Pusaka Pedang Embun 4
Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 4
Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong Kata Lie Eng Eng. Tanpa mengucap sepatah kata, Thio Thian Su mengambil sebotol kecil dari dalam saku bajunya, dibuka tutupnya, lalu mengambil sebutir diserahkan kepada Lie Eng Eng. Dari botol obat yang terbuka tutupnya berembus bau wangi harum semerbak menyegarkan tubuh. Lie Eng Eng menyambuti sebutir pel pelumer sukma, ia letakkan diatas telapak tangannya, diendus-endusnya dengan hidung yang mancung. Pel itu berwarna merah jambu harum semerbak. Mata Lie Eng Eng menatap tajam wajah Thio Thian Su dengan tatapan curiga, lalu katanya ; "Obat pelumer sukma ini apakah.?" "Betul," Potong Thio Thian Su. "itulah pel beracun pelumer sukma yang sangat ganas. Lain dari pada pel beracun lainnya. Pel itu berbau harum, itulah seni racun Kun-sie-mo ong. Pel berbentuk indah berbau harum. Dengan bau harum itulah Kun-see mo-ong menipu mangsamangsanya. Jika pel itu dicampur kedalam air atau arak, air dan arak itu akan berbau harum menyegarkan, tapi setelah masuk kedalam perut, selama dua kali tarikan napas, orang itu akan jatuh, dengan tubuh dan tulang-tulang mencair!" "Haaaai ... ." Kejut Lie Eng Eng heran. Ia timang-timang pel wangi itu diatas telapakannya. Kemudian cluuuut, pel itu masuk kedalam mulut mungil si nona jelita. Thio Thian Su terkejut. "Nona........." Tapi kemudian ia duduk tenang kembali di atas batang pohon tumbang. Dengan senyum ia berkata pada Lie Eng Eng. "Apa nona tidak percaya itu pel beracun pelumer sukma?" "Justru aku percaya !" Kata Lie Eng Eng. "Aku ingin lekas mati, daging dan tulang tulangku biar melumer mencair ditelan bumi." "Aaaah......." Thio Thian Su menghela panjang. Pikirnya . "Bu-tay-tong-kian ingin Ah dunia semakin lama semakin ganjil. sejelita ini sungguh keterlaluan. Hatikupun napas mati? Nona masih menerima Achh......" Hatinya mengapa ia ingin mati? Lie Eng Eng membentak . "Hei ! Mengapa pel ini belum memperlihatkan reaksinya? Apa kau sedang mempermainkan aku !" Thio Thian Su cepat menjawab . "Aku tidak main-main, itulah pel beracun pelumer sukma !" "Mengapa tidak segera melumeri daging dan tulang-tulangku !" Berkata lagi Lie Eng Eng dengan kasar. "Toch kau bilang hanya dalam dua kali tarikan napas, tubuh orang yang memakan pel itu akan melumer, kini entah sudah berapa puluh kali tarikan napas. Tapi belum juga ada tanda bekerjanya pel beracun ini !" Thio Thian Su angguk-anggukkan kepala lemah kemudian katanya . "Aku hanya melaksanakan tugas suhu mengikuti jejak Kun-see-mo-ong untuk menolong korban-korban yang masih bisa ditolong dengan membekali beberapa butir pel itu .... ketika tubuh nona rubuh, beruntung aku tiba pada saat yang tepat, terlambat sedikit berarti ." "Tubuhku geregetan. mencair," Potong Lie Eng Eng "Ya, begitu nona jatuh aku segera menjejalkan pel beracun pelumer sukma ini kedalam mulutmu. Terjadi beberapa kali perobahan diwajah nona, karena hari sudah gelap aku tidak memperhatikan lebih lanjut. Kubiarkan nona terbaring, sedang aku sendiri tertidur bersandar ditiang batu kelenteng." "Hm .... mengapa begitu ?" Tanya Lie Eng Eng heran. Thio Thian Su berkata lagi . "Itulah pesan guruku, setiap orang yang baru jatuh ditangan Kun-see-mo-ong terkena hawa harum beracunnya, jiwa orang itu tak akan bisa tertolong lagi. Hanya satu-satunya harapan, adalah dengan memberi makan orang itu pel beracun pelumer sukma buatannya sendiri." "Aaah ....." Lie Eng Eng terkejut. "bagaimana bisa terjadi begitu?" "Suhuku...." Berkata lagi Thio Thian Su. "Ketika baru saja mensita pel racun ini, sebenarnya ia berniat untuk melenyapkan racun jahat ini dari muka bumi, tapi hendak dibuang kemana ? Salahsalah akan membunuh orang yang tidak berdosa, berpikir bolak balik, ia simpan pel beracun pelumer sukma. Ketika setahun yang lalu, suhuku mengendus munculnya kembali Kun see-mo-ong yang sudah berhasil meyakini ilmu siluman uap harum beracun pelumer sukma. Karena suhuku masih belum selesai meyakinkan ilmu ciptaannya yang terbaru, maka ia perintahkan aku turun gunung. Dengan dibekali pel beracun pelumer sukma juga harus segera menolong orang yang menjadi korban uap beracun harum Kun-see-moong selagi bisa ditolong." Mendengar keterangan Thio Thian Su, mulut Lie Eng Eng ternganga, nampak wajah si nona jelita tambah manis dalam pandangan mata Thio Thian Su, hingga seketika ia menghentikan ceritanya memandang mulut mungil yang menganga itu. "Hei......" Tiba-tiba Lie Eng Eng menegurnya . "Setelah orang yang terkena uap beracun pelumer sukma, kau berikan lagi pil beracun pelumer sukma, apakah tidak akan mempercepat kematian orang itu?" "Hmm........." Thio Thian Su menghela napas katanya lagi . "Tuhan memang adil ! Tanpa disadari oleh Kun-see-mo-ong, kalau ilmu siluman yang dianggap sudah tidak ada tandingannya ternyata pil beracunnya sendiri lawan yang terampuh." Bicara sampai disitu Thio Thian Su menatap wajah si nona, kemudian katanya lagi . "Racun dilawan dengan racun !" "Haa.........." Lie Eng Eng tambah tidak mengerti lalu katanya. "Maksudmu?" "Tubuh orang yang terkena serangan uap harum pelumer sukma, dalam tubuhnya sudah mengendap racun-racun jahat berbisa. Dengan pel pelumer sukma dimasukkan kedalam tubuh orang itu, disana terjadi satu proses asimilasi, kedua racun bersatu padu, akhirnya terbentuk satu sintesa dari kedua racun yang langsung menjalar ke seluruh pembuluh-pembuluh darah sikorban. Sintesa kedua zat-zat racun itu merupakan anti racun ... ." "Jadi dalam tubuhku mengandung sintesa zatzat racun itu ?" Tanya Lie Eng Eng heran. "Betul !" Kata Thio Thian Su. "Sejak itu, tubuh nona doyan racun, racun apapun yang terganas didunia ini, nona boleh makan sesuka hati termasuk itu pel pelumer sukma." "Hmmm," Bungkam. Lie Eng Eng hanya hemm. Ia "Hei, kukira cukup keteranganku, aku harus menjalankan tugas, mengintil iblis-iblis itu, janganjangan si pemuda gondrong itu juga sudah jadi korban." Kata Thio Thian Su, sambil bangkit melesat kearah dimana Kun-see-mo-ong mengejar si pemuda gondrong. Lie Eng Eng yang masih duduk termenungmenung ketika mendengar kata-kata Thio Thian Su menyebut nama Si pemuda gondrong, hatinya tibatiba berdebaran keras. Matanya berkilatan, wajahnya beringas, kemudian kilatan sinar mata itu lenyap, sayu, menetes dua titik air mata. Lie Eng Eng sadar. Otaknya bekerja keras. Jelas tubuh manusia yang menerjang dirinya sampai bergulingan, akhirnya melalap kesuciannya, orang itu berambut gondrong. Pasti ! Pasti dia ! Sejenak sinar matanya kemudian sayu melemah. jelalatan terang, Selagi otaknya masih dipenuhi perasaan penasaran, panas dan putus asa, tiba-tiba terdengar suara ketoprakan kaki kuda dijalan becek, terdengar seseorang berkata. "Pan Kui, mengapa kita tidak berpapasan dengan rombongan piauw Lie siaocia, apakah mereka dapat halangan dijalan ?" Lie siaocia berarti nona Lie - Lie Eng Eng yang dimaksudkan! "Ah, kukira karena cuaca seperti ini, Lie siaocia terlambat ! Can Kui bagaimana pendapatmu?" Berkata orang yang dipanggil Pan Kui. "Kuharap begitu, lebih baik terlambat dari pada cepat tiba . .....ah." Berkata lagi orang yang dipanggil Can Kui. Mendengar suara percakapan itu, Lie Eng Eng melesat, menghampiri mereka di luar rimba. "Aaaaa ....." Terdengar suara kejut Can Kui dan Pan Kui. "Nona ..." Kedua orang itu segera turun dari kuda masing masing, serta merta memberi hormat. Terdengar Can Kui berkata . "Nona ...." "Kau bawa barang-barang ini," Potong Lie Eng Eng. "Setibanja di Pakkhia, kau serahkan pada tuan Lie Min Cu!" "Nona, sebaiknya barang-barang ini kami bawa kembali ke si pengirimnya. Pembesar anjing kota Pakkhia mensita semua barang-barang antaran. Dikatakan barang-barang itu adalah ransum perlengkapan pemberontak !" Kata Pan Kui memberi penjelasan. "Mmmm .... kau bawa balik kembali ke Sin-ciuhu !" Perintah Lie Eng Eng. "Baik nona, tapi kemana rombongan piauwsu yang mengiring nona ?" "Mereka sudah mencair !" Jawab Lie Eng Eng. Pan Kui dan Can Kui mendengar keterangan itu saling pandang tidak mengerti. Lie Eng Eng mendelikkan mata ! "Baik! Baik!" Dengan berbareng Can Kui dan Pan Kui menyahut, menjalankan perintah tanpa banyak tanya. Pan Kui dan Can Kui kembali kekota Sin ciu-hu dengan membawa segerobak barang-barang antaran. Lie Eng Eng duduk dipilar rusak kelenteng yang sudah roboh. Otaknya kembali berkecamuk. Ia harus mendapatkan si gondrong untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya diatas tajamnya pedang Ang lo-po-kiam. Itulah keputusan tegas dari si nona jelita Pedang Macan Betina. Tubuhnya melejit kedalam rimba lebat mengikuti arah larinya Sam-mo Eng Ciauw, Kun-see mo ong dan Thio Thian Su. Apakah betul yang melalap perawan si-jelita Pedang Macan Betina Lie Eng Eng adalah si pemuda gondrong? Betul ! Itulah perbuatan si pemuda gondrong berpakaian kulit macan loreng. 0 o odwo o O Setelah keluar dari kota Siao-shia, si pemuda gondrong mengembara dihutan belantara dengan dikawani si monyet hitam. Akhirnya ia tiba dikelenteng rusak. Kelenteng itu sunyi, tidak pernah lagi dikunjungi orang. Maka si pemuda gondrong menjadikan tempat itu sebagai tempat meneduh dari hujan dan angin. Memakan buah-buahan yang dibawa oleh monyet hitam. Selama hampir setengah tahun si gondrong menetap dikelenteng rusak itu. pemuda Hidup dalam alam bebas. Bebas dari segala tekanan-tekanan, bebas dari segala pengeroyokan, bebas dari segala macam keruwetan dunia. Bebas dari segala keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Sore itu keadaan hujan lebat, sebagaimana biasa ia meneduh dikelenteng rusak. Ketika hujan sedang turun lebat, suara langkahlangkah kaki kuda, kretekan suara roda kereta diluar mendatangi kelenteng, ia sedang tidur dibawah kaki patung, dalam ruangan Thian-ongthian. Itulah rombongan Lie Eng Eng! Mendengar suara berisik, si pemuda gondrong terkejut, ia mendusin. Tapi ia tidak mengambil pusing. Ketika Lie Eng Eng memasuki ruangan Thianong-thian, ia sedang mendekam dibawah kaki patung, diam tidak bergerak, hanya sepasang matanya jelalatan, memperhatikan gerak gerik si nona jelita! Melesatnya Lie Eng Eng keluar ruangan Thian ong-thian, terjadinya pertempuran dengan si Raja Penyamun Bo Siang, ia tidak ambil perhatian. Tetap mendekam disana. Mata si pemuda gondrong yang sudah biasa dengan keadaan gelap, dapat melihat dengan jelas bentuk lekuk-lekuk tubuh serta paras cantik si nona jelita berjalan masuk kembali kedalam ruangan Thian-ong-thian, salah sendiri! Mengapa Lie Eng Eng membuka pakaian telanjang bulat. Mata yang kebiru biruan, menampak pandangan matanya yang tertumbuk tubuh si jelita yang masih padat dan montok, dari atas kepala sampai betis kaki, hidung kecil bangir, mulut mungil merangsang, betis mulus memutih, buah dada yang membusung mengkal, menimbulkan satu rangsangan! Rangsangan naluri untuk bisa keindahan bentuk tubuh si jelita. menikmati Rangsangan naluri yang meresap cepat diotak si pemuda gondrong tersalur keseluruh sendi-sendi urat-urat tubuhnya. Membuat ia tak dapat lagi mengendalikan rasa emosi rangsangan naluri yang timbul mendadak tanpa diketahui dari mana datangnya rangsangan rangsangan itu. Dengan gerak reflek ia melesat menyambar tubuh si jelita. Sangka Lie Eng Fng, ada orang yang mau merebut pedang pusakanya ! Timbul perlawanan ! Pergumulan terjadi ! Pakaian loreng si pemuda gondrong terpisah dari tubuhnya. Pergumulan bumi..... terjadi, hujan deras menyiram "Ach.....binatang jangan berbuat begitu .... hai .... hai ... uuh ...uh .... ayaaa .... Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo aduh ...........uh......" Akhirnya terdengar suara rintihan-rintihan si Pedang Macan Betina diiringi suara riap-riapan air hujan menimpa genting. Si Pemuda gondrong berhasil menikmati tubuh si nona jelita, memenuhi rangsangan nalurinya. Melampiaskan tai macannya di tubuh si jelita, sesudah itu ia melejit keluar. Secepat itu pula Lie Eng Eng meletik mengejar si pencuri pusakanya. Tapi bayangan si pemuda lenyap ditelan kegelapan. Kemana lenyapnya si pemuda gondrong ? Si pemuda gondrong lenyap mendekam diatas genteng gelenteng. Mandi hujan-hujanan. Napasnya masih memburu ngos-ngosan. Ketika Lie Eng Eng keluar menghadapi Kun-seemo ong dan ketiga murid-muridnya, segera si pemuda gondrong melompat masuk kedalam ruangan Thian-ong-thian meraup pakaian kulit macannya. Lalu melejit lagi keatas genteng. Dari celah-celah genteng pecah ia menyaksikan jalannya pertempuran. Berakhir dengan turun tangannya si pemuda menghajar Sam-mo Eng-ciauw, lalu muntah-muntah muncrat kemuka Kun-see-mo ong, akibat mencium bau harum uap pelumer sukma, ia kabur dikejar-kejar Kun-see mo-ong cs. Kejar mengejar berlangsung. Hujan turun deras, kilat berkeredap-berkeredap guntur mengguruh. Pohon-pohon bertumbangan dihajar Kun see mo-ong. Malam semakin larut, si pemuda gondrong terus lari tanpa arah tujuan. Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang dkk. mengejar terus kearah suara desiran angin dan bergoyangnya dahan-dahan pohon yang dilewati pemuda gondrong. Batang-batang pohon tumbang disana-sini. Setiap langkah Kun-se-mo-ong pasti menimbulkan satu atau dua batang pohon yang dihajar roboh, ilmu pukulan telapak tangan beracunnya memang sangat hebat dan kuat ! Si pemuda lari terus, terus menghindari kejarankejaran Kun-see-mo-ong, menghindari bau harum yang bisa membikin perutnya enek mual. Hingga membuat ia muntah-muntah. odkzo HUJAN MULAI REDA, reda kemudian lenyap sama sekali seakan dihentikan dari langit, udara mulai terang, burung-burung berkicauan kembali. Hari berganti pagi. Rimba yang dilewati Kun-see-mo-ong terdapat banyak batang pohon tumbang malang melintang hangus seakan baru terbakar. Keempat iblis celingukan kesana kemari.....braak .... sebatang pohon lagi dihajar telapak tangan Kun-see-mo-ong. Hangus terbakar. Bau harum semerbak menjalar disekitar tempat itu. Burung burung berjatuhan mencair. "Heeeeh .... hih, hih, hih ... ." Terdengar tawa Kun-see-mo-ong, lalu katanya . "Siang-mo, Long135 mo, Hok-mo, kalian naik keatas pohon, perhatikan disekitar tempat ini, bocah itu tidak bisa lari jauh, hih, hih, hih......" Mendapat perintah gurunya ketiga Sam-mo Engciauw berlompatan memanjat pohon. Celingukan diatas pohon kemudian berlompat turun. Siang-mo berkata . "Suhu .... tak tampak gerakan yang mencurigakan." "Ya. Aneh ! Jelas bocah itu lari kemari." Berkata Long-mo. "Eeeh .... hih, hih, hih, hih .... anak sialan ... .!" Berkata Kun-see-mo-ong masih sambil perdengarkan suara ketawanya. "Ketika terkena serangan uap harum pelumer sukma dikelenteng, mengapa bocah itu tidak rubuh ?" Tanya Hok-mo. "Heng ... ." Siang mo dan Long-mo berdengus berbareng. "Hih, hih, hih, hih....." Kun-see-mo ong tertawa hih, hih, hih. Dalam hatinya juga merasa heran. Ilmu uap harum beracun pelumer sukma yang diyakinkannya hampir memakan waktu tigabelas tahun. Baru ilmu itu rampung, ternyata ilmu yang dibanggakannya itu tidak berguna terhadap seorang bocah. Malah mukanya sendiri tersiram semburan muntahan si bocah. Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang terheran-heran, ia tidak habis mengerti, bagaimana si bocah bisa tidak mempan uap beracun harumnya. Tapi rasa herannya, tidak ditunjukkan dimuka ketiga orang muridnya. Kembali kita mengikuti pengalaman Lie Eng Eng. Sesudah Lie Eng Eng menggebah rombongan piauwsu yang kedua, mengantar kembali barang antaran ke Sin-ciu-hu, tubuhnya melesat mengejar kearah larinya si pemuda gondrong. Jalan-jalan yang dilaluinya malang melintang batang-batang pohon yang tumbang, sayup-sayup dari jauh masih terdengar suara bergedebukan batang-batang pohon rubuh. Lie Eng Eng terus mengejar kearah datangnya suara gedabrukan. Saat itu Kun-see-mo-ong cs, dengan sinar mata jelilatan sedang memperhatikan sekeliling rimba itu. Ia tidak menemukan mayat atau jejak-jejak si bocah gondrong. Tiba-tiba melesat satu bayangan putih meluncur datang, dibarengi dengan berkeredepannya sinar putih menyambar leher Kun see-mo ong Teng Kie Lang. "Hayaaaaa........hih, hih, hih, hih" Kejut Kusee-mo ong Teng Kie Lang, tangannya digerakkan menyambuti datangnya serangan mendadak itu. Bruuuuk....... Terdengar suara serangan nyasar. pohon tumbang terkena "Iiiihh.....hih, hih, hih, hih," Kun see-mo-ong tertawa. Dihadapannya berdiri seorang nona jelita. Ia sudah tidak mengenali bahwa nona jelita itu adalah Lie Eng Eng yang pernah roboh dikelenteng, akibat serangan uap harum pelumer sukmanya. Kun-see-mo-ong yakin benar, setiap korbannya pasti segera mencair, tidak akan hidup dialam dunia. Karena keyakinan serta kepanatikan terhadap ilmunya sendiri yang sudah tidak ada tandingannya, membuat otaknya agak butek. Begitupun ketiga murid-muridnya, iblis-iblis Siang mo, Long-mo, dan Hok mo, begitu matanya tertojos wanita cantik, sudah melupakan apa yang terjadi barusan, lelahnya selama berlarian semalam suntuk dan rasa ngantuknya mendadak hilang. Berganti dengan birahi yang mendenyut denyut. "Suhu ...!" Berkata Siang-mo mendahului. "Serahkan perempuan ini, aku yang bereskan !" "Hih, hili, hih, hih ..... Siang-mo, Hok-mo, Longmo, kalian tangkap gadis ini, ingat jangan sampai terluka.....hih, hih, hih, ....nanti setelah aku, kalian boleh bergiliran hih, hih, hih ..." Perintah Kunsee-mo-ong. Ia mengundurkan diri berdiri agak jauh. Sam-mo Eng-ciauw sudah mengurung Lie Eng Eng ditengah. Ketika Sam-mo Eng-ciauw mulai menggerakgerakkan tangan, menyerang si nona. Serangan Sam-mo Eng-ciauw sangat kurang ajar. Siang-mo menyerang bagian bawah perut si nona, Hok-mo menyerang dada si nona yang membusung, sedang Long-mo menubruk pinggul si nona yang bahenol. Mereka ingin mempermainkan Lie Eng Eng. Gerakan-gerakan serangan Sam-mo Eng-ciauw belum lagi mengenai sasaran, niatan mereka mempermainkan si jelita belum lagi terlampiaskan, tiba-tiba pedang Ang-lo-po-kiam berkelebat, sinar putih mengurung melindungi tubuh si nona jelita, membentur serangan ketiga iblis-iblis itu. Cress, cresss, cresss, .....gedebuk, beg..... duk, drukk, druluk Tiga kepala menggelinding ditanah, tiga badan tanpa kepala kelojotan. Mengucurkan darah dari leher masing-masing. Tiga Sam-mo Eng-ciauw yang terkenal ganas malang melintang di dunia, pulang keakherat diantar oleh pedang Ang-Io-po-kiam Botay-tiong-kiam si pedang Macan Betina. "Hih, hih, hih ... ." Terdengar Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang ketawa. Tubuhnya tiba-tiba sudah berada dihadapan Lie Eng Eng. "Heem .... hih, hih, hih, hih ..." Terdengar Kunsee-mo-ong Teng Kie Lang masih tertawa-tawa menyaksikan ketiga murid-muridnya menggeletak dengan kepala berpisah dari tubuhnya. "Iblis....." Bentak Lie Eng Eng. "Keluarkan semua ilmu silumanmu, aku ingin lihat apa yang bisa kau buat ..." "Hih, hih, hih, hih .... sabar nona manis! Pedangmu hebat, tapi umurmu pendek, hih, hih, hih....." Tanpa banyak bicara Lie Eng Eng sudah menggerakkan pedang Ang lo-po-kiam menyerang kearah Kun-see-mo-ong. Hawa dingin merangsang tubuh. "Hi, hi, hi." Tubuh Kun-see-mo-ong bergerak, memapaki datangnya benturan-benturan sinar pedang yang menimbulkan hawa dingin. Terjadi pertempuran. Sinar putih berkeredapan, bercampur aduk dengan uap-uap putih, mengurung tempat itu. Bayangan kedua orang yang bertempur sudah tak tampak. Hanya tampak bergulungan uap-uap putih mengepul diiringi sinar kelebatan diantara mengepulnya uap-uap putih itu. Bau harum semerbak bertebaran disekitar rimba itu. Suara angin menderu-deru berbau harum, daun-daun pohon berguguran. Batang-batang pohon bergoyang-goyang, seakan terjadi gempa bumi. Mayat-mayat Sam-mo Eng-ciauw mencair tanpa bekas. Burung-burung yang sedang berterbangan diudara berjatuhan bulu-bulunya terhambur terbang kesana kemari tubuh burung-burung itu turut mencair. Pertempuran maut berlangsung beberapa jurus, akhirnya terdengar suara . Dukk......triiiingg.... Suara gaduh, beradunya Pertempuran terhenti! kedua kekuatan. Lie Eng Eng sempoyongan, mundur lima tindak. Tubuhnya limbung, Kun-see-mo ong berdiri ditempatnya, tubuhnya bergoyang-goyang kekirikanan. Sinar matanya jelilatan. Wajah yang putih tanpa kumis dan jenggot, memucat lebih putih seperti mayat. Apa yang terjadi? Kun-see-mo-ong yang menyaksikan Lie Eng Eng tidak roboh terkena serangan uap racun harum pelumer sukmanya, menjadi heran bukan kepalang. Dalam herannya, ia menjadi lengah, hampir pedang Lie Eng Eng membabat batang leher Kun-see-mo-ong. Tapi Kun see-mo-ong bukan Kun-see-mo-ong, kalau tidak dapat menyingkirkan datangnya serangan pedang. Dalam keadaan masih terheran-heran bercampur kejut, ia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya keatas telapak tangan, dengan menggunakan ilmu pukulan cengkeram maut Kun-see-mo-ong menyambuti datangnya serangan pedang Ang-lo-po-kiam. Pedang Lie Eng Eng dicengkeram oleh cengkeraman maut Kun-see-mo-ong. Mandek disana. Lie Eng Eng terkejut bukan kepalang, pedang Ang lo-po-kiam tercengkeram ditangan Kun-seemo-ong, tanpa bisa melukai tangan si iblis. Tidak kalah kejutnya Kun-see-mo-ong, begitu pedang tercengkeram, ia keremus badan pedang. Tapi pedang itu tidak hancur. Selagi masih kebingungan, tiba-tiba mengalir satu hawa dingin menyerang telapakan tangan Kun-see-mo-ong, menyelusuri urat-urat lengan menyerang jantung. Hawa dingin itu terasa begitu tajam menusuk jantung. Terjadi pergumulan beku. Lie Eng Eng terus menyalurkan tenaga dalamnya ketubuh pedang, hingga hawa dingin menusuk tulang menyerang Kun-see-mo-ong. Kuu-see-mo-ong mengetahui datangnya serangan arus dingin, segera mengatur peredaran darahnya, ia mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya. Berhasil memukul mundur sebagian serangan dingin pedang Ang-lo-po-kiam. Tenaga serangan pedang Ang-lo-po-kiam yang terpukul mundur mental balik menyerang tubuh Lie Eng Eng, membuat si nona sempoyongan mundur lima tindak, sedang Kun-see-mo-ong masih terkejut, setelah berhasil memukul balik sebagian kekuatan hawa dingin pedang Ang-lo-pokiam segera melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya tergetar hebat. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hih, hih, hih, ....." Kun-see-mo-ong menenangkan gejolak hatinya, tertawa mengkikik, sedang jantungnya masih terasa mendenyutdenyut seakan tertusuk jarum-jarum dingin. Menyaksikan Lie Eng Eng masih belum rubuh, Kun-see-mo-ong segera mengangkat tangannya diatas kepala, sedang tangan kirinya diletakkan didepan dada, dengan posisi gerak mencengkeram. Menyerang Lie Eng Eng yang masih sempoyongan. Lie Eng Eng yang masih termundur-mundur sempoyongan, pedang Ang-lo-po-kiamnya hampir terlepas dari tangannya. Menampak Kun-see-moong sudah menyerang kembali, ia lompat melejit. Tapi baru kakinya terangkat tubuhnya sudah jatuh ngusruk. Menunggu kematian. "Hih, hih, hih, hih,....." Kun-see mo ong yang menampak tubuh Lie Eng Eng yang montok sudah rubuh duluan sebelum terkena serangannya, ia segera membatalkan serangan itu. Menghampiri Lie Eng Eng yang masih tengkurap ditanah. "Hih, hih ....dadaku masih terasa sakit akibat serangan dingin pedangmu, tapi tubuhmu bisa segera memberi kekuatan tenaga baru pada diriku, menyembuhkan luka-luka dalam.......... hih, hih, hih, hih......" Kun-see-mo-ong tidak membunuh Lie Eng Eng, ia akan menggunakan kesucian gadis itu menyembuhkan luka-luka dalamnya. Dengan menyedot sari kegadisannya. Itulah ilmu dracula Kun-see-mo-ong. Dikiranya Lie Eng Eng masih gadis. 0)0od^wo0(0 Jilid ke 04 MASIH sambil tertawa hi hi hih, Kun-see-mo-ong merangkul pinggang Lie Eng Eng. Tiba-tiba ........Clup .......... Kun-see-mo ong tergetar, seluruh tubuhnya gemetaran dijidatnya menetes keringat bertetelan jatuh ketanah. Matanya jelilatan kesana kemari, baru memperhatikan suara jatuhnya satu benda. Tanpa banyak bicara, tiba-tiba tubuh Kun-see-mo- ong melesat bagaikan asap lari dari tempat itu. Tidak terdengar suara khas tertawanya. Suasana menjadi sunyi tubuh Lie Eng Eng masih terbujur tengkurap. Apa yang menyebabkan kaburnya Kun see moong, sampai-sampai ia tidak sempat mengeluarkan suara tawa khasnya? Ternyata ditanah disamping kepala Lie Eng Eng tertancap satu panji kecil segi tiga, gagang panji berwarna kuning berkilauan terbuat dari mas murni. Warna panji putih dengan garis-garis menguning mas di setiap pinggiran segitiga. Ditengah-tengah terdapat lukisan naga terbang. Panji itulah yang membuat Kun-see-mo ong Teng Kie Lang lari terbirit-birit. Lama setelah Kun-see-mo ong ngiprit dari tempat itu, melesat datang satu bayangan putih. Mencabut panji yang tertancap ditanah. Bayangan putih itu segera mengangkat tubuh Lie Eng Eng yang masih tengkurap didudukkan ditanah, kemudian menotok beberapa jalan darah ditubuh si nona dengan menggunakan gagang panji yang terbuat dari mas murni. Tidak lama Lie Ing Eng sadar, matanya terbuka. "Haaa ... ." Lie Eng Eng terkejut. "Kau juga datang?" "Aku datang lebih dulu dari nona, semua kejadian sudah kusaksikan dengan jelas." Kata orang yang baru datang. "Apakah saudara Thio Thian Su tahu kemana Kun-see-mo-ong ? Mengapa ia tidak membunuh diriku?" Tanya Lie Eng Eng. Thio Thian Su menunjukkan panji keciI segitiga bergagang mas murni. Lalu katanya. "Benda inilah yang membuat Kun-see-mo-ong melarikan diri." Mata Lie Eng Eng terbelalak, lalu tanyanya heran. "Apa artinya?" "Inilah panji Naga, milik suhuku! Kun see-mo ong kenal betul panji ini, begitu ia melihat panji ini segera lari terbirit-birit !" Kata Thio Thian Su. "Aaah .....jadi iblis itu sangat takut pada gurumu Ceng It cinjin cianpwe." "Heem ... tigabelas tahun yang lalu sebelum sarang Kun-see-mo-ong digunung Mong san diobrak abrik, suhu menancapkan panji ini dipintu gerbang sarang Kun-see-mo-ong sebagai tanda kehadiran suhu disana !" "Waah ... jadi setiap Ceng It Cinjin muncul, didahului dengan munculnya panji itu?" Kata Lie Eng Eng yang mulai mengerti duduknya perkara. "Betul ! Ketika keadaan nona sangat kritis, kulemparkan panji ini. Ternyata Kun-see-mo-ong yang sudah terluka dalam tubuhnya begitu melihat panji ini segera kabur. Kalau ia belum terluka ....aku sendiri.....ach, tak ada gunanya panji ini diperlihatkan dihadapannya. Sebelum lari, ia akan menjajal kepandaian pemilik panji ini .... juga menuntut balas atas tindakan suhu pada tigabelas tahun yang lalu." "Hai, apa kau tahu, dimana si gondrong itu?" Tanya Lie Eng Eng. Thio Thian Su menggoyang kepala, lalu katanya . "Setibanya ditempat ini, bayangan si pemuda lenyap entah kemana. Ternyata Kun-see-mo-ong juga sudah kehilangan jejaknya. Eeei, apa nona tidak terluka ?" "Hai .....ilmu kepandaian iblis itu sungguh lihay, tapak tangannya tidak mempan tajamnya pedang pusaka Ang-lo-po-kiam, ia juga berhasil memukul balik serangan hawa dingin pedang, hingga mental balik menyerang tubuhku, hampir-hampir mencelakakan diriku sendiri, tubuhku tergetar dingin sekali." Thio Thian Su terbelalak, lalu katanya . "Dalam keadaan terluka, lebih baik nona jangan banyak bicara, sembuhkan dulu luka-luka nona, ini aku membawa obat luka dalam," Berkata begitu ia memasukkan tangannya kedalam saku baju. Cepat Lie Eng Eng menggoyang-goyangkan tangannya, katanya . "Tidak usah, luka dalam ini tidak bisa diobati oleh obat apapun......." "Huaaah........" Thio Thian Su terkejut tidak terkira. "Jadi......jadi........" "Ah, kenapa kau yang kebingungan tidak keruan," Potong Lie Eng Eng. "Luka ini akibat dari berbaliknya serangan dingin pedang Ang-lo-pokiam, dengan cara bersemedi menurut ilmu pedang Ang-lo po-kiam luka itu baru bisa disembuhkan." Thio Thian Su mendengar keterangan si nona jelita hatinya lega. Lie Eng Eng sudah berkata lagi . "Jika saudara Thio bersedia membantu sedikit membuang tenaga, dapatkah kiranya saudara Thio menjaga sekeliling tempat ini, selagi aku bersemedi?" "Tentu, tentu .... " Jawab Thio Thian Su. "jangankan hanya menjaga ...." Ia tidak bisa meneruskan katanya yang seharusnya diucapkan. "menemani selamanya juga aku bersedia." Melirik dengan kerlingan matanya yang manis tapi sayu si jelita mengawasi wajah Thio Thian Su, tiba-tiba bersemu merah dalam mengucapkan kata-katanya yang terputus ditengah jalan. Lalu Lie Eng Eng mencari tempat yang aman untuk ia melakukan semedinya. Lie Eng Eng duduk bersila tepat menghadapi kearah sinar matahari pagi. Pedang Ang-lo-pokiamnya dengan ujung pedang menuju keatas, tepat menempel dijidatnya, hidung dan mulut tertempel batang pedang, sedang gagang pedang dipegang diatas pangkuan dengan tangan kanan, tangan kirinya menempel diujung pedang didepan jidatnya. Tak lama kemudian, tubuh si nona mengeluarkan butiran-butiran air seperti embun membasahi tubuhnya bertetelan jatuh, lalu lenyap ditelan panasnya sinar matahari pagi. Thio Thian Su memperhatikan cara bersemedi dengan menggunakan pedang seperti itu matanya terbelalak, belum pernah ia melihat ada cara-cara bersemedi seaneh yang dilakukan si nona jelita. Berselang beberapa saat, embun-embun yang keluar dari pori-pori tubuh Lie Eng Eng lenyap berganti dengan hawa dingin yang keluar dari pedang Ang-lo-po-kiam. Tiba-tiba Lie Eng Eng melejit lompat berdiri dengan wajah merah berseri. Thio Thian Su dengan perasaan masih terheranterheran bertanya . "Nona, cara bersemedi seperti itu selama hidupku baru pertama kali ini kusaksikan, sungguh ganjil sekali." Lie Eng Eng tersenyum manis, hampir saja jantung Thio Thian Su copot dari tempatnya, memandang senyum si jelita yang baru pertama kali ini ia saksikan, membuat dengkulnya mendadak lemas. "Itulah cara bersemedi menarik kembali serangan hawa dingin dari akibat berbaliknya hawa dingin pedang Ang-lo-po-kiam!" Kata Lie Eng Eng memberi penjelasan. "Setiap orang yang memegang pedang Ang-lo-po-kiam harus tahu cara-cara itu. Kalau tidak pasti senjata makan tuan." "Jadi pedang Ang-lo-po-kiam tidak bisa dipergunakan sembarang orang yang tidak mengerti cara-cara memunahkan akibat pukulan balik hawa dingin itu?" Bertanya lagi Thio Thian Su. "Ya," Kata Lie Eng Eng. "itulah suatu cara pengamanan pedang Ang-lo-po-kiam dicuri orang." "Ah, sungguh pedang ajaib!" Bergumam Thio Thian Su. "Kukira Kun-see-mo-ong sulit untuk membuyarkan tubuhnya." Hawa dingin yang menyerang "Ya.........meskipun iblis Kun-see-mo-ong memiliki ilmu cakar ayam setannya yang tak mempan senjata pedang pusaka ini, tapi hawa dingin pedang Ang-lo-po-kiam sudah menyerang ulu hatinya. Meskipun dengan kekuatan tenaga dalamnya ia berhasil membalikkan serangan hawa dingin, tapi sebagian masih bersarang dalam tubuh iblis itu...." "Pantas," Kata Thio Thian Su. "begitu ia melihat panji naga, cepat-cepat lari terbirit-terbirit. Kalau begitu, dugaanku tidak meleset, betul-betul si iblis sudah terluka !" Lie Eng Eng hanya anggukkan kepala. "Nona .." Thio Thian Su sudah berkata lagi. "Kukira sampai disini dulu pertemuan kita, aku harus mengintil kembali Kun-see-mo-ong," Mulutnya berkata begitu hatinya terasa berat meninggalkan si jelita. Tapi tugas suhunya harus dilaksanakan. Thio Thian Su melesat mengintil kearah larinya Kun-see-mo-ong dengan membawa kenangan senyum manis si jelita Pedang Macan Betina. 0)0od^wo0(0 Mari kita ikuti kembali perjalanan si pemuda gondrong. Setelah si pemuda muntah-muntah kena uap beracun harum pelumer sukma, perutnya dirasakan mual, hingga ia terus muntah-muntah tanpa hentinya. Melarikan diri menjauhi pengaruh uap harum itu. Apa sebabnya si pemuda gondrong tidak rubuh terkena serangan uap beracun harum Kun-see-moong Teng Kie Lang ? Karena selama hidupnya si pemuda gondrong hanya memakan buah-buahan. Tidak pernah memakan makanan berasap, semua buah buahan dimakannya mentah-mentah, tidak dimasak tidak terkena pengaruhnya asap api. Karena didalam tubuhnya hanya terdiri dari zatzat buah-buahnya yang tidak mengandung bau asap dari hasil proses pematangan dengan api, maka darah daging si pemuda peka terhadap segala macam asap. Hingga apapun yang dimakannya dengan melalui pematangan, ia pasti muntah-muntah. Tegasnya mengharamkan semua makanan, kecuali makanan-makanan yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Untuk lebih jelas kejadian itu, akan dipaparkan secara terperinci dibab-bab berikutnya dari cerita ini. Ilmu apa yang dimiliki si pemuda gondrong misteri itu, siapa gurunya kelak kita bisa menyaksikan bersama-sama. Sekarang kita ikuti larinya si pemuda. Waktu dikelenteng rusak ketika tubuh si pemuda gondrong lompat melesat, si monyet hitam yang selama ini menemaninya sudah melesat lebih dulu berlompatan diatas dahan-dahan pohon. Kun-see mo-ong mendengar suara dahan-dahan pohon bergeseran, segera ia mengejar ke arah terdengarnya suara-suara berisik itu. Dalam keadaan gelap, hujan deras, Kun-see-mo ong terus mengejar. Batang-batang pohon yang tampak daun-daunnya bergoyang-goyang dihajarnya sampai tumbang. Akhirnya hari berganti pagi Kun-see-mo-ong cs kehilangan jejak si pemuda. Kemana larinya si pemuda gondrong? Dalam keadaan hujan gelap si pemuda lari membabi buta menghindari bau harum asap beracun Kun-see-mo-ong. Ternyata arah lari si pemuda dengan arah lari si monyet hitam. berpencaran Gerakan si pemuda lebih ringan dari si monyet, hingga dalam melarikan diri tidak mengeluarkan sedikit suarapun, sedang larinya si monyet berlompatan diatas dahan-dahan pohon menimbulkan suara kresek-kresek. Yang juga diikuti oleh beberapa kawanan monyet lainnya. Disitulah letak kebodohan Kun-see-mo-ong, suara keresek keresek daun-daun pohon tidak terpikir olehnya, kalau gerakan suara-suara itu begitu banyak, hingga ia terus mengejar kearah larinya suara beresekan-beresekan yang ditimbulkan oleh lompatan-lompatan monyet hutan diatas dahan-dahan pohon. Sedang si pemuda lari kearah lain, ia terus masuk rimba menerobos sana sini, berlompatan diatas dahan-dahan pohon. Monyet yang dikejar! Manusia yang lari! Ketika hujan mereda, hari sudah hampir pagi. Karena rasa ngantuknya, si pemuda gondrong lompat turun dari atas dahan pohon, berdiri celingukan sebentar. Mengetahui sudah tidak terdengar lagi suara ribut-ribut Kun see-mo-ong cs, lalu ia duduk bersandar di batang pohon, matanya meram. Baru saja pemuda memeramkan kedua pasang matanya, tiba-tiba dikejutkan oleh suara riuh! Tong-Tong .. tong-tong .. tong-tong .. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tong-tong .. tong-tong .... Matanya terbuka kembali. Hatinya berpiker. "Heran, mengapa tidak habis-habisnya keributan didalam dunia ini, mengapa tidak seperti didalam lembah air terjun bersama si monyet merah disana begitu tenteram, tidak pernah terjadi keributankeributan, hai ... ." Belum lagi pikirannya lenyap, dari jauh bermunculan gumpalan-gumpalan api diudara berputar-putar memencar kian kemari asapnya hitam mengepul keudara. Mata si pemuda terbelalak melihat pemandangan itu. Ia perhatikan terus setan apa lagi yang gentayangan dipagi buta. Terdengar suara teriakan-teriakan; "Kejar! Awas hati-hati! Macan itu ganas!" Tong-Tong .. tong-tong .. tong-tong Si pemuda tidak mengerti arti suara teriakanteriakan, ia tetap duduk menumprah dibawah pohon, pikirnya . "Kali ini biar apapun yang terjadi aku tak akan lari, ingin kulihat, suara ribut-ribut itu bisa berbuat apa lagi terhadap diriku." "Hei, Tok Hu, kau lihat kemana larinya macan itu ?" "Song Beng ! Baru tadi kulihat ia lari ketempat ini, tapi mendadak lenyap, macan itu sungguh besar panjang !" "Awas kau hati-hati jangan sampai kau diterkamnya." Teriak lagi orang yang dipanggil Song Beng. Tong-Tong...... tong-tong....... tong-tong...... Suara ramai tong tong tidak hentinya obor menyala tampak seperti bola api berkeliaran kian kemari. Mata si pemuda meram melek menahan ngantuk memperhatikan sinar-sinar api obor berlarian, diiringi suara tong-tong dan teriakan yang ia tidak mengerti maksudnya. Mata si pemuda masih merem melek, tiba-tiba terdengar samberan angin dari samping kiri, menyerang si pemuda yang masih duduk memperhatikan api-api obor. Merasa ada samberan angin, tubuh si pemuda melesat mengelakkan datangnya serangan gelap itu. Buk......... Terdengar suara tubuh si penyerang ambruk ditanah. Si pemuda gondrong berdiri menyaksikan penyerang gelap itu. Tiba-tiba matanya terbuka lebar, rasa kantuknya lenyap. Timbul rasa kekanak-kanakannya. Tubuhnya melesat menubruk kearah tubuh si penyerang tadi. Brukk............ Tubuh si pemuda berhasil menubruk punggung si penyerang, ia duduk diatas punggung itu. Sepasang kakinya menjepit keras pinggang lawan, sedang kedua tangannya mencengkeram kedua telinga si penyerang. Terdengar suara berlompatan ditempat itu. menggerung-gerung, Suara gerungan-gerungan itu terdengar oleh orang-orang yang sedang membawa obor, mereka berlarian, ada yang membawa golok, kentongan, tumbak, kelewang, semua orang-orang itu serabutan menghampiri datangnya suara gerungan-gerungan tadi. "Hai, binatang sialan, kucari-kucari kesana kemari taunya kau sedang enak-enakan kawin disini..............." "Hayo lekas serang, lempar tombak-tombak itu awas jangan sampai meleset." Terdengar suara orang memerintah. Maka terjadilah hujan tombak kearah tubuh si pemuda. Clut.............. Tubuh si pemuda melejit keatas, lalu jumpalitan, kemudian berdiri tegak ditengah-tengah kurungan orang-orang itu. "Haaaaaa.........." "Ayaaaaa............" "Awas macan itu jangan sampai lari lagi." Terdengar suara riuh terkejut. Rupanya orangorang itu sedang mengejar seekor macan. Sampai ditempat itu menampak si pemuda yang mengenakan pakaian kulit macan sedang menunggang macan yang mereka sedang kejarkejar, mereka menyangka itu adalah dua ekor macan yang sedang kawin, maka mereka serentak menghujani kearah macan kawin itu dengan tumbak-tumbak mereka. Ternyata seekor macan yang sedang menunggang macan lainnya bisa melejit ke-udara jumpalitan kemudian berdiri tegap di tanah. Keruan mereka terkejut tidak kepalang, ternyata apa yang mereka lihat tadi bukanlah dua ekor macan yang sedang kawin, tapi seorang pemuda gondrong berpakaian kulit macan loreng sedang duduk diatas punggung macan dengan memegang menarik-narik kedua kuping macan itu. Bermainmain ?!?! Setelah mereka sadar, macan yang tadi ditunggangi si pemuda gondrong berindap-indap berkeliling dalam kurungan mereka, sedang si pemuda sudah berdiri dibawah pohon menyaksikan kelakuan orang-orang itu. Menyaksikan orang-orang itu ternyata hanya bermaksud untuk membunuh macan. Dengan melemparkan beberapa batang tumbak lagi kearah macan yang sedang berindap-indap, si pemuda diam tak bergerak. Ia hanya memperhatikan kelakuan orang-orang kampung itu. Sang macan yang dapat perlakuan demikian tiba-tiba menggerang keras, ia lompat menerjang salah seorang yang sedang memegang obor, terdengar jeritan tubuh orang itu terjengkang, dadanya mandi darah. Kembali simacan dihujani tombak-tombak. "Hayo bunuh macan itu ... ." "Jangan biarkan ia lari mengganas kampung lagi." Setelah menubruk seorang yang memegang obor, sang macan berlompatan kian kemari, tiba-tiba matanya tertumbuk pada satu bayangan loreng yang berdiri dimukanya. Itulah si pemuda gondrong. Macan menggerang-gerang, terdengar suara gerengan itu sangat bising sekali, begitu keras hingga orang-orang yang melemparkan tombaktombak tadi serabutan mundur. Obor-obor tampak bergerak mundur. Kini tampak diarena pertempuran seekor macan dengan seorang anak manusia berpakaian loreng berhadap-berhadapan. Dengan mengeluarkan suara gerungannya, sang macan dengan kuku-kukunya menerkam dengan ganasnya kearah si pemuda berbaju kulit macan loreng. Tubuh si pemuda yang diterkam sang macan, lompat keudara, berbarengan dengan itu tangan kanannya digerakkan, bluk, amblas kedalam kepala macan itu, darah berceceran disana. Si pemuda lompat menghindari amukan sang macan. Orang-orang kampung yang menyaksikan si pemuda hanya dengan menggunakan kepalan tangannya sudah bisa memukul remuk kepala sang macan, tanpa disadari mereka sudah berteriak-teriak saking heran dan girangnya . "Haaaaa......" "Sin-kun-bu-tek....." "Pukulan dewa....." Dalam keadaan girang, mereka tidak menyadari maut masih mengancam, sang macan yang terkena pukulan tangan si pemuda tidak lantas mati. Macan itu mengamuk menubruk membabi buta kearah dimana terdengarnya suara-suara riuh tadi. Timbul suara jeritan-jeritan mengerikan tubuhtubuh manusia bergeletakan mandi darah. Kemudian keadaan sunyi senyap. Udara mulai terang, matahari memancarkan sinar masnya diufuk timur. Disana menggeletak tubuh-tubuh manusia mandi darah akibat terkaman kuku sang macan yang tajam ganas. Ditengah-tengah menggeletaknya tubuh-tubuh yang terluka, menggeletak seekor macan loreng, besar tubuh macan sebesar kambing domba, sedang panjangnya sama dengan panjang tubuhtubuh orang yang masih menggeletak luka parah. Orang-orang kampung sudah berkerumun ditempat itu. Suasana menjadi ramai hiruk pikuk suara orang membuat komentar atas terjadinya peristiwa pagi itu. Beberapa orang mengusung tandu mengangkat kawan-kawan mereka yang terluka. "Tayhiap....." Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berkata. "Atas bantuan tayhiap, aku atas nama penduduk desa Lip Cun mengucapkan banyak terima kasih. Binatang ini sudah lama mengganas desa kami, kambing lenyap, beberapa anak-anak desa tewas diterkam macan gila ini. Ah, kalau tayhiap sudi mampir kedesa kami, itulah satu penghormatan besar bagi desa kami yang miskin ini, juga terimalah maafku atas kesalahan tangan tadi." Si pemuda gondrong menyaksikan dan mendengar apa yang diucapkan orang tua itu ia tidak mengerti, tapi melihat gerak-gerik serta mimik wajah orang tua, dalam hatinya timbul suatu perasaan orang ini tidak sama dengan orangorang yang pernah ia jumpai. Tidak mengejarngejar, tidak mengeroyok. Maka menghadapi orang tua ini si pemuda tersenyum ramai diwajahnya. Menampak si pemuda tersenyum-senyum ramai, orang tua itu jadi girang bukan kepalang, sangkanya si pemuda sudah melulusi permintaannya, ia lalu berkata kepada salah seorang diantara orang yang berkerumun disitu. "Hei, A Pong, angkat bangkai macan kedalam kampung !" "Baik," Jawab orang yang dipanggil A Pong, menjalankan perintah. "Tayhiap," Berkata lagi orang tua tadi. "Mari silahkan ikut aku." Si pemuda yang tidak mengerti apa arti katakata orang tua itu, ia hanya mengikuti di belakang orang tua, dengan diiringi berpuluh-puluh penduduk desa memasuki perkampungan mereka. Didalam desa, si orang tua mengajak si pemuda masuk kedalam sebuah rumah. Memasuki rumah, disana mereka disambut oleh beberapa orang laki-laki dan perempuan, mengajak si pemuda memasuki ruangan tengah. Dalam ruang tengah yang merupakan ruang pertemuan terdapat satu meja besar persegi panjang. Orang tua mempersilahkan si pemuda duduk dikursi disamping kanan meja, sedang ia sendiri duduk disudut kanan meja, orang laki-laki yang menyambutnya segera mengambil kursi masingmasing duduk mengelilingi meja. Beberapa orang pelayan datang menenteng senampan makanan dan minuman diletakkan diatas meja. "Tayhiap, mari kita sarapan pagi," Berkata si orang tua. Didalam ruangan perjamuan makan pagi, mereka makan minum tanpa mengucapkan sepatah katapun, ini disebabkan menyaksikan sikap si bocah yang hanya diam dan tersenyumsenyum saja, sedang makanan yang disajikan diatas meja, hanyalah buah-buahan yang dimakan si pemuda, selain itu ia tidak makan barang lainnya. Ataupun minum-minuman yang tersedia. Setelah selesai makan pagi, salah seorang setengah umur yang duduk paling depan diujung meja berkata. "Siauw-ya, mungkin tayhiap perlu istirahat." Orang tua itu ternyata bernama Siauw-ya yang menjadi kepala desa kampung Lip-cun, mendengar ucapan orang setengah umur tadi ia hanya menganggukkan kepala. Baru berkata. "Tayhiap, karena kami masih banyak pekerjaan sehari-hari yang harus diselesaikan, maka sambil istirahat, tayhiap silahkan untuk menikmati makananmakanan yang tersedia." Setelah berkata orang tua itu meninggalkan meja diikuti oleh beberapa orang laki-laki lainnya. Si pemuda menyaksikan keramah tamahan orang tua itu, ia hanya tersenyum senyum. Seorang pelayan wanita datang menghampiri. Katanya. "Kongcu, kalau perlu apa-apa perintahkan saja!" Si pemuda menoleh kearah pelayan perempuan yang tadi bicara. Pelayan itu berusia kira-kira tujuh belasan tahun mukanya bulat, badannya gempal berisi, meskipun tidak bisa dikatakan cantik, tapi cukup menarik hati. Menampak wajah gadis pelayan itu, hati si pemuda berdebaran. Teringat pada gadis yang pernah dilalapnya dikelenteng rusak. Suatu perasaan yang tidak dapat dilupakannya, kecantikan serta potongan tubuh gadis itu selalu mengganggu benaknya. Ingatannya tidak pernah lepas dari wajah manis gadis itu. Meskipun dihadapannya berdiri seorang gadis pelayan yang menarik hati, tapi ingatan si pemuda selalu terkenang kepada Lie Eng Eng yang pernah menimbulkan rangsang birahinya. Perasaan itu bergejolak dalam benaknya, terbenam dalam hati sanubarinya. Tapi ia tidak bisa mengutarakan arti dalam kata-kata. Si pelayan wanita yang menyaksikan si pemuda hanya bengong-bengong seperti orang linglung, ia menegor lagi. "Kongcu, adakah yang salah ?" Tapi si pemuda masih tetap dengan sikapnya seperti orang linglung. Tiba-tiba.......... "Haaaa .... kongcu ... kongcu ..." Si pelayan wanita berteriak-teriak, ia cepat lari keluar. "Siauw-ya,.... Siauw-ya..." Mendengar teriakan gadis pelayan, orang orang berlarian berkerumun dimuka rumah, ingin mengetahui apa yang telah terjadi. "Ada apa kau teriak-teriak?" Tanya Siauw-ya. Dengan tubuh gemetaran si pelayan berkata . "Siauw-ya .... kongcu ... kongcu......" Menyaksikan sikap pelayan itu yang gemetaran, orang tua Siauw-ya melangkah masuk kedalam ruangan, diikuti oleh beberapa orang laki-laki. Didalam ruangan itu, sudah tak tampak lagi bayangan si pemuda. "Leng-jie, kemana tayhiap?" Tanya Siauw-ya. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Entahlah!" Jawab gadis pelayan yang dipanggil Leng-jie. "Ketika hamba katakan padanya, kalau perlu apa-apa perintahkan saja pada hamba, Kongcu itu diam, setelah memperhatikan hamba ia terbengong-bengong." "Hm.......kemudian?" Tanya lagi Siauw-ya. "Menyaksikan ia terlongong-longong," Kata Leng jie. "hamba bertanya lagi, apakah hamba telah berbuat salah ? Tapi ia tetap terlongong-longong, kemudian entah bagaimana, tiba-tiba ia lenyap, hanya terasa samberan angin berkesiur melalui jendela." "Haaa................" Terdengar suara orang riuh didalam ruangan itu. Siauw-ya berkata lagi. "Sudahlah kalian urus pekerjaan masing-masing, Tayhiap aneh itu memang memiliki kelakuan yang luar biasa kukoay sulit dimengerti." Maka orang-orang desa itupun dengan perasaan terheran-heran mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Si pemuda dengan benak dipenuhi keinginan bertemu kembali dengan si gadis yang ia temukan dikelenteng rusak melesat keluar melalui jendela meninggalkan kampung Lip-cun tanpa pamit. Berlarian sehari penuh akhirnya ia kembali kelenteng rusak didalam rimba. Keadaan kelenteng ternyata sudah rubuh, disana tidak terdapat bayangan seorangpun. Si pemuda membongkar reruntuhan kelenteng tapi tak menemukan apa yang ia cari. Burung-burung pemakan bangkai yang sedang asyik mematok-matokkan paruhnya dibangkai anak buah si Raja Penyamun Bo-siang beterbangan keudara, dikejutkan suara gedabruk kedubrak dikelenteng rusak. Apa yang dicari tidak ditemukan didalam timbunan kelenteng, si pemuda melesat pergi meninggalkan tempat itu. Mengembara kembali seorang diri dengan membawa kenangan yang tidak bisa dilupakan untuk seumur hidupnya. Kenangan wajah cantik si jelita Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Waktu berjalan sangat cepat, sebulan sudah berlalu, pada suatu malam bulan purnama, ia tiba disatu puncak lereng pegunungan yang sunyi sepi. Diatas puncak lereng pegunungan itu tampak dari kejauhan samar-samar satu bangunan besar. Si pemuda melesatkan kakinya kearah bangunan itu, ternyata bangunan itu adalah satu bangunan wihara kuno Tam-hoa-ko-sie. Dengan gerakan ringan, ia lompat keatas genteng wihara, disana membuka satu genteng, ia mengintip kebawah, sepasang matanya memandang kedalam ruangan itu, dengan bantuan sinar sang rembulan yang menembusi celah-celah genteng yang pecah, tampak dalam ruangan itu berdiri satu patung Sin Kham, patung tersebut menghadap utara, patung itu kelihatan seperti hidup, juga seperti mati, tampak hidup karena raut-raut ukiran patung sedemikian bagusnya hampir-hampir seperti bernyawa. Tampak mati, karena beberapa bagian patung itu terdapat gompal-gompal rusak, dimakan hujan dan angin. Karena dalam ruangan itu tak tampak sesuatu yang mencurigakan. Si pemuda melompat kearah satu wuwungan lain yang merupakan ruangan kedua dari berhala kuno itu. Ternyata ruangan itu merupakan satu ruangan Thian-ong-thian. Didalam ruangan itu juga terdapat sebuah patung, hanya wajah patung itu kelihatan tidak sedap dipandang mata, didalam Cim-chee tampak banyak sekali kotoran-kotoran, rumput-rumput, tai burung dan tai kambing bertumpuk-tumpuk. Keadaan ruangan itu sangat kotor. Si pemuda melompat kembali kelain wuwungan, ia membuka lagi satu genteng, dari sana si pemuda dapat melihat satu lilin besar masih menyala, keadaan ruangan itu berbeda dengan ruangan yang pernah ia lihat tadi, keadaan didalam ruangan itu agak bersih. Pintu ruangan tertutup rapat, samar-samar dari cahaya lilin yang menyala tampak beberapa bayangan orang sedang mundar mandir entah apa yang sedang mereka kerjakan. Diruangan sebelah utara berhala itu terdengar ramai suara orang bicara, si pemuda segera melesat kearah ruangan itu, ternyata itulah ruangan Tay-tian, sedang disebelah muka terdapat satu ruangan lagi yang merupakan ruangan Tayhiong-po-tian. Dikedua ruangan tersebut sangat ramai dari pada ruangan-ruangan lainnya. Keadaan ruangan itu serba baru dan bersih. Dibagian luar pintu sebelah timur dan barat terdapat beberapa puluh rumah-rumah gubuk. Suasana dalam rumah-rumah gubuk itu sangat berisik sekali. Dalam keadaan terang bulan didalam wihara kuno diatas lereng pegunungan terdengar suara hiruk-pikuk kesibukan-kesibukan orang orang bekerja, sungguh suatu keanehan yang jarang terjadi. Diatas lereng puncak gunung yang sepi sunyi didalam berhala kuno Tam-hoa-ko-sie yang telah puluhan tahun tidak pernah dikunjungi orang, kini mendadak terdengar suara-suara kesibukan! Jika ada orang yang mendengar suara didalam wihara yang sudah tidak pernah dikunjungi orang, pada tengah malam mendadak menjadi ramai, bulu-bulu roma orang yang mendengar itu akan menggelinding bangun saking takutnya. Mereka akan lari pontang-panting karena takut dalam wihara itu hidup sebangsa siluman atau setan gentayangan. Tapi bagi si pemuda yang tidak kenal apa artinya siang dan malam, baginya hal itu merupakan suatu yang menggirangkan untuk dilihat, lebihlebih setelah mendengar ada suara orang bicara. Matanya jelilatan mencari-cari seseorang yang selama ini ia rindukan siang dan malam. Dengan masih mendekam diatas genteng; si pemuda dapat melihat satu jalanan yang menghubungkan ruangan ketiga dan keempat disana tampak bersimpang-siur orang-orang lalu lalang. Orang-orang itu berpakaian aneh, mereka rata-rata mengenakan pakaian serba hitam dengan batok kepala masing-masing diikat oleh kain berwarna hitam pula. Dipinggang mereka tampak tergantung macam-macam jenis senjata, ada yang membawa golok, pedang, gendewa, pecut dan lainlainnya lagi. Si pemuda memperhatikan orang-orang itu dengan perasaan heran, entah apa yang mereka akan lakukan ditempat ini? Melompat kearah wuwungan ruangan ke empat yang merupakan ruangan terbesar dari berhala itu. Dihalaman belakang ruangan itu terdapat beberapa tenda beraneka warna. Didalam tenda, tampak kelap kelip api penerangan. Diserambi ruangan Tay-hiong-po-tian tampak tergantung 8 buah tengloleng persegi enam, begitu pula diruangan Tay-tian terdapat penerangan lilinlilin besar yang menyala. Tampak suasana disitu terang benderang. Ditengah-tengah ruangan terdapat dua belas meja perjamuan. Beberapa orang pelayan tampak sibuk di dapur. Sedang sepuluh orang tukang masak repot memasak makanan dan sayur-sayuran. Diatas dapur yang menyala terdapat dua kuali besar yang dalamnya kira-kira delapan kaki, lebarnya sekitar sepuluh kaki lebih, didalam kuali terdapat nasi yang mengepul. Didalam ruangan dapur itu terdapat seorang gemuk pendek berkepala gundul, berjalan mundar mandir memperhatikan kesibukan kesibukan orang-orang yang sedang masak; itulah si mandor dapur. Salah seorang tukang masak nyeletuk. Manusia Aneh Alas Pegunungan Karya Gan Kl Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego Karya Can