Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 24


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 24


Pendekar Satu Jurus Karya dari Gan K L   "Hehehe, kukira siapa? Rupanya Tonghong saauhiap berdua?"   Seru Jit-giau tui-hun sambil terisi dingin.   "sejak kapan kalian belajar melukai orang dengan cara menyergap dari belakang? Kepandaianmu ini sungguh sangat mengagumkan."   Nadanya keras, ucapannya tajam. memang tak malu dia disebut seorang kawakan Kangouw. Sedingin salju air muka Tonghong-hengte mereka tidak terpengaruh oleh sindiran itu.   "Hm, masih terhitung sungkan caraku menghadapi manusia yang suka main licik, kalau tidak apa kaukira ada kesempatan bagimu untuk bercakap-cakap dengan kami berdua?"   Kata Tonghong Kang ketus.   "Hahaha, kalau begitu, aku harus berterima kasih atas kemurahan hati kalian!"   Jit-giau-tui hun Na Hui liong tertawa lantang.   "Kurangi sikap tengikmu itu di hadapan kami tak perlu bersilat lidah,"   Kata Tonghong 0uw.   "coba terangkan apa maksudmu memerintahkan anak buahmu menyebarkan kata-kata busuk? jika tidak kau terangkan, hm, boleh kau rasakan ujung pedangku, aku tak akan bersikap sungkansungkan lagi seperti tadi."   Jit-giau-tui-hun Na Hiu-hong seolah-olah bingung dan menunjukkan wajah tidak mengerti.   "Hei, persoalan apa yang kau maksudkan"   Serunya.   "aku tidak mengerti akan perkataanmu itu."   Tonghong Kang tertawa dingin "Hehehe, di depan anak buahmu kau telah mengaku terus terang sekarang kau mau mungkir lagi? Ayo jawab, bukan kah mereka yang mencaci maki kami dari tempat persembunyiannya adalah anak-buahmu?"   Jit giau-tuj-hun Na Hui-hong menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba ia mengangguk.   "Benar, mereka adalah anak buahku dan akulah yang memerintahkan mereka berbuat demikian!"   Pengakuan yang terus terang ini malah membuat semua orang melengak, siapapun tidak menyangka dia akan bersikap demikian. Tonghong-hengte saling pandang sekejap kemudian Tonghong Kang menggetarkan pedangku dan berseru dengan marah.   "Bagus, kalau memang engkau yang menjadi dalangnya, ada dua cara boleh kau pilih, Pertama, berlutut di depan kami dan minta maaf, kedua, cabut senjatamu dan berduel dengan kami!"   Air muka Jit-giati-tui-hun sama sekali tidak berubah, dia malah bertanya.   "Ke mana perginya orang-orang itu? Sudah mati semua di ujung pedang kalian?"   "Mereka kan cuma menjalankan perintahmu, tentu saja kami tak bisa menyalahkan mereka"   Kata Tonghong Kang.   "Tapi aku juga hanya menjalankan perintah orang, apakah kau akan menyalahkan diriku?"   Mencorong sinar mata Tonghong Kang, hardiknya "Perintah siapa? siapa yang memberi perintah padamu? Apakah Sin-jiu Cian Hui, atau..."   Tiba-tiba ia membungkam seperti tak sengaja mengerling sekejap ke arah Hui Giok. Jit-giau tui hun Na Hui-hong menengadah dan terbahak-babak "Yang memberi perintah kepadaku bukan orang lain, ialah ayahmu sendiri, Tonghong-pocu!"   Mula-mula Tonghong hengte tertegun menyusul sambil menggetarkan pedang mereka membentak gusar "Keparat, kau berani mempermainkan kami! Cabut pedangmu dan bersiaplah menerima kematianmu."   Jit giau tui-hun kembali menengadah sambil tertawa tergelak "Hahaha! kalau kalian percaya pada perkataan orang lain, kenapa tidak percaya pada perkataanku Aneh benar!"   Setelah berhenti tertawa, lalu katanya lagi "Nah masa kalian boleh percaya setiap perkataan tanpa bukti? Memangnya aku Na Hui-hong adalah manusia macam begitu?"   Dengan tertegun kedua saudara Tonghong kemudian saling pandang sekejap, pelahan pedang mereka diturunkan. Leng Han-tiok tertawa dingin.   "Tajam benar mulut orang ini!"   "Ya, manusia begini memang tak bisa melakukan pekerjaan baik, justeru pekerjaan busuk tak habisnya dilakukan, memang paling sulit melayani orang seperti ini,"   Sambung Leng Ko bok.   Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara nyaring, tapi Jit-giau-tui-hun pura-pura tidak mendengar, sementara itu kedua saudara Tonghong sudah menyimpan kembali pedangnya dengan tersipu-sipu setelah melirik sekejap ke sekeliling tempat itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dan situ.   Na Hui-hong terbahak-bahak, kesempatan itu di gunakan mengejek lagi "Tonghong-siauhiap, lain kali bila hendak menuduh orang, jangan lupa memberi kabar dulu kepadaku."   Tonghong Ouw putar badan dengan marah tapi cepat ditarik pergi Tonghong Kang, Bagaimanapun mereka berdua memang anak murid golongan putih, cuma sayang pengalamannya masih cetek.   Seperginya kedua orang itu, Na Hui-hong juga berhenti tertawa, katanya seraya berpaling "Bengcu akan berdiam di sini ataukah akan melanjutkan perjalanan?"   "Aku bermaksud mencari rumah penginapan"   Jawab Hui Giok setelah berpikir sebentar. Na Hui-hong tersenyum, katanya..   "Jangan harap Bengcu akan mendapatkan rumah penginapan, bukan saja semua hotel di kota Han ko sudah penuh, penginapan di kota Han yang pun tak ada kamar kosong"   "Lantas.."   Dengan dahi berkerut Hui Giok melirik sekejap ke arah kedua Leng bersaudara.   Na Hui-hong tersenyum "Di luar kota sana ada sebuah rumah kosong apakah Bengcu bersedia menginap di sana? Bagaimanapun jua dalam beberapa hari semua urusan tentu akan beres."   "Bagus, Cuma..."   Sebelum selesai ucapan Hui Giok, mendadak nampak empat ekor kuda berlari datang, semua orang yang berkerumun di jalan raya segera menyingkir ke samping.   Keempat penunggang kuda itu adalah laki-laki kekar berwajah kereng, terutama laki-laki yang berada paling depan, pada tangan kanannya memegang sebuah panji besar berhuruf kuning dengan dasar hitam panji itu berkibar terembus angin.   Hui Giok mundur beberapa langkah, ia lihat panji itu bersulamkan delapan ekor naga emas yang saling bergumul, di tengahnya tertera sebuah huruf "Tham"   Yang besar.   "Pantas semua jago persilatan memberi jalan"   Batinnya.   "rupanya orang kepercayaan Liongheng put-ciang yang datang."   Begitu merapat ekor kuda itu berada di tengah jalan raya, penunggang yang berada paling depan itu lantas berseru dengan lantang.   "Tham-congpiau-tau ada perintah, semua saudara yang tergabung di bawah komando Hui liong-ki harap segera bebenah setiap saat siap menanti perintah untuk berangkat. Kegaduhan kembali terjadi ada yang dari jalan raya segera lari masuk ke rumah, ada pula yang dari dalam rumah lari ke jalan, banyak suara berkumandang di sana-sini. Perintah diteruskan ujung jalan yang lain, k lainnya lagi hingga d^"   Garan seruan itu "BemgcuP fcatn ngan mata berki1 kt muna?" *********************** Hal 39 robek sebagian *********************** dunia persilatan, katanya Bengcu mempunyai sakit hati yang amat besar pada Tham Beng, entah bagaimana rencana Bengcu selanjutnya? Apakah membutuhkan bantuan Siaute?" *********************** Hal 40 robek sebagian *********************** Ia tertawa parau.   "Bagaimana pun perkenankanlah Siaute membawa Bengcu ke tempat peristirahatan"   Baru selesai ia berkata. sudah ada belasan laki-laki yang berkerumun dan empat penjuru, mereka menjura seraya berkata.   "Hamba pun anggota Perserikatan orang orang Kanglam, karena kedudukan yang rendah selama ini tak berani berbicara dengan Bengcu. kalau Bengcu bermaksud menginap disini, hamba rela memberikan kamar kami untuk Bencu."   Sikap orang2 itu bukan saja sangat menghormat, bicaranya juga gugup dan takut, seperti seorang murid yang berbicara dengan gurunya yang kereng.   Kembali sinar mata Jit-giau tui-hun berkilat, tampaknya ia heran mengapa orang2 itu begitu hormat terhadap Hui Giok.   "Tidak perlu, aku telah menyiapkan tempat penginapan untuk Bengcu toako!"   Katanya dengan tersenyum. Belasan orang itu menghela napas panjang, seolah-olah merasa kecewa karena tak dapat menyumbang baktinya bagi Hui-taysianseng. Hui Giok sangat terharu, dengan rasa terima kasih yang meluap dia berkata.   "Terima kasih banyak atas perhatian saudara sekalian, terima... terima kasih."   Sekalipun hanya dua patah kata yang sederhana, tapi lantaran diutarakan oleh seorang Bengcu seperti Hui Giok, kata-katanya itu menimbulkan perasaan puas dalam hati orang-orang itu.   Diam-diam Leng kok siang bok menghela napas.   mereka merasa bangga dan gembira.   Selama hidup kedua orang ini tak pernah menikah, apalagi punya anak, juga tak punya murid dan tak punya teman, tapi sekarang mereka telah menganggap Hui Giok sebagai putranya, muridnya, sanaknya dan kawannya.   Tentu saja mereka ikut gembira menyaksikan orang lain bersikap menghormat kepada Hui Giok, tapi teringat keadaan sendiri yang sengsara dan selama hidup belum pernah mengalami keadaan seperti itu timbul juga rasa sedihnya.   Habis Hui Giok bicara, belasan orang itu serentak memberi hormat, sampai lama sekali mereka masih berdiri di situ "Menyingkir!"   Tiba-tiba Leug Han-tiok membentak berbareng itu terdengar desingan angin tajam mendesir-desir, puluhan anak panah bagaikan hujan menyambar tiba, ada yang mengarah Hui Giok ada yang mengincar Na Hui-hong, malah ada pula yang mengarah belasan orang yang sedang memberi hormat itu.   Hui Giok terkesiap, ia berpekik nyaring, bukan menghindar dia malah menerjang ke arah datangnya hujan anak panah itu.   Baginya bukan saja sulit untuk menghindari serangan anak panah ini, tapi kawanan laki-laki itu pasti akan terluka oleh serangan anak panah sekarang ia menyongsong datangnya serangan itu, sudah tentu tindakan ini sangat membahayakan jiwanya sendiri.   Begitulah, dalam sekejap mata puluhan batang anak panah yang meluncur tiba itu mengancam sekujur badannya Tanpa pikir panjang Leng-kok-siang-bok ikut menerjarg ke muka, sementara kawanan laki-laki itu ada yang berguling ke samping untuk menyelamatkan diri ada pula yang ikut menerjang maju untuk menyelamatkan Hui Giok dengan mengumpankan diri di depan pemuda tersebut.   Pekikan Hui Giok terasa menggema diangkasa, secepat kilat ia lepaskan pakaiannya, di antara deru angin yang menyambar-nyambar, sebagian besar anak panah itu berhasil disapu rontok, sedang sisanya karena terpengaruh oleh daya tolak bajunya dengan mudah bisa dihindari.   Perubahan ini terjadi tanpa pertanda sebelumnya dan berakhir dalam sekejap, saat itulah jeritan kaget baru terdengar di sana sini.   Sekilas perasan terima kasih terlintas pada wajah jit-giau-tui-hun, sementara itu dari atap rumah tampak ada puluhan orang laki-laki bertengger di sana, di antaranya ada dua orang berbaju hijau, sedang lainnya memakai baju berwarna kuning tangan masing-masing memegang busur, tapi entah bagaimana tak seorang pun membidikan panah lagi, semuanya hanya memandang ke arah Hui Giok dengan tercengang.   Keadaan Hui Giok kini cukup mengenaskan bukan saja jubah panjangnya koyak-koyak karena digunakan untuk menghalau anak panah, malah baju yang menempel di tubuhnya juga robek karena terburu-buru membuka baju tadi.   Ujung baju yang robek berkibar terembus angin, meski rasa kaget masih nampak menghiasi wajahnya, tapi dalam pandangan semua orang, tiada orang seagung dia pada saat itu.   Na Hui-hong membentak dan segera hendak melompat ke atap rumah, tapi sebelum berbuat demikian laki-laki yang berada di atas atap rumah telah melompat turun dan semuanya berlutut.   Perlahan Hui Giok menghela napas.   "Ai, mengapa kalian berbuat demikian? sekalipun merasa dendam kepadaku, buat apa melukai orang lain yang tak berdosa?"   Na Hui liong memburu maju, serunya dengan lantang "Mereka semua adalah anak buah Kim keh-pang, dua orang yang berbaju hijau adalah Pembantu Siang It-ti, Keh-gan (mata ayam) Put keh-hengte (Pui bersaudara)."   Seperti memahami sesuatu, Hui Giok manggut-manggut dan menghela napas.   "Rupanya kalian ingin balas dendam bagi Pangcumu Ya, aku tidak menyalahkan kalian, meski usahamu gagal tapi, Ai pergilah kalian, lain kali toh masih ada kesempatan untuk mewujudkan keinginan kalian ini."   Tak seorang pun di antara anggota Kim keh-pang itu berani menengadah, wajah mereka ratarata memancarkan penyesalannya yang tak terhingga, bahkan ada di antaranya mereka meneteskan air mata saking terharunya, mereka menyembah dan minta maaf.   Pui It-ji, salah seorang dari dua Pui bersaudara yang termasuk dalam kelompok Keh-gan (muta ayam) berkata dengan kepala tertunduk.   "Hamba sekalian tak tahu Hui-taysianseng ternyata begini mulia, begini bijaksana, hingga kami berani melakukan perbuatan semacam ini. Kami tahu salah dan bersedia menerima hukuman dan Bengcu."   Pui It-oh, saudaranya, juga berkata.   "Bengcu begini bijaksana, hamba sekalian tak berani berkhianat lagi, setelah menjalani hukuman, sekalipun Bengcu tak sudi, hamba tetap siap mengabdi dan berbakti bagi Bengcu."   Hui Giok menghela napas panjang.   "Ai, kalau memang begitu, cepat kalian bangun, salju amat dingin, jangan sampai merusak kesehatan kalian". Angin memang dingin dan berembus kencang baju Hiu Giok yang compang-camping tertiup berkibaran bagaikan bunga2 salju, seorang laki-laki itu cepat melepaskan jubah panjangnya dan diangsurkan ke hadapan Hui Giok. Tak seorang pun di antara mereka yang bersuara, sebab rasa terharu yang bergolak dalam hal mereka tak terkatakan dalam keadaan begtu jangankan cuma melepaskan jubah luar, sekalipun kepala mereka dipenggal pun tak akan ada yang menolak. Dengan termangu Hui Giok mengawasi laki2 di hadapannya serta anggota Kim-keh-pang lainnya yang masih berlutut di tanah, serunya dengan terharu.   "Kalian... kalian.."   Tenggorokannya seperti tersumbat dan tak sanggup berucap pula, semua orang menyaksikan adegan ini dan menghela napas terharu, hanya Jit giau tui-hun yang diam2 tundukkan kepalanya entah merasa sedih atau timbul rasa menyesalnya? o o-o Hujan salju sebentar turun dengan derasnya |dan sebentar berhenti, lapisan salju yang menyelimuti permukaan tanah sudah menumpuk sangat tebal.   Lapisan salju di luar kota jauh lebih tebal daripada di dalam kota empat penjuru yang terlihat hanya warna putih belaka.   Bila senja tiba, dunia yang berwarna putih keperak-perakan lantas berubah menjadi putih kelabu kalau tengah malam, yang tertampak bahkan hanya kelabu yang suram, dalam keadaan begini sukar untuk membedakan manakah tanah ladang, manakah pepohonan dan manakah perumahan.   Keheningan menyelimuti seluruh penjuru dunia, di depan sebuah kuil yang kecil berdiri seorang anak perempuan berusia empat-lima belas tahunan yang bertubuh ramping.   Dalam keheningan malam yang dingin ia tampak begitu kesepian dan sebatangkara.   Dalam ruangan kuil tergantung sebuah lentera kecil yang tak pernah padam, cahaya lentera menyinari tubuhnya dan mencetak bayangannya di atas permukaan salju, namun bayangan itu mana dapat membebaskan dia dari kelaparan, kedinginan serta kesepian? Hanya sepasang matanya yang besar dan jeli ibaratnya bintang di cakrawala yang memancarkan sinarnya yang berkelip-kelip.   Tapi, sinar mata itu memperlihatkan pula kegelisahan penantian.   Apakah yang dinantikannya? Tanpa berkedip dia mengawasi sederetan bangunan ramah nun jauh di sana, mendengarkan suara manusia di balik bangunan itu yang makin lama makin sunyi, melihat sinar lampu yang terang benderang yang makin lama makin suram.   Segulung angin dingin berembus lewat, ia bergidik dan bersin, akhirnya seperti tak tahan, ia menggigit bibir dan menjura ke dalam seraya berkata dengan lembut "Toh-te-kong (Toapekong) terima kasih banyak!"   Kemudian dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan ia berjalan menuju ke deretan bangun itu.   Gerak tubuhnya tidak gesit, juga tidak cepat, jelas dia tak pernah berlatih kepandaian apapun, tapi di balik sinar matanya yang jeli dan lembut terpancar keteguhan hati serta kebulatan tekad yang tebal.   Dia menuju ke kaki dinding bangunan, menengok dinding yang tingginya hampir dua tombak, melompat sekuatnya ke atas, tangannya meraih tembok, sayang tidak berhasil dan merosot ke bawah.   Tapi dia tak putus asa, gagal yang pertama dicoba untuk kedua kalinya, merosot lagi-diulang untuk ketiga kalinya.   Dengan susah payah akhirnya dia berhasil setelah demi selangkah bocah itu merambat ke atas.   Ketika berhasil sampai di atas dinding, dia menghembus napas lega, matanya yang jeli memandang ke halaman rumah yang hening dan diliputi kegelapan itu.   Ia menghela napas dan bergumam.   "Oh, Toa koko, engkau berada di mana?" -00000-- -OOXO0- -O0O0ODi halaman rumah yang penuh salju Hui Giok sedang berdiri termangu di bawah pohon Yang yang telah layu. Udara berwarna kelabu, tiada bintang, tiada rembulan memandangi tumpukan salju yang tersebar di empat penjuru, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, seperti juga embusan angin puyuh yang melanda tanah ladang, sukarlah ia mengendalikan perasaannya yang bergolak. Pada malam yang sama seperti ini, dia pernah berdiri di bawah pohon Yang dalam perumahan Hui-liong piaukiok sambil menyesali kebodohan sendiri, membenci kebebalannya yang tak mampu mempelajari pelbagai ilmu silat pelbagai kepandaian. Ketika itu, ia pernah mengucurkan air mata karena sedih, mengenang kehidupannya yang sengsara, pengalamannya yang pahit lalu beralih ke halaman rumah yang lain, iapun mengagumi kebaikan halaman yang berada di sana, mengenang bayangan Tham Bun-ki yang ramping, kerlingan matanya yang menakjubkan. Dalam keadaan mengelamun demikiant sering kali muncul sebuah tangan kecil yang halus, yang menyekakan air matanya, kemudian dengan perasaan terhibur diajaknya masuk ke dalam rumah. Tapi di manakah tangan yang lembut itu sekarang? Masihkah menderita dalam perumahan Hui-liong-piaukiok? Merasakan kesepian dan penghinaan? Dengan penuh kepedihan ia menghela napas, bersumpah akan menyeka air mata yang meleleh dari mata yang besar itu dengan tangannya. Tiba tiba ia teringat kembali mata jeli yang muncul di antara kerumunan manusia itu. tapi dengan segera pula anak muda itu menghela napas "Tak mungkin dia. Kalau dia, mengapa ia tinggalkan aku?"   Demikian gumamnya.   Juga di tengah malam dingin yang sama, ia pernah berbaring di bawah emper rumah yang asing hanya dengan badan penat dan kecapaian setelah seharian penuh bekerja berat, ketika itu dia harus menahan rasa dingin, lapar dan rasa sedih serta kecewa yang mencekam perasaannya dan perasaan yang sukar ditahan, rasa rindu yang kuat dapat dilupakan.   Rasa rindu yang masih terdalam hatinya.   Tapi perasaan itu harus ditambah dengan penderitaan yang menyayat hati, sebab sasaran yang dirindukannya telah dipisahkan oleh selapis baja yang sukar ditembusnya, dia hanya dapat menyesali takdir yang mempermainkan dirinya kenapa ia mencintai gadis yang mestinya tidak boleh dicintainya.   Dalam pergolakan perasaan itu, tiba-tiba ia teringat kembali pada suatu kejadian lama, itupun terjadi di tengah malam yang sangat dingin seperti sekarang ini, ketika ia terjaga bangun dan suatu impian buruk dan tak bisa tidur lagi, didengarnya kabar tentang kematian ayah serta pamannya.   Rasa sedih dan penderitaan yang dialaminya ketika itu kini seakan-akan berkumpul lagi dalam lubuk hatinya.   Segala sesuatunya meski sudah terpisah amat jauh pada saat ini, namun semuanya seolah-olah muncul kembali di depan matanya, meskipun malam yang dingin di manapun adalah sama tumpukan salju pun berwarna sama, tapi...   Perubahan yang terjadi dalam dunia ini teramat ajaib, teramat besar, pemuda yang lemah, yang hidup sebatangkara dan penuh penderitaan serta siksaan itu, benarkah adalah diriku sekarang? ia tidak percaya, ia tak akan mempercayainya, tapi bagaimanapun jua ia tak dapat tidak mempercayainya.   Kebahagiaan dan kebanggaan bagaikan kelebatan sinar kilat di udara.   tiba-tiba menjadi terang di depan mata, datang mendadak dengan begitu cepatnya.   Tapi, ada pula yang terasa sayang baginya merasa sayang karena semua itu datangnya terlambat.   Tiba-tiba ia merasa mukanya jadi dingin.   kiranya entah sejak kapan dia telah melelehkan airmata ia tidak melihat seorang sedang berjalan pelan menghampirinya di tengah kegelapan halaman orang itu sebentar berjalan.   lalu berhenti bernapas, berhenti lagi.   Dan akbimya, tiba-tiba dia di samping pemuda.   Tiba-tiba ia merasakannya dan berpaling, sebuah tangan kecil halus sedang diulurkan kemuka dengan gemetar, seperti juga kejadian dahulu di tengah malam yang dingin dalam kenangan yang tak terlupakan itu.   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Rasa kejut dan gembira yang muncul secara tiba-tiba membuat anak muda itu tertegun membuatnya termangu dan tak tahu apa yang harus dilakukan.   Tangan yang kecil dan mungil itu gemetar makin keras..   Dari kelopak matanya yang jeli meleleh butiran air mata rasa sedih dan gembira, butiran air mata meleleh melalui pipinya yang halus dan menetes di permukaan salju yang beku.   Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Hui Giok berseru.   "Tin-tin?, kau... kau..."   Toakoko... Toakoko...   "   Suara anak perempuan itu pun tersendat. Entah berapa kali ia memanggil "Toakoko."   Akhirnya ia menubruk ke dalam pelukan "Toakoko"   Nya dan menangis tersedu-sedu Di tengah kegelapan kembali muncul dua sosok bayangan manusia, mereka adalah Leng-kok siang bok yang menginap bersama Hui Giok di halaman belakang itu.   Dengan termangu mereka memandang adegan tersebut beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas dan pelahan kembali lagi ke kamarnya.   "Mungkin anak perempuan itu adalah Wan Li tin yang sering disinggung anak Giok,"   Bisik Leng Han tiok kemudian tak tahan.   "Sungguh tak tersangka, dia .."   "Ssst, biarkan mereka bergembira, biarkan mereka mengucurkan air mata bagi pertemuan itu"   Bisik Leng Ko-bok "Anak Giok.... ai dia meman harus dihibur, dia memang pantas dihibur, bukankah begitu?"   Hui Giok memeluk Wan Li-tin erat-erat, entah berapa lama sudah lewat baru melepaskan pelukannya agar ia dapat memandangnya dan supaya si dia memandang padany.   "Kau... kau telah dewasa,"   Bisiknya sambil tertawa pedih. Nona itu tertunduk, bulu matanya yang panjang menutup kelopak matanya "Pagi tadi kulihat kau"   Katanya "Tak kusangka kau telah menjadi seorang pahlawan besar, seperti apa yang pernah kita impikan waktu masih berkhayal bersama, tapi aku tak berani munculkan diri?, begitu banyak orang-orang Hui-liong-piaukiok di jalanan, aku takut ditangkap, aku takut mereka laporkan hal ini kepada....   kepada paman Tham."   Walaupun agak keberatan dia mengucapkan, tapi kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun mungkinkah diubah dalam sekejap? Hui Giok betul-betul tertawa meski tertawa dengan air mata yang meleleh, katanya "Mulai sekarang, kau tidak perlu takut lagi, apapun yang akan terjadi aku akan selalu melindungimu."   Wan Li-tin menengadah, memandangnya seperti seorang gadis yang memandangi pangeran dalam khayalannya, begitu kagum dia.   Ia menanyakan penghidupannya selama dua tahun ini, dan anak dara itu bercerita dengan air mata bercucuran disamping senyum gembira, bahwa penghidupannya adalah penghidupan yang sederhana, penghidupan yang penuh penderitaan, penghidupan yang kesepian tapi sekarang semua itu sudah berlalu.   Maka pemuda itupun memberitahukan kepadanya pengalamannya yang penuh keanehan selama itu, pengalamannya yang juga penuh penderitaan serta kesedihan.   Dengan terbelalak anak dara itu mendengarkan penuturan itu Tiba-tiba dari balik matanya yang jeli terpancar rasa marah, rasa dendam yang membara, ia mengepal tangannya, sambil menengadah katanya.   "Diam-diam kudengarkan orang bicara di jalanan, di Piaukiok, bahkan di manapun aku selalu dengar, benarkah ayah kita dibunuh... dibunuh orang itu?"   Sambil menggigit bibir Hui Giok mengangguk dengan berat, begitu keras ia menggigit bibirnya hingga darah merembes keluar. Wan Lu-tin kembali menangis, sambil mendekap dalam pelukan Hui Giok dia mengeluh.   "O Toakoko, kau... kau harus membalaskan dendam ayah kita"   Hui Giok menepuk bahunya dan bergumam.   "Membalas dendam, membalas dendam!"   Tiba-tiba gadis itu berhenti menangis ia menengadah, sinar matanya yang bening itu memancarkan rasa iba, simpati, kasihan dan sedih.   "Ai, kasihan... yang paling kasihan adalah enci Tham! Tahukah kau... demi engkau, dia begitu menderita, seorang diri bersembunyi dalam kamarnya, sebentar tertawa, sebentar menangis sebentar mengatakan kau berbuat salah kepadanya sebentar lagi bilang dia yang bersalah padamu seringkali dia mengajak aku ke kamarnya untuk bercakap-cakap tapi kecuali kau, soal apapun tak pernah dibicarakan sambil berbicara ia menangis habis menangis bicara lagi!"   Setelah menghela napas sedih Lu-tin menundukkan kepalanya, seketika itu juga Hui Giok merasa darah menggelora dalam dadanya, ia terkesima dan tak tahu apa yang mesti dilakukannya.   Lama sekali, Lu-tin berkata lagi "Kemudian ketika mengetahui ayahnya hendak menjodohkan dia dengan Tonghong hengte, ia melarikan diri dari rumah, tapi segera dapat ditangkap kembali oleh ayahnya, perasaannya baru bisa tenang ketika ayahnya menolak pinangan Tonghonghengte, tapi ketika aku kabur dari sana kudengar lagi dia akan dijodohkan dengan Tonghonghengte Ai, entah apa yang terjadi setelah ia mengetahui kabar tersebut."   Hui Giok berdiri bagaikan patung "Benarkah dia... dia mencintai aku?"   Gumamnya Wan Lu tin menghela napas sedih, pelahan dia mengangguk.   Hui Giok merasa telinganya seperti mencincang pesan Leng goat siancu Ay Cing sebelum ajalnya seakan akan berkumandang lagi ditepi telinganya.   Mulai detik mi selama hayat masih di kandung badan, selamanya kau tak boleh membohongi perempuan manapun selamanya tak boleh membuat sedih gadis, baik engkau mencintai atau tidak kau harus baik kepadanya, kau harus melindungi dia, dalam persoalan apapun tak boleh melukai perasaannya.   Lebih....   lebih lagi jangan kau biarkan dia dilukai orang lain."   Dengan termangu ditatapnya salju yang membeku, kembali ia bergumam.   "Sekali aku sudah bersumpah mana boleh kulukai hatinya? Betapapun dia, . dia mencintaiku aku... aku...   "   Dengan pedih ia menggigit bibir sendiri "Tapi sakit hati orang tuaku lebih dalam dari lautan haruskah kuabaikan kewajibanku ini? sebaliknya, bila kubalas sakit hati mi, kubunuh ayahnya, berarti kulukai perasaannya, bukankah perbuatanku ini berarti pula melanggar sumpah !"   Ya, dendam ayahnya, sumpah beratnya keduanya ternyata saling bertentangan antara cinta dan dendam sukar dipisahkan, tanpa terasa ia terbayang kembali perkataan Leng-goat-siancu yang gemetar dan penuh penyesalan itu.   Persoalan ini meski gampang diucapkan, pada hakekatnya sukar untuk dilaksanakan sebab di dunia ini selalu akan muncul pelbagai alasan yang aneh, yang membuat kau mau tak mau harus me lukai perasaan orang yang kaucintai!"   Pelbagai alasan yang aneh... pelbagai alasan yang aneh.... orang yang kaucintai... orang yang kaucintai."   "Toakoko,"   Tiba-tiba Wan Lu-tin menjerit kaget, kau... mengapa kau darahmu..."   Dengan tangan yang halus ia bantu Hui Giok mengusap darah yang meleleh dari bibirnya, meski di tengah malam yang dingin, tapi darah Hui Giok rasanya panas bagai api yang membara.   Dengan terharu dipegangnya tangan gadis itu, diusapnya dengan penuh kasih sayang, setelah menghela napas, berkatalah Hui Giok.   "Bagaimanapun juga, usiamu masih terlalu kecil, banyak persoalan ai tak akan kau pahami"   Dengan menurut Wan Lu-tin mengangguk sekalipun dia enggan dianggap anak kecil, tapi perkataan itu diucapkan oleh "Toakoko"   Nya, betapapun dia menganggapnya pasti benar. Lama sekali ia termangu, tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu segera ia berkata lirih "Orang yang paling akhir bersamamu tadi apakah bernama jit giau tui hun?" "Darimna kau tahu?"   Hui Giok heran.   "Dia bukan orang baik? Aku pernah melihatnya di kantor Hui-liong-piaukiok kulihat dia masuk lewat halaman belakang dengan gerak-gerik yang sangat mencurigakan entah apa yang dibicakannya dengan Tham... Tham Beng, hingga malam hari kedua dia baru pergi dengan gerakgerik yang aneh, bahkan naik kudapun tak berani."   "Benarkah itu?"   Hui Giok terkejut.   "kau melihatnya dengan jelas?"   Dengan penuh keyakinan Wan Lu-tin mengangguk Tiba-tiba dari belakang sepotong batu gunung tak jauh sana berkumandang suara helaan napas menyusul seorang menanggapi dengan nada yang berat.   "semuanya benar!"   Air muka Wan Lu-tin berubah hebat, dengan terkejut Hui Giok segera membentak.   "Siapa?"   Selagi ia hendak menerjang ke sana tak terduga sesosok bayangan orang lantas muncul, dia tak lain tak bukan adalah Jit-giau-tui hun Na Hui hong.   "Benar.... benar, semuanya memang benar,"   Demikian gumamnya pula. Tersembul senyuman rasa menyesal di ujung bibirnya, ia berkata lagi dengan lirih.   "Bengcutoako, maafkanlah perbuatanku yang telah mencuri dengar pembicaraan kalian ini, sejak adik cilik ini masuk ke halaman, aku lantas mengetahuinya sebab itulah akupun keluar dan kamarku."   Wan Lu-tin berdebar keras, dia mengira gerak-geriknya sudah cukup hati-hati, tak tahunya toh masih diketahui orang lain, sekarang dia mulai paham, ketajaman pendengaran orang-orang persilatan memang luar biasa, Yang mana tak pernah dipercayai sebelumnya sekarang ia mulai percaya di samping itu iapun mulai berduka bagi mereka.   "Seorang yang hidup di luaran dan banyak mengikat permusuhan pasti seperti mereka keadaannya, makan tak enak tidur pun tak nyenyak, setiap waktu setiap saat selalu kuatir akan diserang orang lain."   Sementara itu, dengan tatapan mata yang tajam dan mulut membungkam Hui Giok mengawasi orang she Na itu tanpa berkedip. Jit-giau-tui-hun yang tersohor karena kebuasan dan kelicikannya itu sekarang berdiri dengan wajah malu dan penuh penyesalan.   "Ya, Bengcu,"   Katanya tergegap.   "Terus terang aku memang mengadakan persekongkolan dengan Liong-heng pat-ciang, dia bantu aku membasmi Perserikatan orang-orang Kanglam, bantu aku membunuh Kim-keh Siang It-ti dan bunuh Sin-jiu Cian Hui serta hehehe ..serta engkau Bengcu, bila pekerjaan ini berhasil maka dia akan bantu aku membentuk Perserikatan baru serta mengangkat diriku sebagai Bengcunya"   Hui Ohok hanya mendengarkan dengan seksama tidak emosi, tidak marah ataupun merasa benci.   Jit-giau-tui-hun berdehem pelahan, kemudian berkata lagi "Kematian Siang It ti tadi ai pada hakikatnya adalah hasil karyaku sendiri ku anjurkan dia memusuhi Bengcu dan akupun menyanggupi akan datang untuk membantunya."   Mendengar sampai di sini, Hui Giok tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, ia menghela napas panjang "Ai, kau.... kau memang kelewat kejam!"   Desisnya kemudian. Dengan bungkam Na Hui-hong menundukkan kepalanya. Tiba-tiba Hui Giok berkata lagi.   "Kalau begitu, laki-laki yang memaki Tonghong hengte dari tempat gelap juga merupakan hasil karyamu? Kalau tidak, kenapa mereka mengucapkan kata kata yang tidak menguntungkan Tham Beng"   Semakin rendah Na Hui-hong tertunduk.   "Ya orang-orang itu adalah suruhanku, akulah yang memerintahkan mereka berbuat demikian, sebab ku... kuatir jika Tham Beng sampai berbesanan dengan Tonghong-hengte, pengaruhnya pasti akan besar dan kemudian andaikata dia ingkar janji, bahkan membunuh aku tentu aku tak bisa berbuat apa-apa?"   Terkesiap juga hati Hui Giok mendengar keterengan itu, dia menghela napas panjang "Ai, demikiankah keadaan dunia persilatan yang sebenarnya? Mengapa setiap orang harus tipu menipu?"   "Ai, pada hakikatnya dunia persilatan adalah dunianya kaum kuat menindas kaum lemah"   Kata Jit-giau-tui hun Na Hui hong sambil menghela napas "Semula kupikir orang yang berhati bajik tentu tak akan mampu hidup di dunia persilatan ini, tapi ai, sekarang aku baru tahu bahwa pikiranku itu keliru, di manapun jua orang baik selamanya tak akan kesepian."   Sesudah berhenti sebentar dengan kepala yang tertunduk rendah sambungnya lebih jauh.   "Kesemua ini tak lain adalah berkat watak Bengcu yang mulia dan bijaksana, tabiatmu telah mengharukan hatiku! Aku sebenarnya setelah Bengcu berhasil kupancing sampai di sini, makanan dan arak yang kuhidangkan kepadamu hendak kucampur dengan racun yang paling jahat racun itu bahkan sudah kusiapkan, racun itu adalah sejenis racun jahat yang tak berwarna maupun berbau, tapi ai aku benar-benar merasa tak tega untuk melaksanakan niat jahatku ini!"   Hui Giok terkesiap, baru sekarang ia sadar jiwanya tadi sebenarnya telah berada di ambang pintu akhirat.   Ia menghela napas panjang, sebetulnya dia hendik mengucapkan sesuatu, tapi sebelum niatnya terlaksanakan, tiba-tiba dari luar halaman, dan balik kegelapan berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan.   Malam sudah hampir berakhir embusan angin terasa makin dingin suara tertawa dingin itu terasa menggidikkan.   Baik Hui Giok maupun Na Hui hong serta Wan Lu-tin serentak terperanjat "Siapa itu?"   Bentak Na Hui-hong "Tahu kesalahan dan bersedia bertobat itu menandakan kau masih bisa dididik, bila rencana busukmu itu kau laksanakan, kau kira nyawamu masih bisa hidup sampai sekarang?"   Suara itu muncul dari kegelapan, nyaring, tegas dan menggetar perasaan.   Terbawa oleh embusan angin dingin, sulit bagi Hui Giok dan Na Hui hong untuk menentukan darimanakah suara itu berasal, se akan2 jauh tapi terasa dekat, padahal sepuluh tombak di sekeliling halaman itu tak nampak bayangan manusia.   Hati Hui Giok tergerak, cepat teriaknya.   "Suhu... Locianpwe " - Berbareng itu juga ia melayang ke udara, ujung kakinya menutul di atas ranting pohon, dengan dua-tiga kah lompatan ia sudah berada di luar halaman. Tapi suasana tetap hening, angin berembus kencang, memandang jauh ke depan, yang tertampak hanya keheningan belaka dengan tanah bersalju yang lapang, seakan2 sejak dulu sampai sekarang tak pernah ada manusia yang muncul di situ. Hui Giok celingukan memandang ke sana ke mari, kemudian teriaknya lagi suhu! Locianpwe.."   Sekeras geledek teriakan itu sampai salju di ranting pohon pada gugur ke tanah, seekor burung bersuara kaget dan terbang dengan ketakutan, dalam sekejap mata lenyap pula di balik kegelapan.   Hui Giok berdiri dengan termangu, setelah menghela napas ia berkelebat kembali ke dalam halaman Waktu itu Wan Lu-tin sedang menanti dengan penuh pengharapan matanya yang jeli menatap wajah pemuda itu tanpa berkedip sinar matanya adalah sinar mata penuh rasa kagum.   Jit giau-tui-hun Na Hui-hong berdiri dengan tangan terjulai ke bawah, mukanya pucat, matanya terbelalak dan mulutnya melongo, peluh sebesar kacang kedelai membasahi jidatnya.   Menyaksikan keadaan orang, tersenyumlah Hui Giok.   "Melepaskan golok pembunuh, berpaling mencapai tepian, Siaute pantas mengucapkan selamat untuk saudara Na."   Katanya menirukan sabda Budha.   "Ya, mulai sekarang mungkin tidurmu akan bertambah nyenyak dan makan pun akan bertambah nikmat."   Sambung Wan Lu tin tiba2 sambil tertawa manis. Dengan tangan yang gemetar Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong menyeka peluh dingin yang membasahi jidatnya, ia merasa jantungnya berdebar keras, di dalam hati ia berguman.   "Melepaskan golok pembunuh, berpaling mencapai tepian."   Mendadak ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak, serunya lantang.   "Hahaha... sungguh tak kusangka, jadi orang bajik jauh lebih menyenangkan daripada menjadi orang jahat."   Sebagai seorang yang berasal dari golongan hitam, yang biasa membunuh dan merampok, tentu saja ia tidak menyadari bahwa ucapan yang sederhana itu sebenarnya mengandung makna yang luas mengandung filsafah yang tidak sederhana.   Diam-diam Hui Giok berpikir dalam hati "Entah berapa malam dia tidak tidur berapa besar penderitaan batinnya sebelum mengucapkan kata-kata sederhana yang sebenarnya tidak sederhana ini, semoga semua orang jahat yang ada di dunia ini dapat hadir di sini dan mendengarkan kata-kata yang timbul dan hati sanubarinya itu."   Mereka bertiga saling pandang sekejap tiba2 taman yang sepi dan dingin itu seakan-akan berubah jadi hangat dan nyaman, sebab taman tersebut sekarang penuh dengan watak kebaikan asli kemanusiaan.   Jalan raya di dalam kota Han-ko ketika berada dalam keheningan dengan udara yang dingin.   Banyak laki-laki berpakaian ringkas dengan sepatu kulit mereka yang berat tiada hentinya melewat tanah bersalju itu sambil mengawasi kereta-kereta barang kawalan di tepi sungai.   Meski masih banyak orang yang ingin tahu dan sok mencampuri urusan orang lain, demi menyelidiki awal dan suatu pertarungan sengit yang akan berlangsung, mereka harus berdiam semalam suntuk di kedai-kedai minum.   Namun.   keheningan serta hawa dingin yang menerkam empat penjuru masih tetap begitu berat, sedemikian beratnya sehingga terasa menekan perasaan setiap orang, menindih dada mereka hingga sukar rasanya untuk bernapas.   Kadangkala meledak gelak tertawa yang keras memecah keheningan yang mencekam malam yang gelap itu.   tapi berapa banyak pun gelak tertawa yang terdengar tidak akan berhasil menyingkirkan perasaan berat yang menekan hati orang-orang itu.   Tiba2 dari ujung jalan raya sebelah sana berkumandang jerit ngeri yang menyayat hati.   Entah berapa banyak orang yang segera berlari menuju ke tempat datangnya suara jeritan itu, tapi yang dijumpai hanya gumpalan darah kental yang mulai membeku di atas permukaan salju yang putih.   Disamping gumpalan darah beku, seorang anak buah Hui-liong-piaukiok tergelepar dengan badan telentang, wajah sang korban diliputi rasa kaget dan ketakutan, matanya yang kaku masih memandang ke angkasa dengan pandangan yang kosong.   Sebilah belati yang tajam menancap di atas dadanya yang bidang dan darah yang menetes keluar segera akan membeku bersama kengerian yang menyelimuti suasana di tengah malam dingin itu.   "Cian Sin-jiu mulai beraksi!"   Teriakan demi teriakan yang penuh kegembiraan segera tersiar ke mana2, tersebar di balik jalan raya yang sepi.   Suara jeritan lain tiba2 berkumandang dari sudut jalan yang lain.   Delapan ekor kuda tiba-tiba menerjang keluar dari sebuah bangunan besar di tepi jalan, dua orang yang berada paling depan membawa terompet yang segera ditiup keras-keras.   Di tengah denging suara terompet yang susul menyusul rombongan penunggang kuda itu segera bermunculan dan setiap sudut jalan di kota itu.   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Mengikuti derap kaki kuda yang ramai seorang laki-laki dengan suara yang kuat segera berteriak keras.   "Semua saudara yang tergabung di bawah panji Naga Terbang, hendaknya berkumpul di tempat penyeberangan sungai Tiang-kang, jangan sampai terpencar!"   Teriakan itupun sambung menyambung tersebar ke seluruh pelosok kota yang gelap itu.   Dalam waktu singkat suasana dalam kota jadi kalut, ketenangan segera terenggut, keamanan tersita, keadaan jadi kacau balau.   sekalipun ada sekawanan opas bersenjata lengkap yang melakukan perondaan dengan perasaan apa boleh buat, tapi penglihatan mereka se-akan-akan tidak menghiraukan cahaya golok dan genangan darah.   Mereka menganggap semua ini sebagai berjangkitnya penyakit menular, sebagai wabah.   Penyakit menular memang tak bisa dilawan dengan kekuatan manusia tapi penyakit menular pada suatu ketika tentu akan berakhir.   Tapi jeritan ngeri masih berkumandang tiada intinya kadangkala muncul di sebelah timur, lain saat timbul di sebelah barat.   Seorang laki-laki mabuk berjalan dengan sempoyongan mencari tempat kencing, celakanya, sebilah golok tak bersarung terselip di pinggangnya, lebih celaka lagi kebetulan ada delapan penunggang kuda itu berlari lewat di sampingnya.   Maka penunggang kuda itupun membentak nyaring dan cahaya golok pun berkilat di angkasa.   Laki-laki pemabuk yang sempoyongan itu hanya merasakan kepalanya dingin dan sakit, lalu dengan mengenaskan roboh terkapar di atas permukaan salju dan membiarkan tubuhnya diinjakinjak oleh kaki kuda yang lalu di atas tubuhnya.   oOo oOo oOo Angin berhembus makin kencang.   Sebuah perahu yang berlayar hitam menyeberang dari balik kegelapan dan berlabuh di tepi sungai yang sunyi.   Sebelum perahu mencapai tepian, beberapa sosok bayangan hitam lantas melayang turun dari perahu itu, kemudian tanpa berhenti berkelebat ke depan dan lenyap dalam kegelapan.   Gerak gerik mereka sangat misterius ibaratnya sukma gentayangan yang datang den neraka.   Siapakah mereka?" ~ oOo - - oOo - Lima ekor kuda jempolan mengiringi sebuah kereta besar muncul dari balik kegelapan dan berlari sepanjang jalan raya kota yang sepi, yang paling depan adalah seorang laki-laki berambut dan berjenggot putih, bermata tajam dan bertampang keren.   Entah siapa yang mulai dulu, mendadak ditepi jalan berkumandang teriakan kaget.   "Liong heng pat-ciang datang!"   Baru saja suara itu berkumandang tahu-tahu sebuah telapak tangga yang kuat menutup bibirnya dan menyeret orang itu ke tempat gelap di celah emper rumah.   Maka, tak ada orang yang berteriak lagi.   Kereta itu berhenti di depan sebuah bangunan besar di tepi jalan, sebenarnya di depan pintu terpancang sebuah papan nama yang bertuliskan "Kantor cabang perusahaan Hui-liong piaukiok"   Tapi entah mulai kapan papan nama itu sudah dicopot orang.   Liong-heng-pat-ciang Tham Beng yang berada paling depan segera melompat turun dari kudanya.   Dengan satu lompatan enteng ia menyelinap ke depan kereta lalu serunya dengan suara perlahan "Anak Ki, ayo turun!"   Tabir tersingkap, Tham Bun-ki yang pucat dan bermata pudar pelahan turun dari kereta itu.   Mukanya waktu itu tampak layu, tidak beremosi, bahkan matanya yang jeli kini tampak buram.   Dengan pandangan kosong dan pikiran hampa dia melangkah di atas tanah bersalju dan masuk ke gedung megah itu, matanya tidak melirik, kepalanya tidak berpaling bahkan terhadap ayahnya juga tak memandangnya sekejap pun.   Liong-heng pat-ciang Tham Beng menghela napas sedih tanpa bicara dia ikut masuk ke dalam rumah itu.   Pintu gerbang yang tebal dan berat segera tertutup dengan menimbulkan suara yang keras, memotong pandangan orang banyak tapi tak dapat memotong bisikan orang banyak.   Liong heng pat ciang datang...   Liong heng pat-ciang telah datang..."   Udara malam berubah semakin kelam dan berat.   Entah berapa lama lagi waktu fajar? --o- O-fo+O -o- Bangunan yang megah tapi suram itu segera diterangi cahaya lampu.   Namun langkah kaki yang kacau berubah menjadi ringan, enteng hampir tak menimbulkan suara Liong-heng-pat-ciang Tham Beng dengan wajah sedingin es buru-buru berjalan menuju ke ruangan sebelah barat.   Baru saja dia melangkah masuk ke pintu halaman, bentakan tertahan segera berkumandang dari balik ruangan.   "Siapa?"   Tham Beng berdehem pelahan, cahaya lampu segera menerangi seluruh ruangan dan Tonghong ngo kiam yang berpakaian tidur menyambut kedatangan Piautau itu di depan pintu.   "Paman Tham, mengapa engkau menyusul kemari di tengah malam buta begini"   Sapa Tonghong Tiat sambil tersenyum. Senyuman menghiasi wajah Liong~heng~pat ciang Tham Beng yang suram, jawabnya.   "Seharusnya sejak kemarin aku sudah sampai di sini untuk menantikan kedatangan Hiantit sekalian, tak tersangka karena keterlambatanku menyebabkan kalian mesti makan hati oleh karena kaokan manusia liar yang tak karuan itu."   Tonghong Kang terbahak-bahak.   "Hahaha, berita paman Tham sungguh luar biasa cepatnya."   Diiringi gelak tertawa mereka lantas masuk keruangan, tapi benarkah gelak tertawa itu timbul dari lubuk hati yang tulus dan murni? Setelah berlangsung pembicaraan ringan, tiba2 Liong-heng-pat-ciang Tham Beng menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pembicaraan ke pokok persoalan yang sebenarnya.   "Aku jadi teringat kembali pada lamaran yang pernah Hiantit ajukan pada tahun yang lalu,"   Demikian ia berkata.   "waktu itu, berhubung usia putriku masih kecil, lagipula merasa tak berani menerima penghargaan setinggi ini maka lamaran tersebut belum kuputuskan. Tonghong Ouw tersenyum, dia seperti mau mengucapkan sesuatu tapi dijawil ujung bajunya oleh Toakonya, maka kata-kata tersebut urung diucapkan. Liong heng-pat-ciang mengalihkan pandangannya entah melihat atau tidak sikap orang, ia berkata lebih jauh.   "Tapi sejak peristiwa di perkampungan Long bong-san ceng, dimana putriku sudah mendapat bantuan yang besar dan keponakan Ceng, sungguh tak tersangka dia.... Dia.... ai ternyata diapun menaruh hati terhadap keponakan Ceng!"   Air muka Tonghong Ceng tetap kelihatan kaku, sedikitpun tidak emosi.   Sebaliknya Tonghong Tiat lantas berseru sambil tersenyum "Wah, rupanya Samte yang punya rejeki besar!" "Ya, selama kumalang melintang dalam dunia persilatan, dia satu-satunya putri yang kumiliki!"   Ujar Tham Beng lebih lanjut "Sebab itu kalau dia sendiri juga mau, maka terpaksa baru kutebalkan muka dan menyinggung kembali urusan lama dengan kalian."   Tampaknya ia sengaja menekankan "urusan lama"   Tersebut, seakan-akan dengan demikian persoalan itu bukan kehendaknya melainkan keluarga Tonghong yang mengemukakan lebih dulu. Tonghong-hengte saling pandang sekejap sebelum berkata, Tham Beng telah bersuara pula.   "Cuma ai, keluargaku adalah keluarga yang rendah, entah derajat kami setimpal dengan derajat keluarga Tonghong atau tidak?"   Air muka Tonghong Ceng masih tetap tanpa emosi, namun juga tidak bermaksud menghindarkan diri.   Tonghong Tiat segera tersenyum "Nama besar paman Tham termashur sampai ke manamana, dalam sepuluh tahun akhir ini belum pernah ada jago persilatan yang dapat menjajarkan namanya dengan nama besar paman Tham.   Kalau paman Tham mengatakan derajat keluarga terlalu rendah, maka hal ini malahan membuat keponakan sekalian jadi tak enak hati."   "Ah. keponakan terlalu memuji."   Sambil tertawa Liong heng-pat-ciang mengelus jenggotnya "Kalau memang begitu, apakah saat ini keponakan Ceng membawa sesuatu benda yang bisa digunakan sebagai tanda ikatan perjodohan ini?" -Cuma......"   Tiba-tiba Tonghong Tiat menukas "Apa lag?"   Tanpa terasa air muka Liong-heng pat-ciang rada berubah.   Mencorong sinar mata Tonghong Tiat, kemudian berkata dengan tersenyum "Apakah paman Tham tidak merasa bahwa keputusan yang kau ambil ini tak terlampau terburu napsu? Bagaimana pun juga persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup Samte kami, maka sudah sepantasnya kalau kami bersaudara harus menimbang persoalan ini dengan sedikit lebih serius."   Liong heng pat ciang mengerling, otaknya juga berputar memikirkan persoalan ini, kemudian katanya.   "Persoalan ini.... Meskipun betul pendapat kalian, tapi keadaan saat ini luar biasa, terpaksa kita mengambil keputusan dengan cepat. Ya, untunglah kita orang persilatan, soal adat istiadat rasanya juga tidak perlu kita hiraukan lagi... Hahaha, begitu bukan?"   Dia berpikir sambil bicara, maka kata-kata pembukaan tadi diucapkan dengan sangat lambat, begitu keputusan diambil, kata-kata selanjutnya diutarakan dengan lancarnya.   "Situasi sekarang tampaknya luar biasa"   Tonghong Kang dengan berlagak tidak mengerti. Kembali Liong-heng-pat-ciang memeras otak, lalu menghela napas panjang.   "Ai, terus terang saja kukatakan, dewasa ini Hui-liong-piaukiok kami telah bertemu dengan musuh tangguh padahal aku cuma mempunyai seorang puteri saja, maka hatiku baru bisa tenang setelah ia mendapat perlindungan yang dapat dipercaya."   Pelahan Tonghong Tiat mengangguk "Ya, paman Than memang terlampau sayang pada puteri satu-satunya, perkataanmu memang ada benarnya."   Sebagai seorang pemuda yang jujur, perkataan tersehut timbul dan lubuk hatinya yang murni.   Tonghong Ouw yang selama ini membungkam tiba-tiba berkata dengan dahi berkerut "Akhirakhir ini berita dunia persilatan mengatakan bahwa paman Tham mempunyai hubungan yang erat dengan peristiwa berdarah yang berlangsung belasan tahun yang lalu, numpang tanya kabar ini benar atau tidak?"      Jilid ke- 18 Dasar pemuda berdarah panas, apa yang ingin diketahui dalam hati segera pula diutarakan tanpa tedeng aling-aling. Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah hebat, tiba-tiba ia menengadah lalu tertawa terbahak2.   "Haha. fitnahan kaum bandit yang berjiwa kotor tak perlu kugubris, apakah keponakan sekalian percaya pada kabar tersebut?"   Tonghong Kang dan Tonghong Ouw saling pandang sekejap, tapi sebelum mereka bicara lagi, Tonghong Tiat menjela lebih dulu sambil tertawa.   "Selama mengembara di dunia persilatan, paman Tham memang sukar menghindarkan permusuhan dengan orang, Ngo-te mana boleh kau...   "   "Hahaha, keponakan Ouw masih muda dan berparah panas, memang begitulah watak seorang muda yang normal jangan salahkan dia!"   Cepat Liong-heng-pat-ciang berseru sambil tertawa. Kemudian, sinar matanya tertuju ke arah Tong-hong Ceng tapi berkata terhadap Tonghong Tiat.   "Keponakan Tiat, menurut adat, kakak tertua bisa mewakili ayah. Apabila keponakan Tiat dapat mengambil keputusan dan Setuju, kuyakin Tonghong loyacu"   Belum habis ucapannya mendadak dari luar terdengar suara langkah orang yang ramai, dengan dahi berkerut Liong heng-pat-ciang segera berbangkit.   "Ada apa?"   Bentaknya dengan gusar. Dengan tangan yang terjulai ke bawah dan kepala tertunduk rendah, Pat kwa-ciang Liu Hui berdiri munduk-munduk di bawah undak-undakan, ketika Tham Beng muncul ia lantas berkata dengan prihatin.   "Ada orang mengantarkan tiga kotak hadiah kemari apakah Congpiautau hendak melihatnya?"   Air mukanya tampak diliputi rasa kaget dan ketakutan, ketenangan yang dimilikinya pada hari2 biasa kini lenyap tak berbekas, Tham Beng cukup tahu bahwa anak buahnya yang ini selalu tenang, maka perubahan sikapnya itu membuktikan ada suatu kejadian besar telah berlangsung, ia termenung sebentar baru saja akan melangkah pergi, tiba2 Tonghong Kang berseru sambil tersenyum "Bila ada sesuatu yang kurang leluasa silakan paman Tham berlalu lebih dulu."   Ruang tengah penuh diliputi suasana yang menyeramkan Liong heng-pat-ciang Tham Beng berdiri kaku di hadapan tiga buah batok kepala dengan muka sepucat mayat dan tubuh gemetar karena embusan angin dingin di luar.   Hui-liong-sam-kiat, tiga orang gagah dari Hui-liong-piaukiok yang namanya tersohor di dalam dunia persilatan, ternyata telah terbunuh dengan mengenaskan! ************************** Hal 5 robek sebagian ************************** kan tekanan batin yang berat, meski kedua tangan Pat-kwa-ciang Liu Hui mengepal kencang, namun masih kelihatan juga tangan itu gemetar tiada hentinya.   Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Tong hong Kiam menjerit kaget "He, di mana Samte? Ke mana dia?"   Dengan kaget semua orang berpaling, betul juga Tonghong Ceng yang sejak tadi hanya berdiri kaku membungkam, kini sudah lenyap tak berbekas.   ************************** Hal 6 robek sebagian ************************** Dengan wajah yang murung dan sedih Tham Bun ki seorang diri duduk di bawah lampu, cahaya lampu yang mirip impian menyinari sepasang matanya yang sayu dan rambutnya yang hitam.   Seluruh tubuhnya, jiwanya, perasaannya seolah-olah berada di alam mimpi, impian yang penuh penderitaan, penuh penyesalan.   Kegembiraan dan senyuman suka dukanya di masa lalu kini sudah jauh meninggalkan dia, sebab tubuh dan jiwanya telah berubah jadi kaku, seperti orang linglung.   Dalam hati dia sudah mengambil keputusan selama hayat masih dikandung badan, dalam hidupnya ini dia tak akan kenal lagi apa artinya "cinta kasih"   Sebab "cinta kasih"   Adalah sesuatu yang amat menakutkan.   Dia buang jauh-jauh segala kenangan lama, ia buang jauh-jauh segala kerinduan, dia hanya tahu hidup bagaikan sesosok mayat hidup, terserah, masa bodoh.   kapan ayahnya mengaturkan saat pernikahannya, kapan pula dia akan mengenakan pakaian pengantin, lalu...   Lalu bagaimana? Diapun buang jauh-jauh segala pikiran selanjutnya, sebab dia percaya kehidupan yang serba kaku ini akan membuat dirinya cepat mati atau sebelum kekakuan membinasakan dirinya dia akan bunuh diri sendiri.   Tiba-tiba .   terdengar suara pelahan di luar jendela, ia tidak menggubris, tidak menegur ataupun bergerak, seakan-akan suara itu tak didengar olehnya.   Tapi dari luar jendela segera berkumandang suara orang menegur dengan suara tertahan "Nona Tham!"   Dengan pikiran yang kosong ia mendekati jendela, membuka dan melongok keluar.   Meski dalam hati kecilnya waktu itu timbul juga sedikit rangsangan tapi ia segera buang jauhjauh segala pikiran, menolak segala kesedihan atau pun kegembiraan.   Bayangan hitam berkelebat di luar jendela, seperti sedang menggapai padanya.   Ketika bayangan di luar jendela itu menggapai lagi untuk ketiga kalinya! secara di bawah sadar gadis itupun melayang keluar jendela.   Ilmu meringankan tubuh Tham Bun ki masih tetap indah dan mempesona, di tengah keheningan malam yang dingin ia meluncur keluar dengan entengnya.   Namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang di depan sana ternyata jauh lebih hebat lagi, hal ini membuat Tham Bun-ki! rada terperanjat.   Tapi dengan cepat dia buang jauh-jauh semua pikirannya Sekejap kemudian, secara beruntun kedua orang itu sudah melayang keluar halaman belakang, melintasi rumah yang berderet dan menuju ke pinggiran kota yang sepi, Di bawah pohon Pek-yang yang sudah layu tiba-tiba bayangan manusia di depan itu berhenti.   Dengan enteng Tham Bun ki berkelebat ke depan dan melayang turun tepat di hadapan orang tampaklah orang itu bertubuh jangkung bermata tajam, bermuka pucat dengan alis mata yang bekernyit penuh kemurungan.   Bun-ki cukup kenal siapa gerangan orang ini dia tahu orang-orang ini adalah pemuda yang paling tampan dan disanjung puji orang dalam dunia persilatan, Tonghong Ceng dari Tonghong ngo-kiam, dia pun tahu orang ini tak lain adalah bakal suami sendiri yang dipilihkan oleh ayahnya.   Meski demikian mukanya tetap hambar, tetap kosong, tidak kelihatan kaget juga tidak kelihatan malu, malah dengan nada dingin ia menegur "Ada urusan apa?"    Mustika Gaib Karya Buyung Hok Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini