Patung Emas Kaki Tunggal 6
Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH Bagian 6
Patung Emas Kaki Tunggal Karya dari Gan K H "Jimoy! orang sedang bertanya kepada kau! Apa kau tidak dengar?" Perempuan itu tersentak sadar sahutnya lantang. "Musid Bu-khek-bun Im Tiat-kun!" Peng Kiok-jin terloroh-loroh, ujarnya . "Sudah sekian tahun nenek tua ini tidak berkecimpung di Kangouw, badut dan panca longok berani malang melintang, maka kaupun harus berlutut seperti dia!" Mendengar ancaman yang lantang ini seketika Im Tiat-kun melongo, tapi Peng Kiok-jin tidak memberi kesempatan ia berpikir, se enteng asap tiba-tiba tubuhnya meluruk ke depan, jari tangannya tertekuk terus menjentik meluncurkan sejalur angin keras. Belum lagi Im Tiat-kun sempat bersiap dan melawan, tibatiba terasa lututnya lantas tak bertenaga, badannya sudah bergoyang hampir berlutut, berobah air muka Im Siok-kun, lekas sebelah tangannya mendorong ke samping. Pukulan telapak tangannya bukan menyerang Pek Kiok-jin yang menyergap tiba, tapi mendorong Im Tiat-kun sambil berteriak. "Murid Bu-khek-pay adalah perempuan perkasa yang rela mati menjadi mayat daripada dihina!" Melihat Im Tiat-kun mampus dengan tujuh lobang inderanya mengalirkan darah, Peng kiok-jin menjadi gusar. "Terhadap saudara Sepupu sedemikian kejam ." "Memang ini sudah menjadi perundang-undangan keluarga kita!" Kata Im Siok-kun ketus. "Tak perlu kau bersedih bagi kita, meski dia mampus di tanganku, tapi kami harus mencari perhitungan kepada kau.." "Kau sendiri yang bunuh kerabatmu, tapi orang lain yang harus bertanggung jawab hidup semua ini, baru sekarang aku nenek tahu ada peraturannya si kentut busuk ini, tapi cara bagaimana kau hendak mencari perhitungan denganku?" "Gampang saja! Hutang darah bayar darah, hutang jiwa harus bayar jiwa!" Im Siok-kun mengulapkan tangan, dua perempuan lain yang berada di samping Im Siok-kun segera melolos pedang hendak turun tangan, cepat Thio Ceng Ceng tampil ke depan, serunya. "Tunggu sebentar, mari kita bicara dulu." "Mengobrol apa lagi?" Teriak Peng Kiok-jin gusar. "Kalau mereka mampu, silahkan bawa nenek tua ini untuk menebus jiwanya. Ka lau tidak aku akan bikin mereka berlutut minta ampun kepadaku, ingin kulihat apakah Bu khek-pay kalian ada orang yang suka berlutut dan mandah dihina." "Toanio" Bujuk Thio Ceng Ceng. "kuharap kau bersabar sebentar, mereka mengatakan ayahku berbuat apa, aku harus tanya duduk persoalannya." Terpaksa Peng Kiok-jin mengalah mundur ke samping. Baru sekarang Thio Ceng Ceng berkesempatan bicara kepada dua perempuan itu. "Kuharap kalian suka menunggu sebentar, setelah aku bicara dengan Ciang-bunjin kalian, belum terlambat kita teruskan pertarungan ini." Kedua perempuan itu berpaling ke arah Im Siok-kun, agaknya menanti perintah lanjut, maka Im siok-kun berseru gusar. "Tiada yang perlu dijelaskan lagi! Kalau kau adalah putri Thio hun-cu, maka kaulah orang kita cari, perbuatan bapakmu yang bangkotan itu terpaksa kau yang menerima hukumannya!" Gusar dan gugup Thio Ceng Ceng dibuatnya, teriaknya. "Sebetulnya apa yang dilakukan ayahku?" "Kau kan putrinya masa tidak tahu?" "Setahun yang lalu aku sudah berpisah dengan ayahku, sampai sekarang belum pernah berjumpa kembali. ." "Apa benar ucapanmu? tanya Im Siok-kun tidak percaya. "Buat apa aku membual? Waktu Koan-toako terkena racun, akulah yang membawanya mencari obat, selama ini belum pernah berpisah sedikit pun, kau tidak percaya, silahkan kau tanya dia!" Im Siok-kun berpaling ke arah Koan San-gwat, katanya. "Kau adalah Bing-to Ling-cu, ucapanmu boleh dipercaya, kau berani tanggung bahwa ucapannya benar?" "Aku yang rendah berani mempertaruhkan batok kepalaku ini, bahwa ucapan tetua Thio memang benar, selama setahun ini dia selalu ikut aku, belum pernah jumpa dengan paman Thio." "Aneh!" Seru Im Siok-kun tertegun. "dua hari yang lalu ada orang melihat Thio-Hun-cu berada di Ciu-cwan bersama seorang gadis, maka kami menyusul kemari." Koan San-gwat melengak, katanya. "Dua hari yang lalu kami masih ada di Ciu-cwan, kami juga mencari paman Thio, kenapa kami tidak melihatnya? Apakah orangmu itu tidak salah lihat?" "Tidak mungkin salah, Thio Hun-cu sekarang menjadi incaran orang banyak, orang tidak dapat dikelabui olehnya." "Ya, memang kemungkinan, tapi gadis itu sudah pasti bukan nona Thio!" Im Siok-kun merenung sebentar lalu berkata pula dengan gusar. "Seumpama benar mereka sudah lama tidak hidup bersama, tapi hari ini kami sudah menemukan putrinya, kita harus menuntut pertanggungan jawab ayahnya kepada anaknya, kau adalah putri Thio Hun-cu maka kau harus berani menanggung akibat ini." "Sebenarnya apakah yang telah dilakukan ayahku? Begitu benci kalian terhadap beliau!" Kata Im Siok-kun gemas. "Kalau diceritakan, kau sebagai putrinya mungkin bangga akan perbuatan ayahmu, sejak Thio Hun-cu lolos dari Loh hun-kok setahun yang lalu, karena dia paham cara memunahkan racun Ui-ho-ciu-oe-sa itu semua hadirin menaruh hormat dan segan kepadanya. ? "Sebagai tabib yang memperdalam ilmu pengobatan, adalah tanggung jawab beliau menolong sesama manusia!" Ujar Thio Ceng Ceng tertawa. Im Siok-kun menyeringai dingin, sambungnya. "Kau dengarkan saja nanti kan tahu betapa bagus perbuatannya. Sejak peristiwa di Loh-hun-kok itu mendadak dia menghilang. Kira-kira sebulan yang lalu, mendadak muncul. Dia bertandang ke markas berbagai golongan dan aliran besar kecil. Karena perbuatan suhunya dulu sudah tentu semua pihak suka bersahabat dengan dia. Siapa tahu manusia berhati binatang itu, ternyata melakukan perbuatan hina dina yang memalukan." "Kau bohong!" Maki Thio Ceng Ceng. "Ayahku bukan macam itu!" "Apa yang dilakukan ayahmu, kini seluruh manusia di kolong langit pasti ingin merajangnya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya. Di Siau-Lim-sie ia mencuri buku rahasia Ih-kin-keng karya Tatmo Cousu, dengan keji meracun Ciangbunjin Siau-lim-pay Thong Sian Taysu hingga bisu dan tuli, badannya lumpuh lagi. Di Bu-tong ia melarikan buku pelajaran pedang dan meracuni Bu-tong Ciangbun Thian-ki Totiang hingga mati. Soalnya partai dan golongan lain, aku sendiri belum mendapat kabar yang pasti, entah perbuatan laknat apa lagi yang sudah dilakukan, tapi mereka mengejar Thio Hun-cu begitu ketat, tentu terjadi perkara besar.." Thio Ceng Ceng terpukul hatinya, sambil menutupi mukanya ia berteriak. "Kau bohong! Mana mungkin ayah melakukan perbuatan semacam itu.." "Kenapa kau tak mau meluruk ke Siau-lim-si untuk mencari bukti?" "Sudah tentu aku akan ke sana!" "Nanti dulu!" Koan San-gwat menimbrung pembicaraan dengan sungguh-sungguh. "Aku bergaul cukup lama dengan paman Thio. Aku tahu watak dan perangainya, ia tidak mungkin melakukan perbuatan yang hina dan memalukan itu, apalagi persoalan ini banyak lobang kelemahannya. Seperti apa yang kau katakan, kukira golongan atau aliran yang mengalami nasib jelek tidak mungkin sebanyak itu, cukup dua golongan saja pasti akan menyiarkan berita jelek itu, golongan yang lain cepat akan berlaku waspada, mana mungkin bisa satu persatu kena ditipunya mentah-mentah?" "Justru di sinilah kelihaiannya Thio Hun-cu," Im Siok-kun menyeringai. "Dia bekerja dari timur ke barat, secara beruntun dan teratur, berita yang tersebar di luar kalah cepat dengan gerak-geriknya. Di kala golongan di sebelah barat memperoleh berita, dia sudah datang dan bekerja beberapa lamanya .. " Koan San-gwat geleng -geleng kepala. "Kenapa sepanjang jalan kita kemari, sedikit pun tak tahu menahu persoalan ini?" "Perbuatan jahat yang dilakukan Thio Hun-cu kebanyakan menyangkut rahasia berbagai golongan besar kecil atau beberapa tokoh atau orang-orang penting itu, tiada yang berani membeber borok yang memalukan ini, sudah tentu kalian tidak bisa mendengar berita penting ini." Dengan tenang dan dingin bertanyalah Koan san-gwat. "Lalu pihak Bu khek-kiam-pay kalian mengalami musibah apa?" Sesaat Im Siok-kun bimbang, akhirnya Ia berkata sambil kertak giginya. "Apa yang menimpa golongan kita jauh lebih memalukan dari golongan lain!" "Apakah buku pelajaran Bu khek-kiam-pay kalian dicurinya?" Koan San-gwat menegas. "Bu khek-kiam-hoat terbagi dua jilid, Jilid kedua adalah pelajaran umum bagi seluruh anggota Bu-khek-kiam-pay kami, Jilid pertama berisi delapan gerak pelajaran ilmu pedang, khusus diajarkan untuk Ciangbunjin, siapapun tidak mungkin bisa mempelajarinya, sudah tentu Jilid pertama ini dia tidak berhasil membawanya lari." "Lalu apa kerugian kalian?" Wajah Im Siok-kun beringas, serunya berapia-api. "Tujuannya yang terakhir adalah Im-san kami, aku belum pernah ketemu dengan dia, cuma kudengar namanya cukup tenar sebagai pendekar kelana, maka dengan tangan terbuka kusambut kedatangannya. Siapa tahu." Bicara sampai di sini ia tidak kuasa meneruskan saking gusarnya. "Bagaimana ayahku?" Thio Ceng Ceng bertanya. Im Siok-kun kertak gigi serunya bengis. "Dia. memperkosa putriku yang terkecil Im Le-hoa dan meracunnya hingga pikun." Koan San-gwat tersentak kaget, sesaat ia melongo, lalu katanya. "Ini. agaknya tidak mungkin! Mana mungkin paman Thio melakukan" "Anggota Bu khek-kiam-pay kita terdiri dari kaum hawa. Kalau bukan dia siapa yang berbuat .?" Semula Aku tidak Percaya, tapi setelah aku bertemu murid Siau-lim-pay dan Butong- pay maka dapatlah dipastikan tentu perbuatannya." Thio Ceng Ceng seperti kehilangan akal pikirannya yang jernih, tiba-tiba ia berteriak sambil menangis . "Kau bohong. katu bohong." Di bawah sinar bulan tampak air muka Im Siok-kun pucat, dengan suara berat ia berkata "Tiang-hoa! Bawa adikmu kemari!" Dengan muka sedih itu Tiang-hoa menuntun keluar seorang gadis berpakaian hitam, wajahnya cantik molek, usianya tujuh belasan, kedua matanya mendelong terus tidak bergerak, gerak-geriknya serba linglung. Im Siok-kun mendelik kepada Thio Ceng Ceng, serunya gusar. "Tentu kau pun mahir ilmu pengobatannya, silahkan kau periksa buah karya bapakmu." Thio Ceng Ceng mengusap air mata maju ke depan si gadis, dia membalik kelopak matanya serta memeriksa dengan cermat, meraba urat nadinya pula, terakhir ia berikan kepada Peng Kiok-jin. "Toanio! Harap beri sebutir Peng-sip-coat-pengsan!" Dengan serius Peng kiok-jin membuka buntalan menuang sebutir pil dan diberikan kepada Thio Ceng Ceng, Ceng Ceng jejalkan pil itu ke mulut si gadis. Cepat Im Siok-kun membentak. "Obat apa yang kau berikan kepadanya?" Peng Kiok-jin segera menjawab. "Kau tidak usah kuatir, kami tidak akan memberinya racun!" Dengan perasaan tegang dan was-was Thio Ceng Ceng memeriksa denyut nadi si gadis lalu mengurut-urut, setelah itu ia mundur dua tindak menanti reaksinya, kulit mukanya berkerut-kerut gemetar. Koan San-gwat maju mendekat serta bertanya. "Nona Thio! Kenapa kau?" Sahut Thio Ceng Ceng prihatin . "Kalau obatku itu dapat menolongnya sadar. ?" Tidak berani dia meneruskan ucapannya, beberapa saat Koan San-gwat seolah-olah ikut tenggelam, ia berdiri diam tak bergerak di sampingnya. Entah berapa lama kemudian, biji mata itu mulai bergerakgerak, bibirnya bergerak menggumam beberapa patah kata. Thio Ceng Ceng menjerit terus menangis keras menutup muka dengan kedua telapak tangannya, teriaknya. "Koantoako tiada muka aku hidup.. Jantung Koan San-gwat berdebar keras, hampir ia tidak percaya dengan kenyataan di depan matanya. Urusan menjadi jelas dan terbukti akan perbuatan Thio Hun-cu, apakah mungkin? Setelah menangis sekian saat, tiba-tiba Thio Ceng Ceng angkat kepala, katanya. "Tidak! Betapapun aku tidak percaya akan perbuatan ayahku!" Koan San-gwat juga tidak putus asa, bujuknya. "Benar! Akupun tidak percaya oh ya, kalau gadis ini sudah pulih kesadarannya, marilah kita tanya kepadanya!" Segera Thio Ceng Ceng memburu ke depan gadis itu. "Adik cilik! Seseorang telah mengganggu kau, siapakah dia?" Im Lee-hoa membuka lebar kedua biji matanya, dia tetap mendelong, sesaat baru menggumam. "Tidak! Dia bukan orang jahat, dia suka kepadaku, akupun suka kepadanya, dia hendak menikah dengan aku, akupun menjadi istrinya." Im siok-kun merasa di luar dugaan, ia pun memburu maju, teriaknya. "Lee-hoa kau sudah gila" Thio Ceng-Ceng makin panik, serunya. "Adik cilik, siapakah dia ?" "Aku tidak tahu, dia tidak memberi tahu kepadaku?" Sahut Im Lee-hoa hampa. Segera Koan San-gwat berkata pada Im Siok-kun. "kalau paman Thio mendapat pelayanan istimewa kalian, kenapa putrimu tidak kenal dia?" "Selamanya dia tidak pernah kenal dengan orang luar, sudah terus tidak tahu!" Kemba Thio Ceng Ceng menarik tangan Im Lee-hoa, tanyanya lagi. "Bagaimana bentuk wajah orang itu?" Im Lee-hoa diam sekian lamanya akhirnya menjawab dengan rasa sedih. Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Entahlah, aku sudah lupa! Mungkin kalau ketemu sama dia aku bisa mengenalnya, waktu dia datang menemukanku, keadaan sangat gelap aku hanya mengenal suaranya." Mungkin bukan ayahnya, Thio Ceng Ceng agak lega. Mendadak kedua mata Im Lee hoe bercahaya terang, suaranya lembut mesra. "Aku masih ingat jenggotnya, jenggotnya itu sangat bagus, lemas lembut seperti rambutku, waktu mengusap wajahku rasanya begitu hangat dan mengasikkan" Tiba-tiba Thio Ceng Ceng menjerit sekeras-kerasnya melepas tangan Im Lee-hoa terus putar tubuh dan lari. cepat Im Siok-kun melintangkan pedang mencegatnya, bentaknya. "Duduk perkaranya sudah jelas, mau kemana kau?" Hati Thio Ceng Ceng seperti disayar-sayat sembilu, teriaknya sambil menangis gerung-gerung; "Jangan rintangi aku, aku hendak mencari ayah" Cepat Koan San-gwat menarik tangannya, bujuknya. "Nona Thio, kalau ayahmu benar seorang yang hina dina, kau tidak perlu mencari lagi!" "Tidak!" Sahut Thio Ceng Ceng keras. "aku harus menemukan dia. Aku akan bunuh dia lalu akupun bunuh diri. Aku tidak mau membiarkan dia hidup, akupun tidak mau hidup lagi " "Apa-apaan ucapanmu? Paman Thio, meski Thio Hun-cu layak dibunuh, bukan kewajibanmu untuk membunuhnya" "Tidak, aku sendiri yang harus bunuh dia! Dia bukan lagi ayahku, aku bukan putrinya" "Sudah, kalian main sandiwara di hadapanku, kau kira aku bisa melepas kau pergi?" Tukas Im Siok-kun menyeringai sadis. Mandadak Thio Ceng Ceng beringas, hardiknya murka. "Minggir! Sekarang siapa pun aku tidak perduli lagi, jangan kau merintangi jalanku." Im Siok-kun semakin berang, teriaknya. "Kalau kita tidak menemukan Thio Hun-cu, maka kau dulu yang harus menebus dosanya." Thio Ceng Ceng menjerit panjang, dengan gusar ia melolos pedang panjang dari punggungnya, hardiknya . "Berani kau merintangi aku, kubunuh kau, sekarang hasratku cuma membunuh orang," Sebelum orang habis bicara, pedang Im Siok-kun sudah menukik laksana ular menyambar dari samping, lekas Thio Ceng Ceng angkat pedang menangkis dan balas menyerang, maka terjadilah pertempuran seru. Karena bertangan kosong, Koan San-gwat kerepotan untuk melerainya, terpaksa ia minta bantuan Peng Kiok-jin. "Toanio! Lekas kau cari akal untuk menghentikan amukannya !" "Kepadamu dia tidak tunduk aku punya akal apa?" Sahut Peng Kiok-jin menyengir. "Aku maklum peristiwa ini menjadi pukulan berat bagi bathinnya hingga pikirannya kacau balau.." Koan San-gwat semakin gopoh dan gelisah, sementara Thio Ceng Ceng sudah melabrak Im Siok-kun puluhan jurus. Permainan Be-khek-kiam-hoat Im Siok-kun aneh menakjubkan, jurus-jurusnya serba berlawanan dari permainan pedang umumnya, setiap tipu serangannyapun sangat ganas dan keji. Dalam keadaan marah, inti sari ilmu pedangnya sukar dikembangkan. Setelah mendapat petunjuk dan gemblengan Soat-lo Thay thay, kepandaian Thio Ceng Ceng sudah berlipat ganda, permainan pedangnya sangat hebat dan gerak perubahannya laksana setan kelelap malaikat muncul, setiap jurus serangannya menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih menguntungkam sehingga Im Siok-kun terdesak mencakmencak, saking gugupnya ia berkaok-kaok. "Hayo! maju semua, cacah hancur tubuh perempuan laknat ini!" Anak murid Bu-khek-kiam-pay serempak melolos pedang terus menyerbu dari berbagai penjuru, hawa pedang berkilauan memberondong ke arah Tnio Ceng Ceng dengan rapi. Koan San-gwat hendak maju membantu, lekas Peng kiok-jin menariknya, katanya. "Tidak perlu kau harus turun tangan! Nona Ceng sudah cukup berkelebihan!" Memang tindak tanduk Thio Ceng Ceng lebih kejam dan nekat, meski ia hanya menggunakan sebilah pedang, tapi permainannya sedemikian cepat, umpama hujan badai juga tidak akan menembus pertahanannya yang rapat, para pengepungnya saling terdesak mundur dan terpental pontangpanting oleh perbawa ilmu pedangnya. Keruan Im Siok-kun semakin murka bentaknya beringas . "Hayo maju semua, adu jiwa dengan dia. Meski seluruh warga Im habis tertumpas, jangan kita lepaskan perempuan laknat ini!" Thio Ceng Ceng juga semakin murka, teriaknya; "Terpaksa aku harus membunuh, kalian yang memaksa aku berbuat demikian.." "Bunuhlah! Kau sama dengan bapakmu. keparat yang patut dihancur leburkan." Caci maki urang lebih menggelorakan darah Thio Ceng Ceng, dimana pedangnya berkelebat bagai kilat menyambar beruntun terdengarlah suara jerit dan pekik kesakitan, kecuali Im Siok-kun dan beberapa orang yang berkepandaian tinggi, banyak diantara mereka roboh terluka. Banyak senjata putus, lengan tergores atau pergelangan tangan kutung dan ada pula yang tubuhnya cacat. Mata Im Siok-kun merah padam dan membara, teriaknya beringas. "Keparat, biar aku adu jiwa dengan kau!" Cepat sekali ujung pedang menusuk ulu hati, serangan ini cukup ganas dan lihai, pedang Thio Ceng Ceng, yang menyambar kuping kirinya pun tidak dihiraukan, ia agaknya bertekad gugur bersama. Sebat sekali Thio Ceng Ceng miringkan tubuh meluputkan diri, sementara gaya serangan pedangnya masih meluncur tanpa berubah. Sekarang Koan San-gwat tidak bisa berpeluk tangan, sigap sekali ia jemput sebilah pedang di tanah terus melejit . "Trang" Pada waktunya ia berhasil menangkis pedang Ceng Ceng, menolong jiwa Im Siok-kun. Sejenak Thio Ceng Ceng tertegun, serunya keren. "Koan San-gwat, kau pun hendak membunuhku?" "Tidak" Sahut Koan San-gwat dengan keren. "Aku tidak membunuh kau, tapi kau pun jangan membunuh orang!" Deras air mata Thio Ceng Ceng, tanpa banyak kata, Ia menerjang keluar kepungan. Im Siok-kun terus lari sekencang-kencangnya. Koan Sangwat bergerak hendak mengejar, cepat Peng Kiok-jin menahan dari belakang, katanya. "Biarkan dia pergi. Sekarang perlu memberi ketenangan padanya. Untuk sementara waktu kau jangan temui dia, aku akan mengawasi dirinya." Koan San-gwat hendak menolak, cepat Peng Kiok-jin menggoyangkan tangan, katanya. "Urusan ayahnya, akupun belum percaya. Lebih baik carilah Thio Hun-cu, gunakan waktu luangmu untuk membuat penyelidikan dalam persoalan ini." Selesai berkata lantas memburu ke arah Thio Ceng Ceng menghilang. Sesaat Koan San-gwat menjublek di tempatnya dengan muka merah padam, Im Siok-kun meluruk kehadapannya, jengeknya. "Orang she Koan, sejak hari ini Bu khek-kiam-pay kami tidak akan berjajar dengan kau" Koan San-gwat melengak, ujarnya. "Aku tidak bermusuhan dengan kalian, barusan jiwamu sudah kutolong, kenapa air susu kau balas dengan air tuba?" "Memang! Tapi kaupun menolong jiwanya pula, aku masih ada jurus pedang lihai yang belum kulancarKan, aku berani pastikan, ilmu pedangku itu akan menembus tenggorokannya. Kau menolong jiwanya, sekarang aku tidak bisa membalas dendam kepada kau, biarlah pertarungan ini kita bereskan lain kesempatan." Dengan bingung Koan San-gwat membujuk . "Seumpama kau tadi gugur, Yang berbuat kejahatan adalah ayahnya, ada sangkut paut apa dengan dia? Untuk membalas dendam kau harus mencari sasaran yang tepat!" "Orang she Thio itu sudah merusak putriku, maka akupun harus merusak putrinya, itu baru setimpal. Bicara terus terang, aku lebih suka membebaskan Thio Hun-cu, tapi putrinya itu harus menerima ganjaran yang setimpal." "Kecuali kau sudah gila," Seru Koan San-gwat naik pitam. "Orang gila baru punya angan-angan yang gila pula!" Im Siok-kun tidak menghiraukan dia lagi, ia pimpin seluruh anak buahnya tinggal pergi tanpa banyak omong lagi. Koan San-gwat termenung-menung sekian lamanya, setelah Lau Sam-thav menarik bajunyas baru ia sadar. Dengan lesu ia meninggalkan tempat itu. Tatkala itu cuaca sudah terang berderang. Ufuk timur sudah dihiasi cahaya kuning emas. Hawa pagi nan sejuk dan nyaman, semangat Koan San-gwat pulih kembali, ia menarik napas panjang. Malam ini masa amat panjang. -ooo000ooo Seorang diri Koan san-gwat menelusuri pinggir sungai kuning, sementara Lau Sam-thay mencari perahu untuk menyeberang. Seorang diri ia menengadah mengamati bintang kerlap kerlip yang masih bercokol di cakrawala, pelanpelan kudanya naik ke atas tanggul. Keadaan yang sunyi dan pemandangan gelap sebelum fajar ini membuat perasaannya hambar dan haru, sejak ia mengembara empat tahun yang lalu, lebih banyak waktu dihabiskan dengan merawat luka-luka yang dideritanya. Tapi begitu ia terjun ke dunia persilatan, tentu menimbulkan kegemparan yang teramat besar .sehingga ia lebih dapat meresapi betapa besar arti kehidupan ini. Lambat laun bangkit jiwa kesatrianya, menghadapi bulan sabit, desah air sungai, serta hembusan angin pagi nan sepoisepoi ini ingin rasanya melampiaskan kekesalan hati dengan menggembor sekeras-kerasnya. Begitu mengerahkan hawa murni ke pusarnya, sekali mulut terpentang, suara keras menjulang tinggi menembus angkasa laksana jeritan naga, berkumandang di alam semesta di pagi hari dan cerah itu. Tanggul di bawah kakinya terasa bergetar oleh kedahsyatan gemborannya. Demikian juga kuda tunggangannya berjingkrak berdiri, hampir saja ia terlempar dari punggung kudanya, syukur ia cukup cekatan, tali kekang ditarik, sehingga badannya terkendali. Tepat pada saat itu juga, kupingnya yang tajam mendengar jerit kesakitan Lau Sam-thay di kejauhan sana, disusul derap langkah kuda yang mendatangi dengan kencang. Koan San-gwat kaget, ia mengira Lau Sam-thay mengalami sesuatu. Sejak dibikin malu pihak Bu-khek-kiam-pay malam itu, dia mengintil dirinya, alasannya cukup tepat, takut para kerabat Im-san mencari perkara padanya, ia tahu dirinya bukan tandingan mereka, apalagi perkara terjadi gara-gara dirinya dengan Thio Ceng Ceng, Koan San-gwat langsung menolak permintaan orang. Apalagi sepanjang jalan ia selalu memberi pelayanan yang baik pada dirinya, sehingga ia terhindar dari banyak kesulitan, lambat laun Koan San-gwat merasa tidak bisa kehilangan pembantu yang sangat diperlukan ini, maka begitu mendengar jeritannya, segera ia keprak kudanya menyusul ke sana. Belum berapa jauh, dilihatnya seekor kuda tanpa penunggang sedang mencongklang pesat ke arah sini, kuda itu adalah tunggangan Lau Sam-thay, melihat binatang itu tidak ditunggangi majikannya, Koan San-gwat semakin kuatir, lekas ia cegat dan tarik kuda itu lalu dibawa lari pula ke depan. Beberapa kejap kemudian, jauh di depan sana dilihatnya Lau Sam-thay sedang memukul dan menubruk serabutan melawan seorang gadis yang bercokol di atas kuda. Gadis itu menggunakan pakaian serba merah, tangannya memegang pecut panjang, berulang-ulang ia melecutkan pecutannya ke arah Lau Sam-thay. Berkali-kali Lau Sam-thay urut tangannya mencengkeram ujung pecut lawan, tapi selalu gagal, malah kepala dan mukanya dipecut beberapa kali, badan babak belur, bajunya sudah sobek-sobek berdarah. Sudah tentu Koan San-gwat tidak berpeluk tangan, cepat ia keprak kudanya memburu kesana, bentaknya. "Berhenti!" Bentakannya keras menggeledek menggelegar, gadis itu segera menghentikan aksinya! Lau Sam-thay lantas berteriak. "Liang-cu! Jangan kau turut campur, biar aku adu jiwa dengan budak busuk ini." Belum habis bicara tahu-tahu mukanya kepecut lagi, terdengar gadis itu membentak. "Coba kau maki sekali lagi, kubikin hancur mulutmu." Agaknya pecutan terakhir ini jauh lebih berat, muka Lau Sam-thay bertambah jalur berdarah, sudah tentu marahnya bukan kepalang, hardiknya kalap. "Tuan besarmu justru ingin maki kau, kalau berani coba kau bunuh aku saja, perempuan busuk .! Berubah air muka gadis itu, teriaknya melengking . "Kau memang harus dihajar !" Pecut sudah terayun dan hendak menghajar lagi, sementara Koan San-gwat sudah tiba mencegat di antara mereka, begitu melihat kedatangan Koan San-gwat, gadis itu batalkan serangannya, teriaknya. "Kau minggir, akan kuhajar dia supaya tidak memaki orang lagi!" Kata Koan San-gwat dengan kalem . "Memaki orang memang salah, tapi kau sudah menghajarnya begitu rupa, apa tidak terlalu?" Gadis itu mendelik serunya . "Kusuruh kau minggir dengar tidak? Kalau kau tidak mau minggir, kau pun akan kuhajar sekalian." Lau Sam-thay berjngkrak gusar, teriaknya sambil bertolak pinggang . "Perempuan busuk, kalau kau mampu memecut Ling-cu, baru aku tunduk kepadamu!" Gadis itu menjengek hidung, tiba-tiba pecutnya terayun melingkar-lingkar terus menukik hendak membelit leher Koan San-gwat. Koan San-gwat bersikap tenang sambil mengulum senyum, tanpa berkelit ia mengulur tangannya mencengkeram ujung pecut si gadis ini, yang dia gunakan adalah hun-kong poh-in, membagi silat menerkam bayangan. Ia menyangka dengan gerak tangan yang amat lihay itu, pecut lawan dapat dipegang. Tak kira baru saja jarinya menggenggam ujung pecut orang, gadis itu menggentak pergelangan tangannya, ujung pecutnya itu seperti ular sakti yang licin memberesot lolos dari telapak tangannya. Hanya satu gebrak, kedua pihak menjadi tercengang, rasa heran dan kaget gadis itu jauh lebih besar dari Koan Sangwat, terdengar hidungnya mendengus lirih, lalu katanya. "Hai, siapa namamu ?" Belum sempat Koan San-gwat membuka mulut, Lau Samthay sudah menjawab. "Perempuan busuk, Bing-to-ling-cu yang namanya menggetarkan seluruh kolong langit masa tidak pernah dengar? buat apa kau kenali kangouw." "Siapa bilang aku orang Kangouw?" Sentak gadis itu sambil melotot. Agaknya luka-luka Lau Sam-thay masih sakit, dengan marah ia memaki pula. "Perempuan busuk, dandananmu menunjukkan kau adalan anggota rombongan akrobatik, berani kau tidak mengaku!?" Lau Sam-thay hendak memaki dan menghinanya, tak kira gadis itu melotot heran, tanyanya. "Apa yang dinamakan akrobatik!?" Lau Sam-thay menelan air liur, sungguh hatinya gemas, entah pura-pura atau tidak tahu atau memang bodoh, sesaat baru ia menjawab. "Kalau kau sudah tahu istilah Kangouw, masa tidak tahu artinya?" "Aku memang tidak tahu," Sahut gadis itu tertawa. "Orang Kangouw, nama ini kudengar dari ibuku, menurut kata ibu orang kangouw tiada yang baik. Apakah kalian pun orang Kangouw?" Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lau Sam-thay uring-uringan, makinya. "Justru ibumu yang bukan orang baik, berdasarkan apa dia berani mengatakan orang Kangouw tiada yang baik!" Gadis itu menarik muka, pecut terayun lalu menghajar pula ke arah Lau Sam-thay, teriaknya gusar. "Berani kau memaki ibuku? Sudah bosan hidup ya!?" Sambil menghardik Koan San-gwat mengayun telapak tangannya memotong pecut lawan di samping menolong Lau Sam-thay, tujuannya merampas pecut orang. Akan tetapi permainan pecut gadis itu sangat lincah dan licin sekali, badannya meliuk dan bergoyang di punggung kuda. Di samping menghindari pukulan Koan San-gwat, geraKan tangannya tetap tidak berubah, pecutnya masih melingkar ke atas Lau Sam-thay. "Plak" Tanpa diberi kesempatan, pinggang Lau Sam-thay kena sabet, serangan ini melecut sambil menutuk jalan darah, kontan ia tergulung serta terseret ke tanah tidak bergerak lagi, jalan darah di bawah ketiaknya tertutuk. Koan San-gwat marah dibuatnya, segera ia melompat turun. "Kau turun, akan kuberi hajaran kepadamu." Sambil mendelik gadis itu berkata lantang. "Bukan aku takut kepadamu tapi aku ingat pesan ibu, tanpa sebab dilarang bentrok dengan orang lain. Kalau kau berani memakiku segera akan kulabrak kau." Koan San-gwat melengak, ia rasa gadis ini aneh, katanya tertawa . "Jadi kawanku ini memakimu terlebih dulu baru kau hajar?" "Sudah tentu! Aku tidak pernah turun tangan lebih dulu tanpa sebab." Sambil tersenyum Koan San-gwat menghampiri Lau Samthay lalu menjinjing bangun, beruntun ia gunakan lima enam cara ilmu tutuk tidak berhasil membebaskan Hiat-to Lau Samthay. "Aku menggunakan tutukan tunggal ciptaan ibuku, kau tidak mampu membebaskan tutukanku, kalau dia tidak memaki aku akan kubebaskan tutukan jalan darahnya. Kalau tidak bisa lumpuh selamanya." Saking kewalahan Koan San-gwat manggut-manggut, ujarnya . "Baiklah, kutanggung dia tidak akan memaki kau lagi!" -oo0dw0oo- Jilid 7 Tukang perahu cengar-cengir, ujarnya . "Wah, malam ini agaknya aku ketiban rejeki nomplok, tulang-tulangku ini agaknya menjadi berharga, ada gadis ayu ingin mengelus-elus dan membayar kepadaku" "Sudah jangan cerewet," Sentak Lok Siau-hong marah. "berapa yang kau minta?" Tukang perahu bergelak tertawa, serunya. "Jari-jarimu yang manis halus itu, andainya harus mampus juga tidak menyesal. maka aku tidak menuntut bayaran, silahkan saja, kau boleh gratis!" Rasa gusar Lok Siau-hong mendadak sirna, cepat ia tersenyum manis, katanya . "Kalau begitu banyak terima kasih!" Nadanya lemah lembut, tapi ia turun tangan tidak kasihan. "wut!" Cambuk panjang bergulung-gulung ke tengah udara membawa kisaran angin yang menderu, melesat ke pergelangan tangan orang dengan kecepatan yang susah diukur. Berubah air muka tukang perahu, tersipu-sipu ia menarik tangannya, tapi sudah terlambat, ujung cambuk laksana ular hidup sudah membelit pergelangan tangannya, lekas tangannya digen rak dan tan k kesam ping mak sudnya hendak membebaskan tangannya dari lilitan cambuk itu. Agaknya Lok Siau-hong sudah memperhitungkan reaksi lawan, memperingatkan dan tarikan orang, sekali lagi cambuknya disendal untuk memunahkan tenaga gentakan orang yang besar, sehingga ujung cambuknya tetap membelit pergelangan tangan orang. Terdengar tukang perahu menjerit sekeras-kerasnya, tibatiba ia dorong telapak tangannya ke depan. Selama ini Koan San-gwat mengawasi kejadian ini dengan waspada, cepat-cepat iapun dorong telapak tangannya menyambut hantaman lawan. Koan San-gwat kira lwekang tukang perahu ini luar biasa, umpama Ia kerahkan seluruh tenaga juga belum tentu kuat menahan pukulan orang, maka begitu melancarkan pukulan tukang perahu rendah dan biasa saja, keruan badannya kepukul terbang ke udara meluncur ke tengah sungai yang airnya sedang bergolak itu. Cambuk Lok Siau-hong yang membelit, tangan orang belum terlepas keruan terseret beberapa langkah hampir tersuruk masuk ke air. Cepat Koan San-gwat memburu maju dan menarik pinggangnya serta lompat mundur. Sementara itu, tukang perahu sudah lenyap, ditelan ombak yang bergolak. Untunglah Koan San-gwat bertindak sehingga Lok Siau-hong tidak terseret jatuh ke dalam sungai. Karena tanpa kendali perahu oleng dan berputar di tengah sungai, kuda yang tidak terikat berjingkrak kaget jatuh ke dalam sungai, kuda milikc Koan San-gwat dan Lau Sam-thay sementara kuda merah Lok Siau-hong masih tenang-tenang berdiri di sana. Koan San-gwat tertawa tawar. "Usiaku toh lebih tua." Setelah perahu tenang, Koan San-gwat melepas pelukannya, Lok Siau-hong jadi malu jengah, katanya tersekat . "Terima kasih Koan.." Koan San-gwat tertawa tawar, katanya . "Usiaku lebih tua, kau boleh panggil aku Koan-toako saja." Lok Siau-hong kikuk, suaranya lirih. "Terima kasih Koantoako!" Koan San-gwat manggut-manggut, belum ia buka suara, mendadak dilihatnya air bergolak lalu muncullah kepala tukang perahu. Ia naik salah seekor kuda, teriaknya. "Hai! Nona cilik, pernah apa kau dengan Lok Heng kun ?" "Beliau ibuku, untuk apa kau tanya dia?" "Bagus!" Teriak tukang perahu bengis. "akhirnya aku berhasil menemukan dia. Kalian tinggal dimana?" Tanpa pikir Lok Siau-hong berseru lantang. "Kami tinggal di Si-yang-ceng, lima li di depan seberang sana." Tukang perahu itu berteriak beringas . "Lekas pulang beritahu kepadanya, besok siang setelah lohor aku akan datang mencarinya!" "Ouw-hay-ik-siu!" Lok Siau-hong berteriak lantang. "lebih baik lusa kau datang, bukan saja ibu, bibiku juga menunggu kedatanganmu, datanglah pada waktunya, kedua belah pihak bisa menyelesaikan persoalan lama sekaligus." Tukang perahu tertegun sejenak, lalu sahutnya. "Baiklah lusa tengah hari aku pasti datang, suruh mereka siap! " Habis berkata ia biarkan kuda itu hanyut terbawa air. Koan San-gwat bingung, tanyanya. "Nona! Kau kenal orang ini?" "Tidak!" Tapi setelah dia menyebut nama ibuku lantas aku tahu siapa dia. Menurut ibu, orang itu sangat jahat, musuh besar keluargaku, ibu, bibi, dan paman menanti kedatangannya!" Koan San-gwat ketarik tanyanya. "Ada permusuhan apa dengan keluarga kalian?" "Aku tidak tahu, ibu mengajar ilmu cambuk yang khusus mengalahkan dia." "Jurus yang nona lancarkan tadi?" Lok Siau-hong manggut-manggut dengan bangga. "Ilmu silat orang tua itu sangat aneh dan agak sesat, urat nadinya sudah kugencet dengan seluruh tenagaku, tapi sedikitpun tidak terluka tapi kena pukulannya bisa saja " Lok Siau-hong tertawa. "Kalau sebelumnya dia tidak kena cambukku, tentu kau tidak akan merasa pukulannya biasa saja." Koan San-gwat melengak heran, tanyanya. "Apakah maksud ucapan nona?" Lok Siau-hong acungkan cambuk di tangannya, sedikit ia mengerahkan tenaga, ujung cambuk mendadak tegang berdiri seperti kepala ular muncullah dua jarum kecil warna hitam. Sekali muncul, lantas masuk kembali, kalau tidak diperhalikan kau tidak akan menyadari kalau kau tertusuk jarum. Beruntun Lok Siau-hong mendemontrasikan beberapa kali, setelah Koan san-gwat dan Lau Sam-thay melihat jelas baru dia tertawa dengan bangga, ujarnya. "Menurut ibu, tua bangka itu punya ilmu sian-than-gun goan-hun-sip kang, tubuhnya dapat dirobah menjadi empuk dan lemas seperti benang kapuk, tenaga besar juga tidak akan bisa melukai dia. Kuatir suatu ketika aku kepergok dia dan kecundang, maka ibu menciptakan ilmu cambuk ini kepadaku. Dua puluh tahun yang lalu dia pernah kecundang oleh tusukan jarum ini, hari ini sekali lagi roboh di tanganku, sejauh ini dia belum tau duduk perkara yang sebenarnya." "Apakah jarum di dalam cambuk nona mengandung racun?" "Liag coa-pian-hoatku tidak mengandung racun. Kalau beracun menjadi Tok-coa-pian-hoat dong." "Kalau mengandung racun, kenapa orang tidak mampu mengerahkan tenaga setelah kena tusukan jarummu?" "Jarum dalam cambuk ini panjangnya sato inci, begitu menusuk urat nadi menembus ke khi-hiat, sudah tentu seluruh pertahanannya bobol dan tenaga tak mampu dikerahkan lagi." "Khi-hiat masa berada di urat nadi pergelangan tangan ?" "Justru disitulah tempat keanebannya, kalau orang lain." "Terhadap orang lain tusukan itu tak berguna," Demikian Lau Sam-thay menyela. Lok Siau-hong melirik sekejap, katanya. "kalau orang lain jiwanya sudah melayang, dan jalan darah penting siapa yang kuat ditusuk jarum, dalam keadaan yang tidak siap siaga lagi. Maka ibu berpesan supaya menggunakan terhadap dia saja!" "Menilai pesan ibumu itu, jelas bahwa ibumu yang baik hati dan bijaksana," Ujar Koan San-gwat tersenyum. "Ya, aku sendiri tidak tahu kenapa ibu menggunakan julukan Hiat-lo-sat (kuntilanak berdarah), demikian pula bibiku julukannya Pek-kut sin-mo." Koan San-gwat melengak, seorang aneh pula, dengan pikirannya nama-nama Hiat-lo-sat, Pek-kut-sin-mo dan Ouwhay- ih-siu belum pernah dengar selama ini, bagaimana sepak terjang dan asal usul mereka? Ilmu silat mereka tinggi, kenapa menyembunyikan diri melarang putrinya terjun ke percaturan Kangouw "Aku harus menyelidiki seluk beluk mereka hingga terang, siapa tahu di belakang ini ada tersembunyi suatu rahasia besar yang biasa menggemparkan Kangouw," Hati berpikir tapi akhirnya ia bersikap tawar, tanyanya. "Kalau ibumu tidak pernah Kelana di Kangouw, untuk apa pula dia memiliki gelar?" "Entahlah! ibu, bibi, dan paman memanggil julukan masingmasing tidak pernah memanggil nama aslinya .. oh, ya, pamanku bergelar Coh-san-sin (malaikat gunung yang buruk) sebetulnya ia tidak kelihatan buruk malah cakap dan ganteng!" Koan San-gwat berpikir dalam hati, setelah termenung sekian saat mendadak teringat olehnya sebuah persoalan, tanyanya. "Aku masih belum tahu nama kebesaran ayah nona, tentu beliau seorang tokoh kosen yang menyembunyikan diri!" Seketika berubah air muka Lok Siau-hong, sahutnya. "Aku tidak punya ayah!" "Setiap orang tentu punya ayah dan ibu .." "Justru aku tidak punya, begitulah kata ibu, aku pun harus percaya saja, setiap kali kutanya hal ini, selalu aku dihajar dan dimakinya, maka kalau ketemu ibuku jangan kau singgung soal ini." Dalam pada itu perahu mereka sudah laju ke depan dan terhanyut semakin jauh, untung Lau Sam-thay bisa mengendalikan perahu. Setelah sekian lama bekerja keras perahu akhirnya bisa mendarat. Waktu itu hari sudah terang tanah. Setelah berada di atas darat, kelihatan Lau Sam-thay lebih gelisah dari Koan San-gwat tanyanya. "Nona Lok, dimanakah rumahmu ?" Lok Siau-hong celingukan mencari arah lalu berkata . "Tempat ini sudah jauh dari rumahku, kuda kalian hilang lagi, bagaimana melanjutkan perjalanan?" "Tidak jadi soal, kau naik kuda saja, kami berlari menguntit di belakangmu." Lok Siau-hong menepuk kudanya, katanya . "Kukira kau salah perhitungan bila hendak lomba lari dengan tungganganku ini, bila dia sudah lari, anginpun dapat dikejar olehnya. Kata ibu kuda ini kelahiran Tay-hoan yang pilihan dalam dunia cuma ada beberapa ekor saja." Sebagai orang yang dibesarkan di padang pasir sudah tentu Koan San-gwat kenal kwalitet kuda. Kalau bukan kuda jempolan masa berlaku tenang dan tidak bergeming di kala perahu oleng dan hampir terbalik. Lau Sam-thay angkat pundak, katanya "Bagaimana baiknya, apa tiga orang menunggang satu kuda ?" "Ya, terpaksa, begitulah, asal bisa duduk sepuluh orang pun dia kuat " Karena tiada pilihan lain terpaksa Koan San-gwat setuju, Koan San-gwat pegang kendali, Lau Sam-thay duduk di tengah sementara Lok Siau-hong duduk di pantat kuda, kuda merah besar itu bisa berlari bagaikan angin, tidak lama kemudian mereka sudah jauh meninggalkan orang-orang yang berdiri keheranan di pinggir jalan, setelah membelok ke sebuah jalan datar berdebu kuning, hutan menghijau rimbun di depan sana sudah kelihatan, di depan pohon itulah tampak beberapa petak bangunan. Sambil menuding ke depan Lok Siau-hong berteriak girang . "Lihatlah ! Itulah rumah Si-yang-ceng !" Begitu sampai di luar perkampungan, si merah segera menghentikan larinya. Seorang perempuan pertengahan umur tampak berdiri di ambang pintu dengan muka dingin dan masam. Begitu turun Lok Siau-hong lari ke hadapan perempuan tua itu seraya berseru. "Bu! Aku membawa seorang teman, dia bernama Koan San-gwat!" Bergegas Koan San-gwat melompat turun, sapanya sambil bersoja. "Apakah aku berhadapan dengan Hiat-lo-sat Lok Heng-kun Locianpwe ?" Perempuan tua itu mengipat tangan Lok Siau-hong serta berkata dengan bengis. "Siau-hong masuk, kenapa kau membawa pulang mereka, orang-orang Kangouw lagi.." Patung Emas Kaki Tunggal Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lok Siau-hong tertegun melihat sikap ibunya, segera ia merengek . "Ma, Koan-toako bukan orang biasa, kepandaiannya hebat, dia dia mampu menandingi Ling-coapianku." Berubah air muka perempuan itu, mulutnya bersuara lirih, dengan pandangan tajam mengawasi Koan San-gwat sesaat baru berkata dengan dingin. "Bagus sekali! Kau mampu melawan Ling-coa-pian Siau-hong, mungkin kau ingin menjajal kepandaianku juga, bukan!" Cepat Koan San-gwat berkata. "Aku yang rendah tidak punya maksud demikian, cuma dari cerita puterimu, kudapat tahu adanya seorang Bulim Cianpwe yang semayam di tempat ini, maka sengaja kami kemari, sebagai Wanpwe kami mohon petunjuk belaka!" "Mana kami berani terima, kami menetap disini dengan tenang dan aman, selamanya tidak pernah berhubungan dengan orang Kang-ouw, kalau saudara tidak punya urusan lain, harap maaf, aku tidak bisa melayani lebih lanjut!" Sikap dingin dan keras ini membuat Koan San-gwat serba runyam dan kikuk, habis berkata perempuan tua itu putar tubuh masuk kampung, segera Lok Siau-hong berteriak. "Ma! Mana boleh kau bersikap begitu pada mereka, akulah yang mengundang mereka!" "Siau-hong!" Damprat perempuan tua itu. "Kau memang semberono, sudah wanti-wanti aku berpesan padamu, jangan bergaul dengan orang Kang-ouw, kau justru mengundang mereka kemari, agaknya kau harus diberi sedikit hajaran!" "Ma! Koan-toako bukan orang Kang-ouw sembarangan, namanya besar kepandaiannya tinggi, dia adalah Bing-tho Ling-cu!" Bahwasanya Lok Siau-hung tidak tahu sampai dimana pengaruh dan kebesaran nama Bing-tho- ling-cu, karena gugup ia berteriak mencari-cari alasan, tak kira ibunya tertegun oleh keempat nama yang disebut itu, tiba-tiba ia membalik serta bertanya. "Bukankah Bing-tho-ling-cu adalah Tokko Bing? Bagaimana bisa ganti bocah muda seperti dia?" Tergerak hati Koan San-gwat, diam-diam ia membatin. "Suhu tidak pernah menyebut nama orang ini, tapi dia kenal nama guru," Sejenak berpikir ia lantas menjawab. "Insu (guru berbudi) sudah wafat, wanpwe mendapat pesan untuk meneruskan jabatan Bing-tho-ling." "Tokko Bing sudah mati?"tukas perempuan itu sambil tertawa dingin. "Anak muda, jangan membual terhadapku." Mencelos hati Koan San-gwat, pikirnya. "Perihal kematian guru, Peng Kiok-jin juga menyatakan tidak percaya, Hiat-lo-sat juga berpendapat demikian, besar kemungkinan mereka dulu kenal dengan Unsu.. Sesaat bimbang lalu jawabnye dengan sungguh-sungguh. "Darimana Cianpwe tahu bila Unsu belum wafat?" Perempuan ini tertawa dingin, ujarnya. "Tahu yang tahu, kenapa harus kujelaskan? Kalau dia benar-benar sudah ajal, pasti aku sudah memperoleh berita dukanya itu, kalau tokh dia sudah menyerahkan Bing-tho-ling-cu pada kau, tentu dia sudah berangkat ke tempat itu!" Mendengar keterangannya sama dan persis dengan apa yang dikatakan Peng Kiok-jin seolah-olah sangat jelas segala seluk-beluk Tokko Bing, cepat Koan San-gwat bertanya. "Ke tempat mana?" "Dia tidak beritahu kepada kau?" "Sebenarnya wanpwe tidak tahu menahu." Perempuan tua itu manggut-manggut, ujarnya. "Ya kau tidak tahu, Tokko bing tidak akan berani memberitahukan kepada kau. Apa boleh buat, kalau kau memang ahli waris Tokko Bing, aku harus melanggar kebiasaan menerima kedatanganmu, silahkan masuk!" Lok Siau-hong tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi melihat ibunya sudah mau menerima Koan San-gwat, ia jadi senang, katanya tertawa. "Ma! Kali ini sungguh menyenangkan, bukan saja bertemu dengan Koan-toako, tadi akupun bentrok dengan orang yang paling kau kuatirkan itu. Di atas sungai kuning tadi dia kupersen sekali pecutan, Koantoako menambahkan sebuah pukulan pula, kontan ia terjungkaL ke dalam air!" Berubah hebat air muka perempuan tua itu, tanyanya. "Apa, semalam kau ketemu Ouw hay -ih-siu, bagaimana dia.." "Ibu dan bibi biasanya mengagulkan dia tapi menurut pandanganku tidak lebih dia itu sebuah gentong nasi belaka," Demikian ujar Lok Siau-hong tertawa geli. "Jangan membual, cepat ceritakan pengalamanmu, tak mungkin ia mati kelelep karena serangan kalian itu." "Ya, dia muncul di permukaan air, ketika dia menyebut namamu, baru aku tahu siapa dia. Maka sesuai dengan pesanmu kutantang dia. Semula dia berkata hari ini sebelum lohor." Perempuan itu makin gugup, katanya . "Wah celaka. Pekkut kebetulan tiada, aku seorang diri mana kuat menandingi dia.." "Aku tahu, maka kutantang dia besok lohor, waktu masih keburu untuk mengundang bibi an paman kemari. Sebetulnya ini pun sudah berkelebihan, ada aku dan Koan-toako kukira sudah lebih cukup." "Kau tahu apa?" Semprot perempuan itu. "Lekas berangkat naik si merah, undang Pek-kut dan Coh-san-sin kemari!" "Baru saja aku pulang sudah disuruh pergi, bukankah banyak tenaga dalam rumah, kenapa tidak suruh orang lain saja?" Demikian omel Siau-hong. Belum perempuan itu menjawab, tiba-tiba didengarnya di tengah angkasa suara kelintingan burung dara, puluhan burung dara sedang terbang berputar di atas angkasa. Kontan Lok Siau-hong berjingkrak girang, serunya sambil bertepuk tangan. "Tidak usah pergi, paman dan bibi sudah datang sendiri.." Setelah berputar-putar sekian lamanya di tengah udara, salah satu di antara burung dara itu menukik turun dengan cepat. Lok Siau-hong ulur cambuknya yang panjang, seraya berteriak. "Pek-ih! Mari kemari!" Agaknya burung dara itu pandai mendengar ucapan manusia, dengan patuh ia meluncur dan hinggap di atas gagang cambuk Lok Siau-hong, dari kakinya Lok Siau-hong mengambil sebuah bumbung kecil dan mengeluarkan secarik kertas, lalu dibacanya keras. "Jejak musuh sudah muncul, adik berdua segera tiba" Setelah membaca ia ulurkan secarik kertas itu kepada ibunya, katanya . "Bibi berdua ternyata sudah tahu." Lok Heng-kun menerima kertas itu serta memeriksanya sekian lamanya, lalu berkata kepada Koan San-gwat. "Hubungan kami dengan gurumu dulu sangat intim, seharusnya kami menjamu sekedarnya, tapi musuh tangguh kebetulan meluruk tiba, terpaksa berlaku kurang hormat kepada kau" Koan San-gwat tahu watak dan perangai tokoh Bulim memang aneh dan berbeda, biasanya mereka tidak mengijinkan orang lain turutcampur tangan dalam pertikaian mereka sendiri. Jejak gurunya sangat mencurigakan. kebetulan sumber yang dapat memberi penjelasan nyata, kesempatan tak disia-siakan, maka ia berkata tegas. "Kiranya Cianpwe adalah sababat lama Unsu, kalau Cianpwe kena perkara, adalah menjadi kewajiban Wanpwe untuk ikut menyumbangkan tenaga kami!" "Agaknya sikapmu sama dengan Tokko Bing di waktu mudanya, suka turut campur tangan urusan orang lain, tapi untuk urusan ini kau tidak akan dapat membantu!" "Bukankah Cianpwe hendak menghadapi Ouw-hayih-siu si kakek tua itu?" "Tidak salah!" Kata Lok Heng-kun memberi keterangan. "Maka Kukatakan kau tidak akan bisa membantu, Kakek bangkotan itu sulit dilayani, kepandaian silatnya aneh sekali, jauh berlainan dengan ilmu silat umumnya?" Agaknya Lok Siau-hong merasa berat bila ditinggal Koan San-gwat, cepat ia bicara . "Mama, kepandaian Koan Sangwat hebat sekali, tua bangka itu tadi dipukul terjungkal ke dalam sungai." Lok Heng-kun tersenyum . "Hal itu terjadi setelah dia tertusuk jarum di ujung cambukmu itu bukan?" Merah muka Koan San-gwat, dia gunakan cara menangkap dan menggenjot urat nadi hendak membekuk kakek tua itu, tapi sedikit pun tidak membawa hasil, akhirnya meski berhasil memukulnya masuk air sebabnya memang lawan sudah tertusuk jarum di ujung cambuk Lok Siau-hong itu, maka ia berkata dengan sebetulnya. "Ilmu silat Wanpwe masih terlalu cetek. Memang tidak akan banyak membantu mengatasi kesulitan Cianpwe, tapi kesempatan untuk melihat pertarungan tingkat tinggi seperti Cianpwe sulit didapat. Harap Cianpwe suka memberi ijin supaya Wanpwe ikut menambah pengalaman!" "Begitupun baiklah," Ujar Lok Heng-kun sekian lamanya setelah mempertimbangkan masak -masak. "Kupandang muka gurumu, tiada alasan aku melarang kehadiranmu disini, tapi perlu kuperingatkan jangan kau membuat kesulitan bagi dirimu sendiri!" Koan San-gwat manggut-manggut dengan girang, sahutnya. "Wanpwe hanya menonton saja dari luar gelanggang!" Sebaliknya Lok Heng-kun menambahkan dengan sikap serius; . "Jangan kau bicara seenakmu, soal ini harus kau patuhi benar-benar, kau harus dapat menahan sabar yang luar biasa. Soalnya tua bangka itu orang gila, melihat orang lantas menggigit, maka kau harus bisa mengendalikan diri supaya tidak memperdulikan dia yang hendak mencari kesulitan kepada kami! " Koan San-gwat tertegun . "Jangan-jangan dia selalu mencari perkara kepada orang lain?" Tanyanya heran. "Kalau dia tahu kau ahli wails Tokko Bing, kutanggung dia akan mencari gara-gara kepada kau, pertikaiaanya dengan gurumu justru lebih dalam dan besar dibanding persoalan kami!" "Kenapa guru tidak pernah menyinggung soal itu." "Sudah tentu Tokko Bing tidak bilang, kalau tidak.." Bicara sampai disini seolah-olah Lok Heng-kun menyadari sesuatu,segera ia tutup mulut dan mengalihkan ke pembicaran lain. "Apapun yang terjadi, jangan kau hiraukan tingkah polanya. Tua bangka itu punya suatu penyakit, asal kau tidak mencari gara-gara kepadanya maka tiada alasan dia turun tangan terhadapmu!" Koan San-gwat jadi uring-uringan, jengeknya takabur. "Kalau Wanpwe tidak kuasa menerima ejekan dan tantangannya bagaimana?" "Maka dia akan menjadi bayanganmu, setiap hari setiap saat melihat dirimu, begitu hebat gangguan yang dia lakukan sehingga kau merasa tiada satu hari kau dapat hidup tentram, kecuali kau dapat membunuh dia. tapi itu tidak mungkin terjadi!" "Kenapa?" Tanya Koan San-gwat tidak habis mengerti. "apakah dia manusia yang tidak bisa dibunuh?" "Benar! ilmu yang dia pelajari jauh berlainan dengan kepandaian yang kita pelajari, dengan kepandaian silat yang kita pelajari tidak akan mampu membunuhnya !" "Benar! Wanpwe pernah menggunakan tenaga dalam untuk menggetar putus urat nadinya, tapi kelihatannya tidak ada pengaruhnya sedikit pun. "Kau tidak perlu kuatir, karena kepandaian yang dipelajari itupun tidak bisa untuk membunuh kau, ilmunya ini hanya bisa dirimu sampai kau kewalahan dan menyerah kepadanya. Maka waktu mencantumkan nama di atas Hong-sin-pang dulu, kita cokolkan dia di urutan paling atas sebagai tokoh aneh yang sering memusingkan kepala.." "Apakah Hong-sin-pang itu? Koan San-gwat bertanya. Rada berobah rona wajah Lok-Heng-kun cepat ia menambahkan. "Jangan tanya hal ini, aku tidak bisa menerangkan, kini aku sudah bicara terlalu banyak, sejujurnya siapa pun jangan menyinggung soal Hong sin-pang lagi? Timbul berbagai pertanyaan dalam benak Koan San-gwat, terutama mengenai Hong-sin pang, yang menyangkut sebuah rahasia besar kaum persilatan terhadap gurunya, Peng-Kiokjin dan Hiat-lo-sat atau perempuan yang dihadapinya ini, demikian juga Pek-kut-sin-mo dan Coh san-sin yang belum muncul ini serta Ouw-hay-ih-siu pun sangkut paut yang teramat erat sekali. Mendadak hatinya seperti memperoleh sesuatu ilham, tanpa merasa mulutnya bersenandung ."Bangau kuning terbang di atas sungai, di pinggir telaga para dewa (San-sin) berkumpul." Berubah air muka Lok Heng-kun, serunya. "Apa? Jadi Tokko Bing sudah bicara padamu bahwa dia adalah Ui-ho sansian?" Dengan haru penuh semangat, Koan San-gwat menegaskan. "Jadi Ui-ho-san-sian adalah Insu?" Lok Heng-kun melengak, baru sekarang dia sadar telah kelepasan omong, padahal Koan San-gwat tidak tahu soal ini, maka ia berdiri menjublek, tanyanya kemudian. "Beberapa kata tadi kau dengar dari mana?" "Itulah sepasang syair yang digantung dalam kamar tidur guru, selama ini wanpwe tidak tahu makna sebenarnya, setelah Cianpwe menyinggung soal Hong sin-pang baru wanpwe paham sedikit" Kontan Lok Heng-kun menukas dengan gusar. "Sudah kukatakan jangan menyinggung Hong sin-pang lagi !" "Oh, ya, selanjutnya wanpwe tidak akan menyinngung lagi," Sahut Koan San-gwat menunduk. Sambil menghela napas Lok Heng-kun menambahkan, ketiga huruf itu punya sangkut paut yang teramat besar, karena kelalaianku tadi sehingga aku menyinggung rahasia ini, kalau sampai diketahui orang lain, kita akan ketimpa bencana besar, maka wanti-wanti aku berpesan sama kau.." Koan San-gwat memang keheranan tapi melihat orang serius ia mempertangguhkan janjinya. "Selanjutnya Wanpwe anggap saja tidak dengar ketiga huruf tadi." Lambat laun perasaan Lok Heng-kun tenang kembali, katanya. "Dari ketiga hurup itu bagaimana lantas terpikir olehmu tentang julukan gurumu?" "Dari julukan aneh tersimpul sesuatu pikiran dalam benakku, padahal kalian adalah sahabat kental Suhu sejak lama, namun guruku tidak pernah menyinggung hal ini." "Kurasa hal itu tidak punya sangkut pautnya dengan aku." "Akan tetapi dari julukan kalian sangkut pautnya amat besar. Cianpwe bernama Hiat lo-sat, dan Cianpwe yang bernama Pek-kut-sin-mo dan Coh-san-sin, Wanpwe juga kenal seorang Cianpwe yang bernama Hwi-thin-ya-ce, Peng Kiokjin." "O, Peng Kiok-jin belum mati ?" "Belum, semula Peng-cianpwe bersama Wanpwe, karena sesuatu keperluan beberapa hari yang lalu dia berpisah." "Jangan urus dia, lanjutkan saja penjelasanmu." "Bahwa para Cianpwe tidak percaya bahwa guru sudah mati, maka aku ragu dalam persoalan ini pasti ada hubungan yang amat rahasia satu sama lain. Dinilai dari julukan kalian ada Dewa, malaikat, iblis dan setan, ditambah yang dinamakan Hong sin-pang, agaknya Maaf Cianpwe, Wanpwe kelupaan? tapi terpaksa harus menyebut ketiga hurup itu." "Tidak menjadi soal, selanjutnya harus kau ingat betulbetul saja. Sejauhmana kau tahu tentang ketiga huruf itu." "Menurut pikiran Wanpwe, mungkin itu merupakan sebuah pertemuan besar, atau suatu organisasi rahasia, mungkin pula suatu perserikatan, Suhu dan kalian tercantum dalamdaftar anggota." Berubah air muka Lok Heng-kun, sekuatnya ia menahan gelora hatinya, katanya ."Darimana kau bisa berpikir bila gurumu juga ada ikatan dalam ketiga huruf itu?" "Wanpwe teringat sepasang syair di dalam kamar beliau, Ui-ho-san-sian empat huruf itu yang serasi, maka besar dugaan Wanpwe bila gurupun ada tercantum di dalam daftar itu!" "Engkau memang cermat dan teliti, maka yang kau ketahui cukup banyak. Dengan setulus hati kuperingatkan kepada kau, persoalan ini cukup sampai di sini saja, jangan kau main selidik lebih lanjut." Pedang Wucisan Karya Chin Yung Perangkap Karya Kho Ping Hoo Perangkap Karya Kho Ping Hoo