Ceritasilat Novel Online

Pendekar Satu Jurus 5


Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bagian 5


Pendekar Satu Jurus Karya dari Gan K L   Sobat ini tentulah teman Hui Lote kami ini ya? Saudara kami ini masih terlampau muda dan tak tahu urusan, terima kasih banyak atas kesediaanmu utnuk memperhatikannya, bila kejadian ini kami laporkan kepada Tham Cong piautau kami niscaya dia akan bersyukur dan membalas budi kebaikanmu"   Ia lantas berpaling serunya lagi dengan lantang "   Liu heng coba suruh kirim sebuah kereta kemari, kita harus mengirim kembali Hui lote pulang."   Air muka laki2 berbaju perak itu semakin dingin dan menatap Koay be sin to tanpa berkedip. Kiong cing yang merasa sorot mata orang lebih tajam daripada pisau, ia berdehem lalu katanya "   Aku ini Koay be sin to Kiong cing yang, kebetulan barang yang kami kawal ini akan menuju ibukota, bila saudara berminat silahkan ikut bersama kami, bila.....hehehe....."   Dia tertawa menyambung "   Bila engkau merasa kurang leluasa sedikit banyak masih dapat diberi ongkos jalan bagimu anggaplah sebagai balas jasa kami atas kebaikanmu jauh2 mengantar Hui Lote sampai ke sini."   Tiba2 senyum menghiasi wajah laki2 berbaju perak yang dingin itu, makin lama senyuman itu makin lebar, akhirnya dia terbahak2.   Hati Kiong cing yang juga semakin mantap tadinya dia masih sangsi akan maksud kedatangan laki2 berjubah perak itu, tapi sekarang setelah orang tertawa terbahak2 demi mendengar soal pemberian ongkos, hatinya jadi lega, disangkanya orang itu hanya sebangsa manusia yang ingin mencari keuntungan belaka, rasa sangsi semula lantas tersapu bersih.   Dia keluarkan sekeping uang perak seberat sepuluh tahil lebih, sambil disodorkan ke depan laki2 itu ia berkata "   Karena lagi melakukan perjalanan jauh, tidak seberapa yang kubawa sebagai bekal, jumlah sekecil ini harap sobat suka terima sekedar membeli arak!"   Nada ucapannya sekarang tidak seramah dan sesungkan tadi lagi, malahan agak kasar dan mengejek. Laki2 berbaju perak itu berhenti tertawa, sambil alihkan sorot matanya ke tangan orang ia bertanya sambil tersenyum "   Itu buat aku".   "   Ah, jumlah yang kecil, harap sobat jangan sungkan2"   Sahut Kiong cing yang sambil terbahak2 "   Rasanya sudah cukup untuk bersantap sekenyang2nya dirumah makan Cui gwat lau yang ada di Sik keh ceng!"   Lalu ia berpaling ke arah Liu hui yang berada di belakang dan berseru lagi sambil tertawa "   Liu heng santapan malam kita beberapa orang kemarin malam cuma menghabiskan lima tahil perak bukan?"   Sementara itu Hui giok sedang melirik si laki2 berbaju perak, belum pernah ia saksikan senyuman secerah ini menghiasi wajahnya yang dingin, diam2 ia sangat heran. Di lain pihak Koay be sin to sudah tak sabar dirinya berkernyit, diam2 ia menggerutu "   Sialan! Toaya hanya tak ingin menerbitkan gara2 ditengah jalan, kalau tidak, hmm, sekali tendang keluar kuning telurmu!"   Dengan tangan kanan tetap memegang siku Hui giok, laki2 berbaju perak itu ulurkan tangan kirinya ke depan dan berkata "   Kalau ini untukku baiklah akan kuterima!"   Secepat kilat ia mencengkeram tangan Koay be sin to yang memegang uang perak itu, senyum manis masih menghiasi wajahnya tapi seketika jeritan kesakitan yang menyayatkan hati menggema di angkasa tahu2 tangan kanan Koay be sin to sebatas pergelangan tangan sudah terbetot putus oleh gerakan lawan yang cepat dan sama sekali tak terduga itu.   Koay be sin to terhitung jago kawakan tapi setelah darah keluar dengan derasnya dari kutungan pergelangan tangan itu, kontan ia roboh dan tak sadarkan diri.   Menggigil sekujur badan Hui Giok menyaksikan adegan yang mengerikan itu, demikian pula dengan Pat kwa Ciang Liu Hui yang masih duduk di atas kudanya, pucat air mukanya saking ngerinya.   "Sobat, apa yang kau lakukan?"   Bentaknya cepat ia turun dari kudanya dan memburu maju ke samping Kiong cing yang dan memayang tangannya. Setelah itu ia berpaling dan teriaknya lagi "   Awas, siapkan senjata dan lindungi kereta barang!"   Senyuman masih tersungging di ujung bibir laki2 berbaju perak itu, kutungan tangan yang dibetotnya sampai kutung itu masih dipegangnya, darah berketes membasahi permukaan tanah.   "Aku tak ingin melongok pemberianmu yang sangat berharga itu"   Demikian ia berkata "   Maka pemberian itu akan kuterima, mengenai uang perak ini.....hahaha, lebih baik untuk kau sendiri!"   Telapak tangannya bergerak ke depan.   "Sreet"   Setitik cahaya perak meluncur ke sana tahu2 uang perak yang berada ditangan kutung itu menyambar ke depan piausu.   Cepat dan keras sambaran uang perak itu dengan membawa suara desingan tajam.   Pat kwa ciang Liu hu kaget, ia merasa sambaran tajam itu mengarah hidungnya, sebisanya ia berkelit, namun tak keburu lagi padahal hanya disambit dengan gerakan yang sederhana, ternyata tangannya jauh melebihi serangan panah yang dilepaskan dengan busur.   Pecah rasanya nyali Liu hui, sukmanya serasa melayang ke awang2, ia menggigil karena tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan diri.   Siapa tahu waktu cahaya perak itu sampai di depan hidungnya, mendadak benda itu jatuh ke tanah seakan2 ditarik orang ke bawah dan tepat jatuh di tubuh Koay be sin to Kiong cing-yang yang semaput itu.   Titik cahaya perak itu tidak mengenai tubuh Pat kwa ciang Liu hui, akan tetapi peristiwa ini sungguh mengejutkan hatinya, hampir dua puluh tahun dia berkelana di dunia persilatan tak terhitung jago silat yang pernah dijumpainya tapi belum pernah ia ketemu jago yang bisa menyambit senjata rahasia selihay ini, bahkan mendengarnya belum pernah.   Laki2 berbaju perak itu terbahak2 dia mengeluarkan selembar kertas minyak setelah membungkus kutungan lengan itu dengan hati2 lalu disimpannya ke dalam baju.   Menyaksikan perbuatan lawan itu, hati Pat kwa ciang Liu hui tergerak, tiba2 teringat olehnya kan seseorang , seketika tangannya jadi lemas dia tak kuat lagi memayang tubuh rekannya yang semaput itu...Bluk, Kiong cing-yang yang bersandar pada bahunya itu roboh terkapar di tanah.   Sementara itu ada dua tiga anak buah Hui Liong piaukiok yang sudah mendekati tempat kejadian, mereka sudah melompat turun dari kudanya dan menghampiri Liu Hui, laki2 berbaju perak itu hanya memandang mereka dengan senyum dikulum bahkan senyumannya itu makin lama makin lebar.   Melihat itu Pat kwa ciang Liu Hui semakin menggigil ketakutan.   Hal ini membuat Hui Giok yang berdiri disamping jadi keheranan, belum pernah peristiwa ini ditemuinya selama ini, sebab ia tahu bukan saja Liong heng pat ciang Tham Beng terhitung seorang tokoh dunia persilatan, Piausu yang bergabung dalam perusahaan Hui Liong piaukiok juga orang kenamaan di dunia kang ouw.   Tapi sekarang Pat kwa ciang Liu Hui telah unjuk rasa ketakutan, seakan2 takut jiwanya bakal dicabut oleh gerakan tangan laki2 berbaju perak tadi.   Laki2 berbaju perak itu tersenyum, tiba2 katanya "   Setelah kuterima pemberian Kiong toa piautau tadi apakah sekarang kaupun hendak menyajikan sesuatu bagiku!"   Hijau muka Pat Kwa ciang Liu Hui mendadak ia menghela napas panjang dan menyahut "   Aku betul2 punya mata tapi tak bisa melihat, ternyata kehadiran Locianpwe tidak kami ketahui.   Ai, hakikatnya kami tak menyangka kalau secara tiba2 saja locianpwe akan muncul di sini, sekarang setelah Wanpwe mengetahui siapa gerangan locianpwe ini tentu saja Wanpwe tak berani bertindak sembrono lagi, apa yang locianpwe katakan, pasti akan Wanpwe turut tanpa membantah!"   Mendengar perkataan itu tergelaklah laki2 berbaju perak itu, sementara beberapa anak buah Piaukiok yang hadir di situ berdiri melengong belum pernah mereka lihat Liu piautau mereka mengucapkan kata2 yang demikian merendah dan ketakutan.   "Kalau sudah kenal aku, akupun tak akan menyusahkanmu,"   Kata laki2 berbaju perak itu.   "meski begitu, hendak ku pinjam mulutmu untuk menyiarkan kata2ku ini ke seluruh dunia persilatan. Katakan bahwa jumlah seribu tangan yang ku kumpulkan sudah hampir penuh, tapi belum berarti sudah penuh seluruhnya hati2lah bagi sobat dunia persilatan yang tangannya berlepotan darah."   Setelah berhenti sebentar, katanya lagi "   Sekarang ingin ku pinjam dua ekor kuda kalian untuk sementara waktu! Sekembalinya dari sini beritahu kepada orang she Tham aku telah membawa pergi pemuda She Hui kalau dia ingin mengatakan sesuatu silakan berurusan langsung dengan aku.   Dalam tiga bulan mendatang, aku akan selalu tinggal di perkampungan Cip sian san ceng di kota Peng an jika orang she Tham ingin kembali bocah ini dan kudanya, cari saja aku di perkampungan tersebut!"   Pat kwa ciang mengiakan berulang kali beberapa orang anggota piaukiok itupun termasuk jago kawakan dunia persilatan, setelah mendengar perkataan itu, merekapun tunduk kepala rendah2 sekarang mereka telah mengetahui bahwa orang berbaju perak itu tak lain adalah Jian jiu suseng yang termasyhur, selama ini orang di dunia persilatan tak berani membangkang atau membantah setiap ucapan Jian jiu suseng, mereka hanya merasa heran Jian Jiu suseng yang selamanya sukar diketahui jejaknya ini bersikap luar biasa ia telah memberitahu tempat tinggalnya secara terbuka.   Tentu saja rasa heran itu hanya mereka pendam didalam hati, tak seorangpun berani bertanya, mereka kuatir nyawanya akan ikut melayang karena cerewet.   Pat kwa ciang Liu hui membisikkan sesuatu telinga seorang anak buahnya, orang itu segera berlalu dari situ, selang sejenak orang itu kembali dengan membawa dua ekor kuda dan diserahkan kepada Jian Jiu suseng.   Jian jiu suseng tidak bicara lagi dia raih tali kendali kuda itu, segera Hui giok merasakan tubuhnya seakan2 melayang di awang2 sebelum tahu apa yang terjadi, tahu2 dia sudah duduk di atas pelana kuda.   Sampai kini anak muda itu masih belum tahu siapa gerangan laki2 berbaju perak itu? Apa pula tujuannya membawa dia pergi? Tapi ada satu hal dapat ditebaknya olehnya, laki2 berbaju perak itu pasti mempunyai sangkut paut yang erat dengan kedua kitab pusaka tersebut.   Dari tindak tanduk si laki2 berbaju perak yang dingin, keji dan tak kenal ampun, ia mulai menguatirkan keselamatan Sun kimpeng dan ayahnya diam2 dia berdoa semoga Sun kimpeng dan ayahnya tidak sampai tertangkap dan disiksa oleh orang ini, tak dapat dibayangkan bagaimana jadinya andaikata kedua orang itu sampai tertangkap.   Dengan pandangan yang dingin Jian jiu suseng menatap sekejap wajah Pat kwa ciang dan anak buahnya entah cara bagaimana, begitu enteng dan cepat gerakan tubuh orang itu, sampai Pat kwa ciang Liu hui juga tak sempat melihat jelas, tahu2 orang itu sudah berada di atas kudanya.   Sesudah bayangan orang itu dan Hui giok lenyap di balik tikungan sana, Pat kwa ciang Liu hui baru menghembuskan napas lega, iapun memayang Kiong cing-yan yang terluka parah dan dimasukannya ke dalam sebuah kereta.   Rombongan itu bergerak maju lagi, hanya sekarang teriakan si pembuka jalan itu tidak selantang dan senyaring tadi lagi.   Menunggang kuda adalah pekerjaan yang menyiksa Hui giok dia memang dibesarkan oleh kaum piaukiok akan tetapi sampai sebesar ini tak sekalipun ia pernah naik kuda.   Dan kini , terpaksa ia mesti duduk diatas pelana kuda sambil menggertak gigi, kedua kakinya mengempit punggung kuda itu erat2 tapi karena kuda itu larinya cepat, ia merasa kakinya pedas dan sakit.   Dimasa lalu setiap kali ia lihat orang lain menunggang kuda dalam hati kecilnya selalu timbul perasaan kagum, tapi sekarang ia merasakan sendiri bahwa hal ini bukanlah suatu pekerjaan yang patut dikagumi, bahkan ia merasa bukan dialah yang menunggang kuda melainkan kuda yang menunggang dia, sebab ia sama sekali tak dapat mengendalikan kuda itu, adalah kuda itulah yang mengendalikan dia.   Sekalipun demikian, semua penderitaan itu hanya dipendamnya didalam hati, sampai sekarang laki2 berbaju perak itu tak pernah mengucapkan sepatah katapun, atau melakukan suatu gerakan tangan bahkan melirik sekejap ke arahnya tidak.   Orang seakan2 telah menentukan nasib dan kehidupannya.   Kembali kedua ekor kuda itu menempuh perjalanan jauh, tiba jalan itu mulai menikung ke kanan Hui Giok merasa jalan itu mulai menikung ke kanan Hui giok merasa jalan itu kian lama kian bertambah lebar, tapi makin sedikit orang yang berlalu lalang.   Setengah seperminuman the kemudian mereka tiba di depan hutan yang lebat, kini masih musim panas, sekujur tubuh Hui giok sudah basah oleh keringat, ia baru dapat menghembuskan napas lega setelah memasuki hutan ini.   Dalam hutan itupun terbentang sebuah jalanan berbatu, baru setengah jalan dilalui, samar2 Hui giok melihat ada bayangan bangunan rumah dibalik pepohonan di sana.   Memang sudah banyak kejadian aneh yang dialami Hui giok semenjak dia kabur dari Hui liong piaukiok tapi diantara semua kejadian itu pengalaman sekarang inilah yang dirasakan paling aneh.   Ia tak dapat menerka apa sebabnya laki2 berbaju perak itu bersikap demikian terhadapnya kalau dikatakan bermaksud jahat, rasanya orang itu tak perlu bersusah payah melakukan semua itu cukup sekali ayun tangannya, habislah riwayatnya.   Tapi kalau dikatakan ia tak bermaksud jahat, tidaklah orang itu berbuat demikian atas dirinya.   Banyak sudah kejadian tragis yang dialami anak muda ini, pada setiap kejadian ia tak berani berpikir pada bagian baiknya, sebab pada hakikatnya kejadian yang dialami serta tindak tanduk laki2 berbaju perak yang disaksikan tidak mengizinkan dirinya membayangkan hal2 yang baik saja.   Sambil duduk di atas kuda, berbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ia menghela napas lalu berpikir "   Ai, orang ini pastilah bermaksud menanyai kitab pusaka tersebut maka aku dibawa kemari, tapi kedua   Jilid kitab itu sudah berada di tangan Sun lotia, aku sendiri tak tahu kemanakah ia berada saat ini?"   Setelah berada dalam hutan kuda itu berjalan makin pelan dan akhirnya berhenti laki2 berbaju perak itu melintangkan kudanya tepat di hadapan anak muda itu, dengan tatapan yang tajam dia awasi Hui giok sekali lagi, tiba2 ia menjulurkan tangan kanan ke bawah, dari balik baju jubahnya yang longgar segera muncul dua   Jilid kitab. Ketika Jian jiu suseng mengangsurkan kedua kitab itu ke depannya, seketika Hui giok merasa peredaran darah dalam tubuhnya seolah2 berhenti. Kedua   Jilid kitab yang berada ditangan Jian jiu suseng tak lain adalah kedua kitab kumal miliknya yang telah dirampas oleh Sun lotia itu, sampul kitab itu berwarna hitam dan sudah hapal rasanya Hui giok dengan bentuk kitab tersebut, tak perlu mengamatinya lebih teliti ia lantas tahu bahwa kitab itu adalah miliknya.   Kepalanya seketika terasa pening.   Bahwa kedua   Jilid kitab itu tiba2 bisa muncul ditangan laki2 berbaju perak ini dapat ditarik kesimpulan bahwa nasib Sun lotia berdua tentu lebih banyak celakanya daripada selamatnya, orang ini amat keji, tak mungkin Sun lotia dibiarkan pergi dengan begitu saja.   Terbayang olehnya sepasang mata Sun kimpeng yang jeli, sinar mata yang bening dan penuh kehangatan seakan2 muncul dari delapan penjuru dan bersama2 mengalir ke lubuk hatinya, tubuhnya seperti melayang di udara, pikirannya seperti terhenti.   Dalam sekejap itu langit terasa berubah warna.   Sampul kitab pusaka yang berwarna hitam itu seperti penuh berlepotan darah, darah itu berasal dari tubuh mereka yang pernah menyayangi Hui Giok, bedanya mungkin sekarang mereka tidak menyayangi Hui Giok lagi, sedang anak muda itu tetap menyayangi mereka.   Hakikatnya sudah terlampau banyak penderitaan yang dialami anak muda itu, demikian banyaknya hingga cukup mengubah rasa kasih sayangnya menjadi suatu sikap yang dingin, tapi kenyataannya telah disebabkan ia lebih cerdik daripada orang lain atau lebih bodoh, penderitaan yang dialaminya ini bukan saja tidak mengurangi keberaniannya untuk menentang hidup, juga tidak mendinginkan kehangatan jiwanya, sekalipun orang lain bersikap dingin dan kejam padanya, tapi dia tetap menyayangi mereka.   Sekarang ia duduk di atas kuda, dia harus menjaga keseimbangan sendiri agar tidak terlempar jatuh dari kudanya.   Tiba2 angin menghembus, mengibarkan ujung baju Jian jiu suseng dan menyingkap pula halaman kedua kitab yang dipegangnya.   Pandangan Hui giok dari kedua   Jilid kitab yang telah banyak mendatangkan bencana baginya itu beralih ke atas tubuh laki2 baju perak yang angkuh itu, ia lihat wajah Jian jiu suseng yang dingin dan kaku itu kini menampilkan senyuman yang hangat.   "Kehangatan"   Adalah sesuatu yang sangat didambakan oleh Hui giok, cepat ia menengadah dengan beraninya ia menatap wajah laki2 berbaju perak yang kaku itu, ketika sinar mata mereka saling bertemu, Hui giok merasakan bahwa di balik tatapan yang dingin itu ternyata masih mengandung kehangatan serta perasaan sebagai manusia umumnya, Cuma ia tak dapat menerangkan makna apa yang terkandung didalam perasaan itu.   Betapa besar keinginan Hui giok untuk mendengar sesuatu, mengutarakan sesuatu, karena banyak persoalan yang memenuhi benaknya saat ini,k ia sangat berharap akan segera memperoleh jawaban dan penjelasan.   Maka sesudah termenung sebentar, ia menuding kedua   Jilid kitab itu, hanya sayang tak dapat membuat kode tangan untuk melukiskan maksud hatinya itu, ia tak tahu gerakan tangan macam apakah yang harus dilakukan agar orang itu bisa memahami apa kehendaknya.   Selagi anak muda itu kebingungan sendiri saat itulah mendadak segulungan angin tajam menyambit lewat kanan jalanan itu, sret, kedua   Jilid kitab yang berada di tangan Jian jiu suseng itu tiba2 terembus jatuh ke tanah, bukan begitu saja Hui giok yang duduk di atas pelananya ikut berguncang keras, ia tak dapat menguasai diri dan Bluk, iapun terjatuh dari atas kuda.   Bersama dengan robohnya Hui giok, sesosok bayangan manusia dengan cepat menyusup keluar dari hutan sebelah kiri dan melayang ke depan kuda itu, kedua   Jilid kitab yang baru terjatuh ke bawah disambarnya lalu dengan melewati bawah perut kuda bayangan itu menyusup kembali ke dalam hutan sebelah kanan.   Sungguh sukar untuk melukiskan betapa cepat beberapa kejadian itu yang hampir berlangsung bersamaan waktunya, sejak munculnya hembusan angin kencang, jatuhnya kitab, jatuhnya Hui giok serta munculnya bayangan manusia.   Sementara Hui giok merasakan bayangan itu baru berkelebat lantas hilang lagi, tapi hanya tertawa dingin saja Jian Jiu suseng mendadak iapun berkelebat ke muka, secepat anak panah ia menerobos masuk ke dalam hutan.   Mata Hui giok cukup tajam, namun ia tak sempat mengikuti semua kejadian itu sekaligus, dia meronta bangun dan coba memeriksa keadaan di sekeliling tempat itu, namun tiada seorangpun yang kelihatan pepohonan bergoyang terhembus angin bangunan megah dibalik kerimbunan pohon sana masih berdiri dengan angkernya, hanya manusianya yang telah berubah hanya peristiwanya yang, meski sama sekali tidak mempengaruhi alam di sekelilingnya.   Sambil meraba pantatnya yang sakit, pikiran anak muda itu menjadi bimbang, ia tak tahu mengapa timbul peristiwa ini dan untuk apakah kejadian itu, sekalipun berbagai kejadian itu mempengaruhi hidupnya bahkan sangat merugikan dirinya, namun ia hanya bisa menerimanya dengan membungkam sebab kecuali berbuat demikian dia tak tahu apa yang harus dilakukannya.   Macam2 tanda tanya memenuhi benaknya, seperti tertindih batu besar yang menyesakkan napas.   Dia masih ingat ketika masih kecil ayahnya pernah berkata begini kepadanya "Orang yang pintar takkan mengenang masa lalu, terlalu mengharapkan masa mendatang, tapi melalaikan masa sekarang."   Kini meski ia tak pernah mengenang masa lalu sebab memang tiada kejadian yang pantas dikenang, tak pernah mengharapkan apa2 pada masa mendatang, tapi sekarang bukankah saat inipun keadaannya hampa belaka dan tak punya apa2.   pemuda itu menghela napas ia merangkak naik ke atas kudanya dengan pikiran kosong, ia berjanji pada diri sendiri, asal ada satu tujuan yang ia kejar maka ia akan berjuang dengan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut.   Sekalipun harus menderita, harus mengalami banyak percobaan dia tak akan mengerutkan dahi.   Membalas dendam bagi ayahnya? Soal ini memang terukir dalam2 di lubuk hatinya, tapi sudah terlampau jauh untuk dipikir lagi sebab ia tahu membunuh ayahnya telah tewas di tang Tiong ciu it kiam sekalipun begitu pengalamannya yang selalu dihina, dicemoohkan dan dianiaya kini telah berubah menjadi suatu beban pikiran yang maha berat.   Terhadap cita2nya sendiri senyuman Tham bun ki serta kerlingan Sun kimpeng semuanya itu menjadi beban yang harus dipikulnya dan terasa semakin berat.   Tapi semuanya itu rasanya tak bisa diharapkan, memangnya apa yang dapat ia lakukan untuk semuanya itu? Kecuali kepercayaan terhadap nasibnya sendiri, pemuda yang sebatang kara ini tidak memiliki apa2 tidak mempunyai kepandaian apa2.   Kuda itu berjalan perlahan keluar dari hutan ia sendiripun tak tahu kemana akan pergi? Setelah mengikuti jalan itu, akhirnya ia muncul lagi di persimpangan tiga tadi, dengan termangu2 ditatapnya kedua arah jalan yang belum ditempuhnya tadi akhirnya sambil menggigit bibir ia memilih arah jalan yang lurus ke depan.   Tapi kuda itu mendadak tak mau turut perintah kuda tersebut justru bersikeras membelok arah yang lain menghadapi kejadian begini Hui giok jadi gemas, tali kendali kuda ditariknya kencang dipaksanya kuda itu melalui jalan pilihannya.   Akan tetapi kuda itu meringkik panjang kedua kaki depan tiba2 diangkat ke atas sehingga Hui giok jatuh terperosot ke bawah, kemudian kabur sekencang2nya.   Mendongkol hati pemuda itu, ia sambit kuda itu dengan batu, tapi kuda itu sudah kabur jauh batunya hanya berhasil menimpuk gumpalan debu yang mengepul.   Sambil menepuk badannya yang berdebu, pemuda itu putar badan berjalan menuju ke arah pilihannya sendiri, untuk pertama kalinya ia menentukan kehendaknya sendiri sekalipun yang dihadapinya seekor kuda.   Sang surya telah terbenam di balik pegunungan di sebelah barat senjapun tiba.   Ditengah remang2 cuaca Hui giok berjalan seorang diri, lapar dan penat membuat langkahnya sangat berat bagaikan dibebani benda ribuan kati sekalipun demikian ia sama sekali tidak menyesal karena tidak menunggang kuda itu, sama halnya seperti dia tidak pernah menyesal telah minggat dari Hui liong piaukiok yang menjamin makan dan pakaian serba cukup.   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Bayangan kota sudah nampak Hui giok percepat langkahnya setiba di pintu kota ia lihat kota tersebut tertulis kota Tin kang, ini dapat diketahui dari papan nama yang tertera di dinding benteng, dengan langkah lebar ia masuk ke dalam kota itu.   Hari mulai gelap, meskipun ia berjalan sambil membusungkan dada, padahal perut yang sangat lapar membuat matanya berkunang2 tiba2 ia lihat sebuah dompet jatuh dari saku seorang laki2 yang berjalan di depannya, cepat ia memburu maju dan memungut dompet itu dan mengejar ke depan serta mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya.   Bukannya terima kasih tiba2 orang itu melotot, dompet itu dirampas dengan secara kasar, setelah mengomel terus berlalu dengan begitu saja.   Hui giok melongo, ia tak tahu mengapa sekasar itu sikap laki2 tadi sekalipun demikian ia merasa bersyukur dan gembira, bagaimanapun juga ia telah membantu orang lain, dan merasakan kenikmatan bantuan yang dapat diberikan, tentang sikap orang itu terhadap dirinya ia tak perduli.   Begitu jujurnya pemuda itu ia sama sekali tidak berpikir seandainya dompet tadi ia bukan dikembalikan kepada pemiliknya tapi langsung masuk ke saku sendiri, paling sedikit dia takkan kelaparan dan menderita.   Setelah melintasi beberapa jalan, akhirnya pemuda itu duduk meringkuk di suatu sudut jalanan yang gelap, entah terlalu penat atau saking laparnya yang pasti sebentar saja ia sudah tertidur dengan nyenyaknya.   Waktu ia mendusin hari telah terang suara hiruk pikuk berkumandang di sekitar tempat itu, meski ia tak mendengar, tapi ia dapat melihat banyak orang berkerumun di seputar jalan, rupanya malam tadi ia tertidur di dekat sebuah penjual sayur, penjual kain dan aneka macam lainnya berdatangan ke situ dan mendirikan tenda2 mereka untuk berjualan.   Hui giok mengucek2 matanya sambil memperhatikan sekitar tempat itu, mendadak ia lihat seorang pemuda berusia sebaya dengan dirinya dengan memakai baju yang compang camping sedang duduk di suatu tanah lapang kecil di depan sana.   Waktu itu anak muda tersebut sedang mengeluarkan batu bata dari dalam karungnya dengan sangat hati2, batu bata itu ditaruh di atas tanah dengan rapi hingga berbentuk sebuah tungku, hitam pekat batu-batu itu karena terlalu sering dibakar dengan api, sekalipun demikian anak muda itu mengeluarkan dengan seksama dan hati2 seakan2 takut kalau terbentur keras hingga rusak atau pecah.   Hui giok merasa heran, ditatapnya anak muda itu dengan terbelalak kebetulan anak muda itupun berpaling dan memandang padanya, malahan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, ketika sinar mata saling bertemu Hui giok segera berkesan bahwa itu amat simpatik, sekalipun bajunya compang camping tapi matanya bersinar terang, memberi kesan kepada siapapun bahwa dia bukan orang licik.   Hui giok merangkak bangun dan duduk ia semakin memperhatikan tindak tanduk orang itu.   Setelah tungku selesai dibuat, orang itu mengeluarkan pula ranting kering dari karung goninya lalu menyulut api ke dalam tungku yang dibuatnya itu.   Selang sesaat kemudian api sudah berkobar dia keluarkan pula sebuah kuali besar dan ditumpangkan di atas tungku itu, lalu mengambil air dan air dituang ke dalam kuali.   Tindak tanduk yang serba aneh ini cepat menarik banyak perhatian orang bukan saja Hui giok dibikin tercengang bahkan nenek, nyonya yang sedang berbelanja serta sekawanan laki2 yang suka mencampuri urusan orang sama ikut berhenti dan mengerubungi tempat itu, semua orang ingin tahu permainan apakah yang hendak dilakukan pemuda itu, sebaliknya pemuda itu sedikitpun tidak menaruh perhatian kepada orang lain, seakan2 di sana hanya dia seorang melulu.   Setelah menghela napas panjang, pelahan dia keluarkan sebuah bungkusan kecil kain biru dari sakunya, Hui giok berbangkit dan menghampiri orang itu, iapun ingin tahu apa yang hendak dilakukan pemuda itu.   Dengan sangat hati2 bungkusan kain biru itu dibukanya selembar demi selembar akhirnya kelihatan bendanya, tersebut adalah sebuah gelang tangan yang terbuat dari tembaga.   Orang mulai berbisik2 semua orang sama menebak perbuatan apakah yang selanjutnya yang akan dilakukan pemuda itu, demikian pula dengan Hui giok saking ingin tahunya dia jadi lupa pada perutnya yang kelaparan, dengan tak berkedip diawasinya gelang tembaga tadi.   Mula2 pemuda itu menyentil beberapa kali gelang tembaganya, setelah di amati beberapa kejap, pelan2 gelang itu dimasukkan ke dalam kuali yang berisi air tadi, selama melakukan tindak tanduknya yang serba aneh ini tak sekejappun anak muda itu memperhatikan orang yang mengerumuninya.   Akhirnya seorang nyonya gemuk yang tak tahan rasa ingin tahunya maju ke depan, tegurnya "   He, anak muda sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?"   "   Memasak kuah"   Jawab pemuda itu dengan tak acuh seperti merasa pertanyaan orang agak berlebihan.   "Apa? Memasak kuah?"   Seru nyonya gemuk dengan mata terbelalak, dikucek2nya mata sendiri dengan jari tangan yang gemuk, kemudian mengawasi pula kuali itu beberapa kali, sambungnya nada kaget bercampur keheranan.   "Kau masak kuah dengan menggunakan gelang tembaga itu? "pemuda itu kembali mencibir seakan2 segera untuk memberi jawaban sesudah manggut pelahan matanya dipejamkan rapat2. karena kejadian tersebut orang yang berkerumun semakin heran, siapapun ingin tahu kuah apakah yang akan dihasilkan oleh gelang tembaga tersebut. Hui Giok sendiri, walaupun tak diketahuinya apa yang diucapkan orang itu namun rasa ingin tahunya juga bertambah besar, iapun merasa berat untuk meninggalkan tempat itu dengan begitu saja. Tidak lama kemudian air dalam kuali telah mendidih, pemuda itu membuka matanya ditambah beberapa ranting kayu ke dalam tungku kemudian ia ambil sebuah sendok kuah dari kantungnya, setelah sendok digosokkan dengan bajunya, ia menyendok air kuali tadi dan dicicipinya seteguk kemudian sambil pejamkan mata ia menghela napas.   "Ai, seandainya ada sedikit jahe dan bawang tentu akan lebih lezat rasanya ?"   Ia berguman "tapi ......kalau tak ada juga tak apalah?"   Seorang nona cilik yang rambutnya dikepang dua, dengan tersipu2 maju ke muka dan mengeluarkan segenggam jahe dan bawang, tanpa mengucapkan sepatah katapun bumbu masak itu diletakkan di depan pemuda itu, lalu dengan muka merah jengah ia mundur kembali.   Pemuda itu mengedipkan matanya, sekulum senyuman menghiasi bibirnya, ida ambil bumbu masak dan dimasukan ke dalam kuali.   Nyonya gemuk tadi ikut maju ke muka, dengan agak terbata2 ia berkata "   Aku....aku kira...kuahmu akan lebih enak kalau diberi sayur sedikit?"   Sambil berkata ia mengambil seikat sawi hijau dan diangsurkan kepada pemuda itu, sikapnya takut2 seakan2 pemberiannya akan ditolak.   Maka anak muda itu tidak menunjukkan rasa gembira malah seolah2 kurang senang karena pekerjaannya diganggu orang, sahutnya dengan acuh tak acuh "   Boleh juga!" - pelahan dia terima sawi hijau itu dan dimasukan ke dalam kualinya dengan ogah2an.   Setelah sawi hijau orang yang ingin tahu secara beruntun mendermakan pula bumbu mereka bahkan ada yang memberikan telur ayam, hati babi dan lain sebagainya.   Sedangkan pemuda sendiri tidak minta juga tidak menolak, dengan ogah2an ia masukkan semua barang pemberian itu semua barang itu ke dalam kuali.   Tak lama kemudian, bau sedap mulai mengepul keluar dari dalam kuali tersebut.   Mencium bau sedap itu, orang yang ingin tahu telah terpenuhi rasa ingin tahunya sambil menghela napas kagum.   "Ai, betapa sedap bau ini tahukah kau bau ini berasal dari kuah gelang tembaga?"   Dengan hati yang puas satu persatupun mereka meninggalkan tempat itu.   Hanya Hui giok saja yang masih berada di situ, ia tertawa, sebab itu dia telah memahami sesuatu yaitu .   bilamana kau sengaja memohon sesuatu, belum tentu kau akan memperolehnya sebaliknya bila kau tidak memohonnya malahan menolak, paling sedikit pura2 bersikap begitu maka benda yang sebenarnya kau dambakan itu akan disodorkan ke tanganmu.   Pada dasarnya Hui giok adalah pemuda cerdik, banyak persoalan yang dapat dipecahkannya hanya ia segan untuk memahaminya.   Pemuda tadipun tertawa, mereka saling berpandangan dengan tertawa suatu perasaan simpatik semacam hubungan batin segera saling kontak dimasing2 hati mereka, perasaan semacam itu baru dialami Hui Giok untuk pertama kalinya semenjak dilahirkan di dunia ini.   Pemuda itu menggapai Hui giok lalu berkata sambil tertawa.   "Maukah kau mencicipi kuah gelang tembagaku ini? Tanggung lebih sedap daripada kuah ayam"   Tentu saja Hui giok tidak mendengar apa yang dikatakan orang, dengan perasaan bingung dan menggeleng ditudingnya telinga dan mulut sendiri saat itulah suatu perasaan aneh kembali timbul.   Ia merasa semua rahasia hatinya boleh diutarakan kepada pemuda ini, ia tak perlu mengutarakan dengan perasaan malu, habis itu ia pun tak perlu merasa tak aman.   Pemuda tadi tampak melengong, rupanya ia sedang merasa heran apa sebabnya pemuda yang berada di depannya ini adalah seorang cacat bisu dan tuli ditatapnya Hui giok tajam2 menarik tangannya mendekati kuali yang menyiarkan bau sedap itu, ia menuding mulut sendiri lalu menuding mulut Hui giok akhirnya menuding kuali itu dan tertawa.   Baru pertama kali Hui giok berjumpa dengan pemuda itu, tapi mempunyai kesan yang baik terhadapnya, malahan merasa amat terharu ketika melihat sikap pemuda itu terhadapnya bukan sikap yang memandang rendah, bukan sikap menjadi belas kasihan tapi sikap seseorang yang ingin bersahabat dengan setulus hati maka ia ikut tersenyum dan mengangguk.   Pemuda itu tampak kegirangan, seketika mukanya berseri, dia menarik tangan Hui giok untuk diajaknya duduk disitu.   Tak terduga Hui giok malah menggeleng kepalanya ia tuding orang2 yang berkerumun itu disekitar pasar itu, lalu geleng kepalanya lagi.   Sebagai orang cerdik, pemuda itu segera memahami maksud Hui giok ia tertawa nyaring lalu serunya "   Hahaha, rupanya saudara tak suka suasana ramai disini...."   Baru separoh dia berkata, mendadak teringat olehnya bahwa orang bisu dan tuli serta membungkam kembali sambil menatap Hui giok.   Sekali lagi mata mereka bertemu, Hui Giok dapat menangkap bahwa dibalik sorot mata orang seakan2 terpancar perasaan menyesal, seolah2 takut ucapnya tadi akan menusuk perasaannya seketika darah panas dalam rongga dadanya bergelora, ia pegang tangan pemuda itu kencang2.   selama hidup Hui giok selalu berada dalam penderitaan, apa yang diterimanya selama ini kalau bukan penghinaan tentulah cemoohan sekalipun ada beberapa orang diantaranya baik kepadanya namun sikap mereka itu tak lebih hanya terdorong oleh perasaan kasihan saja.   Tidaklah heran ketika melihat sikap persahabatan yang tulus dari pemuda itu ia jadi sangat terharu, apalagi Hui giok memang pemuda yang perasa, asal orang lain sedikit baik saja kepadanya sekalipun harus membalas dengan kematiannya juga dia tak menyesal.   Begitulah mereka saling berjabat tangan dengan erat, saking terharunya air mata Hui giok bercucuran.   Pemuda terhitung seorang yang berwatak aneh, sejak bertemu Hui giok tadi suatu kesan baik lantas muncul dihatinya sekarang setelah saling pandang dan menggenggam tangan walaupun baru berjumpa untuk pertama kalinya dan tak sepatah katapun diucapkan tapi timbul perasaan gembira seakan2 sahabat lama yang sudah bertahun tak berjumpa dan kini bertemu kembali.   Entah berapa lama kedua orang itu berdiri saling pandang, tiba2 pemuda itu tersenyum, ia lepaskan tangan Hui giok lalu menepuk bahunya kemudian setelah menyimpan kembali semua barangnya ke dalam karung dengan tangan kiri mengangkat karung tangan kanan membawa kuali mereka berlalu dengan langkah lebar.   Istimewa sekali cara pemuda ini membawa kuali berisi kuah itu, ia hanya menjepitnya dengan ibu jari, jari tengah serta jari telunjuk terus meninggalkan pasar malahan beberapa batu batapun itupun tak diambil lagi.   Banyak orang berlalu lalang di sekitar pasar itu, para penjual sayur, buah2an, daging dan lain sebagainya yang sejak tadi memang merasa heran terhadap pemuda berpakaian compang camping itu kini menyaksikan betapa ia menjepit kuali penuh kuah panas itu hanya dengan tiga jari saja semua orang jadi tercengang mereka tak tahu orang macam apakah pemuda itu.   Hui giok juga kaget, meski rendah ilmu silatnya, tapi sudah terbiasa baginya bergaul dengan jago2 persilatan sejak kecil.   Dari kemampuan anak muda itu menjepit kuali hanya dengan jari tangannya, sadarlah Hui giok bahwa rekannya ini berilmu tinggi.   Seringkali ia dengar orang berkata bahwa banyak jago lihay yang hidup bersembunyi di tengah masyarakat biasa, sekarang ia telah membuktikan sendiri, pemuda yang tampaknya masih muda, sebaya dengan usianya, ternyata memiliki kungfu yang hebat.   Berpikir sampai di situ, tanpa terasa ia teringat akan keadaan sendiri, diam2 ia membenci akan ketidak-becusan dirinya.   Tiba2 dilihatnya pemuda itu menghentikan langkahnya sambil tersenyum sinar matanya penuh rasa persahabatan tanpa terasa ia pun tersenyum lalu mengikut kesana dengan langkah lebar.   Sepanjang jalan banyak orang memandang mereka dengan sorot mata heran, tapi pemuda itu tidak menggubrisnya, ia membawa Hui giok melintasi jalan besar, Hui giok tak tahu kemana akan pergi, tak lama mereka sudah berada di pinggiran kota.   Pemuda itu tidak berhenti kembali kendati sudah jauh meninggalkan kota, hawa panas yang mengepul keluar dari kuali itu kian tipis, tampaknya sebentar lagi akan jadi dingin.   Hidung pemuda itu mencium beberapa kali dengan alis berkerut ia tersenyum ke arah Hui giok lalu berjalan sesaat akhirnya berhenti di atas suatu gundukan tanah, setelah meletakkan kuali dan barangnya, ia rentangkan tangannya sambil berputar dan tertawa terbahak2.   Hui giok memandang sekeliling tempat itu, tidak ditemuinya sesosok bayangan manusiapun diantara pepohonan yang hijau seta naha ladang yang hening iut, iapun tertawa dan lenyaplah bagian besar rasa jengkelnya.   Kuali diletakkan di atas batu, pemuda itu memindahkan pula dua potong batu besar untuk tempat duduknya dan Hui giok sebuah sendok besar dan sebuah sendok kecil dikeluarkan.   Sendok besar diberikannya kepada Hui giok ia menggunakan sendok kecil untuk mengambil kuah dalam kuali dan meminumnya.   Baru dua sendok pemuda itu dahar, tiba2 ditaruh kembali sendoknya, dari dalam karung diambilnya sebuah holo (buli) besar, setelah meneguk dua cegukan, ia serahkan holo itu kepada Hui giok.   Sejak dilahirkan belum pernah Hui giok minum arak meski setetespun, agak tertegun ia menerima holo itu.   Ketika dilihatnya pemuda itu sedang memandangnya dengan tersenyum, tanpa ragu2 lagi holo itu diambil dan meneguknya satu tegukan.   Tidak terasa pedas ketika arak itu mengalir ke dalam kerongkongannya tapi setelah mengalir masuk ke perut dirasakan hawa panas yang segera menyebar ke sekujur badannya dalam waktu singkat seluruh badan terasa nyaman dan segar.   Meski Hui giok belum pernah minum arak selama masih berada dalam perusahaan Hui liong piaukiok seringkali ia mendengar orang membicarakan tentang perbedaannya antara arak kwalitas baik dan jelek, mereka bilang hanya arak baik yang segera dapat dirasakan kenyamanannya begitu arak masuk ke dalam perut.   Berpikir sampai di sini hatinya kembali tergelak diam2 dia geli entaj dengan cara bagaimanakah arak ini diperoleh anak muda ini? Nyata dia tidak tahu arak itu adalah arak bagus, bahkan arak berkualitas paling tinggi.   Selama hidup baru pertama kali ini Hui giok minum arak, sekalipun ia telah merasakan sedapnya arak yang diminumnya, toh takarannya minimum arak terbatas, tak lama kemudian ia sudah mabuk ia merasa benaknya kosong dan enteng, ingin terbang rasanya.   Dilihatnya pemuda itu memegang Holo arak ditangan kiri, sendok ditangan kanan diketuk2kan pada kuali matanya mencorong memandang ke atas tampaknya sedang bersenandung dengan suara lantang.   Hui giok tak mendengar suara senandung orang tapi dari mimik wajahnya yang berubah2 dari matanya yang berkaca2 serta air muka yang penuh kesedihan dapat dirasakan olehnya pemuda itu penuh dengan kesedihan.   Tiba2 pemuda itu buang Holo itu, arak wani segera tercecer dimana2 tapi ia tidak peduli dipegangnya tangan Hui giok erat dan menangis tersedu2, semua ini membuat Hui giok tercengang persoalan apakah yang sedang dihadapi anak muda ini? Mengapa sedemikian sedih ia menangis? Ia lantas teringat akan dirinya bukankah ia sendiripun masih muda, bukankah iapun memiliki banyak persoalan yang menyedihkan, seketika pelbagai kenangan lama terlintas kembali dalam benaknya, tak tahan lagi ia pun menangis tersedu sedan.   Walaupun tangisan kedua orang itu yang satu bersuara dan yang lain tidak, namun keduanya sama sedihnya.   Tiba2 pemuda itu mendorong tubuh Hui giok lalu diambilnya sepotong batu dan digoreskan pada tanah sehingga tertulis "   Mengapa begitu banyak persoalan yang menyedihkan hatimu?"   Hui giok tertegun, justru pertanyaan ini hendak ditanyakan, tapi perasaannya ketika itu memang tersumbat, ia sangat berharap dapat menumpahkan ganjelan hatinya itu kepada seseorang, maka diambilnya batu itu dan dibeberkannya dengan tertulis kejadian yang dialaminya selama ini diatas tanah.   Setelah menulis ia menghapus tulisan itu dan menulis lagi, entah sudah berapa lama ia membeberkan asal usulnya sehingga tanah yang dipakai untuk menulispun jadi gembur dan harus pindah ke tempat lain, ia menulis terus sampai tangannya pegal, ia beristirahat sebentar tapi rasa sedihnya sukar dibendung, ia menangis lagi.   Pemuda itupun membaca sambil menangis dijemputnya kembali Hiolo arak yang dibuangnya tadi lalu bersama Hui giok menghabiskan sisa arak yang masih tertinggal itu.   Semula anak muda itu menangisi nasibnya sendiri, tapi sekarang dia ikut menangisi nasib Hui giok yang jelek, akhirnya arakpun habis, air matanya kering sang surya sudah bergeser ke tengah cakrawala malah sudah condong ke barat.   Tiba Hui giok bangkit berdiri, dibuangnya jauh2 batu yang digenggamnya itu, perasaannya sekarang terasa lebih lega, sebab setelah sekian tahun akhirnya ia berhasil menemukan seorang untuk membeberkan segenap kedukaannya.   Sesudah semua kemurungan dan kekesalan terlampiaskan ia merasa pikirannya jadi kosong persoalan apapun tak terpikirkan lagi olehnya, malahan perasaan ingin terbang kembali timbul lagi untuk pertama kalinya ia merasakan arak adalah suatu benda yang aneh untuk pertama kalinya pula ia merasakan menangis adalah suatu kejadian yang aneh.   Senja sudah hampir tiba angin yang berhembus membawa udara yang dingin tapi hati kedua pemuda itu masih tetap hangat, rasanya tak ada persoalan apapun di dunia ini yang dapat mendinginkan pergolakan darah yang mengalir dalam tubuh mereka.   Ketika menuruni bukit kecil itu, matahari telah lenyap sama sekali di balik gunung.   Cahaya senja menghiasi langit barat dengan indahnya, meski suasananya tak banyak berbeda, dengan masa lalu tapi perasaan Hui giok sekarang sudah jauh berbeda sekarang ia sudah mempunyai sobat karib ia tak merasa kesepian lagi sekalipun sampai detik itu belum diketahui olehnya nama pemuda itu.   Pemuda itu memanggul karungnya tangan lain merangkul bahu Hui giok, karena banyak menegak arak langkah mereka agak sempoyongan tapi berjalan cepat, Hui giok merasa seakan2 ada orang mendorong punggungnya tanpa terasa langkahnya jadi cepat.   Ia tahu tenaga tersebut terpancar dari tangan pemuda yang merangkul bahunya itu diam2 ia semakin kagum terhadap kebolehan kungfu orang itu.   Dua orang berjalan tanpa arah dan tujuan, entah berapa lama mereka sudah berjalan suasana disekitar tempat itu, makin lama makin sepi, sekarang sudah tak nampak tanah ladang lagi yang ada cuma semak belukar dimanakah mereka harus beristirahat malam nanti.   Waktu menengadah dan memandang ke depan diantara remang2 cuaca tiba2 dilihatnya bayangan sebuah bangunan muncul dibalik pepohonan dalam keadaan masih mabuk ia tak tahu bangunan apakah itu, iapun tak perduli apakah pemilik gedung itu bersedia menerima kedua pemuda dekil semacam mereka untuk menginap di rumahnya ia menarik baju pemuda itu dan menuju gedung tersebut dengan langkah lebar.   Betapa girangnya Hui giok setelah tiba di sana, ternyata pintu gerbang itu terpentang lebar.   Orang lain pasti keheranan bila menemukan sebuah gedung di tempat terpencil dengan pintu terpentang lebar, tapi kedua pemuda ini yang tujuh bagian masih terpengaruh oleh arak, mereka tak perduli tetek bengek itu, langsung mereka masuk ke dalam bangunan itu, mereka melongok ke dalam tertampaklah bangunan tersebut sangat besar dan megah Cuma tak nampak setitik cahayapun.   Siang hari pada musim panas lebih panjang daripada malam hari meski sudah petang tapi remang2 masih dapat terlihat keadaan di dalam rumah.   Mereka masuk ke ruang tengah, sarang laba2 tampak menghiasi setiap sudut ruangan, meja kursi sama rusak ternyata bangunan yang megah ini hanyalah bangunan kosong yang sudah tak berpenghuni lagi.   Pemuda itu terbahak2 ia taruh karungnya di atas meja, mendadak meja itu patah dan ambruk.   Hui giok tertawa menyaksikan adegan tersebut pikirnya "Pantas saja ambruk, karungmu segede gajah entah beberapa ratus macam barang yang kau simpan di situ!"   Sambil membatin, ia berjalan ke samping dan duduk di atas kursi yang ada di sana.   "Krak!' baru saja pantatnya menempel kursi itu, tiba kursi itupun patah dan ambruk. Hui giok kehilangan keseimbangan badan tanpa ampun iapun jatuh terduduk di lantai. Terbahak2 pemuda itu, dia memburu maju, maksudnya akan membangunkan Hui giok siapa tahu kakinya melangkah ke depan, telapak kakinya terasa terjeblos ke dalam sebuah lubang yang cukup dalam ia terkejut dan tundukkan kepalanya untuk memeriksa apa yang terlihat membuat hati anak muda itu terkesiap. Cahaya remang2 dari luar masih dapat menerangi tempat ini, tertampaklah tujuh delapan bekas telapak kaki yang mendekuk di lantai sedalam hampir tiga inci rupanya kaki pemuda itu nyaris menginjak ke dalam bekas telapak kaki itu. Heran Hui giok ketika mendadak ia melihat senyuman yang semula menghiasi wajah pemuda itu lenyap dan sedang memandangi permukaan lantai dengan melengong karena heran ia menghampiri rekannya, namun apa yang kemudian terlihat membuat dia terkejut. Perlu diterangkan bahwa gedung ini bangunan kuno yang sangat kukuh dan kuat, permukaan lantai raung iut terbuat dari plesteran semen yang tebal dan kuat akan tetapi bekas telapak kaki itu sanggup tertera sedalam tiga inci, itu menandakan orang yang melakukan perbuatan tersebut memiliki tenaga dalam yang benar2 luar biasa. Dengan kepala tertunduk pemuda itu termenung beberapa saat lamanya kemdian dihampirinya kursi yang ambruk diduduki hui giok tadi ketika tangannya menyentuh kursi tersebut, tahu2 kursi kayu mrah yang kelihatannya kukuh itu hancur lumat menjadi bubuk berkerutlah alisnya menyaksikan kejadian itu, tangannya segera mengebut ke depan sisa kursi kayu merah itu seketika hancur tanpa bentuk lagi. Meski usianya masih muda, pengalamannya di dunia persilatan cukup luas, ia tahu kursi kayu merah itu bukan lapuk dimakan rayap atau lantaran terlampau lama usianya, dengan tatapan tajam ia coba memeriksa keadaan di seputar sana, betul juga di depan kursi tadi ditemuinya lagi dua pasang bekas telapak kaki yang juga mendekuk ke dalam lantai. Dia mundur beberapa langkah, bekas2 telapak kaki itu kembali ditelitinya, terbukti bahwa beberapa bekas telapak kaki itu membentuk satu lingkaran di depan bekas telapak kaki yang ditemui terakhirnya. Diam2 dia membatin "   Jelas bekas telapak kaki yang ditinggalkan oleh jago lihay yang mengadu tenaga dalam tempat ini, bahkan ada tiga atau empat orang yang turun tangan bersama2 untuk mengerubuti orang yang duduk di kursi itu"   Selagi ia termenung tiba2 Hui giok menepuk badannya dan menuding ke arah bekas telapak kaki yang tertera di lantai itu ia memberi sesuatu tanda lalu geleng2 kepala seperti orang keheranan.   Mula2 pemuda itu merasa bingung tapi dengan cepat ia dapat memahami, dia tahu kode tangan Hui giok menunjukkan angka tujuh sinar matanya segera dialihkan ke permukaan lantai, betul juga, selain kedua bekas telapak kaki yang ditemuinya di depan kursi itu, hanya tujuh telapak kaki lagi yang ditemukan, pada sisi telapak kaki yang paling kanan ia temukan juga sebuah lubang.   Dengan berkerut kening ia termenung lagi berapa saat lalu diambilnya karung besar itu setelah mencari sejenak akhirnya pemuda itu mengeluarkan sebatang lilin dan sebuah korek api, setelah lilin dipasang, meski sinarnya Cuma kelip2 tapi cukuplah memberi penerangan.   Dengan memegang lilin ia mulai memeriksa isi ruangan itu dengan seksama, tiba2 dia berseru kaget, dengan cepat ia memburu ke kaki dinding tepat dibelakang kursi merah yang hancur tadi, Hui giok ikut menengok tertampaklah tujuh titik cahaya tajam tertera nyata di atas dinding itu, lambang itu teratur rapi, itulah lambang Pak to jit seng (bintang tujuh).   Lilin didekatkan ke dinding ketika diamati dengan lebih seksama lagi, terlihatlah tujuh batang paku baja menancap dalam2 di dinding tersebut di bawah cahaya lilin.   Hui giok merasa muka orang berubah pucat dengan dahi berkerut sedang merenungkan masalah itu.   Meski Hui giok juga merasa heran akan cahaya bintang serta bekas telapak kaki itu tapi kemudian ia merasa persoalan ini sebetulnya tiada hubungan apa2 dengannya, buat apa dia buang tenaga dan pikiran untuk mengurusnya.   Ia tersenyum lalu berjalan mengitari ruangan itu tiba2 ia tertarik oleh sebuah lukisan yang tergantung di sudut ruangan ia merasa lukisan itu tidak serasi diruangan demikian ini.   Ia merasa heran dilihatnya pemuda itu masih memandang kerlip bintang di dinding itu dengan terkesima, iapun tidak menyapanya lagi dihampirinya lukisan yang tergantung di sudut ruangan tersebut.   Cahaya lilin sangat lemah namun ia masih dapat melihat lukisan itu dengan jelas, lukisan yang menggambarkan sebuah tebing terjal dengan jurang yang tampak dalam sekali, begitu dalamnya jurang itu hingga tak tampak dasarnya seorang buat dengan membawa tongkat berdiri di tepi tebing, sementara seorang pelajar berjubah panjang duduk bersandar pohon sambil meniup seruling.   Tampaknya si buta itu asyik mendengarkan irama seruling sehingga lupa bahwa jalan di depannya telah putus, tampaknya bila ia maju selangkah lagi pasti akan terjerumus ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya.   Lukisan itu sangat indah dan hidup, sampai mimik wajah si buta terlukis nyata, diantara langit yang biru, bunga yang indah, si buta berdiri seperti orang mabuk seakan2 ia tak mengira kalau selangkah lagi ke depan dia akan terjatuh ke dalam jurang dan mati dengan mengerikan.   Makin lihat Hui giok merasa makin tak tega kejam amat pelukis ini, mengapa ia menggambarkan seorang buta dalam keadaan begini.   Hui giok seorang pemuda berhati lembut, ia tak tega melihat penderitaan orang meskipun itu hanya sebuah lukisan hatinya jadi sedih, diam2 dia merasa gemas mengapa ia tak dapat lari ke dalam lukisan itu dan menarik si buta agar tidak terjerumus ke dalam jurang.   Sambil menghela napas ia berpaling ke arah lain, ia tak tega melihat lebih lama lagi.   Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tiba2 sorot matanya menemukan sesuatu, itulah sebuah meja kecil di sudut sana, di atas meja ada tempat tinta yang belum kering.   Jilid ke - 5 Dengan girang ia tak perduli lagi siapa gerangan pemilik gedung itu dan mengapa ada tinta di situ, dengan cepat diraihnya tinta dan sebatang pit dihampirinya lukisan tadi dan dilukisnya seorang lagi di belakang si buta.   Dipihak lain, pemuda tadi sedang bergumam setelah termenung sebentar "Pak-to-jit-sengciam, tujuh jarum bintang mungkinkah Pak-to-jit-sat telah muncul di tempat ini? Lalu siapakah yang duduk di kursi itu?"   Dia berpaling, ketika dilihatnya Hui Giok sedang melukis sesuatu di sudut ruangan itu.   ia melengak, dengan langkah lebar ia menghampiri Hui Giok.   Hui Giok masih melukis dengan penuh perhatian, ia sedang melukis seorang pemuda berjubah panjang dan sedang mengulurkan tangan hendak mencengkeram bahu si buta.   Meski Hui Giok tak pernah belajar melukis tapi ia memang bocah yang berbakat, lukisannya cukup hidup, bahkan raut wajah pemuda yang dilukisnya itu rada mirip wajahnya sendiri.   Melihat itu, pemuda tadi tertawa geli, sedangkan Hui Giok sendiri sedang memandang ke kirikanan dengan tersenyum pula agaknya ia merasa puas dengan hasil karyanya itu.   akhirnya dia melukis pula sebilah pedang yang tergantung di punggung pemuda itu, lalu pit di buangnya dan menghela napas panjang.   Sampai saat itu Hui Giok masih berdiri di depan, sama sekali tak tahu kalau rekannya telah berdiri di sampingnya, Baru saja Hui Giok membuang pit ke lantai, tiba2 di atas atap rumah berkumandang suara suitan nyaring memekak telinga, suara itu tinggi melengking menggema angkasa.   Dengan terkejut pemuda tadi mundur tiga langkah ke belakang sambil menengadah, namun atap bangunan itu penuh debu dan sarang laba-laba, tak sesosok bayanganpun yang tampak.   Cepat ia taruh lilin di lantai, ia rentangkan, kedua tangannya dan siap melayang ke atas untuk memeriksa keadaan di situ.   Tapi sebelum ia bergerak, gelak tertawa nyaring tadi kembali berkumandang dari luar, suara itu seakan-akan muncul dan tempat yang jauh, tapi sejenak saja pemuda itu merasa pandangannya jadi kabur, tahu2 di depan pintu telah bertambah sesosok bayangan manusia.   Di bawah sinar lilin dan cahaya bintang di luar, tertampak orang itu berperawakan tinggi besar dia mengenakan jubah berwarna biru, tangan yang satu menggoyang-goyangkan kipasnya dan tangan yang lain mengelus jenggot.   pelahan dia berjalan masuk ke dalam ruangan, sorot matanya yang tajam menyapu pandang sekeliling ruangan.   "Cepat amat gerakan orang ini,"   Demikian pikir pemuda itu.   Ketika ia menengadah, dilihatnya orang itu sedang mengawasinya, lalu tertawa lagi dengan nyaringnya.   Gelak tertawanya yang nyaring itu membuat telinga pemuda itu mendengung, kembali ia terkejut "Hebat benar tenaga dalam orang ini.   Hanya Hui Giok yang tidak terpengaruh oleh suara gelak tertawa itu dia masih tetap memperhatikan lukisan tadi dengan seksama, ia sama sekali tidak mendengar suara tertawa itu, iapun tidak tahu kemunculan orang itu, dalam hati ia sedang berpikir "Betapa senangnya jika setiap orang yang mengalami kesulitan di dunia ini dapat kutolong"   Diam2 ia menyesal tidak dapat menjadi pemuda berpedang yang baru dilukisnya itu, dengan pedang di tangan ia dapat malang melintang di dunia persilatan dan menolong kaum lemah dan kesulitannya.   Pelahan kakek yang berperawakan tinggi besar itu masuk ke dalam ruangan, sambil tertawa nyaring tiba-tiba ia berkata "Aku Cian Hui, bolehkah kutahu siapa nama Anda"   Pemuda tadi tertegun dan kaget "Dia inikah yang terkenal sebagai Sin-jiu (si tangan sakti) Cian Hui?"    Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini