Sejengkal Tanah Percik Darah 13
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Akhirnya, setelah kembali dia terhuyung, bahkan terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, Gagak Wulung maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Maka dia bergulingan terus menjauh lalu meloncat dan melarikan diri .
Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka menyambutnya dengan serangan dahsyat. Sekali ini, Ki Baka tidak ingin melepaskannya. Orang itu telah melakukan kejahatan besar, telah menodai Pertiwi, berarti bukan saja mendatangkan aib kepada keluarga gadis itu dan merusak kebahagiaan hidup Pertiwi, akan tetapi juga berarti telah menghina dia dan merusak kebahagiaan hidup Nurseta.
"Bedebah, hendak lari ke mana kau?"
Bentaknya dan diapun melompat dengan cepat, melakukan pengejaran menuruni lereng.
Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan diri secepatnya menuruni lereng itu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia ketakutan. Dia maklum bahwa sekali ini Ki Baka tidak akan mau memaafkannya, dan kalau dia tidak cepat dapat tiba di tempat di mana Ki Buyut Pranamaya menantinya, dia tentu akan celaka di tangan Ki Baka yang sedang marah itu.
Gagak Wulung memang cerdik. Dia dapat lari sambil menghindar, dengan cara berbelak belok dan tentu saja dia menuju ke kaki gunung di mana Ki Buyut Pranamaya yang diandalkannya itu berada. Dan memang pada hari itu sudah merupakan hari ke tiga, seperti yang dijanjikannya bahwa pada hari ke tiga dia akan turun memberi laporan.
Ketika Gagak Wulung mulai merasa semakin gelisah karena Ki Baka nampaknya semakin dekat, tiba tiba saja hatinya lega melihat munculnya Ki Buyut Pranamaya di depannya. Kiranya kakek ini menjadi tidak sabar karena pembantu yang dinanti nantikannya itu tak kunjung muncul, lalu kakek ini mendaki gunung untuk menyusul.
"Hemm, kenapa engkau lari lari seperti orang dikejar setan?"
Tanya Ki Buyut Pranamaya.
"Bu...... bukan setan....... tapi Ki Baka, paman"
Kata Gagak Wulung dengan gagap karena napasnya memburu dan muka serta lehernya penuh keringat.
"Hemm, dia?"
Ki Buyut Pranamaya membalikkan tubuh memandang dan dia melihat Ki Baka berlari cepat menuruni lereng menuju ke tempat itu.
"Kau minggirlah, kebetulan sekali dia datang "
Ki Baka tiba di tempar itu dan begitu melihat kakek itu, alisnya berkerut menduga duga. Siapa gerangan kakek ini? Seorang kakek yang tubuhnya sedang, meski usianya sudah tinggi sekali namun tubuhnya masib tegak, muka dan kumisnya, juga jenggotnya sudah banyak uban, pakaiannya seperti pakaian petani berwarna hitam. Ketika matanya memandang ke bawah, dia terkejut sekali. Jelas nampak pada kaki yang bertelanjang itu masing-masing hanya ada empat jari, tanpa ibu jari.
"Wiku Bayunirada........ Dan kau juga Ki Buyut Pranamaya"
Kata Ki Baka, teringat akan cerita Nurseta tentang kakek itu.
Kumis dan jenggot kelabu itu bergerak-gerak ketika Ki Buyut Pranamaya tertawa btrgelak.
"Hahahaha, bagus kalau kau masih ingat kepada Wiku Bayunirada, Ki Baka. Kau sudah merasakan ampuhnya tangan ini, oleh karena itu, sekarang kau serahkan Tejanirmaia, baru aku akan memberi ampun kepadamu"
Ki Baka maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih pandai dan lebih tangguh dari dia, namun dia tidak memperhhatkan sikap gentar, bahkan tersenyum tenang.
"Ki Buyut Pranamaya, dengan menyamar sebagai Wiku Bayunirada, kau menipuku dan merampas Ki Ageng Tejanirmala, bahkan menurunkan tangan kejam kepadaku. Kemudian, kau tidak mampu mempertahankan pusaka itu sehingga terampas oleh orang lain. Bagaimana sekarang kau datang kepadaku menanyakan pusaka itu?"
"Huh, tidak perlu berpura-pura dan berlagak bodoh, Ki Baka. Yang merampas tombak pusaka itu adalah anakmu, si Nurseta yang dibantu oleh seorang gadis berbaju hijau. Maka, engkau tentu tahu di mana pusaka itu. Hayo cepat katakan di mana dan kembalikan kepadaku, ataukah aku harus mempergunakan kekerasan memaksamu?"
"Paman Buyut, robobkan saja dan tangkap dia, biar akan kusiksa dia sampai mengaku di mana adanya pusaka itu"
Kata Gagak Wulung yang kini timbul kembali kegalakannya setelah merasa aman.
"Ki Buyut Pranamaya, biarpun bukan aku dan bukan pula anakku yang merampas kembali tombak pusaka itu, aku tahu siapa yang merampasnya. Akan tetapi, jangan harap aku akan memberitahukannya kepadamu. Lupakah kau bahwa tombak pusaka itu bukan milikmu dan kau sama sekali tidak berhak untuk memilikinya?"
Ki Buyut Pranamaya menjadi marah, apa lagi mendengar bahwa Ki Baka tahu siapa perampasnva dan di mana tombak pusaka itu berada.
"Ki Baka, sekali lagi, katakan di mana tombak pusaka itu"
Akan tetapi Ki Baka tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala sambil mengerahkan aji kekuatannya untuk membela diri. Ki Buyut Pranamaya kini sudah marah sekali, Dia mengeluarkan suara melengking parau yang keluar dari perutnya melalui kerongkongan, dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Ki Baka maklum akan kehebatan serangan ini, maka diapun cepat mengelak ke samping. Akan tetapi, tamparan itu terus mengejarnya, seolah-olah di telapak tangan itu terdapat matanya yang dapat melihat ke mana dia mengelak dan tamparan itu tidak luput melainkan mengejar terus ke arah kepala Ki Baka.
"Haiiiittt........"
Ki Baka mengerahkan seluruh tenaganya menangkis karena tidak mungkin lagi mengelak dari ancaman tangan yang terus mengejar ke manapun dia mengelak itu.
"Dukkk........"
Lengannya bertemu dengan lengan kakek tua renta itu dan akibatnya, tubuh Ki Baka terdorong dan dia terhuyung keras. Pada saat itu, Ki Buyut Pranamaya telah menyerang terus dengan tendangan sakti Cakrabairawa yang datang bertubi-tubi dan amat berbahaya. Menghadapi serangkaian tendangan sakti ini, terpaksa Ki Baka harus melempar tubuhnya jauh ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri. Begitu tendangan dihentikan, Ki Baka meloncat bangun dan langsung dia mengirim serangan balasan berupa pukulan ampuh Bajradenta.
Ki Buyut, betapapun saktinya, tidak berani sembarangan menerima aji pukulan yang ampuh ini, maka kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaga mendorong. Untuk kedua kalinya tubuh Ki Baka terguling, sekali ini terpental agak jauh ketika tubuhnya terguling dekat kaki Gagak Wulung, orang ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menendang ke arah kepala Ki Baka. Untung Ki Baka masih dapat memutar kepala ke samping sehingga tendangan itu luput mengenai kepala, akan ietapi masih imengenai pundak Ki Baka.
"Desss........
"
Tubuh Ki Baka terlempar dan da meloncat bangun, merasa nyeri pada pundaknya. Masih untung bahwa tulang pundaknya tidak patah.
"Ki Baka, engkau masih belum juga mau mengaku?"
Bentak Ki Buyut Pranamaya yang kembali sudah tiba di depannya. Kakek ini memang memiliki gerakan yang amat cepat, yaitu dengan ilmunya Garuda Nglayang, yang membuat tubuhnya ringan dan cepat gerakannya seperti seekor burung garuda terbang. Akan tetapi Ki Baka pantang undur. Bagi seorang satria seperti dia, kematian bukanlah apa apa, akan tetapi mempertahankan kebenaran jauh lebih penting. Apa lagi harus menunjukkan di mana adanya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, biar matipun dia tidak akan mau melakukannya. Berbahaya sekali kalau tombak pusaka itu sampai terjatuh ke dalam tangan seorang seperti kakek ini, Buktinya, sebentar saja tombak itu terampas oleh Ki Buyut Pranamaya. terjadilah pemberontakan Mahesa Rangkah yang.mengorbankan banyak nyawa manusia. Entah apa akan jadinya dengan, pemberontakan jtu kalau tombak pusaka itu tidak terlepas dari tangan Ki Buyut Pranamaya. Tentu pemberontakan itu tidak akan begitu. mudah dibasmi seperti yang telah terjadi sekarang ini. Maka tanpa menjawab, dia bahkan menyambut pertanyaan itu dengan serangannya, dengan pukulan Bajradenta dan pengerahan tenaga Aji Sari Patala.
Melihat ini, Ki Buyut Pranamaya menjadi marah.
"Huh, agaknya engkau sudah bosan hidup bentaknya dan dia menangkis pukulan itu sambil membarengi dengan tendangan yang mengenai paha Ki Baka.
Tubuh Ki Baka terpelanting dan Ki Buyut Pranamaya mengejar menyusulkan pukulan yang ampuh bukan main, yaitu Aji Margaparastra (Jalan Kematian ) seperti yang pernah membuat Ki Baka menjadi penderita cacat dan nyaris mencabut nvawanya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembaban Sidik Danasura.
"Tahan pukulan itu"
Tiba tiba terdengar bentakan halus sekali, akan tetapi di dalam kelembutannya terkandung wibawa yang amat kuat sehingga Ki Buyut Pranamaya sendiri otomatis menahan pukulan Margaparastra itu sambil menoleh ke arah suara tadi Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Baka untuk meloncat ke belakang menjauhkan diri.
"Sadhu, sadhu, sadhu........, semoga Hyang Widhi Wisesa mengampuni kita semua. Buyut Pranamaya, tidak takutkah kau akan murka Hyang Tunggal ketika kau hendak menjatuhkan pukulan maut kepada Ki Baka? Siapakah kau ini yang berani hendak mengakhiri hidup seseorang?"
Ki Buyut Pranamaya sudah berhadapan dengan kakek yang baru tiba itu. Kakek tinggi kurus yang usianya juga sudah tua renta, sebaya dengan Ki Buyut Pranamaya sendiri, tubuhnya agak bongkok, pakaian, ikat rambut, juga rambut kumis dan jenggotnya, semua putih. Tangan kirinya memegang seuntai tasbeh dari batu putih, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu gading. Tentu saja dia mengenal siapa adanya kakek yang tadi menegurnya dengan lembut sehingga membuat dia menahan pukulan mautnya terhadap Ki Baka.
Panembahan Sidik Danasura adalah seorang tokoh yang kedudukannya amat tinggi dan biarpun dia jarang atau hampir tidak pernah mencampuri urusan duniawi, namun semua tokoh di dunia persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, mengenal namanya.
"Hemm, kiranya Kakang Panembahan Sidik Danasura yang nadir"
Kata Ki Buyut Pranamaya dengan suara ditenangkan untuk menutupi perasaannya yang agak terguncang melihat munculnya kakek itu. Belum pernah dia sendiri menguji kesaktian panembahan itu, namun dari keterangan yang pernah didengarnya, kabarnya kakek pertapa di Teluk Pngi Segoro Wedi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan memiliki kepandaiau seperti dewa saja, dan yang lebih mengerikan lagi adalah wataknya yang bersih dan murni. Manusia dengan kebersihan dan kebebasan seperti inilah yang sukar dilawan dengan kedigdayaan.
"Benar, Adi Buyut Pranamaya, semoga para dewata memberi jalan terang kepada kau"
"Terima kasih, Kakang Panembahan. Akan tetapi agaknya kau hanya pandai memberi nasihat akan tetapi tidak pandai melaksanakannya sendiri, Kakang Panembahan"
Panembahan itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, sikapnya tenang dan sinar matanya tak pernah melepaskan sinarnya yang lembut, mulutnyapun selalu tersenyum.
"Adi Buyut, apa maksudmu?"
"Kau menasihatkan orang untuk mengambil jalan terang dan membebaskan diri dari keramaian duniawi, akan tetapi mengapa kau datang datang mencampuri urusan orang lain, dalam hal ini urusanku dan kau sudah bertindak berat sebelah dengan memihak Ki Baka dan menghalangiku?"
"Sadhu, sadhu, sadhu, semoga para dewata memberkahi semua mahluk di dunia ini. Adi Buyut, aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri apa lagi memihak, melainkan aku melihat seseorang, dalam hal ini kau, hendak melakukan dosa besar dengan pembunuhan. Karena itu, aku segera mencegah dan mengingatkan, bukankah ini demi kebaikanmu sendiri?"
"Itu menurut pendapatmu, Kakang Penembahan. Dan pendapat orang dapat berbeda. bahkan berlawanan. Pencegahanmu tadi sama sekali bukan demi kebaikanku, bahkan sebaliknya, pencegahanmu itu amat merugikan aku kakang. Pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka, dan aku datang untuk menuntut kembali pusaka itu, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan di mana adanya pusaka itu. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku memaksanya mengaku? Perbuatanku menuntut hakku sudah benar, sebaliknya perbuatanmu mencegah aku itulah yang sesat karena merugikan aku"
Panembahan Sidik Danasura kembali mengelus jenggotnya dan mengangguk angpuk. sikapnya tetap lembut dan ramah.
"Jagad Dewa Batbara......... Belumkah kau mampu meiihatnya, Adi Buyut? Setiap langkah perbuatan, apa bila mengandung pamrih, adalah perbuatan yang sesat dan palsu"
"Akan tetapi pamrihku baik"
"Yang ada hanya pamrih, tidak ada baik atau buruk. Pamrih merupakan keinginan demi kepentingan diri pribadi yang dapat meluas menjadi kepentingan goiongan dan seterusnya dari pribadi itu, terbuka maupun terselubung, dan keinginan itu menjadi dasar dari suatu perbuatan. Itulah pamrih, dan setiap perbuatan yang d dorong pamrih, sudah pasti akan menimbulkan bentrokan dan keributan belaka. Aku mencegahmu tadi sama sekali tanpa pamrih, sama sekali tanpa kepentingan pribadi, Adi Buyut. Sudahlah, coba ceritakan apa yang telah terjadi sehingga kau kulihat hendak menurunkan tangan maut kepada Ki Bika tadi"
Ki Buyut Pranamaya merasa serba salah. Tentu saja dia mengerti bahwa sesungguhnya, slialah yang merampas pusaka itu mula mula dan tangan Ki Baka. Akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun menjawab dengan nekat saja.
"Sudah kukatakan tadi, pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka yang bernama Nurseta bersama seorang gadis baju hijau, dan aku datang kepada Ki Baka untuk menuntut agar dia mengembalikan pusaka itu. Akan tetapi, dia bahkan hendak merahasiakan di mana adanya pusaka itu"
Panembahan itu menjawab.
"Mendengarkan alasan haruslah dari kedua pihak, baru adi. namanya. Oleh karena itu, Ki Baka, coba ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga kau berkelahi dengan Adi Buyut Pranamaya"
Ki Baka tentu saja mengenal baik panembahan yang baru baru ini telah menyelamatkannya dari akibat pukulan Margaparastra dari Wiku Bayunirada yang sesungguhnya adalah penyamaran dari Ki Buyut Pranamaya. Dia lalu memberi hormat kepada panembahan itu dan menjawab dengan sejujurnya.
"Terima kasih atas pertolongan Paman Panembahan yang untuk kedua kalinya menghindarkan diri saya dari ancaman maut di tangan Ki Buyut Pranamaya. Awal peristiwa terjadi di dusun Sintren, di mana Gagak Wulung telah secara keji menodai gadis yang menjadi calon mantu saya, calon isteri Nurseta, bahkan dia hendak melarikan gadis itu. Saya menentangnya, kami berkelahi dan dia melarikan diri, saya kejar sampai di sini. Tahu tahu muncul Ki Buyut Pranamaya yang menyerang saya setelah dia menuntut agar saya mengembalikan Ki Ageng Tejanirmala atau memberitahu kepadanya di mana adanya pusaka itu sekarang"
"Sadhu, sadhu, sadhu......... Di manamana? manusia mengumbar nafsunya mengejar kesenangan tanpa rikuh mencelakakan orang lain"
Pertapa itu menarik napas panjang dan ketika sinar matanya yang lembut bertemu dengan wajah Gagak Wulung, penjahat ini bergidik dan cepat menundukkan mukanya.
"Ki Baka, bagaimana ceritanya dengan tombak pusaka itu sehingga Adi Buyut Pranamaya menuntut dikembalikannya pusaka itu?"
"Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadinya milik saya yang dirampas oleh Wiku Bayunirada yang bukan lain adalah Ki Buyut Pranamaya juga. Dia merampas pusaka dan melukai saya sampai saya tertolong oleh pengobatan Paman Panembahan. Kemudian, Nurseta mencari pusaka itu untuk merampasnya kembali. Akan tetapi pusaka itu terampas oleh seorang gadis. Baik saya ataupun Nurseta tidak bekerja sama dengan gadis itu, akan tetapi Ki Buyut Pranamaya menuduh demikian dan memaksaku memberitahu di mana adanya pusaka itu. Biarpun saya tahu di mana, tentu saja saya tidak mau memberitahukan kepadanya karena dia sama sekali tidak berhak atas pusaka itu"
"Adi Buyut, bukankah perbuatanmu itu sewenang-wenang? Kau tidak berhak memiliki tombak pusaka itu, Sudahilah saja usahamu yang tidak patut itu agar kau tidak terjerat oleh perbuatan sendiri, karena setiap orang akhirnya akan memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri"
"Aku mempergunakan wewenang dari yang menang. Yang menang itu kuasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Pusaka itu telah berada di tanganku, maka harus kembali ke tanganku, dan aku akan memaksa Ki Baka untuk mengaku di mana adanya pusaka itu"
Ki Buyut Pranamaya membentak.
"Kakang Panembahan. Kau hendak memihak Ki Baka, membelanya dan menentang aku?"
Ki Buyut Pranamaya membentak, matanya membelalak kemerahan.
Kakek tua renta itu tersenyum dan menggeleng kepala, seperti seorang guru melihat sikap muridnya yang masih bodoh dan nakal.
"Aku tidak membela dan menentang siapapun, kecuali membela yang benar dan lemah, dan menghindarkan yang sesat dan kuat dari pada perbuatan jahat"
"Babo babo, kau kira aku takut padamu, Panembahan Sidik Danasura? Kalau kau menentang aku, berarti kau seorang musuh bagiku"
Berkata demikian kakek yang berpakaian serba hitam ini sudah menerjang maju dengan pukulan dahsyatnya, yaitu Aji Margaparastra yang menggiriskan. Angin dingin menyambar ketika pukulan itu dilakukan bagaikan tangan Sang Dewa Maut sendiri menjahgkau untuk mencari korban.
"Sadhu, sadhu, sadhu......."
Panembahan Sidik Danasura mengebutkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju putih yang lebar Angin halus menyambar keluar dan dalam lengan baju itu, menyambut angin pukulan Margaparastra dan akibatnya, tubuh Ki Buyut Pranamaya terdorong dan terhuyung ke belakang, Kakek berpakaian serba hitam itu semakin marah. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau, diapun menerjang maju, sekali ini mengerahkan Aji Cakrabairawa yaitu ilmu tendangan yang dahsyat itu. Kedua kakinya bertubi-tubi melayang ke arah tubuh kakek berpakaian serba putih.
Panembahan Sidik Danasura dengan sikap tenang lalu menggunakan tongkatnya yang terbuat dari Bambu Gading itu menyambut, menggerakkan tongkat seperti memukul anjing dan akibatnya, tubuh penyerang itu terpelanting dan terjatuh. Namun, Ki Buyut Pranamaya meloncat bangkit kembali, memandang kepada lawannya dengan beringas, akan tetapi diapun tahu diri. Dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan kakek berpakaian serba putih yang amat sakti itu. Dan diapun tidak berani mengeluarkan ilmu hitam atau ilmu sihirnya, karena diapun tahu bahwa menghadapi kakek sakti ini, ilmu hitamnya hanya akan membalik dan memukul dirinya sendiri, dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada tangkisan lawan terhadap serangannya tadi.
"Baiklah, Kakang Panembahan Sidik Danasura, aku mengaku saat ini belum mampu memaksa Ki Baka mengaku. Akan tetapi, masih ada saat lain. Hayo, Gagak Wulung"
Dan Ki Buyut Pranamaya lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan cepatnya, dengan wajah penuh kemarahan. Gagak Wulung juga cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu mengejar kakek berpakaian hitam.
"Gagak Wulung keparat, engkau harus mempertanggung jawabkan kejahatanmu "
Ki Baka masih penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disentuh Panembahan Sidik "Danasura maka dia tidak melanjutkan usahanya melakukan pengejaran. Diapun maklum bahwa selama Gagak Wulung berdekatan dengan Ki Buyut Pranamaya, dia tidak akan mampu berbuat apapun terhadap penjahat cajul itu, bahkan dia yang akan terancam oleh kakek tua renta berpakaian hitam itu.
"Paman, mengapa paman melepaskan orang-orang jahat seperti iblis itu? Mereka berdua itu hanya akan mengancam kehidupan manusia lain, mengotori dunia saja"
Kata Ki Baka, dalam kemarahannya sampai lupa diri. Memang sesungguhnyalah, mengalahkan orang lain itu mudah, namun mengalahkan diri sendiri amat sulitnya. Ki Baka adalah seorang pertapa yang sudah cukup memiliki kebijaksanaan, maklum akan kelirunya menurutkan nafsu perasaan hati. Namun, melihat betapa calon mantunya dinodai orang, diapun dapat menjadi mata gelap dan lupa sehingga sikapnya tiada bedanya dengan orang yang masih mudah dikuasai nafsu amarah dan dendam. Kini, begitu bertemu pandang dengan Panembahan Sidik Danasura, tiba-tiba dia teringat dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh berlutut di depan panembahan itu.
Panembahan Sidik Danasura memejamkan mata dan mengangkat mukanya ke atas. Dia sengaja datang ke Pegunungan Kelud ini karena dia merasakan suatu hal yang mendorongnya untuk bertindak. Mata batinnya yang tajam seperti melihat akan keadaan Ki Baka yang terancam bahaya, dan selain ini, dia melihat pula bahwa Ki Baka masih akan lama dapat bertemu dengan Nurseta yang juga sedang mengalami cobaan atau ujian Yang Maha Kuasa Dia tahu bahwa ancaman Ki Buyut Pranamaya bukanlah gertak kosong belaka. Orang itu tentu tidak akan mau sudah sebelum berhasil merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala, maka keamanan Ki Baka tentu akan terancam terus. Satu satunya jalan hanyalah mengajak Ki Baka ke padepokannya di mana dia akan aman dan gangguan Ki Buyut Pranamaya.
"Agaknya kau sudah mengerti mengapa kita tidak sepatutnya menilai dan mengukur jahat tidaknya seseorang, apa lagi menjatuhkan hukuman. Siapakah kita ini yang lancang menghakimi seseoran? Marilah, Ki Baka, mari ikut bersamaku, menikmati ketenteraman hidup di Teluk Prigi. Kalau sudah tiba saatnya, tentu Nurseta akan menyusul ke sana"
"Maaf, Paman Panembahan. Sebelum kita berangkat, saya ingin lebih dulu melihat keadaan Pertiwi, calon mantu saya"
Panembahan itu tersenyum. Dia maklum akan segala yang sudah dan akan teriadi maka dia tidak membantah, hanya tersenyum mengangguk dan keduanya lalu menuju ke dusun Sintren, tempat tinggal Ki Purwoko ayah Pertiwi.
Kedatangan Ki Baka disambut isak tangis oleh Pertiwi yang sejak tadi memang sudah menangis terus. Melihat calon ayah mertuanya ini, Pertiwi yang teringat akan semua peristiwa yang terjadi dengan dirinya, menjadi malu bukan main. Tiba tiba ia lari ke sudut kamar, mengambil sebilah keris milik ayahnya dan dengan keris itu ditsuknya dadanya sendiri. Akan tetapi, dengan satu loncatan saja Ki Baka telah berada di dekatnya dan dengan mudah Ki Baka meranpas keris itu dari tangan calon mantunya.
"Nini Pertiwi, apa yang akan kau lakukan?"
Tanyanya dengan suara keren penuh wibawa.
"Paman........"
Pertiwi menjatuhkan diri berlutut, menyembah di kaki Ki Baka, sedangkan Panembahan Sidik Dmasura hanya memandang sambil mengelus jenggotnya.
"Mengapa paman menghalangiku yang hendak mengakhiri semua derita ini? Paman, apa gunanya hidup di dunia ini bagiku?"
"Pertiwi. Apa gunanya hidup bukanlah urusam kita. Kita ini dihidupkan untuk kelak dimatikan bukan atas kehendak kita. Urusan kita hanyalah mengisi kehidupan ini, mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Mengakhiri hidup dengan cara membunuh diri adalah lancang dan merupakan dosa besar.
"AKAN tetapi, paman? Apa gunanva aku hidup terus? Aku hanya akan menjadi sampah yang mengotori dunia saja, aku telah mendatangkan aib dan malu kepada keluarga ayah, juga keluarga paman.......ah, bagaimana aku akan dapat menahan denta ini. Lebih baik aku mati....... mati......."
Gadis itu menangis sesenggukan. Perasaan malu, menyesal, dendam dan duka tercampur aduk menjadi satu. la merasa malu karena ia telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki asing. Menyerahkan diri. Bukan dipaksa. Biarpuan ia sendiri merasa heran mengapa ia sampai dapat melakukan hal yang amat memalukan itu, namun ia ingat benar bahwa ia tidak dipaksa, tidak diperkosa, melainkan menyerahkan diri kepada orang bernama Raden Gigak Wulung itu. Ia merasa malu dan menyesal, akan tetapi setelah sadar, iapun merasa dendam kepada orang itu karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia menyerahkan diri dalam keadaan seperti orang tak sadar. Dan ia berduka kalau mengingat akan ucapan Nurseta, pernyataannya yang jujur bahwa pemuda yang dipujanya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain.
"Sudahlah, nini Pertiwi. Tenanglah. Apakah kaukira bahwa dengan membunuh diri engkau akan terbebas dari penderitaan? Siapa tahu engkau malah akan menambah penderitaanmu ini. Tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu, Ketahuilah bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat besar yang keji dan suka mempermainkan wanita. Engkau tentu telah disihirnya maka engkau menjadi tidak sadar. Bukan semata-mata kesalahanmu, kalau engkau melakukan hal itu walaupun aku merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau selemah itu. Tentu ada sesuatu yang membuatmu lemah, tidak dapat menolak pengaruh sihirnya. Tenanglah dan buang jauh-jauh pikiran untuk membunuh diri itu. Kita tidak dapat melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu, apa lagi melarikan diri dengan jalan bunuh diri. Kita harus berani menghadapi kenyataan dan berani menghadapi segala akibat dari pada apa yang kita lakukan atau apa yang telah terjadi menimpa diri kita"
Mendengar kata kata Ki Baka, Pertiwi menjadi agak tenang.
"Akan tetapi, paman. Setelah apa yang terjadi, bukankah aku hanya akan menjadi cemoohan orang orang saja? Apa lagi kakangmas Nurseta....... ah, aku....... aku malu untuk bertemu muka dengan dia, paman"
"Nini, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang berpemandangan sempit. Apa yang menimpa dirimu itu bukan karena kesalahanmu, dan akan terjadi kepada semua wanita yang menjadi korban Gagak Wulung. Kita tunggu saja sampai Nurseta pulang. Ingat nini, jangan sekali kali engkau berani membunuh diri karena hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan akan melibatkan dirimu ke dalam persoalan lain yang lebih rumit. Hadapilah kenyataan dengan tabah karena bagaimanapun juga, engkau tidak melakukan perbuatan sesat dengan sadar, anakku. Aku akan pergi bersama Paman Panembahan, dan tunggulah saja sampai Raden Nurseta pulang"
"Saya........ saya akan mentaati pesan paman......."
Kata Pertiwi menahan isak. Bagaimanapun juga, kata-kata,Ki Baka membesarkan hatinya, membuat ia semakin percaya bahwa perbuatannya yang tidak tahu malu itu terdorong oleh kekuatan tidak wajar atau semacam guna guna yang dikeluarkan Gagak Wulung dan ditujukan kepada dinnya.
Tiba tiba Ki Purwoko melangkah maju "Akan tetapi, sungguh kami khawatir sekali. Bagaimana kalau orang jahat itu datang kembali dan memaksa Pertiwi pergi bersamanya, Apa yang dapat kami lakukan? Kalau kami menghalangi, kami pasti dibunuhnya dan kami tidak dapat melawannya"
Ki Baka termenung. Benar juga apa yang dikatakan ayah Pertiwi itu. Orang seperti Gagak Wulung tentu tidak akan mau mengalah begitu saja. Kalau Gagak Wulung mengetahui bahwa dia telah pergi, lalu penjahat itu datang kembali ke dusun Sintren, menculik Pertiwi, tentu takkan ada seorangpun yang dapat menentang atau menghalanginya.
Selagi Ki Baka bimbang, Panembahan Sidik Danasura berkata dengan suaranya yang lembut.
"Segala kejahatan dilakukan manusia, namun semua peristiwa yang dianggap baik maupun buruk ditentukan oleh kekuasaan Hyang Widhi Wisesa. Kita manusia hanya berkewajiban untuk berikhtiar saja agar selamat. Nini, jangan khawatir. Malapetaka yang menimpa dirimu disebabkan oleh kecantikanmu yang menimbulkan nafsu buruk Gagak Wulung. Nah, kau pergunakanlah segenggam tanah ini. Setiap kali ada yang datang hendak mengusikmu. pergunakanlah sedikit dari tanah ini, kau campur dengan ludahmu dan kau pakai sebapai bedak pada mukamu, tentu tidak akan ada yang mau mengganggumu lagi, nini"
Biarpun ucapan kakek tua renta itu lemah lembut, namun di dalamnya mengandung wibawa yang membuat orang mau tidak mau tunduk dan percaya sepenuhnya. Pertiwi yang mengangkat muka memanding kakek tua renta berambut putih itu, segera menyembah, menjulurkan kedua lengan menerima segenggam tanah dan membungkus tanah itu dengan ujung kembennya sambil menghaturkan terima kasih.
Ki Baka lalu pergi bersama Panembahan Sidik Danasura, meninggalkan dukuh Sintren menuju ke selatan, ke padepokan kakek berpakaian putih itu di Teluk Prigi, Segoro Wedi dekat pantai Segoro Kidul.
Setelah tiba di tempat itu, untuk kedua kaiinya Ki Baka tinggal di tempat itu dan diapun bertapa dan memperdalam llmunya, mendapat petunjuk dari Panembahan Sidik Danasura, Beberapa kali Ki Baka bertanya kepada kakek tua renta itu tentang anak angkatnya, namua Panembahan Sidik Danasura hanya menjawab bahwa kalau waktunya tiba, tentu Nurseta akan dapat berjumpa kembali dengan Ki Baka, karena jawabannya selalu demikian, akhirnya Ki Baka tidak berani bertanya lagi dan hanya menanti dengan penuh kesabaran, maklum sepenuhnya bahwa dia, sebagai seorang manusia, tidak berdaya menentang kehendak Yang Maha Kuasa. Bagaikan seorang anak wayang, dia hams tunduk dan patuh kepada Sang Sutradara yang sudah menenti kan jalan ceritanya, tugas utamanya hanyalah berkiprah dan bermain sebaik-baiknya dalam mengisi peran yang dipegangnya.
Setelah Ki Baka pergi, Pertiwi yang masih merasa nelangsa itu hampir tidak pernah lagi keluar dari rumah. Bahkan lebih banyak ia berada di dalam kamarnya, jarang makan jarang tidur. Hal ini mencemaskan ayahnya, dan menjengkelkan ibu tirinya, bahkan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu. Akhirnya, Pertiwi minta kepada ayahnya agar dibuatkan sebuah pondok kecil, mirip gubuk sederhana di tengah ladang mereka. Ia ingin hidup menyendiri, mengerjakan ladangnva sendiri dan hidup menyepi agar tidak lagi mendatangkan keributan dalam rumah tangga ayahnya. Ki Purwoko tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi permintaan puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu kini hanya tinggal menanti kembalinya Nurseta dan mendengar keputusan calon suami itu. Hati orang tua ini terenyuh sekali, akan tetapi bagaimanapun juga, di dalam hati kecilnya dia menyesali kelemahan anaknya yang mudah tergoda pria sehingga mudah begitu saja menyerahkan diri sehingga ternoda. Masih untung bahwa hasil hubungan itu tidak sampai membuahkan keturunan. Kalau hal itu terjadi, alangkah akan malunya dan dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya.
Kini Pertiwi hidup di dalam pondok atau gubuk itu. Ia mengerjakan ladangnya dengan rajin, dan hasil ladangnya itu diambil oleh ayahnya, cukup untuk keperluan hidup gadis itu yang tidak membutuhkan banyak barang. Makannya sederhana saja, dan sedikit karena gadis itu makan hanya untuk penyambung hidupnya saja, seperti makannya seorang pertapa. Pakaiannya juga amat sederhana, asal bersih. Kalau tidak bekerja di ladang, ia selalu berada dalam gubuknya, bersila dan bersamadhi memohon kepada Yang Maha Kuasa agar ia segera dibebaskan dari penderitaan batin dan diberi jalan untuk melanjutkan kehidupan yang ganas ini.
Bagaimanapun juga, Pertiwi adalah seorang gadis yang manis, yang terkenal di Sintren sebagai seorang gadis yang lemah lembut, baik budi dan juga memiliki wajah yang manis, bentuk tubuh yang denok indah. Peristiwa yang mendatangkan aib itu hanya diketahui oleh keluarga Pertiwi saja, dan tak seorangpun di luar keluarga itu yang mengetahuinya. Kini penghuni dusun itu hanya merasa terheran-heran melihat betapa gadis itu mengasingan diri di dalam pondok seorang diri, tidak lagi mau bergaul dengan penghuni dusun, bahkan jarang keluar dari pondok kalau tidak untuk bekerja di ladang, mencuci pakaian atau mandi di kali kecil yang mengalir di dekat pondoknya. Tentu saja kesendiriannya itu menarik pula perhatian para pemuda, bahkan membangkitkan gairah para pemuda yang nakal.
Pada suatu malam bulan purnama, tiga orang pemuda diam-diam menghampiri pondok Pertiwi. Agaknya sinar bulan purnama membangkitkan berahi mereka dan membayangkan betapa gadis manis itu tidur sendirian saja di dalam pondok yang sunyi dan terpencil dari rumah-rumah lain, timbul niat buruk dalam benak mereka. Berindap-indap mereka menghampiri pondok dan mengetuk pintu pondok itu.
"Toktoktok"
Mereka mengetuk perlahan sambil cekikikan.
"Siapa itu?"
Terdengar suara Pertiwi, masih halus merdu suaranya, membuat tiga orang pemuda itu semakin bergairah.
"Pertiwi, keluarlah sebentar. Kami datang untuk mengajakmu bermain-main. Lihat, bulan bersinar indah, malam yang indah begini sayang kalau tidak dilewatkan dengan bergembira. Keluarlah, sayang"
"Keluarlah, Pertiwi manis, aku sudah rindu sekali kepadamu"
Kata pemuda yang kedua
"Diajeng Pertiwi, malam dingin begini, mari kuhangatkan dirimu"
Kata pemuda ketiga, semakin berani saja kata kata mereka.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertiwi yang sudah maklum bahwa yang datang tentulah pemuda-pemuda yang beriktikad buruk, segera mengambil sedikit tanah pemberian Panembahan Sidik Danasura, meludahinya dan membedaki mukanya dengan tanah lumpur di telapak tangannya itu. Ia tidak tahu apa jadinya dengan dirinya, namun ia mempunyai kepercayaan sepenuhnya kepada kakek tua renta berambut putih berbaju putih itu, lalu ia membuka daun pintu pondoknya sambil bertanya.
"Mau apa sih kalian ini, datang dan tega menggangu ketenanganku?"
Daun pintu terbuka, Pertiwi muncul dan tiga orang pemuda itu terbelalak, mulut mereka ternganga, kemudian dengan muka pucat dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak ketakutan. dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak. ketakutan.
Tentu saja Pertiwi merasa heran sekali. Ia lalu pergi ke dalam pondok kembali, merenungkan apa yang terjadi dan merasa berterima kasih sekali kepada Panembahan Sidik Danasura. Ia tidak tahu bahwa bedak lumpur yang sedikit iiu telah membuat ia kelihatan menyeramkan dan menakutkan sekali bagi tiga orang pemuda yang hendak mengganggunya tadi. Belum pernah selama hidup mereka, tiga orang itu pernah melihat wajah yang lebih menakutkan dari pada wajah Pertiwi ketika keluar dari dalam pondok. Inilah "senjata"
Pertiwi, pemberian dan Panembahan Sidik Danasura yang menjamin keselamatan dan ketenangannya, karena dengan senjata ampuh itu, tak seorangpun pria akan berani atau mau mengganggunya. Siapakah orangnya yang mau mendekati seorang wanita yang wajahnya bukan hanya buruk, melainkan juga menakutkan seperti wajah setan dan iblis dalam dongeng?
Beberapa bulan kemudian, ketika pada suatu hari Pertiwi sedang panen jagung tanamannya, muncullah seorang gadis cantik di ladangnya. Pertiwi tidak melihatnya karena ia sedang asik memetik jagung-jagung yang sudah tua. Ayahnya tentu akan datang sore nanti untuk mengambil dan memikul hasil panennya itu. Ia tidak tahu betapa gadis berpakaian serba hijau dan berwajah cantik itu sejak tadi berdiri tak jauh darinya dan mengamati gerak geriknya dengan pandang mata heran. Agaknya, pandang mata gadis berpakaian hijau itu memiliki daya tarik, karena Pertiwi menengok ke belakang dan ia terkejut Imelihat seorang gadis berdiri di situ, seorang gadis asing dan ia yakin gadis itu bukanlah penghuni dusun Sintren.
"Engkaukah yang bernama Pertiwi?"
Pertiwi semakin heran. Gadis cantik itu memiliki suara yang nyaring, akan tetapi logat bicaranya sungguh aneh dan asing sekali walaupun ia masih mampu menangkap artinya. Ia mengangguk heran.
"Benar, namaku Pertiwi. Kau siapakah dan ada keperluan apakah?"
Gadis berpakaian hijau itu melangkah maju menghampiri. Pertiwi juga melepaskan jagung yang sedang dipegangnya dan melangkah maju. Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak dua meter. Dua orang gadis yang sama sama memiliki bentuk tubuh yang bagaikan bunga sedang mekar, dan keduanya sama manis, keduanya sederhana pula. Hanya bedanya Pertiwi berkulit hitam, hitam manis, dan gadis itu berkulit kuning mulus.
"Namaku Wulansari"
Kata gadis itu sambil menatap tajam wajah Pertiwi seolah-olah hendak melihat apa reaksi gadis dusun Sintren itu mendengar namanya. Akan tetapi Pertiwi belum pernah mendengar nama ini, maka tentu saja tidak ada reaksi apapun kecuali terheran.
"Maaf, agaknya saya belum pernah mengenal kau. Ada keperluan apakah kau mencari saya?"
Wulansari tersenyum dan Pertiwi harus mengakui betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu kalau tersenyum, walaupun pandang matanya yang mencorong itu mendatangkan rasa was-was. Ada lesung pipit di pipi kiri, menjadi imbangan yang manis sekali dari tahi lalat kecil di pipi kanan.
"Pertiwi, aku datang mencarimu, dan keperluannya adalah untuk membunuhmu"
Kini Wulansari yang memandang heran dan bingung. Gadis dusun bernama Pertiwi ini, tunangan dan calon isteri Nurseta, sama sekali tidak bergeming mendengar ancamannya. ancaman hendak membunuh. Wajah yang hitam manis itu sama sekali tidak menjadi pucat, mata yang lebar jeli itu tidak terkejut, bahkan mulut yang manis itu masih tersenyum, seolah-olah berita yang didengarnya adalah berita biasa saja, seperti berita musim panen jagung telah tiba. Memang tidak mengherankan kalau sedikitpun Pertiwi tidak merasa takut. Kematian bagi Pertiwi sama sekali tidak menakutkan atau mengejutkan, bahkan kalau kematian yang wajar datang menjemputnya, bukan bunuh diri, ia akan menyambut dengan penuh kerelaan. Karena itu, ancaman orang untuk membunuhnya sama saja dengan penawaran untuk membebaskannya dari derita batin. Hanya ia menyayangkan kalau seorang gadis cantik seperti Wulansari ini akan menjadi seorang pembunuh tanpa sebab tertentu. Akan tetapi, pasti ada sebabnya maka gadis cantik ini datang hendak membunuhnya, dan ia harus mengetahui dulu apa alasannya itu.
"Kalau engkau benar-benar hendak membunuhku, Wulansari, aku akan berterima kasih sekali. Akan tetapi, sebelum engkau melakukannya, kiranya aku berbak untuk mengetahui apa sebabnya engkau hendak membunuh aku"
Biarpun masih merasa heran melihat ketenangan gadis dusun itu. Wulansari yang masih merasa "sakit hati"
Ingin menyakiti hati saingannya ini lebih dahulu sebelum membunuhnya, maka iapun menjawab dengan ucapan yang ketus.
"Aku hendak membunuhmu karena engkau telah merampas kekasihku"
Pertiwi mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah gadis ini kekasih pria bernama Gagak Wulung itu. Pantasnya demikian, mengingat bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat dan melihat sikap gadis ini, pantas kalau menjadi seorang wanita jahat yang kejam.
"Wulansari, engkau salah duga, Aku tidak merampas kekasihmu Gagak Wulung itu, melainkan dialah yang telah menodai aku dengan kekuatan sihir dan ilmu hitamnya"
"Ngawur"
Wulansari membentak.
"Siapa kekasih Gagak Wulung? Jangan lancang mulut kau. Pria yang kucinta dan yang mencintaku di dunia ini hanya ada seorang saja, yaitu Nurseta"
Kini Pertiwi nampak terkejut, matanya yang lebar jeli dan indah itu menatap wajah Wulansari, seolah-olah tidak percaya.
"Apa..... Kakangmas Nurseta? Jadi kau inikah gadis yang dicintanya itu? Sungguh sukar dipercaya, bagaimana mungkin kakangmas Nurseta yang demikian luhur budi, lemah lembut dan bijaksana dapat mencinta seorang gadis yang liar dan kejam seperti kau ini?"
Wajah Wulansari berubah merah.
"Tutup mulutmu dan jangan memaki orang. Aku datang untuk membunuhmu karena engkau yang dipilih Nurseta menjadi calon isterinya, padahal, dia mencinta aku seorang"
Wulansari lalu mencabut kerisnya, sebatang keris kecil melengkung terbuat dari emas atau setidaknya dilapis emas.
Kembali Pertiwi sama sekali tidak memperlihatkan sikap gentar, bahkan ia tenang saja ketika memandang keris itu, lalu menarik napas panjang dan membusungkan dadanya.
"Wulansari, kalau engkau hendak membunuhku. Bunuhlah, aku tidak akan lari atau melawan. Memang sudah lama aku rindu akan kematian yang wajar. Tiada gunanya lagi aku hidup di dunia ini, hanya mendatangkan aib dan duka saja kepada diri sendiri dan keluargaku, juga orang lain Bunuhlah"
Menghadapi gadis yang menyerahkan dadanya untuk ditusuk itu, Wulansari menjadi ragu. Teringat ia akan nama Gagak Wulung yang disinggung oleh Pertiwi tadi. Ia pernah mendengar dari eyangnya tentang nama orang orang di kalangan sesat, dan nama Gagak Wulung pernah disinggung eyangnya sebagai seorang penjahat penganggu dan pemerkosa wanita.
"Pertiwi, agaknya engkau telah menjadi korban Gagak Wulung?"
Pertiwi mengangguk.
"Banar, aku telah ternoda dan aku bukan perawan lagi, maka tidak pantas aku menjadi isteri kakangmas Nurseta. Selain itu, kakangmas Nurseta yang amat kucinta dan kupuja itu ternyata secara terus terang mengatakan kepadaku bahwa dia tidak cinta kepadaku, melainkan mencinta seorang gadis lain yang kiranya kau orangnya. Nah, Wulansari, tusukkan kerismu itu, bunuhlah aku dan aku tidak akan mendendam kepadamu. bahkan berterima kasih. Semoga kau hidup berbahagia di samping kakangmas Nurseta sebagai isterinya yang tercinta"
Keharuan menyusup ke dalam hati Wulansari. Bagaimanapun juga, gadis ini sebenarnya memiliki dasar watak yang halus dan baik, hanya setelah dididik oleh Ki Cucut Kalasekti maka watak itu tertutup oleh perangai yang ganas dan aneh bahkan sadis. Kini, kekerasan hatinya tidak memperkenankan keharuan menyelinap di hatinya, segera ditutupnya dengan sikap yang sadis. Ia tertawa dan memperlihatkan wajah gembira.
"Bagus, bagus sekali"
Katanya gembira.
"Kalau begitu, engkau menderita batin yang amat hebat. Aku senang sekali, aku puas sekali dan enak engkau kalau sekarang kubunuh, berarti engkau terbebas dari derita batin. Ah, aku tidak akan membunuhmu, biar engkau menderita selama hidupmu. Dan untuk menambab derita batinmu, ketahuilah engkau, wahai Pertiwi, bahwa orang yang kauanggap calon suamimu itu ialah Nurseta, sekarang telah mati. Telah mati, dengarkah kau? Telah mati...."
Tiba tiba Wulansari meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan Pertiwi sambil terisak menangis karena ia tidak ingin Pertiwi melihat tangisnya, Namun, Pertiwi masih mendengar isak itu dan setelah Wulansari tidak nampak lagi, Pertiwi menarik napas panjang lalu termenung dengan wajah pucat sekali. Ketika ia diancam maut, ia menghadapi itu dengan tenang. Akan tetapi mendengar bahwa Nurseta telah mati, seketika ia menjadi pucat, tubuhnya panas dingin, kaki tangannya gemetar dan ia hampir jatuh pingsan ketika meninggalkan ladang, tidak perduli lagi akan jagungnya dan tak lama kemudian ia telah rebah di atas dipan bambu dalam pondoknya sambil menangis dan mengeluh lirih, memanggil manggil nama Nurseta.
Setiap orane manusia, disadari maupun tidak, selalu mendimbakan dan haus akan kekuasaan Baik itu kekuasaan seorang ayah terhadap anaknya, seorang suami terhadap isterinya atau sebaliknya, seorang atasan terhadap bawahannya, seorang guru terhadap muridnya, seorang kaya terhadap si miskin, orang kuat terhadap yang lemah dan selanjutnya. Seorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain akan merasa aman, merasa terhormat, merasa lebih dan merasa diri besar. Akan tetapi, seperti juga segala kesenangan yang dikejarkejar manusia, kekuasaan akan sesuatu bukan merupakan tujuan terakhir. Haus akan kekuasaan ini selalu melar, selalu mengembang, tanpa batas dan seperti dengan nafsu mengejar apapun juga, makin terdapat makin baus dan ingin yang lebih dari apa yang telah didapatnya.
Demikian pula dengan yang dirasakan Sang Prabu Kertanegara. Dia makin haus akan kekuasaan, tidak merasa puas dengan keadaan kerajaannya, ingin meluaskan kekuasaannya sampai tanpa batas. Biarpun banyak pamong praja yang setia memperingatkan, dia tidafa memperdulikan semua itu dan pasukan besar dikerahkan sembilan tahun yang lalu untuk menuju ke negeri Malayu. Peristiwa ini tentu saja merupakan pelaksanaan dari keinginannya untuk memperluas, kekuasaan. Apa lagi setelah dia mendengar tentang hasil baik para senopatinya menindas kerusuhan atau pemberontakan yang diadakan Mahesa Rangkah, Sang Prabu Kertanegara merasa bahwa kedudukannya amat kuat. Biarpun lebih dari separuh pasukannya berada di Malayu dan belum kembali dia merasa bahwa pasukannya amat kuat. Hal ini mendorongnya untuk mengincar daerah di seberang lautan di timur, yailu Pulau Bali.
Sang Prabu Kertanegara lalu mengadakan sidang. Semua senopatinya yang utama nadir, diantaranya adalah Nambi, Banyak Kapub, Medang Dangdi, Lembu Sora, Gajah Pangon. Mahesa Wagal, Ronggo Lawe putera Wiraraja yang kini menjadi adipati di Madura, KeboKapetengan, Wirota Wiragati, Pamandana dan lain lam. Tentu saja Riden Wijaya sebagai keponakan dan juga mantu Sang Prabu, juga hadir. Selain para senopati, tentu saja Patih Mahesa Anengah dan pembantunya, Panji Angragani sudah lebih dahulu menghadap raja.
Kepada para senopati yang dipanggil menghadap, Sang Prabu Kertanagara lalu menyatakan niatnya untuk mengirim pasukan menyerbu dan menalukkan Pulau Bali. Raja ini menyatakan bahwa niatnya itu telah didukung sepenuhnya oleh Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani, dan dia minta kepada para senopati untuk mengemukakan pendapat mereka mengenai rencana penyerbuan ke Bali ini. Mendengar ini, para senopati saling pandang. Di dalam hati mereka, terkejut juga mendengar rencana ini. Pasukan besar mereka masih belum kembali dari Melayu, sedangkan bam saja mereka membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah. Bagi mereka, yang terpenting adalah menjaga keamanan dalam negeri, bukan menyerang ke luar daerah. Belum tepat saatnya untuk meluaskan wilayah selagi pasukan terpecah seperti itu. Kalau sisa pasukan dikerahkan untuk menyerang Bali, lalu siapa yang akan menjaga keamanan di dalam negeri? Akan tetapi, sebagai senopati, tentu saja mereka tidak berani menolak perintah raja, dan hanya saling pandang.
Akhirnya, Wirota Wiragati yang merupakan seorang senopati yang sudah setengah tua, memberanikan diri berkata, mewakili teman-temannya.
"Gusti, bamba semua telah siap untuk melaksanakan perintah paduka. Sewaktu-waktu hamba semua siap ditunjuk sebagai senopati yang memimpin pasukan menyerbu ke Pulau Bali. Hanya saja, kalau boleh hanba berianya, apakah gerangan yang mendorong niat paduka untuk menyerbu dan menalukkan Pulau Bali? Selama ini Pulau Bali tidak pernah melakukan suatu gangguan kepada kita, dan tentu ada maksud yang penting sehingga paduka mempunyai niat menalukkan Bali, mengirim pasukan ke sana meninggalkan Kerajaan. Singosari yang menjadi kosong dan lemah kalau pasukan dikerahkan ke sana"
Sang Prabu Kertanegara mengerutkan alisnya, lalu berkata.
"Tentu saja niat kami itu telah kami pikirkan dan kami rundingkan masak-masak dengan Ki Patih Mahesa Anengah dan Panji Anggragani. Kalau kau ingin mengetahui alasannya, biarlah Ki Patih Mahesa Anengah yang akan menjelaskan"
Patih Mahesa Anengah kini memandang kepada Senopati Wirota Wirogati, Iaiu berkata lantang.
"Kakang Senopati Wirota Wiragati sungguh saya merasa heran sekali mengapa seorang senopati kawakan seperti kau, masih hendak bertanya lagi akan alasan perintah Sribaginda, seolah-olah meragukan kebijaksanaan yang diambil oleh beliau"
(Lanjut ke Jilid 15)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
Mendengar ucapan yang seolah-olah menegurnya itu, Wirota Wiragati mengerutkan alisnya. Dia dan kawan kawannya tahu belaka bahwa patih yang baru diangkat menggantikan patih tua Empu Pagananta ini adalah seorang yang selalu menjilat jilat untuk memancing perhatian Sribaginda.
"Gusti Patih"
Katanya, tegas namun juga dengan sikap hormat "Sama sekali kami tidak meragukan kebijaksanaan Sribaginda, melainkan kami merasa tidak mengerti akan kebijaksanaan yang diambil beliau ini, mengingat bahwa kalau pasukan dikerahkan ke timur, tentu keadaar dalam negeri menjadi kosong dari penjagaan dan agak lemah. Tentu ada alasan yang amat kuat dengan pengiriman pasukan ini, maka inilakyang kami ingin ketahui. Kecuali kalau alasan ini dirahasiakan dari para senopati, tentu saja kami tidak berani banyak bertanya"
Mendengar ucapan yang tegas ini, Patih Mahesa Anengah merasa tersudut dan diapun tersenyum lebar.
"Sama sekali tidak dirahasiakan, hanya kami merasa heran mengapa para senopati tidak dapat melihat alasannya Baiklah, akan saya jelaskan. Masih dalam rangkaian mengirim pasukan ke Melayu maka sekarang Sribaginda hendak menalukkan Bali. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu memperkuat kerajaan dan mengadakan hubungan baik dengan negara-negara di sekeliling Pulau Jawa. Semua orang tahu betapa kini Negara Tartar di utara memperbesar kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke selatan dan bukan rahasia lagi kalau negara itupun mengincar tanah air kita yang subur. Untuk menahan mereka, tidak ada jalan lain kecuali memperkuat diri dan juga mempererat hubungan dengan negara-negara tetangga. Kalau Malayu sudah menjadi sekutu kita, juga Pulau Bali, Kalimantan dan sekitar Pulau Jawa sudah tunduk kepada kita, maka kita seolah olah dikurung benteng yang merupakan perisai untuk menahan gelombang serangan pasukan Tartar. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali dari Sribaginda?"
Kini Senopati Ronggolawe yang berkata.
"Memang merupakan siasat yang amat bijaksana. Akan tetapi kami semua mengkhawatiran keadaan keamanan Kerajaan Singosari kalau pasukan dikerahkan ke Bali. Bagaimaina kalau sampai terjadi pemberontakan?"
Kembali Patih Mahesa Anengah yang menjawab.
"Adi Senopati Ronggolawe yang gagah perkasa. Mengapa kita harus menakuti bayangan yang kosong? Ingat, ketika Sang Prabu mengirim pasukan ke Pamalayu, banyak senopati yang khawatirkan akan terjadi sesuatu di sini. Buktinya, tidak ada apa-apa kecuali pemberontakan Mahesa Ringkah yang tidak ada artinya. Siapa yana akan berani memberotak terhadap Singosari? Sang Prabu telah memperlihatkan sikap yang adil dan bijaksana sehingga para adipati merasa puas dan setia. Pula, yang dikirim hanya sebagian pasiukan saja untuk menundukkan Raja Bali yang tidak berapa kuat. Sisanya tetap berjaga di sini dan sudah lebih dari cukup dan kuat untuk memadamkan setiap api pemberontakan kecil seperti yang dilakukan Mahesa Rangkah beberapa tahun yang lalu"
Sang Prabu Kertanagara mengangguk-annguk, puas dan girang mendengar alasan yang dikemukakan patihnya. Dia lalu memerintahkan agar para senopati siap siap, lalu meunjuk Raden Wijaya untuk mengatur persiapan itu dan menentukan siapa diantara para senopati yang akan memimpin pasukan untuk menyerbu ke Bali. Pertemuan lalu dibubarkan dan Raden Wjaya mengadakan perundingan dengan para senopati. Lalu diambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan pasukan yang hendak menyerbu ke Bali itu kepada Senopati Nambi, dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal sebagai pimpinan, dan beberapa orang senopati din perwira menengah. Maka berangkatlah pasukan itu meninggaikan Singosari menuju ke Bali. Penyerbuan ini terjadi pada tahun 1284.
Sang Prabu Kertanagara boleh jadi bercita-cita besar memperbesar kekuasaan dan hendak memperkuat kedudukan untuk menghadapi ancaman dari utara, yaitu Negara Cina yang pada waktu itu dikuasai oleh Bangsa Tartar atau Morgol, akan tetapi dia bukanlah seorang yang berkepala besar, bukan hanya mengandalkan kesombongan saja untuk melakukan penyerbuan ke mana-mana. Dia penuh perhitungan, maklum akan kehebatan para senopatinya, dan yakin akan ketanggoan pasukannya yang setia. Bukan hanya itu, juga sebelumnya telah banyak mata-mata dan penyelidik disebar dan dikirimkan ke Pulau Bali untuk melakukan penyelidikan sampai dimana kekuatan pasukan kerajaan yang akan digempurnya itu. Maka, hasil penyerbuan ke Bali itupun amat cemerlang, seperti yang telah diperhitungkan dengan masak masak. Pasukan Bali dapat dikalahkan, dan raja Bali ditawan, dibawa ke Singosari. Pada waktu pasukan Singosari berhasil mengalahkan pasukan Bali itulah, maka terjadi hal lain yang hebat di tebing yang curam dari pantai Laut Selatan.
Seperti kita ketahui, Nurseta terjebak di dalam goa di tebing itu akibat terjatuhnya dari atas tebing ketika dia terkena senjata rahasia Sisik Nogo oleh kakek Cucut Kalasekti. Di dalam goa dia bertemu dengan seorang wanita setengah tua bernama Warsiyem yang ternyata adalah ibu kandung Wulansari. Pemuda itu terpaksa uinggal di dalam goa selama empat tahun lebih karena memang tidak terdapat jalan keluar dari dalam goa itu.
Selama empat tahun lebih, dia tekun bersamadhi dan memperdalam ilmu-ilmunya, bahkan berhasil pula mengusai ilmu Bambu Runcing, yaitu permainan pencak silat dengan bambu yang diruncingkan ujungnya seperti tombak, ilmu yang diciptakan oleh Warsiyem selama bertahun tahun tinggal di dalam goa seorang diri sebelum Nurseta tiba di goa itu.
Dengan adanya Nurseta yang dianggap sebagai anak mantunya, dan mendengarkan keterangan pemuda itu mengenai kebatinan, Warsiyem dapat sembuh pula dari guncangan batin yang membuatnya seperti orang setengah gila. Mereka tekun berlatih dan Nurseta berhasil menghimpun tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada sebelum dia terpaksa tinggal di dalam goa itu. Biarpun dia dan Warsiyem tidak pernah mau diganggu harapan dan keinginan untuk dapat segera terbebas dari situ, namun mereka tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk mencari jalan keluar. Dengan kepandaiannya, Nurseta sudah mencoba untuk mencari jalan keluar. Merayap ke atas sungguh tidak mungkin. Hanya manusia yang bersayap seperti burung saja yang akan dapat terbang ke atas. Merayap sejauh itu merupakan pertaruhan yang tidak seimbang. Kemungkinan untuk berhasil merayap naik sampai ke puncak tebing hanya sedikit sekali, jauh lebih besar kemungkinan terpeleset dan terjatuh untuk hancur lebur di bawah sana. Merayap ke bawah lebih mungkin dilakukan, karena dari goa ke air laut di bawah sana hanya setinggi pohon kelapa. Bahkan sudah bcberapa kali dia mencoba merayap ke bawah dan berhasil mencapai dasar, Akan tetapi, tepat seperti pernah dikatakan oleh Warsiyem, di bawah sanapun merupakan jalan mati. Air laut bergelombang dahsyat, dan di waktu air surutpun, tidak mungkin turun ke air. Tempat itu penuh batu karang yang tajam dan runcing, dan bagaimana mungkin seorang biasa turun ke air laut dan berenang mencari tepian yang dapat dipakai mendarat? Kepandaiannya berenang terbatas sekali. Kalau saja dia memiliki ilmu renang seperti Cucut Kalssekti, atau Wulansari, mungkin saja berani dia turun ke air laut di waktu surut.
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo