Ceritasilat Novel Online

Darah Daging 3


Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Ke mana? Kembali ke Jakarta?"

   Darmi menggeleng kepala.

   "Habis, ke mana?"

   "Entahlah, ke mana aja, asal tidak tinggal di rumah kang Darmo, dan juga tidak ke Jakarta. Mungkin ke Solo""."

   "Ah, kenapa kau tidak tinggal saja bersama saudara sepupuku di Solo? Wiji, adik misanku, dia seorang janda dan rumahnya cukup baik dan bersih.

   "Aku tidak tahu, lik"".."

   "Sudahlah, kau sedang prihatin, kau mengasolah dan besok kita bicarakan. Jangan sampai kau jatuh sakit, Mi, karena engkau menyusui. Kasihan anakmu."

   Malam itu Darmi tidur di atas dipan bambu bersama anaknya. Akan tetapi ia tidak dapat tidur, bukan karena dipan itu tidak enak ditiduri, melainkan karena ia memikirkan keadaan dirinya. Ke mana ia harus pergi? Dan kalau ia tinggal bersama orang lain, mondok, lalu ia harus bekerja apa? Kalau tidak bekerja, bagaimana ia harus menghidupi anaknya? Uang dua ribu rupiah itu hanya akan dapat bertahan selama beberapa bulan saja. Ia mendekap anaknya, miring dan berbantal lengan, air matanya menetes-netes di sepanjang hidung dan pipinya. Hatinya meratap-ratap, merintih dan mengeluh.

   Ya TUHAN

   untuk apa hamba kau hidupkan

   kalau hanya harus menderita sengsara

   sekelumit manis yang hamba nikmati

   tak sepadan dengan kepahitan ini""".

   (Lanjut ke Bagian 04)

   Darah Daging (Drama/Non Cersil)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 04

   Rumah wanita berusia hampir empat puluh tahun sederhana saja, nampak bersih dan terawat baik-sehingga biarpun sederhana nampak menyenangkan. Rumah biasa saja, seperti kebanyakan rumah-rumah di dalam kampung di kota Solo, bukan daerah yang padat melainkan agak di pinggiran, daerah kandang Sapi, di mana masih banyak terdapat rumah-rumah berpekarangan seperti rumah Bu Wiji ini.

   Ciri khas rumah ini adalah sebatang pohon Kamboja di depan rumah, pohon kembang yang jarang ditanam??an karena biasanya pohon itu tumbuh di tanah kuburan, demikian anggapan setengah orang, walaupun kini rumah-rumah modern tidak pantang menanam pohon bunga itu di depannya. Akan tetapi nyatanya, di kampung itu, hanya rumah Bu Wiji yang depannya ditanami pohon Kamboja. Ciri khas yang merupakan tanda pula bagi mereka yang membutuhkannya. Nama Bu Wiji bukan tidak terkenal, walaupun terkenalnya hanya di kalangan calo-calo manusia yang berkeliaran di semua hotel dan losmen-losrmen di kota Solo, juga di kalangan kau m pria yang suka melacur. Bu Wiji sudah sejak belasan tahun lamanya terkenal sebagai seorang mucikari yang mempunyai stock pelacur cukup banyak dan menurut kabarnya, mucikari ini hanya mau menerima anak buah yang muda cantik dan bersih!

   Ketika mula-mula datang ke rumah ini, Darmi sama sekali tidak menyangka bahwa ia berhadapan dengan seorang mucikari dan empat anak buahmya yang mondok di rumah itu. Memang pekerjaan Bu Wiji ini tidak menyolok. Biarpun ada empat orang anak buahnya yang tersayang tinggal di situ, akan tetapi ia tidak menerima tamu pria iseng di rumahnya. Semua anak buahnya adalah gadis-gadis panggilan atau yang istilah populernya call girl. Seorang tamu iseng di losmen atau hotel dapat memesan lewat calo-calo dengan tarip-tarip tertentu, tetapi biarpun hanya empat orang anak buah yang tinggal di rumah Bu Wiji, akan tetapi ada belasan orang anak buahnya tersebar di banyak tempat dan yang selalu siap memenuhi perintahnya pergi ke losmen ini apa itu, pada jam sekian, dengan tarip sekian!

   Menurut kabarnya, menurut desas-desus, call girl yang jadi anak buah Bu Wiji terdiri dari bermacam-macam golongan, kabarnya ada janda baik-baik, bahkan wanita yang sudah berumah tangga dan mahasiswi. Entah sampai di mana kebenaran desas desus itu, belum pernah ada yang menyelidikinya. Mungkin saja desas, desus itu hanya buatan para calo saja untuk mencari tarip tinggi, atau mungkin juga benar karena kesulitan hidup pada waktu itu memang memungkinkan segala macam penyelewengan demi untuk memperoleh uang mudah! Korupsi, penipuan, perjudian, pelacuran, terjadi di mana-mana dan semua itu tujuannya hanya satu, yalah mencari uang mudah. Bibi Irah menceritakan keadaan Darmi ketika mereka berdua mengunjungi rumah yang resik itu, diterima oleh Bu Wiji sendiri, dan disaksikan oleh empat orang gadis cantik dan manis-manis berpakaian rapi itu.

   Kalau pada saat itu ada orang mengatakan kepada Darmi bahwa empat orang gadis itu adalak pelacur-pelacur, tentu ia akan terkejut dan tidak percaya. Ketika diperkenalkan, ia mengira bahwa gadis-gadis itu adalah gadis-gadis kota yang terpelajar dan manis-manis, apa lagi mendengar nama mereka yang terdengar manis dan tidak seperti nama gadis-gadis dusun. Marniyati atau disingkat Marni saja, berusia dua puluh lima tahun, wajahnya bulat telur dengan tahi lalat di dagunya. Manis sekali. Kulitnya putih kuning dan pakaian dan gaya bicaranya, juga gerak-gerikknya, sungguh sesuai dengan sifat-sifat terkenal puteri Solo, yaitu gandes luwes dan kewes, manis, ngenak ati! Kalau berjalan, lenggangnya yang halus itu membuat ujung kainnya berbunyi srebet-srebet! dan sandalnya berbunyi kriyet-kriyet!

   Ratnaningsih atau disingkat Ningsih saja, baru berusia delapanbelas tahun. Berbeda dengan tubuh Marni yang singset dan ramping, tubuh yang berbau ratu Solo, Ningsih bertubuh denok atau istilah populernya mollig, padat dan penuh, kulitnya hitam manis dan wajahnya berbentuk wajah bintang Titin Sumarni, senyumnya amat memikat karena giginya kecil-kecil putih dan rapi. Dengan gaun berkembang modern potongannya, ia nampak seperti seorang pelajar SMA saja. Sriwidarti atau disingkatnya Sri, seorang gadis berusia dua puluh tahun, bertubuh tinggi langsing, jugga berkebaya dan kain seperti Marni, wajahnya bundar dan matanya jeli, gerak-geriknya dan wajahnya seperti keturunan priyayi dan setiap orang calo tentu mengiklankannya sebagai "berdarah bangsawan"

   Yang. dapat menaikkan tarip. Wahyuni atau biasa disegut Yuni adalah seorang, berusia dua puluh satu tahun, bertubuh kecil pendek,

   Tapi semua dalam ukuran serasi sehingga nampak manis dan mungil, berpakaian gaun dan wataknya lincah jenaka, agak liar seperti biasa dapat dilihat pada para mahasiswi tingkat rendah yang baru saja merasa "bebas"

   Dari kurungan, baik kurungan disiplin rumah maupun kelas sekolah menengah. Bu Wiji dan empat orang anak buahnya mendengar cerita bi Irah yang sering kali berkunjung rumah saudara misannya ini, dan mereka kadang-kadang memandang kepada Darmi dengan sinar mata kasihan. Darmi sendiri mendengarkan penuturan Irah dengan muka tunduk. Memang ia telah menceritakan keadaan dirinya yang sebenarnya kepada Irah yang bersikap amat baik kepadanya, karena iapun merasa perlu menyembunyikan keadaan dirinya kecuali di rumah kakaknya, untuk menjaga "nama baik"

   Keluarga kakaknya.

   "Nak Darmi ini menjadi korban seorang pria, mahasiswa di Jakarta. Setelah ia mengandung lalu ditinggalkan begitu saja! Memang patut dikasihani, setelah ia melahirkan dan membawa pulang anaknya, kakak iparnya dan ibu mertua kakaknya tidak mau menerimanya, membenci dan menghinanya. Oleh karena itu ia lari dari sana dan ingin hidup sendiri sambil mencari ayah anaknya."

   Demikian antara lain bi Irah bercerita.

   "Hemm, laki-laki semua begitu! Kita wanita diperlakukan seperti sampah tebu saja. Habis manis sepah dibuang!"

   Marni berkata dan bibirnya yang basah dan merah oleh lipstick itu dicibirkan. Ningsih dan Sri hanya memandang dengan sinar mata kasihan, akan tetapi Yuni bersungut-sungut dan berkata,

   "Aku baru puas kalau semua laki-laki di dunia ini masuk neraka jahanam!."

   Darmi sendiri sampai terkejut melihat betapa wajah yang mungil itu, yang tadinya berseri-seri dan lincah, tiba-tiba saja membayangkan kebencian yang amat hebat! Sementara itu, cerita bibi Irah agaknya tidak begitu menarik perhatian Bu Wiji yang sejak tadi memandang kepada Darmi dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dari rambut yang hitam agak berombak itu sampai ke kulit lehernya yang halus dan hitam manis seperti kulit Ningsih, dadanya yang membusung, bentuk tubuhnya yang menggairahkan, kemudian sepasang mata wanita setengah tua itu berhenti pada wajah bayi dalam gendongan Darmi dan sampai lama seperti terpesona kepada bayi itu.

   "Ah, manis dan mungil"", berapa usianya, jeung?"

   Tanyanya.

   "Sebulan se puluh hari, bu,"

   Jawab Darmi.

   "Wah, sudah sepasar (tiga puluh lima hari) lebih, Kalau ayahnya ada, tentu sudah mulai ngejar-ngejar ibunya lagi, hi-hik!"

   Kata Ningsih tertawa geli.

   "Hushh, memangnya ayam?"

   Sri menimpali dan mereka semua tertawa, hanya Darmi yang cuma senyum-senyurn saja karena sesungguhnya ia tidak tahu apa yang dimaksudkan mereka dan apa artinya kelakar Ningsih tadi. Mimi, anak dalam gendongan Darmi itu, ngompol dan menangis. Darmi lalu mengganti popoknya, dibantu oleh bibi lrah, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Wiji untuk minta bayi itu dipondongnya.

   "Ah, mungil"". montok dan manis sekali".!"

   Dia menciumi pipi anak itu dan mengayun ayunnya sambil berjalan ke sana ke mari. Nampaknya ia senang sekali kepada bayi itu.

   "Wah, ibu pantas sekali mondong bayi!"

   Wahyuni berkata.

   "kini telah datang kembali kelincahan dan kegembiraanya.

   "Iyah, pantasnya mondong bayi, karena anak-anaknya sudah segede kita, mana bisa ditimang-timang!"

   Kata pula Ningsih yang juga jenaka dan lincah seperti Yuni.

   "Kamu sih sudah terlalu berat untuk ditimang-timang, yang kuat memondongmu hanya laki-laki,"

   Yuni berkata.

   "Laki-lakipun yang kerempeng, mana kuat memondong tubuhnya yang denok itu? Bisa tunggang langgang dan gepeng kejaTUHAN tubuhnya yang padat!"

   Mami juga ikut berkelakar. Darmi ikut tersenyum. Gadis-gadis berani sekali cara berkelakarnya, berani menyinggung laki-laki seperti itu. Dan memang ia sudah sering mendengar bahwa gadis-gadis kota memang berkelakar mengenai laki-laki, lebih terbuka dari pada gadis-gadis dusun. Sebagian karena suka sekali kepada bayi itu, sebagian pula melihat bahwa keadaan wajah bentuk tubuh Darmi, juga usianya yang masih cukup memenuhi syarat untuk menjadi anak buahnya atau setidaknya calon anak buahnya, akhirnya Bi Wiji menerima Darmi mondok di rumahnya.

   "Baiklah, kalau tidak ada tempat lain yang kau harapkan, engkau dan anakmu boleh tinggal di sini. Kami hanya mempunyai tiga buah kamar, dua ditempati mereka berempat ini, dan kamarku sendiri terlalu besar untukku, dapat kusingget dengan hard-board dan kubagi denganmu, nak Darmi."

   Tentu saja Darmi merasa girang bukan main. Di tempat itu ia sudah merasa kerasan dan terhibur. Bu Wiji demikian ramah dan pandang matanya penuh pengertian, sedangkan empat orang gadis itupun ramah-ramah dan pandai berkelakar, dan jelas mereka berempat bersimpati kepadanya dan ikut prihatin dengan nasibnya.

   "Aduh, terima kasih, bu!"

   Katanya dengan girang sekali, memandangi wajah-wajah yang ramah dan tersenyum kepadanya itu."Berapa saya harus membantu ibu setiap bulannya? Saya mempunyai simpanan cukup, bu!"

   Bu Wiji tersenyum.

   "Berapakah simpananmu, nak Darmi?"

   "Saya mempunyai dua ribu rupiah bu."

   Wanita itu mengangguk-angguk.

   "Banyak juga, cukup untuk empat lima bulan"""

   Darmi terkejut.

   "Empat lima bulan saja? Berapa saya harus membantumu, ibu?"

   Bu Wiji tersenyum, lalu menoleh kepada empat gadis itu.

   "Katakan kepada Darmi, anak-anak, berapa kalian masing-masing membantuku setiap bulan."

   Mereka berempat tersenyum semua dan Wahyuni yang jenaka itu memicingkan sebelah matanya, lalu ia menghitung-hitung dengan jari tangannya, dan berkata,

   "Berapa, ya? Wah, sukar untuk mengatakan dengan tepat. Habis tidak tentu sih! Akan tetapi sudah jelas, dihitung saja dua puluh kali dalam sebulan itu berarti yah, sekitar dua ribu rupiah sebulan."

   Sepasang mata Darmi terbelalak dan mukanya berobah agak pucat.

   "Dua""

   Dua ribu sebulan?"

   "Menurut perhitunganku sih, tidak akan kurang dari tiga ribu sebulan, apa lagi kalau sedang panen,"

   Sambung Marni. Darmi semakin tidak mengerti. Panen? Apakah mereka ini mempunyai sawah yang luas sekali?

   "Akan tetapi untukmu sementara ini cukup lima ratus saja sebulan, Darmi,"

   Kata Bu Wiji.

   "Lima ratus? Itu harga sekarung beras!"

   Kekagetan dan ucapan Darmi Itu memancing suara ketawa mereka semua, termasuk bibi Irah.

   "Ingat, nak Darmi, engkau hidup di kota, bukan di dusun. Jumlah itu sudah amat murah dibandingkan kalau engkau mondok di rumah orang lain,"

   Kata Irah

   "Akan tetapi, tentu saja engkau boleh mencari tempat lain dulu, Darmi. Mungkin saja banyak yang lebih murah dari pada itu, akan tetapi engkau di sini akan merasa aman dan seperti di rumah sendiri, dan aku"". aku suka sekali kepada bayimu ini."

   Darmi tidak dapat memikirkan tempat lain yang lebih baik dan lebih menyenangkan dari ini. Yang penting baginya adalah tempat yang baik untuk anaknya. Dirinya sendiri tidak begitu ia pentingkan.

   "Baiklah, dan saya akan bekerja sebelum uang saya habis, asal saja ada yang mengamat-amati anakku"""

   "Jangan khawatir, aku akan merawat anakmu. Dan bagus sekali kalau kau mau bekerja, itu artinya engkau cinta kepada anakmu, karena makin besar anakmu, makin banyak pula biayanya tentu saja."

   Kata Bu Wiji.

   "Dik Darmi, kau hendak bekerja apa kiranya?"

   Tanya Marni.

   "Entahlah, mbak, aku sendiri tidak tahu harus bekerja apa."

   "Aku tahu pekerjaan yang tepat untukmu, mbak Darmi"".."

   Kata Ningsih yang menyebut Darmi mbak, biarpun sebenarnya ia lebih tua setahun, akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena, pandang mata Bu Wiji nielarangnya dan ja hanya tersenyum saja ketika Darmi memandang kepadanya dengan sinar mata bertanya.

   "Pekerjaan apakah kiranya, dik?"

   "Ah, tidak"".. hi-hik, aku hanya berkelakar."

   "Coba, kau bisa bekerja apa, Darmi?"

   Tanya Bu Wiji.

   "Apa, ya, bu? Sejak kecil saya hanya pandai bertani dan pengalaman bekerja hanya menjadi pelayan."

   "Menjadi babu? Hi-hik, rendah itu"""."

   Katanya menyeringai.

   "Mengapa rendah? Asal bisa memperoleh uang anakku."

   "Berapa hasil seorang babu?"

   Bu Wiji berkata.

   "tidak akan cukup."

   "Bu, bagi saya asal cukup untuk Mimi saya puas. Saya akan makan di tempat kerja, dan biasanya saya mendapat pakaian pula, dan pakaian saya sendiri masih cukup banyak. Saya kira kalau hanya untuk anak saya"". kalau saja ibu sudi merawatnya, gajih saya sebagai babu mungkin cukup."

   Bu Wiji menghela napas panjang dan kembali mencium pipi bayi yang montok itu.

   "Kita lihat saja nanti."

   Demikianlah, mulai hari itu Darmim tinggal rumah yang membuatnya betah itu. la tidak tahu betapa Bu Wiji telah memberi persen seratus kepada bibi Irah, sebagai jasanya memikat burung dara. itu. Karena sesungguhnyalah, Darmi seperti seekor burung dara yang dibawa ke sangkar di mana terdapat makanan yang cukup dan enak, suasana yang menyenangkan akan tetapi mengandung jebakan-jebakan tersembunyi.

   Uang lima ratus sebulan itu memang tidak mahal, karena makan yang didapatnya tiga kali sehari itu sungguh merupakan makanan yang cukup mewah, tidak kalah mewah dibandingkaa dengan masakan-masakan yang dimakannya ketika menjadi pelayan keluarga Danumiharja di Jakarta. Boleh dibilang setiap hari Bu Wiji masak daging Dan kamar Bu Wiji yang lebar itu disingget secara rapih dengan hard-board. Sebuah ranjang besi berikut kasurnya dan tilamnya dari kain batik yang bersih untuk ia dan anaknya, bahkan Bu Wiji memberikan sebuah lemari pakaian kecil yang ada cerminnya untuk ia pakai. Kalau mandi, di kamar mandi yang bersih itu sudah tersedia sabun mandi yang angir paling jelek Lux, dan selalu tersedia obat gosok gigi yang mahal. Bahkan, Bu Wiji mengatakan bahwa ia boleh memakai bedak wangi dan minyak wangi milik ibu yang terletak di atas toilet di kamarnya.

   Setelah sebulan menjadi penghuni rumah itu, kini tahulah Darmi apa sesungguhnya pekerjaan empat orang gadis itu! Kadang-kadang ia melihat tamu pria-pria gagah dan berpakaian rapi datang dengan sopan, diterima sebagai tamu yang sopan dan baik-baik. Tidak pernah ada kelakar yang batas, karena Bu Wiji tidak rnemperbolehkan hal ini. Dan setelah bercakap-cakap, setiap orang tamu pria tentu lalu pergi bersama seorang diantara mereka yang sudah berhias dengan, cermat. Mereka berpasang-pasangan entah pergi ke mana. Ada kalanya datang seorang laki-laki yang sikapnya seperti seorang pesuruh, menjemput seorang di antara empat gadis itu, kadang-kadang naik mobil, ada kalanya juga naik beca. Juga ia tidak tahu ke mana perginya mereka itu.

   Malah tidak jarang mereka berempat itu pergi untuk ebih dari satu kali sehari, pernah pada malam Minggu ia melihat mereka pergi sampai empat lima kali, bersama pria-pria yang berlainan. Akhirnya iapun tahulah. Mereka adalah pelacur-pelacur kelas tinggi atau kelas mahal, atau yang sendiri akui, mereka adalah call girls atau gadis panggilan. Bukan pelacur sembarang pelacur melainkan pelacur 'terhormat", dalam arti kata yang memanggilnya hanyalah orang-orang beruang saja karena tarip mereka tinggi, dan pemanggilnya tentu orang-orang yang bermalam di hotel atau losmen, bukan sembarang tempat. Baru Darmi tahu mereka itu membayar Bu Wiji sampai dua tiga ribu sebulan! Kiranya, setiap kali mereka itu pergi memenuhi panggilan tamu, mereka memberi seratus rupiah kepada Bu Wiji!

   Dan ketika ia sudah cukup akrab dengan mereka, ia mendengar bahwa tarip mereka adalah dua ratus rupiah sekali panggil. Jadi, setengahnya untuk Bu Wiji! Akan tetapi, segala makan pakai mereka ditanggung oleh mucikari itu. Darmi terheran-heran. Bagaimana gadis-gadis muda dan cantik seperti mereka itu mau menjadi pelacur? Menjadi permainan kau m pria? Akan tetapi mereka itu bersikap baik kepadanya, bahkan pada suatu sore yang sepi bagi mereka, di mana tidak ada pannggilan untuk seorangpun di antara mereka sehingga nyereka sempat berkumpul, yaitu pada pembukaan hari Puasa pertama, mereka berempat duduk di ruangan dalam bersama Darmi. Mimi digendong oleh Bu Wiji yang berada di dalam.kamarnya dan kesempatan ini mereka pergunakan untuk menceritakann riwayat masing-masing.

   "Kami telah mengetahui riwayatmu, Mi, maka sudah sepantasnya kalau engkau mendengar riwayat kami untuk menjawab pertanyaanmu yang berkali-kali kau ajukan kepada kami mengapa kami berempat yang masih muda-muda terjun menjadi gadis panggilan,"

   Kata Marni."Nah, aku akan mulai dengan riwayatku, singkat saja, ya?"

   Marni atau Marniyati adalah seorang wanita dari Boyolali, usianya dua puluh lima tahun dan ia adalah seorang janda muda. Ia menikah dengan seorang pemuda pilihannya sendiri, akan tetapi perkawinan yang berdasarkan cinta karena tertarik oleh ketampanan wajah pemuda itu, setelah mereka menikah, ternyata tidaklah mendatangkan kebahagiaan seperti yang dimimpikannya semula. Ternyata wajah ganteng saja tidaklah cukup bagi seorang suami. Bahkan tiada gunanya kalau pemilik wajah tampan itu hanya seorang pengangguran yang pekerjaannya hanya berjudi saja siang malam! Ketampanan wajah dan kacantikan wajah suami isteri memang menambah gairah dalam bermesraan, akan tetapi hidup bukan hanya bermesra-mesraan belaka!

   Disamping bermesraan diperlukan juga makan, pakaian dan sebagainya dan kesemuanya itu membutuhkan uang! Dan uang tidak mungkin datang sendiri tanpa bekerja. Dan syarat pekerjaan bukanlah ketampanan wajah, melainkan, kecakapan, kerajinan dan kejujuran. Dan celakanya, suami Marni hanya mempunyai ketampanan saja, akan tetapi malas dan tidak jujur di samping hobby berjudi. Padahal, ketika dia hendak menikah dengan pemuda itu, fihak orang tuanya tidak setujiu. Mereka bersitegang dan akhirnya dengan bijaksana orang tua Marni yang hanya tinggal seorang itu, karena ayahnya telah lama tiada, mengalah. Dan pernikahan itu hanya dapat bertahan selama empat tahun saja! Siapakah bersalah dalam hal ini? Marnikah? Ibunyakah? Pilihannyakah? Tidak baikkah pilihan jodoh menurut hatinya sendiri?

   Tiada seorangpun di dunia ini yang dapat memastikan bahwasanya pilihannya adalah merupakan jaminan akan hari depannya kelak. Baik pilihan orang tua maupun pilihan si anak sendiri dalam hal jodoh, tidak dapat menjamin bahwa pilihan itu sudah tepat dan dapat menjamin kelancaran atau kerukunnan hidup di masa depan. Manusia berobah setiap waktu. Yang hari ini dianggap baik, besok lusa mungkin saja dianggap buruk, dan demikian sebaliknya. Betapapun juga, karena suami Marni itu adalah pilihannya sendiri, maka keadaan yang makin payah di antara mereka sehingga mengakibatkan perceraian itu tidak dapat memmbuat Marni menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri. Andaikata suaminya itu pilihan ibunya, tentu ia akan menyalahkan ibunya.

   "Bayangkan saja, dia setiap hari hanya berjudi. Setiap di perkampungan kami ada orang kawin, orang mati, bayi terlahir berikut hari ke sepasar, ke selapan, seratus harinya sampai ke seribu harinya, pasti terdapat perjudian semalam suntuk dan suami saya itu tidak pernah absen. Akibatnya, semua perhiasanku dijualnya, bahkan perabot rumah kami satu demi satu dibawa orang untuk membayar hutang. Mana aku dapat bertahan?"

   Demikian Marni mengomentari cerita, tentang dirinya sendiri. Ia masih mencoba untuk mempertahankan rurnah tangganya, mengingat bahwa suami itu adalah pilihannya sendiri berdasarkan cinta. Malah ia lalu bekerja sebagai pelayan sebuah rumah makan. Gajihnya lumayan dan kalau pulang malam ia bisa membawa sebungkus masakan untuk suaminya.

   "Jerih payahku, kesetiaanku kepadanya yang sengaja kulakukan biar dia insyaf, eehhh"". malah disalahgunakannya, keparat betul lelaki itu!"

   "Apa sih yang terjadi?"

   Darmi bertanya, penuh keinginan tahu. Heran ia mendengar bahwa orang yang menikah atas dasar sama mencinta dapat mengalami kehidupan yang demikian buruk.

   "Coba saja bayangkan! Majikan restoran itu mulai menggoda saya dan bersikap kurang ajar, membujukku dengan uang. Karena teringat kepada suamiku aku menolak, bahkan kuberi tahu suamiku dan bermaksud untuk berhenti dari pekerjaan. kau tahu apa kata suamiku? Dia bilang itu merupakan rejeki nomplok! Dia bilang bahwa aku bisa menarik banyak uang dari majikanku dan dia malah membujukku untuk mau menjadi kekasih pemilik restoran itu! Gila tidak! Dia mau menjual diriku, dan hasilnya tentu saja untuk modal dia berjudi!"

   "Ihhh"

   Darmi berseru kaget dan heran bukan main. Teman-teman Marni hanya terkekeh sudah biasa mereka mendengar peristiwa seperti itu, dan bukan hanya satu kali itu saja Marni menceritakan riwayatnya.

   "Dari pada aku menjual diriku untuk memberi dia modal berjudi, lebih baik kujual diriku untukku sendiri, untuk kupakai hidup mewah dan senang!"

   Marni berkata dengan suara yang mengandung rasa penasaran. Agaknya perlakuan suaminya itu terhadap dirinya masih ada bekasnya sampai saat itu juga.

   "Jadi kau bercerai dari suamimu?"

   "Ya, aku minta cerai! Dan setelah bercerai, aku menjadi peliharaan majikanku, si pemilik restoran itu!"

   "Sampai sekarang?"

   Tanya Darmi, terkejut mendengar betapa seorang isteri dari suami pilihan hati rela berpisah dari suaminya dan menjadi peliharaan laki-laki lain.

   
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau sampai sekarang, masa ia berada di sini?"

   Wahyuni mencela.

   "Dia tertangkap basah! Hi-hik!"

   Sambung Sriwidarti. Mereka semua terkekeh, termasuk juga Marni.

   "Tertangkap basah?"

   Darmi mendesak, tertarik.

   "Habis, siapa kuat harus berpuasa terus-terusan."

   Marni membela diri, seperti biasa ia membela kalau ceritanya sampai di bagian itu."Majikan restoran itu sudah tua, gendut pula dan berkeringat terus! Soal uang sih aku tidak kurang, akan tetapi aku yang selama empat tahun lebih bersuamikan seorang pria muda yang kuat dan ganteng, lalu berganti pria tua gendut, mana tahan?"

   "Lalu apa yang terjadi?"

   Darmi bertanya lagi karena yang bercerita berhenti pula, seolah-olah menuai mahal ceritanya.

   "Dia main gila dengan pegawai restoran!"

   Ratnaningsih menyela.

   "Ya, aku tidak dapat menahan godaannya dan kami bermain cinta, sialnya baru satu kali sudah tertangkap, basah. Nah, sudah basah ya kepalang njegur (menceburkankan diri) sekali"..!"

   Kembali meereka berempat itu tertawa-tawa genit.

   "Maksudmu?"

   Darmi bertanya, tidak mengerti.

   "Aku bertemu dengan Bu Wiji dan""

   Yah, beginilah! Aku bekerja untuk mencari uang, lain tidak. Aku sudah tidak percaya lagi kepada laki-laki."

   Akan tetapi suaranya tetap gembira, seolah-olah dia sudah lupa untuk merasa kecewa, sikap orang yang "menerima nasib."

   Kemudian, seolah-olah kegembiraannya untuk menceritakan dirinya-sendiri sudah lenyap, dia menyambung.

   "Sekarang ganti kalian, si Sri atau Ningsih ceritakan riwayat kalian kepada dik Darmi.

   "Ah, urut tua dong ceritanya, tidak sopan kalau yang lebih muda mendahului yang tua!"

   Kata Ningsih yang paling muda. Wahuni tertawa.

   "Agaknya sesudah mbakMarni yang berusia dua puluh lima, maka akulah yang tertua. Usiaku sudah dua puluh satu tahun, dik Sri baru dua puluh apa lagi Ningsih masih bocah""."

   "Cah edan (anak gila)!"

   Ningsih menyambungnya sendiri sambil terkekeh.

   "Hi-hik, engkau sendiri yang mengatakannya lho, bukan aku!"

   Wahyuni berkata.

   ''Sudahlah, mbak Yuni, jangan bicara soal usia, Dik Darmi ini malah lebih muda dari pada Ningsih, akan tetapi ia telah menjadi ibu dan nasibnya tidak lebih baik dari pada kita. Ceritakanlah riwayatmu kepada Dik Darmi."

   Sriwidarti membujuk. Gadis kecil mungil dan manis itu menarik napas panjang dan sejenak wajahnya yang biasanya nampak riang jenaka itu menjadi agak serius, pandang matanya melamun akan tetapi memandang kosong.

   "Biarpun aku lebih muda dari mbak Marni, akan tetapi aku lebih lama terjun dari padanya. Aku empat tahun melakukan pekerjaan ini, semata-mata karena terdorong oleh"". tentu saja pertama-tama mencari uang mudah dan ke dua karena aku membenci pria!"

   "Membenci pria""".?"

   Darmi membelalak karena ia sungguh merasa heran mendengar bahwa si mungil membenci pria! Menurut penglihatannya, di antara empat orang gadis itu, Wahyunilah yang paling lincah, genit dan mesra kalau kedatangan tamu pria dan pergi atau datang kembali bersama pria itu. Dan sekarang ia mengatakan membenci pria? Melihat pandang mata Darmi ditujukan kepada Wahyuni penuh keheranan dan ketidakpercayaan itu, Ratnaningsih terkekeh.

   ''Engkau masih harus belajar, banyak, Darmi! kau tentu mengira bahwa sikap mbak Yuni terhadap itu jauh dari pada kebencian, bukan? Hi-hih, untuk pekerjaaan seperti pekerjaan kita ini, engkau harus-pandai bersandiwara, pndai beraksi meelebihi aksi seorang bintang film di layar putih,"

   Kata Ratnanigsih.

   "Tapi""". kenapa engkau membenci pria, mbak Yuni? Apakah maksudmu semua pria pada umumnya?"

   "Ya, semua pria yang datang kepadaku dan membeli atau menyewa tubuhku, terutama sekali mereka yang sudah mempunyai kekasih atau isteri!"

   "Tapi""

   Kalau engkau benar membenci mereka, mengapa engkau"". Engkau dapat berdekatan dengan mereka, bahkan menyerahkan dirimu lertawa-tawa dan menyenangkan hati mereka? Aku sama sekali tidak melihat kebencian dalam hal itu, mbak Yuni!"

   Darmi mencela.

   "Hemm, mana kau tahu? Aku benci mereka! Benci, Seperti dikatakan Ningsih tadi, hanya di mulut saja aku tersenyum dan hersikap manis kepada mereka, akan tetapi hatiku amat membenci mereka. Aku goda mereka, kuperas kantong mereka habis-habisan, kalau mungkin, akan kutularkan penyakit kelamin kepada mereka semua sebelum aku sendiri berobat ke dokter. Biar mereka tahu rasa. Dan kalau ada yang sampai tergila-gila kepadaku, sesudah tergila-gila benar kutinggalkan mereka, kusengaja rnenjauhkan diri. Hanya beginilah aku dapat membalas dendamku kepada pria."

   Darmi bergidik.

   "Eh"". kenapa kau membenci mereka sedemikian rupa?"

   Wahyuni yang tadi berwajah serius dan sepasang matanya memancarkan sinar penuh kebenncian dan kekecewaan, kini bersembunyi kembali kedoknya yang penuh senyum.

   "Dengarilah riwayatku yang singkat saja. Ketika aku berusia lima belas tahun dan masih duduk di S.M.P., aku sudah berpacaran dengan seorang teman sekolahku. Akhirnya aku atau lebih tepat lagi kami, karena diapun baru berusia enam belas tahun dan masih hijau, tergelincir oleh nafsu berahi dan kami berdua melakukan perbuatan itu. Tempat tinggal kami di Walikukun, di mana banyak terdapat hutan dan tempat-tempat sunyi sehingga mudah bagi kami untuk melakukan hal itu. Perbuatan atas dasar suka sama suka, tiada paksaan. Akan tetapi, dua bulan kemudian, ketika perbuatan kami diketahui oleh orang tuanya, dia lalu dipindah-sekolahkan ke Semarang oleh orang tuanya."

   Darmi ikut merasa terharu dan kecewa. Wahyuni menderita kegagalan cinta, seperti juga ia sendiri yang mencinta Dedi dan ditinggal pergi. Wahyuni melanjutkan ceritanya. Karena bingung dan berduka, juga khawatir setelah perbuatannya. itu diketahui orang, maka larilah ia kepada ibunya. Ayah kandungnya telah meninggal dunia ketika ia masih kecil dan ibunya telah menikah lagi dengan seorang guru S.D.

   Ia tidak berani bercerita kepada ayah tirinya karena biarpun ketika ia masih kecil, hubungannya dengan ayah tirinya amat baik, akan tetapi setelah ia mulai menjelang dewasa, ada suatu sikap aneh yang membuatnya takut pada diri ayah tirinya itu. Maka menangislah ia dalam dekapan ibunya, menceritakan segala-galanya, bahwa ia telah menyerahkan diri kepad.a seorang pemuda teman sekolahnya, betapa perbuatan mereka itu ketahuan orang tua si pemuda dan betapa pemuda itu kini dipindahkan. Sang ibu ikut merasa bingung mendengar bahwa anaknya telah menyerahkan keperawanannya kepada seorang pemuda yang kini meninggalkannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sehubungan dengan hal itu, maka pada malam harinya, ia menceritatakan apa yang menimpa diri puterinya itu kepada suaminya. Dan sang suami, ayah tiri itu, menjadi marah!

   "Si bedebah itu!"

   Wahyuni memaki dan kembali ada sinar kebencian pandang matanya."Dia marah bukan mengapa, melainkan karena didahului oleh laki-laki lain, seperti seekor anjing yang marah karena tulang itu telah diterkam anjing lain! Dia ribut- ribut dan mengatakan kepada ibu akan menuntut, akan mengurus hal itu dan aku diajaknya pergi, katanya untuk berobat kepada dukun dan sebagainya. Akan tetapi apa yang diperbuatnya atas diriku?"

   Dia menatap tajam kepada Darmi yang pandang matanya menjadi undur ketakutan, karena seolah-olah ialah yang menjadi tumpahan dendam Wahyuni. Ia menggeleng kepala untuk menyatakan bahwa ia tidak tahu dan tidak dapat menduga apa yang dilakukan oleh ayah tiri Wahyuni, sang guru itu. Wahyuni membiarkan keadaan hening beberapa lamanya sebelum ia melanjutkan, membiarkan Darmi menanti dengan hati tegang, bahkan suasana ketegangan itu menular kepada tiga ggadis lain yang sudah tahu akan kelanjutan cerita itu.

   "Ayah tiriku itu sama sekali bukan membawaku pergi untuk menuntut keluarga pemuda itu, atau pergi ke dukun seperti yang dikatakannya kepada ibuku, melainkan membawaku ke suatu tempat di mana dia mengancam untuk menyiarkan ke seluruh kota bahwa aku telah berjina dan bukan perawan lagi, kalau aku tidak mau melayaninya! Engkau kan sudah bukan perawan lagi dan engkau sudah menyerahkan dirimu kepada seorang pemuda keparat, mengapa tidak kepadaku juga? Setidaknya, akulah yang memeliharamu sejak kecil!"

   Demikian si keparat itu mendesak. Karena takut akan ancamannya, dan karena tidak berdaya, terpaksa aku menyerah dan hanya dapat menahan jerit tangisku ketika dia memperkosaku!"

   "Ahhh""!!"

   Darmi mengepal tinju, teringat akan perbuatan Pak Danumiharja, bekas majikannya yang juga hampir saja berhasil memperkosanya itu. Kemudian, dengau suara hambar seolah-olah merasa bosan menceritakan pengalaman hidupnya yang suram-murarn itu, Wahyuni melanjutkan dengan singkat saja. Ia terpaksa menurut kehendak ayah tirinya karena ancaman aib yang akan ditimpakan atas namanya, dan ia masih terlalu muda untuk mengerti bahwa ia telah menebus aib itu dengan keaiban yang lebih hina lagi. Beberapa bulan kemudian ia mengandung, hasil dari perbuatan ayah tirinya yang selalu mengulang perbuatannya di belakang isterinya. Setelah ia hamil, barulah ibu kandungnya tahu akan hal itu.

   "Akan tetapi, ibu malah menghajarku! Ibu menggebuki aku seperti orang menggebuki kerbau saja. Dan aku memang kerbau! Aku memang kerbau dungu yang mudah saja ditipu laki-laki! Akan tetapi sekarang tidak lagi!"

   Karena digebuki ibunya, kandungan Wahyuni gugur dan iapun lari minggat meninggalkan rumah ibu dan ayah tirinya. Ia pergi ke Solo mencari pekerjaan. Akan tetapi, pekerjaan apapun yang dipegangnya. selalu membawanya kepada kesialan yang sama! Laki-laki yang berusaha untuk memperoleh tubuhnya, baik secara halus maupun secara kasar! Di dapur sebagai babu, di kantor sebagai pegawai karena ia telah pernah duduk di kelas tiga S.M.P., lalu di toko sebagai pramuniaga, atau di gedung bioskop sebagai penjaga karcis, di restoran sebagai pelayan, selalu ia bertemu dengan laki-laki yang mengejar-ngejarnya. Bahkan semenjak ia meninggalkan rurnah, dalam waktu setahun saja ia sudah diperkosa oleh sampai dua kali! Ia tidak mau menceritakan bagaimana hal itu terjadi, hanya menutup ceritanya dengan suara yang kembali mengandung kebencian.

   "Pendeknya, selama dua tahun aku menjadi permainan laki-laki, diperkosa, dirayu dan ditipu dengan umpan mulut manis, sikap mencinta dan uang. Tapi kesemuanya itu palsu, dan aku merasa muak. Aku benci kepada pria! Dan aku berjumpa dengan Bu Wiji dan....... nah, akulah yang mempermainkan dia! Apa yang ada pada diriku, yang dikejar-kejar pria. yang membuat aku merana, yaitu kecantikanku dan tubuhku, kini kupergunakan untuk membuat pria bertekuk lutut, membayarku dan di dalam hatiku, aku mempermainkan mereka sesuka hatiku!. Hi-hik, tahukah engkau, dik Darmi? Begitu benciku kepada laki-laki sehingga pernah aku memasukkan kotoran ke dalam cangkir kopi seorang laki-laki yang menggauliku, dan di bawah rayuan dan senyumanku, dia minum kopi itu dengan nikmat dan gembira. Hi-hi-hik! Kalau aku tidak takut dihukum, agaknya ingin kumasukkan racun ke dalam minuman itu. Dan kini biarlah kecantikanku, tubuhku, menjadi minuman beracun untuk mereka, dan untuk menikmati racun itu, mereka harus membayar!"

   Darmi termenung penuh kengerian. Begitu kejam dan mengerikankah hidup ini? Benarkah semua pria itu sedemikian jahatnya? Ah, tidak! den Dedi adalak seorang pemuda amat baik sekali! Iapun dahulu menyerahkan diri dengan suka rela, tidak ada unsur pemaksaan. Dan sampai kinipun ia merasa rela, ia mencinta Dedi. Dan iapun merasa bahwa sebenarnya Dedi mencintanya, walaupun agaknya yang memaksa pemuda itu menjauhkan diri darinya. Masih terngiang dalam ingatann kata-kata yang Dedi amat berkesan dalam hatinya.

   "Kita sudah merdeka, Darmi, dan engkau adalah seorang bangsa, tiada bedanya dengan aku. Engkau tidak boleh merasa rendah diril"

   Den Dedi sama sekali tidak dapat disamakan dengan semua laki-laki yang pernah menyakiti hati Wahyuni. Den Dedi tidak pernah menyakitkan hatinya. Ia masih percaya penuh bahwa kepergian pemuda itu meningalkannya ketika di Jakarta itu tentu sebab-sebab tersendiri yang tidak ia ketahui. Keyakinan akan kebaikan Dedi ini mendatangkan kegembiraan di dalam hatinya. Tak disadarinya ia tersenyum sendiri, senyum kemenangan dan kebanggaan bahwa ia adalah wanita yang dicinta Dedi, bahkan menjadi ibu dari anak Dedi!

   "Dan bagaimana dengan engkau, mbak Sri? Apakah engkau juga menjadi pembenci laki-laki?"

   Darmi bertanya sambil lersenyum kepgda Sriwidarti.

   "Aku?"

   Kata Sriwidarti sambil tersenyum pahit."Ah, tidak. Aku tidak membenci pria, juga tidak terlalu menyukai mereka, apa lagi yang kasar dan tidak menghargai aku walaupun mereka telah membeli dengan uang. Aku hanya membutuhkan uang, dan aku melayani mereka dengan mata terpejam atau kalau terbuka sekalipun, aku tidak melihat wajah mereka dan aku membayangkan bahwa semua laki-laki yang menggauliku dengan pembayaran uang itu adalah wajah mendiang suamiku."

   "Eh. engkau pernah menikah?"

   Sriwidarti tersenyum dan mengangguk.

   "Kawin setahun dan dia tewas dalam kecelakaan. Dia bekerja sebagai sopir. Nah, hanya itu riwayatku, tidak ada apa-apanya yang menarik. Orang tuaku di Boyolali adalah petani-petani miskin yang hanya mengandalkan hidup kepada ayunan cangkul ayahku. Aku mempunyai lima orang adik-adik. Setelah suamiku tewas dalam kecelakaan, apa yang dapat kulakukan? Membantu ayah di dusun? Ayah hanya seorang buruh tani, ibu seorang ibu tani. Aku sendiri tidak terpelajar. Yang kumiliki hanyalah wajah dan tubuh dan usia muda ini. Apa lagi yang dapat kulakukan untuk mencari uang guna membantu mereka? Aku bertemu Bu Wiji dan di sinilah aku! Sederhana saja, bukan?"

   Sriwidarti tertawa polos.

   "Dan bagaimana dengan kau , mbak Ratnaningsih?"

   Gadis ini terkekeh genit, memperlihatkan giginya yang rapi dan putih. Memang manis sekali perempuan ini, dan lirikan matanya mengandung daya tarik luar biasa, juga mengandung gairah nafsu.

   "Aku? Wah, aku ini paling muda tapi juga paling tua. Habis, kalau para mbakyu ini belum punya anak, aku sendiri sudah janda dengan anak satu! Eh, aku lupa, dik Darmi juga sudah punya anak. Hi-hi-hik!"

   Darmi juga tertawa,

   "Bagaimana ceritanya engkau menjadi janda semuda ini, mbak Ningsih? Dan bagaimana pula engkau dapat berada disini?"

   "Tidak panjang ceritanya. Aku kawin. Kemauan orang tua. Dengan seorang kakek tua yang kaya di dusun kami, tapi sebagai isteri ke tiga. Aku tidak perduli dia tua, karena aku cukup senang dengan banyaknya uang yang diberikannya kepadaku, sebuah rumah dan perhiasan-perhiasan. Dan karena dia sudah tua dan isterinya ada tiga, diapun tidak terlalu sering menggangguku, hi-hik""."

   Dan teman-temannya tertawa pula.

   "Sebulan hanya dua tiga kali dia datang menggerumutku. Tentu saja tidak demikian ketika pengantin baru. Akan tetapi karena usianya sudah enam puluh tahunan, tetap saja dia tidak dapat muaskan hatiku. Gampang saja. Banyak pria yang memandangku seperti pandang mata kucing melihat dendeng. Dan banyak pula kesempatan karena suamiku jarang datang berkunjung. Tidak perlu pusing. Banyak yang mau menggantikannya menemaniku di waktu malam. Dan aku mengandung. melahirkan seorang anak laki-laki. Dan suamiku gembira sekali, bangga bukan main bahwa setua itu dia masih cukup kuat, buktinya anak itu, hi-hik!"

   ''Eh, kenapa kalian tertawa?"

   Darmi bertanya ketika melihat tiga orang gadis lainnya ikut terkekeh geli bersama Ratnaningsih sehingga ia merasa seolah-olah ia sedang ditertawakan dan dipermainkan.

   "Laki-laki memang tolol, dan kakek itu biarpun sudah tua ternyata malah pikun!"

   Kata Wahyuni yang sampai mengusap matanya yang basah. karena terpingkal-pingkal geli."Kata Ningsih, kakek itu hidungnya mancung besar, tanda laki-laki yang selalu haus seks! Dan kau lihat, bukankah hidung Ningsih juga mancung?"

   Semua orang tertawa kecuali Darmi yang memandang bingung.

   "Ya, kenapa? Apa hubungannya hidung-hidung mancung itu dengan".."

   "Dan kau belum melihat anak Ningsih? Hidungnya pesek sekali! Ha-ha-ha!"

   Mereka tertawa riuh-rendah., apa lagi melihat Darmi bengong karena belum mengerti.

   "Dik Darmi, apa kau belum mengerti?"

   Tanya Marni, masih terkekeh geli."Kulihat anakmu itu mempunyai mulut yang mirip mulutmu, dan tentu ada sesuatu pada dirinya yang mirip ayahnya."

   "Hidung dan matanya mirip ayahnya,"

   Darmi menyambung cepat. Betapa sering ia mengagumi hidung dan mata anaknya, mirip benar dengan hidung dan mata den Dedi!

   "Nah, kalau anak Ningsih ini, ada sedikit mirip Ningsih, akan tetapi tidak ada apa-apanya yang mirip suami Ningsih. Terutama hidungnya yang amat pesek itu, tidak mirip sama dengan hidung Ningsih, apalagi hidung suaminya"

   Darmi terbelalak memandang kepada Ningsih.

   "Habis mirip hidung siapa?"

   Tanyanya bodoh. Ratnaningsih masih tertawa geli.

   "Entahlah, habis terlalu banyak sih yang mewakili suamiku menemani aku di waktu malam sunyi dan dingin"".. heh-heh-heh"".!"

   Sekarang mengertilah Darmi dan iapun tersenyum. Tersenyum kecut, hanya untuk memperlihatkan bahwa ia mengerti dan setia kawan dengan gembiraan mereka, akan tetapi sesungguhnya ia merasa canggung. Tidak biasa ia dengan kelakar-kelakar yang kasar dan dianggapnya jorok (kotor) dan saru (tidak sopan) ini. Mendengar suara ketawa-tawa itu, muncullah Bu Wiji.

   "Mimi sudah kutidurkan di kamarmu, Darmi. Ada apa sih ketawa-tawa begini ramai? Puasa-puasa kok ramai sekali seperti orang pesta saja!"

   Bu Wiji lalu ikut duduk di ruangan itu, ikut tersenyum, terbawa keriangan wajah "anak-anaknya."

   "Ini lho bu, para mbakyu ini menceritakan riwayat masing-masing dan banyak yang lucu, walaupun banyak pula yang menyedihkan,"

   Kata Darmi. Bu Wiji menarik napas panjang.

   "Yah, memang kalian semua telah menjadi korban dari para pria yang tidak bertanggung jawab."

   "Eh, ceritamu tadi belum selesai, mbak Ningsih,"

   Kata Darmi."Lalu bagaimana kelanjutannya dengan suamimu yang gembira dan bangga itu?"

   "Dia"""?"

   Ningsih tersenyum lebar."Dia mampus!"

   "Eh? Kenapa?"

   "Karena sudah terlalu tua, karena gaplek pringkilan, wis tuwek petakilan (sudah tua banyak ulah). Mana dia kuat? Dia mati, kabarnya karena menjadi gudang penyakit. Darah tinggi, kencing gula, dan entah apa lagi namanya. Dan celaka, hartanya dipakai rebutan dan aku sebagai isteri termuda tidak kebagian. Dan aku biasa mewah, biasa mendapatkan uang mudah. Nah di sinilah aku, mencari uang mudah. Anakku kutitipkan neneknya, hi-hik!"

   "Yah, lebih baik begini dari pada menjadi pelacur hanya untuk seorang laki-laki saja. Ningsih memang suka laki-laki dan di sini kau bisa memilih sendiri, bukan?"

   Kata Bu Wiji dan Ningsihpun tertawa sambil menggangguk.

   "Ibu ini lho yang sudah banyak pengalaman, dik Darmi. Sudah pernah menikah sampai tujuh kali!"

   Kata Marni.

   "Benar, memang demikianlah,"

   Kata wanita setengah tua yang menjadi germo, atau yang nama barunya sekarang disebut mucikari itu."Karena itulah kukatakan tadi bahwa lebih baik bagi untuk memuaskan gairahnya sambil mencari uang mudah di sini, melayani setiap orang laki-laki yang disukainya, dari pada menjadi pelacur bagi seorang saja yang biasanya kurang penerima."

   "Maaf, bu. Apa maksud ibu dengan kata-kata menjadi pelacur untuk seorang laki-laki saja itu?"

   Darmi bertanya.

   "Apa lagi? Aku sudah bersuamikan sampai tujuh orang laki-laki dan mereka itu pada hakekatnya sama saja. Cinta seorang pria terhadap wanita amat licik, bersumber kepada keinginan untuk menyenangkan diri sendiri belaka. Seorang pria tidak hanya ingin menguasai seluruh tubuh isterinya, bahkan juga ingin menguasai hatinya sehingga seorang isteri itu seolah-olah hendak dijadikan boneka saja yang dapat memuaskan hati suaminya dalam segala hal, menurut kehendak si suami. Banyak benar tuntutan seorang pria terhadap wanita. Seorang suami menghendaki agar sang isteri itu menjadi sahabat, menjadi ibu, menjadi kekasih, menjadi penghibur dan juga menjadi pelacur!"

   ''Ehh......? Aku"". Aku tidak mengerti, Bu,"

   Kata Darmi, terkejut.

   "Tentu saja pelacur untuk dia sendiri, bukan untuk orang lain. Suami menghendaki agar isterinya itu selalu berpakaian rapi dan merias dirinya agar nampak selalu menyenangkan hatinya dan juga mendatangkan rasa bangga, tanpa memperdulikan betapa sang isteri itu luar biasa sibuknya di rumah, apa lagi yang mempunyai banyak anak. Di samping ini, juga suami menghendaki isterinya selalu lembut dan penuh kasih sayang kepadanya, mencurahkan seluruh perhatian demi untuk kepentingan diri sang suami, seperti seorang ibu melindungi anaknya, juga mengatur agar keuangan selalu cukup untuk dibelanjakan, tidak perduli betapa sedikit dia menyerahkan kepada isterinya, pendeknya harus cukup, harus bijaksana seperti dahulu ibunya yang agaknya selalu dapat menyediakan apa saja yang diperlukannya. Juga suami menghendaki agar isterinya dapat menghiburnya kala hatinya risau, agar isterinya tidak pernah membantahnya, tidak pernah menentangnya, dan selafu bersikap manis sebagai seorang kekasih. Dan terutama sekali, dan ini baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi terkandung dalam suami, dia menghendaki agar isterinya itu melayaninya sebaik dan semahir seorang pelacur melayani seorang pria di kamar tidur."

   "Ah, benarkah itu, bu?"

   Darmi bertanya, terbelalak karena sungguh mati tak pernah disangkanya ia akan mendengar hal-hal seperti itu.

   "Mungkin ada pria yaug akan membantahnya keras-keras. Akan tetapi begitulah kenyataannya. Setiap orang pria menghendaki agar isterinya menjadi wanita histeris di atas ranjang, hangat dan penuh semangat, bahkan tak tahuu rikuh dan malu, agresip dalam sanggama. Seorang suami ingin isterinya itu genit dan manja, akan tetapi tentu saja untuk dirinya sendiri. Bahkan tidak terbatas kepada isterinya saja dalam soal ini, pada umumnya pria ingin agar seluruh wanita di dunia ini, kecuali ibunya dan anak perempuannya barangkali, bersikap genit dan menarik kepadanya, kalau perlu agar semua wanita kecuali yang dua golongan itu, setiap saat bersedia untuk menemaninya di tempat tidur! Padahal, kalau keluarganya yang wanita bersikap seperti itu kepada pria lain, dia akan menyumpahinya dan membencinya!"

   "Saya kira tidak semua pria demikian. bu,"

   Bantah Darmi, teringat kepada Dedi.

   "Mungkin, akan tetapi entah hanya berapa gelintir saja. Dan celakanya, kita wanita justeru menghendaki begitu! Kita ingin dimanja dan diperhatikan, walaupun kita tahu benar bahwa semua pemanjaan dan perhatian pria itu tiada lain hanya untuk memperoleh imbalan dari kita yang akan terlaksana di tempat tidur!"

   "Ah, tapi dalam hubungan suami isteri. bukan haanya soal seks saja yang ada, di situ terdapat pula anak-anak, yang menciptakan suatu hubungan yang lebih mendalam di antara suami isteri, lalu belas kasihan, setia kawan, dan perasaan bahu-membahu menghadapi hidup."

   Ratnaningsih mencoba untuk membantah. Sikap dan isi percakapan yang dicetuskan Bu Wiji itu mendatangkan suasana sendu dan serius. Mendengar bantahan Ningsih itu, Bu Wiji menarik napas panjang.

   ''Memang itulah yang kita butuhkan, yang dibutuhkan semua orang wanita di dunia ini, ialah cinta yang lengkap, bukan hanya seks semata. Kita lebih merindukan cinta kasih yang dibuktikan dengan sikap menyayang, melindungi, memanjakan, dari tatapan mata, dari suara lembut merayu, puji-pujian. Biarpun suami juga senang dengan sikap ini, akan tetapi tujuan terakhir mereka adalah keinginan mereka yang terbesar, yaitu kepuasan di tempat tidur. Bagi pria, agaknya yang terpenting dalam hubungan suami isteri adalah seks, yang lain-lain itu hanya embel-embel saja. Jadi, sesungguhnya kalau suami isteri menghendaki hubung-an yang baik dan mesra bahkan:sampai di hari tua, mudah saja asal mereka itu cerdik."

   Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagaimana caranya, bu?"

   Darmi tertarik sekali dan diam-diam ia merasa kagum terhadap Bu Wiji yang dianggapnya demikian pandai.

   "Caranya? Apa sukarnya kalau sudah tahu akan kelemahan masing-masing? Wanita ingin pencurahan cinta kasih melalui sikap kasih sayang, perlindungan, pemanjaan. Berilah itu kepadanya dan ia akan menyerahkan badan dan batinnya sebulatnya kepada suaminya. Sebaliknya, kelemahan pria adalah seks yang selalu didambakan dan dibutuhkan. Nah seorang wanita yang cerdik akan dapat menguasai hati suaminya melalui seks, dan memang ini satu-satunya senjata terampuh bagi wanita."

   "Wah, kalau kesemuanya hanya berpusat kepada seks, lalu apa artinya cinta kasih, bu?"

   Marni bertanya setengah membantah. Bu Wiji menjebikan bibir bawahnya.

   "Cinta? Betapa kata cinta telah menjadi hambar dan tidak ada artinya lagi oleh ulah manusia. Bersumpah saling mencinta sebelum menikah, tetapi betapa banyaknya yang berakhir dengan percekcokan dan bahkan perceraian sesudah menikah. Biasanya, pria bersumpah panjang pendek sebelum menyeret wanita ke tempat tidur, akan tetapi sesudah terlaksana berulang kali, lambat-laun dia menjadi bosan dan sumpahnyapun menjadi luntur. Oleh karena itu, cinta atau yang dinamakan cinta antara suami dan isteri perlu pemupukan terus-menerus, setiap hari, dari kedua fihak dan caranya adalah memuaskan hati masing-masing melalui kelemahan-kelemahannya tadi."

   Semua ucapan yang keluar dari mulut Bu Wiji itu adalah pengetahuan berdasarkan pengalaman. Ia lupa bahwa sikap yang disengaja seperti suami dan isteri itu adalah sikap palsu, hanya merupakan tindakan yang berpamrih, tindakan dibuat-buat dan palsu untuk memancing sikap lain dari suami atau isteri untuk memuaskan hati sendiri. Tidaklah demikian kalau memang suami dan isteri mempunyai cinta kasih, saling mencinta dengan arti yang sedalam-dalamya. Di dalam cinta kasih ini sudah tercakup sik mesra, kasih sayang, iba kasih, perlindungan, seks dan sebagainya itu. Jadi, dengan dasar cinta kasih, semua sikap dan perbuatan antara suami isteri, semua pemanjaan, semua usaha untuk memuaskan fihak, adalah wajar dan sungguh-sungguh dengan hanya satu dasar, yaitu membahagiakan orang yang dicinta.

   Akan tetapi, biarpun ia telah menikah sampat tujuh kali, agaknya Bu Wiji belum pernah menemui cinta kasih yang sungguh-sungguh, melainkan hanya cinta asmara yang sepenuhnya didorong oleh berani. Oleh kekecewaan-kekecewaan yang didorong oleh akibat cinta berahi inilah ia memperoleh pengalaman-pengalaman yang melahirkan semua kata-katanya tadi. Tiada seujung rambutpun pernah terbayangkan oleh Darmi bahwa ia akan menjadi seorang call girl, seorang gadis panggilan, seorang pelacur kelas lumayan. Ya, ia menjadi pelacur, walaupun tidak dapat disamakan dengan pelacur-pelacur yang berkeliaran di tepi jalan-jalan di waktu malam, atau pelacur-pelacur yang menanti datangnya tamu-tamu di warung-warung kopi atau rumah-rumah pelacuran.

   Tidak sepecti empat orang gadis yang sudah menjadi anak buah Wiji semenjak Darmi tinggal di rumah itu yang memipunyai masalah-masalah tertentu yang mendorong mereka terjun ke dunia pelacuran. Darmi terperangkap pula oleh berbagai macam dorongan. Pertama-tama, dan ini yang merupakan pokok, ia butuh uang! Setelah tiga bulan saja tinggal di rumah Bu Wiji, uangnya sudah habis! Ia bukan hanya harus membayar uang mondok, akan tetapi juga di waktu anaknya sakit, untuk membeli pakaian anaknya dan segala keperluan lainnya. Jadi jelas bahwa uanglah atau kebutuhan akan uanglah yang menjadi pendorong utama. Memang, andaikata ia hanya hidup seorang diri saja, untuk mencari sandang pangan dirinya sendiri saja, ia tidak perlu menjadi gadis panggilan.

   

Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini