Pusaka Pedang Embun 5
Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 5
Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong "Hei, jangan mondar mandir saja, coba tolong angkat kuali nasi ini!" Si gemuk pendek mendelikkan mata, katanya . "Hemm, kalian selalu mengganggu ketenanganku, masakan mengangkat kuali itu saja masih membutuhkan tenagaku, aku si Lo Pao mendapat tugas memandori kerjaan kalian, bukan disuruh jadi tukang angkat kuali." Mendadak satu pelayan laki-laki memasuki ruangan dapur ia berkata . berjalan "Pauw-lo soe ! Tay-ong minta dibuatkan lebih banyak masakan Sam-kee-tiang-sie-bian dan Houw-hoen-soe-heng-jok." Tay-ong berarti raja besar, boleh juga diartikan sebagai majikan atau raja gunung. "Aku sudah tahu !" Berkata Lo Pao menganggukkan kepala. "Kedua macam makanan itu sudah siap. Tinggal menunggu perintah Tayong, kapan harus dihidangkan ?" Pelayan tadi berkata lagi . "Tay-ong pesan makanan-makanan itu supaya disajikan pada waktu Hay-sie (antara jam 10-11 malam) karena waktu itulah perjamuan akan dimulai, dan sekarang sudah menunjukkan waktu Sut-sie (antara jam 8-9 malam) maka kalian siap-siaplah, begitu mendengar suara gong dipukul diruangan Tay-tian, kalian harus segera membawakan masakan-masakan itu." "Ya, aku sudah mengerti semua!" Kata lagi si mandor Lo Pao. Beberapa saat kemudian waktu Hay sie tiba, dari ruangan Tay-tian, terdengar suara. Gong........ goonggg.....gooonngg.........berturut turut sampai tiga kali. Para pelayan mendengar suara gong dipukul tiga kali, tampak mereka sibuk. Lo Pao segera memerintahkan tukang masak untuk menghangati sayur-sayuran. Diatas meja perjamuan diruangan sudah terhidang panggang babi hutan. Tay-tian Si pemuda yang mengintip dari lubang celahcelah genteng yang dibukanya, dapat melihat jelas keadaan dalam ruangan itu. Disitulah sudah hadir banyak orang. Tampang-tampang mereka bengis menyeramkan, bermata belo-belo dan memiliki alis yang tebal. Diatasnya kursi kebesaran duduk seorang tua yang usianya kurang lebih 50 tahun, bentuk mukanya persegi panjang, berkulit hitam berjenggot panjang, mengenakan pakaian Twahong-toan-hoa-kiong-leng, kepalanya mengenakan topi Liok-leng-eng-hiong, sedang pakaian dalamnya berwarna merah bersulam kembang-kembang kecil, dihiasi kancing-kancing mengkilap. Orang itu menjulurkan tangannya yang berwarna hitam berbulu, otot-ototnya tampak menonjol jelas menunjukkan betapa orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan mengangkat cawan araknya ia memulai membuka perjamuan, mempersilahkan tamu-tamunya makan minum. Selagi orang-orang makan minum, tampak berdiri seorang protokol berusia kurang lebih -lebih 5 tahun, orang itu mengetok meja beberapa kali, lalu katanya . "Hari ini adalah hari ulang tahun Tay-ong, maka saudara-saudara seperjuangan, mari kita bersamasama memberikan secawan arak sebagai ucapan selamat panjang umur." Mendengar ucapan sang protokol tadi semua orang pada berdiri, mereka mengangkat cawan arak masing-masing, dengan berkata . "Semoga Tay-ong panjang umur untuk melanjutkan kepemimpinan kami kaum seperjuangan! Selanjutnya kami menunggu perintah Tay-ong!" Suara itu menggema keras didalam ruangan seperti guntur ditengah malam. Orang yang dipanggil Tay-ong dengan wajah berseri-seri bangkit berdiri dan berkata . "Saudarasaudara, ada pepatah mengatakan berat sama dipikul ringan sama dijinjing, ada kesenangan kita cicipi bersama ada kesusahan kita pikul ramerame." "Hidup Tay-ong kita !" Terdengar suara orang berteriak. Maka terdengarlah suara-suara cawan beradu disusul dengan suara beradunya piring mangkok tersentuh sendok-sendok. Dalam suasana makan minum itu tiba-tiba mendadak berdiri seseorang lalu berkata . "Hamba Tiauw Jie Kun bersama Pang Liong Ma, hari ini datang kepesanggrahan besar memberi selamat panjang umur pada Tay-ong yang mulia, juga ada membawa bingkisan yang tidak berarti. Selain itu hamba juga mempunyai lain urusan yang mohon bantuan Tay-ong untuk turun tangan guna membalas dendam sakit hati hamba." Sang Tay-ong tampak mengurut-urut jenggotnya lalu berkata . "Hm, kau katakan saja siapa yang telah begitu berani membentur anak buah Gokong-nia." Ternyata orang itu adalah kepala Go-kong-nia ! Tiauw Jie Kun berkata lagi . "Tay ong yang mulia, pada beberapa bulan berselang, markas Hek-khie-hwee di-gunung Ouw-pok-san dibakar ludes oleh itu perempuan sundel yang menamakan dirinya Bo tay-tiong-kiam Lie Eng Eng, ia juga sudah membunuh mati Kie-heng, saudara angkat hamba dibawah pedang pusakanya, beruntung hamba bersama saudara Pang Liong Ma berhasil lari meloloskan diri." Mendengar penuturan Tiauw Jie Kun, Tay-ong hanya menggumam . "Ayaaa .... ya ...." Setelah itu ia menggerang keras, hingga ruangan perjamuan itu tergetar, abu-abu diatas genteng berguguran, beberapa genteng jatuh, sedang si pemuda gondrong yang masih mendekam mengintip diatas genteng juga terkejut mendengar suara gerangan itu. "Hmmm, markas perkumpulan Hek-khie hwee dibikin musnah. Apabila aku tidak bisa mencincang perempuan sundel itu, aku bersumpah tidak akan jadi biang lagi." Berkata Tay-ong gemes. Para hadirin yang ternyata mereka adalah ketuaketua berandal dari berbagai pelosok gunung, ketika mendengar penuturan Tiauw Jie Kun tentang dihancurkannya markas berandal Hekkhie-hwee digunung ouw-pok-san oleh si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng, wajah-wajah mereka berubah, hati mereka tergetar. Tak diduganya Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma yang memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih ilmu goloknya yang lihay, ternyata dengan mudah sudah dapat dibuat kucar kacir oleh seorang wanita yang baru menanjak namanya. "Tay-ong !" Terdengar salah satu kepala berandal bangsa Biauw berkata. "Apakah asal usul Bo-taytiong-kiam sudah diketahui ?" "Hm......." Tay-ong bergumam. "Menurut hemat hamba," Berkata lagi si kepala berandal bangsa Biauw itu. "Sebelum kita bertindak, sebaiknya menyelidiki lebih dulu siapaapa keluarga, kawan, anak famili perempuan sial itu. Setelah itu baru kita membasmi mereka semua, jangan dibiarkan seorangpun bisa hidup, termasuk binatang-binatang peliharaannya harus dibunuh semua sampai keakar-akarnya." Tay-ong hanya mengangguk-angguk kepala. "Tay-ong ..." Tiba-tiba Pang Liong Ma berkata. "Menurut penuturan beberapa anak buah si Raja Penyamun Bo-siang, ternyata mereka juga sudah dibasmi oleh si perempuan sial dangkalan itu." "Haaayaaaa . ." Terdengar ruangan pertemuan menjadi riuh. "Tenang-tenang ..." Berteriak Tay-ong. "Kalian, Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma ! Secepatnya segera menyelidiki lebih dulu identitas perempuan sundel itu. Begitu kalian tahu jelas orang-orang yang berdekatan dengan perempuan sundel itu, segera memberi laporan." "Tay ong." Tiba-tiba terdengar suara orang berkata. "Untuk memudahkan penyelidikan saudara Tiauw dan Pang, apakah tidak lebih baik kita rebut dulu kelenteng Liong ong-bio diluar kota Cee lam-hu?" "Heng..." Tay-ong menggumam. "Bagus..., begitu juga bagus guna menyebarkan jaringan-jaringan kegiatan kita, tugas ini kuserahkan padamu, Sinpiauw Lok-kun." Orang yang bicara tadi ternyata adalah si Malaikat piauw, Sin-piauw Lok Kun, ia berkata lagi. "Sesudah kelenteng Liong-ong-bio kita rebut, lalu kita menggunakan pakaian seragam paderi, dengan demikian lebih memudahkan usaha kita tanpa dicurigai oleh siapapun." Mendengar rencana si Malaikat piauw Sin piauw Lok Kun, para hadirin bersorak sorai. Mereka tahu benar, siapa si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun, yang sudah terkenal keganasan dan kegagahannya, terutama ilmu melempar piauw beracun yang sangat lihay, bila ia lepaskan piauw beracunnya, belum ada seorangpun yang dapat mengelakkan dari kematian. Si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun juga pandai ilmu pedang, selama 10 tahun malang melintang menjagoi dunia Kang ouw dan Liok-lim, belum pernah menemukan tandingan. Menganggap dirinya sudah tidak ada tandingannya, si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun menjadi keras kepala, ia suka berbuat sewenang-wenang, tidak kenal apa artinya peri kemanusiaan, merampok, memperkosa, dianggapnya didunia ini sudah tidak ada undangundang yang berlaku. Tidak ada kekuasaan pemerintah, yang ada hanya tangan maut si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun. 0)0od^wo0(0 Pada lima tahun yang lalu, ketika Sin piauw Lok Kun malang melintang di telaga Pho-yang-ouw, matanya menampak satu pemandangan di tengah telaga. Itulah satu perahu pesiar yang terhias indah. Menyaksikan keadaan perahu pesiar yang luar biasa mewahnya, si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun, timbul hawa kemaruknya untuk merampok perahu itu. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya ia melompat menotolkan kakinya diatas perahu yang sedang simpang siur di telaga dengan tipu capung menotol air, akhirnya ia berhasil tiba didalam perahu mewah berhias indah. Didalam perahu yang mewah itu, beberapa orang berpakaian parlente. terdapat Kehadiran Sin-piauw Lok Kun disambut dengan keramah-tamahan oleh salah seorang berpakaian parlente, katanya ; "Aaa ... kongcu ada keperluan apakah hingga sampai keperahu kami ?" "Hmmm," Sin-piauw Lok Kun dengan gaya mautnya mendengus memandang enteng orang berpakaian parlente tadi. "Kalian orang-orang darimana banyak tingkah ditelaga Pho-yang-ouw, sampai-sampai tak mengenali nama besar Malaikat piauw!" "Oh, rupanya si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun yang datang," Terdengar seseorang bicara dari dalam kamar perahu. "Siong Song, suruh ia masuk, aku ingin lihat bagaimana bentuknya piauw-piauw karatan itu." Mendengar suara ejekan dari dalam kamar, si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun naik darah, ia sentilkan jari tangannya, dari sana meluncur sinar hitam berkeredepan melesat masuk kejendela kamar itu. Berbarengan dengan melesatnya sinar-sinar hitam piauw si Malaikat piauw, dari dalam kamar melesat keluar cahaya kuning memapaki bayangan hitam yang dilesatkan si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Lun. Terjadi benturan ditengah udara. Hasil benturan itu, sinar-sinar hitam yang dilepaskan si Malaikat piauw lenyap seketika, ditelan bayangan kuning yang menyambar kearah datangnya sinar hitam tadi, sinar kuning setelah memunahkan sinar hitam si malaikat piauw, berputaran sejenak diudara, baru jatuh dimuka si Malaikat piauw. Menyaksikan serangan piauw beracunnya yang selama ini dibanggakannya tidak ada tandingan, ternyata sudah bisa dipunahkan oleh bayangan kuning tadi, si malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun kaget tidak terkira. Ia mundur setindak, matanya ditujukan kebawah dek perahu. "Haaaa........." Semangat si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun terbang seketika. Ternyata yang sudah memunahkan serangan piauw beracunnya adalah tiga biji kue mangkok. Menyadari dirinya menghadapi tokoh luar biasa timbul pikiran pengecutnya simalaikat piauw, tubuhnya melesat kabur meninggalkan perahu mewah itu. Tapi gerakan si malaikat piauw terlambat, belum lagi berhasil lompat, tubuhnya sudah ambruk ditanah tanpa ia sendiri mengetahui apa sebabnya. Gedebuk ..... Tubuh si Malaikat piauw ambruk di dek perahu. "Hm, malaikat piauw yang selama ini digembar gemborkan kehebatannya, ternyata bernyali tikus," Terdengar suara dari dalam kamar perahu. Diiringi suara tertawa cekikikan wanita. "Siong Song, bawa ia masuk !" Perintah orang didalam kamar perahu kepada orang yang berpakaian parlente diluar kamar. Siong Song menghampiri si Malaikat Piauw Sinpiauw Lok Kun yang masih duduk numprah. Ia menotok beberapa jalan darah ditubuh Sin-piauw Lok Kun, baru si Malaikat piauw bisa bergerak bangkit berdiri. "Sin-piauw ! Harap ikut aku masuk kedalam !" Kata orang berpakaian parlente Siong Song masih dengan suara lemah lembut. Sin-piauw Lok-kun mati kutu, ia menuruti ajakan Siong Song, berjalan masuk kedalam kamar perahu. Didalam kamar perahu duduk seorang tua berjenggot putih mengenakan pakaian berkembang kecil melingkar dileher Matanya bersinar terang. dan lengan bajunya. Dikiri kanan orang tua itu duduk dua orang wanita cantik berbaju merah. "Sin-piauw, duduklah," Kata orang tua berjenggot. "Sudah lama kudengar nama si Malaikat piauw menggetarkan dunia Liok Lim....." "Hei, kambing tua......kau tidak perlu banyak komentar," Berkata Sin-piauw Lok Kun sengit. "Seorang laki-laki lebih suka dibunuh dari pada dihina." "Hi, hih haaa......" Tertawa orang tua berjenggot. "Bukan maksudku menghina, setelah mendengar bahwa kepandaianmu yang hebat serta kegagahanmu yang selama ini ngacak-ngacak dunia Kang-ouw, aku tertarik, hm, aku membutuhkan beberapa orang gagah seperti kau." Mulai saat itulah Sin-piauw Lok-kun menjadi anggota kehormatan Go-kong-nia. Ternyata orang tua didalam perahu itu adalah si Tay-ong, kepala dari kepala-kepala berandal! Para pemimpin berandal Raja Gunung yang menyaksikan Sin piauw Lok Kun sudah buka suara untuk membasmi semua keturunan si Pedang Macan Betina, mereka sangat girang. Juga memuji atas kecerdikan si Malaikat Piauw Sinpiauw Lok Kun. Perjamuan diatas lereng pegunungan dalam berhala kuno Tam-hoa-ko-sie dilangsungkan sampai pagi hari, mereka makan minum dengan riang gembira, suntuk. bermabok-mabokan semalam Pada waktu kentrongan dipukul empat kali perjamuan ditutup. Kepala-kepala berandal Raja Gunung pulang kegunung masing-masing. Tay-ong dengan diiringi lima orang berpakaian hitam berbadan tegap, berjalan menuruni lereng pegunungan. Dibawah lereng pegunungan, disana terdapat berderet bangunan rumah yang merupakan satu perkampungan. Perkampungan itulah markas besar berandal Go-kong-nia, keadaan perkampungan itu tampak begitu aman dan tenteram, para pemburu yang kemalaman sering menginap dalam perkampungan itu tanpa mendapat gangguan dari para berandal Go kong nia, bahkan mereka mendapat pelayanan yang baik dari orang Go-kong-nia, hingga orang tidak akan menyangka bahwa perkampungan itu merupakan markas besar dari berandal-berandal Go-kong-nia. Si pemuda gondrong menyaksikan orang-orang berpakaian serba hitam sudah pada berjalan keluar ruangan dengan langkah-langkah kaki sempoyongan menuruni lereng pegunungan, matanya jelilatan, pikirannya bekerja. Selama ini ia selalu mengenakan pakaian kulit macan, setelah beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang dijumpai, ternyata tidak satupun dari mereka yang mengenakan pakaian seperti apa yang kini ia pakai. Begitu melihat orang-orang dalam ruangan pertemuan mengenakan pakaian ringkas hitam, dengan kepala digubet oleh kain hitam pula, timbul rasa keinginannya untuk turut menggunakan pakaian itu. Tubuh si pemuda melesat turun, menyambar salah seorang yang berjalan paling belakang. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Orang yang disambar oleh si pemuda masih dalam keadaan mabok. Terasa tubuhnya tiba-tiba melayang ditenteng, ia hanya tertawa-tawa. Sampai disemak belukar, tubuh orang itu dilempar ketanah, bukkk..... terdengar suara mendebuk orang yang terbanting, kontan ia pingsan. Pakaiannya serta gubetan hitam orang itu dilucuti, kemudian dipakainya ketubuh sendiri yang ternyata ukurannya pas, hanya agak longgar sedikit. Setelah mana ia lalu melesat berjalan kembali kearah wihara kuno, lompat keatas genteng, diruang perjamuan masih terdengar suara orang bicara. "Sin-piauw," Terdengar suara orang itu. "Sebaiknya kita istirahat dulu, nanti pada tengah hari baru kita melakukan perjalanan ke Cee-lamhu, kukira lusa tengah hari kita bisa tiba disana." "Begitu juga baik," Kata Sin-piauw. "Hanya kukira bilamana saudara Tiauw Jie Kun dan saudara Pang Liong Ma setuju kita ambil jalan arah Sian-see, dari Sian-see ke Shoa-tang lalu ke propinsi Ouw-pak perjalanan lebih cepat setengah hari." Setelah berunding, mereka berjalan keluar menuruni bukit Go-kong-nia. Istirahat di pesanggrahan dibawah bukit diatas lamping gunung. Menyaksikan mereka sudah meninggalkan ruang berhala, si pemuda yang sudah mengenakan pakaian hitam melompat turun memasuki ruangan pertemuan. Didalam ruangan pertemuan, diatas meja-meja masih berserakan piring mangkok, tulang-tulang, sisa nasi, dan buah-buahan. Menampak masih terdapat buah-buahan, perut si pemuda keruyukan, tangannya dijulurkan mengambil sebuah, lalu dimakan, tidak tahu buah apa namanya. Setelah menangsal perutnya dengan beberapa buah-buahan, si pemuda melesat menuruni lereng pegunungan, meninggalkan berhaIa Tam-hoa-kosie yang dijadikan balai pertemuan para berandal raja gunung Go-kong-nia, berlari sampai di bawah lereng gunung diatas tebing terdapat sederetan rumah-rumah, juga terdapat beberapa rumah berloteng. Disebelah utara tampak bangunan rumah berloteng tingkat tiga, juga mempunyai menara yang bertingkat tujuh, disebelah selatan bangunan rumah itu terdapat satu pintu besar. Dipinggir tebing terdapat satu jalan kecil yang menuju kejurusan barat. Si pemuda berjalan mengikuti jalan kecil kejurusan barat, ternyata jalan itu menuju kebagian belakang bangunan loteng tadi. Dibelakang bangunan rumah berloteng tadi juga tampak sederetan bangunan-bangunan rumah pendek-pendek yang mengelilingi belakang bangunan rumah berloteng itu. Dengan menggunakan keringanan tubuhnya, si pemuda meloncat naik keatas genteng rumah berloteng, berjalan beberapa langkah matanya memandang kebawah, lalu ia melompat turun, berjalan dijalan lorong kecil, akhirnya memasuki sebuah kamar bersih yang terhias indah. Baru saja ia memasuki kamar itu, diluar kamar terdengar suara Iangkah-Iangkah kaki orang mendatangi. Si pemuda jelalatan mencari tempat sembunyi, lalu ia lompat keatas wuwungan tia, ia bersembunyi di sana. Tak lama masuk dua orang, seorang wanita muda berparas cantik berusia kirakira -kira 0 tahun, mengenakan pakaian biru muda berenda, sedang seorang lagi adalah seorang laki-laki tinggi besar berwajah tampan berusia kira-kira tiga puluhan tahun, dengan mengenakan jubah panjang. Orang laki-laki yang mengenakan jubah panjang terdengar berkata . "Baiklah ! Kau sebenarnya menduduki kedudukan tinggi didalam Go-kongnia, sebagai isteri mudanya Ceecu. Seharusnya aku menghormatimu, meskipun bagaimana toch aku hanya orang berkedudukan rendah, maka tidak berani berlaku kurang hormat, lebih-lebih melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Bila sampai diketahui oleh Cee-cu apakah jiwaku masih bisa dipertahankan, terus terang saja, meskipun aku tumbuh dua kepala lagi, juga aku bukan tandingan Cee-cu, pasti kepalaku akan menggelinding ditanah, apakah kau tidak bisa mengurungkan niatmu itu?" Cee-cu berarti kepala pesanggerahan! Yang dimaksud dengan Cee-cu adalah Tay-ong Go-kong-nia yang bernama Cie Tay Peng. Si orang tinggi besar berjubah panjang, ternyata sangat ketakutan menghadapi sikap isteri mudanya Tay-ong yang histeries, tapi perempuan itu tetap menarik-narik laki-laki tadi diajaknya naik keatas tempat tidur. Orang laki-laki tadi masih tetap meratap-ratap mohon diberi kebebasan, tapi si wanita isteri Tayong dengan sepasang alisnya yang lentik dikerutkan, ia mengancam. "Hm, kalau kau berani menolak kemauanku akan kuadukan pada Tay-ong yang kau telah berani kurang ajar mengganggu diriku......" Si lelaki tinggi besar berjubah panjang mendengar ancaman itu, wajahnya berubah pucat lalu ia berkata. "Baiklah, thay-thay yang baik hati, aku akan menurut, aku menurut, tapi sekarang masih pagi, tidak bisa berbuat begitu, apakah tidak bisa kita menunggu sampai nanti malam?" Tapi si bini muda Tay-ong yang cantik, darah histeriesnya sudah naik ke otak, nafsu birahinya sudah berkobar-kobar, mana bisa menunggu lagi sampai malam tiba, maka cepat-cepat ia berkata . "Tolol! Tay-ong pagi ini sedang tidur, ia semalam suntuk berpesta pora, inilah kesempatan baik ! Lebih-lebih cuaca pagi ini begitu sejuk bukankah menambah kenikmatan? Mau tunggu apa lagi? Kau juga tidak usah kuatir, ditempat ini tidak ada orang lain, meskipun ada orang, mereka semua adalah orang-orangku, tidak berani masuk kekamar ini, juga tidak akan membuka rahasia." Mendengar ucapan itu, si orang tinggi besar berjubah panjang berkata . "Baiklah, tapi kau harus tutup pintu kamar dulu, baru kita mulai......!" Si pemuda gondrong yang mengintip dari atas wuwungan tia, kini sudah bisa menyaksikan perempuan itu dengan jari-jari tangan yang halus mulus membukai jubah panjang laki-laki tinggi besar, ternyata si laki-laki itu juga sudah terbangun birahinya, tangannya segera membukai pakaian si istri muda Tay-ong, lalu meraba-raba bagian-bagian yang menarik, akhirnya mereka telanjang bulat bergulingan diatas tempat tidur, napas-napas mereka berdengusan seakan sedang melakukan pertempuran mati-matian. "Hmmm, ah, ya .... kau hebat... ." Terdengar rintih kenikmatan si bini muda Tay-ong. "Kau tidak seperti Tay-ong, lemah tidak bersemangat....." Dialas wuwungan tia, si pemuda yang menyaksikan adegan semaksiat itu, matanya jelilatan, tubuhnya juga dirasakan terpengaruh atas pemandangan yang ia saksikan, akhirnya ia tidak bisa lama-lama untuk menunggui berakhirnya permainan seks gelap yang dilakukan oleh bini muda si kepala berandal Raja-raja Gunung yang histeries dengan orang bawahannya, segera tubuh si pemuda lompat turun, langsung menubruk pintu ia lari keluar. Sepasang insan yang sedang enak-enakan menikmati sorga dunia dipagi hari, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gedabrukan pintu yang terbuka, mereka pada bangun menghentikan permainannya. Nampak wajah si perempuan histeries pucat pasi, lebih-lebih si orang tinggi besar berjubah panjang, dengan badan gemetaran ia meraup jubahnya, tapi sekian saat tidak tampak ada tanda-tanda orang masuk, mereka saling berpandangan dengan rupa heran. Si laki-laki tinggi besar masih gemetaran, tiba-tiba si perempuan bini muda Tay-ong yang histeris sudah menarik tubuh laki-laki itu diajaknya bergumul kembali, melanjutkan apa yang sudah terganggu, tanpa perduli apa lagi yang akan terjadi. Gerakan si pemuda yang lompat turun dari wuwungan tia begitu cepat, hingga tak tampak bayangan si pemuda, lebih-lebih mereka sedang dalam keadaan begitu, sudah melupakan segala isi dunia ini akan mengalami kejadian apa bahkan tubuh si pemuda yang berada diatas wuwungan tia, mereka juga tidak melihatnya. Setelah mendobrak pintu, si pemuda terus lari melesat keatas lereng pegunungan, otaknya berkecamuk segala macam perasaan, ia menyaksikan dua orang itu bergumul begitu mesranya, si wanita tidak melakukan perlawanan, bahkan wanita itulah yang mengajak si laki-laki berbuat seperti itu. Beda dengan keadaan dirinya dikelenteng rusak, disana si jelita Pedang Macan betina melakukan perlawanan kuat menolak kehadiran dirinya ditubuh si nona manis. Perbedaan pengalaman itulah yang membuat otak si pemuda pusing tidak mengerti, dan akhirnya ia meninggalkan kamar itu, kembali kedalam berhala kuno Tam-hoa-ko-sio diatas lereng pegunungan. Setelah menenangkan gejolak-gejolak hatinya si pemuda tidur diatas bangku. Ketika itu, kuping si pemuda yang tajam mendengar suara ketoprakan kaki kuda dibawah bukit, ia mendusin, berjalan keluar, ternyata matahari sudah berada tepat diatas kepala. Tampak tiga pesanggrahan. penunggang kuda keluar Tertarik oleh rasa ingin tahu, si pemuda melesat, kembali turun dengan menggunakan ilmu Liok-teehuy-heng, seakan asap hitam mengepul turun dari atas gunung. Menampak bayangan hitam meluncur turun dari atas bukit Go-kong-nia, para penghuni perkampungan tidak menjadi heran. Dianggapnya itulah salah seorang Raja Gunung yang baru turun dari atas bukit menghadiri hari sejitnya Tay-ong. "Haaa .... kongcu begitu terlambat, sudah setengah harian hamba menunggu, kuda kongcu sudah diberi makan !" Kata seorang bertubuh pendek kurus menuntun seekor kuda diserahkan kepada si pemuda gondrong. putih Tanpa bicara apa-apa si pemuda meletik naik kepunggung kuda. Begitu tubuhnya tiba diatas punggung kuda, kuda itu melompat lari dengan kencangnya, hampir-hampir si pemuda terjengkang jatuh. Kakinya menjepit perut kuda, tubuhnya oleng kebelakang kekiri kekanan. Orang pendek kurus yang mengantarkan kuda geleng-geleng kepala bergumam. "Haya, Raja-raja Gunung luar biasa kelakuannya, dengan masih mabok mencongklang kuda, hai.......!" Belum lagi kata-katanya lenyap diudara, dari atas puncak bukit meluncur turun lagi satu bayangan. Orang yang baru datang ternyata tidak mengenakan pakaian luar, setibanya ditempat berdirinya orang pendek kurus tadi ia berkata; "Hei mana kudaku? Cepat bawa kemari! Ambilkan sepotong pakaian." Orang pendek kurus hanya bengong terlongonglongong. "Hei!" Bentak orang yang hanya mengenakan pakaian dalam. "Apa kau tuli ?" "Hah, ah....... ya, ya !" Orang pendek kurus itu ketakutan setengah mati, sambil berlarian ia pergi menjalankan perintah. Tidak lama orang itu sudah kembali dengan membawa satu stel pakaian, katanya. "Kongcu, pakaian beberapa potong masih bisa hamba sediakan, tapi kuda, kuda ..... sudah tidak ada lagi....." "Bangsat ! Kau jual ? Kemana kudaku!" Bentak orang itu geregetan, menyambar pakaian yang dibawa oleh orang pendek kurus. "Kongcu.....maaf....tadi sudah ada orang yang ambil kuda !" "Hm, .... matamu buta! Orang itu siapa? Mengapa kau serahkan kuda kepada orang yang bukan menjadi pemiliknya? Hehh, kalau aku tidak pandang mata Tay-ong, tubuhmu kuhancur leburkan." Plak plok...... Terdengar suara tamparan dua kali, dibarengi dengan melesatnya bayangan hitam meninggalkan pesanggerahan Go-kong-nia. Orang itulah yang tadi pagi dilucuti pakaiannya oleh si pemuda. Dan ia pingsan akibat bantingan si pemuda. Dengan masih mengusap-usap pipinya yang merah bengap, orang pendek kurus menggumam . "Sialan......Raja Gunung Pejajaran!" Mengikuti perjalanan si pemuda dengan mengenakan pakaian ringkas warna hitam baru pertama kali ini naik kuda, mencongklangkan kudanya dengan tubuh bergejlak gejlak diatas punggung binatang tunggangannya. Sesudah selang beberapa saat, baru si pemuda dapat menguasai larinya kuda itu, serta mengimbangi tubuhnya diatas punggung congkangannya. Dengan mengikuti arah mengepulnya debu-debu diudara, ia mengikuti larinya ketiga penunggang kuda tadi. Satu hari telah berlalu, diluar kota Ce-lam-hu, tampak abu-abu debu mengepul ke udara, tak lama terdengar derap-derap langkah tiga ekor kuda yang dicongklangkan dengan kecepatan luar biasa. Ditempat 4 lie dari kota, terdapat satu kelenteng, keadaan kelenteng sangat megah, suasana dalam kelenteng sunyi senyap. Setibanya ketiga penunggang kuda di muka pintu kelenteng, masing-masing menghentikan tunggangannya. Mereka turun dari punggung kuda. Tampak diatas pintu kelenteng bercat merah tergantung papan merek bertulisan hurup-hurup besar yang berwarna kuning mas . KELENTENG LIONG ONG BIO. Si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun, Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma, meninggalkan kuda masing-masing, melesat melompati tembok kelenteng. Didalam pekarangan kelenteng disudut halaman sebelah kanan terdapat pohon Gotong. Dua orang padri kecil sedang menyapu daun-daun pohon yang berguguran tadi malam. Mereka tidak menyadari, kalau ketiga orang malaikat elmaut sudah menyatroni kelenteng dengan melompati tembok. "Omitohud," Terdengar seorang hweesio menyebut nama budha dimuka pintu ruangan kelenteng. "Sam-wie bertiga ada keperluan apa, begini pagi datang melompati tembok kelenteng kami." Kedua padri kecil yang sedang menyapu ketika mendengar suara tadi, segera menoleh. Ternyata dimuka pintu kelenteng sudah berdiri berbaris tiga orang berpakaian ringkas berwarna hitam, menghadapi seorang hweeshio. "Gundul!" Bentak Pang Liong Ma. "Siapa yang menjadi ketua kelenteng ini, cepat suruh keluar... ." "Omitohud....." Terdengar lagi suara menyebut nama budha dari dalam kelenteng, tampak berjalan keluar seorang hweeshio, berumur sekitar 50 tahun. "Pinceng Swat Louw Hweeshio, ketua kelenteng ini." "Hm ...." Dengus Sin-piauw Lok Kun. "cepat kumpulkan semua anak buahmu keluar." Mendengar suara ribut-ribut diluar kelenteng, kembali enam orang hweeshio, mereka memandang sejenak kearah Swat Louw Hosiang, setelah menerima anggukkan kepala Swat Lauw Hosiang, keenam hweeshio itu berjalan kehalaman kelenteng berdiri dibelakang Sin-piauw Lok Kun Cs. Sin-piauw Lok Kun mengetahui dirinya sudah dikurung oleh para hweeshio, dua didepan dan enam dibelakang, ia tertawa bergelak-gelak, lalu katanya . "Rupanya kalian sudah tahu yang aku akan membantu menyempurnakan nyawa-nyawa kalian keakherat, ha, ha, ha, ......!" Dengan menahan sabar, Swat Louw Hosiang berkata dingin . "Sam-wie bertiga dari mana serta ada keperluan apa, mengganggu ketenteraman kelenteng Liong-ong-bio ?" "Nngg.....heh, heh....." Gumam Sin piauw Lok Kun, jari tangannya menyentil, dari sana meluncur satu sinar berwarna hitam menyerang Swat Louw Hosiang. Bruk........ Terdengar suara benda jatuh ditanah, dikebut lengan jubah Swat Louw Hosiang. Sin-pauw Lok-Kun menampak serangan pertama berhasil digagalkan, ia berteriak . "Serang! Jangan satu diberi hidup." Terjadilah pertempuran acak-acakan, tiga lawan delapan orang. Suasana kelenteng Liong ong-bio yang sunyi, kini terdengar suara beradunya senjata senjata tajam. Tak lama terdengar dua jeritan, dua sosok tubuh padri kecil menggeletak dengan tubuh berlumuran darah tertembus serangan piauw beracun Sinpiauw Lok Kun. Pertempuran itu kini sudah berubah menjadi dua kelompok. Satu kelompok Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma menghadapi enam orang hweeshio. Sedang kelompok lainnya Sin-piauw Lok Kun menghadapi keroyokan Swat Louw Hosiang dan seorang hweeshio lainnya. Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma yang memiliki kepandaian tinggi dengan golok ditangan masingmasing, menghadapi serangan-serangan enam orang hweeshio, bertempur dengan sengitnya. Sedang keenam hweeshio yang juga memiliki kepandaian yang tidak rendah, memapaki datangnya serangan-serangan golok dengan senjata lengan jubah mereka. Keenam hweeshio yang menghadapi serangan golok Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma ternyata mereka bukan tandingan dua jago golok itu. Pada jurus-jurus ke tiga puluh, terdengar suara jeritan, seorang hweeshio rubuh menggeletak ditanah dengan batok kepala belah dua. Di pihak Swat Louw Hosiang, seorang hweeshio sudah tewas terkena piauw beracun si Malaikat piauw. Swat Louw Hosiang dengan menggunakan lengan jubahnya menangkis datangnya seranganserangan piauw beracun Sin-piauw Lok Kun. Pertempuran berlangsung beberapa saat lagi, keadaan Swat Louw Hosiang terdesak mundur, ia hanya bisa mengelakkan dengan main mundur tanpa bisa membalas serangan si Malaikat piauw yang ganas, tiba-tiba telinganya mendengar suara jeritan-jeritan beruntun sampai lima kali. Tampak tubuh-tubuh para hweeshio sudah pada menggeletak di tanah, dengan kepala mereka belah dua, dada belah terbacok golok, tubuh menjadi dua potong, mereka adalah korban-korban dari keganasan golok Tiauw Jie Kun dan Pang liong Ma. Setelah Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma memberesi keenam hweeshio-hweeshio itu, tubuhnya melejit dikiri kanan Swat Louw Hosiang menutup jalan mundur ketua kelenteng Liong ong bio. Dari kepala botak Swat Louw Hosiang sudah mengucurkan keringat, tubuhnya basah napasnya mulai sengal-sengal. "Huaaa, ha, haaa......" Tiba-tiba terdengar suara tertawa si Malaikat piauw Sin piauw Lok Kun tertawa berkakakan, lalu menghentikan serangannya. "Gundul, cepat kau berdoa sebelum terlambat, agar rohmu diterima diakherat, ha, hua, haa......!" Tiba-tiba terjadi Duk......brukkk........ lain perobahan . Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Terdengar dua kali suara gedabrukan keras, tubuh Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma terpental membentur dinding tembok kelenteng, kepalanya dirasakan berat, dunia seakan-akan berputar. Sin-piauw Lok Kun alias si Malaikat piauw yang masih tertawa, mendadak menyaksikan kedua kawannya sudah terpental tanpa tahu sebab musababnya. Tiba-tiba menyambar satu benda hitam kearah batok kepalanya. Sambaran angin yang keluar dari benda hitam itu begitu keras berkesiur menyambar kepala Sinpiauw Lok Kun hingga mukanya dirasakan dingin pedas, secepat kilat si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun dengan tipu jurus Moa masuk kelubang, menghindari datangnya serangan benda hitam tadi. Tubuh si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun rebah kebelakang menggelesot kesamping dengan kecepatan kilat. Begitu Sin-piauw Lok Kun berhasil mengelakkan serangan benda hitam, Swat louw Hosiang sudah lenyap. Kejadian itu sangat mengejutkan, juga menggirangkan si Malaikat piauw Sin piauw Lok Kun. Terkejut karena ia tahu sudah muncul tokoh gaib menolong Swat Louw Hosiang, girang karena tokoh gaib itu ternyata tidak mengambil nyawanya. Inilah sifat licik dan pengecut si Malaikat piauw. Mata si Malaikat piauw Sin piauw Lok Kun menatap kearah benda yang menyerang batok kepalanya tadi, ternyata itulah sehelai kain gubet kepala berwarna hitam. Menyaksikan benda itu, tubuh si Malaikat piauw mengucurkan keringat dingin saking takutnya, ia dapat menduga bahwa si penyerang memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat dari kepandaiannya sendiri. Menghampiri Tiauw Jie Kun dan Pang Liong Ma ternyata kedua orang itu sudah siuman kembali, mereka menggeleng-gelengkan masih pusing. kepalanya yang Terdengar suara si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun mendumel ; "Hmmm, terlambat sedikit saja, kepala gundul itu lolos dari kematian." Tiauw Jie Kun dengan suara serak berkata. "Sinpiauw, siapakah tokoh misteri itu........dan bagaimana selanjutnya urusan kelenteng Liongong-bio ini?" "Tetap laksanakan rencana semula, kau urus urusan disini, aku kembali melaporkan pada Tayong tentang adanya semua kejadian yang baru kita alami." Jawab Sin-piauw Lok Kun. Pang Liong Ma berkata . "Bagaimana kalau mereka mengadakan penyerangan balasan ?" "Kukira sementara tidak akan terjadi." Berkata Sin-piauw. "Toch kelenteng ini kita gunakan untuk sementara, takut apa?" Siapa yang telah menyelamatkan jiwa Swat Louw Hosiang dari tangan elmaut Sin-piauw Lok Kun ? Mari kita ikuti cerita berikutnya. 0)0od^wo0(0 Jilid ke 05 SI PEMUDA gondrong yang mengikuti jejak Sinpiauw Lok Kun cs, menampak ketiga orang itu sudah melesat masuk melompati tembok kelenteng, ia segera melesat naik keatas pohon Gotong yang tumbuh disudut kanan pekarangan. Semua kejadian didalam halaman kelenteng itu, tewasnya dua padri kecil berturut-turut disusul oleh kematian tujuh orang hweeshio disaksikan dengan jelas. Menampak dipekarangan kelenteng menggeletak beberapa mayat. Menampak kedua mayat padri kecil tewas berlumuran darah. Dengan mendadak, tapi pasti timbul suatu perasaan yang mendorongdorong dirinya untuk tidak tinggal diam. Meskipun semua kejadian itu tidak ada hubungannya dengan dirinya sendiri. Lebih-lebih bentuk tubuh serta cara berpakaian hweeshio ini, sama dengan orang-orang yang pernah melukai dirinya dikota Siao-shia. Tapi bisikan hati nuraninya si pemuda, perbuatan ketiga orang itu bertentangan dengan apa yang dirasakan dalam sanubarinya. Dengan dorongan bisikan hati nurani, si pemuda melompat turun dengan kecepatan luar biasa, menyelamatkan Swat Louw Hosiang dari tangan Maut si Malaikat piauw Sin-piauw Lok Kun dkk. 0)0od^wo0(0 MELOMPATI tembok kelenteng Liong-ong-bio, dengan menenteng tubuh Swat Louw Hosiang, si pemuda berlarian kearah utara, memasuki rimba, meninggalkan kelenteng. Berlarian sejauh dua lie, ia menghentikan langkahnya, melepaskan tubuh Swat Louw Hosiang. Swat Louw Hosiang merasakan dirinya tiba-tiba dibawa terbang melompati tembok kelenteng, ia mengetahui kalau dirinya sudah ditolong oleh orang gaib. "Inkong........" Ucapan Swat Louw Hosiang tertahan, matanya terbelalak memancarkan sinar keheran-heranan, dihadapannya berdiri seorang pemuda berambut gondrong berpakaian hitam. Ia seperti tidak percaya akan penglihatan matanya sendiri, apakah pemuda seperti orang hutan ini yang telah menolong dirinya dari kematian. Ia perhatikan keadaan sekitar rimba itu, ternyata disana tak ada orang lain kecuali ia dengan si anak gondrong. Dengan perasaan heran Swat Louw Hosiang berkata . "Apakah kau yang telah menolong diriku?" Si pemuda mendengar pertanyaan itu, hanya menatap wajah ketua hweeshio itu dengan tatapan mata berkilatan, kemudian meredup gelap, segelap awan mendung di langit. Benak si pemuda dipenuhi perasaan-perasaan yang membuat sinar matanya redup wajahnya pucat pasi, tampak sedih dan pilu. Selama ia bergelandangan didunia bebas, mengikuti gejolak naluri jiwanya untuk bercampur gaul dengan kehidupan manusia, selama itu pula ia tidak mengerti ucapan-ucapan orang-orang yang dijumpainya. Menghadapi pertanyaan Swat Louw Hosiang, kembali ia menghadapi satu problem yang sulit untuk dipecahkan, lebih sulit dari pada memecahkan segala lukisan-lukisan yang terdapat didinding goa dalam lembah air terjun. Pengalaman-pengalaman pahit, membuat hatinya sedih, duka dan pilu bercampur aduk, akhirnya timbul rasa rendah dirinya menghadapi orang didepannya. Dirasakan dirinya suatu machluk yang tidak berarti, suatu machluk yang tidak bisa bercampur gaul dengan kehidupan manusia lainnya. Kakinya melesat meninggalkan Swat Louw Hosiang. Swat Louw Hosiang yang menyaksikan kelakuan aneh itu, kini ia yakin benar bahwa anak gondrong itulah yang telah menolong jiwanya. Mata Swat Louw Hosiang terbelalak menyaksikan lenyapnya bayangan si pemuda mengepul bagaikan asap hitam lenyap dibalik batang-batang pohon. Si pemuda dengan kecepatan luar biasa, menerobos hutan-hutan, melompati sungai, jurang, tebing-tebing gunung mengembara dengan tiada tujuan. Diatas puncak gunung, daun-daun pohon masih basah digenangi butiran-butiran embun,burungburung berkicauan beterbangan diudara, gerungan suara binatang buas menambah keseraman, sinar matahari pagi redup menerangi keadaan diatas puncak gunung, pagi itu tidak seperti hari-hari biasanya, si pemuda yang masih melingkar tidur dibawah semak belukar, dikejutkan oleh kicau burung serta auman binatang buas. Matanya terbuka, ditatapnya sinar matahari pagi, sinar sang surya tampak begitu redup seredup sinar matanya. Dengan masih bermalas-malasan si pemuda bangkit, berjalan menuju tepian dimana tadi ia tidur, ternyata ia tidur diatas sebuah lamping puncak gunung. Melongok kebawah, disana kabut-kabut tebal memutih mengambang tak tampak apa yang terdapat dibawah lapisan kabut itu. Diutara dan selatan, barat dan timur tampak puncak-puncak gunung menjulang tinggi. Tanpa banyak pikir si pemuda lompat menuruni lamping gunung, melesat turun menerjang kabutkabut memutih, bayangannya hilang dibalik kabut. Dengan gerak-gerak langkah kakinya yang lincah ia menuruni lamping gunung, seakan kabut hitam mengepul menerjang kabut-kabut putih. Berlarian setengah hari, tibalah ia didalam satu lembah. Lembah itu terkurung oleh lampinglamping puncak gunung, kepala si pemuda menengadah kelangit, disana hanya tampak mengambang kabut putih memenuhi udara, sudah tidak tampak lagi tempat dimana ia tidur semalam. Dalam lembah udara begitu lembab, disana tak tampak apapun hanya barisan pohon-pohon Siong berjejer-jejer memenuhi lembah itu. Si pemuda menerobos masuk kedalam rimba pohon Siong, disana udara lembab gelap, mata si pemuda tidak bisa melihat apa yang ada didepannya. Semua pemandangan gelap pekat. Dengan perasaan untung-untungan, hidup yah sukur matipun boleh, si pemuda menerobos hutan pohon Siong yang lembab gelap itu. Dengan pikiran yang gelap pula, ia memasuki alam yang gelap gulita. Langkahnya maju terus, menerobos barisan pohon-pohon Siong, membentur batang-batang pohon, jatuh bangun berulang kali. Entah sudah berapa lama ia berlarian membabi buta menerobos barisan pohon-pohon Siong yang gelap gulita, kini mulai tampak didepannya samar-samar sinar terang, akhirnya ia keluar dari kurungan pohonpohon Siong yang gelap gulita itu. Haaaa.............. Hati si pemuda tergerak, ditengah-tengah hutan pohon Siong didalam lembah ternyata terdapat satu bangunan rumah batu. Rumah batu itu terbagi dua bangunan, bangunan depan yang lebih besar bentuknya dan bangunan disebelah belakang yang agak kecil. Satu jalan kecil berbatu-batu menghubungi kedua bangunan rumah batu itu. Terdengar sayup-sayup suara orang bicara. "Suhu, sudah lima tahun kita berdiam disini mengompres setan tua itu, tapi ia masih kukuh tidak mau memberi keterangan. Untuk apa lagi buang-buang waktu percuma ditempat ini, lebih baik kita bunuh saja habis perkara." "Hah, kau harus bersabar sehingga lima tahun, untuk apa ? Untuk mendapatkan barang itu," Terdengar lain suara. "Suhu, kukira pendapat Lie suheng tidak salah, selama lima tahun, semua daya upaya kita sudah lakukan, tapi setan tua itu masih tidak mau buka mulut, bukankah percuma saja. Kulihat keadaannya juga sudah lupa ingatan, apa guna lagi........" "Ya sebaiknja kita bunuh saja," Menyambung seseorang. "Kukira juga barang itu tidak berada ditubuh si tua." Pembicaraan orang-orang itu masuk ketelinga si pemuda, mendengar didalam ruangan bangunan besar itu ada suara orang, si pemuda tidak mau mendekati rumah itu, tapi hatinya ingin tahu apa yang sedang mereka kerjakan. Dengan gerakan ringan ia melompat ke atas genteng pada bagian rumah dibagian belakang, ia membuka sebuah genteng memperhatikan keadaan didalam. Didalam ruangan itu sangat kotor, di lantai masih terdapat noda darah kering, ruangan itu keadaannya tidak teratur. Disebelah barat ruangan, disana berdiri seorang tua kurus kering rambutnya awut-awutan, jenggotnya yang putih bercampur merah mengurai sampai pusar. Mata orang tua itu meram, napasnya lemah, saking kurusnya tampak orang itu seperti tengkorak terbungkus kulit. Kedua tangan dan kakinya terikat sebuah rantai terpantek kuat didinding rumah batu. Menampak pemandangan serupa itu, hati si pemuda heran, tapi ia hanya memperhatikan, tidak mau ambil pusing. Meninggalkan pemandangan aneh itu, si pemuda dengan ringan berlarian diatas genteng melompat kearah wuwungan bangunan rumah yang lebih besar dimana terdengar suara orang bicara. Tubuhnya mendekam, tangannya bergerak menggeser sebuah genteng. Tapi baru saja genteng itu terbuka, dari dalam meluncur sinar-sinar gemelapan menyerang mukanya, diiringi suara bentakan . "Binatang! Siapa berani main gila di tempat ini." Berbarengan dengan sirapnya suara bentakan itu, dari dalam ruangan melesat lima bayangan merah berlompatan keatas genting. Si pemuda yang sedang mendekam diatas genting begitu melihat sambaran sinar-sinar gemerlapan segera lompat turun. Sinar-sinar gemerlapan itu membentur cabang pohon Siong, disana menancap tiga bilah pisau kecil. Lima bayangan merah menampak orang yang diserang dengan pisau-pisau terbang tadi sudah melompat turun, mereka segera berlompatan menyusul kearah larinya orang tadi. Begitu melihat jelas tubuh orang yang dikejarnya, kelima orang itu terkejut berbareng . "Hayaaaa........." Si pemuda yang mengetahui dirinya dikejar, ia sudah tidak perdulikan lagi soal mati dan hidup, ia hadapi kelima orang itu dengan tenang. Disana berdiri lima orang berbaju merah berkembang-berkembang biru muda. Seorang diantaranya berusia kira-kira limapuluh tahun, sedang empat orang lainnya berusia sekitar tigapuluh tahun. Tampang-tampang mereka sangat asam, tidak sedap dipandang mata. "Hei, bocah, kau kira ini tempat apa ? Berani kau main-main ditempat angker ini." Bentak orang tua berbaju merah. "Suhu! Biar kuremukkan batok kepala bocah ini!" Berkata salah seorang yang berusia duapuluh lima tahunan. "Ceng san, tangkap bocah itu, jangan bunuh! Aku ingin tahu, bagaimana ia bisa masuk kedalam lembah Im-bu-kok ini! Bagaimana ia bisa memecahkan tin pohon Siong," Berkata orang tua itu. Tubuh orang yang disebut Ceng San melejit, tangan kanannya dijulurkan, mencengkeram tengkuk si pemuda, sedangkan tangan kirinya menyambar kaki kanan lawan gondrong itu. Gerakan Ceng San sangat cepat, menubruk si pemuda, tapi gerakan tubuh si pemuda lebih cepat, begitu angin serangan tiba kaki kanan diangkat keatas, sedang tubuhnya direndahkan setengah badan, hingga serangan Ceng San menubruk tempat kosong, bahkan tubuh Ceng San terpental dua tombak menggeletak rubuh ditanah, kebentur serangan dengkul si pemuda yang hampir dibawah pusat Ceng San, sedang kepala gondrong si pemuda membentur dada Ceng San. Kejadian itu hanya berlangsung satu kedipan mata saja. "Suhu! Biar aku turun tangan!" Terdengar lagi seorang bicara. "Mmm, bocah ini bukan tandingan kalian, suhengmu sudah terluka, kau bersama sutemu bawa ia masuk kedalam, beri pertolongan, bocah ini biar kukirim keakherat." Mereka memayang rumah batu. sang suheng memasuki "Bocah, kepandaianmu boleh juga heh!" Berkata lagi orang tua berbaju merah. "Hm, kukira didalam rimba persilatan ini sudah jarang orang yang bisa menandingimu, pantas lagakmu begitu besar, sudah berani main gila disini." Orang tua berbaju merah berkata begitu, karena ia sudah menyaksikan sendiri murid tertuanya dengan satu kali gebrakan sudah berhasil dirobohkan si pemuda, sedang sang murid sudah mewarisi 75% ilmu kepandaiannya, masih bisa dirobohkan. Setelah berkata begitu orang tua berbaju merah berjalan berputaran mengelilingi tubuh si pemuda. Gerak langkah orang tua itu, lambat-lambat tapi mata si pemuda dirasakan menjadi berkunangkunang. Begitu matanya si pemuda dirasakan berkunang-kunang timbul rasa jengkel si pemuda atas kelakuan orang tua itu. Terdengar suara siulan melengking menggema angkasa, daun-daun kering pohon Siong beterbangan gugur kebumi, burung yang sedang bertengger didahan-dahan pohon beterbangan. Siulan memekakkan telinga, mendebarkan jantung. Lama suara siulan itu menggema baru sirap kembali ditelan kesunyian lembah. Si orang tua berbaju merah mendengar suara siulan yang keluar dari mulut si pemuda menghentikan gerakannya, tubuhnya oleng oleng lalu berdiri tegak kembali, ia membentak . "Anak jadah, kelakuanmu sungguh kurang ajar, berani bersiul begitu didepan orang tua, hampirhampir membuat kumat penyakit jantungku.....haaa ..... ,kalau tidak lekas dibikin mampus, kau tidak akan tahu rasanya diakherat." Selesai ujarannya, orang tua berbaju merah itu kembali berjalan memutari tubuh si pemuda, menggosok-gosokkan telapak tangannya, kemudian direntangkan, lalu digerak-gerakkannya menghajar tubuh si pemuda. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si pemuda yang menyaksikan kelakuan aneh orang tua berbaju merah, ia masih bengongbengong saja, tiba-tiba berkesiur angin kencang menyerang dirinya, ia berusaha mengelakkan kesamping, tapi ternyata angin yang keluar dari dua telapakan tangan orang tua itu tidak sampai disitu saja, kemana si pemuda bergerak selalu terkurung oleh hembusan angin yang santer. "Ha, ha, ha,. ..... hayo bersiul lagi, ingin kulihat permainan apa lagi yang akan kau pamerkan!" Berkata si orang tua berbaju merah sambil masih menari menggerakkan kedua telapak tangannya. Tambah lama, angin keras menggulung si pemuda tambah menderu-deru berputaran mengurung tubuhnya menggulung-gulung naik keudara, abu-abu mengepul keudara daun-daun yang tadi berguguran digetarkan suara siulan si pemuda kini kembali beterbangan menubruk dahan-dahan pohon lalu berputaran diangkasa. Dalam kurungan angin menderu-deru, terdengar lagi suara siulan menggema angkasa menembusi angin yang menderu-deru, suara siulan itu lebih hebat dari yang pertama, batang-batang pohon Siong bergoyang-goyang, daun-daun berguguran, suara gema siulan bercampur aduk dengan suara mengguruhnya angin yang berputaran, dunia seakan bergoncang, rumah batu sejauh 10 tombak dari tempat itu ter-gerak-gerak seakan digerakkan oleh gempa bumi yang hebat. Suara siulan si pemuda dikerahkan dengan tenaga penuh, semua tenaganya dikuras untuk menciptakan suara siulan gaib itu. Tambah lama, suara siulan melemah, terdesak oleh deru angin yang keluar dari telapak tangan orang tua berbaju merah, tubuh si pemuda dirasakan tergencet oleh satu kekuatan, tubuhnya mulai oleng, keringat dinginnya mengucur membasahi tubuhnya, genta siulan tambah lama tambah sirap, melemah lagi, kemudian terpecahpecah menimbulkan irama-irama yang berpencaran, tertiup angin terbang keudara. Berbareng dengan lenyapnya gema suara siulan, tertiup gulungan angin yang menderu-deru, terbang terpecah-pecah di udara, tubuh si pemuda turut melayang, seakan daun kering tertiup angin. Akhirnya hanya tampak satu titik hitam menembus kabut-kabut tebing-tebing gunung. putih diatas puncak "Hua, ha, ha" Orang tua berbaju merah tertawa. Kepalanya menengadah kelangit menyaksikan lenyapnya bayangan si pemuda ditelan kabut putih. "Haaaa .... huaaaa .... ingin kulihat, apakah bacotmu masih bisa mengeluarkan siulan setan itu, sesampaimu dibumi ....." Bayangan si pemuda yang lenyap ditelan kabutkabut putih dipuncak gunung, kini perlahan-lahan tampak meluncur satu titik hitam turun melesat dengan cepat, kemudian tampak jelas bentuk tubuh si pemuda melayang-layang turun. Breeet .... krak .... kreak ..... Tubuh si pemuda jatuh membentur dahan pohon, bajunya koyak tersangkut, ia bergelantungan, dari mulut dan hidungnya menetes darah merah. Breeet.......tiba-tiba baju yang tersangkut itu robek, tubuh si pemuda jatuh ambruk terbanting tengkurap ditanah. Ia tidak bergerak. 0)0od^wo0(0 Sang surya timbul tenggelam memutari bumi, suasana dalam lembah Im-bu-kok sunyi sepi, tidak terdengar suara apapun, tidak terdengar suara burung berkicau. Diatas tempat tidur batu didalam ruangan kamar batu dilembah Im-bu-kok menggeletak sesosok tubuh. Disamping tempat tidur batu itu tampak duduk diatas bangku batu persegi, seorang tua berjenggot putih meletak, berbadan kurus kering, tampak tulang-tulangnya terbungkus kulit, mata orang tua itu memancarkan sinar tajam berkilauan, memperhatikan sosok tubuh yang masih menggeletak terbaring diatas tempat tidur batu. "Hmmm, bocah......." Terdengar suara orang tua itu mengguman menarik napas. "Kau membuat aku pusing kepala, mengapa tidak biarkan aku mati ditempat ini, mengapa kau .... ah....." Berbarengan dengan sirapnya suara keluh kesah orang tua kurus kering itu, sosok tubuh yang tidur terlentang, menggerak-gerakkan kelopak matanya, mata itu terbelalak memancarkan sinar kebirubiruan. Sinar mata itu seakan-akan mencari, mencari sesuatu, itulah bayangan si jelita Lie Eng Eng, bayangan yang tidak bisa dilupakannya, bayangan itulah yang pertama kali membayang dibiji matanya begitu ia tersadar, dari sinar matanya bayangan Lie Eng Eng mengisi benak pikirannya yang kosong. Perlahan-lahan kedua tangannya ditelakkan di atas tempat tidur batu, tubuhnya terangkat naik ia duduk diatas tempat tidur batu itu. Orang tua kurus kering berjenggot putih meletak, memperhatikan kelakuan pemuda itu, ia menarik napas lalu katanya. "Bocah .... sungguh hebat kekuatan pisikmu ...." Sosok tubuh yang baru saja duduk diatas tempat tidur batu bukan lain dari pada si pemuda gondrong. Mendengar suara orang bicara disampingnya ia terkejut, tubuhnya meletik menjauhi datangnya suara tadi, dengan masih sempoyongan si pemuda berdiri terpaku memandang orang tua kurus kering itu. Mulutnya ternganga. Apa yang dilihatnya? Dihadapannya duduk diatas bangku batu, seorang tua kurus kering berjenggot putih sampai pusar, itulah orang tua yang beberapa hari yang lalu ia lihat terikat kaki tangannya dengan rantai-rantai diruangan kotor. Bagaimana mendadak orang tua kurus kering itu bisa duduk bebas dihadapannya, tanpa rantairantai mengikat tubuhnya? Si pemuda melangkahkan kakinya berjalan, mencari pintu ruangan kamar batu itu, ternyata ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya tampak beberapa obor terpajang disetiap dindingdinding empat persegi ruangan itu. "Bocah, duduklah !" Kata orang tua tadi. "Tubuhmu belum kuat, jangan banyak bergerak." Si orang tua kurus kering bangkit, lalu berjalan kesudut ruangan, di mana terdapat satu meja batu, dari atas meja itu ia mengambil satu paso yang berisi buah Ouw co, lalu menghampiri si pemuda, katanya. "Bocah, di sini tidak terdapat makanan lain, hanya buah-buah Ouw-co ini, makanlah. Sudah tujuh hari tujuh malam kau pingsan tak ingat diri, tentu perutmu kini terasa lapar." Begitu mata si pemuda tertumbuk tumpukan buah Ouw-co diatas paso, tentu saja membuat perutnya terasa keruyukan. ia segera menyambuti paso itu, duduk diatas pembaringan memakan buah-buah Ouw-co dengan lahapnya. Perangkap Karya Kho Ping Hoo Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan Karya Chin Yung Darah Daging Karya Kho Ping Hoo