Pendekar Penyebar Bunga 14
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 14
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya dari Liang Ie Shen
"Kelihatannya aneh,"
Katanya.
"Mari kita melihat dulu."
Sin Cu suka menurut.
Sama-sama mereka bertindak maju, mata mereka mengawasi.
Pertempuran berjalan secara luar biasa, pantas Seng Lim mengatakan aneh.
Kawanan piauwsu itu pada menunggang kuda tetapi kuda mereka pada rebah di tanah, suara meringkiknya mengiriskan.
Sejumlah peti dan keranjang bermuatkan barang bertumpuk seperti bukit, dikurung oleh orang-orang piauwkiok yang melindunginya.
Di atas sebuah peti duduk bersilah seorang piauw-su tua, tangannya mencekal sebatang huncwee, yaitu pipa panjang, saban-saban dia menyedot pipanya itu dan mengepulkan asapnya.
Si perampas piauw adalah serombongan pengemis, semua mereka menunggang kuda, saban-saban mereka menerjang.
Saban tiba saatnya rombongan piauwsu terdesak, si piauwsu tua mengayun tangannya, lantas terdengar suara sarser.
Saban diserang secara begitu, semua pengemis itu lari kabur, atau di lain saat mereka merangsak pula, akan mengulangi serangan mereka.
Terang sudah mereka itu jeri terhadap si piauwsu tua dan lagi memancing agar si piauwsu kehabisan senjata rahasianya itu.
"Apakah kamu ada dari Kaypang?"
Kemudian si piauwsu tua menanya.
"Kaypang"
Itu berarti Partai Pengemis perkumpulan tukang minta-minta. Seorang pengemis yang rupanya menjadi kepada mengasi dengar tertawanya.
"Kau telah mengenal kami, kenapa kau tidak hendak menjual persahabatanmu kepada kami?"
Sahutnya.
"Kau keluarkan obat pemunah racun, kau serahkan piauw angkutanmu ini, percaya aku, kami tidak nanti membikin sulit padamu! Haha!"
"Ngaco belo!"
Membentak si piauwsu tua.
"Pangcu dari Kaypang sekarang ini telah menjadi Toailongtauw dari delapan belas propinsi, mustahil dia bolehnya kepincuk oleh barang angkutanku yang begini sedikit? Teranglah kamu semua telah memalsukan diri, kamu menyamar jadi rombongan Kaypang itu! Siapakah pemimpinmu?"
"Jikalau kau tidak percaya aku, aku pun tidak berdaya,"
Berkata pengemis tadi.
"Sekarang ini kau serahkan dulu barang-barangmu, baru aku suka bicara denganmu!"
Si piauwsu tua menjadi gusar, ia membentak.
"Piauwkiok keluarga Han mana dapat sembarang menyerahkan barangbarang yang berada di bawah perlindungannya? Hm! Hm! Memang biasa orang merampas piauw tetapi aku belum pernah menyaksikan caramu yang sekeji ini kamu menggunai racun meracuni kuda orang! Tidakkah kamu kuatir, karena perbuatan hina kamu ini, orang kangouw nanti mentertawakan kamu? Karena kamu menggunai nama Kaypang, hari ini mesti aku bekuk kamu untuk nanti dihadapkan kepada Pit Keng Thian! Sampai itu waktu, sekalipun aku suka memberi ampun padamu, Pit Keng Thian sendiri pastilah tidak!"
Pengemis kepala itu tertawa bergelak-gelak.
"Aku bersedia untuk dicekuk olehmu!"
Katanya mengejek.
Ia keprak kudanya untuk dimajukan.
Piauwsu tua itu mengayun tangannya.
Atas itu, si pengemis memutar kudanya untuk menyingkir jauh hingga senjata yang berupa jarum itu tidak dapat mengenakan padanya.
Dia pun pandai sekali mengendalikan kudanya.
"Ah, benar-benar aneh!"
Berkata Sin Cu sesudah ia menonton sekian lama.
"Kenapa Pit Keng Thian hendak merampas barang-barang angkutannya piauwkiok keluarga Han ini? Sungguh tidak sedap didengarnya cacian piauwsu she Han yang tua itu terhadap Keng Thian!"
"Benarkah mereka ini orang-orangnya Pit Keng Thian?"
Seng Lim ragu-ragu.
"Mereka pasti bukan orang-orang palsu!"
Menyahut Sin Cu.
"Pit Yan Kiong itu ada orang kepercayaannya Pit Keng Thian. Ini pemimpin ada orang she Pek, aku kenal dia, sedang kepandaian membikin celaka kuda ini memang ada kepandaian istimewa dari Pit Keng Thian sendiri. Dulu hari aku pun pernah menjadi kurbannya. Dia hendak mendapatkan kuda Ciauwya Saycu ma, lantas kudaku dikejar hampir tak dapat bertindak."
Seng Lim menggeleng kepala. Merampas piauw dengan cara seperti itu benar-benar bukan cara yang dapat dipuji.
"Apakah kau kenal Han Loopiauwtauw itu?"
Kemudian si nona tanya kawannya.
"Sebelum ini, belum pernah aku bertemu dengannya. Hanya menurut pamanku, dialah satu piauwsu terhormat. Kecuali ilmu silatnya liehay, dia pun pandai bergaul dan menghargai persahabatan. Katanya dia mempunyai tiga macam syarat tidak melindungi. Ialah dia tidak suka melindungi piauw yang tidak terang asal usulnya, tidak suka melindungi piauw asal curian, dan tidak suka melindungi juga hartanya pembesar sekakar. Ada dibilang juga, satu kali dia melindungi barang, tidak nanti terjadi kegagalan, sebab duadua golongan Hitam dan Putih ada menaruh hormat kepadanya. Setahu kenapa sekarang Pit Keng Thian hendak membikin susah padanya..."
"Kabarnya dia pun jarang sekali keluar sendiri melindungi piauwnya,"
Kata Sin Cu Magi.
"Sekarang dia sampai turun tangan sendirinya, mestinya angkutan ini ada angkutan istimewa!"
"Taruh kata benar dia lagi mengangkut harta besar sekali,"
Berkata juga Seng Lim.
"sebagai kepala dari tentara suka rela, tidak pantasnya Pit Keng Thian merampas piauw orang."
Keduanya menjadi bingung sekali, tidak dapat mereka menerka jelas. Hampir di itu waktu, kawanan pengemis itu pada tertawa riuh, lalu ada yang berseru-seru.
"Lihat, lihat! Tua bang-ka itu sudah melepas habis senjata rahasianya! Mari maju semua, menyerang! Pandanglah sedikit kepada mukanya, jangan rampas benderanya!"
Kawanan pengemis itu melihat beberapa kali si piauwsu mengayun tangannya tetapi tidak ada jarum rahasia yang menyambar mereka, maka itu mereka mau menyerbu pula, akan tetapi mereka berlaku hati-hati, sambil majukan kuda mereka, mereka memutar senjatanya masing-masing di depan muka dan dadanya.
Tiba-tiba saja si piauwsu tua mengasi dengar suara menggeledek.
"Pengemis bangsat, berdiamlah kamu!"
Menyusul itu sebelah tangannya diayun dan suara sar-ser terdengar tak hentinya.
Lalu dua pengemis di kiri dan kanan roboh terjungkal dari atas kudanya.
Si pengemis she Pek sudah lantas memutar kudanya, untuk lari menyingkir.
Hebat piauwsu tua itu, dari atas peti di mana ia duduk bersila tubuhnya mencelat meleset, menyerang si pengemis she Pek itu, sebelah tangannya menyekal semacam senjata yang hitam mengkilap dengan apa dengan tipu "Lie Kong memanah batu"
Ia menotok jalan darah soankie hiat! Pengemis she Pek itu, yang bernama Beng Coan, ada salah satu pengemis kenamaan di dalam partainya, ilmu silatnya tak ada di bawahan Pit Yan Kiong, maka juga ketika ia diserang, ia berkelit sebat sekali, tapi sembari berkelit, dia menjerit.
"Oh, kau bangsat tua!..."
Belum berhenti jeritannya itu, terlihat lelatu api memercik, lalu tubuhnya terguling dari punggung kuda! Piauwsu tua she Han itu selainnya pandai menggunai senjata rahasia jarum yang diberi nama Bweehoa Touwkut ciam juga liehay sekali ilmunya menotok jalan darah, alat peranti itu adalah sebatang huncwee-nya itu yang tidak pernah lepas dari tangannya, maka juga setiap kali digunakan, api huncwee pun meletik muncrat, sekalian membakar baju atau kulit kurbannya.
Pek Beng Coan luput dari totokan, tidak luput ia dari api huncwee itu.
Sebat kelitnya Beng Coan, lebih sebat adalah si piauwsu tua.
Tanpa berayal sedikit juga, selagi orang jungkir balik, ujung huncwee-nya sudah menotok pula.
Beng Coan berbalik, dengan cambuknya ia menangkis.
Kosong tangkisan-nya itu, atau mendadak, asap huncwee si orang tua mengepul ke mukanya! Asap itu membuatnya menjadi kepala pusing dan matanya kabur, hingga karenanya, permainan cambuknya turut menjadi kacau juga.
Karena ini, segera ia kena didesak.
Huncwee itu, dengan asapnya mengepul berulang-ulang, mendesak untuk mencari sasaran jalan darah.
Sampai di situ, Beng Coan tidak berdaya lagi untuk membalas menyerang, ia cuma dapat membela diri.
Sin Cu tertawa menyaksikan pertempuran yang sifatnya lucu itu.
"Sekarang apa sudah tiba waktunya kita pergi memisahkan?"
Dia menanya Seng Lim.
"Tunggu dulu, kita lihat lagi sebentar!"
Menyahut si anak muda.
Selagi dua orang itu bertempur secara kipa, kawanan pengemis tidak berani merangsak pula untuk mengulangi serbuan mereka.
Selain Beng Coan nampaknya tak berdaya, dua pemimpinnya yang lainnya pun telah terkena jarum beracun.
Di lain pihak, orang-orang piauwkiok menjadi mendapat hati, mereka sekarang menyerang dengan panah mereka.
Dengan begitu terlihat tegas, pihak Kaypang lekas juga bakal kena dikalahkan.
Dalam pada itu orang mendengar tertawanya Han Loopiauwtauw, yang mendesak Pek Beng Coan, hingga pemimpin Kaypang itu menjadi sangat terdesak dan repot sekali.
Satu kali dia mencoba menyerang dengan cambuknya.
Kali ini si piauwsu tidak berkelit, ia justeru mengajukan huncwee-nya, mengasi pipa itu kena dilibat cambuk.
Hanya, bukan cambuk yang melibat terus, adalah si piauwsu yang memutar senjatanya itu, yang membikin senjatanya terus terlibat, hingga cambuk menjadi semakin pendek dan semakin pendek.
Di akhirnya si piauwsu berteriak.
"Robohlah kau!"
Hebat Pek Beng Coan, dia terhuyung, tubuhnya miring, tidak dia jatuh! Di dalam rombongan piauwsu orang menjadi heran.
"Ah, mungkin dia benar orang Kaypang?"
Ada yang berkata. Tapi si piauwsu tua telah berpikir lain.
"Tidak perduli dia siapa!"
Serunya.
"Dia mesti dibekuk untuk dibawa menghadap Pit Toaliong tauw Jikalau toh benar dia orang Kaypang, tidak, usah kita yang menghukumnya, pasti Pit Toaliongtauw yang nanti membikin kutung kedua kakinya!"
Piauwsu ini masih tidak mau percaya orang ada dari Kaypang.
Sin Cu dan Seng Lim bersembunyi di belakang batu besar dari mana mereka mengintai, mendengar perkataan si piauwsu tua, mereka mengulur lidah mereka.
Mereka heran dan kagum.
Keduanya pun menjadi ragu-ragu, hingga mereka saling menanya, kalau mereka maju untuk memisahkan, apa mereka mesti bilang apa mereka mesti membenarkan bahwa Beng Coan ada dari pihak Kaypang?..."
Piauwsu itu mulutnya berbicara, tangannya tak berhenti bergerak.
Ia memang lebih kosen daripada Pek Beng Coan, maka itu, si pengemis terlihat nyata tengah terancam bahaya.
Di saat bahaya mengancam itu, tiba-tiba perlawanannya kawanan piauwsu itu seperti terpecah sendirinya, di antara mereka muncul satu orang yang gerakannya sebat bagaikan bayangan.
Piauwsu tua itu mendapat lihat orang datang, ia segera memukul mundur pada Beng Coan, untuk memasang mata kepada ini orang baru, yang ternyata ada satu toosu atau imam dengan jubah kuning, tangannya mencekal hudtim atau kebutan.
Dia sudah lantas berdiri di depannya si pengemis.
"Apakah aku berhadapan sama Hian Eng Tootiangg dari kuil Siangceng Koan di Shoatang?"
Si piauwsu menanya sesudah ia melihat tegas orang di depannya itu.
"Benar,"
Menyahut si imam.
"Sudah lama aku mendengar nama Han Loopiauwtauw, hari ini kita bertemu, aku merasa beruntung sekali."
"Mohon tanya, too-tiang, untuk apakah kau datang ke Selatan ini?"
Piauwsu tua itu menanya pula.
"Pin too datang untuk meminta amal dari kiesu,"
Sahut imam itu.
"Pintoo mohon sukalah kiesu mendermakan piauw yang menjadi angkutanmu ini."
Pintoo adalah "aku"
Untuk imam dan kiesu adalah sebutan "kau"
Menghormat. Di waktu mengucap demikian, imam ini bersikap sungguhsungguh, tidak sedikit tanda ia bergurau. Piauwsu itu agaknya gusar sekali, tetapi ia mengendalikan diri. Saking gusar, tangannya yang mencekal huncwee sampai bergemetar.
"Tootiang ada orang di luar manusia umum, apa perlunya tootiang dengan uang ini?"
Ia menanya, menahan sabar.
"Di kolong langit ini, banyak sekali orang yang menanti untuk disuapi,"
Menyahut si imam tenang.
"Pintoo memohon amal karena ada keperluannya."
Piauwsu itu tertawa melenggak.
"Sebenarnya, dengan memandang kepada tootiang, tidak dapat aku tidak menderma,"
Ia bilang.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"hanya sayang aku Han Cin Ie, meskipun aku telah mengusahakan piauwkiok beberapa puluh tahun, tanganku tetap kosong, karenanya tidak sanggup aku mengganti uang piauw ini. Bagaimana aku dapat mengikuti kau, tootiang ? Di lain pihak lagi, seumur hidupku, belum pernah aku membikin gagal kepercayaannya langgananku terhadapku. Tootiang, apakah kau bukan memaksakan orang mendapatkan kesulitan?"
Hian Eng Toojin tetap dengan sikapnya yang tenang dan dingin.
"Bicara pulang pergi, nyatanya kiesu berat untuk mengamal, bukankah?"
Ia bertanya. Han Cin Ie si piauwsu tua pun rupanya habis sabarnya. Ia angkat huncwee-nya.
"Begini saja, tootiang ,"
Katanya singkat.
"apabila tetap tootiang hendak meluncurkan tanganmu, silahkan kau singkirkan dulu itu bendera piauwkiok kami!"
Ia menunjuk kepada benderanya.
Itulah tanda pembicaraan sudah putus.
Mukanya si imam menjadi keren, tanpa membilang suatu apa lagi, ia geraki kebutan-nya, menotok ke arah jalan darah tiongbeng dan pekhoay.
Han Piauwsu berkelit, tetapi ia tidak mundur, terus ia membalas menyerang.
Maka itu, keduanya sudah lantas bergebrak.
Bahkan semua gerakan mereka berbahaya sekali untuk pihak lawan.
Munculnya Hian Eng secara tiba-tiba itu dan sikapnya itu, yang pun luar biasa, membikin heran tidak cuma pihak piauwkiok dan Kaypang, juga Sin Cu dan Seng Lim.
Hian Eng ada imam jujur dan alim, untuk lima propinsi Utara, namanya sangat terkenal.
Sebagai imam, untuk apa ia merampas piauw, apapula piauw dari satu piauwsu yang demikian memegang derajat dan bersih? "Katanya ketika Pit Keng Thian mendapatkan kedudukan Toaliongtauw di lima propinsi Utara dia dapat bantuannya Hian Eng Toojin ini, benarkah itu?"
Seng Lim tanya kawannya.
"Benar,"
Menjawab Sin Cu.
"Mereka berdua bersahabat erat, maka itu kedatangannya ini mungkin karena dia menerima permintaan bantuan dari Pit Keng Thian. Hanya heran imam ini sendiri. Biasanya dia tidak turun tangan di dalam urusan yang benar, dia tidak usilan. Kenapa sekarang dia bersikap begini keras? Mungkinkah ada terselip rahasia pada piauw dari Han Loopiauwtauw ini?"
Pertempuran berlangsung dengan seruh.
Huncwee Han Cin Ie pendek, totokannya hanya tiba di satu batas.
Kebutan Hian Eng cukup panjang, ujung kebutan itu dapat bekerja terlebih merdeka.
Maka juga si piauwsu seperti kena dikurung.
Syukur untuknya, ia kosen, ia cuma kalah di bawah angin.
Rombongan piauwkiok menjadi kecil hatinya menampak pemimpin mereka terdesak.
Mereka kuatir nama besar dari pemimpinnya nanti runtuh karenanya.
Kalau kekuatiran itu berwujud, mereka pun akan turut bercelaka, mangkuk nasi mereka bakal terbalik...
Dalam saat itu men-dadakan terdengar satu suara nyaring.
Nyata huncwee Cin Ie, yang dipakai menyerang hebat, kena disampok kebutan Hian Eng.
Itulah yang menerbitkan suara itu.
Habis menangkis, Hian Eng membalas menyerang.
Hebatnya untuknya, setiap lembar bulu kebutannya itu seperti berbangkit berdiri dan bagaikan jarum mengancam mukanya si piauwsu.
"Celaka!"
Seng Lim berseru, hampir tubuhnya mencelat.
Ia berniat menolong piauwsu kenamaan itu.
Di saat sangat mengancam itu, terlihat berkilauannya sinar seperti kilat, menyambar ke arah Hian Eng Toojin, tubuh siapa lantas mencelat tinggi, lalu jumpalitan, terus turun di tanah jauhnya setombak lebih dari lawannya.
"Bagus!"
Berseru Sin Cu.
Ia memuji dua-dua pihak, si penyerang dan lawannya.
Si penyerang untuk serangannya yang liehay si lawan untuk caranya berkelit yang lincah itu.
Di dalam saat jiwanya terancam, Han Cin Ie sudah menggunakan tiga batang jarum emasnya, yang menjadi senjata rahasianya yang dimalui, yang membuatnya terjulukkan "Kimciam Sengciu"
Atau "Ahli Jarum Emas."
Dia liehay untuk senjata rahasianya itu, Hian Eng liehay untuk ringan tubuhnya.
Setelah itu, Han Piauwsu tidak berlompat maju mengubar lawannya, untuk merangsak, ia hanya berdiri tenang seperti lagi menantikan datangnya musuh.
Hal ini membikin heran semua orang dari rombongannya, hingga mereka itu, dalam hatinya, saling menanya, kenapa si piauwsu mensia-siakan ketikanya yang baik itu.
Mereka tidak tahu, saking liehaynya si imam, piauwsu itu mau berlaku hati-hati.
"Hian Eng Tootiang ,"
Katanya kemudian, sesudah ia membuang napas.
"sekarang sudikah kau memberi ampun kepadaku si orang tua?"
Ia menanya sembari tertawa. Hian Eng mengibas dengan kebutannya, terus ia menyahuti dengan tawar.
"Beberapa batang jarum emas tidak ada harganya, pintoo tetap hendak meminta amal dari kau, kiesu."
Lalu ia mengebut pula, untuk menyerang.
"
Too tiang,"
Berkata Cin Ie.
"di kolong langit ini sangat jarang aku melihat cara orang meminta derma sebagai kau ini, kau membuatnya aku si orang tua menjadi kewalahan..."
Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama semburan asap huncwee.
Memang tiga keistimewaan dari piauwsu kenamaan ini adalah jarum rahasianya, huncwee-nya dan ini asap huncweenya itu.
Asapnya ini yang terlebih luar biasa.
Kalau ia habis menyedot pipanya, asapnya dia dapat tahan di dalam mulutnya, di saatnya yang perlu, ia semburkan secara tibatiba, di luar sangkaan lawan.
Demikian sudah terjadi serangan asap kepada imam itu.
Di dalam satu pertempuran, yang paling dimalui adalah pembokongan.
Itu artinya, kita berada di tempat terang, lawan di tempat gelap.
Hian Eng tidak menduga jelek ketika tahu-tahu ia terserang asap huncwee, tidak perduli ia gagah dan tabah, hatinya toh terkesiap juga.
Dalam kesehatannya, ia mengebut, bukan untuk menyerang, hanya untuk membela diri.
Ia melindungi diri di tiga jurusan, atas, tengah dan bawah, tipu silatnya ialah yang dinamakan "Pathong hongie, atau "Hujan Angin di Delapan Penjuru."
"Bagus!"
Han Cin Ie berseru dengan pujiannya. Mau atau tidak, ia mesti mengagumi imam itu. Tapi ia memuji bukan untuk berhenti berkelahi, pujiannya itu disusul pula sama semburan asapnya. Hian Eng menjadi panas hatinya.
"Apakah ini namanya pertempuran?"
Dia menanya. Selagi orang sangat mendongkol, si piauwsu tertawa.
"Tetamu yang dihormati berkunjung datang, sudah selayaknya saja aku si orang tua menyambut dengan menyuguhkan huncwee dan teh!"
Ia berkata.
"Tetapi kita di sini berada di tengah jalan, di sini tidak ada air teh, terpaksa aku menghormati kau dengan asap!"
Sembari berkata begitu, piauwsu ini melanjuti serangannya, huncwee-nya dipakai menotok atau menikam seperti tombak.
Ia selalu mencari jalan darah.
Hian Eng membela diri dengan rapat.
Ia mengeluarkan kepandaiannya hasil latihan beberapa puluh tahun.
Ia terhalang dengan asap huncwee, yang membikin tubuh lawan seperti tertutup dan nampak samar-samar, akan tetapi ia dapat mengarahkan pandangan matanya.
Cin Ie kewalahan juga meskipun benar nampaknya ia lebih unggul.
Sampai habis asapnya, ia masih belum berhasil merobohkan lawan, sedangkan huncwee-nya tidak pernah mengenai sasarannya.
Ia masih mempunyai sisa jarumnya tetapi ia tidak mau pakai itu secara sembrono, kuatir keburu habis.
Pertempuran juga terjadi di antara pihak pelindung piauw dan orang-orang Kaypang.
Cambuknya Pek Beng Coan sudah patah, ia ganti itu dengar sebatang golok rampasan.
Dengan bengis ia merobohkan dua piauwsu kepala, lantas ia tertawa.
"Han Loopiauwsu ,"
Ia berkata.
"kau serahkan piauw dan benderamu! Air hijau, gunung ribuan, maka itu masih ada waktunya untuk kita bertemu pula!"
Perlawanan pihak piauwkiok runtuh sampai di situ, maka Pek Beng Coan dengan merdeka memerintahkan orangorangnya mengangkut semua angkutan, yang dipindahkan ke kereta-kereta keledai yang mereka siapkan.
Orang Kaypang berjumlah cukup banyak, mereka pun bekerja keras.
Orangorang piauwkiok cuma bisa mengawasi saja, untuk maju mencegah, mereka dihalangi Beng Coan.
"Sekarang sudah waktunya kita turun tangan?"
Sin Cu tanya Seng Lim. Orang yang ditanya tertawa.
"Kita membantu Hian Eng merampas piauw atau membantu Han Loopiauwtauw membelai barangnya itu?"
Ia balik menanya.
"Kita datang sama tengah, untuk memisahkan dan mendamaikan,"
Sahut si nona.
Pertempuran berlangsung dengan seru.
Huncwee Han Cin Ie pendek, totokannya hanya tiba disatu batas.
Kebutan Hian Eng Toojin cukup panjang, ujung kebutan itu dapat bekerja terlebih merdeka.
Maka juga si piauwsu seperti kena dikurung.
Syukur untuknya, ia konsen, ia cuma kalah di bawah angin.
"Sudah terang Hian Eng menghendaki piauw, mana dapat kita memisahkan mereka?"
Tanya si anak muda. Sin Cu berdiam. Urusan memang aneh sekali. Piauw apa piauw -nya Han Cie Ie ini? Kenapa Pit Keng Thian hendak merampasnya? Kalau ia hendak mendamaikan, apa dasarnya atau alasannya untuk berbicara? "Habis bagaimana?"
Akhirnya si nona tanya.
"Jelas sudah, mereka hendak merampas piauw, mereka tidak berniat mencelakakan orang,"
Mengutarakan Seng Lim.
"sekarang kita biarkan Hian Eng berlalu dengan barang rampasannya itu, kita pegat ia di lain tempat, untuk meminta penjelasan. Pit Toako bukan orang lain, kita dapat berbicara dengan baik, nanti kita ketahui duduknya hal yang benar."
Sin Cu setujui sahabat ini, ia mengangguk. Sampai di situ, mereka mengawasi pula medan pertempuran. Di sana orang-orang Kaypang bekerja keras memindahkan semua piauw.
"Kau dengar, suara apa itu?"
Berkata Seng Lim pada kawannya.
Mendadak saja ia mendengar semacam suara yang terbawa angin, ialah suara terompet.
Segera juga suara itu terdengar pihak piauwkiok dan Kaypang, mereka heran, masing-masing lantas memasang kuping.
Suara terompet itu tercampur siulan.
Semua orang memasang kuping sambil berbareng memasang mata ke arah dari mana suara itu datang.
Mereka tidak usah menanti lama atau mereka tampak munculnya satu barisan serdadu wanita, yang dandanannya rapi.
Di paling depan ada empat wanita yang tangannya menenteng tengloleng, mengiringi seorang wanita lain yang berpelangi merah.
Dari antara mereka itu pun terdengar suara tertawa.
Semua orang menjadi heran, mereka mengawasi dengan menjublak.
"Melihat dandanannya, mungkinkah dia yang orang sebut Angkin Liecat?"
Tanya Sin Cu dalam hatinya sesudah ia mengawasi sekian lama. Angkin Liecat itu berarti berandal wanita berpelangi merah, atau si Pelangi Merah. Setibanya, si pelangi merah itu menggapai dengan tangannya, dan dengan dingin dia berkata.
"Piauw itu tinggalkan untuk aku!"
Hian Eng Toojin gusar mendengar kata-kata itu.
"Apa?"
Dia menegaskan. Nona itu tertawa manis, tetapi mendadak dia berseru bengis.
"Apakah kau tidak mempunyakan kuping yang panjang? Aku bilang, piauw itu tinggalkan untuk aku!"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hian Eng mengebut kebutannya.
"Alasan apa kau ada punya untuk aku menyerahkan piauw ini kepadamu?"
Dia menegaskan.
"Oh, kiranya kau ingin bertempur?"
Si nona balik menegaskan.
"Aku mengandalkan ini maka aku menghendaki piauw ini!"
Dengan hanya satu kelebatan, si nona sudah menghunus pedangnya yang tajam mengkilap, dengan itu ia menyerang tanpa ayal lagi.
Untuk kagetnya Hian Eng Toojin, ia mendapat kenyataan kebutannya telah terbabat ujungnya.
Pastilah pedang si nona tajam luar biasa, kalau tidak, kebutan besi itu tidak nanti kena dibikin bercacad.
Tentu sekali ia menjadi gusar sekali.
Ia pun menjadi heran sebab sehabis babatan-nya yang pertama itu, si nona terus menyerang ia dengan bengis.
Itulah bukan cara umum untuk kaum Golongan Hitam.
Mau atau tidak, terpaksa Hian Eng melayani nona itu.
Ia menggunai ilmu silat kebutannya itu yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus.
Belum habis separuhnya ia gunai ketika mendadak si nona, sambil berseru nyaring, menikam tenggorokan dengan pedangnya dan menotok kedua mata dengan dua jari tangan kirinya.
Imam itu melihat serangan itu, ia segera menggeraki kebutannya untuk membela dirinya.
Tetapi si nona liehay, belum sampai ia mengenakan sasarannya, mendadak ia mengubah gerakan, pedangnya diteruskan dengan babatan, hingga tubuh Hian Eng seperti terkurung sinar pedang.
Tapi ia pun bukan seorang lemah, ia juga mencari lowongan.
Demikian setelah datang ketikanya, ia membalas menyerang, ia menotok kepada enam jalan darah giokheng, kwangoan, thiankwan, soankie, yauwkong dan tionghu.
Secara begini ia memaksa si nona repot membela dirinya, hingga mereka menjadi sebanding, sedang mulanya, si imam kelihatan terdesak.
Pertempuran berlanjut terus.
Hian Eng ingin melampiaskan kemen-dongkolannya, sebisa-bisa ia mencari jalan untuk memberi pengajaran kepada lawannya itu.
Begitulah satu kali ia menyerang hebat sekali.
Sekonyong-konyong si nona meniup keras, lalu dia tertawa dan berseru.
"Hai, imam busuk, ilmu silatmu tidak ada kecelaannya, tetapi kau pergilah!"
Dan dia menyambuti kebutan.
Hian Eng tidak menghendaki kebutannya itu terbabat pula, ia lekas-lekas menarik pulang.
Tapi justeru ia menarik pulang, justeru pedang si nona dibaliki, terus dipakai menyerang, maka dengan satu suara cukup nyaring, kopia suci imam ini kena terpapas kutung! Hian Eng kaget bukan kepalang.
Sia-sia ia hendak melindungi dirinya, menangkis tidak bisa, berkelit tidak keburu.
Inilah untuk kedua kalinya yang ia kena dipecundangi.
Yang pertama kali ialah waktu ia membantui Pit Keng Thian memperebu-ti kedudukan Toaliong-tauw dari lima propinsi Utara, ia telah terkalahkan Yang Cong Hay.
Ia tidak menyesal yang ia kena dirobohkan orang she Yang itu, sebab orang terkenal sebagai satu di antara empat kiamkek, ahli silat pedang, terbesar.
Tetapi kali ini, ia melayani nona itu belum sampai tiga puluh jurus.
Maka juga ia mendongkol berbareng malu sekali.
Sampai di situ Han Cin Ie maju mendekati.
Ia nampak girang karena air mukanya berseri-seri.
Ia memberi hormat kepada si nona seraya ia menanya.
"Nona, adakah kau liehiap Leng In Hong dari Huyong San? Aku si orang tua ada piauwsu Han Cin Ie dari Cin wan Piauwkiok dari Pakkhia, aku lewat di wilayah nona tetapi belum sempat aku membuat kunjungan kehormatan, maka itu aku minta sukalah kau memaafkannya."
Piauwsu jago ini menyebutnya orang iiehiap, pendekar wanita, itulah untuk mengangkat saja.
Ia sebenarnya bukan belum mengunjungi hanya tidak ada niatnya untuk itu.
Ia ketahui nama besar si nona tetapi nama itu didapatnya belum ada satu tahun, dia jadinya tidak dilihat mata.
Han Cin Ie telah pergi menghormati tujuh kepala berandal lainnya tetapi tidak si nona ini, yang tak masuk dalam hitungannya...
Leng In Hong menyapu kepada wajahnya piauwsu tua itu, jalu ia mengerutkan kening.
Ia kata.
"Loojinkee, buat apa kau banyak omong? Aku toh tidak minta berkenalan denganmu atau memohon tanya riwayatmu?"
Han Cin Ie melengak, ia mengawasi si nona, terus ia tertawa.
"Nona, piauw ini berada di bawah perlindunganku,"
Ia berkata, hormat.
"maka itu aku minta sukalah nona berbuat baik. Aku akan menuruti aturan kaum kangouw kita, nanti aku akan mengirim bingkisan kepadamu."
Piauwsu ini percaya si nona bakal memberi muka padanya.
Ia percaya, sebagai seorang yang baru muncul, si nona tentunya membutuhkan nama kesohor.
Ia pun percaya, ia akan dipandang juga sebab ia adalah pemimpin antara pelbagai piauwsu kepala.
Tapi kesudahannya adalah di luar dugaannya.
Leng In Hong memperlihatkan wajah dingin.
"Apakah halangannya untuk mengambil piauw ini?"
Katanya tawar.
"Untukku, aku tidak mengambil perduli siapa yang menjadi pembelanya!"
Pek Beng Coan tertarik mendengar kata-kata si nona, maka juga ia berjingkrak.
"Tidak salah!"
Dia nimbrung.
"Memang juga, apakah halangannya untuk mengambil piauw ini? Kita ada orang dari sesama kaum, menurut aturan, dapat kita membagi rata, seorang separuh!"
"Adakah piauw ini kau yang turun tangan lebih dulu merampasnya?"
Si nona tanya.
"Benar,"
Menyahut Beng Coan.
"Kami mendapat perintah dari Pit Pangcu. Ini... ini..."
Ia hendak menuturkan asal-usulnya piauw itu, atau si nona dengan tak sabaran sudah menggoyang-goyangi tangannya seraya berkata.
"Hm! Kami bekerja di dalam daerah pengaruhku, turut pantas kamu harus diberi sedikit tanda mata, tetapi mengingat yang imam ini berkepandaian tak tercela, suka aku membiarkan kamu pergi dengan cara baik! Apakah kamu masih tidak mau mengangkat kaki?"
Mendengar itu, Pek Beng Coan menjadi gusar. Ia sudah bicara dengan aturan, orang nyata tidak menggubrisnya. Dalam gusarnya, ia membulang-balingkan goloknya.
"Ha, bagus ya!"
Serunya.
"Aku sudah memberikan muka kepadamu! Aku undang kau minum arak, kau menolak, kau justeru menerima arak dendaan! Baiklah, sekarang kau boleh merampasnya piauw ini dari tanganku!"
"Kau, Han Cin Ie, apa kau hendak bilang?"
Hian Eng pun menanya si piauwsu.
Leng In Hong sementara itu menitahkan barisan perempuannya menggiring piauw, untuk dibawa pergi, atas mana orang-orang piauwkiok mencoba menghalanginya.
Pihak piauwkiok itu dibantu oleh orang-orang Kaypang, yang hendak mempertahankan piauw itu.
Barisan wanita itu kosen, dalam bentrokan, mereka tidak dapat dirintangi.
"Baiklah!"
Ia berseru, menyambut Hian Eng.
"Mari kita sama-sama naik sebuah perahu! Mari kita hajar dulu ini rombongan berandal!"
Kata-kata ini disusul serangannya dengan huncwee yang dibarengi sama semburan asap huncwee itu.
Berbareng dengan itu, Hian Eng dan Pek Beng Coan juga turut menyerang, maka itu si nona, si Pelangi Merah, sudah lantas dikepung bertiga.
*** Leng In Hong tertawa panjang melihat orang mengepung kepadanya, tubuhnya segera bergerak dengan lincah, menyelamatkan diri, setelah mana pedangnya lantas menikam kepada Han Cin Ie.
Piauwsu tua ini angkat tangan kirinya, untuk melindungi dadanya, berbareng dengan itu dengan huncwee-nya ia menyerang seperti juga ia menggunai tombak.
Inilah gerakan "Bianglala putih menutupi matahari."
Ia membela diri sambil menyerang, ujung pipanya menyamber ke tenggorokan.
Si nona benar-benar gesit, cuma bergerak satu kali, dia sudah lantas lolos dari tikaman itu.
Untuk membalas, ia menusuk lengannya s piauwsu.
Cepat serangan membalasnya ini.
Coba si piauwsu tidak liehay, pasti tangannya sudah kena terpanggang pedang.
Ia kelit tangannya itu, yang ditarik terputar, berbareng dengan mana, kembali ia menyemburkan asapnya, ketika asap itu sudah seperti semacam tirai, tangan kirinya pun diayun, menimpukkan jarum rahasianya.
Malah saking sengitnya, ia menggunai semua sisa tujuh batang senjata rahasianya yang beracun itu.
Hingga di situ nampak sinar berkilauan.
"Bagus!"
Berseru si nona sambil terus ia tertawa panjang, sembari berseru, tubuhnya mencelat tinggi, hingga semua tujuh batang jarum lewat di bawahan kakinya.
Nyata ia sangat celi matanya dan gesit tubuhnya.
Karena ia berlompat, ketika tubuhnya turun, ia berada dekat Hian Eng Toojin, dari itu tanpa berayal lagi, ia menyerang imam itu dengan gerakannya "Burung walet menyambar ombak."
Imam kosen ini ketahui dengan baik orang sangat liehay, ia tidak mau menangkis pedang dengan kebutannya itu. Untuk membela diri, ia tetap menggunai kebutannya. Hanya kali ini ia menggunakan jurus "Murid imam mengebut debu."
Secara liehay sekali, ujung kebutannya dapat melilit ujung pedang.
Pek Beng Coan dapat melihat pedang si nona seperti sudah mati kutunya, ia lantas menggunai ketikanya yang baik itu, dengan hebat ia menyerang dengan goloknya.
Golok itu berkelebat berkilau, begitu juga sinar pedang.
Berbareng dengan itu, terdengar pula tertawa nyaring dari si nona, tertawa yang mengejek.
Untuk herannya Beng Coan, ia kehilangan tubuh si nona, yang menjadi sasarannya itu.
Di lain pihak, terdengar jeritan "Celaka!"
Dari Hian Eng Toojin, disebabkan kebutannya terlepas dari tangannya, terbang mental.
Beng Coan kaget sekali, hingga ia melengak.
Justeru ia berdiam, mendadak ia mendengar siuran angin di belakangnya.
Kembali da menjadi kaget.
Ia menduga pada ancaman bahaya.
Sayang, belum lagi ia memutar tubuh atau menangkis ke belakang, ia sudah lantas merasakan sakit pada pundaknya.
Nyatalah Leng In Hong, setelah membalingkan kebutannya Hian Eng Toojin, sambil lalu, sudah menikam orang she Pek ini, tetapi ia masih menaruh belas kasihan, ia tidak menikam sekuat-kuatnya, ujung pedangnya cuma mengenakan daging piepee.
Hian Eng sendiri telah melihat ke mana kebutannya melayang, dengan berlompat pesat ia menyambar, untuk mencekal pula itu, sesudah mana ia pernahkan diri berdampingan sama Han Cin Ie.
Hanya sekarang, dengan Beng Coan terluka, mereka menjadi kekurangan satu tenaga.
Sebenarnya, dengan bekerja bersama bertiga, mereka ada cukup tangguh, sayangnya, Leng In Hong ada terlalu gesit.
Sin Cu dan Seng Lim terus mengintai.
Keduanya kagum untuk kelincahannya si Pelangi Merah.
Bahkan si nona segera berpikir.
"Ilmu pedang partai manakah ini, yang dia dapat mainkan secara begini bagus? Kelihatannya ilmu pedang ini tidak ada bawahan ilmu pedang Hian Kie Kiamhoat dari kakek guruku..."
Pertempuran sementara itu berjalan terus.
Pek Beng Coan sudah menyerbu pula.
Ialah yang dianggap terlemah dan kembali ia menjadi kurban.
Dengan bersuara nyaring, lebih dulu goloknya kena dibabat kutung, belum sempat ia sadar dari kagetnya, menyusul melayangnya sebelah kaki si nona, tubuhnya pun roboh terguling! Habis itu, Leng In Hong mendesak si imam dan si piauwsu, ia memaksa mereka itu.
Juga orang-orang piauwkiok dan Kaypang mesti mundur dari serbuannya pasukan wanita dari si berandal Pelangi Merah, mereka itu kabur ke segala penjuru.
Sampai di situ, pasukan wanita itu lantas kembali, untuk membawa dan mengiringi barang rampasan mereka.
Sekarang mereka tidak terintang siapa juga.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng In Hong mendesak terus pada Cin Ie dan Hian Eng, ia membuatnya mereka itu berkuatir.
Mereka itu tidak lagi mundur, mereka terpaksa memutar tubuh, secara demikian, beberapa kali mereka terpaksa memutar pula tubuh, untuk membela diri, sebab mereka merasai anginnya pedang di punggung mereka.
Mereka cemas hati tapi saban-saban hati mereka lega kembali, ujung pedang si nona tidak mampir di tubuh mereka.
Lagi satu kali, dua-dua Hian Eng dan Cin Ie merasakan ancaman di belakang mereka.
Mendadak mereka mendengar suara "Traang!"
Hian Eng berbalik sambil menangkis dengan kebutannya.
Ia melihat sinar kuning emas yang kecil sekali.
Ia menduga Cin Ie melawan musuh dengan jarum rahasianya.
Tapi Leng In Hong sendiri sudah terpisah sepuluh tombak lebih dari pada mereka, nona itu sambil tertawa berkata dengan nyaring.
"Dengan memandang kepada biji senjata rahasia, aku melepaskan kamu pergi!"
Hian Eng melengak, di dalam hatinya ia berkata.
"Apakah artinya jarum rahasia si tua bangka she Han hingga ini wanita iblis begini menghargainya?"
Leng In Hong itu cepat datangnya, cepat juga perginya.
Dengan lekas ia bersama barisan tentaranya, serta piauw yang mereka rampas, sudah menghilang di dalam rimba yang lebat pepohonannya.
Han Cin Ie sangat penasaran, ia lari mengejar, untuk menyusul.
Saking letih, napasnya memburu.
Hian Eng turut berlari-lari, tetapi sembari menyusul, imam ini berkata dengan ejekannya.
"Bangsat wanita itu sudah pergi jauh, untuk apa kau repot tidak keruan?"
Suara ini ditambahkan tertawa yang dingin.
"Dasar kamu semua!"
Membentak Cin Ie dalam panasnya hatinya.
"Kamu yang membikin celaka hingga merek piauwkiok kami telah kena orang bikin rusak!"
Lalu dengan huncwee-nya ia menyerang imam ini, yang ia arah jalan darahnya honghu hiat. Saking murka, kelihatan urat-urat di dahinya pada timbul. Hian Eng menangkis dengan kebutannya. Kembali dia tertawa mengejek.
"Toh bukannya aku yang merampas piauwmu itu!"
Berkata imam ini, dingin.
"Toh kamulah yang menjadi gara-gara!"
Membentak pula si piauwsu.
Dalam sengitnya, ia menyerang pula, berulangulang.
Sudah empat puluh tahun ia memimpin piauwkiok, mengangkut barang-barang orang, inilah yang pertama kali ia gagal nama baiknya rusak, barang orang mesti diganti! Dan tadi ia telah menerangkan, tidak nanti ia sanggup menggantinya...
Sekarang ini Hian Eng tidak ada niatnya menempur piauwsu itu.
Ia menyangka barusan adalah si piauwsu yang sudah menolong jiwanya dengan merintangi tikaman si nona berandal.
Piauw pun sudah kena dirampas orang.
Maka itu ia melainkan membela diri saja.
Tapi si piauwsu tidak mengarti hati orang, ia bahkan bertambah penasaran, saking mendongkolnya, ia menyerang makin hebat.
Hian Eng pun mendongkol, tetapi ia masih dapat menguasai dirinya.
"Tua bangka, kau benar-benar keterlaluan!"
Akhirnya ia kata dengan sengit.
"Sekarang aku hendak tanya kau, kau ingin atau tidak mencari piauwmu itu?"
Piauwsu itu terbangun alisnya.
"Tentu saja!"
Dia menjawab nyaring.
"Bukankah piauw itu dirampas si berandal wanita?"
Hian Eng menanya pula.
"Jikalau bukannya kamu yang mengacau, pasti aku sudah dapat melewati ini gunung Huyong San?"
Menyahut Han Cin Ie, yang jawabannya menyimpang.
"Hutang tinggal hutang!"
Berkata si imam.
"Sekarang mari kita bicara dari hal di depan mata!"
"Bagaimana?"
"Kau hendak merampas pulang piauw-mu itu! Aku sendiri, aku hendak merampasnya! Di dalam hal merampas, tujuan kita sama, karena itu, sudah selayaknya apabila kita samasama naik sebuah perahu!"
"Jadi kau maksudkan kita bekerja sama berdaya mencari pulang piauw itu?"
"Benar!"
Piauwsu itu berpikir, hanya sebentar, lalu timbul pula kemurkahannya.
"Aku tidak sudi bekerja sama kamu bangsa hina dina!"
Jawabnya. Hian Eng murka dikatakan hina.
"Kenapa aku hina?"
Dia menanya. Justeru itu Pek Beng Coan mendatangi. Dia duduk atas seekor kuda, tubuhnya bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Masih Cin Ie gusar. Dia berkata.
"Kamu telah menggunai racun terhadap kuda dan keledai kami hingga binatang itu roboh semua! Bukankah itu perbuatan sangat hina dina?"
Di mulut piauwsu ini berkata demikian, tubuhnya sendiri tahu-tahu berlompat memapaki Beng Coan yang ia terus serang, dengan pipa panjangnya.
Belum sampai ujung huncwee mengenai sasarannya, atau lebih benar, belum lagi Beng Coan dan kudanya tiba di dekat si piauwsu, orang she Pek itu sudah roboh sendirinya, sebab kudanya mendadak meringkik dan berjingkrak.
Hian Eng gusar sekali.
Dia membentak.
"Kau mengatakan aku hina dina! Sekarang kau menyerang orang yang lagi terluka, apakah kau satu enghiong?"
Dengan menggeraki kebutannya, imam ini menyerang si piauwsu.
Cin Ie pun sadar atas teguran ini.
Bukankah tadi Beng Coan bekerja sama melawan si berandal wanita, hingga karenanya, orang she Pek itu mendapat luka terkena dua kali tikaman si nona? Ia menjadi likat sendirinya.
Meski begitu, ia melawan terus kepada si imam, yang masih menyerang ia dengan sengit.
Pertempuran ini lebih seruh daripada yang bermula tadi.
Di saat kedua orang itu berkutat hebat, mendadak ada terdengar seruan yang nyaring tetapi halus.
"Kedua toocianpwee, sabar! Supeecouw kami Tiauw Im Hweeshio mengundang toocianpwee untuk bertemu!"
Seruan itu berpengaruh, kedua jago itu sudah lantas berhenti berkelahi.
Dengan berdiri berpisahan, mereka berpaling ke arah dari mana suara itu datang.
Maka mereka lantas mendapat lihat dua orang, yang satu adalah seorang nona yang cantik, yang lain seorang muda yang romannya gagah.
Teranglah, si nona yang barusan menyerukan mereka sabar.
Tentu saja, mereka itu ialah Sin Cu dan Seng Lim.
Hian Eng Toojin sudah lantas mengenali Nona Ie.
Ia pernah bertemu nona itu di desa Bu keekhung di waktu ia membantu Pit Keng Thian merebut kedudukan Toaliongtauw lima propinsi Utara, bahkan ia ketahui orang adalah muridnya Thio Tan Hong.
Maka ia lantas mengangkat tangannya memberi hormat kepada si nona.
Han Cin Ie tidak kenal Sin Cu tetapi mendengar suara orang dan menyaksikan sikapnya Hian Eng Toojin kepada nona itu, ia pun tidak mau bersikap kasar.
Ia bahkan ingat suatu apa, maka lekas-lekas ia berkata.
"Ketika tadi pada permulaan kali aku bertempur sama ini rombongan pengemis, ada seekor kuda putih yang lari keras di luar rimbah, larinya cepat luar biasa, selagi aku mengubar si pemimpin pengemis, penunggang kuda itu telah menyambar padanya dan terus dibawa pergi. Karena laratnya kuda, aku tidak dapat melihat nyata penunggang kuda itu. Itu waktu pun masih gelap. Adakah orang itu Tiauw Im Hweeshio?"
"Benar,"
Menyahut Sin Cu mengangguk. Mendapat jawaban itu, matanya si piauwsu terbuka lebar, lalu dia berkata dengan nyaring.
"Oh, beginilah satu sahabat lama membantu aku? Baiklah, aku mesti minta keadilan dari hweeshio itu!"
"Kiranya Tiauw Im Taysu pun datang ke mari?"
Berkata Hian Eng heran.
"Dia melihat Pit Yan Kiong mendapat luka, cara bagaimana dia dapat tidak menolongnya? Sebenarnya harus dari siang-siang piauw ini sudah kena dirampas, jadi tidak usahlah sampai terjadi hal bertele-tele seperti ini!"
Sin Cu tidak mem-perdulikan bicara orang, ia tertawa dan berkata.
"Oleh karena supeecouwku itu bersahabat dengan kedua loocianpwee, maka juga ia menitahkan aku mengundang kalian!"
Dua-dua orang itu masih mendongkol, mereka memperdengarkan suara "Hm!"
Tanpa mengucap kata-kata lain, mereka lantas mengikuti Sin Cu dan si pemuda, yang memimpin mereka sampai di kuil butut.
Di sana terlihat Tiauw Im Hweeshio masih saja menolongi Pit Yan Kiong.
Melihat orang datang, paderi itu tertawa nyaring, terus ia berkata.
"Han Laoko, bagus kau telah datang! Mari kau keluarkan obat pemunahmu, supaya aku tidak usah berkutatan lagi menolongi ini pengemis!"
Tapi Cin Ie masih gusar.
"Tiauw Im, kau membantu siapa?"
Ia tanya paderi itu, suaranya keras. Tiauw Im terus tertawa.
"Aku tidak membantu siapa juga!"
Jawabnya.
"Bocah wanita ini baru saja mengatakan aku usilan, suka campur urusan lain orang! Di mana dua-dua pihak ada sahabat-sahabatku, jikalau aku membantu salah satu pihak, bukankah urusan bakal menjadi terlebih hebat lagi?"
Napasnya Cin Ie memburu. Ia masih tetap gusar.
"Kau bilang tidak hendak membantu, mengapa kau memaksa aku untuk mengeluarkan obat pemunah?"
Dia tanya sengit. Tiauw Im tertawa.
"Sabar, saudaraku!"
Ia berkata.
"Aku hanya minta kau sukalah mengeluarkan obatmu itu. Aku minta, jikalau kau tidak melihat muka paderi, melihatlah muka Sang Buddha!"
"Hm!"
Bersuara pula si piauwsu tua.
"Tiauw Im Hweeshio, kau jadi menggunai pengaruhnya si kakak menindih si adik!"
"Aku tidak demikian muka terang, aku cuma mau minta sukalah kau memandang kepada Toaliongtauw Pit Keng Than dari delapan belas propinsi!"
Berkata pula si paderi tenang. Piauwsu tua itu tercengang.
"Apa kau bilang?"
Menegasi ia kemudian.
"Pit Keng Thian? Pit Toaliong tauw ?"
"Tidak salah!"
Menjawab Tiauw Im.
"Bukankah ada harganya untuk kau membeli mukanya Pit Toaliongtauw itu?"
Han Piauwsu agaknya heran.
"Jadi menurut kau,"
Katanya keras.
"kawanan pengemis busuk barusan itu diperintahkan Pit Keng Thian?"
"Sedikitpun tidak salah!"
Tiauw Im mengangguk. Kedua matanya si piauwsu mencilak, dia duduk numprah di lantai.
"Orang dengan kedudukan sebagai dia masih hendak merampas piauw-ku yang tidak berharga ini?..."
Katanya.
"Dan ia pun membiarkan orang-orang sebawahannya itu menggunai akal keji sekali!"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Napasnya kembali memburu. Hian Eng Toojin turut campur bicara, suaranya dingin.
"Jikalau bukannya kau yang dirampas, habis siapakah? Siapa suruh kau melindungi barang-barang angkutanmu itu?"
Cin Ie berjingkrak bangun.
"Apa katamu?"
Dia menjerit.
"Aku mengusahakan piauwkiok , jikalau aku tidak melindungi barang angkutan, apa aku mesti makan angin saja?"
Ketika itu Pit Yan Kiong telah merasakan sakitnya kurangan, ia pun turut bicara.
"Han Loapiauwsu, apakah kau takut nanti tidak dapat makan?"
Dia tanya tertawa.
"Justeru di pihak kami ada orangorang yang perutnya kosong kelaparan!"
"Kau artikan apa?"
Cin Ie menanya.
"Tunggu dulu!"
Berkata Pit Yan Kiong.
"Aku numpang tanya, piauw ini siapakah yang menyerahkannya padamu untuk dilindungi?"
Piauwsu itu mendongkol.
"Mustahilkah kau tidak ketahui tiga syaratku pantang melindungi barang angkutan?"
Ia balik menanya.
"Jikalau angkutanku kali ini angkutan tidak terang, apakah kau kira aku ada demikian tolol mau melindunginya?"
Kembali Hian Eng Toojin menyelak. Ia kata.
"Untukmu, kau memantang tiga baik, untuk tiga puluh tahun kau tidak melindungi piauw juga baik, tentang itu aku tidak ambil perduli! Aku cuma mau tanya kau, piauwmu ini piauw siapa?"
"Bagus betul!"
Cin Ie kembali berteriak.
"Kau seperti sedang memeriksa aku!"
"Itulah aku tidak berani,"
Menyahut Hian Eng.
"Aku bilang terus terang, kau sudi mengasi keterangan atau tidak tentang pemilik barang-barang ini, terserah kepada kau, tetapi kami, sudah pasti kami menghendakinya!"
Mendengar semua itu, Sin Cu tertawa geli.
"Piauw toh ada di tangan lain orang, loocianpwee, untuk apa kamu berselisih?"
Dia bertanya.
Pertanyaan ini membuatnya dua jago itu melengak, juga yang lainnya, hanya kemudian, mereka menjadi tertawa.
Memang benar, mereka lagi memperebuti pepesan kosong! Karena ini, kedua pihak menjadi terlebih sabar.
Sekarang Seng Lim yang turut bicara.
"Baik kalangan piauwkiok maupun golongan Hitam, masingmasing ada aturannya sendiri-diri,"
Demikian katanya.
"Karena itu, apabila Han Loopiauwsu tidak sudi memberi keterangan, tidak apalah, urusan baik disudahi saja..."
"Apa?"
Berseru Pek Beng Coan, yang sudah membalut lukalukanya.
"Sudah saja? Kau siapa? Kami tidak mengundang kau untuk mengutarakan pikiranmu!"
"Saudara Pek, aku minta sukalah kau tidak berlaku kurang hormat,"
Pit Yan Kiong minta.
"Tuan ini ada keponakannya Yap Tongnia."
Beng Coan heran, hingga ia mengeluarkan suara tertahan.
"Jikalau begitu,"
Katanya kemudian.
"tidaklah seharusnya dia berpihak kepada orang luar..."
Seng Lim tidak menjadi kurang senang.
"Adakah barang-barang ini dikehendaki pasukan rakyat?"
Ia tanya.
"Apakah aku memangnya mempunyai pencernaan demikian besar?"
Beng Coan kata, masih rada mendongkol.
"Pamanku..."
Kata Seng Lim.
"apakah ia ketahui urusan ini?"
"Ini... ini..."
Suaranya Beng Coan berhenti setengah jalan. Perampasan piauw itu terjadi menurut titahnya Pit Keng Thian sendiri, kepada Yap Cong Liu belum diberitahukan atau dimintai persetujuannya. Han Cin Ie lantas berkata.
"Jikalau piauw ini dikehendaki Yap Cong Liu, mungkin terjadi aku nanti memberikan mukaku. Ha, kiranya kamu memalsukan namanya tentara rakyat!"
Pek Beng Coan murka.
"Apakah Pit Toaliongtauw tidak berhak?"
Dia berteriak.
"Sekalipun, sekalipun..."
Ia sebenarnya hendak meneruskan.
"...sekalipun Yap Cong Liu, dia mesti mendengar titahnya Pit Toaliong tauw!"
Tapi ia tidak enak hati menyebutkannya, maka ia menambahkan.
"Sekalipun Yap Tongnia berada di sini, piauw ini pastilah dia pun bakal merampasnya."
Tiauw Im Hweeshio tidak setuju sama perkataan orang, ia pun polos sekali, maka ia campur bicara.
"Kau bukannya Yap Tongnia, caya bagaimana kau bisa bicara dengan mewakilkan dia?"
Coba lain orang yang bicara. Akibatnya mungkin hebat, tetapi paderi ini berkedudukan tinggi dan ia pun baru saja menolongi Pit Yan Kiong, orang terpaksa berdiam saja. Seng Lim tertawa, ia berkata pula.
"Benarlah apa yang dibilang Nona Ie barusan! Justeru piauw sudah berada di tangan lain orang, apa perlunya kita masih memperebutinya? Lagi dua hari aku bakal bertemu sama pamanku dan Pit Toaliongtauw, itu waktu aku nanti minta merekalah yang memberikan keputusan. Aku percaya dalam tempo beberapa hari ini, tidak nanti Leng In Hong dapat meludaskan habis semua piauw itu! Bukankah sama saja yang piauw itu dititipkan pada mereka di sana?"
Kata-kata ini sebenarnya dapat menyabarkan kedua pihak. Han Cin Ie mengangguk.
"Baik,"
Katanya, menyatakan akur.
"aku bersedia akan mendengar kata-kata pamanmu."
Pit Yan Kiong tapi-nya mengkerut alisnya, sedang Pek Beng Coan berubah air mukanya.
"Tapi, tapi, bagaimana urusan dapat diperlambat?"
Katanya. Piauwsu she Han itu mendongkol juga.
"Habis?"
Katanya.
"Apakah kau ada mempunyai kepandaian untuk mengambil pulang piauw itu? Kalau benar, aku si orang she Han nanti menghaturkannya kepadamu dengan kedua tanganku!"
Beng Coan menjublak meskipun ia merasa sangat terhina. Ketika itu terdengar ketokan pada pintu kuil. Sin Cu membuka lebar matanya, ia tertawa.
"Lihat, orang mendahului datang lebih dulu!"
Katanya.
Seng Lim bertindak ke pintu, untuk membukakan.
Yang datang itu dua nona muda yang mengenakan baju warna kuning gading serta pinggang dilibat sabuk putih, yang satu membawa sebuah peti kecil, yang lain me-nengteng tengloleng.
Mereka bertindak masuk dengan pelahan-lahan.
Mereka ialah pengiring-penginngnya Leng In Hong si berandal wanita berpelangi merah.
Nona yang membawa peti itu menyapu semua orang di dalam ruang, habis itu sinar matanya berhenti kepada Sin Cu.
Ia lantas maju menghampirkan, ia mengangsurkan petinya itu.
"Pemimpin kamu menitahkan mengundang siapa?"
Nona Ie bertanya.
"Kami dititahkan meminta nona membuka peti ini,"
Sahut nona itu. Sin Cu bersangsi sebentar, akhirnya ia membuka juga. Ia melihat di dalam situ ada terletak tiga biji kimhoa atau bunga emas, ditaruhnya rapi sekali. Pengiring itu segera berkata.
"Pemimpin kami mengundang pemiliknya ketiga bunga emas ini."
Sin Cu bersenyum, ia menjemput bunga emas itu.
"Kepandaian tidak berarti pastilah telah membuatnya pemimpinmu tertawa,"
Ia berkata.
"Bunga emas nona hebat sekali,"
Berkata pengiring itu.
"pemimpinku sangat mengaguminya. Dengan memandang bunga emas ini, kami minta sukalah nona serta semua tuantuan di sini berangkat ke gunung kami."
Sampai di situ barulah Hian Eng Toojin mendusin, dalam pertempuran tadi, selagi ia terancam bahaya, Sin Cu adalah orang yang telah menolongi padanya. Ia tadinya menyangka si penolong adalah Han Cin Ie si piauwsu tua. Pit Yan Kiong tertawa.
"Nona, kali ini kami mendapat kehormatan dari kau!"
Ia berkata.
"Saudara Pek, kau tolong pepayang aku mendaki gunung!"
"Kau baik beristirahat saja,"
Beng Coan bilang. Sebenarnya ia likat.
"Nona Ie ada bersama kita, piauw itu pastilah ini hari akan didapat pulang!"
Kata Pit Yan Kiong dengan kepercayaan penuh.
"Hai, siapa berkelakar denganmu?"
Kata Sin Cu. Pit Yan Kiong tertawa pula.
"Nona yang baik,"
Katanya.
"mana berani aku berlaku kurang ajar terhadapmu? Mengenai piauw ini, aku benarbenar mengharap pertolonganmu. Dengan melihat muka gurumu yang bersahabat erat dengan pemimpin kami, piauw itu tidak dapat kau tidak mengambilnya pulang..."
Dengan bantuannya tembok Pit Yan Kiong lantas menekuk sebelah lututnya di depan Nona Ie. Ia bersikap sungguhsungguh sekali, hingga ia membuatnya si nona kurang enak hati.
"Biar bagaimana Pit Keng Thian bukan sembarang orang,"
Nona ini berpikir.
"Dan ini Hian Eng Toojin, dia ada dari golongan sadar. Mereka begini, keras menghendaki piauw, mungkinkah ini ada hubungannya yang luar biasa?"
"Eh, Han Toako, marilah obat pemunahmu!"
Tiauw Im meminta pula kepada Cin Ie.
"Aku akan berdiam di kuil butut ini mewakilkan kamu menjaga rumah sekalian menolong mengobati ini beberapa tuan pengemis yang terluka."
Han Cin Ie lantas berpikir.
Memang busuk perbuatannya Kaypang merampas piauw-nya, tetapi mencelakai jiwa mereka pun perbuatan salah dari pihaknya.
Tadinya ia tidak mengetahui duduknya hal, tapi sekarang, setelah duduknya sudah terang, sudah sepantasnya kalau ia tidak mengambil sikap keras terus menerus.
Maka itu, setelah berpikir sejenak, ia keluarkan obatnya, ia serahkan itu pada Pit Yan Kiong.
"Kau memberikan obat padaku, aku terima kebaikan kau,"
Berkata Yan Kiong tertawa.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya tentang piauw-mu itu, tidak dapat tidak, aku mesti mengambilnya."
Cin Ie mengasi dengar suara dingin.
"Boleh!"
Jawabnya.
"Lihat saja nanti bagaimana kepandaianmu!"
Sampai di situ, orang lantas berangkat.
Cuma Tiauw Im dan mereka yang terluka yang tidak turut.
Orang pun mengikuti kedua pengiring perempuan dari Leng In Hong.
Gunung Huyong San itu ada salah satu cabang dari pegunungan Sianhee Nia.
Keletakan gunung tidak berbahaya tetapi setelah diatur In Hong, kedudukannya menjadi kuat.
Di semua tempat penting ada benteng yang kuat mirip dengan kota tembok.
Menyaksikan itu, Seng Lim pun diam-diam memuji dan ia mengagumi si nona berandal.
Sekarang ia mengarti, di atas gunung pun ada orang yang tak kalah pandai dengan seorang panglima perang.
Tiba di muka markas, kedua pengiring meminta tetamutetamunya menanti sebentar.
Mereka lantas masuk ke dalam untuk memberi lapuran.
Orang tidak usah menanti lama akan mendengar suara tambur tiga kali, lalu pintu markas yang besar dipentang lebar-lebar.
Atas itu, Seng Lim segera tarik tangannya Sin Cu, untuk mendorong si nona maju di depan mereka.
Itulah aturan kaum Rimba Persilatan, siapa yang diundang, dia mesti berada di muka, lain orang tidak dapat mendahului dia.
Dari dalam gedung markas terlihat keluarnya dua barisan serdadu wanita, di tengah-tengah muncul Leng In Hong, yang lengkap dengan seragam dan pedang di pinggangnya.
Ia menyambut dengan hormat, sebagai Sin Cu juga bersikap sopan sekali.
Paling dulu keduanya belajar kenal.
"Nona Ie, bagaimana kau menyebutnya terhadap Tayhiap Thio Tan Hong?"
Tiba-tiba nona rumah menanya.
"Tayhiap itu ialah guruku,"
Sin Cu menjawab merendah. Lantas In Hong tertawa.
"Pantas bunga emas nona liehay sekali!"
Ia berkata.
"Kalau begitu, tentulah nona yang kaum kangouw julukkan Sanhoa Liehiap?"
Di waktu menanya demikian, sinar matanya nona ini menjadi sedikit luar biasa.
"Semua itu ada bisanya cianpwee kaum kangouw,"
Sin Cu merendah.
"Aku sendiri tidak berani menyebutkan diriku liehiap."
Liehiap itu pendekar wanita dan "Sanhoa"
Berarti "Penyebar Bunga."
"Orang punya nama sama seperti bayangan pohon,"
Berkata pula In Hong.
"begitu dengan kau, nona. Kau ada dari keluarga setia dan berbakti, kau pun gagah sekali, aku sangat mengaguminya. Nona, harap kau suka terima hormatku."
Orang heran akan sikapnya ini kepala berandal.
Bukankah ia seorang ketua gunung yang gagah? Bukankah ia tengah mengundang tetamu? Bukankah pantas kalau ia perlakukan tetamunya sebagai sesamanya? Tapi sekarang tidak! Nona ini berlaku demikian merendahkan diri, inilah tidak umum.
Sin Cu lekas-lekas menyingkir untuk pemberian hormat ratu berandal itu, yang menjura terhadapnya, tetapi In Hong lebih sebat daripadanya, dia dapat merintangi dan dia terus saja menjura dengan dalam, maka mau atau tidak Sin Cu menerimanya sambil lekas-lekas membalas hormat.
Ia menekuk sebelah kakinya.
Selagi memberi hormat, In Hong mendadak mencekal kedua lengan Nona Ie.
Kelihatannya ia hendak memimpin bangun.
Sin Cu terkejut, ia bercuriga.
"Mungkinkah ia hendak sekalian menguji aku?"
Terkanya. Ia lantas bersedia. In Hong tetapinya tidak menguji, ia menjalankan kehormatan. Ketika ia mengangkat mukanya, kelihatan matanya merah.
"Seumurku aku paling menghargai Ie Tayjin dan Thio Tayhiap,"
Ia berkata.
"Ketika dulu hari Ie Tayjin terfitnah dan terpenjara, aku menyesal sekali yang aku tidak dapat menolongi. Maka itu hormatku ini adalah hormatku untuk ayahmu almarhum itu, dan aku minta sukalah encie mewakilkan ayahmu itu menerimanya."
Sin Cu malu kepada dirinya sendiri.
Siapa nyana Angkin Liecat yang umum menamakannya hantu wanita sebenarnya mempunyai sifatnya seorang ksatrya, bahkan dia memuji kepada ayahnya.
Tentu sekali ia tidak dapat menolak hormat itu, ia menerimanya dengan air mata mengembeng.
Ia menyekal keras tangannya Nona Leng, sebagai juga merekalah encie dan adik yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu satu dengan lain.
Menyaksikan itu, Han Cin Ie dan Hian Eng Toojin girang sekali.
Keduanya tidak menyangka juga si bandit wanita demikian menghormati Sin Cu.
Karena ini timbul harapan mereka bahwa piauw gampang akan diminta pulang.
Kemudian Leng In Hong undang Sin Cu duduk di kursi atas, ia terus berkata.
"Kali ini aku mengundang encie mendaki gunungku ini kesatu karena aku mengagumi encie sekalian untuk belajar kenal dan kedua aku ingin minta keterangan apa maksudnya encie telah menggunai tiga bunga emasmu."
Melihat nona itu berlaku jujur, Sin Cu tidak mendusta.
"Buat bicara terus terang, itulah ada berhubung sama urusan piauw,"
Sahutnya.
"Ah, mengenai urusan piauw."
Nona itu agak heran.
"Benar! Piauw ini dilindungi oleh Han Loopiauwsu."
"Itulah aku pun sudah ketahui,"
Berkata si nona berandal.
"Tidak dapat tidak, piauw ini mesti aku rampas!"
"Piauw ini hebat sangkut pautnya,"
Sin Cu memberitahu.
"Juga Pit Keng Thian berniat merampasnya. Ah, sungguh aku tidak mengarti, kenapa kalian semua hendak merampas piauw ini. Bukankah di dalam ini ada hubungannya yang ruwet? Aku kira tidaklah halangannya jikalau kalian menjelaskan duduknya hal."
Leng In Hong agaknya heran.
"Apa?"
Katanya.
"Pit Keng Thian yang mengangkat dirinya menjadi Toaliongtauw dari delapan belas propinsi juga menghendaki piauw ini? Jadi ini serombongan pengemis serta si hidung kerbau adalah orang orang suruhannya? Hm! Dan mereka merampas piauw dengan menggunai cara yang rendah sekali! Jikalau kau tidak mengasi tahu, encie, sungguh aku tidak dapat mempercayainya!"
Tanpa tedeng aling, bandit wanita itu menyebutnya Hian Eng Toojin si hidung kerbau.
Mau atau tidak, Sin Cu merasakan mukanya panas.
Hebat Pit Keng Thian dijengeki.
Tetapi memang biasa Toaliongtauw itu bertindak tanpa memikir masak-masak.
Maka itu, tidak dapat ia membilang suatu apa.
Akan tetapi Pit Yan Kiong memikir lain.
Ia berjingkrak bangun.
"Aku mohon tanya, ceecu,"
Katanya sambil tertawa hihihihi.
"Kalau ada lain orang menandalkan golok dibatang lehermu, apakah nanti kau minta dulu orang itu meletaki goloknya, untuk undang ia secara laki-laki mengadu kepandaian? Atau segera saja kau berontak, untuk menghajar roboh kepadanya?"
"Kata-katamu ini apa artinya?"
Leng In Hong menegaskan. Han Loopiauwsu pun berjingkrak bangun, mukanya merah.
"Ya, apakah artinya kata-katamu ini?"
Ia juga menanya.
"Aku melindungi barang angkutanku, dengan kau ada apakah sangkutannya?"
Pit Yan Kiong tertawa dingin.
"Piauw-mu ini hendak diangkut ke Ouwpak,"
Sahutnya.
"Itu artinya kau menolongi pemerintah menggosok tajam puluhan laksa golok yang hendak dipakai untuk mencelakai tentara rakyat di Kanglam."
"Ngaco belo!"
Membantah Han Cin Ie.
"Tahukah kau, aku mengangkut piauw apa?"
Leng In Hong melirik kepada piauwsu itu.
"Bagus!"
Katanya, mendahului Pit Yan Kiong.
"Memang hendak aku melihatnya piauwmu ini piauw apa!"
Justeru itu sejumlah serdadu wanita masuk ke dalam ruang membawa peti-peti dan keranjang-keranjang piauw yang mereka rampas kemarinnya, semua itu ditumpuk di ruang itu.
"Han Piauwtauw, cobalah kau bilang,"
Berkata Leng, In Hong kepada Cin Ie.
"piauw apakah yang kau lindungi?"
"Itulah bahan obat-obatan penting yang Keluarga Ghak dari Pakkhia minta aku mengantarnya ke Ouwpak,"
Menjawab piauwsu yang ditanya.
"Obat-obatan itu ada untuk menolong orang banyak yang tengah menderita sakit. Ada apakah salahnya?"
Keluarga Ghak di Pakkhia itu adalah toko obat-obatan yang paling kesohor dan untuk kota raja adalah keluarga terkaya, memang setiap tahun satu kali dia minta pertolongan piauwsu akan melindungi obat-obatannya yang di kirim ke Kanglam, maka juga dialah langganan paling bagus untuk setiap piauwkiok.
Tahun ini katanya berharga sekali piauw-nya itu maka juga sengaja diminta bantuannya Han Loopiauwsu yang kenamaan itu.
Sin Cu heran.
"Kalau benar obat-obatannya Keluarga Ghak, lebih tidak layak lagi piauw ini dirampas,"
Pikirnya.
"Menolong orang banyak!"
Berkata Pit Yan Kiong dengan dingin.
"Aku justeru bilang untuk mengacau negara mencelakai manusia!"
"Ah!"
Seru Han Piauwsu.
"rupanya di mulut anjingmu tidak tumbuh caling gajah!"
Leng In Hong tidak mengambil mumat orang mengadu mulut. Ia angkat tangannya.
"Buka semua peti ini!"
Ia memberi titah. Han Cin Ie gusar bukan kepalang hingga tubuhnya bergemetar.
"Apakah ini bukan berarti merusak obat-obatannya?"
Ia berteriak.
Ketika ia diserahkan piauw itu, pihak Keluarga Ghak telah memesannya, kebanyakan obat itu mesti ditutup rapat sekali, tidak boleh terkena angin atau hawanya keluar.
Tapi piauwsu ini tidak dapat mencegah.
Kawanan serdadu wanita sudah lantas bekerja melakukan titah pemimpinnya.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan dibukanya peti-peti dan keranjang, obat-obatan itu jadi berhamburan, tetapi yang hebat, yang membuatnya orang tercengang, adalah di antara itu terlihat lempenganlempengan emas yang kuning berkilauan.
Pit Yan Kiong segera mengasi dengar pula tertawanya yang dingin.
"Bagaimana?"
Dia berkata.
"Inilah hartanya negara, untuk dipakai mengongkosi angkatan perangnya! Jumlah ini berharga tujuh ribu laksa tail perak! Inilah perbuatannya Kiubun Teetok dari kota raja yang memaksa Keluarga Ghak itu mengirimkannya dengan memakai nama obat-obatan. Sepuluh laksa serdadu negara di Ouwpak kekurangan rangsum, jikalau mereka tidak ditolongi, mereka bakal bubar sendirinya tanpa berperang lagi! Sekarang kau mengantar piauw ini ke Ouwpak, bukankah itu berarti kau memberi makan obat penyambung jiwa kepada ratusan ribu serdadu itu, supaya dapat menggosok tajam puluhan laksa goloknya untuk nanti dipakai melawan kami?"
Han Loopiauwsu berdiri diam, ia merasakan tubuhnya dingin bagaikan es.
Inilah ia tidak sangka sama sekali.
Untuk seumurnya ia belum pernah mengangkut uang negara, tetapi kali ini, ia terpedayakan.
Keluarga Ghak itu pengusaha obatobatan yang sangat kesohor, siapa nyana dia telah dipaksa pembesar negeri untuk mendusta, hingga ia kena ditipu.
Pek Beng Coan segera mengasi dengar suaranya yang nyaring.
"Han Loopiauwsu, telah kau melihat nyatakah? Jadinya, pantas atau tidak jikalau kami memegatnya untuk dirampas?"
Han Cin Ie tidak menjawab, hanya mendadak tubuhnya roboh terguling. Ia jatuh pingsan.
"Pimpin dia bangun!"
Memerintah Leng In Hong.
"Semprot dia dengan air dingin!"
Sin Cu menghela napas.
Ia menyesal bukan main.
Ia ingat kesetiaannya ayahnya terhadap pemerintah, siapa dapat menerka, pemerintah justeru bertindak secara begini hina dina memaksa sebuah perusahaan swasta main gila hingga sua t u piauwsu kenamaan turut menjadi kurbannya.
Pula, begitu banyak obat di kirim ke Kanglam, tidaklah di Utara orang nanti kekurangan obat-obatan itu? Pit Yan Kiong sebaliknya puas sekali.
"Syukur sekali kupingnya Toaliongtauw kami sangat tajam!"
Ia berkata.
"Pemerintah tentunya menganggap kami tidak membegal angkutan piauwkiok, dengan begitu harta besar ini dapat diselundupkan. Haha! Akhirnya toh kita mendapat tahu juga dan memegatnya!"
Tidak senang Leng In Hong mendengar suara orang itu.
"Tetapi piauw ini bukannya berada dalam tangan kamu!"
Katanya dingin. Melengak wakilnya Pit Keng Thian itu.
"Apa?"
Dia menegaskan.
"Duduknya harta ini sudah jelas sekali, apakah kau masih hendak merampasnya?"
Si nona tertawa bergelak.
"Pit Keng Thian dapat merampasnya, apakah aku tidak?"
Dia menanya.
"Encie,"
Sin Cu turut bicara.
"aku harap encie suka memandang kepada tentara rakyat yang dipimpin Yap Cong Liu, sukalah kau mengangkat tanganmu dan melepaskannya."
Nama Yap Cong Liu besar sekali, walaupun resminya Pit Keng Thian menjadi Toaliongtauw, pemimpin utama dari delapan belas propinsi, toh orang tetap menghormati dia itu. Mendengar disebutnya nama Yap Cong Liu, berubah air mukanya si nona.
"bandit,"
Dia bersenyum.
"Ini rombongan pengemis jahat dan imam bau tak sudi aku memperdulikannya,"
Ia berkata.
"tetapi terhadap Yap Toako serta kau, suka aku menjualnya!"
"Oh, encie, banyak-banyak terima kasih!"
Berkata Sin Cu girang sekali. Leng In Hong tertawa.
"Yap Toako tidak ada di sini, kaulah menjadi si pelindung,"
Ia berkata pula.
"Ya, anggaplah aku yang melindunginya"
Berkata pula Nona Ie. Hian Eng Toojin dan Pit Yan Kiong berubah air mukanya masing-masing. Hebat mereka dicaci, mereka tak dipandang sama sekali.
"Bagus, encie,"
Berkata pula In Hong.
"Sekarang aku mohon encie suka memberikan pelajaran kepadaku. Aku memang ingin sekali menyaksikan ilmu pedang yang diturunkan Thio Tayhiap."
Mendengar itu, Sin Cu tidak menjadi heran. Ia mengarti maksudnya "bandit"
Wanita ini, yang hendak memegang teguh aturan Rimba Persilatan, yaitu mereka mesti bertanding dulu.
"Kalau begitu, encie, maaf,"
Berkata Nona Ie, yang terus menghunus pedangnya. In Hong pun bersiap, maka keduanya lantas berdiri berhadapan.
"Encie datang dari jauh, encielah si tetamu,"
Berkata Nona Leng.
"Karena tuan rumah tidak dapat melancangi tetamu, silahkan encie yang mulai."
Sin Cu tidak mau memakai banyak aturan lagi.
"Baiklah, aku memperlihatkan kejelekan-ku,"
Ia kata, merendah.
Ia lantas menyerang.
Karena ia kagumi nona berandal itu, ia cuma menikam asal saja.
Beda daripada Nona Ie, Leng In Hong berlaku sungguhsungguh.
Ia berkelit dari tikaman.
Hampir berbareng dengan itu, ia melesat ke samping.
Maka di lain detik ia sudah berada di belakang lawannya.
Sangat gesit gerakan tubuhnya itu.
Di sini tanpa bersangsi lagi ia menikam punggung lawannya.
Sin Cu terkejut.
"Oh, kiranya dia bertanding benar-benar,"
Pikirnya. Ia lantas memutar tubuhnya, pedangnya dipakai menangkis. Ia menggunakan jurus "Burung belibis pulang ke Selatan,"
Salah satu dari Hian Kie Kiamhoat, ilmu pedang dari Hian Kie Itsu. Dengan ini ia dapat menggagalkan serangan lawan. Karena ia juga menjadi bersungguh-sungguh, lantas ia membalas menyerang dengan jurusnya "Bidadari melempar torak,"
Hingga sekarang ialah jadi si penyerang, seperti tetamu yang berbalik menjadi tuan rumah. Yang menjadi sasaran ada jalan darah honghu hiat dari Nona Leng.
"Bagus!"
Berseru In Hong dengan pujiannya. Ia berkelit, ia pun memutar tubuhnya, dalam gerakannya "Burung rajawali menembusi rimba"
Serta sikapnya "Souw Cin menggendol pedang,"
Setelah mana, belum lagi tubuhnya mutar semua, pedangnya sudah menikam. Ia pun membalasnya. Sin Cu melihat satu lowongan, ia mengangkat pedangnya dengan jurusnya "Mengangkat obor menyuluhi langit."
Atau tiba-tiba ia ingat pedangnya ada pedang mustika.
Jelek kalau ia menabas kutung pedang lawannya itu.
Tengah ia berpikir, angin pedang lawan sudah menyamber.
Segera ia berkelit.
Lantas ia merasa pedang nona itu seperti lewat di atasan rambut di samping kupingnya.
Ia lantas menjejak, untuk mencelat menyingkir dua tombak.
Leng In Hong benar-benar gesit.
Dalam sekejab itu ia pun sudah lompat menyusul.
"Encie, jangan sungkan-sungkan!"
Kata nona Leng ini. Selagi mulut mengucap demikian, ia pun menyerang pula. Ia benar-benar tidak berlaku sungkan, beruntun ia mendesak dengan tiga jurus "Kera putih menghaturkan buah".
"Dewa menunjuki jalan,"
Dan "Burung garuda mementang sayap."
Mau atau tidak, Sin Cu dipaksa bangun semangatnya untuk melayani.
Kalau tidak, ia bakal terdesak.
Selang dua puluh jurus, barulah ia dapat meloloskan diri dari rangsakan lawannya.
Ia merasa ilmu pedang In Hong luar biasa.
Sampai itu waktu, kekuatan mereka nyata berimbang.
In Hong menang sedikit di atas angin, karena pedangnya ada pedang biasa, bukan pedang mustika.
Lewat lagi tiga puluh jurus, lalu terlihat perubahan pada In Hong.
Tubuh nona itu bergerak lebih lincah dan gesit lagi.
Sin Cu terus melayani dengan sama sebatnya, dengan hati-hati sekali.
Ia heran, sampai kira-kira seratus jurus, ia masih belum bisa menerka nona itu ada dari partai persilatan mana.
Ia menginsafinya, coba selama dua tahun ini ia tidak memperoleh kemajuan pesat, mungkin sukar ia melayani Nona Leng itu.
Pertandingan berlangsung terus.
Karena perhatiannya yang sungguh-sungguh, kemudian Sin Cu mulai dapat merabahrabah juga ilmu silat lawannya itu.
Ia melihat tiga dasar.
Butong Pay, Siauwlim Pay atau Siongyang Pay.
Hian Eng Toojin dan Pit Goan Kiong sekalian berhati cemas.
Mereka mengharap-harap Nona Ie yang menang, tetapi pertandingan itu nampaknya bertele-tele, hingga tak tahu mereka kapan bakal akhirnya.
Tetapi mereka tidak usah menunggu lama lagi.
Mendadak terdengar suara "Traang!"
Sebagai akibat dari perubahan serangan In Hong.
Tiba-tiba saja nona ini merangsak hebat, hingga Sin Cu pun mesti mempertahankan diri.
Suara itu berbunyi setelah Nona Ie menangkis satu serangan dahsyat.
Akibatnya ialah pedang In Hong kena dibikin kutung.
Tetapi di lain pihak, dia masih dapat menyampok, maka itu pedang Sin Cu pun terpental, terlepas dari cekalan.
Mulanya Hian Eng semua girang melihat Nona Ie menang, hanya belum sempat mereka bersorak, mereka pun mesti menyaksikan pedang si nona terbang, hingga mereka menjadi kecele.
Sampai di situ pertandingan itu.
"Encie, telah aku belajar kenal dengan ilmu pedangmu,"
Berkata In Hong sambil bersenyum.
"Sungguh hebat kepandaianmu itu! Tetapi, encie, aku berminat berlebihlebihan. Sekarang aku ingin sekali belajar kenal dengan senjata rahasiamu."
Sin Cu senang dengan tantangan itu. Kesudahan tadi seri, ia tidak puas. Biar bagaimana, ia menang karena Cengbeng kiam pedang mustika dan Cengkong kiam pedang biasa.
"Encie sudah memberi pengajaran, inilah minta pun aku tak dapat,"
Sahutnya.
"Silahkan encie tunjuki caranya."
"Aku pikir lebih baik kita mulai dengan piebun, lalu dengan piebu,"
In Hong mengutarakannya. Sin Cu heran juga dalam hal mengadu senjata rahasia ada piebun dan piehu. Yang pertama ada cara halus atau sipil (pun), dan yang kedua cara keras atau militer (bu). Selagi ia berpikir, Nona Leng sudah menjelaskan pula.
"Encie datang dari tempat jauh, encie adalah tetamu, maka itu suka aku mengalah membiarkan encie menyerang lebih dulu dengan tiga buah senjata rahasiamu, umpama kata aku beruntung berhasil meloloskan diri, aku baru akan minta encie mengalah untuk aku menyerang padamu. Ini yang dinamakan piebun . Jikalau dua-dua tidak ada yang gagal, hah, barulah kita piebu. Kita saling menyerang dengan merdeka, baru kita berhenti sesudah ada keputusan siapa lebih kuat dan lebih lemah."
Mendengar itu, Sin Cu tertawa.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengan begitu bukankah aku jadi menang di atas angin?"
Tanyanya.
"Berlaku hormat tak ada yang lebih baik daripada menurut perintah,"
Hian Eng Toojin menyelak.
"Nona Ie, baiklah kau jangan menampik."
Sin Cu pun percaya tidak nanti In Hong suka menyerang terlebih dulu, maka itu ia lantas menyiapkan tiga buah kembang emasnya. Ia memberi hormat seraya berkata.
"Baiklah, encie. Harap maafkan aku berlaku kurang hormat!"
Dengan satu suara, Nona Ie menggeraki dua jari tangannya membikin menyambar sebuah kimhoa.
Atas itu, tubuh In Hong pun bergerak memutar, membikin kimhoa itu lewat di samping kupingnya.
Hanya berbareng dengan itu, nona ini telah menarik turun pelangi merahnya.
Sin Cu mengulangi serangan yang kedua.
Leng In Hong tidak lagi berkelit sebagai tadi, hanya pelanginya diangkat bagaikan diayun, atas mana kimhoa lenyap seperti nyemplung di laut, tanpa suara, tanpa bekas.
Terperanjat Sin Cu.
Tapi ia sadar, maka ia menimpuk pula.
Sudah tentu sekarang kecuali berlaku sebat ia pun menambah tenaganya.
Ia mengarah jalan darah kioktie hiat dari si nona.
"Bagus!"
Berseru In Hong memuji.
"Nama Sanhoa Liehiap bukan nama belaka!"
Mulutnya berseru memuji, tubuh Nona Leng itu berputar dengan lincah sekali, pelanginya pun berkelebat kemerahmerahan.
Menyusul itu terdengar bentrokan dari dua rupa benda keras.
Sebab In Hong, dengan meminjam kimhoa yang ia tanggapi tadi, menangkis kimhoa yang ketiga itu, tepat tangkisannya, hingga kedua kimhoa bersuara nyaring, lalu dua-duanya mental jatuh di lantai! Kimhoa atau bunga emasnya Sin Cu, lembaran bunganya tajam seperti pisau, In Hong dapat menangkapnya itu dengan pelangi merah, itulah hebat, sekarang ia dapat pakai menangkis, itulah terlebih hebat pula.
Hian Eng semua melengak menyaksikan kepandaian bandit wanita itu.
Tak usah dibilang kekagumannya Sin Cu sendiri.
In Hong sudah lantas memakai pula pelanginya.
"Terima kasih untuk mengalahmu, encie."
Katanya tertawa.
Tapi ia bukan cuma berkata merendah itu, tangannya terayun secara mendadak, lalu tanpa menerbitkan suara apa juga, senjata rahasianya sudah menyerang.
Sin Cu celi matanya.
Ia menunggu sampainya senjata, baru dengan hebat dan lincah ia berkelit.
Ia sudah paham dengan gerakan "Menembusi bunga mengitarkan pohon,"
Ia dapat bertindak dengan gesit sekali.
Kelincahannya itu tak kalah dengan kelincahan In Hong.
Semua serdadu wanita kagum, mereka bersorak memuji.
Selagi serdadu-serdadu itu bersorak, In Hong sudah menyerang untuk kedua kalinya.
Kali ini senjatanya itu mengasi dengar satu suara nyaring, sebelum tiba kepada sasarannya, berputar dulu di udara, baru berbalik menyambar Nona Ie.
Sekarang Sin Cu mendapat kenyataan orang menggunai Ouwtiap piauw, atau piauw "Kupu-kupu,"
Yang dapat bersuara. Sambil memuji "Bagus!"
Ia berkelit pula, berkelit dengan gerak-geriknya "Burung walet menyambar gelombang"
Dan "Cecapung menowel air."
Tiga kali piauw itu berputar balik mengubar dia, tiga-tiga kalinya gagal, akhirnya jatuh.
"Sungguh kau liehay sekali, encie."
Memuji In Hong.
Kembali, membarengi pujiannya, menyambarlah senjatanya yang kedua.
Sin Cu berkelit dengan segera, lalu ia menjaga.
Karena sekarang ia sudah ketahui gerak berbalik dari piauw itu, yang seperti boomerang, begitu piauw berbalik, segera ia menyerang dengan sebuah bunganya, maka tepat kedua senjata rahasia itu bentrok satu pada lain, suaranya nyaring.
Kimhoa mental.
Tapi, kebetulan sekali, mentalnya itu menyambar piauw ketiga yang Nona Leng melepaskannya dengan segera, maka ini kedua senjata pun berbareng jatuh.
Kali ini Sin Cu menggunai kimhoa menurut ajaran ilmu Itciesian, Sebuah Jeriji, dari Ouw Bong Hu.
Sebenarnya ia baru memahamkannya tiga bagian kepandaian itu tetapi buktinya sekarang dapat ia gunakan itu untuk melayani In Hong.
"Piebun berkesudahan tidak ada yang tinggi dan tidak ada yang rendah,"
Berkata Nona Leng.
"Sekarang marilah kita piebu."
"Baik!"
Menyahut Nona Ie bersedia melayani.
"Sekarang silahkan encie yang memberi petunjuk padaku."
Tubuh In Hong bergerak dengan lantas, disusul sama terayunnya tangannya.
Ia menyerang dengan Ouwtiap piauw, piauw Kupu-kupunya itu, bahkan sekali ini, ia menggunai berbareng seraup terdiri dari dua belas biji, hingga senjata rahasianya itu, setelah penyerangan yang pertama, lalu beterbangan saling menyambar.
Mulanya Sin Cu berkelit, habis itu ia lawan semua piauw dengan bunga emas.
Ia tidak saja menggunai ilmu kepandaiannya Ouw Bong Hu, ia menelad juga pelajaran dari persaudaraan Akhmad.
Maka dengan melesatnya tak hentinya bunganya, suara "Trang-trang!"
Tak hentinya terdengar, disebabkan bentroknya kedua senjata rahasia itu.
Ia juga menggunai dua belas kimhoa.
Keras serangannya kimhoa, Ouwtiap piauw terserang mental kalang kabutan.
Leng In Hong kaget bukan main apapula ketika sebuah kimhoa melesat ke arahnya.
Ia masih sempat berkelit, tetapi selagi ia mendak, kimhoa menyambar pelangi merahnya, hingga separuh dari pelangi itu putus dan terbawa terbang! Selagi orang banyak agaknya bingung, karena mata mereka seperti kabur, Leng In Hong lompat ke luar gelanggang sambil ia tertawa bergelak-gelak.
"Ilmu menyebar bunga sungguh tidak ada tandingannya dalam dunia ini!"
Demikian dia berseru dengan pujiannya.
"
Encie, kali ini benar-benar adikmu kagum sekali, ia takluk!"
"Kau terlalu memuji, encie,"
Nona Ie merendahkan diri, sedang hatinya girang sekali mendapatkan nona itu polos.
Pit Goan Kiong dan Pek Beng Coan girang Leng In Hong si berandal wanita dari gunung Hu-yong-san, sedang mengadu kepandaian dengan Ie Sin Cu, pendekar wanita penjebar bunga.
luar biasa karena kemenangannya Sin Cu itu, mereka sampai lompat berjingkrak.
"Hai, kamu merepoti apa?"
In Hong menegur. Tanpa menanti jawaban, ia menyuruh serdadu-serdadunya merapikan pula peti-peti obat-obatan atau harta itu, kemudian sambil tertawa, ia berpaling kepada Sin Cu dan berkata.
"Encie, menuruti aturan kita kaum kangouw, piauw ini harus diserahkan padamu!"
Pit Goan Kiong lantas saja menjura.
"Nona, terima kasih banyak!"
Ia berkata. Tetap pengemis ini bergirang.
"Nona Ie,"
Berkata Pek Beng Coan kepada Sin Cu.
"belum lagi kau tiba di dalam markas kita, sudah kau membuat ini jasa besar luar biasa, sungguh kau harus diberi selamat!"
Sin Cu tidak ambil mumat apa yang orang bilang, ia melainkan bersenyum.
"Yap Toako, kemari!"
Sebaliknya ia memanggil Seng Lim kepada siapa ia berpaling. Seng Lim menyahuti dan menghampirkan. Semenjak tadi orang bicara dan adu kepandaian, pemuda ini berdiam saja, ia melainkan waspada.
"Piauw ini aku serahkan kepada kau, toako,"
Berkata Sin Cu pula.
"Dan kau, terserah kepada putusanmu sendiri, kau hendak menghaturkannya kepada pamanmu atau langsung kepada Pit Keng Thian. Setelah aku menyerahkannya kepadamu, aku tidak mau mengambil tahu lagi!"
Pit Goan Kiong dan Pek Beng Coan sudah girang sekali, mereka menduga piauw itu bakal diserahkan kepada mereka, dari itu bukan main kecewanya mereka akan mendapatkan si nona menyerahkannya kepada si pemuda she Yap.
Mereka pun menganggap, kecuali mereka, Pit Keng Thian turut hilang muka karenanya.
Tapi, memikir lebih jauh, Yap Cong Liu juga ada orang sendiri, mereka dapat melegakan hati mereka.
Terpaksa mereka membungkam.
Sementara itu muncul seorang budak yang mengenakan baju warna gading.
Ia memberitahu bahwa "si orang tua sudah sadar dan tengah memukuli dada sambil berulang-ulang menghela napas panjang pendek."
In Hong menyambut warta itu dengan tertawa.
"Dia kehilangan piauwnya seharga tujuh puluh laksa tahil, tidak heran jikalau dia jadi sangat berduka!"
Katanya. Pergi kau berikan dia uang beberapa tail untuk ongkos jalan, kau antar dia turun gunung..."
Belum berhenti suara si nona ini, Han Cin Ie tampak lari mendatangi, tubuhnya limbung.
"Aku mempunyai mata tetapi tidak bijinya!"
Terdengar suaranya yang keras tetapi serak.
"Sudah empat puluh tahun aku melindungi piauw, akhirnya kali ini aku roboh! Saudara Hian Eng, kau jujur, maka itu tolong kau perhatikan keluargaku di Pakkhia!"
Kata-kata ini dengan mendadak ditutup sama mencelatnya tubuhnya ke arah tihang di ruang itu! Adalah aturan di dalam kalangan piauwkiok, siapa melindungi barang dan barangnya itu lenyap, si piauwsu mesti mengganti kerugian.
Di dalam kejadian ini, Han Cin Ie tidak kuat mengganti.
Ia ada punya rumah dan simpanan, akan tetapi jumlah piauw yang lenyap ini besar luar biasa, terang ia tidak mampu menggantinya.
Ia pun sangat malu karena robohnya itu.
Maka itu, pepat hatinya, ia menjadi pendek pikirannya.
Demikian dengan nekat ia membenturkan kepalanya ke tihang.
Semua orang mengarti kesulitannya Han Piauwsu, bahwa di sembarang waktu ia dapat melakukan yang tidak-tidak, hanya itu ketika orang tengah bergirang, tidak ada orang yang menyangka sesuatu.
Barulah semua orang kaget akan melihat piauwsu itu berlompat.
Hian Eng Toojin berteriak tetapi tanpa berdaya, tak keburu ia memberi pertolongan.
Di saat kepalanya Han Piauwsu hampir mengenai tihang, terdengarlah suara yang keras sekali, tahu-tahu tihang itu telah patah dua, kepalanya piauwsu itu, berikut tubuhnya, molos di antara patahan tihang itu, atau di lain saat ia sudah terpeluk satu orang, yang segera ternyata Seng Lim adanya.
Pemuda ini sangat celi matanya dan sebat gerakannya, menampak si piauwsu nekat, ia berlompat sambil menghajar tihang dengan pukulannya Taylek Kimkong Ciu, ilmu silat Tangan Arhat, dengan begitu dapat ia menolongi jiwanya Cin Ie.
Sambil bersenyum, Seng Lim mengasi turun tubuhnya Han Piauwsu , kemudian ia menghadapi Leng In Hong untuk memberi hormat sambil berkata.
"Oleh karena sangat terpaksa, aku telah membikin rusak tihang ceecu ini, aku mohon sukalah diberi maaf."
Cin Ie sendiri agaknya tidak puas.
"Kenapa kau tolongi aku?"
Dia menanya. Seng Lim tidak menjawab, hanya dia berkata.
"
Piauw ini silahkan kau bawa ke Ouwpak!"
Mendengar itu, semua orang terperanjat, mereka saling mengawasi. Semua berdiam, hingga umpama kata sebatang jarum jatuh ke lantai, akan orang dapat mendengarnya. Hanya sesaat orang menjublak, lalu terdengarlah suara riuh.
"Ini... ini... bagaimana aku dapat berkata?..."
Katanya bingung. Pek Beng Coan sebaliknya mendongkol.
"Kau, kau mengandal apa maka kau berani mengambil putusan ini?"
Dia menegur Seng Lim.
"Harta ini hendak diserahkan kepada tentara negeri, bukankah itu berarti membantu musuh menghajar orang sendiri?"
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pit Goan Kiong sendiri tidak membilang suatu apa. Ia hanya bersenyum mengejek tak hentinya. Adalah kemudian, ia tertawa lebar, beda dari biasanya, lalu ia mengeprak meja.
"Engko she Yap, tindakanmu berlebih-lebihan!"
Dia berteriak.
"Apakah kau hendak serahkan jiwa banyak orang ke dalam tangannya tentara negeri?"
Seng Lim bersikap tenang, wajahnya pun tak berubah.
Ia berdiam saja.
Beberapa orang lain pun memperdengarkan suara mereka, ada yang menggerutu dan mencaci, akan tetapi tempo si anak muda terus berlaku sabar, mereka lalu berdiam sendirinya.
Semua mata tetap diarahkan kepada pemuda itu, yang sepak terjangnya mengherankan mereka.
Sampai itu waktu barulah Seng Lim bertindak ke gelanggang, ia memandang semua orang sambil bersenyum.
"Harta besar ini kita rampas,"
Katanya.
"dengan begitu tentara negeri yang berjumlah sepuluh laksa jiwa di Ouwpak, yang tengah kekurangan belanja, bakal bubar sendirinya, bukan?"
"Ya, tentara itu bakal bubar tanpa berperang lagi!"
Berkata Pek Beng Coan nyaring.
"Tidakkah itu menguntungkan pihak kita?"
"Tidak salah!"
Sahut Seng Lim.
"Akan tetapi sepuluh laksa perut toh perlu makan, bukan?"
"Ah, engko Yap, sungguh hatimu pemurah!"
Pit Goan Kiong mengejek.
"Kau menaruh belas kasihan terhadap tentara negeri!"
Seng Lim mengebas dengan tangan bajunya.
"Aku hanya berkasihan terhadap rakyat jelata di Ouwpak!"
Katanya nyaring.
"Kalau itu sepuluh laksa serdadu bubar tanpa berperang, sedang waktu ini hawa udara sangat dingin, bukankah mereka bakal merampok rakyat? Kalau bukan rakyat, siapa lagi mereka bakal ganggu? Apakah yang mereka bakal gegaras? Apakah yang mereka bakal pakai? Si orang hartawan mungkin dapat melindungi dirinya, si rakyat jelata bakal malang sekali nasibnya! Tidakkah kamu pernah berpikir ancaman bencana hebat itu terhadap anak negeri?"
Mukanya Hian Eng Toojin dan Pit Goan Kiong menjadi pucat sekali, mereka bungkam bagaikan bola kempes. Pek Beng Coan melotot matanya, dia agaknya hendak mementang bacot tetapi Seng Lim mendahulukan dia.
"Piauw ini telah diminta pulang oleh Nona Ie,"
Kata si pemuda ini.
"dan Nona Ie menyerahkannya kepadaku. Dengan begitu aku mempunyai kekuasaan penuh atasnya. Benar bukan?"
"Sedikitpun tidak salah!"
In Hong yang pertama menyahuti.
"Bagus!"
Kata Seng Lim pula.
"Sekarang ini, siapa pun tidak dapat banyak bicara! Han Loopiauwtauw, piauw ini silahkan kau bawa ke Ouwpak, kau serahkan pada tentara negeri di sana! Bagaimana besar juga tanggung jawabnya, aku sendiri yang nanti mempertahankannya!"
Hati Sin Cu berdenyutan keras dan tak hentinya.
Ia tidak menyangka Seng Lim, yang demikian sederhana dan tidak pandai bicara, sekarang dapat berpikir demikian serta dapat mengambil putusan yang luar biasa itu dia mirip dengan satu panglima besar yang tengah memimpin angkatan perang, sikapnya demikian gagah.
Kembali Seng Lim memandang semua orang matanya bersinar tajam.
Tapi ketika ia berbicara, suaranya sabar dan terang.
"Kita bergerak untuk rakyat, kenapa kita mesti menyebabkan rakyat bercelaka?"
Demikian tanyanya.
"Pasukan rakyat suka rela ialah pasukan yang di kolong langit ini tidak tandingannya, maka itu kenapa kita mesti jeri baru terhadap sepuluh laksa atau sejuta serdadu? Kita berlaku benar, untuk kebaikan umum, semua orang ketahui itu. Sepuluh laksa serdadu itu, andaikata mereka sudah gegaras kenyang, masih belum pasti mereka sudi menjual jiwa mereka! Jikalau kamu takut kepada sepuluh laksa serdadu negeri itu, nanti aku yang menjadi pelopor, aku ada punya daya untuk membuat mereka menakluk, atau kalau mereka tidak sudi akan aku hajar mereka hingga mereka kalah! Apa yang harus dibuat takut? Untuk berperang orang mesti menghitung jauh! Tujuan kita yang maha suci berharga lebih daripada sepuluh laksa serdadu!"
Tiba-tiba saja Leng In Hong tertawa dengan nyaring dan panjang, lalu jempolnya diangkat tinggi-tinggi.
"Sungguh gagah!"
Berseru nona "bandit"
Ini.
"Inilah baru semangatnya satu pendekar! Tentaraku, lekas kau antar piauw turun gunung, kembalikan pada pihak piauwkiok. Mari, mari, Yap Toako."
Ia memanggil Seng Lim.
"mari aku hormati kau dengan tiga cawan arak!"
Ia benar-benar lantas mengisi penuh tiga buah cangkir, ia sendiri minum lebih dulu. Seng Lim tertawa lebar.
"Kau tidak menghendaki aku mengganti tihangmu ini!"
Ia berkata.
"Baiklah, akan aku minum arakmu!"
Sunyi seluruh ruang itu, cuma terdengar tertawanya si nona dan si pemuda.
*** Ie Sin Cu berdiri diam di samping.
Ia menyaksikan gerakgerik In Hong, ujung pelangi siapa bergerak-gerak, semangatnya nona itu terbangun, dia demikian gembira hingga nampaknya dia jumawa.
Diam-diam ia ingat sesuatu.
Ialah ia ingat, sepasang muda-mudi itu berdiri berendeng, mirip dengan pasangan di dalam gambar ialah pasangan merpati Lie Ceng bersama Ang Hut si Nona Kebutan Merah.
Dua-dua gagah, sama-sama tampan dan cantik, semangat mereka bersatu padu, tidakkah mereka itu sangat sepadan? Memikir ini, tanpa merasa ia diam menjublak.
Leng In Hong masih saja tertawa lebar.
"Nona Ie, kau juga mengeringkan tiga cawan!"
Dia berseru kepada Sin Cu.
"Adikmu tidak kuat minum, tidak berani aku menemani,"
Si nona menjawab.
"Kalau arak ketemu sahabat akrabnya, untuk apa jeri akan mabuk sinting,"
Berkata nona rumah si kepala berandal wanita.
"Nona Ie, ini satu cawan tidak dapat kau tidak meminumnya!"
Ketarik Sin Cu untuk sikap polos dan gembira serta bersemangat nona itu, ia tidak menampik terlebih jauh, ia keringkan cawan yang diangsurkan kepadanya.
"Nah, inilah baru mempuaskan!"
Berseru In Hong. Ia hendak meminta Seng Lim minum pula atau si anak muda telah mendahuluinya.
"Aku tidak dapat minum lebih jauh, aku sudah mabuk!"
Memang Seng Lim tidak biasa minum, atas desakan In Hong, ia mengeringkan tiga cawan, ia telah memaksakan diri, maka itu kakinya lantas berdiri tak tetap, ia terhuyung seperti mau jatuh.
In Hong melihat orang tidak berpura-pura, ia tertawa pula, nyaring dan panjang, lalu ia melemparkan cawannya ke lantai.
"Baiklah, sebentar malam kita minum pula !"
Katanya.
"Hengjie, pergi kau siapkan pembaringan di kamar samping untuk Yap Toako beristirahat. Dan kau, Nona Ie, mari kau turut aku pergi ke gunung depan!"
Ia mengajak Sin Cu. Pek Beng Coan be-ramai menjadi jengah sendirinya karena In Hong tidak memperdulikan mereka, karena itu mereka lantas memberi hormat untuk pamitan.
"Jangan kesusu!"
Berkata si nona tertawa.
"Di kaki gunung hanya dusun kosong, kabarnya orang kamu kaum Kaypang banyak yang terluka, baik kamu kirim orang untuk mengundang mereka semua datang ke mari! Tempatku kecil tetapi ini masih terlebih baik daripada pondokan di kampungan."
Pek Beng Coan dan Pit Goan Kiong heran.
"Aneh nona ini..."
Pikir mereka.
"Kenapa baru sekarang dia menghormat kita?"
In Hong tidak mengambil tahu apa yang orang pikir, lagilagi ia tertawa.
"Kamu dalam tentara rakyat ada orang besarnya, bagus!"
Katanya pula nyaring.
"Tadinya aku tidak melihat mata, sekarang lain. Ada keponakan semacam ini, mestinya Yap Cong Liu sang paman bukan sembarang orang, maka di belakang hari hendak aku pergi mengunjungi dia!"
Mendengar ini, Hian Eng Toojin dan Pit Goan Kiong girang.
Memang bagus sekali jikalau si nona suka menggabungkan diri.
Dengan begitu usaha mereka di Kangsee tentulah akan maju pesat.
Karena ini, lenyaplah kelikatan mereka tadi.
Dengan rada sinting, In Hong lantas mengajak Sin Cu pergi.
Mereka berpegangan tangan.
Nona rumah, sambil tanjak-tunjuk, menerangkan sesuatu kepada tetamunya, tentang keletakan gunungnya serta penjagaannya.
Ia pun bicara dari hal urusan tentara.
Sin Cu ada rada asing untuk ketentaraan tetapi dapat juga ia menemani bicara.
Ia mendapat kenyataan nona ini masih lebih luas pandangannya daripada Keng Sim.
Ia mendapatkan orang rada jumawa, akan tetapi mengingat In Hong sedang sinting, ia tidak memperdulikan itu, ia malah menjadi suka kepada orang.
Ketika itu di akhir musim ke empat, di atas gunung kedapatan banyak salju, dipandang dari jauh, salju itu bagaikan perak yang berkilauan.
Lewat sebuah tikungan, di sana tertampak bunga bwee warna putih dan merah sedang mekarnya dan baunya harum semerbak.
"Aku pernah mendengar tentang bunga bwee di gunung Tengut San yang dikenal sebagai bunga hiangsoat hay atau Laut Salju Wangi, sayang belum pernah aku pergi ke sana,"
Berkata In Hong.
"Pohon bwee di sini telah ditanam setelah aku berdiam di sini, aku menyuruh orang-orangnya pergi mencari di lembah-lembah untuk ditanam di sini."
"Kau nyata gemar seni, encie."
Sin Cu memuji. In Hong tertawa.
"Seni apa!"
Katanya.
"Aku menanam bunga bwee ini karena aku menyukai harumnya yang halus."
"Encie, kau sungguh mengagumkan,"
Sin Cu memuji pula.
"Tadinya aku menyangka diriku besar, tidak tahunya aku kalah jauh daripada kau! Pohon bwee memang tahan melawan hawa dingin."
"Bicara tentang menahan dingin, di gunung Thian San barulah hawa udara dingin luar biasa!"
Berkata In Hong. Agaknya ia mengingat secara tiba-tiba.
"Musim dingin di sini bukan mirip-miripnya musim dingin."
Mendengar itu, Sin Cu lantas mengingat satu orang.
Itulah hal omongan gurunya, yang pada suatu hari bercerita kepadanya selagi mereka bicarakan halnya pelbagai partai persilatan ilmu pedang.
Katanya di Thian San berdiam seorang yang hidup menyendiri, she Hok namanya Heng Tiong, siapa telah berminat menggabung ilmu silat pedang semua partai untuk dijadikan suatu partai baru.
Dia itu menyendiri semenjak usia pertengahan, tidak lagi dia menginjak tanah Tionggoan, dia hidup di wilayah Hweekiang di suatu tempat ke mana tak ada lain orang tiba, hingga sangat sedikit orang yang mengetahui hal ikhwalnya.
Cuma Hian Kie Itsu, sebelum dia mengundurkan diri, pernah satu kali bertemu dengannya.
Hian Kie puji semangat Heng Tiong itu, hanya ia anggap itulah terlalu berlebihan.
Bagaimana gampang untuk mengumpul pelbagai cabang ilmu silat pedang, untuk dipahamkan dan kemudian menciptakan satu cabang baru dari antaranya.
Sejak pertempuran itu, tidak pernah mereka bertemu pula, maka Hian Kie tidak ketahui orang sudah mati atau masih hidup, apa dia berhasil atau gagal.
Atau kalau dia masih hidup, juga orang tidak tahu sampai di mana kemahiran ilmu pedangnya itu.
"Apakah encie pernah pergi ke Thian San?"
Menanya Sin Cu. Ia ingat suatu apa karena disebutnya nama gunung itu. Ia pun menanya seperti keterlepasan.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku menjadi besar di Thian San,"
Menyahut orang yang ditanya.
"Aku mohon tanya, pernah apakah encie dengan loocianpwee Hok Heng Tiong?"
Sin Cu menanya pula.
"Dialah pamanku,"
Sahut pula In Hong, yang memberitahukan hal engku-nya (paman).
"Pantas ilmu pedang encie begini liehay, kiranya kau mewariskan langsung ilmu pedangnya Hok Loocianpwee itu. Ya, aku ingat, loocianpwee telah mengumpulkan ilmu silat pedang pelbagai partai dan ia mempersatukan itu, untuk menciptakan partai baru. Sungguh hebat!"
Selagi Nona Ie berkata demikian, pada wajahnya In Hong tertampak sinar guram, bagaikan langit terang dilintasi awan gelap tetapi, hanya sebentar saja, air mukanya itu tenang seperti sediakala.
Sin Cu sedang bergembira, ia tidak dapat melihat perubahan air muka orang.
Bahkan ia melanjuti pertanyaannya.
"Apakah Thian San itu indah, senang untuk pesiar? Apakah Hok Loocianpwee masih tinggal di sana?"
Demikian pertanyaannya terlebih jauh. In Hong memandang salju di puncak.
"Pamanku itu telah meninggal dunia,"
Sahutnya tawar.
"Tentang keindahannya gunung Thian San, karena aku meninggalkannya sudah lama, aku tidak ingat lagi."
Sin Cu melengak. Ia merasa heran atas sikapnya Nona Leng itu. Maka ia mengawasi, hingga ia tampak air muka orang tak wajar.
"Kenapa, dengan disebutnya Thian San, agaknya dia kurang senang?"
Ia tanya dirinya sendiri.
"Dia seperti mempunyai suatu urusan yang mendukakan hatinya..."
Sebenarnya Sin Cu masih hendak menanya banyak terutama tentang sebabnya si nona menjadi berandal di gunung Huyong San ini, sebab sikap orang itu, ia menjadi membatalkan niatannya itu. Mereka lalu bertindak melintasi rimba pohon bwee itu.
"Yap Toako itu besar cita-citanya,"
Mendadak In Hong berkata selang sekian lama. Sin Cu heran, air mukanya berubah menjadi merah.
"Aku kenal dia baru beberapa bulan,"
Ia berkata.
"Bicara tentang dia, dia sebenarnya ada dari satu rumah perguruan denganku."
In Hong tertawa.
"Dia sangat memperhatikan kau, encie."
Katanya.
"Di waktu kita mengadu pedang aku melihat itu dari sinar matanya."
Sin Cu likat, ia tunduk.
"Ada orang yang memperhatikan, itulah hal yang sangat memberuntungkan,"
Kata Nona Leng seraya menghela napas.
"Ah, Yap Toako kau itu mirip dengan seorang yang aku kenal baik..."
Hati Sin Cu tidak tentaram.
"Benarkah?"
Katanya.
"Siapakah dia?"
Sekonyong-konyong In Hong tertawa besar.
"Ah, aku sudah sinting!"
Katanya.
"Sekarang sudah tidak siang lagi, mari kita pulang. Ya, ada orang yang karena peristiwa yang sudah-sudah dia suka menjadi berduka, apakah sebabnya itu?"
Hati Sin Cu terkesiap.
Ia lantas ingat Tiat Keng Sim.
Karena ini, ia tidak menjawab, ia berdiam saja.
Malam itu In Hong mengajaki Sin Cu tidur dalam sebuah pembaringan untuk mereka memasang among.
Hanya di waktu bersantap malam, In Hong minum banyak sekali air kata-kata, hingga begitu ia menjatuhkan diri di pembaringan, lantas ia pulas.
Sin Cu gulak-gulik, ia tidak lantas dapat tidur pulas.
Ia seperti melayang-layang.
Ia merasa seperti berada di pesisir laut Jiehay di mana ada sebuah pohon tayceng yang besar, yang daunnya teduh sekali.
Selagi ia berpikir untuk pergi ke bawah pohon itu, mendadak di situ tumbuh muncul sebuah pohon tayceng lain yang besar.
Atau di lain saat, matanya menampak di bawah pohon tayceng itu ada sepasang mudamudi menyembunyikan diri.
Yang berdiri di sebelah kiri adalah Yap Seng Lim, dan yang berdiri di sebelah kanan ada Leng In Hong.
"Yap Toakol"
Sananya Sin Cu berseru seraya berlompat kepada pemuda itu. Sekonyong-konyong terdengar guntur di tengah udara, lalu Seng Lim lenyap seketika. Tinggal pohon tayceng, yang bergoyang-goyang keras.
"Encie Leng!"
Sananya ia memanggil In Hong. In Hong tertawa dan datang menghampirkan. Sin Cu pun lari kepada nona itu. Hendak ia menanya.
"Mana Yap Toako?"
Atau ia melihat tiba-tiba alis In Hong berbangkit berdiri, dengan pedangnya dia terus menikam.
"Encie Leng, aku, aku!"
Sin Cu berteriak-teriak kaget, ia pun segera mundur, atau "Plug!"
Ia tercebur ke laut Jiehay. Itu waktu di kupingnya ia mendengar suara halus.
"Jangan takut... Jangan takut... Aku di sini!"
Sin Cu mementang kedua matanya.
In Hong berdiri di hadapannya.
Kiranya ia jatuh dari pembaringan.
Barusan ia sudah bermimpi.
In Hong mengenakan yahengie, yaitu pakaian untuk keluar malam, tangannya mencekal pedangnya yang tajam.
Ia terkejut, hingga ia bersangsi ia masih mengimpi atau sudah sadar.
"Di luar seperti ada orang,"
In Hong berbisik.
"Kau jangan kuatir, nanti aku pergi untuk melihat."
Si nona melihat daun jendela sudah terpentang, lantas dia berlompat ke luar.
Dia seperti tidak dapat mensia-siakan tempo lagi.
Sin Cu lantas berpikir.
Ia mengarti sekarang bahwa barusan ia sudah mimpi.
Dalam kesunyian, ia mendengar tindakan kaki bukan dari satu orang.
Ia menduga kepada orang-orang yang tak sembarang kepandaiannya ringan tubuh.
"Mana dapat aku membiarkan encie Leng menempu bahaya?"
Pikirnya.
Maka ia lekas berdandan, dengan membawa pedangnya, ia lari keluar untuk menyusul.
Sampai di gunung depan baru Sin Cu melihat bayangannya In Hong.
Ia lari terus.
Setelah lewat setengah lie, di depan tertampak samar-samar beberapa orang bagaikan bayangan.
Benar-benar mereka itu mahir ilmunya ringan tubuh.
Ia heran, tidak dapat ia menerka siapa mereka itu.
Kalau mereka bermaksud baik, kenapa mereka tidak datang secara berterang? Kalau mereka berniat jahat, kenapa mereka kabur pula, kenapa mereka tidak menempur Nona Leng?"
Tepat di waktu Sin Cu menduga-duga demikian, beberapa bayangan dtu menghentikan larinya.
"Siapa kamu ?"
Terdengar tegurannya In Hong.
"Kami ialah sahabat-sahabat akrab dari Hok Thian Touw,"
Menyahut seorang yang jangkung kurus.
"Oh, Nona Leng, benarkah kau tidak mengenali aku? Aku Hwee kielin Hek In Tay. Bukankah pada lima tahun dulu kita pernah bertemu di atas gunung Thian San di puncak tinggi sebelah selatan? Mereka ini adalah saudara-saudara angkatku."
Pada lima tahun yang lalu itu, In Hong baru berumur lima belas tahun. Samar-samar ia ingat orang jangkung kurus sebagai sahabatnya Hok Thian Touw.
"Kalau begitu, kenapa kau datang malam-malam dan main sembunyi-sembunyi?"
Ia tanya.
"Kami tidak hendak membikin kaget orang-orang lain,"
Sahut Hek In Tay.
"Eh, siapakah orang itu?"
Ia menunjuk ke arah Sin Cu. In Hong segera menoleh.
"Dialah kakakku. Jikalau kau hendak bicara, bicaralah, tidak ada halangannya."
Sin Cu dapat mendengar pembicaraan mereka itu, hatinya menjadi lega.
"Kiranya kenalan-kenalannya encie Leng..."
Pikirnya. Ia tidak mau lantas datang dekat, supaya ia tidak usah mendengari pembicaraan mereka itu. Ia bahkan hendak mundur pula tatkala ia mendengar pertanyaan keras dari In Hong.
"Apa? Kamu jadinya diperintah datang oleh Hok Thian Touw? Dia di mana? Di mana?"
Nadanya suara itu nada dari orang sangat tertarik hatinya, seperti seorang yang berdahaga sekali untuk suatu kabaran.
"Hok Thian Touw berada di suatu tempat di Siamsay,"
Sahut si jangkung kurus Hwee kielin, si Kielin Api.
"Dia minta Nona suka pergi untuk menemui dia."
"Thian Touw ketahui aku berada di ini gunung, kenapa dia tidak datang sendiri kepadaku?"
In Hong menanya.
"Apakah dia sakit? Atau apakah dia terluka?"
"Letaknya tempat terpisah ribuan lie, tidak leluasa untuk dia datang ke mari,"
Sahut pula Hek In Tay.
"Kalau nona sudah pergi ke sana nanti kau akan ketahui sendiri sebabnya."
In Hong tertawa menyeringai.
"Letaknya tempat jauh ribuan lie, aku juga tidak leluasa pergi kesana,"
Ia menyahuti, menelad suara orang.
"Untuk menyuruh aku meninggalkan tempatku ini juga masih memerlukan tempo beberapa hari guna mengatur sesuatu."
Memang semenjak dua tahun, In Hong sering berhadapan sama tentara negeri yang hendak menumpas padanya, ia telah dipandang sebagai satu berandal yang berbahaya, maka itu, kalau ia pergi meninggalkan gunungnya, itulah sungguh berbahaya untuk Huyong San.
Ia pun tidak ikhlas meninggalkan tentaranya dengan siapa ia telah hidup bersama, senang dan susah, sebagai encie dan adik.
"Kalau begitu, benar sukar,"
Hek In Tay berkata pula.
"Thian Touw menanya kau, apakah kau masih ingat akan janji lama?"
"Habis kenapa?"
"Sekarang ini dunia kacau, sekarang ini waktunya untuk menyendiri meyakinkan ilmu pedang. Thian Touw menanyakan kau, apakah kau masih menyimpan itu kitab ilmu pedang?"
In Hong melirik.
Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adakah ini kata-katanya Thian Touw sendiri?"
"Dia mempunyakan surat yang dia tulis sendiri di sini. Silahkan kau lihat sendiri."
Hek In Tay menyerahkan surat yang ia sebutkan itu. Sin Cu melihat wajahnya In Hong ramai hingga dia menjadi terlebih cantik dan manis. Maka maulah ia menduga tentang hati si nona. Maka berkatalah ia di dalam hatinya.
"Ini nona gagah berpelangi merah, melihat surat kekasihnya, dia likat bagaikan nona pengantin..."
Tangan In Hong bergemetaran sedikit ketika ia memegang surat, untuk dibuka dengan perlahan-perlahan. Begitu ia melihat, ia membaca dengan perlahan.
"Adik Hong, terimalah suratku ini seperti kita bertemu sendiri... Adik Hong, terimalah suratku ini seperti kita bertemu sendiri...bertemu sendiri..."
Mendengar itu, hampir Sin Cu tertawa.
Bukankah lucu In Hong ini, yang membacanya berulang-ulang surat kekasihnya itu bagian pertama? In Hong tidak membaca terus.
Mendadak air mukanya berubah menjadi sungguh-sungguh dan dengan mendadak juga ia tertawa lebar.
"Benar saja Thian Touw telah menduga bahwa aku tidak dapat segera berangkat maka dia telah mengutus kamu beberapa tuan-tuan yang ilmu silatnya tinggi untuk datang mengambil kitab ilmu silat itu untuk dibawa kepadanya. Ha, sungguh sukar dicari orang yang demikian matang pikirannya!"
"Sebenarnya ilmu silat kami biasa saja,"
Berkata Hak In Tay.
"akan tetapi kami telah menerima baik permintaannya saudara Thian Touw, terpaksa kami mesti melakukan kewajiban kami, biarnya mesti membuang jiwa, tentu kami akan antarkan kitab itu kepada saudara Thian Touw."
In Hong melirik, ia tertawa pula.
"Sungguh sahabat-sahabat yang baik!"
Ia berkata.
"Kitab pedang itu asalnya ada kepunyaan Keluarga Hok, sekarang Thian Touw menghendaki itu, tidak dapat aku tidak mengembalikannya, dan sekarang kamu yang mengantarkan, itulah bagus sekali. In Tay, mari!"
Hek In Tay tercengang, ia mengawasi.
"Apakah kitab itu kau senantiasa bawa-bawa, Nona Leng?"
Tanyanya.
"Ya,"
Menyahut si nona, yang merogo ke dalam sakunya.
In Tay maju dua tindak.
Sekonyong-konyong si nona tertawa, berbareng dengan mana pedangnya terhunus, terus dipakai menikam orang di depannya itu.
Berbareng dengan itu, tangan kirinya terayun, menerbangkan tiga biji Ouwtiap piauw.
Sebab dia bukannya mengeluarkan kitab hanya menjumput senjata rahasianya itu.
In Tay kaget tetapi ia masih dapat berkelit, hanya ia kalah sebat, pundaknya kena juga tertikam, syukur tulang piepeenya tak sampai kena dibikin tembus.
"Kami bermaksud baik, kenapa kau menurunkan tangan jahat?"
In Tay berteriak. In Hong berlompat, untuk menikam pula, hingga dua kali beruntun.
"Ya, sungguh baik hatimu!"
Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Anggrek Tengah Malam -- Khu Lung