Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 38


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 38


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Ketika seluruhnya sudah selesai dan bhiksu tua itu sedang membereskan peralatannya, dibantu oleh para pembantunya, Ding Tao bertanya.   "Bagaimana dengan keadaan Saudara Bai Shixian?"   Mereka yang mendengar pertanyaan Ding Tao terdiam sejenak, Bhiksu tua itu akhirnya membuka mulut dan menjawab, "Dari sekilas yang sempat kulihat, sepertinya tipis sekali harapannya."   Ding Tao yang mengirimkan serangan itu tentu saja lebih tahu daripada orang lain, namun sebagian hati kecilnya masih berharap Bai Shixian bisa diselamatkan.   Pemuda itu pun hanya bisa menghela nafas dan menggelengkan kepala.   "Dia seorang pendekar yang hebat", ujarnya dengan sedih.   Bhiksu tua itu pun berkata.   "Dua orang bertarung demi sebuah jabatan yang sedemikian menggiurkan. Jabatan yang menjanjikan kekuasaan yang besar. Bukan hal yang mengherankan jika adu kepandaian pun berubah jadi pertarungan hidup dan mati. Itu sebabnya ketua kami pada awalnya menolak usulan dari banyak pihak untuk mengadakan pemilihan Wulin Mengzhu ini."   Ding Tao menganggukkan kepala dengan sedih, Wang Xiaho pun perlahan-lahan menepuk pundak anak muda itu.   "Toh pemilihan itu akhirnya diadakan juga. Jika bukan dirimu, bisa jadi orang lain yang membunuh dia, atau dia membunuh pendekar lainnya. Apakah menurut ketua, kejadian akan berubah bila Ketua Ding Tao tidak ikut serta? Setiap orang yang maju, mereka maju dengan tujuan dan keyakinannya sendiri. Selama kita yakin tujuan dan dasar perbuatan kita benar, maka tidak ada yang perlu disesali." "Bukankah Ketua Ding Tao juga sudah berusaha agar pemilihan ini tidak jadi dilaksanakan?", ujar Chu Linhe mengingatkan. "Kenyataannya Bhiksu Khongzhen pun mengerti, apabila pemilihan Wulin Mengzhu ini tidak dilaksanakan sekarang, di bawah pengawasan Shaolin. Akan ada banyak pihak yang akan tetap melaksanakannya. Dengan cara mereka sendiri, bisa jadi akan bermunculan dua atau tida orang Wulin Mengzhu, masing-masing dengan pengikut yang besar di belakangnya.", tambah Ma Songquan. Bhiksu tua itu pun menganggukkan kepala dengan sedih dan ikut pula menghibur Ding Tao.   "Ketua Ding Tao, pemilihan ini memang tidak bisa dihindarkan, demi terhindarnya dari pertikaian yang lebih besar. Demikian pula jatuhnya korban, yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha sebisa mungkin untuk memperkecil jumlah korban. Aku pribadi berharap Ketua Ding Tao bisa berhasil memenangkan adu kepandaian ini."   Pembicaraan tentang Bai Shixian masih belum reda.Ding Tao masih merenungi kematian seorang yang tangguh dan berbakat oleh perbuatannya.   Ingatan tentang pertarungan yang menegangkan masih belum sepenuhnya hilang.   Namun di atas panggung sudah berdiri dua orang.   Shan Zhengqi, pendekar yang terkenal dengan ilmu totokannya, melawan Tong Baidun yang ahli senjata rahasia.   Ilmu tentang jalan darah dan jalur energi, tentu saja hampir setiap orang yang berlatih ilmu silat mengerti.   Tapi yang mengerti keseluruhan peta energi dan jalan darah dengan lengkap mungkin tidak banyak dan dari yang sekian banyak itu, yang bisa menggunakannya dalam sebuah pertarungan, terlebih sedikit lagi jumlahnya.   Titik-titik pada tubuh manusia itu kecil sekali luasannya, tidak lebih besar dari ujung jari.   Sementara lawan bergerak ke sana, ke mari dengan cepatnya, karena itu tidaklah mudah melatih ilmu bela diri dengan menitik beratkan pada ilmu totok ini.   Dibutuhkan reaksi penglihatan yang cepat, daya ingat yang kuat, kecepatan dan juga ketepatan.   Biasanya Shan Zhengqi hanya menggunakan jari-jarinya, namun jika terpaksa dia pun memiliki senjata.   Senjatanya tidaklah lumrah, bentuknya adalah sepasang kuas sepanjang lengan dengan gagang dari baja.   Bulu-bulu kuasnya sendiri cukup panjang dan lebat, sehingga mirip kebutan yang terkadang dibawa pendeta wanita.   Ujung-ujung dari gagang kuas itu luasnya sebesar ujung jari kelingking, bentuk yang pas untuk jadi alat penutuk.   Bulu-bulu dari kuas itu sendiri bukan pula hanya jadi hiasan, bulu-bulu itu terkadang digunakan untuk menyerang mata lawan atau setidaknya mengaburkan pandangan mata lawan dengan gerakan yang membingungkan.   Tong Baidun seperti anggota keluarga Tong lainnya, membekal senjata rahasia yang tersimpan di kantung-kantung kulit yang tergantung di pinggangnya.   Jenis senjata rahasia yang mereka miliki sungguh beragam, dari jarum-jarum biasa sampai bola-bola besi yang justru meledak bila ditangkis lawan dan pecahannya inilah yang berbahaya.   Dari sekian macam, tidak satupun yang tidak berbisa, entah hanya sekedar membuat lumpuh sementara, sampai yang mengakibatkan kematian.   Melempar sejata rahasia juga merupakan ilmu yang sulit untuk ditekuni.   Butuh mata yang tajam, pengolahan tenaga yang tepat, selain juga kemampuan untuk menghitung jarak antara diri sendiri dan lawan yang selalu bergerak.   Tidak bisa seorang yang menekuni ilmu ini sembarangan saja melemparkan senjata rahasianya, karena saat isi kantung mereka habis, itu artinya habis pula nyawanya.Jika batasan bagi pendekar lain adalah stamina dan tenaga mereka, batasan bagi anak murid keluarga Tong adalah jumlah senjata rahasia mereka.   Lagipula bukan hanya masalah jumlah senjata rahasia yang terbatas, biaya untuk pembuatannya juga tidak murah.   Demikian pula rancangan dari senjata itu sendiri juga sangat dirahasiakan.   Tidak bedanya dengan seorang pendekar pedang merahasiakan jurus pamungkasnya, dari sekian banyak kantung kulit yang tergantung di pinggang, ada kantung-kantung yang tidak akan pernah disentuh dan digunakan kecuali dalam keadaan paling menentukan.   Butuh waktu beberapa saat sebelum bisik-bisik di antara penonton mereda dan mereka menyadari kehadiran dua orang itu di atas panggung.   "Saudara Shan Zhengqi", ujar Tong Baidun sambil merangkapkan tangan di depan dada.   "Saudara Tong Baidun", balas Shan Zhengqi.   Itu saja, tidak ada kata-kata lainnya lagi, ceceran darah dan sebagian cairan otak Bai Shixian di atas panggun masih belum kering.   Dua orang ini sudah siap menambahkan tumpahan darah yang lain.   Ketika sadar bahwa pertarungan di antara dua orang itu akan segera dimulai, tiba-tiba deretan terdepan dari para penonton saling berpandangan.   Ada apa gerangan? Wajah-wajah kecut saling berpandangan, tawa serba salah pun terdengar di beberapa tempat, meskipun ada pula yang berusaha menjaga agar wajahnya tetap tampil keren berwibawa.   Namun hampir bersamaan mereka semua mundur beberapa langkah ke belakang, menjauh dari panggung pertarungan.   Ah, rupanya mereka semua sama-sama jeri dengan senjata rahasia keluarga Tong.   Memang senjata itu bukan ditujukan ke arah mereka, tapi Shan Zhengqi tentu saja tidak akan diam di tempat dan menangkapi senjata rahasia itu satu per satu.   Jika dia menghindar dan senjata itu melaju ke arahmu, atau Shan Zhengqi menangkis dan senjata rahasia itu meluncur ke arahmu, kalau satu dua masih tidak mengapa, bagaimana kalau nanti Tong Baidun menghujani Shan Zhengqi dengan puluhan jarum beracun dan jarum-jarum itu ditangkis pergi ke arahmu? Tapi untuk mundur ke tempat yang aman, juga bukan masalah kecil.   Mereka yang duduk di deretan paling depan, sudah tentu yang memiliki reputasi tidak kecil.   Mana mau mereka mengaku ketakutan terkena senjata nyasar, baru setelah melihat di kiri dan kanan punya pikiran yang sama, barulah mereka mundur bersamaan.   Siapa sangka di saat seperti itu terdengar suara mengejek dari salah seorang yang ada.   "Hmmm ternyata Li Nan Hun yang ternama itu takut juga dengan senjata rahasia keluarga Tong, bukankah sesumbarnya dia tidak takut pada apa pun?"   Li Nan Hun yang mendengar ejekan itu pun berhenti di tempat dan melotot pada orang yang berbicara.   "Hmmm rupanya Saudara Chen Xigong tadinya aku ikut mundur karena memandang mukamu. Kalau kau merasa tidak perlu untuk mundur seperti yang lain, tentunya aku pun akan tetap duduk di sini."   Beberapa patah kata dari mereka berdua sudah cukup untuk membuat setiap orang merasa malu dan bakal jatuh namanya jika mereka tetap bergerak menjauh dari panggung.   Dengan punggung berkeringat dingin, mereka pun membatalkan niatnya untuk mencari jarak yang cukup aman.   Li Nan Hun sudah terlebih dahulu duduk kembali di tempatnya sambil matanya tidak lepas memandangi Chen Xigong.   Chen Xigong yang ditatap oleh Li Nan Hun pun membalas tatapan matanya dan dengan senyum masam duduk kembali di tempatnya.   Dua orang ini memang sudah sejak lama bermusuhan.   Setiap kali bertemu tentu akan ada pertengkaran, mulai dari pertengkaran mulut biasa sampai beradu kepalan.   Biasanya bertemunya dua orang ini jadi hiburan yang cukup menyenangkan bagi orang-orang dunia persilatan yang suka menonton perkelahian.   Tapi kali ini mereka semua memaki-maki dalam hati kedua orang tersebut.   Akibatnya bukan hanya dua orang yang berhadapan di atas panggung saja yang merasakan ketegangan dari sebuah pertarungan hidup dan mati.   Yang menonton di baris terdepan pun ikut berdebar-debar dan menajamkan panca inderanya.   Jika penonton di baris terdepan memilih pergi menjauh, tentu saja tidak demikian dengan ke-enam ketua perguruan besar dan 5 orang calon Wulin Mengzhu yang lain.   Perbuatan demikian bisa meruntuhkan pamor mereka.   Zhong Weixia yang melihat kesibukan yang sempat terjadi di barisan terdepan, terkekeh-kekeh menghina.   Demikian pula pandang mata Guang Yong Kwang.   Di antara 5 orang calon Wulin Mengzhu, hanya Ding Tao yang hendak menjauh dari panggung, segera setelah mengerti alasan mereka yang di bawah hendak mundur menjauh.   "Baiknya kita mundur menjauh, tidak ada perlunya mengambil resiko.", ujar Ding Tao.   Tang Xiong melirik ke arah 5 orang calon yang lain dan berkata.   "Tapi mereka akan mentertawakan kita. Menurut pendapatku biarlah kita menunggu saja di sini."   Wang Xiaho dan yang lainnya mengerti mengapa Tang Xiong menolak mengikuti perintah Ding Tao.   Pada dasarnya yang dikhawatirkan Ding Tao tentu saja bukan dirinya sendiri, melainkan yang lain yang ilmunya tidak seberapa tinggi.   Pengikutnya seperti Li Yan Mao dan Wang Xiaho sudah terlalu tua untuk meningkatkan ilmunya lebih jauh lagi.   Tidak seperti Liu Chuncao dan Tang Xiong yang masih muda dan mengalami peningkatan yang cukup berarti selama beberapa bulan terakhir.   Justru karena perintah Ding Tao itu lebih demi keselamatan mereka dan bukan demi diri pemuda itu sendiri, maka para pengikutnya enggan untuk mentaatinya.   Mereka sadar, perbuatan itu akan menjatuhkan nama Ding Tao dan mereka tidak rela itu terjadi.   "Kalian semua berkeras untuk tetap berada di sini?", tanya Ding Tao.   "Benar ketua, asalkan kita tidak lepas kewaspadaan aku yakin tidak akan ada masalah dan aku lebih baik menerima ratusan jarum keluarga Tong daripada harus ditertawakan orang.", jawab Tang Xiong dengan tegas.   "Ketua Ding Tao tak perlu khawatir, di masa lalu kami pernah bentrok beberapa kali dengan anak murid keluarga Tong.   Aku yakin kita semu ayang ada di sini bisa saling menjaga dan tidak akan terjadi apa-apa", kata Ma Songquan dengan suara perlahan.   Ding Tao pun melihat ke arah pengikutnya yang lain, satu per satu dari mereka tersenyum sambil menganggukkan kepala.   Ding Tao pun hanya bisa mendesah saja, dirnya sendiri belum pernah berhadapan dengan salah seorang dari keluarga Tong dan tidak bisa membayangkan seperti apa senjata rahasia mereka.   "Baiklah kalau itu mau kalian", jawab pemuda itu sambil menyiapkan diri.   Tapi berbeda dengan Ding Tao adalah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, ketika melihat barisan terdepan yang hendak menjauh tidak jadi menjauh.   Dua orang itu pun saling berpandangan, tanpa perlu bertukar kata mereka segera mengerti apa yang ada di pikirannya masing-masing.   Tanpa merasa malu keduanya berdiri dan menggeser kursinya menjauh dari panggung.   Bhiksu Khongzhen pun dengan suara yang disertai pengerahan hawa murni berujar.   "Saudara-saudara sekalian, kami harap sedikit menjauh dari panggung. Mengingat ilmu andalan Saudara Tong adalah melemparkan senjata rahasia, ada baiknya kita semua mengambil jarak yang cukup dari kedua pahlawan di atas."   Bhiksuni Huan Feng dan Xun Siaoma segera maklum dengan apa yang akan dilakukan dua orang tokoh besar itu, segera setelah mereka berdiri dan mulai mendorong kursinya menjauh.   Dua orang yang cukup berumur itu pun mengikuti teladan mereka.   Hanya tinggal Guang Yong Kwang dan Zhong Weixia yang mengeraskan hati dan tetap duduk di tempatnya dengan wajah kesal dan senyum mengejek.   Namun apa yang dilakukan Bhiksu Khongzhen ini memiliki arti besar bagi yang lainnya.   Apalagi Ding Tao yang tetap saja merasa khawatir dengan keselamatan para pengikutnya, hatinya tergerak oleh kebesaran hati kedua orang tokoh besar itu.   "Kalian lihat apa yang dilakuka oleh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan? Demi keselamatan orang banyak, mereka tidak malu untuk pergi menjauh, padahal siapa yang tidak tahu betapa tinggi ilmu mereka? Ayolah kita juga mengundurkan kursi-kursi ini agar tidak terlalu dekat dengan panggung.", ujar Ding Tao dengan bersemangat.   Tanpa menunggu jawaban dari seorangpun Ding Tao pun segera bangkit berdiri dan mengangkat kursinya.   Jika Ding Tao sudah bertindak demikian, apa yang bisa dilakukan oleh pengikutnya? Buru-buru Tang Xiong mengambil kursi yang diangkat Ding Tao.   "Ketua biarkan aku yang mengangkat kursi itu."   Merekapun mundur menjauh dari panggung ke tempat yang lebih aman, tindakan Ding Tao itu dengan segera menghapuskan keraguan beberapa orang yang masih ragu-ragu untuk mundur ke belakang.   Hampir serempak para penonton pun menjauh dari panggung, meskipun masih ada perbedaan dalam hal berapa jauh mereka harus mundur.   Setidaknya mereka tidak perlu merasa malu untuk mundur, jika tokoh-tokoh seperti Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan saja sudah melakukan hal itu.   Tindakan Ding Tao itu sendiri tidak diikuti oleh 4 calon Wuling Mengzhu yang lain, bahkan Ximen Lisi yang tadi memilih untuk meniru Ding Tao pada pembukaan acara.   Tindakan Ding Tao itu memang tidak lepas dari mata sekalian orang dan mau tidak mau mereka membandingkan Ding Tao dengan calon-calon yang lain.   Ada banyak reaksi, mulai dari yang mencemooh sampai yang berusaha membela keputusannya tapi semuanya itu tidak dipedulikan Ding Tao, pemuda itu merasa lega dan puas, karena dia yakin apa yang dia lakukan sudahlah tepat.   Pemuda itu teringat dengan perkataan bhiksu tua yang baru saja merawat dirinya, Jatuhnya korban memang tidak bisa dihindari, tapi setidaknya mereka bisa berusaha semaksimal mungkin untuk memperkecil jatuhnya korban. Sementara itu di atas panggung Tong Baidun dan Shan Zhengqi masih diam di tempatnya masing-masing.   Sudah jelas mereka tidak ingin bercakap-cakap, seperti yang sempat dilakukan Ding Tao dan Bai Shixian.   Lalu apa lagi yang mereka tunggu? Masalahnya Shan Zhengqi tidak ingin bergerak lebih dahulu, dia menunggu Tong Baidun menyerang lebih dahulu.   Demikian juga Tong Baidun, Tong Baidun justru menunggu Shan Zhengqi bergerak.   Saat ini Shan Zhengqi berada pada kondisi siap bergerak, seperti pegas yang ditekan tapi belum dilepaskan, setiap saat Shan Zhengqi bisa melenting ke arah mana pun, bila Tong Baidun melepaskan senjata rahasianya sekarang, dengan mudah Shan Zhengqi bisa menghindar.Harapan Tong Baidun adalah menangkap saat Shan Zhengqi berada di tengah-tengah pergerakan, di mana Shan Zhengqi akan sulit untuk mengubah arah.   Saat itulah, di saat yang hanya sekejap saja, adalah saat yang paling tepat bagi Tong Baidun untuk menyerang Shan Zhengqi.   Shan Zhengqi sendiri tidak bisa bergerak sembarangan, dia mengerti benar resikonya.   Lawan memiliki jangkauan yang jauh, sebelum Tong Baidun masuk dalam jarang serangannya, dia sudah terlebih dahulu berada dalam jarak serang Tong Baidun.   Sejak dia dengan spontan membalas salam Tong Baidun, Shan Zhengqi sadar bahwa dia sudah jatuh dalam jebakan lawan.   Mereka baru saja sama-sama naik ke atas panggung dan berjalan beberapa langkah ke tengah, ketika Tong Baidun merangkapkan tangan dan mengucapkan salam.   Spontan Shan Zhengqi membalas salam Tong Baidun, tapi pada saat dia merangkapkan tangan dan mengucapkan salam, saat itu pula Shan Zhengqi sadar dia sudah berbuat kesalahan.   Segera setelah saling mengucapkan salamm, sudah bisa dikatakan bahwa mereka siap saling menyerang.   Segera setelah Tong Baidun mengucap salam, Tong Baidun berhenti di tempatnya dan tidak lagi melangkah ke depan.   Jarak Tong Baidun dengan Shan Zhengqi masih ada beberapa langkah jauhnya, jika Shan Zhengqi ingin menyerang maka dia harus melompat jauh ke depan.   Padahal di saat yang sama Tong Baidun sudah bisa menyerang dia dengan senjata lontarnya saat itu juga.   Itu sebabnya begitu mengucapkan salam, langkah kaki Shan Zhengqi segera terhenti.   Bagusnya Shan Zhengqi dengan cepat menyadari keadaan dan bersiap untuk menghindar, terlambat sedikit saja senjata rahasia Tong Baidun tentu sudah menyambar.   Sehingga saat banyak orang menunggu pertarungan di antara dua orang jagoan tersebut, sebenarnya pertarungan itu sendiri sudah dimulai.   Pertarungan itu sudah dimulai sejak Tong Baidun menghitung jarak antara dirinya dengan Shan Zhengqi, menunggu Shan Zhengqi masuk tepat dalam jarak yang paling ideal dan mengucapkan salam untuk menjebak Shan Zhengqi.   Pertarungan kedua orang ini, berbeda 180 derajat dengan pertarungan antara Ding Tao dan Bai Shixian.   Pertarungan Ding Tao dan Bai Shixian tidak ubahnya menyaksikan amukan badai dan topan.   Sementara pertarungan antara Tong Baidun dan Shan Zhengqi adalah sebuah penantian yang menyiksa.   Sekian lama mereka berhadapan, keduanya masih juga berdiri dengan posisi yang sama.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tidak ada kata-kata, tidak ada gerakan, hanya naik turunnya perut dan dada yang menunjukkan pernafasan mereka, itu pun bisa dikatakan tak tampak karena begitu halusnya pernafasan mereka.   Tiba-tiba salah seorang dari penonton memaki.   "Jika mereka berdua mau jadi calon Wulin Mengzhu, sebaiknya mereka menunjukkan sedikit keberanian. Apalagi orang bermarga Tong itu, jarak lawan masih begitu jauhnya, tapi dia tidak juga punya keberanian untuk menyerang. Bukankah dia ahli senjata lontar? Atau matanya sudah mulai buram sehingga dia sudah tidak bisa melihat dengan jelas lagi? Hei Tong grgh ack"   Baru saja dia selesai berkata, seketika itu juga terdengar suara desingan halus dan sebatang jarum halus menancap di tenggorokannya.   Nama orang itu Bi Yonggi, ilmunya tidak begitu tinggi namun memiliki hubungan baik dengan banyak pejabat negeri.   Keluarganya memiliki latar belakang yang dekat dengan istana, itu sebabnya dia bisa duduk di deretan kursi bagian depan, meskipun dari segi ilmu dia belum bisa dimasukkan dalam hitungan.   Bi Yonggi juga dikenal memiliki hubungan yang baik dengan Shan Zhengqi, mungkin itu pula sebabnya Bi Yonggi secara sembrono mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan buat Tong Baidun.   Ditambah lagi dia bukan duduk di deretan terdepan, melainkan di baris ketiga, tidak pernah lewat dalam benaknya, jarum beracun milik Tong Baidun bisa menemukan jalan untuk sampai pada dirinya.   Entah apa yang ada dalam benak Bi Yonggi sekarang, karena dia sudah tidak bisa berkatakata, yang pasti serangan Tong Baidun tadi membawa perubahan di atas panggung.   Di saat Tong Baidun menyerang Bi Yonggi, di saat itu pula Shan Zhengqi bergerak mendekat.   Cepat bukan main gerakan Shan Zhengqi, meskipun tidak secepat tinju petir Bai Shixian, namun pilihan waktunya sungguh tepat.   Tepat di saat Tong Baidun baru saja melepaskan sebatang jarumnya ke arah Bi Yonggi, saat itu pula Shan Zhengqi melenting ke depan.   Tong Baidun menyambit Bi Yonggi dengan tangan kirinya, betapa cepat gerakannya tak tertangkap mata banyak orang, namun masih terlihat oleh Shan Zhengqi yang bermata tajam dan sudah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengawasi Tong Baidun sejak mereka mulai berhadapan.   Shan Zhengqi sama sekali tidak memikirkan nasib Bi Yonggi, bisa dikatakan Shan Zhengqi tidak memikirkan apapun juga.   Sejak tadi seluruh tubuhnya hanya bersiap menanti ada kelemahan yang terbuka pada Tong Baidun.   Seperti busur yang sudah dipentang sekian lama, saat Tong Baidun bergerak, seketika itu juga Shan Zhengqi melenting cepat ke arah Tong Baidun.   Matanya yang tajam mengawasi secara ketat tangan kanan Tong Baidun, bukankah dia menyerang Bi Yonggi dengan tangan kiri? Itu artinya jika sekarang dia menyerang dia akan menyerang dengan tangan kanan.   Tiba-tiba seluruh syaraf Shan Zhengqi berteriak ngeri, otot-ototnya terasa menciut dengan cepat dan tulang belakangnya terasa mengejang.   Selarik tipis sinar hitam menyambar ke arah dahinya, tepat di antara kedua bola matanya.   Dengan cara apa Tong Baidun menyerang? Sudah jelas tangan kanannya belum bergerak dari tempatnya.   Shan Zhengqi tidak sempat berpikir, tubuhnya sedang melayang, tidak mungkin untuk mengubah arah, kedua tangannya pun bergerak dengan cepat, memutar kuas, menciptakan perisai.   Segera saja suara berdenting-denting memenuhi tempat itu.   Senjata rahasia Tong Baidun susul menyusul menyerang Shan Zhengqi.   Kuas baja itu terhitung ringan dibandingkan sebuah tongkat pemukul atau rantai baja, tanpa tenaga yang terlalu besar, bisa diputar dengan cepat untuk membentuk perisai.   Namun panjang kuas baja yang hanya selengan, membuat Shan Zhengqi harus sibuk menggerakkan perisai ciptaannya itu ke berbagai sisi untuk melindungi tubuhnya dari jarum-jarum Tong Baidun yang dengan gesit mengincar bagian tubuh yang tidak terjaga.   Begitu kakinya menginjak ke tanah, secepat mungkin Shan Zhengqi melompat sejauh mungkin menjauh dari Tong Baidun.   Keputusan yang tepat, meskipun di saat yang singkat itu Shan Zhengqi tidak tahu tepat tidaknya keputusan itu, karena pada saat itu dia belum menyadari bahwa Tong Baidun menyerangnya sambil bergerak mundur dan menjaga agar jarak mereka masih sama jauhnya.   Baru setelah hujan serangan Tong Baidun berhenti dan dia bisa menarik nafas lega, barulah dia menyadari hal itu dan bersyukur bahwa dia memutuskan untuk lari dan bukan menerjang ke depan.   Di waktu jeda yang singkat itu barulah beberapa hal terpikir oleh Shan Zhengqi.   Saat tangan kiri Tong Baidun bergerak untuk meraih senjata di kantungnya, kemudian melepaskan serangan ke arah Bi Yonggi, dia sudah menghitung lamanya waktu yang dibutuhkan, dari sejak Tong Baidun meraih senjata di kantungnya sampai jarum meninggalkan tangannya dan melesat ke arah Bi Yonggi.   Dengan perhitungan itu dia yakin bisa melompatn mendekat dan menginjakkan kakinya kembali ke atas panggung sebelum tangan kiri Tong Baidun bisa meraih senjata rahasia yang lain, sehingga yang perlu dia waspadai hanyalah tangan kanan Tong Baidun.   Kenyataannya berkata lain, jarum yang mengancam dahinya meluncur dari arah tangan kiri Tong Baidun.   Artinya serangan Tong Baidun ke arah Bi Yonggi tadi, tidak lebih dari sebuah pancingan agar dia bergerak.   Dengan sengaja Tong Baidun memperlambat gerakan tangannya agar Shan Zhengqi salah perhitungan.   Kecepatan dan kekuatan serangan Tong Baidun yang asli adalah yang direkam oleh tubuhnya pada serangan-serangan berikutnya.   Saat dia menyadari hal itu, keringat dingin pun mengucur membasahi punggung Shan Zhengqi.   Benar memang dia masih hidup sampai saat ini.   Tidak salah jika dikatakan dia berhasil menghalau belasan serangan-serangan Tong Baidun.   Masalahnya hingga jarum-jarum ke 3 atau ke-4 Shan Zhengqi masih dapat mengikut ialur serangannya, dua serangan berikutnya dia hanya mengandalkan nalurinya saja, menginjak serangan ke 7 dan seterusnya kecepatan senjata yang mengejar dirinya sudah menurun karena pada saat itu jarak di antara mereka berdua kembali melebar dengan melompat mundurnya Shan Zhengqi.   Wajah Tong Baidun terlihat begitu geram, kesempatan yang lepasbenar-benar di luar dugaannya.   Hawa membunuh Tong Baidun sudah tidak bisa disembunyikan lagi.   Perlahan Tong Baidun menggeser kedudukannya ke depan, berusaha kembali memasuki jarak paling ideal bagi dirinya untuk menyerang Shan Zhengqi.   Tanpa terasa Shan Zhengqi menyurut mundur, secara naluriah mencari jarak yang aman dari Tong Baidun yang hendak menghabisi dirinya.   Semangat Shan Zhengqi sudah goyah, Tong Baidun pun bisa merasakan hal ini, perlahan seulas senyum kejam terbentuk di wajahnya.   Wajah Shan Zhengqi sudah pucat pasi, pertarungan kali ini bukan lagi antara dirinya dengan Tong Baidun.   Pertarungan kali ini adalah antara dirinya dengan ketakutannya sendiri.   Jika ada yang menghalangi dirinya untuk melemparkan sepasang kuas baja itu ke atas lantai panggung dan menyerah, maka itu adalah bayangan dari segala jerih payahnya dalam memupuk kedudukannya hingga sampai pada kedudukan yang setinggi sekarang ini.   Bisa dia bayangkan apa kata orang jika dia menyerah sekarang ini, entah sudah ada berapa banyak tokoh silat yang dia hancurkan nama dan reputasinya, demi mengangkat pamornya sendiri.   Sekarang dia yang harus menghadapi kenyataan serupa.   Setiap langkah dia menyurut mundur, yang terjadi adalah pertarungan dalam dirinya, antara kengerian untuk berhadapan dengan kematian, melawan kengerian untuk hidup dengan nama ternoda.   Shan Zhengqi sudah hampir sampai di tepi panggung, tiba-tiba ujung matanya menangkap ceceran darah dan cairan otak milik Bai Shixian yang belum sempat dibersihkan.Terbayang tokoh besar yang mengejang-ngejang hendak melepas nyawa.   Terbayang tatapan kosong dan nanar Bai Shixian yang tidak lagi mengenali keadaan di sekelilingnya, saat bhiksu tua dari Shaolin selesai memberikan perawatannya.   Kalaupun Bai Shixian berhasil diselamatkan, dia akan hidup tidak ubahnya seperti orang-orangan sawah.   Di saat itu juga nyali Shan Zhengqi terbang ke langit lapis tujuh.   Lengannya tiba-tiba terasa lemas.   Dengan parau dia berteriak.   "Aku menyerah."   Benar-benar anti klimaks, beberapa orang dengan jelas-jelas mendengus penuh penghinaan.   Tapi itulah kenyataannya, Tong Baidun pun mengeluarkan tawa menghina dan Shan Zhengqi hanya bisa menggigit bibir dengan rasa malu tidak terkira.   Di hadapan banyak orang Shan Zhengqi melangkah dengan berat, menuju ke undak-undakan untuk turun ke bawah.   Tidak ada keberanian untuk kembali ke kursinya sendiri.   Seandainya dia bisa, dia akan memilih untuk berlari sekencang mungkin, meninggalkan tempat itu.   Namun dari harga dirinya yang masih secuil tersisa, Shan Zhengqi menguatkan hati untuk tidak lari dan menjadi bahan tertawaan orang lain.   Kepalanya menunduk ke bawah, tanpa berani menengok ke kiri ataupun kanan.   Ramai suara orang bercakap atau berbisik, begitu riuh dalam benaknya, tak satupun yang tertangkap jelas, namun dia yakin semuanya berisi cercaan dan ejekan atas kepengecutannya.   Tiba-tiba dia merasakan, satu tangan menahan bahunya.   Dengan rasa marah yang hampir meledak akibat rasa malu yang tidak tertahankan, dia mendongakkan kepala dengan mata mendelik dan tangan mengepal.   "Apa maumu!?"   Tapi kemarahannya dengan cepat menjadi surut saat dia melihat siapa yang sudah menahan bahunya.   Ding Tao pada awalnya ikut merasakan kekecewaan karena Shan Zhengqi menyerah kalah tanpa melakukan perlawanan.   Namun ketika banyak orang mulai menghina Shan Zhengqi, timbul rasa kasihan dalam hatinya.   Melihat langkah demi langkah yang dilewati Shan Zhengqi dengan menanggung rasa malu, perasaan Ding Tao mulai berubah, dari sekedar kasihan menjadi kekaguman.   Karena kasihan Ding Tao bisa bersimpati pada Shan Zhengqi.   Dia bisa menempatkan dirinya di posisi Shan Zhengqi, merasakan beratnya tiap langkah yang harus diambil dan menyadari apa yang tidak pernah terpikirkan oleh Shan Zhengqi sendiri.   "Apa maumu?", tanya Shan Zhengqi untuk kedua kalinya, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda.   Bagaimanapun juga yang menepuk bahunya ini adalah seorang ketua dari sebuah partai yang menguasai 6 propinsi di daerah selatan.   Orang yang baru saja menumbangkan Bai Shixian dalam sebuah pertarungan yang gemilang.   Selain itu ada satu perasaan yang terpancar dengan tulus dalam sorot pandang Ding Tao.   Di sana Shan Zhengqi tidak melihat ada penghinaan.   "Satu hari nanti, kuharap kita bisa minum arak bersama, sebagai seorang sahabat.", ujar Ding Tao sambil tersenyum.   "Aku aku..   aku tidak mengerti.", ujar Shan Zhengqi terbata-bata.   Ding Tao mengerutkan alis sejenak, berusaha mengubah perasaannya menjadi kata-kata dan kemudian menjawab.   "Untuk sesaat lamanya, aku pun merasa kecewa dan memandang rendah dirimu. Kemudian aku merasa kasihan mendengar cemoohan orang atas dirimu. Namun kemudian kulihat dan kurasakan betapa berat tiap langkah yang harus kau ambil untuk meninggalkan panggung ini. Tiba-tiba saja, jadi timbul perasaan kagum akan dirimu. Terkadang lebih mudah untuk mati daripada untuk hidup, bahkan bila kita mati untuk satu tujuan yang tidak berharga."   Berhenti sejenak Ding Tao melanjutkan.   "Entah mengapa tiba-tiba kalimat itu terpikir olehku. Dan akupun sadar, betapa satu kebodohan jika kau harus mati hanya demi sebuah kedudukan atau harga diri."   Dengan sebuah senyum Ding Tao memukul lengan Shan Zhengqi dengan bersahabat.   "   Entahlah tiba-tiba aku merasa bisa melihat kekuatan dan segi baik dari dirimu.   Kekuatan yang membuat kau bisa berjalan pergi dari panggung ini sebagai seorang laki-laki.   Kali lain aku bertemu dengan dirimu, aku yakin akan bertemu dengan seorang pahlawan sejati."   Beban berat yang disandang Shan Zhengqi di pundaknya tiba-tiba hilang lenyap.   Dia tidak sepenuhnya memahami apa yang dikatakan Ding Tao.   Ding Tao sendiripun mungkin tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia coba katakan.   Tapi Shan Zhengwi bisa merasakan perasaan Ding Tao yang tulus.   Di saat dirinya sendiri tidak bisa mempercayai dirinya.   Di saat dirinya sendiri menyalahkan apa yang baru saja dia lakukan dan meragukan seluruh keberadaannya, tiba-tiba ada seseorang yang berkata bahwa dia percaya pada dirinya.   Sebagian orang terdiam oleh perbuatan Ding Tao, sebagian yang lain tetap mencemooh Shan Zhengqi.   Bahkan sekarang ada juga yang membicarakan perbuatan Ding Tao dengan nada menghina.   Tapi semuanya itu tidak lagi menjadi racun-racun yang bersarang di hati Shan Zhengqi.   Shan Zhengqi pun merangkapkan tangan dan menganggukkan kepala pada Ding Tao dengan senyum lebar di wajahnya, "Kali lain, aku akan datang ke tempatmu dengan membawa seguci arak tapi kau yang menyediakan bebek panggangnya."   Ding Tao pun tersenyun lebar dan berkata.   "Hahahaha, bagus! Kau boleh datang kapan saja, aku tentu akan menyiapkan bebek panggangnya."   Sambil berpamitan Shan Zhengqi pun berkata.   "Baiklah aku pergi sekarang, ingat janjimu, jangan berani mati sia-sia di sini."   Ding Tao tersenyum dan menganggukkan kepala.   Shan Zhengqi pun pergi berlalu, langkah-langkahnya terasa jauh lebih ringan.   Hinaan orang dia balas dengan senyuman saja.   Bagaimana pun juga, dia masih sempat berada di atas sana, sedangkan mereka yang menghina dia sekarang ini, belum tentu memiliki keberanian dan kemampuan untuk berdiri di atas panggung itu.   Dia naik ke atas panggung untuk mengejar satu impian kosong, untuk mempertaruhkan hidup matinya demi sesuatu yang tidak berharga.   Sekarang dia turun sebagai orang yang kalah, namun dia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sebuah reputasi.   Shan Zhengqi sekarang tahu seberapa berharganya satu kehidupan.   Dalam hati dia berjanji, akan mengingat baik-baik apa yang dia rasakan hari ini.   Selamanya dia menganggap diri tak terkalahkan, selamanya diamemandang rendah pancaran rasa takut dari lawan-lawannya.   Selama ini dia tidak pernah memikirkan nyawa yang melayang oleh kedua tangannya.   Teringat ini terselip pula rasa penyesalan dalam hati Shan Zhengqi, namun di saat yang sama sebuah tekad yang kuat menggelora dalam dadanya.   Dia akan jadi manusia yang baru, jika kali lain dia harus menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dia ingin menjalani pertarungan itu untuk satu tujuan yang berarti, bukan sekedar mencari reputasi kosong.   Satu pertarungan, di mana bila dia harus memilih, maka dia akan memilih mati tanpa ragu lagi.   Tapi kematiannya akan menjadi sesuatu yang berharga dan tidak akan dia sesali.   Shan Zhengqi pun menghilang di balik kerumunan orang banyak dan perhatian tiap orang kembali tertuju ke atas panggung.   Kali ini Lei Jianfeng berhadapan dengan Deng Songyan.   Deng Songyan dengan cekatan memutar tombak peraknya dengan ringan, seperti sedang bermain-main, sebelum dia merangkapkan tangan di depan dada dan mengangguk pada Lei Jianfeng.   Lei Jianfeng yang dikenal dengan pukulan tangan kosongnya, naik ke atas panggung membawa sepasang pedang di tangannya, menganggukkan kepala sebagai balasan.   Tanpa banyak cakap, mereka berdua segera mengambil kuda-kuda dan siap bertarung.   "Saudara Deng Songyan, kau tidak ada rencana untuk mundur sebelum bertanding kan?", tanya Lei Jianfeng sambil tertawa dibuat-buat.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Hmm tentu saja tidak, hanya pengecut yang mundur dengan tubuh tanpa luka sedikitpun.", jawab Deng Songyan dengan senyum dingin.   "Bagus bersiaplah.", ujar Lei Jianfeng.   "Silahkan mulai lebih dulu", ujar Deng Songyan.   Tanya jawab mereka ini mengundang tawa dari beberapa orang, tapi juga menusuk hati mereka yang dekat dengan Shan Zhengqi, karena sudah jelas perkataan itu ditujukan untuk Shan Zhengqi.   Ding Tao yang baru saja bersahabat dengan Shan Zhengqi mengerutkan alis tidak senang, namun seperti banyak teman Shan Zhengqi yang lain, tidak ada yang dapat dia katakan.   Perbuatan Shan Zhengqi memang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang memalukan.   Tapi mungkin ada perbedaan antara Ding Tao dan banyak sahabat Shan Zhengqi yang lain, dalam diamnya Ding Tao percaya suatu saat Shan Zhengqi akan bangkit dan memperbaiki namanya dengan usahanya sendiri.   Pertarungan Lei Jianfeng dan Deng Songyan merupakan pertarungan yang klasik.   Tidak ada gebrakan yang dengan sepenuh tenaga di awal pertarungan seperti yang dilakukan Bai Shixian dan Ding Tao.   Bukan pula pertandingan dalam diam seperti Tong Baidun melawan Shan Zhengqi.   Lei Jianfeng dan Deng Songyan dengan cepat mulai saling menyerang dan bertahan, mengukur kekuatan dan kelebihan lawan secara bertahap.   Sepasang pedang dan tombak menari-nari di atas panggung, belasan jurus pun dengan cepat berlalu, semakin lama gerakan kedua orang itu semakin cepat.   Yang mengejutkan adalah Lei Jianfeng, dikenal sebagai seorang ahli pukulan, ternyata Lei Jianfeng mampu mengimbangi Deng Songyan dengan sepasang pedangnya.   Menonton pertandingan di antara keduanya, tiba-tiba Ma Songquan mendesis.   "Ah, dasar Bai Shixian keparat itu..."   Tentu saja Ding Tao menarik muka dan bertanya.   "Saudara Ma Songquan, apa maksudmu? Mengapa berkata demikian, aku tidak ingin ada yang menjelek-jelekkan Saudara Bai Shixian, dia sungguh seorang yang hebat."   Ma Songquan menghela nafas.   "Maafkan aku ketua, masalahnya cobalah kita lihat dua pertandingan yang baru saja lewat. Setiap calon bertanding dengan berhati-hati, tidak ada yang sembarangan mengobral tenaga dan serangan. Dalam pertandingan semacam ini, hal itu penting sekali."   Ding Tao mengerutkan alisnya sebentar sebelum menjawab dengan nada yang lebih lunak.   "Aku mengerti tapi sudahlah, apa yang terjadi tidak perlu dibicarakan lagi."   Ma Songquan menganggukkan kepala dan sekali lagi mendesah, Li Yan Mao yang tadi hanya ikut mendengarkan tiba-tiba berkata.   "Jika demikian halnya, orang bermarga Tong itu adalah orang yang memiliki kesempatan paling besar untuk memenangi pertandingan ini."   Mereka semua terdiam sebelum Tang Xiong menjawab.   "Hmm dengan senjata rahasianya dia bisa menyerang dari jauh dan menang tanpa harus menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya. Kalau dipikir-pikir, rasanya jadi kurang adil" "Tidak juga, setiap mereka yang maju ke atas panggung ini, membawa ilmu dan tehnik yang mereka latih selama bertahun- tahun. Jika Tong Baidun yang melatih senjata rahasia dianggap lebih beruntung. Itu artinya kita semua sudah salah mendalami ilmu.", ujar Ding Tao dengan tenang. "Benar, jika ada yang bisa menghadapi senjata rahasianya, Tong Baidun bukan apa-apa.", ujar Ma Songquan. "Tapi kenapa ketua bisa begitu sialnya, di pertandingan pertama dia harus bertemu Bai Shixian yang hanya tahu bertarung tanpa memikirkan pertarungan berikutnya. Yang gaya bertarungnya seperti mengajak lawan mati berbareng. Lalu di pertarungan kedua, bertemu pula dengan Tong Baidun yang mengandalkan senjata rahasia?", keluh Tang Xiong disambut senyum tawar oleh yang lain. "Jangan kuatir, bukankah kita masih punya ilmu simpanan?", ujar Wang Xiaho sambil tersenyum. Mendengar kata-kata Wang Xiaho, mata Tang Xiong ikut menyala dengan semangat.   "Benar, Ketua Ding Tao sudah mempelejari ilmu itu. Kita bisa lihat nanti, bagaimana Tong Baidun menghadapi ilmu itu." "Bagaimana menurut ketua?", tanya Tang Xiong dengan bersemangat. Ding Tao pun tersenyum dan menjawab.   "Kukira, dengan lengan kiriku yang patah ini, tidak ada jalan lain kecuali menggunakan ilmu itu." "Haha kalau begitu Tong Baidun boleh mengucapkan selamat tinggal dalam pertarungan nanti.", ujar Tang Xiong dengan puas. Tang Xiong pun menoleh dengan penasaran saat mendengar Ma Songquan menghela nafas panjang. "Kenapa?", tanyanya dengan heran. Ma Songquan tidak langsung menjawab, sepertinya dia berpikir sejenak apakah lebih baik dijawab ataukah tidak. Akhirnya dia memilih untuk menjawab. "Masalahnya ilmu simpanan itu harusnya disimpan sampai pada saat pertandingan terakhir. Dengan adanya cedera di lengan kiri, Ketua Ding Tao harus menggunakannya di pertandingan kedua. Itu artinya lawan di pertandingan terakhir akan memiliki kesempatan untuk mempelajari ilmu itu.", ujar Ma Songquan menjelaskan. Wajah Tang Xiong pun berubah jadi lesu, Ding Tao yang melihatnya lesu dengan tenang menepuk lengan Tang Xiong dan berkata.   "Jangan kehilangan semangat seperti itu. Kita hadapi saja setiap pertandingan satu per satu."   Selagi mereka berbicara, pertarungan antara Lei Jianfeng dan Deng Songyan sudah memasuki jurus ke 48.   Dengan jangkauan tombak yang lebih jauh Deng Songyan berhasil mendesak Lei Jianfeng.   Ujung tombak dengan lincah mencecar, mengincar setiap bagian yang terbuka dari pertahanan lawan.   Tapi bukan berarti Deng Songyan sudah pasti menang, karena sedikit saja dia mengendurkan serangan, Lei Jianfeng akan bergerak masuk dan pada saat itu Deng Songyan akan berada dalam kesulitan.   Lei Jianfeng sendiri tentu saja bukannya tidak mengerti hal ini, sepasang pedangnya bergerak dengan lincah, bukan hanya menangkis serangan lawan tapi juga berusaha menghalau pergi tombak Deng Songyan agar dia bisa masuk ke dalam wilayah Deng Songyan, tapi tombak Deng Songyan sungguh lincah, batang kayu yang kaku bisa tampak selentur cambuk.   Pula Deng Songyan tidak berdiri di tempat, jika Lei Jianfeng sempat bergerak maju, dengan cepat dia bergerak mundur dan pada serangan berikutnya dia kembali bisa mendesak mundur Lei Jianfeng.   Kecepatan gerak tombak Deng Songyan perlahan-lahan menunjukkan kelebihannya.   Wajar saja karena sejak berumur 5 tahun dia sudah memegang sebatang tombak, sementara Lei Jianfeng memilih untuk mendalami Luo Yanchang dengan kedua telapak tangannya.   Jurus-jurus Luo Yanchang yang dia kembangkan tampak bagus juga ketika diterapkan dengan sepasang pedang, namun jelas dalam hal menggunakan sepasang pedang sebagai senjata, Lei Jianfeng masih kalah jam terbang dibandingkan Deng Songyan dengan tombaknya.   Dengan langkah Bagua-nya Lei Jianfeng berusaha mengimbangi kelincahan tombak Deng Songyan, namun menggerakkan mata tombak jelas lebih ringan daripada menggerakkan seluruh tubuh.   Pakaian Lei Jianfeng sudah lama dibasahi keringat sementara Deng Songyan baru saja berpeluh.   Tombak Deng Songyan yang panjang mampu menutup kelincahan gerak Lei Jianfeng.   Padahal sebagai seorang pendekar yang menekuni jurus tangan kosong, sudah banyak lawan yang bersenjata dikalahkan Lei Jianfeng hanya dengan berbekal kedua tangannya itu.   Namun kali ini jangankan untuk menyentuh Deng Songyan, untuk mendekat pun dia tidak mampu.   Lei Jianfeng sudah terdesak hingga tepi panggung, tahu dirinya tidak mungkin mundur selangkahpun lagi, Lei Jianfeng pun memutar sepasang pedangnya mengelilingi seluruh tubuh, membentuk sebuah perisai yang kuat yang sulit ditembus.   Gerakan ini tentu saja menghabiskan banyak tenaga, namun di saat yang kritis nyata mampu menahan serangan tombak Deng Songyan.   Beberapa kali serangan tombak Deng Songyan terpental oleh perisai yang diciptakan oleh sepasang pedang itu.   Bahkan Lei Jianfeng mulai berani bergerak maju ke depan, selain untuk menghindar agar tidak terjebak di tepi panggung, Lei Jianfeng juga berusaha ganti mendesak Deng Songyan.   Deng Songyan pun surut mundur beberapa langkah, namun Deng Songyan tidak mudah dikalahkan, sembari mundur dia mulai mempelajari jurus lawan sambil menghimpun kekuatan.   Pada langkah ke 7, Deng Songyan tiba-tiba berteriak keras dan tombaknya meluncur masuk ke dalam putaran pedang Lei Jianfeng.   Lei Jianfeng pun mengerahkan tenaganya untuk memutar perisai pedangnya lebih cepat lagi.   Mata tombak Deng Songyan yang sempat masuk ke dalam pusaran sepasang pedang Lei Jianfeng ikut terbawa berputar.   Pendukung Lei Jianfeng pun bersorak memberi semangat sementara pendukung Deng Songyan ganti mengepalkan tangan dengan cemas.   Di saat yang kritis bagi dirinya Deng Songyan menunjukkan kemahirannya sebagai pewaris ilmu tombak keluarga Deng.   Deng Songyan bukan berusaha menarik mundur serangannya, tapi justru menambahkan tenaga mengikuti gerak berpusaran dari sepasang pedang Lei Jianfeng.   Tiba-tiba pertarungan berubah bentuknya, dengan tombak di tengah pusaran pedang, Deng Songyan berusaha menekan agar tercipta lubang di tengah-tengah lingkaran pedang Lei Jianfeng.   Sebaliknya Lei Jianfeng berusaha menekan mata tombak Deng Songyan ke arah dalam dan menutup lubang yang terbentuk.   Kaki kedua orang pendekar itu pun tertancap kuat di atas panggung, meskipun kedua tangan mereka yang bekerja keras, namun kaki yang berpijak sebagai dasar, haruslah kuat menopang pergerakan badan di atas.   Lei Jianfeng tidak berani sembarangan mengubah jurus sebelum mata tombak Deng Songyang berhasil dia patahkan atau sampai Deng Songyang menarik mundur tombaknya.   Sebaliknya Deng Songyan yang merasa yakin akan keahliannya dalam hal senjata, tidak ingin melepaskan kesempatan yang baik ini.   Begitu lubang yang dia ciptakan cukup lebar, dia bisa menusukkan tombaknya secepat kilat menyerang bagian dada Lei Jianfeng yang terbuka lebar.   Namun Deng Songyan juga tidak berani terburu-buru menyerang.   Jika dia salah perhitungan maka sebelum mata tombaknya melubangi dada Lei Jianfeng, sepasang pedang Lei Jianfeng akan memotong batang tombak yang terbuat dari kayu.   Setiap mereka yang menyaksikan pertandingan itu pun tahu, bahwa ini adalah saat yang paling menentukan dalam pertarungan antara Lei Jianfeng melawan Deng Songyan.   Jika Lei Jianfeng berhasil memotong putus tombak Deng Songyan, berarti Deng Songyan harus mengaku kalah karena Deng Songyan tanpa tombaknya tidak ubahnya seperti Tong Baidun tanpa senjata rahasianya.   Di lain pihak jika Deng Songyan berhasil menciptakan celah dalam perisai pusaran pedang yang dibentuk Lei Jianfeng, maka nyawa Lei Jianfeng sudah dipastikan akan melayang.   Baik pendukung Lei Jianfeng maupun pendukung Deng Songyan sama-sama merakan ketegangan mereka memuncak.   Deng Songyan tadinya berharap dia akan dapat membuka celah dari pusaran sepasang pedang Lei Jianfeng dengan menambahkan tenaga berputar dari mata tombaknya sendiri.   Di luar dugaan, Lei Jianfeng memiliki tenaga yang besar di kedua belah telapak tangannya, gagang pedang seperti lengket di tangannya.   Meskipun di awal-awal Lei Jianfeng sempat kelabakan dan Deng Songyan berhasil menekan sepasang pedang Lei Jianfeng sehingga sepasang pedang Lei Jianfeng bergerak melebar.   Namun di saat berikutnya Lei Jianfeng mulai berhasil mengikuti kecepatan gerak tombak Deng Songyan dan ganti menekan mata tombak Deng Songyan mengikuti putaran pedangnya.   Kehilangan kesempatan untuk menusuk Lei Jianfeng lewat lubang yang tercipta, sekarang Deng Songyan harus berjuang keras hanya untuk dapatmelepaskan mata tombaknya dari pusaran pedang Lei Jianfeng.   Tapi ketrampilan tangan Deng Songyan dalam memainkan tombaknya memang perlu diacungi jempol.   Antara tombak dengan manusianya sudah tidak terpisahkan.   Bukan hanya tombak akan bergerak sesuai kemauan Deng Songyan, Deng Songyan bahkan bisa merasakan dan menganalisa kekuatan dan kecepatan pedang lawan, lewat persentuhan mata tombak dengan pedang Lei Jianfeng.   Benar-benar tombak sudah merupakan bagian dari dirinya.   Pelan namun pasti, sepasang pedang Lei Jianfeng jatuh dalam permainan tombak Deng Songyan.   Seulas senyum terbentuk di wajah Deng Songyan.   Dengan satu teriakan.   "Kena !"   Tombak Deng Songyan berhasil mengungkit pedang Lei Jianfeng hingga pedang Lei Jianfeng terlempar dari tangannya.   Pendukung Deng Songyan pun bersorak penuh kemenangan, namun sorak sorai mereka segera terhenti karena di saat yang hampir bersamaan Lei Jianfeng memanfaatkan saat-saat di mana mata tombak Deng Songyan bergerak melontarkan pedang Lei Jianfeng, untuk bergerak dengan cepat menutup jarak antara dirinya dengan Deng Songyan.   Gerakan Lei Jianfeng ini terasa tidak masuk akal bagi Deng Songyan, sebagai ahli senjata dia tahu benar bahwa dalam pertarungan untuk saling menguasai senjata lawan, kuda-kuda harus kuat menancap di tanah.   Masalahnya Deng Songyan lupa, Lei Jianfeng tidaklah serupa dengan dirinya, tidak pula seperti seorang pendekar pedang yang memandang pedang sebagai nyawa sendiri.   Bagi kebanyakan ahli senjata, kehilangan senjata andalan dalam sebuah pertarungan tidak ubahnya seperti kehilangan nyawa.   Tapi Lei Jianfeng bukanlah seorang ahli senjata, dia seorang ahli berkelahi dengan tangan kosong yang kebetulan menggunakan sepasang pedang.   Saat menyadari dia tidak dapat lagimempertahankan sepasang pedangnya, Lei Jianfeng dengan segera memutuskan untuk melepaskan sepasang pedangnya dan menggunakan saat-saat di mana konsentrasi Deng Songyan masih tersedot pada usaha untuk melepaskan pedang dari tangan Lei Jianfeng, untuk menutup jarak di antara mereka.   Kemampuan dua orang ini tidak berselisih banyak.   Kesalahan perhitungan yang fatal harus dibayar Deng Songyan dengan mahal.   Susul menyusul Lei Jianfeng mengirimkan sebuah tepukan ke atas dua pundak Deng Sonyan.   Sebuah pukulan yang dikembangkan berdasarkan Luo Yanchang, telah menghancurkan tulang pundak Deng Songyan.   Luo Yan Zhang yang asli hanya menyerang dari atas ke bawah, Luo Yan Zhang yang dikembangkan Lei Jianfeng bisa menyerang dari berbagai arah, bisa pula menjadi serangan berantai, tanpa mengurangi terlampau banyak besarnya tenaga serang Luo Yan Zhang.   Dari segi besarnya tenaga, Luo Yan Zhang yang asli masih lebih unggul, namun dari variasi serangan dan kecepatan Luo Yan Zhang yang dikembangkan Lei Jianfeng lebih unggul.   Terbukti dia bisa mengirimkan dua kali serangan dalam satu tarikan nafas.   Hampir bersamaan dengan jatuhnya sepasang pedang Lei Jianfeng ke atas lantai, tombak Deng Songyan pun terlepas dari tangannya.   Dua tangannya terkulai ke bawah tanpa tenaga, rasa nyeri tidak dirasakan oleh Deng Songyan.   Begitu dia sadar kedua tulang pundaknya sudah remuk oleh pukulan Lei Jianfeng, dunia Deng Songyan menjadi gelap.   Apa artinya hidup dengan lengan yang cacat? Puluhan tahun dia melatih ilmu tombaknya, sekarang dia tidak bisa menggunakan kedua tangannya.   Dengan penuh kepahitan dia memandang pada Lei Jianfeng, suaranya parau saat dia berkata.   "Lebih baik, bunuh saja aku"   Lei Jianfeng hanya tersenyum saja, menunjuk ke arah kejantanan Deng Songyan dan menjawab.   "Sudahlah, terima saja nasibmu, kalaupun ternyata bahumu tidak dapat disembuhkan, setidaknya kau masih bisa menyambung keturunan keluarga Deng."   Dengan langkah santai Lei Jianfeng pun meninggalkan Deng Songyan yang sudah dikerubuti oleh sanak keluarganya.   Bhiksu tua yang bertugas untuk menangani cedera dan luka yang terjadi sudah sibuk memeriksa dan merawat Dneg Songyan.   Deng Songyan sendiri hanya bisa terdiam dengan lidah kelu, beberapa saat yang lalu dia menertawakan Shan Zhengqi dan menggelengkan kepala atas nasib Bai Shixian.   Siapa sangka dirinya tidak luput dari nasib yang sama.   Sejak dia masih kecil, Deng Songyan sudah berambisi untuk menjadi orang terkuat.   Ketika perjalanan yang dia tempuh, dipaksa untuk berakhir dengan tragis, tiba-tiba hidup Deng Songyan terasa begitu hampa.   Menempa diri untuk menjadi pendekar terkuat, apa hanya sebuah pencarian kosong? Sampai saat dia sudah diusung turun pun Deng Songyan masih membisu, terdiam dalam pencarian.   Setiap manusia pasti memiliki tujuan hidup, beberapa mengejarnya dengan seluruh yang ada pada dirinya.Sebagian yang lain mungkin justru tidak pernah memiliki bentuk yang jelas dengan tujuan hidupnya.   Bagi Deng Songyan yang memiliki tujuan hidup yang jelas, ketika jalan itu tiba-tiba direnggut dari dirinya, guncangan yang dialami oleh jiwanya, lebih berat dari rasa sakit yang dirasakan oleh tubuhnya.   Apakah Deng Songyan bisa bangkit dari kegagalannya atau tidak, kisah ini sendiri tidak memuatnya.   Untuk saat ini, seperti biasa mata hanya memandang pada pemenang, sementara yang kalah digusur ke belakang.   Perhatian setiap orang, kembali beralih ke atas panggung, di sana berdiri Ximen Lisi yang tampan dan Lu Jingyun, pendekar berkaki empat.   Lu Jingyun dijuluki berkaki empat bukan saja disebabkan oleh ilmu meringankan tubuhnya yang disegani lawan, tapi juga disebabkan oleh wataknya yang tidak mau terikat.   Tidak memiliki tempat tinggal tertentu, tidak memiliki keluarga dan tidak memiliki pekerjaan tetap.   Lu Jingyun hidup tidak ubahnya seperti angin yang selalu bertiup.   Jika Ximen Lisi sangat memperhatikan penampilannya, apa yang dipakai, bagaimana rambutnya ditata dan juga bagaimana dia berlaku.   Lu Jingyun berbalik 180 derajat dari Ximen Lisi, pakaiannya boleh jadi baru dicuci, tapi terlihat tambalan di sana-sini.   Rambutnya yang sudah disisir, digelung secara sembarangan.   Kumis dan jenggot pun tumbuh tidak beraturan.   Buat mereka yang sudah pernah bertemu dengan Lu Jingyun, akan mengatakan inilah penampilannya yang paling rapi jika dibandingkan dengan penampilan Lu Jingyun biasanya.   "Hmm tidak pernah kuduga, Lu Jingyun akan ikut menjadi calon dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini", ujar seseorang di antara ribuan yang ikut menyaksikan pemilihan Wulin Mengzhu ini.   "Apa menurutmu dia kurang pantas untuk jadi Wulin Mengzhu?", tanya orang di sebelahnya, dalam benaknya penampilan seorang Wulin Mengzhu pantasnya seperti Lei Jianfeng yang keren dan berwibawa; Ximen Lisi yang tampan dan halus; atau minimal seperti Ding Tao yang meskipun bersahaja tetap menampilkan keberadaan seorang ketua dari partai yang besar.   "Bukan begitu, tapi sifatnya yang tidak mau terikat dengan segala macam aturan dan ikatan sudah begitu terkenal, hingga dia mendapatkan julukan empat kaki.   Mengapa dia tiba-tiba tertarik untuk menjadi Wulin Mengzhu?", jawab yang seorang.   "Lebih ruwet lagi kalau dia sampai jadi Wulin Mengzhu, bakal jadi Wulin Mengzhu macam apa dia nanti?", sahut seorang yang lain lagi.   "Jangan seenaknya bicara! Setidaknya Lu Jingyun masih lebih baik daripada orang munafik macam Ximen Lisi atau Lei Jianfeng.", terdengar ada orang yang membentak.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Siapa kau ini berani mengatakan Lei Jianfeng seorang munafik?", tegur yang seorang lagi.   "Hmph, kau kira aku takut pada Lei Jianfeng dan begundalnya? Namaku Chen Thai, asal dari Bei Hai.   Kau sendiri siapa?", jawab yang ditanya dengan garang.   Tiba-tiba terdengar lagi orang lain menyahut.   "Sudah tidak usah banyak bicara, hajar saja biar tahu aturan."   Dan benar saja yang marah-marah saat Lei Jianfeng dikatakan munafik dengan segera melayangkan pukulan, yang mengaku bernama Chen Thai pun dengan cekatan mengelak dan balik menyerang.   Mereka pun beradu jurus sambil disoraki oleh orang-orang yang berada di dekatnya, sebelum muncul petugas ketertiban dari pihak Shaolin yang melerai mereka.   Hari itu benar-benar hari yang sibuk bagi perguruan Shaolin sebagai tuan rumah.   Perselisihan semacam itu bukan hanya terjadi satu dua kali, tapi berkali-kali.Baik antar pendukung calon Wulin Mengzhu, atau bahkan perselisihan lama yang kembali muncul karena bertemu secara tidak sengaja di hari itu.   Di baris-baris depan saja perkelahian seperti itu tidak terjadi, maklum saja, mereka yang duduk di baris ini sudah memiliki nama dan tidak mudah terpancing untuk saling berselisih, meskipun saling ejek atau saling sindir masih juga terjadi.   Lepas dari perkelahian yang terjadi, pertanyaan yang sama sebenarnya juga muncul dalam benak banyak orang.   Mengapa Lu Jingyun yang tidak suka terikat, kali ini justru menceburkan diri dalam pemilihan Wulin Mengzhu? Setelah saling memberi hormat, Ximen Lisi juga menanyakan hal yang sama.   "Saudara Lu Jingyun, nama besar saudara sudah sering aku dengar. Hanya saja sedikit mengherankan, Saudara Lu Jingyun yang terkenal tidak suka terikat dengan macam-macam aturan, mengapa kali ini ikut maju dalam pencalonan Wulin Mengzhu?"   Lu Jingyun hanya tersenyum-senyum saja dan menjawab.   "Jika orang seperti dirimu ingin menjadi Wulin Mengzhu, aku pun jadi ingin ikut-ikutan mencoba jadi Wulin Mengzhu." "Orang seperti diriku? Aku tidak mengerti. Memangnya aku orang semacam apa?", tanya Ximen Lisi sambil tertawa kecil. "Kukira Ximen Lisi tentu tahu orang macam apa dirinya tanpa kuberitahu", ujar Lu Jingyun dengan santai. Ximen Lisi pun tersenyum dingin dan berkata.    Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Badik Buntung Karya Gkh

Cari Blog Ini