Pusaka Pedang Embun 3
Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 3
Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong Si pemuda yang masih menggeros tidur di kursi tiba-tiba dikejutkan oleh lompatnya seekor monyet hitam keatas bahunya. la tersentak bangun. Bangkit dari duduknya, setelah memperhatikan keadaan dalam rumah makan itu, ia melangkah keluar diikuti si monyet hitam. Langkahnya terus diayun meninggalkan kota Siao-shia yang telah membawa kecewa bagi harapannya. Ia mengembara dari satu puncak gunung kepuncak gunung, dari satu lembah ke lembah lain, dari hutan kehutan, mengikuti irama gelora naluri jiwanya, untuk bergaul dalam pergaulan hidup manusia sesamanya. Tapi baru saja ia melangkahkan kakinya pada satu pergaulan hidup dikota Siao-shia, dengan ramai senyuman diwajahnya penuh rasa gembira tak terkira, apa yang ia cari selama ini ia telah ditemukan. Itulah pergaulan hidup manusia. Harapan jauh dari kenyataan ! Sambutan manusia itu begitu kejam mengeroyok dirinya tanpa salah tanpa dosa, melukai tubuhnya, menyakiti hatinya yang hampa. Kini, dengan rasa pilu, hanya ditemani oleh monyet hitam, kembali memasuki kehidupan lamanya didalam hutan belantara. Jauh dari kehidupan manusia. Jauh dari angkara murka. Jauh dari segala tipu muslihat sifat-sifat licik manusia tamak. o o od-w o o o Hari berganti, musim berputar silih berganti, setengah tahun telah dilewatkan. Sore itu hujan rintik-rintik membasahi bumi, tanah-tanah belukar becek tersiram air, daun pohon bergoyang tertiup angin basah. Kilat berkeredepan, petir mengguruh dilangit hitam. Hujan tambah lama tambah lebat, dari jauh terdengar derap langkah kaki kuda diiringi suara mengkereteknya roda kereta. Dalam cuaca gelap, langit menghitam, tampak empat orang penunggang kuda dengan pakaian sudah basah kuyup tersiram air hujan yang ditumpahkan dari langit. Tiga diantaranya orang laki-laki pertengahan umur. Berbadan tegap. Dipinggang masing-masing tergantung sebilah golok. Mereka mencongklangkan kuda masing-masing, kepalanya menoleh kekiri kanan, seakan mencari tempat meneduh. Seorang yang berkuda disamping kereta adalah seorang gadis berpakaian sutera putih, umurnya kira-kira diantara tujuh belasan tahun. Parasnya cantik jelita, rambutnya mengurai basah dibalut. Tampak jelas lekuk-lekuk tubuh bagian dadanya membusung keluar, dilapisi kain sutera putih tipis basah kuyup. Diatas kereta duduk seorang kusir kereta, berusia kita-kita empat puluh tahunan. Wajah tuanya masih tampak gagah kedinginan. "Nona," Tiba-tiba terdengar suara salah seorang penunggang kuda dimukanya. "Kukira sulit mencari tempat meneduh didaerah pegunungan ini." "Hmm." Terdengar si nona mendengus. "kita harus cepat cari tempat meneduh, hari sudah hampir malam, dalam keadaan hujan begini, tidak mungkin bisa melanjutkan perjalanan." Berkata si nona. Derap langkah kaki kuda terdengar lambatlambat, satu satu diiring suara mengkereteknya roda-roda kereta. Petir menyambar-nyambar dilangit. "Nona, samar-samar kulihat didalam rimba disebelah kanan depan ada bangunan." Terdengar lagi satu suara penunggang kuda. "Berhenti ! Kalian tunggu disini, aku akan selidiki tempat itu." Kata si nona sambil membedal kudanya memasuki rimba, menuju bangunan didalam rimba. Ternyata bangunan itu adalah satu kelenteng tua yang sudah rusak, sudah tidak pernah dikunjungi manusia lagi. Setelah menyelidik keadaan kelenteng itu, tidak terdapat seorang yang tinggal di dalam kelenteng, si nona kembali kearah rombongannya, memerintahkan semua rombongan menuju kearah kelenteng rusak itu. "Su Hay, ajak kawan-kawanmu cepat kesana!" Perintah si gadis sambil menunjuk kearah kelenteng. Dalam cuaca hujan lebat, terdengar suara Iangkah-Iangkah kaki kuda, kretek-kretekan roda kereta, suara-suara dahan-dahan pohon bergeseran dengan badan kereta, bergemercik butiran air-air berlompatan tersentak dahan-dahan pohon yang beradu dengan badan kereta yang oleng-oleng melewati jalan dirimba raya menuju kelenteng rusak. Sampai dimuka kelenteng rusak, rombongan itu istirahat dalam kelenteng, mereka berganti pakaian masing-masing. Lantai kelenteng sangat kotor, semua yang ada dalam kelenteng itu sudah basah, tersiram air yang menetes dari genteng-genteng pecah, hingga sulit mendapatkan bahan guna memasang api unggun ditempat itu. Si nona berjalan masuk keruangan kedua dalam kelenteng itu, merupakan ruangan Thian-ongthian, dalam ruangan agak gelap, disana disebelah kanan ruangan samar-samar tampak masih berdiri tegak sebuah patung yang sangat tinggi besar hingga hampir-hampir sampai dipiannya kelenteng, disamping bawah patung besar itu terdapat satu patung macan yang mendekam. Dalam keadaan cuaca remang-remang, masih tampak lekuk-lekuk tubuh si nona. Disana ia buka pakaian basahnya. Tapi baru saja menggerakkan tangan membuka pakaian, tiba-tiba diluar kelenteng terdengar jeritan-jeritan makian dan suara beradunya senjata tajam. "Bangsat! Rampok dari mana berani main gila disini !" Terdengar suara salah seorang anggota rombongan si nona. Mendengar keributan itu si nona batal membuka pakaiannya, ia segera melesat ke luar. Diluar kelenteng tampak puluhan orang sedang bertempur mengurung empat orang anggota rombongan si nona. "Hentikan pertempuran !" Bentak si nona. Mendengar suara bentakan yang nyaring merdu, kedua pihak menghentikan pertempuran. Terdengar suara seorang tertawa berkakakan . "Ha, ha, ha, .... nona manis, hujan begini besar, untuk apa kau harus diam di kelenteng bobrok, lebih baik ikut aku tidur dirumahku, bukankah lebih hangat, ha, ha, hua, hua,....... " Orang yang bicara sambil tertawa ternyata seorang laki-laki berhidung bengkung seperti paruh burung betet, bermata belo, kumis dan jenggot kasar, bertubuh tinggi besar kepala bagian tengahnya botak seperti kepala profesor. Si nona menyaksikan orang dihadapannya, ia segera sadar ia sedang berhadapan dengan kepala gerombolan berandal. Maka lalu membentaknya . "Bajingan. Bacotmu akan membawa akibat pisahnya kepala dari tempat asalnya!" "Ih, mulutmu tajam!" Kata orang berhidung lengkung. "Kau harus tahu, sedang berhadapan dengan si raja penyamun Bo-siang, anggota Gokong-nia, sebetulnya aku ingin merampas barangbarangmu segerobak. Tapi melihat wajahmu, semangatku sudah terbang kesurga, kupikir lebih baik mengambil kau jadi isteriku, barang-barang itu akan kuhadiahkan padamu, haaaa......" Belum lagi mulut Bo-siang si Raja Penyamun terkatup, tiba-tiba berkeredap bayangan putih, bagaikan kilat, disana sudah menggeletak empat orang anggota penyamun Bo-siang. Bukan kepalang terkejutnya si Raja Penyamun Bo-siang, matanya melotot keluar, bentaknya. "Sundel, kau berani membunuh anak buahku, diajak kesorga minta keneraka." Sinar putih berkeredap kembali memapas leher si Raja Penyamun Bo-siang. Gerakan si Raja Penyamun juga cepat, ia lompat mundur kebelakang menghindari serangan pedang si nona manis. Kembali berjatuhan tiga korban, dengan kepala menggelinding terpisah dari badan terkena sambaran pedang si nona jelita. Si Raja penyamun Bo-Siang membentak . "Perempuan liar, kau rasakan pelor beracun gendewaku, hayo serbu !" Hujan masih turun dengan deras, pertempuran sengit berlangsung dengan gigihnya, masingmasing mempertahankan nyawanya. Disatu pihak terjadi pertempuran empat lawan belasan orang, mereka bertempur dengan sengit, suara benturan senjata tajam ramai berdentang dengan diiringi deraian air hujan membasahi bumi. Pihak lain, tampak berkelebat-kelebat sinar putih, dikurung puluhan sinar-sinar hitam peluru gendewa meluncur cepat mengurung tubuh si nona. Sinar pedang terbentur peluru-peluru gendewa beracun si Raja Penyamun Bo Siang. Terdengar suara trang, tring, trang, tring ramai sekali. Tampak si Raja Penyamun Bo Siang terdesak mundur oleh sinar putih pedang si nona. Bo Siang mundur tidak sanggup melayani gerakan pedang si nona. Menampak sipemimpin terdesak, para pengeroyok semangat. Raja sudah Penyamun kehilangan Keadaan ini menguntungkan pihak rombongan si nona yang sudah kewalahan menghadapi keroyokan-keroyokan, satu diantaranya sudah terluka. Mendapat kenyataan keroyokan mereka mendadak menjadi kendor, semangat empat orang itu terbangun kembali, meskipun seorang diantaranya sudah terluka. Si nona menampak lawannya sudah keteter ia berteriak . "Hm, sebelum kepalamu menggelinding, agar kau tidak mati penasaran, kau ingat baik-baik siapa yang membuat kepalamu menggelinding ditanah, ha, ha, ha. Inilah Bo-tay-tiong-kiam Lie Eng Eng ...." "Huah" Bukan kepalang terkejutnya kawanan si Raja Penyamun mendengar nama Bo-tay-tiongkiam Lie Eng Eng, mereka pernah dengar nama dan kehebatan Lie Eng Eng dengan pedang Ang-lopo-kiamnya. Tapi belum lagi habis kejutnya si Raja Penyamun Bo-siang, dengan dibarengi suara petir menggeletar diangkasa kepala Bo-siang menggelinding ditanah, tubuhnya terjengkang kelejetan kemudian tak berkutik lagi. Menampak pemimpinnya rubuh, mereka lari pontang-panting. Bo-tay-tiong-kiam si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng mengkepret-kepretkan pedangnya yang penuh darah, berulang-ulang disiram butiranbutiran air hujan yang masih turun tak hentihentinya. Kemudian ia berkata kepada keempat orang rombongannya. "Su Hay, Kay Sin segera obati luka-lukamu kalian istirahatlah. Besok pagi kita berangkat." Mereka memasuki ke kelenteng rusak itu. Lie Eng, Eng, si pedang macan betina memasuki ruangan Thian ong-thian dengan membawa buntalan kulitnya saat itu cuaca sudah menjadi gelap. Diruangan Thian ong-thian, ia membuka pakaiannya yang basah bertukar dengan pakaian kering. Lie Eng Eng tidak ragu-ragu, ia segera membuka pakaian basahnya telanjang bulat. Di luar hujan makin lebat halilintar bergelugur diangkasa. Kita tinggalkan dahulu cerita si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng yang didalam kelenteng tua. Untuk lebih jelas mengikuti jalan cerita, mari ikuti lebih dahulu riwayat si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Sembilan tahun yang lalu dikota Sin-Ciu-hu dipropinsi Ouw-lam, tinggal seorang piauwsu bernama Lie Siang Hui. Lie Siang Hui mempunyai seorang putri bernama Lie Eng Eng yang masih berusia delapan tahun. Sejak kecil Lie Eng Eng sudah dilatih ilmu silat oleh ayahnya sendiri. yang mana sebagai seorang Piauwsu Lie Siang Hui memiliki ilmu silat yang tidak rendah. Lie Eng Eng sebagai anak perempuan yang waktu itu masih berumur delapan tahun, senang bermain berlarian kesana kemari, memetik bungabunga, menangkap kupu-kupu. Pada suatu hari tepat pada musim salju dimana salju memutih menyirami bumi, membuat pemandangan diatas bumi seakan ditaburi perak memutih menutupi seluruh isi bumi. Daun-daun pohon memutih seakan bungabunga perak menghias persada. Diantara batangbatang pohon memutih dibelakang rumah, disana bermain-main Lie Eng Eng dengan mengenakan baju tebal melindungi dingin tubuhnya, ia memukul-memukul salju-salju yang bertebaran diatas dahan-dahan pohon berlari-larian kesana kemari. Lie Eng Eng yang bermain diantara tumpukan tumpukan salju, suatu ketika ia tiba pada satu pohon besar, dibawah pohon besar disana menampak satu gundukan salju memutih. Menampak tumpukan salju yang membujur, timbul kegembiraan Lie Eng Eng, ia berlompatan menghampiri tumpukan salju itu, kakinya digerakkan menendang bagian tengah tumpukan salju itu. Begitu kakinya hampir mengenai tumpukan salju, tiba-tiba ia terkejut. "Eh........." Kaki yang sudah diayun ditahan. Ia berdiri terpaku ditempat itu. Matanya terbelalak. Ternyata dibawah pohon tampak olehnya satu kepala manusia terlentang menghadap langit, mukanya sudah penuh dengan butiran butiran salju yang bertaburan menimpa wajahnya. Melihat itu Lie Eng Eng berpikir . "Siapa gerangan orang ini? Bagaimana ia bisa mati ditempat ini?" Berpikir begitu, mengingat tentang orang mati, Lie Eng Eng menjadi ketakutan, ia menjerit tertahan . "Ayah..........." Jeritan baru sampai disitu tiba-tiba mata orang itu terbuka, kepalanya agak bergerak lapat-lapat terdengar suara orang itu berkata lemah. "Siauw moay-moay........." Mata terkatup kembali. Mendengar orang itu masih bisa bicara, rasa takut Lie Eng Eng lenyap mendadak, ia berjongkok menghampiri orang itu, tangannya segera digerakkan menyingkirkan salju-salju yang menutupi wajah dan tubuh orang itu. Ternyata itulah wajah seorang tua. Lie Eng Eng menggoyang-goyangkan tubuh orang tua itu sambil katanya ; "Lopek! Kau........ bagaimana tidur di tempat penuh salju ini, apakah kau tidak dingin ?" Mendengar Lie Eng Eng bertanya kepadanya, orang tua itu membuka matanya kembali tampak mata itu sayu tidak bersinar, orang tua menggoyang-menggoyangkan kepala lemah, katanya. "Siauw moay-moay........." Hanya suara itulah yang terdengar dari mulut orang tua itu. Kembali Lie Eng Eng bertanya lagi . "Lopek apakah kau sakit ?" Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendengar Lie Eng Eng bertanya lagi, orang tua itu dengan menguatkan tenaganya berkata. "Siauw-moay-moay," Terdengar suara orang tua itu lemah tidak bertenaga, ia menghela napas lalu dengan suara lemah melanjutkan ucapannya. "Sebetulnya begitu tadi malam aku tiba disini sudah tidak tahan menahan rasa sakit tubuhku, sudah lima hari dalam perjalanan aku tidak makan tidak minum, hingga akhirnya jatuh sakit disini, ah....... mungkin tulang-tulang tuaku akan terkubur ditempat ini." Lie Eng Eng mendengar penuturan orang tua itu hatinya merasa pilu, cepat cepat ia bertanya lagi . "Lopek, kalau hanya soal makan, aku bisa membawakan kau mengambil makanan dari rumahku." "Ah.......kau gadis berhati mulia !" Kembali orang tua itu berkata sambil mengangguk-angguk kepala. "Terima kasih, Siauw moay-moay, jika kau sudi, tolonglah ambilkan teh hangat, untuk kuminum, aku sudah haus sekali." "Baiklah lopek, tunggu sebentar, akan kuambilkan air teh hangat," Kata Lie Eng Eng menganggukkan kepala. Setelah itu ia berlari pulang kerumah mengambil tiga potong bakpau dari dapur dan satu teko air teh berikut satu cawan. Lie Eng Eng berlari kembali ketempat di mana orang tua itu menggeletak, dibawah pohon dibelakang halaman rumahnya. Melihat Lie Eng Eng sudah kembali dengan membawa satu teko air dan beberapa bakpau, orang tua itu membuka matanya. Segera Lie Eng Eng berkata . "Lopek, kubawakan tiga potong bakpau dan satu teko air teh, hanya air teh ini sudah agak dingin, sebetulnya baru saja masak belum lama, tapi karena cuaca dingin begini, air teh ini menjadi cepat dingin, harap Lopek minum untuk menghilangkan rasa hausmu, dan juga ini tiga potong bakpau harap dimakan!" Orang tua itu segera berkata ; "Siauw-moaymoay, terima kasih atas kebaikan hatimu." Setelah berkata begitu ia mengambil air teh, menuangkan kedalam cawan segera diteguknya. Kemudian baru orang tua itu menghabiskan bakpau-bakpau yang diberikan Lie Eng Eng. 0)0od^wo0(0 SETELAH menghabiskan tiga bakpau tampak wajah orang tua itu mulai kemerah-merahan. Melihat perubahan wajah si kakek, Lie Eng Eng bertanya . "Lopek apakah kau masih lapar, nanti kuambilkan kembali beberapa potong bakpau." "Siauw-moay ... .!" Terdengar orang tua itu berkata sambil mengangguk kepala. "Hanya bisa merepotkanmu saja, kalau kau memang masih sudi memberi pertolongan pada orang tua sakit sengsara ini. Itulah yang kuharapkan, aku tidak bisa memberi balasan apa-apa terhadap budi baikmu." "Ah..... jangan berkata begitu." Kata Lie Eng Eng cepat. "Tunggulah sebentar akan kuambil beberapa potong bakpau lagi untuk menyehatkan tubuhmu." Lie Eng Eng segera lari kembali kedalam rumahnya, tidak lama ia telah membawa beberapa potong bakpau segera diserahkan pada orang tua. Katanya. "Lopek, ini beberapa potong bakpau, kau makanlah." Menyaksikan Lie Eng Eng menyerahkan beberapa potong bakpau, empek itu berkata. "Siauw-moay, terima kasih atas kebaikanmu, seusia masih semuda ini, tapi budi pekertimu sungguh membuat aku malu, ah...dengan budi baikmu ini..... disuatu hari kau pasti akan mendapat pembalasan yang setimpal, semoga kelak kau mendapatkan kebahagiaan dan kejayaan dalam hidupmu." Rupanya orang tua itu memang kelaparan, sesudah berkata begitu, ia segera samber beberapa potong bakpau, dalam sekejap saja sudah habis dimakan semua. "Lopek," Bertanya Lie Eng Eng. "Bolehkah Lopek memberitahukan nama dan asal usul Lopek, bagaimana dalam cuaca sedingin ini bisa tiba ditempat ini. Toch lebih baik tinggal dirumah, tidak kedinginan serta mendapat penyakit seperti ini, ah......bagaimana kalau lopek sampai mati disini apakah keluargamu tidak akan susah mencarimu......?" Setelah menghabiskan beberapa bakpau lagi, tampak wajah orang itu menjadi segar, dan tenaganyapun bertambah, kini ia sudah bisa duduk bersandar dibatang pohon. 0)0od^wo0(0 Jilid ke 03 MENGHELA NAPAS sebentar, si orang tua baru menjawab pertanyaan Lie Eng Eng, katanya . "Siauw-moay, sekali lagi atas pertolonganmu kuucapkan banyak terima kasih ! Ah... sebetulnya aku sudah tidak mempunyai sanak famili, keadaanku sedang melarikan diri dari kejarankejaran orang, hingga sampai disini, maksudku mengunjungi kawan karibku tapi ternyata ia sudah pindah entah kemana. Dalam perjalananku aku sangat tergesa-gesa, hingga lupa makan lupa minum guna menyelamatkan nyawaku dari kejaran-kejaran orang, begitu aku sampai disini, tiba-tiba terserang penyakit, hingga seluruh tubuhku menjadi lemes dan tidak bisa digerakkan barang sedikitpun, lebih-lebih dalam keadaan sudah beberapa hari tidak makan, maka aku jadi lebih tidak bertenaga, berjalan selangkah saja aku tidak mampu. Siao-moay mengenai pertanyaanmu siapa namaku, ah .... kukira maafkan, cukup kalau kau mau panggil aku, panggil saja dengan sebutan Lo-thian-kiong ......" Berkata sampai disitu ayah Lie Eng Eng mendadak muncul ditempat itu, katanya . "Hai, Eng-jie, dalam hujan salju seperti ini mengapa kau berkeliaran ditempat ini, eh........siapa orang tua itu ? Mengapa ia berada disini ?" Menyaksikan ayahnya datang, Lie Eng Eng merengek-rengek kepada ayahnya sambil memegang lengan ayahnya ia berkata . "Ayah, lopek ini sudah beberapa hari tidak makan, ia juga sedang sakit, melihat keadaan demikian, aku sudah mengambilkan beberapa potong bakpau dan seteko air teh untuk diberikan kepadanya, sungguh kasihan lopek ini, ia menderita penyakit bengek." Mendengar penuturan anaknya, Lie Siang Hui mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia bertanya kepada orang tua itu, siapa nama dan shenya serta datang dari mana. Orang tua itu menjawab ; "Siecu, dengan terus terang kukatakan sebetulnya aku sudah tidak punya sanak saudara, rumahpun tak ada, karena mengingat dahulu ada kawan karibku disini, maka aku datang kemari untuk minta bantuannya tinggal dirumahnya, sebetulnya aku adalah seorang yang sedang buron dari perkumpulan Kolo-hwee. Sebelum aku masuk anggota Ko-lo-hwee, aku suka mengembara kesana kemari menyumbangkan sedikit tenaga menolong pihak lemah, pada suatu hari, kudengar ada perkumpulan Ko-lo-hwee, dimana perkumpulan itu katanya terdiri dari kaum pendekar-pendekar budiman, pembela keadilan dan kebenaran, karena tertarik oleh motto semboyan itu aku segera masuk menjadi anggota perkumpulan tersebut, tapi setelah tujuh tahun aku menjadi anggota perkumpulan itu, ah....... ternyata itu adalah perkumpulan bangsa manusia berhati binatang, ketika aku sadar, sudah terlambat ! Maju berat, mundurpun sulit, tapi jiwaku tidak bisa lama-lama bercampur gaul dengan bajingan berkedok pendekar budiman, aku melarikan diri. Dikejarkejar oleh anggota perkumpulan itu sampai ditempat ini aku jatuh sakit." Lie Siang Hui mendengar penuturan itu terkejut, tanyanya. "Ah, jadi kau juga salah seorang anggota perkumpulan Ko-lo-hwee?" "Apa mau dikata," Kata orang tua itu menghela napas. "Nasi sudah jadi bubur tidak perlu diceritakan panjang lebar, menyesalpun tak ada gunanya." "Loko!" Berkata lagi Lie Siang Hui. "Lebih baik kau tinggal dulu disini, rumahku masih cukup kamar, saat ini musim dingin jangan berkeliaran tidak ada tujuan, lebih-lebih kesehatan loko merosot begitu rupa, tinggallah bersamaku, nanti setelah musim dingin berlalu, baru loko melanjutkan perjalananmu." Loko adalah panggilan yang lazim kepada orang yang sederajat atau kedudukan lebih tinggi darinya. Mendengar ucapan Lie Siang Hui orang tua itu lalu berdiri dengan susah payah kemudian membongkokkan tubuhnya memberi hormat dan berkata. "Terima kasih atas kecintaan siecu, budi baik siecu tidak akan kulupakan seumur hidup, bila saja Tuhan memberi umur panjang, pasti suatu hari akan kubalas budi besar lie-sicu ini !" Lie Siang Hui berkata lagi. "Loko tidak usah berkata begitu, toch sudah seharusnya kita sesama manusia saling tolong menolong tidak perlu dipikir panjang. Mari ikut kami pulang kerumah." Lie Siang Hui, Lie Eng Eng berjalan pergi diikuti si orang tua. "Eng-jie." Berkata Lie Siang Hui sesampainya dirumah. "Bersihkan kamar untuk Lopek ini istirahat." Hari berganti hari, waktu diliwatkan begitu cepat, sebulan telah berlalu. Seperti biasa sore itu Lie Siang Hui suami isteri, Lie Eng Eng dan orang tua yang ditolong mereka, duduk-duduk dimeja ruangan tengah sambil minum teh. Tampak mereka merupakan satu keluarga ideal. Meskipun si orang tua itu tidak ada hubungan keluarga dengan mereka, tapi Lie Siang Hui sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Selama satu bulan itu, mereka merawatnya dengan penuh perhatian, sampai penyakit bengeknya sembuh. "Lie siecu." Tiba-tiba orang tua itu memecah kesunyian. "Sudah satu bulan aku tinggal disini menerima budi baikmu, sebenarnya aku merasa sangat malu. Terhadap keluarga Lie, aku masih menyembunyikan asal usulku yang sebenarnya, maka hari ini aku ingin menceritakan hal yang sebenarnya, siapa dan orang macam apa aku ini......" "Lo-ko !" Memotong Lie Siang Hui. "Kita sudah seperti saudara sendiri, apa yang kau anggap perlu diceritakan tuturkanlah, mengenai selama ini Loko tidak menerangkan asal usulmu akupun mengerti, dalam keadaan dikejar-kejar oleh orang Ko lo-hwee, sudah tentu Loko harus berhatiberhati dalam keadaan tubuh lemah dan penyakitan." Orang tua itu berkata lagi . "Aku she Ong nama Pek Ciauw, orang-orang rimba persilatan menyebutku Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw ...." "Aaaa .......!" Lie Siang Hui terkejut. "Ternyata Loko adalah Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw yang namanya menggetarkan lima provinsi barat dan selatan!" Ternyata orang tua yang menyebut dirinya Lo thiau-kiong, yang selama satu bulan tinggal dalam rumah keluarga Lie, adalah Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw yang namanya ditakuti lawan disegani kawan, karena sifat-sifat ksatria yang dimiliki oleh Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw, membela yang lemah membasmi yang kuat tapi jahat. Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw berkata lagi ; Lie siecu, sebetulnya aku bukan takut mati, melarikan diri dan orang-orang Ko-lo-hwee semula. Aku memasuki perkumpulan itu tertarik oleh motto semboyan golongan Ko-lo-hwee membela keadilan dan kebenaran. Tapi setelah menjadi anggota selama beberapa tahun baru kuketahui bahwa motto yang dipergunakan mereka adalah kedok belaka. Belakangan aku juga dapat mengendus tentang sebab-sebab menghilangnya saudara angkatku Thio Ban Liong suami isteri!" "Loko," Lie Siang Hui memotong lagi. "Apakah menghilangnya si Pendekar Rajawali Mas Thio Ban Liong dibawah tangan jahat mereka?" "Saat ini masih kurang jelas, tapi pasti ada hubungannya dengan perkumpulan Ko-lo-hwee. Dengan tidak disengaja aku berhasil menemukan satu barang bukti milik Thio Ban Liang, terdapat dalam kamar penyimpanan senjata Ko-lo-hwee." "Barang apakah itu, Loko?" Tanya Lie Siang Hui. "Maaf," Kata Ong Pek Ciauw. "bukan tidak sopan terhadap saudara Lie, tapi karena soal ini masih dalam penyelidikanku. Juga akibat barang itulah aku dikejar-kejar oleh orang-orang Ko lo-hwee, maka aku belum bisa menyebutkannya, kuatir kalau-kalau keluarga Lie bisa terseret dalam persengketaan ini. Peristiwa lenyapnya Tio Ban Liong secara misterius, sebelum dapat kubikin terang, maka terpaksa aku harus menerima hinaan orang-orang Ko lo-hwee dengan sabar. Karena persoalan ini juga menyangkut dengan beberapa golongan Iainnya." Lie Siang Hui mengangguk-anggukkan kepala suasana dalam ruangan itu menjadi hening. Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw berkata lagi . "Lie siecu, kalau tidak keberatan, aku yang bodoh ini ingin menurunkan kebodohanku kepada putrimu Lie Eng Eng! Hitung-hitung untuk sekedar kenangan semasa aku tinggal disini." "Ong Loko, jangan merendah diri, soal kau hendak menurunkan ilmu silat, aku tidak keberatan, tapi apakah anak itu bisa cocok menerima semua kepandaianmu, anak itu agak nakal........masih suka main-main, aku pernah melatih ia ilmu silat tapi merasa kewalahan mengajarinya." Ong Pek Ciauw tertawa lalu katanya . "Selama satu bulan ini, putrimu Eng-jie begitu telaten merawat diriku, denganku" Ah rupanya ia berjodoh Wie Houw Eng, ibu Lie Eng Eng yang sejak tadi diam, tiba-tiba berkata . "Ong tayhiap, harap kau banyak sabar menghadapi putriku yang binal itu." Ong Pek Ciauw tertawa mengangguk-anggukkan kepala, diikuti oleh suara tawa ramai Lie Siang Hui, hingga ruangan itu ramai dengan suara tawatawa riang mereka. Besok paginya, Lie Eng Eng mulai menerima pelajaran ilmu silat dari Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw, kemudian diberikan latihan pelajaran ilmu pedang. Perputaran hari ternyata begitu cepat, tiga tahun telah dilewatkan. Lie Eng Eng sudah mewarisi ilmu silat dan ilmu pedang dari Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw. Selama itu, keluarga Lie melayani Sin-kiongkiam Ong Pek Ciauw dengan baik, bahkan sudah menganggap mereka sebagai guru dan murid. Dua tahun kemudian, Lie Eng Eng sudah mencapai umur 14 tahun, ia sudah mahir betul semua kepandaian yang diajarkan oleh Ong Pek Ciauw. Pagi itu musim semi, burung-burung masih berkicau, daun-daun pohon masih berembun. Didalam ruangan tengah rumah keluarga Lie terdengar Ong Pek Ciauw berkata; "Lie Eng Eng, sudah cukup waktunya aku harus meninggalkanmu, semua ilmu kepandaianku sudah kauwarisi dengan sempurna............" "Suhu........" Dengan suara terisak tanpa bisa dibendung air mata Lie Eng Eng meleleh dikedua pipinya. "Jangan kau bersedih," Cepat Ong Pek Ciauw berkata lagi. "Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan, di situ ada kelahiran pasti ada kematian, lebih-lebih kau yang sudah memiliki ilmu kepandaian harus berhati kuat menghadapi segala macam kesulitan dan cobaan-cobaan hidup." Lie Eng Eng mengangguk, ia menyusut air matanya yang turun deras di pipinya. Ong Pek Ciauw sudah berkata lagi. "Ilmu pedang sudah kau warisi dengan sempurna, hari ini, aku akan menyerahkan padamu sebilah pedang pusaka Ang-lo-po-kiam, sebelum pedang itu kuserahkan padamu, lebih dulu kau harus bersumpah. Tidak menggunakan pedang itu untuk kejahatan ! Harus kau pergunakan pedang Ang-lo-po-kiam untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, menolong yang lemah menghancurkan yang jahat, bersediakah kau menjalankan sumpah itu?" Lie Eng Eng hanya menganggukkan kepala, ia agak heran karena sang guru memiliki itu pedang pusaka Ang-lo-po-kiam. Selama lima tahun ia mengawani sang guru belum pernah melihat sang guru membawa pedang atau menyebutnya bahwa ia memiliki itu pedang Ang-lo-po-kiam, juga ucapan ucapan sang guru sangat serius, tidak seperti hari biasa, selalu gembira dan tertawa-tawa dalam melatih Lie Eng Eng ilmu silat. Selagi ia masih terheran-heran, Ong Pek Ciauw segera berkata lagi ; "Cepat kau sediakan meja sembahyang untuk upacara angkat sumpah !" Lie Eng Eng segera menjalankan suhunya menjalankan sumpah. perintah Setelah upacara sumpah selesai, Ong Pek Ciauw menarik sebilah pedang dari belakang gegernya, segera diserahkan kepada Lie Eng Eng, sambil berkata . "Gunanya pedang Ang-lo-po-kiam ini untuk menyumbangkan darma baktimu menolong si lemah, menghancurkan si jahat, sesuai dengan sumpahmu." Lie Eng Eng menyambuti pedang itu, sreeet .... ia cabut pedang dari serangkanya, maka disana tampak sinar putih kemilauan menimbulkan rasa dingin disekitar ruangan itu. "Aaaaa......." Lie Eng Eng berteriak girang. "Sungguh indah pedang ini, lebih-lebih ukiran kepala macan-macanan diatas gagang pedang, belum pernah aku melihat pedang seindah ini." Ong Pek Ciauw berkata lagi masih dengan sikap seriusnya . "Eng-jie, pedang itu jarang ada tandingannya didalam dunia, barang pusaka yang sulit didapatkan tidak sembarang orang bisa memiliki pedang itu! Hanya kuminta jangan sekalikali kau melanggar sumpahmu." "Baik suhu," Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kata Lie Eng Eng sambil berlutut dihadapan suhunya. "Bangunlah !" Kata Ong Pek Ciauw sambil melangkah keluar meninggalkan Lie Eng Eng. Keesokan harinya pagi-pagi setelah Ong Pek Ciauw pamitan dengan keluarga Lie Siang Hui suami isteri, berketoprakan suara kaki kuda meninggalkan kota Sin-ciu-hu. Lie Eng Eng sejak menerima pedang pusaka pemberian suhunya, dalam pengembaraan didunia Kang-ouw ia menyumbangkan darma baktinya, banyak rakyat menerima budi pertolongannya, hingga akhirnya ia mendapatkan gelaran Bo-taytiong-kiam, si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Tidak sedikit penjahat-penjahat dibuat kucar kacir. Terakhir mengubrak abrik sarang perkumpulan berandal Hek-khie hwee di gunung Ouw pok san. Setelah mengikuti riwayat hidup Lie Eng Eng, mari kita kembali mengikuti perkembangan yang terjadi didalam kelenteng rusak. Hujan masih turun deras, kilat berkeredepan memecah kegelapan, petir mengguruh dilangit gelap. Bo-tay-tiong-kiam si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng berhasil membunuh gerombolan si Raja Penyamun Bo Siang, ia memasuki ruang Thianong-thian mengganti pakaian. Dalam keadaan telanjang bulat, tiba-tiba berkeredap kilat menerangi jagat, tampak sekelebatan bentuk tubuh Lie Eng Eng yang padat berisi berkulit putih mulus. Kredepan kilat mengejutnya si Pedang Macan betina, dengan gerak reflek ia menutupi buah dadanya dengan kedua tangannya. Tapi teringat bagian vitalnya juga dalam keadaan melompong, cepat kedua tangannya itu diturunkan untuk menutupinya pula. Gerakan itu begitu cepat, secepat sinar kilat mengkeredap, secepat suara mengguruhnya halilintar diudara. Secepat itu pula, melayang sesosok tubuh, dengan ringan menyambar tubuh si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Lie Eng Eng terkejut, kagetnya tidak kepalang, mengelakkan datangnya samberan itu, tangan didorong kedepan menghajar si penyerang gelap, lalu lompat kearah di mana ia letakkan pedang Ang-lo-po kiamnya. Si Penyerang gelap itu juga memiliki gerakan yang lebih cepat, begitu si Pedang Macan Betina bergerak ia menyambar kearah suara gerakan si gadis. Si Pedang macan betina kembali menghujani si penyerang gelap dengan pukulan-pukulan mautnya. Si penyerang gelap memapaki serangan si Pedang Macan Betina. datangnya Kedua kekuatan beradu. "Duk!" Terdengar suara benturan tangan. Dalam suasana gelap gulita, begitu si Pedang Macan Betina sudah dapat mengetahui dari hasil benturan tangan tadi bahwa si penyerang gelap memiliki tenaga kekuatan beberapa tingkat lebih tinggi darinya. Demi menjaga kehormatannya, meskipun Lie Eng Eng tahu kekuatan lawan berlipat ganda dari kekuatannya sendiri, ia tetap mengadakan perlawanan gigih. Hujan tambah deras, ber-derap-derap menimpa genting-genting kelenteng rusak. Pertarungan didalam ruang Thian-ong-thian masih berlangsung. Pertempuran perebutan mustika. Si Pedang Macan Betina mempertahankan mustikanya dengan sekuat kemampuan yang ada, sedang si penyerang gelap merangsang tubuhnya ingin mencicipi mustika itu. Tubuh si Pedang Macan Betina tertubruk si penyerang gelap, tubuh itu jatuh bergulingan diikuti oleh tubuh si penyerang gelap. Terjadi pergumulan seru, si Pedang Macan Betina bergulingan, sedang tubuh si penyerang gelap turut bergulingan mendekap tubuh si gadis. Hujan masih mengocor turun dari langit, pergumulan terus berlangsung,.. satu bertahan, satu menyerang. Dua insan bergulingan didalam hujan lebat, udara sangat dingin merangsang tubuh. Suhu udara yang demikian dingin, gesekan kedua tubuh insan yang bergulingan satu bertahan satu menyerang, akibat gesekan gesekan kulit kedua insan itu, menimbulkan satu cita rasa pada masing-masing tubuh yang bergeser. Sukma si Macan Pedang Betina tidak luput dari rasa yang timbul dari akibat pergesekan kulit-kulit mereka dalam hujan dingin seperti itu. Rasa hangat tiba-tiba menjalar keseluruh tubuhnya. Napasnya sangat sengal. Rasa itu timbul dari akibat gesekan-gesekan kulit tubuh si penyerang dibagian buah dadanya yang mengkal, menyelusuri seluruh urat-urat sendi dalam tubuhnya. Rasa rangsang yang tiba-tiba muncul itu bercampur aduk dengan rasa kemarahan, mempertahankan kehormatan, Lie Eng Eng dalam mempertahankan mustika pusakanya. Pertempuran berlangsung terus, bergulingan kian kemari, sedang hujan turun semakin deras seakan irama musik mengiringi pergulatan itu. Lie Eng Eng merasakan rangsang aneh pada tubuhnya bercampur dengan rasa marah meluapluap, tetap masih bertahan bergulingan, tangannya meraba-raba kelantai mencari pedang pusakanya. Pergumulan merebut berlangsung...... pedang pusaka masih Tubuh si Pedang Macan Betina akhirnya tambah lama tambah melelah, sedang rangsang-rangsang menyerang sekujur tubuhnya makin memuncak. Akhirnya. "Akh.......jangan......janganaduh....... ukhhh !" Terdengar suara rintih perlahan si Pedang Macan Betina. la tidak berkutik lagi. Nasi sudah jadi bubur. Si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng merintihrintih, rasa rangsang tubuhnya memuncak......... tubuhnya lemah lunglai. Tubuh si penyerang gelap selesai membuang tai macannya didalam tubuh si Pedang Macan Betina, sesudah itu, dia berkelebat lompat keluar ruangan Thian-ong-thian, melalui jendela yang sudah rusak. Hilang lenyap ditelan kegelapan, diiringi irama musik air hujan ber-derap-derap jatuh kebumi. Si Pedang Macan Betina, setelah sadar kehilangan mustikanya, juga dalam masih keadaan lemah melejit mengejar bayangan itu....... Tapi bayangan sipencuri mustika sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Tangannya meraba-raba mencari pedangnya. Dengan tangan kiri memegang sarung pedang, tangan kanannya menarik pedang dari sarungnya. "Sreet..........." Ruangan Thian-ong-thian yang gelap menjadi terang benderang disinari sinar pedang. Dia berhasil mempertahankan pusaka pedang, tapi kehilangan pusaka gadisnya. Tampak jelas tubuh si Pedang Macan Betina, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat pasi dipipinya meleleh air mata. Segera ia ayunkan pedang Ang-lo-po-kiam membabat lehernya sendiri. Maksudnya hendak bunuh diri! Pedang Ang-lo-po-kiam berkeredapan sampai ditengah udara, membabat kearah leher si Pedang Macan Betina, tiba-tiba telinga si Pedang Macan Betina mendengar suara beberapa langkah kaki orang disekitar kelenteng itu. Ayunan pedang Ang lo-po-kiam tertahan, semangat Lie Eng Eng bangun kembali. Untuk menuntut balas lebih dahulu terhadap si pencuri mustikanya. Pedang Ang-lo po-kiam masuk kembali kedalam sarung. Lie Eng Eng cepat memakai pakaian kering, lalu berlari keluar ruangan kelenteng dimana tadi terdengar suara derap langkah kaki orang. Rombongan piauwsu yang tidur melingkar didepan ruangan Thian-ong-thian terkejut, semua orang terbangun. Belum lenyap rasa kejut mereka disana sudah meluncur datang empat bayangan, dalam keadaan gelap itu tidak tampak jelas wajah-wajah mereka. Krelap, krelap............ Dua kali sinar kilat menerangi ruangan dalam kelenteng, tapi masih tidak tampak jelas wajah orang-orang pendatang, mereka menghadap kedalam kelenteng. Sedang wajah si Pedang Macan Betina yang menghadap keluar sudah tampak jelas sekelebatan disinari sinar kilap. "Hi, hi, hi, hi,.........." Terdengar suara tawa menyeramkan dari salah seorang dari keempat orang pendatang itu. Katanya kemudian; "Sekali ini giliranku, hi, hi, hi, hi,.." Ketiga orang lainnya berbareng mendengus. "Hmmmm........." Tiba-tiba ruangan depan kelenteng yang gelap pekat itu berkeredapan terang benderang, pedang Ang-po-kiam si Pedang Macan Betina berputaran menyerang empat orang pendatang itu. Keempat orang itu berpencaran, mengelakkan datangnya samberan sinar pedang Ang lo-po-kiam. "Tahan pedangmu !" Terdengar bentakan dari salah seorang dari keempat orang itu. Lie Eng dengusan. Eng hanya mengeluarkan suara Orang itu sudah berkata lagi . "Kunasehatkan lebih baik jangan banyak tingkah didepanku. Hmm.......sayang sekali kalau tubuhmu yang menggiurkan harus mati cuma-cuma, toch dari pada keneraka lebih baik kesorga.........hi, hi, hi" Krelap...... sinar pedang Ang-lo-po-kiam memapas batang leher orang yang bicara tadi. "Sundel!" Bentak orang itu setelah mengelakkan serangan Pedang Ang-lo-po-kiam. "Kalau mau cepat mampus, bilang saja. Aku tak sungkan-sungkan menuruti kehendak hatimu." Keluarnya pedang Ang-lo-po-kiam dengan menimbulkan sinar berkeredepan dua kali, telah membuat ruangan yang tadi gelap menjadi terang benderang. Tampak jelas orang yang bicara sambil ketawa hi, hi, hi, wajah itu tampak putih tidak berkumis, juga tidak berjenggot, hanya kerut-kerut kulit mukanya yang menunjukkan ketuaannya. Sedang wajah ketiga orang Iainnya itulah wajahwajah yang sudah rusak, tidak normal lagi. Ternyata mereka adalah Sam-mo Eng-ciauw yang pernah mengganas dikota Siao-shia. Lie Eng Eng tidak banyak bicara lagi, ia segera memainkan ilmu pedangnya. Disana tampak berkilauan bayangan putih bergulung-gulung menyambar-nyambar keempat orang-orang itu. Keempat orang itu juga segera meng-gerakgerakkan kaki tangan, memapaki datangnya serangan sinar pedang si Pedang Macan Betina. Pertempuran berlangsung sampai 100 jurus, hujan masih nyerocos turun menimpa genteng kelenteng rusak. Disana sini air mengocor turun dari lubang-lubang genteng yang pecah. Bercipratan kesana kemari tersamber angin pedang dan pukulan kedua pihak. Para piauwsu bisa menyaksikan pertempuran itu, kepala mereka menjadi pusing tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa membedakan, mana Lie Eng Eng dan mana lawannya. Bercampur aduk. Mereka hanya menonton dipojok-pojok ruangan dengan mata terbuka lebar mulut menganga. "Hih, hih, hih, hih..... mundur!" Terdengar suara orang tertawa itu memberi perintah. Maka ketiga iblis Sam-mo mengundurkan diri, mereka melejit keluar ruangan berdiri hujanhujanan diluar kelenteng. Sedang didalam ruangan depan kelenteng itu, pertempuran masih terus berlangsung. Lie Eng Eng dengan gigih memainkan pedangnya bergulungan sinar-sinar putih kemilauan ditempat itu. "Hmmm ....hih, hih, hih .. .. dikasih urat minta tulang, hi, hih, hi ..." Terdengar orang itu berkata. "Hei nyawamu sebentar lagi melayang keakherat, lekas berlutut dihadapan Kun-see-moong Teng Kie Lang, hih, hih, hih, hih......." Sirapnya suara tertawa Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang dibarengi dengan berhembusnya uap-uap putih, bau harum menyengat hidung. Mendadak gerakan pedang Lie Eng Eng melemah, kepala si Pedang Macan Betina menjadi berat, dadanya sesak matanya berkunang kunang gelap, ia ambruk jatuh ditanah. Sedang keempat rombongan Lie Eng Eng juga sudah ambruk lebih dulu wajah-wajah mereka berubah membiru. Berbarengan dengan rubuhnya si Pedang Macan Betina, tiba-tiba melayang satu bayangan loreng berputaran menghajar ketiga Iblis Sam-mo Engciauw, mereka berpentalan. Bedebuk, gedebuk, braaak. "Suhu, suhu." Tiba-tiba Siang-mo berteriak kearah Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang. "Itulah si bocah siluman......" Ternyata Kun-see mo-ong Teng Kie Lang adalah guru dari tiga manusia buruk-buruk itu! "Haaaa ... ." Terdengar suara kejut tertahan Kun-see-mo-ong. "hih, hih, hih..... hih.....muridmuridku kau hanya dengan bocah gila itu saja tidak mampu hih, hih, hih . ." Ketiga Sam-mo Eng-ciauw sudah ditanah, mereka cepat berdiri kembali. ambruk "Suhu ! Bagaimana ....?" "Tolol .... hih hih, hih, hih....." Bentak Kun-seemo-ong. "Bikin mampus bocah ini dulu, cincang dagingnya, jadikan isi bakpau, hih, hih, hih, hih ... ." Sambil tertawa, Kun-see-mo-ong melejit kearah si pemuda. Menyaksikan kembali ketiga muridmuridnya terdesak mundur, ia berteriak . "Mundur, mundur .... hih, hih, hih ....." Ketiga iblis Sam-mo Eng-ciauw mundur. Si pemuda menghadapi Kun-see-mo-ong. Disana tersembur bau harum semerbak yang keluar dari tangan Kun-see-mo-ong. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si pemuda yang mencium bau harum itu yang berupa uap-uap putih tiba-tiba muntah, crooh .... Kemudian ia lompat melesat keatas genting, lompat keatas dahan-dahan pohon, kabur dari tempat itu. Muntahan si pemuda tepat mengenai muka Kunsee-mo-ong Teng Kie Lang, tanpa bisa dielakkan lagi, muka si iblis dipupuri muntahan si pemuda baju loreng yang berbau zat buah-buahan. Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang marah bukan kepalang, ia memberi aba-aba pada muridmuridnya . "Kejar, hih, hih, hih, hih.......jangan biarkan ia lolos.....hih, hih,hih....." Dalam keadaan marah besar Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang masih bisa tertawa-tawa, mereka mengejar si pemuda berbaju loreng. Wajah Lie Eng Eng sudah mulai membiru, napasnya mulai menjadi lemah, sedang keempat piauwsu rombongannya sudah matang biru, kemudian mencair, dan akhirnya hanya tinggal gumpalan rambut-rambut hitam yang tertinggal. Daging dan tulang-tulang mereka mencair bercampur air hujan. Keadaan Lie Eng Eng sudah demikian kritis, napasnya tinggal satu-satu, seluruh tubuhnya sudah berganti warna semu biru. Dalam keadaan kritis demikian, tiba-tiba melayang sesosok bayangan putih, melesat masuk kedalam ruangan muka kelenteng. Tangannya digerakkan, menjejalkan sesuatu kemulut si Pedang Macan Betina, kepala Lie Eng Eng diangkat, didongakkan keatas, gegernya ditepuk-tepuk beberapa kali. Gerakan itu begitu cepat ! Kemudian bayangan putih merebahkan kembali tubuh Lie Eng Eng. Air hujan rintik-rintik mulai mereda, kilat dan guntur sudah tak terdengar lagi. Angin berembus sejuk, memasuki ruang kelenteng rusak didalam rimba itu. Sinar sang surya menyorot diufuk timur. Hari berganti pagi. Daun-daun pohon masih basah tersiram air hujan semalam suntuk. Bergoyang goyang tertiup angin pagi. Lantai ruangan kelenteng rusak digenangi air, mengambang disana sini. Diluar kelenteng masih bergeletakan mayatmayat gerombolan si Raja Penyamun Bo Siang. Dipojok lantai demak, masih tampak si Pedang Macan Betina telentang, tidur bernapas teratur. Dadanya membusung turun naik. Dibawah tiang batu kelenteng yang sudah tampak gompal, bersandar seorang pemuda berpakaian putih, berwajah tampan, berumur sekitar delapan belasan tahun. Sinar mata si pemuda memancarkan cahaya terang, mengawasi bentuk tubuh yang masih terlentang tidur dihadapannya. Wajahnya senyum riang, seakan baru mendapatkan sesuatu yang menggirangkan hatinya. Sinar sang surya pagi menerobos masuk keruangan kelenteng, menyinari wajah si jelita Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Bulu-bulu mata Lie Eng Eng ber-gerak-gerak tertojos sinar matahari pagi. Kelopak matanya terbuka lebar. Bola mata jeli berputar menantang datangnya tojosan sinar sang surya pagi itu. Dengan malas-malasan Lie Eng Eng angkat tubuhnya, duduk dilantai demak kelenteng rusak. Diraba gagang pedang Ang-lo-po-kiam disamping. Digenggamnya erat-erat. Rambut Lie Eng Eng awut-awutan, pakaiannya kotor basah terkena air hujan bercampur lumpur. Sinar matanya masih menantang datangnya sinar sang surya pagi itu, kelopak matanya menetes dua titik air mata. Air mata kesedihan, penasaran, keputus asaan kehilangan mustika pusakanya. Mahkota keperawanan. Mendadak tubuh Lie Eng Eng bergerak pedang Ang-lo-po-kiam berkelebat memapas arah kirinya. Bruluk.......terdengar suara tiang batu runtuh tertabas pedang, genteng-genteng pecah berantakan, atap kelenteng ambruk seketika. Dua sosok tubuh melejit keluar meninggalkan kelenteng ambruk. Bau amis mayat merangsang hidung, mayatmayat anak buah si Raja Penyamun masih bergelimpangan membujur malang melintang diantara semak-semak belukar. Dua sosok tubuh berhadap-hadapan saling pandang, seorang pemuda tampan dan seorang gadis jelita. Suasana tegang timbul kembali. Krelap, sinar pedang Ang-lo-po-kiam bergerak, tubuh si Pedang Macan Betina bergulungan, terkurung sinar pedang, menyerang kearah si pemuda. Tiing, trang, tring, tring............... Terdengar suara berdenting-denting, disana bergemerincingan pisau-pisau terbang, tertancap di-batang-batang pohon. Terbentur pedang Ang-lopo-kiam. Dibarengi melesatnya bayangan putih, keluar dari ancaman maut kurungan pedang Lie Eng Eng. "Tahan.......!" Terdengar suara bentakan pemuda itu ! "Hm......" Lie Eng Eng mendengus. "senjata pisau terbangmu boleh juga. Tapi pedangku tidak pernah kenal apa artinya segala macam pisau rongsokan itu." "Nona.........tahan........" Terdengar lagi suara kejut tertahan dibarengi dengan gerakan tubuh mengelakkan serangan ganas si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Bo-tay-tiong kiam si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng yang sudah kehilangan mustika pusakanya, mahkota keperawanan, tidak bisa menahan gejolak emosi dadanya yang menggelora, jengkel, gemas geregetan, sedih, putus asa berputaran mengaduk-aduk isi otaknya. Pedang Ang-lo-po-kiam tetap berayun berkeredepan, suara mendengung menggema disekitar tempat itu. Hawa dingin sinar pedang menusuk tulang. Bayangan si pemuda berbaju putih melesat kesana kemari mengelakkan datangnya serangan pedang Ang-lo-po-kiam. Kreek, kreekek .... krekeek ... gedubrak .... Sebatang pohon rubuh ambruk menimpa bangunan kelenteng, tertabas pedang Ang-lo-pokiam. "Nona .... Tahan seranganmu! Dengar penuturanku! Setelah itu, kau boleh ambil batok kepalaku, jika kau mau....." Terdengar suara si pemuda berbaju putih yang masih melesat kesana kemari mengelakkan serangan dingin pedang Anglo po-kiam. "Huh ... .!" Dengus Lie Eng Eng menghentikan serangan pedangnya. "Apa yang mau kau katakan? jangan main gila lagi !" "Maaf, kalau aku berbuat salah. Tapi seingatku, aku tidak pernah berbuat dosa apa-apa terhadap diri nona !" Kata si pemuda. "Binatang! Dalam keadaan aku tidak ingat diri, kau tentu sudah berbuat yang tidak senonoh......!" Bentak Lie Eng Eng. "Nona .... aku tidak pandai berdebat, tapi dengar dulu keteranganku, baru boleh kau bertindak." "Heemm ...." Lie Eng Eng mendengus. "Sebetulnya.....aku sampai ditempat ini sedang melakukan tugas suhu, mengikuti jejak Kun see mo ong Teng Kie Lang dengan tiga orang muridmuridnya. Sampai di kelenteng ini, kau sudah menggeletak rubuh, wajahmu sudah berubah semu biru." Mata Lie Eng Eng berkilat mendengar penuturan si pemuda, ia ingat pada saat kepalanya dirasakan pening, dadanya dirasakan mau meledak, tubuhnya hampir roboh, tiba tiba berkelebat satu bayangan loreng menghajar Sam-mo Eng-ciauw..... kemudian, ia roboh tak sadarkan diri. "Jadi bayangan loreng itu kemana?" Tanya Lie Eng Eng tertegun. "Entahlah!" Jawab tegas si pemuda. "Itulah si pemuda gondrong misterius berpakaian kulit macan loreng yang pernah menghajar Sam-mo Eng-ciauw kucar kacir." "Aaaaa........" Teriak Lie Eng Eng tertahan. Ternyata, orang yang sudah memberi benih bibit adam dan hawa kedalam ini perut Lie Eng Eng bukanlah pemuda ini! "Begitu aku tiba disini Kun-see-mo-ong dengan tiga muridnya Sam-mo Eng-ciauw sudah lari mengejar si pemuda misteri. Tampak disudut ruangan empat sosok tubuh menggeletak biru mencair........menampak wajahmu dan tubuhmu sudah mulai bersemu biru, segera kujejalkan dua butir pil obat, kuangkat duduk badanmu, kepala kudongakkan lalu kupukul gegermu. Obat masuk dalam perutmu. Kemudian kurebahkan kembali tubuhmu dilantai. Ternyata belum terlambat, warna biru diwajah dan tubuhmu perlahan lahan normal kembali........ kemudian aku tersandar tidur." Setelah berkata sampai disitu, pemuda itu mengawasi wajahnya si nona dengan seksama, ingin melihat perobahan wajah itu. Wajah Lie Eng Eng tidak menunjukkan perobahan. Wajahnya tetap kecut, penuh sinar guram, rasa kecewa dan penyesalan. Hati si nona berkata. "Kau menolong jiwaku! Tapi aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Sebaiknya biarkan aku mencari lenyap dari permukaan bumi, bebas dari sengsara derita pukulan bathin." "Nona,..........." "Heemm," Dengus Lie Eng Eng memotong katakata si pemuda. "Seharusnya memang aku harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu menyelamatkan jiwaku, tapi........ ach....... seharusnya kau biarkan aku meninggalkan dunia fana ini, mencair bersatu padu dengan air hujan mengalir kelautan bebas..........!" Mendengar kata-kata Lie Eng Eng yang dianggapnya tidak ada juntrungannya, si pemuda memandang terheran-heran, tentu saja dia tidak mengerti, lalu katanya ; "Nona, menilik pedangmu, tentunya kau Bo-taytiong-kiam, si Pedang Macan betina Lie Eng Eng! Namamu sangat populer di-kalangan kang-ouw !" "Hmmm......" Dengus Lie Eng Eng dengan wajah sedih dan duka. "Kau, kau siapa ?" Tanyanya acuh tak acuh. "She ku Thio nama Thian Su murid Ceng It Cinjin........ " "Aaaa.....jadi kau murid Ceng-it Cinjin? Cianpwe dari gunung Liong-hauw-san ?" Berkata Lie Eng Eng sambil berjalan duduk dibatang pohon besar yang tumbang akibat papasan pedang Ang-lo-po kiamnya, lalu katanya lagi . "Kudengar, belasan tahun yang lalu, Ceng It cinjin cianpwe membasmi sarang siluman Kun-see mo-ong Teng Kie Lang." "Ya! Waktu itu, suhuku mendengar tentang sepak terjangnya iblis Kunsee-mo-ong mengganas dirimba persilatan. Segera beliau turun gunung membakar sarang iblis itu." "Membunuh beberapa orang muridnya. Tapi si iblis Kun-see-mo-ong mendadak lenyap bersama tiga orang muridnya, si Sam-mo Eng-ciauw yang sudah terluka paras wajahnya akibat samberan beberapa bilah pisau terbang suhu, mereka lenyap dibalik berkobarnya api yang menjilat bangunan gedung markas mereka. Suhu berhasil mensita satu bungkusan pil beracun pelumer sukma. Pil itulah satu pil terganas. Bilamana pil racun itu termakan orang, maka dalam waktu tiga kali kedipan mata, orang itu akan mencair tubuh dan tulang-tulangnya. Waktu itu Kun-see-mo-ong baru hanya mengandalkan pil beracunnya pelumer sukma. Wanita-wanita yang diperkosanya dibunuh dan dicincang. Dagingnya dijadikan isi bakpau. Setelah lenyap belasan tahun, kini iblis itu muncul kembali. Kepandaiannya sudah berlipat ganda, ia berhasil meyakinkan ilmu uap beracun pelumer sukma." "Mengapa Ceng-it-cinjin cianpwe tidak turun gunung sendiri membasmi iblis itu ?" Tanya Lie Eng Eng. Thio Thian Su berkata lagi . "Aku tidak mengerti pendirian suhu, ia hanya perintahkan aku turun gunung, mengikuti jejak iblis-iblis itu. Dilarang bentrokan dengan mereka. Juga sedapat mungkin menolong korban-korban keganasan iblis-iblis itu selagi bisa." "Bocah gondrong misteri itu," Potong Lie Eng Eng. "kau bilang dialah yang pernah membuat Sam-mo Eng-ciauw babak belur ? Apa kau melihat pertempuran itu?" Thio Thian Su menjawab. "Mengikuti sampai pada suatu semak belukar, ketika itu aku baru saja menemukan jejak Sam-mo Eng-ciauw, belum menemukan jejak Kun-se-mo-ong Teng Kie Liong, tiba-tiba dengan gerakan ringan si pemuda gondrong melepaskan ikatan-ikatan monyetmonyet yang tergantung didahan pohon....." "Monyet ?" Tanya Lie Eng Eng memotong. "Untuk apa monyet itu?" "Itulah hobby mereka memakan otak monyet mentah-mentah !" "Aaaaach." "Sebetulnya kalau dikatakan pertempuran juga bukan pertempuran. Si pemuda gondrong hanya melesat sana-sini, toch berhasil membuat Sam-mo Eng Ciauw pontang panting!" Kata lagi Thio Thian Su. "Hebat !" Tanpa disadari Lie Eng Eng memuji. Thio Thian Su berkata lagi ; "Sampai dikelenteng ini, ternyata mereka sudah berkumpul dengan Kim-see-mo ong, keadaan nona sudah jatuh rebah dengan wajah mulai membiru, keempat iblis itu mengejar si pemuda gondrong misteri! Nah selesai sudah penuturanku, kalau nona masih mau memapas kepalaku dengan pedang Ang-lo-po-kiam, silahkan!" Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wajah Lie Eng Eng bersemu merah. Memandang kearah burung-burung pemakan bangkai yang berterbangan berputaran diangkasa. Lalu katanya perlahan. "Apa kau juga membawa Pel racun pelumer sukma?" Thio Thian Su terkejut, ia memperhatikan wajah si nona tidak mengerti, kemudian katanya. "Pel itu diberikan beberapa butir padaku oleh suhu untuk bekal dalam perjalanan." "Hei, bisa kau berikan aku sebutir, aku ingin lihat, bagaimana bentuk pel racun pelumer sukma itu?" Pedang Wucisan Karya Chin Yung Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung Badik Buntung Karya Gkh