Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bunga 1


Pendekar Bunga Karya Chin Yung Bagian 1


Pendekar Bunga Karya dari Chin Yung   CHIN YUNG PENDEKAR BUNGA 1 Book - Kolektor E Terdaftar No. Pol. . 040 / BIN / LEKS / 73 CHIN YUNG PENDEKAR BUNGA 2 Book - Kolektor E PENDEKAR BUNGA Oleh . CHIN YUNG Penerbit . MAYA Jakarta Sumber Pustaka . Aditya Indra Jaya   Jilid 1 SENJA sudah tiba.   Sinar matahari yang hijau bercampur kuning menyilaukan mata.   Pohon-pohon tampak terhembus angin sore, tampak indah memenuhi jalan yang menuju kekota Pay-hoa-kwan yang kurang lebih tepisah lima lie dari daerah tersebut.   Serombongan orang yang berkuda, tampak telah melaratkan kuda tunggangan mereka.   Rombongan itu terdiri dari enam orangan lelaki yang berpakaian singset.   Tampaknya mereka tengah memburu waktu.   Dari sepasang alis dari mereka yang telah mengkerut dalam-dalam, terpancar sikap gelisah dari keenam lelaki ini.   Tampaknya ada sesuatu yang harus diselesaikan.   Debu juga telah mengepul tinggi.   Dilihat dari cara berpakaian keenarn orang itu, dengan masing-masing pinggang tergantung pedang, memperlihatkan bahwa mereka adalah enam orang ahli silat yang tampaknya memiliki kepandaian yang tidak rendah.   Kuda yang mereka tunggangi itu juga merupakan kuda pilihan.   Bertubuh tinggi besar dan juga tampaknya dapat berlari kuat sekali.   Dilihat dari potongannya, kuda ini tentunya binatang tunggangannya dari Mongolia.   Tetapi, ketika keenam orang itu tengah melarikan kudanya dengan cepat, tahu-tahu di sebuah persimpangan jalan, telah melompat sesosok tubuh menghadang jalan majunya rombongan tersebut.   Malah telah terdengar suara orang membentak dengan suara yang keras, juga sangat bengis .   "Berhenti....!!"   Kedua tangan orang itu digerakkan dengan gerakan yang berulang kali.   Serangkum angin serangan yang kuat bukan main telah meluncur dari kedua telapak tangannya.   Dan aneh! Rombongan keenam orang itu, tampaknya terkejut sekali, karena kuda tunggangan mereka seperti menubruk dinding, sehingga kuda-kuda itu tidak bisa maju lebih lanjut dan telah meringkik keras dengan sepasang kaki mukanya diangkat tinggi-tinggi.   Keenam orang penunggang kuda itu mementang mata mereka lebar-lebar.   Mereka melihat jelas sekali, orang yang menghadang mereka seorang laki-laki berusia diantara empat puluh tahun, wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apapun juga.   Dan yang mengejutkan sekali hati keenam orang penumpang kuda ini, mereka melihat sorot mata orang yang menghadang itu sangat tajam bukan main.   Orang itu memakai baju warna hijau, dengan celana warna kuning.   Dan biarpun usianya tampak agak tinggi, namun dia tidak memelihara kumis dan janggut.   3 Book - Kolektor E Salah seorang penunggang kuda itu telah memajukan binatang tunggangannya lebih dekat pada orang itu, lalu membentaknya .   "Mengapa kau menghalangi perjalanan kami?"   Orang yang menghadang itu telah tertawa dingin.   "Serahkan seluruh barang-barang kalian!"   Katanya dengan suara yang dingin.   "Hmmm.....!"   Mendengus penunggang kuda itu dengan murka.   "Rupanya kau seorang pembegal!?"   Dan dia telah melompat turun dari kuda tunggangannya itu. Dengan cepat tangannya telah merabah gagang pedangnya. Maksudnya akan mencabut keluar pedangnya. Namun bersamaan dengan itu, penghadang itu telah menggerakkan tangannya.   "Mampuslah kau!"   Bentaknya dengan suara yang dingin sekali.   Dari telapak tangan penghadang itu telah meluncur keluar serangkum angin yang kuat bukan main, mendesir kuat, dan seketika itu juga tubuh orang yang baru turun dari binatang tunggangannya itu terpental keras, dengan mengeluarkan suara jeritan yang menyayatkan hati.   Tubuhnya segera menggeletak ditanah.   Tempat tinggal jiwa orang itu sudah kosong.   Jiwanya sudah siang-siang melayang meninggalkan badannya.   Bukan main! Sekali menggerakkan tangannya, orang yang menghadang ini telah dapat membinasakan lawannya.   Malah dia tidak memberikan kesempatan pada penunggang kuda itu untuk mencabut keluar pedangnya, telah dihajarnya binasa.   Kelima orang penunggang kuda lainnya jadi kaget sekali, wajah mereka telah berobah pucat.   Bersamaan dengan itu, mereka tersadar dengan kemurkaan yang sangat.   Karena mereka telah melihatnya kawan mereka telah tidak bernyawa.   Dengan serentak kelima orang penunggaug kuda itu telah melompat turun.   Salah seorang dari mereka telah memeriksa keadaan kawan mereka.   Wajahnya segera memperlihatkan kemarahan bukan main, karena dia memperoleh kenyataan sahabatnya itu telah meninggal dengan wajah yang hitam keungu-unguan.   Itulah suatu kematian yang sangat mengerikan sekali.   Dengan penuh kemurkaan, dia telah mencabut keluar pedangnya.   Penjahat biadab, tangaumu terlalu telengas sekali!"   Teriaknya kalap.   Dia juga bukan hanya berteriak begitu saja, karena dengan cepat telah menjejak tanah, tubuhnya dengan cepat meluncur akan melancarkan serangan dengan tikaman pedangnya.   Keempat kawannya juga telah mencabut senjata mereka dan mengurung penghadang mereka.   Tetapi lelaki yang menghadang rombongan ini telah tertawa dingin.   "Hemmmm....... kalian ingin mampus juga rupanya!"   Katanya dengan suara mengejek.   Dan membarengi dengan itu, dia telah memandang datangnya tikaman dari lawannya yang seorang itu.   Ketika mata pedang hampir tiba, dengan cepat orang ini menggerakkan tangannya.   4 Book - Kolektor E Dengan gerakan yang sukar diikuti oleh pandangan mata, penghadang itu telah berhasil menyentil pedang lawannya, sehingga terdengar suara trinnggggg......! yang nyaring bukan main.   Dengan sendirinya, hal ini telah membuat orang itu terkejut lagi, sebab dia merasakan pedangnya yang kena disentil itu telah terpental dan hampir terlepas dari cekalannya, karena telapak tangannya dirasakannya pedih bukan main.   Dia telah melompat mundur dengan wajah yang pucat.   Tetapi orang yang menghadang rombongan tersebut rupanya tidak mau memberikan kesempatan sama sekali, dia telah menggerakkan kedua tangannya.   "Beeerrrr......!"   Angin yang kuat bukan main telah meluncur kearah orang itu.   Tidak ampun lagi, tubuh orang itu kejengkang, rubuh terkulai dan diam tidak bergerak.   Terhenti juga napasnya.   Dan dia telah berhenti menjadi manusia, karena nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.   Sisa keempat kawannya bukan main terkejutnya, mereka telah melihat dengaa mata kepala sendiri betapa kedua kawannya telah dibuat tidak berdaya begitu mudah oleh penghadang mereka.   Malah kedua orang itu telah dapat dibinasakan hanya dengan diserang mempergunakan tenaga dalam dan menyerang dari jarak jauh.   Hal ini memperlihatkan bahwa tenaga dalam yang dimiliki orang itu bukan main hebatnya.   "Si..... siapa kau?"   Bentak salah seorang dari keempat penunggang kuda itu, suaranya agak tergetar, karena amarah bercampur juga perasaan jeri. Orang yang menghadang rombongan itu telah tertawa dingin.   "Hemmm...... kalian pernah mendengar nama Giok Bian Gin Kiam (Si Pedang Perak bermuka Kumala)....?"   Bertanya orang itu dengan suara yang dingin.   "Itulah aku.......!"   "Hah?!"   Keempat orang itu telah jadi terkejut bukan main.   Semangat mereka seperti juga meninggalkan raga mereka, kedua lutut mereka tampak tergetar.   Tampaknya mereka lemas hampir tidak bisa berdiri.   Giok Bian Gin Kiam merupakan seorang iblis yang sangat tangguh sekali.   Boleh di bilang, selama ini Giok Bian Gin Kiam Siauw Cu Lung tidak pernah menemui tandingan.   Dia malang melintang dengan segala angkara murka yang dimilikinya.   Setiap orang yang tidak disenanginya, pasti akan dibunuhnya.   Dan keempat orang penunggang kuda ini tadi telah melihatnya, bahwa nama besar dari si iblis Giok Bian Gin Kiam Siauw Cu Lung ini memang bukan nama kosong belaka, sebab kedua kawan mereka tadi dengan begitu mudah telah kena dirubuhkan oleh si iblis.   Melihat keempat orang itu seperti bengong dengan muka yang pucat dan memperlihatkan sikap yang jeri, Giok Bian Gin Kiam telah tertawa mengejek.   "Apakah kalian masih tidak mau cepat-cepat meninggalkan barang kalian....?"   Tegurnya dengan suara yang bengis.   Sepasang alis dari keempat orang ini jadi bergerak berdiri, mereka setidak-tidaknya memiliki nama yang tidak kecil didalam rimba persilatan.   Walaupun hati mereka jeri, tetapi disebabkan sakit hati melihat kedua kawan mereka yang telah terbinasa dengan cara yang begitu mengerikan, tentu saja membuat mereka jadi murka tidak kepalang.   Dan mereka jadi berbalik nekad.   5 Book - Kolektor E "Baiklah Giok Bian Gin Kiam, walaupun kami harus mati ditanganmu, tetapi kau juga harus mampus ditangan kami!!"   Teriak salah seorang dari keempat penunggang kuda itu.   Dan dia bukan hanya membentak begitu sebab dengan cepat sekali dia telah menjejakkan kakinya.   Tubuhnya bagaikan terbang telah melesat ditengah udara, dan membarengi mana dia telah menggerakkan pedang ditangannya.   Gerakan yang dilakukannya itu sangat cepat sekali, sebab pedangnya segera juga mengancam akan menikam dada dari Giok Bian Gin Kiam.   Gerakan mana sesungguhnya merupakan gerakan untuk mengadu jiwa dengan pihak lawan, maka sangat berbahaya sekali.   Tetapi Giok Bian Gin Kiam Siauw Cu Lung sangat tenang sekali.   Dia memandangi saja betapa pedang yang tengah meluncur menyambar kearahnya itu.   Dan ketika mata pedang hanya terpisah beberapa dim saja, dengan gerakan yang cepat dia telah mementang mulutnya, dan memiringkan kepalanya, tahu-tahu dia telah menggigit pedang itu.   Gigitannya keras bukan main.   Pedang itu sampai tidak bisa bergerak lagi.   Dan membarengi mana, dia telah menggerakkan kedua telapak tangannya.   "Weeeerrrrr.....!"   Serangkum angin serangan yang hebat sekali, bagaikan runtuhnya gunung, telah menyambar dada dari penyerangnya.   "Bledakkkkk!"   Dada orang itu telah kena disambar oleh tenaga serangan Giok Bian Gin Kiam.   Seketika itu juga tubuh orang yang melancarkan serangan dengan mempergunakan pedang itu, telah terpental keras sekali.   Seketika itu pula tubuhnya telah terlambung dan pedangnya tetap tergigit oleh Giok Bian Gin Kiam.   Waktu tubuh orang itu terjungkal keras terbanting ditanah, maka batang lehernya telah patah, dadanya telah melesak dan juga mukanya telah hitam legam.   Napasnya telah terhentikan ketika tubuhnya tadi masih melayang di udara.   Ketika kawannya mengeluarkan suara jeritan kalap dan mereka telah melompat menerjang kearah Giok Bian Gin Kiam dengan serangan pedang mereka.   Dari tiga jurusan mereka telah mengepung Giok Bian Gin Kiam, tetapi mereka tidak berdaya sama sekali.   Belum lagi satu jurus, belum lagi pedang mereka itu dapat meluncur mendekati tubuh Giok Bian Gin Kiam, dengan cepat sekali Siauw Cu Lung telah menggerakkan sepasang tangannya, seketika itu juga sekitar tubuhnya seperti dikurung oleh serangkum angin yang sangat kuat sekali.   Dan kejadian yang hebat telah terjadi lagi pada saat itu.   Terdengar suara jeritan yang menyayatkan dari ketiga orang yang bersenjata pedang itu.   Dan tubuh mereka tampak telah terpental, lalu menggeletak tidak bergerak lagi.   Diam kaku.   6 Book - Kolektor E Karena merekapun telah menyusul ketiga kawan mereka lainnya, yang telah terlebih dahulu telah pergi keakherat itu.   Giok Bian Gin Kiam memperdengarkan suara dengusan, kemudian dia berjongkok.   Satu persatu mayat-mayat itu diperiksainya dengan teliti.   Seluruh pauwhok (buntalan) dari keenam orang itu telah dibukai.   Tetapi tidak ada satu barangpun yang diambilnya, uang atau permata tidak diperhatikannya.   Giok Bian Gin Kiam seperti juga tengah mencari sesuatu dan mukanya jadi murung waktu telah memeriksa keenam mayat itu dan tidak menemui barang yang diinginkannya itu.....! Dia berdiam sejenak ditempat itu, berdiri mematung dengan wajah yang muram.   Matanya memancarkan sinar aneh, dan waktu dia mengeluarkan suara siulan yang panjang, kedua kakinya telah menjejak tanah, tubuhnya mencelat cepat sekali, didalam waktu sekejap mata saja, di telah lenyap dari pandangan mata.   Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Yang tertinggal ditempat itu hanyalah keenam sosok mayat yang menggeletak tidak bernapas lagi....   hanya kesunyian belaka yang terdapat ditempat itu.....   Menjelang sore harinya, keenam sosok tubuh itu masih menggeletak diam ditempat semula, karena sejak tadi tidak ada juga orang yang lewat ditempat tersebut.   Dan diwaktu malam akan tiba itu, tiba-tiba salah satu dari keenam mayat itu telah bergerak perlahan, disusul oleh suara erangannya, seperti rintih kesakitan bukan main.   Dia telah membuka sepasang matanya, dan melihat kelima sosok mayat lainnya.   Mukanya tampak meringis, dan hilang harapannya, karena dia segera menyadarinya bahwa kelima kawannya telah terbinasa ditangan Giok Bian Gin Kiam.   Dan secara kebetulan saja, tadi dia cuma pingsan, walaupun lukanya terlalu hebat, dengan dada yang melesak dan tulang-tulang dada yang telah patah, namun disebabkan tenaga lwekangnya yang tinggi sekali, dengan sendirinya dia belum menghembuskan napasnya....! Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga yang masih terdapat pada dirinya dan dengan menahan perasaan sakit yang bukan main, orang ini telah berusaha untuk merangkak bangun.   Tetapi sepasang lututnya telah gemetaran keras sekali.   Dia tidak berdaya untuk berdiri.   Karena luka yang dideritanya itu sangat berat sekali.   Dengan pandangan mata nanar, dia memandang sekitar tempat itu.   Sunyi sekali, tidak terlihat sebuah rumah pendudukpun juga.   Dan tampak keenam kuda tunggangan mereka masih berada ditempat itu.   Walaupun keenam binatang tunggangan itu berdiri agak jauh, tetapi hal itu bisa membantu banyak pada diri orang yang satu ini.   Dia telah bersiul, walaupun siulannya itu serak dan sumbang, namun telah menyebabkan salah seekor dari keenam kuda itu menghampirinya.   Orang yang sedang dalam keadaan sekarat ini telah mengulurkan tangannya.   Dia mencekal tali pelana yang terjuntai, dia menghentaknya.   Dengan meminjam tenaga gentakannya itu, maka dia bisa berdiri.   Dengan bersusah payah, akhirnya dia berusaha untuk dapat menunggangi kudanya.   7 Book - Kolektor E Kuda tersebut seperti juga mengerti maksud majikannya yang tengah terluka parah itu.   Binatang tunggangan itu telah menekuk kedua kaki depannya, sehingga tubuhnya agak merendah.   Dan akhirnya orang itu telah berhasil menaiki kuda tunggangannya.   Dia menggemblok dipunggung kuda itu tanpa memiliki tenaga pula.   "Pulang...... Sie-ma!"   Bisiknya pada kuda itu, yang memang merupakan kuda tunggangannya.   Binatang tersebut mengerti perkataan majikannya.   Dengan cepat dia telah berlari.   Tanpa dikendalikan oleh orang yang menggemblok dipunggungnya, kuda itu mengetahui kearah mana dia harus berlari.   Sedangkan orang yang menungganginya itu, telah jatuh pingsan tidak sadarkan diri.   Hanya tubuhnya saja yang menggemblok diatas kuda tunggangannya itu.   Dan binatang tunggangan itu telah berlari kearah jurusan barat, kearah kota Pay-hoa-kwan.   Sedangkan orang yang berada dipunggung kuda itu, sudah tidak mengetahui, kearah mana kuda tunggangannya ini berlari.......   * * * KETIKA orang yang dadanya terluka berat nan melesak dengan tulang-tulang iganya dan dadanya yang telah berantakan patah itu membuka matanya, pandangan matanya itu kabur sekali, dia tidak bisa melihat jelas.   "A.... air.... air....."   Dia mengeluh dengan suara yang tersendat.   "Papa (ayah)....!"   Terdengar seruan seorang anak lelaki kecil.   Lelaki yang tengah terluka parah itu mengenali, itulah suara anak tunggalnya.   Song-jie (anak Song).   Juga samar-samar lelaki itu mendengar isak tangis dari seorang wanita.   Lelaki ini menyadarinya, bahwa dia telah terbaring dirumahnya dibawa pulang oleh kuda tunggangannya yang jinak itu.   Dan yang sedang menangis itu tentu isterinya, Hwie Lan.   Dirasakan bibirnya dingin sekali, beberapa tetes air membasahi bibirnya.   "Lokung (suami)...... kau tidak boleh terlalu banyak minurn air dulu, keadaanmu sangat... sangat menguatirkan sekali.......!!"   Suara seorang wanita didengarnya, dan itu memang suara isterinya. Setelah ada beberapa tetes air yang membasahi bibirnya, semangat lelaki ini seperti juga terbangun.   "Lan-moy (adik Lan)... apakah ada orang lain diruangan ini?"   Tanyanya dengan suara yang gemetar saking menahan perasaan sakit pada dadanya.   "Ti... tidak...!"   Menyahuti Hwie Lan.   "Hanya aku dan Song-jie saja...!"   "Aku... aku harap nanti Song-jie setelah dewasa dapat membalas sakit hatiku ini...!"   Kata orang itu dengan suara gemetar.   "Siapa yang telah mencelakaimu, Lokung?"   Tanya Hwie Lan dengan suara terisak diantara tangisnya. 8 Book - Kolektor E "Giok... Giok Bian Gin... Kiam...!"   Menyahuti si suami.   "Dan... dan... dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali... nanti kalan Song-jie telah dewasa, kau harus menceritakan padanya siapa musuh besarnya...!"   Hwie Lan mengangguk mengiyakan di antara isak dan tangisnya itu.   "Dan... dan..."   Berpesan si suami pula. Tetapi baru berkata sampai di situ, napasnya sudah naik sampai dilehernya, sehingga untuk sejenak dia kegelapan tidak bisa bernapas.   "Lokung! Lokung!"   Sesambatan wanita itu.   "Papa! Papa!!"   Teriak si Song-jie dengan suara tersendat tangisnya.   Dialah seorang anak lelaki yang mungil baru berusia enam tahun.   Tetapi melihat penderitaan ayahnya itu, dia jadi begitu berduka.   Sesaat kemudian, lelaki yang terluka parah itu telah dapat bernapas kembali.   Lalu katanya dengan suara terputus-putus.   "Barang itu.... barang itu terdapat didalam jahitan pelana kudaku..... Harap kau simpan pelana itu.... dan nanti setelah Song-jie dewasa, kau berikan pelana itu agar dia memeriksanya...!!"   Dan berkata sampai disitu, bibir lelaki tersebut telah bergerak-gerak perlahan, kata-katanya yang selanjutnya sudah tidak terdengar.   Dan ketika bibirnya itu berhenti bergerak-gerak, napasnya juga berhenti pula.   Terdengar suara jerit dan tangis menyayatkan hati dari isterinya.   Begitu juga si Song-jie itu jadi menangis terisak-isak.   Tetapi lelaki tersebut telah menghembuskan napasnya yang penghabisan.   Sesungguhnya, lelaki ini she Ma dan bernama Wie An.   Gelarnya It Kun Kiehiap (Pendekar Pukulan Tunggal).   Namanya sangat harum sekali didalam rimba persilatan.   Cuma saja, sebagai orang yang berhati welas asih, biarpun dia telah mempunyai seorang isteri dan putra tunggal yang diberi nama Eng Song, nyatanya dia masih suka berkelana untuk melakukan kebajikan membela yang lemah.   Dengan tidak terduga, dia telah mendengar suatu kabar rahasia, bahwa disebelah utara dari pintu barat ibukota, tersimpan suatu pusaka yang sangat langka didalam rimba persilatan.   Maka bersama-sama dengan lima orang saudara seperguruannya, dia telah melakukan penyelidikan selama dua bulan.   Ternyata dia telah berhasil menemui benda pusaka itu.   Namun siapa sangka, dalam perjalanan pulang, justeru mereka telah dihadang oleh Giok Bian Gin Kiam, dan berhasil dibinasakan kelima saudara seperguruannya, dan juga telah membuat dia terluka parah, sampai akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir juga setelah meninggalkan pesan terakhirnya pada sang isteri.   Dengan ucapan sederhana, dibantu oleh beberapa orang tetangga, jenasah dari pendekar she Ma itu telah dikubur dan pelana kuda yang disebut menyimpan benda pusaka itu, telah disimpan baik-baik oleh Hwie Lan.   Hari demi hari telah lewat.   Untuk melewati penghidupan dan biaya sehari-hari maka Hwie Lan telah bekerja sebagai penjahit pakaian, dan menerima cucian juga.   Dia bermaksud akan membesarkaa Song-jie, agar kelak setelah dewasa, dia baru akan menceritakan seluruh peristiwa yang telah menimpah ayahnya itu.   Song-jie juga merupakan seorang anak yang patuh terhadap kata-kata orang tua.   Dia sangat rajin sekali membantui ibunya.   Setiap paginya Song-jie yang telah menimbakan air untuk mencuci baju orang.   Siangnya, Song-jie telah berusaha bekerja sebagai tukang angon kambing, untuk mencari tambahan uang nafkah mereka ibu dan anak.   9 Book - Kolektor E Hwie Lan yang melihat sikap Song-jie yang demikian baik, sering jadi menitikan air mata.   Karena dia selalu teringat suaminya sang telah meninggal itu jika melthat Song-jie.   Kedukaan yang datangnya sangat hebat itu dan dari hari kehari telah memakan hati perempuan itu.   Sampai akhirnya setahun kemudian Hwie Lan juga telah meninggal dunia disebabkan hatinya meleres.   Tetapi sebelum meninggal, sang ibunya telah berpesan pada Ma Eng Song, bahwa kalau Eng Song sudah dewasa, harus memeriksa pelana kuda mendiang ayahnya itu.   Dan Hwie Lan meninggalkan pesan juga, agar pelana itu disimpan baik-baik.   Juga disebutkan oleh ibu Eng Song ini, bahwa orang yang telah membunuh Ma Wie An, ayah Eng Song, adalah Giok Bian Gin Kiam.   Nama pembunuh itu tidak diketahui oleh Hwie Lan, karena suaminya juga tidak menyebutnya, hanya mengatakan gelaran pembunuhnya itu.   Sambil menangis terisak-isak Eng Soag telah mendengarkan semua pesan terakhir ibunya.   Dan air matanya tambah banyak saja mengalir keluar waktu ibunya ini telah menghembuskan napas yang terakhir.   Bagitulah, dengan dibantu oleh para tetangga, jenasah ibunya telah dikubur.   Eng Songpun menjadi anak yatim piatu, hidupnya jadi tidak terurus.   Untuk bertahan hidup terus, dia mencari makan dengan bekerja pada Bie Wanggwe (hartawan she Bie) dengan mengangon kambing-kambingnya setiap hari.   Upah yang diterimanya sangat kecil sekali.   Tetapi karena Song-jie memang masih terlalu kecil, maka dia tidak tahu pekerjaan apa lagi yang bisa dilakukannya, karena dia belum memiliki tenaga yang berarti.   Hari demi hari lewat lagi, tanpa terasa sudah tiga bulan.   Selama itu, tubuh Eng Song jadi kurus kering sekali, karena selain dia makan kurang, lagi pula sering disiksa oleh majikannya.   Pertama kali dia bekerja, memang majikannya memperlakukan dia baik sekali.   Namun hari demi hari lewat begitu pula perobahan terjadi pada majikannya itu.   Hartawan kaya raya Bie Seng Kian ternyata merupakan seorang hartawan yang bengis sekali.   Kalau memang Eng Song terlambat pulang mengangon kambingnya itu, pasti dia akan dipecut beberapa kali membuat kulit punggungnya terkadang jadi terluka berat.   Juga disamping itu, kalau sampai ada kambing yang hilang, tentu Song-jie akan disiksa sampai setengah mati.   Terkadang saking hebat siksaan yang diterima oleh Eng Song, membuat dia tidak bisa bangun dari pembaringannya.   Tetapi majikannya itu ternyata memang seorang yang sangat kejam.   Kalau sampai siang hari dia tidak juga melihat Eng Song keluar dari kamarnya yang kecil dan bau apek dekat kandang kambing, maka majikannya itu akam mendatanginya, dan menyeretnya keluar dari kamar itu.   "Kau kira aku memberi kau makan dan gaji untuk tidur seperti seekor babi begitu, heh?"   Selalu majikannya membentak dan memaki kasar.   Eng Song tidak berdaya menghadapi kebengisan majikannya ini.   Hanya secara diam-diam dia sering menitikkan air mata.   Dengan menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya, Eng Song harus juga mengangon kambing itu.   Sinar matahari yang terik tentu saja menimbulkan perasaan tidak enak dan menyiksa pada luka-lukanya karena siksaan kemarin malam.   10Kolektor E-BookTetapi karena dia memang seorang yatim yang sudah tidak ada orang untuk di mintai perlindungannya, dia jadi tidak berdaya.   Segala penderitaan ditelan begitu saja.   Seperti pagi itu, tampak Eng Song telah pergi mengangon kambing-kambing milik hartawan kaya raya Bie Seng Kian yang kejam dan begis itu.   Pada mukanya tampak tanda-tanda biru kehitam-hitaman, mungkin semalam dia telah kena dihajar dan disiksa oleh majikannya pula.   Dia mengangon kambing-kambingnya itu ketanah lapangan rumput yang terletak begitu berjauhan dengan pintu kota.   Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Di sebuah batu gunung yang terdapat ditempat itu, Eng Song duduk termenung.   Dia telah membiarkan kambing-kambing itu memakan rerumputan, dan pikiran si bocah jadi menerawang.   Sekarang dia telah berusia tujuh tahun.   Sudah setahun lebih ayahnya meninggal.   Dan ibunya meninggal baru beberapa bulan yang lalu.   Namun penderitaan hidup yang diterimanya bukan main menyiksa dirinya.   Harta miliknya yang masih menjadi punyanya, hanyalah pelana kuda peninggalan ayahnya.   Sedangkan rumah dan barang-barang ayahnya, telah dikuasai Bie Seng Kian, dengan alasan kalau nanti Eng Song sudah besar, tentu akan diberikan kembali rumah dan barang warisan itu.   Tetapi sesungguhnya Bie Seng Kian hanyalah mendustai si bocah.   Sesungguhnya hartawan kaya raya itu sangat tamak sekali dan menginginkan rumah dari si bocah.   Penduduk disekitar tempat itu sebetulnya sangat gusar dan juga jengkel sekali melihat Eng Song diperlakukan tidak baik oleh Bie Seng Kian, namun para penduduk tidak berdaya apa-apa, sebagai seorang hartawan yang kaya raya Bie Seng Kian memiliki tukang pukul yang sangat banyak dan galak sekali.   Pagi ini, Eng Song duduk termenung mengawasi gumpalan-gumpalan awan yang bertebaran bebas.   Dan gumpalan-gumpalan awan itu selalu berobah-robah bentuknya.   Terkadang seperti naga bergulung, terkadang bagaikan seekor burung bangau, serigala dan bentuk lainnya lagi.   Tetapi hati Eng Song tidak tertarik melihat semua itu, karena dia tengah diliputi kedukaan yang sangat.   Dan Eng Song merasakan, jika saja dia masih memiliki kedua orang tuanya, tentunya dia tidak akan menderita demikian, tidak akan menerima siksaan dari Bie Seng Kian.   Setidak-tidaknya ayahnya sebagai seorang pendekar yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, pasti tidak akan membiarkan anaknya itu diperlakukan demikian.   Tetapi sekarang....   ayahnya telah meninggal dunia dan tidak bisa mendampinginya.   Begitu pula ibunya....! Dan Eng Song jadi menangis berduka sekali menyesali nasibnya.   Air matanya mengucur deras sekali.   Dia menangis terisak-isak di batu yang didudukinya.   "Hemmm.... bagus ya.... aku menggajimu bukan untuk menangis begitu!"   Tiba-tiba Eng Song dikejutkan oleh suara bentakan yang garang sekali.   "Pantas saja kambing-kambingku telah banyak yang hilang.... tidak tahunya kau tidak pernah memperhatikannya."   Dan baru saja Eng Song mau menoleh walaupun dia telah mengenali suara siapa itu, namun dengan tidak terduga, punggungnya kena didupak sesuatu keras sekali, sakit bukan main dirasakan olehnya, malah tubuhnya telah tersungkur kedepan ngusruk ketanah.   11Kolektor E-Book"Bangun!!"   Suara membentak terdengar lebih keras dan bengis.   Dengan kesakitan yang sangat pada punggungnya yang seperti ingin patah, Eng Song telah merangkak berdiri.   Dia melihatnya.   Bie Seng Kian Wanggwe (hartawan Bie Seng Kian) dan dua orang tukang pukulnya tengah menatap kearahnya dengan garang.   "Hemmm... sekarang telah terbuka kedokmu!"   Kata Bie Seng Kian Wanggwe dengan suara yang bengis.   "Dengan apa kau ingin mengganti kambing-kambing yang hilang, heh? Kalau kau terus menerus begitu, tentunya aku yang akan menderita rugi tidak hentinya...!!"   Eng Song tidak berdaya, dia hanya menundukan kepalanya saja.   Hatinya sakit bukan main, dia jadi sangat membenci bukan main hartawan kaya raya yang bengis ini.   Air matanya menitik turun membasahi pipinya.   Melihat ini Bie Wanggwe telah tertawa dingin.   Dia melirik kearah salah seorang tukang pukulnya yang berdiri disebelah kiri.   Tukang kepruk itu seorang yang bertubuh tinggi besar dan memiliki muka yang garang.   Melihat isyarat dari majikannya, dia telah melangkah lebar menghampiri Eng Song.   Karena tukang kepruk ini sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh majikannya.   Dengan kasar tahu-tahu dia telah menyambak rambut Eng Song, dan tahu-tahu dia telah mendorong kebawahnya, sehingga kepala Eng Song tertunduk.   Dan dikaka itu, tukang kepruk dari hartawan Bie Seng Kian ini telah mengangkat kaki kanannya, dengan sendirinya muka Eng Song jadi menghajar telak sekali lutut orang yang menyiksanya itu.   Kontan darah muncrat keluar dari hidung Eng Song.   Rasa sakit yang bukan main juga telah membuat kepalanya jadi pusing sekali, dengan mata yang nanar.   Tetapi Eng Song tidak menjerit kesakitan, dia berdiam diri saja.   Karena bocah ini menyadari, menjerit-jerit kesakitan juga percuma.   Karena orang-orang yang ada dihadapannya ini semuanya manusia-manusia yang berhati serigala.   Dengan sendirinya, Eng Song hanya berdiam diri, hanya matanya mengawasi kearah Bie Seng Kian dengan sorot mata membenci sekali.   "Hihihihi......!"   Tertawa Bie Seng Kian dengan suara yang menakutkan.   "Rupanya kau masih memiliki sikap untuk melawan, heh?"   Dan dia telah mengangkat tangannya, mengisyaratkan tukang pukulnya itu.   Dengan tertawa menyeramkan, tukang pukulnya Bie Seng Kian telah mencengkeram baju Eng Song.   Diangkatnya tubuh si bocah, kemudian dia telah melemparkannya ketengah udara.   Seketika itu juga tubuh Eng Song melayang ditengah-tengah udara dan terbanting keras ditanah.   Rasa sakit yang bukan main telah meliputi tubuhnya, dia menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang bukan main.   12Kolektor E-Book"Hemmmm........ kali ini sikap menantangmu aku ampuni!"   Kata Bie Seng Kian dengan suara vang dingin sekali.   "Tetapi aku sudah tidak mau melihat tampangmu itu lagi. Kau harus segera angkat kaki dari tempat ini! Kalau dilain saat nanti aku melihat tampangmu itu masih berkeliaran disekitar kota ini, hemmmm, disaat itu tentu jiwamu itu akan kukirim menemui Giam Lo Ong! Nih tiga tail....... pergilah kau!!"   Itulah merupakan suatu pengusiran.   Segalanya memang telah direncanakaa oleh hartawan kaya dan jahat ini.   Dia memang telah mengatur rencananya demikian rupa.   Untuk menyerakai dan memiliki harta dan rumah keluarga Ma itu.   Dengan selalu mencari-cati kesalahan pada diri Ma Eng Song, berarti dia mempunyai kesempatan untuk mengusir si bocah dari kota ini.   Dan dengan cara begitu, rumah dan harta benda peninggalan Mu Eng Song yang memang cukup banyak, tentunya jatuh di tangan hartawan yang jahat ini.   Eng Song merangkak bangun.   Dia mengawasi uang yang tiga tail mengkeletak ditanah.   "Heh! Kau tidak mau mengambil uang itu? Kau pura-pura menjadi manusia yang tidak doyan uang?"   Tegur hartawan kaya raya itu dengan suara yang bengis. Karena dia menyangka bahwa Eng Song tentunya akan rewel menanyakan persoalan rumahnya. Tetapi saat itu, Eng Song telah memandang dingin padanya.   "Kalau memang Loya (tuan besar) mau, maka Loya boleh mengambil uang itu kembali, karena aku tidak memerlukannya! Aku hanya mohon agar Loya mengijinkan aku mengambil satu barangku saja...!"   Muka si hartawan jadi berobah merah padam, tanpaknya dia murka. Tetapi ditahannya perasaan gusarnya itu, dia mengawasi tajam.   "Coba kau katakan, barang apa yang ingin kau minta itu?"   Tanya si hartawan she Bie ini dengan suara yang bengis.   "Aku hanyn meminta agar Loya mengijinkan aku membawa pelana kuda dikamarku itu....!"   Kata Eng Song. Muka si hartawan kaya raya itu jadi berobah cerah.   "Hemmmm, pelana kuda yang telah butut itu?"   Tegur hartawan kaya itu dengan senyum liciknya.   "Baik! Baik! Aku ijinkan! Tetapi ingat, untuk selanjutnya, dan sampai kapanpun juga, aku tidak mau melihat tampangmu lagi! Mengerti?"   Eng Song mengangguk.   "Aku akan pergi kesuatu tempat yang sangat jauh Loya...... dan tidak akan kembali ketempat ini!"   "Bagus!!"   Berseru hartawan kaya raya itu.   "Nah, cepat kau pergi ambil pelana kudamu yang telah butut itu! Tetapi awas, kau jangan coba-coba ingin mencari barangku, walaupun hanya satu potong."   Namun Eng Song sudah tidak mau banyak rewel, dia telah mengangguk saja, walaupun hatinya mendongkol bukan main mendengar perkataan hartawan itu. 13Kolektor E-BookDengan menahan sakit pada muka dan tubuhnya akibat siksaan yang diterimanya, Eng Song telah cepat-cepat kembali kekamarnya.   Dia telah mengambil pelana kuda warisan ayahnya.   Sedangkan hartawan she Bie itu juga bersama kedua tukang kepruknya telah mengikuti dibelakangnya, mereka juga telah meninggalkan lapangan rumput itu.   Karena mereka takut kalau-kalau nanti Eng Song akan mengambil sepotong dua potong barang milik hartawan kaya raya ini.   Dengan hanya membawa pelana kuda bekas itu, Eng Song telah meninggalkan kota itu.   Sedangkan uang yang tiga tail pemberian dari Bie Wanggwe tidak diambilnya.    ooo O ooo 1 DENGAN HATI penuh kedukaan Eng Song telah melakukan perjalanan meninggalkan kota itu, karena dia anggap terlepasnya dia dari tangan Bie Seng Kian Wanggwe itu memang jauh lebih baik.   Sebab dirinya tentu tidak akan menderita lagi disiksa terus menerus oleh hartawan kaya raya tetapi bengis dan licik itu.   Menjelang sore hari, maka Eng Song telah tiba diluar kota Pay-hoa-kwan, sejauh dua puluh lie.   Tetapi waktu itu dia tidak melihat ada sebuah rumah disekitar tempat tersebut.   Keadaan sunyi sekali.   Si bocah memandang sekelilingnya, dia melihat ditepi jalan terdapat rerumputan yang agak tebal.   Maka bocah ini telah menghampiri tempat itu.   Direbahkan tubuhnya yang penat bukan main, didalam waktu yang sangat singkat, dia telah tertidur pulas.   Lapar yang dirasakan pada perutnya tidak diacuhkan, karena si bocah memang telah kenyang terlalu menderita sekali dalam usianya yang masih muda.   Angin malam yang membuat Eng Song jadi menggigil kedinginan, memaksa di tengah malam itu dia jadi terbangun dari tidurnya.   Keadaan disekitar tempat tersebut sangat sepi dan gelap sekali.   Sebagai seorang bocah cilik seperti Eng Song, jelas dia jadi takut dan ngeri.   Tetapi akhirnya dia nekad.   "Akhhhhh, paling tidak aku hanya dimakan binatang buas!"   Pikirnya.   "Itu lebih baik kalau dibandingkan dengan jatuhnya ditangan manusia berhati serigala seperti hartawan she Bie yang jahat itu!!"   Dan dia merebahkan lagi tubuhnya, dia memejamkan matanya.   Pelana kuda peninggalan mendiang ayahnya dipergunakan untuk bantal kepalanya.   Tetapi hawa udara yang dingin menusuk tulang dimalam hari dalam keadaan udara terbuka itu, membuat Eng Song tidak bisa tidur dengan baik.   14Kolektor E-BookBerulang kali dia dikejutkan oleh suara yang membuat dia sering terbangun dan duduk.   Tetapi selama itu Eng Song tidak melihat makluk apapun juga disekitar dirinya.   Mungkin juga suara-suara yang sering didengarnya itu adalah suara binatang buas yang berada dalam hutan yang memang tidak jauh letaknya dari tempat itu.   Karena beberapa kali dia memaksakan dirinya untuk tidur, dan selalu gagal, maka akhirnya Eng Song telah duduk saja dibatu itu.   Dia duduk termenung mengingat akan nasibnya yang sangat buruk.   Coba kalau dia masih mempunyai ayah dan ibu, tentu tidak ada orang yang berani menghina dirinya.   Dan pedih sekali hatinya teringat akan hal itu.   "Namun aku harus berusaha untuk menjadi manusia yang kuat dan tangguh, aku harus berusaha mencari seorang guru yang pandai, guna membalas sakit hati ayahku!! Nanti kalau aku sudah dewasa, aku akan mencari musuh besar ayah...!!"   Pikiraya dengan semangat yang menyala-nyala.   Dan pikiran serupa itu telah membuat Eng Song jadi berani untuk menerima kesengsaraan yang bagaimanapun juga.   Maka dia telah menghela napas berulang kali.   Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tetapi dikala dalam kesunyian seperti itu, tiba-tiba Eng Song dikejutkan oleh suara orang yang menegurnya dengan lembut .   "Apa yang kau pikirkan nak....?"   Eng Song saking kagetnya sampai melompat berdiri dan membalikkan tubuhnya.   Dia melihatnya seorang lelaki tua dengan jenggot yang panjang dan telah memutih itu, tengah berdiri dengan senyuman yang ramah padanya.   Eng Song jadi gugup sekali, dia bertanya tergagap .   "Si... siapa paman?"   Orang tua itu telah tersenyum.   "Aku seorang pengelana yang tidak menentu tempat tinggalku...!"   Katanya.   "Dan kau nak...... mengapa didalam kegelapan malam seperti ini kau keluyuran? Apakah kau sedang dimarahi orang tuamu, sehingga ngambul dan melarikan diri? Itu bukan sifat yang baik.....! Pulanglah kembali kerumah orang tuamu, kau tidak tahu keadaan diluar sangat berbahaya sekali..... banyak orang jahat, dan juga binatang buas! Dimana rumahmu, biar kakek yang akan mengantarkan kau pulang....!"   Mendengar perkataan si kakek yang begitu lembut dan halus, dan juga mengandung kasih sayang, hati Eng Song jadi terharu sekali.   Sejak kematian kedua orang tuanya, kakek inilah pertama kali yang memberikan kasih sayang dengan sikapnya yang begitu ramah.   Sedangkan hari-hari sebelumnya, Eng Song selalu memperoleh perlakuan yang kasar dan siksaan-siksaan yang sangat kejam dari Bie Seng Kian Wanggwe dan orang-orangnya.   Tanpa terasa air matanya mengucur deras dan dia hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa dapat menjawab.   Kakek tua itu yang melihat si bocah menangis begitu, jadi terkejut.   "Ihhhh..... mengapa kau menangis nak? Ada suatu kesulitan?"   Sabar sekali suaranya. Hati Eng Song jadi tambah berduka dan sedih saja, tangisnya semakin keras. Si kakek tua telah menghela napas, dia menghampiri, dan mengelus rambut si bocah. 15Kolektor E-Book"Anak..... hentikanlah tangismu, jangan membuat kakek jadi ikut sedih........!"   Katanya sabar.   "Nanti kalau kakek sudah bersedih hati dan ikut menangis, kau tidak mungkin menghentikan tangis kakek yang akan panjang selama dua hari dua malam!"   Mendengar perkataan orang tua yang sabar itu, Eng Song jadi kaget dan agak lucu.   "Pa...... paman kalau menangis selalu dua hari dua malam"   Tanyanya sambil menyusut air matanya. Orang tua itu telah tersenyum sabar sambil mengangguk.   "Benar nak...... aku selalu akan menangis dua hari dua malam.... maka dari itu, kau jangan menangis, nanti kakek bisa ikut-ikutan bersedih...!!"   Kata si kakek tua itu.   "Nah, kau ceritakanlah, kesulitan apa yang tengah kau hadapi, mungkin juga kakek bisa menolongnya....!"   Memperoleh sikap yang begitu menyayang dan penuh kasih, maka hati Eng Song jadi menyukai orang tua ini. Dia menceritakan semua pengalamannya dan keadaan dirinya yang sebenarnya. Mendengar itu wajah si kakek jadi berobah muram.   "Hemmmmm.... manusia seperti Bie Wanggwe benar-benar bukan manusia, tetapi serigala yang berkedok menusia! Bayangkan saja, seorang anak yatim piatu yang tengah kesusahan, malah harta miliknya telah diserakahi begitu....!"   Dan dia menghela napas berulang kali. Tetapi kemudian dia menyambungi kata-katanya lagi .   "Biarlah nak.... harta di dunia ini tidak ada gunanya... yang terpenting adalah hati kita yang kaya akan kasih dan sayang sesama manusia...!"   Eng Song mengangguk sambil mengucapkan terima kasih atas kata-kata si kakek tua itu.   "Ya paman... aku juga tidak menyesali rumah dan barang-barang mendiang ayahku itu jatuh ditangan hartawan jahat itu, tetapi yang membuat aku suka bersedih, mengapa didalam usia sekecil ini aku harus menghadapi percobaan hidup yang sangat berat?"   Mendengar perkataan Eng Song, kakek tua itu telah tersenyum.   "Bukannya percobaan hidup yang terlalu kejam, tetapi keadaan dilingkunganmu! Lagi pula setiap manusia yang menerima percobaan hidup dengan nasib yang buruk, malah lebih baik, karena jiwa dan pikirannya telah tergembleng, sehingga suatu saat dia memperoleh kebahagiaan didalam dunia ini dia tidak lupa pada sesamanya yang masih dalam keadaan sengsara dan menderita...!"   Kakek itu sesungguhnya telah mengeluarkan kata-kata Kongfucu, tetapi disebabkan dia melihat yang diajak bicara itu hanyalah seorang bocah, maka kata-kata itu telah diperingan olehnya, agar dimengerti oleh Eng Song.   Namun tidak di sangka-sangka Eng Song telah berkata.   "Kata-kata paman itu adalah Kongfucu dari kitab May Fung, bukan?"   Kata Eng Song kemudian. Dan bunyi dari kata-kata itu selengkapnya demikian....!"   Dan Eng Song telah menghafalnya diluar kepala. Tentu saja kakek tua itu jadi terkejut. Dia sampai melengak seperti orang kesima. Namun akhirnya dia tertawa.   "Hebat kau anak!"   Katanya dengan girang.   "Di dalam usia sekecil ini kau ternyata telah dapat menghafal kata-kata berat seperti itu!"   Hati Eng Song girang memperoleh pujian dari si kakek tua tersebut. 16Kolektor E-Book"Mendiang ibu yang telah mengajariku!"   Kata Eng Song kemudian.   "Oh...! Kalau kakek boleh tahu, siapakah mendiang ayahmu itu?"   "Ma Wie An...! menjelaskan Eng Song. Kakek tua itu telah mengeluarkan suara seruan tertahan.   "Ma Wie An yang bergelar It Kun Kiehiap?"   Tanyanya dengan suara mengandung perasaan terkejut. Eng Song yang melihat sikap kakek tua itu, jadi terkejut pula. Tetapi dia telah mengangguk.   "Be..., benar paman.... apakah ada sesuatu yang tidak beres?!"   Tanya Eng Song. Kakek tua itu telah menghela napas panjang, wajahnya jadi murung.   "Aku tidak menyangka sama sekali, bahwa It Kun Kiehiap bisa mati muda begitu di celakai orang! Siapakah yang telah mencelakainya."   "Giok Bian Gin Kiam!"   Menjelaskan Eng Song. Gelaran orang yang membunuh ayahnya itu memang selalu diingat benar oleh Eng Song.   "Hemmmm..... iblis itu memang memiliki tangan yang telengas sekali.... didalam rimba persilatan, entah sudah berapa banyak korban-korbannya yang berjatuhan."   Dan berulang kali dia menghela napas. Eng Song mengawasi si kakek tua itu, sampai akhirnya dengan wajah berduka, kakek tua itu telah berkata .   "Anak... sesungguhnya mendiang ayahmu itu merupakan seorang pendekar yang sangat baik sekali! Lima tahun yang lalu, kakek pernah menerima pertolongannya! Walaupun pertolongan itu kecil, namun sampai mati aku akan mengingatnya! Waktu lima tahun yang lalu itu, disuatu malam hujan salju, aku tengah dikejar-kejar oleh musuhku yang tangguh- tangguh dan memiliki kepandaian yang tinggi sekali... karena dikeroyok, akhirnya aku bisa dirubuhkan dan terluka parah. Namun ayahmu itu dengan mati-matian telah turun tangan muncul menolongi aku dari orang-orang itu. Dengan segala daya dia telah menolongi aku dari kematian dan menghindarkan diri dari musuh-musuhku itu! Kalau memang kau tidak mencela, aku mau mengajakmu untuk berkelana bersama-sama denganku! Hemmmm, biar bagaimana budi ayahmu itu akan selalu kukenang dan kau akan kuperlakukan sebaik mungkin, agar kelak kau bisa memiliki kepandaian yang tinggi!"   Eng Song yang tadi mendengar kisah mengenai mendiang ayahnya jadi tertarik sekali.   "Lalu paman....... apakah ayah berhasil merubuhkan musuh-musuhmu itu?"   Tanya Eng Song tertarik benar. Kakek tua itu tersenyum ramah.   "Aku bukannya bicara sombong, aku saja telah dapat dilukai mereka, bagaimana aayhmu bisa merubuhkan mereka? Kepandaianku jauh berada diatas kepandaian mendiang ayahmu! Tetapi dengan penuh keberanian ayahmu itu telah membawa aku meloloskan diri dengan berbagai aksi. Dan setelah bisa mengasoh berapa hari merawat luka-lukaku, aku sembuh dan aku kemudian telah menyatroni musuh-musuhku itu, membasmi mereka.....!!"   "Oh....!"   Eng Song kaget sekali, karena segera dia dapat menduga bahwa orang tua dihadapannya ini ternyata seorang yang memiliki kepandain sangat tinggi sekali.   "Kau mau bukan untuk ikut bersamaku?"   Tanya kakek tua itu dengan suara yang ramah.   "Dan aku juga akan mengajarimu ilmu silat kelas tinggi....!"   Eng Song girang bukan main, cepat-cepat dia telah berlutut memberi hormat sambil menganggukkan kepalanya. 17Kolektor E-Book"Terima kasih atas perhatian paman..... entah bagaimana aku bisa membalas budi kebaikan kau orang tua!!"   Kata si bocah terharu. Kakek tua itu telah tersenyum sabar.   "Bangunlah anak...... menyesal sekali aku tidak bisa mengambil kau sebagai muridku, karena aku pernah bersumpah tidak akan menerima seorang muridpun! Tetapi biarpun begitu, walaupun kita tidak terikat oleh hubungan murid dan guru, aku berjanji akan menurunkan seluruh ilmuku!!"   Eng Song mengucapkan terima kasihnya sekali lagi pada si kakek.   Kemudian mereka sama-sama meninggalkan tempat itu.   Sesungguhnya, kakek tua itu merupakan seorang tokoh rimba persilatan yang sangat tinggi kepandaiannya.   Dia merupakan seorang jago yang sukar diukur kepunsuannya.   Hanya beberapa orang saja, dan dapat dihitung oleh jari, yang bisa menandingi kepandaiannya.   Begitulah, Eng Song telah ikut kemana saja kakek tua yang sesungguhnya bernama Thio Sun Kie dan bergelar Bu Eng Hiap (pendekar tanpa bayangan).   Orang menggelari kakek tua itu dengan gelaran Bu Eng Hiap, karena kakek ini memiliki Gin-kang, ilmu meringankan tubuh, yang bukan main tinggi dan sempurnanya.   Sehingga kalau dia berlari, jangankan orang bisa melihat dirinya, sedangkan untuk melihat warna bajunya saja tidak dapat.   Hal itu disebabkan larinya yang melebihi kecepatan angin.   Dengan sendirinya, didalam rimba persilatan jarang sekali dia mempunyai tandingan.   Dari kampung kekampung dari kota yang satu kekota lainnya, kakek tua itu telah mengajak Eng Song untuk berkelana.   Dan setiap ada waktu yang senggang, jika mereka sampai ditempat yang sunyi, tentu mereka akan beristirahat.   Sambil menghilangkan letihnya itu, Thio Sun Kie telah menurunkan kepandaiannya.   Dia telah mengajari Eng Song jurus demi jurus dengan hati-hati dan sabar sekali.   Dan yang membuat Thio Sun Kie girang bukan main, dia melihat Eng Song memiliki kecerdasan yang bukan main.   Setiap jurus yang dipelajari padanya, tidak perlu memakan waktu terlalu lama.   Dengan mudah Eng Song dapat menangkap pelajaran itu dan dapat menguasainya.   Thio Sun Kie jadi tambah bersemangat untuk mendidik Eng Song.   Karena dia melihat bahwa bocah ini memiliki kesempatan untuk menjadi seorang pendekar yang memilili kepandaian tinggi kelaknya.   Dan juga Thio Sun Kie telah mulai menurunkan ilmu mempergunakan senjata pada Eng Song.   Seluruh pelajaran yang diturunkan oleh Thio Sun Kie, telah dilahap dengan cepat oleh Eng Song.   Di dalam tempo tiga bulan saja, kepandaian Eng Song sudah lumayan.   Baru untuk menghadapi anak sebaya dia atau juga orang yang memiliki kepandaian tanggung-tanggung, tentu tidak akan sanggup menghadapi dan melayani Eng Song.   18Kolektor E-BookPagi itu, mereka, Thio Sun Kie dan Eng Song, tiba dimulut kota Sung-kwan-kwan.   Kota ini merupakan kota yang tidak begitu besar, namun sangat ramai dan penduduk kota ini sangat padat.   Thio Siun Kie mengajak Eng Song untuk singgah diwarung arak yang terdapat dimulut kota ini.   Si kakek tua she Thio itu telah memesan beberapa kati air teh, dia juga memesan sarapan pagi.   Pelayan mengantarkan barang pesanan mereka dengan cepat.   Eng Song melihat para tamu yang berdatangan diwarung arak ini sangat ramai sekali.   Dari pakaian para pengunjung warung arak itu, Eng Song juga bisa melihatnya, bahwa mereka terdiri dari berbagai golongan.   Ada yang berpakaian sebagai pelajar, sebagai busu (guru silat), piauwsu (pengiring barang piauw, sama seperti sekarang ini exspedisi).   Mereka semuanya tengah asyik menikmati makanan mereka.   Sedangkan Thio Sun Kie juga telah menikmati makanannya bersama dengan Eng Song.   Tetapi, ketika mereka tengah menikmati santapan mereka itu, tahu-tahu Thio Sun Kie telah menyentuh kaki Eng Song dengan ujung kakinya.   "Ada sesuatu yang akan terjadi di ruangan ini!"   Bisiknya dengan suara yang perlahan sekali.   Eng Song jadi heran.   Dia melirik kesekelilingnya.   Si bocah tidak melihat sesuatu apapun juga, karena semua tamu tengah menikmati makanannya.   Namun baru saja Eng Song mau bertanya pada kakek she Thio itu, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak .   "Bangsat! Siapa yang telah mengambil buntalanku?!"   Suara teriakan itu sangat keras sekali, rupanya orang yang berteriak itu tengah murka bukan main.   Malah Eng Song mendengar suara meja telah digebrak keras sekali.   Eng Song meliriknya.   Dia melihat tamu yang menduduki meja terpisah enam meja darinya, seorang lelaki berewok dengan muka yang kasar dan tubuh yang tinggi besar, telah menggeprak meja dengan penuh kegusaran.   Wajahnya juga merah padam, memperlihatkan bahwa lelaki itu tengah diamuk oleh perasaan penasaran sekali.   Bola matanya telah mencilak-cilak memandang sekelilingnya.   "Jangan memandangi dia!"   Thio Sun Kie memperingati. Eng Song tersadar dengan cepat. Dia telah menundukkan kepalanya lagi dan meneruskan makannya. Saat itu, orang yang mukanya berewok dan bengis itu, telah berdiri dari duduknya. 19Kolektor E-BookMatanya mengawasi mendelik pada seorang pemuda yang berpakaian serba putih sebagai seorang siucai (pelajar), yang tengah menikmati makannya dua meja dari meja orang bermuka kasar itu.   "Hei!"   Bentak orang berewok itu sambil menggebrak meja pemuda pelajar itu.   "Branggggg.....!"   Mangkok sayur dari pemuda pelajar itu jadi terbalik. Dan pemuda pelajar yang tampan, paling tidak berusia diantara tiga puluh tahun, telah mengangkat kepalanya. Dia menatap dingin.   "Mengapa kau tidak hujan tidak angin mengamuk-ngamuk begitu rupa?"   Pendekar Bunga Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tegurnya tidak senang. Sepasang alisnya juga telah mengkerut dalam-dalam. Tetapi orang yang berewok dan memiliki wajah yang bengis itu telah tertawa dingin.   "Hemmmmm..... kau masih mau pura-pura?"   Bentaknya dengan suara sengit.   "Kau mau kembalikan atau tidak buntalanku?!"   Muka pemuda yang tampan itu jadi berobah seketika, karena tampaknya dia gusar sekali.   "Hei kerbau hitam liar, kau jangan sembarangan menuduh orang tanpa bukti! Hati-hati dengan mulutmu itu, bisa-bisa nanti ku tampar sampai copot gigimu!"   Kata sipemuda pelajar itu dengan suara yang nadanya keras, karena diapun tampaknya jadi gusar sekali.   Mata orang yang berewok itu, telah merah memancarkan sorot kemurkaan yang sangat.   Mendengar dirinya disebut sebagai kerbau hitam liar, tentu saja dia jadi murka.   Dengan mengeluarkan suara bentakan yang keras, tahu-tahu tangan kanannya telah bergerak akan menempiling muka pelajar muda itu.   Tetapi si pelajar muda itu tetap duduk tenang-tenang ditempatnya.   Dia tidak berkisar sedikitpun dari kursinya itu, malah dia tak memperlihatkan sikap jeri sedikitpun juga.   Diawasinya tangan si berewok yang tengah menyambar kearah mukanya.   Waktu tangan lelaki berewok itu akan tiba, maka dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya.   Tahu-tahu tangan dari lelaki berewok itu telah kena dicekalnya.   Tetapi lelaki pelajar yang tampan itu bukan hanya khusus mencekal saja.   Sebab dengan cepat dia telah menarik tangan lelaki berewok itu.   Dengan sendirinya tubuh lelaki berewok yang mukanya mengerikan itu, telah doyong kedepan tertarik oleh kekuatan tenaga pelajar itu.   Dan mempergunakan kesempatan disaat tubuh lelaki berewok itu doyong kedepan, dengan cepat Siucai itu menekuk tangannya itu.   Telak sekali sikutnya telah menghajar mulut dari lelaki berewok tersebut.   "Tukkkkk!!"   "Aduhhhh!!"   Suara jeritan dari lelaki berewok itu keras sekali, karena dia merasa kesakitan yang bukan main pada mulutnya yang kena dihajar telak sikut pelajar itu. Malah darah segera mengucur keluar, karena dua giginya seketika itu telah rontok. 20Kolektor E-BookDan setelah menyikut begitu.   malah pemuda pelajar tersebut tidak menghabiskan sampai disitu saja, dia malah telah mendorong tangan lelaki berewok tersebut.    Badik Buntung Karya Gkh Pendekar Bego Karya Can Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini