Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 27


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 27


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   Pertarungan berlangsung dengan seru.   Tok-ku Bu-ti menyerang seratus kali berturut-turut.   Tapi tidak sekali pun dia berhasil menahan Wan Fei-yang.   Malahan anak muda itu mendesak terus ke arahnya.   Wan Fei-yang mencelat ke tengah udara.   Dia berjungkir balik.   Pedangnya menukik tajam mengancam kepala Tok-ku Bu-ti.   Tok-ku Hong serbasalah.   Dia juga mengkhawatirkan keselamatan ayahnya.   "Hati-hati!"   Serunya tanpa sadar.   Tok-ku Bu-ti cepat-cepat menggeser langkah kakinya dan memiringkan kepalanya.   Gelang emas pengikat rambutnya terpapas putus.   Tapi mendengar teriakan Tok-ku Hong tadi, Wan Fei-yang malah berdiri terpana.   Mata Tok-ku Bu-ti mengerling sekilas.   Tongkat kepala naganya dikibaskan.   Pedang Wan Fei-yang langsung tertangkis.   Telapak tangan kirinya dengan gerakan kilat menghantam ke depan.   Wan Fei-yang terkejut sekali.   Dengan panik dia mengulurkan tangannya menyambut hantaman itu.   "Blammm!"   Tubuh terpental sejauh dua depa.   Dia langsung 1126 memuntahkan segumpal arah segar.   Serangan Tok-ku Bu-ti tadi tidak terduga sama sekali.   Dengan Mit-kip-sin-kang sekali lagi dia berhasil melukai Wan Fei-yang.   Anak muda itu berusaha bangkit.   Tok-ku Bu-ti sudah menerjang lagi ke depan untuk menghantam Wan Fei-yang kedua kalinya.   Tapi Tok-ku Hong sudah menghambur dan mengadang di depan Wan Fei-yang.   "Mundur!"   Bentak Tok-ku Bu-ti. Belum sempat Tok-ku Hong berkata apa-apa, sebelah tangan Wan Fei-yang sudah menyentuh pundaknya.   "Akhir ... nya aku ... dapat juga mati di sampingmu!"   Katanya dengan nada parau dan bibir menyunggingkan senyuman.   "Siau Yang, kau jangan berbuat bodoh!"   Sahut Tok-ku Hong dengan gugup.   "Pokoknya aku tidak akan menikah dengan Kongsun Hong!"   Mata Wan Fei-yang bersinar terang. Air mata Tok-ku Hong semakin deras.   "Kalau kau mati, kau kira aku juga sanggup hidup lebih lama lagi?"   "Rupanya kau juga menyukai aku!"   Teriak Wan Fei-yang gembira. Dia bahkan mirip orang yang kalap. Tidak peduli darah segar terus mengalir dari ujung bibirnya. Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya.   "Cepat kau pergi!"   Katanya mengingatkan.   Wan Fei-yang juga ikut-ikutan menganggukkan kepalanya.   Tok-ku Hong yang melihat dari ujung sana tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu.   Wajah Tok-ku Bu-ti hijau 1127 membesi.   Dia mengibaskan lengan bajunya.   Tok-ku Hong yang membungkuk di samping Wan Fei-yang terpelanting di atas tanah.   Tok-ku Bu-ti mengulurkan telapak tangannya dan menghantam ke arah Wan Fei-yang.   Belum lagi hantaman itu mengenai sasarannya, tubuh Wan Fei-yang sudah melesat ke udara dan berjungkir ke atas tembok pekarangan.   "Kejar!"   Tok-ku Bu-ti memberikan perintah dengan kalap.   Tubuh Wan Fei-yang berkelebat.   Dia menyelinap ke balik gerombolan bunga.   Bayangannya sudah menghilang dari pandangan.   Meskipun luka dalamnya cukup parah, tapi ia pernah menelan soat-lian dari Ping-san, gerakan tubuhnya masih lincah.   Apalagi Hui-hun-cong merupakan ilmu pusaka dari Bu-tong-liok-kiat.   Kehebatannya dapat dibayangkan.   Gerombolan bunga tersebut hancur oleh hantaman tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti.   Namun Wan Fei-yang sudah tidak terlihat.   "Bocah itu sudah terluka cukup parah.   Dia tidak mungkin pergi jauh.   Geledah!"   Tok-ku Bu-ti menurunkan perintah kepada para anggotanya.   Beratus-ratus lentera dan obor segera menerangi sekitar tempat itu.   ***** Bicara memang mudah, tapi lain dengan kenyataannya.   Sampai hari menjelang pagi, tetap saja mereka tidak dapat 1128 menemukan Wan Fei-yang.   Yang membuat kemarahan Tok- ku Bu-ti hampir tidak terbendung adalah menghilangnya Tok- ku Hong yang menggunakan kesempatan ketika mereka semua sibuk mencari Wan Fei-yang.   Pasti budak perempuan itu yang secara diam-diam menunjukkan jalan dan menolong Wan Fei-yang melarikan diri dari tempat tersebut! Semakin dipikir, Tok-ku Bu-ti semakin marah.   Tapi dia tidak tahu harus bagaimana lagi.   ***** Tok-ku Hong memang mempunyai niat mengajak Wan Fei- yang melarikan diri dari Bu-ti-bun.   Oleh karena itu, dia menunggu di ujung lorong rahasia.   Tetapi sampai matahari sudah tinggi, Wan Fei-yang tetap tidak muncul.   Para anggota Bu-ti-bun juga belum kembali.   Tidak disangka ginkangnya demikian tinggi.   Tok-ku Hong terkejut membayangkannya.   Tapi hatinya juga gembira.   Yang mengkhawatirkan justru luka Wan Fei-yang yang cukup parah.   Apakah dia dapat bertahan sepanjang perjalanan? Tanpa pikir panjang lagi Tok-ku Hong segera menghambur ke depan.   Tujuannya ialah tempat di mana Fu Hiong-kun dan Yan Cong-tian berada.   Dia berharap dapat bertemu dengan Wan Fei-yang dalam perjalanan.   Hanya di sanalah tempat tinggal Wan Fei-yang satu-satunya untuk sementara.   Apalagi di sana ada Fu Hiong-kun yang ilmu pengobatannya sudah cukup tinggi.   Anak muda itu pasti kembali ke sana.   Karena alasan ini juga, Tok-ku Hong berlari siang malam tanpa mengenal lelah.   1129 ***** Wan Fei-yang sendiri juga bermaksud cepat-cepat kembali ke sana.   Tapi dalam seketika, dia merasa bahwa luka yang dideritanya terlalu parah.   Pasti dia tidak akan berhasil menerjang kepungan para anggota Bu-ti-bun.   Ketika masuk ke gedung Bu-ti-bun dalam keadaan mabuk.   Dia sama sekali tidak berpikir untuk keluar dengan selamat.   Hatinya sudah terlalu kecewa membayangkan pernikahan Tok-ku Hong.   Sekarang dia sudah mengerti isi hati gadis itu.   Malah dia tidak berminat lagi untuk mati dengan cara konyol seperti apa yang akan dilakukannya tadi.   Dulu dia sudah pernah menyelundup dalam Bu-ti-bun dan menjadi anggotanya untuk jangka waktu yang cukup panjang.   Terhadap keadaan sekitarnya dia juga pernah memerhatikan dengan saksama.   Oleh karena itu, dia juga berhasil menyembunyikan diri tanpa diketahui oleh anggota Bu-ti-bun.   Sepanjang perjalanan, dia berkali-kali bersembunyi lalu mengendap-endap.   Tanpa sadar dia sudah sampai di bawah tembok Liong-hong-kek.   Saat itu juga dia sudah mengambil keputusan.   Liong-hong-kek adalah daerah terlarang bagi seluruh anggota Bu-ti-bun.   Pasti tempat itu juga merupakan sarang persembunyian yang aman.   Tinggi tembok itu sekitar empat depa.   Tidak mudah baginya untuk meloncat naik dengan luka separah itu.   Wan Fei-yang tetap nekat dia mengambil napas dalam-dalam lalu mengentakkan kakinya.   Di tengah udara dia berjungkir balik dan mencelat lagi ke atas.   Tubuhnya masih belum bisa mencapai atas tapi tangannya masih sempat berpegangan erat pada atas dinding.   Dengan susah payah dia memanjat.   Setelah itu tubuhnya meluncur ke 1130 bawah seperti selembar kertas yang tertiup angin.   Kepalanya pusing tujuh keliling.   Dia terjatuh di atas hamparan rumput.   Dengan nekat dia naik ke atas loteng.   Setahap demi setahap dia merangkak.   Setelah terkena hantaman Mit-kip-sin-kang, dia tidak sempat beristirahat sama sekali.   Semestinya dia duduk bersila dan menghimpun hawa murninya.   Tapi mana ada kesempatan baginya untuk melakukan semua itu.   Sedangkan untuk menyelamatkan diri saja masih menjadi persoalan.   Tentu saja lukanya semakin parah.   Penerangan di atas loteng masih menyala.   Wan Fei-yang masih terus berusaha merangkak.   ***** Sen Man-cing belum tidur.   Dia masih duduk di depan penerangan dengan termangu-mangu.   Hari ini adalah hari baik bagi Tok-ku Hong.   Dia sebagai seorang ibu hanya dapat duduk tertegun sambil mendoakan kebahagiaan putrinya dalam hati.   Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin dia dapat tertidur pulas.   Sejak matahari tenggelam dia sudah duduk di sana.   Sampai sekarang dia masih belum bangun juga.   Dia merasa kesunyian menyelimuti hatinya.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Namun perasaannya sudah kebal.   Tepat pada saat itu, dia mendengar suara tarikan napas.   Tidak tepat kalau dikatakan tarikan napas.   Bernapas dengan tersengal-sengal lebih tepat.   Tapi siapa? 1131 Akhirnya wajah Sen Man-cing baru menunjukkan adanya perubahan.   Tubuhnya berkelebat tanpa suara ke samping pintu.   Kemudian dia mengulurkan tangannya menarik daun pintu tersebut.   Wan Fei-yang dengan tubuhnya berlumuran darah langsung terkulai.   Dia terjatuh di depan kaki Sen Man- cing.   Wanita setengah baya itu terkejut sekali.   Dengan kecepatan gerakannya, dia masih tidak sempat memapah tubuh Wan Fei-yang.   Namun akhirnya dia membungkukkan tubuhnya memapah anak muda itu.   Pada saat itu juga, dia melihat belahan giok yang tergantung di leher Wan Fei-yang.   "Belahan giok ini merupakan hadiah kenang-kenangan atas cinta kasihku terhadap Ci-siong Tojin.   Mengapa bisa berada pada anak muda ini? Apakah di antara mereka ada hubungan yang istimewa?"   Kata Sen Man-cing dalam hatinya.   ***** Setelah kentungan telah berlalu.   Wan Fei-yang baru tersadar kembali.   Guat Ngo juga baru datang.   Dia melaporkan apa yang terjadi di ruangan pendopo.   Tentu saja dia mengenali Wan Fei-yang.   Menurut kabar yang didapatnya, inilah anak muda yang dicintai oleh Tok-ku Hong.   Hal ini benar-benar di luar dugaan Sen Man-cing.   Namun nyonya itu belum lupa bahwa dialah murid murtad Bu- tong-pay yang dituduh membunuh Ci-siong Tojin.   Kalau diperhatikan, anak muda ini tidak mirip orang jahat.   Apakah kabar yang didengarnya hanya fitnahan belaka? Atau ada kesalahpahaman di dalamnya? 1132 Oleh karena itu, begitu Wan Fei-yang sadarkan diri, dia langsung mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan.   "Mengapa harus membunuh Ci-siong? Mengapa kau bisa melakukan hal sekeji itu?"   Wan Fei-yang sampai terbelalak diberondong seperti itu.   Tapi sejenak kemudian dia memakluminya.   "Orang yang membunuh sebetulnya ciangbunjin yang sekarang, Fu Giok-su.   Setelah mengetahui bahwa aku juga bisa ilmu silat bahkan Ci-siong Tojin sendiri yang mengajarkan, maka dia memfitnah aku.   Masalah ini, Yan- supek sendiri sudah mengerti semuanya.   Tidak lama lagi kami akan berangkat ke Bu-tong-san membereskan masalah ini,"   Sahutnya tenang. Sen Man-cing memerhatikan Wan Fei-yang lekat-lekat.   "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak berbohong?"   Desaknya kembali. Meskipun kecurigaannya masih ada, tapi nada suaranya sudah jauh lebih lunak. Wan Fei-yang merenung sejenak.   "Maafkan kelancangan Boanpwe. Apakah Hujin bernama Sen Man-cing?"   Sen Man-cing menganggukkan kepalanya.   Wan Fei-yang memperlihatkan belahan giok yang tergantung di lehernya.   "Sebelum menutup mata, Suhu memberikan belahan giok ini kepada Boanpwe.   Suhu juga berpesan agar aku mencari Hujin di Bu-ti-bun." 1133 "Apa lagi yang dikatakannya?"   Tanya Man-cing dengan hati terharu.   "Tidak ada lagi,"   Wan Fei-yang menundukkan kepalanya. Wajahnya berubah pucat. Dia membuka mulut dan memuntahkan segumpal darah segar. Tapi dia masih berusaha melanjutkan kata-katanya.   "Ketika itu luka Suhu sudah parah sekali. Setelah mengucapkan beberapa patah kata, napasnya pun berhenti."   Ucapannya selesai, kembali dia memuntahkan darah segar.   Sen Man-cing mempertimbangkan sejenak.   Akhirnya dia mengulurkan sepasang telapak tangannya di punggung Wan Fei-yang dan menyalurkan tenaga dalamnya.   Wan Fei-yang tertegun.   "Hujin, kau ...."   "Jangan banyak bicara! Kumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan luka!"   Sen Man-cing menyalurkan hawa murninya sendiri ke dalam tubuh Wan Fei-yang.   Anak muda itu menghela napas.   Akhirnya dia mengalirkan hawa murni yang diterimanya ke seluruh peredaran darah dalam tubuhnya.   Tepat pada saat itu, Sen Man-cing baru merasakan bahwa hawa murninya tidak dapat terkendalikan lagi.   Seperti aliran sungai yang deras mengalir terus.   "Aneh,"   Gumamnya seorang diri.   Pikirannya tergerak.   Baru saja dia berniat menarik kembali telapak tangannya, namun sepasang telapak itu seperti diolesi lem dan tidak dapat tarik.   Semakin dia memberontak, hawa murninya mengalir semakin cepat.   Juga semakin deras.   1134 Sedangkan hawa murni tersebut di dalam tubuh Wan Fei-yang seakan-akan sedang berlomba saling mendahului.   Segulung demi segulung saling susul-menyusul, bahkan menembus dua urat nadi terpenting dalam tubuhnya.   Sedangkan wajah Sen Man-cing dari merah berubah menjadi putih.   Begitu pucat menakutkan, seakan tidak ada setitik darah pun yang mengalir.   Sebaliknya wajah Wan Fei-yang merah padam seperti kepiting rebus.   Sampai-sampai dia sendiri merasa heran.   Ternyata hawa murninya sendiri pada saat itu berubah menjadi sedemikian kuat dan deras.   Mungkinkah Sen-hujin ...? Pikirannya baru tergerak, ketika mendadak dia merasakan urat nadi yang menentukan hidup matinya juga telah tertembus.   Wan Fei-yang hanya merasakan kepalanya seperti hampir meledak, kemudian dia jatuh tidak sadarkan diri.   Sen Man-cing menggigil hebat.   Dia terpental ke belakang dan terkulai di atas tanah.   Guat Ngo yang menyaksikan keadaan tersebut terkejut setengah mati.   Dengan panik dia maju ke depan memapah Sen Man-cing.   "Hujin, apa yang terjadi?"   Tanyanya cemas.   "Ti ... tidak apa-apa ...."   Suara Sen Man-cing sedemikian lemah.   Wajahnya pucat pasi.   Saat itu juga dia merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga.   Dia menoleh kepada Wan Fei- yang.   Anak muda itu persis seperti sebuah patung yang terbuat dari tanah liat.   Bergerak pun tidak.   Segumpal uap tipis mengepul dari tubuhnya.   Dia seperti dikukus di atas dandang nasi dengan tungku api yang membara di bawahnya.   Guat Ngo juga melihat apa yang terjadi pada anak muda tersebut.   1135 Dia merasa heran sekali.   "Hujin, kenapa dia?"   Sen Man-cing seperti tidak menyadari.   Matanya malah memerhatikan wajah Wan Fei-yang lekat-lekat.   Tiba-tiba dia menyadari sesuatu, dengan nada sumbang dia tertawa terbahak-bahak.   Suara tawa itu tampak begitu gembira tetapi juga mengenaskan.   "Dua puluh tahun sudah, ternyata begini kejadian yang sebenarnya,"   Gumamnya sambil terus tertawa.   Guat Ngo sama sekali tidak mengerti.   ***** Sehari demi sehari terus berlalu.   Wan Fei-yang masih belum sadar juga.   Di permukaan kulitnya mengumpul lapisan seperti sarang laba-laba.   Makin hari makin menebal.   Sampai pada hari ketujuh, wajah Wan Fei-yang sudah berubah putih seperti kapas.   Lapisan yang mirip sarang laba-laba itu juga sudah memenuhi wajahnya.   "Hujin, mengapa dia masih belum sadar juga?"   Guat Ngo tidak pernah lupa mengajukan pertanyaan ini setiap hari.   "Pada saatnya dia akan tersadar sendiri,"   Jawaban Sen Man- cing pun selalu sama.   "Apa lagi yang ditunggunya?"   "Bangkit dari kematian." 1136 ***** Pagi hari yang sama, di bawah tatapan para anggota Bu-ti- bun, Tok-ku Bu-ti keluar dari kantor pusat.   Kongsun Hong mengikutinya dari belakang.   Kali ini, Tok-ku Bu-ti hanya meminta dia melayaninya saja.   Surat tantangan dari Fu Giok-su sudah sampai.   Tok-ku Bu-ti meninggalkan Bu-ti-bun, justru untuk memenuhi tantangan itu.   Sambil berjalan, tidak lupa dia mengingatkan orang-orang kepercayaannya.   "Kepergianku ini adalah untuk memenuhi tantangan.   Aku yakin baru aku sampai di sana, Kuan Tiong-liu pasti akan mengumpulkan murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay menyerbu ke tempat ini.   Kalian harus lebih waspada dan berhati-hati!"   Setiap kali ada yang menyebut nama Kuan Tiong-liu, Hek-pai- siang-mo rasanya seperti hampir meledak.   "Pangcu berangkat saja dengan hati tenang. Mengenai Kuan Tiong-liu, kami pasti membuat dia bisa datang dengan hidup, keluar jadi mayat!"   Sahut Hek-mo-cian.   "Lagi pula murid-murid Go-bi-pay sudah hampir habis dibunuh oleh pihak kita.   Sisanya paling-paling tidak seberapa.   Tidak mungkin berpengaruh banyak.   Sedangkan para jago Bu-tong rata-rata juga sudah dibunuh oleh Fu Giok-su.   Sisanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan,"   Tukas Pek-mo-cian.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Bicara memang mudah. Tapi toh tak ada salahnya kalau berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan!" 1137 "Kami pasti akan mengingat baik-baik. Mengenai pertarungan di atas Kuan-jit-hong, harap Pangcu juga menaruh perhatian!"   Kata Hek-pai-siang-mo serentak. Tok-ku Bu-ti tertawa lebar.   "Kalau dilihat dari ilmu silat Fu Giok-su yang tidak seberapa itu tetapi berani menantang aku, seandainya bukan gila, pasti ada suatu rencana yang terselubung di dalamnya."   "Itulah sebabnya Pangcu sudah memerintahkan Cian-bin-hud, Teng-cu, Cukek Ming jauh sebelumnya berkumpul di sana untuk mengawasi segala kemungkinan,"   Sahut Hek-mo-cian.   "Mereka sudah mengikuti aku sekian tahun. Meskipun ilmu silat mereka tidak tinggi namun pengalaman mereka sudah cukup untuk menghadapi musuh tangguh. Apalagi mereka juga membawa para penyelidik yang sudah ahli,"   Kata Tok-ku Bu-ti tersenyum lebar.   "Pangcu sendiri tidak mengharapkan apa-apa, kecuali kabar berita yang pasti."   "Biasanya kalau kita mengetahui kedudukan lawan dan tipu muslihatnya, kita sudah pasti akan meraih kemenangan."   Saat berbicara, mereka sudah melewati dua baris anggota Bu- ti-bun yang berjejer mengantarkan kepergian Tok-ku Bu-ti.   Kemudian dua orang anggota membawakan kuda tunggangan yang akan mereka tunggangi.   Di bawah tatapan para murid Bu-ti-bun, Kongsun Hong dan Tok-ku Bu-ti melarikan kudanya meninggalkan tempat itu.   Debu segera beterbangan memenuhi sekitar daerah tersebut.   1138 Sepanjang perjalanan selalu ada penyelidik Bu-ti-bun yang memberi laporan.   Tapi apa yang mereka katakan semuanya sama.   Mereka hanya melihat Fu Giok-su mengendarai kuda melintas dengan cepat.   Dan dia hanya seorang diri.   Sesampainya mereka di kaki gunung, mereka memerhatikan kode-kode rahasia yang ditinggalkan oleh para penyelidik.   Semua menunjukkan keadaan aman.   Tok-ku Bu-ti dan Kongsun Hong mengikat kuda mereka pada batang pohon yang besar, kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki.   Sesampainya di Kuan-jit-hong, mereka tetap tidak menemukan apa pun yang mencurigakan.   Hati Kongsun Hong menjadi tenang.   Tetapi justru wajah Tok-ku Bu-ti yang berubah semakin kelam.   Apa yang selalu dikatakan orang memang benar.   Jahe yang tua lebih pedas rasanya.   Tok-ku Bu-ti sudah malang melintang dunia Kangouw selama berpuluh tahun.   Semakin tenang suasana yang dihadapinya, hatinya semakin curiga.   Ketenangan seperti yang dilihatnya sekarang malah membuat hatinya makin tidak tenteram.   ***** Di atas bukit angin bertiup kencang.   Fu Giok-su berdiri tegak berlawanan dengan tiupan angin.   Pakaian dan rambutnya melambai-lambai.   Sebatang toya yang terletak di sampingnya seakan sedang menyambut embusan angin.   Yang terlihat hanya sebatang toya dan orangnya.   Tok-ku Bu-ti melangkah perlahan.   Ketika jaraknya kurang dari tiga depa, Fu Giok-su baru membalikkan tubuhnya.   Dia menjura dalam-dalam dengan wajah penuh senyuman.   "Tok- ku Pangcu, sudah lama Siaute mengagumi nama besarmu!" 1139 Tok-ku Bu-ti tertawa datar.   "Fu-ciangbunjin benar-benar seorang laki-laki yang sempurna!"   "Terima kasih,"   Mata Fu Giok-su beralih ke arah wajah Kongsun Hong.   "Buncu terkenal sebagai manusia yang cerdik. Ternyata hari ini berani menempuh bahaya dengan tidak berpikir panjang."   Tok-ku Bu-ti tertawa lebar.   "Apa maksud ucapan Fu- ciangbunjin. ini?"   Tanyanya tenang.   "Dengan mengandalkan ilmu silat Siaute, tidak mungkin dapat menandingi Tok-ku Pangcu. Tapi aku berkeras menantangmu, bukankah kau segera dapat menduga bahwa ada hal yang tidak semestinya?"   "Memang sudah dalam dugaanku,"   Kata Tok-ku Bu-ti dengan wajah tidak menampilkan perasaan apa-apa.   "Itulah sebabnya, Tok-ku Pangcu memerintahkan Cian-bin- hud, Teng-cu, dan Cukek Ming untuk mempersiapkan diri jauh sebelumnya."   Mendengar kata-kata itu, wajah Tok-ku Bu-ti mulai berubah.   "Di mana mereka sekarang?"   Tanya Kongsun Hong.   "Di sini ...."   Fu Giok-su menepuk tangannya dua kali. 1140   Jilid 25 Dalam waktu yang bersamaan, tiga sosok tubuh manusia melayang jatuh dari atas.   Tiga sosok mayat.   Kepala Cian-bin-hud yang gundul hampir terbelah menjadi dua bagian.   Pakaian Cukek Ming penuh dengan bercak darah.   Entah berapa banyak jarum beracun yang menusuk tubuhnya.   Sedangkan dada Teng-cu retak parah bahkan lubang di tengahnya menganga mengerikan.   Kongsun Hong marah sekali.   Baru saja dia hendak menerjang ke arah Fu Giok-su, Tok-ku Bu-ti sudah melarangnya.   "Pertarungan hari ini merupakan penyelesaian utang piutang antara Bu-ti-bun dan Bu-tong-pay yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.   Mengapa ada orang luar yang ikut campur dalam urusan ini?"   Tanya Tok-ku Bu-ti setenang mungkin.   "Apakah Buncu tidak melihat bahwa mereka bukan mati hari ini?"   Fu Giok-su malah berbalik mengajukan pertanyaan.   "Ditilik dari ucapanmu, orang-orang yang kau undang itu, hari ini tidak akan turun tangan mencampuri urusan kita?"   "Itu sih harus ditanyakan sendiri pada orangnya!"   Tampang Fu Giok-su sengaja dibuat seperti merasa serbasalah.   "Mereka adalah angkatan cianpwe bagiku. Ada pepatah yang mengatakan, yang muda harus menurut apa yang dikatakan oleh yang tua!"   "Bagus! Pepatah yang bagus sekali!"   Mata Tok-ku Bu-ti beralih 1141 kepada Kongsun Hong.   Seakan ada sesuatu yang disembunyikan dalam sinar matanya.   Fu Giok-su rupanya dapat sorot matanya tadi.   "Pangcu juga tidak perlu memberi isyarat kepada Kongsun Hong untuk mencari bantuan.   Dua ratus tujuh orang anggota Bu-ti-bun yang melakukan perjalanan secara diam-diam mengiringi Tok-ku Pangcu, tidak ada satu pun yang masih hidup!"   Katanya tiba-tiba. Kongsun Hong terkejut. Wajah Tok-ku Bu-ti berubah hebat.   "Sungguh telengas caramu turun tangan!"   Fu Giok-su meremas tangannya sambil tersenyum lebar.   "Nyali kecil bukan laki-laki sejati, tidak keji tidak bisa menonjolkan diri!"   "Bagus!"   Seru Tok-ku Bu-ti sekali lagi.   "Hidup-matinya para murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay, pasti kau juga tidak peduli sama sekali!"   Senyum Fu Giok-su semakin lebar.   "Hari ini tidak mati, kelak toh harus mati juga. Dengan demikian, mati sekarang saja juga tidak menjadi persoalan bukan?"   Tok-ku Bu-ti tertawa sumbang.   "Tampaknya, hari ini aku juga jangan mengharapkan sebuah pertarungan yang adil!"   "Pada permulaannya, rasanya masih adil."   Mata Tok-ku Bu-ti menyapu ke sekeliling.   "Para sahabat yang menyembunyikan diri .... Kalian sudah boleh keluar sekarang!" 1142 Baru saja ucapannya selesai, dari balik sebuah batu karang yang besar terlihat Thian-ti berjalan keluar dengan tersenyum- senyum.   "Tok-ku Bu-ti, dua puluh tahun saja tidak bertemu, tidak tersangka kau sudah berubah tua begitu banyak!"   Sindirnya ketus. Sinar mata Tok-ku Bu-ti tajam sekali.   "Mungkin karena kau setiap hari menyumpahi aku di dalam telaga dingin belakang Bu-tong-san selama hampir dua puluh tahun,"   Sindiran Tok-ku Bu-ti tidak kalah sinis.   Wajah Thian-ti langsung berubah kelam.   Pada saat itu, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek juga muncul serentak.   Mereka mengambil posisi masing-masing dan mengurung Tok-ku Bu-ti serta Kongsun Hong.   Penampilan Tok-ku Bu-ti masih adem ayem.   "Tokoh Siau-yau- kok muncul sekaligus. Seandainya aku Tok-ku Bu-ti sampai kalah, rasanya bangga juga."   "Sebetulnya sejak semula kau sudah tahu asal usul Giok-su. Pada saat itu juga kau sudah harus berpikir bahwa kami pasti akan muncul juga."   "Sayangnya aku tidak berpikir akan hal itu,"   Sahut Tok-ku Bu-ti tertawa lebar.   "Aku selamanya ini tidak pernah memerhatikan manusia-manusia yang selama puluhan tahun hanya bisa bersembunyi di lubang tikus!" 1143 Thian-ti mendengus marah.   "Sungguh mulut yang tajam. Mengagumkan! Mengagumkan!"   Tok-ku Bu-ti mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak- bahak.   "Kalau hendak maju, sekarang juga kalian boleh maju semuanya!"   "Untuk sementara Giok-su sendiri saja sudah cukup."   "Berapa cucu yang kau miliki?"   Tanya Tok-ku Bu-ti tiba-tiba.   "Cuma satu ini!"   "Kau tidak takut keturunanmu putus sampai di sini?"   Thian-ti tertawa lebar.   "Giok-su toh tidak melatih ilmu Mit-kip-sin-kang. Tubuhnya juga sehat sekali. Mengapa takut putus turunan?"   Pada saat itu juga, Tok-ku Bu-ti seakan merasa ada sebatang jarum besar yang menusuk ulu hatinya.   Wajahnya menjadi kelam seketika.   Melihat keadaan itu, Thian-ti bangga sekali.   Dia tertawa terbahak-bahak.   "Menurut pendapat Sun-ji, kita sudahi saja pembicaraan ini sampai di sini.   Kalau diteruskan, tentu kita dianggap tak adil,"   Tukas Fu Giok-su. Tok-ku Bu-ti tertawa dingin beberapa kali. Fu Giok-su maju dua tindak. Toya di tangannya digetarkan. Terlihat kilauan berbunga-bunga. Bayangannya bagai beratus-ratus.   "Silakan Tok-ku Buncu memberi pelajaran!"   Kata Fu Giok-su 1144 sambil menjura sekali lagi.   "Bagus sekali!"   Kata Tok-ku Bu-ti.   Tongkat kepala naganya dientakkan, kemudian dikibaskan ke depan.   Jurus yang satu ini tampaknya tidak mengandung perubahan, tetapi kekuatannya seperti geledek yang bergemuruh memecahkan keheningan bumi.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Fu Giok-su tidak menangkis serangan itu.   Dia menggeser tubuhnya.   Toya di tangannya ditarik.   Terlihatlah toya tersebut terbelah menjadi dua bagian dengan seutas rantai di tengahnya sebagai penyambung.   Fu Giok-su menyabetkan ujung toya ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti.   Dengan susah payah laki-laki itu berhasil menghindarinya.   Tongkat kepala naganya berputar ke sekeliling.   Fu Giok-su mencelat mundur.   Begitu ada kesempatan, dia mendesak maju lagi.   Dia melakukan penyerangan dengan gencar.   Tempat yang di ncar selalu tenggorokan Tok-ku Bu-ti.   Bayangan tubuh Tok-ku Bu-ti berkelebat seperti anak panah yang dibidik dari kiri dan kanan.   Kadang-kadang sebelah telapak tangannya menghantam.   "Bu-tong-liok-kiat sudah pernah aku lihat bahkan rasakan beberapa kali.   Tapi tidak ada satu pun yang memainkannya dengan cara sekeji dirimu,"   Kata Tok-ku Bu-ti dingin.   "Sayangnya masih tidak sanggup melukai Tok-ku Pangcu!"   Sahut Fu Giok-su sambil mengubah gerakannya.   Coa-tiau- cap-sa-sut segera dikerahkan.   Coa-tiau-cap-sa-sut ini tidak pernah diwariskan kepada siapa pun.   Tok-ku Bu-ti juga belum pernah melihatnya.   Untuk sesaat dia tidak bisa menentukan gerakan Fu Giok-su, dia malah terdesak sejauh tiga depa.   1145 "Apakah yang kau mainkan ini juga ilmu Bu-tong-pay?"   Tanya Tok-ku Bu-ti penasaran.   "Terus terang saja, yang satu ini memang ilmu pusaka Bu- tong-pay yang tidak pernah diwariskan kepada siapa pun. Namanya Coa-tiau-cap-sa-sut!"   Sambil menjawab, Fu Giok-su tidak berhenti bergerak.   Sekarang dia menggunakan jurus Coa-hua-liong-hui (Ular Berubah Menjadi Naga Terbang).   Tubuhnya mencelat ke udara dan berputaran beberapa kali.   Benar-benar seperti seekor naga sakti yang sedang terbang di langit.   Sepasang telapak tangannya tiba-tiba dikatupkan.   Sambil melayang dia mencengkeram tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti.   Begitu kuatnya tarikan itu sehingga tubuh Tok-ku Bu-ti ikut tergetar.   Thian-ti mengambil kesempatan itu baik-baik.   Sepasang telapak tangannya meluncur mengancam kedua pundak Tok- ku Bu-ti.   Laki-laki itu terpaksa melepas tongkat kepala naganya.   Sementara itu Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek menerjang dari empat arah yang berlawanan.   "Manusia rendah!"   Bentak Kongsun Hong murka.   Tubuhnya meluncur.   Sepasang jit-guat-lun di tangannya melayang maju.   Siapa tahu baru saja dia menemukan titik lowong untuk menerjang masuk, sebelah kaki Tok-ku Bu-ti sudah tiba di hadapannya dan menendang Kongsun Hong sampai terpental jauh.   Kongsun Hong tentu saja tidak menyangka sama sekali.   "Cepat pergi!"   Bentak Tok-ku Bu-ti dengan suara lantang. 1146 "Suhu ...."   Panggil Kongsun Hong sambil maju lagi dua langkah.   "Kalau kau tidak pergi, aku yang pertama-tama akan membunuhmu!"   Teriak Tok-ku Bu-ti marah.   Suaranya tajam sekali.   Kata-katanya baru selesai, Fu Giok-su sudah menerjang ke arah Kongsun Hong.   Tok-ku Bu-ti segera menghantam telapak tangannya ke depan untuk mengadang Fu Giok-su.   Tapi begitu dia bergerak, Hujan, Angin, dan Geledek segera bergerak juga.   Posisi mereka tetap dalam keadaan mengepung Tok-ku Bu-ti.   Setelah terkena tendangan tadi, Kongsun Hong sudah mengerti maksud Tok-ku Bu-ti.   Dia tahu kalau dia masih berada di sana, bukan saja tidak dapat memberi bantuan apa- apa malah membuat perhatian Tok-ku Bu-ti terpencar.   Dia juga tahu bahwa kali ini Tok-ku Bu-ti akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk bertarung.   Dia tidak berani berdiam lama-lama di tempat itu.   Dengan panik dia menghambur ke bawah gunung.   Tok-ku Bu-ti menyambut serangan Hujan, Kilat, Angin, dan Geledek dengan gencar.   Diam-diam dia memerhatikan bahwa Kongsun Hong sudah agak jauh.   Dia sendiri berusaha melepaskan diri dari kepungan keempat orang itu.   Tetapi pada saat itu juga, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek sudah memencarkan diri.   Posisi mereka berubah.   Barisan Hujan, Angin, Kilat, Geledek segera dikerahkan.   Keempat orang itu berlatih keras selama bertahun-tahun.   Tujuannya memang untuk menghadapi Tok-ku Bu-ti.   Begitu barisan itu mulai bergerak, bayangan mereka bagaikan 1147 pelangi yang tidak henti bergerak.   Tok-ku Bu-ti terkejut sekali.   Cepat dia menoleh ke arah kanan di mana terletak bagian im- yang.   Hanya di situ ada kekosongan yang dapat dijadikan jalan keluar baginya.   Namun dua bagian itu langsung di si oleh Fu Giok-su dan Thian-ti.   Hilangnya kesempatan Tok-ku Bu-ti untuk menerobos barisan tersebut.   Tetapi Tok-ku Bu-ti memang tidak berlebihan apabila disebut manusia yang cerdas.   Setelah menerjang beberapa kali tanpa hasil, dia mulai melihat titik kelemahan barisan tersebut.   Dia segera menerobos bagian itu, tapi terpaksa terdesak kembali karena serangan Fu Giok-su dan Thian-ti.   Tiba-tiba terlihat segumpal asap merah meluncur dari kaki bukit ke atas langit.   Tok-ku Bu-ti mendengus dingin.   "Siapa lagi yang kalian undang untuk membantu mengalahkan aku? Suruh naik saja sekalian!"   Katanya kesal. Thian-ti tertawa cengar-cengir.   "Dugaanmu kali ini salah. Asap tadi merupakan isyarat bahwa murid Go-bi-pay dan Bu-tong- pay sudah menyerbu ke Bu-ti-bun,"   Sahutnya menjelaskan.   Wajah Tok-ku Bu-ti semakin berubah.   Dia menghimpun hawa murninya dan mengerahkan Mit-kip-sin-kang.   Berturut-turut dia melancarkan empat belas kali serangan.   Pada saat itu juga Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek memutar tubuhnya secepat kilat.   Gerakan mereka seperti gasing mainan anak- anak.   Namun deru angin yang ditimbulkan oleh tubuh mereka ibarat badai yang menggulung.   Seluruh serangan Tok-ku Bu-ti berhasil ditolak.   Melihat serangannya yang gencar masih juga tidak membawa hasil, hati Tok-ku Bu-ti mulai tergetar.   Seakan ada batu berat 1148 menekan di atas kepalanya.   Untuk sesaat dia hanya menggeser kakinya ke kiri dan kanan.   Otaknya masih bekerja keras mencari akal menerobos barisan tersebut.   Mengetahui keadaannya yang mulai kewalahan Thian-ti tertawa terbahak-bahak.   "Tok-ku Bu-ti, hari ini Kuan-jit-hong akan menjadi tanah pemakamanmu."   "Belum tentu!"   Sahut Tok-ku Bu-ti sambil bergerak mundur satu langkah kemudian menghimpun hawa murninya kembali.   Tubuh Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek bergerak serentak.   Kembali mereka berputaran seperti sebelumnya kemudian mendadak berhenti.   Keempatnya langsung menerjang ke arah Tok-ku Bu-ti.   Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, golok Geledek, serta pedang Kilat, semuanya dikerahkan dalam waktu bersamaan.   Tok-ku Bu-ti meraung keras.   Kibasan lengan baju Angin terhajar robek oleh hantaman telapak tangannya.   Jarum beracun Hujan terkena angin tepukannya dan melenceng melewati samping pundaknya.   Telapaknya menghantam terus dengan gencar.   Kembali pedang Kilat terhajar olehnya sehingga terpental keluar dari barisan.   Keadaan Geledek yang lebih mengenaskan.   Golok dan orangnya melayang sejauh dua depa.   Fu Giok-su sama sekali tidak menyangka akan terjadi hal demikian.   Namun dia bergerak cepat.   Selagi tenaga hantaman pertama tadi sudah hampir habis dan Tok-ku Bu-ti belum sempat mengerahkan tenaga baru, dia langsung menyerangnya dengan salah satu jurus Coa-tiau-cap-sa-sut.   1149 Anak muda itu mengerahkan segenap tenaganya menahan hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti.   Sedangkan Thian-ti juga langsung menggunakan kesempatan itu menghajar belakang punggung Tok-ku Bu-ti dengan sepasang telapak tangannya.   Terdengar suara "Hoakkk! Hoakkk!"   Dua kali.   Tok-ku Bu-ti memuntahkan darah segar dua kali berturut-turut.   Tubuhnya terpental dengan gerakan melayang langsung meluncur ke dalam jurang.   Para lawannya segera menghambur ke tepi jurang.   Terlihat tubuh Tok-ku Bu-ti semakin mengecil kemudian menghilang dalam kabut yang berselimut.   Tanpa dapat menahan diri lagi, Thian-ti mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.   Hujan, Angin, Kilat, Geledek, dan Fu Giok-su saling pandang sekilas.   Mereka juga ikut tertawa keras-keras.   Tok-ku Bu-ti sudah berhasil dilenyapkan.   Orang lainnya tidak dipandang sebelah mata lagi oleh mereka.   Tampaknya kerja keras mereka selama puluhan tahun untuk menguasai dunia persilatan tidak lama lagi akan menjadi kenyataan ***** Kantor pusat Bu-ti-bun pada saat ini sudah tenang kembali.   Yang mati atau yang terluka tidak terhitung.   Mayat bergelimpangan di mana-mana.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Para murid Go-bi dan Bu-tong sedang berbenah diri.   Mereka juga menghitung jumlah-jumlah yang terluka atau terbunuh.   Sebetulnya yang terluka juga sudah boleh dihitung sebagai orang mati.   Luka yang mereka alami demikian parah sehingga kesempatan hidup mungkin satu persen pun tidak ada.   1150 Meskipun Bu-ti-bun sudah menduga para murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay akan datang menyerbu dan mereka sudah mengadakan persiapan sebelumnya, namun mereka sama sekali tidak menyangka kalau pihak lawan benar-benar licik.   Pertempuran mereka lebih-lebih dari pecah perang.   Pertama-tama Hek-pai-siang-mo dikalahkan oleh Kuan Tiong- liu dengan tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat.   Walaupun Yi Pei-sa memohon pengampunan bagi kedua bekas suhunya itu, Kuan Tiong-liu tetap turun tangan keji terhadap mereka.   Dengan kematian Hek-pai-siang-mo, para anggota Bu-ti-bun seperti ular tanpa kepala.   Mereka menjadi kalang kabut dan kocar-kacir.   Sampai senja menjelang pada hari yang sama, semua sudah tersapu bersih.   Pada saat itu, Fu Giok-su baru kembali.   Dia hanya seorang diri.   Tangannya mendekap di depan dada.   Seakan terhuyung- huyung.   Langkah kakinya juga tampak berat, seolah-olah telah terluka parah.   Melihat keadaannya, Kuan Tiong-liu sudah mempunyai perhitungan tersendiri.   Sambil maju menyambut, tenaganya disalurkan ke telapak tangan.   "Kali ini benar-benar menyusahkan Fu-heng ...."   Katanya sambil mengulurkan tangan dengan gerakan cepat.   Dia bermaksud mencengkeram urat nadi di pundak Fu Giok-su.   Tetapi cengkeramannya gagal mengenai sasaran.   Kuan Tiong-liu langsung terpana.   Fu Giok-su malah tertawa lebar.   "Kuan-heng begitu bertemu langsung turun tangan keji, apakah tidak terlalu cepat mengambil tindakan?"   Tanyanya tenang. 1151 Pada saat itu Kuan Tiong-liu baru merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Dia mundur satu langkah.   "Ternyata Fu- heng sama sekali tidak terluka!"   Katanya gugup.   "Aku hanya ingin menguji ketulusan hati Kuan-heng, bagus sekali ...!"   "Apanya yang bagus?"   Tanya Kuan Tiong-liu penasaran.   "Kuan-heng tidak tulus, aku terlebih-lebih harus berbuat kejam. Apakah tidak bagus jadinya?"   Fu Giok-su menyeringai menyeramkan. Tanpa sadar tubuh Kuan Tiong-liu bergetar.   "Ilmu Mit-kip-sin-kang milik Tok-ku Bu-ti hebat sekali. Sungguh tidak ternyana Fu-heng bisa mengalahkannya,"   Katanya tidak habis pikir.   "Hanya mengandalkan beberapa jurus cakar monyet Siaute, mana mungkin bisa mengalahkannya?"   "Kalau begitu ...."   Tanpa terasa alis Kuan Tiong-liu berkerut seketika.   "Kuan-heng juga termasuk manusia yang cerdas.   Tentu dapat menduga apa yang telah terjadi."   "Apakah Fu-heng telah mengundang beberapa tokoh terkemuka untuk memberi bantuan? Mengapa aku tidak mendengar Fu-heng mengungkit masalah ini?" 1152 "Orang pintar hanya berbicara tiga patah kata.   Sama sekali tidak boleh membuka rahasia hati.   Pepatah ini, Siaute yakin Kuan-heng sudah pernah mendengar bukan?"   Kuan Tiong-liu mendengus dingin.   "Mengapa tidak mengundang orang itu keluar agar Siaute dapat berkenalan?"   "Orangnya sudah keluar ...."   Yang menjawab tentu saja Thian- ti.   Di belakangnya menyusul Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek.   Mereka mengambil posisi di seluruh ruangan.   Para murid Bu- tong berseru kaget mendengar kemunculan si makhluk tua.   Wajah Gi-song dan Cang-song langsung berubah hebat.   "Giok-su, mengapa kau mengundang makhluk tua itu ke sini?"   Bentak Gi-song marah. Fu Giok-su mendelikkan matanya lebar-lebar. Cang-song langsung menyurut dua langkah. Gi-song tetap membusungkan dadanya. Kuan Tiong-liu tertawa lebar.   "Tentu saja untuk membalas dendam,"   Katanya.   "Terkurung dalam telaga dingin selama dua puluh tahun bukan hal yang menyenangkan!"   Sahut Thian-ti sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.   "Tentu saja dendam ini harus diperhitungkan baik-baik!"   Wajah para murid Bu-tong-pay tidak ada satu pun yang tidak berubah. 1153 "Sekarang, satu-satunya jalan adalah menggabungkan diri membina kekuatan. Dengan demikian setidaknya masih ada kemungkinan hidup,"   Kata Kuan Tiong-liu cepat.   Suara bising segera terdengar.   Para murid Bu-tong maupun Go-bi-pay menghunus senjata masing-masing.   Mata Fu Giok- su menyapu ke sekeliling.   "Kalian salah lagi.   Sekarang merupakan waktunya kita saling membutuhkan.   Bagaimana mungkin aku akan membunuh kalian.   Pokoknya yang menurut yang hidup, yang membangkang ...."   "Selama ini ternyata kau berkomplot dengan para penjahat itu.   Sungguh memalukan nama Bu-tong-pay!"   Teriak Gi-song marah. Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.   "Selama ini Susiok selalu menganggap diri sendiri paling pintar. Ternyata sampai sekarang masih belum mengerti juga ...."   "Mengerti apa?"   Gi-song tertegun. Kemudian mendadak dia berteriak.   "Apakah kau memang segolongan dengan mereka dan sejak semula sudah mengincar Bu-tong-pay?"   Fu Giok-su menganggukkan kepalanya dengan tenang.   "Akhirnya pikiran Susiok terbuka juga."   "Kalau begitu, tentunya Wan Fei-yang hanya terkena fitnahan dan menjadi kambing hitam bagimu.   Sebetulnya kaulah yang membunuh Ciangbun-suheng!"   "Tidak salah ...."   Fu Giok-su dengan berani mengaku terus 1154 terang.   "Kematian Yan-suheng dan Wan-ji ...!"   Suara Gi-song langsung bergetar.   "Tentu saja aku juga yang merencanakan semua siasat keji itu ...."   Mata Fu Giok-su setengah menerawang. Gi-song marah sekali. Tangannya mengepal erat-erat.   "Mengapa kau harus berbuat demikian?"   Tanyanya dengan mata hampir melotot keluar. Thian-ti maju ke depan dan menjawab pertanyaan itu.   "Karena dia adalah cucuku!"   Mendengar ucapannya, sampai-sampai Kuan Tiong-liu ikut terperanjat. Wajah para murid Bu-tong-pay berubah hebat. Mereka menatap Fu Giok-su dengan penuh kebencian dan kemarahan. Kuan Tiong-liu segera menggunakan kesempatan itu baik- baik.   "Baik dan jahat tidak mungkin berdiri bersama. Mari kita serang orang-orang ini dan balas dendam untuk Ci-siong Tojin!"   Teriaknya lantang.   Dua orang murid Bu-tong-pay yang adatnya berangasan langsung menerjang ke depan.   Keduanya langsung disambut oleh hantaman telapak tangan Thian-ti dan Fu Giok-su.   Sekejap mata mereka terpental kembali, mulut mereka memuntahkan darah segar, nyawa mereka pun melayang seketika.   "Para murid yang masih setia padaku menepi ke bawah 1155 tembok sebelah kiri.   Yang membangkang tetap di tempat!"   Teriak Fu Giok-su dengan wajah angker.   Para hadirin langsung gempar.   Sebagian besar yang takut mati langsung berjalan berdesak-desakan ke arah bawah tembok sebelah kiri.   Mereka tidak berani mendongakkan wajahnya memandang rekan yang lain.   Cang-song juga ikut- ikutan menuju ke sebelah kiri.   Tangannya menarik ujung baju Gi-song.   Tapi pegangannya disentak oleh saudara seperguruannya itu.   Dia menuding Fu Giok-su dengan mata mengandung kebencian yang dalam.   "Murid murtad!"   Fu Giok-su tertawa dingin.   "Kau habisi nyawamu sendiri atau aku yang harus turun tangan?"   Tanyanya sinis.   Gi-song seperti tidak mendengar kata-katanya.   Dia membalikkan tubuhnya ke arah gunung Bu-tong-san dan menjatuhkan diri berlutut.   "Para leluhur Bu-tong-pay, sejak masuk ke dalam perguruan ini, Gi-song selalu membanggakan diri sendiri dan tinggi hati.   Tidak pernah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.   Bahkan Gi-song pernah menyumpahi Wan Fei- yang, yang sebetulnya tidak berdosa.   Selama dia berada di Bu-tong-san, Gi-song juga tidak jarang mencari masalah dengannya dan menghukumnya dengan cara yang semena- mena.   Sekarang Gi-song menyesal namun sudah terlambat.   Satu-satunya jalan menebus kesalahan ini hanya mati.   Harap para leluhur memberkati Bu-tong-pay.   Jangan sampai hancur begini saja.   Juga memberkati Wan Fei-yang agar panjang umur dan dapat kembali ke Bu-tong dengan selamat!"   Selesai berkata, dia langsung mencabut pedangnya dan menggorok leher sendiri.   1156 Para murid Bu-tong yang mengambil keputusan mengikuti Fu Giok-su merasa malu sekali.   Kepala mereka tertunduk dalam- dalam.   Air mata mengalir dengan deras.   Sayangnya mereka tidak mempunyai keberanian seperti Gi-song.   Sedangkan sisa dua puluh orang yang masih berdiri di tempat sangat terpukul hati mereka.   Setelah meraung keras mereka menerjang keluar.   Kuan Tiong-liu dan Yi Pei-sa juga langsung menerjang.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tangan kedua orang ini saling bergenggaman.   Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, golok Geledek, pedang Kilat bergerak serentak.   Sepasang tinju Thian-ti bergerak serentak.   Sepasang tinju Thian-ti bergerak tanpa mengenal kata kasihan.   Sedangkan toya Fu Giok-su berkelebat cepat bagai ular berbisa yang siap mematuk mangsanya! Keenam orang ini adalah tokoh nomor satu di dunia persilatan pada zaman ini.   Tentu saja kedudukan mereka sudah di atas angin.   Melihat gerakan keenam orang ini, Kuan Tiong-liu sadar sulit menerjang keluar.   Dia saling lirik sekilas dengan Yi Pei-sa.   Akhirnya kedua orang itu menganggukkan kepala dan menyerang Fu Giok-su serentak.   Darah segar bercipratan ke mana-mana.   Kelebatan tubuh manusia bagai bayangan-bayangan setan yang menari-nari.   Suara jeritan histeris berkumandang menyayat hati.   Satu demi satu mayat roboh dan jatuh menghadap Kuan Tiong-liu.   Dia dan Yi Pei-sa menggerakkan pedangnya dengan gencar.   Namun tetap tidak berhasil melukai Fu Giok-su.   Ketika mereka merasa suasana di sekitar telah berubah menjadi hening, mereka baru sadar bahwa di dalam ruangan itu hanya tersisa mereka berdua yang masih hidup.   Thian-ti, Hujan, Angin, Kilat, 1157 dan Geledek sudah mengepung mereka berdua dari segala penjuru.   Fu Giok-su mundur dua langkah.   Dia tertawa lebar.   "Aku rasa kita tidak perlu melanjutkan pertarungan lagi!"   Katanya sinis. Kuan Tiong-liu menyarungkan pedangnya kembali. Dia menoleh kepada Yi Pei-sa. Gadis itu menyusupkan kepalanya ke dalam pelukan Kuan Tiong-liu.   "Ke mana pun kau pergi, aku akan ikut. Jangan tinggalkan aku seorang diri!"   Kata gadis itu tenang. Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya.   "Jangan khawatir .... Aku akan membawamu serta."   Dia mengerling kepada Fu Giok-su.   "Seandainya kami di bawah serangan toyamu, bagi kami hal itu malah merupakan suatu penghinaan!"   "Apa pun yang kau katakan aku tidak peduli!"   Sahut Fu Giok- su datar.   "Karena kau sama sekali bukan manusia lagi, tapi binatang!"   Baru saja ucapannya selesai, pedang di tangannya langsung menikam belakang punggung Yi Pei-sa dan dia sendiri segera mengentakkan tubuhnya ke belakang dan pedang itu pun menembus jantungnya.   Satu pedang dua nyawa.   Dengan bibir tersenyum Yi Pei-sa mengembuskan napas terakhir dalam pelukan Kuan Tiong-liu.   Pada saat itu juga nyawa Kuan Tiong-liu juga melayang.   Mereka mati berpelukan.   Ujung mata Fu Giok-su bergetar sekejap.   Perlahan-lahan dia 1158 membalikkan tubuhnya.   Tidak ada orang yang tahu bagaimana perasaan hatinya.   Tidak seorang pun.   Tepat pada saat itu, para murid Siau-yau-kok sudah berhamburan keluar dari tempat persembunyian mereka.   Rupanya mereka telah mempersiapkan diri sejak tadi dan menjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu yang tidak di nginkan.   Obor-obor menyala dengan terang.   Suara sorakan memekakkan telinga.   Mereka menari-nari di atas mayat-mayat yang bergelimpangan.   ***** Di sebuah jalan daerah yang terpencil, sebuah kereta kuda yang sudah tua melaju perlahan.   Orang yang menjalankan kereta dan kuda yang menarik di depannya sama-sama tua.   Sampai gigi pun sudah hampir ompong semuanya.   Di dalam kabin kereta Sen Man-cing dan Guat Ngo duduk berdampingan.   Di belakang mereka tergeletak Wan Fei-yang yang sudah hampir mirip mayat hidup.   Seluruh tubuhnya dilapisi sarang laba-laba yang mengepulkan uap dingin.   Tentu saja bukan sarang laba-laba betulan.   Hanya tampaknya seperti seekor serangga yang terperangkap dalam sarang laba-laba.   Selama ini Sen Man-cing terus memerhatikan perubahan yang terjadi pada diri Wan Fei-yang.   Dia sudah mengerti apa sebenarnya yang terjadi.   Dia juga sadar bahwa pada saat ini Wan Fei-yang tidak boleh menerima sedikit pun getaran atau guncangan batin.   Oleh karena itu, ketika dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, dia langsung mengajak Guat Ngo 1159 memapah Wan Fei-yang keluar dari jalan rahasia.   Kepergian mereka untung saja tepat pada waktunya.   Baru mereka meninggalkan tempat itu tidak beberapa lama, Liong- hong-kek juga sudah diserbu oleh orang-orang Go-bi-pay dan Bu-tong-pay.   Jalan rahasia itu bukan terletak di dalam Liong-hong-kek.   Kalau para anggota Bu-ti-bun tidak sedang pontang-panting menghadapi musuh, tentu mereka juga tidak demikian mudah melarikan diri dari tempat tersebut.   Selama beberapa puluh tahun ini, baru kali pertama Sen Man-cing meninggalkan Bu-ti- bun.   Dapat dibayangkan perasaan asingnya terhadap dunia luar.   ***** Sementara itu, di pondok peninggalan Hay-liong Lojin, Fu Hiong-kun, dan Tok-ku Hong duduk berhadapan dengan saling membisu.   Di belakang mereka ada sebuah makam baru.   Di sanalah Yan Cong-tian dikuburkan.   Kejadian itu berlangsung tujuh hari yang lalu.   Tiba-tiba Fu Hiong-kun melihat keadaan Yan Cong-tian yang mencurigakan.   Dia segera memeriksa.   Ternyata napas orang tua itu sudah berhenti.   Biar dilihat dari sudut mana pun, Yan Cong-tian sudah tidak menampakkan gejala orang hidup.   Akhirnya dengan perasaan sedih, Fu Hiong-kun terpaksa mengubur Yan Cong-tian.   Dia sendiri tetap menetap di tempat itu, dengan harapan bahwa pada suatu hari Wan Fei-yang akan pulang ke sana.   Lagi pula dia memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi.   Dia sadar bagaimana kakeknya membencinya sekarang.   Sedangkan melihat perubahan Fu 1160 Giok-su, abangnya itu juga tidak mungkin memaafkannya.   Pokok persoalannya adalah dia sendiri yang sudah tidak sanggup hidup bersama-sama orang-orang jahat itu.   Wan Fei-yang tidak kembali, malah Tok-ku Hong yang datang ke sana.   Fu Hiong-kun merasa di luar dugaan.   Apalagi setelah mendengar cerita Tok-ku Hong tentang kehadiran Wan Fei- yang yang mengacau di hari pernikahan gadis itu, Fu Hiong- kun semakin tertekan.   Tapi dia adalah seorang gadis berjiwa besar.   Dia tidak membenci Wan Fei-yang.   Dia hanya menarik napas panjang.   Dia juga tidak cemburu ataupun marah terhadap Tok-ku Hong.   Menghadapi seorang gadis yang baik hati dan lembut seperti Fu Hiong-kun, bagaimana mungkin Tok-ku Hong tidak dapat melenyapkan rasa salah pahamnya dulu? Meskipun mulutnya tidak berkata apa-apa, tapi hatinya sudah mengambil keputusan untuk membagi cinta kasih Wan Fei-yang separuhnya untuk Fu Hiong-kun.   Setiap kali mengungkit nama Wan Fei-yang, hati kedua gadis itu menjadi khawatir kembali.   Sampai saat ini Wan Fei-yang masih belum pulang ke tempat ini, ke mana perginya pemuda itu? Apakah lukanya terlalu parah sehingga tidak dapat mempertahankan lagi dalam perjalanan? Teringat akan hal-hal yang buruk, hati keduanya menjadi semakin cemas dan takut.   Akhirnya Fu Hiong-kun membimbing gadis itu ke depan makam Yan Cong-tian.   Dia bermaksud melupakan sejenak urusan Wan Fei-yang.   Baru saja Tok-ku Hong bermaksud menjatuhkan diri berlutut, tiba-tiba dia merasa tanah yang dipijaknya bergetar.   Fu Hiong- 1161 kun juga merasakannya.   Matanya terbelalak.   Tanpa sadar dia menjerit ngeri.   Apalagi ketika kuburan itu retak dan terpecah belah lalu tanah berhamburan ke mana-mana disusul dengan suara pecahnya peti mati.   Fu Hiong-kun sampai menggigil ketakutan.   "Hong-cici, apa sebenarnya yang terjadi?"   Tanyanya gugup.   "Mayat hidup ...!"   Dia sendiri yang mengucapkan kata-kata itu, tapi wajahnya sendiri pula yang berubah menghijau.   Sekali lagi terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga, bagai terjadi gempa bumi yang dahsyat.   Kuburan itu merekah lebar dan sesosok tubuh menerjang keluar dari dalamnya! Wajahnya merah padam, di antara siulan panjang, tubuhnya berjungkir balik dua kali kemudian melayang turun di hadapan Fu Hiong-kun dan Tok-ku Hong.   Wajah kedua gadis itu berubah beberapa kali.   Mereka mundur beberapa langkah.   Tanpa sadar tangan keduanya bergenggam erat.   Mata mereka terbelalak.   Mulut terbuka lebar.   Yan Cong-tian tertawa terbahak-bahak.   "Anak bodoh! Apa yang kalian takutkan?"   Tanyanya tenang. Fu Hiong-kun tersadar. Sukmanya yang tadi baru melayang sekarang kembali lagi. Dengan heran dia memandang Yan Cong-tian lekat-lekat.   "Locianpwe ... kau ...?"   Wajah Yan Cong-tian berseri-seri.   Dia tertawa terbahak-bahak sekali lagi.   1162 "Tiga puluh tahun berlatih dengan susah payah tanpa hasil.   Siapa sangka setelah mengalami berbagai penderitaan, ternyata hari ini aku berhasil menguasai Tian-can-kiat!"   "Tian-can-sinkang?"   Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun tertegun serentak.   "Ilmu ini merupakan pusaka Bu-tong-pay selain Bu-tong-liok- kiat.   Karena Suhu dibokong musuh dan mati pada saat itu juga, beliau belum sempat mengatakan kunci ilmu Tian-can- sinkang ini.   Itulah sebabnya aku tidak pernah berhasil melatih ilmu ini.   Sampai sekarang aku baru tahu kunci rahasia tersebut,"   Sahut Yan Cong-tian serius.   Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun mendengarkan dengan termangu-mangu.   "Tian-can-sinkang adalah sebuah ilmu yang luar biasa.   Memang harus mengalami luka parah dulu, di ambang kematian lalu hidup lagi, baru memahami sim-hoat yang luar biasa ini.   Dengan kata lain, harus orang yang paham sekali sim-hoat ini dan bahkan seorang yang ilmu silatnya hampir musnah baru bisa mendapatkan tenaga Tian-can-sinkang.   Kalian tahu bagaimana seekor ulat sutra menjadi dewasa.   Bukankah berasal dari kepompong yang beralih perlahan- lahan dari tidak berdaya menjadi ulat sutra yang berguna? Kurang lebih seperti itulah prosesnya.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sedangkan aku mempelajari dengan membabi buta.   Selalu menganggap ada sesuatu yang kurang dalam latihanku sendiri.   Tidak tahunya makin dilatih makin runyam.   Hampir saja jiwa melayang di tangan Fu Giok-su!"   "Maksud Locianpwe, harus memusnahkan ilmu sendiri dan 1163 berlatih kembali dari awal baru bisa berhasil?"   Tanya Fu Hiong- kun.   "Tidak salah! Persis seperti seekor ulat sutra bukan? Di mana kepompongnya harus terkelupas dulu baru bisa jadi ulat. Pemecahan sederhana ini ternyata sempat membuat aku pusing selama dua puluh tahunan,"   Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam.   "Meskipun tempo hari aku meminum obat yang dibawakan oleh Fei-yang, tapi hatiku sendiri sudah putus asa. Mengingat usiaku yang sudah tua, seandainya urat nadi ini bisa tersambung lagi, aku juga tidak banyak kegunaannya lagi. Aku ingin bunuh diri dengan cara menutup jalan pernapasanku. Tidak tahunya, tiba-tiba pikiran ini menjadi kosong melompong. Napas pun benar-benar terhenti. Namun sebetulnya otak ini masih bekerja. Aku dapat mendengar suara apa pun di sekitar, hanya saja tidak dapat memberikan reaksi. Aku bahkan tahu ketika Fu-kouwnio mengubur diriku."   Fu Hiong-kun tertawa getir.   "Aku masih mengira Locianpwe benar-benar telah berpulang."   "Memang reaksi yang diperlihatkan persis dengan orang yang sudah mati. Dan tenaga dalam yang kulatih selama ini pun musnah seketika, tetapi tenaga Tian-can-sinkang justru mulai terbangkit. Semakin lama bertambah kuat."   "Kami memberi selamat kepada Locianpwe!"   Kata Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun serentak sambil menjura. Yan Cong-tian tersenyum. Tiba-tiba dia berdiri. Seakan ada sesuatu yang teringat dalam ingatannya.   "Di mana Wan Fei- yang? Panggil dia kemari! Aku ingin mewariskan rahasia Tian- can-sinkang. Dengan gabungan tenaga kami berdua, selain 1164 membasmi murid murtad, nama besar Bu-tong-pay juga dapat dibangkitkan kembali!"   Mendengar ucapan Yan Cong-tian, kedua gadis itu langsung menundukkan kepalanya sambil menarik napas panjang.   Mereka terpaksa menceritakan segalanya.   Untung saja sifat Yan Cong-tian sudah jauh berubah.   Kalau sifatnya masih seperti dulu, pasti Tok-ku Hong menjadi sasaran marahnya.   Tapi sekarang dia hanya menatap langit sembari menggumam seorang diri.   Entah apa yang digumamkannya, wajahnya saja yang berubah kelam seketika.   ***** Pada waktu yang hampir bersamaan, benda-benda berwarna putih yang melapisi kulit tubuh Wan Fei-yang tiba-tiba terkelupas.   Melihat keadaan itu, Guat Ngo menjerit terkejut.   Sen Man-cing buru-buru mendekati, setelah tahu apa yang terjadi, dia malah tertawa lebar.   Akhirnya Wan Fei-yang membuka mata.   Sinarnya begitu tajam menusuk.   "Selamat! Kau telah berhasil menguasai Tian-can-sinkang!"   Kata Sen Man-cing segera.   "Apa?"   Wan Fei-yang langsung terpaku mendengar ucapannya.   "Beberapa tahun yang silam, suhumu terluka parah.   Dia kutolong seperti kau sekarang ini.   Setelah tahu bahwa aku berasal dari keluarga Sen yang terkenal dalam latihan lwekangnya, juga karena selama itu dia tidak pernah dapat mengungkapkan rahasia Tian-can-sinkang, maka dia menyebutkan teori ilmu itu kepadaku dengan harapan suatu 1165 hari nanti aku akan berhasil memecahkan rahasia yang terkandung di dalamnya.   Selama belasan tahun ini aku tetap tidak menghasilkan apa-apa.   Demi menolong dirimu, aku terpaksa menyalurkan tenaga dalam ke seluruh tubuhmu.   Ternyata sekali disalurkan, tenaga dalam itu seperti tersedot.   Mengalir dengan deras dan kuat tak terkendalikan.   Bahkan aku tidak dapat menarik tanganku kembali.   Pada saat itulah aku sadar apa yang telah terjadi."   "Hujin, aku masih belum mengerti!"   Sen Man-cing menghela napas perlahan.   "Mahkota kebesaran disimpan selama bertahun-tahun, pakaian kerajaan dikenakan orang lain ...."   Pikiran Wan Fei-yang langsung tergerak mendengar syair itu.   "Maksud Hujin, meskipun Hujin sendiri yang melatih ilmu Tian- can-sinkang, namun hasilnya tak pernah ada.    Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng

Cari Blog Ini