Pedang Angin Berbisik 53
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 53
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Apalagi Wang Shu Lin yang masih muda dan cantik, dengan seorang suami yang penyakitan, tentu saja mengundan beberapa pikiran nakal dari laki-laki mata keranjang yang tinggal di kota itu. Bagusnya ada Pang Boxi yang bertubuh raksasa membuat orang berpikir beberapa kali lipat sebelum mencoba-coba menggoda nyonya muda yang cantik itu. Itu pula sebabnya mereka memutuskan untuk memasuki kota sebagai satu rombongan. Meski lebih menarik perhatian, tapi juga membantu mereka menghindari gangguan yang tidak diinginkan. Tidak ingin terjadi konflik dengan berandalan di kota itu, pagi-pagi sejak datang mereka sudah unjuk kemampuan, utamanya Pang Boxi, Khongti dan Hu Ban yang beraksi sebagai pengawal dari rombongan itu. Hari itu sudah lewat 2 minggu Ding Tao bebas dari Obat Dewa Pengetahuan, dengan hilangnya seluruh sisa-sisa obat dalam tubuhnya, hampir segala fungsi yang berhubungan dengan syaraf dan otak menurun dengan drastis. Meski dia berpikir bahwa Wang Shu Lin adalah isterinya, toh Ding Tao juga tidak memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar dekat dan menikmati kehangatan bersama seseorang yang mengasihinya. "Ding Tao, sekarang kau minumlah obat ini, setelah kau minum obat ini, cobalah untuk bermeditasi, agar obat itu bekerja dengan lebih sempurna.", kata Zhu Yanyan sambil memberikan 3 buah pil pemberian Tabib Shao Yong. Seluruhnya ada 27 buah pil yang harus diminum 3 pil setiap kali minum, 3 kali sehari, selama 3 hari berturut-turut. "Meditasi ?", tanya Ding Tao mencoba mengingat apa maksud perkataan Zhu Yanyan. Dengan sabar Zhu Yanyan tersenyum dan menjelaskan. "Ya, meditasi, selama tiga hari ini bukankah aku sudah mengajarimu bagaimana cara melakukannya?" "Tapi sekarang minum saja dahulu obatnya, lalu aku akan membantumu kembali mengingat-ingat cara bermeditasi yang kuajarkan.", ujar Zhu Yanyan sambil memberikan obat pada Ding Tao. Melihat obat di tangannya, Ding Tao menengok terlebih dahulu ke arah Wang Shu Lin. Ketika dia melihat gadis itu mengangguk dan tersenyum, barulah dia meminum obat di tangannya itu dengan hati tenang. "Nah sekarang kita mulai bermeditasi, cobalah ingat apa yang kuajarkan beberapa hari ini.", ujar Zhu Yanyan dengan sabar. Berkerut dahi Ding Tao berusaha mengingat-ingat apa yang diajarkan Zhu Yanyan beberapa hari ini. Memang sebagai persiapan, sudah beberapa hari menjelang hari ini Zhu Yanyan mengajarkan kembali pada Ding Tao bagaimana caranya bermeditasi. "Hmm seperti ini", ujar Ding Tao sembari perlahan-lahan, mengambil posisi bersila dan menegakkan tubuhnya. "Benar lalu?", kata Zhu Yanyan menyemangatinya. "Lalu aku tutup mata dan dan mengatur pernafasan kosongkan pikiran dan ikuti terus pernafasan di perut.", ujar Ding Tao sambil mulai melakukan apa yang dia katakan. Tidak sulit tentunya bagi Ding Tao untuk mengosongkan pikiran dan sepenuhnya memfokuskan pikirannya pada pernafasan. Justru pekerjaan yang sederhana itu sesuai sekali dengan otaknya yang saat ini begitu lambannya. "Benar rasakan pernafasanmu masuk tahan selama satu hitungan, kemudian keluarkan lakukan dengan lembut dan tidak terburu-buru", kata Zhu Yanyan sambil matanya mengikuti gerak perut dan dada Ding Tao. Ketika dilihatnya pernafasan Ding Tao sudah mulai teratur, Zhu Yanyan pun berkata. "Rasakan hawa hangat yang timbul dalam tubuhmu." "Sekarang saat kau menarik nafas, buatlah hawa itu mengalir dari dari dantien, mengarah ke puncak kepala. Kemudian sebaliknya, ketika kau melepaskan nafas tariklah hawa itu dari puncak kepala ke dantien.", demikian Zhu Yanyan membimbing Ding Tao untuk mengalirkan hawa murni untuk membersihkan jalur energi dalam tubuhnya. Kemudian setelah beberapa kali mengalirkan hawa murni dari atas ke bawah, sepanjang poros pusat dalam tubuhnya. Zhu Yanyan kemudian mengarahkan Ding Tao untuk mengalirkan hawa itu mengelilingi permukaan tubuhnya, dari kiri ke kanan dan juga dari atas ke bawah. Ding Tao menyukai latihan ini, karena tubuhnya terasa lebih baik setiap kali bermeditasi. Apalagi kali ini setelah meminum obat penawar dari Tabib Shao Yong. Obat ini sebenarnya lebih bekerja untuk memulihkan kembali fungsi-fungsi syaraf yang tadinya terbiasa bergantung pada Obat Dewa Pengetahuan, agar kembali bisa bekerja sendiri. Seperti menguatkan otot-otot tubuh yang sudah lama lemah karena tidak pernah dipakai. Cukup lama Ding Tao bermeditasi, pada dasarnya pemuda ini sudah menguasai ilmu tenaga dalam tingkat tinggi, ditambah lagi dengan tambahan simpanan hawa murni yang diberikan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, hanya sekedar mengalirkan hawa murni mengelilingi tubuh dan melancarkan peredaran energi dan darah bukanlah urusan yang sulit. Dalam hitungan hari, perkembangan kesehatannya maju dengan pesat. Pada hari pertama dia sudah mulai bisa berpikir dengan normal, meski belum bisa banyak mengingat masa lalunya sendiri. Pada hari kedua, perlahan-lahan ingatannya pun sudah mulai pulih. Menginjak hari ketiga, ketika seluruh obat penawar sudah habis diminum, bisa dikatakan dia sudah menjadi Ding Tao yang normal. Pada hari ketiga itu, semalaman penuh Ding Tao terus bermeditasi tanpa henti, hingga esok harinya. Wang Shu Lin dan Zhu Yanyan ikut menunggu di dekatnya. Seperti baru saja melewati gua yang gelap dan sekarang kembali melihat sinar matahari untuk pertama kalinya. Begitu membuka mata Ding Tao merasa dunianya kembali sempurna, kabut yang menutupi pikirannya benar-benar sudah terangkat. Bersamaan dengan kembalinya kemampuan dia untuk berpikir dengan jernih, ingatan-ingatan yang menyesakkan dada ikut pula kembali, beban dan kekhawatiran tentang masa depan juga ikut kembali mengisi pikirannya. Diam-diam Ding Tao menghela nafas, tubuhnya terasa jauh lebih ringan dan bebas, membuat perasaannya jauh lebih baik, meski dirundung banyak beban. Pandang matanya pun jatuh pada Wang Shu Lin dan Zhu Yanyan yang tertidur di ruangan itu. Melihat Wang Shu Lin hatinya merasa terharu tapi juga galau. Satu lagi masalah pertalian hati yang tidak bisa dia temukan jawaban yang memuaskan. Seperti yang dikatakan Shu Sun Er, nyatanya sekarang setelah otak dan syarafnya bekerja dengan normal, apa yang terjadi selama dia dalam keadaan sakit masih diingat Ding Tao dengan baik. Meski tidak berani memastikan, namun dia bisa menduga bahwa Wang Shu Lin menaruh hati padanya. Kebaikan gadis itu tentu saja menyentuh hatinya, tapi di lain pihak urusan asmaranya sudah terlalu rumit untuk dia pikirkan. Sakitnya dikhianati Murong Yun Hua, penyesalan karena telah berlaku kurang setia kepada Hua Ying Ying, masih menghantui Ding Tao. Dia belum dapat memutuskan bagaimana dia harus menanggapi cinta Wang Shu Lin. Perlahan-lahan tanpa suara Ding Tao turun dari pembaringan. Meski sudah semalaman bersila tubuhnya tidak menjadi kaku, justru terasa segar dan ringan. Berjalan ke arah jendela, dibukanya daun jendela dan dihirupnya dalam-dalam udara pagi yang segar dan bersih. Menatap langit yang berwarna keunguan, Ding Tao memutuskan untuk berhenti berpikir dan menikmati saja suasana pagi itu. Peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hatinya, masih diingatnya dengan jelas, namun peristiwa itu sudah berjarak cukup lama sehingga tidak lagi terlalu menyakitkan. Waktu yang berjalan membantu dia menerima kenyataan. Pengaruh Obat Dewa Pengetahuan yang menumpulkan ingatannya, secara tidak langsung membantu dia menghadapi goncangan yang berat itu. Dengan demikian apa yang dipandang orang sebagai bencana, ternyata menyelipkan satu pertolongan bagi dirinya. Merenungi hal ini Ding Tao memikirkan perkataan Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen tentang kehendak langit. Betapa Thian bermurah hati pada dirinya, dalam kesedihan yang sendu, terselip juga rasa hangat dan syukur. Berkat obat dari Tabib Shao Yong, dia terhindar dari nasib menjadi seorang mayat hidup. Waktu yang 2 minggu, tiga hari, bisa dikatakan amatlah singkat jika dibandingkan dengan nasib yang dialami Pendekar pedang Jin Yong. Teringat apa yang dituliskan oleh Tabib Shao Yong mengenai pendekar pedang itu, Ding Tao merasa miris, hampir saja dirinya bernasib sama dengan Jin Yong. "Tapi apakah semudah itu lepas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan?", tanya Ding Tao meragu dalam hatinya. Berpikir demikian, maka dia pun keluar dari ruangan menuju ke pelataran. Karena mereka tinggal beberapa hari lamanya, Zhu Yanyan memutuskan untuk berusaha menyewa satu rumah sendiri, kebetulan ada beberapa rumah kosong yang sebenarnya hendak dijual oleh pemiliknya, namun dengan kepandaian Hu Ban berbicara, mereka bisa mendapatkan satu rumah untuk disewa satu bulan lamanya. Dengan sendirinya, di pelataran dalam rumah yang mereka sewa, Ding Tao cukup leluasa untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan. Perlahan-lahan dia memulai latihan pukulan tangan kosong. Tidak terburu-buru, dia mulai dari ilmu keluarga Huang yang dia pelajari sejak dia masih sangat muda. Meskipun otot-ototnya masih belum pulih seperti sedia kala, tapi Ding Tao bisa merasakan semuanya bekerja dengan normal. Perlahan-lahan dia mulai meningkatkan kecepatan dan kekuatannya dalam melakukan jurus-jurus yang ada. Puas berlatih tanpa menggunakan hawa murni, Ding Tao pun mulai bergerak dengan jurus-jurus yang lebih rumit yang dia pelajari setelah dia menjadi Ketua Partai Pedang Keadilan. Semuanya bekerja dengan baik, semangatnya pun mulai meningkat. Teringat dengan titipan ilmu dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, maka Ding Tao pun mulai mencoba jurus-jurus yang belum pernah dia latih sebelumnya itu. Gerakannya memang masih kaku, namun dengan ingatan dan kepekaan perasaannya yang tajam, Ding Tao sudah mampu menangkap inti dari jurus-jurus yang digunakan Bhiksu Khongzhen. Meskipun tidak secepat dan setepat saat dia melatih jurus-jurus yang sudah dia kuasai, perbawa yang keluar justru lebih hebat, karena memang jurus-jurus ini adalah inti sari ilmu dari dua orang tokoh terbesar di masa itu. Tenggelam dalam latihannya, meski dia merasakan ada orang-orang yang datang mendekat, Ding Tao tak hendak menghentikan gerakannya. Lagipula dia masih belum berhasil meyakinkan benar ilmu yang baru dicobanya ini. Seperti anak kecil yang memutar-mutar tongkat besi yang berat, benar memang tenaga yang dihasilkan amat besar, semakin lama semakin besar, tapi jika berhenti mendadak atau lengah sedikit saja, maka akibatnya tongkat besi itu pun akan lepas dari tangan dan bergerak dengan liar. Demikian juga keadaan Ding Tao saat ini, baik dari segi pengerahan tenaga dan gerakan serta jurus, sudah hampir tepat benar sesuai dengan intinya, namun gerakan itu belum menyatu, belum melebur dengan dirinya. Jika dia lengah atau berhenti pada saat yang tidak tepat, niscaya tenaga besar yang ditimbulkan oleh ilmu itu akan memukul dirinya sendiri. Karena itu, kalaupun dia ingin berhenti, dia tidak berani melakukannya, tidak jika gerakannya belum selesai dilakukan sampai sempurna pada gerakan terakhir. Dalam hal ini Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang memang menghendaki ilmu itu diturunkan pada Ding Tao lewat serangan pura-pura mereka, sudah melakukan serangan dengan jurus-jurus yang urut dari awal hingga akhir. Sehingga Ding Tao pun sekarang tidaklah mengalami kesulitan untuk bergerak mengikuti ingatannya yang sudah kembali, mengikuti serangan-serangan yang dulu dilakukan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan secara urut dari awal hingga akhir. Satu per satu jurus dilakukan, bergantian antara jurus miliki Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, semuanya persis tiruan dari apa yang dialaminya saat bertarung melawan dua orang jagoan tua itu di Jiang Ling. Berselang-seling antara ilmu pedang dan ilmu pukulan, dilakukan dengan tangan kosong. Pada hakekatnya menggunakan senjata atau tidak, tidak ada bedanya dalam pelaksanaannya. Pedang menjadi perpanjangan tangan, pedang menjadi bagian tubuh. Ada orang ada pedang, meski pedang tidak ada di tangan, namun ada pedang dalam hati. Apa yang ditunjukkan Ding Tao hari ini membuat semua yang melihatnya merasa kagum. Dalam usia semuda itu, apa yang dia tunjukkan menempatkan dia dalam urutan tokoh-tokoh kelas satu dalam dunia persilatan. Akhirnya Ding Tao pun sampai pada akhir jurus yang dia lakukan, sebuah pohon tua yang sudah tumbuh puluhan tahun di halaman rumah itu menjadi sasaran ilmunya. Pohon raksasa itu pun tumbang dengan suara berderak keras, bagian yang terkena pukulan Ding Tao sudah hancur dalam keadaan remuk dan layu seperti kayu yang habis dimakan rayap. "Hebat" "Dahsyat" "Mengerikan" "Selamat Ketua Ding Tao, sepertinya keadaanmu sudah pulih sepenuhnya." Hampir bersamaan ke-enam guru Wang Shu Lin mengucapkan pujian sambil berjalan mendekat untuk melihat hasil pukulan Ding Tao. Sedikit memerah, Ding Tao menjawab. "Tidak tidak ini jurus yang diajarkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan padaku. Jurus yang hebat dan aku belum sepenuhnya menguasai jurus ini sungguh jurus yang dahsyat bila sudah dikuasai dengan benar. Tapi juga sangat sulit untuk menguasainya, menggunakan jurus ini serasa seperti menunggang seekor kuda liar yang gagah." "Oh begitu rupanya menurut Ketua Ding Tao, apakah ketua bisa menguasainya dengan sempurna saat kita sampai di Desa Hotu, kukira jika memang ada sesuatu di sana, mempersiapkan diri sebaik mungkin sangatlah penting.", ujar Hu Ban sambil berjongkok memeriksa akibat pukulan Ding Tao pada batang pohon yang besar itu. Ding Tao ikut berjongkok dan memeriksa akibat dari pukulannya. "Entahlah, aku merasa dalam hatiku, jika jurus-jurus itu bisa kukuasai dengan sempurna, seharusnya seberapa besar daya hancurnya, seberapa luas pengaruhnya, semuanya seharusnya bisa aku tentukan sekehendak hatiku." Terdiam sejenak Ding Tao kemudian berkata lagi. "Aku merasa sangat baik, jauh lebih baik daripada yang kurasakan selama ini. Tapi di saat yang sama aku juga merasa otakku tidak bekerja sebaik saat aku mulai meminum Obat Dewa Pengetahuan. Aku merasa normal dalam artian yang rasanya benar dalam hati ini, tapi tidak bisa kusangkal, sebagian besar kemajuan yang kudapatkan dalam waktu yang singkat adalah berkat obat sesat itu." "Tanpa obat itu, aku tak tahu, berapa tahun lamanya aku butuhkan untuk menyempurnakan jurus-jurus ini. Dan jika jurus ini tidak bisa kujalankan dengan sempurna, menggunakannya dalam sebuah pertarungan, tiada bedanya menunggangi seekor harimau yang lapar, setiap saat bisa saja terjadi jurus itu berbalik merugikan diriku sendiri.", kata Ding Tao dengan lambat-lambat, seakan memikirkan setiap kata-katanya baik-baik sebelum mengucapkannya. Mereka yang mendengar jawaban Ding Tao ikut tercenung, memang jurus-jurus yang diturunkan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan adalah jurus-jurus yang dahsyat. Tidak mungkin seorang biasa, menyempurnakannya dalam hitungan bulan. Kedua orang tua itu pun butuh waktu belasan bahkan mungkin puluhan tahun untuk menyempurnakannya, setelah memeras puluhan jurus dan ilmu yang pernah mereka pelajari, menjadi belasan jurus saja. Bakat Ding Tao boleh jadi lebih menonjol dibandingkan orang lain seusianya, namun tentu bukan juga berkali lipat melampaui bakat dua orang tokoh besar itu. "Kita lakukan semuanya perlahan-lahan saja, kesembuhan Ketua Ding Tao saat ini saja sudah merupakan suatu berkah yang tak terkira. Kita pikirkan langkah selanjutnya perlahan-lahan sembari kita menjalankan apa yang sudah pasti, seperti pergi ke Desa Hotu.", ujar Zhu Yanyan memecahkan keheningan. Mereka semua saling berpandangan lalu menganggukkan kepala, memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali berusaha melakukan yang terbaik. "Ketua Ding Tao aku bisa membayangkan, kau pasti ingin sesegera mungkin menyempurnakan ilmu yang diwariskan kedua tetua. Tapi lakukan segalanya setahap demi setahap, ingat tubuh kasarmu baru saja mengalami penurunan yang luar biasa. Meski himpunan hawa murnimu tak terganggu, tapi alangkah baiknya jika kau pulihkan dulu tubuhmu perlahan-lahan sebelum berlatih dengan keras.", kata Zhu Yanyan kepada Ding Tao. "Aku mengerti tetua, terima kasih untuk nasehatnya, aku akan mengingatnya baik-baik.", jawab Ding Tao dengan hormat. "Jadi kapan sebaiknya kita mulai kembali perjalanan ke Desa Hotu?", tanya Khongti. Zhu Yanyan terdiam sejenak untuk berpikir kemudian menjawab. "Baiklah kita beristirahat dua hari lagi, setelah itu perjalanan ke Desa Hotu bisa kita mulai. Dengan berjalan kaki di udara bebas, kesehatan Ketua Ding Tao juga akan cepat pulih. Yang penting lamanya perjalanan kita ukur sesuai dengan perkembangan kesehatan Ketua Ding Tao." "Bagaimana menurut ketua?", tanya Khongti pada Ding Tao. Ding Tao pun mengangguk. "Aku percaya pada penilaian tetua sekalian, kukira itu adalah satu rencana yang baik." "Baik, kalau begitu sudah kita putuskan, kita tinggal di sini dua hari lagi, untuk kemudian melanjutkan perjalanan.", ujar Zhu Yanyan disambut anggukan kepala oleh yang lain. "Sebentar lagi makanan akan aku siapkan, tapi teh hangat bisa kusiapkan sekarang juga. Mari kita masuk kembali ke dalam rumah.", kata Wang Shu Lin sambil tersenyum lega melihat kesembuhan Ding Tao. Ding Tao pun tersenyum melihat kegembiraan gadis itu, tapi kemudian dia berkata. "Kalian masuklah lebih dahulu, aku ingin berada di sini sebentar lagi. Masih ada beberapa hal yang mengganggu benakku." "Ini mengenai ilmu silatku setelah lepas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan.", cepat-cepat dia menambahkan. "Hmm baiklah kukira kau tentu ingin merenunginya sendirian, tapi ingat jangan terlalu memaksa tubuh fisikmu.", ujar Zhu Yanyan mengingatkan. Satu per satu mereka pun masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Ding Tao sendirian. Ding Tao kemudian mematahkan satu dahan pohon dan membersihkannya, meski secara kasar membentuknya seperti sebuah pedang. Puas dengan berat dan setelah menemukan titik kesetimbangannya, mulailah dia memainkan jurus-jurus pedang keluarga Huang. Kemudian beberapa jurus lain yang sempat dia pelajari, semuanya hanya gerakan-gerakan ringan tanpa pengerahan hawa murni. Semuanya bisa dia lakukan dengan lancar tanpa ada satu halangan sedikitpun, tapi entah mengapa masih ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Ding Tao. Sepertinya dia melupakan sesuatu yang penting, tapi belum bisa menemukan apa yang kurang itu. Merasa tubuhnya yang sudah lama tidak bekerja itu mulai kelelahan, Ding Tao pun menghentikan latihannya sambil menghela nafas dalam-dalam. Di sudut hati kecilnya, dia tahu ada sesuatu yang terlewatkan olehnya. Sesuatu yang penting, sesuatu yang akan sangat berpengaruh pada kemampuannya untuk menghadapi satu pertarungan besar, yang tentunya cepat atau lambat akan terjadi. Dengan langkah kaki yang sedikit berat, dengan satu ganjalan di hati, dia berjalan memasuki rumah untuk berkumpul dengan yang lain. Dengan keadaan Ding Tao yang membaik, perjalanan menuju ke Desa Hotu berjalan lebih cepat. Apalagi Ding Tao yang merasakan masih adanya ganjalan dengan pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, ingin agar dia bisa secepatnya menghilangkan ganjalan di hati itu. Di Desa Hotu ada seorang tabib dan Ding Tao berharap bisa mendapatkan jawaban dari tabib itu. Bagaimana pun juga Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mempercayai tabib itu. Berita tentang apa yang terjadi di dunia persilatan pun sampai ke telinga mereka. Kehebohan yang demikian tentu saja menyebar ke empat penjuru. Di mana ada orang persilatan, tentu akan mendengar berita itu. Kematian Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen dan berita terpilihnya Murong Yun Hua menjadi Wulin Mengzhu dengan dukungan lima perguruan besar. Berita-berita ini adalah berita besar. Dengan sendirinya Ding Tao juga menjadi salah satu berita yang menghebohkan. Untuk menghindari perhatian orang, Ding Tao pun harus menyamar. Baiknya semakin jauh mereka dari daerah selatan, semakin sedikit orang yang mengenali Ding Tao. Pemuda itu belum lama menjadi Wulin Mengzhu, sebagian besar tokoh di daerah selatan sudah mengenal pemuda itu dengan baik. Tapi mereka yang berasal dari utara, mungkin hanya satu kali melihat Ding Tao, yaitu saat pemilihan Wulin Mengzhu di kaki Gunung Songshan. Itu pun mungkin sekali hanya dari kejauhan dan dengan penampilannya sebagai seorang ketua dari partai yang besar. Meski demikian, tidak sedikit orang-orang yang menyelidiki keberadaan Ding Tao, entah mereka yang mencari jasa di depan Murong Yun Hua dan sekutunya, atau mereka yang ingin menjadi terkenal dengan menangkap Ding Tao. Mereka yang berambisi ini tentu saja bukan tokoh-tokoh sembarangan, setidaknya mereka pernah membuat nama, jika tidak mana berani mereka mencari perkara dengan orang yang diyakini berhasil mengalahkan dua orang jagoan terbesar di jaman itu. Mengingat hal itu, Wang Shu Lin dan ke-enam gurunya sepaham dengan Ding Tao yang ingin secepatnya sampai ke Desa hotu. Tentu saja dengan alasan yang berbeda dengan alasan Ding Tao. Keamanan Ding Tao jadi alasan utama, karena itulah tanggung jawab yang dibebankan Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen pada mereka semua. Terkadang Ding Tao masih tidak percaya jika Murong Yun Hua-lah yang menjadi dalang dari semua kejadian. Dalam benaknya lebih mudah baginya untuk berpikir bahwa Zhong Weixia adalah dalang yang sebenarnya dari semua kejadian itu. Jika sudah demikian maka pemuda itu akan pergi menyendiri dan jadi sangat pendiam. Yang lain tidak berani mengganggunya, karena Ding Tao juga tidak meminta pertimbangan mereka. Beberapa kali Zhu Yanyan dan yang lain, meminta agar Ding Tao lebih terbuka bila ada masalah, tapi sampai saat itu Ding Tao tidak juga bisa membicarakannya secara terbuka. Tapi perjalanan itu bukan hanya dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang buruk dan kekhawatiran. Dalam perjalanan itu, baik Wang Shu Lin maupun Ding Tao tidak melupakan latihan mereka. Meski waktu yang ada tidaklah banyak, karena hampir sepanjang hari bahkan sampai malam, waktu yang ada mereka gunakan untuk menempuh perjalanan ke Desa Hotu. Kitab pemberian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan sangat menarik hati Wang Shu Lin, tidak bosan-bosannya dia membaca dan merenungi kitab-kitab itu. Jika ada kesulitan maka dia akan datang bertanya pada enam orang gurunya. "Guru aku mengalami kesulitan untuk memahami bagian ini", demikian suatu malam Wang Shu Lin mendatangi Zhu Yanyan yang sedang berkumpul dengan lima orang gurunya yang lain di dekat api unggun. Ding Tao baru saja berpamitan pergi untuk berlatih sendirian di tempat yang lebih lega. Sekilas guru-guru Wang Shu Lin saling berpandangan, Zhu Yanyan pun kemudian melihat pada halaman yang ditunjukkan Wang Shu Lin padanya dan bertanya. "Hmm.. apa yang tidak kau mengerti?" "Murid berpikir, gerakan ini sepertinya merupakan satu kesatuan dengan beberapa gerakan sebelumnya, posisi kedua tangan memungkinkan kita untuk bergerak memukul lurus ke depan, atau bergerak menebas ke samping atau bisa juga dalam keadaan tertentu dilanjutkan seperti jurus tangkapan pergelangan tangan.", ujar Wang Shu Lin. "Hmm benar, sepertinya pemikiranmu sudah benar, tapi mungkin kau merasa aneh dengan kedudukan kaki yang sedikit merapat ini, benarkah demikian?", tanya Zhu Yanyan. "Benar guru, posisi kedua tangan sepertinya memungkinkan perubahan gerak serang yang menjangkau jarak serang yang begitu bervariasi, namun posisi kedua kaki justru merapat dan tidak memungkinkan adanya variasi pergerakan yang begitu berbeda jaraknya.", kata Wang Shu Lin membenarkan dugaan Zhu Yanyan. Mengikuti tanya jawab itu, lima orang yang lain pun ikut membaca isi kitab yang diberikan Pendeta Chongxan untuk Wang Shu Lin itu. Melihat posisi kaki yang dibicarakan Zhu Yanyan dan Wang Shu Lin, Chen Taijiang pun menyeletuk. "Itu seperti langkah kaki jurus monyet Shaolin yang biasa digunakan Kakak Khongti." "Benar, meskipun demikian ada sedikit perbedaan, Boxi, apakah kau melihat titik berat di kaki kiri dan kanan yang berbeda? Tidakkah ada salah satu jurus dalam ilmu milik Kongtong yang menggunakan variasi seperti itu?", jawab Khongti membenarkan Chen Taijiang sekaligus bertanya pada Pang Boxi. Pang Boxi mengamati gambar itu beberapa lama sebelum menjawab. "Ya kukira aku pernah melihat beberapa orang saudara seperguruan melatih ilmu langkah kaki yang mirip dengan gambar ini. Aku sendiri tidak mempelajarinya, aku lebih suka menggunakan jurus-jurus yang lurus tanpa banyak kembangan." "Apakah tidak teringat sesuatu yang bisa membantu Shu Lin?", tanya Shu Sun Er pada Pang Boxi. "Hmm kalau benar ada kemiripannya dengan ilmu langkah kaki itu, tentu akan ada lebih banyak gambar yang menjelaskan perkembangannya. Yang kutahu, perbedaan titi berat yang dikatakan Kak Khongti menjadi kunci untuk memahaminya.", jawab Pang Boxi setelah berpikir beberapa lama. "Nah Shu Lin, kau coba amati perbedaan titik berat yang dikatakan gurumu Khongti, kemudian lihat lagi gerakan-gerakan sebelum dan sesuhan gerakan ini. Mungkin kau akan mendapatkan petunjuknya nanti.", kata Shu Sun Er pada Wang Shu Lin. "Benar, kau cobalah ikuti petunjuk guru-gurumu dan pelajari lagi kitab itu, jika masih tidak menemukan jalan keluar, bolehlah kau kembali bertanya pada kami.", kata Hu Ban pada Wang Shu Lin. "Baik guru, sepertinya petunjuk guru akan memecahkan masalah ini, memang aku tidak terlalu memperhatikan masalah titik berat tubuh di kedua kaki seperti yang dikatakan Guru Khongti dan Guru Pang Boxi tadi.", jawab Wang Shu Lin dengan ceria, merasa ada jalan terbuka setelah sebelumnya membentur jalan buntu. Wang Shu Lin pun berpamitan dan pergi menyendiri untuk mempelajari isi kitab pemberian Pendeta Chongxan itu. Setelah gadis itu cukup jauh, barulah Hu Ban berkata. "Sepertinya mereka berdua saling menghindar? Jika Ding Tao sedang ada bersama kita, pasti Shu Lin mencari-cari alasan untuk mengerjakan sesuatu. Demikian juga sebaliknya.", ujar Hu Ban. "Bukan sepertinya lagi, selama perjalanan Shu Lin selalu saja menempel padaku, sudah seperti anak kecil saja.", sahut Shu Sun Er. "Heh dan Ding Tao bersikap sangat sopan padanya, benar-benar membikin aku gemas saja.", tambah Khongti menyahut. Zhu Yanyan menghela nafas. "Sudahlah urusan anak muda, kita yang tua jangan ikut-ikutan, nanti malah membuat mereka makin serba salah. Biar saja mereka selesaikan sendiri, kita cukup ikut mengamati dari jauh saja." "Sudah kubilang pada Shu Lin, jika Ding Tao ingat apa yang terjadi selama dia kehilangan daya pikirnya, tentu akan timbul keadaan seperti sekarang ini. Shu Lin merasa jengah, demikian juga Ding Tao.", keluh Shu Sun Er. "Masalah ini, Ding Tao saja yang terlalu malu-malu.", kata Pang Boxi sambil mendengus keras. "Lebih baik begitu daripada dirimu, bukannya malu-malu tapi memalukan", sahut Khongti sambil terkekeh-kekeh. Pang Boxi yang kena semprot, karuan saja menggerutu panjang lebar, disambut tawa yang lain. Suasana yang tadinya mendung jadi cerah kembali gara-gara ucapan Khongti. Setelah reda tawa mereka semua Khongti pun berucap lagi. "Yang penting kulihat baik Shu Lin maupun Ding Tao masih berjalan sesuai nilai-nilai yang benar, Shu Lin masih bisa menjaga kehormatannya dan Ding Tao juga seorang pemuda yang jujur dan tidak memanfaatkan kesempatan dalam kondisi Shu Lin saat ini." "Kak Khongti benar, tentang masalah hati, biarlah pelan-pelan terurai sendiri. Yang terpenting keduanya tidak melupakan mana yang benar dan mana yang salah. Dalam situasi apa pun mereka masih mengedepankan nurani mereka dan tidak mengikuti keinginan nafsu orang muda.", ujar Chen Taijiang membenarkan. "Kau bilang nafsu orang muda, apa kau sendiri sudah tidak memiliki keinginan sedikitpun?", tiba-tiba Khongti bertanya. Wajah Chen Taijiang pun berkerenyit sedih, tapi dia tidak kurang akal untuk menjawab. "Memang kubilang nafsu orang muda, tentang diriku sendiri, apa pernah kubilang kalau aku sudah tua. Wajahku boleh tua, tapi semangat masih anak muda." Ucapan Chen Taijiang yang berlawanan dengan raut mukanya itu sudah tentu membuat mereka yang mendengarnya jadi geli dan tertawa terbahak-bahak. Nun jauh di sana, baik Wang Shu Lin dan Ding Tao yang sedang berlatih, mendengar suara tawa mereka. Ya, selain memikirkan Murong Yun Hua, ingatan tentang kemesraan yang sempat ditunjukkan Wang Shu Lin juga ikut mengisi pikiran Ding Tao. Dalam hati sempat pula Ding Tao bertanya dengan wajah bersemu dadu dan dada berdebar, Ah siapa pula yang mereka tertawakan? Jangan-jangan mereka sedang membicarakan aku dan Nona Wang Shu Lin. Teringat dengan Wang Shu Lin, Ding Tao pun berhenti berlatih, ingatannya kembali pada masa-masa, di mana dia menganggap gadis itu sebagai isterinya. Dalam keadaan ingatannya yang sudah kembali pulih, dapatlah dia mengerti, betapa dia sudah mencampur adukkan antara kemesraan yang pernah dia jalani bersama Murong Yun Hua dengan kesalah pahaman bahwa Wang Shu Lin adalah isterinya. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam dia pun bertanya-tanya, benarkah hanya demikian? Ataukah sebagian dari hatinya sudah terpikat pula dengan kecantikan dan kelembutan gadis itu? Terutama dengan kebaikannya saat dia merawat Ding Tao dengan penuh kesabaran. Ding Tao menggeleng-gelengkan kepalanya, ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan masalah asmara. Nona Wang Shu Lin juga pasti mengerti, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuknya, pikir Ding Tao. Tiba-tiba Ding Tao pun menampar mukanya sendiri, Bodoh, apa pula yang kupikirkan ini? Beraninya aku berpikir kalau Nona Wang Shu Lin memiliki perasaan untukku. Semua yang dia lakukan adalah untuk membantuku melewati masa-masa yang sulit. Keluar dari kebaikan hatinya, tidak lebih dan tidak kurang. Aku yang sudah mengkhianati kesetiaan Ying Ying, mana mungkin dia menaruh hati padaku. Ah Ying Ying Yun Hua, mungkin sudah sepantasnya aku dikhianati Yun Hua, itu pembalasan yang pantas buatku tapi mengapa harus sampai mengorbankan saudara-saudara yang lain, pikir Ding Tao dengan sedih. Yun Hua, aku masih belum bisa menerima bahwa dia yang ada di balik semua kekejian ini. Tapi apakah dia yang menjadi otak di balik semuanya atau hanya menjadi diperalat oleh seseorang, aku tidak boleh membiarkan mereka menguasai dunia persilatan demi ambisi mereka pribadi. Tidak ada waktu untuk memikirkan masalah asmara!, geram pemuda itu pada dirinya sendiri. Ding Tao pun menghela nafas, malam sudah semakin larut, latihannya tidak menunjukkan ada masalah pada dirinya. Dengan mudah dia menjalankan jurus-jurus yang sudah pernah dia kuasai. Tentang ilmu warisan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, meski Ding Tao mengalami kesulitan, tapi setiap saat dia bisa merasakan adanya kemajuan. Tidak secepat saat dia masih berada di bawah pengaruh Obat Dewa Pengetahuan, tapi pemuda itu tidak sampai menemui jalan buntu dalam latihannya. Dia tahu tak mungkin dia bisa menguasainya secara sempurna pada saat pertemuan lima tahunan akan diadakan, tapi Ding Tao memiliki keyakinan bahwa setidaknya dia akan bisa menggunakan ilmu itu bila dia berhati- hati. Jika terpaksa dia bisa menggunakannya dengan kekuatan penuh, meski hal itu akan membahayakan dirinya sendiri selain membahayakan lawan. Ding Tao berpikir dia perlu waktu beberapa minggu lagi, sebelum dia akan meminta salah satu guru Wang Shu Lin untuk menjadi lawan latih tandingnya, di mana dia akan mencoba menggunakan ilmu yang dia dapatkan dari Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen, dengan pengerahan tenaga yang terukur. Perlahan Ding Tao menyusuti keringat yang membasahi tubuhnya, kemudian mencari tempat yang nyaman untuk bersila dan mulai bermeditasi. Bukan saja untuk meningkatkan penguasaannya atas himpuanan hawa murninya yang melonjak pesat, tapi lebih utama lagi, dia ingin menenangkan pikirannya. Membersihkannya dari segala beban pikiran yang tidak perlu. Satu malam dari sekian banyak malam-malam lain dalam perjalanan mereka ke Desa Hotu. Perjalanan mereka bisa dikatakan berjalan tanpa halangan, hanya dua atau tiga kali mereka bertemu sekelompok orang yang sedang mencari Ding Tao. Tapi mereka sama sekali tidak memberikan kesulitan yang berarti, dengan kembalinya kemampuan Ding Tao ditambah dengan Wang Shu Lin dan enam orang gurunya, dengan mudah mereka mengalahkan lawan-lawan yang berusaha menghadang mereka. Demi menghilangkan jejak, maka Ding Tao dan kawan-kawannya harus mengeraskan hati dan tidak melepaskan seorang pun hidup-hidup. Semuanya itu menambah beban di hati Ding Tao, meski hal itu dengan mudah bisa dijawab oleh akal sehatnya. "Bukan kita yang mencari masalah, tapi mereka sendiri yang mencari kematian.", ujar Pang Boxi dengan tegas saat dia melihat wajah Ding Tao yang murung setelah mereka baru saja menguburkan lawan-lawan mereka. Seorang dari mereka yang baru saja terbunuh, masih sangat muda, hampir seumur dengan Ding Tao dan Ding Tao bisa membayangkan kehidupan yang baru saja terbentang di hadapan lawannya itu. Ding Tao tidak membantah Pang Boxi, diapun bisa mengerti apa yang dimaksudkan Pang Boxi. Pemuda itu sudah memilih jalannya, dengan segala resiko yang ada, termasuk kematian. Ding Tao menghela nafas dan bergumam, bertanya. "Apakah kekuasaan dan ketenaran yang memikat dirinya? Atau keinginan untuk menegakkan kebenaran?" Khongti menjawab dengan tegas. "Kukira yang pertama, mereka bukan dari Shaolin, bukan pula berasal dari Wudang, karena jika tidak tentu aku atau Kak Zhu Yanyan akan mengenal ilmu yang mereka perguanakan. Jika mereka bagian dari keluarga Huang tentu kau mengenalnya. Atas alasan apa mereka mengejarmu, jika bukan sedang mencari nama." Zhu Yanyan lebih bersimpati pada Ding Tao dibanding saudara-saudaranya yang lain. "Aku mengerti perasaanmu, tapi inilah kenyataan dalam dunia persilatan. Orang-orang seperti mereka ada puluhan bahkan ratusan jumlahnya. Sebagian besar dari mereka mati terbunuh sebelum sempat mencapai apa yang mereka inginkan." "Ketua Ding Tao mungkin tidak banyak berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Tapi aku yakin pengikut-pengikut Ketua Ding Tao banyak berjumpa dengan orang-orang seperti mereka. Yang sampai berhadapan dengan Ketua Ding Tao sendiri, tentu hanya dedengkot-dedengkot saja dan cara mereka jauh lebih halus dan banayk perhitungan.", sambung Hu Ban dengan tenang. Ding Tao pun terdiam dan berpikir, selama dia menjadi ketua dari Partai Pedang Keadilan, memang yang lebih banyak dia lakukan adalah berlatih ilmu silat siang dan malam. Hampir seluruh urusan dikerjakan oleh para pengikutnya. Ding Tao pun menyadari betapa naifnya dia selama ini, yang dia tahu hanyalah laporan dari Chou Liang dan yang lain, bahwa masalah sudah diselesaikan. Ada berapa nyawa yang hilang dalam satu laporan yang pendek itu? Semakin lama dia berpikir, semakin dia merasa malu atas kebodohannya selama ini. Banyak sekali yang harus dipikirkan Ding Tao selama perjalanannya ke Desa Hotu, hingga pemuda itu pun mengalami banyak perubahan pada cara berpikirnya. Mendekati mereka sampai ke perbatasan, Ding Tao sudah bisa menerima kenyataan bahwa kemungkinan besar, Murong Yun Hua-lah yang menjadi dalang dibalik semuanya. Di saat yang sama, ada satu penemuan yang sedikit membesarkan hati pemuda itu, sekaligus membuat dia terharu akan kesetiaan pengikut-pengikutnya yang sudah pergi mendahului dia. Waktu itu tinggal dua hari lagi sebelum mereka akan melewati perbatasan. Sudah sejak beberapa hari sebelumnya, Hu Ban dan Khongti memberi kisikan bahwa sepertinya ada beberapa orang yang sedang mengikuti mereka. Setelah mendapatkan peringatan itu, mereka pun menajamkan pengamatan mereka dan memang benar, ada beberapa orang yang tampak mencurigakan. Sudah terbayang dalam benak Ding Tao, sebentar lagi mereka harus melenyapkan nyawa beberapa orang demi menyembunyikan jejak mereka. Dengan hati berat dia pun memulai perjalanan hari itu, pada malam sebelumnya mereka sudah menentukan jalur yang akan mereka tempuh hari itu. Ada beberapa tempat yang bagus untuk menghadang orang, entah mereka yang akan dihadang atau mereka yang akan lebih dahulu menghadang orang, tergantung situasi nanti. Keduanya sama saja, meski dalam hati Ding Tao, dia lebih memilih untuk dihadang orang daripada menghadang orang. Sebenarnya jika bisa dia ingin memberi kelonggaran pada orang, seandainya bisa dia tidak ingin membunuh mereka. Tapi kalaupun mereka membatalkan keinginan mereka untuk berusaha menangkap Ding Tao, Ding Tao dan rekan-rekan yang lain tidak mungkin membiarkan ada kemungkinan jejak mereka sampai bocor. Jadi entah mereka akan memanfaatkan jalan yang sepi untuk menghadang Ding Tao atau Ding Tao yang harus menghadang mereka, nyawa mereka harus lenyap hari itu juga. Meski tidak menyukainya Ding Tao tidak lari dari kenyataan, di saat yang sama dia juga tidak serta merta menerimanya sebagai satu kewajaran. Ding Tao merenungkan keadaannya, dia bergumul dengan konflik antara dua hal yang bertentangan ini. Terkadang dia berpendapat, reputasi, nama besar, menjadi ahli pedang nomor satu, mungkin bisa membuat dia terhindar dari masalah ini. Di lain pihak, Ding Tao juga sadar reputasi dan nama besar, mengundang orang untuk merebutnya. Apakah seseorang yang terjun dalam dunia persilatan, sama artinya dengan mengikuti arus bunuh membunuh yang tiada hentinya sampai mereka meninggalkan dunia itu? Entah lewat acara cuci tangan di baskom emas, atau meninggalkannya dengan tubuh dingin tak bernyawa. Bahkan pada akhir hidupnya tokoh sebesar Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen pun tak bisa lepas dari lingkaran bunuh membunuh itu, meski selama belasan bahkan puluhan tahun sepertinya mereka sudah bisa lepas dari jeratan itu. Sekarang Ding Tao sudah terjerat dalam lingkaran yang tidak dia inginkan. Dia menyadari betul hal itu sekarang ini, sebelum pengkhianatan Murong Yun Hua, dengan naifnya dia menyangka dia tidak ikut terjerat dalam lingkaran bunuh membunuh yang tidak ada habisnya. Tapi sekarang matanya sudah terbuka, meski tangannya tidak ikut berlumuran darah, secara tidak langsung dia sudah berada dalam lingkaran itu bahkan jauh sebelum dia menjadi ketua dari Partai Pedang Keadilan. Dia sudah mulai terjerat begitu dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik dari Wang Chen Jin. Bukankah saat dia melarikan diri dari Wuling dia sudah mulai melumuri tangannya dengan darah? Tapi untuk sekilas dia seperti mendapatkan harapan, saat dia berhasil mengubah lawan menjadi kawan, saat dia bertarung untuk kedua kalinya dengan Sepasang Ibils Muka Giok. Adakah sebuah ilmu, untuk mengalahkan lawan tanpa harus membunuhnya? Mungkinkah dia sampai pada tingkatan setinggi itu atau tidak ada tingkatan setinggi itu? Tanpa pedang di tangan, ada pedang di hati? Apakah itu tingkatan yang tertinggi yang bisa dicapai seseorang? Tapi itu artinya, dia semakin lihai dalam membunuh lawan-lawannya, bahkan ketika tidak ada pedang di tangan pun dia bisa membunuh lawannya dalam satu tebasan yang tidak terlihat. Sejak melihat jurus-jurus yang disarikan dari ilmu Shaolin dan Wudang, yang dia warisi dari Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan lewat sebuah pertarungan. Pikiran Ding Tao mulai terbuka pada tahap akhir, yang banyak dikatakan para tetua dan tokoh-tokoh dunia persilatan, namun hanya beberapa orang dalam puluhan generasi yang bisa dikatakan telah benar-benar sampai pada tahap itu. Tokoh-tokoh yang dalam sejarah kehidupannya hampir-hampir tak pernah terkalahkan dalam setiap pertarungan. Sekalipun demikian keraguan mulai merasuki hati Ding Tao. Kali ini dia tidak memiliki seorang guru, di mana dia bisa bertanya, apakah dia sudah sampai pada tahap itu atau belum. Hanya penilaiannya pada diri sendiri saja yang bisa memutuskan, adakah dia benar-benar sampai di sana atau belum. Ini adalah perjalanan menuju ke daerah, di mana tidak ada orang lain yang pernah sampai ke sana. Seandainya Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan masih hidup, mungkin akan berbeda, Ding Tao masih bisa bertanya pada mereka. Dua orang tetua yang dipercaya telah sampai di tahap itu, meski mereka berdua sendiri belum pernah mengakuinya. Setiap kali dia dihadapkan pada situasi di mana dia harus membunuh atau dibunuh, seperti saat ini, tentu pertanyaan yang sama akan bergema di benaknya. Zhu Yanyan dan guru-guru Wang Shu Lin yang lain pun tidak bisa membantu Ding Tao untuk memberikan jawaban yang memuaskan. Beberapa hari terakhir Ding Tao lebih sering menyendiri, pergumulan batinnya ini bahkan lebih menyita tenaga dan pikiran dibandingkan hal-hal lainnya. Ini bukan kehidupan yang dia inginkan, tapi bila dia menghindarinya, sama juga artinya dia memilih menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Itu pun bukanlah jenis kehidupan yang dia inginkan. Sembari bergumul dengan dirinya sendiri, akhirnya Ding Tao dan yang lain pun sampai di bagian yang sepi dari jalan yang mereka pilih. Ding Tao, Wang Shu Lin dan Zhu Yanyan berjalan bertiga saja, sementara yang lain bergerak dengan hati-hati membayangi mereka berdua dan seperti yang mereka harapkan, orang-orang mencurigakan yang sudah mengikuti mereka selama berhari-hari muncul. Otot dan syaraf Ding Tao sudah menegang, bukan karena rasa takut, juga bukan karena dia bersiap untuk bertarung. Ding Tao tidak merasakan tekanan seperti saat dia menghadapi lawan yang setanding. Nalurinya mengatakan dia bisa mengalahkan mereka dengan cepat. Ketegangannya muncul karena dia tahu apa yang harus dia lakukan setelah dia mengalahkan mereka, karena tidak cukup hanya dengan mengalahkan lawannya, dia harus bertindak lebih jauh lagi. Tapi tiba-tiba terjadilah hal yang mengejutkan, belasan orang yang menghadang jalan mereka itu tiba-tiba meletakkan senjata mereka di tanah dan membungkuk hormat di depan Ding Tao, serempak mereka berkata. "Hormat pada Ketua Ding Tao." Tertegun di tempatnya Ding Tao membalas penghormatan mereka dengan hati-hati. "Salam saudara, bolehkah aku tahu apa alasan kalian menghadang jalan kami?" Salah seorang dari mereka maju ke depan dan berkata. "Ketua Ding Tao, namaku Shin Su, kami semua adalah bagian dari Partai Pedang Keadilan yang dirahasiakan dari semua orang, termasuk dari Ketua Ding Tao sendiri." "Tunggu, apa maksud kalian bagian rahasia dari Partai Pedang Keadilan? Apakah maksud kalian, kalian termasuk bawahan Guru Chen Wuxi? Dan mengapa aku tidak tahu tentang kalian?", tanya Ding Tao tak mengerti. Sementara Zhu Yanyan dan yang lain pun cukup terkejut dengan perkembangan ini dan hanya diam mendengarkan di tempat masing-masing. Mereka yang bersembunyi, tetap menunggu perkembangan selanjutnya. "Bukan, kami bukan bagian dari organisasi rahasia di bawah Guru Chen Wuxi. Kami dibentuk secara rahasia oleh Tuan Chou Liang dan hanya Tuan Chou Liang sendiri yang tahu tentang keberadaan kami.", jawab Shin Su. "Tuan Chou Liang berpendapat bahwa, meski segala sesuatunya terlihat berjalan lancar, Partai Pedang Keadilan harus punya satu rencana untuk menghadapi segala macam keadaan, termasuk keadaan terburuk sekalipun. Karena itu diam- diam dia memilih dan mencari 50 orang dan melatih mereka diam-diam. Tidak ada seorang pun yang tahu mengenai keberadaan kami kecuali Tuan Chou Liang seorang.", ujar Shin Su menjelaskan. Ding Tao pun menggelengkan kepala tak percaya. "Bagaimana mungkin Chou Liang bisa melatih kalian? Sementara dia sendiri baru-baru saja sedikit belajar mengenai ilmu silat?" Terlihat wajah Shin Su sedikit tersipu dan dia menjawab. "Kami pun demikian, sebelum Tuan Chou Liang merekrut kami, sebagian besar dari kami tidak paham sedikitpun dengan ilmu silat, sejak dipilih hingga sekarang, kira-kira lamanya barulah setengah tahun kami berlatih dan apa yang kami bisa, hanyalah satu pelajaran dasar yang terus diulang-ulang. Hanya diriku sendiri yang pernah belajar selama beberapa tahun sebelum Tuan Chou Liang merekrutku menjadi bagian dari kelompok ini." "Oh rupanya demikian", ujar Ding Tao tanpa bermaksud menghina. "Tapi Ketua Ding Tao, apa yang tidak kami miliki dalam hal ilmu silat, kami memiliki kelebihan dalam bergerak secara rahasia, mengumpulkan informasi, menggunakan racun dan di atas segalanya, kami dilatih untuk berpikir dengan cepat, terperinci dan beradaptasi dengan segala macam situasi.", ujar Shin Su cepat-cepat, seakan takut membuat Ding Tao kecewa. "Ya, ya, aku yakin Chou Liang tidak sembarangan membentuk satu kelompok khusus seperti kalian. Hanya saja, ini sungguh di luar dugaan. Adakah kalian memiliki satu tanda untuk membuktikan kebenaran perkataan kalian?", ujar Ding Tao dengan hati-hati. Mendengar pertanyaan Ding Tao, wajah Shin Su menjadi sedikit lebih cerah, cepat dia maju dan memberikan satu surat pada Ding Tao. "Tuan Chou Liang tidak pernah berharap, kami akan bertemu muka dengan Ketua Ding Tao, karena itu artinya telah terjadi sesuatu pada Tuan Chou Liang dan juga orang-orang kepercayaan Ketua Ding Tao yang terpercaya." "Seharusnya jika terjadi sesuatu pada Tuan Chou Liang, sehingga dia tidak bisa meneruskan kewajibannya pada Ketua Ding Tao, kami harus pergi terlebih dahulu pada Nyonya Murong Yun Hua, Tuan Ma Sonquan, lalu di urutan berikutnya, Tuan Pendeta Liu Chuncao, Tuan Fu Tong dan Tuan Wang Xiaho. Tapi sekarang", Shin Su pun tidak berani melanjutkan ucapannya. Ding Tao mengangguk dengan sedih, tapi mereka semua sekarang telah mati dan yang masih hidup adalah pengkhianat dari Partai Pedang Keadilan, demikian pikirnya dengan sedih. Perlahan-lahan dibukanya surat yang diberikan Shin Su, jelas sekali itu adalah tulisan Chou Liang, di dalamnya Chou Liang menjelaskan kelompok rahasia yang dia bentuk itu, satu senjata rahasia terakhir bagi Partai Pedang Keadilan. Seharusnya kelompok itu akan terus dilatih sampai menjadi kelompok elit dalam Partai Pedang Keadilan. Mereka memang sepenuhnya akan berada dalam kekuasaan Chou Liang dan di luar tahu semua anggota yang lain termasuk Ding Tao sendiri. Hanya bila terjadi sesuatu dengan dirinya, mereka akan membuka diri pada orang-orang yang sudah dipilih Chou Liang untuk menggantikan dirinya. Jumlah orang-orang ini sendiri sangatlah sedikit dan mereka adalah orang-orang yang sudah diperiksa Chou Liang berkali-kali sampai Chou Liang benar-benar merasa yakin pada kesetiaan mereka terhadap Ding Tao. Dengan demikian, bahkan bila terjadi kebocoran yang hebat, di mana kelompok rahasia yang berada di bawah Guru Chen Wuxi ikut terbongkar, selama masih ada pimpinan dari Partai Pedang Keadilan yang hidup, mereka masih ada kekuatan yang tersimpan untuk menjadi modal bagi mereka bangkit kembali. Selain menjelaskan tentang keberadaan mereka dan tujuan dibentuknya kelompok ini, Chou Liang masih menyertakan beberap hal yang hanya diketahui Chou Liang dan Ding Tao sebagai bukti bahwa surat ini benar-benar berasal dari Chou Liang. Membaca surat dari Chou Liang itu, Ding Tao pun merasa sangat terharu. Betapa dia memiliki pemikiran yang jauh ke depan dan begitu teliti, hingga untuk keadaan yang di luar dugaan pun, Chou Liang sudah mempunyai satu persiapan. Lama Ding Tao terdiam dan menyesali kebebalannya selama ini, tidak seharusnya ada orang-orang berbakat seperti Chou Liang, yang sampai kehilangan nyawa karena ketidak mampuannya untuk menjadi ketua dari sebuah perkumpulan yang besar. Selama menjadi ketua, yang dia tahu hanyalah berlatih ilmu silat saja. Chou Liang dan yang lainnyalah, yang berpikir dan bekerja untuk membentuk dasar bangunan dari perkumpulan yang mereka dirikan. Mengeluhlah Ding Tao perlahan. "Ah sungguh aku ini tidak pantas kalian panggil sebagai ketua Chou Liang Chou Liang seharusnya kaulah yang menjadi ketua aku ini lebih pantas menjadi pesuruhmu saja." Mendengar keluhan Ding Tao, Shin Su cepat menjawab. "Tidak, itu tidak benar. Tentang hal ini pun Tuan Chou Liang sudah pernah membahasnya dengan kami. Ketua Ding Tao memiliki jiwa yang besar yang diperlukan sebagai seorang pemimpin. Kekurangan Ketua Ding Tao adalah ketidak mampuan atau ketidak mauan Ketua Ding Tao untuk melihat dunia dan orang-orang dengan pandangan yang lebih dekat pada kenyataan. Ketua Ding Tao memiliki impian, memiliki satu gambaran akan dunia yang ideal." "Hal itu diperlukan seorang pemimpin, tapi dia tidak akan menjadi pemimpin yang baik jika dia tidak mau melihat kenyataan yang sebenarnya. Dia hanya akan menjadi seorang pemimpi, bukan pemimpin. Tapi Tuan Chou Liang percaya, dengan berjalannya waktu Ketua Ding Tao akan sampai pada pengertian yang benar. Tahu yang mana impian dan mana yang kenyataan, baru setelah itu, Ketua Ding Tao akan mulai berpikir, bagaimana untuk mencapai yang diimpikan dari apa yang ada dan nyata saat ini.", ucap Shin Su panjang lebar menjelaskan, dari cara dia menjelaskan terlihat jelas bagaimana Chou Liang berhasil menanamkan keyakinan itu pada orang-orang pilihannya. Di sini terlihat kelebihan Chou Liang, dia tahu bagaimana menilai orang, tahu orang seperti apa yang harus dia pilih dan dia tahu pula cara membentuk mereka menjadi orang-orang pilihan yang sesuai dengan apa yang dia butuhkan. "Tuan Chou Liang juga berkata, jika sampai kami pada situasi di mana kami harus menemui Ketua Ding Tao, maka pada hari itu, tentunya apa yang dialami Ketua Ding Tao akan membuat Ketua Ding Tao satu langkah lagi lebih dewasa dan lebih siap untuk menjadi ketua yang sebenarnya dari Partai Pedang Keadilan.", ujar Shin Su setelah membiarkan Ding Tao terdiam dan berpikir sendiri beberapa lama. Mendengar uraian Shin Su, Ding Tao seakan mendapatkan satu kekuatan baru. Apa yang dia gumuli selama ini, memang dia belum mendapatkan jawabannya. Tapi satu hal yang dia tahu, dia tidak boleh lari dari tugas dan tanggung jawabnya. Dia memang belum bisa melepaskan diri dari lingkaran bunuh membunuh yang menghiasi dunia persilatan. Tapi menghilang dari dunia persilatan dan lari dari tanggung jawab yang dia pikul, bukanlah jawabannya. Ada orang-orang yang sudah mempercayakan hal itu padanya dan mereka saat ini sudah tidak hidup lagi di dunia ini untuk melakukan perubahan. Apa pun yang membuat mereka memilih untuk mengikuti dirinya, sekarang mereka bahkan sudah tidak bisa memilih lagi.Kemudian, di depannya masih ada orang-orang yang melanjutkan impian yang sama dan mereka ini pun menaruh harapan di pundaknya. Dia tidak akan bisa melepaskan diri dari beban ini tanpa melanggar hati nuraninya sendiri. Dia berhutang pada Chou Liang, Ma Songquan dan yang lain. Dia berhutang pula pada Shin Su dan kawan-kawannya. Lalu datanglah perubahan itu, perubahan itu tidak terlihat dengan mencolok, namun mereka yang saat itu berada di tempat itu dan menyaksikan peristiwa itu, bisa merasakan perubahan yang terjadi pada diri Ding Tao. "Shin Su, dari surat ini dan dari yang kalian katakan, jumlah kalian seluruhnya ada 50 orang, benarkah itu?", tanya Ding Tao. "Benar, benar sekali Ketua.", jawab Shin Su dengan bersemangat, dia pun bisa merasakan perubahan yang sedang terjadi dalam diri Ding Tao. "Baiklah, perintah pertamaku pada kalian, usahakan sebaiknya agar jumlah itu tidak berkurang. Aku tidak mau ada satu korban pun yang jatuh dari kelompok kalian.", ujar Ding Tao dengan berwibawa. "Kami mengerti ketua", jawab Shin Su dengan terharu. Ding Tao terdiam sejenak, dia seperti berusaha memahami apa yang sebenarnya dirasakan Shin Su dan kawan-kawannya, kemudian dia berkata pula. "Tidak, kau belum benar-benar mengerti. Ini bukan hanya karena aku menganggap kalian sebagai kawan seperjuangan, yang sesungguhnya memang itu yang kurasakan. Tidak, bukan karena itu aku meminta kalian untuk menjaga agar tidak ada satu pun korban yang jatuh dari antara kalian." "Karena pengorbanan itu sesuatu yang pasti akan terjadi. Hal itu sudah terjadi dan akan terjadi lagi, dalam sebuah perjuangan korban nyawa adalah sesuatu yang sulit dihindari. Meski aku tidak menginginkannya terjadi.", ujar Ding Tao sembari mengenang kematian mereka yang telah berkorban demi dirinya. "Aku memerintahkan hal itu pada kalian, karena saat ini kekuatan kita sangatlah lemah. Aku membutuhkan tiap-tiap kalian, aku tidak mau satu pun dari kalian berkurang, kecuali telah tiba saatnya kita bersama-sama mengadu nyawa dengan lawan.", ujar Ding Tao sambil matanya bergerak memandang mereka yang ada di hadapannya seorang demi seorang. "Mengertikah kalian?", tanyanya dengan lantang. Dan mereka pun menjawab dengan penuh semangat. "Kami mengerti Ketua!" "Bagus, sekarang aku hendak bertanya pada kalian, dari mana kalian bisa mengendus jejak kami?", tanya Ding Tao pada mereka. "Sejak awal terjadinya peristiwa di Jiang Ling, kami selalu mengendus-endus kabar yang berkaitan dengan menghilangnya Ketua Ding Tao.", ujar Shin Su memulai penjelasannya. "Beberapa minggu yang lalu, kami mulai mendengar kabar tentang menghilangnya sekelompok orang yang berusaha mencari nama dengan membunuh Ketua Ding Tao. Kemudian desas-desus yang sama kami dengar beberapa kali lagi. Ketika kami memeriksa di mana terakhir kali kelompok-kelompok itu terlihat, maka kami melihat adanya satu pola." "Menganalisa pola itu, kami melihat ada satu kemungkinan bahwa Ketua Ding Tao dan mereka yang membantu ketua bergerak ke arah perbatasan di utara, jadi kami pun berangkat dan berusaha menelusuri jejak Ketua dan memperkirakan jalur yang ketua ambil dari pola yang kami dapat tersebut.", jawab Shin Su menjelaskan, dari cara dia menjelaskan, terlihat jelas dia cukup merasa bangga dengan hasil pemikirannya dan kawan-kawannya. Ding Tao pun merasa kagum dengan penalaran mereka, sekaligus khawatir. Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo