Pusaka Pedang Embun 7
Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong Bagian 7
Pusaka Pedang Embun Karya dari Sin Liong Tiauw Jie Kun melemparkan potongan pedang yang masih digenggamnya kearah dada si nona jelita, terdengar suara mendenting golok itu terpental mundur dibentur pedang Ang-lo-po-kiam menjadi dua potong lagi. Tubuh Tiauw Jie Kun melesat meninggalkan arena pertandingan. "Hebat !" Tanpa disadari Lie Eng Eng memuji kehebatan ilmu golok Jie-sie-lauwnya Tiauw Jie Kun. "Apa yang hebat?" Dengus Ho Ho. "Hei, kau juga keliwat pandang enteng ilmu goloknya Tiauw Jie Kun, mmm, kalau aku tidak menggunakan pedang pusaka Ang-lo-po-kiam ini, sulit aku bisa merobohkan dirinya!" Kata Lie Eng Eng sambil memasukkan kembali pedangnya kedalam serangka. "Hei, ilmu apa yang kau gunakan tadi ?" Tanya Lie Eng Eng. "Huh, itu bukan ilmu apa-apa, hanya ilmu si pengemis minta sedekah ?" Kata Ho Ho. "Hih hihh....." Terdengar suara merdu tawa si nona jelita. "Kau ada-ada saja masa ada jurus pengemis minta sedekah? Tapi juga hebat luar biasa hih hi......" Ditertawakan begitu Ho Ho tidak marah, malah ia senang sekali menikmati tawa-tawa si gadis jelita, suara tawa itu garing merdu, menambah kecantikannya. "Apa yang hebat ! justru tidak ada gunanya, jika aku tidak berhasil membuat orang itu kalap lebih dahulu, mana bisa aku mengelabui matanya. Untung saja sambaran lepehku, berhasil membuat Tiauw Jie Kun kalap tidak keruan. Hingga dengan mudah aku baru bisa menipunya dengan jurusjurus pengemis itu, kalau tidak, huh, mungkin kepalaku sudah menggelinding." Orang-orang yang berkerumun penonton pertandingan juga sudah pada bubar, mereka kagum, ngeri bercampur aduk menyaksikan pertandingan maut tadi. Lie Eng Eng dan si pengemis cilik Ho Ho kembali memasuki rumah makan, mereka disambut dengan ramah tamah oleh pemilik rumah makan. "Nona, mengapa tidak sekalian membereskan nyawa bajingan itu?" Tanya Ho Ho. "Hai, kejadian didunia ini memang lucu lucu, bajingan itu menguntit aku selama dua tahun ini, ia juga sudah merampas kelenteng Liong-ong-bio, menyaru jadi padri, menyelidiki keadaan diriku. Dengan diam-diam juga aku menguntit dirinya, menyelidiki letak markas besar kepala berandal Raja-raja Gunung." Selagi mereka bicara sambil makan minum, berjalan masuk seorang pemuda, celingukan sebentar, lalu pemuda itu menghampiri meja dimana Lie Eng Eng dan si pengemis cilik Ho Ho duduk. Lie Eng Eng mengenali siapa yang datang, tegurnya. "Hallo! Apa kabar?" Pemuda yang baru datang, setelah menganggukkan kepala kearah Si pengemis cilik Ho Ho menyeret kursi lalu duduk, ia berkata. "Nona, sudah lama tidak berjumpa apakah baikbaik saja?" "Hei !" Tegur si pengemis. "Rupanya kau juga lagi gila asmara, orang bertanya apa kabar, kau belum jawab, malah sudah kesusu menanyakan keadaan orang, toch sicantik segar bugar dihadapanmu, untuk apa tanya-tanya lagi, huah, haaa....cilaka banyak orang gila asmara !" Selembar wajah si pemuda menjadi merah. Lie Eng Eng sambil unjukkan senyum manisnya, memperkenalkan ; "Ini si pengemis cilik Ho Ho murid Pie tet Sin-kay." Tangan mulus menunjuk ke arah Ho Ho. "Saudara ini Thio Thian Su murid Ceng it Cinjin." Kedua pemuda itu saling angguk meskipun hati Thio Thian Su masih merasa mendongkol atas kata-kata si pengemis barusan. "Saudara Thian Su, bagaimana tugasmu menguntit Kun-see-mo-ong Teng Kie Lang? Apakah." "Hai," Memotong Thio Thian Su. "Aku kehilangan jejaknya digunung Ong-san ! Hei, saudara Ho Ho, apakah gurumu Pie-tet Sin-kay itu yang akan menjalani hukuman matinya pada tanggal 11 bulan ini?" Si pengemis cilik Ho Ho mendelik, katanya . "Kau kira ada berapa Pie-tet Sin-kay di dunia pergembelan ini?! Huh, kau jangan samakan guruku dengan orang-orang yang sedang gila asmara, guruku hanya satu, dengan satu nama. Sedang orang-orang gila asmara terlalu banyak, seharian ini saja aku menemukan dua orang." Thio Thian Su mendengar ucapan sindiran Ho Ho jadi naik darah, dengan muka merah ia berdiri. Tapi cepat tangan Lie Eng Eng yang halus meraba pundak kanan si pemuda, keruan saja, kemarahan Thio Thian Su mendadak lenyap, berganti dengan hawa sejuk yang keluar dari telapak tangan halus si nona manis menyelusupi urat-urat sarafnya. "Sudahlah, duduk." Kata Lie Eng Eng kemudian. "kawan pengemis kita sedang pusing kepala, mabok memikirkan suhunya !" Thio Thian Su yang kemarahannya mendadak lenyap tergusur oleh rabaan tangan halus si nona manis, hatinya dug, deg-degan ia duduk dikursi kembali. "Hei, pelayan, ambilkan lagi minuman!" Teriak Lie Eng Eng. makanan dan Thio Thian Su dengan perasaan girang bercampur bangga mendapat elusan tangan halus si nona manis ia berkata. "Di Pakkia mungkin akan ramai, kukira akan terjadi pertempuran hebat pada tanggal sebelas nanti." "Bagaimana kau tahu akan terjadi pertempuran hebat ?" Tanya Ho Ho. "Suhuku sendiri akan datang !" Jawab Thio Thian Su. "Huah....... Ceng-it Cinjin akan hadir dikotaraja ?" Tanya Lie Eng Eng. Thio Thian Su berkata lagi . "Jendral Cong sudah mengundang orang-orang kuat rimba persilatan yang gila pangkat dan kedudukan, termasuk si Tay ong, kepala berandal Raja Gunung berikut anakanak buahnya. Mereka semua akan meluruk turun gunung berdiri dibelakang jendral Cong ! Juga dari golongan ksatria meluruk datang untuk menolong Pie-tet Sin-kay dari kematian. Hai! Disamping itu, masih banyak lagi tokoh-tokoh hitam yang akan hadir, mereka tidak memihak pembesar anjing Cong atau para kesatria, kehadiran mereka sengaja mengacau rimba persilatan. Mencari jejak peta pusaka !" "Peta pusaka?" Dengan berbareng Ho Ho dan Lie Eng Eng bertanya. "Ya, peta pusaka," Berkata lagi Thio Thian Su. "menurut keterangan guruku peta pusaka itu menunjukkan tersimpannya satu benda pusaka gaib. Pada tiga puluh tahun berselang suhuku pernah berjumpa dengan Thian-lam-it-lo Kak Wan Kie-su, tokoh sakti tanpa tandingan, ia menceritakan terpendamnya satu pedang pusaka gaib bangsa Arab didataran Tionggoan !" "Pusaka gaib bangsa Arab?" Tanya Lie Eng Eng. "Hei," Si pengemis cilik Ho Ho nyeletuk. "Tadi kau kata peta pusaka, sekarang pedang pusaka? Ini bagaimana bisa terjadi petanya merupakan barang pusaka, barang yang tersimpan dalam peta itu juga merupakan barang pusaka ? Apakah ucapanmu ini tidak ngelantur lagi ?" Dengan bangga Thio Thian Su berkata. "Memang ! Petanya adalah merupakan satu barang pusaka, entah bagaimana bentuknya ? Barang itu tidak seorangpun yang tahu. Pedang pusakanya adalah merupakan sebilah pedang gaib luar biasa dari jaman nabi-nabi bangsa Arab." "Apa kegunaannya pedang itu?" Tanya lagi si pengemis cilik Ho Ho. "Inilah yang mengherankan, bagaimana ada pedang gaib, kalau pedang pusaka itu sudah lumrah, tapi pedang gaib.......?" "Mungkin semacam pedang siluman yang bisa menjelma menjadi ular atau naga?" Potong Lie Eng Eng. "Ai, hampir lupa!" Berkata lagi Thio Thian Su. "Kudengar gurumu Sin-kiong kiam Ong Pek Ciauw locianpwe juga akan hadir dikotaraja ?" "Apa ?!!!" Menegasi Lie Eng Eng. "Gurumu akan hadir dikotaraja !" Mengulangi Thio Thian Su. "Alaaaaa........suhuku juga akan datang ? Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak pernah menemukan jejaknya. Kalau begitu, aku akan segera pergi kekotaraja lebih siang menunggu kehadiran suhuku." Kata Lie Eng Eng girang. "Begitu juga baik," Kata Thio Thian Su. "Kita berangkat bersama saja bagaimana?" Si pengemis cilik Ho Ho mendengar ucapan Thio Thian Su, ia nyengir, pikirnya; Orang ini sudah betul-betul tergila-gila kecantikan si nona manis Lie Eng Eng. Lie Eng Eng hanya tersenyum, ia panggil pelayan, memberesi rekening makanan, baru berkata ; "Saudara Ho, apa kau juga mau ikut berangkat bersama aku ?" "Ach, aku ada janji dengan pacarku? Kau pergilah berdua. Nanti aku datang menyusul." Kata Ho Ho. "Huh, jadi kau juga gembel sudah punya pacar, eh apa pacarmu juga gembel perempuan?" Tanya Lie Eng Eng guyon. "Haaa... hua..... haaaa. ......" Terdengar suara riuh tertawa tiga orang dengan masih tertawa-tawa Lie Eng Eng melesat meninggalkan rumah makan diikuti Thio Thian Su si pemuda mabok asmara. Sayang ! Untuk sementara waktu, pertemuan Liong Houw dan Lie Eng Eng kita batalkan! 0)0od^wo0(0 Ho Ho dengan gayanya si pengemis kawakan berjalan meninggalkan rumah makan, langkah kakinya diayun keluar kota, kembali kerumah si nenek tua dikampung Ciu-kee-cun. Dari jauh tampak Liong Houw berlarian menyongsong kedatangan si pengemis cilik Ho Ho. "Hei kawan, apakah kau sudah menemukan gadis itu ?" Tanya Ho Ho. berhasil "Hayaa...... kepalaku pusing!" Kata Liong Houw. "nenek itu juga keliwatan, sesudah kudapatkan gadisnya, ia suruh aku mengambil anak gadis itu menjadi isteriku, kau pikir urusan ini gila apa tidak?" "Gila apa?" Sahut Ho Ho. "Kalau kau tidak mau jadi suami gadis itu, asal ia cantik, oper saja padaku apa susahnya?" "Aih.... Kau bicara jangan asal nyerocos," Kata Liong Houw. "Urusan ini bukan soal main main, harus dirundingkan masak-masak." "Apa lagi yang musti dirundingkan, jika kau mau, bilang saja sama si nenek, jangan malumalu, jika tidak boleh tolak saja ! Perlu apa pusingpusing," Jawab Ho Ho dongkol. "Kalau kutolak tawaran nenek itu, ia akan bunuh diri," Kata lagi Liong Houw. "Hngg, hayo cepat kesana, ingin kulihat wajah gadis itu, kalau ia cantik, boleh juga untuk kawan perjalanan, tambah lumayan." Berunding punya berunding, akhirnya Liong Houw kewalahan menghadapi desakan si pengemis cilik Ho Ho yang sudah menilai kecantikan gadis itu, ternyata tidak kalah cantiknya dengan si jelita Lie Eng Eng, maka mereka saling angkat saudara. Si pengemis cilik Ho Ho dengan wajah riang mendapatkan kakak dan adik angkat begitu cantik, bertanya kepada Liong Houw. "Hei, kau dapatkan dimana adik Liu Ing?" "Dikelenteng Liong-ong-bio !" Jawab Liong Houw. Meskipun mereka sudah saling mengangkat saudara, Liong Houw adalah yang tertua, sedang Liu Ing si gadis cantik ayu adalah saudara angkat yang termuda tapi panggilan mereka ternyata seenak mulutnya saja, mereka tidak menggunakan istilah panggilan antara adik dan kakak. Mereka itulah calon-calon manusia aneh yang akan menggemparkan rimba persilatan. "Rupanya perbuatan si Tiauw Jie Kun ! Mungkin kelak ia akan kembali kemari mencari gadis itu, juga.....bisa-bisa si nenek dibunuhnya." Kata Ho Ho. "Apa kau kenal dengan orang itu ?" Tanya Liong Houw. "Bukan kenal lagi, dikota Cee-lam-hu, padri palsu itu sudah dibuat ngacir oleh si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng !" Liong Houw mendengar disebutnya nama si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Sikapnya tenang-tenang, seakan tidak pernah terjadi apaapa atas dirinya dengan si Pedang Macan Betina Lie Eng Eng. Karena Liong Houw tidak tahu nama gadis yang dirindukan siang malam itu, ia hanya mengenali raut wajah muka cantik manis si nona jelita, serta mengenali pedangnya yang bisa memancarkan cahaya terang kemilauan, tapi tidak kenal nama sang gadis yang selama ini dirindu dendamkan. Mendengar cerita Ho Ho, ia hanya merasa kagum atas kehebatan si Pedang Macan Betina ! Si pengemis cilik Ho Ho sudah berkata lagi . "Pada tanggal 11 bulan ini, suhuku akan menjalankan hukuman mati. Aku harus segera berangkat kekotaraja. Mungkin akan terjadi pertempuran hebat !" "Kalau begitu, biar kita pergi bersama, mungkin aku bisa menyumbangkan tenaga?" Kata Liong Houw. "Itulah yang kuharapkan, tapi mengingat perjalanan dari sini kekotaraja memakan waktu empat hari perjalanan, apakah adik Liu Ing sanggup melakukan perjalanan begitu jauh ? Kukira adik Liu Ing juga tidak bisa menunggang kuda." Kata si pengemis cilik Ho Ho. Liong Houw mengkerut-kerutkan keningnya, ia berpikir keras, kalau meninggalkan adik Liu Ingnya, pasti akan terjadi malapetaka kembali, kalau ia diajak serta, menghambat perjalanan. Berpikir bolak balik, tiba-tiba tangannya merogoh saku baju, mengeluarkan satu kantong kecil. Dari dalam kantong kecil itu, ia mengeluarkan sebutir mutiara yang memancarkan sinar terang benderang. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si pengemis cilik Ho Ho menampak Liong Houw mengeluarkan sebutir mutiara berkeredepan, girangnya bukan kepalang, lalu katanya . "Hai..... dengan sebutir mutiara itu, kita bisa membeli sepuluh kereta kuda....." Tiba-tiba ucapannya terhenti, ia merasa jengah sendiri. Mukanya menjadi merah. Liong Houw menyaksikan perobahan wajah Ho Ho, ia bisa mengerti perasaan sang adik angkat, segera berkata . "Ah, kau bawa saja mutiara ini kekota, segala-galanya kuserahkan padamu, tapi ingat jangan lupa ya, kau harus ganti pakaian!" Mendengar ucapan itu, Ho Ho menjadi girang lalu katanya . "Kalau begitu, baiknya kita kekota saja menginap dirumah penginapan ?" "Ya, tapi bagaimana dengan nenek ini ?" Tanya Liong Houw. "Berapa banyak kau miliki mutiara semacam ini?" Bertanya si pengemis cilik Ho Ho. "Ada dua puluh butir," Jawab Liong Houw. "Eeeh.....banyak amat ? Dari mana dapatkan mutiara berharga sebanyak itu?" Kau "Suhuku yang memberikan," Jawab Liong Houw. "Ketika aku keluar lembah Im-bu-kok, suhuku membekali mutiara-mutiara ini untuk bekal hidup. Memang kenapa ?" "Ah tidak apa-apa, sebutir mutiara ini bisa dibelikan sepuluh kereta kuda, biar kupesan satu kereta istimewa berkuda empat, sisa uangnya dibelikan perlengkapan pakaian, lebihnya kukira kita berikan pada tukang kereta, untuk menitipkan nenek ini disana." "Ya, betul begitu juga baik." Sahut Liong Houw. 0)0od^wo0(0 TANGGAL LIMA bulan enam tahun Imlek. Dalam rumah makan Sam-gie dikota Cee-lamhu, tampak disatu meja dekat jendela duduk dua orang pemuda dan seorang gadis ayu jelita. Si pemuda bukan lain dari pada Liong Houw, duduk menghadap selatan, si pengemis cilik Ho Ho duduk menghadap utara. Sedang Liu Ing si gadis ayu jelita dengan mengenakan pakaian sutra merah jambu berenda, duduk menghadap barat. "Toako." Kata Ho Ho perlahan. "Dalam menjalankan rencana kita kemarin, didalam perjalanan, kau tetap kusir kereta, sedang aku dengan Liu Ing berperan sebagai putra puteri bangsawan." "Aku sudah mengerti. Semua rencana kuserahkan padamu," Kata Liong Houw berbisik. Guna menolong Pie-tet Sin-kay, si pengemis cilik Ho Ho merencanakan suatu penyamaran dalam perjalanannya kekota-raja. Liong Houw menyamar sebagai kusir kereta dengan mengenakan tudung dan pakaian kupluk sedang si pengemis cilik Ho Ho dan Liu Ing, menyamar sebagai anak-anak orang hartawan gede. Mereka mengenakan pakaian mewah luar biasa mahalnya. Langkah itu diambil untuk menghindari kecurigaan-kecurigaan dari para mata-mata pemerintah yang dengan ketat mengawasi setiap gerak gerik orang-orang yang masuk kekotaraja. Dalam rumah makan itu belum begitu banyak orang. Kursi meja masih banyak yang kosong, hari masih terlalu pagi. "Toako," Berkata Ho Ho si putra hartawan tetiron. "Didunia ini baru pertama kali aku menemukan orang seperti kau, hanya makan buah-buahan untuk tangsel perut, kedudukanmu sebagai kusir memang cocok sekali." Mendengar ocehan Ho Ho si putera hartawan tetiron, Liong Houw hanya tersenyum saja. "Ai.koko Liong, kereta sudah datang." "Hmm, adik Liu Ing, mulai detik ini kau jangan panggil aku koko dulu, panggil saja jabatanku si kusir, jangan lupa," Kata Liong Houw memperingati adik angkatnya. Dimuka rumah makan berhenti satu kereta mewah bercat biru laut, di ke empat pintu261 pintunya terdapat ukiran-ukiran bunga Bwee, dengan ditarik oleh empat ekor kuda berbulu putih. Seorang tua lompat turun, lalu berjalan memasuki rumah makan. "Kongcu....kereta sudah siap?" Berkata orang tua yang tadi mengusiri kereta pada si kongcu tetiron Ho Ho. "Eng.kau pergilah ! Eh, ya, apa uang yang kuberikan juga cukup untuk merawat nenek yang kutitipkan ?" Tanya Ho Ho. "Cukup kongcu, cukup untuk lima tahun," Berkata si orang tua tukang kereta. Ho Ho si kongcu tetiron berkata lagi. "Kau harus perlakukan nenek itu baik-baik kalau kelak kudengar kau sia-siakan, hem...." "Ya, ya, aku mengerti kongcu," Potong tukang kereta. "Pergilah !" Setelah itu si kongcu tetiron Ho Ho, berkata pada si kusir kereta tetiron alias Liong Houw, dengan suara keras. "Hei, kusir, kau siapkan kereta, kami akan segera berangkat!" Setelah membereskan rekening makan, mereka berjalan keluar menuju kereta. Liong Houw selaku kusir, membukakan pintu menyilahkan siputera puteri hartawan masuk kedalam kereta. Penduduk kota Cee-Iam-hu, yang menyaksikan didalam kotanya mendadak muncul dua orang anak bangsawan mereka menjadi heran terlongong-longong, hati mereka bertanya tanya, dari mana datangnya anak-anak orang gedean itu. Mereka tidak tahu kalau si pemuda hartawan itulah sebetulnya anak gembel yang kemarin berkeliaran didalam kota. Dengan mengenakan topi lebar, Liong Houw menarik les kuda. Terdengar suara derap langkah kaki kuda, diiringi suara keretekan roda-roda kereta meninggalkan kota Cee-lam-hu. Didalam kereta Ho Ho duduk berhadap-hadapan dengan Liu Ing. Terdengar suara Ho Ho memecah kesunyian pagi itu. "Adik Lui Ing, menurut apa yang kudengar dari nenek pengasuhmu, kedua orang tuamu dibunuh mati orang, apakah kau tahu sebab-sebabnya?" Liu Ing mengedip-mengedipkan bulu matanya yang lentik, lalu berkata dengan suara garing merdu. "Apa nenek Sian sudah menceritakan siapa kedua orang tuaku pada toako?" "Nenek itu hanya mengatakan majikan almarhum Cu Liang San dibunuh orang." Kata Ho Ho. Wajah Liu Ing bersemu pucat mendengar nama ayahnya disebut-disebut Ho Ho, nama itu membangkitkan kenangan semasa ia masih kanakanak. Kenangan indah penuh gairah cita-cita harapan hidup muluk penuh kebahagiaan. "Hei," Tegur Ho Ho. "Ah......." Liu Ing sadar dari lamunannya. "Oya, tentang sebab musababnya aku sendiri tidak tahu, sedang nenek Sian tidak pernah menceritakan. Ia hanya berpesan, kelak aku juga bisa membongkar rahasia itu." Ho Ho sambil bercakap-cakap, otaknya bekerja menilai bentuk potongan tubuh serta mimik gerak bibir Liu Ing dalam mengucapkan kata-katanya, sungguh indah kedua bibir gadis itu, hai, ia menarik napas panjang. Selanjutnya Ho Ho tidak mau mengungkit lagi soal keluarga Liu Ing, yang bisa membangkitkan kenangan lama si gadis, ia memandang keluar jendela sejenak lalu berkata perlahan; "Bagaimana penilaianmu atas diri koko Liong?" "Emmm," Liu Ing membisu seribu bahasa. "Koko Liongmu," Berkata lagi Ho Ho. "Sejak pertemuanku yang pertama, ia seperti orang yang sedang mabok asmara, entah gadis mana yang digila-gilainya." Liu Ing tidak menggubris ocehan-ocehan Ho Ho, matanya memandang keluar jendela, menikmati pemandangan rumput-rumput menghijau, batangbatang pohon tampak seakan berlarian. Sang Surya condong kebarat, hari mulai petang, derap-derap langkah kaki kuda menuju arah timur. "Hei.!" Teriak Liong Houw, tangannya menepuk-nepuk pintu kereta. "Hari sudah mulai gelap, apakah kita meneruskan perjalanan?" Ho Ho dalam kereta meneriaki si kusir. "Beberapa lie didepan kita kota Kwie-yong-hu, kau bedal kuda itu lebih cepat, sebelum matahari terbenam kita bisa sampai disana." Si kusir kereta alias Liong Houw mengayun pecutnya diudara, terdengar suara-suara menggeletar-geletar, derap-derap langkah kaki kuda semakin ramai, kereta berjalan tambah laju. Abu-abu mengepul diudara, kereta berwarna biru laut melesat memasuki pintu kota Kwie yong-hu. Di muka rumah penginapan Ciam-kiok-louw dikota Kwie-yong-hu, terdengar suara-suara rodaroda kereta terseret menciut-ciut, lalu berhenti disana. Si kusir kereta lompat turun, membukakan pintu kereta. Liu Ing siputri hartawan tetiron dengan dituntun Ho Ho, memasuki rumah penginapan, diikuti oleh si kusir kereta. Pemilik rumah penginapan, menampak masuk dua orang muda dengan mengenakan pakaian mewah, segera menghampiri, ia tidak pandang mata pada Liong Houw yang berdandan sebagai kusir kereta. "Kongcu !" Kata si pemilik rumah penginapan dengan sikap menghormat. "Cepat sediakan tiga kamar," Potong Ho Ho cepat. "Suruh orang urus keretaku, besok pagi harus sudah siap, kami akan berangkat melakukan perjalanan lagi." "Baik! Baik, Kongcu !" Jawab si pemilik rumah penginapan. Ia menyuruh seorang pelayan membawa kereta masuk kekandang kuda. Ho Ho, Liong Houw dan Liu Ing masing-masing memasuki kamar diatas loteng yang telah ditunjuk oleh si pemilik rumah penginapan. Mereka memesan makanan malam menangsal perut. Lalu pergi tidur. Malam itu dilalui dengan tenang. Cuaca malam yang gelap, tampak sedikit demi sedikit menjadi terang kembali, suara keruyukan ayam jago terdengar saling sahut-sahutan, dunia yang gelap pekat sunyi senyap kembali menjadi ramai pula. Sang batara surya memancarkan sinar yang gilang gemilang. Pagi itu cuaca cerah, udara sangat sejuk, didalam rumah penginapan Ciam-kiok-louw, dibawah loteng duduk menghadapi meja Ho Ho, Liong Houw dan Liu Ing. Tak lama, seorang pelayan datang membawakan makanan-makanan yang dipesan, bau harum makanan membangkitkan selera makan. Dihadapan Ho Ho dan Liu Ing, tampak dua porsi nasi goreng, satu porsi telur-telur ayam mata sapi, ayam goreng dan sepoci arak. Sedang dihadapan Liong Houw, si kusir kereta, hanya tampak beberapa macam buah-buahan dan satu gelas air berwarna putih bening. Para tamu yang juga pada sarapan pagi menyaksikan perbedaan makanan yang menyolok, antara si kongcu putra-putri hartawan dengan si kusir kereta dalam hati mencemoohkan si kongcu yang terlalu pelit. Rumah penginapan Ciam-kiok-louw yang juga merupakan rumah makan kini sudah mulai ramai dikunjungi orang yang makan minum. Disatu meja dekat pintu, tampak duduk seorang tua bertubuh kekar, berkumis tipis tidak berjenggot, kedua matanya memancarkan sinar terang. Sepasang sinar mata Ho Ho, beberapa kali ditembakkan kearah orang tua itu, dengan suara keras ia berkoar pada Liong Houw si kusir kereta. "Hei, hari ini kau harus membedal kuda-kuda itu dengan kecepatan maksimum, jangan sampai terlambat tiba di Pakkia, aku perlu menonton keramaian. Mungkin dalam sepuluh tahun ini baru pertama kali ada pertunjukan sungguh menarik hati, suatu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan....." "Kongcu ! Ada pertunjukan apakah di kota raja ?" Terdengar suara orang yang duduk disebelah meja Ho Ho, orang itu berusia kira-kira empat puluh lima tahunan, berpakaian seperti saudagar. Ho Ho memalingkan mukanya kearah datangnya suara itu lalu katanya . "Apakah tuan belum dengar kabar, bahwa pada tanggal sebelas bulan ini, akan dijalankan pelaksanaan hukuman mati terhadap seorang pemberontak ?" Orang tua yang berpakaian mengangguk-angguk kepala, katanya . saudagar "Oh, itu hukuman mati atas diri si gembel pie-tet Sin-kay ! Kukira pertunjukan apa ? Oya, sebetulnya kongcu orang daerah mana ?" "Aku dengan adikku perempuan asal dari Kun beng anak hartawan she Ong, apakah tuan kenal dengan ayahku?" Kata Ho Ho kebat kebit. "Heng......!" Dengus si saudagar. "Jauh-jauh ratusan lie jiwie kongcu memerlukan datang kekotaraja, hanya untuk menyaksikan dilaksanakannya hukuman mati atas diri seseorang. Sungguh buang-buang tempo percuma." "Hei, lain padang, lain belalang, lain lubuk, ikannya juga lain, rambut sama hitam tapi hidung tidak sama mancung!" Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kata Ho Ho berkoar lagi, matanya melirik kearah orang tua yang duduk didekat pintu. "Pemberontak yang akan menjalankan hukuman matinya adalah si pengemis butut Pie-tet Sin-kay, ia pernah mengganggu ketentraman keluargaku di Kun-beng, maka pada kesempatan ini ingin sekali aku melihat dengan mata kepala sendiri, kepala gembel itu menggelinding ditanah." Tiba-tiba orang tua yang duduk dimeja dekat pintu menggebrak meja mendengar kata-kata si Kongcu tetiron. Gebrakan itu sungguh hebat akibatnya, keempat kaki meja yang digebrak dengan telapak tangan si orang tua amblas kedalam lantai sampai setengah bagian, orang-orang yang sedang makan minum dikejutkan oleh suara gebrakan itu pada menoleh, mereka terkejut dan kagum, heran bercampur aduk. Dengan sinar mata jelilatan orang tua itu berjalan menghampiri meja dimana Ho Ho duduk, ia berkata . "Hei, kukira yang akan kau saksikan adalah menggelindingnya kepala-kepala pembesar anjing Pak-kia !" Ho Ho yang sejak tadi memperhatikan orang tua itu, sengaja membuat si orang tua naik darah, karena sebenarnya ia telah kenal betul orang tua itu adalah Si Rajawali Cakar emas, Rajawali kawan baik Pie-tet Sin-kay, tapi si Rajawali cakar emas sudah tidak mengenali kepada si pengemis cilik Ho Ho, murid konconya sendiri yang sudah berpakaian sebagai anak penggede. Kini menyaksikan Si Rajawali cakar emas sudah berada dihadapannya dengan mengucapkan katakata kemarahan, ia pura-pura terkejut. "Aaaa.......... kiranya tuan si Rajawali Cakar Emas yang gagah perkasa," Kata Ho Ho. Si Rajawali Cakar Emas, yang namanya disebut si kongcu muda, kejutnya bukan kepalang, sampai ia mundur dua langkah, matanya merah melotot memperhatikan Ho Ho dari atas kepala sampai ke kaki, lalu menatap kearah Liu Ing, akhirnya menoleh sebentar pada Liong Houw si kusir kereta, kembali menatap si kongcu tetiron Ho Ho. Ternyata hati Si Rajawali Cakar Mas sudah dibuat terkejut oleh ucapan si kongcu tetiron yang sudah bisa mengenali dirinya, tapi ia sendiri sebagai tokoh persilatan yang malang melintang dirimba persilatan baru kali ini menyaksikan ada kongcu muda seperti ini. Menyaksikan si Rajawali Cakar bingungan, Ho Ho sudah berkata lagi. Mas ke- "Kudengar konco-konconya si gembel juga pada meluruk datang ke Pak kia untuk menolong jiwanya si gembel butut, ayaa kelakuan mereka persis seperti ular cari penggebuk. Mereka akan menjadi umpan senjata tentara negeri yang gagah perkasa. Haaa, huaaa......suatu tontonan yang sangat menggembirakan untuk dilihat, tidak percuma aku jalan jauh-jauh ratusan lie datang Ke Pakkia ... ." "Bocah kurang ajar, tutup mulutmu!" Bentak si Rajawali Cakar Mas, sudah tidak bisa menahan kemarahannya mendengar kawan bulim dihina si kongcu tetiron. Tangan kanan si Rajawali Cakar Mas diangkat, jari-jari yang kuat terbentang diatas kepala si kongcu tetiron menyambar ubun ubun Ho Ho. Sambaran angin dingin menyambar kepala Ho Ho, semua orang-orang yang menyaksikan kejadian itu menahan napas, Liu Ing menggeser kursinya kebelakang menghindari sambaran angin yang membuat rambut-rambutnya riap-riapan bergelumbang. Sedang si kongcu tetiron menghadapi ancaman maut, ia seakan tidak menyadari adanya serangan itu, matanya melirik kearah Liong Houw, Liong Houw yang mendapat isyarat itu, segera menggunakan ilmu totokan jarak jauhnya bunga berguguran menotok sikut si Rajawali Cakar Mas. Tanpa terlihat gerakan tangannya. Ketika serangan maut si Rajawali Cakar Mas hampir mengenai batok kepala si kongcu tetiron, tiba-tiba dirasakan sikut kanannya dibentur oleh satu kekuatan halus, tangan itu menjadi keplek, tidak bertenaga. Wajah si Rajawali Cakar Mas berubah-ubah dari merah menjadi pucat, merah kembali semu biru, akhirnya pucat pasi seakan tidak berdarah. Matanya melirik ke arah Liu Ing yang duduk disamping si kongcu tetiron, katanya . "Mmmm, kepandaian nona hebat ! Lain kali aku si Rajawali Cakar Mas ingin berkenalan denganmu, hari ini aku masih banyak urusan, tidak sempat melayani bocah-bocah ingusan." Setelah berkata begitu, ia kembali kemejanya meletakkan beberapa uang recehan lalu ngeloyor pergi. "Hebat !" Terdengar suara si saudagar memuji. "Tidak kusangka nona juga memiliki kepandaian yang begitu hebat, dengan ilmu apakah tadi nona memunahkan serangan tangan cakar rajawali mas itu hingga membuat si tua itu lari ngacir ?" Akibat dari sandiwara yang diperankan oleh ketiga muda mudi itu, ternyata telah membuat si Rajawali Cakar Mas salah mata, disangkanya yang menotok sikutnya tadi adalah perbuatan Liu Ing, begitu pula si saudagar sudah menyangka hal yang sama, mereka tidak menduga bahwa yang telah membuat kabur si Rajawali Cakar Mas adalah si kusir kereta yang tampak tidak berkepandaian. Mendapat pertanyaan si saudagar tentu saja Liu Ing tidak bisa menjawab, mukanya bersemu merah. Menyaksikan itu cepat-cepat Ho Ho menalangi menjawab pertanyaan si saudagar katanya . "Ah, tuan terlalu memuji kepandaian adikku yang tidak berarti, hanya membuat ia menjadi malu !" Ho Ho menengguk minumannya lalu berkata lagi. "Sebetulnya itulah ilmu totokan tunggal keluarga kami." "Dengan kepandaian seperti itu, mana bisa dikatakan tidak berarti?" Kata lagi si saudagar. "Bila jiwie kongcu bersedia membantu usaha pemerintah, memperkuat barisan tentara negeri, pasti jiwie kongcu mendapat kedudukan tinggi ?" "Ucapan tuan terlalu berlebihan," Berkata si kongcu tetiron Ho Ho. "Mana bisa kami mendapat kedudukan tinggi dikota-raja, lebih-lebih kami hanyalah sebagai rakyat biasa yang tidak punya koneksi dilingkungan penggede-penggede pemerintahan, mana bisa menjabat kedudukan tinggi?" "Haaa, huah, huah,...........!" Tertawa si saudagar. "Urusan tidak terlalu susah, asal kongcu bersedia, pasti diterima, aku bisa bantu usaha kongcu." Mendengar ucapan si saudagar, hati Ho Ho tercekat, ia kaget bukan kepalang, tidak disangka orang yang berdandan seperti saudagar ini bisa mengucapkan kata-kata seperti itu, pasti ia adalah seorang tokoh silat yang punya hubungan dengan para pembesar negeri, atau setidak-tidaknya seorang mata-mata pemerintah. Berbeda dengan keadaan Liu Ing dan Liong Houw yang tidak mengerti soal-soal pergerakan politik masa itu, juga tidak mengerti apa inti sari yang diperbincangkan oleh kedua orang tadi, mereka berdua hanya duduk diam menikmati makanan yang tersedia dimeja. Si kongcu tetiron Ho Ho berkata lagi. "Kalau mendengar ucapan tuan tadi, rupanya tuan juga salah seorang penting pemerintah, entah siapakah nama besar tuan yang mulia?" "Haaa, hua.haaah." Tertawa bangga si saudagar. "Aku sebenarnya adalah Tong-hong Hong ketua golongan Sam-ie-hwee Pat-houw dari Thian-ma koan!" Mendengar nama si saudagar adalah ketua dari Sam-ie-hwee Pat-houw, hati Ho Ho tercekat, suhunya Pie-tet Sin-kay pernah bercerita, Sam-iehwee Pat-houw adalah gerombolan dari tiga suku bangsa liar, di tapal batas Burma, sifat-sifat mereka kejam dan ganas tidak berprikemanusiaan, hanya terdapat satu kelemahan mereka, sukusuku bangsa itu gila pangkat dan kedudukan. Kini Ho Ho sedang berhadapan dengan ketua dari tiga suku bangsa liar itu, hatinya agak goncang, tapi segera ia dapat menguasai kegoncangan hatinya lalu berkata. "Wah, rupanya rejekiku besar! Hari ini dengan tidak diduga bisa bertemu dengan ketua dari tiga suku bangsa Sam-ie yang terkenal gagah perkasa dari daerah tapal batas Burma, sering ayahku bercerita tentang kehebatan suku-suku bangsa Sam-ie, lebih-lebih ilmu kepandaian ketuanya yang begitu hebat luar biasa, entah apakah tuan juga ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati itu ?" "Kehadiranku ke kotaraja Pakkia adalah atas undangan jendral Cong ! Oh, ya, apakah kongcu juga pernah dengar tentang berita adanya peta pusaka?" Kata Tong-hong Hong. Ho Ho menunjukkan sikap yang terkejut, ia pura-pura tidak tahu persoalan tentang peta itu yang mulai menggemparkan rimba persilatan, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tonghong Hong menyaksikan Ho Ho hanya menggeleng-gelengkan kepala, rasa bangganya naik keawang-awang, disangkanya urusan ini hanya dialah yang baru mengetahui, maka buru-buru ia berkata lagi . "Apakah kongcu juga sudah pernah dengar nama Ceng-it Cinjin ?" Ho Ho pura-pura berpikir, baru katanya . "Ayahku pernah bercerita tentang setan tua itu, tapi entah bagaimanakah keadaan orang itu......" "Ha, ha, ha, jendral Cong dalam undangannya juga menuliskan sepucuk surat yang menerangkan panji naga milik Ceng-it Cinjin sudah tertancap dipintu gerbang istana Thian ong-thian, entah dengan cara bagaimana, Ceng-it Cinjin bisa menyelusup masuk, dan menancapkan panji naganya, hai........" "Oooh,...... begitukah?" Tanya Ho Ho pura-pura heran. "Kongcu," Berkata lagi Tong-hong Hong. "karena aku harus cepat melapor kekota-raja, terpaksa sampai di sini saja dulu, oh ya, bagaimana apakah kongcu bersedia untuk turut membantu usaha pemerintah?" "Membantu? Tentu saja aku bersedia, tapi kukira untuk sementara, biarlah aku melihat-lihat dulu keadaan dikotaraja, maklumlah aku masih senang keluyuran kesana kemari menikmati tempat yang indah." Jawab Ho Ho. "Baiklah!" Berkata Tong-hong Hong sambil bangkit berdiri. "Kehadiran kongcu akan kulaporkan, agar tidak mendapat gangguangangguan diperjalanan sampai masuk ke dalam kota." "Terima kasih, terima kasih," Kata Ho Ho sambil berdiri memberi hormat. Menampak Tong-hong Hong memasukkan tangannya kedalarn saku, buru-buru Ho Ho berkata. "Tuan, biarlah rekening makanan dihitung sekaligus dengan rekeningku, hitung-hitung sebagai tanda perkenalan kita." Tong-hong Hong melengak, tapi segera ia tertawa berkakakan, berjalan keluar. Setelah Tong-hong Hong berlalu, Ho Ho segera memanggil pelayan untuk segera menyediakan kereta yang tadi malam dititipkan. Lalu ia memberesi rekening makanannya. Terdengar suara derap langkah-langkah kaki kuda diiringi suara keretekannya roda-roda kereta menggelinding. Kereta biru laut meluncur meninggalkan kota Kwie-yang-hu. Didalam kereta yang bergoyang-goyang, Ho Ho berkata pada Liong Houw dengan suara keras . "Koko Liong, tak kuduga penyamaran kita sangat rapi, si Rajawali Cakar Emas tidak mengenali lagi diriku, haaa.....orang tua itu sungguh lucu." Liong Houw sambil memecuti kuda, berteriak. "Siapa orang tua itu? Apakah adik Ho kenal dengannya ?" "Bukan kenal lagi, dia adalah sobat kental guruku, ilmu semburan mulut adalah hadiah pemberiannya. Itulah jurus garuda memberi makan anaknya." "Kau terlalu ! Orang tua kau permainkan seperti itu?" Kata Liong Houw. "Sekali-kali tidak apa, aku ingin menunjukkan pada mereka golongan tua, kalau kita generasi muda juga bisa berbuat sesuatu diluar dugaan mereka, hmmm demi menolong suhu, aku memaki suhu, demi suksesnya rencana kita, si Rajawali Cakar Mas uring-uringan, dengan bantuan si Tonghong Hong manusia gila jasa, kita akan mudah memasuki kotaraja tanpa dicurigai." Berkata Ho Ho. Liu Ing didalam kereta, duduk bersandar matanya memandang keluar jendela menikmati pemandangan indah disepanjang jalan. Kereta biru laut meluncur terus menuju kotaraja, debu-debu mengepul dibelakang mereka. Berjalan setengah harian, tiba-tiba Liong Houw menghentikan keretanya. "Hei, mengapa berhenti menongolkan kepalanya. ?" Tanya Ho Ho Liong Houw berdiri diatas kereta memandang kearah rimba-rimba ditepi jalan, lalu katanya . "Barusan, sayup-sayup terbawa angin seperti terdengar ada suara orang ribut-ribut !" "Disebelah mana?" Tanya Ho Ho, heran, ia kagum atas ketajaman pendengaran telinga Liong Houw. "Kalau tidak salah, dari sebelah kanan kita," Jawab Liong Houw. "Kedengarannya seperti suara seorang wanita dan tawa seorang laki-laki, mereka seperti mempertengkarkan sesuatu!" Ho Ho memasang kuping lebar-lebar, tapi ia tidak mendengar suara apa-apa, lalu tanyanya. "Apa kau masih mendengar suara itu?" "Tidak !" Jawab Liong Houw. "Hmm......... !" Dengus Ho Ho. "Hayo putar kereta, kita lihat apa yang sedang terjadi dibalik rimba itu." Liong Houw segera memecut kuda memutar kereta kearah datangnya suara. Sementara kita tinggalkan dulu perjalanan rombongan Liong Houw, kita balik kembali mengikuti perjalanan Lie Eng Eng dan Thio Thian Su yang berpisahan dengan si pengemis cilik Ho Ho dikota Cee-lam-hu. Dua ekor kuda berbulu hitam berlari cepat, si penunggang adalah Lie Eng Eng dengan direndengi Thio Thian Su. Baju mereka berkibar-kibar ditiup angin, kuda-kuda mereka lari pesat menuju Kotaraja. Pada hari kedua, mereka mencongklangkan kudanya melalui jalan-jalan pegunungan. Diatas kuda diiringi dengan suara seliweran angin menderu-deru telinga Lie Eng Eng mendengar suatu suara yang mencurigakan di balik semak-semak belukar, dengan mengedut les kudanya ia menoleh kebelakang kearah Thio Thian Su dan berkata. "Apa kau mendengar suara itu ?" "Ya, seperti suara orang menggali tanah." Jawab Thio Thian Su. "Kukira tidak jauh dari sini." Thio Thian Su menarik les kudanya, kakinya dikeprakkeprak ke perut kuda merendengi kuda Lie Eng Eng. "Hmm.......mari kita tengok !" Kata Lie Eng Eng sambil memutar kudanya menuju kearah datangnya suara tadi. Mereka mencongklangkan kudanya memasuki semak-semak belukar. Tidak lama mereka tiba didalam rimba, tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar sedang menggali tanah. Lie Eng Eng dan Thio Thian Su menghentikan tunggangannya, lompat segera turun berjalan menghampiri orang yang sedang asyik menggali tanah. Orang itu begitu mengetahui akan kehadiran Lie Eng Eng dan Thio Thian Su ditempat itu, ia segera menghentikan pekerjaannya, menatap kearah Lie Eng Eng dan Thio Thian Su lalu berkata dengan suara serak dan kaku. "Ha ... selamat siang tuan dan nona." Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendengar kata-kata orang itu yang diucapkan kaku dan bahasanya kasar, serta bentuk tubuhnya, Lie Eng Eng dan Thio Thian Su mengetahui bahwa orang itu bukan orang Tionggoan. Tubuh orang itu tinggi hitam kekar berbulu seperti monyet, rambutnya hitam jengat ikal mengombak, bercambang tebal, berkumis tebal, pakaian orang itu mengenakan jubah putih panjang, dilehernya melingkar kalung tasbeh. Tidak jauh dari tanah yang digali orang tadi, menggeletak sesosok tubuh wanita muda, pakaian wanita itu sudah koyak-koyak tidak keruan, dari selangkangannya masih mengucurkan darah. Wanita itu sudah tidak bernapas. Menyaksikan pemandangan itu Thio Thian Su dengan perasaan heran segera bertanya. "Tuan siapakah, berada ditempat ini, kalau melihat bentuk potongan tubuh tuan dan logat bahasa tuan, tuan bukanlah orang Tionggoan juga bagaimana wanita itu bisa mati disini? Siapakah yang membunuhnya ?" Tangan thio Thian Su menunjuk kearah mayat wanita tadi. Orang hitam berambut ikal mengombak, mendengar pertanyaan Thio Thian Su, ia tersenyum, lalu melirik kearah Lie Eng Eng baru berkata ; "Karena kedatanganmu bersama si molek ini," Matanya melirik Lie Eng Eng. "biarlah aku beritahukan siapa aku, dan bagaimana wanita ini mati disini," Ia menunjukkan jarinya kearah wanita yang mati menggeletak diatas tanah, lalu lanjutnya. "Aku adalah salah seorang dari lima jago Hadramaut namaku Habib.....!" "Hadramaut !" Potong Lie Eng Eng. "Dimana Hadramaut itu, dan mana keempat orang lainnya ?" Habib tersenyum lalu katanya . "Hai nona molek, Hadramaut jauh dari sini, itulah benua Arabia !" "Jadi tuan bangsa Arabia ? Apakah tujuan tuan datang kedaerah Tionggoan ?" Bertanya Thio Thian Su. Habib berpikir-pikir sebentar memuntir-muntir kumisnya baru berkata . "Kehadiran kami ke Tionggoan mencari kembali pusaka gaib leluhur kami yang dikabarkan terpendam didataran Tionggoan untuk dibawa kembali kenegeri kami, sedang keempat jago Hadramaut lainnya berpencaran kesetiap pelosok dataran Tionggoan mencari jejak pusaka itu." "Hm, apakah yang kau cari itu bukankah Pedang Embun ?" Tanya Lie Eng Eng. Habib mendengar ucapan Lie Eng Eng tampak wajahnya berubah, kakinya melangkah mundur, ia bertanya heran . "Jadi kau juga sudah tahu tentang adanya pusaka gaib itu. Sepuluh tahun sudah, kami menyelidiki jejak pusaka yang lenyap dengan hati-hati dan rahasia, tapi toch kalian juga sudah dapat mengendusnya, hebat sekali." "Hm, apa yang hebat!" Kata Thio Thian Su. "Dinegeri kami pun banyak barang-barang pusaka yang tidak kalah hebatnya dengan pusaka leluhurmu." "Hei, apakah wanita ini membunuhnya?" Tanya Lie Eng Eng. kau yang Habib menatap wajah Lie Eng Eng, ia tersenyum katanya . "Kalau dikatakan aku yang bunuh, juga tidak ! Tapi jika dikatakan tidak, juga ia mati akibat........." "Akibat perbuatan terkutukmu bukan !" Potong Lie Eng Eng. "Ya, boleh dikata begitulah !" Jawab Habib, terus terang. "Heran wanita-wanita yang kutemukan, setelah kucicipi.... selalu mati! Ha ha, hua, apakah nona molek mungkin bisa tahan, ha, ha, hua.....!" "Bedebah !" Bentak Lie Eng Eng. "Selama beberapa tahun ini, hilangnya gadis adalah perbuatanmu ! Bagus ! Setelah kau bunuh korbanmu lalu kau kuburkan hingga tak meninggalkan jejak. Sungguh licin perbuatanmu !" Berbarengan dengan ucapannya Lie Eng Eng mencabut pedang Ang-lo-po-kiam, kilatan-kilatan sinar pedang menyilaukan mata. "Hah, hahahahaaa....." Habib tertawa berkakakan. "Sabar, nona molek! Sabar! Kau juga akan merasai nikmatnya sorga dunia......!" Menyaksikan tingkah laku orang itu, kemarahan Lie Eng Eng dan Thio Thian Su sudah tak tertahankan lagi, mereka segera menghujani tubuh Habib dengan pedang Ang-lo-po-kiam ditangan Lie Eng Eng, sedang Thio Thian Su menghujani pisaupisau terbangnya. Sinar pedang berkelebat-kelebat mengurung tubuh Habib, sedang pisau-pisau terbang Thio Thian Su meluncur kearah jalan-jalan darah penting ditubuh Habib. Mendapat serangan gencar itu, tubuh Habib masih berdiri tegak, ia tidak bergeming sedikit pun, membiarkan senjata-senjata itu membentur kulit tubuhnya, dengan tertawa-tawa menyaksikan pisau-pisau terbang Thio Thian Su mental berjatuhan ditanah, sedang pedang pusaka Ang-lopo-kiam membal balik, kedua senjata itu tidak berhasil menembus kulit hitam Habib jago Hadramaut. Lie Eng Eng dan Thio Thian Su menyaksikan serangan-serangannya tidak membawa hasil, mereka terkejut terheran-heran, segera menghentikan serangan-serangannya mundur dua langkah. "Haaaa, huaaa........!" Terdengar Habib tertawa. "Kau boleh keroyok, haaa, huaaa, rupanya jagojago Tionggoan pandai main keroyok, haaaa, ha.....eh, pedang nona memang hebat luar biasa, ha, ha......bisa mengeluarkan hawa dingin, haa, ha.... tapi untuk jago Hadramaut artinya......ha. hayo keroyok lagi...." Tidak ada Mendengar kata sindiran itu selembar wajah kedua jago muda menjadi merah, mereka jengah atas tindakannya tadi menyerang dengan berbareng. Sebenarnya Lie Eng Eng maupun Thio Thian Su tidak bermaksud untuk turun tangan berbareng mengeroyok si jago Hadramaut, tapi demi mendengar ucapan dan melihat tingkah tengik Habib, tanpa disadari mereka sudah bergerak berbareng. Untuk memperbaiki kesalahannya maka cepat Lie Eng Eng membentak . "Manusia bejat, meskipun kau memiliki ilmu setan atau siluman pejajaran, nonamu juga tidak gentar," Menoleh kearah Thio Thian Su, dan berkata . "Saudara Thio kau minggir ! Biar aku yang ajar adat pada manusia berdarah binatang ini !" Thio Thian Su mendengus, lalu mundur, ia berdiri didekat lubang yang digali si jago Hadramaut tadi. Disampingnya menggeletak tubuh wanita yang mati. Habib tertawa lagi, lalu katanya . "Hai nonaku, ha, haa.....cepat sedikit kalau kau masih ingin main-main dengan pedangmu, haa, ha, ha......aku sudah tidak sabar menunggu !" Lie Eng Eng mendengus melintangkan pedangnya kearah leher, gerakan Lie Eng Eng seperti orang yang hendak bunuh diri dengan memapas tenggorokannya sendiri, kejadian itu membuat Habib agak tertahan. "Haaaaa........" Terkejut, ia berteriak Tapi belum lagi teriakan Habib lenyap diudara tiba-tiba pedang Ang-lo-po-kiam menyambar bagian bawah pusar, begitu pedang menyambar kearah benda yang sering melakukan perbuatan terkutuk terhadap gadis-gadis sampai mati, Habib terkejut tidak kepalang, ia tidak mau membiarkan barangnya putus dipapas pedang, dengan mengeluarkan teriakan. "Masyaaalaaah......." Tubuhnya melejit keudara sedang kedua tangannya dijulurkan menyerang kepala Lie Eng Eng. Lie Eng Eng mengetahui serangannya gagal bahkan sambaran angin kuat sudah menyerang batok kepalanya, segera menarik kembali serangan pedangnya, ia miringkan tubuh kekiri, serangan angin kuat dari kedua tangan Habib lewat diatas pundak kanannya. Buumm....... Terdengar suara tanah berhamburan daun-daun kering yang rontok ditanah beterbangan kembali sedang abu mengepul diudara. Tubuh Habib meluncur turun, berdiri tegak lalu berkata ; "Mmm......kalian sudah menyerangku dua kali bukan ? Pertama keroyokan, kedua dengan gagah-gagahan nona mainkan pedangnya," Mata Habib melirik kearah Thio Thian Su yang berdiri di pinggir lubang, lalu bentaknya . "Kau ! Cepat kemari ! Kini giliran kalian menerima seranganku, beranikah kau ?" Thio Thian Su mendengus, ia berjalan kearah Lie Eng Eng, disana berdiri berendengan sejarak dua kaki. "Hayo...... !" Berbareng Lie Eng Eng dan Thio Thian Su membentak . "Ha, ha, haa......kalian jangan kesusu, haa, ha......nah, siaplah, seranganku akan kumulai." Lie Eng Eng melintangkan pedangnya di atas tenggorokan dengan sikap seperti orang ingin memotong lehernya sendiri, sedang Thio Thian Su berdiri tegak, memasang kuda-kuda untuk menerima datangnya serangan Habib. Kedua mata muda mudi itu menatap kearah Habib, lama mereka menatap wajah Habib, tapi Habib tidak melakukan gerakan apa-apa, ia hanya berdiri dengan menembakkan sinar matanya kearah mata kedua jago muda kita. Suasana menjadi hening. Keheningan suasana tiba-tiba disusul dengan perobahan si tuasi, pedang Lie Eng Eng yang tadi ditaroh didepan lehernya siap untuk menjaga segala kemungkinan, kini tampak perlahan-lahan pedang itu turun kebawah, tangan Lie Eng Eng lemah, akhirnya terjuntai kebawah, pedang yang dipegangnya jatuh menancap di tanah belukar. Tubuh Thio Thian Su yang tadi bersikap kudakuda kekar dan kuat, kini berubah lemah perlahan ia berdiri tegak disamping Lie Eng Eng, matanya masih menatap sinar mata Habib. Dengan tertawa maut, Habib berkata, suaranya lemah-lembut berwibawa diucapkan perlahan satusatu ; "Kalian .... berdiri berjajar lebih dekat ..." Lie Eng Eng dan Thio Thian Su seakan-akan tertarik oleh gaya magnit yang keluar dari katakata Habib, mereka segera bergerak berendeng satu sama lain. Habib berkata lagi. "Kau .... dan kau ... ." Ia menunjukkan jarinya kearah kedua jago kita. "Pandang mataku baik-baik .... mulai saat ini .... kalian hanya mendengar perintahku ..... mendengar suaraku seperti mendengar firman Tuhan.....kalian hanya dengar perintah dari suara yang kalian dengar ini .... kalian hanya turut perintah dari suara yang mendengung ditelinga kalian,.....tidak kenal kepada siapapun....kecuali aku, Habib ... ." Berkata sampai disitu Habib berhenti sejenak, ia memperhatikan kedua korban yang sudah masuk perangkap ilmu sihirnya, lalu berkata . "Apa kalian sudah mengerti ?" "Mengerti !" Jawab Lie Eng Eng dan Thio Thian Su berbareng. Mereka sudah terpengaruh sugesti ilmu sihir Habib dari Hadramaut. "Kau !" Habib menunjuk kearah Thio Thian Su. "siapa namamu ?" "Thio Thian Su," Jawab yang ditanya, singkat. "Kubur mayat perempuan itu!" Perintah Habib pada Thio Thian Su. "Baik !" Jawab Thio menjalankan perintah. Thian Su, segera Setelah itu Habib menoleh kearah Lie Eng Eng, tanyanya . "Namamu siapa ?" "Lie Eng Eng," Jawabnya cepat. "Buka pakaianmu !" Perintah Habib dengan senyumnya. Mendengar perintah itu Lie Eng Eng menggerakkan kedua tangannya, ia merobek baju bagian dadanya. Breeeeet ....... Terdengar suara kain tersobek. Menampak pemandangan itu air liur Habib meleleh keluar. Kaki Habib melangkah menghampiri tubuh Lie Eng Eng yang sudah terbuka bagian atasnya, tangan Habib dijulurkan hendak meraba dua benda membusung kuning langsat di dada Lie Eng Eng. Tiba-tiba ........ Terdengar derap-derap kaki kuda serta keretekan roda kereta, suara derap-derap kaki kuda kereta itu menerobos memasuki semaksemak belukar kian lama kian dekat. Habib membatalkan niatannya, kepalanya celingukan, Lie Eng Eng masih berdiri mematung dengan posisi yang sama, menunggu perintah lebih lanjut dari jago Hadramaut. Si kusir kereta yang bukan lain dari pada Liong Houw, matanya yang tajam tertumbuk dengan tubuh si nona jelita Pedang Macan Betina, berdiri mematung dengan pakaian atasnya sudah terobek, ia segera menghentikan keretanya lompat turun lalu berjalan menghampiri Lie Eng Eng yang selama ini ia rindu dendamkan. Ia tidak perduli si nona dalam keadaan bagaimana yang perlu segera menjumpainya dan menerangkan isi hatinya juga ia tidak ambil pusing terhadap orang yang ada ditempat itu. Ho Ho dan Liu Ing keluar dari dalam kereta, menyaksikan pemandangan itu juga merasa heran dan terkejut. Liu Ing hanya bisa berdiri dipintu kereta tanpa berbuat apa-apa, sedang Ho Ho segera berjalan menghampiri Thio Thian Su yang sedang duduk bengong. "Saudara Thio.............. kalian sedang berbuat apa?" Thio Thian Su yang sudah terpengaruh sugesti ilmu sihirnya sijago Hadramaut, tetap duduk bengong, seakan tidak mendengar suara pertanyaan Ho Ho. Ho Ho yang pertanyaannya tidak mendapat jawaban merasa mendongkol tangan kirinya menepuk kepala Thio Thian Su sambil berkata . "He......apa yang terjadi ? Mengapa bengong saja?" Thio Thian Su yang kepalanya ditepuk masih tetap tidak bergerak. Ia mematung. Saat itu Liong Houw yang menghampiri Lie Eng Eng melihat jelas baju atas Lie Eng Eng robek dan buah dadanya menonjol keluar, dengan perasaan bingung dan heran ia bertanya. "No......." Ucapan selanjutnya. "na" Belum tercetus dari mulutnya, tiba-tiba tubuh Liong Houw terbanting ambruk ditanah. Ho Ho yang baru saja menepuk kepala Thio Thian Su, mendengar suara gedabruk, ia menoleh kearah suara itu, tiba tiba matanya beradu dengan sinar mata Habib, tak lama keadaan Ho Ho juga sama dengan keadaan Thio Thian Su, dia sudah terkena pengaruh sihir Habib, si jago Hadramaut. Habib segera menggapaikan tangan ke arah Liu Ing, katanya . "Kau kemari !" Liu Ing menghampiri dengan langkah lemah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pusaka Pedang Embun Karya Sin Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Berdiri dekat dia !" Kata lagi Habib sambil menunjuk kearah Ho Ho. Liu Ing hanya menuruti apa yang dikehendaki Habib, ia tidak memiliki kepandaian, hingga lebih mudah terpengaruh oleh sugesti sihir sinar mata jago Hadramaut. Habib kembali mengucapkan kata-kata yang sama dengan yang ia ucapkan pada Lie Eng Eng dan Thio Thian Su. "Ha, ha, huaaa ....!" Habib tertawa terbahakbahak, ia melangkah maju menghampiri Liu Ing. "Kau.....kau lebih manis dari Lie Eng Eng, hei wajahmu lebih bening bercahaya .... hai siapa namamu, ayo sebutkan....." "Liu Ing." Jawab si gadis singkat. 0)0od^wo0(0 LlONG HOUW yang terbanting ditanah, kepalanya terasa pusing, dunia seperti berputar terbulak balik. Setelah ia bisa menenangkan pikirannya, segera bangkit berdiri, memperhatikan sekeliling rimba itu. Disana berdiri Liu Ing, bicara dengan Habib dan Ho Ho yang sudah menjublek seperti patung, hatinya merasa heran, ia tidak mengerti bagaimana dengan tiba-tiba kelakuan kedua saudara angkat itu berubah wajah dan sikapnya, tampak dingin kaku dan tolol. Liong Houw menoleh kearah Lie Eng Eng ternyata gadis itu masih seperti tadi berdiri dengan mata mendelong, buah dadanya menonjol keluar, menoleh kesebelah kirinya disana duduk Thio Thian Su diatas gundukan tanah. Mata Liong Houw menatap wajah Habib seorang yang berkulit hitam tinggi besar berambut ikal mengombak bercambang dan berkumis. Tadi begitu Liong Houw lompat turun dari atas kereta, pusat pikirannya hanya tertuju kepada Lie Eng Eng seorang, hingga ia tidak memperhatikan Habib yang berada disitu, sehingga Habib berhasil menangkap dan membanting tubuhnya ambruk di tanah. Sepasang sinar mata Liong Houw menantang kilatan sinar mata Habib, pandang memandang itu berlangsung sekian saat, akhirnya si jago Hadramaut buka suara . "Mulai detik ini, kau harus menuruti segala perintahku." "Kau siapa ?" Tanya Liong Houw. "Ajow............." Habib terkejut tidak kepalang, ia melangkah mundur setindak. Mengapa? Mengapa orang ini tidak terpengaruh oleh daya sugesti sinar matanya ? Itulah pertanyaan pertama dalam hati Habib, apakah anak ini juga pandai ilmu sihir? Tapi mengapa tadi ia dengan mudah terbanting ditanganku? Bertubi-tubi pertanyaan dalam hati Habib si jago dari Hadramaut. Liong Houw yang melatih diri dengan mencontoh gerakan-gerakan yang tertera dalam lukisanlukisan didinding batu dalam goa dilembah air terjun, selama ini juga tidak pernah memakan barang makanan bernyawa selain buah-buahan, membuat darahnya menjadi bersih, kebal kekotoran dunia. Sedang cara melatih ilmu sihir Habib, keadaannya hampir sama, selama ia melatih ilmu sihirnya itu, ia dilarang memakan barang makanan yang bernyawa. Hal inilah yang membuat keadaan Liong Houw seimbang dengan keadaan Habib, hingga ia tidak terpengaruh oleh sinar mata yang mengandung kekuatan sihir dari Hadramaut. Golok Sakti Karya Chin Yung Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL