Darah Daging 4
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Menjadi babu atau pekerja kasar lainnyapun sudah cukup menjamin sandang pangan sekedarnya, agar tidak kelaparan dan telanjang. Akan tetapi, anaknya! Tentu saja beginilah pembelaan diri dalam hati Darmi. Kemudian, pendorong ke dua adalah kebiasaannya hidup senang dan kecukupan. Di Jakarta, ia bekerja di rumah keluarga kaya sehingga ia sudah terbiasa untuk makan enak, setidaknya tentu nasi putih dan lauk-pauk atau sayur. Perutnya tidak biasa menerima lain dari pada nasi, seperti nasi jagung atau gaplek misalnya. Juga ia sudah terbiasa memakai pakaian yang patut. Di samping itu, kehidupan enak dan bahkan menjurus ke arah mewah dari empat orang gadis itu tentu saja mendorongnya ingin menikmatinya pula. Dan masih ada dorongan ke tiga yang hiarpun hendak disembunyikan dan ditekannya, namun kenyataannya memang ada pada lubuk. Yaitu dorongan gairah seks.
Makin berat rasa hatinya oleh cemburu dan iri hati melihat betapa empat orang gadis itu bergurau dengan pria-pria muda yang ganteng, segolongan dengan Dedi, biarpun kadang-kadang ada juga pria tua yang menggandeng mereka pergi. Hal ini membuatnya gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak, membayangkan kemesraan yang baru satu kali dirasakannya selama hidup, yaitu di kamarnya di rumah Pak Danumiharja dahulu. bersama Dedi. Akhirnya, setelah uangnya habis sama sekali yang merupakan dorongan utama, Darmipun jatuh! Mula-mula ia memang menolak keras ketika Bu Wiji dan teman-temannya membujuknya agar mau melayani seorang tamu yang tertarik kepadanya. Biasa, demikian kata Bu Wiji, laki-laki selalu mencari yang baru! Kalau bisa, demikian katanya pula, setiap orang laki-laki ingin mencoba dan meniduri semua orang wanita.
"Darmi, engkau masih amat muda dan engkau mempunyai bentuk tubuh yang denok montok. Laki-laki akan tergila-gila kepadamu. mereka itu justeru kadang-kadang mencari seorang wanita yang merka anggap masih hijau! Dan engkau memenuhi syarat-syarat untuk membangkitkan gairah mereka itu."
Demikian sering kali Bu Wiji membujuknya. Akan tetapi, hutangnya kepada Bu Wiji semakin membengkak. Dan akhirnya, ketika ada seorang pria muda yang tampan dan berpakaian gagah mengajaknya, biarpun ia merasa amat malu sekali, di bawah bujukan empat orang teman dan juga Bu Wiji, ikutlah Darmi bersama pria itu. la dibawa naik ke dalanm mobil dan dengan kedua kaki agak gemetar ia digandeng masuk ke dalam kamar sebuah hotel tak jauh dari Sriwedari. Dan terjadilah hal yang sering kali ia mimpikan, yang membuatnya sering merasa ketakutan dan juga gelisah dan ingin sekali!
Dan ternyata pengalaman itu sungguh di luar dugaannya. Sama sekali tidak sukar. Sama sekali bukan tidak menyenangkan. Sama sekali tidak mengerikan. Sebaliknya malah. Pria itu amat lembut dan"". amat mencintanya! Mencintanya pada detik-detik itu tentu saja. Dan semalam itu iapun lupa diri, merasa seolah-olah menjadi pengantin baru. Bayangan Dedi yang kadang-kadang menyelinap itu makin muram dan akhirnya tidak pernah muncul lagi. Dan Darmipun menjadi ketagihan! Ketagihan senangnya, ketagihan uangnya. Mencari uang mudah sambil bersenang-senang. Mula-mula ia memang memilih-milih dan hanya mau dibawa oleh laki-laki yang mempunyai tampang menyenangkan saja. Akan tetapi, lewat beberapa bulan saja, sikapnya memilih-milih itu makin melunak dengan semakin berkurangnya arti ketampanan wajah baginya.
Asal laki-laki itu nampak bersih, ramah dan beruang, cukuplah dia memenuhi syarat. Dan sebagai barang baru di rumah Bu Wiji, Darmi memang laris. Empat orang kawannya tidak mengiri. Sudah biasa hal seperti itu terjadi di dunia pelacuran. Barang baru selalu dicari pria! Pria bahkan berani membayar lebih tinggi untuk seorang wanita yang digolongkan sebagai barang baru. Ketika ia masih menjadi babu di rumah keluarga Danumiharja, Darmi kali sempat membaca buku. Nyonya majikannya adalah seorang wanita modern dan ia memperbolehkan Darmi membaca buku roman miliknya dan di waktu malam, setelah semua pekerjaannya selesai, Darmi suka membaca buku-buku roman. Di dalam buku-buku itu sering kali ia membaca tentang mucikari-mucikari yang kejam, galak, dan jahat, seperti juga sering kali digambarkan oleh pengarang-pengarang tentang ibu-ibu tiri.
Akan tetapi sekarang, setelah di luar persangkaannya sama sekali, ia sendiri menjadi gadis panggilan, harus diakuinya bahwa Bu Wiji merupakan seorang mucikari yang sama sekali tidak dapat dikatakan jahat. Bu Wiji adalah seorang wanita setengah tua biasa saja, mungkin agak terlalu mendewakan uang, akan tetapi tetap merupakan seorang wanita yang perasa dan yang suka menolong. Dalam "pekerjaan"
Yang baru itu. ia sama sekali tidak pernah dipaksa, apa lagi disiksa. Tentu saja iapun harus memberikan sebagian dari pada penghasilannya kepada Bu Wiji, seperti juga teman-temannya. Darmi bukan tidak sadar bahwa ia telah terseret dalam keadaan yang amat hina bagi pandangan masyarakat. Ia bukan tidak tahu bahwa menurut agamanya, pekerjaannya adalah pekerjaan maksiat yang dianggap merupakan dosa yang amat besar.
Ia tahu bahwa seorang pelacur dianggap sebagai seorang wanita yang paling hina dan rendah di dunia ini, sebagai sampah masyarakat yang selalu dipandang rendah sekali oleh kau m wanita yang merasa dirinya bersih. Dan kadang-kadang iapun melakukan pekerjaannya itu dengan hati seperti ditusuk-tusuk rasanya, membayangkan betapa akan bahagianya kalau yang menggelutinya itu Dedi, bukan pria lain. Namun, Dedi entah di mana. Sudah kerap kali ia sengaja berkeliling kota Solo untuk mencari-cari dengan harapan akan dapat berjumpa dengan pemuda itu. Namun semua usahanya sia belaka. Sedikit harapan untuk dapat bertemu dengan pria itu dan melanjutkan hubungan mereka yang sudah disahkan oleh TUHAN dengan terlahirnya Mimi, lambat-laun menipis. Sang waktu dapat melahap segala sesuatu, termasuk kedukaan dan harapan.
Dalam keadaan hilang harapan dan putus asa itulah Darmi bertemu dengan Suwarso, atau yang dikenalnya sebagai Pak Lurah Suwarso. Dan ketika Lurah dari sebuah dusun di lereng Gunung Lawu ini menyatakan cintanya dan meminangnya sebagai isteri ke dua, Darmi menerimanya. Tentu saja pinangan itu baru diajukan setelah beberapa kali Suwarso mengajaknya, dan pinangan itupun baru diterimanya setelah Darmi merundingkannya dengan Bu Wiji. Juga tidak luar biasa kalau Suwarso menyerahkan uang sebanyak lima ribu rupiah kepada Bu Wiji sebagai "tukon" (pembelian) atau ganti rugi karena betapapun juga. Darmi merupakan sumber uang bagi Bu Wiji, bahkan yang paling laris di antara anak buahnya. Dan diboyonglah Darmi dan anaknya yang telah berusia lima tahun itu ke sebuah dusun yang cukup makmur di lereng Gunung Lawu, termasuk kecamatan Karang-pandan.
(Lanjut ke Bagian 05)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 05
Bu Lurah! Betapa janggalnya sebutan ini terasa oleh Darmi pada hari-hari pertama ia berada di dusun itu. Bukan hanya sebutan itu saja yang janggal rasanya ketika memasuki telinganya, juga sikap penduduk yang begitu hormat kepadanya. Bu Lurah! Biarpun hanya merupakan isteri ke dua, namun jelaslah bahwa derajatnya terangkat tinggi sehingga pada hari-hari pertama itu ia hampir merasa hidup di alam mimpi. Dari seorang pelacur menjadi bu Lurah! Dengan anaknya, Mimi, menjadi puteri Lurah.
Akan tetapi, pada hari pertama Darmi memasuki rumah mungil yang disediakan oleh suaminya untuk ia dan anaknya di dusun itu, menyambut datangnya para tamu dan tetangga yang hendak memperkenalkan diri, ada perasaan tidak enak menyelinap di dalam hatinya. Perasaan tidak enak yang timbul ketika ia menerima jabatan tangan para tamu, dan bertemu dengan pandang mata mereka, terutama sekali kau m wanitanya. Pada pandang mata para tamu pria, yaitu para pamong desa dan tetangga, ia tidak melihat hal luar biasa. Pandang mata mereka tidak jauh bedanya dengan pandang mata semua pria yang pernah menjumpainya, pandang mata seekor kucing melihat dendeng. Akan tetapi, pada pandang mata wanita-wanita itu terdapat sesuatu yang membuatnya merasa tidak enak. Ia sendiri tidak tahu bahwa pandang mata yang tersembunyi di balik senyum sopan ramah dibuat-buat itu timbul dari rasa iri hati.
Dan setelah beberapa bulan ia hidup sebagai isteri muda pak Lurah, di samping segi enaknya, yaitu rumah tinggal yang pantas, pakaian yang layak dan makanan yang mencukupi, ia juga mulai merasakan adanya hal-hal yang tidak mengenakkan hatinya. Yaitu selain sikap permusuhan dari ibu Lurah yang tua, yang dianggapnya sebagai hal yang sudah wajar, juga ikatan-ikatan yang sangat terasa sekali olehnya. Ia seolah-olah merasa kehilangan kebebasannya setelah kini menjadi ibu Lurah. Terutama dalam sikapnya sehari-hari. Ia harus selalu bersopan santun, mengatur semua gerak-gerik dan kata-katanya terhadap orang lain, harus disesuaikan dengan kedudukannya sebagai isteri Lurah. Dan hal ini sungguh merupakan siksaan baginya.
"Ingat, dik, aku telah mengangkatmu dari lembah kehinaan. Aku telah menaruhmu di tempat yang tinggi. Oleh karena itu, engkaupun harus menjaga baik namaku. Engkau kini menjadi ibu Lurah, maka engkau harus dapat menjadi sari tauladan para wanita sedusun. Jadi, berhati-hatilah menjaga setiap kata-kata dan gerak-gerikmu, jangan sampai engkau memalukan aku yang menjadi Lurah dan menjadi suamimu,"
Demikianlah ucapan suaminya pada hari pertama yang terus membekas di dalam hatinya. Dan suaminya itu ternyata memang sungguh-sungguh mencintanya. Suaminya sudah mempunyai seorang isteri dan bahkan dari isteri pertama ini suaminya mempunyai lima orang anak. Pak Lurah Suwarso berusia kurang lebih empat puluh tahun dan isterinya yang pertama itu lebih tua beberapa tahun darinya.
Entah bagaimana, isteri yang usianya sekitar empat puluh lima tahun dan mempunyai lima orang anak itu, sudah nampak tua sekali. Menurut pengakuan suaminya kepadanya, bu Lurah yang tua itu sudah enggan melayani suaminya di tempat tidur. Hal inilah yang menjadi penyebab utama mengapa Pak Lurah Suwarso sampai kesasar ke tempak Bu Wiji dan berkenalan dengan Darmi. Dan hal ini pulalah yang mendorong Pak Lurah Suwarso untuk mengambil Darmi sebagai isteri ke dua. Pak Lurah Suwarso sungguh mencinta isteri mudanya. Ia bukan hanya mengharapkan pelayanan Darmi dalam bercinta saja, melainkan ia juga berusaha benar-benar membimbing isteri mudanya itu untuk kembali ke "jalan benar."
Bahkan Pak Lurah Suwarso yang selalu tidak melupakan sembahyang itu mengajarkan sembahyang kepada Darmi.
"Sudah waktunya engkau kembali ke jalan benar, dik Darmi. Dan untuk itu, selain menjaga segala tindak-tanduk dan kata-katamu, juga sudah sepatutnya kalau engkau melakukan sembahyang, untuk memperkuat imanmu kepada TUHAN ALLAH Subhanahu Wata"ALLAH, dan juga sehagai pemenuhan kewajiban seorang Islam. Apa artinya engkau beragama lslam kalau engkau tidak melakukan sembahyang?"
Demikian antara lain bujukan dan nasihat Lurah Suwarso kepada isteri mudanya. Dan dia sendiri yang mengajarkan sembahyang kepada Darmi. Kehidupan Darmi berobah sama sekali. Kehidupan yang tenang lahir batin, karena dusun di lereng Gunung Lawu itu berhawa sejuk dan tentti saja tidak ramai seperti di kota.
Suasana pedusunan yang sunyi tenteram dapat menenteramkan hatinya pula. Biarpun di dalam hatinya ia tidak mungkin dapat membohong bahwa tidak ada rasa cinta terhadap suaminya ini. Kalau ia mau menerima pinangan Suwarso, adalah karena ia mengira bahwa menjadi isteri muda seorang Lurah tentu jauh lebih baik dari pada menjadi seorang gadis panggilan yang menyerahkan, diri kepada setiap pria yang mampu membayar. Demikian pula pendapat Bu Wiji dan teman-temannya yang terang-terangan menyatakan iri akan nasib baiknya. Akan tetapi, kalau Darmi sedang termenung seorang diri di dalam kamarnya setelah Mimi tertidur dan malam itu pak Lurah tidak bergilir kepadanya, diam-diam wanita ini harus mengaku dalam hatinya bahwa kenyataannya tidaklah seperti yang diperkirakannya atau diharapkannya semula.
Memang, tak dapat disangkal lagi bahwa derajatnya terangkat dan ia lebih dihormati orang dari pada ketika ia masih menjadi gadis panggilan. Akan tetapi semua itupun dalam sebutan belaka dan penghormatan orang-orang kepadanyapun hanya karena ia menjadi isteri Lurah, bukan penghormatan langsung kepada pribadinya. Penghormatan terhadap dirinya yang dilakukan penduduk dusun, terutama para pamong, seperti penghormatan bawahan terhadap atasannya, penghormatan si bodoh kepada si pandai, penghormatan si miskin kepada si kaya, hanyalah penjilatan belaka. Dan ia merasakan sekali kepalsuan yang kosong ini. Bahkan semua penghormatan itu membuatnya terbelenggu, tidak bebas lagi. Dan hanya itulah perbedaannya. Tetap saja, seperti dulu, ia harus melayani berahi pak Lurah, karena bagi pak Lurah, ia tiada lain hanya seorang petugas yang harus melayani dan memuaskannya.
Selebihnya, sebutan isteri hanya merupakan cap saja. Bahkan,.dari segi jasmaniah, ia merasa mundur! Dahulu, kadang-kadang ia bertemu dengan seorang pria yang sungguh-sungguh menyenangkan hatinya, biarpun harus diakuinya bahwa banyak pula ia berjumpa dan melayani pria-pria yang tidak menyenangkan. Akan tetapi betapapun juga, tidak seperti sekarang. Perasaan yang bagaimanapun menjadi kebal oleh biasa. Demikian pula Darmi. Ia menjadi terbiasa dengan keadaan hidup barunya dan sebagai seora wanita yang sejak kecilnya sudah digembleng oleh pengalaman yang mengharuskan ia menelan apapun juga yang ditemuinya, pahit maupun getir, tanpa dapat berdaya untuk memberontak atau menolak, kinipun ia hanya pasrah nasib saja.
Betapa sejak nenek moyangnya di dusun-dusun, wanita selalu menyerah terhadap nasib! Dan mungkin juga penyerahan macam inipun dapat mendatangkan suatu kesenangan tersendiri, kelegaan yang timbul karena tidak adanya penentangan di dalam batinnya. Sikap beginilah yang agaknya membuat Darmi dapat bertahan sampai tiga tahun menjadi isteri muda Pak burah Suwarso. Dan selama tiga tahun itu, hanya satu kali terjadi peristiwa yang agak menghebohkan, hanya satu kali gelombang agak besar melanda biduk rumah tangganya bersama suaminya. Terjadinya hanya kurang lebih setahun setelah ia menjadii isteri muda pak Lurah. Pada suatu malam yang dingin dan sunyi. Ia seorang diri saja di rumah karena suaminya tidak sedang menggilirnya. Dan malam itu datanglah Giarso, carik keLurahan, berkunjung.
"Kulonuwun...!"
"Monggooo"""".! Oo, mas carik kiranya. Silahkan duduk, masas carik!"
Darmi menyambut ramah seperti keharusannya sebagai bu Lurahh."Tumben malam-malam datang berkunjung, ada keperluan apakah, mas?"
Carik Giarso yang masih muda dan ganteng itu tersenyum, senyum buatan yang dimaksudkan untuk memikat.
"Anu, bu Lurah, apakah pak Lurah berada di sini?"
Tanyanya sambil duduk tanpa dipersilahkan untuk kedua kalinya lagi.
"Saya ingin melaporkan sesuatu."
Darmi menggeleng kepala."Tidak, malam ini dia tidak datang. mas carik."
"Ah, benarkah?"
Sang carik pura-pura heran, padahlal tentu saja sudah diketahuinya benar bahwa malam itu sang Lurah takkan muncul di situ."Kenapa dia tega membiarkan isterinya yang muda dan cantik sendirian saja di malam yang sunyi dan dingin ini?"
"Mas carik"""!"
Darmi berkata dengan alis berkerut, sama sekali tidak menduga bahwa carik itu berani berkata seperti itu kepadanya.
"Kalau aku yang mempunyai isteri seperti ini"""
Carik muda itu semakin berani.
"Takkan kubiarkan kedinginan, he-he""
Dan aku sudah sering kali mewakili pak Lurah dalam banyak tugas, apa salahnya kalau sekarang aku mewakilia dia disini"".. eh, menemani bu Lurah""..?"
Darmi sudah bangkit dari tempat duduknya, memandang terbelalak dan wajahnya sebentar pucat sehentar merah. Selama setahun ini orang-orang bersikap hormat kepadanya, oleh karena itu, sikap dan ucapan Giarso ini sungguh amat menyakitkan hatinya. la adalah isteri Lurah dan carik muda itu, bawahan suaminya, berani bersikap seperti itu!
"Aku bukan pel"""!"
La tidak dapat melanjutkan bentakannya, pertama melihat wajah carik itu tersenyum mengejek yang mengingatkan... ia akan janggalnya penyangkalannya itu sendiri.
"Hemm, setelah kini menjadi isteri muda Lurah lalu melupakan pekerjaanmu yang lalu, ya? Jeng Darmi, jangan mengira aku tidak tahu keadaanmu sebelum engkau menjadi isteri pak Lurah. Sayang aku tidak mendengar lebih dulu engkau adalah anak buah Bu Wiji di Petetan Solo sehingga didahului pak Lurah, kalau aku tahu""."
"Pergi! Pergi kau dari sini dan jangan ganggu aku!"
Darmi membentak, akan tetapi suaranya direndahkan sedemikian rupa agar jangan terdengar tetangga, bahkan ia merasa gelisah kalau-kalau ucapan carik itu akan dapat tertangkap oleh telinga lain.
"Ha-ha, jangan jual mahal, manis! Aku mendengar bahwa taripmu dahulu dua ratus rupiah sekali panggil dan lima ratus rupiah untuk semalam. Akan tetapi sekarang, engkau kan tidak kekurangan lagi, kekurangan uang maksudku. Dan engkau sudah biasa melayani banyak pria, masa sekarang hanya melayani si tua itu saja? Marilah, jangan malu-malu, tidak ada orang tahu, jeng"".!"
Giarso sudah bangkit dari kursinya menghampiri Darmi, lalu memegang tangannya.
"Lepaskan aku! Pergi kau , jahanam! Bajingan!"
Darmi memaki dan merenggut tangannya.
"Ha-ha, kau menolakku? Jeng Darmi, ingat, kalau engkau menolakku, seluruh dusun ini akan mendengar bahwa engkau adalah bekas lonte (pelacur) di Solo! Nah, lebih baik bersahabat denganku kalau engkau hendak tetap menjadi orang terhormat di sini, terpandang dan disegani. Sambil berkata demikian, Giarso kembali melangkah maju dan merangkul pinggang Darmi, ditariknya mendekat. Darmi meronta, mengharapkan anaknya terbangun. Akan tetapi malam itu hawa amat dingin dan Nlimi telah tidur dengan nyenyak sekali.
"Jangan, mas carik""".! Jangan, aku akan memberi tahu mas Lurah!"
"Heh-heh, mana dia mau percaya? Dia lebih percaya padaku dari pada seorang bekas pelacur. Kalau aki bilang bahwa engkau yang membujukku, maka dia akan lebih percaya padaku dan engkau tentu akan diusir. Sudahlah, jangan berlagak, engkau akan senang"""."
"Giarso""!!"
Tiba-tiba terdengar bentakan dan Pak Lurah Suwarso telah berada di ruangan itu. Dia telah diberi tahu oleh pelayan Tarmiyem yang tadi melihat kedatangan carik itu dan melihat gelagat tidak baik pelayan ini lalu Iari ke rumah pak Lurah yang tidak begitu jauh dari situ. Mendengar laporan Tarmiyem, pak Lurah segera berlari ke rumah isteri mudanya dan dia melihat sendiri betapa cariknya merangkul Darmi yang meronta-ronta, bahkan dia mendengar ucapan terakhir dari cariknya tadi. Giarso terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pak Lurah dapat muncul seperti itu. Dia sudah memperhitungkannya dengan masak-masak, sudah menyelidiki lebih dahulu kebiasaan pak Lurah mengunjungi isteri mudanya sebelum dia berani bertindak begini jauhnya. Kemunculan pak Lurah membuat dia cepat melepaskan rangkulannya dan membalik, menghadapi pak Lurah dengan ketakutan.
"Pak Lurah"". maaf""
Ia""
Ia yang menggoda dan membujuk saya".."
Katanya, sementara itu Darmi menangis sambil menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi dengan tubuh lemas. Mendengar fitnah yang dilontarkan Giarso kepadanya itu, ia mengangkat mukanya yang pucat.
"Tidak""
Tidak""!"
Pak Lurah Suwarso tersenyum, seolah-olah percaya kepada cariknya, melangkah maju mendekati carik muda itu dan tiba-tiba saja tangan kanan diayun memukul ke arah muka carik itu.
"Plakkk I"
Pukulan itu keras sekali dan Giarso terpelanting, memegangi muka yang terpukul. Pak Lurah Suwarso sudah mengejar dan menendang dadanya. Karena Lurah ini tekun berlatih pencak, maka kuat sekali.
"Aduhhh"".!"
Giarso kembali terjengkang dan merintth, tidak berani melawan, hanya berkata memelas.
"Ampun, pak"".. ampunkan saya""."
"Hemm"". kalau engkau tergila-gila kepada dik Darmi dan berusaha merayunya, hal itu masih kuanggap tidak begitu jahat karena memang Darmi seorang wanita muda yang cantik manis dan engkau seorang yang terkenal perusak pagar ayu di dusun kita. Akan tetapi engkau malah memutarbalikkan fakta dan menjatuhkan fitnah, mengatakan Darmi yang menggoda merayumu, padahal telingaku tadi mendengar sendiri ucapanmu""!"
"Ampun"".. pak Lurah"".!"
Pak Lurah Suwarso menendang dan memukul lagi beberapa kali sampai darah keluar dari mulut dan hidung Giarso. Darmi menubruk suaminya dan merangkulnya sambil menangis. Barulah pak Lurah berhenti menghajar Giarso.
"Minggat engkau malam ini juga! Kalau aku masih melihat mukamu di dusun ini, kutuntut atau kubunuh engkau!"
Bentak pak Lurah wang masih marah sekali. Demikianlah peristiwa itu. Akan tetapi lewat tiga tahun, Darmi telah melupakan peristiwa itu.
Giarso telah pergi malam itu juga dan tak pernah kemball ke dusun. Kabar angin mengatakan bahwa bekas carik itu pergi dan tinggal di Solo. Semenjak peristiwa pak Lurah semakin cinta padanya dan Darmipun sudah terbiasa oleh keadaan itu dan menganggap ia cukup beruntung hidup menjadi isteri muda pak Lurah. Hanya satu hal yang membuatnya kurang puas, terutama sekali pak Lurah, bahwa di dalam perkawinannya itu ia tidak dikurniai anak. Akan tetapi, Pak Iurah Suwarso nampaknya juga amat sayang kepada Mimi dan hal ini membuat Darmi semakin berterima kasih kepada Lurah itu. Di dalam lubuk hatinya, Darmi tak pernah dapat melupakan Dedi dan sering kali bayangan Dedi mengunjungi di alam mimpi dan sering kali di malam sunyi ketika ia berdua saja dengan anaknya, ia terkenang dan merasa amat rindu kepada Dedi.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sebuah malapetaka besar yang merupakan noda-noda hitam dalam sejarah Indonesia. Peristiwa mengerikan yang merobek-robek kehidupan bangsa, membakar dendam-mendendam yang menimbulkan bunuh-membunuh antara bangsa sendiri secara amat mengerikan. Akibat petualangan politik yang keji itu terasa sampai ke thisun-dusun. Terjadi pertentangan, fitnah memfitnah, culik-meneulik, dan bunuh-membunuh bangsa sendiri. Mengerikan!
Geger itupun melanda dusun tempat tinggal Darmi. Selagi pasukan pemerintah melakukan operasi pembersihan, menangkapi oknum-oknum yang dicurigai tersangkut dalam Gerakan 30 September 1965 itu, terjadilah pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan dan pribadi-pribadi yang sebelumnya memang sudah saling menaruh dendam. Kesempatan terbuka bagi mereka yang mempunyai dendam untuk mempergunakan suasana dalam kemelut itu untuk melampiaskan dendam pribadi atau golongan mereka. Culik-menculik, bunuh-membunuh dan fitnah-memfitnahpun terjadilah, seperti di tempat-tempat lain. Penduduk dusun itu menjadi semakin panik ketika terdengar berita bahwa Pak Lurah Suwarso diciduk (ditangkap) pula!
Pak Lurah Suwarso? Sungguh mengejutkan dan mengherankan orang. Setahu mereka, Lurah mereka ini adalah seorang yang beragama, bahkan menganjurkan perkembangan dan ketaatan beragama di dusun itu. Juga seorang Lurah yang aktip, dan dekat dengan rakyat dusun. Akan tetapi pada waktu sekacau itu, orang sudah tidak tidak tahu lagi siapa yang dapat dipercaya dan siapa yang tidak. Berita-berita simpang-siur, orang-orang kehilangan pegangan dan tidak tahu lagi mana kawan mana lawan, mana baik mana buruk, dan sedikit saja salah bicara akan membuat orang terpeleset, diciduk atau bahkan terbunuh tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya. Semua orang menutup mulut, telinga dan mata, ketakutan. Darmi hanya dapat Menangis ketika melihat pak Lurah diseret keluar dan dibawa pergi. Dan ia melihat Giarso di antara mereka yang menangkap pak Lurah.
Memang Giarso muncul kembali ke desa menjelang geger. Dan dia kelihatan dekat dengan tentara, membantu tentara mengadakan pembersihan. Giarsolah yang menunjukkan siapa-siapa tokoh PKI, BTI, PR dan sebagainya di daerah itu. Sebagai bekas carik tentu saja dia hafal akan semua tokoh-tokoh itu. Akan tetapi yang mengejutkan orang adalah ditangkapnya Lurah Suwarso! Di dalam hatinya, Darmi maklum. Giarso membalas dendam! Akan tetapi, apa yang dapat ia katakan kalau tokoh-tokoh partai terlarang sudah mengaku bahwa pak Lurah adalah "orang"
Mereka pula? Dan siapa dapat membela kalau di dalam kamar pak Lurah di keLurahan, ketika Giarso dan para penyelidik rnelakukan pemeriksaan dan penggeledahan, ditemukan bendera Palu Arit atau buku-buku komunis? Pak Lurah Suwarso ditangkap dan entah dibawa ke mana, tidak seorangpun tahu.
Muncullah istifah-istilah klipuk (tewas) dan Sukabumi (dikubur) sebagai pengganti arti orang dibunuh. Dan ada yang mengabarkan bahwa pak Lurah telah klipuk, ada pula yang mengabarkan dibawa ke Nusakambangan, ada pula yang mengabarkan di-Sukabumikan dan sebagainya. Pendeknya, berita-berita yang membuat Darmi merasa gelisah sekali. Ia sudah mencoba untuk mencari keterangan, kalau boleh hendak mengirim makanan dan sebagainya, namun semua usahanya sia-sia dan akhirnya ia mundur sendiri karena salah-salah iapun akan dicurigai dan ditangkap. Kurang lebih sebulan lamanya dusun itu berada dalam kemelut. Penduduknya panik ketakutan, juga mereka yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itupun menjadi panik. Takut diculik dan dibunuh pemberontak, takut pula dicurigai dan ditangkap alat pemerintah!
Karena pak Lurah diamankan, demikian istilahnya untuk kata ditangkap, dan keLurahan kosong, maka diangkatlah seorang pejabat Lurah sementara dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Darmi ketika mendengar bahwa pejabat Lurah yang diangkat itu adalah Giarsol Bagi penduduk lain, hal ini diangap tidak aneh. Bukankah Giarso tadinya merupakan carik wakil Lurah yang paling cakap? Dan bukankah Giarso pula yang telah berjasa dalam operasi pembersihan di daerah itu? Wajarlah kalau dia yang diangkat menjadi pejabat Lurah. Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam, Darmi kedatangan tamu. Dan tamu itu, seperti tiga tahun yang lalu, datang sambil tersenyum-senyum dan memandangnya penuh gairah. Tamu itu adalah Giarso, atau sekarang Pak Lurah Giarso, bukan carik lagi, dan sama sekali bukan orang buangan dari dusun itu lagi.
"Akhirnya kita bertemu lagi di sini, jeng Darmi,"
Katanya begitu memasuki rumah itu.
"Silahkan duduk"""
Kata Darmi, suaranya gemetar dan ia memeluk Mimi, puterinya yang berusia tujuh tahun dan yang belum tahu apa-apa itu. Mimi hanya memandang kepada tamu ibunya itu dengan mata ingin tahu. Ia tidak mengenal orang ini. Giarso duduk dan menarik napas panjang.
"Tak kusangka bahwa Suwarso ternyata adalah seorang pengkhianat. Untung rahasianya ketahuan, kalau tidak tentu dia akan menjerumuskan seluruh dusun ke dalam neraka. Darmi tidak mengerti apa yang dimaksudkan Giarso. Yang ia ketahui hanyalah bahwa suaminya ditangkap dan menurut berita angin, suaminya adalah anggauta pemberontak. Yang ia ketahui hanyalah bahwa ketika suaminya ditangkap, Giarso berada bersama mereka yang menangkap suaminya, dan bahwa Giarso mendendam kepada suaminya. Maka kini iapun hanya menunduk saja.
"Jangan bersedih, jeng Darmi. Untung kau bahwa di sini masih ada aku, kalau tidak, tentu engkau akan ditangkap juga. Darmi mengangkat mukanya memandang. Mukanya pucat. akan tetapi thtak mengurangi kemanisan wajahnya,
''Apa""
Apa maksudmu, mas?"
Ia tidak melanjutkan sebutan mas itu dengan carik karena kini Giarso bukan lagi carik, juga ia merasa enggan untuk melanjutkannya dengan Lurah.
''Suwarso adalah seorang gembong pemberontak, dan ketika ditangkap dia berada di sini. Tentu engkau sudah ditangkap kalau tidak ada aku yang menanggungmu! Aku yang menanggung kepada mereka bahwa engkau tidak ikut-ikut. Maka engkau tidak ditangkap."
"Ahh".. begitukah""?"
Darmi tergagap karena memang ia merasa bingung."Kalau begitu terima kasih. mas."
"Ha-ha-ha, jeng Darmi. Tidak pertu berterima kasih. Hal itu sudah wajar karena aku""
Sampai sekarangpun aku musih cinta padamu. Tak perlu berterima kasih karena aku yakin engkau bukan seorang wanita yang tak tahu membalas budi."
Wajah itu semakin pucat. Debar jantungnya terdengar di telinga seperti bedug dipukul.
"Maksudmu""?"
Giarso tersenyum lebar sambil memandang kepada Mimi yang agaknya dapat merasakan bahwa ibunya sedang gelisah, sungguhpun anak itu tidak tahu apa ayang sedang mereka percakapkan itu. Akan tetapi Giarso tidak memperdulikan kehadiran anak itu dan dia berkata;
"Jangan mencoba untuk berpura-pura jeng. Aku cinta padamu dan malam ini aku akan tidur di sini"""
"Mas Giarso!"
Darmi terbelalak dan bangkit berdiri sehingga hampir saja Mimi terjatuh kalau tidak cepat-cepat dirangkul ibunya."Mas, jangan..., jangan begitu. Aku sedang prihatin". suamiku tangkap, bagaimana mungkin aku".., kasihanilah aku, mas, dan harap jangan ganggu aku"""
"Jeng Darmi, apakah engkau tidak tahu terima kasih?"
"Mas"". aku berterima kasih padamu, kusembah engkau".. tapi". aku adalah seorang isteri".. aku".. aku tidak mau mengkhianati suami yang sedang menderita".."
"Cukup semua ini!"
Tiba-tiba Giarso berkata dengan nada suara bengis."Tahukah engkau bahwa penolakanmu ini menghinaku? Tahukah kau siapa aku? Aku adalah pejabat Lurah di dusun ini, tahu? Dan sekali telunjukku menuding, engkau akan ditangkap, diciduk sebagai kaki tangan suamimu!"
"Ahh"", jangan, mas".."
"Pilih saja. Malam ini engkau mau melayaniku baik-baik atau sekarang juga kupanggil keamanan untuk menangkapmu!"
Darmi menangis. la hanya dapat menangis. Apa lagi yang dapat ia lakukan? Ia takut diciduk, bukan hanya takut menghadapi tahanan, melainkan terutama sekali mengkhawatirkan anaknya. Kalau ia diciduk, siapa yang akan menjaga Mimi? Dan iapun hanya dapat menangis, menangis dan merintih dalam batin ketika malam itu terpaksa ia melayani Giarso. Dan malam-malam berikutnya, dan malam-malam berikutnya. Ia tahu bahwa penduduk dusun tahu akan hal itu, tahu akan hubungannya dengan pak Lurah baru, dan para wanita mulai memandangnya dengan merendahkan.
Baru saja suaminya ditahan dan ia sudah berjina dengan laki-laki lain, demikian suara orang-orang. Dan ia merasa lebih rendah daripada ketika masih menjadi anak buah Bu Wiji. Akan tetapi, apa yang dapat ia lakukan? Ia hanya dapat menangis. Di dalam kemelut Gerakan 30 September 1965 memang banyak hal-hal aneh terjadi. Dan keanehan terjadi pula di dalam dusun itu. Baru setengah bulan lebih Giarso menjadi pejabat Lurah dan aktip menangkapi orang-orang di daerah itu membantu angkatan bersenjata, pada suatu malam dia sendiri ditangkap! Darmi sedang tidur nyenyak, kelelahan melayani Lurah baru ini ketika menjelang tengah malam, pintu rumah digedor orang. Ketika Giarso keluar, dia ditangkap oleh pasukan. Seperti ketika suaminya ditangkap tiga minggu yang lalu, Darmi hanya menggigil ketakutan.
Kemudian terdengar berita angin bahwa ternyata Giarso adalah seorang gembong pemberontak! Kiranya dia malah seorang penting yang berhasil menyusup dan menduduki jabatan Lurah sehingga dengan mudah dia dapat mengatur kawan-kawannya untuk melarikan diri, mempersiapkan pemberontakan lanjutan, dan menangkapi orang-orang yang sesungguhnya tidak bersalah, dan mengorbankan oknum-oknum yang hanya merupakan tokoh teri saja. Dan Darmi sudah tidak betah lagi tinggal di dusun itu. Semua orang, terutama wanitanya, memandang kepadanya dengan sinar mata menghina dan mengejek. Sedangkan semua pria memandang kepadanya dengan senyum kurang ajar, pandang mata dan sennyum pria yang menganggap bahwa wanita itu adalah seorang wanita yang mudah diajak. Darmi tidak tahan lagi dan pergilah ia meninggalkan dusun itu.
"Buuu"".., ibuuu""!"
"Eihh, kau kenapa, Mimi?"
Darmi merangkul anaknya dan membawanya memasuki pondok kecil itu. Lalu diajaknya anak itu duduk di dalam. la duduk di atas bangku dan Mimi menangis di atas pangkuannya.
"Kenapa, Mimi? Kenapa kau menangis? Apakah kau dimarahi ibu guru?"
Anak perempuan berusia delapan tahun itu menggeleng dan masih terus menangis. Darmi memandang kepala anaknya yang dibelainya itu dengan hati khawatir. Apa yang menyebabkan Mimi menangis? Anak itu biasanya kelihatan amat gembira dan menurut ibu guru Wartini, Mimi cukup pandai di kelas. Mimi tidak pernah berkelahi dan setiap hendak berangkat sekolah selalu nampak gembira, tanda bahwa anak itu suka bersekolah.
Akan tetapi kenapa sekarang pulang sambil menangis? Sudah hampir setahun Darmi tinggal di Tawangmangu, mondok di rumah mbah Karto, seorang jand tua yang hidup seorang diri dalam pondoknya yang kecil sederhana di belakang losmen di Tawangmangu. Mula-mula Darmi menumpang di rumah kecil itu, akan tetapi karena nenek itu sudah tua, akhirnya malah Darmi yang merawatnya. Mbah Karto seorang nenek tua yang baik hati dan amat sayang kepada Mimi dan Darmi. Mereka itu dianggapnya sebagai anak dan cucu sendiri. Memang nenek ini hidup seorang diri, tanpa keluarga dan tidak mempunyai sanak kadang. Pondok reyot itu dibiayai oleh Darmi, menjadi rumah sederhana yang lumayan dan patut ditinggali, bahkan ia membeli perabot-perabot rumah sederhana sehingga mereka dapat tinggal di sebuah rumah yang patut.
"Katakanlah, anakku, kenapa kau menangis? Apakah ada temanmu yang nakal?"
Anak itu mengangguk dan mengangkat mukanya, memandang kepada wajah ibunya dengan muka basah air mata lalu mengangguk. Darmi tersenyum dan mencium pipi anaknya sambil menghapus air mata itu.
"Ah, kalau ada teman nakal tentu karena engkaupun nakal, Mimi."
"Tidak, ibu, aku tidak nakal. Mereka bilang, ibulah yang nakal"".."
"Eh? Ibu yang nakal?"
Darmi bertanya sambil tersenyum lebar, merasa heran.
"Ya, mereka bilang ibu adalah perempuan nakal, kata mereka bahwa ibu adalah seorang lonte""
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak tahu apa yang mereka maksudkan""."
Anak itu tidak tahu betapa wajah ibunya menjadi merah sekali. Darmi merasa betapa jantungnya, perih seperti ditusuk. Akan tetapi ia menguasai hatinya dan merangkul anaknya. Belum pernah ia merasa sakit hati disebut lonte. Sebutan itu sudah biasa ia dengar, ketika masih di runtah Bu Wiji dahulu. Sebutan itu berhenti dikeluarkan orang selama tiga tahun, selama ia menjadi isteri pak Lurah. Dan sekarang mulai keluar lagi dari mulut orang-orang dan ia tidak akan perduli. Akan tetapi kini yang diserang adalah anaknya! Mimi menangis karena mendengar ibunya disebut pelacur! Inilah yang membuat hatinya seperti tertusuk rasanya. Dan ia tidak dapat menyangkal. Memang ia lonte, memang ia pelacur.
Akan tetapi, apa yang dapat dilakukannya untuk memelihara memberinya pakaian yang layak, untuk membiayai kehidupan mereka berdua, kini bertiga malah bersama mbah Karto, untuk membiayai sekolah Mimi? Memang ia menerima panggilan, akan tetapi tidak seperti ketika ia menjadi anak buah Bu Wiji dahulu. Tidak, ia kini menerima panggilan kadang-kadang saja, asal mendapatkan uang dan cukup untuk membiayai hidup. Seminggu dua kali paling banyak. Itupun bukan sembarangan. Hanya satu hotel besar di Tawangmangu yang menjadi langganannya. Hanya seorang saja pelayan hotel itu yang biasa memanggilnya kalau ada tamu yang berani membayarnya. Tarip yang dipasangnya untuk dirinya adalah lima ratus rupiah semalam. Telah terjadi perobahan besar pada nilai rupiah semenjak ia tinggal bersama Bu Wiji sampai sekarang.
Ketika ia tinggal di rumah Bu Wiji, sekitatar 1958, harga-harga masih murah, nilai rupiah masih tinggi. Seorang gadis panggilan hanya menerima uang dua ratus rupiah semalam. Kemudian, nilai rupiah makin merosot dan harga-harga melambung begitu tingginya sehingga ketika peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus, harga-harga barang telah naik menjadi seratus kali lipat! Bahkan lebih dari seratus kali! Kemudian pada awal tahun 1966 turunlah keputusan pemerintah, yaitu merobah nilah rupiah yang sedang beredar. Uang sedbu rupiah berlaku hanya untuk satu rupiah saja! Pada hari-hari pertama bulan pertama tahun 1966 itu, rupiah amatlah bernilai. Uang serupiah sudah banyak! Namun, bulan demi bulan nilainya makin merosot, harga-harga barang makin melambung tinggi sehingga lewat pertengahan tahun saja harga-harga sudah naik lagi se puluh kali dibandingkan harga-harga pada awal tahun itu.
Kini, pada akhir tahun 1966, harga-harga sudah mencapai tingkat yang dua kali lipat dari harga tahun 1958 ketika ia masih tinggal bersarna Bu Wiji. Karena itulah maka taripnya juga dua kali lipat dibanding dahulu. Lima ratus rupiah semalam! Dengan tarip sekian itu, kalau seminggu ia melayani tamu dua kali, barulah tiba untuk rnembiayai segala keperluannya bersama Mimi dan mbah Karto. Bahkan kadang-kadang ia harus melakukannya tiga kali seminggu kalau ada pengeluaran-pengeluaran tambahan, misalnya kalau anaknya atau mbah Karto atau ia sendiri sakit dan perlu membayar dokter dan membeli obat. Darmi menarik napas panjang, bukan karena duka melainkan untuk menghapus rasa perih di hatinya yang timbul karena laporan anaknya, karena kini ia merasa betapa anaknya yang terkena getahnya.
Anak yang tidak berdosa, namun yang sejak lahir bergelimang dalam keadaan-keadaan yang oleh umum dinamakanan dosa. Mimi terlahir dari hubungan gelap antaraa ia dan Dedi, hubungan di luar nikah. Itu saja sudah cukup untuk menamakan anaknya itu sebagai anak haram. Kemudian, keadaan yang memaksanya menjadi pelacur, hal inipun merupakan lumpur yang menodai anak itu sebagai anak pelacur! Dan semua ini adalah karena Dedi! Kalau Dedi tidak memasuki kamarnya, tidak akan terjadi semua ini. Ia tidak akan keluar dari pekerjaannya pada keluarga Danumiharja di Jakarta, ia tidak akan terlunta-lunta dan menjadi gadis panggilan, kemudian menjadi isteri muda Lurah Suwarso, dan peristiwa yang menyakitkan hati dengan Giarso itu, dan sekarang, menjadi pelacur amatir di Tawangmangul
"Ibu"", kalau masih ada ayah, tentu mereka tidak berani menghina kita""."
Ucapan Mimi itu masih mengandung isak sisa tangis dan kembali Darmi merasa ulu hatinya tertikam.
"Ibu, bagaimanakah ayah begitu cepat mati? Ah, bagaimana rupa ayah""?"
Suara Mimi mengandung kerinduan yang amat besar. Memang sejak anak itu dapat menanyakan bapaknya, Darmi menjawab singkat bahwa ayahnya telah mati! Kini, anak itu sudah cukup besar, sudah delapan tahun usianya, kiranya patut untuk diberi tahu akan rahasia itu.
"Dengarlah baik-baik, anakku. Sebetulnya, aku sendiri tidak tahu apakah ayahmu itu masih hidup atau sudah mati."
"Oh, jadi dia belum mati, ibu?"
Wajah yang masih basah air itu nampak berseri, sinar penuh harap ditujukan kepada wajah ibunya. Darmi menggeleng kepala dengan sedih.
"Aku tidak tahu, Mimi. Sebelum engkau terlahir, ayahmu telah meninggalkan aku".. entah sekarang berada di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati, aku tidak tahu"""
"Ibu, apakah ayah mencinta ibu?"
Darmi tersenyum. Cinta bagi seorang anak kecil tentu saja merupakan cinta yang semurni-murninya, bukan cinta penuh nafsu berahi seperti cinta orang tua, atau kalau bukan berahi tentu juga pamrih lain yang berkedok cinta, pamrih yang menyenangkan diri pribadi. Akan tetapi ia mengangguk tanpa membohongi hati sendiri. Di dasar hatinya, ia yakin bahwa Dedi mencintanya seperti ia mencinta Dedi.
"Dia mencinta ibumu. Mimi, juga ibu""
Amat mencintanya"""
"Tapi kenapa dia meninggalkan ibu, meninggalkan kita?"
"Mimi, dahulu ayahmu adalah seorang mahasiswa, putera satu keluarga yang kaya dan tinggi kedudukannya, kabarnya keluarga di Solo akan tetapi aku tidak tahu siapa dan di mana. Ayahmu bukan orang sembarangan, bukan petani biasa. Dan ibumu ini"". dahulu ketika bertemu dengan ayahmu, hanyalah seorang pelayan, seorang babu. Karena itu kami tidak mungkin dapat menikah dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu"". ah, dia tidak tahu engkau akan terlahir, Mimi. Kalau dia tahu, aku yakin sekali, dia tentu tidak akan meninggalkan aku begiu saja. Aku percaya bahwa dia adalah pria yang terhormat dan bertanggung jawab...."
Darmi berhenti dan baru sadar bahwa ia telah mengeluarkan isi hatinya di depan anaknya yang tentu tidak mengerti benar apa arti semua kata-katanya itu. Dan memang semua ucapan itu hanya mempunyai kesan bagi Mimi bahwa ayahnya adalah seorang yang baik dan yang mungkin masih hidup. Maka wajah anak itu berseri gembira dan penuh harapan.
"Ibu, aku yakin bahwa ayah masih hidup. Dan aku yakin bahwa kelak tentu akan dapat bertemu dengan dia. Siapakah namanya, ibu?"
"Namanya Dedi"...."
"Dedi""?"
Mimi tersenyum."Bagus namanya, ya? Ah, dia tentu akan datang mencari kita, ibu. Ibu, bagaimana wajah ayah? Apakah ibu tidak mempunyai potretnya?"
Darmi menggeleng kepalanya. Potret Dedi sudah berukir dalam hatinya, dan baginya tidak membutuhkan potret lagi.
"Dia tampan, Mimi, tubuhnya tinggi langsing, kulitnya kuning seperti kulitmu, mata dan hidungnya seperti mata dan hidungmu"".."
Dan tiba-tiba Darmi tidak dapat menahan kesedihan hatinya karena kenangannya terhadap Dedi seperti dibongkar dan ia lalu merangkul anaknya, dan menciumi muka anaknya. Melihat ibunyatnenangis, Mimi merangkul ibunya.
"Jangan menangis, ibu. Ayah tentu akan datang mencari kita""."
Setelah tangisnya mereda, Darmi memaksa dirinya tersenyum dan mengangguk.
"Ya, Mi, dia tentu akan datang mencari kita."
"Tapi bagaimana dengan bapak, ibu?"
"Bapak"""?"
Darmi terkejut, baru teringat ia akan Pak Lurah Suwarso, ayah tiri Mimi yang juga selalu memperlihatkan kasih sayang kepada anak itu. Ketika itu, Mimi sudah terlalu besar, sudah berusia lima tahun lebih sehingga anak itu tahu bahwa pak Lurah itu bukan ayahnya. Dan iapun tidak mau membohonginya dan mengatakan terus terang bahwa ayahnya telah mati.
"Ya, bagaimana dengan bapak? Bukankah dia suami ibu?"
"Ohhh""
Aku tidak tahu, Mimi. Dia telah ditangkap dan kabarnya dia telah""
Telah tewas...."
Darmi merasa bingung sekali. Biarpun dia bukan merupakan pria yang dicintanya, namun harus diakuinya bahwa Suwarso adalah seorang suami dan ayah tiri yang amat baik.
(Lanjut ke Bagian 06)
Darah Daging (Drama/Non Cersil)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bagian 06
"Tidak, dik Timan, aku tidak pergi."
Darmi menjawab dengan suara tegas kepada pemuda berdiri di depan pintu pondoknya itu.
"Tapi, mbak Darmi".. sudah sebulan ini kau tidak pernah keluar""""
"Aku""
Aku sedang tidak enak badan"".."
"Tapi tamunya kali ini adalah seorang muda yang ganteng dan mewah, mbak. Dia datang dari Jakarta, mobil sedannya saja hebat dan mereka ada empat orang pemuda yang semuanya ganteng. Hanya yang seorang ini saja yang minta dipanggilkan""."
"Dik Timan, kau panggil saja lain wanita, aku sedang malas"""
"Ah, dia tidak akan mau, mbak."
"Kok aneh! Bagaimana dia bisa memilih aku?"
"Sore tadi ketika engkau lewat di depan hotel, kebetulan dia berada di depan bersamaku, mbak. Dan dia tanya-tanya tentang dirimu dan aku berterus terang."
"Ahh, katakan saja aku sedang sakit, dan panggilkan orang lain."
"Dia tidak mau. Dia tidak mau dipanggilkan pelacur-pelacur, dia mau yang seperti engkau ini, yang hanya kadang-kadang saja menerima panggilan, yang amatir""."
"Hemmm""!"
Darmi mengerutkan alisnya. Semenjak Mimi pulang sekolah menangis karena ibunya disebut lonte oleh teman sekolahnya, ia menahan diri dan tidak pernah mau melayani panggilan. Sudah sebulan ia bertahan. Selama ini, ia telah menabung, tabungan yang sedianya untuk keperluan Mimi kelak. Sudah lumayan juga hasil tabungannya selama ini, sebagai penambah simpanannya,
Yaitu barang-barang perhiasan yang pernah diterimanya dari pak lurah Suwarso, yang tak pernah diganggunya, melainkan disimpannya dengan hati-hati karena barang-barang perhiasan itu dianggapnya milik Mimi yang akan diberikan kelak kalau Mimi sudah dewasa. Maka, kalau hanya menganggur selama sebulan saja, ia tidak khawatir. Akan tetapi, kalau dilanjutkan menganggur terus tanpa ada penghasilan sama sekali, mana mungkin? Setahun dua tahun mungkin ia dapat berrtahan,makan dari uang tabungan, akan tetapi selanjutnya? Dan mbah Karto sendiri sudah merasa tidak enak hati melihat betapa selama sebulan ia tidak pernah mau melayani tamu, yang berarti tidak ada uang masuk. Nenek yang perasa itu kini sudah mulai lagi dengan pekerjaan lamanya, yaitu jadi tukang pijat, mengunjungi losmen-losmen menawarkan jasanya kepada para tamu yang kelelahan.
"Dan dia berjanji akan memberimu seribu rupiah, mbak"""
Seribu rupiah tidak sedikit. Dan selain uang itu, iapun mulai tertarik. Agaknya Timan maklum akan hal ini, maka untuk menghilangkan keraguan Darmi, dia menambahkan sambil tersenyum,
"Sungguh mati mbak. Dia itu gagah sekali, dan masih muda lagi ganteng bukan main, pendeknya kalau kau melihatnya, mbak, jangankan diberi seribu rupiah, biar tidak diberi apa-apapun akan mau."
"Hushh! Memang kau kira aku ini mata keranjang?"
Darmi menukas sambil tersenyum akan tetapi hatinya makin tertarik dan akhirnya iapun berganti pakaian. Mimi yang sudah lama tidak melihat ibunya berganti pakaian bagus dan pergi, segera bertanya,
"Ibu hendak pergi? Aku ikut!"
Mendengar suara anaknya, Darmi seperti diingatkan kembali dan wajahnya berobah agak pucat, kegairahannya lenyap kembali dan ia sudahh menoleh keluar, ingin memberitahukan kepada Timan bahwa ia tidak bisa pergi. Akan tetapi mbah Karto, yang memandang sambil tersenyum itu cepat berkata dan merangkul Mimi,
"Nduk, jangan rewel. Ibumu pergi mencarikan uang untukmu, dan kau belajar, biar kutemani."
Darmi meragu sehentar, kemudian pergi juga bersama Timan menuju ke hotel besar yang berada jalan simpangan itu. Tegang juga rasa hatinya oleh berita Timan tadi tentang tamu yang memanggilnya. Apa lagi sudah sebulan ia tidak pernah memenuhi panggilan, tidak pernah berdekatan dengan pria. Timan mengetuk pintu kamar itu.
"Buka dan masuklah, pintu tidak dikunci,"
Terdengar suara seorang laki-laki dari dalam. Timan mendorong pintu kamar dan mendorong pundak Darmi untuk masuk. Drmi melangkah masuk dan Timan menutupka kembali daun pintu.
Laki-laki itu masih muda, belum tiga puluh tahun memakai sarung Palekat dan baju kaos biru. Memang benar kata Timan. Laki-laki yang muda dan ganteng. Sebaliknya, pria itupun menatap Darmi penuh perhatian dan sepasang matanya bersinar, bibirnya di bawah kumis kumis tipis itu tersenyum puas. Seorang wanita yang manis sekali, dengan tubuh yang padat dan matang. Pakaian itu serasi benar, nampak luwes, model puteri Solo aseli. Rambutnya digelung manis dan dahinya agak nonong dan halus, wajahnya manis sekali bahkan kulitnya yang agak hitam itu penambah manis. Bukan Perempuan yang masih hijau melainkan seorang perempuan yang sudah matang. Yang paling menyenangkan hati pria itu adalah kenyataan bahwa Darmi memang manis menarik, aseli, bukan pulasan. Bibir manis itu hanya memakai lipstick tipis sekali, demikian pula bedaknya dan alisnya tidak dicukur.
"Duduklah."
Pria itu berkata, dalam bahasa Indonesia.
"Terima kasih,"
Jawab Darmi lalu duduklah ia di atas kursi di depan laki-laki itu.
"Siapa nama adik?"
"Darmi."
"Darmi? Nama yang bagus!"
Kata laki-laki itu sambil tersenyum dan Darmi ikuti tersenyum. Tahulah Darmi bahwa pria ini bukan orang Jawa, melainkan orang Sunda. Dari pengucapan huruf D ketika menyebut namanya tahu akan perbedaan Lidah Jawa menyebut huruf D untuk namanya itu dengan bunyi ringan seperti bunyi "th", akan tetapi lidah Sunda tidak dapat, mengeluarkan bunyi itu. Ia tahu pula bahwa aksara Jawa ada dua puluh huruf, sedangkan aksara Sunda hanya ada delapan belas, karena kurang dua, yaitu aksara "D"
Ringan dan ''T"
Keras.
Dan malam itu Darmi merasa gembira. Laki-laki muda dari Jakarta yang memanggilnya ini memang seorang laki-laki yang menyenangkan. Halus sikapnya, banyak kelakar, dan amat mesra, tidak memandang rendah kepadanya, bahkan tidak banyak menuntut dalam pelayanan. Kalau bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini, lupalah Darmi sejenak bahwa ia telah melakukan pekerjaan melacur, karena ia merasa seolah-olah ia sedang bermain cinta dengan seorang kekasih saja, bukan melayani pria asing. Dan pria itupun agaknya suka kepada wanita yang tidak banyak lagak ini, yang sederhana dan pendiam. Diam-diam pria itu merasa heran sendiri mengapa seorang wanita yang nampaknya "alim"
Ini menjadi seorang pelacur, walaupun amatir sekalipun. Akan tetapi, Darmi selalu mengelak dari pertanyaan-pertanyaan Rusli, demikian nama laki-laki muda dari Jakarta itu. Dia didesak terus oleh Rusli.
"Darmi, aku sungguh ingin sekali mendengar mengapa orang seperti engkau ini sampai mau melakukan pekerjaan seperti ini,"
Demikian Rusli mendesak terus. Darmi menarik napas panjang. Pertanyaan seperti ini sudah sering kali didengarnya dari mulut para pria, sejak ia menjadi gadis panggilan di Solo dahulu. Nampaknya saja para pria itu menaruh kasihan kepadanya, seperti juga kepada para pelacur lainnya dan sebagian besar para pria memperlihatkan kebaikan hatinya dengan pertanyaan-pertanyaan macam itu. Akan tetapi pada akhirnya. mereka itupun bukan lain hanya ingin memuaskan nafsu berahi mereka belaka. Mereka ingin dipuaskan, membayar, lalu pergi dan iapun dilupakan sudah!
Atau kalau tidak dilupakan, tentu ada sesuatu yang menyenangkan hati pria itu, dan dia akan datang lagi beberapa kali sampai akhirnya dia menjadi bosan dan meninggalkan, melupakannya! Karena itu, ia tidak mau menjawab pertanyaan Rusli ini, hanya tersenyum saja. Dan Ruslipun tidak mendesak lagi akhirnya, karena memang bukan itulah kebutuhan utamanya dia memanggil wanita ini. Betapapun juga, Rusli merasa suka sekali kepada Darmi dan minta wanita itu menemaninya sampai semalam suntuk. Pada keesokan paginya, Darmi sudah lebih dulu bangun. Rusli masih tidur nyenyak dan jam di atas, yaitu jam tangan Rusli telah menunjukkan pukul lima pagi. Darmi segera mencuci muka di meja cuci, mengambil bedak dari tas tangannya, berbedak sekadarnya dan berpakaian, bersisir. Sebentar saja ia sudah selesai. Ia duduk di tepi pembaringan, mengguncang pundak Rusli perlahan.
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo