Ceritasilat Novel Online

Karena Wanita 4


Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Ini nasinya, mas."

   Berkata Wagiyem ketika pembantunya mengantarkan dua piring nasi rames. Mereka lalu makan sambil mengobrol riang. Tapi Yitna berdiam saja mendengarkan. Ia menikmati nasi rames itu dengan diam-diam dan memikirkan peruntungannya dengan hati puas. Lebih-lebih kalau ia teringat rijbewijs yang akan diterimanya minggu depan nanti.

   * * *

   "Berhati-hatilah kalau sedang mengemudikan truk. Jangan menuruti hati ingin berlomba-lomba saja. Perhatikan benar-benar peraturan lalu lintas,"

   Demikian pesan terakhir komandan polisi lalu-lintas ketika memberikan rijbewijs kepadanya. Yitna keluar dari kantor polisi membawa rijbewijs B-satu dengan hati besar dan bangga. Ia merasa seakan-akan seorang mahasiswa yang telah lulus dalam ujian terakhir. Segera ia mendapatkan Daryo. Dan dengan pertolongan kawan yang baik hati ini, Yitna diterima menjadi sopir dari truk "Mulyo"

   Di Pekalongan. Gajinya pertama-tama dua ratus lima puluh rupiah. Uang makan lima belas sehari. Mencari muatan sendiri, karena "Mulyo"

   Hanya mempunyai dua buah truk dan tak mempunyai kantor.

   "Aku menyesal harus berpisah dengan engkau, Na. Berpisah di dalam pekerjaan, maksudku, karena kita akan sering bersua juga. Takkan mudah bagiku mencari seorang kenek seperti engkau. Tapi aku gembira benar karena engkau mendapatkan kemajuan ini."

   "Terima kasih atas segala bantuan dan kebaikanmu, mas Daryo."

   Demikianlah. sejak hari itu Yitna menjadi sopir. Ia bekerja siang malam. Lebih rajin daripada Daryo. Hasilnya lumayan juga dan setelah bekerja selama setahun ia dapat mengumpulkan uang sebanyak tujuh ribu lima ratus rupiah! Hasil dari gaji, sisa uang makan, dan catutan di jalan, walaupun cara mencatutnya tak seberani Daryo. Semenjak bekerja menjadi sopir, setiap bulan dikirimkannya uang barang seratus dua ratus kepada ayahnya di Rejowinangun. Tapi ia tak pernah menyurat karena ia merasa bahwa keadaannya belum patut dibanggakan kepada orang tuanya. Pada suatu hari truknya sampai di Semarang. Hari sudah malam dan karena hotel "Dana"

   Dimana ia biasa bermalam telah penuh, maka ia bermalam di hotel "Nyaman."

   Ia tiba di hotel itu pada jam enam sore.

   Sehabis mandi ia makan dan lalu pergi berjalan-jalan. Sidin, keneknya ia suruh menjaga truk. Karena malam itu terang bulan, maka banyak pula orang-orang yang berjalan-jalan menikmati hawa malam yang sejuk. Kemudian Yitna dengan naik becak menuju ke pelabuhan. Telah beberapa kali ia melihat pelabuhan dan laut. Di situ ia selalu merasa gembira dan kagum. Ketika pertama kali ia datang melihat air laut maka ia merasa seakan-akan dirinya kecil tak berarti. Banyak pertanyaan diajukannya kepada Daryo yang mengajaknya kesitu. Tapi kebanyakan jawaban Daryo tak memuaskan hatinya. Banyak pula pertanyaannya tak terjawab oleh kawannya itu. Sampai saat itu, ketika ia sedang berdiri memandang laut luas, masih belum terjawab juga olehnya pertanyaannya sendiri tentang darimana terkumpulnya air yang sekian banyak itu? Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang memanggil namanya!

   "Mas Yitna"

   Ia menengok cepat dan berhadapan dengan Tarmi! Gadis pelayan yang dulu menjadi kawan sekerjanya itu kini berdiri di hadapannya. Yitna terheran, bukan karena perjumpaan itu, tapi karena melihat perubahan yang nampak pada diri Tarmi. Pakaiannya kain batik halus, kutang model BH membayang di balik bajunya sutera tipis. Pakaian mewah dan modern itu bahkan belum seberapa. Bibirnya kini memerah gincu. Bedaknya tebal. Bahkan alis matanya melengkung hitam panjang buatan tangan.

   "Engkau... dik Tarmi"

   Tarmi memandang kepadanya dengan heran pula. Dipandangnya Yitna dari rambutnya yang tersisir rapi menghias wajahnya yang cakap, lalu kepada kemeja lengan panjangnya sampai kepada sepatu yang hitam baru.

   "Mas Yitna, engkau... kini makmur, ya?"

   Suaranya masih tertahan-tahan, rupa-rupanya ada juga rasa terharu padanya dalam perjumpaan itu.

   "Engkau seorang diri saja, dik?"

   Timbul tenggelam pengharapan di dalam hatinya kalau-kalau Ratna ada bersama-sama pula dengan Tarmi. Matanya mencari-cari.

   "Aku sendirian saja, mas. Dimana engkau tinggal sekarang Dan apa pekerjaanmu? Dan bilakah engkau keluar?"

   Yitna melihat banyak orang memandang kearah mereka, maka ia lalu mengajak Tarmi pergi memasuki sebuah restoran yang banyak berada disitu. Mereka duduk berhadapan. Di bawah sinar lampu listrik yang terang Yitna dapat melihat Tarmi dengan jelas. Ternyata bahwa dibalik kemewahan itu terbayang kelelahan dan kekesalan yang bersembunyi dibalik sinar matanya yang layu. Bibirnya yang digincu itu sering gemetar. Telinga kirinya yang rupa-rupanya tak kebagian bedak tampak memucat. Kemudian datanglah pertanyaan bertubi-tubi dari Tarmi. Yitna menceritakan keadaannya dengan singkat. Ingin sekali hatinya menanyakan tentang Ratna, tapi mulutnya tak sampai rnengucapkan pertanyaan itu. Lalu ia menanyakan tentang keadaan Tarmi. Tarmi menghela napas berkali-kali dan memandang kepada Yitna dengan perasaan menyesal.

   "Mas Yitna, engkau kasihan sekali dan aku... aku... telah berdosa padamu."

   "Berdosa? Aku tak mengerti, dik."

   "Sebenarnya aku dapat membelamu dulu, tapi aku... aku mengiri dan juga aku tidak berani, mas."

   Dan ketika ia melihat Yitna bingung tak mengerti, ia melanjutkan cepat-cepat.

   "Dengar, mas. Aku tahu bahwa engkau dahulu itu tidak berdosa. Aku bahkan tahu pula siapa yang telah memfitnahmu."

   Yitna bangun berdiri dengan berdebar, tapi lalu terduduk kembali.

   "Ceritakanlah dik, siapakah pengecut itu?"

   "Ia adalah... den Harjo sendiri, mas."

   "Pak Harjo?"

   Yitna menyandar kepada kursi, terkejut dan heran. Di dalam penjara sering ia memperbincangkan hal itu dengan Mangun. Tidak lain, kalau bukan si Tarmi tentu sopir itu yang menjadi pencurinya, berkata Mangun dengan penuh keyakinan, dan ia percaya juga walaupun ia tak dapat menemukan alasan mengapa seorang diantara mereka itu akan memfitnahnya. Tapi Pak Harjo? Tak termakan oleh akal. Ia memandang kepada Tarmi dengan tidak percaya.

   "Pak Harjo Tapi... tapi... mengapa...?"

   "Begini, mas. Aku tak perlu bersembunyi lebih lama. Selama ini aku merasa berdosa kepadamu. Dengarlah, mas. Dulu ketika aku melihat den Nana dengan engkau di belakang, yaitu ketika engkau mau pergi dulu, masih ingatkah engkau, mas?"

   Yitna mengangguk, tentu saja ia masih ingat akan hal itu.

   "Nah, ketika itu hatiku menjadi panas, iri dan cemburu. Aku lalu melaporkan hal itu kepada den Harjo. Tentu saja ia tidak menyetujui hubunganmu dengan den Nana. Tapi den Nana rupa-rupanya mencinta benar kepadamu. Maka den Harjo lalu menggunakan siasat."

   Yitna memandangnya dengan bibir terbuka.

   "Aku melihat ia pergi memasuki kamarmu pada pagi hari pencurian itu terjadi. Ketika itu engkau sudah pergi membeli bibit kembang. Maka tahulah aku bahwa den Harjolah yang mencuri perhiasan anaknya sendiri dan kemudian disembunyikan di dalam kamarmu."

   "Tapi, apa maksudnya?"

   "Tak dapatkah engkau meraba? Ah, engkau bodoh sekali, mas. Apa maksudnya? Tentu saja karena ia tak menyukai hubunganmu dengan den Nana. Dengan berbuat demikian, maka ia dapat menyingkirkan engkau dari rumahnya dan membuat den Nana membencimu."

   Yitna memerah mukanya. Jari-jari tangannya mengepal keras. Sinar matanya berapi-api.

   "Engkau marah, mas. Maafkanlah aku. Aku seharusnya memberitahukan hal itu kepadamu."

   "Marah? Apa gunanya aku marah? Ia ayah Ratna. Mungkin maksudnya baik yaitu untuk kepentingan anaknya. Dan... dan memang ada pula baiknya perbuatannya itu bagiku. Aku mendapat banyak pengalaman. Dan... dan sudah kawinkah Ratna sekarang?"

   "Entahlah, mas. Aku tidak tahu akan hal itu. Karena setelah engkau masuk penjara, rupa-rupanya den Harjo maklum pula bahwa aku mengetahui akan rahasianya. Aku lalu diberhentikan dan disuruh pergi dari Solo dan diberi uang tiga ribu rupiah. Maka aku lalu pindah kesini sampai sekarang."

   "Biarlah, dik. Yang sudah biarlah lalu."

   "Engkau memang orang baik, mas. Kalau saja anak kambing itu tidak merindukan puncak cemara dahulu..."

   Yitna tersenyum sedih.

   "Anak kambing itu kini telah lebih pandai daripada dahulu, dik."

   "Benarkah?"

   Ia memandang dengan tajam.

   "Marilah mampir di rumahku, mas."

   "Di rumah... suamimu?"

   Tarmi tersenyum. Baru kali ini ia tersenyum sejak perjumpaan tadi. Senyumnya lebar dan bebas. Ia nampak gembira. Heran benar hati Yitna akan perubahan yang tiba-tiba ini.

   "Suami?"

   Katanya, alis buatan itu bergerak-gerak.

   "Ah, mas Yitna, siapakah yang sudi untuk menjadi suamiku? Hayo kita pergi, naik beca saja."

   Sebenarnya Yitna tak ingin sekali pergi ke rumah Tarmi, tapi tak enaklah perasaannya kalau ia menolak. Mereka naik beca dan menuju ke sebuah gang yang gelap. Rumah Tarmi adalah sebuah rumah sederhana tapi diatur dengan sangat menyenangkan. Kembang-kembang menghias media menggembirakan suasana. Yitna melihat di ruang depan terdapat sebuah lemari kecil penuh botol limun dan bir. Juga tempat kue penuh terisi kue kering. Baru saja masuk hidungnya bertemu dengan bau harum minyak wangi. Bau macam ini diciumnya juga ketika mereka naik becak berdampingan tadi. Ia merasa bagaimana Tarmi tadi mendesak-desakkan tubuhnya menyatakan perasaannya.

   "Duduklah, mas,"

   Katanya dan seorang perempuan tua keluar dari pintu tengah.

   "Ini... bibiku, mas."

   Yitna mengangguk hormat. Tapi Tarmi tidak mempedulikan perempuan tua itu yang lalu kembali masuk ke dalam. Keheranan Yitna karena kelakuan Tarmi ini bertambah ketika dari dalam keluar dua orang perempuan muda. Pakaian dan cat muka mereka tidak kalah mewahnya oleh Tarmi.

   "Ini Marsih dan ini Lasmini."

   Kedua wanita itu terkekeh genit.

   "Kawan barumu ini muda dan gagah benar, Mi,"

   Berkata Lasmini dengan suara berirama. Marsih pun lalu mengambil tempat duduk di tangan kursi Yitna, Pemuda itu heran dan malu. Ia bangun berdiri termangu-mangu dengan canggungnya.

   "Tapi, dik Tarmi..."

   Tarmi lalu memberi tanda dengan matanya kepada kedua kawannya.

   "Mas Yitna ini sahabatku sejak dulu. Bertahun-tahun sudah kami tidak berjumpa. Janganlah mengganggunya, dik,"

   Katanya. Kedua wanita itu ketawa dan Lasmini berkata kecewa,

   "Dimonopolikah? Ah, biarlah. Biar puas kamu berdua."

   Mereka lalu pergi masuk kembali dengan terkekeh genit. Yitna memandang kepada Tarmi dengan tak senang.

   "Dik Tarmi, aku tidak mengerti. Rumah apakah ini"

   Tarmi tersenyum sedih.

   "Masih seperti dulu juga engkau, mas. Canggung, bodoh dan... menarik."

   Tiba-tiba terdengar siul gembira dari luar dan dua orang pemuda memasuki rumah itu tanpa permisi.

   "Halo, Mi."

   Salam mereka.

   "Mana Marsih?"

   "Halo mas Ton! Hey, mas Jon! Duduklah, mereka sedang di belakang. Tunggulah kupanggil mereka. Mari kita bicara didalam, mas Yitna."

   "Ah, jangan terganggu olehku, dik. Aku mau pulang saja."

   Tapi Tarmi memegang lengannya dan menariknya ke dalam.

   "Bukankah kita dahulu menjadi kawan senasib"

   Katanya mengerling genit.

   "Belum hilang rasa kangenku."

   Yitna terpaksa menurut dan seperti seekor kerbau dibawa ke penjagalan ia dituntun ke sebuah kamar. Kamar itu kecil. Hanya berisikan sebuah dipan bertilam putih, sebuah lemari kecil, dua kursi dan sebuah meja. Di atas meja terdapat kembang mengharum layu. Tarmi menutupkan daun pintu kamarnya.

   "Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan bebas."

   "Tapi, apakah artinya ini, dik? Rumah ini... perempuan-perempuan itu apakah engkau sudah menjadi...?"

   Tarmi memandangnya dan di bibirnya bermain senyuman manis.

   "Engkau maksudkan... pelacur, mas! Ya memang benar,"

   Ia menghela napas.

   "Memang aku seorang pelacur."

   "Tapi... tapi... dik."

   "Dengar, mas. Jangan mencela dulu. Aku belum menceritakan pengalamanku sampai habis. Setelah aku terlepas dari pekerjaanku dan mendapat uang dari den Harjo, aku hidup mewah dengan uang itu. Tapi beberapa bulan kemudian uang itu menipis dan aku sudah menjadi biasa dengan cara hidup mewah. Dan hidup mewah memerlukan banyak uang, mas. Lalu, bagaimanakah seorang perempuan bodoh seperti aku dapat menghasilkan banyak uang? Terpaksa aku melacurkan diri, jalan satu-satunya bagiku untuk mendapat uang besar, mas."

   "Tapi dik, pekerjaan macam itu hina dan kotor. Mengapa engkau mengatakan terpaksa? Engkau belum kelaparan. Masih banyak jalan untuk engkau mencari kerja lain!"

   Yitna merasa kecewa dan penasaran.

   "Misalnya menjadi babu orang? Menjadi manusia kuda diperbudak dan diperas tenaganya?"

   Kata-katanya mencemoohkan.

   "Kerja berat, hasil kecil, derajat rendah."

   "Tapi tidak serendah derajat pelacur!"

   "Derajat pelacur rendah! Itulah kalau cara memandangmu dangkal, mas. Tahukah engkau bahwa para bapak-bapak yang terhormat, pemuda-pemuda yang bersih cakap terpelajar, pengusaha-pengusaha hartawan, mereka itu suka sekali mendekati orang yang kau sebut rendah derajat seperti aku ini?"

   Ia tersenyum lebar.

   "Tapi sebaliknya, siapakah yang sudi menghiraukan seorang babu? Paling-paling jongos atau tukang kebun. Pula, engkau harus ingat, mas. Aku masih muda sudah menjadi janda, gara-gara ketidak-setiaan laki-laki. Setiap laki-laki mudah saja pergi mencari pelepas dahaga mudanya. Bukankah aku ini manusia jua? Tidakkah aku pun berhak melepas dahagaku dengan meminum air yang sama? Orang memandang rendah kepada perempuan pelacur, tapi lupa bahwa laki-laki hampir semua pergi melacur. Bukankah mereka itupun rendah?"

   "Bagiku orang melacur pun rendah juga, tapi tak serendah pelacurnya sendiri. Pekerjaan hina, memikat merusak laki-laki, menyebarkan penyakit."

   "Sst! Jangan keras-keras. Terdengar oleh orang lain kurang baik."

   "Sudahlah, aku pulang saja, dik Tarmi. Tak perlu aku berlama-lama di sini,"

   Ia berdiri tapi Tarmi segera memegang lengannya.

   "Nanti dulu, mas. Tidak maukah engkau... menghibur diri dengan aku? Engkau tak perlu membayar, mas. Aku tak membutuhkan uangmu."

   "Tidak!"

   "Hanya untuk memberi kenang-kenangan padaku, mas? Demi persahabatan kita dahulu!"

   Tarmi membujuk merayu sambil memeluk. Tapi Yitna melepaskan lengan yang memeluknya itu.

   "Tidak, dik. Tidak sudi aku! Aku bukan seorang rendah yang suka melakukan perhubungan hina."

   Tarmi melepaskan pelukannya. Matanya menyinarkan kekecewaan. Tapi tiba-tiba mata itu berair dan iapun menangis. Kekerasan hati Yitna agak melembut.

   "Mas, engkau... engkau terlampau menghina padaku."

   "Aku tidak menghina engkau, dik. Aku hanya memandang rendah kepada perempuan pelacur. Semua jalang bagiku sampah masyarakat."

   Tarmi mengangkat mukanya dan terbayang rasa penasaran hatinya.

   "Engkau... laki-laki... engkau sungguh tak tahu diri. Duduklah, mas. Jangan pergi dulu sebelum engkau habis mendengarkan kata-kataku. Dengarlah, pertama-tama kau katakan bahwa pelacur itu hina? Bahwa pekerjaan melacurkan diri itu rendah? Tapi ketahuilah, bagaimana juga, pekerjaan tetap tinggal pekerjaan. Dan tiada pekerjaan yang rendah. Hubungan gelap karena dorongan nafsu itulah yang boleh dikatakan rendah, tapi orang seperti aku ini melacurkan diri dengan hanya dua dasar. Mencari nafkah dan mencari kesenangan. Hubungan yang terang-terangan mas. Suka sama suka. Tidak ada rahasia dan kegelapan di dalam pekerjaanku ini. Kau katakan tadi memikat merusak laki-laki? Benarkah? Bukankah lebih tepat kalau kukatakan bahwa laki-lakilah yang memikat perempuan dengan uang dan lagaknya sehingga banyak perempuan terjebak? Kemudian perempuanlah yang disia-siakan oleh laki-laki sehingga menjadi pelacur! Laki-lakilah yang memikat wanita menurutkan nafsu jahatnya dan kemudian habis manis sepah dibuang. Kau katakan tadi penyebar penyakit? Tahu benarkah engkau bahwa penyakit itu tidak didatangkan oleh laki-laki? Seperti kukatakan tadi, perempuan seperti aku ini melacurkan diri karena menganggap ini suatu pekerjaan untuk mendatangkan penghasilan uang dan juga untuk memberi jalan pelepas dahaga. Lebih baik membuat hubungan dengan lelaki secara terang-terangan daripada menggelap memperebutkan suami orang! Tengoklah, mas. Suami, ayah, tunangan, semua datang kesini untuk melacur. Manakah yang lebih hina? Aku atau mereka?"

   "Perempuan seperti aku mencari kesenangan untuk memenuhi kehendak tubuh, pembawaan dari kodrat alam. Aku tidak mengkhianati siapa-siapa. Tapi sekalian lelaki yang datang kesini, apakah maksudnya? Mencari kesenangan pula, dan menghamburkan uang. Kadang-kadang uang yang dibutuhkan oleh rumah tangganya. Di sini suami mencurangi isterinya, pemuda mencurangi kekasihnya, dan calon ayah merusak kesehatan calon turunannya. Tidakkah mereka itu jauh lebih hina daripada aku? Siapa yang pantas disebut sampah masyarakat? Siapa yang lebih pantas dibasmi?"

   Tarmi berhenti berkata-kata dan menangis penasaran. Yitna termenung dan tak tahu harus berkata bagaimana. Serangan-serangan bernafsu itu sebenarnya mudah saja baginya untuk membantah karena ia sendiri memang tidak pernah melacur. Tapi bagaimana dengan lain laki-laki seperti Daryo dan lain-lain? Ia teringat bagaimana Daryo yang telah beristeri dua dan beranak empat itu berlagak dan memikat hati Wagiyem.

   "Mas Yitna, dunia ini bukan dunia laki-laki saja. Kesenangan pun bukan hanya untuk lelaki saja. Perempuan seperti akupun berhak akan kesenangan. Coba bayangkan, mas. Kalau engkau menjadi seorang perempuan seperti aku. Tak mampu mencari penghasilan cukup, masih muda dan tak seorangpun yang mau memperisterikan, betapa hebat penderitaanmu?"

   "Setidak-tidaknya, walaupun bagaimana rendahnya masyarakat memandang pelacur, namun kamipun ada mempunyai jasa, mas. Pelacur merupakan minuman pelepas dahaga bagi mereka yang membutuhkan dan tak mempunyai air penawar. Pelacur pulalah yang telah menghibur ratusan ribu laki-laki yang sedang duka dan patah hati. Pelacur memberikan seluruh yang dimiliki dengan hati tulus ikhlas dan tuntutannya hanya uang. Uang untuk makan dan pakai. Masih engkau anggap hinakah aku, mas"

   Untuk beberapa detik Yitna tak dapat berkata-kata.

   "Tapi, dik Tarmi, bagaimana benar juga pembelaanmu, aku tetap tidak suka melihat engkau menjadi pelacur."

   "Mas Yitna, maukah engkau kawin dengan aku?"

   Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan Yitna benar dan cepat-cepat ia menggelengkan kepala seperti seorang anak kecil disuruh minum jamu pahit. Tarmi bersenyum mengejek.

   "Engkau tak suka melihat aku menjadi pelacur. Tak suka pula menjadi suamiku. Habis, engkau akan senang melihat aku menjadi apakah, mas?"

   
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Menjadi apa saja, dik, asal bukan menjadi pelacur serendah ini."

   "Jadi pengemiskah?"

   Yitna menggelengkan kepala cepat-cepat.

   "Menjadi babu lagi barangkali? Menjadi bujang orang?"

   Katanya marah.

   "Mas Yitna, engkau tidak adil. Seakan-akan hidup seorang perempuan bodoh dan tak berdaya seperti aku ini terkurung tak berdaya oleh keinginan laki-laki yang ingin melihat mereka menurut pendapatan yang seenaknya saja. Tak mengingat sedikit juga akan keadaan perempuan itu sendiri. Hah! Sebal aku melihat kebodohanmu."

   Tarmi marah benar. Yitna bangun berdiri.

   (Lanjut ke jilid 02b)

   Karena Wanita (Non Cersil)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02b

   "Maaf, dik. Mungkin pendirianku salah, karena seperti katamu tadi, aku masih bodoh. Aku hanya memberi nasehat. Engkau boleh hidup mewah dan bersenang-senang sesuka hatimu setiap hari, tapi itu hanya ketika engkau masih muda, bagaikan bunga masih segar. Tapi nanti, bila engkau sudah tua, dan bagaikan bunga sudah layu, bagaimanakah?"

   "Soal tua dan tidak laku itu adalah urusan nanti. Apa kau kira seorang perempuan tua dan lemah akan laku juga menjadi babu? Setidak-tidaknya sekarang aku dapat mengumpulkan uang untuk hari tuaku. Dapatkah seorang babu mengumpulkan uang selama hidupnya? Pendeknya, seperti kukatakan tadi, soal tua itu soal nanti, yang perlu sekarang ini. Aku bisa bersenang-senang, mendapatkan uang dengan mudah, dan hidup merdeka tak terjajah. Aku berjasa kepada orang yang membutuhkan hiburan dan aku dapat pula mempermainkan lelaki yang hidupnya hanya pantas menjadi permainan seorang seperti aku. Dan engkau... hah, engkau terlampau suci, terlampau bersih. Aku tidak membutuhkan orang seperti engkau."

   Kembali air mata mengalir di pipi Tarmi. Yitna menghela napas dan lalu menuju ke pintu.

   "Selamat tinggal dik dan terima kasih bahwa engkau sudah menceritakan padaku tentang hal-hal dahulu. Bolehkah kiranya aku membantumu dengan... uang?"

   Ia mengeluarkan dompetnya, pada pikirannya akan memberi Tarmi barang dua ratus rupiah.

   "Uangmu? Terima kasih. Aku tak pernah menerima uang tanpa bekerja. Engkau tidak sudi menerimaku, dan akupun tak sudi menerima uangmu."

   Yitna menggerakkan pundaknya.

   "Nah, selamat tinggal, dik Tarmi."

   Ia bertindak keluar, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Tarmi dari belakang. Ia menengok dan menampak Tarmi menangis terisak-isak.

   "Mas..."

   Bisiknya.

   "Maafkan segala kata-kataku. Engkau benar. Aku adalah seorang hina. Janganlah melupakan aku mas, walaupun kita tak mungkin dapat berjumpa kembali. Selamat berpisah, kudoakan engkau akan hidup beruntung..."

   "Aku tidak memandang rendah padamu, dik,"

   Katanya terharu. Yitna keluar dari rumah itu. Sehelai uang kertas lima puluh rupiah ia lemparkan kepada nenek tua yang menghadangnya di luar pintu. Suara ketawa riuh rendah dari rumah itu mengikutinya dari belakang. Ia berhenti untuk mendengarkan lebih jelas. Seakan-akan terdengar olehnya suara Tarmi ikut tertawa bergelak-gelak. Dan suara itu seakan-akan mengejeknya. Kemudian telinganya dapat menangkap keluh ratap bersembunyi diantara gelak gembira itu.

   "Semoga dik Tarmi dapat kembali kejalan benar,"

   Bisiknya dan menghela napas dalam-dalam. Tapi apakah jalan benar itu? Dan ia tak sanggup menjawab.

   * * *

   Sejak menjadi sopir, Yitna menggunakan waktu luangnya untuk menghafal pelajaran-pelajaran yang diambilnya dari kantor pelajaran dengan surat. Ia mempelajari bahasa Inggeris, pembukuan dan administrasi. Disamping itu ia gemar pula membaca buku-buku pengetahuan dan politik. Kini mengertilah ia arti kata-kata birokrasi, korupsi, kompetensi, dan lain-lain si lagi dan juga organisatoris, diktatoris, dan segala macam istilah lainnya. Dulu kata-kata komunisme, kapitalisme, borjuis dan yang macam itu membingungkannya, tapi sekarang semua itu dimengertinya benar. Sebuah kamus politik jarang bercerai dari saku celananya yang lebar. Pada suatu hari truknya mengangkut barang alat-alat mobil dari Jakarta untuk ke firma "Jaya & Co"

   Di Semarang. Alangkah girangnya ketika ternyata direktur firma itu adalah Ho Jin.

   "Jin! Bila engkau keluar"

   Teriaknya gembira. Ho Jin yang kini nampak bersih dan cakap itu memandangnya dan beberapa saat kemudian barulah ia mengenalnya.

   "Yitna! Engkau? Menjadi sopir?"

   Dan Ho Jin memeluk bahunya.

   "Bagaimana, kawan? Banyak maju? Mari kita mengobrol didalam!"

   Dan ditariknya lengan Yitna menuju kekantornya.

   "Senang benar aku berjumpa dengan engkau, Yit. Sering aku mengenangkan engkau. Aku keluar setahun yang lalu dan membuka perusahaan import ini. Engkau sudah menjadi sopir? Tak kusangka engkau pandai menyopir."

   Yitna lalu menceritakan pengalamannya. Ho Jin mendengarkan dengan girang.

   "Engkau sekarang sudah kaya raya, Jin? Heran benar aku. Dulu engkau katakan sudah habis-habisan disita pemerintah. Tapi sekarang sudah menjadi direktur importeur. Sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau begitu mudah menjadi kaya."

   Ho Jin tertawa.

   "Karena rajin, pengharapan dan kemauan besar, dan... kemujuran, Yit. Aku mendapat pertolongan dari saudara-saudaraku dan beberapa orang kawan. Dipinjami modal, aku berusaha dan begitulah. O ya, Yit, coba sebutkan alamatmu, sewaktu-waktu aku hendak bercakap-cakap dengan engkau. Aku suka padamu, dan aku ingin membantumu mencapai kemajuan. Masih teringat olehku ceritamu dulu itu, yakni tentang cita-citamu. Masih adakah cita-cita itu tersimpan di dalam hatimu?"

   Yitna mengangguk.

   "Terima kasih, Jin. Tapi aku tak berumah tinggal. Tempatku ialah dimana prahoto itu berada. Di situ aku berada pula. Ini hari di Semarang. Besok di Jakarta, lusa mungkin di Pekalongan dan dimana saja prahotoku membawaku pergi."

   "Kalau begitu, nanti bila engkau datang ke Semarang lagi, mampirlah kesini. Yit. Ada sesuatu yang sangat penting hendak kubicarakan, tapi tak dapat sekarang, karena aku harus berunding dulu dengan kakakku. Ketahuilah, firma ini adalah milik kakakku dan aku berdua."

   "Baik, Jin,"

   Dan iapun pergilah meninggalkan Ho Jin dengan kata-kata Ho Jin itu merupakan teka-teki baginya. Ia tak menyangka sedikit juga bahwa perjumpaannya dengan HoJin itu akan mendatangkan perubahan yang besar sekali dalam hidupnya. Empat hari kemudian, ketika prahotonya membawa muatan ke Semarang, ia mengunjungi Ho Jin. Di situ, dengan hati berdebar-debar ia mendengarkan penawaran Ho Jin dan kakaknya, Ho Kiat. Ia diminta untuk menjadi direktur firma "Jaya & Co."

   Penawaran yang hampir tak dapat dipercaya karena keistimewaannya! Ia merasa seakan-akan bermimpi. Firma ini nanti namanya akan dirubah menjadi "NV. Persatuan."

   Engkau tak perlu mengeluarkan uang modal, Yit. Modal nama dan tenaga saja. Tapi engkau berhak 10% atas keuntungan yang didapat oleh NV. Persatuan kita."

   "Tapi... tapi aku masih belum mengerti. Mengapakah engkau melakukan ini, Jin"

   "Begini, saudara Yitna,"

   Berkata Ho Kiat.

   "Kami membutuhkan seorang yang benar-benar jujur dan dapat diajak bekerja sama. Ho Jin telah menceritakan padaku akan keadaanmu dan akupun setuju bila saudara suka bekerja sama dengan kami."

   "Tapi... tapi aku tak mengerti sama sekali tentang urusan import."

   "Itu mudah dipelajari, Yit,"

   Menghibur Ho Jin.

   "dan pula, bukankah kau katakan bahwa engkau mengerti tentang pembukuan?"

   "Ya, tapi apakah ini tidak... melanggar peraturan dan tidak jahat?"

   "Jahat."

   Ho Jin tertawa.

   "Sekali-kaIi tidak, Yit. Dan tentang melanggar peraturan, saya rasa tiada peraturan yang kita akan langgar. Percayalah, Yit, jika engkau suka menerima, itu berarti kebaikan besar bagi kita bersama dan engkau... akan mencapai cita-citamu. Seperti kukatakan tadi, engkau tidak perlu menyetor modal."

   "Tapi kau ada mempunyai juga simpanan uang barang sepuluh ribu."

   "Sepuluh ribu tak berarti banyak, Yit. NV kita ini bermodal satu juta rupiah."

   "Tapi boleh juga kalau saudara Yitna ingin membeli beberapa saham. sepuluh misalnya, dari seribu rupiah..."

   "Baiklah, hal itu mudah diurus kemudian. Sekarang yang terpenting, bagaimana pendapat dan pendirian Yitna. Bagaimana, Yit?"

   "Bersabarlah, Jin. ini sangat tiba-tiba datangnya. Aku menjadi bingung karenanya. Seorang sopir menjadi direktur NV bermodal sejuta? Seperti dongeng. Hampir tak dapat kupercaya, Jin. Bagaimana kata orang nanti"

   "Engkau tidak terkenal di sini. Takkan ada orang yangmengenalmu."

   "Baiklah, akan kupikir-pikirkan hal ini masak-masak, Jin. Berilah tempo seminggu. Akupun perlu berberes dengan majikanku."

   "Oke, Yit. Kami menanti-nanti dengan tak sabar."

   Seminggu kemudian Yitna datang kembali dan menerima penawaran Ho Jin. Sejak hari itu ia menjadi direktur "NV. Persatuan."

   Uangnya sebanyak sebelas ribu rupiah, hasil simpanan setahun setengah menyopir, ia berikan kepada Ho Jin dan ia menjadi pemegang sebelas saham dari seribu rupiah sebuah. Ia mendapat kantor terbesar. Pekerjaan setiap harinya memeriksa surat-surat yang masuk dan menandatangani yang keluar. Untuk sementara Ho Jin membimbingnya.

   Tapi, tiga bulan kemudian, berkat dari pengetahuan yang didapatnya belajar malam, ia faham sudah akan maksud-maksud dan cara bekerjanya NV yang dipegangnya. Kemujuran rupa-rupanya sayang kepada Yitna. Sejak dipegangnya, NV. Persatuan makin maju. Setahun kemudian, neraca dan perhitungan rugi untung menunjukkan keuntungan sebesar empat ratus ribu rupiah! Tapi Yitna tetap hidup sederhana. Tidak menghambur-hambur uang. Uang keuntungannya hanya diambilnya lima belas ribu, ditambah keuntungan sahamnya yang empat ribu, dan ia mengirim uang kepada ayah bundanya sepuluh ribu rupiah berikut surat yang meminta supaya uang itu sebagian dibelikan sawah. Selebihnya ia belikan pakaian dan barang-barang keperluannya. Kelebihan keuntungan ia tambahkan sahamnya kepada NV. Persatuan.

   Ia mulai bergerak di dalam perkumpulan. Yang dipilihnya yaitu perkumpulan P.R.K. yang berarti Perkumpulan Pembela Rakyat Kecil. Tujuan perkumpulan itu ialah memperbaiki tingkat hidup rakyat kecil. Mula-mula ia hanya menjadi anggota biasa. Tapi karena kesungguh-sungguhannya maka di dalam pemilihan tahunan, ia diangkat menjadi ketua. Di bawah pimpinannya, P.R.K. mendirikan koperasi-koperasi tani di desa-desa, membantu perjuangan rakyat miskin. Tak sayang-sayang ia mengeluarkan uang untuk keperluan membantu rakyat kecil. Namanya mulai harum. Tapi itu tak membuatnya berlagak sombong. Bahkan makin dalam ia memasuki pelbagai lapisan masyarakat, makin merasalah ia betapa kurangnya pengetahuannya. Maka diperdalamnya pula pengetahuannya dengan mengambil les malam dan membaca buku-buku pengetahuan.

   * * *

   "Yit, engkau sudah berusia berapa tahun ini?"

   Tanya Ho Jin ketika pada suatu sore Yitna mengunjungi rumahnya.

   "Dua puluh lima. Mengapa?"

   "Dua puluh lima? Waah, sudah pantas kawin kalau begitu,"

   Menggoda Ho Jin, dan Lin Hwa, isterinya yang baru keluar dari dalam, ikut ketawa. Ho Jin baru lima bulan kawin dengan Lin Hwa, gadis dari Solo yang manis.

   "Aah, engkau ada-ada saja, Jin."

   "Yit, aku tidak berolok-olok. Engkau menunggu apa lagi? Mengapa engkau tidak ke Solo Tidak inginkah engkau mengunjungi... den Harjo"

   Yitna terdiam. Bibirnya yang tadi bersenyum kini merapat ditarik ke dalam. Ia tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala.

   "Den Harjo yang mana ngko"

   Tanya Lin Hwa.

   "Den Harjo yang dulu di Gading itu?"

   Yitna terkejut memandang Lin Hwa.

   "Engkau sudah kenal kepadanya nso"

   Ia menyebut nso kepada Lin Hwa atas permintaan Ho Jin, dan Lin Hwa menyebutnya mas. Nso berarti kakak ipar.

   "Kalau den Harjo ayah Ratna aku kenal."

   Yitna membungkuk mengambil gelas kopi susu dan menghirupnya sekali habis. Mukanya merah padam.

   "Ratna adalah kawanku sekolah di SMA. Ia baik benar kepadaku. Kenalkah engkau kepadanya, mas Yitna?"

   Ho Jin terbatuk-batuk. Ia maklum bahwa kata-kata isterinya itu dengan tak disengaja mendatangkan kenang-kenangan lama.

   "Ya... aku... aku kenal mereka."

   "Kasihan Ratna..."

   Berkata Lin Hwa kemudian. Yitna berdebar pucat.

   "Mengapa kasihan, nso?"

   "Ketika terjadi pembersihan korupsi, den Harjo tertangkap karena korupsi dan ia dihukum enam bulan. Barang-barangnya disita. Lalu setelah keluar dari penjara mereka pindah ke Pasar Pon, dimana den Harjo mempunyai rumah tua, rumah keturunan. Dan semenjak itu ia menjadi gila judi. Keadaannya makin sulit. Kasihan Ratna gadis baik itu."

   "Sudah... kawinkah nona Ratna?"

   Tanya Yitna malu-malu.

   "Setahuku belum, mas Yitna. Akupun heran. Banyak sudah datang lamaran tapi semuanya ditolak. Rupa-rupanya ia sudah mempunyai pilihan,"

   Berkata Lin Hwa sambil tersenyum, manis benar wajahnya.

   "Dulu kudengar ia bekerja disebuah kantor. Kasihan benar gadis itu."

   "Lin, tolong pesankan masakan direstoran Syanghai untuk kita. Yitna malam ini makan di sini, bukan, Yit?"

   Yitna hanya mengangguk. Memang sering ia diajak makan disitu dan iapun sudah tak malu-malu lagi berada di rumah Ho Jin dan isterinya itu. Lin Hwa pergi masuk.

   "Yitna, maafkan isteriku. Ia tidak mengetahui akan hubunganmu dengan nona Ratna."

   "Tidak apa, Jin."

   "Nah, kau mendengar tadi, Yit. Ratna masih belum kawin. Tunggu apa lagi Tentu engkau adanya orang yang dinanti-nantikan, Yit."

   Tapi Yitna tak menjawab, hanya tersenyum sedih. Terbayang pula pengalaman dahulu. Ia menjadi gelisah. Masih cintakah ia kepada Ratna? Dan Ratna sendiri?

   "Yit, ini ada sebuah surat hypotheek atas rumah seorang di Solo. Ia menggadaikan rumahnya kepada CV. Bali dan karena perlu memakai uang maka CV itu menjualnya surat ini kepadaku dengan dirugikan."

   "Inikah yang kau uruskan di Solo minggu yang lalu itu?"

   Tanya Yitna sambil menerima amplop panjang itu.

   "Mengapa amplopnya ditutup, Jin?"

   "Ya, karena pemiliknya ingin namanya dirahasiakan. Ia malu kalau ketahuan oleh umum bahwa ia menggadaikan rumahnya. Tapi aku telah melihat isinya sebelum ditutup, Yit. Besok gantilah uangku. Rumah itu digadaikan untuk dua puluh lima ribu dan aku membelinya dua puluh ribu. Sekarang export agak sepi, Yit, kita mesti menukar haluan. Surat-surat effect yang safe pun boleh kita beli."

   "Memang benar, Jin. Tapi... bagaimana aku harus memasukkan buku kalau tak mengetahui nama dari pemilik rumah itu"

   "Masukkan saja dengan nama Tuan X dari Solo. Temponya akan habis pada tanggal dua puluh satu bulan depan."

   Yitna mencatatkan semua itu di atas amplop. Lin Hwa keluar kembali.

   "Sudah kupesan dengan telepon, ngko. Sate babi untukmu, masak ca udang untuk mas Yitna, ayam tomat, bakso gurame dan goreng ayam."

   "Engkau pandai benar mengingat kesukaan orang, nso,"

   Memuji Yitna. Lin Hwa hanya tersenyum manis dan memandang kepada suaminya. Kemudian ia menghampiri record-changer dan memasang piringan hitam.

   "Long-play dari Harry James, nso,"

   Berkata Yitna dan ia berdiri menghampiri untuk ikut memilih piringan hitam. Demikianlah, Yitna petani bodoh itu kini telah mencapai puncak kemuliaan. Menjadi direktur NV, mobil tersedia untuknya sendiri, bertempat tinggal disebuah villa indah, menyetel lagu-lagu solo trompet Harry James! Sungguh, belum tentu ada keduanya diantara seribu orang yang sebaik itu peruntungannya.

   * * *

   "Masuk!"

   Berkata Yitna ketika mendengar pintu kantornya terketuk.

   "Ada apa, Har?"

   Juru tulis Haryono mengangguk hormat

   "Di kamar tamu ada seorang dari Solo hendak berjumpa dengan Tuan. Katanya hendak membicarakan soal rumah."

   Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dari Solo? Baiklah, minta ia menunggu sebentar."

   Setelah membereskan penandatanganan surat-surat dan memberikan itu kepada pembantunya di kantor luar, ia lalu pergi menuju ke kamar tamu. Seorang lelaki berambut putih, tinggi kurus, bangun berdiri dari kursinya.

   "Pak Harjo!"

   Berseru Yitna dengan terkejut heran.

   "Engkau... Yitna? Ada apa engkau... di sini?"

   Masih congkak, pikir Yitna.

   "Aku... bekerja disini, pak."

   Harjo berduduk kembali. Wajahnya nampak tak senang melihat Yitna berada disitu.

   "Oo... engkau seorang pegawai di sini. Coba beritahukan kepada tuan direktur bahwa aku ingin berjumpa,"

   Perintahnya. Alangkah tinggi hati, pikir Yitna. Masih belum hilang sifat keningrat-ningratannya. Tapi ia hanya mengangguk, seperti dulu ketika masih menjadi tukang kebunnya.

   "Baik, pak."

   Lalu pergilah ia kembali ke kantornya. Sepeninggal Yitna, Harjo berpikir dengan heran. Bagaimana Yitna bisa menjadi pegawai kantor? Ah, mungkin hanya penjaga atau pesuruh saja.

   "Tuan direktur minta Tuan datang ke kantornya,"

   Seorang pegawai memberitahukan, dan Harjo lalu berdiri mengikuti pegawai memberitahukan dan Harjo lalu berdiri mengikuti tulisan "Direktur."

   Pegawai itu mengetok pintu. Harjo mendengar suara dari dalam menyuruh masuk dan iapun menolakkan daun pintu dan bertindak masuk.

   "Engkau lagi?"

   Katanya ketika melihat Yitna bangun berdiri dari belakang meja tulisnya.

   "Dimana tuan direktur?"

   Yitna tersenyum.

   "Duduklah, pak,"

   Ia menunjuk kursi di depan meja tulisnya.

   "Bapak hendak berjumpa dengan aku?"

   "Engkau? Engkaukah... ?"

   Katanya gagap. Yitna mengangguk, senyumnya masih belum lenyap dari bibir.

   "Benar, pak. Aku yang rendah ini adalah direktur NV. Persatuan."

   Tiba-tiba bel telepon di atas meja tulis itu berdering. Yitna mengangkat alat teleponnya dan memandang kelain jurusan. Karena itu ia tak melihat bagaimana Harjo memandangnya dengan wajah pucat dan mata berikut mulutnya terbuka lebar-lebar menatap wajahnya dengan tak percaya.

   "Hallo... ya! Dengan direktur Persatuan di sini."

   Harjo terduduk di atas kursi. Kakinya lemas dan dadanya berdebar-debar. Ia tak dapat mendengar apa yang dipercakapkan oleh Yitna didalam telepon itu. Seakan-akan setengah pingsan ia duduk tak bergerak. Ia baru tersadar ketika mendengar Yitna bertanya kepadanya,

   "Apakah yang dapat kulakukan untukmu, pak?"

   Ah, pertanyaan itu serupa benar dengan pertanyaan yang diajukan ketika masih menjadi tukang kebunnya.

   "Masya ALLAH"

   Pikir Harjo dan ia merasa wajahnya panas karena malu.

   "Aku... aku..."

   Jari tangannya bergemetar mencari-cari di dalam saku celananya dan mengeluarkan sebuah amplop.

   "Aku hendak membicarakan tentang isi surat ini... tuan."

   Yitna kembali tersenyum. Senyuman yang sekarang merupakan sebuah pisau tajam menikam hati bagi Harjo.

   "Aku masih tetap Yitna, pak. Jangan memakai tuan-tuanan."

   Iapun menerima amplop itu dan membukanya. Sebelum dibacanya, ia mengambil sekaleng rokok luar negeri.

   "Merokok, pak?"

   "Terima kasih..."

   Jari-jari Harjo masih bergemetar ketika ia mendekatkan rokoknya untuk menerima api dari geretan yang dicetuskan oleh Yitna. Ternyata surat itu dari NV. Persatuan untuk Harjo. Isinya sebuah peringatan agar segera menebus rumahnya, karena sebagaimana perjanjian, kalau sampai terlambat lebih dari sebulan maka rumah itu akan dilelang dan ia harus meninggalkan rumah itu. Penandatangan surat adalah Ho Jin dan segera Yitna mengerti kemana maksud Ho Jin dengan perbuatan itu.

   "Ya... surat ini dari kami, pak. Habis bagaimana?"

   "Tuan !... eh, nak Yitna. Telah lama kita berpisah dan engkau tentu tidak mengetahui betapa sukarnya keadaan rumah tanggaku. Aku sudah... jatuh benar-benar. Dan... dan milikku hanya tinggal rumah itu. Kalau aku dan... Ratna terusir, kami harus pergi kemana?"

   Suaranya menyatakan kebingungan hatinya dan ia seakan-akan memohon, tapi Yitna mendengarkan dengan tenang.

   "Kalau bapak tidak ingin terjadi hal itu, mudah saja. Bayarlah hutang bapak. Beres, bukan"

   Kembali ia tersenyum.

   "Itulah soalnya, nak Yitna."

   Yitna merasa geli mendengar tambahan sebutan nak di depan namanya itu.

   "Aku... tidak mempunyai uang. Karena itulah, maka saya datang kesini, dengan maksud memohon tempo. Barang sebulan dua bulan. Aku dan Ratna akan berdaya mengumpul uang. Aku tidak tahu bahwa engkaulah yang menjadi direkturnya."

   "Kalau bapak mengetahui sebelumnya lalu bagaimana"

   TanyaYitna tajam.

   "Tentu... tentu aku akan datang juga. Apa bedanya Tolonglah padaku, nak."

   "Ini bukan urusan perseorangan, pak. Aku bertindak atas nama NV. Persatuan. Maka menyesal aku tak mungkin dapat memperpanjang tempo penebusan yang telah dijanjikan. Kalau bapak tak dapat membayar sampai tanggal dua puluh satu, jadi seminggu lagi, terpaksa kami bertindak menurut hukum dan melelang rumah bapak. Kalau ditunda-tunda lagi itu berarti satu kerugian bagi NV kami, pak."

   Tangan Harjo menggigil.

   "Kami akan diusir? Diusir dari rumah pusaka nenek moyang sendiri Ah... apa kata Ratna nanti?"

   "Kecuali kalau bapak dapat membayar..."

   "Nak Yitna. Engkau menjadi direktur di sini. Tentu engkau berhak memutuskan sesuatu. Tolonglah, demi... hubungan kita dahulu."

   "Hubungan kita tak patut dikemukakan, pak. Ingatlah, bukankah aku pernah mencuri di rumahmu?"

   Yitna memandang tajam.

   "Aah... aku... aku... tolonglah, nak. Kasihanilah aku..."

   Harjo menunjukkan kelemahannya dan ia hampir menangis. Yitna kasihan juga melihatnya, tapi ia mengeraskan perasaannya.

   "Tak perlu memohon-mohon pak. Tiada guna. Aku tak dapat menolong."

   "Kasihanilah... Ratna, nak Yitna! Ia tak berdosa..."

   Tapi Yitna mengangkat bahunya. Heran dan penasaran rasa hatinya. Ia telah mengharap-harapkan Harjo akan mengakui kecurangannya dahulu. Kalau orang tua itu tanpa diminta suka mengakui kedosaannya, mungkin hatinya takkan sekeras itu

   "Menyesal, pak. Urusan tetap urusan. Aku hanya memenuhi kewajibanku. Dan, maafkan aku, pak. Bukannya aku mengusir. Tapi aku harus pergi ke rapat."

   Yitna memandang jam tangannya dan bangun berdiri.

   "Tapi, nak Yitna. Sungguh-sungguh aku tak berdaya. Tolonglah, tidak teringatkah engkau kepada Ratna? Bukankah kamu berdua saling mencinta?"

   Yitna yang tadinya menghadapi tembok untuk mengambil jasnya, memutar tubuhnya dengan cepat. Sinar matanya seakan-akan membakar tubuh Harjo.

   "Jangan diulangi lagi hal itu! Bukankah engkau sendiri memisahkan kami? Bukankah aku hanya seorang rendah? Tak pantas mencintai anakmu! Dadanya berombak marah dan dan hilanglah harapan Harjo yang terakhir. Iapun berdiri lemah.

   "Baiklah nak Yitna. Kuterima pembalasanmu. Memang aku dahulu... bersalah besar."

   "Sekarang engkau masih belum berubah,"

   Berkata Yitna yang teringat akan kesombongan Harjo tadi.

   "Tapi bagaimana juga aku tak percaya engkau akan sekejam itu. Engkau dahulu demikian sabar dan halus budi."

   "Mengapa baru sekarang engkau berkata demikian?"

   Yitna menyerang dengan sindirannya. Harjo menunduk dan berkata lemah,

   "Aku pergi, nak Yitna. Nasibku terletak di dalam tanganmu. Selamat tinggal."

   Lalu ia keluar dan diantar oleh Yitna sampai kepintu. Ia masih dapat mendengar suara Yitna berkata kepada seorang pegawainya supaya mobilnya disediakan di depan. Serasa dalam mimpi Harjo keluar dari kantor itu. Benarkah ini Yitna yang dulu? Ah, sungguh ganjil peruntungan manusia

   * * *

   "Ayah, engkau mengapakah? Dan bilakah engkau pulang?"

   Tanya Ratna dengan khawatir ketika melihat ayahnya berbaring di kursi malas dan kelihatan lelah. Ia baru saja pulang dari kantor Penerangan dimana ia bekerja.

   "Jam tiga tadi, Rat. Aku... aku lelah sekali, Rat."

   Ratna segera menyediakan kopi sore ayahnya.

   "Ratna, duduklah di sini, nak. Aku mau bicara."

   Ratna duduk.

   "Ada apa, ayah?"

   "Rat, rumah ini akan... dilelang. Dan kita harus pindah, nak..."

   Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena merasa kerongkongannya tersumbat.

   "Dilelang? Pindah? Mengapa begitu, ayah?"

   "Aku... seorang ayah tak berharga, Rat. Gila judi, semua barang habis kuperjudikan dan rumah ini rumah ini telah kugadai untuk dua puluh lima ribu rupiah. Uangnya telah kuhabiskan pula. Dan sekarang... sekarang sudah jatuh tempo, nak..."

   "Oo... ayah..."

   Ratna menubruk ayahnya danmenangis sedih. Harjo mencegah mengalirnya air matanya dengan ujung kemeja.

   "Maafkan ayahmu, Rat. Ayahmu seorang berdosa besar..."

   "Ayah... tak kusangka sampai demikian... dalam engkau terjerumus..."

   "Ayahmu tersesat, nak..."

   Untuk beberapa lama mereka tidak berkata-kata. Ratna menangis dan Harjo membelai-belai rambut anaknya.

   "Ayah, apakah kita tak dapat minta tempo penebusan diperpanjang?"

   "Pagi tadi aku telah menjumpai direktur NV yang memegang hypotheek rumah kita dan direkturnya... ia tidak mau menolong, nak."

   "Alangkah kejamnya"

   Berkata Ratna penasaran.

   "Tidak, nak. Ia hanya... memenuhi kewajibannya. Akulah yang bersalah."

   "Tapi, ayah. Bagaimana juga, kita harus berdaya membayar hutang itu. Aku masih mempunyai perhiasan peninggalan ibu dulu. Kurasa takkan kurang dari enam ribu rupiah kalau dijual dan uang simpananku ada kira-kira seribu rupiah."

   "Ooo... Ratna, Ratna..."

   Harjo memeluk anaknya yang menangis lagi.

   "Engkau sungguh mulia, nak. Tapi percuma saja uang sebegitu. Tidak cukup."

   "Tapi itu kan sebuah pencicilan bukan sedikit. Kita masih mau membayar, dan kekuranganpya akan kita cicil. Direktur itu tentu dapat mempertimbangkan. Aku yang akan ketemukan padanya dan membelamu, ayah."

   "Engkau?"

   Tiba-tiba mata Harjo mengeluarkan sinar harapan. Ya, mengapa tidak? Boleh jadi Yitna akan...

   "Baiklah, nak. Cobalah olehmu. Aku tak sanggup lagi menemuinya. Bawalah sepucuk surat dariku. Kurasa besok masih belum terlambat."

   "Baik, ayah. Buatlah surat itu. Besok pagi-pagi aku berangkat dengan membawa semua perhiasan dan uangku."

   Kemudian Ratna meninggalkan ayahnya dan menuju ke kamarnya. Disitu ia menangis sedih. Mengapa ayahnya menjadi demikian? Bekas koruptor, kini penjudi rudin! Ah, bagaimana juga, ia adalah ayahnya. Harus dibelanya mati-matian. Dikeluarkannya kotak perhiasannya dan tiba-tiba ia teringat kepada Yitna. Matanya yang sudah agak mengering menjadi basah pula. Diciumnya kotak itu, kotak yang katanya dulu dicuri.

   "Mas Yitna, dimanakah engkau sekarang berada"

   Bisik ratap kalbunya. Besok harinya, pagi-pagi benar, dengan otobis jam enam seperempat ia berangkat ke Semarang. Harjo mengantarkan dan ketika otobis berangkat ia berdiri termenung memandang. Bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa. Ratna tiba di Semarang pada jam delapan lebih. Dengan sebuah becak ia menuju ke NV. Persatuan.

   "Saya hendak berjumpa dengan direktur NV. Persatuan,"

   Katanya kepada seorang pegawai disitu. Pegawai muda itu memandangnya dengan tak menyembunyikan kekagumannya.

   "Silahkan duduk dulu, nona. Saya akan memberitahukannya."

   Ratna pergi duduk menanti di ruang tamu. Tak lama kemudian, pegawai tadi kembali pula dan mempersilahkannya ke kantor direksi. Setelah mengetuk pintu, ia masuk. Dilihatnya di dalam kamar itu seorang pemuda bekerja. Sedang membungkuk di atas meja tulis dan memeriksa surat-surat. Pemuda itu berkemeja dan berdasi. Jasnya tergantung di kursi belakangnya. Pemuda yang asyik bekerja itu mengangkat muka dan... Ratna harus berpegang kepada sebuah kursi agar tidak jatuh. Kepalanya tiba-tiba pening.

   "Selamat pagi... tuan..."

   Katanya ragu-ragu. Pulpen Yitna terlepas dari tangannya dan terjatuh ke bawah, tapi tak diambilnya. Matanya menentang gadis yang berada hanya beberapa meter darinya. Lalu ia bertindak maju menghampiri.

   "Engkau... engkau... Ratna... ?"

   "Yitna... !!"

   Panggilan ini keluar dari lubuk hatinya melalui bibirnya yang gemetar, seakan-akan letusan sebuah gunung berapi yang sudah lama tertahan-tahan hendak meletus. Yitna mengulurkan lengan dan mereka berjabatan tangan. Tangan mereka gemetar dan dingin.

   "Ratna... nona..."

   Dengan tak terasa air mata Ratna mengalir turun membasahi pipi, tapi segera dihapusnya.

   "Yit... engkau? Aku mau berjumpa dengan direkturnya."

   "Akulah orangnya, Rat."

   
Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ratna memandang heran, melebihi keheranan ayahnya kemarin dan tiba-tiba ia melepaskan tangannya.

   "Engkau... direktur itu?"

   Yitna tak mengerti apa artinya kata-kata terakhir ini.

   "Duduklah, Rat."

   Dan mereka berduduk berhadapan. Yitna merasa tubuhnya bergemetar, darahnya berdenyar-denyar, dadanya berdebar-debar. Ingin ia memeluk gadis itu, melepaskan rindu dendamnya. Tapi ia menahan gelora hatinya.

   "Engkau disuruh oleh ayahmu?"

   Seakan-akan baru teringat Ratna kepada urusannya. Hm, jadi Yitna malah direktur yang keras hati itu? Mengapa hypotheek rumahnya terjatuh ke tangan Yitna? Kebetulan saja? Ah, tak mungkin. Tentu disengaja ini. Sikapnya berubah mengeras. Rasa terharu dan beruntung karena perjumpaan itu menghilang. Ia mengangguk kaku.

   "Ya. Aku datang membawa suratnya."

   Lalu diberikannya surat itu. Yitna segera membacanya. Ketika ia asyik membaca, Ratna memandangnya dengan mesra. Inilah Yitna. Yitnanya. Tukang kebunnya dahulu. Tak banyak berubah wajahnya yang cakap itu, hanya sekarang membayangkan kecerdasan. Lenyap sudah sikap merendah dan bodoh dulu. Ini Yitna yang lain lagi. Yitna pemuda direktur besar.

   Anakda Yitna.

   Sebelum engkau membaca surat ini selanjutnya, terlebih dahulu banyak maaf kumohonkan darimu. Aku memang banyak membuat kesalahan dahulu. Tapi demi kebahagiaan Ratna, ampunkanlah aku, nak. Hm, masih belum mau mengakui kecurangannya, pikir Yitna.

   Ratna atas kehendak sendiri pergi menjumpai direktur. Ia belum kuberitahu bahwa ia akan berjumpa dengankau di sini. Seperti telah kujelaskan kemarin, tak mungkin aku melunasi utangku. Tapi, karena engkau yang menjadi direktur dan padamu terletak segala kekuasaan, dan karena kuyakin bahwa engkau takkan bertega hati melihat kesengsaraan Ratna, maka sekali lagi, tolonglah kami, nak.

   Aku mengerti bahwa engkau mencinta Ratna dan sebaliknya Ratna sehingga kini masih belum sembuh luka dihatinya karena berpisah dengan engkau. Dan aku sekarang takkan menghalang-halangi lagi, nak. Bukan karena engkau sudah menjadi kaya. Tapi karena aku insyaf bahwa cinta mumi tak memandang harta. Aku sudah tua, nak dan aku akan mati dengan hati tenteram jika melihat Ratna dapat hidup berbahagia, disampingmu.

   Nah, aku sudah membuka isi hatiku nak. Kalau engkau suka mengampuni aku, maka... tolonglah Ratna.

   Hormatku,

   Harjo.

   Yitna mengangkat kepala memandang Ratna. Masih cantik seperti dulu, pikirnya. Bahkan lebih cantik lagi, lebih menarik hatinya. Hilang sudah sifat kekanak-kanakan pada raut mukanya. Hanya agak kurus. Ratna yang tadinya memandangnya kini bertunduk.

   "Bolehkah aku mengetahui maksudmu dengan soal rumah ini, Rat?"

   "Tentu engkau telah maklum bahwa kami tak dapat melunasi dengan sekaligus. Tapi kami hendak menyicil. Dan untuk pembayaran pertama, aku hendak menyerahkan ini."

   Diambilnya kotak perhiasan dari tasnya. Yitna melihat kotak itu lalu berdiri memalingkan mukanya.

   "Mengapa... tuan?"

   Kalau hatinya sudah mengkal melihat kotak itu, kini makin tak senang mendengar sebutan tuan.

   "Kotak itu... terisi perhiasanmu yang kucuri dulu?"

   "Ya, benar! Tapi sekarang engkau tak perlu mencurinya lagi, bahkan aku yang menyerahkannya padamu,"

   Kata-katanya mengandung sindiran. Yitna berpaling memandang.

   "Ratna! Engkau masih menganggap aku betul-betul dulu telah mencurinya?"

   Ratna bimbang dan menunduk, kemudian katanya perlahan,

   "Dulu tak pernah aku mempercayai hal itu. Tapi..."

   Ia memandang tajam.

   "Mengapa engkau mengatur ini semua? Ingin membalas dendam? Ingin menghinakan kami? Yitna! Karena engkau kini sudah kaya, maka engkau mencari ketika untuk menghancurkan kami. Dan soal rumah ini

   

   kau jadikan jembatan untuk memukul ayah. Mengapa engkau lakukan ini? Apakah dosa ayah kepadamu? Dan apakah dosaku? Engkau menjadi direktur, hidup mulia sedangkan ayah dan aku makin...

   terjepit tak berdaya karena kelalaian ayah. Tapi... engkau... tak mempedulikan itu semua, seakan-akan aku... tidak...ada. Dan engkau bahkan melakukan ini! Yitna, Yitna! Engkau melupakan segalanya sedangkan aku... aku menanti-nanti..."

   Yitna maju memegang lengannya.

   "Ratna, engkau tak mengerti? Aku selalu merindukan engkau."

   Ratna memberontak.

   "Bohong! Ah... aku harus malu."Ia hendak lari keluar tapi Yitna menahan.

   "Dengar. Rat. Ayahmu dulu..."

   Tapi ia tidak meneruskan maksudnya.

   "Aku... aku hendak menolong ayahmu."

   "Kami tak membutuhkan pertolonganmu,"

   Kepala Ratna menegak angkuh.

   "Tapi di dalam suratnya ayahmu meminta pertolonganku."

   "Tapi aku tidak meminta pertolonganmu!"

   Ia hendak pergi lagi, tapi tiba-tiba Yitna mengeluarkan surat hypotheek itu.

   "Lihat!"

   Teriaknya bernapsu. Dirobek-robeknya surat berharga itu menjadi empat potong.

   "Nah, lunaslah hutang ayahmu dua puluh lima ribu. Ini, berikan ini kepada ayahmu dan sampaikan hormatku kepadanya."

   Kepingan surat itu dimasukkannya ke dalam tas Ratna, demikianpun kotak perhiasan itu. Ratna memandangnya dengan terkejut heran, tapi pandangan matanya masih keras.

   "Engkau... engkau... menghina aku, Yit!"

   Dan tanpa pamit Ratna lari keluar, membawa tasnya.

   

   * * *

   Anakda Yitna yth.

   Ratna datang dengan membawa surat hypotheek yang telah engkau robek-robek. Tak kusangka engkau bertindak semulia itu, nak. Sungguh, tak dapat aku mengucapkan terima kasih padamu. Ucapan itu takkan berarti. Engkau orang yang telah kuhina dahulu. Aku menyesal, nak. Engkau telah menolong kami dari kehancuran dan dari perasaan malu. Budimu sungguh besar.

   Tapi ketahuilah, nak. Sejak datang dari Semarang, Ratna menjadi berbeda. Ia nampak bersedih dan tak mau banyak bicara. Walaupun ia tak menceritakan sesuatu, namun aku maklum bahwa ia telah bercekcok dengan engkau. Mengapakah, nak? Ratna setiap hari hanya tidur saja. Kulihat ia banyak menangis, walaupun hal itu disembunyikan dariku. Bolehkah aku mengharap pertolonganmu lagi? Datanglah kesini, nak. Persambungkanlah kembali rantai pengikat yang dulu telah kupatahkan itu. Aku yakin ia masih mencintaimu.

   Perhatikanlah permohonan seorang tua yang banyak monderita ini, demi kebahagiaanmu sendiri dan kebahagiaan anakku yang hanya satu-satunya.

   Hormatku,

   Harjo.

   Yitna membaca surat itu berulang-ulang. Harus diakuinya bahwa cintanya kepada Ratna belum pernah berkurang. Bahkan semenjak pertemuan yang baru lalu itu, tak pernah bayangan gadis itu meninggalkannya. Ia ragu-ragu. Tidak akan membencikah Ratna kepadanya

   Ia telah menegur Ho Jin yang menjawabnya dengan senyum,

   "Yitna engkau bagaikan saudara kandungku sendiri. Bahkan lebih dari itu. Aku ingin melihat kebahagiaanmu. Tapi engkau tak mau mengunjungi Ratna. Lalu dengan kebetulan aku mengetahui soal rumah itu. Maka, itulah jalan satu-satunya bagiku untuk menemukan kamu berdua."

   Sekarang surat ini menggelisahkannya. Akan pergikah ia? Tapi ia takut bila membayangkan penerimaan Ratna nanti. Akhirnya hatinya yang rindu menuntut perjumpaan dengan gadis pujaannya itulah yang menang. Hari telah sore ketika mobilnya berhenti di depan rumah Harjo. Ia turun dari mobil dan menuju ke rumah itu dengan hati berdebar. Ia mengetuk pintu. Daun pintu terbuka.

   "Selamat sore, nona Ratna. Bolehkah aku berjumpa dengan ayahmu?"

   "Engkau? Mau apakah engkau datang kesini! Ingin menuntut jasamu dari ayah?"

   Tanyanya dengan suara kaku.

   "Nona Ratna... mengapa engkau bersikap begini kepadaku?"

   Pada saat itu Harjo mendatangi dari dalam.

   "O, nak Yitna. Duduklah. Engkau datang naik apa, nak?"

   "Dengan mobil, pak."

   Harjo menjenguk keluar melihat mobil Yitna.

   

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini