagi ke dalam air.
"Aku juga tak mempunyai tempo untuk mengantar kau,"
Ia berseru.
"Hm! Ayahku tak sudi menemui siapa juga. Apa pula kau!"
"Tapi mungkin ayahmu suka menemui aku,"
Kata si pemuda sembari tertawa.
"Tidak! Tidak!"
Berteriak Siauw Houwcu.
"Ayahku tak suka bertemu dengan siapa juga. Pergi! Pergi kau!"
"Siauw Houwcu, jangan kau terlalu nakal,"
Kata si pemuda.
"Antarlah aku. Kau lihat! Aku mempunyai sebotol kembang gula."
"Apa anehnya kembang gula?"
Menjawab si nakal.
"Jangan ganggu aku! Kalau nyalimu besar, turun kemari!"
Ia tepuktepuk air yang pada muncrat ke atas. Si pemuda mengerutkan kedua alisnya. Ia agaknya merasa sedikit mendongkol.
"Siauw Houwcu, jika kau membandel, aku akan paksa kau naik!"
Kata ia.
"Setan kecil!"
Memaki si Hitam.
"Jangan sombong! Kakekmu sekali kata tak naik, tetap tak naik!"
"Kau tak percaya?"
Kata si pemuda sembari tertawa.
"Aku kata kau naik, kau mesti naik!"
Ia membungkuk dan memungut beberapa batu kecil.
Ia mengayun tangannya dan menimpuk air empang dengan sebutir batu.
Heran sungguh, orangnya begitu muda, tenaga dalamnya si pemuda begitu kuat.
Begitu mengenakan air, batu itu menerbitkan gelombang hebat dan kemudian air kotor menyambar ke arah si Hitam.
Buru-buru Siauw Houwcu menyelam, tapi begitu lekas ia menongolkan kepala, si pemuda lalu menimpuk pula dengan batunya.
Dengan cepat, Siauw Houwcu terdesak ke pinggir empang, Siauw Houwcu bukan saja tidak dapat menyelam terlalu lama, akan tetapi, walaupun berada di dalam air, ia selalu harus berjaga-jaga jangan sampai kesambar batu.
Siauwliong menonton pertunjukan itu dengan hati berdebar-debar.
Meskipun batu-batu itu bukan ditujukan kepadanya, akan tetapi, sebagai seorang kawan, ia sangat kuatirkan keselamatannya si Hitam.
Tiba-tiba Siauw Houwju menggapai ia.
Tanpa perdulikan sambaran batu, ia berenang menghampiri kawannya itu.
Si pemuda yang rupanya kuatir Siauwliong kena tertimpuk, segera menghentikan timpukannya.
Sesudah berbisik-bisik di kuping kawannya, Siauw Houwcu mendadak angkat badannya Siauwliong yang lalu dilemparkan ke daratan, sedang ia sendiri lalu menyelam.
Sesudah berenang kira-kira setombak, ia menongolkan kepalanya di atas air seraya berteriak.
"Aku tak akan naik!"
"Aku tetap mau kau naik!"
Membalas si pemuda.
Oleh karena di empang hanya ketinggalan Siauw Houwcu seorang, pemuda itu menimpuk semakin gencar dan dalam tempo sekejap, si Hitam sudah terdesak ke pinggir.
Selagi pemuda itu menimpuk dengan gembira, tiba-tiba di belakangnya terdengar bentakan.
"Menghina anak kecil! Benar tak tahu malu!"
Kedatangan pemuda itu membikin semua orang jadi terkejut. Ia berparas sangat cakap dan menunggang seekor kuda bulu putih yang sangat garang. Begitu loncat turun dari tunggangannya, ia mengga-pe Siauw Houwcu.
"Hei Sahabat kecil! Kau naiklah."
Kata ia. Siauw Houwcu segera merangkak naik kedarat. Si pemuda memutar badan dan dihadapan-nya berdiri seorang lelaki brewokan yang bukan lain daripada "Loohoan". Barusan, kedua perwira itu terkejut ketika lihat "Loohoan"
Menghampiri si pemuda dengan paras muka gusar. Mereka mau mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi.
"Aku hanya main-main, kenapa kau begitu usilan?"
Si pemuda balas membentak.
"Kau lihat, apa aku lukakan seujung rambutnya?"
"Dia memang anak nakal, tapi apa kau juga bukan bocah liar?"
Kata "Loohoan".
"Hei, Siauw Houwcu! Gebuk padanya atau jangan?"
Si pemuda mengeluarkan suara di hidung.
"Hm!"
Katanya.
"Orang gagah dari mana unjuk lagak di sini? Masih basah kuyup, sudah berani berkokok lagi. Dasar ayam!"
Mukanya "Loohoan"
Lantas saja berobah merah.
"Binatang kecil! Jangan rewel!"
Ia membentak sembari menjotos dengan ilmu pukulan Siauwlim pay. Si pemuda menutup kipasnya yang segera digunakan untuk menyampok sang lawan.
"Loohoan"
Pasang kuda-kuda dan mengecas dengan lengannya. Buru-buru si pemuda membuat satu lingkaran dengan kipasnya dan kemudian secara mendadak menyodok ke depan.
"Loohoan"
Mundur setindak dan dengan menggunakan tenaga dalam, tangan kirinya menyodok dengan gerakan Tuikho-eng bonggoat (Mendorong jendela melihat bulan).
Dalam segeb-rakan itu, kedua belah pihak mengetahui, bahwa sang lawan bukan sembarang orang.
Tapi jika dibandingkan, ilmunya "Loohoan"
Masih sedikit lebih rendah dari si pemuda dan itulah sebabnya, kenapa barusan ia sudah menggunakan tenaga dalamnya.
Melihat kedua orang sudah bertempur, kawanan anak nakal itu pada berpencaran dan menonton dari tempat yang agak jauh.
Mereka bersorak-sorai dan menepuk-nepuk tangan untuk menambah semangatnya kedua orang yang sedang bertempur.
Siauwliong yang basah kuyup juga turut berdiri menonton di antara kawan-kawannya.
Tiba-tiba Siauw Houwcu yang masih merendam di air, mendeliki ia.
Siauwliong mendadak menangis keras.
"Aku pulang!"
Ia berseru.
"Aku pulang beritahukan ibu. Siauw Houwcu mesti ganti pakaianku!"
Sembari berteriak-teriak begitu, ia lari pulang. Kawan-kawannya merasa heran. Mereka tahu, meskipun Siauwliong tidak begitu kepala batu seperti Siauw Houwcu, tapi dia sedikitnya bukan satu pengecut "cengeng"
Yang sedikit-sedikit segera mengeluarkan air mata.
Sungguh mereka belum pernah melihat Siauwliong berlaku begitu rupa.
Tapi mereka tak dapat memikir banyak-banyak, perhatian mereka sudah tertarik kembali oleh jalannya pertempuran.
Ketika itu, tiga serangan berantai dari "Loohoan"
Semuanya sudah dapat dipunahkan oleh si pemuda, sedang beberapa totokan si pemuda pun telah diegos oleh "Loohoan". Setiap kali "Loohoan"
Maju dua tindak, ia terpaksa mundur kembali tiga tindak, sedang si pemuda pun begitu juga, saban-saban menyerang selalu dipukul mundur kembali.
Kedudukannya si pemuda berada di atas angin, tapi ia belum berhasil mendapat kemenangan yang memutuskan.
Diam-diam "Loohoan"
Mengeluh.
Sebagai seorang kenamaan dalam kalangan Kangouw, ia merasa malu sekali masih belum dapat menjatuhkan satu bocah sesudah bertempur begitu lama.
Dalam jengkel nya, lantas saja ia mengambil putusan untuk mengeluarkan ilmu silat Lohan kun guna bertarung mati hidup dengan pemuda itu.
Tapi sebelum ia me-robah cara bersilatnya, si pemuda mendadak menutup kipasnya dan berkata dengan suara nyaring.
"Aku sungkan berpemandangan seperti Kedatangan pemuda itu membikin semua orang jadi terkejut. Ia berparas sangat cakap dan menunggang seekor kuda bulu putih yang sangat garang. Begitu loncat turun dari tunggangannya, ia menggape Siauw-houw-cu.
"Hei Sahabat kecil! Kau naiklah", kata ia. Siauw-houw-cu segera merangkak naik ke darat.
"kau! Aku tak mempunyai tempo lagi untuk meladeni kau!"
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah duduk di atas punggung kuda yang lantas dilarikan keras sekali. Kedua perwira itu dan "Loohoan"
Sendiri merasa sangat heran. Terang-terangan, si pemuda berada di atas angin. Tapi, kenapa ia mabur dengan begitu saja? Siauw Houwcu sudah merangkak naik ke daratan. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata sembari tertawa.
"Bagus! Pertempuran bagus sekali!"
Mukanya "Loohoan"
Jadi berobah merah.
"Siauw Houwcu,"
Kata ia.
"Apa ayahmu ada di rumah?"
"Kau pun tanyakan ayah?"
Kata si Hitam sembari mendelik dan menepuk dadanya "Loohoan"
Dengan tangannya yang kotor.
"Loohoan"
Menyampok dengan tangannya, berbareng menggaet dengan kakinya dan si Hitam segera jatuh celentang. Tapi, begitu jatuh, dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus meletik), begitu ia loncat berdiri kembali.
"Apa kau Hoan Toa-ko?"
Menanya Siauw Houwcu. Si brewok manggut-manggutkan kepalanya.
"Benar,"
Katanya sembari tertawa.
"Kau masih ingat?"
Yah, si Hitam masih ingat padanya.
Pada empat tahun berselang, ia pernah menginap semalaman di rumah ayahnya Siauw Houwcu.
Ketika itu, ia pernah mengajarkan ilmu menggaet Houw-wiekak (Ilmu menggaet buntut harimau) kepada Siauw Houwcu.
Barusan, waktu digaet dengan ilmu Houwwiekak, ingatlah Siauw Houwcu kepada Hoan Toako, si kakak berewokan yang pada empat tahun berselang, brewoknya tidak setebal sekarang.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Hitam lantas saja tertawa haha hihi.
"Hoan Toako,"
Katanya.
"Bagus betul kau punya pukulan berantai tiga kali beruntun. Hoan Toako, tolong kau ajarkan aku tiga pukulan itu."
"Loohoan"
Mengawasi cap tangan lumpur di dadanya akibat pukulan Siauw Houwcu. Ia terbahak-bahak seraya berkata.
"Siauw Houwcu! Kau benar jempol! Lagi dua tahun, Hoan Toako tak dapat mengajar kau lagi. Baiklah. Mari kita berangkat sekarang."
"Kalian bertiga?"
Menanya si Hitam.
"Benar,"
Jawab "Loohoan".
"Kedua Tayjin (panggilan menghormat untuk orang berpangkat) ini adalah sahabatku."
Mendengar pembicaraan itu, kedua perwira itu merasa kagum oleh karena si Hitam yang masih begitu kecil rupanya sudah mengerti baik ilmu silat.
Mereka menghampiri dan sembari senyum-senyum, mereka mengangsurkan tangan.
Tapi sambutannya si nakal tak diduga-duga.
Ia hanya melirik dan tidak meladeni.
"Baiklah,"
Katanya kepada "Loohoan".
"Dengan memandang mukamu, aku akan antarkan kalian. Akan tetapi, kalau ayahku tak suka menemui, jangan kau menyalahkan aku."
"Loohoan"
Merasa geli dalam hatinya mendengar perkataan si Hitam, yang meskipun masih begitu kecil, sudah berbicara seperti seorang Kangouw kawakan.
Di lain pihak, kedua perwira itu yang kena "membentur tembok", sudah merasa mendongkol sekali, tapi mereka tentu saja tak dapat melampiaskan rasa gusarnya terhadap satu bocah cilik.
Sambil menuntun kuda, ketiga tetamu itu lantas saja jalan mengikuti Siauw Houwcu.
Sesudah berjalan kira-kira sejam dengan melewati jalanan gunung yang sukar dan berbilukbiluk, tibalah mereka di depan sebuah rumah batu yang dibuat di lamping gunung.
Rumah batu itu ber-bentuk sebagai benteng dan tingginya hampir dua tombak, pekarangannya cukup luas, sedang di depannya terdapat beberapa pohon siong tua.
Sesudah menambat tunggangan mereka.
"Loohoan"
Dan kedua kawannya segera menghampiri pintu, yang dirapati. Siauw Houwcu sudah mendahului masuk dengan berlari-lari.
"Thia!"
Ia berseru.
"Si Brewok, Hoan Toako, datang berkunjung."
Tapi dari dalam sama sekali tidak terdengar jawaban.
"Hoan Toako!"
Si Hitam berseru sembari menggapai.
"Mari! Mari sini!"
Hoan Toako dan kedua perwira itu lantas saja masuk ke ruangan depan. Pada tembok batu, di ruangan itu, mereka lihat tiga kuntum bunga bwee yang berwarna merah. Bunga ternyata merupakan ukiran, beberapa dim dalamnya di dalam batu itu.
"Loohoan"
Terkesiap. Ia masuk ke beberapa kamar, tapi tak dapat menemui tuan rumah atau tanda-tanda lain. Segala perabotan tetap berada di tempatnya, sama sekali tidak terdapat tanda-tanda bekas diganggu.
"Mungkin tanda itu adalah tandanya seorang Kangouw,"
Berkata salah seorang perwira.
"Mungkin penjahat yang liehay sekali."
Siauw Houwcu men-jebi, seperti juga mau mengatakan, bahwa hal itu tak usah disebutkan lagi, sebab sudahlah terang bagaikan siang.
"Mungkin tanda yang ditinggalkan oleh pemuda tadi,"
Kata perwira yang satunya lagi.
"Loohoan"
Mendadak menepuk kedua tangannya.
"Benar,"
Berseru ia.
"Sepuluh sembilan mestinya dia!"
"Pemuda itu sangat liehay,"
Berkata pula perwira yang pertama.
"Apakah tak bisa jadi, sahabatmu sudah kena dibinasakan olehnya?"
"Kentut!"
Berteriak Siauw Houwcu sembari mendelik.
"Ayahku sudah binasakan entah berapa banyak orang gagah! Walaupun kepandaiannya bocah itu dua kali lipat lebih tinggi, ayahku tak pandang sebelah mata. Berani benar kau ngaco belo!"
Perwira itu jadi naik darah, tapi sebelum ia unjuk kegusarannya.
"Loohoan"
Buru-buru menarik Siauw Houwcu ke samping dan berkata dengan suara membujuk.
"Maksudnya Tayjin baik sekali. Ia tak pernah katakan, ayahmu tidak mempunyai kepandaian tinggi."
Siauw Houwcu tetap merengut, hatinya tetap mendongkol.
"Siauw Houwcu,"
Kata "Loohoan"
Sembari tertawa.
"Coba lihat! Lihat apa ayahmu sudah pulang atau belum. Kami menunggu di sini. Besok pagi, aku akan ajarkan kau pukulan berantai tiga kali. Eh, Siauw Houwcu! Toako datang, kau tak menyuguhkan apa-apa? Kalau kau terus main marahmarahan, lain kali aku tak akan datang lagi di sini."
Mendengar omongan itu, Siauw Houwcu jadi tertawa.
"Hoan Toako,"
Katanya.
"Aku ingat, kau suka sekali minum arak. Waktu itu, diam-diam kau ajarkan aku minum, hampirhampir diketahui ayah. Baiklah. Aku akan menyuguhkan dua botol arak dan tiga kati daging macan. Macan itu adalah hasil perburuanku, kau tahu?"
"Aduh! Macan Kecil binasakan macan tua!"
Memuji "Loohoan"
Sambil mengacungkan jempolnya.
"Benar-benar jempol!"
Si Hitam jadi bunga sekali hatinya, sembari haha hihi ia berjalan keluar.
"Kerbau kecil itu besar benar ambeknya!"
Kata salah seorang perwira sembari menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh, Loohoan, kau kata, Lounghiong itu adalah ayahnya?"
"Tak salah,"
Sahutnya.
"Coba kau lihat. Anaknya saja sudah begitu liehay! Kau boleh legakan hati."
"Siapa namanya?"
Menanya perwira yang satunya lagi.
"Kenapa kau masih belum mau memberitahukan?"
"Sedari delapan tahun berselang, jago tua itu sudah menutup pintu dan menyimpan golok,"
Menerangkan "Loohoan".
"a tak suka orang menyebut-nyebut pula namanya. Sebentar, sesudah mendapat permisi, ia sendiri bisa memberitahukan namanya pada kalian."
"Kalau ia sudah menutup pintu, guna apa kau mengajak kami ke sini?"
Menanya perwira itu.
"Urusan kita perlu pertolongan lekas. Jika ia menampik, bukankah seanteronya akan menjadi gagal?"
"Mungkin sekali, dengan memandang mukaku, ia suka mengadakan kecualian,"
Kata "Loohoan".
"Manakala jiwie Tayjin merasa kurang tepat, baiklah kalian mencari orang lain saja. Aku, si orang she Hoan, tak dapat melihat jalan yang lain."
Kedua perwira itu saling mengawasi tanpa berkata apa-apa lagi. Sesudah menunggu sekian lama Siauw Houwcu belum juga muncul, kedua perwira lalu membuka baju luarnya untuk menukar obat pada luka di pundak mereka.
"Penjahat bertopeng itu sungguh liehay,"
Kata satu antaranya.
"Loohoan, antara beberapa ratus orang, mungkin hanya kau seorang yang tidak mendapat luka."
"Aku pun hampir-hampir kesabet toyanya,"
Jawab si Brewok.
"Apa dengan seorang diri Lounghiong itu bisa berhasil?"
Menanya pula perwira itu dengan perasaan sangsi.
"Jika ia sudi meluluskan, tenaganya melebihi laksaan tentara."
Sahut "Loohoan"
Dengan suara tetap. Kedua perwira itu lalu saling menceritakan liehaynya penjahat bertopeng itu.
"Jika gagal, habislah jiwa kita serumah tangga,"
Kata satu antaranya.
"Sekarang tak ada lain jalan daripada mengandalkan padanya,"
Kata yang lain.
"e Toako, dalam keadaan begini, janganlah kau mengeluarkan kata-kata yang kurang baik."
"Loohoan"
Tutup mulutnya. Ia merasa agak mendongkol melihat sikap kedua orang itu. Mendadak pintu yang hanya dirapati itu, didorong orang dan Siauw Houwcu meloncat masuk ke dalam. Mulut bocah itu ditutup rapat-rapat, parasnya sangat tak enak dilihatnya.
"Loohoan"
Terkejut. Siauw Houwcu kembali dengan tangan kosong, tidak membawa arak dan daging yang dijanjikan olehnya.
"Hoan Toako! Apa kau cinta sahabat atau tidak?"
Menanya ia.
"Kenapa, Siauw Houwcu?"
Tanya "Loohoan".
"Jika kau menyinta sahabat, beritahukanlah maksud kedatanganmu,"
Sahut si Hitam.
"Kalau tidak, aku akan beritahukan ayah, supaya ia tidak meladeni kau."
"Kau tahu, ayahmu berada di mana?"
Menanya pula "Loohoan."
"Tentu saja,"
Jawabnya.
"Lekas katakan! Dengan siapa kau mau ajak ia bertempur?"
Sebenar-benarnya, Siauw Houwcu tidak mengetahui, kenapa ayahnya mendadak menghilang.
Selama tujuh delapan tahun, ayahnya tidak pernah keluar dari rumah pada waktu begitu.
Dalam otak kecilnya, Siauw Houwcu merasa bahwa menghilangnya sang ayah mempunyai hubungan rapat dengan beberapa orang asing yang baru datang itu, antaranya si pemuda yang bersenjata kipas.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barusan ia telah mencuri dengar pembicaraan antara "Loohoan"
Dengan kedua perwira itu dan ia merasa, bahwa kedatangan mereka dapat mendatangkan akibat jelek bagi ayahnya. Itulab sebabnya kenapa ia sudah menjustai si Brewok. Untuk sementara.
"Loohoan"
Kelihatan bersangsi. Beberapa kali ia melirik kedua perwira itu.
"Baiklah,"
Katanya sesudah berselang beberapa saat.
"Siauw Houwcu, kau bukan seperti bocah yang kebanyakan. Aku akan beritahukan kau secara terus terang."
Ia mendehem dan kemudian menyambung perkataannya sambil menunjuk kedua perwira itu.
"Tayjin itu adalah Ie Tongleng, yang ini adalah Liok Koantay. Aku telah bantu mereka melindungi barang angkutan. Dari Ouwpak, kami antar tiga puluh laksa tahil perak, ke kota raja. Setibanya di Shoatang, yaitu kemarin dulu, di sebelah selatan gunung Thay-san, perak itu sudah kena dirampok oleh seorang penjahat bertopeng."
"Hoan Toako, kau tak dapat melawan padanya?"
Menanya Siauw Houwcu.
"Kalau aku dapat melawan ia, tak perlu kami datang kemari,"
Sahutnya.
"Kedua Tayjin ini kena dibikin luka. Beberapa ratus serdadu sudah disapu bersih olehnya, ditawan atau dibunuh. Hanya kami bertiga yang dapat meloloskan diri."
"Ha! Liehay benar penjahat itu!"
Kata si Hitam yang jadi ketarik sekali.
"Benar,"
Kata "Loohoan".
"Jika bukan begitu, aku tentu tidak berani sembarangan mengganggu ayahmu. Aku datang kemari untuk memohon bantuan ayahmu guna membekuk penjahat itu dan ambil pulang perak yang sudah dirampas itu."
Begitu habis "Loohoan"
Menutur, Siauw Houwcu menarik tangannya yang dipegang oleh si Brewok.
"Hoan Toako,"
Katanya.
"Kau ternyata tidak cinta sahabat!"
"Kenapa tak menyinta sahabat?"
Si Brewok balas menanya dengan perasaan heran. Siauw Houwcu tertawa dingin.
"Hm! "
Katanya dengan suara di hidung."Thia thia paling benci segala pembesar anjing!Sekarang kau mau ajak ia keluar untuk menjadi budak pula dari kawanan pembesar. Hm! Tidak! Aku tak dapat meluluskan!"
"Loohoan"
Dan kedua perwira itu menjadi bengong, mereka kesi-ma mendengar kata-kata yang tidak diduga-duga itu.
Tiba-tiba dengan satu suara keras, kedua daun pintu batu ditutup oleh Siauw Houwcu yang sudah meloncat keluar sebelum tiga tetamunya sadar dari kagetnya.
Daun pintu itu dibuat dari batu yang tebalnya tidak kurang dari satu kaki, sehingga satu orang yang tidak mempunyai kekuatan kira-kira lima ratus kati, tidak akan dapat menutupnya.
Di lain saat, di luar kamar terdengar suara tindakannya Siauw Houwcu yang berlari-lari dengan cepat sekali.
"Penjahat cilik!"
Memaki kedua perwira itu sembari coba mendorong pintu.
Tapi percobaan itu sia-sia belaka, oleh karena sudah dikunci dari luar oleh si Hitam.
Kamar batu itu tak mempunyai jendela, hanya di atasnya terdapat beberapa lubang kecil untuk keluar masuknya hawa.
Kedua perwira itu gusar bukan main, mereka memaki kalang kabut, sambil menyesalkan juga si Brewok yang sudah mengajak mereka datang kesitu.
"Kau sudah tahu sahabatmu sangat membenci pembesar negeri, tapi kau toh sudah mengajak juga kami datang ke sini,"
Kata salah satu antaranya.
"Dia juga tentu bangsa penjahat!"
Kata yang lain.
"Eh, Loohoan! Apa sih maksudmu yang sebenarnya?"
Paras mukanya "Loohoan"
Berubah gusar.
"Jiewie Tayjin tak usah mencaci,"
Katanya dengan suara keras.
"Majikan rumah ini pernah menjabat pangkat yang lebih tinggi dari atasanmu!"
Kedua perwira itu berhenti serentak.
"Siapa ia?"
Mereka menanya hampir berbareng. Mereka kaget, tercampur sangsi.
"Loohoan"
Senyum.
"Majikan rumah ini pernah menjadi Tongleng (pemimpin) barisan Gielimkun (barisan yang menjaga keselamatan pribadi kaizar),"
Menerangkan ia dengan suara perlahan.
"a pun pernah menjabat pangkat Ciongciehui (pemimpin) dari pasukan Kimiewie (pasukan pahlawan kaizar yang mengenakan seragam sulam) dan pada sepuluh tahun berselang, ia dikenal sebagai ahli silat nomor satu di seluruh kota raja. Ia bukan lain daripada Thio Hong Hu, Thio Tayjin!"
"Thio Hong Hu, ahli silat utama di seluruh kota raja?"
Menegasi kedua perwira itu dengan suara terkejut.
"Tak salah! Ahli silat nomor satu di seluruh kota raja!"
Mengulangi "Loohoan".
Mukanya kedua perwira itu berubah pucat dan keringat dingin mengucur dari dahinya.
Thio Hong Hu adalah pahlawan utama yang paling diandalkan oleh Kie Tin, Kaizar Engcong dari kerajaan Beng.
Ia pernah berkuasa atas barisan Gielimkun dan Kimiewie dan beberapa kali pernah berjasa besar dalam medan peperang.
Berhubung dengan kegagahannya, namanya sudah menggetarkan seluruh Tiongkok.
Dahulu, dalam peperangan dengan negeri Watzu di Tobok-po, seantero tentara Beng boleh dibilang musnah semuanya, sedang Kie Tin sendiri telah ditawan musuh.
Dalam kekalahan yang hebat itu, seorang diri dan dengan menunggang seekor kuda, tujuh kali Thio Hong Hu menerjang masuk ke dalam tentara musuh dan tujuh kali ia dapat menoblos keluar pula dengan selamat.
Walaupun gagal dalam usaha menolong kaizar, namanya sudah berhasil membikin pecah nyali musuh dan orang-orang gagah di seluruh negara tidak ada satupun yang tidak kagum padanya.
Belakangan, Ie Kiam, seorang menteri yang sudah berhasil menolong kerajaan Beng dari kemusnahan, telah mengirim In Tiong ke Watzu sebagai utusan istimewa guna mengadakan perdamaian.
In Tiong berhasil dan Kie Tin dapat dibawa pulang ke Tiongkok dengan selamat.
Akan tetapi adiknya Kie Tin yang bernama Kie Giok, atau Kaizar Bengtay-cong, sungkan menyerahkan kembali takhta kerajaan kepada kakaknya itu.
Ia penjarakan sang kakak di Istana Lamkiong dan memberi gelar kehormatan Thaysianghong kepada Kie Tin.
Mulai waktu itulah, Thio Hong Hu menghilang.Ada yang mengatakan, ia tak dapat melupakan majikan yang lama (Kie Tin) dan sungkan bekerja di bawah perintah kaizar baru.
Ada juga yang bercerita, ia sudah merasa tawar akan segala keduniawian dan pergi bertapa di pegunungan yang sunyi.
Tapi hal yang sebenarnya adalah.
Ia sudah mengundurkan diri atas nasehat sahabatnya yang bernama Thio Tan Hong.
Dengan rasa sakit dalam hatinya, ia telah menyaksikan segala keburukan dalam kalangan pemerintahan kaizar yang baru.
Segala penghianat dan dorna memegang kekuasaan besar, sedang orang-orang pandai dan bijaksana tidak mendapat kedudukan yang sesuai dengan kepandaiannya.
Bahkan Ie Kiam sendiri, seorang menteri yang jasanya luar biasa besar dalam membangun kembali kerajaan Beng, hanya mendapat pangkat Pengpo Siangsie (Menteri Pertahanan), tanpa kekuasaan yang sebenarnya.
Itulah sebabnya, sesudah mendapat nasehat Thio Tan Hong, ia segera menutup pintu dan menyimpan golok, lalu hidup mengasingkan diri di pegunungan Couwlay san.
Kedua perwira itu sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa majikan dari rumah itu adalah Thio Hong Hu yang namanya menggetarkan seluruh kerajaan Beng.
Mengingat sikapnya tadi dan cacian "penjahat"
Yang barusan diucapkan, hati mereka benar-benar merasa tidak enak.
"Loohoan"
Hanya senyum-senyum melihat laga mereka dan lalu menyandar pada tembok tanpa bicara lagi. Sesudah melirik beberapa kali, hati mereka jadi semakin tidak enak.
"Saudara Hoan,"
Kata satu antaranya.
"Kami mempunyai mata, tapi tak dapat melihat gunung Thaysan yang besar. Kami tak tahu, bahwa Hoan-heng (Saudara Hoan) sebenarnya adalah seorang Cinjin (orang berilmu) yang sungkan menonjolkan muka. Kami sungguh merasa menyesal, bahwa di sepanjang jalan, kami sudah berlaku kurang hormat terhadap Saudara."
Permintaan maaf itu mempunyai latar belakang.
Untuk mengangkut tiga puluh laksa tahil perak uang negara itu, Khoan Kie, Yamun-su (pembesar yang berkuasa atas pengangkutan garam) dari Ouwpak-Ouwlam, telah minta bantuan Sunbu Ouwpak, yang segera perintahkan dua panglimanya yang paling dibuat andelan pergi menjalankan tugas tersebut.
Kedua perwira itu lantas saja menyiapkan lima ratus serdadu pilihan untuk bantu mengantar, dan menurut dugaan mereka, dengan pasukan sekuat itu, tugas tersebut akan dapat diselesaikan secara mudah.
Tak dinyana, sebelum berangkat, Yamunsu Khoan Kie sudah pujikan seorang piauwsu (ahli silat yang biasa mengantar barang angkutan) dan piauwsu itu adalah Hoan Eng.
Kedua perwira itu lantas saja jadi mendongkol lantaran menganggap Hoan Eng sebagai saingan yang mau merebut sebagian jasa mereka yang sudah kelihatan di depan mata.
Secara diam-diam kedua perwira itu menyelidiki.
Mereka mendapat kenyataan, bahwa dalam sejumlah piauwkiok (perusahaan yang mengantar barang dari satu ke lain tempat) di beberapa propinsi Tiongkok Selatan, sama sekali tidak terdapat orang yang bernama Hoan Eng.
Oleh karena itu, mereka menyangsikan, apakah Hoan Eng benar-benar adalah seorang piauwsu.
Akan tetapi, walaupun merasa kurang senang, mereka tidak dapat menolak, oleh karena Hoan Eng adalah orang yang dipujikan oleh Yamunsu.
Di luar dugaan, Hoan Eng mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Pada waktu terjadinya perampokan, hanya dia seorang yang dapat bertempur sehingga puluhan jurus dengan si perampok bertopeng, tanpa dapat dilakukan.
Sekarang, ia pun ternyata mempunyai hubungan rapat dengan Thio Hong Hu.
Mengingat itu, kedua perwira itu saling mengawasi dengan perasaan sangsi dan berkuatir.
Mereka tak dapat menebak asal usulnya si Brewok.
Hoan Eng senyum mendengar penghaturan maaf kedua perwira itu.
"Jiewie Tayjin janganlah bicara begitu,"
Katanya.
"Aku hanya seorang piauwsu biasa. Mana berani menganggap diri sebagai Cinjin?"
Sehabis berkata begitu, ia menyandar pula pada tembok dan meramkan kedua matanya.
Kedua perwira itu merasa lebih tidak enak.
Mereka sebenarnya ingin menanyakan hubungan antara Hoan Eng dan Hong Hu, akan tetapi, sesudah mendapat jawaban yang tawar itu, mereka tak berani membuka mulut lagi.
Sembari menyandar, otak Hoan Eng bekerja keras.
Ia tidak nyana, bahwa sesudah mengundurkan diri, Thio Hong Hu jadi begitu membenci segala apa yang berbau pembesar negeri.
Ia merasa menyesal sudah meluluskan permintaan Khoan Kie untuk bantu melindungi perak negara itu.
Ia berkuatir, bukan saja kawan-kawan kalangan Kangouw akan mencurigai dirinya, tapi Thio Hong Hu pun akan menganggap ia sebagai seorang manusia yang mengejar harta dan pangkat.
"Hai!"
Katanya di dalam hati, sembari menghela napas panjang.
"Kenapa juga aku mencari penyakit sendiri? Kedua manusia ini tak mengetahui asal-usulku, tapi kawan-kawan Kangouw sedikit banyak mengenal namanya Soanhoahu Hoan Eng. Yah, kenapa juga aku rela menjadi orang suruhannya pembesar negeri? Siapa suruh aku menjadi keponakannya Hoan Tiong? Siapa suruh aku menjadi saudara angkatnya Yamunsu Khoan Kie?" * * * Dahulu, Thio Hong Hu, Hoan Tiong dan Khoan Tiong dikenal sebagai tiga serangkai jagoan utama di kota raja. Belakangan, Thio Hong Hu telah mengikat tali persahabatan dengan musuh besar kaizar Beng, yaitu Thio Tan Hong. Secara diam-diam, Khoan Tiong telah menjual saudara angkatnya dan memberitahukan rahasia itu kepada kaizar. Thio Tan Hong yang mengetahui penghianatan itu, sudah turun tangan dan membinasakan Khoan Tiong, sehingga menimbulkan salah mengerti di pihaknya Thio Hong Hu. Dalam pertempuran di Tobokpo, Hoan Tiong telah membinasakan menteri dorna penjual negara yang bernama Ong Cin, tapi ia juga harus mengorbankan jiwa dalam pertempuran itu. Khoan Kie, pute-ranya Khoan Tiong, belakangan berkecimpung dalam kalangan pembesar negeri, dan berkat bantuan sahabat-sahabat mendiang ayahnya, ia mendapat pangkat Yamunsu bagian wilayah Ouw-pak- Ouwlam. Pangkat Yamunsu, atau pengurus garam, adalah pangkat yang mendatangkan keuntungan besar. Adiknya Hoan Tiong yang bernama Hoan Cun dahulu pernah menjadi pahlawan istana. Sesudah kakaknya mengorbankan jiwa untuk negara, ia lalu menurut contohnya Thio Hong Hu dan menyembunyikan diri di rumah leluhurnya di Ouwpak. Thio Hong Hu, Hoan Tiong dan Khoan Tiong adalah saudarasaudara angkat, sedang hal penghianatan Khoan Tiong hanya diketahui oleh Thio Tan Hong dan Thio Hong Hu berdua. Mereka adalah ksatria-ksatria yang sungkan menguarkan kejelekan orang, sehingga kejadian itu jadi tertutup rapat. Itulah sebabnya kenapa perhubungan baik antara ketiga keluarga tetap tidak berubah. Sebagai Yamunsu, Khoan Kie berkedudukan di kota Buciang. Dalam pengiriman tiga puluh laksa tahil perak ke kota raja, satu jumlah yang bukan main besarnya, hatinya tetap menyangsikan kepandaian dua panglima Sunbu Ouwpak itu. Oleh karena itu, beberapa kali ia memohon bantuannya Hoan Cun. Berhubung dengan usianya yang sudah lanjut, Hoan Cun menolak permohonan itu dan mengirim saja puteranya, yaitu Hoan Eng, untuk memberi bantuan. Dalam kalangan Hek-to (Jalanan hitam, atau kalangan penjahat), Hoan Eng mempunyai banyak hubungan. Secara diam-diam ia sudah mengadakan hubungan dengan sahabat dan kenalannya di sepanjang jalan, sehingga sebegitu jauh pengangkutan itu dapat berlangsung dengan selamat. Tapi, siapa nyana, baru saja menginjak wilayah propinsi Shoatang, di sebelah selatan gunung Thaysan, mereka telah dicegat oleh seorang penjahat bertopeng yang sudah berhasil menyikat bersih Seantero angkutan. Waktu itu.
"Perayaan Tahun Baru"
Baru saja lewat.
Di sepanjang jalan, dengan riang gembira, kedua perwira itu terus mengagul-agulkan diri sendiri.
Secara temberang mereka mengatakan, bahwa kawanan penjahat pada lari sipat kuping akibat keangkeran tentara negeri.
Mereka tidak mengetahui, bahwa keselamatan mereka sudah terjamin sampai di situ, berkat perlindungan Hoan Eng.
Tapi mereka pun sebenarnya mempunyai alasan untuk merasa gembira.
Sesudah melewati Shoatang, mereka akan segera masuk ke propinsi Hopak yang berada dalam wilayah kekuasaan tentara kaizar dan perjalanan antara Hopak dan kota raja boleh tidak usah dikuatirkan lagi.
Hari itu, mereka bermalam di satu kota kecil yang terpisah kira-kira lima puluh lie dari kota Bongim.
Pada malamnya, beberapa pengemis datang ke tempat penginapan dan minta sedekah.
Liok Koantay segera perintah beberapa serdadu untuk gebuk dan mengusir mereka.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa yang agak luar biasa, adalah ketika mau berlalu, beberapa pengemis itu tertawa terbahak-bahak.
Hoan Eng yang sudah kawakan dalam kalangan Kangouw, lantas saja merasa tidak enak dalam hatinya.
Dan benar saja, pada besok harinya, ketika mereka tiba di sebelah selatan Thaysan, tiba-tiba terdengar suara tertawa dan segerom-bolann perampok menerjang keluar, dengan, di kepalai oleh beberapa pengemis itu.
Kawanan perampok itu semuanya menunggang kuda dan dengan sekali menyerbu, pasukan negeri lantas saja menjadi kalut.
Sebelum Hoan Eng sempat membuka mulut, beberapa pengemis itu sudah dapat merubuhkan kedua perwira itu.
Oleh karena terpaksa, Hoan Eng turun tangan juga dan melukakan dua orang pengemis.
Tiba-tiba, diiringi dengan tertawa nyaring, seorang penjahat bertopeng kaburkan kudanya dan menerjang bagaikan kilat.
Dengan sekali menyabet dengan toya-nya, seorang perwira rendahan rubuh binasa.
Perwira Ie dan Liok, yang ilmu silatnya lebih tinggi dan otaknya lebih cerdik, buru-buru panjangkan langkah, tapi meskipun begitu, tak urung pundak mereka kena juga dihantam toya.
Hoan Eng majukan kudanya dan menyambut toya musuh dengan kampaknya yang dibuat dari logam-logam pilihan.
Begitu kedua senjata itu berbentrok, satu suara nyaring segera terdengar.
Sesudah bertempur kira kira tiga puluh jurus, kampaknya Hoan Eng sudah menjadi gompal.
Penjahat itu tertawa terbahak-bahak.
"Kau boleh dihitung sebagai orang gagah,"
Katanya.
"Pergilah!"
Sehabis berkata begitu, ia mengedut kendali kuda untuk menyingkir dari hadapan Hoan Eng dan menghampiri keretakereta besi yang terisi perak.
Setelah tiga kali menghantam dengan toyanya, lapisan besi setebal beberapa dim menjadi pecah dan isinya jatuh berhamburan di atas tanah.
Dengan beruntun ia merusakkan tiga kereta dan kemudian perintah anak buahnya mengumpulkan dan mengisi perak itu dalam karung-karung yang lalu di tempatkan di atas punggung kuda.
Antara lima ratus serdadu negeri itu, yang binasa ada kira-kira enam tujuh bagian, yang luka dua tiga bagian, sedang sisanya, yaitu serdadu-serdadu yang paling gagah, telah ditawan.
Hanya perwira Ie dan Liok serta Hoan Eng yang dapat meloloskan diri.
Hoan Eng memutar otaknya, tapi ia tidak dapat menebak siapa adanya penjahat bertopeng itu.
Ia ingat, antara begitu banyak orang-orang gagah yang ia kenal, hanya Thio Hong Hu yang mungkin dapat menaklukkan penjahat itu.
Tetapi sekarang, bukan saja Thio Hong Hu tak ketahuan ke mana perginya, tapi ia sendiri pun sudah kena dikurung dalam kamar batu oleh si nakal.
* * * Selagi melamun sambil bersandar, kuping Hoan Eng mendadak mendengar suaranya si perwira.
"Si... si nakal belum juga balik. Bisa-bisa kita mati kelaparan!"
Ia sebenarnya mau menggunakan istilah "si penjahat", tapi urungkan niatannya dan menggunakan saja perkataan "si nakal".
Hoan Eng tertawa dan membuka matanya.
Keadaan dalam kamar gelap gulita, di lubang-lubang kecil juga tidak kelihatan sinar terang, mungkin siang sudah berganti malam.
Ia pun merasa lapar, tapi berbeda dengan kedua perwira itu yang tak hentinya menggerutu, ia lalu bersila dan melatih Iweekangnya.
Diam-diam Hoan Eng berkuatir.
Dusun itu tidak berapa besar.
Kenapa Siauw Houwcu pergi begitu lama? Apa ia tidak dapat mencari ayahnya? Dan apakah Thio Hong Hu menemui bencana? Tapi segera juga ia membantah sendiri pertanyaan itu, oleh karena mengingat kegagahannya orang tua itu.
Sebaliknya, kenapa ia belum juga pulang ke rumah? Sesudah berselang beberapa jam, hawa udara jadi semakin dingin, sebagai tanda sudah jauh malam.
Kedua perwira itu mepet di sudut tembok dengan kelaparan dan kedinginan.
"Hoan Toako!"
Berbisik perwira yang satu.
"Ada apa?"
Menanya Hoan Eng.
"Bagaimana sih hubunganmu dengan Thio Tayjin?"
Menanya perwira she Ie.
"Empat tahun berselang, aku pernah berjumpa dengan ia,"
Jawabnya.
"Celaka!"
Ie Koantay mengeluh.
"Kalau begitu, kau tidak mempunyai hubungan rapat! Aku kuatir, bukan saja ia sungkan menolong, malahan kita sendiri bisa mati kelaparan di sini. Kenapa ia begitu membenci kaizar? Mungkin ia ingin mencelakakan kita."
Hoan Eng mendongkol tercampur geli."Thio Tayjin adalah ksatria sejati,"
Katanya dengan suara tawar.
"Jika ia maui jiwa kalian, tak nanti ia menggunakan segala akal bulus."
Kedua perwira itu jadi ketakutan setengah mati dan gemetar sekujur badannya.
"Kau... kau maksudkan, ia benarbenar maui jiwa kita?"
Mereka menanya dengan suara terputus-putus. Hoan Eng tertawa besar.
"Orang-orang yang binasa dalam tangannya adalah orang yang namanya besar,"
Katanya.
"Orang-orang seperti kita ini mungkin belum cukup berharga untuk mati dalam tangannya!"
"Tapi kenapa ia tak mau pulang untuk melepaskan kita?"
Menanya perwira she Liok.
"Malahan si bocah nakal juga tak kelihatan mata hidungnya."
"Bagaimana aku bisa tahu?"
Hoan Eng balas menanya dengan hati mendeluh.
Baru saja kedua perwira itu mau membuka mulut, di lubang-lubang kecil mendadak kelihatan sinar terang.
Semangat mereka lantas saja terbangun.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh yang kedengarannya seperti juga jeritan setan, sehingga bulu badan mereka menjadi bangun.
"Thio Tayjin,"
Demikian terdengar suara satu orang.
"Enak benar kau hidup sembunyi di tempat yang nyaman ini! Tapi sungguh sengsara kami berdua saudara mencari kau."
Hoan Eng tahu Thio Hong Hu sudah pulang.
"Kenapa suara orang itu begitu tak sedap didengarnya? Apa ia musuh Thio Siepeh (Paman Thio)?"
Menanya ia dalam hatinya.
Sebagai seorang yang berpengalaman dalam dunia Kangouw, ia mengetahui adanya mara bahaya.
Ia menekan tangan kedua perwira itu, supaya mereka jangan mengeluarkan suara, dan kemudian ia merayap ke atas dengan menggunakan ilmu Pekhouw yuciang (Cecak merayap di tembok).
Ia menempelkan matanya pada sebuah lubang dan mengintip ke kamar sebelah.
Kamar itu adalah kamar buku.
Di tengah-tengah kamar terdapat sebuah meja batu bundar di mana kelihatan berduduk tiga orang, satu antaranya, yang menghadap ke arah Hoan Eng, adalah Thio Hong Hu sendiri.
Waktu itu Thio Hong Hu sudah berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi, keangkerannya masih tetap seperti di waktu muda.
Orang yang duduk di sebelah kiri mempunyai kepala yang luar biasa besarnya, tapi badannya kate (pendek) dan kecil, sehingga kelihatannya aneh sekali.
Yang duduk di sebelah kanan adalah seorang yang berparas tawar dan kedua pipinya menonjol ke atas.
Dilihat dari parasnya, dapat diketahui, bahwa ia mempunyai Iweekang (tenaga dalam) yang sangat kuat.
Di sebelah belakang meja itu terdapat dua lemari besar yang penuh dengan buku-buku.
Dahulu, Thio Hong Hu hanya mengenal sedikit mata surat, akan tetapi, berkat pengaruhnya Thio Tan Hong, semen- jak hidup menyendiri, ia banyak mempelajari ilmu surat.
"Apakah maksud kedatangan kedua Tayjin?"
Menanya Thio Hong Hu sesudah mendehem beberapa kali.
"Tayjin sudah hidup menyendiri delapan tahun lamanya, dan selama itu, Hongsiang (kaizar) selalu memikirkan kau,"
Kata orang yang paras mukanya tawar.
"Tiga kali aku coba mencari, tiga kali gagal. Tak tahunya, Tayjin hidup senang di tempat ini. Aku mengetahui, tanpa ikatan pangkat, Tayjin dapat hidup bebas, akan tetapi, sesudah delapan tahun hidup bahagia, rasanya kini sudah tiba saatnya akan Tayjin membantu Hongsiang."
Thio Hong Hu mengawasi dengan mata berkilat, seakanakan ingin melihat isi perut dua orang itu.
Orang yang kepalanya besar tertawa haha hehe dan lalu menyambung perkataan kawannya "Benar.
Sekarang negara sedang menghadapi banyak sekali urusan.
Mendengar tambur perang, Hongsiang jadi ingat panglimanya dan aku kuatir beliau tak dapat mengijinkan Tayjin terus hidup secara begini."
"Jiewie Tayjin mungkin keliru,"
Menjawab Thio Hong Hu dengan sikap tenang.
"Aku mengetahui, bahwa kini dalam dewan kerajaan berjejer penuh menteri-menteri sipil dan militer yang berkepandaian tinggi, seperti Jiewie Tayjin yang merupakan tihangnya negara. Apakah kegunaannya manusia seperti aku, yang sudah tua dan jompo, sehingga Hongsiang mau mencapekan hati untuk memikirinya? Di sebelahnya itu, aku pun mengetahui, bahwa pada waktu ini, seluruh negara sudah aman, sedang di dalam negeri Watzu justru lagi timbul kerusuhan dan Yasian sendiri sudah disingkirkan. Maka itu, menurut pendapatku, adalah keliru jika dikatakan, bahwa negara tengah menghadapi banyak urusan. Sungguh aku kurang mengerti maksud omongan Jiewie Tayjin."
Kata-kata itu yang dikeluarkan secara sopan santun, bukan main tajamnya. Orang yang bermuka tawar lantas saja tertawa terbahakbahak.
"Thio Tayjin,"
Katanya sembari mendongakkan kepala.
"Kami adalah orang-orang yang isi perutnya lurus dan tidak biasa bicara terputar-putar. Apakah Tayjin mengetahui, bahwa sekarang Thay-sianghong (Kie Tin) sedang bersekutu untuk merebut takhta? Apakah Tayjin mengetahui, bahwa dalam tempo belakangan ini, ia sudah membentuk suatu persekutuan yang cukup kuat?"
"Selama delapan tahun, semenjak menuntut penghidupan sebagai seorang rakyat pengunungan. aku tak pernah mencampuri urusan luar, lebih-lebih urusan keluarga kaizar,"
Jawab Thio Hong Hu.
"Oleh karena itu, urusan ini sama sekali berada di luar pengetahuanku."
"Ada yang kata, Tay-jin mengundurkan diri oleh karena tak dapat melupakan majikan lama dan tak sudi mengeluarkan tenaga untuk kepentingan Hong-siang,"
Kata pula si muka tawar.
"Apa benar omongan itu?"
Paras muka Thio Hong Hu lantas saja berubah. Dengan satu tangan menyekal pinggir meja, ia menyahut dengan suara menyeramkan.
"Jika Hongsiang menyangsikan aku, dengan secarik firman, ia dapat menghadiahkan kebinasaan pada diriku! Guna apa mengirim Jiewie Tayjin datang ke sini untuk mengadakan penyelidikan menggelap!"
Selagi berkata begitu, Hong Hu teringat riwayat In Ceng, seorang menteri setia yang sudah "dihadiahkan"
Hukuman mati oleh kaizarnya, dan mengingat itu, suaranya yang penuh perasaan mendongkol menjadi keras dan sedikit ge-meter.
"Thio Tayjin bicara terlampau berat,"
Kata si muka tawar.
"Adalah karena percaya kepadamu, maka Hongsiang sudah perintah kami pergi mencari Tayjin. Itulah merupakan tindakan mulia dari seorang junjungan dalam usaha mencari menteri yang pandai, dan oleh karena itu, tidaklah dapat Tayjin menggunakan istilah penyelidikan menggelap."
Sesudah berdiam beberapa saat, si muka tawar lantas sambung pula perkataannya.
"Barusan Bun Tongleng telah mengatakan, bahwa negara sedang menghadapi banyak urusan. Yang dimaksudkan bukannya urusan dari luar, akan tetap sebagai orangnya, sudah tentu beliau akan melarang aku memberikan keterangan ini kepada Tayjin."
Thio Hong Hu yang darahnya semakin lama naik semakin tinggi, duduk menjublek tanpa mengeluarkan sepatah kata. Hanya kedua matanya semakin berkilat-kilat! Si kepala gede lantas saja tertawa haha hehe dan berkata dengan suara dibuat-buat.
"Dahulu, ketika Tayjin menyembunyikan diri, kami berdua saudara terpaksa memikul tanggungan yang sangat berat. Kini, setelah Tayjin keluar pula, kami dapat melepaskan pikulan itu. Sungguh beruntung! Thio Tayjin! Janganlah Tayjin berlaku sungkan dan menolak jabatan yang diserahkannya. Lihatlah! Inilah firman rahasia dari Hongsiang! Di atas firman, terang-terangan ditulis. 'Mengangkat Thio Hong Hu ke dalam jabatannya yang semula, yaitu Tongleng barisan Gielimkun merangkap Ciongcie-hui pasukan Kimiewie. Lihatlah, Thio Tayjin! Kami tak berjusta. Terhadap Tayjin, budinya Hongsiang besar bagaikan gunung!"
Hoan Eng yang mendengarkan pembicaraan tersebut, menjadi kaget.
Kedua orang itu ternyata adalah pemimpinpemimpin Gielimkun dan Kimiewie.
Memang juga, mereka berdua adalah ahli-ahli silat kelas berat pada jaman itu.
Orang yang paras mukanya tawar bernama Cian Sam San, Ciongciehui dari pasukan Kimiewie, atau pasukan ahli-ahli silat yang menjaga keselamatan pribadi kaizar.
Ia mahir dalam ilmu Hun-kin cokut khiu (ilmu memecah otot memindahkan tulang), serupa ilmu tunggal dalam Rimba Persilatan.
Ketika baru datang di kota raja, ia pernah mengadu silat di Giewan (taman dalam istana kaizar).
Dalam tempo sehari, dengan menggunakan Hunkin cokut khiu, ia berhasil mematahkan lengannya dua belas busu (pahlawan) kelas satu, dan berhubung dengan itu, namanya sudah menggetarkan seluruh kerajaan.
Si kepala gede yang bernama Bun Tiat Seng juga tidak kurang liehaynya, meskipun potongan badannya agak aneh dan lucu.
Ia mahir dalam ilmu pedang Ngoheng kiam yang bukan saja dapat menikam, tapi juga dapat menotok jalan darah musuh.
Ia pun pandai melepaskan senjata rahasia beracun dan paham ilmu silat tangan kosong Teetong kun dari Pakpay (Partai Utara).
Kini ia menjabat pangkat Tongleng, atau pemimpin, barisan Gielimkun, yaitu tentara yang menjaga istana kaizar.
Bahwa kaizar sudah perintah mereka membujuk Thio Hong Hu, adalah kejadian yang sebenarnya.
Paras muka Thio Hong Hu segera berubah menjadi merah padam.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Firman itu aku tak berani menerima,"
Katanya dengan suara perlahan.
"Apa pangkatnya terlalu rendah?"
Menanya Bun Tiat Seng.
"Seorang menteri tak boleh menuruti kekeliruan rajanya, tapi haruslah menuntun rajanya ke jalanan yang benar,"
Menyahut Hong Hu.
"Aku mohon menanya Jiewie Tayjin. Bila Tayjin melihat 'tulang dan daging' (saudara-saudara sekandung) saling bunuh membunuh, apakah kalian akan membujuk agar mereka rukun kembali, ataukah kalian akan mengipas api yang sedang berkobar-kobar dan membantu salah satu pihak?"
Kedua pembesar itu terkejut. Mereka tak menduga, Thio Hong Hu berani berkata begitu, yang sedalam-dalamnya merupakan kritik terhadap kaizar yang masih bertakhta. Begitu hilang kagetnya, Bun Tiat Seng lantas saja tertawa terbahak-bahak seraya berkata.
"Aku tak duga, Thio Tayjin sudah meninggalkan bu (silat) dan mengambil bun (ilmu surat) serta sudah dapat berbicara seperti seorang sasterawan lemah. Thio Tayjin! Jangan gusar jika aku berterus terang. Perundinganmu yang barusan menyeleweng jauh dari kepantasan."
"Apa?"
Membentak Thio Hong Hu sembari mendelik.
"Perebutan takhta antara Thaysianghong dan Hongsiang merupakan kenyataan yang tak dapat dicegah, baik olehmu, maupun olehku,"
Menjawab Bun Tiat Seng dengan suara keras.
"Menurut kebiasaan, seorang menteri haruslah bersetia kepada satu majikan. Thio Hong Hu! Sekarang aku mau menanya. Siapakah yang kau anggap sebagai majikanmu?"
"Aku ini tak lebih dan tak kurang hanya seorang rakyat kecil dari daerah pegunungan,"
Sahut Hong Hu dengan suara dingin.
"Bagiku, siapa yang menjadi kaizar tak merupakan soal. Siapa juga yang bercokol di singgasana, aku tetap membayar pajak."
Bun Tiat Seng garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia benar-benar kewalahan menghadapi orang gagah yang adatnya keras itu. Akhirnya, dengan suara terpaksa ia berkata pula.
"Thio Tayjin, kau memang mempunyai hak sepenuhnya untuk mengambil keputusan sendiri. Tapi cara bagaimana kami berdua saudara harus memberi laporan kepada Hongsiang?"
Sebelum Hong Hu menyahut, Cian Sam San tiba-tiba tertawa sembari berkata.
"Lain hal aku tak dapat meramalkan, hanya satu yang aku berani pastikan sedari sekarang. Jika Thaysianghong berhasil dalam usahanya, ada seorang besar yang tak akan dapat menyelamatkan jiwanya!"
"Siapa?"
Tanya Hong Hu.
"e Kokloo,"
Sahutnya. (Kokloo adalah panggilan menghormat kepada seorang perdana menteri. Dengan Ie Kokloo dimaksudkan Ie Kiam).
"Sungai dan gunung (negara) dari kerajaan Beng sudah tertolong dari kemusnahan berkat jasanya Ie Kokloo seorang,"
Berkata Hong Hu.
"Siapakah yang tidak mengetahui kenyataan ini?"
Bun Tiat Seng tertawa bergelak-gelak.
"Hongsiang yang sekarang sudah dinaikkan ke atas takhta oleh Ie Kiam dan oleh karena tindakan Ie Kiam itu, Thaysianghong jadi kehilangan takhtanya,"
Kata Bun Tiat Seng.
"Siapakah yang tidak mengetahui kenyataan ini?"
"Akan tetapi tindakan itu sudah diambil lantaran keadaan yang memaksa dan hal ini sudah dimaklumi oleh seantero rakyat di seluruh negeri,"
Berkata pula Thio Hong Hu.
"Waktu itu Thaysianghong masih jadi tawanan di negara lain, sedang di dalam negeri tidak boleh ada satu hari tanpa jungjungan."
"Hanya aku kuatir ada satu manusia yang sungkan mengerti,"
Berkata Cian Sam San.
"Dan orang itu adalah Thaysianghong sendiri."
Bun Tiat Seng tertawa dan menyambung perkataan rekannya.
"Thio Tayjin! Tak gunanya kau membela Ie Kokloo di tempat ini. Jalan satu-satunya adalah menerima baik panggilan Hongsiang dan dengan segala kesetiaan, mencegah usahanya Thaysianghong. Hanya dengan begitu saja barulah Tayjin dapat menolong jiwanya Ie Kokloo."
Hatinya Hong Hu berdebar-debar dan mukanya segera berubah pucat. Ia tak mengucapkan sepatah kata, rupa-rupa pikiran datang ke dalam otaknya.
"Sebagai seorang yang sudah menolong negara dari kemusnahan, Ie Kokloo dipuja oleh rakyat seluruh negeri,"
Katanya di dalam hati.
"Andaikata Thaysianghong berhasil dalam usaha merebut takhta, belum tentu ia berani menentang rakyat dengan membunuh Ie Kokloo."
Tapi memikir sampai di situ, tiba-tiba ia ingat perkataan Thio Tan Hong dahulu hari.
Waktu itu, adalah Thio Tan Hong bersama In Tiong yang telah pergi ke Watzu untuk mengambil pulang Thaysianghong.
Menurut pendapat Thio Tan Hong, Thaysiang- hong adalah seorang manusia "bongim pweegie" (manusia yang tak ingat budi orang), sehingga apa yang dikatakan oleh Cian Sam San dan Bun Tiat Seng bukanlah suatu hal yang mustahil.
Sementara itu, Hong Hu pun mengetahui, bahwa kaizar yang sekarang juga bukannya manusia baik-baik.
Sebagai seorang yang pernah berdiam lama di istana, ia mengetahui betapa kejamnya seorang kaizar.
Dari kata-katanya Cian Sam San dan Bun Tiat Seng, ia mengetahui, bahwa mereka berusaha memaksa padanya dengan menggunakan keselamatan Ie Kokloo sebagai alasan.
Mengingat itu, ia jadi bergidik dan tak dapat mengambil keputusan.
"Thio Tayjin,"
Kata Cian Sam San sembari mendorong firman yang terletak di atas meja.
"Lebih baik kau menerima saja."
Tiba-tiba paras muka Hong Hu berubah, sedang Cian Sam San memasang kupingnya.
"Ah, tak dinyana semalaman ini aku harus menerima dua rombongan tetamu,"
Kata Hong Hu sambil menghela napas. Hoan Eng yang sedang mendengarkan dengan penuh perhatian, sekonyong-konyong melihat Cian Sam San dan Bun Tiat Seng sambar firman itu yang lalu dimasukkan ke dalam saku dan kemudian berkata dengan suara berbisik.
"Thio Tayjin, celaka atau selamat, semua terserah kepadamu."
Sehabis berbisik begitu, buru-buru mereka lari ke belakang lemari buku.
Hoan Eng merasa sangat heran.
Ketika itu, Thio Hong Hu sudah membuka pintu dan di bawah sinarnya obor kayu siong, mukanya kelihatan menyeramkan sekali.
Sekonyong-konyong, berbareng dengan suara kresekan, dari luar pintu meloncat masuk dua orang yang mengenakan seragam busu (pahlawan istana) berwarna hitam.
Gerakan mereka luar biasa cepatnya dan kepandaian mereka juga tidak berada di sebelah bawah Cian Sam San atau Bun Tiat Seng.
Thio Hong Hu rangkapkan kedua tangannya dan memberi hormat.
Kedua tamu itu tertawa terbahak-banak.
"Antara sahabat lama, buat apa menggunakan segala pera-datan,"
Kata yang satu.
"Lama sekali aku sudah mendapat dengar nama besarnya Thio Tayjin dan baru sekarang dapat kesempatan untuk bertemu muka,"
Kata yang lain. Sembari menyekal lubang tembok, Hoan Eng mengangkat naik badannya sedikit dan mengintip keluar. Orang yang masuk lebih dulu berbadan langsing dan mukanya cakap.
"Liok-heng,"
Kata Thio Hong Hu.
"Siapakah adanya sahabat ini? Mataku yang lamur tak dapat mengenali."
Orang yang kedua itu berbadan tinggi besar, justru sebaliknya dari kawannya. Sembari merangkapkan kedua tangannya, ia berkata.
"Saudara Tian Peng adalah sahabat lamaku. Dengan Thio Tayjin, baru kali ini aku bertemu muka. Mungkin sekali saudara Tian Peng pernah menyebutkan namaku yang rendah."
Thio Hong Hu tertawa seraya berkata.
"Ah! Tak dinyana, Peklek khiu (si Tangan Geledek) Tong Samko yang aku sudah dengar lama nama besarnya."
Hoan Eng kembali terkejut.
Kedua orang itu sama-sama mempunyai nama besar.
Orang yang berbadan langsing bernama Liok Tian Peng, sutee-nya (adik seperguruan) Kong Tiauw Hay, Congkoan (kepala pengurus) istana.
Pada Cengtong tahun kel3.
Ia pernah turut dalam ujian Butjonggoan.
Dalam babakan-babakan pendahuluan, ia telah menjatuhkan banyak sekali ahli-ahli silat ternama dan akhirnya harus berhadapan dengan In Tiong dalam perebutan gelar Buconggoan.
Sesudah bertempur ratusan jurus, mereka tetap setanding, sampai akhirnya, berkat bantuan Thio Tan Hong, In Tiong dapat menjatuhkan orang she Liok ini dan merebut gelar tersebut.
Berhubung dengan pertandingan itu, walaupun kalah, namanya Liok Tian Peng jadi kesohor dan belakangan ia ditarik ke istana sebagai pahlawan.
Jika di hitung-hitung, ia adalah rekannya Thio Hong Hu.
Orang yang bertubuh tinggi besar adalah Tong Kee Cun.
Sebelum Liok Tian Peng masuk ke istana, mereka berdua sudah berkawan lama dan pernah bersama-sama malang melintang di daerah Kanghoay dan mendapat julukan Kanghoay Jiepa (Dua jago dari daerah Kanghoay).
Ilmu silatnya Tong Kee Cun cukup tinggi dengan mempunyai Tokseeciang dan Kimkong ciu, sehingga dalam kalangan hekto (penjahat), ia terkenal sebagai manusia yang tangannya sangat beracun.
Tong Kee Cun kembali tertawa.
"Thio Tayjin,"
Katanya.
"Mulai dari sekarang, kita adalah menteri-menteri dari satu kerajaan dan aku mengharap bisa mendapat banyak petunjuk dari Tayjin. Sekarang ijin-kanlah aku memberi hormat."
Thio Hong Hu terkesiap dan meloncat ke samping untuk menolak pemberian hormatnya.
"Tong Suhu! Apa artinya ini?"
Ia menanya.
"Firman rahasia Hongsiang ada di sini Harap Thio Tayjin suka menerima,"
Berkata Liok Tian Peng dengan suara nyaring. Hoan Eng menjadi bingung.
"Eh, eh! Kenapa ada lagi firman rahasia?"
Katanya di dalam hati.
"Bukankah tadi Cian Sam San dan Bun Tiat Seng sudah membawa firman?"
Ketika itu, dengan kedua tangannya Thio Hong Hu menjunjung firman tersebut dan dengan sikap menghormat lalu berlutut tiga kali.
"Aku mengharap kalian sudi memaafkan, bahwa aku tidak dapat menerima firman ini,"
Katanya.
"Dan aku memohon Liok-heng sudi memberi penjelasan yang baik dihadapan Thaysianghong."
Sekarang Hoan Eng sadar.
Orang yang dipanggil "Hongsiang" (kaizar) oleh Liok Tian Peng bukannya Kaizar Kie Giok yang sekarang memerintah, akan tetapi Thaysianghong Kie Tin yang telah ditahan dalam istana Lamkiong oleh Kie Giok.
Liok Tian Peng lantas saja membuat lagu seperti orang terkejut dan berkata.
"Orang kata. Satu hari menjadi menteri, mengabdi seumur hidup. Sekarang Cukong (majikan) sedang memerlukan tenaga Thio-heng, kenapa Thio-heng menolak firman?"
Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, ialah jaman kerajaan Beng, dalam perhubungan antara raja dan menteri terdapat suatu peraturan yang sangat keras.
Thio Hong Hu adalah menteri lama dari Kaizar Kie Tin dan di samping itu, tugas melindungi keselamatan Kie Tin jatuh di atas pundaknya sebagai Ciongciehui pasukan Kimiewie dan Tongleng barisan Gielimkun.
Menurut peraturan waktu itu, walaupun Thio Hong Hu sudah meletakkan jabatannya, ia tak dapat menolak firman kaizarnya.
"Sekarang ini Cukong adalah orang yang paling dihormati di seluruh negeri dan telah dirawat secara baik oleh Hongtee (kaizar),"
Kata Hong Hu.
"Ada ketidak puasan apakah, sehingga beliau perintah Jiewie mengunjungi rumah gubuk ini di tengah malam buta?"
Liok Tian Peng tertawa dingin."Aku tak tahu, apa Thio Tayjin benar-benar tidak mengetahui, atau hanya berlaga tidak mengetahui,"
Ia menyindir.
"Takhta kerajaan sebenarnya adalah miliknya Cukong, tapi Ek-ong (gelaran Kie Giok sebelum menjadi kaizar) sungkan mengundurkan diri dan secara tidak patut terus menduduki takhta dan perbuatannya itu, tidaklah beda dengan merebut takhta secara paksa. Lebih hebat lagi, Cukong sendiri telah di penjarakan di istana Lamkiong. Apakah orang bisa bersabar terhadap perlakuan itu? Kita semua adalah menteri-menteri tua dan menurut kepantasan, kita haruslah membantu Cukong untuk merampas pulang takhta kerajaan. Hanya dengan begitu saja barulah kita tidak melanggar peraturan antara raja dan menterinya."
Thio Hong Hu kerutkan alisnya dengan perasaan mendongkol sekali. Sungguh ia merasa sangat sebal jika harus mencampur urusan perebutan takhta dalan satu keluarga. Memikir begitu segera ia berkata dengan suara tawar.
"Bukan sekali-kali Hong Hu melupakan budinya Cukong dahulu hari, akan tetapi dengan sungguh-sungguh aku tak dapat mencampuri urusan pribadi dari keluarga kaizar."
"Apa ini urusan pribadi?"
Tong Kee Cun menyindir. Liok Tian Peng membuka firman itu seraya berkata.
"Thio Tayjin, baca dulu firman ini."
Dengan terpaksa, Hong Hu membaca firman tersebut yang mengatakan, bahwa ia diberi pangkatnya yang lama dengan ditambah pangkat Engbupek dan bahwa ia harus segera berangkat ke kota raja untuk melaporkan diri.
"Thio Tayjin, apa kau sudah mengerti maksudnya?"
Menanya Liok Tian Peng. Thio Hong Hu membungkuk dan menjawab dengan sikap menghormat.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Banyak terima kasih untuk budi Thaysianghong yang sangat besar, akan tetap hamba tak berani menerima firman."
"Masih kau menolak?"
Menegasi Liok Tian Peng dengan suara keras.
"Hong Hu tak berani mengacau,"
Jawabnya dengan suara tetap.
"Pangkat Ciongciehui dari Kimiewie dan pangkat Tongleng dari barisan Gielimkun sudah ada lain orang yang memegangnya." (Hong Hu berkata begitu, oleh karena dalam firman tersebut di tulis, bahwa ia diberi pangkatnya yang lama yaitu pangkat Ciongciehui Kimiewie merangkap Tongleng dari Gielimkun. Sepengetahuan Hong Hu sampai pada saat itu, kedua pangkat tersebut dijabat oleh Cian Sam San dan Bun Tiat Seng yang sedang bersembunyi di belakang lemari buku.) "Thio Tayjin,"
Berkata Tong Kee Cun.
"Apa benar-benar kau sudah baca firman itu dengan teliti!"
Mendengar pertanyaan begitu diajukan berulang-ulang, Hong Hu jadi bercuriga.
"Apa?"
Ia menegasi. Liok Tian Peng tertawa dingin dan menyahut.
"Cukong sekarang sudah bukan Thaysianghong lagi! Aku memberitahukan kau sebenar-benarnya. Dengan didukung oleh para menteri, kemarin Cukong sudah kembali pada takhtanya!"
Itulah pernyataan tak diduga-duga, bagaikan halilintar di tengah hari bolong! Thio Hong Hu jadi kesima dan untuk beberapa saat, tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Kedua matanya yang berkilat-kilat mengawasi Liok Tian Peng dan Tong Kee Cun, seolah-olah ingin menembuskan isi perutnya kedua orang itu.
"Kau tak percaya?"
Menanya Liok Tian Peng.
"Di dalam hati, mungkin kau berkata. Dari kota raja ke sini, dengan menunggang kuda masih harus menggunakan tempo tiga hari. Cara bagaimana kamu berdua dapat mengetahui kejadian yang terjadi kemarin?"
Benar! Bukan saja Hong Hu, tapi Hoan Eng pun memikir begitu. Sesudah berkata begitu, Tian Peng mengawasi Hong Hu dengan mata tajam dan kemudian menyambung pula perkataannya.
"Akan tetapi, perhitungan Hongsiang adalah tepat bagaikan perhitungan malaikat, yang tak akan dapat ditaksir oleh orang-orang sebangsa kau. Siang-siang beliau sudah membuat persiapan yang tak dapat meleset lagi. Sesudah itu, barulah beliau perintah aku pergi mencari kau. Jika Hongsiang masih merasa sangsi, beliau tentu tak akan menulis terang-terangan, bahwa kau dikasi kembali pangkatmu yang dulu. Thio Hong Hu! Sesudah memberi keterangan jelas, apakah kau masih tak mau menerima firman?"
Tong Kee Cun dan Liok Tian Peng lantas saja membentang firman itu dan menunggu jawaban Hong Hu. Hong Hu berdiri tegak bagaikan patung, seakan-akan kehilangan semangatnya. Diam-diam Liok Tian Peng tertawa dalam hatinya.
"Hm! Ada juga takutnya, kau!"
Pikir ia. Tiba-tiba Hong Hu membuka mulutnya.
"Bagaimana dengan Ie Kokloo?"
Ia menanya. Liok Tian Peng kaget, tapi lantas saja ia tertawa tengal.
"Oh! Kalau begitu, di matamu hanya ada Ie Kiam seorang?"
Katanya. Ia saling melirik dengan Tong Kee Cun dan lalu berkata pula.
"Urusan ini, kau tanya saja sendiri kepada Hongsiang. Kami hanya ingin mendapat kepastian, kau menerima atau tidak menerima firman ini."
Thio Hong Hu dongakkan kepalanya."Tidak terima!"
Jawabnya.
"Thio Toako adalah laki-laki yang sekali kata satu tidak berubah dua,"
Kata Liok Tian Peng dengan suara lunak.
"Kalau begitu putusan Toako, kami berdua ingin pamitan saja dengan mengharap supaya Toako menjaga kesehatan baik-baik."
Heran benar Thio Hong Hu mendengar perkataan itu.
Itulah kata-kata berpisahan antara sahabat-sahabat kekal, sedang ia dan Liok Tian Peng sedari dulu tak dapat hidup rukun.
Dengan perlahan Liok Tian Peng menggulung firman itu.
Hong Hu merasa terharu, sehingga kedua matanya mengembeng air.
"Liok-heng,"
Katanya.
"Aku memohon pertolonganmu untuk menanyakan kesehatannya Ie Tayjin. Di samping itu, aku pun memohon supaya dihadapan Hongsiang, kau sudi bicara baik untuk alamatnya Ie Tayjin."
"Tentu saja,"
Kata Tian Peng sembari menyoja, sedang Hong Hu pun segera membalas pemberian hormat itu.
Pada saat itulah, tangannya Tong Kee Cun mendadak berkelebat dan menghantam pundak Thio Hong Hu! Ternyata, kedua orang itu sudah menerima perintah rahasia Kie Tin untuk membinasakan Thio Hong Hu, jika ia menolak firman! Sebagai seorang yang ilmu silatnya tinggi, walaupun dibokong, secara otomatis Hong Hu dapat mengerahkan tenaga dalamnya.
Dengan satu suara "buk!", si pembokong terpelanting di atas lantai! "Manusia tak mengenal malu!"
Membentak Hong Hu.
"Berani benar kau membokong aku!"
Sementara itu, Liok Tian Peng sudah mencabut keluar Kimsie Joanpian (Pecut lemas) yang segera disabetkan ke pundak Hong Hu.
Melihat serangan pengecut itu, Hoan Eng gusar bukan main.
Ia hanya menyesal tak dapat mendobrak pintu untuk membantu pamannya.
Begitu terguling, Tong Kee Cun meloncat bangun dengan gerakan Leehie Tateng (Ikan gabus meletik) dan lalu mengayun kedua tangannya.
Dengan suara-suara "srr, srr, srr"
Yang sangat halus, belasan jarum Ngotok ciam beracun menyambar Hong Hu."Thio Hong Hu!"
Ia berseru.
"Meskipun kau mempunyai kepandaian menembus langit, malam ini kau jangan harap dapat meloloskan diri!"
Dengan tangan kiri menindih pecut musuh, Hong Hu mengebas dengan tangan kanannya dan belasan jarum lantas saja berbalik menghantam pihak tuannya.
Pecut Liok Tian Peng adalah senjata istimewa, dibuat dari benang emas yang dililitkan kepada urat harimau dan rotan gunung yang usianya ribuan tahun, sehingga senjata itu mempunyai keulatan dan kekuatan yang luar biasa.
Sesudah menindih, Hong Hu membetot pecut itu, tetapi senjata ini tak menjadi putus, meskipun tangan Liok Tian Peng sampai terbeset dan berdarah akibat betotan yang sangat hebat itu.
Dalam kagetnya, Tian Peng mendengar suara menyambarnya jarum dan buru-buru ia menundukkan kepala dengan gerakan Honghong Tiamtauw (Burung Hong manggutkan kepala).
Belasan jarum lewat di atas kepalanya, tetapi satu antaranya sudah menembuskan lengannya! Bukan main kagetnya Liok Tian Peng.
Ia tak menyana, jika dalam tempo belum cukup delapan tahun, tenaga dalamnya Hong Hu sudah mendapat kemajuan begitu jauh.
"Liok-heng!"
Berseru Tong Kee Cun.
"Tempel pundak! Dia sudah kena Toksee ciang (Tangan pasir beracun). Desak terus sampai dia mampus."
Sesaat itu Hong Hu merasakan pundaknya kesemutan dan lengannya agak kaku. Buru-buru ia bernapas dalam-dalam untuk menahan naiknya racun. Tong Kee Cun membuat satu "loncatan harimau"
Dan sembari berseru "heh!", ia menghantam pula dengan tangan beracunnya.
Tapi kali ini Hong Hu sudah siap sedia.
Ia berlaga kebingungan dan membiarkan musuhnya datang dekat padanya.
Mendadak, ia membalikkan tangannya dan menghantam sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Dengan kaget, Tong Kee Cun coba mundur, tapi sudah terlambat.
Pada pergelangan tangannya yang kena dihajar dengan kontan timbul lima tapak jari yang berwarna merah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi.
Dengan beruntun Liok Tian Peng menyabet tiga kali dengan pecutnya dan kemudian memutarkan badan untuk melarikan diri.
"Jangan kasi dia bernapas!"
Berseru Tong Kee Cun.
"Kalau hari ini dia tak mampus, kita berdua sukar menyelamatkan jiwa di belakang hari."
Sehabis berkata begitu, ia melemparkan dua butir yowan (pel) dan menyambung perkataannya.
"Sambut ini obat pemunah!"
Hong Hu menggeram bagaikan harimau terluka, tangan kanannya memapas, tangan kirinya menyambut yo wan itu.Liok Tian Peng menyampok dengan pecutnya, sembari menyambut yo wan itu dengan sebelah tangannya, tapi ia hanya dapat satu butir, sedang sebutir lainnya sudah kena dirampas Hong Hu.
Tian Peng yang lengannya ditembuskan Ngotok ciam buru-buru menelan yo wan itu, sedang Hong Hu pun segera caplok obat rampasannya.
Sesaat itu, Hong Hu sudah berdiri di tengah pintu dan mencegat jalan mundur kedua musuhnya.
"Binatang!"
Ia membentak.
"Kenapa kau orang membokong aku? Lekas bilang! Jika tidak, jangan harap kau orang bisa meloloskan diri!"
Liok Tian Peng ketakutan setengah mati, mukanya pucat bagaikan kertas. Tiba-tiba Tong Kee Cun mengeluarkan teriakan "aduh!"
Ternyata, pukulan Hong Hu tadi yang luar biasa hebatnya sudah mencopotkan tulang pergelangan tangannya, dan barusan, ia menggeser tulang itu ketempat asalnya.
Dapat di mengerti, bahwa penggeseran itu sudah menerbitkan kesakitan yang sangat hebat, sehingga tanpa merasa ia mengeluarkan teriakan "aduh!"
Liok Tian Peng memberi tanda kepada kawannya dengan lirikan mata, supaya mereka segera angkat kaki.
"Liok-heng,"
Berkata Kee Cun.
"Tak dapat kita melepaskan dia. Lebih baik mati bertiga. Obatku adalah pemunah Ngotok ciam, bukan obat Toksee ciang. Hayolah! Kita desak terus sampai dia mampus!"
Tian Peng menganggap perkataan kawannya memang ada benarnya.
Thio Hong Hu bukan main liehay-nya.
Dengan Iweekang-nya yang sudah sempurna, dalam sepuluh hari saja ia sudah akan dapat menyembuhkan luka akibat pukulan Toksee ciang.
Sesudah sembuh, Hong Hu tentu akan membalas sakit hatinya.
Meskipun Toksee ciang dan Ngotok ciam menggunakan racun yang sama, akan tetapi cara bekerjanya berlainan sekali.
Jarum Ngotok ciam yang halus terutama digunakan untuk menyerang jalan darah.
Pukulan Toksee ciang, dapat mengakibatkan luka di dalam dan di luar pada tubuh musuh.
Di samping itu, sebuah tangan adalah beberapa puluh kali lebih besar daripada jarum, sehingga racunnya pun puluhan kali lebih hebat.
Oleh karena itu, yo wan yang dimaksudkan untuk memunahkan racun jarum dan yang sudah ditelan sebutir oleh Hong Hu, tak akan menolong banyak.
Dalam pada itu, Hong Hu sendiri sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan naiknya racun.
Dapat di mengerti, bahwa usaha itu sudah sangat mengurangkan tenaganya yang harus digunakan untuk melawan dua musuhnya.
Maka sebab itulah, dengan dua lawan satu, walaupun Liok Tian Peng dan Tong Kee Cun masih jatuh di bawah angin, Hong Hu sendiri merasa sangat kepayahan.
Mati-matian mereka bertempur.
Sesuatu pukulan adalah pukulan yang membinasakan.
Dalam sekejap, belasan jurus sudah lewat.
Liok Tian Peng berkelahi secara licik sekali.
Ia tak berani datang dekat dan menggunakan siasat "gerilya".
"Thio Hong Hu!"
Ia berseru.
"Jika benar kau seorang gagah, kau harus membunuh diri sendiri jangan sampai ditertawai oleh orangorang gagah di kolong langit."
"Kentut!"
Membentak Hong Hu.
"Satu hoohan (orang gagah) harus menyerah disembelih olehmu? Bagus!"
"Thio Hong Hu!"
Berteriak pula Liok Tian Peng dengan suara mengejek.
"Malam ini kami berdua menjalankan perintah Hongsiang. Sebagai seorang menteri, jika raja perintah kau mampus, kau mesti mampus. Kau mengerti?"
Perkataan Liok Tian Peng, walaupun ejekan, bukannya tidak beralasan.
Pada jaman itu, kekuasaan kaizar tiada batasnya.
Jika kaizar menghendaki jiwa menterinya, menteri itu harus segera menyerahkan jiwanya, tanpa banyak rewel.
Akan tetapi, Liok Tian Peng tidak mengetahui, bahwa sesudah bergaul dengan Thio Tan Hong, alam pikiran Hong Hu sudah sangat dipengaruhi oleh sahabatnya itu.
Ia sudah menjadi sadar dan sungkan mengorbankan jiwanya untuk satu keluarga yang sedang berebut kekayaan dunia, walaupun keluarga itu adalah keluarga kaizar.
Mendengar ejekan itu, darahnya Hong Hu naik tinggi.
"Liok Tian Peng!"
Ia membentak.
"Manusia rendah yang tak mengenal malu! Kau ingin menggunakan darahku untuk menaikkan pangkatmu? Bagus! Tak malu kau, mengatakan begitu!"
Sembari memaki, kedua tangannya menghantam bagaikan hujan dan angin. Mendadak terdengar suara "buk!"
Dan badannya Tong Kee Cun terpental menubruk tembok, sampai hampir-hampir dia pingsan. Liok Tian Peng buru-buru menghadang di tengah jalan guna menolong kawannya.
"Thio Hong Hu!"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia pentang bacotnya lagi.
Hongsiang benar cerdik.
Siang-siang beliau sudah tahu, kau mempunyai tulang penghianat.
Thio Hong Hu! Kau tahu satu penghianat harus mendapat hukuman apa? Jika kau menyerah dibelenggu, hanya kau seorang yang mampus.
Tapi jika kau melawan, serumah tanggamu akan dibasmi habis!"
Mendengar perkataan itu, Hong Hu merasakan dadanya mau meledak.
Belasan tahun ia melindungi Kie Tin.
Dalam peperangan di Tobokpo, ia bela kaizar itu tanpa memperdulikan keselamatan jiwanya sendiri.
Kesetiaannya sudah tak dapat disangkal pula dan kegagahannya dikagumi orang sejagat.
Maka, oleh sebab itu cara bagaimana ia tidak gusar ketika mendapat cap "penghianat"? Dengan hebat ia mengirim tiga pukulan berantai, sehingga Kee Cun dan Tian Peng terpaksa mundur beberapa tindak.
"Waktu Yasian menyerang, di mana kau? Hm! Sekarang, kaulah menteri setia, sedang aku satu penghianat. Bagus! Bagus betul!"
"Thio Hong Hu, kau tak rela dicap penghianat?"Tian Peng mengejek terus.
"Kau kira orang tak tahu segala gerakgerikmu? Perhubunganmu dengan Thio Tan Hong sudah diketahui Hongsiang. Siapa Thio Tan Hong? Apa kau tak tahu? Dalam undang-undang kerajaan terang-terang ditulis. Siapa juga yang bersekutu dengan pemberontak, mendapat hukuman yang sama dengan pemberontak itu. Apa lagi kau mau kata? Selainnya itu, ketika Ie Kiam menco-kolkan kaizar baru, kau menjadi isi perutnya (orang sebawahan yang setia) Ie Kiam. Apa itu bukannya berhianat?"
Baru habis perkataan itu diucapkan, biji mata Hong Hu berputar dan rambutnya berdiri, bahna gusarnya.
"Kalau begitu, Ie Kokloo juga penghianat?"
Ia membentak sekuat suaranya.
"Apa lagi?"
Jawab Liok Tian Peng sembari senyum-senyum dingin.
"Hongsiang sudah mengatur rapih. Begitu ia naik takha, begitu Ie Kiam masuk penjara. Diserahkan kepada Makamah Agung, diumumkan kedosaannya dan dicabut jiwanya! Haha! Thio Hong Hu! Sekarang juga, aku kuatir kau punya Ie Kokloo sudah hilang kepalanya!"
Mata Hong Hu berkunang-kunang, hampir-hampir ia rubuh pingsan. Melihat kesempatan baik, Tong Kee Cun dan Liok Tian Peng lantas saja menyerang sehebat-hebatnya. Tiba-tiba Thio Hong Hu mendelik.
"Sudahlah! Sudahlah!"
Ia berteriak.
"Jika Ie Kokloo dianggap penghianat, guna apa aku hidup terus? Baiklah! Aku sekarang memberontak! Hm! Tindakan pertama adalah ambil jiwa anjingmu!"
Berbareng dengan perkataannya, Thio Hong Hu, jago nomor satu di kerajaan Beng, segera menerjang dengan menggunakan seantero kepandaiannya dan seluruh tenaga dalamnya! Seram benar terjangan itu! Tong Kee Cun yang belum mengenai sampai di mana liehaynya Hong Hu, segera merangkap kedua tangannya di depan dada untuk coba menyampok sambaran tangannya Hong Hu.
Begitu kebentrok, tulang lengan Kee Cun di bawah pundak, kontan patah dua! Tapi Tong Kee Cun benar-benar bandel.
Sesudah lengannya patah dan darah mengalir tak hentinya, mulutnya masih berteriak.
"Jangan kasi dia bernapas. Racunku sudah bekerja!"
Panjang pecut Liok Tian Peng ada lebih dari setombak.
Dengan mengandalkan senjatanya yang panjang, ia terus berkelahi secara licik, lari berputar-putar di seluruh kamar dan menyerang bila mendapat kesempatan baik.
Dilawan secara itu, sedikitnya untuk sementara, Hong Hu tak dapat menghantam si licik ini.
Toksee ciangnya Tong Kee Cun liehay luar biasa.
Waktu baru kena, berkat Iweekang-nya yang dalam, Hong Hu masih dapat menahan menjalarnya racun tersebut.
Akan tetapi, sesudah lewat berapa lama, lengan kanannya mulai kesemutan dan semakin lama jadi semakin kaku.
Melihat musuhnya mulai kepayahan, Liok Tian Peng lantas saja tertawa terbahak-bahak.
"Thio Hong Hu!"
Ia berteriak.
"Kalau kau mempunyai pesanan apa-apa, lekas-lekas beritahukan kepadaku. Mengingat kecintaan sebagai rekan untuk banyak tahun, aku pasti akan menolong kau!"
Ejek-ejekan yang tak henti-hentinya itu mempunyai satu tujuan berbahaya.
Jika seorang yang terkena racun, naik darahnya, racun itu akan menjalar terlebih cepat dan sang korban akan rubuh terlebih siang pula.
Dalam gusarnya, Thio Hong Hu menendang meja batu, yang lantas saja terpental dan melintang di tengah pintu.
Sesudah itu, ia menghantam kalang kabut segala perabotan, seperti sekosol, meja, kursi dan sebagainya, sehingga barangbarang itu pada menggeletak di atas lantai.
Setelah menyingkirkan rintangan-tangan itu, sembari menggeram, Thio Hong Hu menubruk Tian Peng, yang jadi terbang semangatnya dan coba menolong jiwanya dengan lari berputar-putar, bagaikan tikus diubar kucing.
Dengan satu bentakan keras, Hong Hu berhasil menyekal pecut musuh.
Tian Peng melepaskan senjatanya dan menggulingkan diri sampai di bawah lemari buku.
Thio Hong Hu menendang dengan sekuat tenaga.
Dengan suara gedubrakan, kakinya mampir di lemari buku yang menjadi dobrak dan roboh.
Di antara ramai suara itu, terdengar teriakan.
"Awas!"
Dan hampir berbareng, Cian Sam San dan Bun Tiat Seng munculkan diri. Sembari tertawa seram, tangannya Cian Sam San mendadak menyambar tulang pundaknya Hong Hu.
"Saudara Bun! Mampuskan padanya!"
Ia berseru.
Hong Hu benar-benar kaget.
Ia tak pernah mengimpi bisa terjadi peristiwa begitu.
Sebagai pemimpin Gielimkun dan Kimiewie dari Kie Gok, Cian Sam San dan Bun Tiat Seng adalah musuh-musuh Liok Tian Peng dan Tong Kee Cun yang menjadi orang kepercayaannya Kie Tin.
Menurut dugaan Hong Hu, walaupun tidak membantu padanya, Cian Sam San dan Bun Tiat Seng sedikitnya tidak akan membantu pihak musuh.
Hunkin cokut khiu dari Cian Sam San adalah ilmu silat kelas utama dalam Rimba Persilatan.
Dengan lima jerijinya yang seperti jepitan besi, ia menyengkeram tulang pundak Hong Hu yang lantas saja merasakan bagian atas badannya lemah tidak bertenaga.
Sementara itu, Bun Tiat Seng sudah mengeluarkan Joankiam (pedang lemas) dari pinggangnya.
"Thio Tayjin, hari ini adalah hari kebinasaanmu!"
Katanya sembari tertawa dan menyabetkan pedangnya ke arah kepala Hong Hu. Hampir berbareng, Liok Tian Peng pun sudah bangun dan pungut lagi pecutnya.
"Cian-heng dan Bun-heng,"
Kata ia sembari tertawa benar.
"Seorang gagah memang harus bisa melihat salatan. Mulai dari sekarang, kita semua adalah menteri dari satu kerajaan."
Sembari berkata begitu, ia menyabet Hong Hu dengan senjatanya.
Selama beberapa detik, Hong Hu coba menggunakan beberapa macam ilmu silat untuk meloloskan diri.
Akan tetapi, Hunkin cokut thjiu sungguh-sungguh ilmu istimewa.
Lima jerijinya Cian Sam San seperti juga lengket pada tulang pundak Hong Hu dan tak dapat dibikin terlepas.
Sesaat itu, Joankiam dan Joanpian menyambar hampir berbareng.
Pada detik yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba saja Thio Hong Hu membentak.
Hebat sungguh bentakan itu! Bagaikan guntur atau bagaikan geram harimau yang masuk dalam jebakan! Pada detik-detik itu, keangkerannya Thio Hong Hu berkumpul menjadi satu.
Bun Tiat Seng dan Liok Tian Peng jadi kesima.
Tanpa merasa, pecut dan pedang terhenti di tengah udara.
Pada saat itulah, kaki kiri dan kaki kanannya Hong Hu menendang dengan berbareng dan dengan kontan kedua musuhnya jatuh terpelanting! Sehabis menendang, ia menyikut dengan sikut kiri dan menyengkeram musuh dengan tangan kanan.
* * * Cian Sam San adalah seorang manusia licik.
Tadi, selagi bersembunyi di belakang lemari, ia sudah dapat mendengar segala pembicaraan dan mengetahui, bahwa Kie Tin sudah berhasil merebut takhta.
Pada saat itu juga, ia segera mengambil putusan buat tinggalkan majikan lama (Kie Giok) dan menghamba kepada majikan baru (Kie Tin)."Thaysianghong paling membenci Ie Kiam, Thio Tan Hong dan Thio Hong Hu,"
Pikir dia.
"e Kiam sudah dibekuk, Thio Tan Hong yang berkepandaian paling tinggi tak ketahuan berada di mana, maka yang ketinggalan hanya Thio Hong Hu seorang. Thaysianghong coba pancing dia dengan pangkat tinggi, tapi dia menolak, sehingga tidaklah heran jika beliau maui jiwanya.Jika aku bisa membinasakan Hong Hu, pahala itu akan dapat digunakan untuk menebus dosa dihada-pan majikan baru."
Akan tetapi, ia pun merasa jeri terhadap Hong Hu yang kepandaiannya tinggi. Sesudah mengasah otak liciknya beberapa detik, lantas saja ia mendapat jalan yang sangat baik.
"Lebih baik menonton dulu perkelahian antara harimauharimau itu,"
Katanya di dalam hati.
"Sesudah mereka rusak, barulah aku turun tangan. Jika tidak mampus, Liok Tian Peng dan Tong Kee Cun tentu mesti luka berat. Dan siapa lagi yang bakal kantongi pangkat Tongleng Gielimkun? Ha-ha! Inilah yang dinamakan sebutir batu menghasilkan tiga ekor burung!"
Demikianlah ia menunggu sambil memasang mata.
Apa mau, gelanggang pertempuran pindah ke tempat bersembunyinya dan lemari buku kena ditendang oleh Thio Hong Hu, sehingga mau tidak mau ia mesti keluar juga.
Ia mengetahui, bahwa pundak kanan Hong Hu sudah terkena pukulan Toksee ciang, sehingga lengan kanannya tak dapat digunakan lagi.
Maka itu, ia menyengkeram tulang pundak kiri Hong Hu, supaya dua-dua lengannya tak dapat bergerak dan dengan gampang dapat dibinasakan.
* * * Akan tetapi, perhitungannya Cian Sam San ternyata meleset, oleh karena, dalam detik yang sangat berbahaya, Hong Hu masih mempunyai tenaga untuk balas menyerang.
Begitu kena disikut, ia merasakan kesakitan hebat pada dadanya, dan hampir berbareng, tangannya Hong Hu menyengkeram nadinya.
Dengan satu teriakan hebat, ia berontak sembari melepaskan cengkeramannya pada tulang pundak Hong Hu, dan di lain saat, mereka berdua sudah jatuh terguling di atas lantai.
Pada detik yang sama, dalam kamar sebelah terdengar suara gedubrakan, seperti juga ada orang jatuh dari atas ke bawah.
Suara itu adalah akibat jatuhnya Hoan Eng.
Teriakan "Awas!"
Tadi adalah teriakan Hoan Eng.
Tak dinyana, oleh karena teriakannya itu, tempat bersembunyinya sudah diketahui oleh Tong Kee Cun.
Walaupun satu lengannya patah, Tong Kee Cun masih dapat menggunakan tangan yang satunya lagi.
Sebagai seorang ahli senjata rahasia yang dapat mencari musuhnya dengan hanya mendengar suaranya musuh itu, ia segera mengayun tangannya dan melepaskan sebatang Ngotok ciam ke arah lubang tembok.
Meskipun Hoan Eng masih keburu miringkan kepalanya sehingga jarum itu tidak mengenakan matanya, tapi satu jerijinya yang memegang pinggir tembok, tak urung menjadi korban.
Sesudah bertahan beberapa saat, ia roboh terguling ke bawah.
"Dikamar sebelah ada orang!"
Berseru Tong Kee Cun sesudah menimpuk. Dengan gerakan Lee-hie Tateng (Ikan gabus meletik), Tian Peng loncat bangun. Tapi, sebelum ia dapat bergerak, Hong Hu sudah menghadang di tengah jendela seraya membentak.
"Mau lari ke mana, kau!"
Berbareng dengan bentakannya, ia menyapu dengan tangannya.
Dengan cepat Tian Peng berkelit, tapi Hong Hu terlebih cepat lagi dan tangannya mengenakan jitu pada pinggang musuh.
Di waktu biasa, tenaga tangan Hong Hu dapat membelah batu besar, maka tidaklah heran, begitu kehantam, mata Tian Peng berkunangkunang.
"Matilah aku!"
Ia berteriak. Tiba-tiba terdengar suara tertawanya Bun Tiat Seng.
"Liokheng,"
Katanya.
"Jangan takut. Dia sudah terluka hebat. Tenaganya sangat berkurang. Mari kita kepung padanya!"
Mendengar perkataan itu, Liok Tian Peng menjadi sadar.
Benar juga, biarpun sakit bukan main, badannya masih dapat bergerak.
Buru-buru ia menarik napas dalam-dalam dan merangkak bangun.
Ia melihat lengan kanan Hong Hu sudah seperti tergantung pada pundaknya dan tidak dapat bergerak-gerak lagi, sedang bajunya penuh darah.
Lengan kirinya masih dapat digunakan, tapi gerakannya sudah sangat kaku.
Sesudah terkena pukulan Toksee ciang, tangan kanan Hong Hu memang sudah menjadi kaku.
Tadi, dalam keadaan mati hidup, bagaikan api lilin yang bersinar terang sebelum padam, tangan itu dapat memecahkan cengkeraman Hunkin cokut khiu.
Tapi, oleh karena gerakan itu, lengan tersebut copot dari tempatnya dan tak dapat bergerak lagi.
Waktu kena dicengkeram, beberapa lembar urat lengan kiri Hong Hu telah menjadi putus, sehingga tenaganya jadi sangat berkurang.
Itulah sebabnya kenapa, walaupun mendapat pukulan telak, Liok Tian Peng tidak sampai menjadi binasa.
Sambil menahan sakit, Tian Peng segera pungut lagi pecutnya dan kembali maju menerjang.
Sesaat itu, muka Cian Sam San kelihatan pucat bagaikan mayat, sedang badannya bergoyang-goyang.
Bun Tiat Seng pun pincang-pincang jalannya dan tidak berani loncat menyerang.
Lima orang yang berada di dalam kamar itu, sebenarnya sudah terluka semua.
Tong Kee Cun patah sebelah lengannya dan keadaannya payah sekali.
Bun Tiat Seng terluka kakinya akibat tendangan, Cian Sam San patah tulang dadanya lantaran kena disikut, sedang Liok Tian Peng sendiri mendapat luka berat pada isi perutnya.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, jika dibandingkan, Thio Hong Hu-lah yang mendapat luka paling berat.
Di lain saat, mereka sudah bertempur pula untuk mendapat ke-putusan mati atau hidup.
Sesudah melayani belasan jurus, Hong Hu merasa tak dapat bertahan lebih lama lagi.
Di antara kawan-kawannya, adalah Bun Tiat Seng yang lukanya paling ringan.
Oleh karena kakinya sakit, lantas saja ia menggulingkan diri dan menyerang dengan ilmu Kuntee-tong dari Partai Utara.
Sembari bergulingan, Joankiam-nya diputar bagaikan titiran untuk menyabet kedua kaki Hong Hu.
Hong Hu jejek kedua kakinya dan badannya melesat tinggi untuk meloloskan diri dari babatan pedang, dan ketika melayang turun, ia menubruk Cian Sam San yang lantas saja terpental.
Cian Sam San mementang kedua tangannya dengan niatan memeluk musuhnya dengan menggunakan ilmu Hunkin cokut khiu.
Akan tetapi, tangan Hong Hu cepat luar biasa.
Bagaikan kilat, ia cekal pergelangan tangan musuhnya sambil membentak.
"Rasakan bagaimana enaknya lengan copot!"
Cian Sam San mengeluarkan teriakan menyayatkan hati, badannya berguling-guling sampai di kaki tembok, dengan satu tangannya memegang tangan yang lain, yang sudah putus hubungan dengan lengannya! Sementara itu, badan Thio Hong Hu kembali melesat tinggi dan sebelah tangannya sudah menyekal sebatang golok mustika yang mengeluarkan sinar dan hawa dingin.
Semenjak mengundurkan diri, ia tak pernah menggunakan goloknya, yaitu golok Bianto, yang selalu digantung dalam lemari buku.
Sekarang, dalam pertarungan mati hidup, ia mengambil goloknya itu, dan dalam sekejap, keadaannya jadi berobah, bagaikan harimau bertambah sayap.
Bukan main kagetnya Liok Tian Peng.
Dengan muka pucat, ia mundur beberapa tindak.
"Binatang!"
Membentak Hong Hu.
"Jika hari ini kau orang bisa keluar dari pintuku, aku akan menulis terbalik nama Thio Hong Hu!"
Baru saja Liok Tian Peng memutar badan untuk coba melarikan diri, kesiuran angin tajam menyambar punggungnya dan bajunya sudah kena dirobek golok.
Pada detik mati hidup, selagi Liok Tian Peng mau membalikkan badan untuk menangkis serangan yang menyusul, tiba-tiba Thio Hong Hu berteriak dan mundur beberapa tindak dengan sempoyongan.
"Tikus!"
Membentak Hong Hu.
"Kau belum mampus?"
Sembari berteriak, ia menendang.
Hampir berbareng, Tong Kee Cun mengeluarkan jeritan hebat, tubuhnya bergulingan beberapa kali dan terus tidak bergerak lagi, rokhnya pulang ke alam baka! Ternyata, barusan waktu mengubar Liok Tian Peng, Hong Hu sudah tidak memperhatikan Tong Kee Cun yang sudah menggeletak di atas lantai dengan luka berat.
Meskipun sebelah lengannya patah, ia ternyata masih dapat menggunakan tangan yang satunya lagi.
Demikianlah, ketika Hong Hu lewat di dekatnya, dengan sekuat tenaga ia menimpuk dengan sepuluh batang jarum beracun, yang semuanya menancap pada lutut Hong Hu! Melihat musuhnya sudah tinggal matinya, Bun Tiat Seng jadi girang.
"Cian-heng! Cian-heng!"
Ia berseru.
"Hayo bantu sepukulan lagi!"
Dengan terpaksa, Cian Sam San, yang sudah copot sebelah tangannya, maju menyerang.
Keadaan Hong Hu benar-benar sudah payah sekali.
Kaki tangannya terluka berat, ditambah dengan racun hebat yang sudah mulai naik sampai di jantungnya.
Sambil kertek gigi, dengan menggunakan seantero tenaga yang masih ketinggalan, ia terjang tiga musuhnya dengan ilmu golok Ngohouw toanbun tohoat (ilmu golok lima harimau).
Sungguh tak usah malu Thio Hong Hu bergelar Jagoan Nomor Satu di seluruh kota raja.
Walaupun sudah empas-empis, serangannya masih tetap hebat dan ketiga musuhnya terpaksa mundur dengan terpencar.
"Jangan melawan rapat!"
Berseru Cian Sam San.
"Paling lama dia bisa tahan setengah jam lagi!"
Thio Hong Hu tentu saja mengetahui keadaannya sendiri.
Tapi ketika itu ia sudah menghitung dirinya mati dan tujuannya adalah mati bersama-sama tiga musuhnya.
Maka itulah, tanpa menjaga diri, ia menyerang bagaikan harimau edan.
Antara ketiga musuhnya, adalah Bun Tiat Seng yang lukanya paling ringan.
Dengan dilindungi oleh orang she Bun itu, Cian Sam San dan Liok Tian Peng berkelahi sembari lari berputar-putar dan menyerang apabila ada lowongan.
Tujuan mereka adalah "mengikat"
Hong Hu dengan seranganserangan "gerilya", sampai musuh itu rubuh sendirinya.
Semakin lama, kedua matanya Hong Hu jadi semakin kabur.
Sekarang ia sudah tak dapat melihat tegas musuhmusuhnya, yang dilihatnya hanya seperti gundukan-gundukan bayangan hitam.
Sekarang marilah kita tengok Hoan Eng yang jatuh dari atas tembok lantaran jerijinya disambar jarum beracun.
Sesaat kemudian, ia merasa jerijinya kesemutan dan sebagai seorang yang banyak pengalaman, lantas saja ia mengetahui, bahwa ia sudah dilanggar senjata beracun.
Buru-buru ia mencabut goloknya dan menggurat ujung jerijinya, akan kemudian memencet keluar darah beracun yang berwarna hitam.
Sesudah itu ia beset bajunya untuk membalut lukanya.
"Loohoan, bagaimana kita?"
Menanya perwira yang satu.
"Thio Hong Hu sudah memberontak. Bagaimana kita?"
Menanya yang lain.
Hoan Eng tak meladeni mereka.
Ia tempelkan kupingnya di tembok, mendengarkan suara beradunya senjata.
Ia bingung sekali, tak tahu siapa yang menang siapa yang kalah.
Mengingat kekejaman kaizar, mengingat di pengarakannya Ie Kiam dan dikepungnya Hong Hu, darahnya jadi meluap.
Bagaikan kalap, ia angkat goloknya dan membacok tembok berulang-ulang.
Suara bacokan itu terdengar di gelanggang pertempuran.
Bun Tiat Seng dan dua kawannya tentu saja tak tahu, bahwa kamar sebelah sudah dikunci oleh Siauw Houwcu.
Mereka menduga, bahwa pembantu Thio Hong Hu sedang membuka pintu untuk memberi bantuan.
Antara mereka, adalah Liok Tian Peng yang nyalinya paling kecil.
Dialah yang paling dulu loncat keluar dari gelanggang dan sambil menyeret pecut, ia coba melompati jendela.
Hong Hu menarik napas dalam-dalam.
Buat sesaat, kedua matanya terang kembali.
Sambil membentak keras, ia membacok.
Sekali ini orang she Liok itu tak dapat singkirkan dirinya lagi.
Golok Hong Hu mampir tepat di pundaknya dan ia roboh dengan tidak bernyawa lagi! Cian Sam San bengong sedetik, saking kagetnya.
Sebelum mencabut Bianto dari tubuh musuhnya, Hong Hu mengirim satu tendangan dengan kaki kirinya.
Kali ini pun ia berhasil, kakinya mengenakan tepat pada dadanya Cian Sam San.
"Bun-heng..."
Berseru Cian Sam San dengan suara lemah dan rubuh tanpa berkutik lagi. Selagi Hong Hu "membereskan"
Kedua musuhnya.
Bun Tiat Seng loncat dan menikam punggungnya Hong Hu dengan Joankiam-nya.
Pada saat ujung pedang menempel pada punggung musuhnya dan selagi ia mau menyodok ke depan, mendadak ia dengar teriakannya Cian Sam San yang menyayatkan hati.
Ia terkesiap, sehingga gerakan Joankiam jadi agak lambat.
Pada detik itu, Hong Hu sudah meloncat ke depan, akan kemudian memutarkan badannya.
"Hm! Sekarang hanya ketinggalan kau seorang!"
Membentak Hong Hu dengan suara menyeramkan.
"Thio Tayjin, ampuni aku!"
Memohon Bun Tiat Seng dengan suara gemetar.
Thio Hong Hu mendelik sambil menimpuk dengan goloknya.
Dengan disertai sinar dingin, Bianto menyambar ke uluatinya Bun Tiat Seng dan terus menembus sampai di punggungnya! Tanpa mengeluarkan suara, dia roboh celentang.
Sembari tertawa terbahak-bahak, Hong Hu memungut senjatanya dan menyingkirkan meja batu yang melintang di tengah pintu.
Ia menghampiri pintu batu dan membentak.
"Siapa di dalam? Keluar semuanya!"
Hoan Eng dorong keluar kedua perwira itu dan ia sendiri pun mengikuti dari belakang. Melihat Hoan Eng, sambil melintangkan senjata, Hong Hu menanya.
"Hoan Eng, ada urusan apa kau datang ke sini? Siapa yang kirim dua perwira ini?"
Kedua perwira itu pucat mukanya.
"Kami... kami datang untuk memohon pertolongan Tayjin,"
Jawab salah satu antaranya dengan suara terputus-putus.
"Apa?"
Membentak Hong Hu.
"Kau rasa boleh keluar masuk sesukamu di rumahku?"
Sedang kedua perwira itu gemetar sekujur badan, Hoan Eng mengawasi jago tua itu dengan hati duka.
Ketika itu, seluruh badannya Hong Hu berlumuran darah, tapi keangkerannya masih tetap seperti sediakala.
Tanpa merasa, Hoan Eng mengucurkan air mata dan menyekal tangannya orang tua itu.
"Thio Pehpeh, bagaimana keadaanmu?"
Ia menanya dengan suara terharu.
"Kenapa kau?"
Membentak Hong Hu.
"Kenapa kau ajak orang luar datang ke sini?"
"Pehpeh,"
Jawabnya.
"Kau mengaso dulu. Sebentar aku akan ceritakan."
"Baiklah,"
Kata Thio Hong Hu yang lantas masuk ke kamar batu dan duduk bersila. Buru-buru Hoan Eng mengeluarkan obat luka untuk mengobati pamannya. Hong Hu mendelik.
"Taroh!"
Ia memerintah.
"Siapa perintah kau bikin laga seperti neneknenek. Lekas bilang! Siapa dua pembesar itu?"
"Apa yang dikatakan mereka adalah hal yang sebenarnya,"
Menjawab Hoan Eng sesudah menjalankan kehormatan.
"Dari Ouwpak, mereka mengantar uang negara sebanyak tiga puluh laksa tahil perak. Di tengah jalan, perak itu kena dirampok. Mereka datang ke sini buat memohon pertolongan Pehpeh."
"Ada sangkut paut apa dengan kau?"
Menanya sang paman.
"Aku turut melindungi uang itu,"
Sahutnya.
"Kenapa kau begitu tolol!"
Membentak Hong Hu. Hoan Eng buru-buru berlutut dan berkata.
"Uang itu adalah kiriman Khoan Samtee. Aku tak dapat menolak mengingat hubungan mendiang ayahanda... Pehpeh, bagaimana kau rasakan?"
Tadi, ketika belum mengetahui maksud kedatangan Hoan Eng dan kedua perwira itu, untuk sementara, Hong Hu dapat mempertahankan dirinya.
Sekarang, sesudah mengetahui mereka tak bermaksud jahat, perasaan tegangnya hilang dan mukanya lantas saja berobah pucat dan badannya bergoyanggoyang.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hoan Eng bangun dan coba memberi pertolongan.
"Tak usah,"
Berkata Hong Hu.
"Selagi aku masih dapat bicara, kau dengarlah omonganku."
Hoan Eng merasa tak tega dan mau juga coba memegang badannya orang tua itu.
"Kau mau dengar perintahku atau tidak!"
Membentak sang paman.
"Hm! Kau kena Ngotok ciam. Lekas ambil obat pemunah dari badannya Tong Kee Cun."
Hoan Eng mengawasi lukanya.
Warna merah ternyata sudah melebar sampai di telapakan tangannya.
Ia terkejut oleh karena tidak menduga racun Ngotok ciam sedemikian liehay.
Mengingat, bahwa Hong Hu pun kena racun serupa, buru-buru ia menggeledah mayatnya Tong Kee Cun dan mendapat sebungkus yowan, yang lantas saja diserahkan kepada Hong Hu.
"Benar,"
Kata sang paman.
"Kau telan tiga butir."
"Thio Pehpeh, kau juga harus makan obat itu,"
Kata Hoan Eng. Hong Hu tertawa sedih seraya berkata.
"Jika satu jam lebih siang, mungkin masih ada harapan. Tapi sekarang, meskipun mendapat obat dewa, sudah tidak menolong lagi!"
Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kangouw, Hoan Eng tak membantah omongan pamannya.
Dengan hati bergoncang ia mengawasi mukanya jago tua itu, yang dari berwarna abu-abu sekarang sudah berobah menjadi hitam.
Tanpa merasa, bungkusan obat itu terlepas dari cekalannya dan jatuh di atas lantai.
"Thio Pehpeh,"
Katanya sembari berlutut.
"Pesanan apakah yang Pehpeh hendak berikan kepada siauwtit (keponakan)?"
Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung