Ceritasilat Novel Online

Pusaka Pedang Embun 13


Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 13


Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong   Dikaki pegunungan Lu-san terdapat sebuah perkampungan kecil yang disebut Hu tian-hong, dikampung itu hidup seorang anak yatim piatu bernama Tong Pok, sejak kecil ia sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.   Tong Pok yang hidup sebatang kara terluntalunta dalam kampung itu, telah dipungut oleh seorang hartawan untuk tinggal didalam rumah keluarga hartawan itu.   Usia Tong Pok waktu itu baru 1 tahun, didalam rumah hartawan itulah Tong Pok bekerja sebagai pengembala kambing.   Tong Pok yang sudah yatim piatu sebagai seorang anak yang numpang hidup dirumah keluarga hartawan, ia juga sangat tahu diri, semua pekerjaannya dilakukan dengan hati-hati dan teliti, ia sangat rajin mengurus kambing-kambing majikannya.   Ketika Tong Pok telah bekerja beberapa bulan, hari itu tepat pada akhir bulan sembilan rumputrumput yang berada disekitar kampung berkurang dan tanahpun menjadi kering.   Dengan kecerdikan otaknya si bocah angon Tong Pok membagi kambingnya menjadi beberapa kelompok untuk mencari rumput.   Bencana tiba-tiba menimpa diri si bocah angon, karena pada hari itu dengan mendadak ia kehilangan seekor kambing, sehingga ketika ia pulang, sang majikan si hartawan memarahinya.   Kejadian hilangnya kambing angonan Tong Pok, terjadi berturut-turut setiap hari, akhirnya karena kehilangan kambing-kambingnya si hartawan tidak hanya memarahi Tong Pok, tapi juga menggebuki si bocah dengan rotan.   Karena pengalaman itu Tong Pok lebih hati-hati mengangon kambingnya.   Sebagaimana biasanya jika matahari sudah doyong dibarat Tong Pok mengumpulkan kambingkambingnya untuk digiring pulang.   Dalam mengumpulkan kambingnya, tiba-tiba Tong Pok menampak seekor binatang berkaki empat berbulu hitam, berbadan lebih besar dari pada anjing, dan lebih kecil dari babi hutan, melompat dari dalam semak-semak belukar menerkam seekor kambing dan menyeret kambing itu masuk kedalam rimba.   Menampak kejadian itu, tentu saja telah membuat Tong Pok menjadi gusar dan gugup, dengan cepat ia lalu lari mengejar binatang yang menyeret kambingnya, tapi apa mau dikata, sewaktu binatang bertubuh hitam itu berlari dibawah kaki gunung Lu-san memasuki hutan rimba, mendadak binatang itu lenyap bayangannya.   Tong Pok yang merasa penasaran belum menemukan binatang itu, terus mengejar keatas gunung dengan harapan bisa menemukan sarang binatang yang mencuri kambingnya, kemudian baru ia pulang memberi laporan kepada sang majikan.   Tanpa dirasa langkah kaki Tong Pok membawa tubuh si bocah sampai dipuncak Ngo lo-long dimuka goa Pek-lok-tong, dimana tinggal si orang tua gaib.   Begitu Tong Pok tiba dimuka goa, matanya dibuat silau oleh berkelebatnya seekor binatang berbulu putih memasuki kedalam goa, dengan perasaan girang maka ia lalu mengejar masuk kedalam goa.   Tiba didalam goa, pandangan mata Tong Pok terbentur oleh seorang tua berjenggot putih sedang duduk, disampingnya berdiri seekor binatang menjangan berbulu putih.   Setelah menyaksikan dengan jelas bahwa binatang yang berbulu putih itu adalah bukan kambingnya yang hilang, hati Tong Pok menjadi jengkel.   Karena jengkelnya Tong Pok lalu bertanya kepada si orang tua yang sedang duduk bersila disamping menjangan putih itu.   "Lotiang, apakah disini ada seekor binatang yang berbulu hitam menyeret seekor kambing yang berbulu putih ?"   Orang tua itu selama berdiam didalam goa belum pernah bicara, mendengar pertanyaan Tong Pok si orang tua hanya menggelengkan kepala. Tong Pok mendapat jawaban demikian ia putus asa, tanpa dirasa air mata meleleh dikedua pipinya dengan deras sekali.   "Sudahlah, kau jangan menangis,"   Terdengar suara orang tua didalam goa, dengan wajah yang manis budi.   "Bocah kau dari mana ?"   Sambil menangis, dengan suaranya yang terputus-putus Tong Pok memberikan keterangan dengan jelas kepada si orang tua apa yang ia alami selama ini. Orang tua itu setelah mendengar cerita Tong Pok, ia menganggukkan kepala lalu berkata .   "Kalau kau tidak berani pulang kerumah majikanmu, biarlah kau tinggal di sini saja bersama aku."   "Bilamana lotiang bersedia menerima aku tinggal disini,"   Berkata Tong Pok dengan perasaan girang.   "Aku selalu menurut apa yang lotiang perintahkan, pokoknya semua apa yang lotiang perintahkan asal aku mampu mengerjakannya, tidak akan aku lalaikan." Orang tua itu mengangguk, lalu katanya.   "Sekarang hari sudah malam. Kau tutup dulu pintu goa.'' Tanpa diperintah dua kali, Tong Pok segera berjalan pergi menutup pintu goa, yang membuat hati si bocah heran ialah meskipun didalam goa itu tidak dipasang api penerangan, akan tetapi dalam ruangan goa di malam hari nampak terang benderang. Apakah yang menyebabkan keadaan didalam goa itu terang benderang? Ternyata diatas tanduk manjangan putih memancar sinar putih yang terang benderang, yang membuat keadaan dalam goa seperti juga keadaannya diwaktu siang. Orang tua itu tampak mengambil segenggam buah Ouw-co dari paso batu, lalu diberikan kepada Tong Pok untuk dimakan. Tong Pok memakan buah tersebut, ternyata buah itu terasa sangat manis dan harum, setelah ia makan tiga buah, ia merasakan perutnya sudah kenyang, maka lalu mengembalikan pula sisa buah itu kepada si orang tua.   "Tong Pok kau harus ingat,"   Berkata orang tua itu sambil tertawa.   "Kau telah memakan tiga buah pemberianku, dengan demikian berarti kau berjodoh denganku untuk bersama-sama tinggal didalam goa ini selama tiga tahun, setelah tiga tahun kau harus pergi dari tempat ini untuk mencari penghidupan dilain tempat." Tong Pok mendengar ucapan si orang tua tanpa disadari hatinya menjadi sedih, ia pikir kalau begitu tadi kumakan saja semua buah itu yang berjumlah lebih dari 10 buah agar aku bisa tinggal bersama si orang tua untuk selama 10 tahun. Si orang tua yang melihat perubahan wajah Tong Pok, dengan tertawa berkata .   "Anak! Kau harus mengerti, dengan mengandalkan kepada orang lain, kau tidak nantinya bisa menemukan penghidupan yang baik, setiap orang hidup didalam dunia ini harus mengandalkan pada tenaga sendiri, itulah baru betul. Kau tinggal disini belajar sedikit ilmu kepandaian yang akan kuturunkan kepadamu, kelak tiga tahun kemudian setelah kau turun gunung, kau bisa menggunakan kepandaian yang kuturunkan untuk menuntut kehidupan mencari nafkah."   Tong Pok sangat kegirangan, dengan cepat ia jatohkan dirinya berlutut dihadapan orang tua gaib seraya menghaturkan terima kasihnya.   Mulai hari itu, Tong Pok tinggal dalam goa Peklok-tong bersama orang tua gaib, dimana dia mendapat pelajaran dari gurunya untuk membikin golok dan pedang.   Dalam goa tersebut ternyata cukup tersedia baja dan besi serta lain-lain alat-alat keperluan untuk membikin golok atau pedang, begitu pula dapurdapur besar untuk membakar bahan besi atau baja juga tersedia alat-alat lainnya yang komplit.   Mula-mula Tong Pok diberikan pelajaran caracara membakar besi mentah, baru kemudian ia diberi pelajaran bagaimana menempa besi atau baja yang akan dijadikan golok atau pedang.   Mengingat waktu untuk mempelajari semua pelajaran-pelajaran itu hanya terbatas pada waktu tiga tahun saja, maka Tong Pok mempelajari dan melatih ilmu-ilmu membuat golok dan pedang itu dengan rajin dan penuh perhatian, semua pelajaran-pelajaran serta latihan-latihan itu ia pelajari siang dan malam tanpa bosan atau malas.   Sehingga belum sampai waktu tiga tahun apa yang diajarkan oleh si orang tua gaib ternyata sudah dapat dipelajari sampai tamat.   Golok dan pedang yang selama ini ia buat sebagai latihan, ternyata semuanya sangat tajam luar biasa, sampai-sampai gurunya merasa kagum atas hasil kerja si murid.   Masa tiga tahun telah dilewatkan, pada suatu hari sang guru memberikan sebutir benda yang berwarna hitam bersinar, besarnya kira-kira tiga kali kepalan tangan orang dewasa.   Tong Pok menerima benda itu yang ternyata sangat berat, berat-beratnya kira-kira 18 kati lebih.   "Kau jangan sembarang menggunakan benda ini,"   Kata gurunya dengan sikap sungguh-sungguh.   "Karena sebutir benda ini, adalah baja pilihan yang kubuat, nama baja ini Kong ceng-wan, barang ini juga sangat susah didapatkan, karena menilik kecerdikanmu, dalam waktu tiga tahun saja kau sudah berhasil meyakinkan seluruh ilmu kepandaian yang kuturunkan kepadamu, maka aku berikan benda ini kepadamu, kelak pada suatu hari kau gunakan benda ini untuk membuat sebilah pedang wasiat yang mempunyai ketajaman luar biasa, yang mana pedang itu kelak dapat digunakan oleh seseorang untuk membela keadilan dan kebenaran membasmi segala macam setan dan siluman yang selalu mengganggu ketertiban dunia. Hari ini kau harus turun gunung, bawalah semua pedang dan golok yang selama tiga tahun ini telah kau buat dengan jerih payahmu, dan juallah semua itu, uangnya bisa kaubelikan toko, dengan demikian kau akan punya mata pencaharian untuk membangun rumah tanggamu."   Tong Pok mendengar penuturan gurunya ia segera menyimpan Kong-ceng-wan tadi sambil mengucapkan terima kasih kepada gurunya, lalu dengan menggendong sebanyak -sebanyak 1 pedang dan 30 bilah golok yang ia buat selama tiga tahun, meskipun barang itu berat, tapi tenaga Tong Pok kini sudah bukan lagi tenaga ketika ia baru tiba di-dalam goa ini pada tiga tahun yang lalu, kini ia telah menjadi seorang pemuda yang bertubuh kekar bertenaga besar.   Setelah pamitan dengan gurunya ia lari turun gunung meninggalkan goa Pek-lok-tong.   Disepanjang jalan Tong Pok menjual golok dan pedang-pedang bawaannya.   Ketika ia tiba dikota Lam-kong-hu, karena orang-orang melihat semua golok dan pedang buatan Tong Pok sangat tajam, maka orang-orang pada berebut membeli barang dagangannya, tidak sampai tiga hari semua pedang dan golok telah habis terjual.   Uang hasil penjualan pedang dan golok, ia belikan sebuah rumah untuk toko dimana ia memulai kariernya, semua alat-alat keperluan pembuatan pedang dan golok sudah dibeli semua, maka mulailah ia melakukan pekerjaan sebagai tukang pembuat golok dan pedang didalam kota Lam-kong itu.   Golok dan pedang hasil buatan Tong Pok terkenal tajam dan berkwalitet tinggi hingga dalam waktu lima tahun, ia sudah bisa mengumpulkan uang sebanyak 100 tail perak.   Kerajinan serta keistimewaan kerja Tong Pok, telah membuat perhatian seseorang terhadap dirinya, maka pada suatu hari malah seorang penduduk Lam-kong-hu telah memungut mantu padanya untuk dinikahkan kepada putri orang itu.   Mengingat budi sang guru, pada suatu hari, ia menceritakan kepada istrinya untuk menyambangi gurunya, maka setelah membeli buah-buahan yang segar, Tong Pok dengan pikulan penuh buahbuahan ia mendaki keatas gunung Lu san.   Tetapi setelah Tong Pok tiba digoa Pek lok-tong, ternyata gurunya sudah tidak berada didalam goa.   Dengan perasaan duka Tong Pok lalu meletakkan buah-buahannya didalam goa, dan ia lalu berlutut menghadap kelangit, setelah sembahyang baru ia pulang kembali.   Waktu itu toko Tong Pok serta alat-alat yang dibuatnya pedang atau golok sudah terkenal di mana-mana, diseluruh pelosok, maka tidak heran orang-orang dari setiap penjuru kota datang kekota Lam-kong-hu untuk membeli golok atau pedang buatan Tong Pok.   Waktu berjalan sangat cepat, Tong Pok sudah berusia empat puluh lima tahun, ia hanya dikaruniai seorang perempuan yang diberi nama Liam-su Lok-kho (ingat guru nona manjangan).   Nama itu diberikan kepada sang putri dikarenakan Tong Pok ingat kepada budi dan juga kepada simanjangan putih.   Ketika Liam-su Lok-kho berusia 16 tahun, gadis itu sangat berbakti kepada ayah ibunya, sehingga kedua orang tuanya sayang kepada sang puteri tunggal itu.   Untuk melakukan pekerjaannya Tong Pok mengangkat beberapa orang murid laki-laki yang dididiknya bagaimana cara menempa besi dan menempa baja.   Pada suatu hari Tong Pok berpikir, keadaan rumah tangga boleh dibilang cukup baik serta penghasilan dari pembuatan pedang dan golok berjalan lancar, juga muridnya yang dilatihnya kini sudah pandai mengurus sendiri pekerjaannya, sedang usianya tambah lama tambah tua jua, tenaganyapun tambah lemah, sedang sebutir baja Kong-ceng-wan pemberian suhunya belum juga diolah menjadi pedang wasiat, bila hal ini tidak segera dilaksanakan, kapan lagi ? Mengingat tenaganya kini tambah lama tambah lemah.   Kuatir terhadap pesan suhunya yang ia harus membuat pedang wasiat dari bahan baja Kong-ceng-wan tidak keburu dilaksanakan, maka ia segera membuat sebuah kamar terpisah, lalu membuat sebuah dapur untuk mengolah baja Kong-cengwan menjadi pedang wasiat.   Tiga tahun sudah lamanya baja Kong-ceng-wan didalam dapur pembakaran tapi baja itu tidak menunjukkan perobahan yang menunjukkan tanda-tanda akan melumer, selama tiga tahun itu Tong Pok melakukan pembakaran dan menempa butiran baja itu, tapi tidak membawa hasil yang diharapkan, baja itu tetap keras seperti sediakala.   Atas kejadian itu Tong Pok sangat heran sekali, sehingga sang istri sering memberikan nasehatnya, agar jangan meneruskan pekerjaannya yang hanya menghabiskan arang percuma dan membuang waktu yang tiada artinya.   Tetapi nasehat sang istri tidak pernah didengar oleh Tong Pok, ia masih tetap melakukan pekerjaannya tanpa putus asa.   Pada suatu hari kembali sang isteri memberi nasehat agar ia menghentikan pekerjaannya.   Tapi dijawab oleh Tong Pok dengan sungguh-sungguh;   "Barang ini pemberian suhu atas budi baik suhu, aku tidak boleh mensia-siakan semua kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadaku, untuk membuat sebilah pedang wasiat guna diberikan kepada seseorang yang berguna untuk kepentingan nusa dan bangsa."   Hari dilewatkan sehari demi sehari Tong Pok masih tetap melakukan pembakaran baja Kongceng-wan yang tidak pernah lumer, setahun sudah dilewatkan lagi, tapi sang baja tetap tidak mau lumer.   Kejadian itu akhirnya membuat Tong Pok serba salah, duduk salah berdiri salah, makan dan minum sudah dilupakannya.   Kadang kala Tong Pok duduk menung seorang diri seperti gila.   termenung- Liam-su Lok-kho yang menyaksikan sang ayah sedemikian rupa tingkah lakunya, hatinya merasa sedih dan duka.   Sang putri juga turut membantu ibunya untuk memberi nasehat kepada sang ayah tetapi semua itu sia-sia belaka.   Pada suatu hari Liam-su Lok-kho berpikir untuk menolong ayahnya dari kesulitan ini tidak lain hanya satu-satunya jalan hanyalah membantu sang ayah agar baja itu segera bisa lumer.   Setelah berpikir begitu siputri tunggal Tong Pok yang bernama Liam-su Lo-kho diam-diam pada waktu malam ia masuk kedalam kamar spesial pembakaran baja itu.   Di muka dapur si gadis berpikir dalam hati.   "Sebutir baja ini sungguh sangat mengherankan apakah didalam dapur ini ada setan yang mengganggu? Sayang sekali aku tidak bisa lompat kedalam dapur yang menyala ini untuk segera mengusir setan yang mengganggu usaha ayahku."   Setelah berpikir begitu, si gadis tiba-tiba teringat kepada cerita-cerita orang bahwa semua pekerjaan ada malaikatnya dan juga mungkin pekerjaan ini telah diganggu oleh si malaikat dapur, sehingga baja ini tidak bisa lumer-lumer meskipun api dapur tetap menyala siang dan malam.   Mengingat kepada malaikat dapur maka si gadis lalu berlutut dihadapan dapur yang apinya sedang menyala, mulutnya berkemak-kemik membaca doa.   Mendadak terjadi perobahan yang ajaib, butiran baja didalam dapur tampak berputar, tak lama warnanya juga mulai berubah menjadi merah.   Menampak kejadian itu hati si gadis menjadi girang tidak kepalang.   Tapi tiba-tiba.........   Segulungan angin keras berembus masuk meniup api yang sedang berkobar, api mana lalu padam butiran baja yang sudah mulai memerah kembali menjadi hitam sebagaimana warna asalnya.   Menyaksikan keadaan itu hati si gadis panas membara, ia marah tidak kepalang darahnya naik ke otak, ia berkata ;   "Rupanya betul dapur ini ada setannya yang mengganggu, mmm.aku akan bertarung dengan setan kurang ajar ini, hai setan, aku akan menempurmu mati-matian......"   Setelah berkata begitu, tubuh si gadis lompat kedalam dapur, alangkah kasihan si gadis harus mengorbankan jiwanya didalam bara api yang merah marong didalam dapur.   Ketika si gadis lompat masuk kedalam dapur, salah seorang murid Tong Pok mendengar suara gadabrukan, segera ia masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi, di sana tampak tubuh gadis itu sudah terbakar diatas api yang berkobarkobar.   Si murid laki-laki itu segera lari keluar menceritakan apa yang telah terjadi kepada majikannya.   Ketika mereka datang kedalam kamar dapur tampak asap mengepul-ngepul, sedang tubuh si gadis yang terbakar sudah lenyap menjadi abu, sedang baja didalam dapur berputaran, baja itu kini nampak memerah tanda akan melumer.   Sang ibu yang menampak gadisnya sudah menjadi abu, ia kalap seperti orang gila lalu nyusul anaknya menyemplungkan diri kedalam dapur.   Tong Pok yang menyaksikan istri dan anaknya sudah binasa dengan lompat masuk kedalam dapur yang sedang berkobar, ia menjadi sedih dan jengkel hingga ia jatuh pingsan.   Ketika Tong Pok sadar, ia segera ingin lompat kedalam dapur menyusul istri dan putrinya, tapi para murid-muridnya menahan maksud sang guru dan memberikan hiburan hingga Tong Pok gagal bunuh diri di dapur pembakaran baja.   "Mereka ibu dan anak,"   Kata Tong Pok sedih.   "Lantaran hanya dikarenakan sebilah pedang, telah mengorbankan jiwa isteri dan anakku yang tercinta. Beruntung Tuhan merasa kasihan pada diriku, membuat baja ini menjadi lumer, hingga pengorbanan istri dan anakku tidak akan sia-sia belaka, aku bersumpah untuk membuat pedang ini, jika tidak bagaimana kelak dialam baka aku bisa berjumpa dengan istri dan anakku yang telah berkorban untuk pengorbananku ini?" Dengan menanggung sedih dan pilu Tong Pok lalu membuat sebilah pedang dari baja yang dilumerkan oleh darah seorang gadis dan seorang ibu yang dicintainya. Setelah memakan waktu dua tahun lamanya barulah pedang itu hampir selesai dalam pembuatannya. Ketika ia sedang melakukan pembakaran pedang yang hampir jadi itu,tiba-tiba tampak bara api yang menyala berkobar-kobar merah berubah menjadi putih, disana mengepul uap putih keudara, sedang arang besi yang tadinya merah membara kini berubah menjadi keputih-putihan, disana sini berterotolan butiran air mengkilat seperti embun pagi pada bara api, maka tampaklah disana sebilah pedang yang memancarkan sinar putih yang mengeluarkan hawa dingin membuat tubuh Tong Pok menggigil gemetar. Dengan demikian selesailah pembuatan pedang wasiat yang memakan korban dua jiwa manusia, seorang dara dan seorang ibu. Setelah hawa dingin lenyap Tong Pok mengambil pedang itu dari atas dapur. Setelah mana ia perintahkan kepada muridmuridnya untuk membuatkan sebilah sarung pedang. Setelah sarung pedang selesai Tong Pok mengumpulkan semua murid-muridnya, ia berpesan kepada murid-muridnya agar pekerjaan itu dilanjutkan, sedang ia sendiri akan segera meninggalkan kota untuk mengembara. Didalam pengembaraannya Tong Pok berjumpa dengan seorang imam bangsa Arabia, hasil dari perkenalan itu Tong Pok selainnya telah mahir dalam ilmu To juga ia mempelajari ilmu kebathinan dari imam bangsa Arabia, yang kemudian imam itu kembali kenegeri asalnya dengan membawa hasil pelajaran agama To yang ia dapatkan dari Tong Pok. Didalam goa pertapaannya Tong Pok membuat tiga bilah pisau belati yang bergagang berukiran burung Hong, Liong dan Kiam diatas badan pisau belati itu tertera peta tempat dimana ia bertapa dan dimana tersimpannya Pusaka Pedang Embun. O~d^w~O CENG-IT CINJIN setelah membaca kitab yang berisi catatan riwayat Pedang Embun, selembar demi selembar menjadi abu pada lembar terakhir ia menarik napas panjang. Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw, Koang-koan Sinkay dan para jago lainnya mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita itu. Mata Lie Eng Eng terbetik dua butir air mata, tampak juga sepasang mata si pengemis cilik Ho Ho basah menahan jatuhnya air mata. Mereka terharu atas pengorbanan ibu dan anak yang setia kepada ayah dan suami.   "Pengorbanan yang tidak sia-sia,"   Tiba-tiba terdengar suara Pie-tet Sin-kay.   "Tapi mengapa pisau yang ada hanya dua buah, entah ditangan siapa lagi yang sebilah berukir gambar pedang. Sunguh berbahaya bila pedang itu jatuh ketangan sebangsa manusia siluman."   Si pengemis cilik Ho Ho menatap wajah Liong Houw dengan penuh tanda penyesalan bahwa kedua pisau belati itu telah dirampas oleh Kim-niomo-ong Gwat Leng dengan akal tipu daya yang licik.   "Paman......."   Tiba-tiba Liong Houw membuka suara.   "Teecu yang tidak berguna ini telah mensiasiakan kepercayaan paman atas kedua pisau belati itu......"   "Pisau belatinya telah ditipu oleh Kim-nio-mo ong Gwat Leng,"   Sambung si pengemis cilik Ho Ho.   "Kim-nio-mo-ong Gwat Leng????!!!"   Terdengar suara kejut Ceng-it Cinjin.   "Ngg, iblis itu sudah muncul kembali, hebat akibatnya bila pedang itu terjatuh ditangan iblis wanita itu."   Mata Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw menatap tajam Liong Houw dengan tatapan tidak puas.   Liong Houw yang ditatap demikian juga merasa tidak puas, sang paman ini baru saja ia kenal, betul tidaknya kalau Ong Pek Ciauw adalah adik angkat ayah ibunya belum dibuktikan, kembali teringat akan tipu muslihat si nenek Sian, maka muncul pikiran diotak Liong Houw, jangan-jangan orang-orang inipun berakal licik, penuh tipu muslihat hingga timbul keragu-raguannya terhadap orang yang berada dihadapannya.   Ditatapnya sinar mata orang-orang sekeliling satu demi satu, semua menunjukkan sinar ketidak puasan terhadap dirinya, hanya tampak sinar mata Ceng-it Cinjin, sinar mata itu berbeda dengan sinar mata para jago yang lainnya, sinar mata Ceng-it Cinjin penuh dengan rasa welas asih yang penuh keagungan.   Menatap kearah Lie Eng Eng mata sang kekasih basah digenangi air mata.   Sedang si pengemis cilik Ho Ho menundukkan kepala.   Menampak sikap orang-orang itu, mendadak tubuh Liong Houw melejit keudara, ia berlari berlompatan diantara dahan-dahan pohon meninggalkan gunung Liong-houw-san.   Lie Eng Eng bangkit, berbarengan dengan suhunya Ong Pek Ciauw untuk mencegah kepergiannya Liong Houw, tapi gerakan mereka cepat dicegah Ceng-it Cinjin.   "Duduklah, biarkan penyesalannya !"   Ia pergi melampiaskan Tak lama bayangan Liong Houw sudah lenyap dibalik pohon dibawah gunung.   Setelah Liong Houw meninggalkan tempat itu, si pengemis cilik Ho Ho menceritakan semua apa yang ia ketahui tentang hilangnya kedua pisau belati yang ditipu oleh Kim-nio-mo-ong Gwat Leng, juga bagaimana kedua gadis cantik kota Siang-im beserta kedua orang tuanya sudah diculik oleh Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang.   Guru dan murid muncul didalam rimba persilatan menggegerkan ketenangan dunia.   "Hmm...."   Ceng-it Cinjin menghela napas.   "Kunsee-mo-ong Teng Kie Lang masih mengganas belum bisa dibasmi dari muka bumi, kini muncul pula gurunya Kim-nio-mo-ong Gwat Leng yang selama belasan tahun sudah tidak terdengar kabar beritanya. Hai, bagaimana mendadak para iblis dan siluman bermunculan kembali pada jaman ini."   "Cinjin !"   Berkata Koang-koang Sin-kay.   "apakah ada daya upaya untuk membasmi iblis dan siluman itu ?"   Ceng-it Cinjin memandang kelangit baru berkata.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Semua bisa dilaksanakan, tapi harus ada syarat-syarat, kepandaian didalam dunia ini tidak ada batasnya, mungkin kepandaian para iblis itu sulit untuk ditundukkan, tapi untuk sementara ini kita hanya bisa membendung kejahatan mereka, hanya itulah yang saat ini dapat kita lakukan, kecuali ... hai ..kecuali Pedang Embun itu ... tidak ada lain jalan lagi untuk membasmi dan memunahkan ilmu siluman."   "Cinjin !"   Berkata Ong Pek Ciauw.   "Tentang kelima jago Hadramaut itu adakah cara untuk menghadapi ilmu kebal mereka ?"   Ceng-it Cinjin mengangguk kepala, katanya.   "Kelima jago Hadramaut mencari Pedang Embun, tentu berita ini telah turun menurun dikisahkan oleh para pengikut imam yang telah mengetahui tentang pedang Embun itu hingga mereka berusaha untuk mencari pedang tersebut dan menyiarkan bahwa pedang itu adalah pusaka negerinya. Tapi tipu muslihat itu telah terbongkar dengan adanya kitab sejarah pedang tadi. Sedang persoalan untuk menghadapi ilmu kebal mereka, kukira hal ini tidak sulit. Karena kalau ditilik dari ilmu kebal yang dianut oleh bangsa-bangsa benua Arabia, mereka menggunakan dasar ilmu kebathinan, meskipun pedang embun belum tentu dapat membunuh mereka. Tapi berdasarkan pelajaran-pelajaran dan kitab-kitab kebathinan yang lohu temukan, ilmu kebal itu tidak sulit untuk dipunahkan. Untuk menghadapi ilmu kebal mereka, kalian harus memperhatikan beberapa soal, yang pertama, kaki kalian tidak boleh bertatakan apapun, tidak boleh bersepatu atau lainnya, kulit tapak kaki harus langsung menempel ditanah. Sebelum menggerakkan senjata untuk membunuh mereka, semua senjata pedang pisau atau apapun harus terlebih dahulu dipukulkan kebumi sekuatnya, nah setelah itu seranglah, pasti apabila serangan kalian mengenai sasaran tubuh mereka akan tercincang."   "Ayaaaaaaaa.........."   Setelah mendapat petunjuk-petunjuk dari Ceng it Cinjin, para rombongan Pie-tet Sin-kay pamitan turun gunung.   Ceng-it Cinjin tidak lupa berpesan kepada mereka bahwa dalam jangka waktu tiga tahun ia tidak mau diganggu oleh siapa pun karena dalam waktu itu Ceng-it Cinjin akan melatih Thio Thian Su suatu ilmu andalannya, agar sang murid bisa menggunakan pedang guntur yang sangat luar biasa itu.   o o dw o o LIONG HOUW berjalan dengan langkah kaki tetap, jiwanya bergelora untuk merebut kembali dua bilah pisau belati pusakanya yang menjadi milik warisan orang tuanya, juga merupakan peta dari tersimpannya pusaka Pedang Embun.   ia harus mencari jejak Kim-nio-mo-ong Gwat Leng yang telah menipunya demikian rupa, ia harus bisa menunjukkan kepada paman dan kekasihnya serta para jago-jago tua sahabat karib ayahnya, bahwa sebagai putra seorang pendekar kenamaan, darahnya harus memiliki jiwa kependekaran, ia harus bisa membongkar kemisteriusan lenyapnya sang ayah dan ibu, ia juga harus sanggup menuntut balas sekiranya lenyapnya orang tuanya itu diakibatkan penganiayaan orang-orang rimba persilatan, entah mereka itu dari golongan sesat atau yang mengaku dirinya sebagai golongan putih, bilamana terbukti mereka tersangkut dalam urusan dengan lenyapnya sang ayah, Thio Liong Houw bertekad membuat perhitungan.   Hasil pengalamannya selama ia malang melintang mengembara dirimba persilatan dapat disimpulkannya, bahwa segala tindakan tidak boleh dilakukan dengan hati lemah dan ragu-ragu, semua apa yang dihadapinya ia tidak boleh percaya seratus persen, setiap orang, setiap machluk harus dicurigai meskipun terhadap diri sang paman atau kawan-kawan karib sang ayah.   Tipu muslihat akal licik merajalela meracuni setiap darah manusia yang semuanya kemaruk terhadap nama besar, serakah terhadap harta benda.   Perjalanan kali ini dilakukan diatas jalan lerenglereng pegunungan, meliwati bukit-bukit curam, sungai lebar, pemuda kita kembali menuju kearah kota Siao-shia, dimana dikala itulah untuk pertama kalinya ia terjun dalam pergaulan hidup manusia.   Dari sana ia akan melanjutkan perjalanannya mendaki lereng-lereng gunung diatas puncak puncak gunung menuju lembah air terjun.   Hari berikutnya, matahari baru menyorotkan sinar-sinar masnya, diatas hutan rimba suara kicau burung ramai bersahut-sahutan, sesekali terdengar suara gerengan binatang buas serabutan mencari mangsa.   Liong Houw masih menelentangkan tubuhnya diatas batang pohon, matanya baru saja dibuka menikmati pemandangan pagi dalam hutan belantara.   Kraakkkkk, bruukkkkk..........   Tiba-tiba saja dahan pohon dimana tadi ia menelentangkan tubuhnya patah tanpa hujan tanpa angin.   Tubuh Liong Houw yang masih menelentang diatas dahan tadi, meletik keudara, kemudian meluncur turun, berdiri jejak disemak-semak belukar dalam hutan rimba belantara itu.   "Omotohud...... huaahh, haaaa, bocah sial, cepat kau potes batok kepalamu, aku tidak mau mengotorkan tangan untuk membunuh dirimu."   Ternyata patahnya batang pohon tadi disamber oleh sinar merah yang berkeredap, keluar dari tangan orang yang bicara berdiri dihadapan Liong Houw. "Tosu siluman,"   Bentak Liong Houw. Ternyata orang yang datang adalah itu tosu siluman Liok Hap tojin.   "Mmm........"   Dengus Liok Hap tojin dingin.   "Gara-gara perbuatanmu, markasku dibumi hanguskan, murid-muridku terbunuh, hari ini kalau aku tidak bisa menyaksikan kepalamu copot dari tubuhmu, hmmm......hayo cepat kau copotkan kepalamu."   "Tosu siluman, lebih baik kau pecahkan mulutmu yang bau busuk itu agar tidak ngoceh tak keruan dihadapanku, kau kira aku takut dengan segala macam permainan ilmu silumanmu. Jika kau menghendaki kepalaku, ambillah asal saja kau mampu.."   Kreeelap.....   Meluncur sinar merah dari tangan Liok Hap Tojin menyambar leher Liong Houw.   Liong Houw bergerak cepat sebelum sinar merah itu menyambar lehernya, tubuhnya mengkeret kebawah, setelah sinar itu lewat diatas kepalanya Liong Houw melejit keudara, di tengah udara jari tangannya bergerak menotok kearah biji mata Liok Hap tojin dengan ilmu totokan bunga-bunga berguguran.   Entah dengan cara bagaimana mendadak tubuh Liok Hap tojin lenyap.   Begitu tubuh Liong Houw tiba ditanah tiba-tiba tampak kabut putih halimun mengurung tubuhnya, pandangan matanya menjadi gelap, ia tidak dapat disekitarnya.   melihat pemandangan alam Liong Houw berusaha membentur kurungan halimun putih yang mengurung tubuhnya, tapi setiap kali ia membentur lapisan halimun itu tubuhnya seakan membentur dinding tembok, mental balik terhuyung-huyung.   Berulang kali dicobanya, tapi hasilnya sama saja bahkan kini tubuhnya dirasakan sakit sampai menyelusup ke-tulang-tulang akibat benturanbenturan yang membabi buta.   Teringat akan bunyi siulannya, maka Liong Houw segera mengempos tenaga, ia mengeluarkan siulan yang menggema angkasa menggetarkan seluruh isi rimba.   Begitu suara lengking siulan menggema halimun yang mengurung tubuhnya pecah buyar kian kemari, terbawa angin akhirnya lenyap sama sekali.   Kini dihadapannya berdiri si tosu siluman Liok Hap Tojin.   "Mmm, siulan setanmu hebat juga, bocah, tapi kematianmu sudah tidak bisa dielakkan lagi, ha, ha, ha........"   "Siluman pejajaran ! Tidak perlu banyak pentang bacot disini, kalau kau mampu, cepat keluarkan lagi ilmu silumanmu!"   Liok Hap tojin menggerakkan tangannya dari sana kembali meluncur cahaya merah menyerang dada Liong Houw.   Liong Houw mengelak kekiri, menjejak tanah ia membal keudara.   Kembali sinar-sinar merah menyerang tubuhnya, kemana Liong Houw bergerak sinar merah selalu membatangi, si pemuda segera bersiul kembali, suara siulan itu menggema memecahkan kesunyian didalam hutan itu.   Terdengar Liok Hap tojin tertawa berkakakan.   Berbarengan dengan lenyapnya suara tertawanya tiba-tiba nampak sekeliling rimba itu terkurung oleh sinar merah membara seakan telah terjadi kebakaran hebat dalam hutan mengurung tubuh Liong Houw.   Terasa hawa panas menghimpit tubuh si pemuda, suara siulannya kian lama kian melemah dan akhirnya lenyap ditelan sinar merah, Liong Houw dengan menahan rasa panas berputaran tubuhnya melejit tinggi, tapi sinar merah itu bergerak mengikuti kemana bayangan si pemuda bergerak.   Kini kepalanya mulai dirasa pening, matanya berkunang-kunang, tubuhnya limbung, dadanya sesak, Liong Houw memuntahkan darah tubuhnya jatuh ambruk ditanah.   Terdengar suara gema tertawa Liok Hap tojin.   Kakinya melangkah mendekati tubuh Liong Houw yang sudah jatuh pingsan tak sadarkan diri.   "Mmm . ."   Dengus Liok Hap tojin, tangannya diangkat tinggi, tampak kepalan tangan Liok Hap tojin memerah seperti bara api, digerakkan menghajar batok kepala Liong Houw yang sudah pingsan menunggu saat kematiannya.   Blegurrrrrr ....Berbarengan dengan gerakan tangan Liok Hap tojin menghajar kepala Liong Houw terdengar suara guntur dilangit.   Bleguaurrrrrr ..   kerelap ....   Hawa udara menjadi lembab, awan yang tadinya terang benderang menjadi gelap tak lama rintikrintik air hujan jatuh dari langit.   Tubuh Liong Houw yang masih tengkurap pingsan, tertimpa rintikan air hujan badannya basah kuyup.   Dari balik pohon-pohon didalam rimba melesat satu bayangan merah mendatangi, begitu bayangan merah menampak tubuh Liong Houw yang tengkurap pingsan basah kuyup, tangan bayangan merah bergerak memondong tubuh Liong Houw kemudian lari meninggalkan tempat itu.   Entah sudah berapa lama Liong Houw dipondong oleh bayangan merah dalam keadaan cuaca gelap hujan besar diatas pegunungan, Liong Houw yang masih pingsan tiba-tiba sadar kepalanya masih dirasakan sakit dadanya terasa sesak, ia merasakan tubuhnya tertimpa air hujan, telinganya mendengar kesiuran angin menderu karena cepatnya si bayangan merah berlari, dengan perasaan yang tersiksa Liong Houw samarsamar dapat melihat bentuk potongan bayangan merah.   Ia bisa merasakan bahwa dirinya sedang dibawa lari oleh suatu machluk berkulit merah, tubuh mahluk itu berwarna merah licin tiada berbulu, juga tidak berpakaian karena kepala Liong Houw menghadap belakang, ia tidak bisa menyaksikan wajah machluk itu.   Dalam keadaan pusing seperti itu timbul rasa herannya, kemanakah ia akan dibawa oleh machluk merah ini.   Dicobanya bergerak, tapi tenaganya tidak mengijinkan, terasa dadanya sakit tidak kepalang.   Si bayangan merah melesat bagaikan terbang melompati tebing-tebing gunung, berlarian terus.   Tiba didalam semak-semak belukar si bayangan merah menghentikan larinya, tubuh Liong Houw diletakkan diatas rumput-rumput hijau yang memenuhi semak-semak belukar, dengan cepat tangan si bayangan merah bergerak menotok beberapa bagian jalan darah Liong Houw, setelah itu, ia menjejalkan sebutir pel berwarna merah kedalam mulut si pemuda.   Kemudian bayangan merah menepuk-nepuk geger si pemuda.   Samar-samar Liong Houw bisa melihat wajah bayangan merah, wajah itu merah pucat pasi, hanya tampak sinar matanya yang memancarkan cahaya bening.   Setelah selesai memberikan pel obat kedalam mulut Liong Houw, bayangan merah itu melesat pergi meninggalkan Liong Houw yang tergolek diatas rumput-rumput hijau.   Tak lama terasa perut Liong Houw bergolak seakan ada hawa udara hangat berputaran, hawa itu menyelusuri keseluruh sendi urat-urat ditubuh si pemuda.   Mendadak Liong Houw merasakan tubuhnya nyaman, segala rasa pening dikepalanya lenyap, sesak napasnya hilang seketika, dirasakan jalan pernapasannya kini tidak terganggu oleh rasa yang menyesakkan akibat benturan halimun dan sinar merah api yang diciptakan oleh Liok Hap tojin.   Masih terbayang didalam benak pikiran Liong Houw, bagaimana si tosu siluman ketika mendengar suara geledek menyambar, ia segera angkat kaki ngacir menyelamatkan diri, ketika suara guntur terdengar untuk kedua kalinya keadaan Liong Houw sudah tidak ingat orang lagi, ia jatuh pingsan.   Kembali mengingat kepada si bayangan merah yang membawa ia lari ketempat belukar ini, hati si pemuda heran tidak kepalang, siapakah orangnya yang telah menolong dirinya dengan menotok beberapa jalan darahnya dan juga memberikan pel obat.   Meskipun keadaan Liong Houw saat itu dalam keadaan terluka parah, tapi mata dan pikirannya masih bisa bekerja, dengan sepasang matanya, ketika tubuhnya diletakkan diatas rumput hijau itu, ia bisa menampak wajah si bayangan merah, wajah itu merah tapi pucat seperti mayat hidup, hanya sepasang sinar matanya yang tampak bening tubuh itu merah seluruhnya, tanpa pakaian lekuk-lekuk tubuh menunjukkan tubuh seorang wanita yang bertelanjang bulat, hanya anehnya kulit wanita itu tampak merah, sehingga tonjolan buah dadanya juga cembungan bagian belahan paha tampak rata merah.   Berpikir bolak balik, hati Liong Houw menggidik sendiri, apakah ia baru saja berjumpa dengan setan atau siluman? Atau machluk yang luar biasa dari luar bumi? Hujan mulai mereda, pakaian putih Liong Houw basah kuyup.   Guna mempercepat waktu dalam perjalanan menuju kelembah air terjun, Liong Houw membuka pakaian yang basah kuyup, kini ia hanya mengenakan pakaian dalamnya berupa pakaian kulit macan.   Perjalanan selanjutnya dilakukan melalui jalanjalan pegunungan yang sepi sunyi, ia menghindari pertemuan dengan manusia manapun yang hanya akan menghambat perjalanannya.   Dua bulan sudah ia berkelana dipuncak gunung dengan memakan buah-buahan untuk menangsal perutnua serta minum air dari sumber mata air diatas pegunungan, tapi tempat yang dituju belum juga ditemui, ia kehilangan arah tujuannya.   Liong Houw berdiri diatas puncak gunung, disekitarnya hanya tampak puncak-puncak gunung yang mengelilingi tempat itu.   Menengok kebawah, disana tampak awan-awan memutih menghalangi pandangan matanya, hingga ia tidak dapat melihat keadaan di bawah gunung.   Angin berembus kencang sekali, seakan hendak menerbangkan tubuhnya, rambutnya riap-riapan bergelombang ditiup angin pegunungan, mata dan pipinya terasa mulai perih tersambar tiupan angin yang menderu-menderu ditelinganya.   Tiba-tiba diatas lamping gunung diseberang puncak dimana ia berdiri, tampak satu titik merah bergerak-gerak menyelusup diantara awan-awan memutih yang mengurung puncak gunung itu.   Hati Liong Houw tergerak, kakinya segera melesat berlompatan menuruni puncak gunung dimana ia berdiri, akhirnya ia tiba dibawah kaki gunung, disana terdapat satu batang kali kecil yang mengalirkan airnya deras dan bening.   Ternyata kedua puncak gunung itu dibatasi oleh kali kecil yang mengalir deras dibawahnya.   Melompati kali kecil itu, tubuh Liong Houw melesat menaiki tebing gunung mengejar kemana larinya titik merah yang menembus awan diangkasa puncak gunung tadi.   Keadaan puncak gunung ini hampir serupa dengan puncak gunung diseberang sana dimana ia tadi berdiri.   Menerobos awan-awan memutih yang mengelilingi lamping gunung, tubuh Liong Houw melesat terus kearah puncak pegunungan, tibatiba tampak kembali titik merah tadi bergerak kearah barat dibalik tikungan pegunungan.   Cepat langkah kakinya digerakkan mengejar titik merah tadi, kini tampak tambah lama tambah jelas, ternyata titik merah tadi adalah bayangan seseorang yang berlarian diatas lamping gunung dengan mengenakan jubah merah.   Setibanya dibalik tikungan bagian barat puncak gunung, tiba-tiba Liong Houw kehilangan jejak bayangan tadi.   Diperhatikan sekeliling tempat itu, tidak terdengar derap langkah kaki manusia, hanya terdengar suara menderunya angin santer menerjang tubuhnya.   Mata Liong Houw menatap jauh ke muka tak tampak lagi bayangan merah, kini ia memandang kebawah dimana awan-awan putih menghalangi pandangannya, terpikir olehnya bahwa bilamana bayangan merah tadi berlari menuju terus kemuka, pasti ia dapat melihatnya meskipun betapa cepat larinya bayangan tadi.   Tidak ada lain jalan lagi, bayangan itu pasti menuju kearah bawah puncak gunung, setelah berpikir berputar-putar dalam otaknya Liong Houw melesat turun menerjang awan putih lari kebawah, berlarian beberapa saat tibalah ia disuatu lamping gunung yang penuh batu-batu gundul tak tumbuh rumput maupun pohon.   Sedang dibawahnya adalah jurang yang curam.   Melongok ke bawah tak tampak dasar jurang, keadaan disana gelap pekat.   Selagi Liong Houw celingak-celinguk tiba-tiba terdengar suara tertawa terbawa angin yang datangnya dari sebelah utara lamping gunung itu.   Mendengar suara tertawa itu, Liong Houw segera mengejar kearah datangnya suara tawa tadi, ia ingin mengetahui machluk macam apakah yang berdiam diatas puncak gunung tinggi terasing ini.   Melalui jalan kecil licin berIiku-Iiku, tibalah ia dimuka sebuah goa batu dilamping gunung.   Liong Houw menghentikan langkahnya, ia memperhatikan keadaan dalam goa itu, tampak gelap, tak tertampak bayangan apa pun.   "Masuklah!"   Tiba-tiba terdengar suara orang dari dalam goa. Kaki Liong Houw melangkah, tapi cepat langkah itu ditahan, ia mundur dua tindak.   "Tipu muslihat !"   Tiba-tiba tercetus ucapan itu dari mulut Liong Houw.   "Hengggg."   Terdengar dengus dari dalam.   "Tipu muslihat apa, bukankah kau yang bernyali tikus, tidak berani menerobos masuk."   "Manusia Iicik, keluarlah ! Aku tidak sebodoh yang kau sangka....keluarlah jika kau manusia baik, jika tidak goa ini akan kuhancurkan dengan obat pasang .....!"   Orang yang berada dalam goa gelap ketika mendengar ucapan Liong Houw yang akan menghancurkan goa dengan obat pasang, tanpa pikir lagi tiba-tiba ia melesat keluar menyambar tubuh Liong Houw. 0)0od~wo0(0   Jilid ke 12 TERASA ada sambaran angin Liong Houw menjejakkan kakinya, melejit masuk kedalam goa.   Hingga keadaan berubah, kini Liong Houw yang berada didalam goa dalam keadaan gelap, sedang orang yang menyambar tadi adalah itu orang yang mengenakan jubah merah.   "Haaaaa......tua bangka goblok, haaaaa......dari mana aku memiliki obat pasang, hmmm.....murid murtad terkutuk, sebagai wakil kaucu Ko-lo-hwee, sudah sering melakukan perbuatan terkutuk, binatang buas berbentuk manusia ......"   Maki Liong Houw.   Ternyata orang berjubah merah itu adalah si murid murtad Leng-leng Pak su, murid durhaka Thian-lam-it-Io Kak Wan Kiesu.   Begitu mendengar disebutnya wakil kaucu Ko-lohwee, hatinya Leng-leng Pak-su tergetar, sampai ia melangkah mundur tiga langkah ketepi jurang.   "Bocah sundel, apakah si tua Kak Wan sudah menurunkan ilmu kepandaiannya padamu, sehingga kau berani kurang ajar terhadap suhengmu, hayo cepat keluar kalau tidak tubuhmu akan hancur berkeping-keping didalam goa."   Teringat akan serangan angin puyuh Leng-leng Paksu, hati Liong Hauw tercekat, bilamana Lengleng Paksu mengerahkan ilmu pukulan angin puyuhnya, pasti tubuhnya akan hancur gepeng, tergencet angin puyuh dan dinding batu dalam goa.   Mengingat akan itu, tubuh Liong Houw segera melesat keluar.   Berbarengan dengan melesatnya tubuh Liong Houw, dengan membarengi kata-katanya, Lengleng Paksu sudah menyerang kearah dalam goa.   Bledurrrrrrrr.......   Terdengar suara batu-batu berhamburan, abuabu kerikil batu bermuncratan keluar pintu goa dibarengi dengan melayangnya tubuh Liong Houw terpental jauh keudara kemudian tubuhnya melayang turun jatuh kedalam jurang........   Dengan mata terbelalak lebar, Leng-leng Paksu memperhatikan melayangnya tubuh Liong Houw jatuh kedalam jurang penuh kabut putih menebal.   Cepat Leng-leng Paksu tiarap, kupingnya ditempelkan kebatu lamping gunung, ia ingin mendengar suara jatuhnya tubuh Liong Houw yang hancur lebur terbanting ke bawah.   Lama .......   lama sekali Leng-leng Paksu merapatkan kupingnya dibatu lamping gunung, tapi tak terdengar suara apapun.   ~d~w~ LlONG HOUW yang meluncur jatuh kedalam jurang, melayang-layang laksana layang-layang putus tali, suara angin yang lewat ditelinganya menderu-deru menambahkan rasa ngeri dan seram dihati si pemuda.   Kaki tangan Liong Houw bergerak-gerak mengimbangi keadaan berat tubuhnya yang meluncur, kadang kala tubuhnya berputaran tanpa dapat dikendalikannya.   Akhirnya keadaan dalam jurang menjadi gelap, karena hari sudah menjelang malam.   Tubuh Liong Houw masih tetap meluncur turun kebawah.   Tiba-tiba kaki Liong Houw yang digerakgerakkan untuk mengimbangi berat badannya, menyentuh sesuatu, ia kaitkan kakinya kearah benda yang tersentuh, tapi terlambat, tubuhnya masih meluncur turun, dan kini tangannya menjambret benda tadi, kreeekkk.......   Liong Houw tidak melihat benda apa yang dijambretnya tadi, tapi dengan memegangi benda itu, tubuhnya bergelantungan.   Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tenggelamnya sang surya dibarat, berganti dengan munculnya rembulan menerangi jagat.   Kini samar-samar mata Liong Houw bisa melihat benda yang dipegangnya adalah sebuah ranting pohon, tapi juga bukan ranting pohon, bentuknya seperti akar, tapi alot keras seperti dahan pohon.   Tubuh si pemuda masih bergoyang-goyang bergelantungan diatas akar tadi.   Dengan bantuan sinar rembulan, Liong Houw meneliti keadaan sekitar lamping jurang.   Menengok keatas disana sudah tak tampak tepi jurang, menengok kebawah, tak tampak dasar jurang, keadaan tebing sekeliling tempat itu licin berlumut.   Menampak lamping jurang seluruhnya berlumut, hati Liong Houw tercekat girang.   Haaaaa.   Inilah lamping jurang diatas lembah air terjun......   Tapi rasa girang itu hanya sebentar, karena telinganya tak mendengar suara gemuruhnya air terjun yang mengalir turun dari puncak-puncak gunung.   Dengan masih bergelantungan bergoyang goyang diatas akar tadi otak Liong Houw diputar keras.   Akhirnya ia melepaskan pegangan akar yang menjulur, tubuhnya kembali melayang meluncur turun.   Tapi kali ini luncuran tubuh Liong Houw diiringi dengan suara siulannya menggema disekeliling lamping jurang.   Suara pantulan gema siulannya hampir-hampir membuat pecah anak telinganya sendiri.   Tubuh Liong Houw masih meluncur terus, gema siulan masih berkumandang dilamping jurang, sayup-sayup mulai terdengar suara riuh mengguruh bercampur dengan suara gema siulan si pemuda.   Mendengar suara mengguruh tadi, hati Liong Houw girang tidak kepalang, jelas itulah suara air terjun bergulung-gulung, Liong Houw mengempos tenaganya, menciptakan suara siulan yang lebih menggetarkan isi lembah.   Suara mengguruh air terjun kian keras jua.   Tiba-tiba terdengar suara jerit yang melengking dari dasar jurang, dibarengi dengan meluncurnya sesosok bayangan merah membentur tubuh Liong Houw.   Mendapat benturan bayangan merah tadi, tubuh Liong Houw yang sedang turun meluncur mental kemuka, dan byurrr ....   Tubuh Liong Houw kecemplung kedalam air.   Byurrrr .....   Terdengar kembali suara benda nyemplung keair, tak lama tampak permukaan air beriak-riak bergelombang dua sosok tubuh meluncur ketepian.   Ternyata bayangan merah yang membentur tubuh Liong Houw yang sedang meluncur turun adalah seekor monyet berbulu merah.   Monyet berbulu merah pada tengah malam itu mendengar suara gema siulan diudara, ia mengenali betul suara itu adalah suara sang sahabat yang dilepas mengembara pada tiga tahun yang lalu, begitu tubuh si monyet merah lompat keluar dari goa didalam pulau ditengah danau, matanya dapat melihat sesosok bayangan yang sedang meluncur dari atas jurang dengan mengeluarkan siulannya.   Si monyet merah meskipun hanya seekor binatang, tapi kecerdikannya tidak kalah dengan manusia, begitu menampak bayangan yang meluncur mengeluarkan siulan, serta lapat-lapat ia melihat tubuh yang sedang meluncur itu lorengloreng, jelas itulah sang sahabat yang sedang jatuh dari atas puncak gunung.   Suatu hal yang membuat bingung si monyet merah, tubuh yang meluncur itu tepat berada diatas tepi danau yang berbatu-batu, maka dengan kecerdikannya, begitu tubuh Liong Houw masih ditengah udara, cepat si monyet merah melejit keudara mendorong tubuh Liong Houw menyemplung kedalam danau.   Oood*wooO Keesokan paginya.........   Setelah Liong Houw mengetahui bahwa secara kebetulan akhirnya ia telah kembali kedalam lembah air terjun,segera ia berdiri dimuka dinding goa yang terdapat lukisan corat moret.   Pada tiga tahun yang lalu, ia tidak mengerti apa maksud dari lukisan corat coret itu.   Kini dengan jelas ia bisa membaca lukisan yang terdapat pada dinding goa, itulah tulisan-tulisan yang diukir oleh jari tangan manusia dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang luar biasa.   Setelah selesai membaca tulisan-tulisan itu Liong Houw mengetahui bahwa dibalik dinding goa masih terdapat sebuah goa, dalam tulisan itu jelas menerangkan bagaimana cara membuka pintu rahasia dinding batu yang menghubungi goa luar dengan goa yang berada didalam.   Menyaksikan Liong Houw berdiri dengan mata bergerak-gerak mengikuti lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding goa itu, si monyet merah berlompatan, tampak ia sangat girang bahwa sang sahabat telah pandai membaca apa yang tertera didalam lukisan itu.   Setelah selesai membaca tulisan-tulisan tadi, kepala Liong Houw mendongak keatas langit-langit goa, disana terdapat sebuah lubang selebar tapak tangan, lubang itu melekuk kedalam.   Dengan menggunakan batang pohon bunga, Liong Houw mengorek-ngorek beberapa lama lubang itu.   Setelah mengetahui didalam lubang itu tidak terdapat binatang berbisa, segera ia lompat, tangannya dimasukkan kedalam lubang itu, dengan erat ia menggelantung disana.   Dengan sepasang kakinya, ia menjejak dinding goa yang terdapat tulisan tadi, tepat pada bagian tiga baris tulisan dari atas, maka tiba-tiba terdengar suara berkeretekan, diiringi dengan abu-abu mengepul, dimana dinding goa yang terdapat lukisan gambar orang sedang melakukan gerakan memukul dan menendang, dinding itu merekah, dan disana tertampak sebuah pintu.   Si monyet merah yang menyaksikan kejadian itu melompat, lalu masuk kedalam pintu yang baru terbuka tadi.   Liong Houw lompat turun, dengan langkah hatihati memasuki pintu raksasa dalam goa itu.   Didalam goa raksasa itu terdapat satu jalan lorong yang tampak gelap.   Dengan memperhatikan sekitar lorong itu Liong Houw melangkah maju menyusuri lorong.   Berjalan lagi beberapa langkah, lorong itu membelok kekanan, kemudian membelok lagi kekanan, terus kekanan, terasa jalan lorong itu berputar turun kebawah.   Diakhir jalan lorong yang berputar menurun kebawah, yang makin lama makin gelap kini tampak disudut kiri terdapat dinding batu yang berbentuk empat persegi berwarna putih.   Dinding batu itu berwarna putih mengkilat, sehingga dalam kegelapan tampak cahaya yang dipantulkan oleh dinding batu persegi tadi.   Tangan Liong Houw meraba-raba dinding batu persegi itu, terasa dingin sekali, keadaan dinding batu persegi itu lain dengan keadaan dinding goa yang terdapat pada lorong, dinding putih itu terasa licin.   Setelah meraba-raba dinding batu tadi Liong Houw segera mendorong dinding batu persegi tadi.   Cittttttt...........   Dinding batu persegi empat tadi ternyata tidak berat, dengan mudah Liong Houw berhasil mendorong dinding persegi putih itu melesak kedalam, dari sisi-sisi kiri kanan atas dinding yang melesak tadi memancar sinar putih terang benderang.   Liong Houw segera nyelusup kesela-sela dinding yang terbuka yang ternyata hanya pas dengan ukuran tubuhnya.   Setelah berada didalam, dinding pintu putih persegi itu mendadak bergeser menutup sendiri.   Didalam ruangan goa itu jauh berbeda dengan goa diluar, ruangan goa itu tampak terang benderang, dinding persegi empat putih mengkilat, dari dinding-dinding batu itu memancar sinarsinar berkeredapan.   Memperhatikan keadaan didalam goa, di sudut kanan ruangan, dimana Liong Houw berdiri tampak seorang tua duduk bersila diatas batu setinggi satu kaki.   Orang tua itu mengenakan pakaian jubah putih, rambut dan jenggotnya putih menjulur sampai dilantai, mata orang tua itu meram.   Sedang tangannya disilangkan diatas dada.   Entah sejak kapan si monyet merah yang lebih dulu masuk, kini berlutut dihadapan orang tua itu.   Setelah memperhatikan sejenak keadaan orang tua itu, Liong Houw mengetahui bahwa itu adalah sesosok mayat manusia yang membeku.   Memperhatikan jejak kelakuan si monyet merah, Liong Houw segera berlutut dihadapan patung orang tua itu.   Lama Liong Houw berlutut, menampak kelakuan si monyet merah yang juga masih tetap berlutut, Liong Houw yang sudah biasa sejak kecil mengikuti gerak gerik si monyet merah, kali ini meskipun pikirannya lebih banyak bercabang, tapi ia masih tetap mengikuti kelakuan si monyet merah, ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kemudian oleh si monyet merah.   Tubuhnya masih tetap berlutut.   Tidak berani bergerak sembarangan.   Tiba-tiba..   Batu bundar setinggi satu kaki dimana mayat beku orang tua berjenggot putih duduk bersila bergeser bergerak, membentuk sebuah lubang persegi.   Krekekkkkkkkkkkk..   Bau harum menyerang hidung, memenuhi ruang kamar batu itu.   Begitu bau harum menyembur keluar dari dalam lubang tadi, tubuh si monyet merah bangkit berdiri, ia menarik tangan Liong Houw berdiri, si monyet merah lalu menunjukkan jarinya kedalam lubang tadi.   Liong Houw memperhatikan keadaan dalam lubang persegi itu yang lebarnya hanya setengah depa dan tingginya hanya setinggi lutut Liong Houw.   Didalam lubang itu terdapat sebuah kotak terbuat dari batu giok putih.   Sedang disamping kanan sisi lubang disana tampak sekuntum bunga yang tumbuh seperti jamur melekat didinding lubang itu.    Manusia Aneh Alas Pegunungan Karya Gan Kl Manusia Aneh Alas Pegunungan Karya Gan Kl Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini