Pusaka Pedang Embun 15
Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 15
Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong "Machluk merah tadi yang datang menyatroni Go-kong-nia," Berkata lagi Liong Houw. "Oooh .... jadi mereka datang?" Bertanya Lie Eng Eng. "Bukan datang saja, bahkan sudah membasmi seluruh anggota Go-kong-nia, dan menghancurkan markas mereka," Jawab Liong Houw. "Cie Tay Peng ?" Tanja Lie Eng Eng. "Apakah biang berandal itu juga berhasil dibunuhnya?" "Entahlah! Aku kurang memperhatikan." Jawab Liong Houw. "Eh, sutit apakah selama tiga tahun ini kau pernah berjumpa dengan Kun-sen-mo-ong Teng Kie Lang atau gurunya Kun-see-mo-ong Gwat Leng?" Lie Eng Eng menggeleng kepala, katanya. "Semenjak enam bulan belakangan ini aku tidak pernah mendengar lagi jejak kedua iblis itu melakukan penculikan-ikan, tapi semenjak lenyapnya jejak Kun-see mo-ong maupun suhunya, muncullah itu manusia aneh yang menyebutkan dirinya dari golongan Kupu-kupu Merah. Gerak gerik mereka sangat misterius, sukar dijejaki maksud tujuan mereka berkeliaran dalam rimba persilatan, kalau kau saksikan sendiri, barusan mereka menghancurkan gerombolan berandal rajaraja gunung Go-kong nia, kita bisa menilai bahwa mereka adalah satu golongan ksatria. Tapi kemisteriusan gerak mereka sangat memusingkan kepala, pada limabelas hari yang lalu mereka menyatroni Butongpay, memberikan ultimatum, agar partai Bu tong segera dibubarkan, serta ketuanya segera mengumumkan pembubaran itu keseluruh lapisan rimba persilatan. Kalau sampai pada tanggal 9 bulan tujuh nanti Bu tong pay belum mengumumkan pembubaran partai, golongan Kupu-kupu Merah akan segera membumi hanguskan partai Bu tong pay serta membunuh seluruh anak murid yang masih berdiam digunung Bu tong san. Tindakan ancaman mereka tidak sampai disitu saja, seluruh partai-partai rimba persilatan telah diberikan surat ultimatum untuk tidak turut campur dalam setiap tindak yang mereka lakukan, jika tidak, mereka tidak akan sungkan-sungkan untuk menghancurkan seluruh kekuatan rimba persilatan yang ambil dalam sengketa dengan mereka. Tidak terkecuali gunung Liong houw-san, Ceng-it Cinjin beberapa hari ini juga menerima surat ancaman untuk tidak turut campur dalam segala tindakan yang dilakukan mereka." "Kupu-kupu merah!" Gumam Liong "Mereka sebetulnya machluk macam apa?" Houw. "Huh!" Dengus Lie Eng Eng. "Mereka hanyalah terdiri dari kaum wanita, dengan mengenakan pakaian kulit tipis berwarna merah, entah bahan apa yang mereka buat untuk pakaian mereka, seakan-akan mereka itu seperti machluk berwarna merah, hingga tampak jelas lekuk-lekuk liku tubuhnya, kalau ditilik dari bentuk potongan mereka, kukira mereka itu adalah gadis-gadis remaja." "Apakah sutit pernah melihat jelas mereka?" "Mmm, pada sebulan berselang, orang-orang Gokong-nia dibawah pimpinan Cie Tay Peng sendiri menyerang piauwki ayahku di Sin-ciu-hu, ketika pihak ayahku dalam keadaan terjepit menghadapi keroyokan mereka, entah dari mana datangnya dengan mendadak muncul beberapa puluh bayangan merah, mereka membantu pihak ayah mengusir mereka, maka dengan peristiwa itu, aku penasaran untuk menyelidiki bukit Go-kong-nia yang sudah beberapa kali diselidiki oleh suhu, tapi selama itu suhu tidak pernah menemukan tandatanda yang mencurigakan, maka aku sendiri datang mengadakan penyelidikan dan akhirnya aku tertangkap." Seterusnya Lie Eng Eng juga menceritakan bagaimana jalannya pertempuran didalam pesanggrahan Go-kong-nia kepada Liong Houw. Liong Houw mendengar keterangan sang kekasih hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Dengan adanya peristiwa di Sin-ciu-hu itu," Berkata lagi Lie Eng Eng. "Mereka memperkenalkan diri sebagai golongan Kupu-kupu Merah, juga memberikan ultimatum secara halus agar kita jangan turut mencampuri segala tindakan yang dilakukan mereka. Jika tidak menghendaki kehancuran total." "Sungguh sombong !" Gumam Liong Houw. "Toako," Berkata lagi Lie Eng Eng. "Tanggal 9 bulan tujuh masih satu bulan, kukira masih keburu kita untuk pergi ke Bu-tong-pay untuk menyaksikan apa yang mereka bisa buat disana, kalau perlu kita juga membantu pihak Bu tongpay, sedang suhu menurut keterangannya akan menuju kesana setelah menyambangi beberapa kawan." "Mmmm......" Liong Houw masih malas mengangkat kepalanya didada si gadis, ia masih tetap menyandarkan kepala itu di dada sang kekasih yang empuk padat berbau harum. "Sudahlah ! Kita jangan berlarut-larut disini nanti bisa........." "Bisa naik spaning !" Potong Liong Houw tertawa kecil. "Hiiii....." Lie Eng Eng mencubit paha sang kekasih yang mulai kolokan. "Ayohhh......" Tangan Lie Eng Eng mendorong pundak Liong Houw perlahan. Tapi pipi Liong Houw segera digeser-geserkan kejari halus Lie Eng Eng yang mendorong pundak, ia masih tetap segan bangun. Bahkan kakinya kini sudah ditumpangkan diatas paha Lie Eng Eng. Tiba-tiba terdengar suara alunan irama musik sayup-sayup datang terbawa angin dari arah pathong-ciep. "Aaaaa......lagi-lagi suara itu !" Gumam Lie Eng Eng. "Bunyi apakah itu ?" Tanya Liong Houw heran. "Irama mandolin ! Hayo ! Cepat kejar iblis itu." Begitu selesai ucapannya, begitu pula tubuh Lie Eng Eng bergerak bangun, ia tidak memperdulikan Liong Houw, segera bergerak kearah Pat-hong ciep, dimana terdengar datangnya suara irama mandolin tadi. Liong Houw terkejut bercampur heran, dalam hatinya berpikir, iblis apa lagi yang muncul disiang hari bolong. Tapi ia tidak mau berpikir panjang tubuhnya meletik bangun mengejar kearah larinya Lie Eng Eng, sambil berlarian ia bertanya. "Sutit, iblis apakah....?" "Lihat saja nanti !" Potong Lie Eng Eng. Tak lama mereka sudah tiba di Pat-hong ciep. Ditengah hari bolong itu keadaan Pat-hong-ciep panik tidak keruan, orang-orang berlarian kian kemari menjerit histeris, tapi suara mandolin telah lenyap. Dibeberapa rumah penduduk terdengar ratap tangis. Beberapa orang yang lalu lalang dijalan mereka dapat melihat keadaan pakaian Liong Houw yang mengenakan pakaian kulit macan, tapi mereka tidak menjadi gentar ataupun panik karena menampak disebelah Liong Houw berjalan merendengi seorang gadis cantik berpakaian sutera putih. Lie Eng Eng tidak memperdulikan kehiruk pikukan orang-orang itu, ia terus berlarian laksana bayangan setan menuju keutara dimana terdengar lenyapnya suara mandolin. Sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan Pat-hong-ciep mendaki kearah bukit-bukit pegunungan. Tiba-tiba....... Clut .... clutttttt......clutttt...... Beberapa bayangan merah meluncur datang mengurung tubuh Liong Houw dan Lie Eng Eng. Liong Houw dan Lie Eng Eng masih berlarian, tiba-tiba muncul beberapa puluh bayangan merah mengurung dengan posisi berlari mengikuti arah mereka. Maka cepat mereka menghentikan langkah. Begitu langkah mereka terhenti, bayangan merah itupun menghentikan langkahnya pula. Kini mereka berdiri berputar mengurung Lie Eng Eng dan Liong Houw. "Kupu-kupu merah ! Cepat kalian minggir !" Bentak Lie Eng Eng. Salah seorang dari rombongan Kupu-kupu merah yang menjadi pemimpin rombongan berjalan maju, tampak tubuh itu merah seperti sesosok tubuh machluk berwarna merah telanjang bulat tidak berpakaian. -dkwLIONG HOUW menatap memperhatikan orang yang jalan mendatangi dengan gayanya lenggak lenggok, tampak bagian buah dadanya membusung dua bukit yang juga rata berwarna merah sedang di bagian selangkangan antara kedua pangkal pahanya jelas menonjol segumpal daging juga rata berwarna merah sama dengan kulit bagian lainnya. Wajahnya tampak merah beku. Tiba dihadapan Lie Eng Eng ia berkata. "Tidak perlu kau kejar setan mandolin itu, jejaknya tidak mungkin bisa kalian kejar." "Siapa setan mandolin itu," Tanya Liong Houw. "Dan kalian machluk-machluk aneh dari mana ?" "Ngg ... ." Gadis merah mendengus. "Setan mandolin adalah iblis wanita yang baru muncul, setiap kali ia memakan korban, selalu memainkan alat mandolinnya." "Memakan "Apa...." Korban....?" Tanya Liong Houw. "Kau juga harus hati-hati, mungkin kau juga kelak akan menjadi korban dari si iblis mandolin !" Potong si wanita merah. "Iblis itu senang sekali mencari laki-laki perjaka, diperasnya tenaga kelakian si perjaka untuk disalurkan kedalam tubuhnya, melalui hubungan sex yang dipaksakan, tidak seorang laki-laki pun bisa menghindar dari cengkeraman si iblis mandolin." "Sex dipaksa?" Tanya "Bagaimana terjadinya ?" Liong Houw heran. "Hei, apakah kau yang bernama Liong Houw ?" Tiba-tiba si wanita merah bertanya, ia tidak menjawab pertanyaan Liong Houw. Liong Houw mengangguk. "Dari mana kau tahu aku bernama Liong Houw ?" "Segala apa aku tahu, bukankah kau juga pernah ditipu oleh seorang nenek yang mengaku bernama Sian, hingga kedua bilah pisau belatimu lenyap dibawa lari olehnya yang bukan lain adalah Kim-nio-mo-ong Gwat Leng, guru Kun-see-mo ong Teng Kie Lang ?" "Hebat!" Puji Lie Eng Eng. "golongan kalian baru muncul beberapa bulan saja, tapi kalian sudah bisa mengetahui peristiwa yang terjadi pada tiga tahun yang lalu." "Bukan saja apa yang terjadi pada tiga tahun yang lalu, bahkan peristiwa tragis pada duapuluh tahun yang menimpa sepasang pendekar budiman Thio Ban Liong kami tahu jelas beberapa bagian ...." "Ayaaaaa....." Liong Houw mundur selangkah. Ia menatap sepasang sinar mata wanita tadi. Tidak terkecuali Lie Eng Eng, memandang tajam kearah wanita itu. matanya "Hmmm .... kau Liong Houw! Sebagaimana partai-partai rimba persilatan telah kuberi ultimatum untuk tidak turut campur dalam segala sepak terjang golongan kupu-kupu merah, maka pada kesempatan ini kuharap kau tidak campur urusan-urusan yang akan kami lakukan." "Apakah urusan Bu-tong-pay ?" Tanya Lie Eng Eng. "Bukan saja Bu-tong-pay tapi juga menyangkut beberapa partai lainnya, kalau mereka membangkang untuk membubarkan diri, kami tidak segan-segan mengambil tindakan yang diluar perikemanusiaan." "Kalian sebetulnya siapa ?" Tanya Liong Houw. "Dendam permusuhan apa antara kalian dengan partai-partai rimba persilatan itu?" "Sementara belum bisa diterangkan," Berkata pula si perempuan merah. "Hanya yang perlu kau perhatikan, jangan sekali kali kau turut campur gerakan kami agar tidak menyesal dikemudian hari." "Hm, kau sungguh jumawa, apakah ilmu kepandaian kalian saja yang bisa membuat diri kalian malang melintang dirimba persilatan, tanpa ada seorang yang bisa menghalangi ?" "Untuk masa ini begitulah!" Jawab si perempuan merah. Tiba-tiba saja tubuh Liong Houw melejit tangannya dijulurkan menyambar muka wanita tadi. Wanita itu mengetahui maksud sambaran tangan Liong Houw, tentunya si pemuda ingin mencopot kedok kulit pada mukanya, tangan kanannya diangkat memapaki datangnya samberan tangan Liong Houw. "Brukkkk........." Terdengar benturan dua kekuatan, tubuh Liong Houw mental balik ketempat semula dimana ia berdiri. Sedang si wanita merah dengan senyum tanpa seri, masih tetap berdiri tegak ditempatnya. "Diam ditempatmu!" Tiba-tiba wanita merah itu membentak kearah Lie Eng Eng. Lie Eng Eng turut menyaksikan perbuatan Liong Houw yang menubruk wanita itu, ia juga mempunyai pikiran sama, wanita ini pasti mengenakan kulit kedok tipis, maka setelah Liong Houw berhasil dipukul mundur, cepat ia bergerak menubruk untuk mencopot kedok wanita itu Tapi baru saja tubuhnya bergerak, tiba-tiba si wanita merah membentak, dan entah bagaimana, Lie Eng Eng tidak bisa maju, seakan timbul satu kekuatan yang tak tampak menahan maju tubuhnya. Liong Houw merasa penasaran, didorong mundur oleh gerakan tangan si wanita merah segera menyerang maju kembali. Tapi baru saja kakinya melangkah maju si wanita merah itu menjulurkan tangan kemuka dengan tapak tangannya terkembang menahan datangnya tubuh Liong Houw. Mendadak, seperti ada satu kekuatan yang menahan majunya Liong Houw, keadaannya seperti dengan keadaan Lie Eng Eng. Tubuh Liong belakang. Houw tiba-tiba terjungkel ke "Hayaaa.........." Si wanita merah terkejut. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tidak kalah terkejutnya Lie Eng Eng, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya masih tertahan oleh kekuatan yang menghalang gerak majunya. Belum lagi hilang terkejutnya si wanita merah, tubuh Liong Houw yang terjungkel kebelakang tiba-tiba meletik bangun, ia mendorong kedua telapak tangannya. Byurr ......... Satu kekuatan laksana air bah mendorong mendobrak setiap penghalang meluncur keluar dari telapak tangan Liong Houw. Tubuh si wanita merah tergetar menahan dorongan kekuatan tadi. Tak lama ia melesat keudara menghindari datangnya serangan yang sangat luar biasa. Begitu tubuh wanita merah meluncur keudara, kekuatan angin serangan Liong Houw meluncur terus, membentur tiga orang wanita merah yang mengurung yang tadi berdiri dibelakang pemimpin mereka, tubuh mereka melayang terpentalan ke semak-semak belukar. "Hihhihihihihi......hi hi..." Ditengah udara si wanita merah tertawa mengikik, lalu tubuhnya meluncur kembali ketanah. "Mmm, boleh juga tenaga dalammu sudah lumayan." Berkata lagi si wanita merah. "Eeeeeeee. ...... eh, tunggu ! Sabar! Jangan menyerang lagi." Liong Houw begitu menampak si wanita merah telah berdiri kembali didepannya, ia segera menggerakkan tangan untuk menyerang, tapi keburu dicegah oleh si wanita merah, maka Liong Houw pun tidak melanjutkan serangannya. "Liong Houw!" Berkata lagi si wanita merah. "Ilmumu hebat, tapi untukmembalas sakit hati orang tuamu, kau masih memerlukan sebilah pedang, itulah Pedang Embun, sebelum kau mendapatkan pedang itu, jangan harap kau bisa membalas sakit hati orang tuamu, meskipun kepandaianmu sudah mencapai taraf yang tinggi, tapi lawan-awanmu adalah manusia yang memiliki kekuatan tenaga luar biasa, diantaranya terdapat beberapa manusia iblis yang berilmu gaib." "Hmm, lebih baik kau jangan ngoceh bertele-tele, cepat buka kedokmu, aku ingin lihat wajah aslimu !" Kata Liong Houw. "Apakah kau tidak menginginkan kedua bilah pisau belatimu itu ?" Berkata si wanita merah. Mendengar perkataan itu, Liong Houw berdiri mematung, telinganya seakan mendengung, katakata itu menusuk telinganya. "Hai, jangan mematung ! Cepat jawab, apakah kau menginginkan kembali pisau belatimu?" Berkata lagi si wanita merah. "Hmmm...." Dengus Liong Houw. "cepat kau tunjukkan di mana jejak nenek Sian !" "Tidak perlu mencarinya," Berkata si wanita merah. "Kedua bilah pisau itu telah berhasil kurebut dari tangan si iblis tua." "Kalau begitu cepat serahkan!" Berkata Liong Houw dengan debaran dadanya yang keras. Si wanita merah tersenyum, tapi senyum itu tak sedap dipandang, terlalu dingin tak berseri. Kaki Liong Houw melangkah maju. "Berhenti! Jangan maju lagi." Berkata si wanita merah. "Kau tahan nafsumu, jika kau menghendaki pisau belatimu itu mudah, asal kau bersedia memenuhi syarat-syaratku, bahkan bukan dua bilah saja, juga aku akan memberi hadiah sebilah yang berukir gambar pedang." "Haaaaa..........jadi kau..........kau...........telah memiliki ketiga pisau-pisau itu............." Kata Liong Houw tergetar. "Bersediakah kau menerima syarat-syaratku?" Bertanya si wanita merah. Sejenak Liong Houw tidak bisa menjawab, ia bingung, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhinya untuk mendapatkan pisau-pisaunya yang mengandung peta rahasia itu? Lie Eng Eng melangkah berjalan kesamping Liong Houw, ia membisiki sesuatu di-telinga si pemuda. Liong Houw menganggukkan kepala, lalu katanya . "Sebutkan lebih dulu apa syaratsyaratmu nanti akan kupertimbangkan." "Huh ! Kau katakan dulu! apakah bersedia menerima syarat-syarat itu ?" Berkata lagi si wanita merah. "Gila!" Bentak Lie Eng Eng. "Cepat! Kau katakan terima atau tidak syarat itu, aku tidak ada waktu untuk ngobrol lama-lama denganmu." "Hmmm, tanpa segala macam syarat aku bisa mengambil pisau belati itu dari tubuhmu!" Kata Liong Houw marah. "Kau lihat!" Si wanita merah mengangkat tangan keatas. "Ditubuhku tak terdapat apapun, bilamana kau tidak segera menyatakan menerima syarat aku akan segera pergi dari tempat ini, dan pisau-pisau itu akan kuberikan kepada siapa saja yang bersedia menerima syaratku tanpa syarat." "Syarat tanpa syarat! Sial!" Gumam Liong Houw. "Ya, syarat tanpa syarat!" Berkata si wanita merah. "Dan kau jangan coba-coba main gila, meskipun kau berhasil membekuk tubuhku, tapi jangan harap selama hidup kau bisa mendapatkan pisau-pisaumu, setiap setengah lie dari jarak tempat ini, disana sudah menunggu seorang anggota Kupu-kupu merah, bilamana terjadi bencana terhadap diriku, mereka segera melaporkan semua ini kepada kaucu kami, dan kaucu kami bisa segera menghancurkan pisaupisau belati itu atau menyerahkan kepada seorang Iblis salah satu dari musuh pembunuh ayahmu, nah jika sudah demikian apa yang bisa kau katakan, juga sudahkah kau mengetahui siapa-apa musuh-musuh ayahmu itu? Golongan kami mengetahui jelas duduk perkara ini." Mendengar penuturan itu hati Liong Houw tergerak, selama ini ia belum mengetahui siapa pembunuh ayah ibunya, kemana lenyapnya sang orang tua, kini dihadapannya muncul orang-orang berkulit merah yang mengetahui seluk beluk tentang lenyapnya sang ayah, ia menatap kearah Lie Eng Eng, tatapan itu dibalas dengan anggukkan, yang menyatakan Liong Houw boleh menerima syarat, apa boleh buat. Jika perlu kelak sesudah mendapatkan pedang embun ia toh bisa berbuat sesuka hatinya, malang melintang tanpa ikatan atau tekanan dari golongan manapun maka setelah berpikir demikian Liong Houw berkata. "Baik aku terima syaratmu." "Nah dengar baik-baik, syarat pertama, kau tidak diperkenankan turut campur dalam urusan Bu-tong-pay dan segala akibat yang ditimbulkan dari tindakan kami terhadap partai tersebut." "Mmm, syarat lainnya ?" Tanya Liong Houw. "Syarat kedua, bilamana kau telah mendapatkan pedang embun, harus bersedia bekerja sama dengan golongan kami !" "Mmmm........" "Bagaimana apakah kau sudah mengerti?" "Tidak, aku tidak mengerti syarat-syarat gilamu......." "Cukup, mengerti atau tidak itulah yang harus kau lakukan, nah sampai pada tanggal 9 bulan 7 digunung Bu-tong, kalian tunggu kami disana, hei, kau juga harus segera membekuk Leng-leng Paksu, dari padanya kau akan mendapatkan keterangan-keterangan, siapa-apa yang turut dalam pembunuhan terhadap ayahmu, jika ia tidak mau membuka suara, siksa saja, jika perlu langsung bunuh." Selesai ucapannya, tubuh si wanita merah melejit keudara diikuti oleh beberapa orang rombongan anggotanya, meninggalkan semak belukar. Singkatnya cerita, tanggal 9 bulan 7 sudah tiba. Hari masih terlalu pagi, burung-burung masih ramai berkicau, suara gerengan binatang buas terdengar disana sini, tampak seorang pemudi berpakaian sutera putih dan seorang pemuda mengenakan pakaian kulit macan berlarian mendaki keatas puncak gunung Bu-tong-san. Halimun masih tebal diterjang dua sosok tubuh yang berlari pesat membuyarkan halimun yang menebal dibukit pegunungan. Dari jauh, tampak bangunan megah berdiri angker dipuncak gunung, itulah kelenteng partai Bu-tong-pay. Memasuki pintu gerbang, disana bergelimpangan mayat-mayat tosu yang sudah membengkak, bau amis darah menusuk hidung. Keadaan suasana kelenteng Bu-tong-pay sunyi senyap tidak ada seorangpun yang masih hidup, beberapa puluh mayat-mayat bergelimpangan ditanah. Dengan menggunakan pedang Ang-lo-po-kiam Lie Eng Eng memeriksa tubuh mayat-mayat yang menggeletak ditanah, dari tubuh-tubuh mayat itu tidak terdapat luka bekas bacokan atau tusukan pedang atau luka pukulan tangan. Kematian mereka sungguh sangat mengherankan. Entah dibunuh oleh ilmu atau senjata apa, sampai detik itu, Lie Eng Eng belum menemukan tanda-tanda. Meninggalkan mayat-mayat yang membengkak, Lie Eng Eng berjalan masuk kedalam kelenteng diikuti Liong Houw. Kamar demi kamar, ruangan demi ruangan diperiksa oleh mereka, disana tak tampak manusia hidup, keadaan dalam kelenteng sama dengan keadaan diluar, mayat-mayat yang membengkak menggeletak disetiap langkah. "Aaaaa.......... Bu-tong Kiam-khek......." Tiba-tiba Lie Eng Eng berteriak. Langkahnya diayun kearah tubuh mayat yang saling tindih dengan pedang di tangan. Baru saja Lie Eng Eng mendekati ke tubuh mayat-mayat itu, tiba-tiba dari luar melesat masuk sesosok bayangan, kemudian disusul pula oleh beberapa langkah kaki yang berlari masuk mengikuti langkah kaki sesosok bayangan yang terdahulu. "Suhu !" Teriak Lie Eng Eng. "Apa kalian temukan......." Baru saja kata-kata itu sampai dipintu, Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw menatap kearah Liong Houw yang sedang berjongkok memeriksa mayat-mayat itu. "Aaaaaaa........" Terdengar suara Pie-tet Sinkay. "Kau bocah.....heei, eh, kau Liong Houw !" Ternyata baru pertama kali ini rombongan Pietet Sin-kay mengetahui rahasia tentang si pemuda yang berpakaian kulit macan ternyata dialah Liong Houw. Si Pengemis cilik Ho Ho yang sejak tadi memperhatikan Liong Houw yang jongkok memeriksa mayat-mayat para tosu Bu-tong-pay ia belum mengenalinya, setelah suhunya berkata tadi barulah ia tahu bahwa pemuda yang berambut gondrong mengenakan pakaian kulit macan adalah Liong Houw. "Toako," Teriak si pengemis cilik Ho Ho. "Aaaaah, kalian juga datang!" Berkata Liong Houw mendongakkan kepala. "Hebat ilmu kepandaian si kupu-kupu merah, mayat-mayat ini mati tanpa luka, entah ilmu apa yang mereka gunakan." "Kupu-kupu merah?" Tanya Ong Pek Ciauw. "Bukankah mereka akan datang pada hari ini, menurut tanda-tanda mayat-mayat ini mereka sudah mati sejak empat hari yang lalu..." "Pasti mereka mengetahui kalau kita akan datang membantu Bu-tong-pay, untuk tidak melibatkan diri kita dalam urusan ini mereka telah memajukan waktu yang ditetapkan." Berkata Lie Eng Eng. "Tapi tindakan mereka sungguh keterlaluan." "Mmm, tidak ada seorangpun yang hidup. Butong pay mengalami kehancuran total!" "Hihhhhhh, hihihi......" Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang melengking garing, kemudian disusul dengan suara yang halus merdu. "Kalian jago-jago rimba persilatan cepat keluar meninggalkan kelenteng ini, jangan sampai terlambat......." "Kau tunjukkan rupamu." Bentak Lie Eng Eng. "Ngg, jangan banyak bicara didalam, cepat kelenteng ini akan segera meledak!" "Cepat keluar!" Liong Houw memberi peringatan, ia maklum kata-kata suara tadi bukan kata-kata gertakan, tentu itulah salah seorang anggota kupukupu merah. Bertepatan dengan melesatnya para jago meninggalkan kelenteng itu, maka terdengar suara-suara ledakan yang menggema menggetarkan tanah disekitarnya. Liong Houw, Lie Eng Eng, Ong Pek Ciauw dan Pie-tet Sin-kay dengan muridnya si pengemis cilik Ho Ho jumpalitan menggelinding jatuh kebawah gunung, mereka menghindari ledakan-ledakan yang baru saja meledakkan kelenteng Bu-tong-pay, tak lama asap mengepul keudara, kelenteng Butong-pay runtuh menjadi puing-puing. "Aaaaaaa dimana dia ....?" Terdengar si pengemis cilik Ho Ho berteriak. Wajah Lie Eng Eng berubah, ia celingukan mencari jejak Liong Houw tapi bayangan si pemuda sudah lenyap. Kemana perginya Liong Houw ? Ketika tubuh Liong Houw jumpalitan ke bawah gunung menghindari letusan-letusan kelenteng Butong, tiba saja tubuh si pemuda terayun terbang. Liong Houw sendiri begitu merasakan tubuhnya terangkat terbang ia berusaha memberatkan tubuhnya, tapi usahanya sia-sia karena daya tarikan yang menarik tubuhnya keudara kuat sekali, tubuh itu terumbang ambing terbang diantara batang-batang pohon. "Brrukkkkkkkkkk......." Tiba-tiba Liong Houw ambruk di tanah. Secepat itu pula Liong Houw meletik bangun. Dihadapannya berdiri berbaris wanita-wanita berkulit dan berwajah merah dua dikanan dan dua lagi disebelah kirinya. "Mmm, permainan apa pula yang kalian akan tunjukkan ! Cepat serahkan pisau-pisau belatiku menurut perjanjian !" Setelah menggulung masing-masing tali tenur merah yang tadi digunakan untuk mengait tubuh Liong Houw, dan menyesapkan disisipan rambutrambut mereka, salah seorang berkata . "Liong Houw kau ikutlah kami untuk menerima pisaupisau belatimu." "Tipu muslihat apa yang kalian akan lakukan !" Bentak Liong Houw. "Bukan tipu muslihat, tapi....." Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tapi apa?" Potong Liong Houw tidak sabar. "Pisau-Pisau itu tidak berada di tubuh kami, jika kau menghendakinya, ikut kami, itu pun terserah padamu, dengan suka rela mengikuti jejak kami, ataukah kami akan menggunakan tenur-tenur merah ini untuk menyeret tubuhmu!" Si wanita merah berkata dengan menunjukkan tali tenur berwarna merah yang sudah tergulung, diujung tali tenur itu terdapat kaitan. Tadi ketika Liong Houw masih berguling gulingan, keempat wanita merah memancing tubuh Liong Houw, setiap kaitan tepat mengenai pakaian belakang Liong Houw yang terbuat dari kulit macan, maka dengan mudah keempat wanita itu menarik tubuh si pemuda, mereka berlompatan diatas dahan-dahan pohon yang berjejer di tepi jalan yang mereka lalui, sehingga keadaan Liong Houw seakan terbang. "Kalian sebangsa siluman gila!" Kata Liong Houw. "Kalian kira aku takut dengan segala macam tipu muslihat kalian, hayo jalan, apa yang akan kalian lakukan." Wanita merah yang berbicara dengan Liong Houw, menepuk tangan, kemudian ketiga wanita lainnya melesat pergi, gerakan mereka seakan kupu-kupu terbang berlompatan diatas dahandahan pohon. "Liong Houw, ketahuilah, golongan kami dengan dirimu mempunyai kesulitan serta musuh yang sama, hanya sampai saat ini kami belum bisa berbuat apa-apa, kelak setelah Pedang Embun kau dapatkan, kami akan membantumu menumpas musuh-musuhmu." "Aku tidak butuh bantuan kalian." Berkata Liong Houw. "Hayo cepat, dimana pisau-pisau belati itu." "Ikut aku!" Berbarengan dengan ucapannya si wanita merah melesat menuju ke timur. Liong Houw mengikuti langkah larinya wanita merah tadi. Meskipun Liong Houw terlambat sedetik saja, tapi ia harus mengerahkan tenaga sepenuhnya untuk mengejar larinya si wanita merah, baru ia berhasil merendengi si wanita tersebut. "Ilmu lari cepatmu boleh juga," Kata si wanita merah. "Kau sudah berhasil melatih ilmu didalam lembah air terjun?" "Dari mana kau tahu ?" Tanya Liong Houw heran. "Mmmm, setiap gerakanmu sudah lama kami ketahui, lama ketika kau baru saja terjun didunia kaug-ouw, suhu sudah mengetahui hal ichwalmu, bahkan urusanmu dengan Lie Eng Eng.......hiihihhh........." "Kau ngoceh !" Bentak Liong Houw. Perjalanan dilakukan siang malam, mereka berlarian dijalan hutan-hutan rimba, tidak pernah masuk kota, makan setiap hari hanya buah-buahan, atau minum sumber mata air jika perlu meminum air sungai. Pada hari kesepuluh sejak terjadinya penghancuran partai Bu-tong-pay, mereka tiba ditepi pantai yang berlamping curam. Terdengar deburan ombak membentur batu-batu karang yang bertebaran ditepi pantai. Liong Houw berdiri ditepi pantai, menatap ketengah lautan bebas. "Lihat !" Berkata si wanita merah menunjukkan jarinya ke tengah laut. matanya sambil Liong Houw memandang arah yang ditunjuk oleh si wanita merah. Ditengah-tengah deburan ombak yang menggulung berbuih, nampak meluncur sebuah kapal layar berwarna merah mendatangi ketepi pantai di mana mereka sedang berdiri. Angin laut bertiup kencang, rambut kedua orang yang berdiri tegak ditepi pantai riap-riap berkibar, suara deburan ombak tidak hentinya, sedang kapal layar merah masih meluncur mendatangi. Kini tampak kapal layar merah mulai menurunkan layar, gerakan lajunya terhenti, hanya tampak kapal itu bergoyang-goyang dihembus ombak yang turun naik. Tak lama, tampak sebuah perahu kecil dikayuh oleh tiga orang yang juga berkulit merah, rambut para pengayuh beriap-riapan ditiup angin. Perahu itu meluncur ketepi pantai, kadang kala tampak mumbul diatas gulungan ombak kadang kala lenyap terhalang oleh ombak yang menggulung. Seakan perahu itu mendatangi timbul tenggelam di permukaan laut. Byur... byurrrr.... Kedua orang wanita merah yang mengayuh perahu kini lompat turun, mereka menyeret perahu kepantai. "Hayo....." Berkata si wanita merah sambil menarik tangan Liong Houw lompat turun dari atas tebing, lalu berlarian berlompatan diantara batubatu karang menuju kearah perahu kecil itu. Liong Houw hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh wanita-wanita merah itu, meskipun dalam hatinya penuh tanda tanya, siapakah dan dari manakah machluk-machluk aneh seperti ini dan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya, tipu muslihat apa lagi yang akan dialami si pemuda. Ketika telah sampai diatas kapal layar berwarna merah, maka sauh diangkat, layar terkembang mengarungi lautan bebas. Semua anak kapal terdiri dari wanita-wanita merah, jumlah mereka tidak kurang dari tigapuluh orang. Didalam kamar yang merupakan kamar Kapten, didinding-dinding ruangan terdapat macam-macam peta, sedang disudut kanan terdapat meja persegi diatas mana terdapat gambar peta dunia, berikut ukuran-ukuran garis-garis vertikal dan horisontal, juga terdapat beberapa alat-alat pengukur jarak, teropong dan lain-lain. Sedang ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja, dibelakang meja duduk lima orang berpakaian merah, sedang ditengah-tengah dikursi yang lebih tinggi dari keempat kursi yang diduduki oleh empat wanita merah itu duduk seorang yang juga berkulit dan berwajah merah, sinar mata itu berkilat terang, menunjukkan betapa tingginya ilmu kepandaiannya. Sedang wanita yang datang bersama Liong Houw duduk disamping kanan wanita merah yang bermata berkilat itu. Liong Houw duduk dimuka mereka, seperti seorang persakitan yang menunggu pemeriksaan para jaksa dan menunggu keputusan vonis hakim, ia duduk dengan tenang menatap satu persatu dari kelima wanita tadi, Liong Houw dengan sepintas lalu bisa membedakan bahwa wanita yang duduk dikursi yang lebih tinggi, tentunya adalah seorang nenek-nenek tua, ia bisa melihat bentuk buah dada yang menonjol merah, wanita itu tampak buah dadanya sedikit gepeng, tidak menonjol tajam seperti keempat wanita lain, yang merupakan wanita-wanita muda. "Nenek!" Berkata Liong Houw, ia menahan rasa gelinya atas permainan yang ditunjukkan didepannya. Si wanita yang duduk dikursi tertinggi, mendengar sebutan itu tampaknya ia terkejut hampir saja ia bangun dari kursinya, matanya berkilat terang, tapi cepat-cepat ia tersenyum dan lalu berkata. "Bocah ! Hebat pandangan matamu, darimana kau bisa mengetahui kalau aku seorang nenek ?" "Hmmm, nenek, meskipun pakaian tipismu berwarna dan berbentuk sama dengan wanita lainnya, huh, kau lupa sesuatu ..." "Sesuatu apa ?" Potong si wanita merah yang duduk dikursi tertinggi. "Tetekmu, tetekmu yang gepeng peot, berbeda dengan keempat wanita-wanita lainnya." Keempat wanita merah yang mendampingi si wanita tadi segera menolehkan kepala berbareng, memperhatikan kearah apa yang disebut Liong Houw, memang benar buah dada itu agak gepeng peot. Begitu mereka menampak buah dada wanita itu, mereka tidak bisa menahan rasa gelinya. Keempatnya tertawa cekikikan. Braaaaakkkkk....... Tiba-tiba si nenek merah yang duduk di kursi tinggi menggeprak meja. "Apa yang kalian tertawakan ?" Keadaan ruangan dalam kamar itu sunyi kembali hanya terdengar suara deburandeburan ombak yang memecah memukul samping kapal. Dan terasa olengnya kapal layar itu. "Hei, kalian menjanjikan mau menyerahkan pisau belati itu ?" Tiba-tiba Liong Houw membuka pembicaraan kembali. "Mmm . ." Terdengar si nenek merah berdengus. "Hei, kalian sudah mengetahui namaku, tapi bagaimana kalian belum memperkenalkan nama masing-masing hingga sulit bagiku untuk bicara dengan siapa diantara kalian!" "Hmm. Kami sudah melupakan nama, yang masih aku ingat adalah dendam. Pembalasan dendam. Jika kau hendak bicara, tatap saja mataku, berarti kau bicara padaku, bila kau hendak bicara dengan para pengawalku, kau pandang, tatap mata mereka. Pasti mereka akan melayani kau bicara." "Mana pisau-pisau belati itu ?" Bertanya lagi Liong Houw. Si nenek merah yang duduk diatas kursi tinggi, melirik kearah wanita merah yang berada disamping kirinya, sambil menganggukkan kepala. Wanita tadi segera bangkit dari duduknya, lalu menghampiri sebuah lemari, dari sana ia mengeluarkan tiga bilah pisau belati. Setelah mana balik duduk kembali kekursinya dan meletakkan ketiga bilah pisau itu dihadapan si nenek merah yang duduk dikursi tinggi. "Kau lihat! Bukankah yang dua milikmu?" Kata nenek merah yang menjadi pimpinan mereka. Liong Houw hendak menjulurkan tangan. "Jangan sentuh!" Bentak wanita merah yang mengambil pisau itu dari dalam lemari. "Pisau itu telah direndam dalam racun, bilamana kau menyentuhnya, maka seluruh tubuhmu akan segera membusuk." Cepat Liong Houw menarik kembali tangannya yang tadi ia ulurkan untuk mengambil kedua bilah pisaunya. "Apa maksud kalian ?" Bentak Liong Houw. "Dan apa yang akan kau lakukan, nenek peot !" Si nenek merah yang duduk dikursi tinggi yang ternyata memang seorang nenek, dengan tersenyum mengangguk anggukkan kepala, lalu mengambil ketiga bilah pisau belati itu, dengan sekali gerak, ketiga bilah pisau itu meluncur dan menancap diatas langit-langit ruangan dalam kamar itu. "Kau tidak perlu memecahkan arti tulisan tulisan yang terdapat dalam tiga bilah pisau belati itu, semua telah kami ketahui, ketiga bilah pisau belati itu sengaja kami rendam dalam racun yang sangat berbisa untuk mencegah pencurian terhadap benda itu atau penghianatan dari anak-anak muridku, dari empat puluh orang anak muridku hanya seorang yang bisa memegangnya sedang yang lainnya bilamana menyentuh pisau-pisau itu, daging-daging mereka akan segera membusuk, meskipun kulit tubuh dilapisi pakaian kulit yang setebal apapun." Liong Houw mendongak keatas, papan-papan langit-langit kamar yang tertancap ketiga pisau belati tadi tampak sekeliling papan langit-langit kini berwarna hitam akibat pengaruh racun yang terdapat pada pisau belati. Sedang diatas meja dimana tadi diletakkan ketiga pisau belati itu masih jelas terpeta warna hitam seakan-akan lukisan tiga bilah pisau. Hebat sungguh luar biasa racun yang melekat pada pisau-pisau belati itu. Tambah lama keadaan dalam kamar kapal layar tambah goncang, kapal layar itu kadang kala oleng kekiri kanan, kadang kala seakan terbanting dari belakang kedepan sedang suara ombak laut yang memukul-mukul tepian kapal terdengar mendebur keras sekali. Membuat orang-orang yang duduk dalam kamar kapten itu mengikuti irama gerak goyang kapal layar tadi. "Liong Houw !" Terdengar kembali si nenek merah berkata. "Kau sengaja dibawa kemari, untuk mengambil Pedang Embun itu." "Dimana berdebar. Pedang itu?" Tanya Liong Houw "Disekitar pulau gunung api dilaut Lam-hay !" Kata si nenek. "Pulau gunung api ?" Liong Houw heran. "Menurut keterangan peta dan tulisan yang didapat dari tiga bilah pisau belati itu, Pedang Embun terdapat di pulau terpendam didasar laut, disekitar pulau gunung Api." "Pulau terpendam?" Tanya Liong Houw. Si nenek merah mengangguk, katanya . "Tentang pulau terpendam, setiap tokoh rimba persilatan dari kalangan tua pernah mendengarnya, pulau itu terdapat disekitar pulau Gunung Api, pada seribu tahun yang lalu telah terjadi perobahan alam disekitar kepulauan tersebut, hingga pulau berikut penghuni tenggelam kedasar laut dan hanya beberapa orang saja yang berhasil menyelamatkan diri. Cerita itu telah turun temurun. Hanya tidak ada seorang-pun yang mengetahui siapa-apa penghuni pulau itu, juga tidak ada orang yang mengetahui bahwa sebilah pedang pusaka terpendam didasar laut diatas pulau terpendam itu." "Mmm, jadi bagaimana kita bisa percaya ketiga bilah pisau itu merupakan peta dari pulau terpendam ?" Berkata si wanita merah yang duduk disebelah kanan si nenek. "Mungkin salah seorang dari mereka yang berhasil menyelamatkan diri membuat tiga bilah pisau itu," Berkata Liong Houw. "Itulah," Si nenek berkata. "Kejadian ini sulit di ilmiah, tapi dengan kepandaianmu dan berkat latihanmu didalam lembah air terjun, kau sudah memiliki ilmu ampibi hingga sanggup hidup didalam air." "Apa????" Liong Houw terjengkit bangun. "Bagaimana kau tahu akan ilmu yang kulatih?" "Duduk, ayo duduklah, tidak perlu panik, muridku bukankah sudah pernah mengatakan setiap gerak gerikmu sudah dalam pengawasan kami selama bertahun-tahun, dan tentang lembah itu, aku pernah memasukinya." "Haaa, kau juga pernah memasukinya ?" Kata Liong Houw terkejut. "Mengapa tidak melatih ilmu itu ?" "Bagi orang-orang yang sudah pernah melatih ilmu silat dari cabang lain tidak mungkin bisa melatih ilmu itu, begitu pula sebaliknya, bilamana memaksakan diri untuk melatih pasti orang itu akan mengalami jalan darah masuk api. Lebihlebih selama berlatih orang diharuskan belum pernah memakan makanan-makanan selain dari buah-buahan. Kau masih kurang hati-hati, kitab semedhi itu kau tinggalkan begitu saja didalam goa !" "Mana kitab itu, apakah kau bawa ?" Tanya Liong Houw. "Sudah kuhancurkan," Jawab si nenek merah. "Hei siapa sebenarnya kalian ?" Tanya Liong Houw. "Belum waktunya kau mengetahui!" Jawab si nenek. Perjalanan dilanjutkan. Suatu ketika....... Tiba-tiba dari luar datang memasuki seorang wanita merah, lalu berkata . "Suhu ! nampak !" Puncak pulau gunung api sudah "Putar haluan kearah kiri !" Perintah si nenek. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ayo kita naik kegeladak." -dwDlATAS geladak kapal layar merah Liong Houw berdiri memperhatikan puncak pulau gunung api yang mengepulkan asap timbul tenggelam dipermukaan laut. Pemandangan itu tidak mengherankan Liong Houw meskipun tampaknya puncak gunung api itu timbul tenggelam dipermukaan laut, tapi bukanlah pulau itu yang timbul tenggelam, tapi kapal layar merah yang ditumpanginya yang timbul tenggelam, sebentar mumbul diangkat ombak setinggi gunung, kadang kala terhempas kebawah ditinggalkan gulungan ombak yang menderu-deru. "Kurangi kecepatan." Perintah si nenek merah. Beberapa wanita merah segera menaiki tanggatangga tali, mereka melepaskan beberapa tali layar, maka layar-layar yang sedang terkembang ketika tali-talinya terputus segera menggulung menyelorot turun, dan seketika kecepatan kapal layar itu berkurang. "Putar kekanan." Perintah lagi si nenek merah. Sambil memperhatikan keadaan letak arah pulau gunung api. "Kurangi kecepatan !" Perintah lagi si nenek. Maka satu tiang layar kembali melorot turun. Kecepatan lajunya perahu tambah berkurang, diombang ambingkan ombak. "Ambil arah barat laut." Terdengar pula si nenek memberi perintah. Disebelah barat laut pulau Gunung Api, perahu layar merah menurunkan sauh, layar layar sudah tidak berkembang lagi, ombak-ombak menggunung berkejar-kejaran mengombang ambingkan kapal layar. "Kira-kira dibawah sini letaknya pulau yang terpendam, nah kau terjunlah, sebelum kau naik kepermukaan, kami selama itu menunggu. Selamat bekerja." Tanpa mengucapkan sepatah katapun Liong Houw terjun kedalam lautan. Baru saja Liong Houw menerjunkan diri, tubuhnya diombang-ambingkan ombak tapi begitu Liong Houw memasuki lebih dalam tekanan ombak berkurang, akhirnya sudah tidak terasa lagi tekanan ombak, ia terus meluncur turun. Ikan-ikan kecil beraneka warna berkelompok berenang kian kemari. beriring Diatas karang-karang laut ikan-ikan karang berenang kejar-kejaran. Liong Houw melangkahkan kakinya didasar lautan seakan ia berjalan ditanah daratan. Sementara kapal layar merah masih menunggu diperairan pulau Gunung Api. Mata para awak kapal memperhatikan gerakan tubuh Liong Houw yang makin lama makin tenggelam kedalam, kemudian tak tampak pula bayangannya. Puncak gunung Api yang mengepulkan asap hitamnya kadangkala mengeluarkan suara letusanletusan. "Suhu!" Terdengar suara kejut salah seorang wanita merah ditujukan kepada si nenek merah. "Hmmm..........." Dengus si nenek merah. "Belakangan ini sering kali pulau gunung api itu mengeluarkan letusan-letusan, mungkin........." Baru berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar kembali suara letusan gunung berapi, letusan itu lebih keras dari pada letusan-letusan yang terdahulu. "Suhu, apakah pulau gunung api ini akan meletus?" "Hmm, kalau dilihat dari letusan-letusan, mungkin gunung berapi ini akan segera meletus." Beberapa kali terdengar pula suara letusanletusan dari puncak gunung berapi yang mengeluarkan asap, kini tampak letusan-letusan itu mengeluarkan bara api yang menjulang tinggi setiap kali terjadi letusan, pulau sekitar pulau gunung api itu bergerak, seakan terjadi gempa bumi, gerakan-gerakan itu juga terasa sampai dikapal layar yang mereka tumpangi. Si nenek merah yang menyadari bahaya hatinya bergoncang keras, meskipun tidak tampak perobahan wajahnya, tapi sinar matanya memancarkan cahaya kekuatiran. Sedang para anak buah kapal yang terdiri dari wanita-wanita berkulit merah, tampak mereka sudah gelisah sedemikian rupa, hanya mereka tidak berani mengemukakan sesuatu dihadapan sang kapten kapal yang juga merupakan suhu mereka. Setiap gerak mata berganti ganti memandang keatas puncak gunung berapi yang meletus-letus mulai mengeluarkan lahar meleleh turun, kadang kala mata-mata mereka menatap kebawah dasar laut, tapi disana tak tampak bayangan Liong Houw, yang tampak hanya beberapa kelompok ikan yang berlarian menyingkir dari getaran air yang diakibatkan dari letusan-letusan tadi. "Suhu, apakah tidak lebih baik kita menyingkir lebih dulu dari pulau gunung api ini menunggu munculnya Liong Houw ?" Berkata si wanita merah yang berdiri disebelah kanan si nenek merah. "Hmmm, jika gunung berapi ini meletus, tubuh bocah itu akan segera hancur isi dalamnya. Getaran letusan yang terbawa oleh arus air akan menghancurkan setiap machluk yang hidup didalam air, meskipun tubuh mereka masih utuh, tapi isi dalamnya hancur. Sudah pasti mereka akan menjadi korban letusan gunung berapi ini, tidak terkecuali si bocah. Bahkan getaran letusan akan terasa ribuan lie dari tempat ini, kukira juga kapal kita akan segera tenggelam, lebih-lebih keadaan ombak yang begini besar, ditambah dengan letusan gunung berapi akan mengakibatkan gempa air yang hebat." "Aaaaa, suhu lihat ! Darah !.........Darah........." "Tenang bodoh !" Bentak si nenek merah. "Tapi, darah itu......apakah bukan darah Liong Houw........." Terdengar pula suara salah seorang wanita merah yang sudah mulai panik. Bledurrrrrrrrr........ bummmmm.........kawah pulau gunung api memuntahkan lahar panas yang memerah meleleh meluncur menuruni lerenglereng pulau gunung api. Kembali tampak gumpalan merah mumbul dipermukaan air laut diumbang ambingkan ombak. Akibat letusan-letusan pulau gunung api yang kian lama kian keras, terasa kini getaran itu sampai mempengaruhi kapal layar. Letusan-letusan pulau gunung api, terasa sampai didasar laut, Liong Houw yang baru saja menginjakkan kakinya didasar laut, tiba-tiba menampak seekor ikan hiu besar dengan cucuk yang bergigi tajam meluncur kearahnya. Nampak ikan itu bergerak cepat tubuhnya kadang kala meliuk kekiri kanan seakan sedang membingungkan pandangan mata Liong Houw. Dengan tenang Liong Houw menunggu datangnya ikan hiu yang memang akan menyerang tubuhnya. Begitu ikan itu tepat berada dimukanya, cepat ia bergeser kekiri, dengan kepalan tangannya menghajar batok kepala ikan itu hingga ambles seluruh kepalannya. Dari kepala ikan hiu yang remuk, mengambang darah merah. Sedang ikan hiu itu menggelusur terus. Baru saja kepalan tangan Liong Houw ditarik, darah ikan hiu mengambyang di-sekitar air laut itu, menimbulkan bau amis yang merangsang ikanikan hiu lainnya mendatangi tempat itu. Kini dari arah dimana ikan hiu yang sudah menjadi korban mendatangi sepuluh ekor yang nampaknya lebih ganas dan lebih besar dari ikan hiu yang pertama datang. Liong Houw segera menghindari dari kerewelan ikan hiu itu, tubuhnya cepat berenang meninggalkan daerah berdarah. Ternyata ikan-ikan hiu itu tertarik dengan bau amis darah tadi, mereka terus meluncur kearah mengembangnya darah merah, kemudian berserabutan menggigiti bangkai ikan hiu yang sudah mati. Hanya dalam sekejap mata saja bangkai ikan hiu tadi sudah lenyap berpindah kedalam perut kawan-kawannya sendiri. Begitu santapannya habis rupanya ikan-ikan hiu itu memang sedang kelaparan, begitu menampak gerakan Liong Houw yang berenang menjauhi, mereka berebutan mengejar kearah Liong Houw. Mendapat serangan sepuluh ekor lebih ikan-ikan hiu yang besar, Liong Houw agak sulit menghadapi serangan demikian didalam air, meskipun ia bisa tahan sekian lama tapi kepandaian renang machluk-machluk air ini bukanlah tandingannya. Selagi dalam keadaan bingung, mendadak seekor ikan hiu yang berenang lebih dulu menerjang kearah perutnya. Cepat Liong Houw mengelak kesamping, tapi begitu ia bergerak kesamping, dari atas kepalanya meluncur pula seekor ikan hiu raksasa yang hendak memotong lehernya dengan cucut-cucut yang bergigi seperti gergaji. Belum lagi ia sempat mengelakan samberan ikan hiu diatas kepalanya, tiba-tiba tubuhnya sudah terkurung oleh sekelompok ikan-ikan hiu, dari depan belakang kiri kanan atas, bahkan kakinya hampir saja putus disambar salah seekor ikan hiu. Dalam keadaan panik demikian, tiba-tiba ia teringat akan kalung tasbihnya yang didapatkan dari lembah air terjun, segera ia meloloskan kalung tasbih itu, dan memutarkan melindungi tubuhnya. Maka tak lama terdengar suara krak, trok, beberapa kali dan darahpun bermuncratan dari kepala -kepala ikan hiu yang tersambar oleh sabetan kalung tasbih Liong Houw, maka kini keadaan berubah, beberapa ikan hiu yang masih belum kena sasaran tasbih, segera menyerang ke arah kawan mereka yang mengucurkan darah. Gerakan Liong Houw tidak sampai disitu, begitu ada kesempatan, segera kalung tasbihnya bergerak pula, maka ikan-ikan hiu yang berusaha akan memakan kawan-kawan mereka kini menjadi korban kalung tasbih, dan tak lama seluruh ikanikan hiu itu sudah bergelimpangan, darah mereka mengambyar naik keatas permukaan laut. Dengan masih memegangi kalung tasbehnya, Liong Houw meluncur berenang, ternyata gerakan berenang dibawah air lebih cepat dari pada ia melangkahkan kakinya berjalan didasar laut. Matanya yang sudah terlatih baik, kini dapat melihat dengan tegas pemandangan yang terpeta didasar lautan, beraneka macam warna dan bentuk karang berkembang-kembang hidup bergerak-gerak seakan machluk bernyawa, ikanikan karang berseliweran berkelompok berkelompok menambah keindahan taman dibawah laut. Liong Houw terus berenang mencari tempat dimana tersimpannya Pedang Embun yang menurut si nenek merah pedang itu tersimpan diatas pulau yang telah tenggelam. Kini mata Liong Houw dapat melihat sebuah bukit karang yang menonjol, menggunung, segera ia berenang kesana, tapi tiba-tiba saja perutnya dilibat oleh benda hitam yang menjulur panjang seperti ular, libatan pada perut Liong Houw itu begitu erat, sudah beberapa kali ia berusaha memutuskan benda yang melibat perutnya dengan menyabetkan tasbihnya, tapi libatan itu kian keras, hingga perutnya dirasakan terjepit oleh benda bulat, terasa seakan perut itu hampir putus. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya dari hasil latihan semedhi didalam air terjun, Liong Houw masih bisa bertahan dari cekikan machluk yang melibat perutnya. Kini ia tidak lagi melakukan gerakan. la mengikuti setiap gerak dari machluk yang melibatnya, sedang tenaga dalamnya dikerahkan dengan kekuatan tetap untuk menahan cekikan itu. Tubuh Liong Houw perlahan tertarik, dan kini mendadak meluncur pula machluk yang sama, kini kaki Liong Houw dilibat keras sekali dengan berbarengan Liong Houw ditarik, memasuki sebuah lubang besar. Didalam lubang tadi keadaan tampak gelap, sedang machluk-machluk yang melibat tubuhnya terasa tambah banyak menyelusuri tubuhnya, dalam keadaan gelap itu mata Liong Houw terus jelilatan mencari sesuatu yang kira-kira dapat dibuat pegangan untuk meloloskan diri, bahkan ia ingin mengetahui binatang apakah yang kini melibat tubuhnya, dalam keadaan pikiran yang kacau penuh dengan rasa seram dan takut, tampak disudut sebelah dalam dua sinar kelapkelip, sedang dibawah sinar kelap kelip itu samarsamar bergerak-gerak beberapa machluk aneh yang sama bentuknya dengan yang melibat tubuhnya, hanya lebih pendek. Liong Houw lambat tapi pasti tertarik ke arah dimana terdapatnya dua sinar kelap kelip sebesar manggis. Aaaaa, kini ia tahu sudah, kedua sinar yang berkelap kelip itu adalah dua buah mata binatang yang sedang menarik tubuhnya dengan tangantangan panjangnya, ternyata kini ia sedang bertarung melawan maut dengan seekor gurita raksasa. Dengan kecerdikan otaknya Liong Houw tidak melakukan perlawanan, dibiarkan kaki dan perut yang sudah dibelit oleh kumis-kumis gurita raksasa tadi, sedang tangan yang masih memegang tasbih, ia tekukkan diletakkan diatas libatan kumis gurita yang melibat tadi agar bila salah satu kumis gurita melilit bagian dadanya, tangannya masih bisa digerakkan untuk menghajar kepala gurita raksasa. Secepat pikirannya bergerak, secepat itu pula tubuhnya ditarik kearah kepala gurita raksasa, ternyata kepala itu tampak sebesar tempayan. Liong Houw mengukur-ukur jarak antara mata dan tubuhnya, begitu jarak itu sudah demikian dekat, maka tangan kanannya segera bergerak, dengan kekuatan penuh ia menghantamkan tasbihnya kearah tengah-tengah diantara kedua mata cumi-cumi raksasa tadi. Dukkkkkkk............blasssssss, darah berhamburan dari atas kepala cumi-cumi raksasa itu, libatan tubuh Liong Houw mengendur akhirnya terlepas sama sekali. Keadaan dalam lubang itu gelap, Liong Houw meraba-raba dinding-dinding lubang itu, tak lama ia mendapatkan sebuah lubang lagi, tubuhnya segera memasuki lubang berikutnya dibalik lubang itu tampak masih gelap pekat. Berenang kembali kearah bagian lain, tangannya tetap meraba-raba, ternyata juga setiap ruangan yang dilaluinya tetap gelap tak tampak sinar penerangan. Suara letusan-letusan pulau gunung berapi terdengar sampai didasar laut, kian lama letusan itu kian keras sedang getaran air seakan tekanan yang menghimpit tubuhnya. Cepat Liong Houw berenang meninggalkan lubang gelap itu, jauh dimukanya tampak sinar terang menyorot masuk. Itulah jalan keluar dari sarang gurita raksasa yang tadi menyeret tubuhnya kedalam lubang itu. Tapi baru saja ia hendak keluar dari lubang itu, dibawah lubang yang tembus sinar terang ternyata masih terdapat lubang yang menurun kedalam. Liong Houw batal keluar, ia berenang memasuki lubang dibawah, didalam lubang itu terdapat sebuah ruangan yang berlumut disana sini tumbuh karang-karang laut, ikan-ikan kecil beraneka warna berenang kian kemari. Karena tembusnya sinar dari lubang tadi keadaan ruangan itu agak samar-samar terang. Selagi Liong Houw memperhatikan keadaan ruangan itu, tiba-tiba seekor ular putih sepanjang setengah depa berliuk-liuk meluncur menuju kearahnya. Liong Houw cepat menggunakan kalung tasbihnya memukul ular yang datang meluncur menggigit kearahnya. Dukkkkk............ Kepala ular itu terhajar oleh ujung rantai tasbih, tapi aneh, tidak seperti ikan hiu dan juga gurita raksasa yang begitu terhajar pasti kepalanya remuk mengocorkan darah, ular ini begitu terkena serangan tasbih, segera melejitkan kepalanya keatas, buntutnya yang putih mengkilat menyambar kearah tangan kanan Liong Houw yang menyerangnya dengan tasbih. Serangan buntut ular itu berhasil dielakkan, tapi tiba-tiba kepala ular yang meluncur keatas kini balik menukik menghajar ubun-ubun Liong Houw. Gerakan itu sangat cepat sekali, sehingga Liong Houw hampir saja tidak dapat mengelakkan serangan maut tadi, tapi dengan gerakan yang gesit sekali Liong Houw melesat menghindari serangan ular putih itu. Si ular putih yang tiga kali serangannya berhasil dielakkan, kini ia tidak menyerang kembali, buntut ular itu meliuk-liuk melingkar, kemudian memanjang kembali sedang kepalanya bergoyanggoyang kekiri kekanan. Kepala Liong Houw bergerak-gerak mengikuti gerakan kepala ular itu, sambil terus berenang mundur. Sedang tasbihnya siap sedia untuk membuat penjagaan dan penyerangan. Kepala ular yang bergerak kekiri kekanan meluncur maju lagi mendekati Liong Houw, sedang buntutnya berlengkok-lengkok. Liong Houw yang terus mundur, tiba-tiba belakang tubuhnya terbentur sesuatu, jalan mundurnya terhalang oleh benda tadi, ternyata itulah dinding batu yang berlumut. Begitu tubuh Liong Houw mepet di dinding batu, ular yang tadi meluncur perlahan, tiba-tiba ular itu mundur cepat gerakannya berlenggok-lenggok. Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo