Ceritasilat Novel Online

Karena Wanita 2


Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Uangnya tinggal lima rupiah. Tapi ia tidak menyesal kehilangan setengah dari uang bekalnya. Kasihan si manis Tini. Ia puas telah memberi sedikit rasa kepada pak Singo. Laki-laki kotor dan sombong. Orang macam itu mengaku seorang pejuang. Hah! Yitna mengepal tinjunya. Ia teringat akan kata-kata ayahnya bahwa di kota itu tempat bangsat-bangsat bertinggal. Seperti pak Singo itukah? Ah, ayahnya tak perlu khawatir, ia tak mungkin akan menjadi seperti orang itu! Hari telah siang ketika ia memasuki kota Sragen. Ketika itu pabrik gula "Mojo,"

   Satu-satunya pabrik besar yang meramaikan kabupaten Sragen, sedang mati. Tidak menggiling tebu. Pabrik gula lebih banyak matinya daripada hidupnya. Ia pernah mendengar bahwa pabrik itu hanya bekerja empat bulan di dalam tempo setahun.

   Yitna hanya sebentar berhenti membeli es sirop di depan pasar. Memang benar-benar ramai hari itu di pasar Sragen. Dilihat dari luar, pasar itu seakan-akan merupakan sebuah sarang lebah yang besar, dan orang-orang yang keluar masuk melalui pintu pasar itu tiada bedanya dengan lebah-lebah yang rajin. Kebanyakan perempuan belaka yang memenuhi pasar. Perempuan-perempuan desa, itu Yitna tahu benar. Kaki telanjang berlumpur, pakaian kehitam-hitaman, rambut kering mengusut, dan dari mulutnya berhamburan kata-kata dalam bahasa yang sederhana dan tak dimanis-maniskan, gambaran dari orang-orang bodoh jujur, itu semua membedakan orang-orang desa daripada orang-orang kota.

   Perempuan kota mudah saja dikenal di dalam kandang manusia itu. Kaki berlindung di dalam sandal, pakaian berkembang aneka warna, rambut licin tersisir rapi, kata-kata yang diucapkannya teratur pula, diiringi senyum sopan merendah-rendah, gambaran dari orang-orang terpelajar dan hidupnya terkurung di dalam pakaian, karena dari sandalnya yang berkeriat-keriet sampai kepada senyum yang diiringi angguk dalam-dalam dan sopan itu, semuanya hanya pakaian belaka. Setelah beristirahat sebentar, Yitna lalu melanjutkan perjalanannya, dilangkahkan kembali kakinya di atas jalan raja membentang panjang, menuju ke barat. Solo!

   * * *

   Telah dua hari Yitna mencoba peruntungannya mencari pekerjaan dengan memasuki toko-toko dan kantor-kantor, tapi sia-sia. Tak ada sebuah perusahaanpun yang dapat menerima seorang dengan penddikan hanya sekolah desa. Bahkan telah dimasukinya pula jawatan Penempatan Tenaga. Tapi dari kantor ini didengarnya keterangan yang makin mengecilkan hatinya.

   "Banyak pemuda-pemuda keluaran S.M.A. yang datang juga ke sini untuk mencari pekerjaan. Maksud saudara untuk bekerja di toko atau di kantor rupa-rupanya takkan berhasil. Entah kalua bagian pekerjaan yang agak kasar. Kuli harian misalnya..."

   Demikian keterangan pegawai jawatan itu dengan suara menyesal.

   Karena dari keterangan selanjutnya ia mendengar bahwa, hasil seorang kuli tak lebih besar daripada hasilnya mencangkul di desa, maka Yitna tidak mau menerimanya, dan ia lalu berusaha sendiri dengan memasuki pula toko-toko untuk tiap kali keluar pula dengan kecewa. Sejak hari kemarin ia belum makan. Uangnya telah habis sama sekali. Bahkan dua setel pakaiannya pun telah dimasukkan ke dalam perutnya. Hari itu hari Minggu. Sejak pagi kakinya tak mau diam, dan akhirnya ia memasuki pasar Besar. Dilihatnya banyak pengemis berkeliaran di dalam dan di luar pasar Akan menjadi pengemiskah ia? pikirnya. Ah, tidak mungkin! Lebih baik mati kelaparan daripada menjadi pengemis. Rendah dan hina. Tiba-tiba masuk saja ke dalam pikirannya membanding-bandingkan kehinaan seorang pengemis dan seorang seperti Singo perampok itu.

   Matanya memandang kearah tiga orang pengemis yang duduk di depan toko tertutup. Mereka duduk bermalas-malasan. Pakaian- compang-camping, wajah pucat tubuh kurus tapi perut gendut! Yitna pergi duduk di atas sebuah bangku bambu yang di tinggalkan dipasar itu oleh seorang penjual sate, dan ia memikir-mikirkan dan membanding-bandingkan. Apakah jasa hidup seorang pengemis? Dan apakah kejelekannya? Tentu saja pengemis-pengemis itu merupakan sebuah pemandangan yang kotor, hina. dan menjemukan. Tapi apakah perbuatannya mengemis itu merugikan lain orang? Tidak, bahkan perbuatan itu menggerakkan dan membangkitkan rasa perikemanusiaan, membangkitkan rasa kasihan yang terlampau sering tertidur dalam lubuk hati manusia.

   Ya, pengemis tidak merugikan orang, walaupun pekerjaan itu memang jelek dan memalukan bangsa. Tapi menjadi seorang seperti pak Singo itu lebih hina lagi. Hidupnya hanya menjadi hamba nafsu. Berbahaya bagi orang lain. Tentu saja merugikan, bahkan memalukan pula. Lebih baik menjadi pengemis peminta-minta belas kasihan orang daripada menjadi seorang pejuang palsu dan pengacau keamanan seperti pak Singo itu, pikir Yitna kemudian. Bagaimana juga, aku takkan menjadi pak Singo, dan juga tidak menjadi pengemis. Hari telah sore ketika ia meninggalkan pasar Besar dan kakinya membawanya ke jalan Gading. Ia berjalan perlahan, karena sesungguhnya tubuhnya telah sangat lelah. Perutnya kosong dan perih, kerongkongannya kering meminta siraman air. Tapi kemanakah ia harus mencari air minum? Gangguan dahaga lebih hebat daripada lapar.

   Maka setiap kali terdapat pedagang es sirop di pinggir jalan, dipaksanya matanya untuk memandang ke lain jurusan agar tidak melihat air jernih menetes-netes dari es yang putih beruap itu. Ia teringat akan kekosongan perutnya kalau sedang berpuasa selama bulan Puasa. Tapi berbeda benar perasaan lapar dan haus ketika itu dengan yang dideritanya sekarang. Dulu perasaan lapar dan haus itu bahkan dirasakannya menyenangkan dan membesarkan kenangan nikmat berbuka puasa di senja hari. Tapi sekarang tiada kenangan demikian itu. Bahkan makin dikenang, makin dibayangkan, makin bingunglah ia memikirkan nasibnya besok dan lusa. Matanya memandang dengan acuh tak acuh kearah rumah- rumah gedung dengan taman bunganya yang indah di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tiba-tiba ia melihat seorang tua sedang mencangkul.

   Cangkul itulah yang memaksanya untuk memperhatikan orang itu. Seorang tua berpakaian piyama mengayun cangkul di dalam kebun bunga. Di dekatnya berdiri seorang gadis memegang sebuah linggis kecil. Yang menarik perhatiannya ialah cara orang tua itu mencangkul. Canggung benar. Salah-salah akan tercangkul kakinya yang bersandal itu, pikir Yitna. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah pikiran. Ia berhenti bertindak. Mengapa tidak? Lebih baik daripada menjadi kuli, pikirnya. Dan jauh lebih baik lagi daripada mati kelaparan di pinggir jalan. Iapun lalu melangkah memasuki pintu depan yang terbuka. Sengaja diinjaknya batu-batu kerikil di jalan kecil itu keras-keras supaya orang tua itu mendengarnya. Ketika orang tua itu menengok, Yitna telah berdiri di dekatnya dan menganggukkan kepala dengan hormatnya.

   "Permisi, ndoro,"

   Salamnya merendah. Orang itu meluruskan pinggangnya dan lima jari tangan kanannya menekan-nekan punggungnya yang terasa pegal karena membungkuk. Gadis itu menengok pula dan memandangnya dengan heran.

   "Ada apa, anak muda?"

   Menanya orang tua itu dengan suara manis.

   "Saya mohon pertolongan ndoro, sudilah kiranya memberi pekerjaan kepada saya,"

   Suara Yitna agak gemetar, penuh pengharapan.

   "Oh, engkau mencari pekerjaan?"

   "Betul, ndoro. Saya datang dari desa, ingin sekali bekerja di kota ini."

   Ia telah siap untuk menerima penolakan, seperti yang telah diterimanya berkali-kali kemarin dan kemarin dulu. Orang tua itu mengangguk-angguk dan memandangnya dengan penuh selidik.

   "Engkau berijazah apa?"

   Pertanyaan yang sama, pikir Yitna. Tak dapat ia menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepala.

   "Pernah bekerja di kantor?"

   Kembali kepalanya digelengkan, harapannya menipis.

   "Ada pengalaman bekerja?"

   "Tidak ada, ndoro. Saya belum pernah bekerja di kantor. Pengalaman bekerja kantor belum pernah saya rasai."

   Orang tua itu memandangnya heran.

   "Habis, apa saja yang dapat kau kerjakan?"

   Yitna memandang kearah cangkul yang masih berdiri di belakang orang tua itu dan dengan menunjuk kepada barang itu dan ia berkata,

   "Saya pandai mencangkul, ndoro!"

   Orang itu makin heran dan akhirnya tertawa. Gadisnya ikut tersenyum pula, hal yang menyakitkan hati Yitna benar.

   "Saya anak petani, ndoro. Dan saya kuat melakukan pekerjaan yang berat-berat,"

   Ia ingin mengatakan bahwa tidak sepatutnya pekerjaan mencangkul itu ditertawakan, tapi ia tak berani. Orang tua itu tak menjawab, hanya berdiri memandangnya, nampaknya ragu-ragu. Gadisnya lalu berkata, suaranya merdu dan manis terdengar oleh Yitna, matanya bercahaya mengingatkan Yitna akan bintang di langit.

   "Ayah, barangkali ayah membutuhkan tukang kebun?"

   "Tukang kebun?"

   Mengulang ayahnya, masih ragu-ragu.

   "Saya sanggup untuk bekerja sebagai tukang kebun ndoro"

   Berkata Yitna cepat-cepat, sakit hatinya karena ditertawakan oleh gadis tadi lenyap terganti rasa terima kasih. Orang tua itu mengangguk-angguk, memandang kembali kepada Yitna dan lalu menengok kearah cangkul. Jari-jari tangannya kembali menekan-nekan pinggangnya.

   "Baiklah, tapi upah tukang kebun tidak besar."

   "Saya tidak menghendaki upah besap ndoro. Asal mendapat makan dan tempat menidurkan badanku yang hina ini cukuplah."

   "Tentu engkau kuberi upah. Lima puluh rupiah sebulan, makan duakali dan soal tempat tidur, ya... dapat diatur nanti, digarasi masih ada tempat barangkali."

   "Terima kasih, ndoro."

   Segera dipegangnya cangkul itu dan ia bertanya.

   "Manakah yang harus dikerjakan, ndoro?"

   Orang tua itu tersenyum melihat kesediaan Yitna.

   "Kami baru saja pindah kesini, maka kebun ini belum terurus. Aku ingin membuatnya menjadi taman bunga. Buanglah terlebih dulu semua rumput-rumput. itu."

   Kemudian ia memberi petunjuk kepada Yitna. Setelah itu ia lalu mengajak gadisnya masuk. Yitna memulai dengan cangkulnya. Tapi sebelum mereka memasuki pintu rumah, gadis itu berkata sesuatu kepada ayahnya, dan Yitna dapat melihat ini dari sudut matanya. Orang tua itu kembali pula dan menanya kepadanya apakah ia sudah makan. Dengan sejujurnya dijawab belum, dan orang itu menyuruhnya makan lebih dulu di dapur, dimana Tarmi, pelayan mereka, gadis muda hitam manis, melayaninya dengan ramah tamah. Sehabis makan, Yitna kembali pula kepada cangkulnya dan ia melanjutkan pekerjaannya. Dua piring nasi dengan sayurnya yang dimasukkan ke dalam perutnya itu mengembalikan tenaganya yang seakan-akan meninggalkan tubuhnya ketika perutnya kosong tadi.

   Cangkul diayun cepat, pukulannya keras membelah tanah dan tubuhnya tak kenal lelah. Ia mencangkul dan mencangkul dengan perasaan berterima kasih kepada cangkul yang dipegangnya, lebih-lebih kepada orang tua itu dan terlebih-lebih sekali kepada gadis bermata bintang itu. Gadis cantik jelita, pikirnya. Kulitnya kuning bersih. Rambutnya yang hitam panjang dikepang dua. Bibirnya, hidungnya, raut mukanya, cantik dan indah jelita! Lebih-lebih matanya, ah, hanya Dewi Komaratih saja yang mempunyai mata seindah itu. Suaranya merdu halus, seperti seperti perkutut keramat yang digilai ayahnya! Ayahnya tentu tak berani membandingkan suara perkutut keramat itu dengan suara gadis ini.

   "Berhentilah mencangkul. Hari sudah mulai gelap."

   Yitna terkejut dan tersadar dari lamunannya. Cangkul yang sudah hampir terayun ke atas itu ditahannya. Ia menengok, memandang bingung.

   "Berhenti,... den roro?"

   Tanyanya gugup, khawatir kalau-kalau sebutan itu kurang tepat. Gadis itu tersenyum.

   "Ya, apakah engkau mau bekerja dalam gelap juga?"

   "Kalau perlu saya sanggup, den roro. Sudah biasa saya mencangkul, walau di dalam gelap malam sekalipun. Sudah pekerjaan saya sejak kecil."

   Ia puas melihat gadis itu tidak marah.

   "Besok masih ada hari. Berhenti dan mengasolah. Kata ayah tadi engkau dapat bermalam digarasi. Tanyalah saja kepada Tarmi."

   "Baik, den roro,"

   Ia mengangguk hormat, tidak berani menentang mata bintang itu lama-lama. Gadis itu hendak melangkah keluar, tapi ditahannya dan ia menengok. Dilihatnya Yitna masih memandangnya, tapi segera menunduk ketika pandangan mata mereka beradu.

   "O ya,"

   Katanya cepat-cepat.

   "Dan engkau jangan menyebut ndoro kepada ayah, cukup dengan tuan saja. Tuan Harjo."

   "Baik, den roro."

   "Dan kepadaku cukup dengan nona saja."

   "Nona...? Cuma nona saja...?"

   "Boleh ditambahkan... Ratna. Namaku Sri Ratnaningsih."

   "Baik, nona... Sri!"

   "He?! mengapa nona Sri?"

   Mata bintangnya melebar heran.

   "O, maaf, nona... Ratna. Saya teringat akan seorang gadis di desaku yang bernama Sri juga."

   Yitna menunduk malu.

   "Gadis... kawanmukah? Cantikkah ia?"

   "Bukan main cantiknya, nona Ratna. Dan ia yang terpandai dikelasnya."

   "Murid SMA kah ia? Atau SMP?"

   "Bukan, nona. Ia duduk di kelas tiga SR!"

   "Ooo..."

   "Ya, nona Ratna. Ia baru berumur sembilan tahun."

   "Hm..."

   Yitna melihat gadis itu menggigit bibirnya.

   "Kalau begitu, bolehlah engkau menyebutku nona... Sri, atau Ratna, bagiku sama saja."

   "Terima kasih, nona."

   Gadis itu akan bicara pula, tapi ditahannya. Ia merasa tak pantas bicara banyak-banyak dengan tukang kebunnya, seorang pemuda pula. Ia memutar tumitnya hendak melangkah menuju ke pintu luar. Tapi pada saat itu ayahnya keluar, berpakaian setelan putih dan wajabnya nampak gembira.

   "Engkau belum pergi, Ratna? He, engkau masih bekerja?"

   Tanyanya kepada Yitna.

   "Baru saja aku menyuruhnya berhenti, ayah,"

   Kata Ratna tersenyum.

   "Kalau tidak barangkali ia akan mencangkul terus sampai dunia kiamat!"

   Mereka tertawa. Yitna hanya tersenyum malu.

   "Jika engkau hendak makan, minta saja kepada Tarmi."

   Berkata pak Harjo.

   "Dan mintalah juga tikar dan bantal kepadanya. Hayo, Rat, kita pergi."

   Tapi ia teringat sesuatu dan menengok kembali.

   "O, ya. Siapa namamu?"

   "Saya Yitna, ndoro... eh, Tuan. Lengkapnya Prayitna."

   Pak Harjo agak heran, tapi Ratna segera menerangkan,

   "Aku yang menyuruh ia menyebut engkau Tuan, ayah."

   Pak Harjo mengangguk-angguk.

   "Ya ya. Akupun sudah bosan mendengar sebutan kendoro-ndoroan."

   Mereka lalu pergi. Yitna memanggul cangkulnya menuju ke dapur di belakang gedung.

   "Taro saja cangkul itu disudut sana, mas Yitna,"

   Berkata Tarmi.

   "Dan pergilah mandi dulu. Nanti kita makan bersama. Tikar dan bantal untukmu telah kusediakan di garasi. Dulu mas sopir tidur di situ, tapi sopir yang sekarang ini orang sini dan ia tak pernah bermalam di sini."

   "Terima kasih, dik Tarmi. Engkau sungguh baik hati."

   "Aah! Kita senasib harus saling menolong, bukan?"

   "Senasib??"

   "Engkau tukang kebun, aku pelayan, sama-sama buruh rendah, bukankah itu senasib namanya?"

   Katanya tertawa, memperlihatkan barisan gigi yang tidak rata, tapi putih terpelihara.

   "Mungkin engkau benar."

   Yitna mengangguk, tertawa pula, lalu pergi membersihkan badan ke dalam kamar mandi yang khusus disediakan untuk pelayan. Sehabis mandi tanpa mengganti pakaian, karena hanya yang menempel di tubuhnya itulah pakaian satu-satunya, Yitna bermakan malam dengan Tarmi. Dari gadis pelayan ini ia mendengar bahwa majikannya adalah seorang pegawai tinggi di kantor DKA.

   Mempunyai sebuah mobil yang kini sedang masuk bengkel. Seorang duda berpenghasilan besar. Ratna adalah anak tunggal. Masih duduk di SMA kelas III. Mereka masih kau m ningrat, bahkan ibu Ratna yang telah meninggal dunia dua tahun yang lalu, adalah masih dekat dengan kraton, kata Tarmi. Kemudian Tarmi mengatakan bahwa pak Harjo adalah seorang sabar yang sayang sekali kepada anaknya. Dan bahwa Ratna adalah seorang gadis modern. Kemudian Yitna terpaksa mendengarkan pula riwayat singkat Tarmi sendiri. Bahwa ia adalah orang Solo asli dan bahwa ayahnya telah mati menjadi korban serangan Belanda, dan bahwa ibunya lalu kawin dengan orang lain, kini berada di Semarang. Dan Tarmi pernah kawin dengan seorang tentara, tapi hanya bertahan lima bulan.

   "Ia mata keranjang benar-benar, mas. Semenjak kawin ia berubah benar, bahkan berani bermain gila dengan seorang gadis tetangga. Ah, lelaki celaka betul ia, mas. Lalu kami bercerai dan aku bekerja di sini. Aku senang benar bekerja di sini. Pekerjaan tidak berat, majikan tua muda berhati baik."

   "Sudah lamakah engkau bekerja di sini?"

   Yitna menanya.

   "Sudah empat tahun. Semenjak den Nana masih di SMP."

   "Den Nana siapa?"

   "Itu, den Ratna,"

   Katanya ketawa.

   "Ia biasa menyebut nama sendiri Nana. Ibunya dulu menyebutnya pun begitu."

   Yitna berdiri dari kursinya.

   "Maaf, dik Tarmi. Aku ingin beristirahat,"

   Katanya dan melangkah kearah garasi.

   "Engkau tidak mengganti pakaianmu, mas Yitna?"

   Dan ketika melihat Yitna menggelengkan kepala kemalu-maluan ia segera menyambung.

   "Ah, maaf, mas. Aku tidak menyangka bahwa engkau tak mempunyai ganti."

   Segera ia berlari ke biliknya dan keluar pula membawa sebuah baju piyama.

   
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ini, pakailah. Ini baju piyama pengasih ndoro. Karena sudah tua maka kemarin akan dijual, tapi kupinta untuk kupakai tidur. Pakailah, pakaian ini bersih, belum kupakai,"

   Katanya tertawa pula.

   "Ah, terima kasih, dik. Sungguh-sungguh engkau baik-hati."

   "Kawan senasib, kataku tadi,"

   Ia memperingatkan. Malam itu Yitna tidur dengan nyenyak dan puas. Telah sebulan lamanya Yitna bekerja menjadi tukang kebun. Selama itu ia telah mengerjakan taman bunga dengan penuh kerajinan. Kini bibit-bibit bunga yang ditanam olehnya atas petunjuk Ratna dan ayahnya telah mulai bersemi. Bahkan Dahlia dan Mawar cangkokan dari Tawangmangu kini telah berkembang. Ternyata sebagaimana yang diceritakan Tarmi, pak Harjo sangat sabar dan berhati baik. ia mendapat hadiah sesetel piyama dan sesetel kemeja dan celana yang masih baik, walaupun agak sempit untuknya.

   Tapi yang herkesan dalam-dalam dihatinya, ialah pemberian selimut dari Ratna. Teringat selalu olehnya kejadian seminggu yang lalu. Ketika itu ia sedang tidur ketika Ratna dan ayahnya pulang dari menonton film. Karena mereka berhenti berbelanja direstoran, mereka tiba di rumah sudah jam dua belas malam. Yitna terbangun dari tidurnya dan membuka pintu garasi. Malam itu sangat dingin, karena sejak pagi tadi hujan turun saja. Pak Harjo setelah turun dari mobilnya, segera mendahului Ratna memasuki rumah. Ratna mernandang kepada Yitna yang hanya bercelana piyama dan berbaju kaos. Bajunya semua masih basah karena tak mendapat sinar matahari dalam sehari itu. Jelas nampak bahwa ia kedinginan. Ratna memandang kearah tempat tidur Yitna. Sehelai tikar di atas lantai dan sebuah bantal, lain tiada.

   "Engkau tak berselimut, kang Yitna?"

   Sudah biasa Ratna menyebutnya kang dan Yitna senang benar dengan sebutan itu.

   "Tidak, nona."

   "Dalam hawa sedingin ini?"

   "Saya tidak mempunyai... ah, saya tidak merasa dingin, nona."

   "Engkau bohong,"

   Katanya perlahan lalu meninggalkan ruangan garasi.

   "Selamat tidur, nona Ratna,"

   Berkata Yitna perlahan. Dan pada besok harinya, pagi-pagi sekali Tarmi menyerahkan padanya sehelai selimut.

   "Pemberian den roro Nana."

   Katanya. Yitna menerimanya dengan dada berdebar. Selimutnya! Tentu selimutnya. Ah, ia sangat gembira. Kalau ia diberi selimut baru dan mahal sekalipun, tak kan sesenang itu rasanya. Selimut Ratna! Sejak malam itu, setiap tidur Yitna berselimut kembang itu, dan sering bermimpi berjumpa dengan Ratna. Dalam waktu sebulan itu, sering timbul pikirnya, apakah yang akan dicapainya dengan bertukang kebun.

   Beberapa kali datang kehendaknya untuk minta berhenti dan melanjutkan perantauannya. Ke Semarang atau Jakarta. Tapi bayangan Ratna dengan mata bintangnya membuat ia lemah dan tidak sanggup meninggalkan rumah gedung di jalan Gading itu! Memang aku lemah, demikian pikir Yitna dengan perasaan tak puas kepada diri sendiri. Aku keedan-edanan. Sungguh tak tahu diri tergila-gila kepada Ratna! Ia, seorang tukang kebun! Bagaikan seekor katak merindukan bulan. Yitna marah kepada perasaan sendiri. Malam itu ia tiada kerja. Pak Harjo dan Ratna sejak sore tadi telah pergi keluar rumah. Berbaik dengan Tarmi menjadi berbahaya juga, karena kini Tarmi bersikap terlampau baik padanya. Bersikap memikat, menarik, menantang, tanda-tanda dari seorang wanita terjerat perangkap asmara.

   Yitna segera mengganti pakaiannya dengan celana dan kemeja pemberi majikannya dan karena baru pagi tadi ia menerima gaji, maka dalam saku celananya terdapat uang lima puluh rupiah. Malam hari Minggu. Di sepanjang jalan yang dilaluinya ramai orang berpesiar dengan gembira. Lebih-lebih di Sriwedari, karena pada malam hari itu rombongan sandiwara "Pelangi"

   Bermain di gedung wayang orang. Yitna ikut berdiri di dalam antrian yang panjang. Dan setelah mendapatkan karcis kelas II, ia memasuki ruangan gedung yang telah penuh dengan penonton. Ketika ia sedang berdiri mencari-cari tempat kosong dengan pandangan matanya, tiba-tiba terlihatlah olehnya Ratna dengan beberapa orang gadis lain duduk dibarisan terbelakang dari kelas I.

   Hatinya berdebar. Aneh, mengapa ia merasa sangat girang melihat gadis itu di sini? Ia lalu mendapatkan sebuah kursi kosong yang agak jauh di belakang tempat Ratna dan kawan-kawannya. Tapi ia dapat melihat gadis itu. Semenjak sandiwara dimulai sampai tiba waktu istirahat, perhatian Yitna terbagi dua antara permainan di atas panggung dan Ratna. Ia tak dapat melepaskan pandangannya lama-lama dari gadis majikannya itu. Maka ketika dilihatnya Ratna bersama seorang kawannya berdiri dan keluar pada waktu beristirahat, iapun keluar pula. Dari belakang dilihatnya Ratna dan kawannya itu menghampiri seorang penjual rokok permen, dan membeli permen. Pada saat itu terdenear Ratna memaki agak keras,

   "Bangsat kurang ajar kau !"

   Yitna terkejut dan melihat dua orang pemuda tersenyum-senyum dan berlagak di depan Ratna. Ia segera mendekati.

   "Engkau terlampau angkuh, nona manis. Sudah sepatutnya dalam tempat ramai seperti ini orang bersentuh-sentuhan, disengaja maupun tidak. Dan pinggangmu tersentuh oleh tanganku dengan tak disengaja, mengapa engkau marah-marah?"

   Berkata seorang daripada mereka dengan masih tersenyum.

   "Kalau marah makin bertambah manisnya,"

   Menggoda pemuda kedua.

   "Memang kalian orang tak beradat. Tak bersopan, tak bermalu."

   Ratna segera menarik lengan kawannya untuk diajak kembali memasuki ruangan gedung sandiwara. Tapi kedua pemuda itu segera mendahului dan menghalang jalan.

   "Eit, nanti dulu, nona manis. Engkau telah memaki-maki, kami. Tapi kami tak pernah membalas. Kami pun tak ingin membalas, hanya engkau harus memberitahukan nama dan tempat tinggalmu,"

   Berkata pemuda pertama.

   "Ya untuk pembayar maki dan cacimu tadi,"

   Berkata yang kedua.

   "Pergi kau !"

   Tapi mereka hanya tersenyum mengejek. Tiba-tiba mereka melihat seorang pemuda mendekati mereka. Ratna memandangnya dengan heran, ketika mengenal bahwa pemuda itu adalah tukang kebunnya.

   "Jangan mengganggu wanita. Itu bukan laki-laki namanya,"

   Menegur Yitna.

   "Hayo pergi kalian!"

   Kedua pemuda itu menjadi marah.

   "Apa? bukan laki-laki? kau kira engkau sendiri yang jantan?"

   Yitna tak mempedulikan mereka, tapi segera memandang Ratna dan berkata,

   "Masuklah kembali, nona. Biarkan aku yang membereskan anak-anak ini."

   Tapi pada saat itu Ratna berteriak,

   "Awas, kang Yitna!"

   Yitna menghelakan kepalanya, tapi terlambat. Sebuah tinju yang dilingkari besi peninju menghantam atas telinganya. Untung baginya tak tepat kenanya, namun cukup membuat ia jatuh tersungkur. Penyerangnya maju menubruk, tapi disambut oleh kaki Yitna yang menendang. Bagi yang pernah merasainya, tentu dapat menceritakan betapa sakitnya perut tertendang. Dengan mengaduh keras, pemuda itu memegangi perut dan jatuh terlentang. Ia tak segera berdiri, hanya berduduk di bawah mengaduh-aduh. Yang seorang lagi mengayun tinjunya kepada Yitna yang sudah berdiri, tapi dengan mudah Yitna dapat menangkisnya dengan lengan kiri dan tinju kanannya balas memukul, tepat menghantam pangkal telinga lawannya.

   Lawannya yang pertama sudah berdiri kembali dan menyerangnya kembali dengan marah. Yitna tenang melawan. Ia gesit dan kuat. Lebih banyak ia membagi pukulan daripada menerima. Akhirnya orang-orang datang memisah. Yitna terengah-engah. Dengan lengan bajunya dikeringkannya keringat yang membasahi muka dan lehernya. Ia melihat darah di kain lengan baju itu. Tapi hanya sedikit. Bekas pukulan krakeling pertama tadi. Tapi kedua lawannya lebih banyak menderita. Yang seorang mendapat mata biru dan bibir bengkak. yang kedua berdarah hidungnya dan masih menekan-nekan perutnya yang tertendang. Yitna memandang ke kanan kiri, mencari-cari.

   Tapi Ratna tak nampak. Ia merasa kecewa. Yang dibelanya tak tahu terima kasih. Tidak peduli melihat ia berkelahi, dikeroyok pula. Tapi, mengapa Ratna harus berterima kasih? Mengapa harus mempeduli? Ia tidak minta dibela, teristimewa tidak oleh seorang tukang kebun! Yitna tersenyum pahit. Ia harus tahu diri. Ia tidak kembali ke gedung sandiwara. Tanpa melihat sekalipun kearah gedung itu dimana ia maklum Ratna berada ia berjalan menuju ke pintu luar dengan kepala terkulai. Kedua kakinya terasa lemah, bukan karena perkelahian tadi, tapi karena kecewa yang mengamuk di dalam dadanya. Tiba-tiba ia melihat Ratna berdiri di depan Sriwedari, agak jauh dari pintu. Tapi Yitna pura-pura tidak melihat, walaupun hatinya berdebar ganjil. Ia menunduk dan berjalan terus. Ketika Ratna sudah terlalui olehnya, gadis itu memanggil,

   "Kang Yitna!"

   Suaranya perlahan, merdu seperti biasanya. Yitna menahan langkahnya, menengok. Ratna menghampiri. Mereka saling memandang. Ratna menghela napas, menunduk, dan berjalan perlahan. Yitna mengikuti. Mereka berjalan berdampingan dengan perlahan dan Yitna mendengar Ratna bebernpa kali menghela napas.

   "Sakitkah kepalamu yang terpukul?"

   Tanyanya tanpa melihat.

   "Kepala? O, tidak hebat benar. Hanya berdarah sedikit. Tapi, mengapa engkau ketahui? Bagaimana...!"

   Ia bingung.

   "Mengapa? Aku melihat sendiri bagaimana engkau berkelahi. Aku girang engkau memberi mereka. Hebat betul! Sayang orang datang memisah! Sebentar lagi, aku berani bertaruh mereka tentu knock-out"

   Kini ia memandang kepada Yitna, mata bintangnya bercahaya gembira. Yitna memandangnya heran,

   "Jadi engkau berada disana tadi ketika aku berkelahi, nona? Kukira..."

   "Tentu saja aku berada disana. Aku lari pergi ketika orang datang memisah, karena aku malu kalau mereka bertanya sebab-sebab perkelahian, lalu aku menjadi pusat perhatian. Maka aku lari."

   "Dan engkau menungguku di sini?"

   "Ya Aku menantimu di sini, mengapa?"

   "Oh, tidak. Hanya... tadi kusangka, nona kembali ke dalam gedung sandiwara dan tidak mempedulikan padaku yang berkelahi."

   "He, mengapa engkau berkata begitu? Engkau telah membelaku, kang Yitna. Dan aku berterima kasih padamu. Mengapa engkau menyangka begitu?"

   "Karena... karena aku hanya... hanya tukang kebun!"

   Ratna berhenti melangkah dan menatap wajah Yitna.

   "Engkau terlampau merendahkan dirimu, kang. Itu tidak benar dan tidak baik. Apakah perbedaan antara tukang kebun dan lain pekerja? Bagiku sama saja, tukang kebun, tukang sapu, ataupun pegawai tinggi, semua itu pekerja namanya. Sudahlah, jangan berpikir tentang pekerjaan atau tentang kedudukan. Aku tadi sangat bangga melihatmu, kang Yitna."

   "Bangga?"

   "Ya karena engkau berkelahi dengan gagah dan untuk aku."

   Mereka berjalan terus. Perlahan-lahan. Untuk beberapa lama mereka tak berkata-kata. Yitna mendengar kata-kata Ratna merasa sangat beruntung. la dapat berjalan berdampinga. Ratna. Ah, tak mungkin ia dapat mengharapkan yang lebih dari itu. Andaikata mereka berjumpa dengan pak Harjo. Yitna khawatir, perasaannya tak sedap. Bukan takut ia akan mendapat marah, tapi ia khawatir bahwa Ratna tentu akan disalah sangkakan dan mendapat marah ayahnya.

   "Mengapa engkau tidak pergi bersama Tuan Harjo, nona?"

   Ratna yang sedang terbenam dalam lamunan, tersadar kaget dan tersenyum manis.

   "Ayah pergi berkonperensi di Semarang. Mungkin besok baru kembali. Aku tadi menonton dengan empat orang kawan pelajar."

   Kembali untuk beberapa lama mereka berdiam.

   "Nona, baru sekarang aku berkesempatan mengucapkan banyak terima kasih padamu."

   "Terima kasih? Untuk apa?"

   "Engkau telah memberi selimutmu kepadaku. Telah kuterima dari Tarmi, seminggu yang lalu."

   Muka Ratna memerah. Yitna maklum akan hal ini karena untuk sesaat Ratna menundukkan mukanya.

   "Ah, hanya selimut. Aku kasihan melihatmu, kang Yitna. Maka selimutku kuberikan. Aku masih mempunyai sebuah yang baru. Tak perlu engkau berterima kasih untuk selimut bekas itu."

   "Karena bekas itulah maka aku berterima kasih kepadamu, nona."

   "Ah, sudahlah kang Yitna, engkau membuatku malu!"

   Yitna merasa makin beruntung. Mungkinkah di dunia ini ada tukang kebun seberuntung ia? Beramah-tamah, berbicara bermanis-manisan dengan puteri majikan?

   "Tak mungkin,"

   Pikiran ini dengan tak disengaja dikatakan oleh mulutnya. Ratna menengok, memandang heran, tapi lalu menunduk kembali. Tak lama kemudian sampailah mereka di rumah. Tarmi menyambut kedatangan mereka dengan heran tertahan.

   "Den Nana? Kok berjalan saja? Dan mas Yitna..."

   "Aku berjumpa dengan kang Yitna di Sriwedari. Dan ia telah menolongku dari gangguan pemuda-pemuda kurang ajar."

   Lalu Ratna menceritakan tentang perkelahian itu. Sementara itu Yitna telah berada dalam kamarnya dan dengan perasaan sangat beruntung ia mengambil air untuk mencuci luka di kepalanya. Tarmi memasuki garasi.

   "Kepalamu luka, mas? Mana, biarkan aku yang mencucinya."

   Yitna akan menolak, tapi Tarmi memaksanya, maka dibiarkannya perempuan itu membasahi luka di kepalanya dengan sebuah sapu tangan.

   "Mas Yitna,"

   Katanya sambil membalurkan obat luka di kepalanya Yitna.

   "Tak mungkin seekor domba merindukan daun cemara yang tinggi, bukan?"

   Yitna menahan rasa perih lukanya dengan menggigitkan giginya.

   "Apa maksudmu, dik Tarmi?"

   Tanyanya heran.

   "Jawablah dulu pertanyaanku,"

   Berkata Tarmi yang lalu berdiri membawa tempat air pencuci itu keluar. Yitna memikir-mikirkan maksud kata-kata Tarmi, tapi tetap tidak mengerti. Ketika Tarmi datang kembali ia menjawab,

   "Memang sukar bagi domba itu, dik Tarmi, karena domba tak dapat terbang atau memanjat pohon."

   Tarmi tersenyum puas.

   "Jadi engkau setuju bila kukatakan bahwa domba itu tidak seharusnya merindukan daun cemara dan harus menerima dan puas dengan rumput saja?"

   Yitna mengangguk.

   "Begitulah sepatutnya. Domba itu bodoh sekali kalau merindukan sesuatu yang tak mungkin didapatkannya."

   "Tapi mengapa engkau sendiri sebodoh domba itu, mas Yitna? Mengapa engkau merindukan seorang yang berada jauh lebih tinggi daripada yang dapat engkau capai?"

   Yitna memandang tajam.

   "He, dik Tarmi! Apa pula ini? Apa maksudmu?"

   "Bukankah den Nana itu jauh lebih tinggi dari puncak cemara, mas?"

   "Oooo..."

   Yitna menundukkan kepalanya.

   "Itukah gerangan maksudmu? Engkau menuduh aku merindukan den Ratna?"

   "Bukan menuduh, mas. Aku sudah yakin. Terbayang belaka pada matamu kalau engkau sedang memandangnya. Aku sudah tahu, sejak engkau diberinya selimut dulu. Dan tadi pula... Aku, ah..."

   Tarmi menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Yitna makin heran melihat air mata Tarmi mengalir diantara celah-celah jarinya.

   "Mengapa, dik? Engkau menangis! Mengapa?"

   "Jawablah dulu, mas... benarkah engkau mencintai den Nana?"

   Yitna menunduk dan berkata perlahan.

   "Aku memang bodoh, dik. Lebih bodoh daripada domba itu, barangkali?"

   Makin menjadilah isak Tarmi.

   "Tapi, mengapa engkau menangis, dik?"

   "Dan aku... ah... domba itu merindukan daun cemara, tanpa mempedulikan rumput-rumput hijau yang berada di bawah kakinya dan aku rumput hina ini... selalu mengharap-harap dengan sepenuh jiwa"

   Yitna bangun berdiri.

   "Engkau...? Engkau cinta padaku?"

   "Tentu tak kau peduli..."

   Ia berdiri pula dan hendak meninggalkan garasi. Tapi Yitna memegang lengannya.

   "Maafkan aku, dik. Engkau seorang berbudi baik. Aku suka kepadamu dan aku sayang engkau, tapi cinta... ah, maafkan, dik."

   Tarmi menahan air matanya dan mencoba tersenyum. Senyum duka yang menyayat hati Yitna.

   "Tidak apa mas. Memang sudah nasibku untuk selalu menderita kekecewaan. Biarlah. Tapi jangan engkau melanjutkan kebodohanmu juga. Engkau akan kecewa pula seperti aku nanti."

   "Terima kasih, dik, Tapi, perasaan cinta itu bukan dibuat-buat dan bukan pula disengaja. Ia datang tanpa dikehendaki. Dan aku telah terjerat."

   "Dan cemara itu terlampau tinggi, mas."

   Yitna menghela napas.

   "Ya... tapi ada kalanya angina meniupnya sehingga daunnya patah terlepas dari cabangnya dan jatuh ke bawah memungkinkan si domba datang mendapatkannya."

   Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh, den Nana. Maaf, den. Saya tidak melihat."

   "Mengapa engkau berlari-larian?"

   Suaranya tajam pendek, dan ketika dilihatnya mata Tarmi basah memerah.

   "Ada apakah maka engkau menangis?"

   "Tidak... tidak apa-apa, den. Hanya tadi ketika mencuci luka di kepala mas Yitna, terpercik air ke mataku..."

   Ratna memandang tajam. Ia dapat membedakan antara mata terpercik air dan mata bekas menangis. Dan suara Tarmi menggetar itu. Tanpa berkata apa-apa ia bertindak masuk. Yitna masih duduk di atas lantai bertikar. Kepalanya telah terbungkus sapu tangan Tarmi. Ia mendengar juga suara Ratna, dan ia hanya duduk menanti di bawah dengan hati bergoncang.

   "Lukamu sudah terbalut baik-baik, kang Yitna?"

   Tanyanya kaku.

   "Ya nona. Oleh Tarmi, baik benar hatinya."

   Tarmi menghela napas dan lari keluar dari garasi. Masih terdengar isaknya tertahan. Hampir saja ia bertubrukan dengan Ratna yang berjalan masuk ke garasi.

   "Memang. Baik benar hatinya. Tentu nyaman rasanya sekarang, bukan?"

   Yitna heran mendengar tekanan kata-kata yang kaku itu, tapi dijawab juga,

   "Hampir lenyap rasa perihnya."

   "Tarmi pandai benar membalut, ya? Dan ia cantik pula!"

   Suaranya meninggi memaksa Yitna mengangkat muka memandang. Heran benar ia. Ratna nampak marah. Ia tak berani berkata apa-apa, hanya lalu berdiri dengan canggung. Tiba-tiba Ratna menegakkan kepalanya, dan suaranya tajam ketika ia berkata,

   "Bagaimana juga, tak pantas seorang perempuan muda membalut kepala seorang laki-laki di dalam kamar laki-laki itu pula. Kecuali kalau ada apa-apa diantara kamu berdua."

   Yitna terkejut.

   "Tapi, nona. Kami tidak mempunyai maksud jahat."

   "Hm! Laki-laki tetap laki-laki. Tak tahu bersopan dan menjaga nama baik!"

   "Tapi, nona..."

   Yitna tak melanjutkan bantahannya karena melihat Tarmi tiba-tiba masuk. Tarmi memandang kepada Yitna dan Ratna dengan takut-takut.

   "Den Nana,"

   Katanya kemudian,

   "Sungguh, den. Mas Yitna tak bersalah apa-apa. Janganlah menuduh yang bukan-bukan."

   Ratna makin marah.

   "Engkau lancang benar. Tak dipanggil berani ikut-ikut berbicara. Pendeknya, aku tak suka kamu berbuat sesuka-suka di sini. Engkau tak patut memasuki garasi ini pada waktu tengah malam. Tak pantas benar seorang wanita memasuki kamar laki-laki."

   Tarmi berkata merendah, hampir menangis,

   "Saya hanya kasihan dan ingin menolong, den. Dan bukankah den Nana sendiri juga masuk kesini?"

   Sambungnya perlahan. Ratna memerah mukanya.

   "Aku adalah pemilik rumah ini. Boleh kumasuki kemana yang aku suka!!"

   Yitna berdiri.

   "Nona Ratna, maafkanlah saya,"

   Katanya merendah.

   "Bukan maksud saya menyakiti hatimu."

   Ratna tak menjawab, hanya bertindak keluar dan ketika ia mendengar suara tangis Tarmi, ia berhenti dan memandang kepadanya. Lalu katanya perlahan, penuh kemenyesalan.

   "Aku menyesal, Mi. Tadi aku marah-marah. Entah mengapa, tapi aku sedang pusing. Sudahlah, jangan menangis. Engkau jangan terlampau sering memasuki kamar Yitna. Tak baik dilihat orang,"

   Dan iapun pergilah. Setelah mendengar pintu tengah tertutup oleh Ratna, Tarmi berkata kepada Yitna.

   "Engkau benar, mas. Memang mungkin sekali cemara yang tinggi itu akan patah ditumbangkan angin."

   Dan Yitna tak diberinya kesempatan untuk menjawab karena ia terus lari menuju ke kamar sendiri. Semalam itu Yitna tak dapat tidur. Ia merasa tidak senang jika teringat akan kemarahan Ratna.

   Mengapa gadis itu menuduhnya demikian? Kasihan Tarmi. Alangkah menghinanya! Ia dan Tarmi disangka orang macam apakah? Seolah-olah ia seorang pemuda yang mudah bermain gila dengan segala perempuan yang dikenalnya. Sungguh tak senang ia mengenangkan sikap Ratna tadi. Alangkah rendahnya pandangan nona itu kepadanya. Ah, memang aku yang bodoh, pikirnya. Mengapa menerima nasib menjadi tukang kebun saja? Mana cita-citaku? Aku harus pergi. Ya. besok aku harus pergi dari sini! Ia masih dapat mendengar jam tembok berbunyi dua kali ketika tidur sudah hampir menguasainya dan jam empat pagi ia telah bangun kembali. Setelah mandi, dikumpul-kumpulkannya pakaian dan setengah jam kemudian siaplah ia sudah. Kopor pakaian kecil dari seng telah menanti untuk diangkat.

   Tarmi sedang menyapu di depan rumah. Ia tak perlu memberitahukannya. Tapi, demikian hatinya membantah, ia harus melihat Ratna sekali lagi. Hatinya bimbang diantara segera pergi dan menanti dulu. Ah, lebih baik berpamit. Tak sopan itu namanya kalau pergi saja. Pula, mungkin orang akan mendakwanya yang tidak-tidak. Pintu tengah terbuka. Ratna keluar berpakaian house-coat merah menuju ke kamar mandi. Yitna pura-pura tak memperhatikan, padahal seluruh perhatiannya menuju kepada Ratna sehingga setiap bunyi air menyiram gadis itu didengarnya belaka. Ketika Ratna keluar dari kamar mandi, rambutnya basah kusut, wajahnya segar, mata bintangnya menyaingi bintang pagi, senyumnya membayang di bibir, Yitna masih berdiri! di situ memandang. Alangkah cantiknya!

   "He, ada apa, kang Yitna?"

   Pandangnya beralih-alih dari muka ke tangan kirinya dan senyumnya menunjukkan kegelian hati. Baru Yitna sadar bahwa tak terasa ia memegang sapu di tangan kirinya dengan canggung, berdiri saja dan memandang gadis itu seperti seorang peranan wayang! Segera dilepaskannya sapu itu, dengan kemalu-maluan.

   "Hendak dipengapakan sapu itu, kang Yitna?"

   (Lanjut ke jilid 01c)

   Karena Wanita (Non Cersil)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01c

   "Oh... ini sapu... saya sedang hendak menyapu, nona."

   Ratna tertawa kecil.

   "Sudah lupakah engkau menyalam pagi kepada lain orang?"

   "Oh..ya.."

   Yitna makin bingung.

   "Selamat pagi, nona Ratna."

   Alangkah manisnya, alangkah jelitanya, pikiran Yitna penuh dengan kecantikan gadis itu. Tiba-tiba pandangan Ratna berubah.

   "He, kang Yitna. Engkau hendak kemanakah? Sepagi ini sudah bersolek. Dan..."

   Pandangan matanya mengarah kopor, kopor itu...?"

   "Nona Ratna. Maafkan aku, nona... Aku... hendak memohon diri..."

   "Apa? Mohon diri... engkau... akan pergikah?"

   Yitna mengangguk dan memandang tajam.

   "Ya nona Ratna. Aku pikir... akan lebih sempurnalah kiranya jika... aku pergi. Pertama, untuk melanjutkan maksudku merantau yang menjadi cita-citaku pertama. Kedua, aku tak akan menyusahkan nona lagi dengan Tarmi. Aku akan pergi merantau, nona, dan sekarang juga!"

   Sikat gigi dan Colgate terlepas dari tangan kiri Ratna dan terjatuh ke bawah. Terdengar bunyi,

   "Trak!"

   Dan sikat itu patah menjadi dua. Ratna seakan-akan terkejut dan memandang ke bawah. Lalu diambilnya perlahan-lahan kedua barang itu dan ketika ia berdiri kembali memandang kepada Yitna, wajahnya memerah.

   "Benar-benarkah engkau akan... pergi?"

   "Ya nona."

   "Sudah tetapkah... kehendakmu?"

   "Putusanku sudah tetap, nona. Aku hendak memenuhi..."

   "Cita-cita, engkau katakan tadi?"

   Potongnya.

   "Apakah cita-citamu itu, kalau aku boleh bertanya?"

   Yitna agak bingung.

   "Cita-citaku... aku ingin memenuhi janjiku terhadap orang tuaku dan, dan... sedapat mungkin memenuhi pengharapan mereka, nona."

   "Apakah janjimu dan apa pulakah pengharapan mereka?"

   "Aku berjanji akan bekerja mencari uang dan membelikan kain dan baju untuk ibu dan pakaian untuk bapak dan... dan... tentu mereka mengharapkan supaya aku menjadi... orang."

   "Menjadi orang?"

   Tanyanya ragu-ragu.

   "Yang kumaksudkan, orang pantas, nona. Tidak seperti sekarang ini. Menjadi tukang kebun."

   Lalu ditambahnya cepat- cepat.

   "Walaupun menjadi tukang kebun itu baik juga, apalagi kalau menjadi tukang kebun di sini. Tapi... dengan... keadaanku yang miskin dan hina ini, pada pendapatku, aku... belum memenuhi syarat untuk menjadi... orang."

   Ratna diam saja. Mereka kedua-duanya menundukkan kepala. Beberapa puluh detik berlalu sunyi, kemudian,

   "Izinkanlah aku pergi, nona Ratna. Dan aku menghaturkan banyak terima kasih akan segala kebaikanmu dan juga ayahmu. Percayalah selama hayat belum meninggalkan tubuhku ini, aku takkan melupakan tempat ini."

   "Kang Yitna. TinggALLAH sampai ayah datang."

   "Tidak, nona. Tolong sampaikan saja terima kasih dan hormatku kepada beliau."

   Ratna memandang kepadanya. Bibirnya bergemetar. Berdebar hati Yitna. Berat rasa hatinya harus bercerai dengan gadis yang telah mengikat jiwanya.

   "Kang Yitna... tak dapat ditundakah pergimu ini?"

   Yitna menggeleng kepala. Matanya terasa panas. Hatinya terharu dan sedih.

   "Tidak... beratkah engkau meninggalkan... aku?"

   Lalu segera disambungnya.

   "Dan rumah ini?"

   Kedua lengannya tak disengaja bergerak ke depan terbuka. Yitna melangkah setindak ke depan. Dadanya makin berdebar.

   "Tidak berat meninggalkan? Ratna... nona... tidak berat, kau kata? Ah, kalau saja engkau dapat mengetahui rasa hatiku.. Kalau aku harus bercerai dengan ke dua tanganku, takkan seberat ini rasanya. Bahkan matipun takkan kuberatkan seperti perceraian ini, nona,"

   Suaranya menggetar. Ratna mundur selangkah dan memandangnya dengan pucat dan mata berlinang air.

   "Ketahuilah, Ratna... tak... perlu aku bersembunyi lebih lama. Boleh engkau memaki padaku nanti, tapi... sesungguhnya, aku... aku cinta padamu! Nah, puas aku sekarang. Sudah terlepas kata-kata yang selama ini memberatkan lidahku. Aku cinta padamu, tidak karena kekayaanmu, tidak pula karena kecantikanmu atau karena engkau pandai belaka. Tapi, ah... aku tak mengerti. Aku cinta padamu dan karena itulah aku harus pergi."

   Ia berhenti terengah-engah. Air mata mengalir dari kedua mata Ratna. Dadanya berombak. Bibirnya bergerak-gerak.

   "Ratna, engkau boleh marah kepadaku. Boleh menghinaku. Aku takkan meminta maaf karena kata-kataku tadi. Sesungguhnya, baru sekali ini aku mengalami perasaan seperti ini. Aku maklum bahwa ini tak mungkin. Aku hanya tukang kebun. Engkau puteri majikanku. Engkau adalah Sumbadra dan aku tak lebih hanya Burisrawa yang tak pantas mendekatimu."

   Ia teringat akan kata-kata Tarmi.

   "Dan... dan engkau adalah daun cemara, sedangkan aku hanya seekor domba hina. Engkau terlampau tinggi bagiku..."

   Ratna menundukkan kepala. Kini terdengar isak tangisnya tertahan-tahan.

   "Nah, selamat tinggal, nona Ratna. Aku akan sering berjumpa dengan nona di dalam mimpiku. Selamat tinggal"

   Yitna membungkuk dan mengambil kopornya. Ketika ia berdiri, Ratna sedang memandangnya dengan mata sayu. Bibirnya bergerak-gerak dan akhirnya keluarlah kata-kata bisikan,

   "Kang Yitna... jangan... jangan pergi. Jangan tinggalkan aku."

   Kini kopor itulah yang terlepas dari pegangan Yitna. Benarkah itu kata-kata Ratna? Tidak mengimpikah ia?

   "Apa nona? Apa yang kau maksudkan...?"

   "Jangan engkau pergi dari sini, kang Yitna. Berat hatiku engkau tinggalkan..."

   "Mengapa, nona? Mengapa begitu?"

   "Kang Yitna, tak mengertikah engkau? Haruskah aku mengatakan bahwa akupun cinta padamu? Begitu bodohkah engkau?"

   Ia menutup mukanya dengan kedua tangan. Dan ia memberikan saja ketika Yitna memegang lengan kirinya dan menciumi tangannya dengan bibir gemetar.

   "Ya ALLAH Yang Pengasih! Engkau cinta padaku...? Ratna cinta padaku?"

   Bisiknya dan kembali ia menciumi jari-jari tangan kuning halus itu dengan penuh khidmat.

   "Tidak ganjilkah itu, Rat? Sumbadra mencintai Burisrawa?"

   "Engkau bukan Burisrawa bagiku, kang. Kalau aku Sumbadra, maka engkau adalah Arjunaku..."

   Ratna memandang dengan matanya yang memancarkan sinar cinta yang dalam pandangan Yitna menggenggam penuh kesucian. Mereka saling memandang. Dan dalam pandangan itu, seakan-akan hati mereka saling berbicara, saling berjanji, dan saling maklum.

   "Engkau tidak pergi bukan, kang?"

   Yitna menggeleng-gelengkan kepalanya, tersenyum bahagia.

   Diudara ramai suara burung-burung menyambut pagi. Tiba-tiba Ratna melepaskan tangannya dari pegangan Yitna dan iapun larilah ke dalam. Pada saat itu Tarmi mendatangi dari luar. Yitna pura-pura tak melihatnya dan ia lalu mengembalikan kopornya ke dalam garasi. Hatinya penuh kebahagiaan, dan bergemetar seluruh tubuhnya karena kata-kata Ratna masih berkemandang dalam telinganya.

   "Aku cinta padamu!"

   Alangkah merdunya. Alangkah sedapnya kata-kata itu, dan alangkah ganjilnya! Ia duduk di atas bangku garasi dengan tenang. Demikian asyiknya gelombang kebahagiaan mengayun-ayunnya di dalam lamunan sehingga tak terlihat olehnya bahwa Tarmi sedang memandang kepadanya dengan sinar mata menunjukkan kebencian dan kesedihan. Tak teringat pula olehnya bagaimana sikat gigi Ratna tadi patah menjadi dua!

   * * *

   Ratna memasuki kamar ayahnya dengan gelisah. Telah dua hari semenjak datang dari Semarang, ayahnya nampak marah-marah saja. Dan sekarang, sepulangnya dari sekolah, ayahnya memanggilnya ke kamar. Biasanya kalau ada sesuatu yang perlu dibicarakan, ayahnyalah yang datang mencarinya.

   "Ada apakah, ayah?"

   "Duduklah, Rat."

   Ganjil pula ini. Ayahnya nampak demikian sungguh-sungguh. Ia lalu pergi duduk disebuah kursi menghadapi ayahnya, mencoba menahan guncangan hatinya.

   "Ratna, sejak ibumu meninggalkan kita dua tahun yang lalu, aku bertahan hidup seorang diri dan berusaha sedapatku untuk menjadi seorang ayah yang baik."

   Ratna makin heran. Rahasia apakah ini? Tiba-tiba hatinya seakan-akan berhenti berdetik ketika timbul persangkaannya bahwa mungkin ayahnya akan kawin lagi, atau ia akan dikawinkan! Tapi segera ditenangkan kembali hatinya.

   
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Memang engkau adalah seorang ayah yang baik. Dan akupun berdaya sedapatku untuk menjadi seorang anak yang baik pula, ayah."

   Kemuraman wajah ayahnya untuk sesaat lenyap tertutup sinar kegembiraan.

   "Aku percaya, Rat. Engkau tentu akan selalu taat dan menjaga nama baik ayahmu."

   Mengapa nama baik? Apakah gerangan ini? Mereka berdiam diri dan keadaan di dalam kamar menjadi sunyi. Ratna menanti kata-kata yang agaknya sukar keluar dari mulut ayahnya.

   "Ratna, pada pendapatku, lebih baik Yitna kuhentikan dari pekerjaannya."

   Ratna memandang ayahnya dan melihat sinar mata ayahnya seakan-akan hendak menembus pusat pikirannya. Ia menekan perasaan hatinya dan berusaha berkata setenang-tenangnya.

   "Dikeluarkan maksudmu, ayah? Tapi mengapa? Bukankah ia seorang pekerja yang rajin dan baik? Lihatlah kebun bunga kita demikian rapi dan bersih..."

   "Memang, ia seorang pemuda yang patut dipuji karena rajinnya,"

   Menjawab Pak Harjo menghela napas.

   "Tapi sayang... ia tak tahu diri."

   "Tak tahu diri?"

   Ratna menduga-duga, hatinya makin gelisah.

   "Ia telah berani coba menggoda anakku!"

   Ratna tersentak dan berdiri dari kursinya dengan maksud hendak membantah, tapi karena pandangan mata ayahnya demikian meyakinkan, ia terduduk kembali dengan lemah, kepalanya terkulai.

   "Ratna, tak perlu kita berpanjang kata. Itu hanya akan mendatangkan perasaan tak sedap belaka. Engkau seorang terpelajar, dan tentu sudah pandai berpikir. Kita selalu sama-sama berterus terang, bukan?"

   Ratna mengangguk berhati-hati. Ia maklum akan keahlian ayahnya dalam berdebat. Ia maklum bahwa dibalik kata-kata yang halus itu bersembunyi kemauan keras yang tak mudah dibantah.

   "Nah, sekarang jawablah terus terang kepadaku. Adakah engkau mencintai Yitna?"

   Ratna tidak berani memandang wajah ayahnya, namun ia yakin bahwa ayahnya sedang memandang dengan tajam.

   "Aku... aku tak dapat menjawabnya, ayah,"

   Bisiknya perlahan.

   "Ratna,"

   Suaranya makin lembut saja, namun makin menggelisahkan hati gadis itu.

   "Kita adalah ayah dan anak, bukan? Apa sukarnya bagimu untuk menjawab pertanyaan itu? Jawablah dengan ya atau tidak. Ingatlah, nak, di dalam jawabanmu ini terletak nasib kita dikemudian hari. Jawablah!"

   "Mengapa engkau memaksa juga, ayah?"

   Mata Ratna mulai membasah.

   "Aku tidak ingin menyakitkan hatimu, tapi... sebenarnya aku... mencintai padanya."

   Terdengar batuk Pak Harjo. Batuk perlahan penahan rasa pukulan yang didatangkan oleh pengakuan anaknya.

   "Ratna, sudahkah kau timbang baik-baik putusan perasaan hatimu itu? Jangan hanya menurutkan bisikan hati mudamu, nak. Engkau adalah seorang gadis terpelajar, pasti dapat menimbang dengan pikiran sehat. Engkau mencintai Yitna? Tidakkah terpikir olehmu, siapa dan apakah Yitna itu. Seorang tukang kebun, petani desa tak berpendidikan, dan tukang kebun kita sendiri malah. Adakah itu tidak memalukan jika diketahui orang bahwa Ratna gadis terpelajar, anak seorang pegawai tinggi, jatuh cinta kepada... tukang kebunnya... sendiri?"

   "Ayah!"

   Air mata mengalir panas dipipinya.

   "Engkau terlampau menghina. Apakah yang merendahkan pekerjaan bertukang kebun? Apakah perbedaan antara pegawai tinggi dan tukang kebun? Adakah cinta itu membutuhkan kedudukan dan pendidikan? Pegawai tinggi dihormat orang, memang. Tapi bukan karena sifat pekerjaan itu yang terhormat. Orang menghormat penghasilan dan kedudukannya. Sebaliknya, tukang kebun dipandang rendah, hanya karena kecilnya penghasilan. Bagiku tukang kebun atau petani, maupun pegawai tinggi, semua sama saja. Semua pekerjaan adalah mulia. Rendah atau tidaknya hanya bergantung kepada orang yang mengerjakannya Aku tidak malu mengaku bahwa aku mencintai Yitna, karena ia seorang berhati mulia, jujur, berani, dan sopan. Pendeknya ia menarik hatiku. Timbanglah dengan seadil-adilnya, ayah. Kalau seorang tukang kebun dan seorang berpangkat tinggi kedua-duanya memakai pakaian yang sama, dapatkah orang membedakannya? Tukang kebun pun seorang manusia, ciptaan Tuhan!"

   Ratna menentang pandangan ayahnya dengan berani dadanya bergelombang, terengah-engah. Untuk sesaat Pak Harjo memandang anaknya dengan kagum. Tapi segera terganti kemarahan melihat perlawanan itu yang dianggapnya adalah terdorong oleh kemanjaan.

   "Enak saja engkau berteori, Ratna. Kata-katamu itu hanya teori lapuk yang hanya terdapat di dalam filsafat pujangga canggung. Bayangkanlah pikiranmu kepada kenyataan. Orang berumah tangga tidak cukup hanya bermodal cinta. Biar bagaimana tak sedap didengarnya, namun adalah satu kenyataan bahwa nama terhormat dan uang memegang peranan penting di dalam kebahagiaan rumah tangga. Kalau engkau sampai menjadi isteri seorang tukang kebun yang bergaji lima puluh rupiah sebulan, bayangkanlah, alangkah akan sukarnya hidupmu!"

   "Tapi aku sendiri dapat bekerja mencari uang, ayah."

   "Engkau terlalu, Rat. Baru ini kali engkau mengecewakan hatiku. Lebih sakit rasa hatiku daripada ketika ibumu meninggalkan kita. Anakku yang hanya seorang mencintai seorang tukang kebun! Ya ALLAH, apakah akan terjadi dengan kita kelak?"

   Ratna maju berlutut di depan ayahnya dan menangis.

   "Ayah... ampunkan... aku, ayah... Dengan Yitna aku akan menemui kebahagiaan..."

   Pak Harjo tunduk memandang kepala anaknya yang bersandar di pahanya. Jari-jari tangannya membelai-belai rambut yang halus berombak itu. Ia menghela napas.

   "Rat, biarlah. Untuk sementara ini kuterima bahwa engkau mencintai Yitna. Tapi aku ingin sekali mengetahui apakah tukang kebun itu mencintai padamu?"

   "Begitulah agaknya, ayah... Ia pernah menyatakan cintanya kepadaku ketika ia hendak pergi."

   Ia lalu menceritakan peristiva di Sriwedari dan tentang Yitna hendak pergi meninggalkan pekerjaannya. Pak Harjo mengangguk-angguk.

   "Sudahlah itu cukup menjadi bukti bahwa ia benar-benar mencintai padamu, Rat? Mencintai dengan suci? Ingat nak, sampai matipun aku masih akan merasa penasaran kalau kelak ternyata bahwa cintanya padamu itu tak lain hanya karena melihat kecantikanmu atau karena uang kita!"

   Kembali Ratna berdiri menentang ayahnya.

   "Tak mungkin, ayah! Tak mungkin Yitna akan serendah itu."

   "Engkau belum berpengalaman, nak. Mudah terpedaya oleh kemanisan mulut dan kehalusan sikap. Kalau menurut pandanganku aku masih sangsi apakah ia itu benar-benar jujur."

   "Akan sama-sama kita lihatlah, ayah."

   Pak Harjo tersenyum sedih.

   "Ya akan sama-sama kita lihat. Tapi, Ratna, jagalah kehormatan namamu sendiri. Jangan engkau bergaul terlampau dekat dengan Yitna. Aku belum dapat memutuskan sebelum yakin benar akan kejujurannya."

   "Yitna dan aku bukan orang-orang rendah dan hina, ayah. Aku yakin, cinta kami bersih. Dan Yitna adalah seorang yang bercita-cita untuk memperbaiki keadaannya. Ia pasti akan berhasil kalau saja mendapat jalan."

   Kembali ayahnya tersenyum.

   "Hm, akan sama-sama kita lihat, Rat."

   Kemudian tanpa berkata apa-apa, Pak Harjo keluar dari kamar meninggalkan Ratna.

   * * *

   "Tarmi..."

   Suara Ratna mengandung kecemasan. Tarmi yang sedang memasak air di dapur, berlari ke kamar Ratna.

   "Ada apakah, den Nana?"

   "Tarmi. Sudahkah engkau memasuki kamar ini pagi tadi?"

   "Belum, den. Bukankah den Nana baru saja bangun?"

   "Kamarku terbuka, Tarmi, dan... dan kotak perhiasanku! Malam tadi kutaroh di meja rias. Sekarang sudah... hilang. Rupanya ada pencuri masuk malam tadi. Wajah Ratna pucat dan ia hampir menangis, mencari-cari di dalam lemari dan laci meja.

   "Maling? Ya ALLAH, den. Jangan-jangan malingnya masih berada di sini!"

   Suaranya menurun berbisik dan ia menjenguk ke bawah ranjang Ratna dengan takut-takut.

   

Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini