Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gelandangan 6


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Bagian 6



Pendekar Gelandangan Karya dari Khu Lung

   

   Sayang sekali ada satu hal yang tidak ia perhitungkan.

   "Triiiing......!", percikan bunga api memancar ke empat penjuru, tahu-tahu kutungan pedang samurai itu telah menyongsong pedangnya.......bukan mata pedang yang di arah melainkan ujung pedangnya. Tak ada orang yang bisa menyongsong datangnya ujung pedang yang sekarang menusuk tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat itu. Tak ada orang yang bisa melepaskan serangan dengan begitu cepat dan begitu tepatnya. ........Mungkin bukannya sama sekali tak ada orang, mungkin saja masih ada satu orang. Tapi mimpipun Ciu Ji sianseng tidak menyangka kalau A-kit lah orangnya...... Begitu ujung pedangnya bergetar, ia segera merasakan ada semacam getaran yang sangat aneh menyusup masuk lewat tubuh pedangnya, menembusi tangan, lengan dan bahunya. Kemudian ia seolah-olah merasa ada segulung angin berhembus lewat. Kutungan pedang samurai di tangan A-kit ternyata berubah menjadi segulung angin yang berhembus lewat pelan-pelan. Ia dapat menyaksikan kilatan pedang samurai itu, dapat merasakan pula hembusan angin itu, tapi ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya untuk menghindari dan menangkis datangnya ancaman tersebut. .........Ketika angin berhembus datang, siapakah yang mampu menghindarinya? Siapakah yang tahu angin itu akan berhembus datang dari mana? Tapi ia tidak putus asa, karena dia masih ada seorang teman yang sedang menanti di belakang Akit. Sebagian besar orang persilatan selalu beranggapan bahwa ilmu pedang yang dimiliki Ciu Ji sianseng jauh lebih hebat daripada kepandaian Mao-toa-sianseng, ilmu silatnya jauh lebih menakutkan daripada ilmu silat Mao-toa-sianseng. Hanya dia seorang yang tahu bahwa pandangan semacam ini sesungguhnya suatu pandangan yang bodoh sekali dan menggelikan, dan hanya dia seorang pula yang tahu seandainya Mao-toa- Sianseng menginginkan jiwanya, ia akan memperolehnya cukup dalam satu jurus belaka. Serangannya baru benar-benar merupakan suatu jurus serangan yang mematikan, ilmu pedang yang dimilikinya baru betul-betul merupakan suatu ilmu pedang yang menakutkan sekali, tak seorangpun manusia yang dapat menilai kecepatan dari jurus serangan tersebut, tak ada pula orang yang tahu sampai di manakah kekuatan serta perubahan gerakan yang dimilikinya, sebab pada hakekatnya belum pernah ada orang yang sanggup menyaksikannya. Sudah banyak tahun ia hidup bersama dengan Mao-toa-sianseng, sudah seringkali mereka menentang bahaya maut bersama, hidup gembira bersama, tapi bahkan dia sendiripun hanya sempat melihat satu kali saja. Ia percaya asal Mao-toa-sianseng melancarkan serangan tersebut, kendatipun A-kit masih sanggup menghindarkan diri, tak nanti ia memiliki sisa kekuatan untuk melukai orang. Ia percaya sekarang Mao-toa-sianseng pasti sudah melancarkan serangannya, sebab di saat yang amat kritis itulah ia mendengar seseorang membentak keras.

   "Ampuni selembar jiwanya!"

   Diiringi bentakan tersebut, desingan angin segera terhenti, cahaya golokpun seketika lenyap tak berbekas, pedang yang ada di tangan Mao-toa-sianseng tahu-tahu sudah berada di belakang tengkuk A-kit.

   ooooOOOOoooo Bab 13.

   Nama dari Toa Siocia Hawa pedang serasa dingin menggidikkan, ibaratnya lapisan salju di puncak bukit nun jauh di sana yang sepanjang tahun tak pernah meleleh, kau tak perlu menyentuhnya tapi dapat merasakan hawa dingin dari ujung pedang yang tajam, membuat darah dan tulang belulangmu menjadi kaku dan membeku karena kedinginan.

   Pedang sesungguhnya memang dingin, tapi bila di tangan seorang yang benar-benar jago, baru akan memancarkan hawa pedang yang begini dingin dan menggidikkan hati.

   Sebilah pedang menyambar datang dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, jaraknya dengan nadi besar di belakang leher A-kit tinggal setengah inci lagi.

   Nadi darahnya sedang berdenyut keras, otot-otot hijau di tepi nadi yang mengejang keluarpun ikut berdenyut keras.

   Akan tetapi orangnya sama sekali tidak bergerak.

   Sewaktu bergerak ia lebih cepat dari hembusan angin, tapi sewaktu berdiri tegak lebih kokoh dari bukit karang, tapi ada kalanya bukit karangpun akan longsor dan berguguran.

   Bibirnya telah merekah kekeringan, seperti batu-batu karang di atas puncak bukit yang merekah kena hembusan angin.

   Air mukanya persis seperti batu karang, sedikitpun tanpa pancaran emosi, kaku dan dingin.

   Apakah dia tak tahu kalau pedang itu menusuk satu inci lagi ke depan maka darah segar dalam tubuhnya akan memancar keluar? Apakah ia benar-benar tidak takut mati? Terlepas apakah ia benar-benar tidak takut mati atau tidak, yang pasti kali ini dia pasti akan mampus.

   Ciu Ji Sianseng menghembuskan napas panjang, Toa-tauke menghembuskan pula napasnya panjang-panjang, mereka hanya menunggu tusukan dari Mao-toa-sianseng itu ditusukkan lebih ke depan.

   Sepasang mata Mao-toa-sianseng menatap tajam-tajam urat nadi di belakang tengkuk yang sedang berdenyut keras itu, sinar matanya memancarkan suatu perubahan yang aneh sekali, seakan-akan penuh mengandung rasa benci yang mendalam, seolah-olah juga mengandung penuh penderitaan dan siksaan.

   Kenapa tusukan itu tidak dilanjutkan? Apa yang sedang ia nantikan? Ciu Ji sianseng mulai tak sabar, tiba-tiba ia berteriak.

   "Hayo lanjutkan tusukanmu itu, jangan kau menguatirkan keselamatan jiwaku!"

   Kutungan samurai di tangan A-kit masih berada setengah inci di atas tenggorokannya, tapi dalam genggamannya masih ada sebilah pedang, kembali ia berseru.

   "Aku yakin masih sanggup menghindari tusukannya itu!"

   Mao-toa-sianseng tidak memberikan reaksi apa-apa. Ciu Ji sianseng kembali berseru.

   "Sekalipun aku tak mampu menghindarkan diri, kau harus membinasakannya, selama orang ini belum mati, maka tiada jalan kehidupan lagi untuk kita, kita mau tak mau harus menyerempet bahaya untuk melanjutkan pertarungan ini"

   Toa-tauke segera berteriak pula.

   "Tindakan semacam ini tak bisa dikatakan sebagai menyerempet bahaya lagi, kesempatan yang kalian miliki jauh lebih besar daripada kesempatannya"

   Tiba-tiba Mao-toa-sianseng tertawa tergelak, gelak tertawanya itu sama anehnya seperti pancaran sinar matanya, pada saat ia mulai tertawa itulah pedangnya telah ditusuk ke depan, menusuk ke muka melewati sisi tengkuk A-kit dan menusuk bahu Ciu Ji sianseng.

   "Triiiing....!, pedang yang berada dalam genggaman Ciu Ji Sianseng terjatuh ke tanah, darah kental berhamburan kemana-mana dan memercik di atas wajahnya sendiri. Raut wajahnya itu segera mengejang keras karena rasa kaget dan tercengang yang kelewat batas, tapi yang jelas terpancar adalah rasa gusarnya yang berkobar-kobar. Toa-tauke ikut pula melompat bangun dari tempat duduknya. Siapapun tidak menyangka akan terjadinya perubahan ini, siapapun tidak tahu kenapa Mao Toa sianseng dapat berbuat demikian. Mungkin hanya dia sendiri dan A-kit saja yang tahu. Paras muka A-kit sama sekali tidak menampilkan emosi, rupanya perubahan tersebut sudah jauh berada dalam dugaannya. Tapi sinar matanya justru memancarkan cahaya penderitaan, bahkan penderitaan lebih mendalam daripada yang diderita Mao Toa Sianseng........ Cahaya pedang berkelebat lewat, tahu-tahu pedang itu sudah dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. Tiba-tiba Mao Toa Sianseng menghela napas panjang.

   "Aaaaiiii.....bukankah sudah ada lima tahun kita tak pernah berjumpa muka.......?"

   Perkataan itu ditujukan pada A-kit, tampaknya bukan saja mereka saling mengenal, bahkan merupakan pula sahabat karib selama banyak tahun. Kembali Mao Toa-sianseng berkata.

   "Selama banyak tahun ini apakah penghidupanmu bisa kau lewatkan secara baik-baik? Apakah pernah menderita sakit yang parah?"

   Sahabat yang sudah banyak tahun tak pernah berjumpa, tiba-tiba saja bertemu kembali antara satu dengan lainnya, tentu saja kata-kata pertama yang diucapkan adalah saling menanyakan keadaan, pertanyaan ini merupakan suatu pertanyaan yang amat sederhana dan umum sekali.

   Tapi sewaktu mengucapkan kata-kata itu, tampaklah mimik wajahnya seakan-akan sedang menahan suatu penderitaan yang sangat hebat.

   Sepasang lengan A-kit mengepal kencang, bukan saja ia tidak berbicara, berpalingpun tidak.

   "Kalau toh aku telah berhasil mengenalimu, kenapa kau masih belum mau berpaling juga, agar aku dapat menyaksikan wajahmu?", kembali Mao Toa sianseng berkata.

   "Tiba-tiba A-kit pun menghela napas panjang.

   "Aaaaiiii......kalau toh kau telah mengenali diriku, buat apa lagi memperhatikan wajahku?"

   "Kalau begitu, paling tidak kaupun harus melihat aku telah berubah menjadi seperti apa sekarang ini!"

   Meskipun perkataan itu diucapkan dengan nada yang ringan, justru suaranya amat parau dan seperti orang yang sedang menjerit.

   Akhirnya A-kit telah memalingkan wajahnya, tapi begitu kepalanya berpaling, air mukanya segera berubah hebat.

   Yang sedang berdiri dihadapannya tak lebih hanya seorang kakek berambut putih, sesungguhnya tiada sesuatu yang aneh atau istimewa, atau menyeramkan hati orang.

   Tapi rasa kejut yang memancar keluar dari mimik wajahnya sekarang jauh lebih hebat daripada rasa kagetnya ketika bertemu dengan makhluk aneh yang menyeramkan.

   Mao Toa sianseng kembali tertawa, suara tertawanya kedengaran jauh lebih aneh lagi.

   "Coba lihatlah, bukankah aku sudah banyak berubah?", katanya. A-kit ingin menjawab, tapi tak sepotong suarapun yang keluar dari tenggorokannya.

   "Andaikata kita saling berjumpa di tengah jalan secara tidak sengaja, aku rasa belum tentu kau dapat mengenali diriku", kata Mao Toa sianseng. Tiba-tiba ia berpaling dan bertanya kepada Toa-tauke.

   "Bukankah kau sedang keheranan, karena ia bisa begitu terperanjat ketika bertemu denganku barusan?"

   Terpaksa Toa-tauke hanya mengangguk, ia tidak habis mengerti hubungan apakah yang sesungguhnya terjalin di antara mereka berdua? Mao Toa sianseng kembali bertanya.

   "Coba kau lihatlah dia, berapa kira-kira usianya tahun ini........?"

   Toa-tauke memperhatikan A-kit sekejap, kemudian dengan agak ragu menjawab.

   "Paling tidak baru berusia dua puluh tahunan, belum mencapai tiga puluh tahun!"

   "Dan aku?"

   Toa-tauke memperhatikan pula rambutnya yang telah beruban serta wajahnya yang penuh keriput, meskipun dalam hati kecilnya ingin menyebut beberapa tahun lebih muda, toh tak dapat menyebutnya terlalu sedikit.

   "Bukankah kau melihat usiaku paling tidak sudah mencapai enam puluh tahunan?", kata Mao Toasianseng tiba-tiba.

   "Sekalipun kau sudah berusia enam puluh tahunan, tapi kelihatannya masih berusia sekitar lima puluh tiga-empat tahunan", buru-buru Toa-tauke menambahkan. Mendadak Mao Toa-sianseng tertawa terbahak-bahak, seakan-akan belum pernah mendengar cerita lelucon yang selucu itu, tapi dibalik suara tertawanya itu justru sama sekali tidak membawa nada tertawa, bahkan jauh lebih mirip orang yang sedang menangis. Toa-tauke memperhatikan dirinya sekejap, lalu memperhatikan pula diri A-kit, katanya.

   "Apakah tebakanku keliru besar?"

   Akhirnya A-kit menghembuskan napas panjang, katanya.

   "Aku termasuk shio macan, tahun ini berusia tiga puluh dua tahun!"

   "Dan dia?"

   "Ia lebih tua tiga tahun daripada diriku!"

   Dengan rasa kaget Toa-tauke memperhatikannya, siapapun tak akan percaya kalau orang yang berwajah penuh keriput dan berambut putih itu baru berusia tiga puluh lima tahun.

   "Kenapa secepat itu ia berubah menjadi setua ini?"

   "Karena dendam sakit hati!"

   Dendam sakit hati yang terlalu dalam, seperti juga kesedihan yang kelewat batas, selalu membuat proses ketuaan seseorang berlangsung jauh lebih cepat daripada siapapun. Toa-tauke memahami juga teori tersebut, tapi tak tahan kembali ia bertanya.

   "Siapa yang ia benci?"

   "Akulah yang ia benci!"

   "Kenapa ia sangat membenci dirimu?", tanya Toa tauke sambil menarik napas panjang-panjang untuk melegakan dadanya yang sesak.

   "Karena aku telah melarikan calon istrinya yang bakal dinikahi!"

   Paras muka A-kit kembali berubah menjadi tawar tanpa emosi, dengan hambar ia melanjutkan.

   "Waktu itu sesungguhnya aku berangkat ke rumahnya dengan tujuan untuk menyampaikan selamat kepadanya, tapi justru pada malam kedua setelah mereka tukar cincin, kubawa kabur bakal bininya!"

   "Karena kaupun mencintai perempuan itu?", tanya Toa-tauke. A-kit tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung, tapi berkata lagi dengan suara dingin.

   "Setengah bulan kemudian setelah kubawa kabur bakal bininya itu, akupun kembali meninggalkannya!"

   "Kenapa kau harus melakukan perbuatan semacam ini?"

   "Karena aku senang!"

   "Jadi asal kau senang, maka perbuatan macam apapun akan ku lakukan......?"

   "Benar!"

   Sekali lagi Toa-tauke menghembuskan napas panjang.

   "Aaaaiii....sekarang aku jadi paham sekali!"

   "Apa yang kau pahami?"

   "Barusan ia tidak membunuhmu karena dia tidak ingin kau mati terlalu cepat, dia ingin membuatmu seperti dirinya merasakan penderitaan batin yang hebat dan mati secara pelan-pelan"

   Mendadak Mao Toa-sianseng menghentikan gelak tertawanya, lalu meraung keras.

   "Kentut busuk makmu!"

   Toa-tauke tertegun. Tampaklah Mao Toa-sianseng sedang mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, dengan pandangan mata tak berkedip ditatapnya A-kit tajam-tajam, kemudian sepatah demi sepatah kata dia berkata.

   "Aku harus membuatmu dapat melihat diriku, sebab aku harus membuatmu memahami akan satu persoalan"

   A-kit sedang memperhatikan dengan seksama.

   "Yang kubenci bukan dirimu melainkan diriku sendiri", kata Mao Toa-sianseng.

   "sebab itu aku baru menyiksa diriku sendiri sehingga berubah menjadi begini rupa!"

   A-kit termenung sejenak, akhirnya pelan-pelan dia mengangguk.

   "Ya, aku mengerti!"

   "Kau benar-benar sudah mengerti?"

   "Ya, aku benar-benar sudah mengerti!"

   "Kau dapat memaafkan diriku?"

   "Aku.......aku sudah memaafkan dirimu semenjak dahulu!"

   Mao Toa-sianseng menghembuskan napas panjang seakan-akan ia telah melepaskan suatu beban yang beribu-ribu kati beratnya dari atas bahunya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan A-kit sembari bergumam.

   "Terima kasih banyak, terima kasih banyak......."

   Ciu Ji sianseng selama ini hanya memandang ke arahnya dengan wajah terkejut, tapi sekarang ia tak dapat mengendalikan diri lagi, segera bentaknya dengan gusar.

   "Ia telah melarikan binimu, kemudian meninggalkannya pula, tapi sekarang kau malah minta maaf kepadanya, kau malah minta kepadanya untuk memaafkan dirimu, kau.....kau....kenapa kau tidak membiarkan aku untuk membunuhnya?"

   Tadi pedangnya sudah bergerak, ia sudah mempunyai kesempatan untuk turun tangan, ia dapat melihat bahwa perhatian A-kit sudah mulai dipecahkan oleh pembicaraannya, tapi ia tak menyangka kalau sahabatnya malahan turun tangan menyelamatkan A-kit.

   Mao Toa-sianseng menghela napas panjang.

   "Aaai...kau mengira aku betul-betul sedang menolongnya barusan?", ia bertanya.

   "Memangnya bukan?", teriak Ciu Ji sianseng marah. ~Bersambung ke Jilid-11 Jilid-11

   "Sesungguhnya bukan dia yang kutolong, tapi kaulah! Kau harus tahu, seandainya tusukan tadi kau lakukan juga, maka yang tewas bukan dia melainkan dirimu!"

   Setelah tertawa getir ia melanjutkan.

   "Sekalipun aku terhitung seorang yang lupa budi, serangan kita lancarkan bersamapun belum tentu dapat melukai dirinya barang seujung rambutpun!"

   Kini kegusaran yang membakar Ciu Ji Sianseng telah berubah menjadi rasa kaget dan tercengang. Ia tahu sahabatnya ini bukan seseorang yang gemar berbohong, tapi tak tahan ia bertanya juga.

   "Serangan gabungan kita tadi hakekatnya sudah merupakan suatu serangan yang tiada taranya, masa ia sanggup untuk mematahkannya?"

   "Ya, ia bisa!"

   Rasa hormat dan kagum segera menyelimuti wajahnya, ia melanjutkan.

   "Dalam dunia dewasa ini hanya dia seorang yang dapat melakukannya, hanya satu cara yang bisa dipergunakannya!"

   "Kau maksudkan Thian-tee-ki-hun (Langit dan bumi musnah bersama).....?", seru Ciu Ji Sianseng dengan paras muka berubah.

   "Betul, bumi hancur langit goncang, langit dan bumi akan musnah bersama!"

   "Apakah dia adalah orang itu?", jerit Ciu Ji sianseng terkesiap.

   "Dialah orangnya!"

   Dengan sempoyongan Ciu Ji sianseng mundur beberapa langkah, seakan-akan ia sudah tak sanggup untuk berdiri tegak lagi.

   "Selama hidup aku hanya pernah melakukan suatu perbuatan berdosa yang tak terampuni", kata Mao Toa sianseng selanjutnya.

   "andaikata tiada seseorang yang merahasiakan kejadian tersebut, sejak semula aku sudah mati tanpa tempat kubur"

   "Dia pula orangnya!"

   "Benar!"

   Pelan-pelan dia melanjutkan.

   "Peristiwa itu sudah terjadi banyak tahun berselang, selama beberapa tahun ini akupun pernah bertemu dengannya, tapi ia selalu tak memberi kesempatan bagiku untuk berbicara, belum pernah ia mendengarkan sepatah kataku hingga selesai, sekarang..........."

   Sekarang bagaimana? Perkataan inipun tidak berkelanjutan.

   Tiba-tiba sekilas cahaya tajam tanpa menimbulkan suara apapun menyambar datang, tahu-tahu sebatang kutungan pisau sepanjang tiga depa telah menancap pada punggungnya.

   Darah segar berhamburan kemana-mana ketika tubuh Mao Toa sianseng sedang roboh ke tanah.

   Tiok Yap-cing seakan-akan sedang tertawa.

   Tapi bukan dia yang melancarkan serangan itu.

   Orang yang melancarkan serangan sama sekali tidak tertawa, padahal di hari-hari biasa pemuda itu selalu memperlihatkan sekulum senyumannya yang manis dan menawan hati, tapi sekarang ia sama sekali tidak tertawa.

   Menyaksikan ia melancarkan serangannya, Toa-tauke tampak amat terperanjat.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
A-kit ikut terperanjat.

   Ciu Ji Sianseng bukan cuma terkejut bahkan gusar sekali, dengan suara keras ia membentak.

   "Siapakah orang ini?"

   "Aku bernama Siau Te!", pemuda itu menjawab. Pelan-pelan ia maju ke depan, lalu berkata lebih jauh.

   "Aku tidak lebih hanya seorang bocah cilik yang tidak punya nama dan tak ada gunanya. Tidak seperti kalian jago-jago kenamaan, jago pedang ternama dan orang gagah yang disegani tiap manusia. Tentu saja manusia-manusia ternama macam kalian tak akan membunuh diriku!"

   "Barang siapa membunuh orang, maka terlepas siapakah dia, hukumannya adalah sama saja!", kata Ciu Ji Sianseng dengan gusar. Ia mengambil kembali pedangnya yang tergeletak di tanah. Paras muka Siau Te sama sekali tidak berubah, katanya tiba-tiba.

   "Hanya aku seorang yang berbeda, aku tahu pasti kau tak akan membunuhku!"

   Ciu Ji Sianseng telah menggenggam pedangnya, tapi tak tahan ia bertanya juga.

   "Kenapa?"

   "Sebab begitu kau turun tangan, maka pasti ada orang yang akan mewakiliku untuk membunuhmu!"

   Sambil berkata, tiba-tiba ia memandang ke arah A-kit dengan sinar mata yang sangat aneh.

   "Siapa yang akan mewakilimu untuk membunuhnya?", tak tahan A-kit bertanya.

   "Tentu saja kau!"

   "Kenapa aku musti membantumu untuk membunuhnya?"

   "Sebab walaupun aku tak punya nama dan tak berguna, tapi aku justru mempunyai seorang ibu yang baik sekali, apalagi kaupun kenal sekali dengannya!"

   Paras muka A-kit segera berubah.

   "Apakah ibumu adalah........adalah......."

   Tiba-tiba saja suaranya menjadi parau dan ia tak mampu mengucapkan nama tersebut, nama yang ia selalu berusaha untuk melupakannya tapi tak akan terlupakan untuk selamanya. Siau Te segera membantunya untuk melanjutkan perkataan itu.

   "Ibuku tak lain adalah Toa siocia dari keluarga Buyung di wilayah Kanglam, yaitu Siau sumoay dari Mao Toa sianseng......."

   Dengan senyuman di kulum, Tiok Yap-cing segera melanjutkan pula perkataan itu.

   "Adapun nama besar dari Toa-siocia ini tak lain adalah Buyung Ciu-ti......!"

   Sepasang tangan A-kit telah menjadi dingin dan kaku, demikian dinginnya hingga merasuk ke tulang sumsum.

   Siau Te memandang sekejap ke arahnya kemudian berkata lagi dengan nada hambar.

   "Berulangkali ibuku telah berpesan, barang siapa berani berbicara sembarangan di tempat luaran sehingga merusak nama baik dari keluarga persilatan Buyung, sekalipun aku tidak membunuhnya, dan kaupun pasti tak akan menyanggupinya, apalagi Mao Toa sianseng ini pada dasarnya adalah anggota perguruan keluarga Buyung, maka aku berbuat demikian sesungguhnya tak lebih hanya membantu ibuku untuk membersihkan perguruan dari anasir-anasir jahat"

   A-kit mengepal sepasang tangannya kencang-kencang, kemudian bertanya.

   "Sedari kapan ibumu memegang tampuk pimpinan keluarga Buyung?"

   "Oh, masih belum begitu lama!"

   "Kenapa ia tidak menahanmu di sampingnya?"

   Siau Te menghela napas panjang, katanya.

   "Karena aku tak lebih hanya seorang bocah yang malu diketahui orang, pada hakekatnya aku tidak pantas untuk masuk menjadi anggota keluarga Buyung, karenanya aku harus ikut orang lain dan menjadi seorang manusia gelandangan yang tak ada harganya!"

   Paras muka A-kit sekali lagi berubah hebat, sorot matanya penuh memancarkan rasa sedih dan penderitaan. Lewat lama sekali ia baru bertanya pelan.

   "Berapa umurmu tahun ini?"

   "Tahun ini aku baru berusia lima belas tahun!"

   Sekali lagi Toa-tauke merasa terkejut, siapapun tak akan menyangka kalau pemuda yang berada dihadapannya ini sebenarnya tak lebih hanya seorang bocah yang baru berusia lima belas tahun.

   "Aku tahu orang lain pasti tak akan mengira kalau tahun ini aku baru berusia lima belas tahun, seperti juga orang lain tak akan tahu kalau tahun ini Mao Toa sianseng sebenarnya baru berusia tiga puluh lima tahun!", demikian Siau Te berkata. Tiba-tiba ia tertawa, suara tertawanya begitu memedihkan hati, ia melanjutkan.

   "Hal ini mungkin dikarenakan penghidupanku selama ini jauh lebih menderita daripada anak-anak lainnya, karena itu pertumbuhankupun jauh lebih cepat daripada pertumbuhan orang lain!"

   Pengalaman yang penuh penderitaan memang merupakan faktor terpenting bagi kematangan yang lebih awal bagi sementara anak.

   Ciu Ji sianseng memandang sekejap ke arahnya, lalu memandang pula ke arah A-kit, tiba-tiba sambil mendepakkan kakinya berulang kali ke tanah, ia membopong jenazah sahabatnya dan tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu.

   Toa-tauke tahu bila dia pergi dari situ maka mau tak mau diapun harus ikut angkat kaki dari sana, tak tahan segera teriaknya.

   "Ciu Ji sianseng, harap berhenti dulu!"

   Dengan dingin Siau Te berkata.

   "Ia sadar bahwa dalam kehidupannya kali ini sudah tiada harapan untuk membalas dendam lagi, kalau tidak pergi dari sini, mau apa berdiam terus di tempat ini?"

   Perkataan itu sangat menyinggung perasaan orang, seringkali kaum pria dunia persilatan akan beradu jiwa lantaran perkataan tersebut.

   Tapi sekarang, sekalipun Ciu Ji sianseng mendengarnya dengan jelas, diapun akan berpura-pura tidak mendengar, sebab apa yang diucapkan olehnya memang merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin dibantahnya lagi.

   Oleh sebab itu dia tak mengira kalau Ciu Ji sianseng akan balik kembali ke dalam ruangan itu.

   Baru saja ke luar dari pintu gerbang, ia telah mundur kembali ke dalam ruangan, bahkan mundur dengan selangkah demi selangkah, wajahnya yang pucat membawa suatu perubahan wajah yang aneh, jelas bukan rasa sedih atau marah, melainkan rasa kejut dan takut.

   Ia sudah tak termasuk pemuda yang berdarah panas lagi, diapun bukan seseorang yang tak tahu berat entengnya persoalan.

   Tidak seharusnya ia mundur kembali ke dalam ruangan, kecuali hanya itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh olehnya.

   Siau Te segera menghela napas panjang, gumamnya.

   "Sebetulnya aku mengira dia adalah seorang manusia yang pintar, tapi kenapa justeru mencari penyakit buat dirinya sendiri?"

   "Sebab ia sudah tiada jalan lain kecuali berbuat demikian!", seseorang mendadak menyambung dari luar pintu dengan suara dingin. Suara itu sebenarnya masih berada di tempat yang amat jauh, tapi tahu-tahu di luar halaman kedengaran suara detakan nyaring dan suara itu sudah muncul dari luar pintu. Menyusul suara detakan tadi, orang itupun sudah masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang manusia cacat yang aneh sekali, kaki kanannya sudah kutung dan diganti dengan kaki kayu, sebuah codet besar berada di mata sebelah kirinya sehingga tampak tulangnya yang berwarna putih. Biasanya orang cacat semacam ini tampangnya pasti jelek dan menyeramkan, tapi orang ini ternyata di luar kebiasaan tersebut. Bukan saja dandanannya rajin dan perlente, bahkan ia terhitung seorang laki-laki yang mempunyai daya pikat yang amat besar, malahan codet di mata kirinya itu justru memperbesar daya pikat kelaki-lakiannya. Dalam ruangan itu terdapat orang-orang yang masih hidup, ada pula orang-orang yang sudah mati, tapi ia seperti tidak melihatnya sama sekali, begitu masuk ke dalam ruangan segera tegurnya dengan dingin.

   "Siapakah tuan rumah tempat ini?"

   Toa-tauke memandang sekejap ke arah A-kit, lalu memandang ke arah Tiok Yap-cing, akhirnya sambil tertawa paksa menjawab.

   "Sekarang agaknya masih aku!"

   Manusia cacat itu memutar biji matanya lalu berkata dengan angkuh.

   "Ada tamu dari jauh yang berkunjung kemari, kenapa sebuah kursipun tidak tersedia? Apakah kau tidak merasa bahwa tindakanmu sedikit kurang sopan?"

   Ketika Toa-tauke masih ragu-ragu, sambil tertawa paksa Tiok Yap-cing telah mengangkat kusir sambil bertanya.

   "Siapakah nama saudara?"

   Manusia cacat itu sama sekali tidak memperdulikannya, dia hnaya menunjukkan ke empat buah jari tangannya.

   "Oooohhh.... maksud tuan masih ada tiga orang sahabat lagi yang akan datang kemari?", tanya Tiok Yap-cing masih tetap tertawa.

   "Ehmmm!"

   Tiok Yap-cing segera mempersiapkan tiga buah bangku lagi, baru saja ia menjajarkannya menjadi satu, dari tengah udara telah melayang turun kembali dua sosok bayangan manusia.

   Bukan saja gerakan tubuhnya enteng seperti daun kering yang rontok ke tanah, wajahnyapun kurus kering tak berdaging, pinggangnya menyoren sebuah bambu yang panjangnya tiga depa, potongan badannyapun ceking sekali macam sebatang bambu.

   Tapi pakaian yang dikenakan perlente sekali, sikapnyapun sangat angkuh, terhadap manusiamanusia hidup dan mati yang berada dalam ruangan, ia memandangnya bagaikan orang mati semua.

   Seorang yang lain justru merupakan kebalikannya, dia adalah seorang laki-laki gemuk yang selalu tersenyum.

   Pada jari-jari tangannya yang putih dan gemuk mengenakan tiga buah cincin yang berbatu sangat indah, nilainya tak terkirakan.

   Kukunya tajam dan panjang sehingga kelihatannya seperti tangan seorang nyonya kaya.

   Sepasang tangan seperti ini sudah tentu paling tidak cocok untuk menggunakan pedang, manusia semacam inipun tidak mirip seorang ahli dalam ilmu meringankan tubuh.

   Tapi kalau ditinjau dari caranya sewaktu melayang turun dari tengah udara tadi, sudah pasti ilmu meringankan tubuhnya sama sekali tidak lebih lemah daripada kakek ceking macam bambu itu.

   Menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, paras muka Ciu Ji sianseng telah berubah menjadi pucat kelabu.

   Mendadak dari luar pintu kedengaran pula seseorang yang berbatuk tiada hentinya, sambil berbatuk-batuk pelan-pelan orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan.

   Dia adalah seorang hweesio tua yang berwajah penyakitan, bajunya compang-camping dan punggungnya bungkuk.

   Menjumpai kehadiran hweesio tua itu, paras muka Ciu Ji sianseng semakin memucat.

   Setelah tertawa sedih, katanya.

   "Bagus, bagus sekali, sungguh tak kusangka kaupun telah datang kemari!"

   Hweesio tua itu menghela napas panjang.

   "Aaaai.....kalau aku tidak datang, siapa yang akan datang? Kalau aku tidak masuk ke neraka, siapa pula yang akan masuk ke neraka?"

   Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut suaranya lemah tak bertenaga, bukan saja seperti orang penyakitan bahkan mirip sekali dengan seseorang yang sudah lama menderita sakit, bahkan sakitnya parah sekali!.

   Akan tetapi siapapun yang ada dalam ruangan itu sekarang, pasti tahu bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai asal-usul serta kedudukan yang luar biasa.

   Tentu saja Toa-tauke pun mempunyai pandangan demikian, ia telah mengetahui bahwa hweesio tersebut kemungkinan besar adalah satu-satunya bintang penolong yang bisa diharapkan.

   Bagaimanapun juga seorang pendeta pasti mempunyai hati yang penuh welas asih, dia tak akan membiarkan seseorang menderita tanpa berusaha untuk menolongnya.

   Maka dengan penuh rasa hormat, Toa Tauke segera bangkit berdiri, kemudian sambil tertawa paksa katanya.

   "Untung saja tempat ini bukan neraka, kalau taysu sudah sampai di sini, maka kau tidak akan merasakan pelbagai penderitaan lagi!"

   Hweesio tua itu kembali menghela napas panjang.

   "Aaaai....tempat ini kalau bukan neraka, lantas tempat manakah yang disebut neraka? Kalau aku tidak menderita, siapa pula yang akan menderita......?"

   Sekali lagi Toa-tauke tertawa paksa.

   "Setelah berada di sini, taysu akan menderita apa lagi?", katanya.

   "Menaklukkan iblis juga penderitaan, membunuh orangpun merupakan penderitaan!"

   "Aaaah....taysu juga membunuh orang?"

   "Kalau aku tidak membunuh orang, siapa yang akan membunuh orang? Kalau aku tidak membunuh orang, kenapa bisa masuk neraka?"

   Toa-tauke tak sanggup mengucapkan kata-katanya lagi. Tiba-tiba manusia cacat itu bertanya.

   "Kau tahu siapa aku?"

   Toa tauke menggelengkan kepalanya.

   Barang siapapun di dunia ini apabila ia sudah menjadi Toa-tauke seperti dia, orang yang dikenal pasti tak akan terlalu banyak.

   Manusia cacat itu kembali bertanya.

   "Kau harus tahu siapakah aku ini, berapa banyakkah manusia di dunia ini yang mempunyai mata sebuah, tangan sebuah dan kaki sebuah macam aku, tapi bisa mempergunakan sepasang pedang!"

   Ia bukan terlampau menyombongkan diri, sebab manusia semacam dia mungkin tak akan ditemukan keduanya dalam dunia persilatan dewasa ini.

   Satu-satunya orang yang mempunyai ciri semacam dia tak lain adalah jago pedang ketiga dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam yang disebut orang sebagai Yan-cu-siang-hui (Si walet yang terbang bersama) Tam Ci-hui.

   Tentu saja Toa-tauke pun mengetahui tentang orang ini, maka ia segera bertanya.

   "Kau adalah Tam tayhiap?"

   "Betul!", jawab manusia cacat itu dengan angkuh.

   "aku adalah Tam Ci-hui, akupun datang untuk membunuh orang!"

   "Masih ada aku Liu Kok-tiok", kakek ceking itu segera menambahkan dengan cepat. Kok-tiok-kiam termasuk juga salah seorang jago pedang dari wilayah Kanglam. Ia merupakan salah seorang dari sepuluh jago pedang wilayah Kanglam, tujuh orang rekannya telah tewas di ujung pedang Ciu Ji sianseng. Dengan dingin Tam Ci-hui berkata.

   "Siapakah orang yang hendak kami bunuh hari ini, rasanya sekalipun tidak kuucapkan kaupun sudah tahu!"

   Toa tauke segera menghembuskan napas panjang, katanya sambil tertawa paksa.

   "Untungnya saja kedatangan kalian kemari bukan untuk membunuh diriku......!"

   "Tentu saja bukan kau!"

   Belum habis perkataannya itu, tubuhnya sudah melompat ke tengah udara, pedangnya diloloskan dari sarung dan diantara kilatan cahaya ia langsung menusuk ke arah Ciu Ji sianseng.

   Ciu Ji sianseng memungut kembali pedangnya dan mengayunkan senjata tersebut untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.

   "Traaaang....!", sepasang pedang saling membentur satu sama lainnya, tiba-tiba cahaya pedang tersebut berubah arah dan meluncur ke arah tubuh Toa-tauke. Belum lenyap senyuman di ujung bibir Toa-tauke, kedua belah pedang itu sudah menembus tenggorokan serta jantungnya. Tak seorangpun yang menduga bakal terjadi perubahan tersebut, juga tak seorangpun yang menghalanginya. Sebab di kala sepasang pedang itu saling membentur satu sama lainnya, Tiok Yap-cing telah dirobohkan oleh hweesio tua itu. Pada saat yang bersamaan pula, Kok-tiok-kiam serta si gemuk berusia setengah umur yang selalu tersenyum itu telah tiba di samping Siau Te. Pedang Kok-tiok-kiam belum sampai diloloskan dari sarungnya, dengan gagang pedangnya ia sudah menumbuk iga kiri Siau Te. Siau Te ingin menyusup ke depan, tapi pedang Ciu Ji Sianseng dan Tam Ci-hui kebetulan sedang meluncur datang dari hadapannya. Terpaksa dia harus berkelit ke samping kanan, sebuah tangan lembut seperti tangan nyonya kaya telah menunggu di sana, tiba-tiba kukunya yang lembut itu meluncur ke depan, sepuluh buah kuku tajam bagaikan sepuluh pedang pendek yang tajam tahu-tahu sudah tiba di tenggorokan serta alis matanya. Sekarang ia sudah tak sanggup untuk menyelamatkan diri lagi, tampaknya ia akan segera tewas di ujung kuku tajam itu. Tapi A-kit tak dapat membiarkan ia mati, yaa, tak dapat!. Baru saja pedang panjang milik Kok-tiok-kiam diloloskan dari sarungnya, mendadak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat dari hadapannya, tahu-tahu pedang itu sudah berpindah tangan, kemudian cahaya pedang kembali berkelebat lewat, mata pedang tahu-tahu sudah menempel di tenggorokannya. Mata pedang itu tidak ditusukkan lebih lanjut, sebab kuku dari laki-laki gemuk berusia setengah umur itupun tidak melanjutkan tusukannya. Gerakan dari setiap orang telah terhenti, setiap orang sedang memperhatikan pedang di tangan Akit. Sebaliknya A-kit sedang memperhatikan kesepuluh buah kuku yang lebih tajam dari pedang itu. Waktu yang teramat singkat itu dirasakan seperti setahun lamanya, akhirnya hweesio tua itu menghela napas panjang.

   "Sungguh cepat amat gerakan tangan saudara!", katanya.

   "Akupun bisa membunuh orang!", kata A-kit.

   "Tapi apa hubungannya antara persoalan ini dengan dirimu?"

   "Sama sekali tak ada!"

   "Kalau memang begitu, kenapa mesti mencampuri urusan ini?"

   "Sebab orang itu justru mempunyai sedikit hubungan dengan diriku!"

   Hweesio tua itu memandang sekejap ke arah Siau Te, lalu memandang pula tangan nyonya kaya itu, akhirnya dia menghela napas panjang.

   "Aaaai......seandainya kau bersikeras hendak menolongnya, aku kuatir hal ini akan sulit sekali"

   "Kenapa?"

   "Karena tangan itu!"

   Pelan-pelan ia melanjutkan kembali kata-katanya.

   "Karena tangan tersebut adalah tangan Siu-hun-jiu (Tangan perenggut nyawa) dari Hok-kui-sinsian (Dewa rejeki dan kemuliaan) yang bisa menutul besi menjadi emas, menutul kehidupan menjadi kematian. Sekalipun kau membunuh Liu Kok-tiok, sicu muda itupun pasti akan mati!"

   "Apakah kalian tidak sayang mempergunakan nyawa dari Liu Kok-tiok untuk ditukar dengan selembar jiwanya?"

   Setiap orang memperhatikan pedang yang berada di tangan A-kit itu.

   "Benar!", ternyata jawaban dari hweesio tua itu cukup singkat tapi jelas. Paras muka A-kit segera berubah.

   "Ia tak lebih hanya seorang bocah, kenapa kalian harus membinasakannya.....!", ia bertanya. Tiba-tiba hweesio tua itu tertawa dingin.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia hanya seorang bocah?", ejeknya.

   "dia tak lebih hanya seorang bocah? Aku rasa tidak terlalu banyak bocah semacam dia di dunia ini"

   "Tahun ini usianya belum mencapai lima belas tahun!", kembali A-kit berkata.

   "Hmmm....! Kalau begitu kami tak akan membiarkan dia untuk hidup sampai usia enam belas tahun!"

   "Kenapa?"

   Hweesio tua tidak menjawab, sebaliknya malah balik bertanya.

   "Tahukah kau tentang Thian-cun?"

   "Thian-cun?"

   Hweesio tua kembali menghela napas, pelan-pelan ia mengucapkan delapan bait syair.

   "Langit bumi tidak berperasaan. Setan dan malaikat tidak bermata. Segala benda dan makhluk di dunia tak berdaya. Mati dan hidup tidak berbeda. Rejeki dan bencana tidak berpintu. Langit dan bumi, alam semesta dan alam baka, hanyalah aku yang dipertuan."

   "Siapakah yang berkata begini? Sungguh besar amat lagaknya!", seru A-kit sambil berkerut kening.

   "Itulah bait syair yang diucapkan ketika perguruan Thian-cun dibuka secara resmi, bahkan langit dan bumi, setan dan malaikatpun tidak ia pandang sebelah matapun, apalagi hanya manusia. Apa yang mereka perbuat bisa kau bayangkan sendiri"

   "Benar!", sambung Ciu Ji sianseng.

   "daya pengaruh mereka sedemikian luasnya sehingga sama sekali tidak berada di bawah perkumpulan Cing-liong-hwe di masa lalu, sayangnya dalam dunia persilatan justru masih terdapat kami beberapa orang yang masih percaya dengan tahayul dan apa mau dibilang justru kamilah yang selalu diincar"

   "Oleh karena itulah dendam pribadi antara sepuluh jago pedang dari Kanglam dengan Ciu Ji sianseng sudah berubah menjadi tak seberapa lagi", lanjut Tam Ci-hui.

   "asal dapat melenyapkan pengaruh jahat mereka, sekalipun batok kepala sendiripun aku orang she Tam rela berkorban, apalagi hanya sedikit dendam pribadi"

   "Perkumpulan yang mengkoordinir pengaruh jahat di tempat ini tak lain adalah sebagian dari kekuasaan di bawah pimpinan Thian-cun", kata Ciu Ji sianseng.

   "Untuk sementara waktu kami masih belum sanggup untuk melenyapkan mereka ke akar-akarnya karena itu terpaksa harus kami kerjakan dari cabang-cabangnya yang terkecil!", hweesio tua itu menambahkan.

   "Bocah yang hendak kau tolong itu adalah orang yang dikirim dari pihak Thian-cun!"

   "Perintah dari Thian-cun selamanya diturunkan lewat dirinya, ialah yang secara diam-diam mengendalikan semua keadaan di sini, Toa-tauke maupun Tiok Yap-cing tidak lebih hanya boneka-boneka di bawah perintahnya......!"

   Hweesio tua itu berhenti sebentar, kemudian pelan-pelan melanjutkan lebih jauh.

   "Sekarang tentunya kau sudah mengerti bukan, kenapa kami tak dapat melepaskannya dengan begitu saja?"

   Paras muka A-kit pucat pias seperti mayat, dengan nama besar serta kedudukan sepuluh jago pedang dari wilayah Kanglam, sudah barang tentu mereka tak akan mencelakai seseorang bocah tanpa alasan yang kuat, apa yang mereka ucapkan mau tak mau harus dipercaya juga.

   "Sekarang setelah kau mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, apakah kau masih ingin menyelamatkan jiwanya?", hweesio tua itu bertanya lagi.

   "Benar!", jawab A-kit. Paras muka Hweesio tua itu segera berubah hebat. Tidak menunggu ia buka suara, A-kit telah bertanya lagi.

   "Apakah dia adalah pemimpin dari Thian-cun itu?"

   "Tentu saja bukan!"

   "Siapakah pemimpin dari Thian-cun?"

   "Pemimpin dari Thian-cun, tentu saja bernama Thian-cun!"

   "Andaikata ada seseorang ingin mempergunakan selembar nyawanya untuk ditukar dengan nyawa bocah ini, bersediakah kalian menerimanya?"

   "Tentu saja bersedia, cuma sayang sekalipun kami bersedia, barter ini sudah pasti tidak akan bisa berlangsung sebagaimana mestinya......"

   "Kenapa?"

   "Sebab tak ada orang yang bisa membunuh Thian-cun, tak ada orang yang bisa menandinginya!"

   Tiba-tiba suaranya terhenti di tengah jalan, dengan menampilkan suatu mimik wajah yang sangat aneh, ia seperti melayangkan pikirannya ke tempat yang jauh, lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru menambahkan.

   "Mungkin ada seseorang yang sanggup melakukannya!"

   "Siapa?"

   "Sam........"

   Dia hanya mengucapkan sepatah kata, lalu berhenti lagi, setelah menghela napas panjang terusnya.

   "Sayang orang ini sudah tiada lagi di dunia ini, sehingga sekalipun dibicarakan juga tak berguna"

   "Tapi apa salahnya kalau kau katakan kembali?"

   Sorot mata hweesio itu seakan-akan sedang memandang kejauhan lagi, kemudian gumamnya.

   "Di atas langit di bawah bumi hanya ada dia seorang dengan sebilah pedangnya yang tiada keduanya di dunia ini, hanya ilmu pedangnya baru betul-betul terhitung ilmu pedang yang tiada tandingannya di dunia ini!"

   "Kau maksudkan.........."

   "Yang kumaksudkan adalah Sam sauya!"

   "Sam sauya yang mana?"

   "Sam sauya dari lembah Cui-hui-kok, telaga Liok-sui-oh, perkampungan Sin-kiam-san-ceng, Sam sauya dari keluarga Cia, Cia Siau-hong adanya!"

   Tiba-tiba wajah A-kit menunjukkan mimik wajah yang sangat aneh, seakan-akan pikiran dan perasaannya sedang berada pula di tempat yang amat jauh. Lama, lama sekali, sepatah demi sepatah kata ia baru menjawab.

   "Akulah Cia Siau-hong!"

   Di atas langit di bawah bumi hanya ada seorang manusia yang bernama Cia Siau-hong.

   Bukan saja dia adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit, diapun seorang manusia yang berbakat, semenjak dilahirkan, ia telah mendapatkan segala kasih sayang dan segala keberhasilan, tak seorang manusiapun yang dapat menandinginya.

   Ia cerdik lagi tampan, tubuhnya sehat dan badannya tinggi kekar, sekalipun orang yang membenci dirinya, memusuhi dirinya dan mempunyai dendam sakit hati sedalam lautan dengannya, mau tak mau mengagumi juga kehebatannya itu.

   Perduli siapapun orang itu, semuanya tahu bahwa Cia Siau-hong adalah manusia semacam itu, tapi siapa pula yang benar-benar dapat memahami dirinya.

   Siapa pula yang betul-betul bisa menyelami perasaannya dan mengenali kepribadiannya? ooooOOOOoooo Bab 14.

   Sam Sauya Apakah ada orang yang benar-benar memahaminya? Baginya hal itu bukan suatu masalah.

   Karena ada sementara orang yang semenjak dilahirkan memang tidak membutuhkan pengertian dari orang lain, seperti juga malaikat atau dewa atau sebangsanya.

   Justru karena tiada seorang manusiapun yang memahami malaikat, maka ia baru mendapat penghormatan serta sembahan dari umat manusia di dunia ini.

   Dalam pandangan dan perasaan di dunia, Cia Siau-hong hakekatnya sudah mendekati malaikat.

   Tapi bagaimana dengan A-kit? A-kit tidak lebih hanya seorang gelandangan dari dunia persilatan, ia tak lebih hanyalah A-kit yang tak berguna.

   Bagaimana mungkin Cia Siau-hong bisa berubah menjadi manusia seperti A-kit? Tapi sekarang justru ia berkata demikian.

   "Akulah Cia Siau-hong!"

   Benarkah itu? Hweesio tua itu tertawa. Ia tertawa terbahak-bahak.

   "Haaaaahhhh..... haaaahhhhh...... haaahhhh.... engkaukah Cia Siau-hong, Sam sauya dari keluarga Cia?"

   "Ya, akulah orangnya!", jawab A-kit. Ia tidak tertawa. Persoalan ini sebenarnya adalah rahasianya, juga merupakan penderitaannya, sebenarnya ia lebih suka mati daripada mengutarakannya kembali, tapi sekarang ia telah mengucapkannya. Sebab ia tak dapat membiarkan Siau Te mati, hal ini jelas tak akan boleh sampai terjadi. Akhirnya hweesio tua itu menghentikan gelak tertawanya, dengan dingin ia berkata.

   "Tapi sayang, setiap umat persilatan telah mengetahui bahwa ia telah mati!"

   "Dia belum mati!"

   Sinar matanya penuh pancaran rasa sedih dan penderitaan, katanya lebih lanjut.

   "Mungkin perasaannya telah mati, tapi orangnya sampai sekarang belum mati!"

   "Justru oleh karena perasaannya telah mati, maka ia telah berubah menjadi A-kit?", tanya hweesio tua itu sambil menatapnya lekat-lekat. Pelan-pelan A-kit mengangguk, sahutnya dengan sedih.

   "Sayang sekali perasaan A-kit belum mati, oleh karena itu mau tak mau Cia Siau-hong harus hidup lebih lama!"

   "Aku percaya kepadanya!", tiba-tiba Ciu Ji sianseng berkata.

   "Kenapa kau percaya?", tanya si hweesio tua.

   "Karena kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua yang dapat membuat Mao It-leng bertekuk lutut!"

   "Akupun percaya!", Lui Kok-tiok melanjutkan.

   "Kenapa?", kembali si hweesio tua bertanya.

   "Karena kecuali Cia Siau-hong, aku betul-betul tak dapat menemukan orang kedua yang bisa merampas pedangku dalam satu gebrakan saja?"

   "Dan kau?"

   Yang ditanya si hweesio tua itu adalah Hok-kui-sin-sian-jiu (Tangan dewa rejeki dan kemuliaan).

   Sin-sian-jiu tidak bersuara, tapi tangannya yang seperti tangan nyonya kaya itu pelan-pelan diturunkan ke bawah, kuku-kukunya yang lebih tajam daripada pedangpun ikut menjadi lemas.

   Hal itu sudah merupakan jawabannya yang terbaik.

   Cia Siau-hong sekali membalikkan tangannya, pedang Kok-tiok-kiam telah disarungkan kembali, disarungkan ke dalam sarung pedang yang terselip di pinggang Liu Kok-tiok.

   Siau Te telah memutar badannya dan berhadapan muka dengannya, memandang wajahnya itu tiba-tiba sinar matanya menunjukkan suatu perubahan aneh yang sukar dilukiskan dengan katakata.

   Hok-kui-sin-sian-jiu telah menggunakan kembali sepasang tangannya yang mirip tangan nyonya kaya itu untuk menepuk bahunya, lalu sambil tersenyum berkata.

   "Apakah kau telah lupa untuk melakukan suatu perbuatan? Lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Sam sauya atas budi pertolongannya untuk menyelamatkan jiwamu?"

   Siau Te menundukkan kepalanya, akhirnya pelan-pelan ia maju ke depan, lalu pelan-pelan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

   Cia Siau-hong menarik tangannya, wajah yang semula layu dan penuh kerutan lelah, seakan-akan telah bersinar kembali.

   Tiba-tiba Siau Te menengadahkan kepalanya dan bertanya.

   "Mengapa kau.....kau menolongku?"

   Cia Siau-hong tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawa penuh kegirangan, tapi seakan-akan juga penuh kepedihan hati.

   Senyumannya masih menghiasi ujung bibirnya, tapi ternyata urat nadi pada lengan kanannya telah dicengkeram.

   Siau Te lah yang mencengkeram urat nadinya, yang digunakan adalah salah satu ilmu cengkeraman yang terlihay dari Jit-cap-ji-siau-ki-na-jiu-hoat (Tujuh puluh dua macam ilmu mencengkeram).

   Pada saat yang bersamaan itulah Tam Ci-hui telah melayang ke udara dan melepaskan sebuah tendangan ke arah Cia Siau-hong.

   "Criiing.....!", mendadak dari balik kaki kayunya memantul ke luar sebilah pedang, dan baru saja tubuhnya melayang ke udara, pedang itu sudah menusuk ke atas bahu Cia Siau-hong. Itulah pedangnya yang kedua. Dan itu pula alat pembunuhnya yang sesungguhnya dan telah mengangkat namanya selama ini. Cia Siau-hong tidak menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Sebab pada detik itulah ia sedang memperhatikan Siau Te, dibalik sinar matanya sama sekali tiada pancaran sinar kaget, gusar atau ngeri, yang ada hanya rasa sedih, kecewa dan penderitaan. Hingga ujung pedang itu menembusi bahunya dan darah segar berhamburan ke mana-mana, sinar matanya masih belum juga bergeser dari posisinya semula. Waktu itu Ciu Ji sianseng dan pedang Liu Kok-tiok telah menusuk datang pula, selain itu masih ada pula tangan maut yang lembut seperti tangan nyonya kaya itu, Hok-kui-sin-sian-siu-hun-jiu. Cia Siau-hong masih belum juga berkutik, berkelitpun tidak. Walaupun urat nadi pada tangan kanannya telah dicengkeram, tapi ia masih mempunyai tangan yang lain. Tapi kenapa ia belum juga berkutik? Apakah jago pedang yang tiada tandingannya di kolong langit ini tak mampu membebaskan diri dari cengkeraman seorang bocah kecilpun? Pedang milik Ciu Ji sianseng jauh lebih cepat daripada pedang milik Liu Kok-tiok. Yang ditusuk adalah lutut kiri Cia Siau-hong, sekalipun lutut kiri bukan tempat yang mematikan di tubuh manusia, namun cukup membuat seseorang tak mampu bergerak lagi. Serangannya itu tepat dan ganas, kalau ingin melukai tempat mematikan di tubuh Cia Siau-hong, percayalah serangannya tak bakal meleset. Mereka sama sekali tidak ingin mencabut jiwanya dengan segera. Tapi terhadap tusukan itupun Cia Siau-hong tidak menghindar, di mana pedangnya berkelebat lewat, percikan darah segar segera menodai seluruh wajah Siau Te. Menyusul kemudian pedang dari Liu Kok-tiok pun menusuk tiba. Tiba-tiba Siau Te meraung keras, ia melepaskan cengkeramannya pada tangan Cia Siau-hong dan mendorongnya dengan sekuat tenaga, kemudian dengan mempergunakan lengan sendiri menangkis datangnya tusukan pedang Kok-tiok-kiam itu, secara tepat ujung pedang menusuk persendian tulangnya........

   "Kau gila?", bentak Liu Kok-tiok dengan gusar, ia mencoba untuk mencabut pedangnya tapi tidak berhasil. Tam Ci-hui melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, pedang pada kaki kayunya dan pedang di tangan serentak direntangkan dan menyerang dengan jurus andalannya, Yan-cu-sianghui. Berbareng itu pula pedang Ciu Ji sianseng menyabet dari samping memapas wajah Cia Siauhong. Tiga bilah pedang dari tiga arah yang berlainan secepat sambaran kilat dan sekeji ular berbisa menerobos masuk ke depan.

   "Taaaakk......!", tiba-tiba pedang Ciu Ji sianseng miring ke samping karena terhantam suatu kekuatan besar hingga menancap pada kaki kayu dari Tam Ci-hui. Karena kehilangan keseimbangan tubuhnya, kontan saja tubuh Tam Ci-hui terjatuh dari tengah udara.

   "Kraaaak.....", lengannya patah menjadi dua dan pedangnya lenyap tak berbekas. Pedang Kok-tiok-kiam telah dijepit oleh Siau Te, tetapi Siau Te sendiripun terpantek oleh pedang Kok-tiok-kiam. Dalam keadaan inilah, tangan-tangan maut dari Hok-kui-sin-sian-jiu telah muncul kembali di tenggorokan dan alis mata Siau Te. Tiba-tiba cahaya pedang berkelebat lewat, sepasang sepuluh jari tangan nyonya kaya yang tajam itu sudah tersayat kutung, satu demi satu rontok ke tanah, darah kental berceceran sampai di mana-mana. Cahaya pedang sekali lagi berkelebat lewat, darah segar kembali memancar ke empat penjuru, ketika Liu Kok-tiok roboh terkapar ke tanah, Siau Te sudah melayang ke luar dari pintu. Tak seorangpun yang mengejar ke depan, karena di depan pintu telah berdiri seseorang. Setelah merampas pedang, mengayun pedang, membacok kuku, menusuk orang serta mendorong Siau Te keluar dari pintu tadi, Cia Siau-hong telah menghadang di depan pintu dengan tubuhnya. Sekarang, setiap orang sudah tahu bahwa dia adalah Cia Siau-hong. Dalam genggamannya masih ada pedang, siapa yang berani sembarangan berkutik bila di tangan Sam sauya dari keluarga Cia masih menggenggam sebilah pedang? Sekalipun ia sudah terluka, sekalipun darah kental masih bercucuran dari mulut lukanya, tak seorangpun berani sembarangan berkutik. Menunggu ia sudah mundur lama sekali dari situ, hweesio tua baru menghela napas panjang, katanya.

   "Benar-benar suatu ilmu pedang yang tiada ke duanya di dunia ini, benar-benar dia adalah Cia Siau-hong yang tiada bandingannya di kolong langit.......!"

   Tiok Yap-cing kena dirobohkan tadi dan selalu tergeletak dengan tubuh kaku di tanah itu mendadak berkata.

   "Ilmu pedangnya memang sungguh bagus dan indah, tapi belum tentu sudah tiada ke duanya lagi di dunia ini!"

   Pelan-pelan ia bangun dan berduduk, sekulum senyuman bahkan menghiasi ujung bibirnya. Ternyata si hweesio tua tidak terperanjat, dia hanya melotot sekejap ke arahnya lalu berkata dengan ketus.

   "Ilmu pedang yang dimiliki Yan sianseng tentu saja bagus pula, kenapa kau tidak mencabut pedang dan menyerangnya tadi? Seharusnya kau menantang dia untuk berduel satu lawan satu!"

   Tiok Yap-cing kembali tersenyum.

   "Aku tak mampu menandinginya!", ia mengakui.

   "Masa kau tahu ada yang dapat menandingi dirinya?"

   "Paling tidak masih ada seorang!"

   "Hujin maksudmu?"

   Tiok Yap-cing hanya tersenyum dan tidak menjawab, sebaliknya ia malah bertanya.

   "Kau pernah menyaksikan hujin (nyonya) turun tangan?"

   "Belum pernah!"

   "Itulah disebabkan hujin tak perlu turun tangan sendiri, sekalipun dia ingin membunuh seseorang!"

   "Tapi siapakah yang mampu mewakilinya untuk membinasakan Cia Siau-hong.....?"

   "Yan Cap-sa!"

   Hweesio tua itu termenung lama sekali, kemudian kembali menghela napas panjang.

   "Aaaai....betul, Yan Cap-sa! Orang itu seharusnya memang Yan Cap-sa......!, bisiknya kemudian.

   "Dalam dunia dewasa ini, kecuali hujin mungkin dia seorang yang mengetahui titik kelemahan dari ilmu pedang yang dimiliki Cia Siau-hong!"

   "Tapi semenjak ia mengukir tanda di perahu dan menenggelamkan pedangnya ke dasar telaga Liok-sui-oh, belum pernah ada seorang manusiapun yang pernah menyaksikan jejaknya dalam dunia persilatan, mana mungkin dia mencari Cia Siau-hong demi kepentingan hujin?"

   "Ya, ini memang tak mungkin!"

   "Maksudmu Cia Siau-hong yang akan mencarinya?"

   "Inipun tak mungkin!", sahut Tiok Yap-cing. Setelah tersenyum, ia menambahkan.

   "Tapi aku yakin, dalam suatu kesempatan yang tak terduga, mereka pasti akan saling berjumpa muka!"

   "Benarkah suatu perjumpaan yang tak terduga?"

   Tiok Yap-cing mengebaskan ujung bajunya sambil beranjak, sahutnya dengan hambar.

   "Apakah ada rasa cinta? Ataukah tiada rasa cinta? Ada maksud? Ataukah tiada maksud? Siapa yang dapat membedakan ke dua hal tersebut dengan tenang dan jelas?"

   Malam telah tiba, seluruh halaman rumah itu berada dalam suasana yang hening dan gelap, tapi Cia Siau-hong berjalan dengan langkah cepat, ia tak memerlukan cahaya lampu, tapi ia dapat menemukan jalanan yang terbanting di sana.

   Di dalam halaman rumah itulah, di saat malam yang sama heningnya, entah berapa kali ia telah bangun dari tidurnya dan berdiri di tengah hembusan angin malam yang dingin dan merasakan kesepian.

   Bintang-bintang yang tersebar di langit malam ini jauh lebih suram daripada kemarin, demikian pula Cia Siau-hong yang kini bukanlah A-kit yang tak berguna kemarin.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Semua kejadian dalam dunia ibaratnya buah-buah catur, sering berubah dan sering berganti, siapakah yang dapat meramalkan kejadian apa yang bakal dialaminya besok? Kini satu-satunya orang yang paling ia kuatirkan adalah orang yang berada di sampingnya sekarang.

   Siau Te berjalan di sampingnya dengan mulut membungkam, sesudah menembusi halaman rumah yang gelap, mendadak ia berhenti sambil berkata.

   "Kau pergilah!"

   "Kau tidak pergi?"

   Siau Te gelengkan kepalanya berulang kali, di tengah kegelapan malam, wajahnya tampak pucat pasi seperti mayat, lewat lama sekali pelan-pelan ia baru berkata.

   "Jalan yang kita tempuh sesungguhnya bukanlah sebuah jalan yang sama, lebih baik kau melewati jalanmu dan aku menempuh jalananku!"

   Cia Siau-hong memperhatikan kembali paras mukanya yang pucat, ia merasakan hatinya sakit sekali. Setelah lewat agak lama ia baru bertanya lagi.

   "Apakah kau tak dapat beralih ke jalanan lain?"

   "Tidak dapat!", Siau Te berteriak keras sambil mengepal sepasang tangannya kencang-kencang. Tiba-tiba ia memutar badannya sambil menerjang keluar, tapi baru saja tubuhnya melompat, ia sudah terjatuh kembali dari tengah udara. Wajahnya semakin memucat, peluh dingin mengucur keluar bagaikan hujan, dia ingin meronta dan bangun berdiri tapi untuk berdiri tegakpun ia sudah tak mampu. Sebenarnya dia mengira tusukan dari Liu Kok-tiok tadi masih sanggup ditahan olehnya, tapi sekarang ia merasakan bahwa mulut lukanya makin lama semakin sakit, semakin dirasakan semakin tak tahan. Akhirnya diapun jatuh tak sadarkan diri. Ketika sadar kembali, ia dapatkan dirinya sedang berbaring dalam sebuah ruangan yang kecil dengan lampu yang redup. Cia Siau-hong duduk di bawah sinar lampu sambil memperhatikan sepotong ujung pedang yang panjangnya setengah inci. Itulah ujung pedang dari Kok-tiok-kiam. Ketika Kok-tiok-kiam dicabut keluar tadi, masih tertinggal sepotong ujung pedang dalam sendi tulangnya, rasa sakit tersebut sungguh amat berat untuk dirasakan. Andaikata Cia Siau-hong tidak memiliki sepasang tangan yang kuat, mana mungkin kutungan ujung pedang itu dapat dicabut keluar? Tapi pakaiannya hingga kini belum mengering, telapak tangannya masih berkeringat, hingga kini tangannya baru mulai gemetar. Siau Te memandang ke arahnya, tiba-tiba ia berkata.

   "Tusukan pedang ini sebenarnya ditujukan ke tubuhmu!"

   "Aku tahu", Cia Siau-hong tertawa getir.

   "Oleh karena itulah meski kau telah mengobati lukaku, akupun tak usah berterima kasih kepadamu!"

   OoooOOOOoooo Bab 15. Benang Cinta Yang Tak Mudah Putus "Yaaa, kau memang tak perlu berterima kasih........", Cia Siau-hong berbisik.

   "Oleh karena itulah bila aku hendak pergi meninggalkan tempat ini, kaupun tak usah menahan diriku lagi!"

   "Kapan kau akan pergi?"

   "Sekarang!"

   Tapi Siau Te tak dapat pergi, karena ia masih belum memiliki tenaga untuk berdiri. Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri dan berjalan ke ujung pembaringan, sambil mengawasi tajam-tajam mendadak ia bertanya.

   "Dulu, pernahkah kau berjumpa denganku?"

   "Walaupun orang yang belum pernah berjumpa denganmu, pasti pernah menyaksikan lukisanmu yang dibuat khusus oleh orang lain!"

   Cia Siau-hong sama sekali tidak bertanya siapa yang telah melukis wajahnya. Ia sudah tahu siapakah orang ini.

   "Aku hanya pernah memberitahukan kepada seseorang!"

   "Siapa?"

   "Thian-cun!"

   "Ooooh....karena itu diapun menyusun rencana tersebut untuk membinasakan diriku?", kata Siauhong.

   "Iapun tahu, bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk membinasakan dirimu!"

   "Kalau begitu, Tam Ci-hui, Liu Kok-tiok, Hok-kui-sin-sian-jiu serta hweesio tua adalah orangorangnya Thian-cun?"

   "Ciu Ji sianseng juga orang mereka!", Siau Te menambahkan. Lama sekali Cia Siau-hong termenung, ia seperti lagi memikirkan suatu persoalan penting, kemudian pelan-pelan baru bertanya.

   "Apakah Thian-cun adalah ibumu?"

   Sesungguhnya pertanyaan ini sudah lama sekali ingin diajukan, hanya selama ini ia tak berani untuk menanyakannya. Jawaban dari Siau Te ternyata cepat sekali.

   "Benar, Thian-cun adalah ibuku. Sekarang akupun tak perlu merahasiakan lagi di hadapanmu!"

   "Seharusnya kau tak perlu merahasiakan persoalan itu di hadapanku, karena di antara kita berdua tidak seharusnya mempunyai rahasia lagi!", kata Cia Siau-hong dengan sedih.

   "Kenapa?", Siau Te menatapnya lekat-lekat. Kesedihan dan penderitaan kembali memancar ke luar dari balik mata Cia Siau-hong, gumamnya.

   "Kenapa? Kenapa? Masakah kau benar-benar tidak tahu kenapa?"

   Siau Te kembali menggelengkan kepalanya.

   "Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, kalau toh ibumu hendak membunuhku, kenapa kau malah menyelamatkan diriku?"

   Siau Te masih juga gelengkan kepalanya, rasa sedih dan bingung menyelimuti juga wajahnya, tiba-tiba ia melompat bangun dari pembaringan, mengerudungi kepala Cia Siau-hong dengan kain selimutnya dan sekali tendang pintu depan ia telah menerjang ke luar dari sana.

   Seandainya Cia Siau-hong ada niat untuk melakukan pengejaran, sekalipun mempergunakan seribu atau selaksa lembar selimut untuk mengerudungi kepalanya juga tak akan mampu untuk menghalangi niatnya.

   Tapi ia tidak melakukan pengejaran, sebab ketika melepaskan selimut dari kepalanya, ia telah menyaksikan Buyung Ciu-ti.

   Di bawah sinar bintang yang dingin dan terang, di tengah malam yang cerah dan bersih dan di dalam halaman kecil yang sepi dan tenang, tumbuhlah sebatang pohon Pek yang telah layu.

   Di bawah pohon itulah tampak seseorang berdiri seorang diri di sana, pakaiannya berwarna polos dan sederhana.

   Tak ada yang tahu dari mana ia datang, tak ada pula yang tahu sejak kapankah ia datang.

   Di kala ia (perempuan) hendak datang, diapun datang, di kala dia hendak pergi, siapapun tak dapat menghalangi.

   Ada orang mengatakan bahwa ia adalah bidadari dari khayangan, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah peri cantik dari bumi, tapi terlepas apapun yang dikatakan orang banyak, selamanya ia tak pernah ambil perduli.

   Sudah ada lima belas tahun lamanya.

   Dalam lima belas tahun yang panjang, empat ribu hari yang tak panjang tak pendek, panas ya dingin, manis dan getir, masih ada berapa banyak orangkah yang tetap hidup? Ada berapa pula yang telah mati? Ada berapa orang tetap biasa saja? Ada berapa pula yang telah berubah? Akan tetapi ia tidak berubah.

   Lima belas tahun berselang, ketika untuk pertama kali berjumpa dengannya, ia sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini.

   Tapi berapa banyak perubahan yang telah ia (lelaki) alami? Pepohonan di tengah halaman bergoyang terhembus angin, lampu lentera dalam ruanganpun bergoyang-goyang dimainkan angin.

   Ia tidak masuk ke dalam ruangan, dan iapun tidak keluar dari ruangan, mereka hanya saling berpandangan dengan tenang.

   Hubungan di antara mereka berdua selalu memang demikian, sukar untuk di raba oleh siapapun.

   Tak ada yang bisa memahami perasaan cinta kasihnya kepadanya, dan tak ada pula yang tahu apa yang sedang ia pikirkan.

   Perduli apapun yang sedang ia pikirkan, paling tidak tiada tanda-tanda sedikitpun yang bisa kau temukan di atas wajahnya.

   Sudah sejak lama ia belajar menyembunyikan perasaan di hadapan orang lain, terutama terhadap lelaki ini.

   Ia menggerakkan tangannya dan membenahi rambutnya yang kusut terhembus angin, tiba-tiba ia tertawa, jarang sekali ia tertawa.

   Senyuman itu seperti juga dengan orangnya, begitu cantik, anggun dan mengambang, seperti pula angin lembut di musim semi, siapakah yang dapat menangkapnya? Suaranya seperti juga kelembutan angin di musim semi, katanya lirih.

   "Sudah berapa lama? Lima belas tahunkah? Atau sudah enam belas tahun?"

   Ia tidak menjawab, karena dia tahu bahwa perempuan itu pasti mengingat lebih jelas daripadanya, mungkin saja iapun dapat mengingat-ingat setiap peristiwa yang terjadi setiap harinya dulu. Senyuman perempuan itu makin lembut dan hangat.

   "Agaknya kau masih belum berubah", katanya masih seperti dulu, tidak begitu suka berbicara. Dengan dingin Cia Siau-hong menatap wajahnya lama, lama sekali, ia baru bertanya dengan ketus.

   "Masih ada persoalan apa lagi yang hendak kita bicarakan?"

   Tiba-tiba senyumannya lenyap, kepalanya ditundukkan rendah-rendah.

   Ya.......sudah tak ada lagi.......sudah tak ada lagi......

   Benarkah sungguh-sungguh tak ada? Apapun tak ada lagi? Tidak, tidak mungkin! Tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menatapnya tajam-tajam, katanya.

   "Seandainya di antara kita berdua benar-benar sudah tiada persoalan lagi, kenapa aku musti datang mencarimu?"

   Sesungguhnya kalimat semacam ini lebih pantas diajukan Cia Siau-hong kepadanya, tapi sekarang ia telah mengajukannya bagi diri sendiri.

   Kemudian iapun memberi jawaban bagi dirinya sendiri.

   "Aku datang, karena aku hendak membawa pergi bocah itu, dahulu kalau toh kau sudah tidak mau dirinya lagi, kenapa musti kau ganggu dirinya sekarang, sehingga mendatangkan kepedihan dan penderitaan baginya?"

   Kelopak matanya menyusut kencang, seakan-akan di tusuk oleh jarum yang tajam secara tibatiba. Perempuan itupun menyusupkan kelopak matanya, ia berkata lebih jauh.

   "Aku datang karena aku hendak memberitahukan kepadamu bahwa kau harus mati!"

   Suaranya berubah menjadi dingin seperti es, seakan-akan berubah menjadi seseorang yang lain secara mendadak.

   "Begitu pula aku hendak membuat kau mati di tanganku kali ini", Cia Siau-hong mendengus dingin.

   "Hmmm! Jika Thian-cun ingin membunuh orang, kenapa musti turun tangan sendiri?"

   "Untuk membunuh orang lain, selamanya aku tak pernah melakukannya sendiri, tapi terkecuali bagimu!", Buyung Ciu-ti menegaskan. Segulung angin kembali berhembus lewat dan sekali lagi mengacaukan rambutnya yang panjang. Angin itu belum lagi berhembus lewat, ia telah menubruk ke depan, menubruk seperti seorang gila, seakan-akan ia telah berubah lagi menjadi seperti orang yang lain. Sekarang ia sudah bukan seorang gadis yang anggun, cantik dan lembut bagaikan hembusan angin di musim semi lagi. Diapun tidak mirip Buyung hujin yang cerdik, keji dan berkekuasaan besar serta disegani tiap umat persilatan lagi. Sekarang ia tak lebih hanya seorang perempuan biasa, perempuan yang terbelenggu oleh benang cinta, dan menjadi bingung karena tak sanggup mengendalikan diri. Ia tidak menunggu sampai Cia Siau-hong turun tangan lebih dulu, diapun tidak menunggu sampai ia memperlihatkan titik kelemahannya yang mematikan itu lebih dahulu. Bahkan tubrukannya kali ini dilakukan secara mengawur, kepandaian silat yang dimilikinya sama sekali tak digunakan. Sebab ia amat mencintai laki-laki itu, tapi membenci pula laki-laki itu, cintanya setengah mati, tapi bencinya juga setengah mati. Oleh karena itu dia hanya ingin beradu jiwa dengannya, sekalipun tak mampu, diapun akan tetap beradu dengannya. Terhadap perempuan semacam ini, darimana mungkin Cia Siau-hong dapat mengembangkan ilmu pedangnya yang tiada tandingan di dunia itu? Sudah beratus-ratus pertarungan yang dialami, sudah bermacam-macam jago lihay dunia persilatan yang pernah di hadapi, sudah berulang kali pula mengalami masa krisis yang mengancam jiwanya. Tapi sekarang, pada hakekatnya dia tak tahu apa yang musti dilakukan untuk menghadapi kejadian ini. Lentera di atas meja ditendang hingga terbalik. Buyung Ciu-ti seperti perempuan gila telah menyerbu ke dalam ruangan, kalau dilihat dari sikapnya sekarang, seakan-akan dia hendak menggigit setiap bagian tubuh Siau-hong dengan geram. Jika Siau-hong mau, sekali pukulan yang dilontarkan pasti dapat merobohkan dirinya, karena seluruh tubuhnya sekarang sudah penuh dengan titik kelemahan. Tapi ia tak dapat turun tangan, iapun tak tega untuk turun tangan. Bagaimanapun juga ia tetap seorang pria, bagaimanapun juga dia adalah perempuan yang pernah menjadi istrinya. Maka dia hanya dapat mundur ke belakang. Tidak banyak tempat dalam ruangan yang dapat dipakai untuk mengundurkan diri, sekarang ia terpojok dan tak sanggup menghindar lagi. Pada saat itulah sekilas cahaya pedang tiba-tiba muncul dari tangan Buyung Ciu-ti, lalu bagaikan seekor ular beracun menusuk tubuhnya. Tusukan itu bukan tusukan pedang seorang perempuan sinting, tusukan itu adalah tusukan dari pedang pembunuh. Tusukan itu bukan saja amat cepat, ganasnya bukan kepalang, apalagi datangnya pada saat dan keadaan yang sama sekali tak terduga oleh lawannya, menusuk datang ke bagian tubuhnya yang tak pernah di duga. Bukan saja tusukan itu menggunakan jurus pedang yang dahsyat, di sini juga terhimpun seluruh intisari dari jurus-jurus senjata yang paling ampuh di dunia ini. Tusukan itu sesungguhnya merupakan sebuah tusukan yang pasti akan bersarang telak, tapi sayangnya tusukan tersebut sama sekali tidak mengenai sasaran. Kecuali Cia Siau-hong, tak ada orang kedua di dunia ini yang sanggup menghindarkan diri dari tusukan semacam itu, karena tiada seorang manusiapun di dunia ini yang lebih memahami tentang Buyung Ciu-ti daripada dirinya......... Ia dapat menghindarkan diri dari tusukan tersebut, bukan dikarenakan ia telah memperhitungkan dengan tepat saat dan arah tusukan tersebut, melainkan ia telah memperhitungkan dengan tepat manusia macam apakah Buyung Ciu-ti itu? Sedemikian pahamnya dia tentang perempuan itu, mungkin jauh lebih banyak daripada ia memahami dirinya sendiri. Ia tahu bahwa perempuan itu bukan seorang perempuan gila, diapun tahu bahwa ia tak akan mungkin tak bisa mengendalikan diri. Ketika mata pedang menyambar lewat bawah ketiaknya, ia telah mencengkeram urat nadi di tangan perempuan itu, waktu dan arah serangannyapun tak kalah cepatnya. Pedang pendek itu segera rontok, tubuhnya pun ikut menjadi lemas, sekujur badannya jatuh lemas di dalam pelukannya. Terasa lembut, halus dan hangatnya tubuh perempuan itu. Cuma sepasang tangannya terasa dingin dan kaku. Malam yang panjang telah berakhir, fajarpun menyingsing dari ufuk timur, ketika sinar keemasemasan itu memancar masuk lewat jendela, tepat menyorot di atas wajahnya. Titik-titik air mata telah membasahi wajahnya, sepasang mata yang bening dan jeli sedang memandang ke arahnya dengan terkesima. Tapi Cia Siau-hong tidak melihatnya. Tiba-tiba Buyung Ciu-ti berkata.

   "Masih ingatkah kau sewaktu kita berjumpa untuk pertama kalinya dulu, waktu itu akupun hendak membunuhmu, tapi kau telah merampas pedangku serta memelukku dengan cara seperti ini"

   Cia Siau-hong masih juga tidak mendengarnya, tapi ia tak pernah melupakan hari semacam itu.........

   Waktu itu adalah musim semi.

   Di atas bukit yang berlapiskan rumput hijau bagaikan permadani, di bawah sebatang pohon besar yang rindang, berdirilah seorang gadis tanggung yang berbaju sederhana.

   Ketika perempuan itu berjumpa dengannya, iapun tertawa, senyumannya lebih lembut dan lebih indah dari hembusan angin di musim semi.

   Maka diapun balas tersenyum kepadanya.

   Menyaksikan senyum yang lebih manis dan lebih menawan itu, diapun menghampirinya, memetik sekuntum bunga dan memberikan kepadanya, tapi perempuan itu justru memberi sebuah tusukan kepadanya.

   Ujung pedang ketika menyambar lewat dari sisi tenggorokannya, ia cengkeram tangan perempuan itu.

   "Kau adalah Sam-sauya dari keluarga Cia?", dengan terkejut gadis itu memandang ke arahnya.

   "Darimana kau bisa tahu tentang aku?", dia balik bertanya.

   "Sebab kecuali Sam-sauya dari keluarga Cia, tak seorang manusiapun yang sanggup merampas pedangku ini dalam satu gebrakan"

   Ia tidak bertanya kepada gadis itu apakah sudah banyak orang yang terluka di ujung pedangnya, diapun tidak bertanya kepadanya kenapa ia harus melukai orang.

   Sebab ketika itu musim semi sangat indah, bunga sedang mekar dan menyiarkan bau harum, ia merasakan betapa lembut dan halusnya tubuh dara itu.

   Karena waktu itu, diapun sedang berusia muda remaja.

   Bagaimana dengan sekarang? Sekarang, apakah dia masih mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang telah dialaminya dulu? Buyung Ciu-ti masih saja berbisik dengan lirih.

   "Aku tak ambil perduli apa yang sedang kau pikirkan sekarang, yang pasti aku tak akan melupakan hari itu, sebab pada saat itu juga aku telah mempersembahkan seluruh tubuhku untukmu, ya tanpa ku sadari dengan keadaan yang tak jelas, aku telah menyerahkan diri kepadamu, sebaliknya kau setelah pergi ternyata tak pernah ada kabar beritanya lagi!"

   Cia Siau-hong masih saja membungkam, seakan-akan masih belum mendengar apa yang dia katakan. Perempuan itu berkata lebih lanjut.

   "Menanti kami berjumpa kembali untuk ke dua kalinya, aku telah tukar cincin, kau datang khusus untuk menyampaikan selamat kepadaku.......!"

   "Walaupun perasaanku amat membencimu ketika itu, tapi setelah berjumpa denganmu, aku merasa kehilangan pegangan dan tak tahu apa yang musti kulakukan"

   "Maka malam kedua setelah aku tukar cincin, tanpa ku sadari aku telah pergi meninggalkan rumah untuk mengikutimu, siapa tahu kau telah meninggalkan aku dengan begitu saja, pergi untuk tak kembali lagi!"

   "Sekarang walaupun hatiku merasa lebih benci kepadamu, tapi.........tapi......aku masih berharap kau dapat seperti dulu lagi, membohongi aku sekali lagi dan membawaku pergi, sekalipun kali ini kau akan membunuhku, akupun tak akan menggerutu lagi kepadamu!"

   Suaranya masih tetap lembut dan merdu, benarkah ia dapat tidak mendengarkan? Benarkah ia tak mendengar? Ia memang sudah dua kali membohonginya, tapi perempuan itu masih begini baik kepadanya.

   Bila ia begitu tak berperasaan, betulkah hatinya sudah sedingin salju? "Aku tahu, kau tentu mengira aku telah berubah!", dengan air mata bercucuran Buyung Ciu-ti berkata lagi.

   "tapi sekalipun aku telah berubah menjadi manusia macam apapun di hadapan orang lain, terhadapmu aku selalu tak akan berubah!"

   Tiba-tiba Cia Siau-hong mendorongnya ke belakang, lalu tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu.

   Tapi Buyung Ciu-ti masih saja tak mau melepaskannya, ia masih membuntuti terus di belakangnya.

   Sinar matahari di luar jendela telah memancar ke empat penjuru, di atas bukit nun jauh di depan sana tampak sebuah tanah berumput yang menghijau dan segar bagaikan permadani.

   Tiba-tiba Siau-hong berpaling dan menatap perempuan itu dengan ketus.

   "Apakah kau baru senang bila sudah kubunuh?", tegurnya. Air mata di atas wajah Buyung Ciu-ti belum mengering, tapi dia memaksakan diri untuk tertawa.

   "Asal kau merasa gembira, bunuhlah aku!", sahutnya. Cia Siau-hong telah memutar badannya dan melanjutkan kembali perjalanannya. Perempuan itu masih mengikuti di belakangnya, tiba-tiba ia berkata.

   "Coba lihatlah mulut lukamu itu masih mengucurkan darah, paling tidak kau harus membiarkan aku untuk membalut lukamu itu terlebih dahulu!"

   Tapi Cia Siau-hong tidak memperdulikan. Perempuan itu kembali berkata.

   "Walaupun aku yang menyuruh orang untuk pergi melukaimu, tapi kejadian itu adalah suatu kejadian yang lain, asal kau bersedia untuk buka mulut, maka setiap saat aku dapat pergi membunuh orang-orang itu demi kau.......!"

   Langkah kaki Cia Siau-hong makin lambat, akhirnya tak tahan lagi ia berpaling, di antara sinar matanya yang dingin dan kaku telah muncul luapan perasaan.

   Entah perasaan itu adalah perasaan cinta? Atau perasaan benci? Tapi yang pasti kesemuanya itu adalah suatu luapan perasaan yang telah merasuk ke tulang sumsum dan tak akan terlupakan untuk selamanya.

   Bukit yang kokohpun bisa longsor, bukit salju yang keraspun dapat meleleh, apalagi hati manusia? Sekalipun semua tahu bila bukit sampai longsor, maka bencana akan segera timbul, di kala longsoran bakal terjadi, siapakah yang sanggup untuk mencegahnya? Perempuan itu lagi-lagi sudah membenamkan diri dalam pelukannya.

   Musim semi kembali tiba, rumput-rumput mulai menghijau.

   Pelan-pelan Cia Siau-hong duduk di atas tanah perbukitan itu dan mengawasi orang yang berbaring di sisinya.

   Ia sedang bertanya kepada diri sendiri.

   "Sesungguhnya aku telah menelantarkan dia? Ataukah dia telah menelantarkan aku?"

   Tak seorang manusiapun bisa menjawab pertanyaan ini, termasuk pula dirinya sendiri.

   Dia hanya tahu bagaimanapun baik atau jeleknya, perduli siapa yang telah menelantarkan dia, asal kedua orang itu berada menjadi satu, saat itulah merupakan saat yang paling aman dan tenteram, saat-saat bahagia untuk menghilangkan segala kesedihan dan duka nestapa.

   Ia sendiripun tak tahu perasaan macam apakah ini, dia hanya tahu jika antara manusia dengan manusia sudah terikat oleh perasaan semacam ini, maka sekalipun menderita atau tertipu, diapun rela dan pasrah.

   ~Bersambung ke Jilid-12 Jilid-12 Sekalipun harus mati, rasanya juga tak menjadi soal.

   Pelan-pelan perempuan itu mendongakkan kepalanya dan memandang ke arahnya dengan terpesona, kemudian bisiknya.

   "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan dalam hatimu?"

   "Kau tahu?"

   "Ya, kau hendak menyuruhku untuk membubarkan Thian-cun, membawa kembali bocah itu dan melewatkan penghidupan yang tenang dan tenteram selama beberapa tahun!"

   Ia memang telah menebak tepat apa yang dipikirkan Cia Siau-hong kini........

   Sekalipun dia adalah seorang gelandangan, dalam nadinya mengalir darah seorang petualang, tapi diapun mempunyai saat-saat bosan dan kesal.

   Terutama di kala ia sadar dari mabuknya di tengah malam yang hening terbayang kembali kekasih hatinya, siapakah yang dapat menanggung derita dan kesepian seperti itu? Pelan-pelan perempuan itu menggenggam tangannya, kemudian bertanya lagi.

   "Tahukah kau, apa yang sedang kupikirkan sekarang?"

   Tentu saja dia tak tahu, hati perempuan memang sukar diduga, apalagi dia adalah perempuan semacam ini. Tiba-tiba perempuan itu kembali tertawa, suara tertawanya aneh sekali.

   "Aku sedang berpikir, jangan-jangan kau memang benar-benar seorang dungu.......!"

   "Seorang dungu?", Cia Siau-hong tidak mengerti.

   Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tahukah kau, Thian-cun adalah suatu organisasi maha besar yang telah menyita banyak tenaga, pikiran dan keringatku untuk membangunnya. Kenapa aku musti memusnahkannya dengan begitu saja tanpa suatu hasil apapun yang berhasil ku dapat? Kalau toh kau sudah tidak maui bocah itu lagi, kenapa aku musti membawanya datang untuk diberikan kepadamu?"

   Cia Siau-hong merasakan hatinya seperti terjatuh ke dalam jurang, sekujur badannya menjadi dingin dan kaku, hawa dingin yang menusuk tulang serasa muncul dari dasar telapak kakinya dan menyusup naik hingga ke atas kepalanya.

   Menyaksikan mimik wajahnya itu, gelak tertawa Buyung Ciu-ti semakin keras dan makin menggila.

   "Haaahhhhh....... haaaaahhhh...... haaaaahhhhhh.... paling tidak kaupun musti berpikir, apa kedudukanku sekarang? Apa pula jabatanku kini? Masakah aku kesudian untuk menanakkan nasi dan mencucikan pakaian bagimu?"

   Ia masih saja tertawa tiada hentinya.

   "Haaaahhhhhh..... haaaahhhh..... haaaahhhhhh sekarang ternyata kau suruh aku melakukan pekerjaan semacam ini, kalau kau bukan seorang yang dungu, lantas siapakah yang dungu?"

   Benarkah Cia Siau-hong adalah seorang dungu? Sejak berusia lima tahun ia mulai belajar pedang, berusia enam tahun mulai mengupas intisari dari ilmu pedang, umur tujuh tahun dapat menghapalkan bacaan dan syair jaman Tong di luar kepala, padahal anak-anak lain yang sebaya dengannya masih belum bisa memakai celana sendiri.

   Akan tetapi di hadapan Buyung Ciu-ti sekarang, ia berubah menjadi seakan-akan seorang dungu yang seratus persen orisinil.

   Pelan-pelan Cia Siau-hong bangkit berdiri, setelah memandang sekejap ke arahnya ia bertanya.

   "Sudah selesaikan perkataanmu itu?"

   "Kalau sudah selesai lantas kenapa? Apakah kau hendak membinasakan diriku?"

   Tiba-tiba suara tertawanya berubah menjadi isak tangis, sambil menangis tersedu-sedu serunya.

   "Baik, baiklah, bunuhlah aku! Jika begini sikapmu kepadaku, bunuh saja diriku sekarang juga, sebab bagaimanapun juga akupun sudah tak ingin hidup lagi"

   Tangisannya menyedihkan sekali, tapi wajahnya sedikitpun tidak menampilkan rasa sedih barang sedikitpun, mendadak ia merendahkan suaranya dan berbisik.

   "Terlalu banyak perempuan yang menyukaimu, aku tahu lambat laun kau tentu melupakan diriku, sebab itu setiap lewat beberapa tahun aku harus baik-baik mereparasikan dirimu, agar selama hidup kau tak akan melupakan diriku lagi!"

   Selesai mengucapkan beberapa patah kata itu, suara tangisannya makin diperkeras, tiba-tiba ia menempeleng muka sendiri sekeras-kerasnya hingga sembab merah dan membengkak besar, lalu teriaknya lagi keras-keras.

   "Kenapa kau tidak sekalian membinasakan diriku? Kenapa kau memukuli aku hingga menjadi begini rupa? Buat apa kau menyiksa diriku terus menerus........?"

   Sambil menutupi muka sendiri dan menangis tersedu-sedu, ia lari turun dari bukit tersebut, seakan-akan Cia Siau-hong benar-benar sedang mengejarnya sambil memukuli tubuhnya.

   Padahal seujung jaripun Cia Siau-hong tidak menyentuh tubuhnya, tapi saat itulah tiba-tiba dari bawah bukit sana telah muncul beberapa sosok bayangan manusia.

   Seorang nyonya berwajah anggun yang berada di paling depan segera menyongsong kedatangannya dan memeluk perempuan itu ke dalam rangkulannya.......

   Di belakang perempuan anggun itu mengikuti tiga orang manusia, yang seorang adalah kakek yang rambutnya telah beruban semua, tetapi langkah kakinya masih tegap dan gagah, pinggangnya lurus seperti batang pit, di tangannya membawa sebuah kantong yang terbuat dari kain kuning.

   Di belakang kakek itu adalah seorang laki-laki yang telah tua rengka meski usianya di antara setengah umur, mukanya kotor dan dekil oleh debu, rupanya baru saja melakukan perjalanan jauh.

   Sedangkan orang yang berjalan di paling belakang adalah seorang nona kecil yang bertubuh ramping, sambil berjalan diam-diam ia membesut air matanya.

   Hampir saja Cia Siau-hong tak dapat mengendalikan perasaannya untuk berteriak keras.

   "Si Boneka!"

   Nona cilik yang berjalan di paling belakang itu ternyata memang betul-betul adalah si Boneka yang selama ini keselamatan jiwanya selalu dikuatirkan.

   Tapi ia tidak berteriak memanggilnya, sebab tiga orang lainnya juga dikenali olehnya, bahkan perkenalan mereka telah berlangsung sangat lama sekali.

   Kakek berambut putih yang masih tampak kekar dan gagah itu adalah nku-tio (paman)nya yang bernama Hoa Sau-kun.

   Dua puluh tahun berselang, Yu-siu-kiam-khek Hoa Sau-kun berhasil merobohkan delapan jagoan paling tangguh dari partai Thiam-cong dan Bu-tong tanpa pernah menderita kalah barang sekalipun, pamornya menjadi lebih tersohor setelah ia kawin dengan seorang adik misan dari ketua Sin-kiam-san-ceng generasi yang lalu Cia Ngo-cu, adik misannya itu bernama Hui-hong-likiam- kek (Jago pedang perempuan burung Hong terbang) Cia Hong-hong.

   Sejak perkawinan itu, ilmu pedang naga dan burung hong mereka bersatu padu dan tak pernah menjumpai seorang musuhpun yang sanggup merobohkan mereka, semua orang persilatan.

   Siapa tahu pada saat itulah di luar dugaan ia telah menderita kekalahan total di tangan seorang bocah ingusan yang baru berusia sepuluh tahun dan kebetulan sekali bocah yang merobohkannya itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

   Perempuan berwajah anggun yang sedang memeluk Buyung Ciu-ti dalam rangkulannya itu tak lain adalah ko-koh (bibi)-nya Cia Hong-hong.

   Laki-laki gemuk bengkak berusia setengah umur itupun dari marga Cia juga, dia masih famili jauhnya dan lagi sejak kecil ia telah bermain dengan orang ini.

   Sewaktu masih kecil dulu, seringkali ia ngeloyor ke rumah makan di pantai telaga sana untuk minum arak.

   Laki-laki gemuk berusia setengah umur itu bukan lain adalah Cia ciangkwe dari warung arak itu.

   Tapi mengapa mereka bisa sampai di situ? Kenapa si Boneka bisa melakukan perjalanan bersama mereka? Cia Siau-hong merasa tak habis mengerti, diapun tak dapat menduganya, apa yang dipikirkan sekarang hanyalah berusaha untuk kabur sejauh-jauhnya dari sana, dan jangan sampai ketahuan oleh mereka semua.

   Sayang sekali mereka telah melihat kehadirannya di sana.

   Hoa Sau-kun sedang memandang keadaannya sambil tertawa dingin, sedang si Boneka sedang memandang ke arahnya sambil mengucurkan air mata.

   Cia ciangkwe dengan napas ngos-ngosan sedang merangkak naik ke atas bukit, begitu sampai di hadapan Cia Siau-hong, ia lantas membungkukkan badan dan memberi hormat, sapanya sambil tertawa.

   "Sam Sauya, sudah lama tak berjumpa, baik-baikkah kau selama ini?"

   Cia Siau-hong sesungguhnya hidup dalam keadaan tak baik, tapi terhadap orang baik yang secara diam-diam memberikan sedikit arak kepadanya semenjak ia berusia delapan-sembilan tahun ini, mau tak mau dia musti tertawa juga, kemudian balik bertanya.

   "Kenapa kau bisa sampai di sini?"

   Cia ciangkwe tak pandai berbohong, terpaksa dia harus berbicara terus terang.

   "Nona Buyung yang mengajak kami semua datang kemari!"

   "Mau apa dia undang kalian datang kemari?"

   Cia ciangkwe agak ragu-ragu, dia tak tahu untuk menjawab pertanyaannya kali ini, dia musti bicara sejujurnya atau tidak. Untunglah sambil tertawa dingin Cia Hong-hong telah berseru.

   "Mau apa lagi? Kami datang untuk menyaksikan perbuatan bagus yang sedang kau lakukan!"

   Cia Siau-hong menutup mulutnya rapat-rapat.

   Dia tahu bibinya ini bukan cuma wataknya tak baik, kesan terhadapnyapun kurang baik sebab tak seorang perempuanpun di dunia ini yang senang menyaksikan suaminya dikalahkan, walaupun orang itu adalah keponakannya sendiri ataupun bukan................

   Sayang, bibi tetap adalah bibi, perduli bagaimanapun kesannya kepadamu, ia sama saja adalah bibimu.

   Walaupun ia telah menutup mulutnya, tapi Cia Hong-hong tak mau melepaskannya dengan begitu saja.

   "Sungguh tak kusangka kalau Cia kita bisa muncul seorang manusia semacam kau", demikian ia memaki.

   "bukan saja pandai mempermainkan perempuan, bahkan anak sendiripun sudah tak mau!"

   Lalu sambil menuding bekas-bekas jari tangan di atas wajah Buyung Ciu-ti, ia berkata lebih lanjut.

   "Kau sudah menipunya dua kali, meninggalkannya dua kali, tapi ia masih mencintaimu dengan sepenuh hati, kenapa kau memukulnya pula sehingga menjadi begini rupa?"

   "Dia....dia...tidak......", air mata bercucuran membasahi seluruh wajah Buyung Ciu-ti.

   "Kau tak usah banyak bicara!", tukas Cia Hong-hong dengan marah.

   "semua pembicaraan kalian dalam rumah penginapan kecil itu telah kami dengar semua dengan amat jelasnya, kalau toh sepatah katapun ia tak berani menyangkal, mengapa kau harus membantunya untuk menghilangkan dosa-dosanya itu?"

   Lalu setelah berhenti sebentar ia bertanya lagi.

   "Cia ciangkwe, apakah semua pembicaraan tersebut telah kau dengar pula dengan jelas?"

   "Benar!", Cia ciangkwe manggut-manggut.

   "Kau suka mempermainkan perempuan bagi kami bukan urusan, kamipun enggan untuk mencarinya, tapi nona Buyung mempunyai hubungan yang luar biasa dengan keluarga Cia kami, sekalipun kau sudah tak mau anakmu lagi, kami keluarga Cia mau tak mau harus mengakuinya sebagai cucu kami, lebih-lebih terhadap menantu kita ini!"

   Cia Siau-hong tidak bersuara, bibirnya sedang bergetar keras menahan emosi.

   Sekarang, ia telah memahami semua intrik dan rencana busuk yang telah diatur Buyung Ciu-ti.

   Rupanya sengaja ia mengundang datang orang-orang itu dan mengaturnya untuk bersembunyi di sekitar rumah penginapan kecil itu, kemudian sengaja mengucapkan kata-kata itu agar bisa mereka dengar, agar di kemudian hari ia tak dapat menyangkalnya lagi sekalipun ingin menyangkalnya.

   Kini ia sudah merupakan pemilik dari perkampungan keluarga Buyung di wilayah Kanglam dan ketua Thian-cun, jelas perempuan itu belum puas, ia masih merencanakan terus untuk merampas pula perkampungan Sin-kiam-san-ceng yang tersohor itu.

   Jikalau pihak keluarga Cia telah mengakui mereka ibu dan anak, tentu saja secara otomatis dia akan menjadi nyonya ketua perkampungan Sin-kiam-san-ceng, itu berarti perkampungan itu cepat atau lambat akan terjatuh ke tangannya.

   "Apalagi yang hendak kau tanyakan?", Cia Hong-hong kembali bertanya. Cia Siau-hong tidak menjawab, walaupun semua kejadian telah terpikir olehnya, namun sepatah katapun ia tidak berbicara.

   "Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apakah peraturan pertama dari keluarga Cia kita?", teriak Cia Hong-hong. Paras muka Cia Siau-hong belum sempat berubah, air muka Cia ciangkwe telah berubah hebat. Diapun mengetahui akan peraturan rumah tangga dari keluarga Cia, peraturan pertama menyebutkan tentang soal berzinah.......'Barang siapa berani berzinah dengan istri orang atau memperkosa anak gadis orang lain, maka dia akan dijatuhi hukuman penggal sepasang kakinya'. Cia Hong-hong tertawa dingin, katanya.

   "Sekarang kau telah melanggar peraturan yang pertama dari undang-undang rumah tangga kita, kendatipun toako akan membelamu, aku tetap tak akan mengampuni dirimu!"

   Tangannya segera diulapkan, dari bawah bukit segera muncul seorang bocah cilik yang mempersembahkan sebilah pedang.

   Ketika pedang itu diloloskan dari sarungnya, hawa dingin yang merasuk tulang segera menyebar ke empat penjuru.

   Kembali Cia Hong-hong berkata dengan suara keras.

   "Sekarang juga aku akan melaksanakan hukuman bagi keluarga Cia kita, kenapa kau masih belum juga berlutut untuk menerima hukuman?"

   OoooOOOOoooo Bab 16. Senjata Dalam Buntalan Cia Siau-hong tidak berlutut. Sambil tertawa dingin Cia Hong-hong berseru kembali.

   "Bukti dan saksi semua telah hadir di depan mata, apakah kau masih belum mengaku salah? Apakah kau hendak melanggar undang-undang rumah tangga?"

   Perempuan itu tahu belum pernah ada orang yang berani menentang undang-undang rumah tangga.

   Barang siapa menentang peraturan rumah tangga maka ia akan dicemooh dan dihina oleh setiap umat persilatan yang ada dalam dunia.

   Kini di dalam genggamannya bukan cuma ada sebilah pedang melainkan masih ada seutas tali pula, seutas tali yang dibuat dari pelbagai peraturan umat persilatan yang sudah turun temurun selama ratusan tahun lamanya dan tali itu jelas telah membelenggu Cia Siau-hong kencangkencang.

   Siapa tahu Cia Siau-hong justru tak mau tunduk.

   Paras muka Cia Hong-hong berubah hebat.

   Sesungguhnya dia adalah seorang perempuan yang beruntung, bukan saja memiliki keluarga yang baik, diapun mempunyai suami yang baik, tidak banyak jago persilatan yang berani pandang enteng dirinya.

   Oleh sebab itulah dia angkuh, sombong dan selalu berwatak nyonya besar, selamanya tak pernah ia pandang sebelah mata kepada orang lain.

   Apa yang dipikirkan segera akan dia laksanakan, pedangnya segera digetarkan dan siap melancarkan serangan.

   Akan tetapi tak pernah ia sangka, Cia ciangkwe yang selalu terengah-engah dan gerak-geriknya selalu lamban itu mendadak menjadi cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di hadapannya sambil tertawa paksa.

   "Hoa hujin, harap jangan gusar dulu!", katanya.

   "Apa yang hendak kau lakukan?", hardik Cia Hong-hong.

   "Aku rasa mungkin juga Sam sauya mempunyai kesulitan yang tak dapat diterangkan kepada orang lain, sekalipun Hoa-hujin hendak menghukumnya dengan mempergunakan peraturan rumah tangga, paling tidak kau harus membicarakan dahulu persoalan ini dengan lo-tayya!"

   Cia Hong-hong segera tertawa dingin tiada hentinya.

   "Heeeehhhh....... heeeeehhhh...... heeeeehhhhh..... kau selalu membahasakan aku sebagai Hoahujin, apakah kau sedang memperingatkanku bahwa aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi?"

   Tentu saja memang begitulah maksud dari Cia ciangkwe, cuma ia tak berani mengakuinya secara berterus terang, kepalanya segera digelengkan berulang kali.

   "Hamba tidak berani! Hamba tidak berani!"

   "Hmmm.....! Sekalipun aku sudah bukan anggota keluarga Cia lagi, pedang ini masih merupakan pedang dari keluarga Cia"

   Pedangnya segera digetarkan dan bentaknya keras-keras.

   "Pedang inilah peraturan rumah tangga!"

   "Ucapan dari Hoa-hujin memang ada betulnya juga, hanya ada satu hal yang tidak siaujin pahami"

   "Dalam hal mana?"

   Cia ciangkwe masih saja tersenyum di kulum, katanya.

   "Aku tidak habis mengerti kenapa peraturan rumah tangga dari keluarga Cia dapat sampai terjatuh ke tangan keluarga Hoa?"

   Paras muka Cia Hong-hong kembali berubah hebat, lalu dengan gusar teriaknya.

   "Sungguh besar amat nyalimu, berani bersikap begitu kurang ajar kepada nyonya besarmu?"

   "Hamba tidak berani!"

   Ketika ke tiga patah kata itu meluncur keluar dari mulutnya, tiba-tiba tangan kirinya mencengkeram tangan Cia Hong-hong, lalu tangan kanannya menumbuk dan menyambar, tahu-tahu pedang yang berada di tangan Cia Hong-hong itu sudah berpindah tangan dan ia segera mundur sejauh tiga kaki dari posisi semula.

   Jurus serangan itu dipergunakan dengan amat sederhana, bersih, cepat dan tepat, perubahan gerakan yang terkandung di dalamnya amat sulit dilukiskan dengan kata-kata.

   Ketika Cia Siau-hong merampas pedang milik Liu Kok-tiok tempo hari, jurus serangan inilah yang telah dipergunakan.

   Sekujur badan Cia Hong-hong telah menjadi kaku, saking gusarnya air muka nyonya itu berubah menjadi hijau membesi, teriaknya.

   "Dari mana kau pelajari jurus serangan itu?"

   Sambil tertawa lirih sahut Cia ciangkwe.

   "Kalau Hoa-hujin masih kenal dengan jurus serangan ini, hal tersebut lebih baik lagi!"

   Pelan-pelan ia melanjutkan.

   "Jurus serangan itu diwariskan langsung dari Loya-cu kepadaku, dia orang tua berulang kali memesan kepadaku agar setelah mempelajari jurus ini, janganlah dipergunakan secara sembarangan, tapi bila melihat ada pedang keluarga Cia berada di tangan orang dari marga lain, maka kau harus pergunakan jurus ini untuk merampasnya kembali!"

   Setelah tertawa ia menambahkan lebih jauh.

   "Apa yang telah dipesan oleh Loya-cu sudah barang tentu tak berani ku ingkari!"

   Saking jengkelnya Cia Hong-hong sampai tak mampu mengucapkan sepatah katapun, manikmanik dan mainan yang dikenakan di atas kepalanya bergoyang tiada hentinya hingga menimbulkan suara yang amat nyaring.

   Diapun tahu bahwa jurus serangan ini memang benar-benar merupakan jurus simpanan dari keluarga Cia, lagi pula selamanya hanya diwariskan kepada anak lelaki dan tidak diwariskan kepada menantu laki-laki, diwariskan kepada menantu perempuan dan tidak diwariskan kepada anak perempuan.

   Pedangnya berhasil dirampas orang dalam sekejap mata, hal ini disebabkan dia sendiripun tidak memahami intisari dari rahasia jurus serangan tersebut.

   Tiba-tiba Hoa Sau-kun menegur.

   "Apa hubunganmu dengan keluarga Cia?"

   Walaupun orang itu berperawakan tinggi besar dan tampaknya seram, tapi caranya berbicara ternyata lemah lembut dan lirih sekali.

   Sesungguhnya ia tidak bertampang semacam ini, sejak kalah di ujung pedang Sam sauya, selama banyak tahun ini rupanya ia tekun berlatih diri terus menerus sehingga tenaga dalamnya benarbenar sudah mencapai kesempurnaan, itu pula sebabnya dia selalu dapat mengendalikan diri.

   "Kalau dihitung-hitung, sebenarnya siau-jin tak lebih hanya seorang keponakan jauh dari lo-tayya", sahut Cia ciangkwe.

   "Kau tahu pedang apakah itu?"

   "Pedang ini adalah salah satu dari empat bilah pedang mestika yang ditinggalkan oleh nenek moyang keluarga Cia"

   Cahaya pedang berkelebat lewat, hawa pedang segera memancar ke empat penjuru.

   "Pedang bagus!", Hoa Sau-kun segera berseru sambil menghela napas panjang.

   
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ya, ini memang sebilah pedang yang bagus sekali!"

   "Apakah kau pantas atau berhak untuk mempergunakan pedang mestika ini......?"

   "Tidak pantas!"

   "Kenapa kau tidak menyerahkan saja pedang ini kepada Sam-sauya mu itu.....?"

   "Ya, siaujin memng ada maksud untuk berbuat demikian!"

   Ia memang berbicara sesungguhnya, semenjak tadi sudah timbul maksudnya untuk melakukan hal tersebut, cuma saja ia tidak mengerti apa maksud Hoa Sau-kun berkata demikian.

   Tapi ia dapat melihat bahwa Cia Hong-hong telah memahami maksud suaminya.

   Mereka adalah suami isteri yang telah menanggung derita bersama, sudah hampir dua puluh tahun lamanya mereka hidup bersama, sekarang suaminya hendak menyuruh orang untuk menyerahkan pedang yang seharusnya menjadi miliknya itu kepada orang lain, tapi ia sama sekali tidak menampilkan rasa gusar atau mendongkol sebaliknya justru terpancar sinar kuatir dan kelembutan yang hangat.

   Karena hanya dia seorang yang mengerti maksudnya, dan diapun tahu bahwa istrinya mengerti.

   ooooOOOOoooo Bab 17.

   Beradu Kepandaian Kini pedang itu sudah berada di tangan Cia Siau-hong.

   Tapi mereka berdua tak seorangpun yang berpaling untuk memandang lagi barang sekejappun.

   Mereka hanya saling berpandangan dengan mulut membungkam.

   Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Hoa Sau-kun berkata.

   "Lima beberapa hari lagi adalah bulan sebelas tanggal lima belas......."

   "Ya, agaknya masih ada delapan hari lagi!", Cia Hong-hong membenarkan sambil mengangguk.

   "Sampai hari itu, maka kau kawin denganku sudah genap dua puluh tahun lamanya"

   "Ya, aku masih ingat!"

   "Sejak kecil aku telah bersumpah, sebelum menjadi tenar aku tak akan kawin"

   "Aku mengerti!"

   "Aku menjadi tenar setelah berusia empat puluh tahun. Ketika menikah denganmu, usiaku menjadi dua puluh tahun lebih tua daripada usiamu waktu itu"

   Cia Hong-hong segera tertawa.

   "Sampai sekarang kau toh masih berusia dua puluh tahun lebih tua daripadaku", katanya. Di tempat itu, bukan cuma ada mereka berdua saja, tapi secara tiba-tiba kedua orang itu telah membicarakan tentang persoalan pribadi mereka berdua. Suara mereka begitu lembut dan halus, mimik wajahnyapun kelihatan aneh sekali, bahkan sewaktu tertawapun tampak sekali tertawanya sangat aneh..........

   "Dalam dua puluh tahun ini, hanya kau seorang yang tahu penghidupan macam apakah yang telah ku jalani selama ini?"

   "Aku tahu, kau........kau selalu merasa telah berbuat salah kepada diriku"

   "Karena aku kalah, aku sudah bukan Hoa Sau-kun ketika mengawini dirimu tempo dulu walau ke manapun juga aku sudah tak punya muka untuk menampilkan diri lagi, tapi kau............."

   Ia maju ke depan dan menggenggam tangan istrinya erat-erat, terusnya lebih jauh.

   "Kau belum pernah menggerutu kepadaku, selalu menerima tabiat anehku dengan penuh kerelaan, tanpa kau, mungkin aku sudah mampus!"

   "Kenapa aku musti menggerutu kepadamu selama dua puluh tahun ini, bila ku bangun setiap hari, aku dapat menyaksikan kau berbaring di sampingku. Bagi seorang perempuan, masih ada rejeki apa lagi yang melebihi keadaan semacam itu?"

   "Tapi sekarang aku sudah tua, siapa tahu ketika suatu pagi kau bangun dari tidurmu, tahu-tahu kau jumpai aku sudah pergi meninggalkan dirimu.......?"

   "Tetapi........"

   Hoa Sau-kun tidak membiarkan ia melanjutkan kata-katanya, dengan cepat ia menukas.

   "Setiap orang, cepat atau lambat, pasti akan mengalami keadaan seperti itu, selamanya akan memandang tawar terhadap kejadian semacam ini, tapi aku tak akan membiarkan orang berkata bahwa Ko nay-nay dari keluarga Cia telah kawin dengan seorang suami yang tak berguna, tak becus. Aku harus membuktikan ketidak-becusanku di depan orang lain"

   "Ya, aku mengerti"

   Hoa Sau-ya menggenggam tangannya lebih kencang.

   "Kau sungguh-sungguh telah mengerti?", bisiknya. Cia Hong-hong mengangguk, air matanya telah jatuh bercucuran membasahi pipinya. Hoa Sau-kun menghembuskan napas panjang.

   "Terima kasih", kembali bisiknya. Terima kasih. Itulah dua patah kata yang sederhana tapi mengandung maksud yang dalam. Pada saat semacam ini, dibalik ucapan yang sederhana itu justru tersembunyi suatu luapan perasaan cinta, luapan perasaan haru dan rasa sayang yang tak terlukiskan besarnya. Air mata si Boneka telah membasahi seluruh ujung bajunya. Sekarang bahkan dia sendiripun telah memahami maksudnya, bahkan diapun tak tega untuk bersedih hati bagi mereka berdua. Hoa Sau-kun telah duduk di atas rumput. Rumput-rumput itu telah menguning dan kering.....walaupun dalam pandangan muda-mudi, lapangan itu masih tetap hijau dan penuh keindahan, hal inipun tak lain disebabkan bahwa dalam perasaan setiap orang, musim semi yang indah selalu ada, tapi setiap kali musim kemaraupun akan dijumpai. Mereka sudah menjadi suami-isteri selama banyak tahun, cinta kasih mereka telah mempunyai dasar yang cukup kuat. Ia telah duduk, buntalan kain yang dibawanya itu telah diletakkan di atas lututnya, lalu pelan-pelan menengadah dan memandang ke arah Cia Siau-hong. Cia Siau-hong memahami pula maksud hatinya itu, cuma saja ia masih menunggu hingga ia mengatakannya sendiri. Akhirnya Hoa Sau-kun berkata juga.

   "Yang kupergunakan sekarang sudah bukan sebilah pedang lagi!"

   "Oya?"

   "Semenjak kalah di ujung pedangmu, aku telah bersumpah tak akan mempergunakan pedang lagi seumur hidupku!"

   Ia memandang sekejap buntalan di atas lututnya, lalu berkata lebih lanjut.

   "Selama dua puluh tahun ini aku telah melatih sejenis senjata tajam lainnya, setiap hari setiap malam aku selalu berharap suatu ketika dapat melangsungkan kembali suatu pertarungan melawanmu!"

   "Ya, aku mengerti!"

   "Tapi aku sudah kalah di ujung pedangmu, prajurit yang telah kalah perang, biasanya tak cukup bernyali untuk bertarung kembali, maka bila kau tak akan menyalahkan dirimu....!"

   Cia Siau-hong mengawasinya lekat-lekat, mendadak terpancar ke luar rasa kagum di balik wajahnya. Dengan wajah tanpa emosi, dia hanya mengatakan sepatah kata saja dengan hambar.

   "Silahkan.....!"

   Buntalan itu terbuat dari kain berwarna kuning dan dijahit secara rapat, di luarnya masih diselubungi pula dengan sebuah kain yang panjang, kain itupun diikat dengan rapat sekali.

   Semacam tali simpul yang tidak gampang untuk memutuskannya.

   Untuk membebaskan tali simpul semacam ini, satu-satunya cara yang paling cepat adalah menariknya hingga putus, atau sekali bacok memutuskan semua tali itu.

   Tapi Hoa Sau-kun tidak berbuat demikian, dua puluh tahunpun dapat ia lewatkan dengan sabar, apalagi hanya waktu beberapa menit.

   Ia lebih suka untuk membuang lebih banyak tenaga dengan melepaskan ikatan tali itu satu persatu.

   Ataukah mungkin karena dia sudah tahu bahwa masa berkumpul lebih pendek dari masa berpisah, sehingga dia ingin berkumpul lebih lama lagi dengan istrinya? Cia Hong-hong memandang ke arahnya, tiba-tiba ia menyeka kering air matanya, lalu sambil berjongkok di sampingnya ia berkata.

   "Mari kubantu!"

   Kain itu sebetulnya ia juga yang mengikatnya, maka tentu saja ia dapat membukanya lebih cepat pula.

   Dengan jelas dia tahu bahwa pertarungan suaminya kali ini adalah untuk mempertahankan mati dan hidup, kehormatan atau penghinaan.

   Diapun tahu bahwa kepergian suaminya kali ini belum tentu bisa kembali lagi, tapi kenapa ia tak mau mengulur waktu untuk beberapa saat lebih lama? Karena ia tak ingin waktu yang cukup lama itu sampai melenyapkan keberanian serta kepercayaannya pada diri sendiri.

   Karena ia berharap, pertarungan ini bisa dimenangkan oleh suaminya........

   Hoa Sau-kun memahami maksud hati istrinya.

   Cia Hong-hong pun tahu bahwa suaminya dapat memahami maksudnya itu.

   Betapa sulitnya saling pengertian ini, tapi betapa bahagianya pula mereka.

   Setiap orang agaknya telah dibuat terharu oleh gerak-gerik ke dua orang itu, hanya Buyung Ciu-ti seorang yang tidak memperhatikan mereka walau sekejap matapun, ia hanya mengawasi terus buntalan berwarna kuning itu..........

   Dalam hati kecilnya ia sedang berpikir.

   "Senjata rahasia macam apakah yang sebenarnya disembunyikan di balik buntalan itu? Dapatkah dipergunakan untuk mengalahkan Cia Siau-hong......?"

   Sewaktu masih mudanya dulu, Hoa Sau-kun sudah diakui khalayak umum sebagai seorang jago yang berilmu tinggi.

   Sejak dikalahkan Cia Siau-hong, mungkin saja kesehatan tubuhnya banyak merosot, dan sulit untuk dipulihkan kembali seperti kekuatan di masa jayanya dulu.

   Apalagi ilmu pedang Cia Siau-hong adalah ilmu pedang yang menakutkan, ia dapat meresapi akan hal itu, maka jika ia telah memilih sebilah senjata lain sebagai pengganti pedang untuk menghadapi Sam sauya, maka hal mana sudah pasti bukan suatu kejadian yang gampang.

   Di pandang dari sikapnya yang begitu sayang pada buntalan tersebut, dapat diketahui bahwa senjata yang dipilihnya ini pasti adalah suatu senjata yang jarang ditemui dalam dunia persilatan, lagi pula pasti tajamnya luar biasa.

   Sudah dua puluh tahun lamanya ia melatih diri dengan tekun dan rajin, kini dengan memberanikan diri telah mempertaruhkan jiwa raganya, bahkan mempertaruhkan pula perpisahannya dengan sang istri yang sudah banyak tahun hidup sengsara bersamanya, hal ini menunjukkan bahwa tantangannya kepada Cia Siau-hong untuk berduel kembali pasti disertai dengan suatu keyakinan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

   Pelan-pelan Buyung Ciu-ti menghembuskan napas panjang, terhadap pertimbangan yang dibuatnya ia mempunyai keyakinan yang lebih mantap lagi.

   Sekarang bilamana ada orang berani bertaruh dengannya, maka kemungkinan besar ia akan mempertaruhkan bahwa Hoa Sau-kun yang akan menangkan pertarungan ini.

   Jika ingin mengetahui skor taruhannya, maka dia akan memegang Hoa Sau-kun dengan tujuh lawan tiga, atau paling rendahpun enam banding empat.......

   Ia percaya dugaannya ini pasti tak akan keliru terlalu besar.

   Akhirnya buntalan itu terbuka, senjata yang berada di dalam buntalan tersebut ternyata tak lain hanya sebuah tongkat kayu.

   Tongkat itu adalah sebuah tongkat yang amat biasa, walaupun terbuat dari bahan yang bermutu tinggi, jelas tak dapat dibandingkan dengan tempaan pedang mestika yang tajamnya bukan kepalang.

   Inikah senjata yang telah dilatihnya dengan tekun dan penuh keseriusan selama dua puluh tahun? Hanya mengandalkan tongkat tersebut, dia hendak menghadapi kecepatan pedang dari Sam sauya? Ketika menjumpai tongkat kayu itu, Buyung Ciu-ti entah harus merasa kaget dan tercengang, ataukah harus merasa kecewa? Mungkin setiap orang akan merasa terkejut dan kecewa sekali, tapi tidak demikian dengan Cia Siau-hong.

   


Si Pisau Terbang Pulang -- Yang Yl Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Iblis Sungai Telaga -- Khu Lung

Cari Blog Ini