Taruna Pendekar 14
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen Bagian 14
Taruna Pendekar Karya dari Liang Ie Shen
"Entah murid siapakah pemuda ini? Usianya masih muda, tapi kesempurnaan tenaga dalamnya tidak berada di bawahku. Bila Pui Hou memiliki seorang pembantu yang demikian baik, aku tak boleh memandang enteng musuhku."Sebelum ingatan tersebut melintas habis dalam benaknya, Lo Hi-hong yang tertegun telah berhasil mengendalikan rasa kaget yang mencekam perasaannya, dia segera membentak nyaring.
"Ki see-tit, kepandaian yang hebat? Heehhheeehh Jian-jiu-Koan-im, untuk mengalahkan putra Nyo toakoh saja belum tentu ilmu melepaskan senjata rahasiamu bisa memadai, masa kau hendak menyuruh dia untuk turun tangan sendiri?"
"Benar. IImu silat yang dimiliki pemuda ini memang bagus. Nyo toakoh, tak nyana kau memiliki putra sebaik ini, baiklah, silakan kau pulang!"
Dari pembicaraan itu bisa diartikan pula kalau dia mengatakan ilmu silat yang dimiliki ibunya tak mampu mengalahkan kemampuan putranya.
Tapi memandang di atas wajah putra Nyo toakoh itu, dia pun tak ingin menyusahkan dirinya.
Tentu saja Nyo toakoh dapat menangkap arti dari perkataan itu, cuma dengan kedudukannya di dalam dunia persilatan, ia tak dapat berbuat seperti Lo Hi-hong.
Bila Lo Hi-hong bisa menggunakan kata seperti "memotong ayam buat apa memakai golok penjagal kerbau"
Untuk menutupi rasa malunya, maka dia balik ke tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Utti Keng mendengus dingin, lalu katanya.
"Bila kalian ingin meraih kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak, silakan maju bersama-sama! Tak peduli berapa pun jumlah kalian, kami akan tetap maju berdua! Bila kalian punya kepandaian, silakan kalian bunuh kami suami istri. Kalau tidak, aku pun tak ingin membunuh kalian, tapi uang sebesar sepuluh laksa tahil perak harus diserahkan kepadaku!"Perlu diketahui, kendatipun di pihak Pui Hou terdiri dari Lo Hi-hong dan putrinya, Nyo toakoh dan putranya serta Pui Hou berlima yang mengerti ilmu silat, namun dalam pandangan Utti Keng, hanya Ki See-kiat seorang yang dianggap sebagai musuh tangguh. Nyo toakoh mungkin saja masih bisa bertarung secara paksa, sedang tiga orang lainnya sama sekali tak dipandang sebelah mata. Pui Hou tertawa terbahak-bahak, lalu berkata.
"Haahh haah haah, Utti sianseng, kau terlalu memandang rendah orang lain. Walaupun ilmu alat yang dimiliki aku orang she Pui masih amat dangkal, tapi dengan kehadiran cianpwe dari perguruanku di sini, kau anggap aku akan membiarkan orang lain memandang hina kepadaku? Tak usah khawatir, kami tak akan mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah ba- nyak!"
Dia adalah seorang manusia yang berotak licik dan cermat, apa yang bisa dipikirkan lawan tentu saja dapat dipikirkan pula olehnya, dalam hati dia pun berpikir.
"Bila See-kiat sute turun tangan satu lawan satu dengannya, meskipun belum tentu menang, paling tidak jauh lebih hebat hasilnya daripada bermain kerubutan!"
Sementara itu Utti Keng telah menatap Ki See-kiat dengan pandangan dingin, lalu berkata.
"Baik, kalau begitu bertarung satu lawan satu pun boleh juga!"
"Sukoh, bila kau orang tua harus turun tangan sendiri, hal mana terlalu menurunkan pamor sendiri, apalagi kalau dilihat dari ucapan Utti sianseng, agaknya dia amat penuju dengan See-kiat sute, lebih baik suruh sute saja yang mencoba ke- lihayan ilmu silat Utti sianseng, entah bagaimana menurut pendapat-mu?""Pamor sudah hilang semenjak tadi, apa gunanya bergaya bermacam-macam?"
Jengek Utti Keng dingin.
"Lak-jiu-Koan- im, keganasan ilmu pukulanmu sudah dicoba oleh istriku. Bila kau ingin merebut kembali pamormu melalui putramu itu, lebih baik suruhlah dia mencoba beberapa jurus, aku cukup tahu diri, tak nanti akan kusiksa angkatan muda secara keterlaluan."
"See-kiat,"
Seru Nyo toakoh marah.
"orang lain begitu memandang rendah terhadap kita ibu dan anak, segera unjukkan kepandaianmu dan cobalah sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Utti sianseng ini!"
"Mari, mari, mari!"
Seru Utti Keng kemudian.
"pertarungan ini hendak dilangsungkan dengan cara yang bagaimana? Harap kau saja yang mengutarakan usutnya."
"Harap jangan bertarung dulu, ada beberapa patah kata hendak kuutarakan terlebih dulu."
"Baik, sebetulnya meski tidak kau katakan, aku pun ada beberapa patah kata yang hendak diucapkan, sekarang lebih baik kau saja yang berbicara lebih dulu."
"Utti sianscng. aku harap kau sudi melepaskan keponakan muridku yang masih kecil itu."
"Menang kalah toh belum ketahuan hasilnya kenapa aku mesti melepaskan tawanan?"
"Aku tak ingin mencampuri pertikaian antara kau dan Pui suko, tapi bocah itu tidak bersalah, dia pun tidak tahu persoalan dan tidak tersangkut dalam persoalan orangtua-nya, mengapa kau mesti membuatnya kaget dan ketakutan?""Banyak anak kecil dari keluarga baik-baik yang telah dicelakai su-heng-mu sepanjang hidupnya, apakah orang- orang itu hanya menderita kaget dan ketakutan belaka?"
"Pepatah kuno mengatakan, kesalahan seseorang janganlah dilimpahkan kepada orang lain. Aku tidak bermaksud membela perbuatan suhcng-ku, tapi kalau toh Utti sianseng menganggap apa yang dilakukan tak benar, buat apa kau mesti menirukan perbuatannya itu?"
Ucapan itu kontan saja membuat Utti Keng menjadi tertegun, katanya kemudian.
"Sebetulnya aku sendiri pun tidak bermaksud hendak menyusahkan bocah ini, aku tak lebih hanya ingin menukar bocah ini dengan uang sebesar sepuluh laksa tahi! perak!"
"Kalahkan diriku, sepuluh laksa tahil perak segera akan kuserahkan kepadamu!"
Berbicara sampai di sini, dia lantas berpaling ke arah ibunya dan melanjutkan.
"Ibu, seandainya seluruh harta kekayaan kita dijual, tentunya masih laku sepuluh laksa tahil perak bukan? Dengan mengandalkan nama baikibu, boleh bukan bila kupinjam dulu uang sebesar itu?"
"Soal itu tak usah kau khawatirkan, sekarang hadapi dulu Uni sianseng dengan hati yang tenang, serahkan saja soal sepuluh laksa tahil perak itu kepadaku!"
"See-kiat sute, mengapa kau berkata demikian?"
Buru-buru Pui Hou berseru pula.
"Jangankan sepuluh laksa tahil perak belum tentu akan diserahkan kepadanya, seandainya kalah taruhan pun aku tetap merasa berterima kasih kepadamu, masa aku akan membiarkan harta kekayaan kalian ludes?"
Perlu diketahui, dari ucapannya terhadap Ki See-kiat tadi, jelas terdengar kalau dia merasa tak puas terhadap anakmuda ini, namun bagaimanapun juga, dia tidak berharap miang punggungnya ini turut ambruk dan kalah "Pui suheng, kau tak usah ber-baik kepadaku,"
Kata Ki See- kiat hambar.
"aku bertindak demikian bukan lantaran urusanmu, aku hanya bertindak menuruti perintah ibuku dan ingin mencoba ilmu silat dari Utti sianseng!"
Pui Hou segera merasakan air mukanya berubah, tanpa terasa dia memandang ke Nyo toakoh.
"Kiat-ji,"
Nyo toakoh segera berkata.
"soal uang adalah masalah kecil, kau tak usah menggubris bagaimanakah keputusanku nanti. Yang jelas pertarunganmu melawan Utti sianseng kali ini mempunyai sangkut paut yang amat erat sekali dengan Pui suheng-mu!"
"Ibu, kalau kau mengatakan ada hubungannya, anggap saja ada hubungannya, pokoknya, ananda hanya bertarung sepenuh tenaga melawan Utti sianseng karena menuruti permintaanmu. Seandainya ananda tewas di ujung goloknya, harap kau pun tak usah bersedih hati!"
Tanpa terasa Nyo toakoh berkerut kening sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya.
"Heran, mengapa si bocah ini hanya bisanya mengucapkan kata-kata yang bernada kurang baik? Haaai seandainya kau benar-benar tak sanggup menandingi lawan, apakah ibumu akan hidup seorang diri?"
Ternyata dia bukannya tak tahu sampai di manakah bahayanya pertarungan antara putranya melawan dua orang pendekar aneh dari dunia persilatan itu, tapi berhubung wataknya memang keras kepala, apa yang telah diputuskan enggan diurungkan lagi.Diam-diam ia telah memutuskan, andaikata keselamatan putranya terancam, dia lebih suka beradu j iwa dengan Utti Keng berdua, daripada menerima penghinaannya lagi.
Tiba-tiba terdengar Utti Keng berkata.
"Sudah selesaikah pembicaraan kalian ibu dan anak? Sekarang tiba giliranku untuk berbicara!"
"Silakan berbicara!"
Utti Keng tertawa dingin lebih dahulu, kemudian katanya.
"Di sini hanya kau seorang yang masih terendus bau manusia, memandang wajahmu, aku bersedia melanggar kebiasaanku satu kali."
Kemudian sambil berpaling ke arah istrinya, dia menambahkan.
"Seng-in, lepaskan bocah itu!"
Ki Seng-in melepaskan Pui Hong, lalu katanya sambil tertawa.
"Baik, kau boleh kembali. Sekalipun tanpa sandera, aku pun tidak khawatir ayahmu tak mau membayar uang sebesar sepuluh laksa tahil perak kepadaku!"
"In-moay,"
Seru Utti Keng tertawa.
"jangan kelewat yakin kalau bicara, sepuluh laksa tahil perak tersebut belum pasti bisa kita menangkan!"
Mendengar perkataan tersebut, Nyo toakoh segera merasakan semangatnya bangkit kembali, pikirnya.
"Ternyata kau pun tidak yakin bisa memenangi pertarungan ini, kalau begitu, aku tak boleh melenyapkan semangat tempur anakku ini."
Sementara itu Ki Seng-in sudah berkata pula sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh bocah muda, sekalipun hari ini kau menderita kekalahan di tangan suamiku, kau pun cukup merasa bangga. Sebab selama ini hanya kauseorang yang pernah menerima pandangan seserius ini darinya."
Walaupun ucapan mana bernada memuji kehebatan Ki See- kiat namun arti yang sebenarnya adalah seakan-akan mengatakan Ki See-kiat sudah pasti akan menderita kekalahan. Utti Keng berkata pula lebih jauh.
"Sudah kukatakan tadi, aku tak akan mencari keuntungan dari angkatan muda, begini saja, asal kau dapat menerima seratus jurus se-rahganku, anggap saja kau yang menang dan aku tanpa menerima setengik uang pun akan segera berlalu dan sini!"
"Kau tak usah mengalah kepadaku!"
Seru Ki See-kiat.
"Setiap patah kata yang telah kuucapkan selamanya tak pernah diubah lagi. Kau enggan menerima kebaikanku, hal itu adalah urusanmu sendiri, pokoknya aku hanya akan bertarung sebanyak seratus gebrakan saja, bila aku tak berhasil menga- lahkan dirimu, sejak kini aku tak akan menginjakkan kakiku dalam gedung keluarga Pui lagi!"
Pul Hou kegirangan setengah mati setelah mendengar perkataan itu, cepat-cepat serunya.
"Sute, orang lain adalah tokoh kenamaan dari dunia persilatan, sudah seharusnya mereka mengalah kepada angkatan muda, sedangkan kau pun tidak seharusnya bersikap sungkan-sungkan terhadap angkatan tua, masa kau hendak tak tahu diri dan ingin bertarung setaraf dengan mereka?"
Walaupun di luaran kedengarannya seperti menegur Ki See- kiat, yang benar dia khawatir kalau pemuda tersebut enggan menerima kebaikan Utti Keng.
"Baiklah,"
Kata Ki See-kiat kemudian.
"Utti sianseng, kalau kau ingin mengambil seratus gebrakan sebagai batasannya, ituadalah masalahmu sendiri. Sekarang tak usah banyak berbicara lagi, silakan kau lancarkan seranganmu!"
"Kau hendak mempergunakan senjata apa?"
"Aku hendak mengandalkan sepasang kepalanku ini untuk mencoba ilmu golok kilatmu!"
Utti Keng segera tertawa tergelak sesudah mendengar perkataan itu, serunya.
"Anak muda, kau kelewat jumawa, aku tahu kalau ilmu silat yang kau miliki sangat hebat, tapi bila ingin menghadapi golok kilatku dengan tangan kosong belaka, tak nanti kepandaian tangan kosongmu itu bisa dikembangkan permainannya, aku tak ingin merenggut nyawamu dengan begitu saja!"
Pui Hou yang berada di sisi arena, lagi-lagi berteriak keras.
"Sute, ilmu Lak-hap-to dari keluarga Ki dan Lak-yang-jiu dari keluargaNyo merupakan ilmu sakti andalan keluargamu, sebenarnya dengan menggunakan ilmu Lak-yang-jiu saja sudah cukup, tapi hal ini kurang hormat terhadap seorang cianpwe, bila kau tidak membawa senjata, gunakan saja golok tipisku ini."
Seraya berkata dia lantas mengayunkan tangannya ke depan dan melemparkan golok tipis tersebut ke tangan Ki See- kiat.
Golok tipis itu dibeli Pui Hou dari tangan seorang raja muda Burma dengan harga tinggi.
Golok itu terbuat dari sekeping baja mumi yang luar biasa lunak tapi ampuh, bila tidak disorenkan biasanya dapat digunakan sebagai ikat pinggang Bila golok itu dicabut dari.
sarungnya, maka akan terlihat cahaya bening yang amat lembutNyo toakoh khawatir putranya keras kepala dan enggan menerima nasihat dari Pui Hou buru-buru dia berseru pula.
"Kiat-ji, ilmu golok kilat dari Utti sianseng merupakan ilmu golok nomor wahid di kolong langit, kesempatan baik seperti ini jarang bisa dijumpai, kau harus memanfaatkan peluang ini sebaik-baiknya dengan meminta petunjuk beberapa jurus ilmu golok darinya. Kalau tidak, soal kurang hormat hanya soal kedua, membuang kesempatan dengan sia-sia itulah yang merupakan suatu kejadian yang patut disayangkan!"
Dengan mengucapkan perkataan tersebut, pertama selain khawatir putranya menderita kerugian besar, kedua khawatir putranya tak tahu kelihayan lawannya.
Maka dia memberitahukan lebih dulu semua keistimewaan Utti Keng, agar putranya tahu diri dan menghindar, sekalipun tak berhasil mematahkan serangan golok kilat lawan, paling tidak bisa mematahkan beberapa jurus serangannya.
Dia tahu putranya telah berhasil melatih ilmu Liong-siu-kang hingga mencapai ke tingkat delapan, Liong-siu-kang merupakan ilmu silat tingkat tinggi dari negeri Thian-tok (India) dan tingkat yang paling tinggi adalah tingkat kesembilan.
Itu berarti, seseorang yang dapat melatih hingga mencapai ke tingkat delapan sudah luar biasa sekali, atau dengan perkataan lain selisihnya dengan kemampuan Utti Keng pun tak terlampau jauh lagi.
Seandainya pemuda itu tahu diri dan tahu keadaan lawan, dia pasti akan lebih leluasa dalam melakukan perlawanan nanti, siapa tahu kalau ia sanggup bertahan ratusan ge- brakan?Terdengar Utti Keng tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya.
"Sebutan golok kilat nomor wahid tak berani kuterima. Buktinya ilmu golok Beng Goan-ciau masih jauh lebih cepat dan hebat daripada ilmu golokku, ilmu silat yang dimiliki putramu juga hebat, aku rasa dia pun masih sanggup menerima berapa puluh jurus serangan ku."
Arti lain dari perkataan yang diucapkan ini seakan-akan menerangkan kalau gelar nomor satu meskipun tak berani diterima, gelar nomor dua masih pantas dia terima.
Selain itu bagaimanapun dia memuji kehebatan Ki See-kiat, namun dia yakin anak muda itu tak akan sanggup menahan serangannya sebanyak seratus gebrakan.
Cuma saja perkataan tersebut memang tidak terlampau merendahkan diri ataupun menghina lawan, ucapan itu boleh dibilang diutarakan dengan tepat sekali.
Sepuluh tabun berselang dia memang dianggap umat persilatan sebagai golok kilat nomor wahid di kolong langit, bahkan sampai sekarang pun masih ada orang yang beranggapan kepandaiannya masih setaraf dengan kepandaian Beng Goan-cau.
Ilmu golok Beng Goan-cau menjadi tenar belakangan, Nyo toakoh bukannya tak tahu soal ini, tapi berhubung Beng Goan- cau merupakan musuh besar keluarga Nyo, maka ia lebih suka menghadiahkan gelar "golok kilat nomor wahid di kolong langit"
Ini pada Utti Keng, kendatipun Utti Keng termasuk salah seorang musuhnya pula. Sekalipun begitu, nada pembicaraannya terhadap Utti Keng masih tetap tak puas, sambil menarik muka dia berseru lantang.
"Kiat-ji, orang sudah menantangmu, mengapa kau tidak sambut tantangan tersebut? Sambutlah beberapa jurusserangannya, jangan biarkan orang lain memandang rendah kita."
Sesungguhnya Ki See-kiat ingin sekali bertarung dengan menggunakan tangan kosong, hal ini bukan disebabkan ia angkuh atau takabur, melainkan kesempurnaan ilmu silatnya justru terletak pada tenaga dalam bukan ilmu golok, lagi pula dia pun dapat melihat kalau golok yang dipakai lawan adalah sebilah golok mestika, golok biasa tak dapat menandingi kehebatannya.
Ia berpendapat, bagaimanapun juga kemungkinan baginya untuk meraih kemenangan tetap kecil, apa salahnya bila tak usah menggunakan senjata tajam? Bagi seseorang yang berhasil melatih ilmu silatnya hingga mencapai tingkat tinggi, soal memakai senjata atau tidak sama saja, tapi perlu diketahui musuh Ki See-kiat adalah seorang yang berilmu silat sangat tinggi, bahkan jauh lebih tinggi daripada dirinya, jadi dalam hal ini terdapat suatu perbedaan yang jauh sekali.
Sekarang, Ki See-kiat telah memegang golok mestika yang dilemparkan Pui Hou kepadanya, dia merasa dalam hal senjata tak bakal menderita kerugian dari lawannya, karena itu dia pun mengubah niatnya semula.
"Boanp we Ki See-kiat mendapat perintah dari ibuku untuk memohon petunjuk dari Utti sianseng, harap sianseng sudi memberi petunjuk,"
Kata anak muda itu kemudian setelah melintangkan goloknya di depan dada. Pelan-pelan Utti Keng meloloskan pula goloknya, lalu berkata sambil tertawa.
"Pertarungan kita ini memperebutkan uang sebesar sepuluh laksa tahil perak, bukan suatupertarungan mengadu kepandaian, kau tak usah sungkan- sungkan lagi, ayolah lancarkan seranganmu itu!"
Begitu goloknya diloloskan dari sarung, semua orang merasa terkejut bercampur tertegun sedangkan Ki See-kiat sendiri pun merasa tercengang karena tak menduga, ia ber- seru tertahan.
Ternyata golok dari Utti Keng ini panjangnya tiga depa tiga inci, sarungnya bolak-balik terdapat dua butir permata berwarna merah dengan delapanbelas mutiara di sekelilingnya, suatu perhiasan yang mahal dan mencolok mata.
Diam-diam mereka berpikir.
"Utti Keng adalah seorang jago golok yang sangat hebat di kolong langit, memang manusia macam dia yang pantas menyandang golok mestika yang tak ternilai harganya itu."
Siapa tahu, setelah golok diloloskan, semua orang baru tertegun dan melongo. Ternyata "golok mestika"
Itu hitam pekat tanpa sinar, malahan ujung goloknya tumpul hingga sepintas lalu mirip sebatang besi rongsokan.
Bila dibandingkan dengan golok tipis yang berkilauan di tangan Ki See-kiat, maka ibaratnya perempuan jelek dibandingkan dengan bidadari cantik.
Sekali lagi Ki See-kiat berseru tertahan setelah menyaksikan kejadian itu.
Semua orang melihat ia menganggap besi rongsok sebagai "golok mestika"
Hampir saja meledak gelak tertawanya lantaran geli, tapi tak seorang pun yang berani bersuara.
Semenjak menyerahkan golok tipisnya kepada Ki See-kiat tadi, Pui Hou selalu bermuram durjadan bersikap tak tenang, ia khawatir golok mestikanya tak mampu menandingi kehebatan golok musuh.Tapi setelah tahu kenyataan sekarang, ia merasa sangat lega sekali, pikirnya.
"Golok tipisku ini tajamnya bukan kepalang, bulu saja akan terpapas kutung apalagi besi rong- sokan, sebentar akan kusuruh kau tahu benda manakah baru pantas disebut golok mestika."
"Tidak berani!"
Terdengar Ki See-kiat menjawab. Sambil tertawa cekikikan Ki Seng-in menegur.
"Apanya yang tak berani? Kau tak berani memandang enteng golok mestika suamiku? Ataukah tidak berani turun tangan untuk melancarkan serangan? Mengapa sih kau hanya melulu me- ngatakan tak berani?"
"Harap Utti sianseng memberi petunjuk!"
Ki See-kiat segera berseru lantang.
Sepasang tangannya menggenggam golok dan mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian diayunkan ke depan melepaskan bacokan kilat.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jurus serangan ini bernama Leng-san-pay-hud (Menyembah Buddha di Bukit Suci), satu gaya pembukaan yang menunjukkan rasa hormat seorang boanpwe terhadap angkatan yang lebih tua.
"Tak usah sungkan-sungkan!"
Sahut Utti Keng cepat Tubuhnya maju, langkah kakinya miring ke samping seperti orang mabuk, kemudian goloknya diayunkan menyongsong datangnya ancaman tersebut Baik gerakan tubuh maupun ilmu goloknya, sama-sama termasuk kepandaian yang sangat aneh.
0odwo0Bertarung Melawan Perampok Budiman "Jurus Cui-ta-kim-kong (Mabuk Sambil Menghajar Malaikat) yang sangat hebat"
Teriak Nyo toakoh lantang.
"terima kasih banyak atas kesudianmu memberi muka untuk putraku!"
Ternyata jurus Cui-ta-kim-kong ini merupakan warisan dari Lu Ci-san yang menghajar pintu benteng dalam keadaan mabuk di jaman Song dulu; jurus ini terkandung dalam ilmu toya Ciang-mo-cianghoat yang kemudian diubah untuk meng- gunakan golok.
Jurus pembukaan dari Ki See-kiat tadi adalah Leng-san-pay- hud (Menyembah Buddha di Bukit Suci), sedangkan Utti Keng membalas dengan jurus Cui-ta-kim-kong (Mabuk Sambil Menghajar Malaikat), sebetulnya pembalasan ini amat tak sopan, akan tetapi berhubung dia menganggap Ki See-kiat seolah-olah seorang "kim-kong"
Atau malaikat, maka bagi seorang angkatan muda, hal ini merupakan suatu penghormatan.
Sudah barang tentu teriakan Nyo toakoh tadi bukan bermaksud untuk berterima kasih, yang benar ia khawatir putranya tak mengenal jurus serangan itu, maka ia hendak memperingatkan dirinya.
Ilmu silat Ki See-kiat sekarang jauh melampaui ibunya, maka ia sudah tahu betapa lihaynya jurus serangan Utti Keng.
Sekalipun Ki See-kiat menaruh kepercayaan yang amat besar terhadap tenaga dalam yang dimilikinya, tapi berhasilkah menandingi Utti Keng, masih merupakan sebuah tanda tanya besar di dalam hatinya.
Ia tak berani menyambut d a tangnya serangan lawan yang begitu ganas dengan keras lawan keras, dengan langkah Boan-liong-you-poh (Naga Melingkar Melangkah ke Samping)dia bergeser ke sisi arena, kemudian dengan jurus Cuan-jiu- cong-to-si (Gaya Memutar Tangan Menyembunyikan Golok) dia bacok lengan kiri lawan.
Dalam jurus ini terdapat pertahanan terdapat pula serangan, tapi yang pasti merupakan suatu serangan paksaan yang mendesak musuh untuk melindungi diri.
Siapa tahu gerakan Utti Keng jauh lebih cepat daripadanya.
Sreet, sreet! Secara beruntun dia lancarkan tiga buah bacokan berantai yang dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat Ternyata ia tidak mencoba menolong diri, malahan saling berebut serangan dengan Ki See-kiat.
Pepatah kuno bilang, teknik bcrmai n catur lebih tinggi setingkat pihak musuh dibikin kelabakan.
Begitu pula dengan ilmu silat, ilmu golok dari Utti Keng lebih sempurna daripadanya, teknik menyerang pun lebih cepat dan jitu, pada hakikatnya tanpa pertahanan Ki See-kiat tak mampu memanfaatkan peluang baik itu untuk mencecar lawannya.
Dengan menggunakan jurus Cuan-jiu-cong-to-si tadi, Ki See-kiat menyangka musuhnya tentu akan menarik diri guna menyelamatkan diri, siapa tahu baru saja ujung goloknya menusuk ke bawah, sambaran golok lawan yang disertai de- singan angin tajam telah membacok ke atas kepalanya.
Berada dalam keadaan seperti ini, bukan ia yang memaksa musuh untuk menyelamatkan diri, justru sebaliknya dialah yang dipaksa oleh Utti Keng untuk menyelamatkan diri.
Dengan mengerahkan segenap kepandaian yang dimilikinya, Ki See-kiat menghindarkan diri dari dua jurusserangan yang pertama, tapi jurus ketiga telah memaksa seluruh tubuhnya terkurung di dalam serangan golok lawan.
Dalam keadaan apa boleh buat terpaksa dia harus menyambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
"Traanggg!"
Ketika sepasang golok saling membentur satu sama lainnya, terjadilah benturan nyaring yang mengakibatkan percik an bunga api ke empat penjuru.
Tubuh Utti Keng hanya bergetar sedikit akibat bentrokan itu, sebaliknya Ki See-kiat terdesak mundur sejauh tiga langkah.
Dalam pertarungan jago kenamaan, dilihat dari keadaan sekarang maka Ki See-kiat sudah dianggap kalah "setengah jurus" (Andaikata tubuh Utti Keng tidak bergerak sama sekali, maka Ki See-kiat akan dianggap kalah satu jurus penuh).
Dalam pada itu Lo Hi-hong telah menghitung dengan cepat dari tepi arena.
"Satu, dua, tiga empat, lima."
Terhitung berikut "jurus pembukaan"
Dari kedua belah pihak, bara lima jurus yang berlangsung.
walaupun kalah dua tiga jurus dalam pertarungan pertama belum bisa dikatakan kalah total dalam seluruh pertarungan, salah satu pihak harus dirobohkan atau sudah tak bertenaga lagi untuk memberikan perlawanan baru bisa dianggap kalah, tapi dalam lima jurus saja Ki See-kiat sudah kalah setengah jurus, hal ini kontan saja membuat hati Nyo toakoh dingin separuh.
Dia tahu lebih banyak ruginya daripada keuntungan dalam pertarungan tersebut, apalagi berharap putranya bisa bertahan seratus jurus hakikatnya hal itu lebih sukar daripada naik ke langit Pui Hou paling terkejut, dia tak menyangka golok mesrikanya yang begitu tajam dan biasanya memotong besibaja seperti memotong tahu, ternyata tidak berhasil mema- tahkan golok lawan yang begitu tumpul, bahkan golok tumpul Utti Keng sama sekali tidak rusak atau cedera barang sedikit punjua.
Tapi seandainya ia dapat melihat dengan lebih jelas lagi, mungkin dia masih akan lebih terperanjat lagi.
Sewaktu Ki See-kiat mundur tiga langkah dan memeriksa senjatanya tadi, ternyata golok tipis tersebut sudah cuil sebagian.
Hanya saja cuilan itu hanya berkisar sebesar kuku, maka kecuali dia, orang lain sama sekali tidak melihatnya.
Diam-diam Ki See-kiat menghembuskan napas dingin, pikirnya.
"Mungkin saja selisih tenaga dalam yang kami miliki tidak terlalu banyak, tapi golok tumpulnya itu benar-benar mustika, sampai pergelangan tanganku linu dan sakit, kalau dilihat dari kehebatan senjatanya, jelas bahan baja untuk membuat goloknya jauh di atas golok mestika milik Pui suko!"
Ternyata bukan hanya Ki See-kiat seorang yang kaget Utti Keng jauh lebih terperanjat lagi.
Tampaknya tenaga dalam yang dimiliki bocah muda ini berada di atasku, tak mungkin berada di bawahku.
Dalam bentrokan barusan, aku tak lebih hanya meraih keuntungan dari hal senjata, jadi sesungguhnya tak bisa dianggap masuk hitungan.
Coba kalau golok yang kugunakan bukan golok ini, jelas dalam ilmu golok mungkin saja aku masih mengunggulinya, tapi soal tenaga dalam, ia tak lebih lemah dari ku, kalau begini keadaannya, belum tentu aku bisa meraih kemenangan dalam seratus gebrakan saja,"
Demikian Utti Keng berpikir. Ternyata golok tumpul dari Utti Keng itu terbuat dari bahan inti baja yang sangat kuat. Meskipun dengan bentuk yangsama, namun "inti baja"
Biasanya berbobot sepuluh kali lipat lebih berat daripada besi baja biasa.
Inti baja merupakan benda yang langka dan sukar dijumpai di dunia, tigapuluh tahun berselang, Si Pek-tok seorang gembong iblis yang termasyhur pernah malang melintang dalam dunia persilatan dengan mengandalkan sebilah pedang inti baja yang berat, lihaynya bukan alang kepalang.
Kemudian pedang ini terjatuh ke tangan Kim Tiok-liu (Istri Kim Tiok-liu yang bernama Si Hong-ing adalah adik kandung Si Pek-tok, meski saudara sekandung namun cara kerja mereka berbeda).
Kim Tiok-liu adalah seorang jago pedang nomor wahid di jagat, tanpa mempergunakan pedang mestika pun sudah tiada tandingannya di kolong langit, itulah sebabnya pedang inti baja tersebut tak pernah muncul kembali dalam dunia persilatan.
Golok tumpul milik Utti Keng ini meski hanya mengandung dua bagian inti baja, namun untuk menghadapi senjata golok dan pedang biasa sudah lebih dari cukup, sekalipun pihak lawan menggunakan senjata mestika, andaikata tenaga dalamnya kalah, tetap saja senjata mereka tak sanggup menahan sekali bacokan golok inti bajanya ini.
Tentu saja Utti Keng dapat menjadi jago golok yang tiada taranya, terutama karena ilmu goloknya yang lihay, meski tak bisa disangkal goloknya yang berat itu sangat membantu dirinya.
Sedangkan golok tipis dari Pui Hou tersebut meski terbuat dari baja mumi, tapi bahan goloknya masih kalah dibandingkan dengan golok tumpul yang mengandung dua bagian inti baja tersebut.Pertama, golok mestika yang digunakan Utti Keng masih lebih kuat dibandingkan dengan golok mestika yang digunakan Ki See-kiat Kedua, Utti Keng .yang melihat Ki See-kiat masih muda dan menduga tenaga dalamnya tak mampu melebihi dirinya meski terhitung tidak lemah, maka Utti Keng mengira benturan tadi pasti akan menyebabkan golok mestika lawan patah menjadi dua.
Siapa tahu yang terjadi sama sekali di luar dugaannya.
Alhasil golok mestika yang dipakai Ki See-kiat cuma gumpil sebagian kecil, lagi pula dalam bentrokan tadi tubuh Utti Keng kena terhisap oleh tenaga dalam lawan sehingga turut bergetar keras.
Sebagai seorang ahli ilmu silat dengan dasar kedua hal tersebut.
Utti Keng segera mengetahui kalau tenaga dalam lawannya berada di atasnya dan tak mungkin berada di bawahnya.
Cuma saja, walaupun hasil dari bentrokan ini jauh di luar dugaan Utti Keng, tapi setelah sepasang golok itu saling beradu, dia makin yakin kalau kemenangan sudah pasti berada di pihaknya.
Dalam hati dia pun lantas berpikir.
"Walaupun tenaga dalam yang dimiliki bocah ini tidak lebih lemah daripadaku, sayang caranya menggunakan tenaga dalam masih belum mencapai tingkatan yang paling tinggi. Ilmu golok serta pengalamannya dalam menghadapi musuh pun tidak melebihi aku! Tahu begini, buat apa aku mesti menentukan batas seratus jurus dengannya hanya untuk menjaga nama? Duapuluh gebrakan pun belum tentu ia sanggup mempertahankan diri!"Sementara Ki See-kiat mundur tiga langkah, Utti Keng telah berseru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh anak muda, berdiri dulu yang tenang sebelum kita lanjutkan."
Sedang Lo Hi-hong yang berada di sisi arena berkata kepada putrinya dengan lantang.
"Keistimewaan ilmu golok Lak-hap-to dari keluarga Ki adalah kerapatan permainan golok, dengan pertahanan lebih banyak ketimbang penyerangan. Seandainya tidak terburu-buru ingin mencari kemenangan, sekalipun bertemu dengan musuh yang berilmu silat lebih tinggi daripada diri sendiri pun tak bakal menderita kekalahan. Sebentar kau perhatikan permainan itu baik-baik, sudah pasti banyak manfaat yang dapat kau raih. Bukankah begitu Nyo toakoh?"
Tentu saja Nyo toakoh mengerti maksud dari pembicaraannya itu, walaupun di luaran dia bermaksud memberi petunjuk kepada putrinya, yang benar petunjuk tersebut ditujukan buat Ki See-kiat.
"Benar sekali,"
Kata Nyo toakoh cepat-cepat.
"Paling pantang bagi orang yang menggunakan ilmu golok ini adalah pikiran kalut dan terpengaruh oleh nafsu, putraku masih belum berhasil menguasai dua bagian kemampuan yaya-nya, belum tentu dia memahami arti dari kata-kata tersebut."
Sifat memberi petunjuknya tampak semakin nyata lagi dengan diutarakannya perkataannya tersebut. Sambil tertawa dingin Ki Seng-in segera berseru.
"Hmm, ilmu golok Lak-hap-to juga pantas dibanggakan? Benar-benar katak dalam sumur. Sekalipun Su-hay-yu-liong (Naga Pesiar Empat Samudra) Ki Kian-yap menggunakan ilmu golok itu sendiri, belum tentu ia sanggup menahan seratus jurus serangan suamiku!"Merah padam selembar wajah Nyo toakoh karena mendongkol, baru saja dia akan mengajak Ki Seng-in beradu mulut, tampak Ki See-kiat sudah bertarung kembali melawan Utti Keng. Dalam pertarungan kali ini, Ki See-kiat telah menuruti petunjuk ibunya dan lebih baik bertahan daripada menyerang. Menyaksikan hal itu, Nyo toakoh segera berpikir.
"Nah begini baru betul, dalam permainan senjata tadi Kiat-ji memang tidak menderita kerugian apa-apa, siapa tahu ia dapat bertahan sampai seratus gebrakan."
Padahal dalam hal senjata pun Ki See-kiat menderita kerugian besar, cuma saja hal ini tidak diketahui olehnya.
Utti Keng masih tetap membacok dengan golok kilatnya, ketika mencapai jurus keenam (jadi berikut serangan sebelumnya menjadi sebelas jurus) tiba-tiba terdengar suara bentrokan nyaring.
"Traang traang!"
Di antara dentingan nyaring yang disertai percikan bunga api, golok lemas Ki See-kiat kena terbentur lagi oleh golok tumpul lawan sehingga kali ini timbul dua gumpilan kecil.
Dengan lemas Nyo toakoh duduk kembali di kursinya, sekarang dia tahu kalau ucapan Ki Seng-in bukan bualan belaka, dalam hati kecilnya dia lantas berpikir, Tenaga dalam yang dimiliki Kiat-ji sekarang masih belum mampu menandingi kemampuan yaya-nya di masa jaya dulu, tapi sekalipun permainan golok Lak hap-to-nya sudah hampir menyamai yaya-nya, belum tentu dia sanggup menahan serangan dari perampok Kwangtang ini sebanyak duapuluh gebrakan."Mendadak terdengar Lo Hi-hong berseru tertahan, lalu teriaknya.
"Aah, ilmu golok apakah yang digunakan putramu? Belum pernah kulihat ilmu golok semacam ini!"
Nyo toakoh membelalakkan matanya lebar-lebar, dia sendiri pun tidak tahu ilmu golok apakah yang telah dipergunakan oleh putranya.
Bukan cuma dia saja yang tidak tahu, bahkan Utti Keng yang berpengetahuan jauh lebih luas daripada dirinya pun tidak tahu.
Ternyata Ki See-kiat yang merasa ilmu golok Lak-hap-to tak akan mampu menghadapi golok kilat dari Utti Keng, ia lantas mengubah kepandaiannya dengan mempergunakan ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, ilmu pedang Peng-coan-kiam- hoat yang diubah menjadi ilmu golok.
Ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat hasil ciptaan Kui Hoa- seng suami istri telah disimpan dalam gua salju di bawah Kota Iblis, dalam dunia saat ini hanya Ki See-kiat seorang yang pernah menyaksikan ilmu pedang Peng-coan-kianvhoat tersebut selengkapnya, tak heran kalau Utti Keng tak mengetahui akan hal ini.
Sekarang dia telah melebur jurus pedang itu ke dalam jurus golok, sementara kesaktian jurus masih dinomorduakan, setelah beberapa gebrakan kemudian, barulah desingan angin goloknya mulai membawa hawa dingin yang merasuk tulang sumsum.
Hal itu kontan membuat Utti Keng merasa makin terperanjat bercampur heran.
Kalau berbicara soal keindahan jurus belaka, golok kilat dari Utti Keng sama sekali tidak lebih jelek daripada ilmu pedang Peng-coan-kiam-hoat, sekalipun mungkin lebih rendah sedikit,hal itu tak akan sampai mengejutkan tokoh aneh dari dunia persilatan yang sudah banyak berpengalaman ini.
Tapi begitu ilmu golok lawan dikembangkan, dia segera merasakan munculnya hawa dingin yang aneh, bahkan angin aneh itu bukan muncul dari angin golok melainkan dari golok itu sendiri, perasaan inilah yang membuatnya jadi kebingungan.
Cuma Utti Keng sudah amat berpengalaman di dalam menghadapi beratus-ratus pertempuran, apa yang dirasakannya sekarang tak lebih hanya rasa "kedinginan"
Be- laka, terhadap tenaga dalamnya sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa. Seaneh-anehnya ilmu golok yang dimiliki Ki Sce-kiat, ilmu golok kilatnya masih sanggup untuk menghadapi.
"Ooh, sayang!"diam-diam Ki See-kiat berpekik dalam hati kecilnya.
"Seandainya aku mempunyai pedang inti es Peng- pok-han-kong-kiam, kendatipun tak bisa mengalahkan Kwangtang tayhiap ini, paling tidak juga tak akan menderita kekalahan!"
Berbeda dengan Utti Keng, ia bukan khawatir tak bisa mengalahkan anak muda itu, melainkan takut jika dalam seratus gebrakan gagal merobohkan si anak muda tersebut. Lo Hi-hong menghitung terus engan cepat.
"Sebelas, duabelas, tigabelas duapuluh dua, duapuluh tiga, duapuluh empat duapuluh delapan, duapuluh sembilan, tiga-puluh."
Tak selang berapa saat kemudian, genaplah mereka bertarung sebanyak tigapuluh gebrakan.
Jian-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Seribu) yang selama ini acuh tak acuh, kini mulai tampak gelisah."Heran, mengapa ilmu golok bocah muda itu sedemikian anehnya? Tampaknya ia benar-benar mampu untuk menyambut seratus jurus serangan toako."
Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, terlihat Utti Keng telah memutar goloknya secepat angin, lagi- lagi dia melancarkan enam buah bacokan berantai.
Di dalam mempergunakan ilmu golok kilatnya, sudah menjadi kebiasaan bagi Utti Keng untuk sekaligus melancarkan tiga serangan atau enam serangan berantai, namun dalam melepaskan enam bacokan berantai sekarang, tampaknya telah terjadi sedikit perubahan.
Lima buah bacokan pertama dilepaskan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, sedang bacokan yang keenam, mendadak dilancarkan lebih lamban.
Mendadak terdengar ia membentak keras.
"Patah!"
Menyusul kemudian berkumandang serentetan suara gemerincing yang memekakkan telinga.
Ternyata golok mestika yang berada di tangan Ki See-kiat benar-benar terpapas kutung menjadi dua bagian, bekas bacokan itu rata dan halus, ternyata golok berkarat yang tumpul itu jauh lebih unggul dibandingkan dengan mata golok yang berkilauan tajam Ternyata pengalaman Utti Keng dalam menghadapi musuh jauh lebih matang ketimbang Ki See-kiat, dia pandai sekali meminjam tenaga untuk menghantam lawan.
Pada kelima buah serangan berantai yang pertama tadi, secepat kilat dia mengancam tiga bagian tubuh dari anak muda tersebut, menanti Ki See-kiat telah mengerahkan tenaga dalamnya hingga mencapai pada puncaknya, dan menangkisserangan goloknya yang kelima dengan jurus Ki-hwee-liau- thian (Mengangkat Obor Membakar Langit) tiba-tiba saja serangannya yang terakhir itu diubah mengancam tubuh bagian bawah.
Tentu saja Ki See-kiat harus membalikkan goloknya sambil menangkis, oleh karena kecepatannya tidak mengungguli lawan, maka kedua gulung tenaga dalam tersebut berubah jadi sama-sama menekan ke bawah.
Di saat inilah dia menggetarkan goloknya lebih keras hingga menambahkan besarnya daya ketokan ke bawah, akibatnya golok mestika Ki See-kiat memperoleh tekanan yang berlipat ganda, alhasil patahlah golok mestika itu menjadi dua bagian.
Pada detik inilah semua orang sama-sama dibuat tertegun oleh peristiwa tersebut.
Yang paling sakit hati tentu saja Pui Hou, golok mestika itu dibelinya dengan harga delapanribu tahil perak "Ooh delapanribu tahil perak, delapanribu tahil perak, tak kusangka harus lenyap dengan begitu saja!"
Delapanribu tahil perak saja sudah membuatnya sakit hati, apalagi masih ada sepuluh laksa tahil perak yang bakal dibayar belakangan.
Andaikata Ki See-kiat kalah, tentu saja dia harus membayar kekalahan tersebut Begitu berhasil mematahkan golok mestika anak muda tersebut Utti Keng segera melompat mundur dan berseru sambil tertawa.
"Lo Hi-hong, semuanya berapa jurus?"
Lo Hi-hong tak berani menjawab, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa. Sambil tertawa Ki Seng-in segera berseru.
"Tigapuluh enam jurus!"Sebetulnya Nyo toakoh telah bersiap sedia, begitu keselamatan jiwa putranya terancam, dia akan segera menerjang ke tengah arena untuk beradu jiwa dengan Utti Keng, maka ketika dilihatnya Utti Keng mengundurkan diri, dia pun menghembuskan napas lega. Nama baik memang penting, tapi keselamatan putranya jauh lebih penting lagi, sedikit banyak Nyo toakoh berterima kasih juga kepada Utti Keng karena telah mengampuni jiwa putranya. Tapi di saat dia hendak mewakili putranya untuk mengaku kalah, mendadak terlihat olehnya Ki See-kiat sedang membuang kutungan goloknya ke luar gelanggang, kemudian menubruk maju lagi ke depan.
"Tunggu sebentar!"
Utti Keng segera membentak.
"Betul ilmu golokku kalah di tanganmu, tapi aku masih mempunyai sepasang telapak tangan, aku masih mampu untuk melanjutkan pertarungan, Siapa yang menerapkan peraturan bahwa senjata yang patah adalah pihak yang kalah?"
Bantah Ki See-kiat.
"Aku bukan bermaksud demikian,"
Kata Utti Keng sambil tertawa.
"Lantas mengapa kau enggan melanjutkan pertempuran?"
Sebetulnya kalah dalam jurus serangan bukan berarti kalah menang sudah ditetapkan, apalagi sejak awal Ki See-kiat sudah mengatakan akan menghadapi serangan golok lawan dengan tangan kosong.
Dengan diutarakannya perkataan tersebut, tiada orang yang bisa bilang kalau dia tak tahu aturan atau melanggarjanji, tapi tentu saja Nyo toakoh tak berani membiarkan pu- tranya melanjutkan pertarungan itu.
"Golok mestika yang dipakai Utti sianseng-lah baru merupakan golok mestika yang sesungguhnya! Hari ini, kami benar-benar merasa terbuka mata kami! Anak Kiat Lak-yang- jiu dari keluarga kita hanya bisa dipakai untuk menghadapi golok biasa, lebih baik kau mengaku."
Perlu diketahui, meskipun Nyo toakoh belum pernah melihat golok inti baja, namun ia sebagai seorang angkatan tua, tentu saja pernah mendengar tentang kehebatan dari inti baja tersebut Dengan mengandalkan pengetahuannya yang luas, dia lantas menduga bahwa di balik golok mestika yang digunakan Utti Keng sekarang sudah pasti ada campuran inti bajanya.
Tapi kata "kalah"
Belum sempat diutarakan keluar, Ki See- kiat telah berteriak lantang.
"Ibu, kau tak usah mempedulikan diriku, aku tak akan mengaku kalah!"
Utti Keng segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh yang kunantikan adalah ucapanmu itu!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, termasuk Ki See-kiat sendiri turut menjadi tertegun. Terdengar Utti Keng berkata lebih jauh.
"Apa yang diucapkan ibumu tepat sekali, aku memang mencari keuntungan dengan mengandalkan golok mestika tersebut, kalau bukan demikian, bagaimana mungkin aku berhasil mengungguli kau dalam tigapuluh enam gebrakan saja? Sekarang kau berhasrat menantang aku bertarung ilmu pukul- an, tentu saja aku hanya bisa menerima tantangan mu dengan tangan kosong juga, masa aku harus mencari keuntungan lagi dengan mengandalkan golok mestika tersebut?"Sementara pembicaraan masih berlangsung, dia telah memasukkan golok ke dalam sarung dan melemparkan ke arah istrinya, Ki Seng-in.
"Utti tayhiap, kau benar-benar seorang pendekar yang berjiwa ksatria,"
Ki See-kiat segera memuji.
"Aku tahu, pertarungan macam apa pun yang dilangsungkan, tak nanti aku bisa mengalahkan dirimu, tapi sekalipun tak mampu aku harus bertarung juga, bukan untuk orang lain, tapi untuk ilmu silat keluargaku, aku tak boleh membiarkan orang lain memandang rendah kami! "Kendatipun hari ini yaya tidak ikut datang, aku pun harus mencarikan nama baik untuknya."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terutama tentang perkataannya "bukan untuk orang lain", dalam pendengaran Pui Hou, rasanya ucapan itu amat tak sedap didengar, tentu saja berakibat hatinya tersinggung. Dengan wajah bersungguh-sungguh Utti Keng berkata lagi.
"Ki lote, aku pun menghormati kau sebagai enghiong muda, aku pun minta maaf bila ada ucapanku tadi yang menyinggung nama baik kakek serta ibumu. Baiklah, sekarang kau boleh mulai menyerang."
Dengan kedudukan Utti Keng yang terhormat, ternyata minta maaf terhadap seorang "angkatan muda", peristiwa semacam ini boleh dibilang baru berlangsung untuk pertama kalinya.
Kendatipun Ki See-kiat menderita kekalahan dalam peristiwa ini, dia kalah secara terhormat.
Ki See-kiat segera membuat satu gerakan lingkaran busur dengan telapak tangan kirinya, sementara tangan kanan bergerak ke muka menerobos lingkaran busur tadi,serunya dengan lantang.
"Biar boanpwe menghadapi Utti tayhiap dengan mengandalkan Lak-yang-jiu keluarga kami!"
Sebutan "Lak-yang-jiu"
Itu kembali menimbulkan perasaan hangat dan lega dalam hati Nyo toakoh, tanpa terasa ah* mata mengembang di dalam kelopak matanya.
Setiap orang tahu, ilmu Lak-yang-jiu yang dipelajari Ki See- kiat diperoleh dari ibunya, siapa pun dapat memahami bahwa Ki See-kiat sengaja mengucapkan perkataan itu karena dia hendak membalaskan sakit hati ibunya.
"Kukira di dalam hati kecilnya hanya ada siluman perempuan itu seorang, ternyata dia tetap adalah putraku yang terbaik! Untuk membalaskan sakit hatiku, dia tak segan- segannya menyerempet bahaya dan mempertaruhkan jiwa raganya"
Menyusul kemudian Nyo toakoh berpikir lebih jauh.
"Kalau kudengar dari nada pembicaraan Utti Keng, tampaknya dia sangat menghormati anak Kiat, malah terhadap aku pun ikut menjadi sungkan, rasanya tak mungkin dia akan mencelakai jiwa anak Kiat."
Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, Ki See-kiat telah bertarung sengit melawan Utti Keng.
Lak-yang-jiu terdiri dari jurus dengan enam gerakan, ilmu pukulan itu merupakan ilmu pukulan yang terumit perubahannya, mengandung pelbagai unsur rahasia ilmu silat pelbagai perguruan.
Begitu Ki See-kiat turun tangan, empat arah delapan penjuru segera dipenuhi oleh bayangan telapak tangannya.
Berbicara soal ilmu pukulan, mungkin Ki See-kiat belum dapat mengungguli ibunya, tapi berbicara soal kekuatan, diajauh lebih tangguh.
Di mana angin pukulannya menyambar lewat, daun dan bunga berguguran ke tanah.
Utti Keng segera memuji.
"Ilmu pukulan Lak-yang-jiu dari keluarga Nyo memang terhitung ilmu silat yang nomor satu dalam dunia persilatan, sayang tiada pewaris yang bagus di masa lalu, tapi aku yakin mulai saat ini kepandaian ini akan berjaya kembal i." Terima kasih atas pujianmu."
Sementara pembicaraan berlangsung, dia telah melancarkan tiga jurus dengan delapanbclas gerakan serangan.
"Tigapuluh tujuh, tigapuluh delapan, tigapuluh sembilan, empat-puluh."
Lo Hi-hong menghitung terus tiada hentinya Mendadak Pui Hou teringat akan sesuatu, serunya.
"Utti sianseng, apakah seratus jurus yang kau tentukan itu berikut juga ketigapuluh enam gebrakan yang telah berlangsung tadi?"
Utti Keng segera tertawa terbahak-bahak.
"Haah haah haah, tentu saja sekalian dihitung, adik In, ingat baik-baik, kini adalah jurus yang keempatpuluh enam."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, dia telah melepaskan enam buah serangan balasan.
Tiba-tiba telapak tangannya berubah, kali ini semua orang merasakan pandangan matanya menjadi kabur dan berkunang-kunang.
Rupanya dia telah mengeluarkan ilmu pukulan ciptaan sendiri yang gerakan serangannya menyerupai bacokan, babatan, tebasan, tangkisan, pukulan maupun ledakan, yang dipakai semuanya adalah ilmu golok.Kecepatan geraknya tidak berada di bawah gerakan ilmu golok.
Dengan mengandalkan tenaga dalamnya, bila seseorang sampai terkena bacokan telapak tangan golok"nya, niscaya akibat yang diperoleh tak.
jauh berbeda dengan terkena bacokan golok inti baja.
Jika tadi dia masih menggunakan sebilah golok, maka sekarang dia memakai sepasang telapak tangan yang tak ubahnya seperti dua buah "telapak tangan golok"
Saja, di mana angin pukulannya menderu-deru, terasa mengerikan sekali bagi siapa pun yang memandangnya.
Dari sini bisa dilihat kalau ilmu silatnya tak berada di bawah keampuhan Lak-yang-jiu Ki See-kiat, bahkan bisa jadi jauh di atasnya.
Nyo toakoh merasakan jantungnya berdebar keras dengan perasaan yang amat khawatir.
"Bisa jadi Utti Keng akan mengampuni selembar jiwanya."
Demikian dia menduga-duga sendiri Tapi, siapa pula yang bisa menebak perasaan hati Utti Keng yang sebenarnya? Di bawah kurungan dan bacokan yang begitu ganas dari ilmu telapak tangan golok lawan, asal putranya sedikit saja kurang berhati-hati, niscaya dia akan tewas bermandikan darah.
Tampak Ki See-kiat mundur terus ke belakang, sementara pukulan yang dilancarkan Utti Keng makin lama semakin cepat, kian lama kian bertambah gencar, namun telapak tangan kedua belah pihak jarang sekali saling membentur.Ilmu telapak tangan golok yang dilancarkan Utti Keng secepat kilat itu seakan-akan ditujukan semua ke bagian tubuh yang mematikan di tubuh lawan, di bawah ancaman dan desakan macam ini, untuk bertahan saja Ki See-kiat sudah kerepotan, mana mungkin ia bisa melancarkan serangan balasan lagi? Kalau dilihat keadaan ini, agaknya setiap saat ada kemungkinan Ki See-kiat bakal terluka di ujung pukulan telapak tangan golok lawan.
Yang membuat Nyo toakoh rada tentram adalah langkah kaki putranya yang tak menjadi kacau atau gugup meski harus mundur terus berulang kali.
Nyo toakoh bisa melihat bahwa setiap langkahnya dilakukan mengambil posisi Ngo-heng-pat- kwa, tiap langkah dia mundur ke belakang, setiap kali dia berhasil memunahkan sebagian dari tenaga serangan lawan.
Namun tenaga serangan yang dilancarkan Utti Keng ibarat air bah di sungai Huangho, menggulung ke depan dengan amat dahsyatnya.
Satu gelombang baru menggulung lewat, gelombang lain telah menyusul tiba, baru saja scgulung tenaga pukulan dipunahkan, serangan berikut yang jauh lebih ganas dan dahsyat telah menyambar tiba Nyo toakoh masih dapat melihat kalau putranya masih memiliki kemampuan untuk memunahkan serangan lawan, sebaliknya orang lain tak berhasil melihat apa-apa bahkan pandangan seperti Nyo toakoh pun tidak diperoleh.
Lo Hi-hong jadi terkesiap sekali, saking kagetnya dia sampai terbelalak dengan mulut melongo, pada hakikatnya lupa untuk menghitung jumlah jurus serangan yang digunakan.Padahal sekalipun ia bisa menghitung dengan tenang pun tak bisa terhitung, sebab gerak serangan dari Utti Keng benar- benar ke lewat cepat.
Siapa tahu sementara semua orang mengkhawatirkan keselamatan Ki See-kiat, sebaliknya Utti Keng sendiri pun diam-diam mengeluh.
Ternyata ilmu pukulan Lak-yang-jhi masih lebih unggul ketimbang ilmu golok Lak-hap-to, ditambah lagi kemampuan Ki See-kiat dalam permainan ilmu pukulan jauh lebih ampuh dari ilmu goloknya Tapi yang paling menguntungkan baginya adalah Lak-yang- jiu pada dasarnya merupakan ilmu pukulan yang berhawa keras, ketika dikombinasikan dengan tenaga dalam Liong-siu- kang tingkat dela-pannya, menyebabkan kekuatannya berlipat ganda hal ini menyebabkan tenaga dalamnya tidak lebih rendah daripada Utti Keng.
Bagi pandangan orang lain, ilmu ciang-to atau pukulan golok dari Utti Keng sangat berat dan mantap melebihi golok inti bajanya tapi dalam kenyataan perbedaan masih tetap ada Bagaimanapun juga memainkan ilmu golok dengan telapak tangan tak akan bisa lebih tangguh daripada mempergunakan golok yang sebenarnya Ilmu telapak tangan masing-masing orang mempunyai ciri dan keistimewaan tertentu, sedang tenaga dalam pun berada dalam keseimbangan, apalagi ilmu pukulan merupakan kepandaian andalan Ki See-kiat, maka kalau dibicarakan yang sebenarnya anak muda tersebut tidak menderita kerugian apa- apa Yang paling merugikan Ki See-kiat adalah pengalamannya yang dangkal dalam menghadapi musuh, selain daripada itutenaga dalamnya yang digunakan juga belum mencapai taraf seleluasa Utti Keng.
Tetapi kalau diperhitungkan dari keuntungan serta kerugiannya, Ki See-kiat tak jauh ketinggalan.
Tapi Utti Keng khawatir bila gagal mengalahkan pemuda tersebut dalam seratus gebrakan, soal ilmu golok dia yakin dan merupakan andalannya tapi soal ilmu pukulan ia tak punya pegangan apa-apa karenanya dia harus bertarung semakin cepat, tiap serangan yang dilancarkan memaksa musuh untuk menyelamatkan diri, alasannya dia mencoba menghindari bentrokan dengan ilmu Liong-siu-kang pemuda itu, sebab makin berkurangnya tenaga dalamnya berarti makin tipis harapannya meraih kemenangan.
Ki See-kiat kurang berpengalaman, setelah kena didesak sampai keteter hebat dan ia cuma mampu menangkis serta bertahan belaka, sedikit banyak hatinya mulai gugup.
Di bawah desakan serta serangan Utti Keng yang melanda datang seperti angin puyuh itu, kendatipun Lak-yang-jiu dari Ki See-kiat memiliki perubahan jurus yang rumit, tak urung ia keteter juga sampai dibikin kelabakan setengah mati..Di tengah pertarungan, mendadak terdengar suara baju yang tersambar robek "Breeett!"
Rupanya ujung jari tangan Utti Keng berhasil merobek pakaian Ki See-kiat sepanjang lima inci lebih, masih untung pemuda itu segera berkelit, kalau tidak, hampir saja urat nadi pada pergelangan tangannya kena terluka oleh sambaran ilmu "ciang to"nya Ki See-kiat terperanjat sekali, segera pikirnya "Seandainya menggunakan ilmu golok, mungkin lenganku telah berpisah dengan badan! Apa yang dia katakan memang benar, dalam kolong langit dewasa ini memang belum ada orang yang mampumenyambut seratus jurus serangan golok kilatnya dengan mempergunakan ilmu Ki-na-jiu-hoat!"
Nyo toakoh yang berdiri di sisi arena merasakan jantungnya seakan-akan hendak melompat keluar dari rongga dadanya, apalagi Lo Hi-hong, dia merasakan hatinya bergidik. Yang paling mengenaskan adalah Pui Hou, waktu itu dia hanya bisa berpikir.
"Sepuluh laksa tahi! perak, aah tampaknya aku pasti kalah, aku harus membayar sepuluh laksa tahi! perak, aku tetap akan kalah!"
Tiba-tiba Lo Pek-soat bertanya "Ayah, sudah berapa jurus?"
Lo Hi-hong menjadi terbelalak dengan mulut melongo, sesaat kemudian dia baru berkata "Aku-aku lupa menghitung, mungkin-mungkin hampir mencapai seratus jurus."
Utti Keng seperti teringat pula akan hal itu, buru-buru dia turut bertanya.
"Adik In, sudah berapa jurus?"
"Seratus delapan jurus!"
Sahut Ki Seng-in.
Kiranya di saat terakhir, Utti Keng makin bertarung semakin cepat, pada saat dia bertanya kepada isterinya, baru mencapai sembilan-puluh delapan jurus, tapi di saat Ki Seng-in menjawab, dia telah melancarkan sepuluh jurus serangan lagi.
Sementara suami istri itu sedang berbicara, pikiran Utti Keng telah bercabang karena harus berbicara, permainan goloknya menunjukkan setitik lubang kelemahan yang tidak begitu kentara.
Namun bagi orang yang berilmu silat tinggi, kesempatan semacam ini tak akan disia-siakan dengan begitu saja, apalagi di saat yang terakhir Ki See-kiat memusatkan segenap per- hatiannya ke tengah arena, begitu melihat datangnya titik kelemahan, serta merta ia manfaatkan peluang tersebutTerdengar Utti Keng membentak keras, sepasang telapak tangannya didorong berbareng ke depan.
Tubuh Ki See-kiat segera mencelat ke udara dan menumbuk sebatang pohon besar "Kraaakkk!"
Sebatang dahan pohon sebesar lengan bocah kena tertumbuk sampai patah menjadi dua bagian. Rupanya Utti Keng telah menggunakan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga. Setelah itu, sambil meluruskan lengannya ke bawah, Utti Keng berkata.
"Betul-betul kepandaian yang bagusi Enghiong memang muncul di saat muda, kini seratus duabelas jurus sudah lewat, aku Utti Keng mengaku kalah!"
Sebenarnya Lo Hi-hong lupa menghitung jurus, di dalam keadaan begini bisa saja Ki Seng-in menyebutkan angka yang tidak sebenarnya, namun kenyataannya, kendatipun perempuan itu berharap suaminya menang, ia toh mengaku juga dengan sejujurnya.
Nyo toakoh merasa malu di samping berterima kasih kepadanya, diam-diam ia berpikir.
"Coba kalau berganti aku, sudah pasti aku akan membela orangku sendiri."
Dia bukan berterima kasih kepada Ki Seng-in saja, terlebih- lebih kepada Utti Keng.
Sebetulnya ilmu pukulan golok dari Utti Keng bisa dilancarkan enam buah jurus serangan sekaligus, tapi dalam serangannya yang terakhir tadi, dia ha- nya melancarkan empat jurus untuk memukul mundur Ki See- kiat, sedang dua jurus serangan yang terakhir tidak dilanjutkan.
Coba kalau bukan begitu, mungkin Ki See-kiat kalau tidak mampus sudah pasti akan terluka parah.Kini Utti Keng telah mengaku kalah, sepantasnya pihak keluarga Pui merasa kegirangan setengah mati.
Namun "kemenangan"
Tersebut diperpleh sama sekali di luar dugaan, agaknya setiap orang terpengaruh oleh kegagahan serta keju- juran Utti Keng, dalam waktu singkat suasana di sana malah berubah menjadi sunyi senyap tak terdengar suara sedikit pun.
Sesudah termangu sesaat, akhirnya Nyo toakoh baru berkata.
"Anak Kiat, kau tidak apa-apa bukan?"
Meskipun dia dapat melihat kalau putranya tidak cedera, namun perasaannya belum lega seratus persen.
Mungkinkah putranya yang kena dilempar ke belakang oleh tenaga pukulan lawan menderita cedera dalam yang tak tampak mata telanjang? Ki See-kiat menghembuskan napas panjang, sahurnya.
"Utti tay-hiap tidak turun tangan keji, syukur ananda tidak menderita cedera apa-apa."
Selesai berkata dia kembali ke sisi tubuh ibunya. Sekarang Nyo toakoh baru bisa menghembuskan napas panjang dan merasa lega sekali. Saat itulah, Utti Keng baru pelan-pelan berkata.
"Pui toa- caycu, anggap saja kejadian ini merupakan rejekimu, untung ada sute-mu yang telah membantumu!"
Berbicara sampai di situ, sambil berpaling katanya lagi kepada Ki See-kiat.
"Ki lote, kau sanggup menerima duabelas jurus tambahan di luar batas seratus jurus yang kita tetapkan, hal ini boleh dibilang hal yang luar biasa sekali, mungkin tiada orang kedua di antara kaum muda dalam dunia persilatandewasa ini yang sanggup menandinginya Aku hanya berharap kau bisa memanfaatkan ilmu silatmu dengan sebaik-baiknya!"
Maksud dari ucapan itu jelas menunjukkan betapa tidak puasnya pendekar besar itu lantaran anak muda tersebut telah melindungi seorang hartawan durjana Buru-buru Ki See-kiat menjura dalam-dalam, sahurnya.
"Nasihat cianpwe akan boanpwe ingat selalu di dalam hati. Hari ini boanpwe hanya bertindak atas perintah ibuku, harap Utti tayhiap maklum"
Di balik ucapan itu pun, dia seolah-olah menunjukkan kalau hanya akan terjadi satu kali, lain kali tak mungkin bisa terjadi lagi. Utti Keng segera berseru.
"Adik In, mari kita pergi!"
"Tunggu sebentar!"
Mendadak Ki Seng-in berseru.
"Aku masih ada persoalan yang hendak kusampaikan!"
Ucapan yang diutarakan Jian-jiu-Koan-im secara tiba-tiba ini kontan saja mengejutkan semua orang.
Perlu diketahui, ilmu melepaskan senjata rahasia yang dimiliki Ki Seng-in lihay sekali dan tiada tandingannya di kolong langit, ilmu silat yang dimiliki pun cuma setingkat di bawah suaminya.
Baru saja Ki See-kiat melangsungkan suatu pertempuran sengit, paling tidak tenaga dalamnya sudah berkurang separuh, andaikata perempuan itu tak mau menyudahi persoalan sampai di sini saja, atau menerbitkan persoalan baru, siapakah yang akan mampu menghadapinya? Buru-buru Pui Hou berseru.
"Utti tayhiap, kau sudah bilang hanya akan bertanding satu babak suami istri asalnya satu, kalian tak boleh mencari gara-gara di sini.""Hmmm, apa yang pernah dibilang suamiku?"
Jengek Ki Seng-in dingin.
"Dia bilang, jika menang kalah sudah ditentukan maka persoalan di sini pun dianggap selesai, sepeser uang tembaga pun dia tak sudi mengambil, di samping itu dia pun tak akan pernah melangkah masuk ke halaman rumahku lagi!"
"Walaupun kami suami istri berdua seringkah turun tangan bersama, ada kalanya masing-masing pihak bekerja sendiri- sendiri. Kali ini dia hanya mengabulkan permintaanmu, sebetulnya aku masih berhak untuk melakukan transaksi denganmu, tapi memandang wajah suamiku, maka apa yang telah dia sanggupi, akan kuturuti pula!"
Sementara perempuan itu berbicara, Pui Hou merasakan hatinya berdebar keras, tapi sampai akhirnya dia baru menghembuskan napas lega. Segera pikirnya.
"Kau bilang hendak menuruti semua perjanjian, bukankah berarti persoalan telah beres?"
Terdengar Ki Seng-in berkata lebih jauh.
"Apa yang hendak kukatakan adalah persoalan yang tidak ia janjikan kepadamu. Pertama, aku tak sudi uangmu. Kedua, aku pun tak sudi melangkah masuk ke dalam halaman rumahmu, tapi aku pun melarang kalian melakukan perbuatan durjana lagi diluaran!"
"Aku orang she Pui tidak berani, aku orang she Pui tidak berani!"
Buru-buru Pui Hou berseru. Sambil tertawa dingin kembali Ki Seng-in berkata.
"Aku tahu kalau kau tak berani, coba lihat akibatnya bila kau berani nekat!"
Berbicara sampai di situ, dia lantas menuding ke arah sebatang pohon bunga tho seraya menambahkan.
"Dalam sekali ayunan tangan, akan kurontokkan delapanbelas kuntum bunga tho!"Pohon itu penuh dengan bunga tho, sedemikian rapatnya bunga yang tumbuh di situ paling tidak mencapai seratus kuntum lebih. Merontokkan bunga tho bukan suatu pekerjaan yang sulit, tapi kalau ingin merontokkan delapanbelas kuntum bunga tho tanpa menimbulkan gelombang serta berakibat rontoknya bunga lain, pekerjaan itu boleh dibilang sulit sekali. Apalagi dia sudah menerangkan hanya di dalam "sekali ayunan tangan"
Saja.
Tanpa terasa semua orang membelalakkan matanya lebar- lebar, mereka ingin melihat kelihayan yang hendak dilakukan olehnya.
Tampak perempuan itu mengayunkan tangannya, cahaya emas segera berkilauan, sekuntum demi sekuntum bunga tho jatuh berguguran ke atas tanah.
"Pui toa-caycu!"
Kembali Ki Seng-in membentak.
"Biasanya kau paling cermat dalam soal hitung-menghitung, coba kau hitung jumlah bunga tho yang rontok itu."
Pui Hou tak berani menampik, terpaksa dia maju untuk menghitung jumlahnya, setelah dihitung segera katanya,"
Aah, benar, persis jumlahnya mencapai delapanbelas kuntum."
"Kau boleh mengambil bunga-bunga tersebut dan coba periksalah lebih seksama lagi!"
Pui Hou mengambil tiga kuntum bunga tho dan diserahkannya kepada Nyo toakoh dan Lo Hi-hong untuk diperiksa bersama.
Tampaklah sebatang jarum emas yang amat kecil masing- masing menembus putik bunga di balik tiap kuntum bunga tho tersebut, padahal jarum bunga bwe adalah senjata rahasiayang paling lembut, biasanya hanya bermanfaat dipakai untuk jarak dekat, selain itu tenaga sambitannya pun begitu besar.
Tapi sekarang, dia telah mempergunakan senjata rahasia yang paling lembut untuk menghajar ranting pohon yang berada tigapuiuh langkah jauhnya bahkan berhasil menembusi setiap putik bunga yang kena dihajar tanpa merusak ujud bunga tho tersebut, apalagi delapanbelas kuntum bunga diserang bersamaan waktunya, kepandaian ilmu melepaskan senjata rahasia semacam ini boleh dibilang benar-benar mengerikan sekali.
Jangankan Pui Hou, bahkan Lo Hi-hong yang berpengetahuan sangat luas pun belum pernah mendengar kepandaian selihay ini.
Pada saat itulah sambil tertawa dingin Ki Seng-in baru melanjutkan kembali kata-katanya.
"Seandainya kusaksikan ada orang dari keluarga Pui berani membuat keonaran atau tindakan durjana lagi diluaran, terutama sekali perbuatan yang memeras rakyat jelata, hmm! Tiap orang akan kuhadiahi sebatang jarum emas, bukan tempat lain yang kuhajar, aku hanya akan menghajar ulu hatinya saja!"
Setelah berhenti sejenak, kembali dia melanjutkan.
"Suamiku telah berkata tak akan melangkah masuk ke halaman rumah keluarga Pui maka kuanjurkan kepada Pui toa- caycu agar sejak kini tinggal rumah secara baik-baik dan melanjutkan sisa hidupmu tanpa banyak ulah, pokoknya selama kau tidak melakukan perbuatan durjana, kami pun tak akan mengurusimu. Tapi kau harus berhati-hati, jangan sampai bertemu kami di luaran!"
Ki See-kiat yang mendengarkan perkataan tersebut diam- diam berseru memuji, pikirnya.
"Cara yang digunakan perempuan ini benar-benar tepat sekali, sejak kini, kendatipunPui suko masih ingin menjadi seorang lintah darat, belum tentu anak buahnya berani melaksanakan apa yang diperintahkan pada mereka!"
Dalam pada itu, Utti Keng telah berseru pula.
"Rejeki atau bencana datangnya tanpa permisi, mereka muncul karena dicari manusia sendiri. Pui toa-caycu, bila kau ingin mengakhiri hidupmu dalam keadaan baik-baik, kuanjurkan kepadamu agar baik-baik menjaga diri! Kalau tidak, sekalipun aku telah melepaskan dirimu, biniku belum tentu akan melepaskan kau begitu saja."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menanti Utti Keng suami istri sudah keluar dari halaman rumah, Pui Hou baru berhasil menguasai perasaan kaget dan ngerinya. Buru-buru dia bersama Lo Hi-hong dan Lo Pek-soat berebut menyanjung serta mengumpak Ki See-kiat.
"Ki toako,"
Seru Lo Pek-soat ambil tertawa.
"tampaknya kau pandai sekali membohongi orang!"
"Kapan aku berbohong?"
Tanya Ki See-kiat dengan perasaan tertegun. Lo Pek-soat tertawa.
"Masih bilang tidak, baru saja kau membohongi aku!"
Ki See-kiat kurang senang bergurau dengan gadis itu, maka sambil menarik muka serunya lagi.
"Aku berbohong apa kepadamu?" "Aduuh mak."
Lo Pek-soat pura-pura berteriak.
"Walaupun kau membohongi aku, namun aku tidak akan menyalahkan kau, buat apa sih mesti bersikap tegang? Tadi kau bilang ilmu silatmu cuma ilmu silat kasaran, tapi nyatanya bahkan si perampok ulung dari Kwangtang, Utti Keng pun memuji kausebagai jago muda nomor wahid di kolong langit, coba bayangkan sendiri bukankah kau sedang membohongi aku?"
"Haahh haah haahh, anak bodoh, perkataan orang masa kau anggap sungguhan? Ehmm orang muda merendahkan diri, hal ini merupakan suatu pekerjaan yang amat sulit, apalagi ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, namun masih dapat merendahkan diri, hal ini benar-benar luar biasa."
"Ki toako,"
Lo Pek-soat kembali berseru sambil tertawa.
"sekalipun kau membohongi aku, namun aku tidak marah, cuma lain kali kau harus banyak memberi petunjuk ilmu silat kepadaku."
Memandang wajah ibunya, Ki See-kiat segan memberi malu kepada gadis itu, terpaksa dia berlagak acuh tak acuh, katanya kemudian.
"Utti tayhiap kelewat memuji siautit, padahal hal ini karena dia belum pernah bertemu dengan jago muda yang betul-betul berilmu sangat tinggi!"
"Ki lote, kau sedang bergurau bukan?"
Seru Lo Hi-hong.
"Aku tak percaya kalau dalam dunia persilatan dewasa ini masih ada anak muda lain yang berilmu silat lebih hebat daripada dirimu."
"Utti tayhiap yang begitu luas pengalamannya pun tak tahu, tak heran kalau Lo lopek pun tak mau percaya."
"Kalau kudengar dari pembicaraanmu itu, tampaknya kau sudah pernah berjumpa dengan pemuda yang berilmu silat lebih tinggi daripada Utti Keng?"
"Benar, aku pernah bersua dengan pemuda lihay itu sewaktu masih berada di Sinkiang tempo hari, tahun ini dia hanya berusia delapan-belas tahun, lebih muda sepuluh tahun daripadaku, soal ilmu silat, apakah dia lebih hebat daripadaUtti tayhiap, aku pun tak tahu. Yang kuketahui adalah dia sudah mencapai tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada aku. Sebab aku pernah bertarung melawannya, belum lagi mencapai seratus gebrakan, aku sudah menderita kekalahan di tangannya!"
Lo Hi-hong merasa setengah tidak percaya oleh perkataan itu, segera tanyanya dengan perasaan terperanjat.
"Benarkah dr dunia ini terdapat pemuda yang berilmu silat selihay ini? Siapakah orang itu?"
Ki See-kiat segera teringat kembali kejadian di mana Nyo Yan enggan mengakui nama sebetulnya di hadapannya, meski dia sekarang sudah tahu siapa gerangan pemuda itu, tapi buat apa dia mesti menyebutkan namanya di hadapan orang yang tiada sangkut pautnya dengan pemuda itu? Berpendapat demikian, dia pun lalu berkata.
"Jagoan muda itu ibaratnya naga sakti yang tampak kepalanya tak tampak ekornya, apalagi siautit pun hanya bertemu muka satu kali, jadi aku tak tahu siapakah orang itu."
Tentu saja Nyo toakoh mengerti siapa gerangan yang dimaksudkan putranya, tapi teringat bagaimana Nyo Yan sebagai keponakannya enggan mengakui dirinya sebagai sanak sendiri, maka dia pun merasa segan untuk menyebutkan namanya Pui Hou segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh tak peduli apakah di dunia ini benar-benar terdapat seorang jago muda macam ini atau tidak, sekalipun apa yang kau ucapkan merupakan suatu kenyataan, orang ini tak mungkin bisa menandingi Ki sute!"
Ki See-kiat menjadi tertegun."Pui suheng,"
Segera serunya.
"bukankah sudah kuterangkan tadi, aku pernah menderita kekalahan di tangannya, apakah tidak kau dengar?"
"Rupanya kau belum paham maksud hatiku. Sewaktu dia mengalahkan dirimu, apakah ada orang ketiga yang turut menyaksikan?"
"Tidak ada"
Kembali Pui Hou tertawa terbahak-bahak.
"Haaa haaa haaaa nah itulah dia Sewaktu kau dikalahkan dia, tidak ada pihak ketiga yang melihatnya, berarti tak bakal ada orang menyiarkan kekalahanmu itu pada umum, sebaliknya setiap orang yang hadir di sini mendengar kalau perampok ulung dari Kwangtang itu mengaku kalah kepadamu, peristiwa ini pasti akan menyebabkan nama besarmu menjadi tenar sejagat! Sia- pa yang berani tak menuruti perkataan Utti Keng dengan menyebut dirimu sebagai jagoan muda nomor wahid di kolong langit dewasa ini?"
Ki See-kiat semakin memandang hina watak suheng-nya ini, segera tukasnya.
"Aku sih tidak sudi nama kosong semacam itu."
Dalam pada itu Pui Hou sedang merasa girang, dia segera berkata lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaaa haaa manusia punya nama, pohon punya bayangan, sekalipun ingin kau buang juga tak akan bisa dilepaskan. Ki sute kau telah membantuku menghemat sepuluh laksa tahil perak, sudah sepantasnya kalau kuucapkan banyak terima kasih padamu!"
Baru selesai dia berkata, dengan kening berkerut Nyo toakoh telah menukas.
"Dengan orang sendiri tidak usah sungkan-sungkan, buat apa kau mesti menyinggung soal terima kasih segala?""Aah, betul, betul,"
Sambung Pui Hou lagi sambil tertawa.
Tentu aku tahu, sekalipun aku hendak berterima kasih kepada sute, belum tentu sute bersedia menerimanya.
Tetapi aku mempunyai suatu ide yang bagus sekali, ide ini amat sempurna, entah bagaimana menurut pendapat-mu?"
"Kau belum mengutarakannya, dari mana aku bisa tahu bagus atau tidak?"
"Bila sua; menikah nanti, biarlah kuhadiahi mutiara dan perhiasan sebesar selaksa tahil perak sebagai penambah mas kawin bagi pengantin perempuan. Meski si pengantin perempuan belum tentu sudi menerima perhiasanku itu, tapi pertama aku bisa menyampaikan maksud hatiku, kedua juga menambah keanggunan si pengantin perempuan, rasanya aku pun bisa mengangkat martabat sukoh di hadapan orang banyak."
"Kau tak usah menarik pula diriku,"
Seru Nyo toakoh tertawa.
Tapi aku lihat idemu itu memang bagus juga, belum lagi See-kiat menemukan jodohnya, kau sudah mencari muka lebih dulu di hadapan si pengantin perempuan.
Lihat saja nanti, putri siapakah yang mempunyai rejeki besar untuk menerima hadiah besarmu itu?"
Mereka berdua seperti sengaja tak sengaja bersama-sama mengalihkan sorot matanya ke wajah Lo Pek-soat, kontan saja hal ini menyebabkan gadis tersebut menjadi tersipu-sipu dengan wajah memerah namun dalam hati kecilnya merasa manis dan hangat Melihat setiap perkataan dari Pui Hou tak pernah terlepas dari soal uang, tergerak juga hati Ki See-kiat, mendadak dia bertanya.
"Pui suko, seandainya tiada orang yang mampu menghadapi Utti Keng, apakah sepuluh laksa tahil perak itu bakal kau serahkan kepadanya?"Pui Hou hanya tahu mengumpak, mendengar pertanyaan itu, buru-buru sahurnya.
"Aku hanya mempunyai seorang putra, seandainya sute tak berhasil mengalahkannya, ja- ngankan sepuluh laksa tahil perak, sekalipun dia mengajukan permintaan beberapa kali lebih besar pun terpaksa aku harus menyerahkan juga kepadanya! Sute, pertolonganmu itu benar- benar besar tak terlukiskan, selama hidup aku tak akan pernah melupakannya lagi."
"Baik,"
Kata Ki See-kiat kemudian.
"Kalau begitu kesepuluh laksa tahil perak itu sama artinya dengan benda yang harus keluar bagimu bukan? Aku akan memberi sedikit keuntungan bagimu, aku hanya minta separuhnya saja, tolong serahkan lima laksa tahil perak itu kepadaku."
Begitu ucapan itu diutarakan, semua orang jadi tertegun dibuatnya. Nyo toakoh menegur.
"Anak Kiat, kau sudah gila? Mengapa minta uang dari suheng-mu?"
Pui Hou sendiri jaga terkejut bercampur tak tenteram, sambil tertawa terbahak-bahak katanya pula.
"Haahh haah haah sudah pasti sute sedang bergurau. Sukoh, kau jangan menganggap sungguhan."
"Siapa bilang aku sedang bergurau?"
Seru Ki See-kiat cepat sambil menarik muka.
"Lima laksa tahil perak berarti hanya separuh dari nilai yang dituntut Utti tayhiap, itu berarti kau telah berhemat separuh dari nilai yang sesungguhnya. Aku tidak bergurau, pokoknya kau harus menyerahkan uang sejumlah itu padaku."
Ucapannya yang bersungguh-sungguh ini bukan saja membuat paras muka Pui Hou berubah hebat, Lo Hi-hong yang sebenarnya ingin menimbrung juga jadi membungkamdalam seribu bahasa, suasananya menjadi canggung dan serba runyam.
0odwo0 Menuntut Lima Laksa Tahil Perak Setelah hening sekian lama, akhirnya Nyo toakoh yang memecahkan keheningan paling dulu, segera bentaknya.
"Bila kau butuh uang, aku akan penuhi keinginanmu itu, mengapa kau minta uang kepada Pui suheng-mu?"
"Sewaktu hendak bertarung melawan Utti keng tadi, aku telah bilang, aku turun tangan bukan lantaran ingin melindungi Pui suheng, aku hanya ingin menjaga nama baik ibu serta yaya"
"Hmm, menjaga nama baikku?"
Nyo toakoh makin marah.
"Kau tahu, perbuatanmu minta uang kepada Pui suheng-mu sudah cukup membuat aku kehilangan muka."
"Ibu, perkataan ananda belum selesai, janganlah marah lebih dulu. Aku tidak butuh sepeser pun uang milik Pui suheng, kelima laksa tahil perak itu aku mintakan bagi orang lain!"
"Minta untuk orang lain? Utti Keng kan sudah bilang kalau dia tak mau uang tersebut?"
"Aku bukan mintakan untuk Utti Keng, aku mintakan untuk kaum fakir miskin. Bagi Pui suheng, uang sebesar lima laksa tahil perak tak lebih dari seujung rambut, tapi untuk fakir miskin, entah berapa ratus jiwa yang bisa tertolong."
"Ooh, maksudmu aku harus berbuat amal?""Benar. Aku minta kau mendermakan uang sebesar tiga laksa tahil perak itu kepada yayasan sosial, agar uang itu bisa digunakan untuk menolong rakyat jelata yang hidup sengsara. Sedang dua laksa tahil perak sisanya biar disimpan untuk sementara waktu di sini, andaikata suatu ketika tiba musim paceklik, anggap saja uang tersebut sebagai uang pembayaran rakyat atas pajak yang mesti dibayar, caraku ini tentunya cocok dan cengli bukan?"
Pui Hou menghembuskan napas panjang, pikirnya.
"Walaupun Ki See-kiat si bocah keparat ini lebih membantu pihak luar, untung saja ia masih kurang berpengalaman. Aku dengan Li San-jin yang mengetuai yayasan sosial adalah saudara angkat, asal kuberi tiga ribu tahil perak, dia akan menyerahkan selembar kuitansi senilai tiga laksa tahil perak itu tetap tinggal di sini, berarti terserah apa yang hendak kulakukan!"
Berpikir demikian, dia lantas tertawa terbahak-bahak seraya berkata.
"Haah haah haah, ya benar, memang cocok, memang cengli, terus terang saja aku pun ingin sekali banyak berbuat amal. Besok pagi uang sebesar tiga laksa tahil perak itu akan kudermakan kepada yayasan sosial, tanda terimanya segera akan kuserahkan kepadamu!"
"Baik,"
Kata Ki See-kiat kemudian seraya beranjak.
"Mewakili kaum fakir miskin kuucapkan banyak terima kasih atas dermamu itu. Selamat tinggal!"
Pui Hou tertawa paksa.
"Aku sudah menyuruh orang menyiapkan meja perjamuan lagi, minumlah arak barang secawan dua cawan sebelum pergi."
"Benar,"
Sambung Lo Pek-soat cepat.
"Ki toako, bukankah kedatanganmu kemari hendak minum arak sambil menikmatibunga? Bunganya toh belum dinikmati? Mengapa mesti terburu-buru hendak berpamitan?"
"Aku sudah tidak mempunyai kegembiraan lagi untuk minum arak sambil menikmati bunga"
Lo Pek-soat masih saja tak tahu diri, tanyanya lebih jauh.
"Mengapa secara tiba-tiba tidak ada?"
"Biaya sekali perjamuan untuk orang kaya sama nilainya dengan ransum selama setengah tahun bagi orang miskin, bila kuingat mereka yang harus mengandalkan putrinya menjadi budak dan dayang orang kaya hanya gara-gara hutang bebe- rapa tahil perak dari Pui suheng, bagaimana mungkin aku bisa meneguk arak perjamuan ini? Pui suheng, kuanjurkan kepadamu ada baiknya berhemat sedikit dalam soal perja- muan dan perbanyaklah perbuatan amalmu, mau bukan?"
Paras muka Pui Hou kontan berubah menjadi hijau kemerah-merahan, di mulut ia tak berbicara apa-apa namun di hati kecilnya segera berpikir.
"Bocah keparat ini benar-benar tak tahu diri, apa yang diucapkan hampir senada dengan perkataan Utti Keng. Hmm, uang toh milikku sendiri, aku senang menggunakannya untuk apa peduli amat dengan kau? Memangnya kau si bocah keparat berani datang merampok seperti apa yang telah dilakukan oleh Utti Keng?"
Lo Pek-soat yang terbentur pada batunya turut merasa malu bercampur mendongkol, kontan dia ikut bungkam seribu bahasa.
Dengan agak tersipu Nyo toakoh segera berkata "Anakku ini belum tahu urusan, untung saja yang hadir sekarang bukan orang luar, harap kalian sudi memandang wajahku memberi maaf kepadanya."Selesai berkata, terpaksa dia mengajak putranya pulang ke rumah.
Semenjak peristiwa itu, Pui Hou tak berani mengundang mereka lagi, sedangkan soal perkawinan yang diinginkan pihak keluarga Lo pun tak berani disinggung kembali.
Berbeda sekali dengan Ki See-kiat, pemuda ini malah lebih gembira dan senang karena tak pernah diganggu lagi.
Kejadian itu semakin merisaukan Nyo toakoh, di samping pikirannya makin kalut dan mendongkol.
Suatu ketika ia pun berkata begini kepada putranya.
"Kiat-ji, tahukah kau setiap keluarga kalangan atas yang berada di kota Po-tcng telah menganggap dirimu sebagai makhluk aneh? Bila kau tak tahu mengubah diri, mungkin tiada anak gadis yang mau kawin denganmu."
Mendengar perkataan tersebut, Ki See-kiat segera menjawab.
"Pertama, aku tidak merasa pernah berbuat salah. Kedua, aku pun tak sudi nona-nona dari keluarga kaya men- jadi biniku, peduli amat dengan perkataan orang."
Nyo toakoh lalu menghela napas panjang.
"Aaai sekalipun kau tidak gelisah, paling tidak harus berpikir bagiku, selewatnya tahun baru kau sudah berusia duapuluh delapan tahun dan belum beristri, belum punya pandangan, sampai kapan aku baru bisa memondong cucu?"
Ki See-kiat kembali tertawa "Kan ada putramu yang menemani kau? Masa tidak cukup? Soal perkawinan adalah masalah besar, Suatu masalah yang tak bisa dipaksakan, bila suami istri tak akur, tiap hari cekcok melulu, bukankah kau orang tua tak bakal senang?"Beberapa patah kata itu ada sebagian yang persis mengena di hati Nyo toakoh.
Ternyata sejak terjadinya peristiwa itu terhadap putranya dia menaruh semacam perasaan "kehilangan sesuatu tetapi mendapatkan yang lain".
Tak seperti dahulu, terhadap putra sendiri pun seolah-olah orang asing.
Oleh karenanya walaupun dia merasa tidak puas dengan cara kerja putranya pada waktu itu, namun hubungan perasaan antara ibu dan anak makin bertambah erat, dan keakraban itu sudah cukup untuk menutupi perasaan mendongkol di dalam hatinya.
Bukti yang jelas, di saat yang paling kritis putranya masih tetap membantu ibunya.
Dalam hati kecilnya Nyo toakoh berpikir.
"Bocah ini masih belum bisa melupakan orang she Leng itu, terpaksa biarlah dia berbuat sesukanya untuk sementara waktu."
Berpikir demikian, dia lantas berkata.
"Kau tak suka nona orang lain juga tak menjadi soal. Cuma haruslah tahu sedikit perasaan, bayangkan saja sikapmu terhadap keluarga Lo tempo hari, sungguh membuatku tersipu-sipu, apalagi terhadap Pui suheng, tak pantas kau berbuat demikian."
"Ibu, sekali lagi kuulangi,"
Kata Ki See-kiat cepat. Aku tak merasa kalau perbuatan yang kulakukan itu salah!"
"Aku tak mengatakan perbuatanmu itu semua salah, kau bisa membalaskan sakit hatiku dan memukul mundur Utti Keng, hal itu merupakan suatu perbuatan yang baik sekali. Maksudku, aku hanya minta padamu agar sedikit tahu perasaan!""Ibu, selama ini bukankah kau selalu luntang-lantung seorang diri tanpa menggubris perkataan orang lain?"
Perlu ketahui, Nyo toakoh bergelar Lak-jiu-Koan-im, tentu saja soal hubungan persahabatan tak akan begitu baik, cuma sebagai putranya tentu saja dia merasa tak leluasa untuk secara langsung menyinggung soal julukan ibunya.
Nyo toakoh menghela napas panjang.
"Aai, sekarang aku pun mulai menyesali tindak-tandukku semasa muda dulu. Aku tahu, orang lain menyebutku Lak-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Keji}, cuma aku hanya bertangan keji bila menghadapi orang persilatan, selamanya tak bertangan keji terhadap sanak keluarga sendiri."
Mendengar itu, diam-diam Ki See-kiat berpikir "Aku lihat, meski dalam dunia persilatan terdapat juga mereka yang munafik dan rendah moralnya, namun bagaimanapun juga masih mendingan mereka daripada sanak keluargamu itu."
Terdengar Nyo toakoh berkata lagi.
"Aaaai kini aku baru tahu kalau aku benar-benar sudah tua, yaah, mulai sekarang aku pun tak akan melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan."
Ucapan tersebut seakan-akan muncul secara mendadak, tapi sebagai putranya, anak muda itu mengerti lantaran apakah hal tersebut sampai diutarakan keluar.
"Ibu, kau tak lebih baru berusia limapuluh tahunan, belum termasuk tua. Tempo hari ananda bertindak karena aku tak ingin ibu menyerempet bahaya, itulah sebabnya aku lantas mewakilimu memukul rontok senjata rahasia dari Ki Seng-in. Sekalipun ananda tidak turun tangan, kau pasti dapat mengungguli dia."
Nyo toakoh tertawa getir."Kau tak usah mengumpak diriku, seandainya aku lebih muda sepuluh tahun, mungkin saja aku masih sanggup menghadapi Jian-jiu-Koan-im (Koan-im Bertangan Seribu) tapi sekarang aku bukan tandingannya lagi.
Untung aku punya anak berilmu tinggi seperti kau, jadi aku tak usah berkelana lagi dalam dunia persilatan hanya dikarenakan ingin mencari nama."
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah mengalami kekalahan tempo hari, sekalipun tidak ia katakan, Ki See-kiat juga dapat merasakan kalau ibunya jauh lebih menua.
Sejak kecil Ki See-kiat sudah kehilangan ayahnya, menghadapi ibunya yang murung dan sayu, tanpa terasa hatinya menjadi kecut "Ibu memang sudah tua,"
Demikian dia berpikir.
"Lebih baik ku temani dia beberapa tahun lagi, aku tak boleh meninggalkannya seorang diri."
Ternyata selama berapa bulan ini, bukan hanya sekali saja timbul niatinya untuk meninggalkan rumah. Nyo toakoh seperti dapat membaca suara hati putranya, dia lantas berkata.
"Kiat-ji, seandainya kau merasa kesal tinggal di rumah, tak ada salahnya jalan-jalan ke ibu kota."
"Mau apa ke ibu kota?"
"Aku tahu kau paling cocok dengan Peng-ci dan Lian-kui, bagaimanapun mereka bukan piausu kenamaan dalam perusahaan Ceng-wan piaukiok. bila kau ke sana, mereka punya waktu untuk menemani kau pesiar."
"Aah, tidak, aku tak akan ke situ, aku ingin tinggal di rumah bersama ibu.""Toh bukan pergi selamanya, imunlah barang sepuluh hari atau setengah bulan, ibu tidak keberatan kau pergi ke sana,"
Nyo toakoh tertawa.
"Ibu tidak keberatan lantaran ananda yang keberatan meninggalkan ibu? Dengan susah payah kita dapat berkumpul kembali sekarang, soal ke ibu kota lain waktu masih banyak kesempatan, mengapa aku harus meninggalkan rumah seka- rang juga?"
Nyo toakoh benar-benar merasa gembira sekali setelah mendengar perkataan itu, katanya kemudian, Tak kusangka kau begitu berbakti kepadaku, aai aku juga tak tak tahu masih bisa hidup berapa tahun lagi, kalau begitu temanilah aku selama beberapa tahun lagi."
Padahal masih ada satu alasan (ain yang menyebabkan Ki See-kiat enggan pergi ke ibu kota, yaitu karena Nyo Bokjuga berada di situ.
Ki See-kiat tak senang dengan engku (adik ibu)nya ini, benar dia bisa menolak untuk bekerja dengan engku-nya ini, tapi dengan hubungan mereka yang begitu erat, setibanya di ibu kota berarti dia harus pergi mengunjungi engku-nya itu.
Seringkah banyak kejadian tak terduga yang bisa berlangsung tanpa diundang, tak sampai sepuluh hari setelah peristiwa di gedung keluarga Pui, suatu peristiwa yang tak terduga telah berlangsung.
Malam itu, ketika mendekati tengah malam baru saja dia akan tidur, mendadak terdengar desiran angin lirih di atas atap rumah, dengan mengandalkan pengetahuan serta ilmu silat yang dimilikinya sekarang, dia segera mengetahui kalau ada orang sedang berjalan malam di atas genteng.Begitu mengetahui kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu cukup tangguh, dia lantas berpikir.
"Mungkinkah Utti Keng yang datang mencariku? Tapi mengapa dia hanya seorang diri?"
Pikir punya pikir, dia jadi khawatir kalau orang itu adalah musuh besar ibunya yang datang mencari balas.
Seperti diketahui, ibunya bergelar Lak-jiu-Koan-im, tidak sedikit musuh besar yang diikatnya selama berkelana dalam dunia persilatan, malah belakangan ini ibunya telah membunuh The Hiong-toh, seorang perampok ulung dari dunia persilatan yang dibunuhnya di wilayah Sinkiang.
Tapi, tak peduli orang itu sahabat atau musuh, ia tak bisa berpeluk tangan dengan begitu saja.
Baru saja ia membuka pintu kamar, tampak sesosok bayangan hitam telah melompat turun dari atas dinding pekarangan dan melangkah ke halaman di belakang kamar tidurnya.
Ki See-kiat segera melompat keluar dari balik kegelapan, kemudian sambil merentangkan lengannya dia berkata dengan suara dalam.
"Sobat, berhenti!"
Orang itu tidak berbicara, sepasang tapak tangannya segera direntangkan, dan kemudian dengan jurus Lak-jut-ci-san (Enam Lekukan Bukit Ci-san) melepaskan pukulan ke arahnya.
Begitu serangan dilancarkan, Ki See-kiat menjadi amat terperanjat.
Yang membuatnya terperanjat bukan ilmu silatnya yang lihay, melainkan jurus Lak-jut-ci-san itu merupakan salah satu jurus yang tangguh dalam Lak-yang-jiu keluarga Nyo.Kesempurnaan Lak-yang-jiu yang dimiliki orang ini meski belum melebihi ibunya, namun jauh lebih sempurna dari permainannya sendiri.
Buru-buru Ki See-kiat menangkis dengan jurus Ji-hong-si-pit dari ilmu Lak-yang-jiu pula, kali ini dia hanya menggunakan tenaga sebesar tiga bagian untuk membawa ancaman lawan keluar dari garis.
Orang itu agak sempoyongan, kemudian tertawa terbahak- bahak.
"Haa.. haa haa See-kiat, ilmu Lak-yang-jiu-mu benar-benar hebat,"
Puji orang itu sambil tergelak "Seingatku, jurus Ji-hong-si-pit ini kau pelajari atas petunjukku, kini hampir saja aku tak mampu menandingimu. Masih ingatkah dengan diriku?"
Ki See-kiat agak tertegun, serunya tergagap.
"Sii siapa., siapakah kau?"
Padahal dia sudah tahu siapakah orang itu. Pada saat itulah Nyo toakoh sudah mendengar suara ribut- ribut dan memburu ke situ. Benar juga, begitu tiba dia lantas menegur.
"Kiat-ji, mengapa kau bertarung dengan engku- mu?"
"Di tengah malam buta, bukannya masuk lewat pintu gerbang, tapi menyelundup masuk lewat pintu belakang, siapa yang menduga kalau dia adalah engku?"
Dengan perasan tak senang bercampur mendongkol Ki See-kiat berseru.
"Anak bodoh, kau sudah lupa dengan kedudukan engku-mu sekarang? Kini engku-mu adalah seorang pengawal istana yang bertugas di samping kaisar, tentu saja jejaknya harus dirahasiakan."Dia khawatir putranya mengejek, maka ia memberi tanda agar dia jangan kehilangan rasa hormat. Ki See-kiat berlagak seperti tidak mengerti, segera ucapnya.
"Ooh rupanya kau sudah menjadi pengawal istana? Lantas mengapa gerak-gerikmu harus main sembunyi seperti takut bertemu orang saja?"
Nyo Bok segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh haahh haahh Engku-mu yang dulu seorang busu itu kini sudah mampus, selain kalian ibu dan anak serta dua orang muridku, tiada orang yang tahu kalau sesungguhnya aku masih hidup, lebih-lebih tiada orang yang tahu kalau aku telah menjadi pengawal istana. Orang yang sudah mati tentu saja tak bisa berjalan seenaknya di tengah hari bukan? Apalagi masuk lewat pintu gerbang secara terang-terangan?"
"Aku masih tidak habis mengerti, engku, sesungguhnya kau toh belum mati, mengapa harus berlagak sudah mati?"
Buru-buru Nyo toakoh menimbrung.
"Adikku, kau jangan menertawakan kebodohan keponakanmu ini, dia memang berotak bebal, baru bertemu sedikit persoalan yang me- musingkan kepala, dia sudah dibikin kebingungan setengah mati."
Sambil tertawa Nyo Bok segera menyambung.
"Oleh karena sudah banyak tahun aku tak pernah muncul lagi dalam dunia persilatan, orang persilatan mengira aku sudah berpulang ke alam baka. Padahal aku lebih senang jika mereka mengang- gap aku sudah mati, sebab dengan begitu aku akan lebih leluasa lagi untuk melaksanakan tugas dari kaisar!"
"Ooh, kiranya begitu,"
Sekarang Ki See-kiat baru berlagak seakan-akan setengah mengerti setengah tidak."Adikku, lantaran urusan apa kau meninggalkan ibu kota kali ini?"
Tanya Nyo toakoh kemudian.
"Aaai, panjang sekali untuk diceritakan."
"Kalau begitu mari kita masuk dan diperbincangkan pelan- pelan. Anak Kiat, cepat ambilkan air teh untuk engku-mu!"
Setelah duduk dan menghirup air teh setegukan, Nyo Bok baru berkata.
"Enci, kionghi, kionghi untukmu!"
"Kionghi soal apa?"
"Berita tentang berhasilnya anak Kiat mengalahkan Utti Keng telah tersiar luas sampai di ibu kota, kau bisa mempunyai seorang putra semacam ini, aku yang menjadi engku-nya turut merasa bangga."
"Ooh, cepat amat berita itu tersiar,"
Seru Nyo toakoh tertawa.
"Padahal berita itu tidak benar seluruhnya."
"Bagaimana tidak benarnya?"
"Utti Keng hanya memberi batas seratus gebrakan saja, ia baru berhasil mengalahkan anak Kiat pada jurus keseratus duabelas, maka dia mengaku kalah, jadi bukan kekalahan yang sebenarnya."
"Kejadian seperti itu sudah merupakan suatu kejadian yang amat hebat,"
Sela Nyo Bok sambil tertawa.
"Berbicara sebenarnya, di antara para pengawal istana, belum tentu ada seorang manusia pun yang sanggup menerima seratus jurus serangan Utti Keng."
"Kau kelewat memuji dia. Cuma dia berhasil mengalahkan orang itu dengan mengandalkan Lak-yang-jiu, jadi kalau dihitung-hitung, dia telah mengangkat nama keluarga Nyo kita."
Rasa bangga jelas terlihat di atas wajahnya."Benar, itulah sebabnya aku pun turut merasa bangga,"
Sambung Nyo Bok.
"Bicara terus terang, keper-gianku meninggalkan ibu kota kali ini, pertama karena kudengar kalian ibu dan anak telah pulang maka sengaja datang menengok, kedua juga dikarenakan masalah Utti Keng."
"Konon di masa lampau Utti Keng pernah menyelundup masuk ke dalam Istana Terlarang dan mencuri barang mestika istana. Apakah sri baginda yang menitahkanmu untuk meringkus Utti Keng?"
"Cici, kau kelewat menilai tinggi diriku,"
Seru Nyo Bok sambil tertawa.
"Aku rasa congkoan dari pengawal istana pun belum berani merecoki Utti Keng, apalagi diriku ini? Dia tahu jelas akan hal ini, bagaimana mungkin tugas berat semacam itu dibebankan kepadaku? Cuma congkoan pengawal istana memang mengutus aku keluar untuk mencari seseorang guna menghadapi Utti Keng."
Nyo toakoh tahu kalau adiknya hendak membicarakan sesuatu, maka dia hanya bungkam seribu bahasa. Terdengar Nyo Bok berkata lebih jauh.
"Utti Keng suami istri pernah melakukan beberapa kali perampokan besar di ibu kota, maka ketika mendapat kabar kalau kedua orang suami istri itu muncul lagi di kota Po-teng, banyak orang yang panik dan khawatir, khawatir kalau mereka datang lagi ke ibu kota dan membuat keonaran. Meskipun Sri baginda tidak berhasrat menelusuri kembali peristiwa pencurian di masa (alu, namun congkoan pengawal istana serta komandan pengawal khusus kena direcoki tiap hari oleh keluarga raja-raja muda sampai siang malam tak enak makan dan tidur, itulah sebabnya"
"Peristiwa ini berlangsung pada sepuluh hari berselang,"
Tukas Nyo toakoh cepat.
"kalau didengar nadapembicaraanmu, tampaknya Utti Keng suami istri belum muncul di ibu kota."
"Benar, pihak istana telah mengutus mata-mata untuk melakukan pemeriksaan, tapi jejak kedua orang suami istri itu belum berhasil ditemukan."
"Utti Keng suami istri merupakan orang-orang yang berpandangan tinggi dan sombong, siapa tahu mereka sudah kembali ke Kwangtang gara-gara menderita kekalahan di tangan Kiat-ji tempo hati?"
"Moga-moga saja begitu. Cuma para raja muda di ibu kota kelewat ketakutan terhadap sepasang perampok ulung itu mereka tak berani bertindak teledor dengan begitu saja. Andaikata bisa ditemukan seseorang yang sanggup menghadapi Utti Keng, kemudian dibantu beberapa orang pengawal istana kelas satu, aku pikir masih ada harapan untuk membekuk kedua orang perampok ini."
Tiba-tiba Ki See-kiat berkata.
"Aku tahu ada seseorang yang mampu menghadapi Utti Keng."
"Oh, lebih hebatkah ilmu silatnya darimu?"
"Tentu saja jauh lebih hebat, kendatipun usianya jauh lebih muda"
Tapi Nyo Bok segera menggebu "Aku tidak percaya, sekalipun ada manusia semacam ini, dia toh tak akan membantuku, bagaimana mungkin bisa menandingi hubungan kita sebagai engku dan keponakan..."
"Engku, kau keliru,"
Kata Ki See-kiat sambil tertawa.
"Aku keliru?"
Nyo Bok tertegun."Sekalipun aku tak tahu apakah dia bersedia membantumu atau tidak, tapi hubungannya dengan dirimu jauh lebih erat ketimbang hubunganku dengan dirimu!"
Perlu diketahui, kendatipun Ki See-kiat tidak begitu suka dengan engku-nya, namun dia merasa berkewajiban untuk menyampaikan kabar tentang adik misannya kepada Nyo Bok.
Akan tetapi berhubung sejak kedatangannya Nyo Bok hanya sibuk membicarakan soal Utti Keng, dia dan ibunya tidak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan masalah itu.
Maka setelah menangkap maksud Nyo Bok yang datang untuk minta bantuan, dia lantas menggunakan kesempatan itu dengan mengemukakan Nyo Yan sebagai tameng.
Sudah barang tentu dia sendiri pun tahu kalau Nyo Yan tak bakal membantu ayahnya.
"Apakah kau maksudkan anakku Yan-ji?"
Mendadak Nyo Bok berseru dengan perasaan terperanjat.
"Benar, engku, apakah kau tak tahu kalau kepergianku ke wilayah Sinkiang adalah untuk mencari adik misan?"
"Aku tahu, aku pun tahu kalau kalian ibu dan anak telah pulang, akan tetapi aku tak punya keberanian untuk mengajukan pertanyaan tersebut kepada kalian. Aaai mes- kipun ibu dari anak itu tidak setia, bagaimanapun juga dia adalah satu-satunya darah dagingku, bagaimana mungkin aku tidak merindukan dia? Mungkin hingga sekarang dia masih belum tahu kalau aku adalah ayah kandungnya."
"Aku duga ia sudah tahu."
"Jadi kalian berhasil berjumpa dengan dia?"
Seru Nyo Bok kejut bercampur girang."Benar, aku dan Kiat-ji secara beruntun telah menjumpai dirinya."
"Cici, apakah dia mengetahui rahasia riwayat hidupnya?"
Buru-buru Nyo Bok bertanya lagi.
"Aku belum memberitahukan hal tersebut kepadanya."
"Kenapa?"
Tanya Nyo Bok tercengang.
"Setelah pertemuan itu aku baru tahu kalau dia adalah anak Yan."
Secara ringkas dia lantas mengisahkan apa yang telah terjadi tempo hari, sebagai akhir kata dia menambahkan.
"Dia sudah terpikat oleh siluman perempuan, belum sempat aku mengutarakan hal yang sebenarnya, dia sudah kabur bersama perempuan siluman itu. Adikku, bagaimanakah caranya di kemudian hari untuk membawanya melepaskan jalan sesat kembali ke jalan benar, hal tersebut tergantung dari pendi- dikanmu sebagai ayahnya."
Nyo Bok tertawa getir.
"Aku sebagai seorang pengawai istana hanya bisa pergi atas dasar perintah, bagaimana mungkin aku bisa melalaikan tugas dengan pergi ke Sinkiang untuk itu? Apalagi Sinkiang begitu besar, belum tentu aku bisa menemukannya"
"Hubungan ayah dan anak melebihi apa pun, kecuali dia tidak tahu siapakah ayahnya, kalau tidak, kuduga dia pasti akan kembali ke kota Po-tcng untuk mencarimu."
Ternyata dugaan Nyo toakoh dalam hal ini tepat sekali, waktu ini Nyo Yan memang sedang dalam perjalanan menuju ke kota Po-teng Nyo Bok kembali menjawab sambil tertawa getir.
"Sudah barang tentu aku berharap dia mau pulang mencariku, tapiaku khawatir harapanku ini tipis sekali. Lagi pula aku tak tahu sampai kapan dia baru kembali, untuk menolong kebakaran tak mungkin bisa mengharapkan air dari jauh!"
Berbicara sampai di sini, secara blak-blakan Nyo Bok segera mengemukakan keinginannya "Cici, bukankah kau sangat berharap Kiat-ji bisa mempunyai masa depan yang cemerlang? Kini kesempatan baik telah tiba biarlah dia turut aku pergi ke ibu kota"
"Maksudmu, kau hendak meminta bantuannya untuk membantu kalian menghadapi Utti Keng?"
"Betul, kisah pertarungan keponakan Kiat melawan Utti Keng telah menggetarkan seluruh ibu kota, terus terang saja kukatakan, kedatanganku kali ini adalah atas perintah congkoan tayjin untuk mengundangnya masuk ibu kota."
"Tidak bisa!"
Tolak Nyo toakoh.
"Kenapa tidak bisa?"
Tanya Nyo Bok dengan wajah tercengang.
"Bukankah kau berharap ia bisa menduduki jabatan yang tinggi sehingga menjunjung nama baik kakek moyangnya?"
"Kini aku telah berubah pikiran,"
Sahut Nyo toakoh. Sesudah berhenti sebentar, pelan-pelan dia melanjutkan.
"Pertama, dengan susah payah aku harus berangkat sendiri ke wilayah Sin-kiang sebelum berhasil mencarinya kembali; aku menginginkan dia menemani aku selama beberapa tahun untuk melepaskan rasa rinduku kepadanya. Kedua, sesungguhnya dia pun bukan tandingan Uttj Keng, kendatipun menjadi pembesar itu baik, tapi nyawa jauh lebih berharga daripada segala-galanya!""Toh bukan hanya dia seorang yang harus menghadapi Utti Keng?"
Kembali Nyo Bok membujuk.
"Engku!"
Tukas Ki See-kiat tiba-tiba.
Taruna Pendekar Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"harap kau jangan melanjutkan pembicaraan tersebut, pokoknya aku segan kalau disuruh menghadapi Utti Keng!"
"Sewaktu kau berada seorang diri pun kau masih sanggup menghadapinya, kenapa setelah ada orang membantumu, kau malah segan untuk melakukannya? Pamor Utti Keng sudah kau rusak di dalam pertarungan tempo hari, apakah kau tidak khawatir ia mendendam kepadamu?"
"Dalam peristiwa yang lampau, pertarungan itu bisa berlangsung berhubung Utti Keng suami istri telah bersikap kurang sopan kepadaku, untuk membalaskan sakit hati inilah terpaksa Kiat-ji bertarung melawannya, kemudian Utti Keng minta maaf kepadaku dan rasa kesalku kepadanya pun lenyap tak berbekas. Prinsipku sekarang, asal tiada orang menggangguku, aku pun tak akan mengijinkan Kiat-ji meng- ganggu orang."
"Benar,"
Sambung Ki See-kiat pula.
"dalam pertarungan itu, sesungguhnya aku tak akan mampu mengalahkan dia, adalah dia yang sengaja mengalah kepadaku sehingga aku tak sampai cedera, lagi pula dia malah mengaku kalah. Coba ba- yangkan sendiri, berbicara soal ke-setiakawanan dalam dunia persilatan, pantaskah bila aku mencari teman untuk menghadapinya bersama-sama?"
Nyo Bok mengira ibu dan anak berdua ini menolak ajakannya ber hubung takut pada Utti Keng suami istri, maka tanpa berpikir lebih jauh kembali ujarnya.
"Kalau begitu, aku mempunyai dua macam cara yang baik sekali agar cici bisa memenuhi harapannya dan See-kiat pun dapat menjaga kesetiakawanannya.""Coba terangkan dulu, cara macam apa yang kau maksudkan sebagai cara yang sempurna?"
"Keponakan Kiat boleh turut aku ke ibu kota untuk menjadi pengawal istana, sebelumnya akan kubicarakan dulu dengan congkoan tayjin agar ia dibebaskan dalam tugas penangkapan terhadap Utti Keng. Dari Po-teng sampai ke ibu kota paling cuma dua hari perjalanan, kau bisa sering menengoknya di sana atau paling baik lagi bila kau pun ikut pindah ke ibu kota. Dengan demikian, bukankah dia masih tetap dapat melayani masa tuamu nanti?"
Tanpa terasa tergerak juga hati Nyo toakoh setelah mendengar perkataan itu, namun ketika teringat akan janjinya pada putranya dulu ia tak berani menyanggupi dengan begitu saja.
"Cici tak usah ragu lagi,"
Kembali Nyo Bok membujuk.
"Baru terjun ke dunia persilatan, Kiat-ji sudah dapat menjadi pengawal istana, kejadian ini luar biasa dan tak mungkin bisa dialami oleh orang lain!"
"Setiap orang mempunyai cita-cita dan jalan pemikiran masing-masing, jikalau orang lain menganggap hal itu luar biasa, biarkanlah orang lain berpendapat demikian, kalau aku tidak!"
Ujar Ki See-kiat ketus.
"Mengapa kau segan?" Tidak karena apa-apa, aku hanya tak mau menim orang lain menjadi seorang budak,"
Kata pemuda itu sinis. Tentu saja yang dimaksud sebagai "orang lain"
Adalah engku-nya sendiri. Dengan wajah berubah Nyo Bok menatapnya, tapi karena dia adalah seorang manusia yang licik dan banyak tipumuslihat, ia tak menjadi marah malah sebaliknya tertawa terbahak-bahak.
"Haaaa haaa kita bekerja untuk sri baginda, bila kau bersikeras mengatakan pekerjaan ini sebagai budak, maka seharusnya dikatakan sebagai budaknya sri baginda"
Rumah Judi Pancing Perak -- Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Kuda Putih Karya Okt