Banjir Darah Di Borobudur 3
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Semenjak peristiwa di depan Candi Lokesywara itu, sang puteri merasa tersinggung hatinya. Ia merasa amat kagum melihat keberanian dan kegagahan Indrayana, akan tetapi juag mearsa kecewa menagap pemuda yang menjadi kembang bibir para dara itu sedemikian kurang ajar kepadanya. Pramodawardani adalah seorang puteri yang tinggi hati dan ia sekali-kali tidka merasa puas bahwa ada seorang putera wiku berani berlaku sedemikian lancang terhadapnya. Pramodawardani selalu di manja dan merasa dirinya putera mahkota, ia menghendaki penghormatan sebesarnya dari siapapun juga.
Diam-diam ia merasa bangga kepada diri sendiri bahwa ternyata pemuda yang sudah terkenal menggocangkan iman di dada para jelita itu, tidak berhasil menggoncangkan imannya yang teguh kuat. Ia memang amat tertarik dan kagum melihat wajah elok dan tampan itu, akan tetapi sama sekali keliru kalau orang mengira bahwa dia"jatuh hati"! Kusumaning Ayu Pramodawardani bukanlah seorang dara biasa yang mudah jatuh cinta dan mudah terluka oleh panah asmara
Betapapun juga, terharu juga hatinya menyaksikan sepak terjang Indrayana yang jelas sekali menyatakan betapa besar cinta kasih dan kekaguman pemuda itu terhadap dia. Patung yang menyerupai wajahnya itu sampai dicuri dengan nekad oleh oemuda itu! Merah wajah Pramodawardani apabila ia terkenang akan hal ini. Kemudian ia mendengar betapa Ayah pemuda itu, Sang Wiku Dutaprayoga, ditangkap, dan betapa Ayahnya mengeluarkan perintah penangkapan atas diri Indrayana! Betapa duak dan kecewanya. Ia maklum bahwa gara-gara ini pada hakekatnya berdasar ats kelemahan hati pemuda itu yang jatuh cinta kepadanya! Dan kalau sampai terjadi malapetaka dan hukuman menimpa diri pemuda itu dan Wiku Dutaprayoga, maka karena dialah itu! dia merasa berdosa, seakan-akan dialah yang menyebabkan kemalangan menimpa keluarga itu.
Kemudian ia mendengar pual tentang kembalinya rombongan Mah Wiku yang tidak berhasil menangkap Indrayana akan tetapi bahkan membwa pendeta yang membuat patung itu! Ia mendengar betapa pendeta Mataram yang aneh itu telah mengorbankan diri sendiri dan menyanggupi untuk memikul semua hukuman yang hendak dijatuhkan atas diri Indrayana dan Wiku Dutaprayoga, dan bahwa kemudian pendeta yang bernama Panembahan Bayumurti itu hendak dikukum kubur hidup-hidup oleh maha Wiku Dharmamulya!
"Alangkah kejamnya! alangkah ngerinya!"berkali-kali Sang Puteri mengeluh seorang diri. Terbayanglah pada wajahnya pendeta yang aneh itu, yang dengan usapan tangan pada patung Dewi Tara telah dapat membuat muka patung itu menjadi seperti mukanya sendiri! Terbayanglah ia betapa pendeta itu selalu tersenyum ramah, sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri gembira.
"Alangkah ngerinya! Mengapa Rama Prabu membiarkan saja hukuman yang keji ini berlaku atas diri pertapa itu?"Hati Pramodawardani menjerit-jerit ketika ia duduk melamun dengan bunga teratai merah dan putih itu."Biarpun pertapa itu orang mataram, akan tetapi iapun seorang manusia. Mengapa Rama Prabu tidak melarang dilangsungkannya hukuman yang melanggar perikemanusiaan ini?"Dengan hati sedih dan penuh kasian kepada sang pertapa, Pramodawardani tak terasa lagi turun dari batu tempat duduknya, berlutut dan berdoa ke arah empang. Disitu terdapat bunga-bunag teratai dan daun-daun teratai yang lebar dan indah mengambang di atas air. Siapa tahu, kalau pada saat itu, terdapat Dewata yang sedang duduk bertapa di atas daun-daun teratai itu, karena daun-daun teratai memang tempat bertapa para Dewata yang berhati mulya.
Bibir pramodawardani yang merah dan indah bentuknya itu berbisik-bisik,"Semoga Sang Buddha dan Para Dewata melindungi Panembahan Bayumurti daripada hukuman yang keji ini!"
Pada saat itu, terdengar tindakan kakiperlahan di belakang Sang Puteri, kemudian terdengar suara riang.
"Ayunda yang baik, engkau sedang berbuat apakah di situ?"
Pramodawardani sadar daripada sama diaya kemudian ia berpaling. Wajah yang tadinya muram itu menjadi terang bagaikan wajah bulan purnama terbebas daripada selimutan mendung, bibirnya tersenyum kembali dan seakan-akan mekarlah semua bunga di dalam taman pada saat Sang Puteri tersenyum amat manisnya itu.
"Adikku yang manis, kau mengejutkan hatiku, akan tetapi berbareng juga menggembirakan perasaanku."
"Ayunda Wardani,"kata anak laki-laki yang masih kecil itu,"tadi kulihat kau bermuram durja dan bersamadi seakan-akan ada yang menggangu hatimu. Apakah gerangan yang mengesalkahatimu, ayunda?"
Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan penuh kasih sayang. Adindanya ini, yang bernama Balaputeradewa atau biasa disebut Balaputera saja, memang seorang nak yang amat cerdik.
Kepada adiknya ini sukarlah untuk membohong dan sukar sekali untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan matanya yang tajam. Pramodawardani tidak ingin menceritakan hal-hal yang memusingkan pikirannya itu kepada Balaputera, karena dianggapnya bahwa balaputera masih terlampau kecil untuk mengetahui akan hal-hal itu, maka ia lalu memeluk adiknya dan membelai-belai rambutnya sambil berkata denagn penuh kasih sayang,
"Balaputera, adinda sayang. Aku tidak menyusahkan sesuatu, hanya sebelum kau datang, aku merasa kesunyian seorang diri di dalam taman."
"Mengapa tidak kaulihat seorangpun emban dan pelayan? Ke manakah mereka, ayunda?"tanya Balaputera sambil memandang ke kanan-kiri.
"Aku sudah bosan mendengar kelakar mereka yang tiada henti-hentinya, adikku, maka kusuruh mereka mengundurkan diri dan mengaso. Kasian juag mereka telah bekerja sepanjang hari, bukankah mereka itu manusia juga seperti kita yang dapat lelah dan capai?"
"Kau memang berbudi dan berhati mulia, ayunda."
"jangan memuji, adikku. Ayundamu hanya seorang manusia biasa saja, dan sebagai manusia, kita harus menanam budi sebanyak-banyaknya di hati sanubari kita, karena jangankan kita yang disebut manusia, mahluk terkasih dari para Dewata, sedangkan binatangpun tahu akan budi kemuliaan. Kau belum mendegar cerita tentang Burung Platuk dan Singa?"
Balapuetera berseri wajahnya. Kakaknya ini memang pandai sekali bercerita, maka melihat kesempatan ini, ia tidak mau menyia-nyiakannya. Sambil memegang tangan ayundanya yang halus dan lebih besar daripada tangannya sendiri itu, ia berkata mendesak manja,"Belum, ayunda. Kau berceritalah, aku senang sekali mendengar ceritamu yang indah-indah!"
Pramodawardani tersenyum dan setelah mencium kening adiknya dengan mesra, ia berkata,"Dalam sebuah hutan yang amat besar hidup seekor singa yang amat liar dan buas. Hampair setiap hari terdengar singa itu mengaum dan menggereng keras menggetarkan seluruh hutan. Itulah tanda bahwa singa itu sedang menagkap seekor binatang lain menjadi kurban dan mangsanya, yaitu kelinci, kancil, rusa, dan binatang-binatang lemah sebangsa itu. Gerengan singa buas itu selalu didiringi pekik ketakutan dan kesakitan dari kuraban yang diterkamnya."
"Alangkah kejamnya singa itu!"Balaputera mencela,"Memang, adikku, singa memang seekor binatang yang amat kejam dna ganas. Oleh karenanya ia disebut raja hutan, sungguhpun bukan merupakan raja yang bijaksana, melainkan seekor raja hutan yang amat kejam dan ganas. Akan tetapi, telah beebrapa hari tidak terdengar geraman dan auman kemenagan dari singa itu, yang terdeganr hanyalah gerengan-gerengan perlahan tanda kesakitan dan kelaparan dari raja hutan itu, diselingi sorak sorai yang gembira ria dari para binatang kecil.
Hal ini memang mengherankan dan tidak sewajarnya. Maka seekor burung platuk yang berbulu indah dan berpatuk kuat terbang berpitar-putar di atas pohon-pohon untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi dengan di raja hutan. Akhirnya dapat juga ia menemukan singa itu Kiranya singa itu tengah bergulingan di bawah pohon dalam keadaan hampir mati. Perutnya kempis tanda kelaparan, rahangnya terbuka lebar-lebar tak dapat ditutupkan kembali, ternganga bagaikan sebuah gau merah yang mengerikan."
"Mengapakah gerangan dia?"tanya Balaputera dengan penuh perhatian. Ayundanya demikian pandai bercerita, suaranya halus lembut dan merdu sedangkan wajahnya bergerak membayangkan keadaan ceritanya sehingga pangeran kecil itu seakan-akan melihat di depan matanya sendiri peristiwa yang sedang terjadi di dalam cerita ayundanya.
"Demikian pula pertanyaan yang diajukan oleh di burung pelatuk."jawab Pramodawardani kepada adiknya,"Ia bertanya kepada singa itu setelah terbang turun dan berdiri di atas cabang pohon di dekat si raja hutan. Singa merasa malu untuk menerangkan, akan tetapi akhirnya ia menjawab bahwa ketika ia sedang makan tubuh seekor kancil yang menjadi mangsanya tiga hari lalu, tulang punggung kancil yang nakal itu telah melintang dan terselit di tenggorokannya, sehingga tulang itu berhenti di tengah-tengah, tak dapat ditelan tak dapat pula dimuntahkan keluar, membuat mulutnya terbuka dan terganjal tak dapat ditutupkannya kembali."
"Nah, itulah upah si rakus!"kata Balaputera.
Kakaknya tersenyum memandangnya."Demikian pula yang dikatakan oelh burung platuk itu, adikku. Ia juga menegur singa dan mencelanya terlalu rakus. Orang makan tak boleh terburu-buru, tak boleh terlalu lahap dan rakus, harus memilih dengan hati-hati benda yang hendak dimasukkan ke mulut dan perut, demikian burung pelatuk yang bijaksana itu memberi nasihat. Singa merasa menyesal sekali dan baru insyaf akan segala kesalhannya, akan segala kekejamannya, kemudian sambil menangis sedih dia mohon pertolongan burung pelatuk itu untuk mengambilkan tulang yang mengganjal kerongkaongannya. Tulang itu melintang di dalam tenggorokan, sedangkan mulut singa itu terbuka lebar-lebar mengerikan, terlihat giginya yang runcing dan tajam manakutkan, sedangkan tulang itu berada jauh dui belakang gigi-gigi itu. Untuk dapat mengeluarkan tulang itu, burung platuk harus memasukkan kepalanya di dalam mulut itu sampai dalam, dan apabila tulang itu telah dilepaskan, maka sekali saja singa itu menutupkan mulut, akan putuslah leher burung platuk."
Jangan biarkan ia memasukkan kepalanya di dalam mulut singa, ayunda!"seru Balaputera gelisah.
Ayunda tersenyum,"Adikku, burung pelatuk itu penjelmaan Sang Bodisattwa yang bersifat suci dan mulia. Untuk memberi pertolongan kepada sesama hidup, dia takkan pernah merasa ragu-ragu, jangankan baru menghadapi bahaya, sungguhpun dia harus berkorban apa saja nyawanya sekalipun, dia takkan mundur! Demikianlan, burung pelatuk yang bijaksana itu tanpa ragu-ragu lagi lalu memasukkan kepalanya ke dalam gua merah yang mengerikan itu, menggunakan paruh yang kuat untuk mematuk tulang kacil yang melintang di tenggorokan singa dan berusaha mengeluarkannya. Akhirnya berhasillah dia menolong nyawa singa itu dari bahaya maut!"
"Alangkah mulia hati burung platuk itu!"Balaputera memuji,"Akan tetapi, kalau aku menjadi burung pelatuk, aku tak sudi menolong singa jahat itu. Hanya burung pelatuk yang demikian bodohnya, menolong si jahat dengan bahaya maut mengancam nyawa sendiri. Seorang bijaksana tak dapat berlaku sebodoh itu!"
Pramodawardani mengerutkan keningnya yang berkulit halus kemerahan itu. Kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata halus,
"kau keliru Balaputera. Budi luhur lebih berharga daripada keselamatan tubuh sendiri, karena budi itu ada hubungannya dengan jiwa. Budi tak dapat sirna, sedangkan tubuh pasti akan musnah. Budi dan jiwa selalu ada dan takkan sirna slamanya, adikku, karena itulah maka Sang Bijaksana Buddha telah memebri banyak sekali contoh-contoh pelajaran. Jangan kau kira bahwa hanya binatang seperti burung platuk saja yang mau mengorbankan nyawa untuk menolong sesama hidup. Pernahkan kau mendengar cerita tentang Raja kaum Syibi?"
Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraannya karena ayunda akan bercerita lagi.
"Pada suatu ahari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oleh seekor burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum Syibi.
Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraan karena ayundanya akan bercerita lagi.
"Pada suatu hari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oelh seekor burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum Syibi. Dara putih itu dengan suara pilu dan ketakutan minta pertolongan Raja dari pengejaran burung rajawali yang sedang kelaparan dan hendak menjadikan burung dara itu sebagai mangsanya. Maka datanglah burung burung rajawali itu terbang dengan gagah dan dasyatnya, turun di depan Raja dan menurut dikembalikannya burung dara yang mendekam dengan tubuh gemetar di atas pangkuan raja."
Mengapa Raja itu tidak mengambil gendewa dan menahan saja burung Rajawali yang jahat itu?"Balaputera mencela.
"Tidak, adikku, Raja itu maat bijaksana da ia tahu memang burung rajawali itu hanya makan daging dari burung-burung lainnya yang kecil-kecil seperti halnya singa tadi. Raja hendak mengganti ketagihan rajawali dengan daging yang lebih banyak dan lebih besar, akan tetapi rajawali tetap menolak. Bahkan ia lalu menuduh, kepada Raja itu berlaku tidak adil dan berat sebelah. Katanya bahwa raja hendak menolong burung dara dari bahaya maut akan tetapi sebaliknya hendak membuat si rajawali mati kelaparan dan hendak mengingkari apa yang telah menjadi dari hak si rajawali itu. Raja menyatakan bahwa ia telah berjanji hendak menolong burunh dara itu dari bahaya maut dan bahwa sebagai seorang yang menjunjung tinggi janji sendiri, Raja itu akan suka berkorban apa saja untuk menepati janjinya. Burung rajawali lalu minta agar supaya Raja mengganti burung dara itu dengan daging Raja itu sendiri, sebanyak dan seberat burung dara itu."
"Permintaan yang bukan-bukan dan gila!"seru Balaputera.
"Tidak, adikku. Burung Rajawali itu adalah penjelmaan Dewata yang hendak menguji kesucian hati Raja kaum Syibi itu. Ketika Raja mendengar permintaan ini, tanpa ragu-ragu sedikitpun ia lalu mencabut pedangnya dan mengiris dagingnya sendiri pada betisnya sebanyak dan seberat burung dara itu dan memberikannya kepada burung Rajawali!"
Mendengar ini, Balaputera sampai melongo saking kagumnya terhadap kemuliaan hari Raja kaum Syibi itu,"Demikianlah, Balaputera. Agama kita telah memberi contoh-contoh dan pelajaran yang jelas tentang sifat welas asih. Kalau engkau melihat seorang berada dalam bahaya maut dan terancam keselamatannya, apakah yang harus kau lakukan sesuai dengan ajaran kita?"
Karena semangatnya telah dibakar oleh dua buah cerita tadi, anak kecil itu menjawab dengan gagah,"Aku akan menolongnya!"
"Betulkah? Sungguhpun engkau sendiri akan terancam bahaya usahamu menolong itu?"
"Tentu saja aku berani menghadapi segala macam bahaya, seperti burung pelatuk itu dan aku berani berkorban sampai Raja Kaum Syibi itu!"kata pula Balaputera dengan gagahnya.
Pramodawardani memeluk adiknya dan menciuminya."Adikku sayang, tidak perlu engkau mengorbankan sesuatu dan tak perlu engkau menghadapi bahaya. Akan tetapi kalau engkau memang mau dan sanggup, sekarang juga engkau akan dapat menolong nyawa dan keselamatan seorang yang terancam hebat."
Balaputera memandang kepada kakaknya dengan matanya yang bening dan lebar, mata seorang anak-anak yang masih bersih batinnya.
"Apakah maksudmu ayunda?"
"Balaputera, engkau tentu sudah mendengar bahwa seorang pendeta Mataram hendak diberi hukuman kubur hidup-hidup? Alangkah ngerinya! Apakah engkau tidak kasian mengenangkan nasibnya? Sungguh lebih menyedihkan dari pada nasib singa buas dan burung dara itu. Engkau akan menjadi seorang anak yang baik kalau dapat dan mau menolongnya."
"Akan tetapi, ayunda. Bukankah dia itu musuh kita? Dia seorang pendeta Mataram, seorang kapir""."
"sst, jangan berkata demikian, Balaputera, adikku. Betapapun juga, dia seorang manusia seperti kita. Apa lagi dia seorang pendeta dan ahli pembuat patung, kita harus menolongnya."
"Akan tetapi, dia sudah dijatuhi hukuman."
"Bukan Ayah yang menghukumnya, akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya! Bayangkan, adikku yang budiman, pendeta tua yang lemah dan ramah tamah itu, pendeta pandai yang bertangan halus, yang dapat membuat patung yang indah-indah, ia akan dikubur hidup-hidup. Bayangkan betapa sengsaranya, dimasukkan lobang di dalam tanah, lalu ditimbuni tanah, tak dapat bernapas, gelap, pengap""
Ah, alagkah ngeri dan sengsaranya"""
"Aku mau menolong dia!"tiba-tiba Balaputera berkata gagah dan cepat."Akan tetapi, bagaimana caranya, ayunda?"
Pramodawardani memeluk hatinya dengan hati girang."Ah, kau memang seorang yang berhati mulia, kau calon manusia besar! Dengarlah, adikku sayang, kalau aku bukan seorang wanita, tentu aku akan bertindak sendiri, takkan menyusahkan engkau yang kecil. Aku takkan dapat leluasa bergerak diluar keraton. Akan tetapi kau bisa, kau mudah saja bermain-main di luar keraton. Dan mempunyai banyak kawan-kawan, anak-anak lelaki kecil yang suka kauajak bermain-main di lapangan. Kau lebih bebas. Dengarlah baik-baik. Malam nanti tepat pada tengah malam, di kala bulan purnama telah berada di atas kepala kita. Panembahan Bayumurti akan dikubur hidup-hidup di sebelah barat alun-alun. Kau dan kawan-kawanmu setelah semua orang yang melakukan hukuman keji itu pergi, perglah ketempat pendeta itu dikubur, kau suruhlah kawan-kawanmu menggali kuburan itu dan kau bebaskan pertapa yang malang itu! Dengan demikian kau akan menolong nyawa seorang suci, adikku!"
"Bagaimana kalau Ayah mengetahui hal ini?"
Jangan takut Ayah takkan marah. Kalau seandainya Ayah marah akulah yang akan bertanggungjawab. Aku akan mengakui bahwa kau hanya bertindak atas suruhan dan bujukanku. Biarlah Ayah marah kepadaku."
"Ayah tak peranh marah kepadamu, ayunda. Ayah amat sayang kepadamu."
"Karena itu, jangan kau takut kalau seandainya Ayah mengetahui perbuatanmu ini. Betapapun juga usaha kita ini adalah usaha baik yang keluar dari hati nurani kita. Usaha menolong nyawa seseorang."
"Kalau sampai Maha Wiku Dharmamulya mengetahuinya?"
"Biarkan saja! Ia akan berani ebrbuat apakah terhadap kita?"
"Baiklah, ayunda Pramodawardani. Akan tetapi"". Bagaimanakah dengan Indrayna itu?"
Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak lebar."Apa maksudmu?"
Balaputera tersenyum mengoda."Ayunda, aku telah mendengar bahwa pemuda elok itu""
Bahwa ia mencintaimu dan mencuri patungmu, bukan?"
"Bedebah benar orang yang menceritakan hal itu kepadamu!"Sang Puteri mamaki marah,
"Ssst, ayunda. Tak baik memaki dan menyumpah orang!"
merahlah wajah Pramodawardani."Orang itu""
Indrayana itu, Orang kurang ajar yang tidak ada hubungannya dengan persoalan ini."
"Sayang, aku selalu suka kepaad Indrayana. Semua kawanku menyatakan bahwa Indrayana amat gagah perkasa. Pernah dengan tangan kosong ia menangkap dan merobohkan seekor kerbau yang gila dan mengamuk! Sayang sekali, ayunda, aku suka kepadanya. Sayang engkau tidak suka kepada orang gagah perkasa itu."
"Siapa bilang tidak suka "".!"
"Jadi engkau suka kepadanya?"Balaputera berseri.
"Kalau aku berkata bahwa aku bukannya ridak suka kepadanya, ini bukan berarti pula bahwa aku suka!"
"bukan tidak suka, dan juga bukan suka! Aneh sekali, habis apakah perasaanmu terhadapnya, ayunda yang manis? Apa engkau tidak senang melihat Indrayana yang tampan dan gagah itu?"
"Memang ia tampan dan gagah,"kata Pramodawardani terus terang
Apakah engkau tidak kagum melihat keberanian dan ketangkaannya?"
"Mungkin ia berani dan tangkas."
"Nah, mengapa tidak suka dan juga bukan membenci?"
"Sudahlah, cukup engkau ketahi bahwa dia adalah seorang yang kuang ajar! Aku tidak senang melihat orang berlaku kurang ajar! Cukuplah tentang Indrayana, sekarang baik engkau bersiap dan mengumpulkan kawan-kawanmu. Hari telah mulai gelap!"
Demikian, pada malam hari itu, menjelang tengah malam, di waktu bulan sedang bulat-bulatnya, terjadilah pelaksanaan hukuman yang amat kejam itu Panembahan Bayumurti dikubur hidup-hidup di sebuah lobang yang dalam, kemudian ditimbuni tanah. Yang melaksanakan hukuman ini adalah algojo-algojo yang memang bertugas melaksanakan hukuman-hukuman mati. Upacara hukuman dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya sendiri, bersama beberapa orang wiku pembantunya. Sesunggunya, hal ini tidak disetujui oleh pendeta Hindu Wisananda, pembantu Maha Wiku Dharmamulya, akan tetapi Maha Wiku itu tidak perduli, hanya berkata,
"Sahabat Wisananda, mungkin hal ini agak ganjil bagimu. Akan tetapi ingat, kebiasaan di negerimu tidak sama dengan kebiasaaan di negeriku! Hukuman ini penting sekali, untuk menyatakan kepada semua orang Mataram bahwa kita tak boleh dipermainkan begitu saja."
Maka dikuburlah Panembahan Bayumurti dan anehnya, selama dilakukan upacara, pendeta itu hanya atersenyumsenyum dan wajhnya berseri-seri, sama sekali tidak kelihatan seperti orang yang sedang menjalankan hukuman mati, bahkan seakan-akan seorang mempelai laki-laki yang sedang bersiap untuk menyambut mempelai wanita tak lama lagi!
Pemandangan pada malam hari itu amat menyeramkan. Bayangan Maha Wiku Dharmamulya yang berkepala gundul itu bagaikan bayangan seorang iblis sendiri tengah tersenyum-senyum menikmati kemenangannya. Hati para wiku lain merasa tidak enak dan di dalam lubuk hatinya,setiap orang wiku tidak menyetujui hukuman ini.
Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani membantah pendeta kepala itu. Tentu saja Maha Wiku Dharmamulya yang sedang kemasukan bisikan setan-setan nafsu angkara mrka dan dendam itu tidak merasai kesalahan sendiri. Jangankan seorang manusia, seorang dewapun agaknya sukar untuk dapat menginsyafi kesalahan diri sendiri! Diam-diam ia bahkan merasa bahwa sebagai pendeta kepala ia telah bertindak benar, telah dapat meninggikan agamnya, dapat membasmi sorang musuh agamannya, seorang kapir yang menghina Agama Buddha Didalam dirinya. Maha Wiku Dharmamulya merasa bahwa ia telah berjasa besar!
Bulan purnama agaknya merasa segan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu, menyaksikan seorang dikubur hidup-hidup, maka tiba-tiba bulan bersembunyi di balik segumpal awan, membuat permukaan dunia yang tadinya terang benderang menjadi gelap. Hal ini mendatangkan perasaan lebih tak enak lalu mendesak kepada Maha Wiku Daharmamulya untuk meninggalkan tempat hukuman itu.
Karena menganggap bahwa upacara itu telah beres, Maha Wiku Dharmamulya lalu memesan kepada tiga orang algojo untuk menjaga di tempat itu sampai fajar, sedangkan ia sendiri bersama semua wiku pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika orang petugas algojo itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan masih tebal kepercayaan mereka akan segala hal tahyul.
"Kakang Dentalaya,"kata seorang diantara mereka kepada pemimpin mereka,"Untuk apakah kita menjaga di sini? Dingin dan tidak enak, lagi gelap"
"Benar, pekerjaan kita kali ini sungguh tidak menyedapkan hati. Lebih senang kalau disuruh memenggal leher seorang hukuman. Sekali penggal dengan klewang beres!"berkata orang ke dua.
Pada saat itu, karena merasa kecewa melihat bulan menyembunyikan diri, seekor burung hantu memekik nyaring sehingga ketika orang algojo yang dapat melihat darah menyembur dari leher korban dengan senyum di bibir tiba-tiba menggigil dengan hati berdebar-debar tak tenang.
"Kalian benar."kata Dentalaya."akupun merasa tidak enak kalau teringat akan wajah pendeta Bayumurti yang ramah tamah dan tersenyum-senyum menghadapi kematiannya itu. Biasanya orang yang akan menjalani hukuman mati tidak sedemikian itu mukanya. Aku lebih suka kalau melihat dia melolong-lolong minta ampun. Mari kita pergi saja dari sini, siapa tahu kalau-kalau pendeta ini adalah murid seorang iblis yang akan datang mengamuk dan membalas dendam kepada kita!"
Ucapan kepala mereka ini mendatangkan dorongan yang membuat ketiganya lalu pergi dari situ dengan langkah ringan dan cepat seakan-akan di belakang mereka telah mengejar seorang iblis yang menakutkan!
Kalau saja algojo-algojo yang berhati kejam akan tetapi penakut itu berani menengok lagi, tentu lari mereka akan lebih cepat lagi oleh karena seperti dugaan mereka, benar-benar telah muncul banyangan-bayangan pendek kecil dari belakang pohon-pohon. Bayangan-bayangan kecil initanpa banyak cakap lalu mengerjakan pacul yang mereka bawa untuk mengali kembali kuburan yang memendam tubuh Panembahan Bayumurti. Tentu para algojo itu akan menyangka bahwa bayangan-bayanganini adalah setan-setan cebol atau bujang-bujang keplek yang menakutkan. Padahal sesungguhnya, mereka ini adalah anak-anak kecil yang dipimpim oleh Pangeran Balaputera dewa yang mentaati permintaan ayundanya!
Tak lama kemudian, terbongkarlah tanah kuburan yang mudah dipaculi itu dan alangkah herannya anak-anak itu ketika melihat bahwa tubuh yang dipendam itu sama sekali tidak mati, bahkan ketika kuburan telah terbongkar, mereka melihat tubuh Panembahan Bayumurti sedang enak duduk bersila dan kini memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum. Kalau saja anak-anak itu tidak membongkar kuburan, agaknya pendeta inipun dapat keluar sendiri
Memang Panembahan bayumurti adalah seorang sidik dan sakti mandraguna, yang mempunyai aji dan kepandaian luar biasa sehingga ia takkan mati kalau hanya menghentikan jalan pernapasan untuk beberapa lama saja. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk dapat mati dikubur hidup-hidup. Oleh karena itu maka ia sengaja memilih hukuman itu.
"Anak-anak yang baik!"kata pendeta itu setelah anak-anak itu hilang rasa kagetnya."Kalianlah yang akan menjadi pendeta-pendeta utama dari Agama Buddha. Di bawah pimpinan Pangeran Balaputera Dewa, kalianakan memkin jaya kerajaan yang beragama Buddha!"Setelah berkata demikian, kali tubuh itu bergerak lenyaplah pendeta itu dari pandangan Balaputera dan kawan-kawannya. Tentu saja anak-anak itu menjadi ketakutan dan segera melarikan diri cerai-berai.
Balaputera segera mendapatkan ayunda dan menceritakan pengalamannya. Pramodawardani menghela napas panjang dan berkata perlahan,"Sudah kuduga, adikku. Pendeta itu bukanlah orang sembarangan dan perbuatan Maha Wiku Dharmamulya sungguh memalukan kita! Jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada orang lain, adikku yang baik!"Sang Puteri Pramodawardani tidak tahu bahwa adiknya tidak menceritakan semuanya. Bahkan kepadanya sendiri, Balaputera tidak menceritakan tentang kata-kata Pendeta Bayumurti tadi tentang kerajaan beragama Buddha yang kelak berada di bawah pimpinanya. Balaputera masih kanak-kanak. Usianya masih sebelas tahun, namun anak ini memang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia maklum bahwa sebagai puteri sulung, kakaknya lebih berhak atas mahkota Ayahndanya, maka tidak pada tempatnya dan kurang enaklah kalau ia menceritakan tetang ramalan Panembahan Bayumurti bahwa kelak ia yang akan membikin jaya kerajaan beragama Buddha. Tentu saja anak ini tidak sekali-kali menyangka bahwa ramalan pendeta sakti itu memang cocok, akan tetapi kerajaan beragama Buddha bukanlah Kerajaan Syailendra di Pulau Jawa, akan tetapi Kerajaan Sriwijaya di seberang.
Berkat pertolongan Panembahan Bayumurti Indrayana dapat meloloskan diri dari cengkraman Maha Wiku Dharmamulya dan rombongannya. Raden Pancapana yang ternyata gagah perkasa itu bersama dara jelita Candra Dewi mentaati pesan Sang Panembahan, ikut pergi dengan Indrayana untuk bersama-sama menghadap Sang Pertapa Begawan Ekalaya di Muria.
Kalau saja di antara mereka tidak terdapat seorang dara seperti Candra dewi, tentu Indrayana dan Raden Pancapana telah mengerahkan kepandaian mereka. Akan tetapi sungguhpun Candra Dewi adalah keturunan seorang ahli tapa yang sakti, tetap saja ia merupakan seorang wanita yang halus dan lemah lembut. Kulit telapak kakinyademikian tipis dan halus sehingga dara ini berjalan dengan mua tunduk, memilih tempat yang rata dan halus untuk kakinya berpijak, berjalan dengan langkah tenang dan halus tidak tergesa-gesa. Kedua taruna itu terpaksa berlaku sabar, mengiringkannya dengan perlahan dan perjalanan itu seakan-akan merupakan perjalanan tamasya belaka, sekali-kali bukan perjalanan orang-orang yang diburu musuh.
Oleh karena itu, perjalnan yang amat sukar itu makan waktu lama sekali. Namun, betapapun sukar dan jauhnya perjalanan, candra Dewi memperlihatkan bahwa darah pertapa yang tahan menderita mengalir di dalam tubuhnya. Tak pernah terdengar keluhan dari bibirnya berbentuk indah, tak pernah keningnya yang halus itu berkerut, bahkan jarang sekali ia mengeluarkan kata-kata kalau tidak untuk menjawab sesuatu pertanyaan.
Juga Raden Pancapana orangnya pendiam, betul-betul bersifat seorang ksatria utama, matanya bersinar-sinar tajam, bibirnya tersenyum ramah, akan tetapi jarang sekali bicara. Melihat keadaan kedua orang kawan seperjalanannya ini, Indrayana merasa kurang enak. Telah setengah hari mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia menjadi petunjuk jalan dan kedua orang itu hanya mengikutinya saja ke mana ia pergi! Akhirnya dia tidak dapat menahan sabar lagi, dan mengambil keputusan harus memperkenalkan diri, harus mengetahui keadaan mereka dan menceritakan keadaannya sendiri lebih dulu agar hubungan mereka tidak sedemikian tawar.
Tiba-tiba ia menunda perjalanannya dan berpaling kepada kedua orang kawan seperjalanan itu sambil tersenyum dan berkata
"Maafkan aku, Raden Pancapana dan engkau juga, diajeng Candra Dewi. Kalau tidak berkeberatan, marilah kita beristirahat sebentar, karena diajeng Candra Dewi tentu lelah dan lapar."
Dengan sepasang matanya yang bening memancar dari balik bulu matanya yang lentik, Candra Dewi memandang kepada Indrayana dan berkata menahan senyum, : Aku tidak lelah dan juag tidak lapar."
Indrayana tertegun dan merasa serba canggung. Benar-benar gadis yang kuat dan tahan uji, pikirnya. Namun ia tak mau kalah dan bahkan duduk di atas rumput di pinggir jalan, di bawah pohon yang teduh.
"Sesungguhnya, akulah akulah yang lelah dan lapar. Dan""
Menurut pendapatku yang bodoh, agaknya sudah sepatutnya kalau kita bertiga berkenalan lebih erat, karena bukankah kita telah menjadi kawan-kawan senasib sependeritaan, sahabat-sahabat seperjalanan dan kelak akanmenjadi saudara seperguruan pula?"Ia membalas pandang mata Raden Pacapana yang tajam menatapnya, lalu berkata lagi,"Harap maafkan aku yang kasar dan bodoh. Sesungguhnya, berdiam-diam seperti ini tak enak bagiku, aku sudah biasa bergembira. Biarlah kuceritakan keadaan diriku agar kalian dapat mengenalku lebih baik."
"Kami sudah tahu siapa adanya dirimu, kawan,"kata Raden Pancapana."Engkau adalah Raden Indrayana, putera dari Wiku Dutaprayoga yang menjadi ahli keris dari Kerajaan Syailendra!
Indrayana tertawa girang, lalu berkata jenaka,"Ah! Ini namanya tidak adil! Kalian sudah mengetahui keadaanku sedangkan aku sama sekali belum tahu siapakah sebenarnya kalian ini!"
Raden Pancapana lalu duduk pula di atas sebuah batu tak jauh dari Indrayana dan dengan matanya memberi isyarat kepada Candra Dewi untuk duduk pula di atas rumput, lalu berkata,
"Indrayana, engkau adalah putera seorang wiku Agama Buddha dan menjadi hamba dari Kerajaan Syailendra yang besar dan berpengaruh! Untuk apakah engkau hendak mengenal orang-orang Mataram yang kecil seperti kami? Bukanlah engkau sudah tahu bahwa aku adalah murid dari panembahan Bayumurti dan diajeng Candra Dewi ini adalah puterinya?"
Dengan amat heran Indrayana menatap wajah Pancapana dan ia menjadi terheran sekali melihat betapa pemuda itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya tadi. Tak terasa lagi Indrayana melompat bangun dan berkata dengan penasaran,
"Eh, eh, bagaimanakah ini? Mengapa orang macam aku disebut besar karena hanya menjadi hamba dari Kerajaan Syailendra dan orang-orang seperti kalian menganggap diri kecil karena menjadi hamba Kerajaan Mataram? Janganlah bersikap demikian, kawan, kita sama-sama manusia yang hanya berbeda agama, akan tetapi sampai di manakah perbedaan itu? Anggapan kita sendiri juga yang membedakan, kawan. Hanya faham yang berbeda, akan tetapi tujuannya hanya satu! Adakah agama yang mengajarkan keburukan? Adalah agama atau filsafat yang mendorong penganutnya melakukan kejahatan? Tidak ada! Semua memberi pelajaran baik, dorongan ke arah perbuatan baik, menjunjung tinggi kegagahan, kebajikan kejujuran, dan kemanusiaan. Semua tergantung kepada manusia sendiri, kawan, tergantung kepada perbuatan si penganut agama. Betapapun tinggi dan pelajaran suci sesuatu agama, kalau yang mempelajarinya itu seorang yang beriman nejat, takkan ada gunanya sama sekali!!"
Indrayana bicara dengan penuh nnafsu menggelora. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dengan dada terangkat, kepala dikedikkan dan sepasang matanya memandang tajam, bukan kepada kedua orang itu, akan tetapi ke atas, seakan-akan kepada langit! Memang, adalam mengucapkan kata-katanya tadi, Indrayana merasa menyesal. Semenjak peristiwa yang dialami di Candi Lokesywara, ia merasa kecewa sekali. Kecewa melihat betapa pendeta kepala, yakni Maha Wiku Dharmamulya, yang dianggap paling tinggi, paling suci dan ahli dalam Agama Buddha, melakukan perbuatan yang mengecewakan hatinya.
Sebaliknya ia merasa kagum melihat sepak terjang Panembahan Bayumurti ia menjadi binggung mengapa pendeta kepala dari agamanya demikian jahat sedangkan Pendeta Mataram demikian bijaksana. Maka terbukalah matanya dan teringatlah ia akan petuah Ayahnya yang tiba-tiba meluncur keluar dari mulutnya ketika ia merasa penasaran melihat sikap Pancapana dan Candra Dewi.
Pancapana dan Candra Dewi melihat sikap Indrayana seperti itu, memandang kagum dan seketika itu berubahlah sikap mereka. Pandangan mata Candra Dewi mengandung kekaguman yang amat mesra, sedangkan Pancapana lalu melangkah maju dan merangkul pundak Indrayna.
Indrayana, betul seperti kata paman Panembahan Bayumurti. Kau adalah seorang ksatria yang gagah perwira, keturunan seorang pertapa yang bijaksana. Aku girang sekali dapat berkenalan dengan kau yang gagah ini. Indrayana. Mendengar ucapanmu tadi, lenyaplah segala keraguanku, Indrayana dan biarlah aku mengaku bahwa sesungguhnya aku adalah"""
"Raden Pancapana""!"Tiba-tiba Candra Dewi menegur pemuda itu sambil memandang heran.
Pancapana tersenyum dan setelah pemuda ini tersenyum, lenyaplah yang tadinya nampak pendiam dan bersungguh-sungguh itu. Wajahnya berubah terang dan berseri, cakap sekali.
"Tidak apa, Candra, Indrayana, bagaimana kalau kau dan aku mengangkat saudara? Aku lebih tua dari padamu, maka kalau kau setuju, mulai sekarang, kau adalah adikku, dimas Indrayana!"
Bukan main besar dan girang hati Indrayana. Ia memegang tangan Pancapana erat-erat, lalu berkata sambil tersenyum,"Baiklah kakangmas Pancapana, aku bersumpah akan tetap setia dan membelamu seperti seorang adik kandungmu sendiri!"
Kini wajah Candra Dewi memerah dan matanya berseri-seri girang.
"Kalau begitu, tentu menjadi lain persoalannya, dan tentu saja tak perlu ada rahasia lagi yang harus disembunyikan,"katanya dengan senyumnya yang manis bagaikan madu.
"Dengarlah baik-baik. Dimas Indrayana,"kata Pancapana sambil menarik tanagn Indrayana sehingga mereka duduk kembali di atas rumput,"Sesungguhnya aku adalah putera dari Rama Prabu Sanjaya di Mataram yang telah almarhum."
Terbelalak mata Indrayana memandang kepada pemuda itu."Kau""
Pangeran Pati dari Mataram?"ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan hendak menyembah kepada Pangeran Pancapana, akan tetapi Pangeran Pancapana memegang kedua pundaknya dan mencegah Indrayana melakukan penghormatan ini.
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengar Indrayana. Tak perlu engkau melakukan banyak upacara seperti ini. Bukankah engkau sedah menjadi adikku sendiri? bersikaplah biasa, karena sesungguhnya, selain Paman Panembahan Bayumurti, diajeng Candra Dewi, dan engkau sendiri, tidak ada orang lain di seluruh Mataram yang mengetahui hal ini!"
Pangeran Pancapana lalu menceritakan pengalamannya dengan suara mengharukan. Sesungguhnya, ketika Kerajaan Mataram masih berada di bawah asuhan Sang Prabu Sanjaya, kerajaan itu menjadi kuat, makmur, dan mempunyai wilAyah yang amat luas. Bahkan Kerajaan Syailendra tadinya mengakui kedaulatan Sang Prabu Sanjaya sehingga Kerajaan Syailendra boleh dibilang berada dibawah kekuasaan Mataram. Akan tetapi, kebesaran Mataram itu agknya hanya tergantung kepada kepribadian Sang Prabu Sanjaya, karena setelah Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia, kejayaan Mataram mengalami kemunduran hebat.
Tahta Kerajaan dipegang oleh Sang Prabu Panamkaran seorang pangeran yang menjadi adik misan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Hal ini terjadi oleh karena putera Sang Prabu Sanjaya, yaitu Pangeran Pancapana, ketika ramandanya meninggal dunia, masih muda sekali. Bahkan ada usaha gelap dari para pengikut Sang Prabu Pabamkaran untuk melenyapkan dan membunuh Pangeran Pati Pancapana ini. Baiknya masih banyak hamba yang setia kepada mendiang Prabu Sanjaya, di antaranya adalah Panembahan bayumurti yang segera membawa pergi Pangeran Pancapana dan mendidiknya sebagai putera sendiri, bersama seorang puterinya, yaitu Candra Dewi.
Semenjak baginda Panamkaran duduk di tahta Kerajaan Mataram, makin lemahlah kedudukan kerajaan ini. Banyak raja-raja kecil melepaskan diri dari kekuasaan mataram, sehingga Kerajaan Mataram yang tadinya besar dan luas sekali wilAyahnya itu, makin lama makin kecil dan tak berarti. Raja-raja lain berani menentangnya, di antaranya adalah Kerajaan Syailendra berdekatan, maka kerajaan inilah yang akhirnya mempengaruhi Mataram dan banyak daerah yang tadinya menjadi daerah Mataram, perlahan-lahan menjadi daerah Syailendra terutama sekali karena berkembangnya Agama Buddha yang berpusat di Kerajaan Syailendra.
Pancapana yang semenjak kecil dibawa oleh Panembahan Bayumurti, mempelajari banyak ilmu kepadaian, aji kesaktian, bahkan mempelajari seni pahat dan setelah dewasa, pageran ini pandai sekali membuat patung-patung yang indah. Terhadap Panembahan Bayumurti ia menggangap seperti seorang Ayah sendiri, dan terhadap Candra Dewi, ia menganggap sebagai adik kandung sendiri.
Baik Panembahan Bayumurti, maupun Candra Dewi dan Pancapana sendiri, menutup rapat-rapat rahasia ini sehingga pemuda yang tampan itu dianggap oleh orang lain sebagai seorang pemuda murid Panembahan Bayumurti belaka, dan nama Pangeran Pati Pancapana telah dilupakan orang dan disangkanya telah terbunuh pengikut-pengikut Baginda Panamkaran.
Setelah bertemu dengan Indrayana, barulah Pancapana membuka rahasia, karena ia merasa suka dan percaya penuh kepada Indrayana. Tentu saja Indrayana merasa terharu sekali mendengar riwayat pangeran itu, dan untuk bebrapa lama ia hanya memandang dengan terharu. Kemudian ia berkata,
"Kakangmas Pancapana, sudah terang bahwa kaulah putera mahkota dan menjadi Pangeran Pati dari Kerajaan Mataram. Mengapa kau tidak menuntut hakmu? Kaulah yang seharusnya menjadi raja mataram, bukan raja yang sekarang ini."
Pangeran Pancana tersenyum."Memang sudah menjadi cita-cita setiap orang gagah untuk mendapatkan haknya, terutama sekali kalau kulihat betapa Kerajaan Mataram makin lama makin lemah dan mengecil, menjadi kerajaan boneka yang mudah dipermainkan oleh kerajaan-kerajaan lain. Aku maklum bahwa Kerajaan Mataram yang dulu menjadi sebuah kerajaan yang terbesar, terpandang tinggi, kaya raya dan mempunyai rakyat yang hidup makmur, setelah Rama Prabu meninggal, sekarang menjadi sebuah kerajaan yang amat lemah, dipandang rendah, miskin dan rakyatnya papa sengsara. Hatiku perih kalau melihat keadaan ini dan di dalam lubuk hatiku, aku tentu akan bertindak untuk memulihkan kembali kejayaan Mataram. Namun, menurut petunjuk dari Paman Panembahan Bayumurti, aku harus bersabar dan sekarang belum tiba waktunya. Aku amat patuh atas nasihat ini, karena Paman Panembahan, selain menjadi guruku yang amat mulia, juga kuanggap sebagai pengganti orang tuaku yang harus kutaati."
Indrayana makin kagum mendengar ucapan pangeran itu. Baginya seperti juga watak Ayahnya, agama adalah soal kedua, yang penting adalah sikap dan watak orangnya. Maka melihat kegagahan dan kebaikan serta kesetiaan yang sedemikian besarnya, ia merasa terharu sekali. Ia memegang lengan Pangeran Pancapana dan berkata dengan suara menggetar,
"Kakangmas Pancapana, aku merasa berbahagia sekali dapat menjadi saudara angkatmu Kau adalah seorang ksatria utama yang patut dijadikan kawan dan saudara. Kau adalah seorang Pangeran Pati calon raja yang berjiwa besar, terutama sekali mendengar bahwa keinginanmu menduduki tahta Kerajaan Mataram adalah dorongan oleh keharuanmu melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa. Engkau patut sekali dibela dan dihormati. Maka kakangmas Pancapana, aku akan selalu berada di sampingmu, dan akulah yang akan membuatmu dalam usahamu menduduki kembali singgasana Kerajaan Mataram!"
Pangeran Pancapana tidak menjawab dan tidak dapat berkata-kata, hanya memeluk Indrayana dengan kedua mata basah. Ketika Indrayana menengok ke arah Candra Dewi, ia heran melihat gadis itu memandangnya dengan mata basah pula, dan betapa mesra pandang mata itu kepadanya!
Setengah dikatupkan, dengan bulu mata gemetar, manik mata berkaca-kaca dan menatapnay dari balik bulu mata itu, ujung hidungnya yang bangir itu mengembang dan bibirnya terbuka sedikit hingga terdengar perlahan napasnya yang memburu. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena dara jelita itu segera membuang pandang matanya ke bawah ke atas tanah dan sambil menundukkan muka, kini kedua ibu jari kakinya bergerak-gerak mengores-gores tanah! Indrayana berdiri terkesima, kagum dan takjub menyaksikan saat yang luar biasa sekali ketika gadis itu memandang dadanya berdebar tak menentu, dan matanya terbelalak bagaikan terkena pesona.
Tiba-tiba suara ketawa Pangeran Pancapana memecahkan suasana hikmat itu,"Eh, dimas Indrayana Engkau tadi bicara tentang perut lapar, bukan? Baru sekarang akupun merasa betapa laparnya perutku!"
"O ya! Sejak tadi akupun telah mendengar bunyi cacing menggeliat-geliat, di perut siapakah gerangan?"katanya sambil tersenyum girang.
"Cacing di perutku adalah cacing sopan,"kata Pancapana sambil tertawa dan mengerling ke arah Candra Dewi,"tadi kudengar berkeruyuknya datang dari jurusan diajeng Candra!"
Candra Dewi yang tadinya duduk sambil menundukkan mukanya, kini tiba-tiba mengangkat muka dan memandang kepada Pancapana dengan mata melerok dan cemberut."Sesopan-sopannya cacing, kalau tak diberi makan tentu akan mengeliat-geliat juga! Di dalam perutku sih tidak ada cacingnya! Perutku bersih dan sehat, mana cacing dapat menjadi penghuninya?"
Indrayana tertawa terbahak-bahak. Ia merasa gembira sekali karena sekarang ternyata olehnya bahwa Pancapana dan Candra Dewi keduanya adalah orang-orang muda yang gembira dan suka pula berkelakar.
"Ha, kalau begitu, tentu cacingkulah tadi yang berkeruyuk!"
Katanya."Akan tetapi, jeng Dewi, tak mungkin kalau perutmu tidak bercacing! Menurut pendapat Ayahku, di dalam tubuh tiap manusia terdapat mahluk hidup yang lain, seperti cacing dan lain-lain. Tanpa ada mahluk hidup yang lain, manusia tak dapat hidup!"
"Akupun pernah mendengar tentang hal itu,"kata Pancapana,"bahkan Candra sendiri juga sudah mengetahuinya, bukan?"
"Tidak. Tidak! Di dalam perutku tidak ada cacingnya!"Candra Dewi berseru dan berkeras."Mungkin ada mahluk hidup lain, akan tetapi bukan cacing! Aku tidak sudi dijadikan tempat tinggal binatang menjijikan itu!"
Kembali Indrayana tertawa gembira. Melihat dara itu mau bicara dan berkelakar, bahkan keliatan seperti marah-marah, baru ia mendapat kenyataan betapa manis dan cantiknya Candra Dewi. Betapa sehat kulitnya yang halus dan masak oleh sunar matahari itu. Pipinya yang segar kemerah-merahan mengingatkan ia akan kulit mangga golek yang telah masak. Kerling matanya tajam menyambar hati, senyumnya manis menyinggung jantung. Madu akan terasa pahit bila dibandingkan dengan kemanisan bibir dara ini. Ia tahu bahwa Candra Dewi masih malu-malu dan jarang sekali mau bertemu pandang dengan dia. Semua kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu ditunjukkan kepada Pancapana, yang telah bertahun-tahun semenjak mereka masih kecil, telah menjadi kawan bermain dan telah dianggap sebagai kakak kandung sendiri. Akan tetapi, justruh kerling yang hanya sekali-sekali menyambar ke arahnya secara"sambil lalu"itulah yang membuat Indrayana merasa dadanya berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat bahwa bayangan wajah Puteri Mahkota Pramodawardani yang tadinya tak pernah meninggalkan pelupuk matanya, kini tidak kelihatan lagi bahkan ia telah lupa sama sekali akan puteri Syailendra itu!
Dan ketika Indrayana mencari buah-buah ia memilih yang paling masak dan paling baik untuk Candra Dewi. Melihat hal ini, Candra Dewi yang masih hijau dan bodoh serta belum dapat menyelami hati pria, bertanya dengan sungguh-sungguh,
"Raden Indrayana, mengapa buah yang terbesar dan terbaik diberikan kepadaku seorang? Marilah kita bagi rata, untuk engkau dan jaga untuk Raden dan Pancapana"""Dara itu menghentikan ucapannya ketia ia melihat betapa wajah Indrayana menjadi merah dan pemuda ini menundukakan mukanya ia mendengar suara tawa tertahan, ia segera menengok dan melihat betapa Pancapana menahan-nahan ketawanya sambil memandang kepada Indrayana dengan mata menggoda.
"Makanlah, jeng Dewi. Indrayana sengaja memetik yang terbaik untukmu, mengapa engkau tidak dapat menghargai kasih sayang orang?"berkata Pancapana dengan suara menggoda. Kini perasaan wanita di dalam hati Candra Dewi membisikkan susuatu kepadanya yang membuat pipinya yang sudah merah makin menjadi merah lagi.
"Sudahlah, jeng Dewi, jangan hiraukan orang yang suka menggoda, anggaplah saja ucapannya seperti suara"""Indrayana tidak melanjutkannya.
""". Seperti suara cacing perut tidak berteriak-teriak lagi, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Muria. Akan tetapi baru saja mereka keluar daru hutan itu, tiba-tiba dari sebelah kanan nampak debu
(Lanjut ke Jilid 04)
Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
mengebul tinggi dan terdengarlah derap kaku kuda yang menuju ke arah mereka.
Pancapana dan Indrayana bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka berdiri berjejer di tepi jalan, sedangkan Candra Dewi berdiri di belakang mereka. Tak lama kemudian, nampaklah tiga belas ekor kuda yang ditunggangi oleh orang-orang tinggi besar dan buas pandang matanya. Melihat orang-orang yang berpakaian serba hitam itu, Pancapana merasa heran dan tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika melihat seorang di antara dua orang pemimpin pasukan berkuda itu, terkejutlah Indrayana. Orang itu adalah Reksasura, kepala pasukan Srigala Hitam yang dulu pernah mencoba hendak merampas patungnya!
"Kakangmas Pancapana,"bisiknya perlahan,"awas, mereka itu adalah pasukan Serigala Hitam, penyembah Batari Durga yang terkenal buas!"
Pancapana juga terkejut. Ia pernah mendengar nama pasukan ini, maka ia merasa khawatir karena ia maklum bahwa pasukan ini terkenal amat buasa dan cabul, terkenal akan perbuatan mereka yang suka merampas dan mencuri wanita-wanita cantik!
"Ha-ha-ha! Dicari di seluruh lorong langit tidak bertemu, tidak tahunya sekarang berjumpa di sini bersama seorang perawan denok! Ha-ha, Indrayana. Bagus sekali, dengan tebusan perawan itu kuserahkan kepada kami, barulah kami dapat mengampuni dosa-dosamu!"
Indrayana adalah seorang pemuda yang cerdik. Melihat sikap Reksasura yang pernah dipukulnya kocar kacir itu kini nampak garang dan tabah, tentu orang kasar ini mempunyai andalan yang kuat. Ia lalu melirik dan memperhatikan orang yang berkuda di sebelah kanan Reksasura. Orang ini terang sekali bukan seorang Jawa, karena kulit mukanya berwarna hitam gelap. Keningnya tinggi, membuat sepasang matanya yang sudah dalam itu makin mendelong ke dalam kepalanya, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya seperti hidung burung betet, melengkung dan melingkar ke bawah, agaknya amat berat sehingga kulit di bawah sedikit. Misalnya kecil panjang, berjuntai kebawah di kanan kiri mulutnya yang tipis merupakan garis melintang panjang. Karena bentuk mulut inilah maka ia nampak selalu seperti orang bersedihan seperti orang mau mewek. Telinganya yang panjang dan lebar itu masih nampak bagian bawahnya, karena bagian atasnya tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna putih yang menutupi seluruh kepalanya sampai beebrapa kali libatan. Jenggotnya pendek dan kasar.
Biarpun wajah orang hindu ini tidak aneh akan tetapi dari sinar matanya yang amat berpengaruh dan tajam, dapatlah Indrayana menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan orang inipulalah agaknya yang diandalkan oleh Reksasura sehingga si kasar itu berani berlaku garang dan berlagak di hadapannya.
"Reksasura,"kata Indrayana sambil tersenyum,"dulu ketika engkau berlaku lancang dan mengganggu perjalananku, aku masih berlaku murah dan tidak mencabut nyawamu yang kotor karena perbuatanmi yang penuh dosa. Sekarang kembali kau mengulangi perbuatanmu, apakah benar-benar kau sudah rindu akan panasnya api neraka? Apakah kau sudah membuat kelewang baru? Nah, cabutlah, akan tetapi kali ini jangan kau berkata bahwa aku Indrayana berlaku keterlaluan kalau aku bukanhanya akan mematahkan kelewangmu, akan tetapi juga mematahkan lehermu!"
"Indrayana, kau selalu berwatak sombong dan kau terlalu mengandalkan kepandaianmu sendiri! Sekarang kau berhadapan dengan guruku, Bagawan Siddha Kalagana, pemimpin kami yang sakti mandraguna! Kau tidak lekas berlutut minta ampun?"
Diam-diam Indrayana terkejut dan ia memandang dengan penuh perhatian kepada Pendeta Hindu yang tinggi kurus itu. Juga Pangeran Pancapana terkejut sekali ketika mendengar bahwa orang Hindu itu adalah Begawan Siddha Kalagana yang telah didengar namanya sebagai seorang pertapa dan pendeta yang benar-benar sakti sekali.
Indrayana adalah sorang putera pendeta, dan telah menjadi wataknya tidak mau menghina kepercayaan dan agama lain orang. Maka mendengar bahwa ia berhadapan dengan Begawan Siddha Kalagana, ia lalu merangkapkan telapak tangannya menyembah memberi hormat, lalu berkata.
"Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Sang Begawan Siddha Kalagana yang terkenal. Harap suka menerima pemberian hotmat kami orang-orang muda. Aku, Indrayana dari Syailendra, selalu menghormat para ahli tapa yang suci dan yang bijaksana, tahu akan rahasia hidup, maka aku tidak merasa takut berhadapan dengan Sang Begawan. Seperti biasa, kedatangan seorang ahli tapa tentu akan membawa bahagia dan penambahan pengetahuan. Sesungguhnya, ada keperluan apakah Sang Begawan datang menghadang perjalanan kami orang-orang muda?"
Diam-diam Pangeran Pancapana tertegun dan kagum melihat sikap Indrayana yang amat tabah dan tenang itu. Juga Begawan Siddha Kalagana sendiri merasa tertarik dan kagum melihat Indrayana. Begawan ini sesungguhnya adalah seorang Hindu yang sudah amat tinggi usianya, akan tetapi, berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia masih nampak muda dan rambutnya masih hitam. Pendeta ini datang dari Hindu, membawa agamanya sendiri, yaitu pemuja Batari Durga. Ia telah merasa tidak aman di negerinya sendiri, oleh karena di dalam kepercayaannya, pertapa ini menjalankan perbuatan-perbuatan yanga mat terkutuk dan keji.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo