Manusia Aneh Alas Pegunungan 7
Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl Bagian 7
Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya dari Gan K.l 138 Betapapun lihaynya Im-su-siucay, tak nanti ia berani menangkis serangan hebat ini, apalagi ia bertangan kosong, terpaksa cepat berkelit kesamping. Dan saking bernafsunya kemplangan Tiat-pi Siansu itu hingga sebuah batu kena dihantam remuk, tangan sendiri yang berasa kesemutan, malah luka pahanya tadi ikut2 kesakitan lagi. Karuan kesempatan bagus ini digunakan Im-su-siucay dengan baik untuk menubruk maju dari samping terus menggablok kepundak lawan. Maka terdengarlah teriakan Tiat-pi Siansu terus terguling ketanah. Waktu Im-su- siucay periksa tangannya, ternyata telapak tangannya sudah berlepotan darah. Kiranya tangan Im-su-siucay itu terkenal sebagai Sian-jing-ciang atau tangan dewa alias tangan kaktus, yaitu memakai kaos tangan dari kulit landak yang berduri. Tentu saja pundak Tiat-pi Siansu yang kena dihantam itu seketika bertambah berpuluh lubang2 kecil dan jatuh knock-out , ia menggereng kesakitan, tapi tak berani merangsang maju lagi, melainkan dengan mata mendelik memandangi lawan yang licik itu. Melihat Tiat-pi Siansu telah kalah kena hantamannya, Swe Hiang-ang menjadi jumawa seperti ayam jago yang habis mendapat kemenangan, dengan sinar mata sombong yang tiada takeran ia mengerling pada Thian-lam-sam-say hingga yang tersebut belakangan ini merasa kebat kebit. Ha, ilmu kepandaian Swe-toako memang benar hebat! kata Thian-lam-sam-say setengah mengejek. Hm, bila kalian ingin coba2, boleh tunggu nanti! sahut Swe Hiang-ang dengan angkuhnya. Habis ini ia berpaling kepada A Siu dan membentak . Bocah, hayo katakanlah, dari manakah kau peroleh mutiara yang kau pakai itu? A Siu melengak oleh teguran itu, ia lihat wajah Im-su-siucay yang kurus bengis itu lagi memandang padanya dengan sinar mata jahat, ia menjadi muak rasanya. Mutiara ini pemberian Jing-koh , sahutnya kemudian sambil melengos. Sudah tentu Im-su siucay tidak pandang sebelah mata pada seorang gadis desa seperti A Siu, dengan suara keras ia membentak pula. Siapa Jing-koh ? Dia berada dimana ? Lekas katakan! A Siu mengkerutkan keningnya, lalu katanya . Kenapa kau begitu galak, aku justeru tak mau katakan, sahutnya kemudian. 139 Im-su-siucay menjadi murka. Budak kurang ajar! bentaknya, terus melesat maju. Tangannya diangkat terus hendak mencengkeram kemuka si gadis. Hai, Im-su....... bentak Thiam-lam-sam-say hendak mencegah. Tapi belum sampai ucapannya habis, tahu2 bukannya A Siu yang kena dicengkeram, tapi Im-su-siucay sendiri yang terpental pergi bagai layangan yang putus benangnya, hingga tepat terbanting disampingnya Tiat-pi Siansu. Kalau tadi Im-su-siucay masih mentah2 bersitegang, siapa tahu sekarang ia sendiri menggeletak juga ditanah sambil meng-gereng2. Thian-lam-say-say dan Tiat-pi Siansu menjadi bingung menyaksikan itu. Tapi segera Tiat pi Siansu ter-bahak2 juga, Bagus, sekarang kaupun tahu rasa ! serunya sembari merangkak bangun terus balas menyepak ketubuh Im-su-siucay hingga sasaran ini terpental pergi setombak lebih. Dalam keadaan terluka kena Lwekang yang dilontarkan A Siu tadi, dengan sendirinya Im-su-siucay tak dapat menghindari depakan si hwesio itu, malahan Tiat-pi Siansu merangkak bangun hendak menambahi sekali tendang lagi untuk melampiaskan rasa dongkolnya tadi, namun keburu diteriaki A Siu. Tiat-pi Siansu menjadi gusar mendengar ada orang berani merintangi perbuatannya, segera ia hendak memaki, tapi mendadak teringat olehnya bahwa robohnya Im-su-siucay itu justeru disebabkan anak dara itu, jika dirinya berani-berani memakinya, mungkin akan celaka juga. Karena itu ia menjadi terheran-heran. Melihat Hwesio yang tolol2 lucu ini, A Siu menduga orang tentu tidak berjiwa jahat, segera ia hendak maju mengajak bicara pula. Jangan lari ! bentak Thio Seng mendadak. Habis itu bertiga saudara mereka lantas merubung kedepannya A Siu. A Siu menjadi dongkol kebebasannnya dirintangi. Kalian mau apa? bentaknya kemudian. Apakah nona anak muridnya Bwe-hoa-siancu Ang Jin-kin ? tanya Thiam lam-sam- say itu. Entahlah, aku tidak kenal Bwe-hoa atau Thoa-hoa, sahut A Siu. Lekas minggir ! 140 Akan tetapi Thian-lam-sam-say itu malah mendesak lebih dekat. Sesudah saling memberi tanda, mendadak Tok-jiau-say Thio Jiang, singa bercakar tunggal, mendadak ulur tangan terus mencakar ke lehernya A Siu hendak menarik kalung mutiara yang dipakainya itu. Melihat kekurang ajaran orang, A Siu sangat mendongkol, sekenanya ia tangkis serangan orang. Dengan tipu Tok-jiau-kim-liong atau cakar tunggal menawan naga, tujuan Thio Jiang ialah hendak mengarah mutiara dileher orang, tapi karena tangkisan A Siu itu, maka cengkeramannya itu menjadi kena ditangan si gadis. Melihat A Siu kecil mungil, lengannya kecil bagai batang kayu, sebaliknya lengannya Thio Jiang hitam lebat dengan bulunya yang panjang-panjang, pula besar kuat penuh otot, setiap jarinya saja hampir sebesar lengan si A Siu, kalau sampai kena dicengkeram, sungguh entah bagaimana jadinya ? Demikian pikir Tiat pi Siansu, maka ia merasa penasaran, segera berteriak . Tok jiau say, jangan kau agulkan lenganmu yang lebih besar! A Siu tersenyum sambil melirik kearah Hwesio itu, ia pikir hati paderi dogol ini ternyata memang betul tidaklah jahat. Pada saat itulah kelima jari tangan Thio Jiang sudah kontak dengan lengannya, cepat ia keluarkan tenaga dalamnya hingga Thio Jiang tergetar pergi seakan-akan kena aliran listerik. Thio Jiang terkejut, ia bingung pula akan kepandaian A Siu itu, ia masih penasaran, sekali membentak, kembali ia mencengkeram lagi keatas kepala si gadis. Diam2 A Siu mendongkol akan kebandelan lawan, sekali ini tak ia beri ampun lagi, sekonyong-konyong ia samber tangan orang terus disengkelit pergi hingga tubuh Thio Jiang yang besar terlempar keudara. Melihat saudara mereka bakal kebanting mati, cepat2 Thio Sia dan Thio Seng berlari-lari hendak menyanggapi badannya Thio Jiang. Di luar dugaan tenaga yang dipakai A Siu tampaknya enteng, tapi sebenarnya sangat besar, ketika tubuh Thio Jiang dapat mereka tangkap, mereka berdua ikut terguling juga ditanah. Karuan yang paling geli adalah Tiat-pi Siansu, ia tepuk tangan bersorak tertawa. Bagus, bagus, tiga ekor singa kalah dengan seekor kucing! serunya ter-bahak2. Dan kau bagaimana, kau takluk padaku tidak? tanya A Siu mendadak kepada Tiat- pi Siansu dengan tertawa-tawa. 141 Tiat-pi Siansu melengak. Takluk? ia menegas. Tapi segera iapun geleng2 kepala . Ah, tidak, tidak! Tiba2 A Siu menghampiri Tiat-pi Siansu hingga tubuh mereka satu sama lain seperti anak kecil berhadapan dengan raksasa saja. Tanpa bicara A Siu terus ulur jari tengahnya menutuk pelahan ke Hoa-kap-hiat didada orang. Ilmu kepandaian A Siu diperoleh dari menirukan gambar2 Siau-yang-chit-kay sebanyak tiga ratus empat puluh tiga jurus dalam gua itu, ia hanya tahu cara menggunakannya, tapi tidak mengerti bahwa Hoa-kap-hiat yang ditutuknya itu adalah salah satu jalan darah terpenting ditubuh manusia, dengan Lwekangnya, kalau sampai kena, dapat diduga Tiat-pi Siansu akan melayang jiwanya. Tapi jelek2 Tiat-pi Siansu adalah keluaran Siau-lim-si, karena tololnya serta tak taat pada pantangan2 perguruan, maka ia diusir. Sudah tentu dalam pengertian ilmu silat ia lebih paham daripada A Siu. Ketika tiba2 merasa dadanya se-akan2 diseruduk suatu tenaga yang maha besar. Karuan ia terkejut, cepat ia hendak berkelit, tapi sudah terlambat, terasa sebuah tulang iganya kena tertutuk patah hingga Tiat-pi Siansu terhuyung-huyung kebelakang dengan muka pucat. Ah, Toahwesio telah terluka bukan? tanya A Siu cepat. O, tak........tak apa, hanya luka sedikit, aku takluk sudah, sahut Tiat-pi Siansu dengan menahan sakit. Menyaksikan itu, barulah sekarang Thiam lam-sam-say dan Im-su-siucay Swe Hiang-ang insyaf bahwa nona jelita yang mereka hadapi itu sebenarnya memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tanpa bicara lagi, Thian-lam-sam-say yang lukanya enteng terus merangkak bangun dan kabur pergi. Begitu pula Swe Hiang-ang, walaupun dengan rasa sayang, iapun larikan diri. A Siu tak urus mereka, sebaliknya ia merasa menyesal telah melukai sihwesio gede itu maka tanyanya . Toahwesio, apakah lukamu parah ? Dasar wataknya Tiat-pi Hwesio memang tolol jujur, terhadap kepandaian A Siu, sekarang ia sudah menyerah benar2, sahutnya . Ah, tidak, luka patah tulang ini sedikit hari saja akan baik. Toahwesio, apakah orang2 tadi adalah kawanmu, kenapa mereka hendak merampas mutiaraku ini ? tanya A Siu tiba2 dengan heran. 142 Ya, mutiara mestika yang kau pakai itu sesungguhnya tak ternilai harganya, tapi bukan maksudku hendak mengincarnya, sahut Tiat-pi Siansu. Aku hanya ingin mencari tahu jejak seseorang yang bernama Ang Jin-kin, yaitu pemilik asal dari mutiaramu itu. Mendengar ini A Siu menjadi teringat pada peristiwa dua belas tahun yang lalu ketika Jing-koh memberikan kalung mutiara itu padanya, tatkala mana orang seperti perkenalkan diri bernama Ang Jing-kin, pantas ketika tadi mendengar nama itu disebut, ia merasa seperti sudah kenal. Dan sekali ingat akan itu, segera ia menjadi ingat juga kejadian diwaktu kecilnya ketika kesasar dipergunungan itu. Maka tuturnya kemudian . Ya, benar, Toa hwesio, bibi yang memberi mutiara ini memang bernama Ang Jing-kin, ada apakah kau hendak mencarinya ? Ceritanya terlalu panjang, kata Tiat-pi Hwesio, orang Bu-lim yang hendak mencarinya bukan aku saja, tapi masih sangat banyak. Dia bersama suaminya sudah menghilang dua belas tahun tapi dua macam pusaka dipuncak Kim-teng-san diwilayah Kuiciu diketahui dibawa oleh mereka suami isteri! A Siu menjadi bingung oleh cerita itu, ia menjadi ketarik dan menanya lebih jelas. Tapi dasar Tiat-pi Siansu tidak pandai bicara, setelah melantur2 kalang kabut, akhirnya barulah A Siu dapat menangkap maksud kedatangan mereka berlima itu adalah karena ingin mencari jejaknya Bwe-hoa-siancu Ang Jing-kin bersama suaminya, Sam-siang- sin-tong Siang Hiap. Kiranya pada dua belas tahun yang lalu pada saat Chit-bok-Lo-sat Ki Teng-nio lagi bersemedi, Ang Jin-kin dan Siang Hiap telah menggerayangi tempat kediamannya dan dapat menggondol lari dua macam pusaka. Ki Teng-nio itu adalah tokoh terkemuka dari aliran sesat, baru saja ia selesai menjalankan tirakatnya lantas mengetahui pusakanya dicuri orang, akibatnya darah naik dan badan lumpuh, yaitu dalam istilah silat disebut Cau hwe-jip-mo atau api membakar diri sendiri. Dengan badan lumpuh sudah tentu ia tak bisa menguber musuh, sampai siapa pencurinya ia pun tidak tahu. Kemudian dikalangan Kangouw lantas tersiar kabar bahwa pernah orang melihat ada empat orang berkedok telah menguber Bwe-hoa-siancu dan Sam-siang-sin-tong berdua sampai kedaerah perbatasan diwilayah suku Biau. Sejak itu pula empat orang berkedok dan suami istri Bwe-hoa-siancu menghilang juga. Sedangkan diantara orang2 Kangouw yang terkenal dari lapisan Hek-to hanya tiga orang saja yang ikut lenyap, 143 yaitu yang terkenal dengan Bong-san sam-sia atau tiga momok dari gunung Bong. Karena itu, lantas orang menyangka Bong-san-samsia dapat mencium bau bahwa pada diri Bwe-hoa-siancu berdua ada menggondol pusaka orang maka mereka terus menguber dan akhirnya sama-sama lenyap didaerah Biau. Namun orang2 berkedok itu seluruhnya ada empat orang, lalu kecuali Bong-san-sam-sia, siapa lagi yang seorang itu ? Sebenarnya ayahnya Bwe-hoa-siancu Ang Jing-kin adalah pendekar besar diwilayah barat Ohlam, pergaulannya luas dengan segala lapisan dan golongan. Walaupun Sam-siang-sin-tong Siang Hiap resminya adalah anak menantunya tapi Siang Hiap sejak kecil sudah pintar dan cerdas luar biasa, makanya mendapat julukan Sin-tong atau anak sakti. Tidak heran kalau sang mertua memandangnya bagai anak sendiri. Ketika mendengar puteri kesayangan dan menantunya itu lenyap berbareng, pernah juga orang tua itu mencarinya jauh ketanah Biau ini, tapi sayang hasilnya nihil, malahan setahun kemudian, seluruh isi keluarganya telah dibunuh musuh hingga bersih, hanya puteri satu2nya Ang Jing-kin yang nama kecilnya disebut Siau Yan yang berhasil lolos, tapi kemana perginya juga tidak diketahui. Sedari itu, sang waktu lewat dengan cepatnya, sekejap saja dua belas tahun sudah lalu. Namun orang2 Bu-lim masih belum melupakan dua macam pusaka milik Ki Teng- nio yang dibawa Ang Jing-kin itu, maka tidak pernah berhenti orang berusaha mencari jejaknya Ang Jing-kin, cuma semuanya harus pulang dengan kecewa atau mati menjadi korban binatang berbisa ditanah Biau ini. Begitu pula maksud kedatangan Tiat-pi Siansu berlima itu, tiada lain juga serupa saja. Nyata cerita ini serba baru semua bagi A Siu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa di dunia ini masih begitu luas serta penuh manusia-manusia kejam. Ia merenung sejenak, kemudian katanya . Jika sejak masuk gunung, Jing-koh tak pernah keluar lagi, lalu bagaimana dengan suaminya ? Lapat2 aku masih ingat Jing-koh datang bersama seorang lelaki berkerudung katanya lelaki itu terluka, harus disembuhkan dengan dua macam obat apa yang aku tidak ingat lagi, mereka lantas berpisah sejak itu dan akupun terpencar dengan dia selama dua belas tahun tinggal dipegunungan. Nona.......nona tinggal selama dua belas tahun didalam gunung, apakah tak pernah berjumpa pula dengan Ang Jin-kin? tanya Tiat-pi Hwesio ragu2, semula ia bermaksud menanya kepandaian A Siu dipelajari dari siapa, tapi tidak jadi. 144 Tidak, akupun tidak tahu kalau dia masih tertinggal digunung, tapi sekarang aku harus mencarinya, ujar A Siu. Biar aku ikut, seru Tiat-pi Hwesio. Tapi bagaimana dengan lukamu ? Asal nona suka menolong, sedikit turun tangan saja, pasti lukaku akan baik! Betul ? A Siu menegas dengan mata membelalak. Ya, dengan Lwekangmu yang tinggi itu, tidak sulit rasanya lukaku hendak disembuhkan, kata Tiat-pi Hwesio. Walaupun sebenarnya Lwekang A Siu sudah mencapai tingkatan jago kelas satu, tapi ia sendiri hakekatnya tidak mengerti. Maka katanya . Bagaimana caranya, coba kau ajarkan padaku! Tiat-pi Hwesio menjadi heran dan melongo oleh sahutan si gadis. Ia tutuk punggungnya sendiri dan berkata . Tempelkan telapak tanganmu disini dan kerahkan tenaga dalammu ! A Siu menurut. Ketika tangannya menyentuh punggung Tiat-pi Hwesio dengan sendirinya timbul semacam tenaga perlawanan dari tubuhnya, sekejap saja beberapa jalan darahnya yang tadinya buntu kini tiba2 menjadi tembus. Kiranya Tiat-pi Hwesio ini berhenti setengah jalan dan diusir dari Siau-lim-si, maka kepandaian yang masih dapat diandalkan olehnya adalah ilmu Gwakang, kini dengan bantuan A Siu, tanpa merasa tenaga dalamnya bertambah banyak hingga merupakan dasar latihan Lwekangnya dikemudian hari, karuan girangnya tidak kepalang sampai ia bersuara gembira. Menyangka orang sudah sembuh seluruhnya, A Siu telah tarik kembali tangannya. Tiba2 pikiran Tiat-pi Hwesio tergerak, mendadak ia menjura terus memberi sembah kepada A Siu dan katanya . Nona, meski usiamu lebih muda dariku, tapi aku mohon kau suka menerima aku sebagai Toute (murid)! A Siu melengak, ia tidak paham maksud orang, tanyanya . Apakah Toute itu ? Dengan ter-heran2, Tiat-pi Hwesio mendongak memandang si gadis, pikirnya, semua orang suka bilang aku tolol, tapi gadis ini ternyata lebih tolol dari padaku. Namun begitu tak berani diucapkannya, hanya sahutnya . Artinya aku mengangkat nona sebagai suhu! 145 Tapi A Siu masih tidak paham apa Suhu, apa Toute segala. Maka Tiat-pi Hwesio coba menerangkan . Aku panggil nona Suhu dan nona sebut aku Toute. Mau tak mau Tiat-pi Hwesio garuk2 kepala, sebab ia sendiri merasa sulit juga untuk menerangkan. Lalu Suhu mengajarkan kepandaian kepada toute dan toute akan menurut segala perkataan Suhu. Suhu suruh toute melakukan apa, toute lantas menurut, sahutnya kemudian. A Siu menjadi gembira. Ya, tahulah aku sekarang. Baiklah, aku menjadi suhumu! katanya tertawa. Tanpa disuruh lagi Tiat-pi Hwesio terus menjura memberi hormat sambil memanggil Suhu. Kedua orang ini yang satu adalah Hwesio tolol, yang lain adalah nona cilik yang kekanak-kanakan, maka tidak heran apapun dapat terjadi. Namun demikian ada baiknya juga bagi Tiat-pi Hwesio hingga kelak ia dapat mempelajari ilmu Lwekang yang tinggi dari A Siu. Toute, daripada kita nganggur, marilah kita pergi mencari Jing-koh, kata A Siu kemudian. Sudah tentu Tiat-pi Hwesio mengia. Segera mereka berdua kembali kejalan pegunungan itu. Sedapat mungkin A Siu ingin meng-ingat2 masa dahulu ketika dirinya dipanggul dipundak ayahnya pergi mencari obat bersama Jing-koh dan tempat mana yang telah didatanginya. Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Namun ia tidak ingat lagi, hanya samar2 masih ingat pernah meng-uber2 kelinci hingga akhirnya ditolong Lo-liong-thau ketika seorang lelaki hendak mencelakai dirinya. Begitulah mereka terus menjelajahi lereng pegunungan itu hingga dua hari, tapi tiada sesuatu yang mereka ketemukan, tapi sudah dekat dengan gua tempat tinggal Lo-liong-thau itu, A Siu pikir kenapa tidak pulang dulu untuk menanyakan orang aneh itu, mungkin ia masih ingat cara bagaimana dahulu menemukan dirinya. Sesudah ambil keputusan, segera Tiat-pi Hwesio diajaknya kesana. Dari jauh sudah tampak Lo-liong-thau lagi duduk didepan gua sambil melongak-longok, dan begitu melihat A Siu segera orang tua itu berteriak aneh . A Siu, kemana saja kau ngelayap sampai hari ini baru pulang? 146 Sudah tentu Tiat-pi Hwesio tidak paham apa yang dimaksudkan kata2 orang dalam bahasa Biau yang ngawur itu, ia menyangka A Siu sedang dimaki, maka dengan mata mendelik ia membentak. Hai, kau setan alas ini, berani kurang ajar pada Suhuku ! tanpa pikir lagi ia mendekati dengan langkah lebar, begitu tongkatnya diangkat, mendadak ia mengemplang kepala orang. Tapi Lo-liong-thau seperti tidak menghiraukannya, masih katanya dengan gusar . A Siu, siapakah orang ini ? Kenapa kau membawa kemari ? Habis itu, baru cepat ia mengulur tangannya memapak tongkat sihwesio yang sementara itu sudah hampir berkenalan dengan kepalanya. Sekali tangkap dan ditarik, tahu2 tubuh Tiat-pi Hwesio menyelonong kedepan. Karena inilah baru Hwesio tolol itu insyaf orang Biau yang aneh ini ternyata jauh lebih lihay daripada si A Siu, lekas2 ia kendorkan cekalannya dan menyusul terdengarlah suara krak , tongkatnya telah patah ditekuk orang aneh itu. Saking terkejutnya sampai Tiat-pi Hwesio mencelat mundur pula setengah mengumpet dibelakang A Siu. Cepat A Siu mendekati Lo-liong-thau, Tiat pi hendak ikut maju, tapi mendadak terasa suatu tenaga maha besar telah mendorongnya dibarengi dengan bentakan Lo-liong- thau . Kau enyah keluar sana ! seketika tubuh Tiat-pi Hwesio ter-huyung2 mundur setombak lebih. Toute jangan takut, memang beginilah watak Lo-liong-thau, kau tunggu dulu diluar situ, kata A Siu. Sudah tentu Tiat-pi Hwesio tak berani membantah, dengan mata membelalak heran ia mundur lagi beberapa tindak. Selama dua belas tahun ini, sudah tentu kepandaian Lo-liong-thau bertambah tinggi lagi daripada dulu. Sekali tangannya menahan ditanah segera tubuhnya menerobos kedalam gua dan disusul A Siu dengan cepat. Tapi A Siu menjadi heran ketika sudah berada didalam gua, ternyata disitu sudah bertambah seorang nenek. Siapakah dia, Lo-liong-thau ? He, kenapa orang sendiri kau tak kenal lagi! ujar Lo-liong-thau dengan tertawa. Tiba2 nenek itu berbangkit sambil mengamati-amati A Siu. Ai, kau benar2 A Siu, betapa rindunya ibumu akan dirimu, serunya dengan girang. Nenek, kau. ...... 147 Aku adalah Tiat-hoa-popo, masakan kau tidak ingat lagi ?'' potong nenek itu sebelum A Siu menanya. Tapi sesungguhnya A Siu tidak ingat siapakah gerangan Tiat-hoa-popo ini, maka ia rada kesima. Ibu Lo-liong-thau, nini Teng-kiu adalah adik perempuanku, waktu kau masih kecil, sering juga aku menggendong kau. ujar nenek itu. Samar2 A Siu coba mengingat masa dulu memang seperti ada seorang nenek seperti ini, maka dengan girang serunya . Ah, tentunya ayah dan ibuku juga baik2 bukan? Aku tadinya hendak pulang menjenguk mereka, tapi sampai tengah jalan telah putar balik....... Ai, ibumu saking berduka ditinggal pergi ayahmu, lalu jatuh sakit dan sudah meninggal tahun yang lalu, sela Tiat-hoa-popo dengan menghela napas. Apa, ibuku sudah meninggal ? A Siu menegas dengan sedih. Jika begitu, terang ayahku tidak pernah pulang? Tentu Jing-koh juga benar2 masih berada ditengah gunung! Jing-koh siapa ? tanya sinenek. Ialah wanita yang minta ayahku membawanya kegunung dahulu itu, sahut A Siu. Ya, ingatlah aku, kata Tiat-hoa-popo. Gara2 kedua orang asing itu, sekeluargamu jadi morat-marit. Sesudah suaminya ditinggal pergi dirumahmu dan memesan agar kain kerudung suaminya itu jangan dibuka. Siapa duga, suatu kali ibumu kurang hati2 hingga menyingkap kainnya itu, ibumu berteriak kaget, sebab muka lelaki itu sudah tidak berwujut manusia lagi, tapi penuh dengan darah kering dan bernanah pula. Mendengar jeritan ibumu, lelaki itupun terus meloncat bangun dan berlari pergi entah kemana. Orang sama berkata bahwa kedua orang asing itu adalah siluman yang sengaja datang hendak mencelakai sekeluargamu. A Siu ter-mangu2 sejenak, dalam hati ia pikir tidaklah mungkin orang baik seperti Jing-koh itu, tak nanti mencelakai keluarganya. Kalau bukan Tiat-hoa-popo kesasar jalan digunung dan dapat kupergoki tanpa sengaja, mungkin kita belum lagi tahu bahwa pemilihan Seng-co dari tujuh puluh dua gua suku kita segera akan diadakan dua tahun yang akan datang, kata Lo-liong-thau kemudian. 148 A Siu terkesima tidak paham tentang Seng-co apa segala. Maka Tiat-hoa-popo telah berkata lagi . Ya, sekali ini mungkin bintang suku kita sudah mulai terang hingga terdapat dua orang kalian. Dengan kepandaianmu, Lo-liong thau, rasanya kedudukan Seng-co kita takkan jatuh ditangan bangsa Han lagi! Tapi akupun takkan menjadi Seng-co, sahut Lo-liong-thau sesudah memikir sebentar. Jika ingin kedudukan Seng-co tidak jatuh ditangan bangsa lain, rasanya A Siu yang dapat memenuhi kewajiban itu. Sudah tentu A Siu tidak peduli tentang Seng-co apa segala dan betapa artinya kedudukan itu bagi bangsa mereka. Ya, A Siu sibocah ini memang sejak semula orang menyangkanya punya rejeki besar, kini ternyata memiliki kepandaian tinggi, tentu saja kita sangat bersyukur, kata Tiat-hoa-popo kemudian. Baiklah, dua tahun lagi, kalau waktunya sudah dekat, bolehlah kau kemari lagi, kata Lo-liong-thau. Tiat-hoa-popo mengiakan dan sejak itu sering ia datang menjenguk Lo-liong-thau. Cuma terhadap pertemuan mereka ini yang selamanya tak pernah diceritakannya kepada orang lain. Sebaliknya Tiat-hoa-popo sendiri juga tidak sedikit memperoleh faedah dari Siau-yang chit-kay yang terukir didalam gua itu hingga menjadikannya diindahkan suku bangsanya serta diangkat se-akan2 pemimpin mereka. A Siu, kata Lo-liong-thau kemudian, rasanya sudah tibalah waktunya kita menghadapi hari2 bahagia. Sesudah kelak kau menjabat Seng-co, hendaklah datang membawa aku kembali kerumah. Maka Hwesio gede tadi lekaslah kau enyahkan. Lo-liong-thau, Toahwesio itu sudah mengangkat guru padaku, rasanya ia pasti akan turut perintahku, sahut A Siu, dan sesudah merandek sejenak, tiba2 ia menanya tentang kejadian dahulu dan tempat dimana ia diketemukan orang aneh itu. Kejadian sebenarnya aku sendiri tidak tahu, ujar Lo-liong-thau, tapi tempat kutemukan kau adalah dibukit sebelah sana yang tidak jauh dari sini. Tanpa bicara lagi segera A Siu berlari pergi sembari menteriaki Tiat-pi Hwesio. Kemudian ia berpaling melambaikan tangan kepada Lo-liong-thau dan berseru . Lo- liong-thau, aku ingin pergi lagi untuk beberapa lamanya akan mencari tahu jejaknya Jing-koh ! 149 Dengan sendirinya Lo-liong-thau tidak tahu siapa Jing-koh itu, dia hanya geleng- geleng kepala melihat kelincahan si gadis itu. Sementara itu Tiat-pi Hwesio terus saja menyusuli A Siu dengan kencang, sesudah melintasi suatu bukit, A Siu coba membayangkan kejadian masa dahulu, tapi sama seperti sudah tak teringat olehnya, hanya lapat-lapat seperti ada air disuatu tempat yang dapat dibuat patokan olehnya. Toute, ternyata Jing-koh itu benar-benar tidak pernah kembali kepada suaminya yang ditinggalkan itu dan katanya mukanya penuh darah, entah apa sebenarnya yang sudah terjadi, masakan mereka benar-benar jelmaan siluman? tanya A Siu ditengah jalan. Siluman? Mana mungkin, sahut Tiat-pi Hwesio. Menurut kabar orang Kangouw katanya mereka kena dipedayai Bong-san Sam-sia yang mahir menggunakan racun itu, dan Sam-siang-sin-tong Siang Hiap terkena racun jahat, maka isterinya, Ang Jing-kin tidak kenal jeri payah menyingkir kedaerah Biau ini dengan maksud mencari obat. Tempo hari A Siu sudah mendengar sedikit tentang Ang Jing-kin dan suaminya itu, maka dia menjadi ketarik akan kisah-kisah Bu-lim, kembali dia tanya . Toute, cobalah ceritakan sedikit tentang jago2 silat yang menarik diantara bangsa Han kalian. Benar Tiat-ti Hwesio seorang dogol tapi pengalamannya di Kangouw sesungguhnya cukup luas. Maka dia menjadi bangga diminta oleh sang guru agar bercerita, segera dia memulai dengan dirinya sendiri yang tidak lupa dibumbu-bumbui dan di-tiup2 setinggi langit sampai A Siu ter-senyum2 geli tapi tak mencelanya. Kemudian Tiat-pi menceritakan tentang Jing-ling-cu dari Heng-san yang katanya sebatang pedangnya tiada tandingan dikolong langit, tentang dua paderi wanita dari puncak emas Go bi-san yaitu Sian-hoat Suthay dan Biau-in Sut-hay yang mahir ilmu Ji-lay-it-ci atau jari tunggal Budha dan pernah menaklukan delapan iblis terkenal di Jing-le-kok lalu tentang betapa lihaynya Thi-thau-o dari Ngo-tay-san yang atos kepalanya, tentang kelakuan Thong-thian-sin-mo Jiauw Pek-king yang tak terkekang, tapi ilmu silatnya tiada bandingan hingga tiga saudara she ln dari Holan yang terkenal dengan ilmu pukulan geledek kena ditundukan dan tentang tokoh kenamaan didaerah Kang-lam, Tai-lik-sin Tong Po yang takut bini, tentang Chit-bak-losat Ki Teng-nio dan sumoynya Li-giam-ong To Hiat koh yang kejam tak kenal ampun. Serentetan kisah yang aneh2 dan Iucu2 telah diceritakannya hingga A Siu ter-longong2 saking ketarik. Dan tanpa merasa haripun sudah petang. 150 Dibawah sebuah pohon besar mereka duduk mengaso buat lewatkan sang malam, A Siu duduk bersila bersemadi menurutkan ukiran yang dipelajarinya dari gua, iapun memberi beberapa petunjuk seperlunya kepada Tiat-pi Hwesio hingga tidak sedikit manfaat bagi paderi itu. Besok paginya mereka melanjutkan perjalanan, tapi tidak jauh tiba2 mereka mendengar gemerciknya air, A Siu menjadi girang, serunya, Hei, air, air air ! Ya, mungkin suatu sungai kecil, ya, ya, sungai kecil dan aku diletakkan ketanah oleh ayah ditepi air itu ! Segera A Siu mendahului berlari kedepan, tapi sudah dekat sungai itu masih tidak tertampak, setelah menerobos sebuah sela2 batu, tiba2 pandangan didepan terbeliak, sebuah sungai kecil mengalir dengan airnya yang bening menyusur sebuah lembah yang sekelilingnya terkurung oleh tebing2 curam. Perlahan-lahan A Siu menyusur tepi sungai itu, sampai suatu tempat, tiba2 ia berkemak-kemik. Ya, ya, ini tempatnya ayah meletakkan aku ketanah. Pada saat itulah tiba2 Tiat-pi Hwesio di belakangnya telah berseru . Hai, Suhu, apakah yang berada disamping kakimu itu ? Waktu A Siu menunduk, dia menjadi kaget. Ternyata tidak jauh dari tempat berdirinya situ ada kerangka tengkorak yang utuh seperti tengkurap ditepi sungai. Segera Tiat-pi mendekati kerangka tulang itu dan memeriksanya, tiba2 ia berseru lagi . Eh, pada tulang orang ini bersemu warna hitam, terang mati keracunan. He, disini ada lagi sepotong lencana emas segi tiga ! Mendengar ada lencana emas disitu, hati A Siu tergerak. Sebab ia masih ingat diwaktu kecilnya pernah memainkan sepotong lencana emas milik ayahnya yang biasanya dipakai sebagai jimat untuk menolak gangguan. Maka cepat ia minta lencana itu dari Tiat-pi Hwesio. Ia lihat diatas benda itu terukir seekor ayam jago yang lagi berkokok, terang sudah ia memang benar barang ayahnya dahulu, tanpa merasa ia mengeluh . O, ayah, jadi kau telah meninggal keracunan disini! Mendengar kerangka tulang itu adalah ayah si gadis, tiba2 Tiat-pi berseru . Aha, kebetulan, jika ayahmu berada disini, tentu Ang Jin-kin itupun takkan jauh dari tempat ini . Lalu ia memandang sekitarnya terus berlari menuju kehilir sungai sana. 151 A Siu tidak urus kelakuan Hwesio dogol itu karena sedang berduka, tapi sejenak kemudian ia mendengar Tiat-pi lagi memanggilnya dikejauhan. Suhu lekas kemari! Mendengar suara agak genting, cepat A Siu menyusul kesana. Sesudah menerobos suatu gua, terlihatlah dibalik sana Tiat-pi Hwesio lagi berdiri disuatu empang. Ditepi ada lagi tiga kerangka tulang, dan diatas batu besar yang menonjol di-tengah2 empang ada lagi kerangka tulang lainnya, sebelah tangannya melambai kebawah seperti sebelum ajalnya telah melemparkan sesuatu kedalam empang, sebab itu sebagian tulang lengan itupun jatuh kedalam empang, hanya ketinggalan buku bagian atas. Disamping kerangka tulang itu ada lagi seutas tulang ular dan sebutir biji buah-buahan. Tiap-pi Hwesio tampak lagi memegangi tiga macam benda yang bentuknya aneh dan berkilau. Toute, barang apakah yang kau lihat itu? tanya A Siu tidak mengerti. Tiat-pi tertawa bangga, sahutnya. Orang selalu mengatakan aku goblok, tapi sekali ini rasanya akulah yang paling pintar. Ketiga macam senjata ini disebut Tui-hong-liap- hun-boan (petel mencabut nyawa), adalah senjata andalan dari Bong-san-sam-sia, rasanya ketiga rangka tulang di tepi empang ini bukan lain adalah tulang Bong-san- sam-sia yang sudah menghilang selama dua belas tahun itu ! Lalu siapa lagi yang berada diatas batu di tengah empang itu? tanya A Siu. Tiat-pi Hwesio menjadi bingung, padahal tadi ia sombongkan dirinya pintar. Namun dijawabnya juga. Aku menduga pasti seorang manusia juga. A Siu geli melihat jawaban yang tak tegas itu. Sengaja ia menanya lagi . Dan ketiga orang itu sebab apa telah mati ? Tentu saja Tiat-pi Hwesio semakin repot, ia hanya geleng2 kepala tak bisa menjawab. Mereka mati keracunan oleh air sungai ini, tentu, ujar A Siu kemudian. Ya, ya, memang aku sudah menduga mereka mati keracunan, sebab tulang mereka bersemu hitam, seru Tiat-pi. Cuma air sungai sebening ini, masakan ada racunnya ? A Siu cukup cerdik, ketika melihat kerangka tulang ayahnya dan Bong-san-sam-sia sama tengkurap ditepi empang, segera ia menduga air ada sesuatu yang tak benar. Maka katanya pula. Kalau perlu boleh coba kau minumnya seceguk. 152 Seketika Tiat-pi melompat mundur sambil goyang2 tangannya. Eh, eh, Suhu jangan bergurau, masakan air beracun boleh dibuat main2. Pada saat itulah tiba2 seekor rusa kecil berlari lewat didekatan situ, seru A Siu . Kau tak berani biar rusa itu yang mencoba ! Dan sekali melesat dengan cepat ia menguber binatang itu. Betapa enteng gerakan A Siu itu maka tidak seberapa jauh ekor binatang itu kena diseretnya. Segera Tiat-pi Hwesio meraup sekukupan air dan dicekokan kemulut rusa, hanya sekejap saja segera kulit binatang itu berubah biru hangus terus roboh binasa. Hebat sekali dugaan Suhu, memang betul orang2 itu mati minum air beracun ini tapi entah orang diatas batu sana, apakah juga mati keracunan ? teriak Tiat-pi Hwesio. Habis itu tanpa pikir ia terus meloncat kedepan, ia sangka sekali loncat tentu akan mencapai batu ditengah empang itu. Tak terduga tampaknya batu itu tidak jauh padahal sedikitnya hampir dua tombak, pula badan Tiat-pi Hwesio terlalu gendut maka sampai batu itu badannya sudah menurun kebawah, dan bila teringat olehnya air empang beracun ia menjadi sibuk dan ber-kaok2 minta tolong ! Syukur A Siu bisa berlaku sebat sekali, sekali melesat secepat kilat ia menyambar tengkuk sihwesio itu dan ditarik kedepan. Maka sebelum kaki Tiat-pi Hwesio menyentuh air, tubuhnya sudah menurun diatas batu besar itu. Sesudah berdiri tegak disitu, dengan muka pucat Tiat-pi ter-longong2 memandangi, A Siu tak mengurusnya lagi, cepat ia memeriksa kerangka tulang yang terdapat diatas batu itu, ia tunjuk sesuatu disamping kerangka tulang itu dan berkata pada Tiat-pi . Lihatlah, apakah itu ? Cepat Tiat-pi menjemputnya, ternyata itu adalah sepasang anting2, ketika ia periksa lebih teliti, ternyata anting2 itu terdapat tulisan, yang satu tertulis satu huruf Jin dan yang lain Kin . He, Ang-jing-kin ! seru Tiat-pi terperanjat. A Siu buta huruf, maka iapun melengak mendengar kerangka tulang inilah Ang Jin- kin, hatinya kembali berduka. Sementara itu Tiat-pi Hwesio telah putar kayun sekeliling batu besar itu, katanya dengan heran . Aneh, orang mengatakan dua macam pusaka Chit-bok-lo-sat Ki Teng- nio berada di tangannya Bwe-hoa-siancu Ang Jing-kin. Kalau ia sudah mati disini, kenapa pusaka2 itu tidak tertampak? Jangan2 telah kena dibawa pergi oleh salah 153 seorang dari empat orang berkedok yang mengubernya itu ? Tapi peristiwa itu kenapa selamanya tidak pernah terdengar dikalangan Kangouw ? Sudah beberapa kali A Siu mendengar tentang dua macam pusaka Ki Teng-nio itu, maka katanya. Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Selalu kau singgung2 tentang pusaka sebenarnya dua macam benda apakah ? Menurut kabar, katanya yang satu adalah sebatang pedang dan yang lain sepotong kain sutera merah, sahut Tiat-pi Hwesio. A Siu tidak mengerti apa kasiatnya kedua macam pusaka itu, kalau pedang masih bisa dimengerti, tapi sepotong kain sutera merah apa gunanya? ia memandangi kerangka tulang itu dengan ter-menung2, tiba2 hatinya tergerak, serunya. Ah, melihat keadaannya tentunya orang diatas batu ini sebelum ajalnya telah melemparkan sesuatu kedalam empang. Bagus, Jika begitu biar aku selulup kedalam empang untuk mencarinya! teriak Tiat- pi tanpa pikir, lalu ia membuka jubahnya dan benar-benar hendak terjun kedalam empang. Melihat kedogolan si hwesio, A Siu menjadi geli. Toute, apa barangkali kau sudah bosan hidup ? tegurnya. Tiat-pi melengak dengan mata membelalak lebar, untuk beberapa lama ia bingung apa yang dimaksudkan si gadis, tapi buk , tiba2 ia tabok perutnya sendiri yang gendut itu dan terteriak . Haya, aku benar2 tolol, bukankah air empang itu beracun, mengapa aku menjadi lupa ? Lalu ia menyambung pula dengan wajah menyesal . Ai sayang, jika begitu pusaka pusaka Ki Teng-nio itu tentu akan hilang ditelan empang ini untuk selamanya. Tapi itu hanya dugaanku saja, mungkin kejadian sebenarnya bukanlah demikian, ujar A Siu kemudian. Tiba2 matanya tertatap pada sesuatu benda pula disebelah kerangka tulang sana. Cepat ia menjemputnya pula dan meng-amat2i. Apakah ini ? tanyanya sambil angsur benda itu kepada Tiat-pi. Waktu Tiat-pi bersihkan karatan diatas benda itu, ternyata itu adalah sebuah piau yang diatasnya terdapat sehuruf Tin . Tin ? Adakah sesuatu orang bernama Tin ? tanya A Siu memikir. 154 Diantara bangsa Han yang bernama Tin sudah tentu tentu terlalu banyak, sahut Tiat pi Hwesio. Tapi sungguh aneh. Dahulu yang menguber-uber Ang Jing-kin dan suaminya itu seluruhnya ada empat orang. Kalau Bong-san-sam-sia sudah mati disini kenapa yang seorang lagi tak kelihatan, pula bagaimana dengan nasib suaminya Ang Jin-kin itu ? Mendengar itu, betul juga pikir A Siu, walaupun dogol, kadang2 Hwesio gendut ini dapat pula berpikir. Maka katanya. Teka-teki ini kecuali mereka sendiri berdua, rasanya tiada orang lain lagi yang bisa tahu. Tapi sekarang aku menjadi ingin tahu apakah manfaat kedua pusaka yang dibuat rebutan itu, kalau kau tidak mengetahui, kenapa kita tidak pergi menanya pada pemilik asalnya? Tiat-pi meloncat kaget. Ha, menanya pemilik asalnya ? Itulah aku tak berani pergi! Eh, bukankah kau bilang apa yang Suhu perintahkan, akan menurut? omel A Siu. Ya... ta.... tapi pemilik asalnya itu, Cit-bok-lo-sat Ki Teng-nio meski lumpuh, tapi ia masih punya tiga murid yang terkenal dengan sebutan Kim-teng-sam-sat (Tiga Iblis Dari Puncak Emas) yang kepandaiannya sudah hampir menurunkan seluruh kemahiran sang guru, pu... pula meski Ki Teng-nio sudah lumpuh, tapi mahir ilmu 'bersuara mencabut nyawa', menyembur senjata rahasia dengan mulut, lihaynya tiada kepalang... Sudahlah, sudahlah, betapapun lihaynya, toh kita tidak mencari berkelahi padanya ? Apakah kau benar2 tidak turut pada kata2ku ? potong A Siu tidak sabar. Nyata dasar masih hijau, pula jiwanya terlalu polos, maka sama sekali tak terpikir olehnya tentang baik jahatnya orang Kangouw. Terpaksa Tiat-pi Hwesio mengaku terus terang bahwa ia dahulu sudah pernah merasakan bogem mentah dari Hek-hong-tongcu Nio Kiat, satu diantara tiga murid Ki Teng-nio itu. Sebab itulah, ia minta agar A Siu suka berlaku hati2. A Siu ganda tertawa saja, segera mereka menuju ke gunung Kim-teng-san diwilayah Kuiciu. Sepanjang jalan semua orang menjadi ter-heran2 melihat seorang gadis jelita bikin perjalanan bersama satu hwesio gendut yang berwajah bengis. Sementara itu A Siu sudah berganti pakaian putih sebagaimana gadis umumnya. 155 Sesudah beberapa hari, tibalah mereka dikaki gunung Kim-teng-san itu. Sepanjang jalan A Siu merasa segalanya serba baru baginya hingga sering menanya ini itu kepada Tiat-pi Hwesio. Kim-teng-san itu tidak terlalu tinggi, tapi terjal sekali. Setiba dikaki gunung itu, A Siu menjadi bingung karena dimana-mana tebing curam belaka, kemana harus mencari tempat tinggal orang, maka ia menanya Tiat-pi . Toute, gunung sebesar ini, dimana tempat tinggalnya Ki Teng-nio ? Menurut cerita orang Kangouw, dikaki gunung ia pasang sebuah genta raksasa, siapa yang membunyikan genta itu, lantas ada orang datang menyambut, tutur Tiat-pi Hwesio. Mereka coba mengitari lereng gunung itu, betul juga, disuatu tanjakan terdapat suatu genta raksasa yang digantung diantara dua pohon besar sebagai kerangka. Tinggi genta itu sedikitnya dua-tiga tombak, entah tadinya cara bagaimana menggantungnya keatas. Ketika A Siu mendongak, ia lihat diatas kerangka pohon itu terletak pula sebuah palu pemukul genta. Tiat-pi angkat pundak nampak betapa tingginya genta itu. Sebaliknya A Siu tersenyum saja. Tiba-tiba ia enjot tubuhnya setinggi lebih setombak, selagi tubuhnya masih terapung di udara kedua kakinya mengenjot lagi dan kembali tubuhnya membubung keatas pula. Segera palu diatas kerangka tadi sudah dapat dipegangnya terus dipukulkan tiga kali keatas genta itu. Lalu palu itu ia letakkan kembali ketempatnya dan orangnya menurun kebawah dengan enteng. Suara genta itu nyaring sekali berkumandang menggema angkasa pegunungan itu hingga lama sekali. Ketika suara genta sudah hampir reda tiba-tiba terdengar suara genta juga diatas gunung sana dipukul tiga kali. Menyusul diatas suatu tebing yang curam dan tinggi sekali muncul satu orang, saking jauhnya hingga orang itu hanya sebesar jari saja. Mendadak orang itu menerjun kebawah dengan cepatnya. Karena tak tahu seluk-beluknya sampai A Siu bersuara kaget. Tapi hanya sekejap saja tahu-tahu orang tadi sudah turun sampai dibawah melalui seutas rotan pegunungan yang sangat kuat, orang itu membuai gesitnya bagai kera saja dan sekejap pula orangnya sudah berhadapan dengan mereka. 156 Kenal siapa orang yang datang ini, wajah tiat-pi Hwesio terus berubah. Kiranya orang ini sudah bukan kanak2 lagi, tapi justru berdandan seperti anak kecil, malahan rambut di atas kepalanya diikat menjadi dua gelungan hingga tampaknya sangat lucu. Dengan sinar mata yang bengis ia mengawasi kedua tamunya ini lalu menegur kearah Tiat-pi. Keledai gundul rupanya kepandaianmu sudah maju banyak hingga mampu menabuh genta pencabut nyawa digunung kami ini ! Tiat-pi tidak menjawab sebaliknya ia membisiki A Siu . Suhu, inilah murid pertamanya Ki Teng-nio yang bernama Hek-hong-tongcu Nio Kiat. Maka dengan tersenyum A Siu melangkah maju dan menyapa . Karena ada sesuatu urusan perlu aku menanya pada Chit-bok-lo-sat Ki Teng-nio, maka sukalah Toako membawa kami kepadanya? Budak kurangajar, bentak Nio Kiat mendadak. Nama guruku masakan dapat kau sebut sesukanya ? Mengingat usiamu masih terlalu muda, biarlah aku tidak persoalkan lebih panjang. Nah, lekas enyah saja dari sini! Habis ini ia berpaling kepada Tiat-pi . Tapi kau keledai gundul ini tidak boleh pergi dari sini! Eh, aneh, sahut A Siu dengan heran, nama orang perlunya dipanggiI, kenapa kau melarang aku menyebut nama gurumu ? Kedatanganku ini ada yang perlu menanya gurumu, kenapa kau mengusir aku ? Mendadak Nio Kiat bergelak ketawa, Ha haha, rupanya kau kena dibohongi keledai gundul itu, hingga berani-berani datang bergurau ke sini. Hahaha, hendaklah kau ketahui bahwa keledai gundul itu sudah kenyang merasakan pukulanku ! Keledai gundul ini tidak membohongi aku tapi akulah yang mengajaknya kemari! sahut A Siu terus terang. Nyata ia tidak tahu bahwa kata2 keledai gundul itu adalah makian kepada kepala Hwesio yang pelontos, tapi ia menirukan apa yang diucapkan Nio Kiat saja. Tentu saja bagi Tiat pi Hwesio yang mendengarkan menjadi mendongkol dan geli. Akan tetapi Nio Kiat belum mau percaya, tanyanya pula dengan bengis . Budak kecil berani membual! Siapa namamu ? Aku bernama A Siu dan keledai gundul ini adalah muridku, sahut A Siu. Suhu, aku bukan gundul, tapi keparat itu sengaja memaki aku ! teriak Tiat-pi tak tahan. 157 A Siu menjadi melengak, tapi lantas katanya . Oh, jadi aku salah omong. Melihat kedua orang itu benar2 saling sebut guru dan murid, Hek-hong-tongcu Nio Kiat menjadi heran tak terhingga. Ia lihat A Siu cantik molek ke-kanak2an, sebaliknya Tiat-pi Hwesio itu walaupun dogol, tapi juga bukan kaum lemah dikalangan Kangouw, mengapa bisa mengangkat guru pada seorang gadis jelita demikian ? Dalam pada itu A Siu telah mendesak lagi agar menunjukkan jalan untuk menemui gurunya. Ia pikir orang mohon bertemu dengan menurut aturan, yaitu dengan menabuh genta, kalau tak dibawanya keatas gunung, mungkin gurunya juga akan menyalahkannya. Baiklah mari kalian ikut padaku, katanya kemudian. Kiranya ilmu kepandaian Chit- bok-lo-sat Ki Teng-nio itu sudah mencapai puncaknya pada dua puluh tahun yang lalu. Semula ia adalah anak murid seorang paderi suci kenamaan, tapi karena tidak taat pada ajaran suci, ia telah diusir dari perguruan lalu dia menyingkir jauh kedaerah terpencil diperbatasan ini dan tanpa sengaja dapat memperoleh semacam kitab ilmu silat dari aliran sesat, keruan seperti harimau tumbuh sayap, kepandaiannya semakin tinggi dan kelakuannya bertambah menyendiri. Ia pikir kalau ilmu silat dalam kitab baru itu sudah sempurna dilatihnya, tatkala mana pasti akan menjagoi dunia silat. Tapi celaka baginya ketika sampai detik terakhir peyakinannya tahu tahu datang Ang Jing-kin bersama suaminya dan berhasil mencuri dua macam pusakanya. Saking gusarnya hingga darah meluap dan tenaga dalam nyasar menyebabkan badannya menjadi lumpuh. Sehabis itu wataknya makin hari makin aneh, tapi hatinya semakin merasa sunyi juga. Maka setiap kali ada orang luar datang minta berjumpa, ia memberi pesan murid2nya agar menyambut dengan beraturan. Sebab itulah maka Hek-hong-tongcu Nio Kiat mau bawa A Siu dan Tiat-pi Hwesio keatas gunung. Setelah lama mereka menanjak keatas gunung mengikuti jalan yang ber-liku2, akhirnya tiba juga dipuncak tertinggi gunung itu. Karena diatas gunung tandus tak tumbuh rumput dan pohon, maka batu cadas disitu licin mengkilap, bisa tersorot cahaya sang surya, maka sinar membalik ke-emas2an membikin puncak gunung itu seluruhnya se-akan2 berlapiskan emas, sebab itulah maka disebut Kim-teng-san , atau gunung puncak emas. Di-tengah2 puncak gunung itu terdapat sebuah empang yang luasnya lebih dua tombak, ditengah empang yang membelakangi tebing terdapat sebuah batu cadas menonjol keluar, diatasnya persis tumbuh satu pohon Siong yang tua dan rindang hingga mirip sebuah payung, dan diatas batu itulah duduk bersila seorang wanita 158 berbaju hitam. Disamping wanita tua ini berdiri dua orang lelaki yang berdandan seperti Nio Kiat, yang satu bertubuh jangkung dan yang lain berwajah pucat lesi. Suhu, tetamu sudah datang ! lapor Nio Kiat segera kehadapan wanita berbaju hitam itu. Mendengar itu, barulah per-lahan2 wanita itu membuka matanya, dan seketika sinar matanya bagai kilat memancar keatas tubuh A Siu berdua. Diam2 A Siu terkejut, tak terduga olehnya Lwekang orang itu ternyata begitu hebat. Kalian berdua datang kemari, ada urusan apa ? segera wanita itu membuka suara. Melihat ditepi kedua mata orang ada lima bekas luka kecil2 sebesar kuku hingga dipandang dari jauh mirip tujuh mata dimukanya, A Siu menduga tentu inilah orang disebut Chit bok-lo-sat atau siwanita bermata tujuh itu, Memangnya ia tidak kenal sungkan2 apa segala, terus saja ia menanya. Apakah kau inikah Chit-bok-lo-sat Ki Teng- nio ? Seketika Tiat-pi Hweshio dan Kim-teng-sam-sat berubah hebat wajahnya mendengar si gadis terang2an menyebut nama orang. Begitu pula Kim Teng-nio telah pentang matanya melototi si gadis. Tapi A Siu merasa tidak berbuat sesuatu kesalahan, sama sekali ia tak gentar. Melihat sikap si gadis yang luar biasa ini, Ki Teng-nio coba menahan rasa gusarnya, ia tersenyum dingin, lalu sahutnya . Ya, benar. Ada urusan apakah kau ? Aku ingin menanya tentang kejadian belasan tahun yang lalu, yaitu pedang dan kain sutera merah yang tercuri oleh Jing-koh... Sekonyong-konyong Ki Teng-nio bersuit aneh hingga rambutnya yang kusut itu seakan-akan menegak. Nyata peristiwa itu merupakan kejadian yang tidak pernah dilupakan olehnya sebagai suatu noda besar selama hidupnya, malah ia menjadi korban pula hingga badannya lumpuh, sama sekali tak terduga A Siu berani menyinggung hal itu dihadapannya, tentu saja ia menjadi murka sebelum A Siu selesai berkata. Mendadak ia membentak pula . Budak kurang ajar, hehe, hehehe! nyata saking murkanya hingga ia tertawa dingin saja. Disamping sana, Kim-teng-sam-sat terus saja merubung maju demi nampak kegusaran sang guru yang tak terhingga itu. 159 Namun A Siu menjadi tercengang, dengan tertawa ia menanya . He, aneh kau ini, aku hanya menanya, kenapa kau marah2 ? Hemm, budak semacam kau ini, benar2 aku belum pernah melihat, kata Ki Teng- nio kemudian. Tapi kalau kau sudah berani datang kemari, rasanya kaupun punya andalan apa2, Lalu ia berpaling berteriak sengit kepada ketiga muridnya itu . Ambilkan senjata ! Cepat juga Kim-teng-sam-sat bergerak begitu mendengar suara teriakan gurunya yang keras melengking, sekali jari mereka menjentik, secepat kilat tiga macam senjata rahasia telah menyambar kemuka Ki Teng-nio. A Siu semakin heran melihat kelakuan mereka yang aneh itu, senjata rahasia itu tidak diarahkan padanya, sebaliknya menyerang guru mereka sendiri ? Namun lantas terlihat Ki Teng nio sedikit mengap mulutnya, tahu2 ketiga senjata rahasia itu telah masuk kedalam mulutnya menyusul Kim-teng-sam-sat terus melompat mundur. Sebaliknya A Siu masih ter-heran2, tak paham apa artinya itu ? Sementara itu terdengar Ki Teng-nio sudah bersuara aneh sekali, dan sedikit mulutnya bergerak krok , tahu2 senjata rahasia telah menyembur dari mulutnya. Anehnya sesudah senjata itu disembur keluar, mula2 seperti ber-putar2 saja didepan Ki Teng-nio, lambat laun sesudah berputar makin cepat, mendadak terus menyambar kearah A Siu. Sementara itu A Siu sudah melihat jelas senjata rahasia itu adalah sepotong Hui- hong-ciok atau batu belalang terbang. Karena datangnya batu itu tampaknya lambat2 saja, maka A Siu tidak ambil perhatian. Siapa duga ketika batu itu menyambar lewat diatas empang, air empang itu tiba2 bergolak seperti ditiup angin kencang. Barulah sekarang A Siu tahu betapa hebat tenaga dalam yang dilontarkan Ki Teng-nio itu untuk meniup batu belalang itu. Belum lagi batu itu mendekati, segera dia merasa suatu tenaga maha hebat telah menyerang dulu kedadanya hingga hampir2 dia tidak bisa tegak. Namun dengan Lwekang yang diperolehnya tanpa sadar dari Siau-yang-chit-kay yang hebat, A Siu tidak mudah dirobohkan, ia justru ingin mencoba betapa lihaynya tenaga dalam orang. Tidak mundur, ia malah melangkah maju terus meraup batu yang sudah menyambar tiba itu. 160 Melihat usia A Siu semuda itu tidak tergetar mundur oleh tenaga semburan batu, sebaliknya malah melangkah maju, pula melihat si gadis berani mengulur tangan hendak menangkap batunya, dalam terkejutnya Ki Teng-nio menduga pula pasti tangan A Siu bakal patah kebentur senjata rahasianya itu. Ketika A Siu rangkap tangannya menyambut batu itu, ia merasa tenaga yang maha besar seakan2 mematahkan tangannya hingga separoh tubuhnya seperti lumpuh. Lekas2 dia kerahkan tenaga dalamnya buat melancarkan jalan darahnya. Ia menjadi terkejut, lalu pertama kali inilah A Siu menjumpai tenaga dalam yang luar biasa, maka dengan mata membelalak ia pandang wanita kosen itu. Sebaliknya bagi Ki Teng-nio dan ketiga muridnya juga terperanjat tidak kepalang. Menyembur senjata rahasia dengan mulutnya adalah semacam kepandaian tunggal wanita kosen itu sejak badannya lumpuh, maka boleh dikata dilontarkan dengan segenap tenaga dalamnya. Tapi seorang gadis lemah gemulai seperti A Siu ternyata mampu menangkap batunya, tentu saja ia terkesiap, dengan suara tajam ia menanya. Budak cilik, siapakah gurumu? semula ia menduga si gadis ini mungkin anak murid kedua Nikoh dari Go-bi-pay atau murid Thong-thian-sin-mo Jiauw Pek-ki tersohor, namun ilmu silat mereka paling banyak juga mampu menangkap senjata rahasianya seperti perbuatan si gadis tadi saja. Padahal usia gadis ini masih muda belia begini, seumpama melatih diri sejak masih dikandungan sang ibu juga tidak mungkin mencapai tingkatan demikian. Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka terdengarlah A Siu menjawab . Suhu? Ah, aku tidak punya suhu, tapi punya Toute, ialah Hweshio gendut ini ! sembari berkata ia-pun menunjuk Tiat-pi Hwesio yang berada di belakangnya. Mendengar jawaban si gadis yang susah dipercaya itu, Ki Teng-nio bertambah gusar, bentaknya . Bagus jawabanmu. Tak punya Suhu katamu? Nih, sambutlah senjata kedua! kembali batu kedua menyembur keluar lagi dari mulutnya secepat kilat. Kalau batu pertama tadi sangat lambat, adalah batu kedua ini ternyata cepat luar biasa. A Siu terkejut oleh menyambarnya batu yang cepat itu, lekas2 ia mengegos kesamping sembari kebas lengan bajunya untuk mengebut batu itu seraya mengerahkan tenaga dalamnya membuang batu itu kesamping, tapi tidak urung ia sendiripun ter-huyung2 beberapa tindak ke belakang. Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH