Ceritasilat Novel Online

Darah Daging 6


Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Pap, malam ini sudah malam ke tiga, tidak boleh. Kita harus menanti"".."

   "Tapi, dua malam ini engkau berhalangan, Mam. Hayolah""""

   "Tidak, Pap. Aku tidak berani, takut jadi."

   "Mam, aku adalah suamimu, aku adalah seorang laki-laki yang sehat yang mempunyai gairah berahi, yang dapat menderita dahaga"".. kenapa engkau begini kejam? Apakah engkau tidak lagi mencintaiku, Mam?"

   Widayani menjadi marah.

   "Pap, jangan hendak menang sendiri saja. Apa engkau mengira aku ini hanya tempat engkau memuaskan dahaga berahimu saja? Enak saja engkau memuaskan berahi, sedangkan kalau sampai jadi, aku yang akan mengandung, menderita selama sembilan bulan, kemudian melahirkan dengan taruhan nyawa!"

   "Tapi"". tapi itu memang sudah menjadi kewajiban seorang isteri seorang wanita! Mam, engkau tak dapat menentang kehendak alam. Seorang wanita memang dilahirkan untuk menjadi ibu. Dan hubungan antara kita, suami isteri yang saling mencinta, tidak mungkin dilanjutkan begini saja. Aku adalah seorang laki-laki muda dan normal, bergairah. Lalu bagaimana aku harus menyalurkan gairah seks ku?"

   "Cari saja tempat penyaluran lain!"

   "Begitukah? Engkau menganjurkan aku bermain cinta dengan wanita lain? Mam, engkau tahu, selama aku menjadi suamimu, aku tidak pernah bermain gila dengan wanita lain. Apa lagi berjina, menengokpun tidak. Engkaulah satu-satunya wanita bagiku. Dan engkaulah isteriku yang sah, bahkan lebih dari itu. Engkaulah ibu dari anakku. Tapi engkau"". engkau menolak gairah cintaku. dan menganjurkan aku berjina dengan wanita lain!"

   "Habis, engkau mendesakku, sih. Engkau menyudutkan, engkau mau menang sendiri saja. Sudah kukatakan bahwa sebaiknya engkau menjalani vasectomi, tapi. engkau menolak."

   Suara Widayani mengandung isak dan kalau sudah begini, kembali Dedi yang kalah. Dia menarik napas panjang, lalu merangkul isterinya, menciumnya lembut, ciuman tanpa berahi, ciuman menghibur. Ketika berdebat tadi, dia memang sudah pindah ke atas pembaringan isterinya, untuk membujuknya.

   "Maafkan aku, Mam. Aku bukan mendesak atau memaksa, hanya minta pengertianmu."

   "Dan aku sudah memberi alasan-alasanku. Hubungan seks haruslah terjadi karena keinginan kedua fihak, bukan? Nah, kalau aku selalu ketakutan, khawatir kalau-kalau sampai hubungan itu membuatku hamil, mana mungkin ada gairah dari fihakku? Kenapa engkau tidak mau vasectomi saja, Pap?"

   Widayani balas merangkul dan mencium pipi suamiya. Dan kalau sudah begini, terasa benar oleh Dedi bahwa isterinya bukanlah seorang wanita yang dingin atau yang sudah mati gairah seksnya. Juga terasa benar olehnya bahwa isterinya itu masih mencintainya.

   "Entahlah, Mam. Tapi aku tidak suka menjalani vasectomi."

   Tiba-tiba dia teringat akan berita tentang India dan hendak dipergunakan berita itu untuk berkelakar, untuk memecahkan suasana tak enak itu.

   "Tahukah engkau bahwa nyonya Indira Gandi kalah dalam pemilihan umum karena vasectomi?"

   "Ah, bohong!"

   "Baca saja surat kabar pekan lalu. Satu di antara hal yang membuat Indira Gandi tidak dipakai dan kehilangan popularitasnya adalah karena dalam masa jayanya, ia menganjur-anjurkan vasectomi bahkan setengah memaksa kau m pria melakukannya, di samping adanya hadiah-hadiah untuk membujuk mereka. Nah, jangan kau tiru Indira Gandi itu!"

   Dedi tertawa dan isterinyapun ikut tertawa. Kalau sudah begitu, keadaan mereka menjadi begitu normal, seolah-olah tidak pernah ada apa-apa di antara mereka.

   "Pap"""."

   "Hemm"""

   Kau mau, sayang?"

   "Hushh, jangan coba membujuk rayu, tidak ada gunanya. Begini, Pap. Jangan mengira bahwa aku pun tidak menderita oleh hubungan antara kita macam ini. Kuminta padamu, Pap, engkau pakailah kondom. Dan aku"""

   Aku akan melayanimu setiap saat engkau menghendakinya. Oke?"

   Dedi menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin aku dapat melakukannya, Mam. Gairahku akan lenyap dan mungkin aku bisa menjadi impoten kalau harus memakai kondom. Engkau adalah isteriku""."

   "Alasan kuno! Engkau memang mau menang sendiri saja. Kenapa laki-laki hanya ingin enaknya sendiri saja? Kalau begitu, akupun tidak mau!"

   Dan isterinya lalu membalikkan tubuh membelakanginya, marah. Demikianlah keadaan mereka. Dedi menyalakan sebatang rokok lagi. Sudah dua batang habis diisapnya sejak dia duduk di atas kursi pagi itu. Malas untuk pergi mandi. Kini usianya sudah empat puluh enam tahun. Tapi kenapa gairah seksnya selama beberapa tahun akhir-akhir ini malah meningkat? Benarkah kata beberapa buah buku yang dibacanya bahwa ada masa rnuda ke dua? Akhir-akhir ini dia semakin menderita karena batasan-batasan yang dilakukan isterinya. Suara deru mesin mobil terdengar dari arah garasi. Dedi tidak bangkit dari kursinya. Dia tahu bahwa itu suara mobil mereka yang dihidupkan mesinnya oleh Widayani.

   Memang setiap hari Minggu, mobil itu bukan menjadi haknya lagi, sedikitnya sampai sore. Widayani atau Joni yang berhak, akan lebih sering lagi dipakai Widayani. Berbelanja. Atau ke Women's Club, yaitu perkumpulan kau m wanita dari segala bangsa, karenanya memakai nama Inggeris, yaitu Modern Women's Club. Atau kadang-kadang berkumpul dengan para ibu dengan istilah populer: Arisan. Baik arisan, atau sekedar berkumpul antara wanita untuk bertukar gossip-gossip baru, yang jelas, pada hari Minggu mobil mereka tak pernah dapat dia pergunakan sendiri. Karena itu, dia membeli sebuah sepeda motor Yamaha. Akan tetapi, segera Joni yang menyita sepeda motor itu. Tadipun anak itu sudah membawa sepeda motor tanpa minta perkenan darinya. Anak itu memang serba bisa. Tidak pernah diajari, akan tetapi dalam usia enambelas tahun sudah pandai mengemudi mobil dan sepeda motor.

   Tukang ngebut lagi! Sudah capek dia mengomeli, memarahi. Joni sudah kebal akan omelan. Bahkan pandai membantah, pandai bicara seperti ibunya. Juga ibunya tidak berdaya terhadapnya. Karena itu, agar tidak menjadi kesal dan marah sendiri, segala permintaannya dituruti belaka oleh Dedi dan Widayani. Anak itu besar di luar. Mempunyai dunia sendiri, di antara kawan-kawannya. Sekolahnya tidak maju. Usia enam belas tahun masih duduk di SMP kelas satu. Suara roda-roda mobil di atas kerikil membuat Dedi mengangkat muka memandang. Isterinya mengeluarkan mobil dari garasi. Pak Gito membukakan pintu garasi dan pelayan tua itu berdiri di pinggir pintu garasi yang terbuka, memegangi daun pintu. Suara ban menghimpit makin kerikil makin keras ketika mobil berhenti di depan pintu rumah.

   "Pap""!"

   Dedi bangkit dari kursinya. Memang Widayani selalu bersikap biasa di waktu paginya, seolah-olah semalam tidak pernah terjadi sesuatu. Dan ini makin menyakitkan hatinya. Seolah-olah bagi isterinya itu, penderitaannya sebagai seorang suami tidak ada artinya. Diremehkan saja. Suaranya masih begitu gembira ketika memanggilnya, dan mengandung kemanjaan, mengandung kemesraan yang dibuat-buat.

   "Hemmm""?"

   Dia menjawab, melangkah ke jendela dan menjenguk keluar. Isterinya, seperti biasa pada hari Minggu, berpakaian indah dan rapi. Make-up mukanya agak menyolok, lipstick itu agak terlalu merah. Akan tetapi tidak Mengurangi kecantikan wajah itu. Isterinya memang cantik, dan usia tiga puluh sembilan tahun belumlah tua benar bagi wanita. Bahkan menambah kematangannya. Siapa dapat mengira bahwa isterinya yang begini molek hampir tidak pernah melayaninya di tempat tidur?

   "Aku mungkin pulang sore, Pap. Ada acara rekreasi ke Bogor dengan auggauta Women's Club. Membawa tamu, dari Amerika ke Kebun Raya Bogor."

   Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah pergi berdua bersama isterinya atau bertiga dengan Joni keluar kota.

   "Baiklah,"

   Jawabnya tak acuh.

   "Suruh. Pak Gito membeli masakan ke restoran saja, ya?"

   "Oke."

   "Nah, aku pergi, Pap. Bye""..!"

   "Bye"".!"

   Mobil meluncur keluar dan Dedi menuju ke kamar mandi.

   Dedi sedang makan siang ketika Joni pulang. Dia makan menghadapi meja makan dengan nasi dan beberapa masakan yang disuruhnya beli ke restoran. Hanya si Yem, pelayan yang gendut berhidung pesek dan berkulit hitam itu melayaninya, dengan sikap membongkok-bongkok dan menghormat, seperti juga sikap Pak Gito kepadanya. Memang dua orang pelayan itu diambilnya dari daerah Solo. Hati yang mengkal membuat masakan apapun terasa tidak sedap.

   Apa lagi mendengar derum Yamaha Joni, mengingatkan dia betapa karena Yamaha itu dipakai Joni maka dia tidak dapat pergi bermain billiard bersama teman-temannya. Joni selalu membuat bising. Demikian pula ketika pemuda remaja itu memasuki kamar makan, tersaruk-saruk dan bising. Rambutnya yang gondrong awut-awutan. Memang tampan anaknya ini, berwajah seperti ibunya, manis. Akan tetapi sinar matanya keras dan wataknya pemberontak. Kadang-kadang sikapnya masih seperti kanak-kanak, akan tetapi ada sesuatu di balik sikap itu yang kadang-kadang mencemaskan hati Dedi. Anak itu seperti sudah mengerti segala-galanya dan sudah matang, di balik sifat kekanak-kanakannya.

   "Sreeekkk"".!"

   Ditariknya sebuah kursi makan yang paling jauh dari ayahnya.

   "Yeeemmmm"".!"

   Teriaknya.

   "Piringgg"".!!"

   "Baik, dennn""!"

   Terdengar jawaban dari belakang.

   "Cepaaattt"..! Aku sudah lapar"".!!"

   Dedi meletakkan sendoknya di atas piring.

   "Kalau ingin cepat, kenapa tidak ambil saja sendiri? Tempat piring kan dekat, si Yem berada di belakang."

   "Ah, aku lelah, pa."

   "Lelah, kalau setengah hari berkeliaran tidak lelah, mengambil piring sejauh beberapa meter saja bilang lelah."

   "Kenapa Papa mengomel? Apa artinya punya babu kalau tidak disuruh? Kalau tidak punya babu, tentu aku ambil sendiri!"

   Dedi hendak membentak, akan tetapi melihat pelayan, dia menahan hatinya dan melanjutkan makannya. Karena teguran ayahnya, Joni bersikap tak senang, mengambil nasi sambil marah-marah.

   "Mana sayur? Kenapa masakan-masakan Cina melulu?"

   Bentaknya sambil menoleh kepada Si Yem.

   "Hari ini tidak masak, den Joni. Ndoro puteri tindakan (bepergian), tidak masak, hanya membeli di restoran tadi oleh Pak Gito."

   Setelah si Yem pergi, Dedi tak dapat lagi menahan hatinya.

   "Joni, bagus, ya! Engkau sejak pagi memakai motor Papa, pergi berkeliaran ngelayap ke mana sampai lewat tengahari baru pulang? Datang-datang marah-marah lagi!"

   Mulut itu cemberut, akan tetapi Joni tidak hentikan makannya. Sambil mengunyah makanan, dia mengomel,

   "Ah, Papa selalu mengomel, cerewet benar! Kalau Mama pergi sejak pagi sampai sekarang belum pulang, membawa mobil, Papa diam saja. Kalau aku pergi pakai motor sebentar saja, Papa sudah marah-marah!"

   "Mamamu pergi untuk keperluan perkumpulan! Tidak seperti engkau yang hanya ngelayap dengan teman-teman, main kebut-kebutan. Kalau motor itu atau tabrakan, baru tahu rasa kau !"

   Aneh, setiap ali berdebatan dengan Joni, Dedi merasa seolah-olah dia berhadapan dengan Widayani yang selalu pandai berdebat dan tidak mau kalah. Hanya bedanya, kalau terhadap isterinya dia selalu mengalah, terhadap puteranya ini dia seperti hendak menumpahkan semua kekecewaan dan kejengkelan hatinya. Joni makan dengan cepat dan sebelum menjawab, dia menghabiskan dulu nasi dan lauknya. Lalu dia minum air es yang tadi disediakan oleh si Yem. Baru dia memandang kepada ayahnya. Agaknya dia membutuhkan waktu untuk mengeluarkan isi hatinya, ragu-ragu oleh sesuatu.

   "Mengapa engkau memandangku dengan mata melotot seperti itu? Anak bagus engkau, ya? Begitukah pendidikan di sekolahmu? Tidak sopan terhadap orang tua, berani mencela Papa dan mama."

   "Habis, Papa selalu mengomeliku tapi tidak berani terhadap Mama sih! Papa bodoh dan dipermainkan oleh mama, sehingga tadi aku menjadi bahan ejekan teman-teman, sungguh aku hampir mati karena malu!"

   Sepasang mata Dedi terbelalak memandang wajah anaknya dah dia bangkit dari kursinya.

   "Apa""? Apa katamu""? Apa maksudmu""?"

   Jantungnya berdebar karena marahnya, marah dan heran dia melihat keberanian anak itu.

   "Tahukah Papa ke mana perginya Mama pagi hari tadi dan sampai sekarang belum pulang?"

   "Tentu saja""."

   Ada keraguan dalam ini.

   "Ia".. pergi ke Bogor berasama anggauta perkumpulannya".."

   "Begitukah? Memang Mama naik mobil ke Bogor dan lebih jauh lagi. Akan tetapi bukan bersama wanita-wanita perkumpulannya melainkan dengan seorang laki-laki muda yang ganteng!"

   "Joni""!!"

   Dedi membentak dengan muka pucat.

   "Jangan kurang ajar engkau! Mamamu tentu ada alasan naik mobil bersama seorang pria, mungkin anak dari temannya, untuk menjemput seorang teman dan sebagainya"""."

   Wajah itu kini bukan seperti wajah kanak-kanak lagi. Sepasang mata itu demikian tajam penuh pe-ngertian dan seakan-akan hendak menusuk jantung Dedi.

   "Papa mau tahu yang sebenarnya? Benar kata teman-temanku. Mama telah menjadi tante girang, bersama seorang gigolonya pergi melancong, dan Papa menjadi suami bodoh yang dipermainkan, tinggal di rumah mengomeli anaknya!"

   "Bajingan kamu!"

   Dedi melangkahi kursi dan mengayun tangannya.

   "Plakkk!"

   Pipi Joni ditamparnya keras-keras sehingga anak itu terpelanting dan terhuyung. Dedi mengejar dan kini kemarahannya memuncak, tangan kanannya dikepal dan tinjunya melayang.

   "Dukk"".!"

   Joni telah menangkisnya! Dan pemuda remaja menyeringai sambil melangkah mundur dan mengelus pipinya yang merah.

   "Jangan Papa memukulku lagi. Aku bukan takut melainkan tidak mau melawan Papa. Jangan Papa mendesakku! Dan aku tidak berbohong! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Tadipun aku marah kepada teman-teman, Lalu mereka yang mengajak aku membayangi mama. Papa tahu ke mana perginya Mama dan gigolo itu? Bukan ke Bogor, melainkan ke Cipayung dan mereka berdua memasuki sebuah bungalow sewaan. Nah, aku memberitahu Papa karena tidak ingin Papa dipermainkan terus, dan Papa malah memukulku. Bagus!"

   Joni terisak lari keluar dari kamar makan, membiarkan Dedi berdiri dengan muka pucat dan dada bergelombang.

   Agar tidak sampai ketahuan oleh para pelayan, Dedi cepat memasuki kamarnya ketika dia mendengar derum motor anaknya yang sudah keluar lagi. Dia duduk di atas pembaringan, termangu-mangu, dadanya masih bergelombang penuh kemarahan. Marah kepada Joni. Kepada Joni? Ataukah kepada Widayani? Marah karena cemburu. Widayani pergi bersama seorang pemuda gigolo? Bermain gila dengan pria itu di sebuah Bungalow sewaan?

   "Tidak mungkin!"

   Dedi meninju telapak tangan kirinya sendiri sambil menggeleng-geleng kepalanya. Isterinya begitu takut akan hamil. Sedangkan dengan suaminya sendiripun takut melakukan hubungan seks, takut kalau menjadi hamil. Mana mungkin bermain gila, bermain cinta dengan pria lain? Anak kurang ajar itu perlu dihajar! Tentu membohong! Atau salah lihat. Tak mungkin Widayani berjina dengan pria lain, bukan tidak mau, melainkan tidak berani, takut hamil.

   "Sama sekali tidak mungkin! Aku tidak dapat percaya!"

   Dengan keyakinan ini, kemarahannya mereda. Betapapun juga, Dedi menjadi gelisah dan akhirnya dia tertidur di dalam kamarnya. Kedukaan memang membuat tubuh menjadi lemas dan satu-satunya jalan keluar untuk memulihkan ketenangan adalah tidur. Dia terjaga ketika mendengar suara di kamar. Dia membuka mata dan segera bangkit ketika melihat isterinya memasuki kamar. Segera dia teringat akann cerita Joni dan dipandangnya wajah isterinya. Make-upnya masih segar seperti tadi. Terlalu segar malah, mengingat bahwa isterinya pergi sejak pagi sore.

   "Kau baru pulang?"

   "Ya, wahh".. aku lelah sekali, putar-putar di Kebun Raya".."

   Widayani melempar tas tangan ke atas meja toilet. Memang ia nampak lelah.

   "Ke mana saja engkau pergi? Dengan siapa?"

   Pertanyaan yang dikeluarkan dengan nada serius dan cepat itu membuat Widayani menengok dan menatap wajah suaminya. Belum pernah suaminya begitu tertarik akan urusannya dan mengajukan pertanyaan yang bernada menyelidik itu.

   "Dengan teman-teman, para ibu dan para tamu Amerika tentu""."

   "Lalu mengapa ke Cipayung bersama seorang pria muda?"

   "Ehhh""?"

   Wanita itu nampak terkejut bukan main, sepasang matanya terbelalak dan wajahnya berobah pucat. Akan tetapi, cepat pula Widayani sudah dapat menguasai hatinya dan muka itu berobah merah, sepasang matanya membayangkan kemarahan.

   "Pap, apa artinya perkataanmu itu? Engkau".. engkau menuduhku"..?"

   Suaranya setengah marah, setengah memelas dan keyakinan hati Dedi yang tadi bahwa tidak mungkin isterinya menyeleweng dengan pria lain, menjadi kuat lagi. Dia mengangkat tangan kanan dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa dia tidak menuduh yang bukan-bukan.

   "Seorang kawanku tadi lewat dan mampir, dia mengatakan bahwa dia bersua dengan mobilmu di tengah jalan, di Cipayung dan""

   Katanya mobil itu berisi engkau dan seorang pria muda, memasuki sebuah bungalow""""

   Wajah isterinya masih pucat, akan tetapi tiba-tiba isterinya tertawa.

   "Aduuuh, sampai kaget aku! Memang benar, Pap. Aku pergi menjemput Mrs. White, pemimpin rombongan tamu Amerika yang bermalam di Cipayung. Dan pria itu""., dia itu Suhirman, keponakan dari Ibu Mariam ketua perkumpulan kami. Dik Suhirman mengantarku karena aku belum tahu tempatnya".. dan kebetulan saja semua mobil sedang dipakai, mobilku yang baru datang itu satu-satunya yang dapat dipergunakan, dan aku suka membantu""

   Nah, begitulah!"

   Dedi mengangguk-angguk, hatinya terasa lega. Joni tidak berbohong. Memang benar melihat ibunya bermobil dengan seorang pria muda. Tentu saja teman-temannya, gerombolan pemuda-pemuda urakan itu, segera menjatuhkan dugaan yang bukan-bukan tanpa bertanya atau menyelidiki lebih dulu. Dan juga isterinya tidak berbohong. Dia merasa lega bahwa isterinya tidak menyangkal, dan ini hanya membuktikan bahwa isterinya memang tidak bersalah. Kalau hanya naik mobil berdua saja dengan seorang pria muda, hal itu adalah wajar bagi seorang wanita modern seperti isterinya. Dan diapun seorang suami yang berpikiran modern, tidak mudah dimakan cemburu.

   "Ah, aku merasa panas sekali, aku mau mandi dulu!"

   Widayani tidak menanti jawaban sugminya, segera membuka almari, mengeluarkan pakaian dalam baru, lalu nampak tergesa-gesa memasuki kamar mandi yang berada di samping kamar. Dahulu, isterinya tidak perrnah membawa pengganti pakaian kalau mandi, langsung saja masuk kamar dan setelah selesai masuk saja ke kamar dengan telanjang bulat, hanya ditutupi handuk besar. Kini, bahkan sudah sejak lama sekali, hal itu tidak dilakukannya. Isterinya selalu keluar dari kamar mandi selesai berpakaian, setidaknya berpakaian dalam. Dedi masih duduk termenung sejenak lamanya setelah isterinya memasuki kamar mandi.

   Suara siraman air menyadarkannya dari lamunan. Tak sengaja pandang matanya bertemu dengan tas isterinya yang terbuat dari kulit kanguru itu. Sebuah tas tangan yang indah. Entah apa yang mendorongnya untuk bangkit berdiri dan mengambil tas itu. Tiba-tiba saja ada keinginan hatinya untuk melakukan hal ini. Dibukanya tas itu. Terisi uang, alat-alat make-up, ballpoint dan buku kecil. Akan tetapi yang menarik hatinya adalah sebuah doos segi empat yang kecil mungil. Dia pernah melihat doos macam ini. Entah di mana. Tapi doos seperti ini tidak asing baginya, walaupun jarang dia melihatnya. Diambilnya doos itu. Dibukanya. Di dalamnya terdapat benda-benda gepeng dari karet yang dibungkus plastik satu-satu. Kondom! Ingat dia sekarang. Ini adalah doos kondom buatan Jepang, yang terbagus dan termahal. Ada empat bungkus.

   Dimasukkannya kembali doos kecil itu ke dalam tas isterinya dan setelah mengembalikan tas itu ke atas toilet, diapun duduk lagi di atas pembaringan. Seperti tadi. Termenung. Mengapa isterinya membawa-bawa satu doos kondom di dalam tas tangannya? Sungguh aneh sekali. Pergi menjemput tamu asing dan menemani para tamu berekreasi ke Kebun Raya Bogor membawa-bawa kondom? Apa artinya ini? Jantungnya berdebar-debar, kepalanya penuh pertanyaan-pertanyaan yang menusuk-nusuk perasaan hatinya. Isterinya keluar dari kamar mandi. Wajahnya segar kemerahan, tidak pucat macam tadi. Tanpa make-up, yang sudah lenyap disiram air sabun, wajah itu nampak semakin manis. Isterinya memang cantik. Pakaian dalam yang tipis itu membayangkan bentuk tubuh sang masih padat. Pinggangnya masih ramping, payudaranya penuh, agaknya tak tertampung oleh beha yang tipis itu.

   "Engkau tidak mandi, Pap? Sudah hampir jam lima. Aku akan mempersiapkan makan malam. Bikin nasi goreng saja, ya Pap? Dan goreng telur? Sisa masakan siang tadi dipanaskan".."

   Akan tetapi ia berhenti bicara dan memandang suaminya yang tiba-tiba menoleh ke arah tas tangan, kemudian memandang kepadanya dengan sinar mata aneh itu.

   "Mam"""

   Suara Dedi terdengar aneh dan agak gemetar.

   "Mam, katakanlah terus terang, apa maksudmu membawa-bawa kondom"""?"

   Wajah yang tadinya segar kemerahan itu tiba-tiba menjadi pucat dan suaranya tergagap,

   "Kon"".. kondom""".? Apa maksudmu"".?"

   Dedi tidak menjawab, bangkit dan menghampiri tas tangan, membukanya dan mengeluarkan doos kecil itu. Dilemparnya doos itu ke atas pembaringan.

   
Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
''Apa artinya doos kondom dalam tasmu ini, Mam?"

   Suaranya tenang namun mengandung desakan yang menuntut pengakuan. Widayani menghampirinya dan memeluk pundaknya.

   "Mas""".. Pap"". aku sengaja beli""., untukmu, Pap. kau pakailah itu, Pap"". ah, kenapa, engkau selalu menolak memakainya? Pap, aku""

   Aku ingin".. kau memakainya "

   Aneh. Sungguh aneh sekali. Jantung isterinya di balik dada yang merapat dengan dadanya itu berdebar-debar kencang. Benarkah isterinya membeli barang itu untuknya? Benarkah isterinya sengaja membelinya untuknya? Dia mengeleng kepala.

   "Maaf, Mam. Aku tidak bisa memakai itu."

   Isterinyapun merajuk, mengambil dus kecil itu dan melemparkannya keataS meja toilet.

   "Aku tahu! Engkau tentu akan menolak lagi. Percuma saja! Aku mau masak!"

   Dan dengan muka cemberut isterinya memakai house-coat, menyisir rambut sembarangan saja, lalu meninggalkan kamar. Dedi pergi mandi. Disiramnya kepalanya untuk mengusir kepeningan yang timbul oleh suara-suara dalam benaknya. Isterinya berbohong!

   Kondom macam itu dijual perdus yang isinya enam. Atau dapat juga dibeli setengahnya, isi tiga. Tapi dus itu isinya hanya empat. Sudah berkurang dua! Tapi, apa artinya ribut-ribut? Tanpa ribut-ributpun, pernikahannya telah gagal. Rumah tangganya telah retak. Kalau dia ribut-ribut, tentu akan membawa-bawa Joni pula yang telah membuka rahasia ibunya sendiri. Dan keretakan akan menghebat. Keluarganya akan pecah-belah. Dan apa kebaikannya? Apa kebaikannya ribut-ribut? Tidak ada gunanya, ah, tidak ada gunanya. Dan Dedi, atau Doktorandus Dedi Suroto, direktur perusahaan besar yang berwibawa itu, membenamkan kepalanya di bak mandi, sampai akhirnya pernapasan memaksanya mengeluarkan kepalanya kembali sambil megap-megap. Air bertitik turun dari rambutnya, dari matanya, bercampur dengan air matanya.

   (Lanjut ke Bagian 08)

   Darah Daging (Drama/Non Cersil)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 08

   "Pak, selamat sore, pak!"

   Dedi yang sedang duduk sendirian menghadapi sebotol bir, mengangguk lesu.

   "Sore, Bandi!"

   "Tidak main, pak? Mau main satu partai dengan saya?'' Biarpun sikap Subandi yang bekerja sebagai bawahannya itu terhadapnya cukup hormat, namun pergaulan mereka di luar kantor adalah seperti dua orang sahabat baik. Subandi adalah seorang sahabat lamanya, seorang Sunda yang lincah dan pandai bergaul, aktip pula dalam pekerjaan sebagai manager bagian Sales Promotion. Subandi inilah temannya bermain billiard hampir setiap hari Minggu. Sudah dua minggu dia tidak bermain billiard dan di kantor, Subandi bertanya kepadanya tentang hal itu dan dijawabnya bahwa dia sedang tidak enak badan.

   Dan sore hari ini, dia tidak tahan lagi tinggal di rumah lebih lama. Rumah menjadi seperti neraka sejak hari Minggu yang lalu. Dan di sinipun, di tempat billiard, dia tidak dapat main, tidak bergairah. Maka diapun hanya duduk menyendiri di sudut menghadapi bir dan kacang goreng. Sampai Subandi datang menegurnya. Dia menggeleng kepala menolak ajakan Subandi. Hal ini membuat temannya memandang heran dan serius, maklum bahwa kalau kepala kantornya itu datang ke tempat ini, tidak mau bermain billiard melainkan menyendiri menghadapi sebotol bir, pasti terjadi hal yang sungguh amat tidak menyenangkan bagi atasan dan juga sahabatnya itu. Tanpa diminta, Subandi menarik kursi dan duduk di depan sahabatnya.

   "Kenapa, Pak Suroto? Apa yang terjadi? Bapak..... nampak lesu........"

   Dedi mencoba untuk tersenyum dan tidak berhasil, senyumnya masam.

   "Carilah pasangan main yang lain, Bandi... Aku sedang merasa tidak enak badan""

   Biarlah lain kali saja kita main."

   Akan tetapi Subandi tidak beranjak dari tempat duduknya.

   "Pak Suroto, kita adalah sahabat karib, bukan? Bapak tidak sakit, karena kalau demikian tentu bapak tidak akan berada di tempat ini. Bapak ingin menghibur diri, ingin main billiard, akan tetap hati bapak sedang gundah-gulana, sedang menderita pikiran bapak sedang pusing. Nah, antara sahabat, Pak. Mengapa?"

   Dedi Suroto sudah menghabiskan setengah botol bir dan dia memang tidak biasa dengan minuman itu sehingga dia merasa kepalanya agak ringan. Namun hal ini belum dapat mengusir kepedihan rasa hatinya. Pertanyaan sahabatnya itu bahkan membuat hatinya terasa semakin pedih. Dia menunduk, memejamkan mata sejenak. Berat rasa hatinya untuk menceritakan keadaan hatinya, walaupun ingin dia menumpahkan semua perasaan yang bagaikan racun mengotori perutnya, yang agaknya baru akan terasa ringan kalau dimuntahkan. Dia berkeras, menggeleng kepala.

   "Tidak apa-apa"".. mungkin aku sedang lemah"". masuk angin""."

   Subandi adalah seorang sahabat yang pantang mundur untuk membantu orang yang selama ini dianggap sahabat baiknya.

   "Bapak sehat, bapak suka olah raga, bahkan bapak tidak pernah minum bir. Baru sekarang saya melihat bapak minum. Tentu ada sesuatu yang hebat terjadi. Saya tahu, tidak ada persoalan di kantor. Tidak dapatkah bapak memberitahukan hal itu kepada saya?"

   "Ah, tidak apa-.apa, Bandi. Hanya urusan dirumah""

   Ah, anakku itulah yang membuat-pusing kepala!"

   Akhirnya Dedi mengaku, akan tetapi menimpakan kepada anaknya. Karena hanya itulah yang dapat dia perlihatkan kepada prang lain.

   "Joni maksud bapak? Ah, mengapa dia? Saya kira, setiap pemuda remaja seperti Joni itulah. Dua orang anak saya yang remajapun seperti itu. Maklum, Pak. Para teenagers jaman kini tidak sama dengan para remaja jaman kita dahulu."

   Lega rasa hati Dedi. Hampir saja desakan sahabatnya tadi membuka rahasia rumah tangganya. Dan Subandi mau terjun ke dalam persoalan anaknya, diapun menanggapi, sekalian untuk melupakan kesedihan hatinya.

   "Akan tetapi, anakku itu sana sekali tidak dapat ditegur lagi, kalau ditegur malah melawan. Sekolah tidak maju, setiap hari hanya pergi bergerombol dengan teman-teman, kebut-kekutan, nonton, piksik, berfoya-foya. Siapa tidak akan pusing?"

   "Aahh, tidak perlu dipusingkan, Pak. Semua teenagers juga begitu. Nanti kalau mereka itu sudah agak lebih dewasa, mereka akan sadar sendiri."

   "Tapi, Bandi. Kalau anak kita sudah tidak mau mentaati nasihat dan teguran orang tua sendiri, lalu bagaimana jadinya? Mereka itu akan terseret oleh teman-teman. Masih baik kalau pergaulannya itu sehat, kalau bergaul dengan anak-anak nakal yang suka melakukan kejahatan, suka bermain dengan ganja, morphin, bukankah itu amat berbahaya? Coba lihat pakaiannya, yang disukai yang dekil-dekil, tambal-tambalan, meniru-niru gelandangan bule, Hippies itu. Dengarkan musik mereka, memekakkan telinga, dan sikap mereka terhadap orang-orang tua, sama sekali mereka sudah lupa akan tata-krama, lupa akan kesopanan dan kesusilaan. Mau dibawa ke manakah anak-anak muda kita?"

   "Aah, bapak terlalu membesar-besarkan persoalan. Setiap remaja memang suka bertualang, sejak jaman dahulu. Hanya tentu saja sifat petualangannya itu yang berobah-robah menurut jaman. Bukankah di jaman reyolusi bersenjata dahulu, para remaja kitapun dengan gembira berlumba dengan maut, menyusup di antara berondongan peluru Belanda. Sekarang tidak ada permainan berbahaya seperti itu, yang ada hanya ngebut yang juga merupakan perlumbaan dengan maut."

   "Ah, perjuangan sih lain lagi, Bandi."

   "Memang lain, akan tetapi petualangannya sama, dan setiap petualangan menggembirakan kau m remaja..Sudahlah, jangan terlalu memikirkan ini. Bapak terlalu berpegang kepada pandangan kuno. Bapak kurang hiburan, terlaiu banyak sembunyi di dalam rumah saja kalau malam. Mari, kalau bapak malas bermain billiard, lebih baik kita pergi ke Paradise saja! Malam ini cerah sekali dan di Paradise ada seorang penyanyi dari Manila yang hebat, dan hostess-nya juga"". hemm....!"

   Subandi mengacungkan ibu jarinya.

   "Paradise? kau maksudkan""."

   "Ya, Night Club, Pak. Night Club paling hebat di ibukota."

   "Ah, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah ke Night Club. Aku sudah tua....."

   

   "Ha-ha-ha, agaknya karena sebagai direktur bapak disebut bapak oleh semua orang, lalu bapak menganggap diri sudah tua! Bapak masih muda, ganteng dan charmant. Pula, Night Club memang tempat hiburan kau m bapak seperti kita. Kalau orang muda, mereka itu sudah mempunyai teman-teman cewek yang sama mudanya, mau apa mereka keluyuran ke Night Club? Ha-ha-ha, bapak selalu menolak kalau saya ajak. Malam ini, marilah kita ke sana. Tanggung bapak akan bergembira dan melupakan segala kepusingan hidup. Hidup sekali tidak lama, mengapa membiarkan diri tenggelam ke dalam kepusingan, pak?"

   Akhirnya Dedi menerima juga bujukan kawannya. Di rumah, dia hanya akan menjadi semakin kesal dan murung. Setiap pertemuan dengan isterinya, bahkan mengenangkannya saja, mengingatkan dia akan dus kondom yang berkurang dua buah itu dan khayalan tentang lenyapnya dua buah kondom itu menyiksa batinnya. Benar Subandi, lebih baik menghibur diri di Night Club.

   Apa salahnya ke Night Club? Bersenang-senang dengan terbatas, paling banyak hanya bergurau dan ber-dancing dengan hostess muda dan cantik. Apa artinya ini dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan isterinya? Paradise Night Club merupakan sebuah Night Club besar yang mewah dan mahal. Night Club ini sering kali mendatangkan pertunjukan dari luar negeri, oleh karena itu biaya masuknya saja setiap orang limaribu rupiah. Tentu saja yang berani masuk hanya orang-orang berduit, para pembesar dan juga para pedagang besar atau orang-orang asing. Subandi agaknya sudah biasa memasuki Night Club ini, karena dia sudah mengenal baik para pekerja di bagian depan yang menyambut para tamu. Juga ketika dia memasuki ruangan yang remang-remang romantis itu, segera dia menyambut salam para hostess,

   "Hallo, hallo Suzy, Winny, hallo Tut! Chandra, engkau makin denok saja!"

   Subandi yang menjadi langganan baik Night Club itu memperoleh tempat yang tenang sejuk di sudut, seperti yang diminta oleh Dedi yang tidak menyukai tempat duduk di tengah-tengah yang hiruk di kelilingi para tamu.

   "Nah, bapak boleh pilih, hostess mana bapak sukai? Yang biru itu? Dia Marini, ramah dan intelek.Yang merah itu Wanda, wah, kalau dance dengan Wanda kita merasa seperti diayun ke sorga ketujuh! Atau yang biru itu? Suzy, genit dan manis""."

   "Yang mana saja, kau pilihlah sendiri,"

   Kata Dedi masih belum bangkit gembiranya dan masih setengah tenggelam dalam kegundahan hatinya.

   "Baik, saya pilih untuk bapak."

   Subandi bangkit dan menghampiri bar. Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menggandeng Suzy dan Wanda. Kedua orang hostess ini sudah akrab benar dengan Subandi, mereka mendatangi meja Dedi sambil bersendau-gurau dan tersenyum-senyum.

   "Pak, ini Wanda dan ini Suzy. Beliau ini adalah Bapak Suroto, atasanku."

   Subandi memperkenalkan. Suzy yang agaknya sudah diberi tahu oleh Subandi bahwa tugasnya adalah melayani Dedi, segera mengulurkan tangan kepada Dedi, lalu duduk di kursi sebelahnya.

   "Ah, bapak direktur? Sungguh beruntung sekali saya dapat berkenalan dengan bapak direktur Suroto."

   Dedi hanya tersenyum saja dan merasa betapa pinggul dan paha wanita ini merapat. Subandi juga menarik tangan Wanda untuk duduk di sebelahnya, berhadapan dengan Dedi. Suzy segera menggapai ke arah seorang pelayan. Setelah pelayan wanita datang, ia bertanya manis,

   "Hendak pesan minuman apa, Pak Suroto? Dan engkau mas Bandi?"

   "Biasa saja, mas Bandi tentu memesan Martini, bukan? Ihh, kalau Martini itu nama wanita, tentu aku akan mengiri!"

   Kata Wanda sambil tersenyum.

   "Sayang, Martini hanya nama minuman, dan nama wanita yang disukai oleh mas Bandi tentu namanya Wanda!"

   Suzy menggoda.

   "Bapak hendak pesan apa? Whiskey, brandy, champagne, wine atau""."

   "Orange juice saja untukku,"

   Kata Dedi.

   "Orange juice"..?"

   Wanda dan Suzy berseru sambil membelalakkan mata. Agaknya amat janggal bagi mereka mendengar seorang direktur memesan air jeruk! Bahkan jarang ada tamu yang memesan minuman "kanak-kanak"

   Ini, sedikitnya tentu bir. Kemudian mereka saling pandang dan tersenyum menahan gelak tawa.

   "Kenapa kalian tertawa? Sebelum ke sini, Pak, Suroto telah minum banyak sekali Whisky, sekarang ingin minum orange juice untuk mengusir kepeningan. Apa kalian ingin beliau minum whisky lagi dan menjadi mabok di sini?"

   Mendengar alasan ini, dua orang hostess itu tidak berani main-main lagi dan segera memesan apa yang diinginkan dua orang tamunya kepada pelayan.

   "Dan satu orange juice lagi untukku,"

   Tambah Suzy.

   "Dan satu martini juga untukku,"

   Kata Wanda. Dedi mulai merasa suka kepada mereka. Melihat pesanan mereka saja, yang disamakan dengan pesanan tamu, jelaslah bahwa para hostess di sini adalah hostess yang terdidik, sengaja memesan kesukaan tamu agar dapat menyesuaikan diri. Tidak seperti para hostess di Night Club-Night Club lain yang memesan sesuka hatinya saja, yang mahal-mahal walaupun tidak akan diminumnya, semata-mata untuk memeras kantong, para tamu lebih banyak. Night Club-Night Club pemeras seperti ini banyak terdapat di ibu kota. Memang benar kata Subandi. Suzy adalah seorang hostess yang genit dan manis, dan juga pandai menghibur hati dengan sikapnya yang manja menarik. Bercakap-cakap dengan Suzy memang mengasyikkan dan mulai agak terhiburlah hati Dedi.

   Akan tetapi dia tidak ingin ber-dance, maka dia membiarkan Subandi menari sepuasnya dengan partnernya, sedangkan dia hanya mengajak Suzy bercakap-cakap, minum dan makan makanan ringan seperti goreng mete, kuwe-kuwe kering dan sebagainya. Ketika Dedi melayangkan pandang matanya ke tengah ruangan yang semakin padat itu, tiba-tiba dia terkejut melihat seorang hostess berpakaian kuning gading yang nampak putih di dalam cahaya remang-remang itu. Gadis itu manis sekali, anggun dan gerak-geriknya halus menarik. Kalau tidak melihat ia melayani tamu, tentu Dedi tidak akan mengira bahwa ia seorang hostess atau pelayan Night Club. Wajahnya.yang manis hampir tanpa make-up, sekedar bedak tipis dan lipstick tipis. Tidak seperti para hostess lainnya. Dan agaknya iapun belum naik tingkat menjadi hostess, melainkan baru bekerja sebagai pelayan yang melayani pesanan minuman.

   "Bapak melihat siapa?"

   Suzy yang memperhatikan tamunya bertanya.

   "Ah, pelayan rok putih itu?"

   "Siapa gadis"".?"

   Dedi bertanya tanpa mengalihkan pandangmatanya.

   "Ah, ia pelayan baru, Pak. Baru setengah bulan di sini. Saya sendiripun belum tahu namanya,"

   Jawab Suzy dan ketidaksenangan karena iri terkandung dalam suaranya. Ketika Subandi dan Wanda berhenti ber-dance dan duduk kembali di situ, Suzy menutupi iri hatinya dengan berkata kepada Subandi,

   "Wah, mas Bandi, agaknya Pak Suroto tertarik kepada pelayan baru itu!"

   Ia menunjuk kepada pelayan yang masih sibuk melayani para tamu, membawa baki penuh gelas minuman.

   "Ah, begitukah?"

   Subandi menoleh kepada Dedi yang hanya tersenyum.

   "Mari kuperkenalkan, pak!"

   Subandi yang lincah itu segera bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.

   "Pak direktur ingin berkenalan denganmu, manis,"

   Katanya setelah gadis pelayan itu selesai menyerahkan gelas-gelas minuman pesanan tamu.

   "Maaf"", saya hanya melayani pesanan minuman"" "

   Jawab gadis itu.

   "Ah, saya tahu. Tapi berkenalan sebentar apa salahnya? kau takut kepada kepalamu?"

   Subandi menghampiri bar dan berkata kepada orang yang berada di situ.

   "Hey, Jack! Direkturku ingin berkenalan sebentar dengan anakmu yang ini. Bolehkah?"

   Kepala pelayan itu sudah lama mengenal Subandi. maka diapun mengangkat tangan dan berkata sambil tersenyum.

   "Okey. Pak. Pergilah, Mi, asal jangan terlalu lama. Banyak tamu, repot!"

   Kata kepala pelayan itu.

   "Nah, marilah, manis!"

   Subandi menggandeng tangan pelayan itu, akan tetapi dengan halus pelayan itu menarik dan melepaskan tangannya dari gandengan Subandi. Hal ini membuat Subandi terheran-heran karena baru sekarang inilah dia mengalami ditolak gandengan tangannya oleh seorang pelayan. Pelayan biasa lagi, belum juga menjadi hostess! Memang anak ini manis sekali, akan tetapi biasa saja, tidak istimewa, dan tidak begitu remaja lagi, bahkan dia berani bertaruh bahwa pelayan ini bukan perawan lagi. Mungkin isteri orang! Banyak sekarang isteri-isteri orang menjadi pelayan bar, atau bahkan menjadi hostess, yang melacurpun tidak kurang. Pelayan itu berdiri, kikuk di depan Dedi yang memandangnya dengan penuh perhatian. Apa lagi ditertawakan oleh dua orang hostess yang merupakan hostess yang topdi Night Club itu.

   "Duduklah, nona"

   Kata Dedi, suaranya halus.

   "Terima kasih, Pak. Saya harus melayani pesanan minuman para tamu. Apa yang dapat saya lakukan untuk bapak?"

   Seorang gadis yang cukup terpelajar, pikir Dedi. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi wajah gadis itu amat menarik hatinya, menimbulkan rasa iba.

   "Kau duduklah,"

   Subandi menegur.

   "Bukankah tadi kepala pelayan sudah memberi ijin? Bapak direktur ingin bicara denganmu!"

   Gadis itu kelihatan bingung,akan tetapi duduk juga di atas kursi yang sudah disodorkan oleh Subandi. Melihat ini, Suzy merasa tersinggung. Jelas bahwa direktur yang baru pertama kali datang ini tadi memilihnya sebagai hostess, akan tetapi kini memperlihatkan rasa tertarik kepada seorang pelayan. Ini berarti merendahkan dan menghinanya! Iapun bangkit berdiri, dan pada saat itu memang masuk serombongan pemuda.

   "Halo Andy"".!"

   Teriak Suzy, dan ia segera menghadapi Dedi.

   "Pak Suroto, harap maafkan saya, ya? Para tamu baru itu sudah mendaftar saya sejak kemarin. Maaf, mas Bandi."

   Subandi mengangguk maklum akan perasaan Suzy.

   "Perhitungan untukmu akan kuberikan Wanda nanti,"

   Katanya dan Suzy pergi meninggalkan meja itu tanpa menoleh kepada Dedi, langsung menghampiri rombongan pemuda itu dan mereka nampak gembira sekali. Sementara itu, gadis itu duduk dengan kikuk. Tentu saja ia merasa tidak enak melihat sikap Suzy. Dan juga tidak enak terhadap sekeliling. la berpakaian sebagai pelayan minuman dengan rok putih dan leher bergaris merah bjru, tidak semestinya duduk melayani tamu bercakap-cakap.

   "Siapakah namamu, nona?"

   Tanya Dedi dn melihat sikap atasannya yang tertarik itu,Subandi sudah menarik tangan Wanda untuk diajaknya ber-dance kembali. Gadis itu mengangkat muka memandang Dedi. Dua pasang mata bertemu pandang, seolah-olah saling menyelidiki. Gadis itu melihat seorang pria yang gagah dan tampan, setengah tua, berwibawa dan bibirnya membayangkan kemanisan budi, akan tetapi di balik pandang mata yang penuh perhatian itu terbayang kedukaan. Wajah yang menarik dan simpatik, pikirnya.

   "Mengapa bapak memanggil saya? Banyak hostess yang cantik-cantik di sini, bapak tinggal pilih. Dan Suzy tadi merupakan hostess yang top di sini."

   "Aku baru pertama kali ini datang ke sini, nona. Terbawa temanku itu. Aku tidak mencari hostess cantik"""

   Jawaban ini saja sudah aneh dan terdengar di Night Club, keluar dari mulut seorang pria setengah tua yang biasanya datang ke situ karena iseng dan hendak mencari hibutran.

   "Tapi kenapa bapak memanggil saya?"

   "Entahlah, ada sesuatu pada wajahmu yang amat menarik saya. Mungkin pandang matamu, atau tarikan mulutmu, atau gerak-gerikmu"".. ada sesuatu yang nampak memelas (menimbulkan iba) padaku. Siapakah namamu, nona?"

   Gadis itu tersenyum. Sudah sering ia mendengar tentang ini. Tanya nama, tanya mengapa bekerja di tempat seperti itu, menyatakan kasihan. Lagu lama, pikirnya. Akan tetapi ada sesuatu pada laki-laki ini, terutama bayangan duka di balik pandangn matanya itu, yang menarik hatinya dan membuat ia menjawab sejujurnya,

   "Nama saya Mimi, Pak. Dan perlu kiranya bapak bertanya mengapa saya bekerja di tempat ini dan sebagainya. Jawaban sayapun tidak akan jujur. Nah, selamat tinggal dan maaf, Pak. Saya harus bekerja, banyak tamu yang berdatangan."

   Gadis itu bangkit berdiri dan setelah mengangguk hormat, meninggalkan Dedi yang tidak menahannya karena dia melihat bahwa memang banyak tamu berdatangan dan dia merasa tidak enak kalau memaksa gadis yang agaknya tidak suka untuk duduk di situ bercakap-cakap dengan dia itu. Melihat gadis pelayan itu sudah meninggalkan atasannya, Subandi yang sedang ber-dance dengan Wanda dan dari jauh memperhatikan direkturnya, menghentikan tariannya dan cepat menghampiri Dedi, diikuti oleh Wanda.

   Darah Daging Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, gadis itu berani pergi meninggalkan bapak?"

   "Hustt, aku yang menyuruh ia pergi. Pekerjaannya baryak, ia repot, Bandi."

   "Kalau begitu, saya panggilkan yang lain, Pak.."

   "Tak usah, Bandi. Aku mau pulang saja."

   "Pulang? Ah, hari masih sore, pak!"

   Kata Wanda. Dedi tersenyum melihat jam tangannya dan jarum sudah menunjukkan jam se puluh malam dan hostess ini bilang masih sore. Dia tahu bahwa kehidupan malam di Night Club memang sampai jauh lewat tengah malam.

   "Aku lelah. Biar lain kali saja aku datang lagi."

   Tiba-tiba terjadi kegaduhan di ruangan itu. Beberapa orang pemuda, agaknya ada tiga orang, membuat ribut. Seorang di antara mereka memegang-megang payudara seorang pelayan, lalu hendak menciumnya.

   Pelayan itu marah dan menamparnya. Si pemuda balas menampar sehingga pelayan itu terpelanting. Terdengar suara gelas-gelas pecah dan pekik wanita-wanita yang berada di sekitarnya. Para penjaga keamanan maju melerai. Tiga orang pemuda itu lalu diusir keluar setelah dipaksa membayar ganti rugi. Tiba-tiba Dedi menjatuhkan diri lagi duduk. Mukanya agak pucat. Dia mengenal wajah puteranya. Joni! Jonilah seorang di antara tiga pemuda itu. Memang bukan Joni yang mabok dan melakukan kekasaran tadi. Tapi pemuda pengganggu pelayan tadi jelas teman Joni, seorang pemuda yang jauh lebih tua usianya dibandingkan Joni. Dan seorang pemuda lain yang juga usianya tentu sudah lewat dua puluh tahun. Joni dan kawan-kawannya mabok-mabokan di Night Club! Dan mengganggu wanita, membikin ribut.

   "Ada apa, pak?"

   Subandi bertanya melihat atasannya duduk di kursi sambil memejamkan mata dan menundukkan kepala. Sementara itu, Wanda sudah berlari-lari menghampiri tempat terjadinya keributan.

   "Aku"""

   Aku merasa pening. Apa sih yang terjadi tadi, ribut-ribut di sana?"

   "Ah, biasa saja. Pemuda mabok dan hendak mengganggu pelayan. Dan agaknya pelayan yang bapak panggil tadilah yang diganggunya. Aneh sekali. Biasanya para pemuda mabok itu mengganggu hostess, tapi kali ini pelayan, dan kebetulan pelayayan tadi menarik perhatian bapak."

   "Mari kita pulang, Bandi""."

   Setelah membereskan semua pembayaran, mereka keluar dari Night Club. Dengan mobil Honda Ciyic milik Subandi, Dedi diantar bawahannya itu. Dia memang tadi meninggalkan rumah pergi ke tempat billiard dengan naik taxi. Mobilnya dipakai Joni. Akan tetapi ketika dia dan Subandi keluar Night Club, dia tidak melihat mobil Holden Kingswood nya, juga Joni tidak lagi nampak bayangannya.

   Hatinya agak lega bahwa Subandi tidak mengenal Joni. Dan diapun tadi khawatir sekali kalau-kalau orang mengenal Joni sebagai puteranya. Karena itulah dia tadi duduk kembali, bukan hanya saking heran dan kagetnya, melainkan juga untuk bersembunyi, agar jangan nampak oleh Joni. Widayani menyambut kedatangan mereka. House-coat yang dipakainya itu tipis saja, dan ketika membuka pintu membelakangi lampu, Subandi sempat melihat lekuk lengkung tubuh nyonya rumah itu yang nampak membayang nyata di balik baju tidurnya. Hemm, wanita yang matang dan hebat, pikirnya. Heran mengapa Pak Suroto agaknya tidak betah di rumah malam ini, padahal biasanya atasannya itu seperti jarang meninggalkan rumah di waktu malam. Tidak aneh kalau mempunyai isteri bahenol seperti ini. Tidak seperti isterinya. Selalu kusut dan layu.

   "Baru pulang, Pap? Oh, dik Bandi. Mari masuk, silahkan""."

   Kata Widayani dengan sikap ramah dan jelas sekali perobahan wajah cantik itu setelah ia melihat Subandi. Manager yang berpengalaman ini dapat membayangkan bahwa kalau pulangnya Pak Suroto tidak bersama dia, sudah pasti sikap dan tarikan wajah nyonya rumah ini akan lain lagi! Maka diapun tidak ingin lama-lama mengganggu mereka.

   "Terima kasih, bu. Saya akan pulang saja, sudah malam. Pak Suroto, saya akan terus pulang saja."

   "Ah, tidak duduk dulu?"

   "Terima kasih Pak. Lain kali saja, sudah malam. Selamat malam, Pak. Selamat malam, bu."

   "Selamat malam dan terima kasih,"

   Jawab Dedi.

   "Selamat malam,"

   Jawab Widayani. Dan mereka memandang sampai mobil Honda Ciyic itu meluncur pergi. Mereka duduk berhadapan di kursi ruangan depan. Canggung. Sudah seminggu lebih sikap ini mereka pertahankan. Canggung dan kaku. Dedi jarang bicara kepada isterinya, dan sebaliknya, Widayani yang juga merasakan hal ini, tak banyak cakap pula. Dedi jarang menatap wajah isterinya sehingga dia tidak tahu betapa kadang-kadang isterinya memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung penyesalan dan ketakutan. Akan tetapi juga pandang mata itu bisa mengandung sikap mencemooh dan merendahkan.

   "Joni belum pulang?"

   Akhirnya Dedi bersuara.

   "Belum".."

   Widayani menengok ke arah jam dinding.

   "Baru jam sebelas. Nanti jam duabelas dia baru pulang, begitu, biasanya kalau hari Minggu."

   "Dan kalau malam Minggu sampai pagi?"

   "Sudah biasa, Pap. Orang muda"".

   "

   "Orang muda? Dia kanak-kanak! Akan tetapi pergaulannya dengan segala macam bajingan!"

   "Pap, apa maksudmu? "

   "Tadi dia bersama teman-temannya bermabok-mabokan di Night Club dan mengganggu perempuan!"

   "Kau"". ke Night Club""..?"

   "Perduli dengan aku ke Night Club! Kubilang, Joni dengan teman-temannya bermabok-mabokan di Night Club dan mengganggu perempuan!"

   Setelah mengeluarkan kata-kata dengan suara setengah membentak ini, Dedi lalu meninggalkan isterinya, menuju ke kamar. Isterinya tidak mengikutinya, melainkan duduk saja di ruangan depan itu, termenung. Dedi tidak memperdulikan isterinya lagi. Salah isterinya bahwa Joni sampai menjadi seperti itu. Anak urakan! Ibunya tidak pernah memperdulikan anaknya, sejak bayi! Segala keinginannya dibiarkan dan diuruti saja. Anak kolokan! Anak manja! Anak sesat! Membayangkan betapa pelayan muda yang sopan dan halus, terutama sekali yang memelas itu, digangggu,, kemudian malah rnenerima tamparan seorang pemuda teman Joni, hatinya semakin panas kepada anaknya. Sungguh anak yang mencemarkan nama orang tua. Memalukan!

   Dengan hati panas dan penuh kegeraman, Dedi melempar tubuhnya ke atas pembaringan setelah mengganti pakaiannya dengan piyama. Dia mencoba untuk memejamkan matanya, akan tetapi dengan gelisah dia merobah-robah letak badannya. Menjelang jam duabelas, dia mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Pintu pagar dibuka oleh Pak Gito setelah terdengar klakson ditekan keras-keras. Anak bedebah! Demikian hatinya memaki. Lalu terdengar mobil dimasukkan garasi, daun pintu dibuka dan dibanting. Kemudianterdengar suara ribut-ribut diruangan depan. Suara anak dan ibu itu saling berban.tahan. Entah bagaimana, mendengar suara Joni berbantahan dengan ibunya, Dedi tidak dapat menahan lagi kemarahannya yang makin mendidih. Sudah berlebihan kekurangajaran Joni. Dia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan perlahan-lahan berjalan keluar.

   "Apa salahnya kalau aku ke Night Club dengan kawan-kawan, Mama?"

   Terdengar suara Joni.

   "Apakah aku harus tinggal saja di rumah, menghadapi sikap Papa dan Mama yang dingin? Dalam sehari saja aku akan menjadi beku! Rumah ini seperti neraka, dan aku tidak boleh menghibur hati di luar? Rumah celaka ini""""

   "Tutup mulutmu, bajingan!"

   Tiba-tiba Dedi membuka pintu ruangan depan dan memasuki ruang sambil mengacungkan tinjunya.

   "Kalau engkau menganggap rumah ini neraka, pergilah! Persetan! Pergilah dari sini, siapa yang akan perduli? Engkau anak kurang ajar, anak murtad."

   "Papa juga bukan Papa yang baik! Papa suami lemah, tak tahu malu"".."

   "Joni"".!"

   Ibunya berteriak dan pada saat itu, Dedi sudah menghampiri anaknya.

   "Engkau anak durhaka! Sejak kecil aku tak pernah memukulmu maka engkau berani melawanku, ya? Anak jahanam, lebih baik kau mati saja!"

   Ayah yang marah ini lalu menampar dengan tangan kirinya.

   "Plakk!"Joni menangkis akan tetapi karena dia kalah tenaga, dia terhuyung dan Dedi yang ditangkis itu menjadi semakin marah. Dia merasa ditantang dan tangan kanannya dikepal, memukul dengan keras. Joni berusaha mengelak akan tetapi kurang cepat.

   "Dess"".!"

   Dagu anak itu terkena pukulan ayahnya. Joni mengaduh dan terbuyung ke belakang, menabrak meja sehingga meja terguling. Ayahnya sudah menubruk lagi dan kepalan tangan kiri yang diayun kuat-kuat itu menumbuk dada Joni.

   "Bukkk"".!"

   Joni terpelanting dan menabrak dinding.

   "Engkau"".. ayah jahat!"

   Pemuda itu berteriak sambil menangis.

   "Dan engkau anak jahanam!"

   Dedi balas memaki dan dia sudah menjadi mata gelap. Dia menghajar anaknya dengan kepalan-kepalan seperti orang menyerang musuh saja, dadanya, mukanya.

   "Pap""". sudah"".. Ya TUHAN, Pap"".

   "

   Widayani merangkulnya dari belakang dan menahannya. Joni terkulai, hidung berdarah.

   "Biar"". kubunuh saja anak jahanam ini""..!"

   Dedi terengah-engah. Seluruh kemarahan selama bertahun-tahun yang terpendam dan ditahan-tahannya ini seperti hendak meledak karena memperoleh lubang keluar dan hendak ditumpahkannya semua kepada Joni. Akan tetapi, Widayani terus merangkulnya sambil menangis.

   

Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini