Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 16


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Gadis itu memang benar seorang pengawal-Pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang dipercaya sekali. Namanya adalah. Wulansari dan biarpun, ia seorang gadis berusia duapuluh empat tahun yang cantik manis, namun dibalik sifat yangmenggairahkan hati setiap orang pria itu, tersembunyi kedigdayaan yang akan membuat setiap orang laki-laki menjadi gentar, Ia adalah murid seorang yang sakti mandraguna, yaitu Ki Cucut Kalasekti yang telah dianugerahi pangkat Adipati Satyanegara dan berkuasa di Bendowinangun karena jasa-jasanya. Bahkan bagi Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Wulansari bukan hanya dipandang sebagai seorang pengawal pribadi, bahkan juga seorang wanita yang menggairahkan dan pernah Raja Kediri ini ingin mempersuntingnya sebagai seorang selir. Namun, Wulansari menolak dengan halus walaupun ia akhirnya menjadi seorang pengawal pribadi yang boleh dipercaya.

   Suasana dalam balairung itu sunyi sepi ketika Sang Prabu Jayakatwang membaca surat yang baru saja diterimanya dari Wirondaya itu. Agaknya penting sekali surat itu karena dia membacanya dengan serius, sepasang matanya tidak pernah berkedip, bahkan diulang bacanya surat itu sekali lagi.

   "Bagus, bagus ! Kami gembira sekali menerima surat ayahmu, Wirondaya, dan kami merasa setuju sekali. Terima kasih atas petunjuk ayahmu kepada kami !"

   Lalu dia menoleh kepada Ki Patih Mundarang yang usianya sudah mendekati enampuluh tahun itu.

   "Kakang Patih Mundarang, surat dari Arya Wiraraja ini penting sekali diketahui oleh semua ponggawa. Bacalah keras-keras agar didengar oleh semua senopati, setelah itu baru kita akan merundingkannya"

   Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan surat itu kepada patihnya yang menerimanya dengan sembah. Akan tetapi sebelum patih itu membaca surat dari Arya Wiraraja, Raden Wirondaya cepat berkata kepada Sang Prabu Jayakatwang.

   "Ampun, Sribagirida! Hamba mohon sudilah kiranva paduka berhati-hati dan tidak mengutus Paman Patih membaca surat rahasia itu di depan banyak orang, terutama mereka yang masih belum dipercaya benar kesetiaannya"

   Berkata demikian, Wirondaya memandang ke arah gadis yang berdiri di belakang raja itu.

   Mendengar ucapan Wirondaya dan melihat arah pandang mata utusan dari Sumenep itu Sang Prabu Jayakatwang tertawa, kemudian berkata lantang.

   "Wirondaya, kau tentu telah mengenal baik semua ponggawa kami yang hadir pada saat ini, kecuali barangkali wanita ini yang belum kau kenal. Ketahuilah bahwa ia adalah Nini Wulansari, yang menjadi kepala pengawal dalam keraton, juga pengawal pribadiku yang amat kami percaya. Tidak ada rahasia baginya, bahkan ia harus mengetahui semua rahasia kami agar ia dapat melaksanakan tugas jaga dengan lebih sempurna. Jangan kau khawatir, Wirondaya"

   Wirondaya melihat betapa gadis manis itu memandang kepadanya dengan mata mencorong dan alis berkerut, tanda bahwa la merasa tidak senang karena tidak dipercaya, dan Wirondaya segera menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang dengan muka merah.

   "Mohon paduka mengampuni hamba yang tidak tahu. Kalau begitu, terserah kebijaksanaan paduka, karena paduka tentu lebih mengetahui keadaan di sini, Sribaginda"

   "Kakang Patih, mulailah membaca surat dari Madura itu !"

   Sejak tadi Ki Patih Mundarang sudah membuka surat itu dan membacanya dalam hati, maka kini dengan lantang dia lalu membaca surat di tangannya sehingga terdengar jelas oleh mereka semua yang hadir di situ.

   "Kepada Paduka Raja Binetar

   patik mengirim berita gembira

   jika paduka hendak berburu,

   sekaranglah saat yang paling jitu,

   medan sedang tandus dan gersang,

   tiada semak belukar dan ilalang,

   tiada satupun aral melintang

   tiada pula suatu penghalang

   binatang-binatang buas tidak ada

   kecuali seekor macan tua tak berdaya"

   "Macan tua tak berdaya! Hahaha, ya benar, dia macan ompong yang tidak berbahaya lagi"

   Sang Prabu Jayakatwang berkata setelah Ki Patih Mundarang menyelesaikan bacaannya.

   "Anakmas Wirondaya, banyak saudaramu menjadi senopati di Singosari, tentu kau lebih tahu bagaimana sesungguhnya keadaan disana sekarang?"

   Dengan terus terang Wirondaya menceritakan betapa ambisiusnya Sang Prabu Kertanagara, dan betapa banyak diadakan perubaban yang mengejutkan oleh Sang Prabu Kertanggara yang membuat banyak pejabat dan kawula merasa tidak senang dan tidak puas.

   "Semua nasehat baik dari Paman Patih Raganata yang bijaksana diabaikan, bahkan kedudukan patih setia itu dilorot. Juga semua nasehat menteri wreda tidak didengar. Yang didengar hanya bujukan para pejabat baru yang kurang pengalaman, hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan. Akibatnya, kini keadaan kerajaan kosong dari balatentara yang sebagian besar dikirim ke negeri Melayu, bahkan sisanya yang sedikit menjadi semakin lemah karena dipakai menyerbu ke berbagai tempat. Tepat seperti ditulis oleh kanjeng rama, sekarang keadaan Kerajaan Singosari sedang lemah sekali.

   "Akan tetapi, bukankah di sana masih terdapat banyak sekali senopati yang sakti mandraguna dan setia kepada Kerajaan Singosari?"

   "Hal itu memang benar, Sribaginda"

   Jawab Wirondaya, teringat akan pendapat ayahnya.

   "akan tetapi apa artinya para senopati sakti mandraguna kalau mereka tidak memiliki pasukan yang kuat dan banyak? Tidak mungkin mereka akan kuat menghadapi serbuan pasukan yang puluhan atau ratusan ribu jumlahnya"

   Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Ki Patih Mundarang.

   "Bagaimana, kakang Patih? Apa pendapatmu tentang isi surat dari Bupati Sumenep itu?"

   "Menurut pendapat hamba, apa yang dikemukakan Bupati Sumenep itu memang tepat sekali. Kalau memang kesempatan itu terbuka, memang siapa lagi kalau bukan paduka yang membalaskan kekalahan Kerajaan Kediri yang membuat Kerajaan Kediri kehilangan kejayaannya? Nenek moyang paduka, yaitu yang mulia Sang Prabu Dandang Gendis telah dikalahkan oleh seorang anak petani rendah dari Pangkur, yaitu Ken Arok yang menjadi raja pertama Singosari. Dan semenjak itu, Kerajaan Kediri yang besar dianggap sebagai negara taklukan oleh Singosari. Sekarang, kalau kesempatan itu terbuka, sudah selayaknya kalau paduka yang menegakkan kembali kejayaan Kediri dan membalas kekalahan nenek moyang paduka"

   Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk lagi tanda setuju, akan tetapi alisnya berkerut kalau dia teringat kepada puteranya, yaitu Pangeran Ardaraja yang kini telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara di Singosari.

   "Ampunkan hamba, Gusti, kalau apa yang hamba katakan tadi tidak berkenan di hati paduka"

   Kata Ki Patih Mundarang yang merasa khawatir melihat junjungannya termenung setelah mendengarkan ucapannya.

   "Sama sekali tidak, Kakang Patih. Semua yang kau katakan tadi benar belaka. Kalau kami termenung, hanya karena kami mau tidak mau teringat kepada keponakanmu, Pangeran Ardaraja yang menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara di Singosari"

   Ki Patih Mundarang menyembah.

   "Hal seperti itu tidak mungkin dapat dihindarkan, Gusti. Akan tetapi kiranya paduka lebih arif dan mengetahui bahwa demi perjuangan kerajaan, kadang-kadang diperlukan pengorbanan dan semua kepentingan pribadi hanya jatuh nomor dua untuk mementingkan dan menomor satukan kepentingan negara"

   Mendengar ucapan patihnya ini, Sang Prabu Jayakatwang menepuk pahanya sendiri dengan telapak tangan.

   "Ah, sungguh tepat ucapanmu itu, Kakang Patih! Tepat dan arif. Anakmas Wirondaya, sampaikan ucapan terima kasih kami kepada ramandamu dan disertai salam hormat kami"

   Setelah Wirondaya mohon diri dan meningalkan Istana Kediri, Sang Prabu Jayakatwang segera memanggil seluruh senopatinya dan mengadakan perundingan kilat untuk mengatur rencana penyerbuan ke Singosari yang sedang kosong seperti yang dikabarkan oleh Arya Wiraraja Bupati Sumenep di Madura itu. Semenjak datangnya surat itu sampai dengan ketika Sribaginda mengadakan musyawarah dan perundingan dengan para senopatinya, Wulansari selalu berada dekat Sribaginda karena memang gadis cantik jelita dan perkasa ini merupakan pengawal pribadi yang amat dipercaya.

   Wulansari adalah seorang gadis yang berusia kurang lebih duapuluh empat tahun, seorang wanita yang sudah matang, dengan bentuk tubuh menggairahkan, namun gerak geriknya yang cekatan bagaikan seekor burung seriti itu menunjukkan bahwa di balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Kulilnya kuning mulus, pakaiannya ringkas sederhana, juga sikapnya sederhana bahkan seperti orang yang acuh, Namun, matanya yang seperti sepasang bintang itu tajam sekali dan pandang matanya menembus. Hidungnya kecil mancung, bibirnya selalu basah kemerahan dan kalau ia bicara apa lagi tersenyum, muncullah lesung pipit di pipi kiri, mengimbangi kemanisan tahi lalat kecil di pipi kanan. Rambutnya agak awut-awutan, dengan sinom melingkar lingkar di dahi. Yang amat menarik perhatian orang adalah sinar malanya yang kadang-kadang redup, akan tetapi kadang-kadang bernyala aneh. Seorang gadis yang manis sekali.

   Akan tetapi, gadis manis ini memiliki kepandaian yang membuat pria yang sudah tahu akan keadaan dirinya menjadi gentar. Biarpun dirinya nampak sebagai seorang gadis yang lembut dan manis, namun ia adalah seorang wanita sakti yang ketika kecil pernah digembleng ilmu oleh Sang Panembahan Sidik Danasura, kemudian setelah remaja sampai dewasa ia mewarisi ilmu ilmu yang dahsyat mengerikan dari Ki Cucut Kalasekti. Mendiang Panembahan Sidik Danasura adalah seorang pendeta dan pertapa di padepokan Teluk Prigi Segoro Wedi, yaitu di Laut Selatan dan panembahan ini terkenal sakti mandraguna. Adapun nama Ki Cucut Kalasekti, siapa yang tidak mengenalnya? Tadinya dia merupakan seorang datuk Diantara golongan sesat dan namanya ditakuti di dunia hitam. Akan tetapi, kemudian dia berjasa telah mendapatkan dan menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri sehingga dia dianugerahi pangkat sebagai seorang adipati dengan julukan Adipati Satyanegara di Bendowinangun. Hampir semua ilmu yang dahyat dari datuk ini telah diwarisi Wulansari. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu kedigdayaan gadis manis ini.

   Memang aneh melihat betapa Wulansari kini menjadi pengawal pribadi yang amat dipercaya dari Sang Prabu Jayakatwang. Ayah gadis ini adalah Ki Medang Dangdi, seorang Diantara para senopati yang perkasa dari Kerajaan Singosari. Ibunya bernama Warsiyem, juga seorang wanita sakti yang baru-baru ini berkumpul kembali dengan suaminya, Ki Medang Dangdi setelah saling berpisah selama belasan tahun karena ulah Ki Cucut Kalasekti yang menculik Warsiyem. Akan tetapi, Wulansari tidak begitu dekat dengan ayah bundanya. Hal ini tidak aneh mengingat betapa gadis ini sejak berusia sepuluh tahun sudah saling berpisah dengan kedua orang tuanya, bahkan ia tidak ingat lagi siapa ayah ibunya. Ingatannya pernah hilang sebagai akibat kecelakaan ketika perahu yang ditumpanginya hanyut. Baru akhir akhir ini saja, dengan bantuan Nurseta, seorang pendekar yang gagah perkasa, ia mengetahui siapa sebenarnya ayah ibunya dan sempat berkumpul sebentar dengan kedua orang tuanya itu. Akan tetapi tidak lama ia meninggalkan lagi orang tuanya, bahkan karena sakit hatinya kepada orang tuanya, iapun nekat menerima uluran tangan Raja Kediri untuk menjadi pengawal pribadinya. Padahal, ia tahu bahwa Raja Kediri membenci Kerajaan Singosari di mana ayahnya menjadi senopatinya. Ia marah kepada ayah ibunya dan sakit hatinya karena mereka, terutama ayahnya, melarang ia berjodoh dengan Nurseta setelah ayahnya mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera kandung dari Ni Dedeh Sawitri, seorang tokoh sesat wanita dari Pasundan. Karena perjodohannya dengan Nurseta dilarang ayah ibunya itulah maka kini ia menjadi pengawal pribadi yang setia dari Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.

   Biarpun sejak berusia limabelas tahun sampai dewasa ia diaku sebagai cucu Ki Cucut Kalasekti dan mewarisi ilmu-ilmunya, namun di dalam hatinya ia tidak suka kepada kakek itu, bahkan kemudian setelah ia bertemu dengan ayah dan ibu kandungnya, ia membenci Ki Cucut Kalasekti yang ternyata sama sekali bukan kakeknya, bahkan musuh besar yang pernah menculik dan memperkosa ibunya. Namun, mengingat bahwa Ki Cucut Kalasekti pernah menjadi gurunya dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka Wulansari tidak mau sembrono menentangnya, melainkan mencari kesempatan baik untuk kelak dapat membalaskan sakit hati ibu kandungnya kepada datuk sesat itu.

   Demikianlah sedikit riwayat Wulansari yang kini menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang dan seperti diceritakan di bagian depan, Wulansari ikut mendengarkan semua percakapan antara Sribaginda dan para ponggawanya ketika utusan dari Madura, yaitu Raden Wirondaya datang menghadap.

   Bahkan ketika Sang Prabu Jayakatwang memanggil semua senopatinya untuk diajak bermusyawarah tentang siasat penyerbuan ke Singosari, Wulansari juga tetap berjaga di belakang Sribaginda. Para senopati merasa terkejut juga mendengar akan keputusan Sribaginda untuk mengadakan penyerbuan ke Singosari dan sebagian Diantara mereka ada yang gentar.

   "Mohon ampun, Gusti"

   Kata Senopati Jaran Guyang sambil menyembah.

   "Bukan hamba hendak menentang. Hamba siap untuk melaksanakan perintah paduka, biar dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi, apakah paduka sudah memikirkan masak masak tentang penyerbuan ini? Hamba hanya khawatir kalau sampai gerakan ini gagal, tentu berbalik akan mencelakakan Kediri. Bagaimanapun juga, Singosari adalah kedungnya (sumbernya) para senopati yang sakti mandraguna dan digdaya "

   Sang Prabu Jayakatwang mengerutkan alisnya dan memandang kepada senopatinya itu dengan sinar raata mencorong.

   "Besarkan hatimu, Jaran Guyang. Semua telah kami perhitungkan dengan matang, bahkan selama bertahun-tahun ini telah kami perhitungan. Kinilah saatnya yang amat baik, dan kiranya tidak percuma kalau kami mendapat berkah dari Ki Ageng Tejanirmala"

   Para senopati terkejut dan juga girang, Raja mereka telah memiliki tombak pusaka, lambang kejayaan itu? Memang, ketika Sribaginda menerima tombak pusaka itu dari tangan Ki Cucut Kalasekti, hal itu dirahasiakan sehingga para senopatinya sendiripun banyak yang tidak mengetahuinya. Melihat para senopatinya tercengang, Sang Prabu Jayakatwang menjadi gembira dan ingin memamerkan pusakanya agar para senopatinya menjadi besar hati mereka.

   "Wulan, ambilkan pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan bawa ke sini"

   Perintahnya sambil menoleh kepada pengawal pribadinya itu. Perintah ini saja sudah membuktikan betapa besar kepercayaan Sang Prabu Jayakatwang kepada gadis pengawal yang tadinya ingin dijadikan selir akan tetapi gadis itu menolak. Wulansari menyembah lalu pergi ke dalam istana, langsung memasuki kamar Sribaginda dan hanya ia seorang bersama Sribaginda yang dapat membuka tempat rahasia di dalam kamar itu di mana disembunyikan tombak pusaka itu.

   Setelah tombak pusaka itu berada di tangannya, dalam kamar yang sunyi karena ia telah menyuruh semua anak buahnya, para pengawal istana untuk keluar, juga para dayang, ia menimang-nimang tombak pusaka itu di tangannya dan terbayanglah semua peristiwa masa lalu ketika untuk pertama kalinya ia mendapatkan tombak pusaka itu. Tombak pusaka ini adalah milik Ki Baka, ayah angkat Nurseta. Tombak pusaka itu dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya yang menyamar sebagai Wiku Bayunirada. Ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid Ki Buyut Pranamaya, Nurseta membantu pasukan pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu. Dalam pertempuran ini, Nurseta bertemu dengan Ki Buyut Pranamaya dan perauda perkasa itu diserang oleh Ki Buyut Pranamaya dengan mempergunakan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Pada saat itulah ia muncul dan ia berhasil merampas tombak itu dari tangan Ki Buyut Pranamaya dan melarikan tombak pusaka itu, Biarpun ia dapat disusul oleh kakek sakti itu, namun berkat bantuan Nurseta, akhirnya ia berhasil memiliki tombak pusaka itu dan tidak mau mengembalikannya kepada Nurseta, karena dianggapnya tombak pusaka itu sebagai tanda mata dari pemuda yang dicintanya itu. Kemudian, tombak pusaka itu ia serahkan kepada Ki Cucut Kalasekti yang pada waktu itu masih ia anggap sebagai kakeknya yang baik hati. Oleh kakek itu, tombak pusaka diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dan sebagai imbalan jasanya, kakek itu diangkat menjadi adipati di Bendowinangun.

   Wulansari sadar dari lamunannya. Di mana adanya Nurseta? Pemuda itulah sebetulnya yang berhak memiliki tombak pusaka ini. Akan tetapi kini tombak pusaka telah menjadi milik Raja Kediri dan ia sebagai seorang pengawal pribadi yang setia, harus membela junjungannya. Bergegas ia keluar dari kamar membawa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, lalu memasuki ruangan di mana Sribaginda dan para senopati masih menanti.

   Setelah menerima tombak pusaka itu dari tangan Wulansari, Sang Prabu Jayakatwang membuka kain penutup tombak pusaka itu dan mengangkatnya tinggi di atas kepala.

   "Kalian lihat. Inilah Ki Ageng Tejanirmala yang akan memberkahi kita sehingga kita akan dapat mencapai kemenangan melawan Singosari"

   Para senopati memandang dengan penuh khidmat dan juga gembira, hati mereka besar sekali rasanya dau mantap karena mereka percaya sepenuhnya bahwa siapa yang memiliki tombak pusaka itu seolah-olah mendapatkan wahyu kerajaan.

   Kini Sang Prabu Jayakatwang mengadakan perundingan dengan Ki Patih Kebo Mundarang dan para senopati. Bala tentara Kediri dibagi dua. Yang sebagian dipimpin oleh Senopati Jaran Guyang, pasukan ini menyerbu Singosari dari utara dan senopati ini dibantu oleh para perwira yang sudah terkenal pandai dari Kediri, Diantaranya adalah Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, dan Kampinis. Adapun sebagian lagi dipimpin langsung oleh Ki Patih Kebo Mundarang, menyerang Singosari dari arah selatan.

   Sementara itu, jauh di utara, di negara Tiongkok, pada waktu itu terjadi pula peristiwa yang menarik di dalam istana kaisar. Pada waktu itu, Tiongkok dijajah oleh Bangsa Mongol dan yang menjadi kaisar adalah Kubilai Khan. Seperti juga kaisar pertama dari Kerajaan Mongol ini, yaitu Jenghis Khan, Kubilai Khan tidak kalah besar ambisi dan keangkara-murkaannya. Dia tidak akan puas sebelum seluruh dunia ditalukkannya. Biarpun seluruh Tiongkok telah dikuasainya, dia masih belum puas, Dikirimnya balatentara yang besar, menyerang sampai jauh ke daerah Eropa. Dan diapun memperluas kekuasaannya ke selatan dan pada suatu hari, dia mengirim utusannya yang dikepalai oleh perwira Meng Ki menuju ke Kerajaan Singosari.

   Akan tetapi pada waktu Meng Ki datang menghadap Sang Prabu Kertanagara di Singosari, Sang Prabu ini juga sedang memperbesar kekuasaannya. Keberhasilan pasukan Singosari menundukkan daerah-daerah bahkan sampai ke negeri Melayu, membuat Sang Prabu Kertanagara merasa dirinya besar dan dia sama sekali tidak sudi tunduk kepada kebesaran Kaisar Kubilai Khan. Untuk memperlihatkan bahwa dia tidak takut kepada kaisar di utara itu, dia menolak untuk mengakui kekuasaan Kubilai Khan, bahwa dengan cara yang menantang sekali dia menulis pesan yang menghina dan menantang di atas dahi Meng Ki, sang utusan itu.

   Kaisar Kubilai Khan menerima kedatangan utusannya itu dengan kemarahan besar. Dia segera memerintahkan tiga orang panglimanya yang bernama She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu, memimpin duapuluh ribu orang pasukan, lengkap dengan kapal perang dan kapal pengangkut yang membawa segala perlengkapan perang dan bahan makan untuk jangka waktu satu tahun lamanya. Mereka diperintahkan untuk menghukum Raja kertanagara di Singosari yang telah berani menghina utusan kaisar.

   Berangkatlah pasukan yang terdiri dari para perajurit pilihan itu dengan kapal-kapal besar ke selatan. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1292. Sebagian besar dari anggauta pasukan adalah prajuri perajurit Mongol yang sudah terlatih sudah berulang kali mengadakan penyerbuan ke barat, menalukkan banyak negara dan merupakan perajurit-perajurit yang perkasa. Sedikit Diantara mereka adalah orang orang Han yang merupakan orang taklukan dari Bangsa Mongol yang menjajah Tiongkok. Bahkan seorang Diantara tiga panglima itu, yang bernama Kau Seng, bukan pula orang Mongol, melainkan seorang peranakan Han Mancu, ayahnya orang Han dan ibunya orang Mancu. Kau Seng adalah seorang panglima yang selain pandai dalam ilmu perang, juga pandai ilmu silat, terkenal pula dengan anak panahnya, yang menurut kabar, sekali dilepas pasti merobohkan seorang lawan.

   Kau Seng yang sudah berusia enampuluh lima tahun ini mempunyai seorang sute (adik seperguruan) bernama Lie Hok Yan, seorang pemuda berusia duapuluh enam tahun yang ditariknya menjadi seorang perwira dalam pasukannya. Sebetulnya Lie Hok Yan, seorang yang terkenal berjiwa pendekar, agak segan untuk membantu pasukan Mongol yang menjajah tanah airnya, akan tetapi karena dia sungkan terhadap suhengnya (kakak seperguruannya), maka terpaksa dia menerima pengangkatan sebagai perwira muda itu. Apa lagi sudah lama dia mendengar akan dunia selatan yang cantik, dan sebagai seorang pemuda yang belum berumah tangga, diapun ingin meluaskan pengalaman dan bertualang. Maka diapan ikut pula dalam ekspedisi ke selatan itu.

   Pelayaran itu merupakan perjalanan yang amat melelahkan bagi pasukan besar itu. Mereka, terutama sekali para perajurit Mongol, merupakan ahli-ahli penunggang kuda, biasanya mereka bergerak melalui daratan, dapat melakukan perjalanan cepat baik menunggang kuda atau berjalan kaki. Akan tetapi sekali ini mereka berada di kapal dan merasa tidak berdaya sama sekali ketika kapal dipermainkan angin ribut. Badai membuat air laut bergelombang besar dan kapal-kapal itu bagaikan benda-benda kecil yang tak berdaya, oleng dan jalannya seperti kuda mabok. Para perajurit banyak yang mabok laut, tidak suka makan dan hanya bertiduran dengan kepala pusing.

   Sementara itu, di Singosari terjadi geger ketika pasukan Kediri mulai menyerang. Penyerangan yang terjadi tanpa disangka-sangka oleh pihak Singosari.

   Pasukan yang dipimpin Senopati Jaran Guyang dan para pembantunya mengambil jalan melintas melalui sawah ladang ke jurusan utara untuk menyerbu Singosari dari utara. Mereka membawa kereta, bende, gong dan tunggul, perlengkapan perang yang banyak dan mereka berhenti di desa Mameling. Melihat pasukan Kediri memasuki daerah Singosari, rakyat pedesaan menjadi panik dan terkejut bukan main. Diantara anak buah pasukan itu ada yang melakukan kekerasan, merampok dan memperkosa wanita dan tentu saja hal ini membuat penduduk dusun itu bangkit melakukan perlawanan. Akan tetapi, apa daya mereka menghadapi serbuan pasukan yang bersenjata lengkap dan terlatih? Banyak penduduk dusun yang tewas, dan sisanya melarikan diri mengungsi meninggalkan dusun mereka. Titir ditabuh bertalu-talu tanda bahaya dan mereka cepat melarikan diri menjauhi Mameling, sebagian pula menjadi utusan dari dusun Mameling untuk menghadap Sribaginda Kertanagara dan melaporkan bahwa balatentara Kediri telah menyerbu dan tiba di Mameling.

   Mendengar laporan ini, Sang Prabu Kertanagara tidak percaya. Mana mungkin Raja Kediri menyerbu Singosari? Bukankah Sang Prabu Jayakatwang itu masih besannya? Bukankah selama ini Singosari membiarkan raja itu berkuasa di Kediri? Akan tetapi, para pengungsi membanjir, hujah tangis Diantara mereka, dan banyak pula yang terluka parah. Melihat keadaan ini, barulah Sribaginda percaya. Dipanggilnya calon mantunya, Raden Wijaya, dan diperintahkannya berangkat ke Mameling memimpin pasukan untuk mengusir pasukan musuh yang berani menyerbu wilayah Singosari.

   Perasaan yang marah dan penasaran mengganggu hati Sang Prabu Kertanagara. Biaipun dia sudah memerintahkan mantunya, Raden Wijaya untuk memimpin pasukan menyambut para penyerbu yang datang dari utara itu, dia masih belum puas dan segera diutusnya Ki Patih Kebo Anengah untuk membawa pasukan besar menyusul pasukan pertama pimpinan Raden Wijaya ke dusun Mameling.

   Mendengar perintah ini, Adhyaksa (jaksa) Empu Raganata, bekas patih yang diturunkan pangkatnya itu karena sudah tua, segera maju menyembah dan berkata.

   "Mohon ampun, Gusti, Akan tetapi hamba kira tidaklah bijaksana kalau paduka mengutus Patih Kebo Anengah untuk membawa sisa pasukan menyusul Raden Wijaya ke Mameling. Dengan demikian, maka Singosari menjadi kosong dan tidak ada kekuatan pasukan besar yang menjaganya. Apa artinya pasukan pengawal yang kecil jumlahnya jika menghadpi bahaya serbuan musuh?"

   Juga Mantri Angabaya Wirakreti, bekas tumenggung yang juga dilorot pangkatnya karena sudah tua itu, ikut membujuk.

   "Hamba kira pasukan yang dipimpin Raden Wijaya sudah cukup untuk menanggulangi musuh yang menyerbu dari Mameling, Gusti. Sebaiknya ibu kota jangan dikosongkan "

   "Ah, kalian ini orang orang tua yang penakut. Musuh masih amat jauh dan kalian telah menjadi gugup. Wijaya itu masih muda, kurang pengalaman, maka sebaiknya kalau dia dibantu oleh Kebo Anengah agar sekali pukul, pihak musuh akan dapat dihancurkan. Mereka menyerbu dari utara, maka bahaya hanya datang dari arah utara. Mengapa harus takut akan kemungkinan penyerbuan lain?"

   Sang Prabu Kertanagara tetap tidak memperdulikan nasehat dua orang ponggawa tua itu dan berangkatlah Kebo Anengah membawa hampir semua sisa pasukan yang berada di Singosari.

   Memang inilah yang dinanti nanti oleh barisan dari Kediri yang mengatur siasat memancing harimau meninggaikan sarang itu. Diam-diam, pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Kebo Mundarang dari Kediri, menyusup dari selatan dan dapat menyerbu tanpa banyak perlawanan.

   Dengan mudahnya pasukan Kediri ini masiuk dari selatan melalui Lawor terus ke Sidabawana. Sementara itu, Sang Prabu Kertanagara masih enak-enak saja, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam, bersenang-senang di keputren bersama para selir dan dayang, berpesta pora dihibur gamelan yang mengiringi alunan suara merdu dan tubuh muda indah meliak-liuk ketika para dayang bertembang dan menari. Ki Patih Angragani menemani junjungannya berpesta pora, yakin bahwa para senopati pasti akan mampu menindas dan menumpas pemberontak itu. Bahkan Ki Patih Angragani demikian gembira ketika Sang Prabu Kertanagara minta agar dia suka ikut berjoget, ditemani seorang dayang yang cantik. Ki Patih memperoleh kesempatan memperagakan dirinya dan memamerkan kepandaiannya berjoget Diantara demikian banyaknya wanita ayu. Pengaruh minuman keras membuat sang patih yang sudah setengah mabok ini agak lupa diri, berani pula ketika berjoget tangannya kadang-kadang menjamah dan menyentuh tubuh lawannya berjoget dengan genit, Sang Prabu yang melihat ini hanya tertawa saja karena dia sendiripun sudah setengah mabok.

   Tiba-tiba, terdengar sorak sorai yang menggegap-gempita, mengatasi riuhnya suara gamelan. Dengan sendirinya, tanpa diperintah lagi, para penabuh gamelan menghentikan tabuhan mereka dan para dayang menghentikan tarian dan nyanyian mereka. Semua orang menoleh ke arah pura di depan istana karena dari sanalah datangnya sorak sorai itu.

   Muncullah Adhyaksa Empu Raganata yang tua dan Mantri Angabaya Wirakreti tergopoh-gopoh menghadap Sang Prabu Kertanagara. Melihat mereka menghadap, langsung saja sang prabu bertanya apa yang telah terjadi di luar maka demikian bising.

   "Ampun, Kanjeng Gusti. Pasukan dari Kediri telah datang menyerbu"

   "Apa?"

   Sang Prabu Kertanagara berteriak heran.

   "Bukakah Wijaya dan Mahesa Angragani telah mengerahkan pasukan untuk menggempur mereka?"

   "Ampun, Gusti. Yang kini menyerbu masuk ke Singosari bukankah pasukan yang menyerbu ke Mameling, melainkan pasukan Kediri lain yang menyerbu dari selatan, pasukan besar sekali yang dipimpin oleh Kebo Mundarang"

   "Patih Angragani, kerahkan seluruh sisa pasukan untuk menyelamatkan istana. Paman Raganata dan Wirakreti, ajak semua pengawal untuk mempertahankan istana. Kami.....kami menanti di sini dan berdoa...."

   Ki Patih Angragani cepat keluar dari keputren untuk melaksanakan perintah junjungannya. Akan tetapi Adhyaksa Empu Raganata dari Mantri Angabaya Wirakreti menyembah kepada Sang Prabu Kertanagara. Kakek Empu Raganata berkata dengan suara yang tegas.

   "Kanjeng Gusti, ampunkan kalau hamba mengeluarkan ucapan yang tidak sedap didengar. Akan tetapi, Gusti semenjak dahulu, para eyang paduka adalah raja-raja bijaksana yang berjiwa pahlawan. Tidak mabok kesenangan kalau negara sedang makmur, dan tidak menyembunyikan diri kalau negara sedang dilanda musibah. Bahkan pantang bagi seorang junjungan untuk bersembunyi di keputren di kala negara dilanda perang. Sungguh merupakan aib kalau sampai paduka ditemukan pihak musuh di dalam keputren. Hamba hanya mengingatkan paduka, Gusti, agar paduka tidak mengecewakan para junjungan yang terdahulu"

   Bangkit semangat Sang Prabu Kertanagara mendengar nasihat bekas patih yang tua dan bijaksana ini. Baru dia sadar akan kesetiaan dan kebijaksanaan Empu Raganata dan dia merasa menyesal mengapa sebelum ini dia tidak pernah mendengarkan nasihat nasihat yang amat bijaksana darinya. Diapun bangkit dan merangkul bekas patih itu.

   "Aduh paman Raganata, baru terbuka kesadaranku sekarang. Ucapanmu tadi sungguh tepat sekali. Bagi seorang raja yang bertenggung jawab, lebih baik gugur sebagai kusuma bangsa dari pada hidup menjadi tawanan perang pihak musuh dan menerima penghinaan. Mari paman, mari kita lawan para penghianat Kediri itu sampai titik darah penghabisan"

   "Sejengkal tanah, sepercik darah"

   Kakek itu berseru sambil mengepal tinju, membangkitkan semangat semua orang yang mendengarnya,

   Berbondong-bondong mereka keluar, Sang Prabu Kertanagara dengan tombak dan keris di tangan, Patih Anggragani yang sudah mendahului mereka, Empu Raganata dan Mantri Wirakreti. Mereka membawa pengawal, sisa pasukan kecil yang ada dan mengamuk menahan serbuan pihak musuh yang sudah mulai menyerbu istana. Akan tetapi, jumlah pasukan Kediri jauh lebih besar sehingga gagallah semua pertahanan dan perlawanan sisa pasukan Singosari mempertahankan istana dan melindungi raja mereka. Mereka semua gugur dan tewas di bawah hujan senjata pihak musuh.

   Ketika itu, pasukan yang dipimpin oleh Mahesa Anengah belum jauh meninggalkan Singosari, menuju ke utara untuk membantu Raden Wijaya yang menyambut serbuan pasuk an Kediri di Mameling. Ketika mendengar sorak-sorai pasukan musuh yang menyerbu Singosari dari selatan. Ki Patih Mahesa Anengah lalu membalik dan kembali ke Singosari, bermaksud menyelamatkan rajanya. Namun, kedatangannya terlambat. Bukan saja Mahesa Anengah dan pasukannya tidak mampu menyelamatkan Sang Prabu Kertanagara, bahkan pasukan yang dipimpinnya juga dihancurkan oleh pihak musuh yang jauh lebih kuat, dan Ki Patih Mahesa Anengah sendiri tewas dalam pertempuran itu.

   Sambil bersorak sorai pasukan dari Kediri menyerbu istana dan pertempuran itu kini berubah menjadi pembantaian, perampokan dan perkosaan. Terdengar jerit tangis para wanita, teriakan mereka yang tersiksa dan terbunuh.

   Selagi para perajurit Kediri menjarah-rayah, menculik dan memperkosa wanita, merampoki barang berharga, membunuhi orang tua dan kanak kanak nampak ada dua orang puteri menyelinap keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang berada di belakang taman istana. Mereka tidak menangis seperti para puteri istana yang lain, yang hanya mampu menangis dan tidak berdaya ketika pasukan musuh menyerbu keputren. Dua orang puteri ini adalah Sang Puteri Tribuwana dan Sang Puteri Giyatri, dua orang puteri dari Sang Prabu Kertanagara. Mereka berhasil lolos dari keputren sebelum pasukan musuh menyerbu bagian paling dalam dari istana itu, dan mereka melarikan diri lewat pintu rahasia di taman. Kini mereka melarikan diri, Diantara rumah-rumah yang terbakar, tidak tahu arah tujuan, pokoknya menjauhi istana dan menjauhi pasukan musuh.

   "Aduh, diajeng Pusparasmi, di mana-mana ada musuh. Kita hanya dapat mohon perlindungan para dewata semoga kita akan dapat meloloskan diri dan tangan mereka......"

   Keluh Puteri Tribuwana atau yang juga bernama Puspawati. Adapun Puteri Gayatri juga disebut dengan nama Pusparasmi.

   Pusparasmi atau Puteri Gayatri maklum bahwa kakaknya merasa lebih aman kalau mereka berdus mempergunakan nama kecil itu. Ia mengejuh dan berhenti lari, bahkan lalu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon di tepi jalan, memijit-mijit betisnya.

   "Aduh, kakangmbok Puspawati........ aku sudah tidak kuat lagi. Lihat, kakiku bengkak-bengkak, ujung jarinya berdarah....... nyeri bukan main"

   Puspawati melihat ke arah betis adiknya, Kain itu disingkap ke atas, nampak di bawah sinar api kebakaran, betis yang memadi bunting berkulit kuning putih mulus dan memang benar, telapak kaki yang halus itu, yang tumitnya kemerahan, nampak bengkak bengkak dan ujung jarinya luka berdarah. Keadaan kaki Pusparasmi menyedihkan, akan tetapi kaki Puspawati sendiripun tidak lebih baik keadaannya. Dua orang puteri ini tentu saja tidak biasa berjalan di atas batu kerikil yang tajam dan kasar. Akan tetapi Puspawati mencoba untuk membangunkan adiknya.

   "Diajeng Pusparasmi, kita tidak boleh berhenti di sini. Hayo bangunlah, kita harus berlari terus sampai jauh agar jangan sampai tertangk,ap oleh iblis-iblis itu...."

   Pusparasmi dipaksa kakaknya bangkit lagi dan terhuyung huyung ketika ia dipapah kakaknya melanjutkan lari mereka. Di sana sini masih terjadi pertempuran yang berat sebelah. Banyak pula rakyat yang bangkit dan melawan para penyerbu karena melihat betapa barang mereka dirampok, anak gadis dan isteri mereka diculik, orang tua dan anak kecil dibunuh. Banyak pula yang berbondong-bondong melarikan diri cerai berai. Keadaan Singosari geser seperti sekelompok semut ditiup, lari ke sana-sini tak menentu dan para wanita menangis, anak anak memanggil manggil ayah ibunya, kakek dan nenek lari tersaruk-saruk. Ada yang jatuh terinjak kuda, ada yang berkelahi mati-matian.

   Ketika dua orang puteri itu tiba di jalan perempatan, datang serombongan pengungsi yang lari dikejar kejar beberapa orang perajurit Kediri. Karena mereka lari tunggang-langgang, maka dua orang gadis bangsawan itu terseret dan akhirnya mereka berpisah karena tangan mereka yang saling berpegang itu terlepas oleh desakan orang orang yang lari ketakutan.

   Puteri Tribuwana terkejut dan panik.

   "Pusparasmi.......... Diajeng Pusparasmi........ teriaknya berkali-kali sambil mengejar ke sana-sini. ia tidak berani memanggil adiknya dengan nama Gayatri karena kalau sampai terdengar oleh pasukan Kediri, tentu akan menjadi perhatian. Namun panggilannya tidak ada jawaban. Puteri Tribuwana lari kesana ke mari sambil beiteriak teriak memanggil, tidak tahu bahwa ia mencari ke jurusan yang berlawanan sehingga semakin jauh terpisah dari adiknya. Iapun tidak tahu bahwa adiknya itu telah tertawan oleh perajurit-perajurit Kediri yang mengenal puteri itu, maka segera tawanan yang amat penting itu dipisahkan diperlakukan dengan hormat, menjadi tawanan yang akan dihaturkan ke hadapan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.

   Puspawati atau Puteri Tribuwana terpaksa melarikan diri sambil memanggil-manggil nama adiknya. Ia tidak menangis. Puteri ini memang tabah sekali dan tidak mudah putus asa.

   Akan tetapi, Tiba-tiba dari samping ada seorang laki-laki tinggi besar yang menubruknya. Sang puteri mengelak, akan tetapi lengannya dapat ditangkap orang itu, ia menoleh dan melihat bahwa yang menangkap lengannya adalah seorang perajurit Kediri yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bercambang bauk mengerikan sekali.

   "Lepaskan"

   Bentak sang puteri dan dengan gerakan mendadak, ia berhasil melepaskan lengannya dan melarikan diri.

   "Ha ha ha, engkau cantik manis sekali. Hendak lari ke mana kau, manis"

   Orang itu tertawa dan mengejar. Tentu saja dengan langkah-langkah yang lebar dengan mudah dia dapat menyusul Puspawati. Puteri ini mendengar langkah kaki yang berat dan dengus napas seperti kerbau gila di belakangnya, lalu berhenti dan mencabut sebatang keris kecil dari pinggangnya. Dengan keris di tangan ia menanti pengejarnya lalu membentak dengam suara nyaring berwibawa.

   "Berhenti, atau engkau akan mati di tanganku"

   Laki laki tinggi besar itu terbelalak dan tertawa.

   "Hahaha, engkau semakin manis dan cantik jelita saja. Wah, tidak kalah oleh para puteri istana. Mari, manis, marilah engkau ikut Yuyu Rumpung dan hidup dengan mulia. Aku perajurit gemblengan dan sebentar lagi naik pangkat "

   Laki-laki itu menubruk, Puspawati menyambutnya dengan tusukan kerisnya.

   Akan tetapi yang dihadapinya adalah seorang perajurit kawakan yang sudah berpengalaman. Dengan mudahnya, lengan kanan gadis itu ditangkap, dipuntir sehingga kerisnya terlepas dan di lain saat, tubuh yang ramping itu telah dirangkul dan didekap. Akan tetapi sebelum mulut yang lebar dan basah itu sempat mencium, pundaknya ditampar orang.

   "Lepaskan gadis itu"

   Tamparan itu membuat Yuyu Rumpung terkejut dan rangkulannya terlepas, tulang pundaknya seperti patah patah rasanya. Dengan penuh geram dia membalik dan melotot. Kiranya yang menamparnya itu seorang pemuda yang memanggul seorang kakek yang agaknya menderita luka luka parah. Tentu saja Yuyu Rumpung memandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia adalah seorang perajurit Kediri yang sudah gemblengan dan terkenal diantara kawan kawannya. Kini, melihat seorang pemuda biasa saja berani menampar pundaknya dan menghalangi kesenangannya, apa lagi menggagalkan dia memetik sekuntum mawar indah ini, tentu saja dia marah sekali. Gadis jelita yang terlepas dari pelukannya itu kini telah lari ke belakang pemuda tadi, agaknya mencari perlidungan.

   "Babo babo keparat. Engkau ini pamongan Singosari berani kurang ajar kepadaku? Haha, belum mengenal tangan besi Yuyu Rumpung kamu"

   Setelah berkata demikian, Yuyu Rumpung menyerang dengan ganasnya, tangan kanannya mencengkeram ke arah leher, tangan kanan dikepal menghantam ke arah mua pemuda itu.

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda itu sedang memanggul tubuh seorang kakek yang agaknya pingsan, dengan tubuh yang luka luka, memanggulnya di atas pundak kiri dan dirangkulnya dengan lengan kiri. Lengan kanannya saja yang bebas. Akan letapi menghadapi serangan Yuyu Rumpung yang dahsyat itu, dia bersikap tenang saja.

   Ketika kedua tangan lawan itu sudah menyambar dekat, dia menggeser kaki ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menyambar ke kanan, sekaligus menangkis kedua lengan Yuyu Rumpung. Tenaganya demikian dahsyat sehingga begitu kedua lengan Yuyu Rumpung bertemu dengan tangan pemuda itu, Yuyu Rumpung terpekik dan terpelanting roboh seperti dibanting oleh tenaga raksasa. Yuyu Rumpung penasaran dan semakin marah, akan tetapi begitu dia berusaha bangkit, kaki pemuda itu menyambar bagaikan kilat.

   "Krokkkk "

   Kaki itu mengenai dagu, demikian kerasnya sehingga tulang leher Yuyu Rumpung patah dan tubuhnya terbanting keras dengan kepala terpuntir ke belakang dan dia tewas seketika.

   Sementara itu, Puspawati atau Puteri Tribuwana yang tadi ketakutan, ketika melihat penyerangnya itu mulai berkelahi melawan pemuda yang menolongnya, sudah cepat melarikan diri memasuki rombongan pengungsi. Pemuda itu membalikkan tubuh, dengan pandang matanya mencari-cari, dan ketika dia tidak melihat gadis yang ditolongnya, dia menghela napas.

   "Hemm, kalau tidak keliru, dara tadi adalah Sang Puteri Keraton Tribuwana....... Aduh, sungguh malang nasib keluarga Sang Prabu."

   Pada saat itu, datang lima orang perajurit yang menjadi marah sekali melihat seorang kawannya menggeletak tewas. Mereka segera mengepung pemuda yang memanggul tubuh kakek itu, dengan parang di tangan. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, mereka menyerang dengan parang, membacok sekenanya, tidak perduli apakah parang mereka itu akan mengenai si pemuda atau kakek yang dipanggulnya. Tugas mereka sebagai perajurit Kediri hanyalah membunuh, merampok dan membasmi orang orang Singosari.

   Pemuda itu nampaknya sudah lelah sekali dan selain pakaiannya robek robek, juga ada beberapa luka di tubuhnya. Kini, menghadapi pengeroyokan lima orang itu, dia mendahului dengan loncatan ke kiri, tangan kanannya menyambar dan robohlah seorang pengepung di sebelah kiri. Ketika empat orang lainnya maju mengejar, kakinya menendang dan kembali seorang Diantara mereka roboh dan pemuda itu lalu meloncat dan menghilang Diantara rumah rumah yang mulai terbakar. Tiga orang perajurit itu mengejar, namun tidak dapat menemukannya dan mereka menimpakan kemarahan kepada para penduduk yang sedang lari mengungsi. Mereka membabat siapa saja yang mereka temukan.

   Siapakah pemuda perkasa itu? Dia adalah, seorang pendekar muda yang sakti mandraguna berjiwa ksatria dan namanya adalah Nurseta. Pemuda ini berusia tigapuluh tahun lebih, berwajah tampan dan bersikap halus dengan pakaian yang sederhana. Biarpun nampaknya saja dia seorang pemuda biasa yang lemah lembut, namun sesungguhnya di dalam tubuhnya mengalir banyak aji kesaktian yang

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   ampuh. Kalau belum mengenai orangnya, maka tidak akan ada yang menyangka bahwa pemuda tampan yang cambangnya agak tebal, kumis tipis tanpa jenggot ini memiliki kepandaian yang hebat, yang membuatnya menjadi seorang yang digdaya,

   Nurseta adalah putera angkat dari Ki Baka, seorang kakek pendekar yang berjiwa pahlawan, seorang ksatria tulen yang ditakuti lawan disegani kawan. Sebagai putera angkat Ki Baka, tentu saja Nurseta mewarisi ilmu ilmu kakek ini, antara lain yang amat terkenal adalah Aji Sari Patala yang mendatangkan kekuatan dahsyat dari bumi, aji pukulan Bajradenta dan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Wandiro Kingkin. Kalau hanya mewarisi ilmu ilmu dari ayah angkatnya saja, belumlah Nurseta dapat dianggap sebagai seorang pemuda yang sakti mandraguna. Dia bahkan mendapat gemblengan dari gurunya, yaitu mendiang Sang Panembahan Sidik Danasura, seorang pertapa.yang sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu kebatinan. Dari Sang Panembahan ini dia mewarisi aji pukulan yang dinamakan Aji Jagad Pralaya (Dunia Kiamat). Pemuda perkasa ini pernah membantu Kerajaan Singosari ketika membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah dan Raden Wijaya, calon mantu Sang Prabu Kertanagara, dia memperoleh hadiah sebatang keris yang diberi nama Hat Nogo.

   Biarpun Nurseta seorang pemuda gagah perkasa, seorang satria utama, namun dia memiliki rahasia pribadi yang amat memprihatinkan hatinya, yaitu kenyataan yang baru diketahuinya setelah dia dewasa bahwa dia hanyalah putera angkat dari Ki Baka dan bahwa sesungguhnya dia adalah putera kandung dari mendiang Pangeran Panji Hardoko dari Kerajaan Kediri. Dia masih darah keturunan keluarga Kerajaan. Daha atau Kediri. Ini masih belum menyedihkan hatinya. Yang membuat dia selama ini merasa prihatin dan terpukul adalah bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, seorang wanita tokoh sesat yang terkenal sakti mandraguna akan tetapi juga kejam, jahat, cantik, genit dan cabul, ahli menggunakan racun yang amat keji dan berbahaya.

   Kenyataan inilah yang menghancurkan hatinya, yang memisahkan dia dari kekasihnya. Dia saling mencinta dengan Wulansari, gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang kini menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang. Wulansari adalah puteri dari Ki Medang Dangdi seorang diantara para senopati Kerajaan Singosari.

   Ketika Ki Medang Dangdi mendengar bahwa dia putera kandung Ni Dedeh Sawitri senopati itu dengan bersikeras tidak memperbolehkan puterinya menjadi isterinya. Inilah pukulan batin yang membuat Nurseta melarikan diri karena malu, sedangkan kekasihnya Wulansari juga melarikan diri. Mereka saling berpisah dan tidak mengetahui keadaan masing-masing.

   Ketika Kerajaan Kediri memberontak dan menyerang Singosari, kebetulan sekali Nurseta dan Ki Baka sedang berkunjung ke ibu kota Singosari. Kunjungan ini bukan perjalanan biasa, melainkan karena Ki Baka yang usianya sudah amat lanjut itu, sudah tujuhpuluh empat tahun lebih, ikut merasa prihatin melihat nasib putera angkatnya yang dikasihinya. Dia mengajak Nurseta ke ibu kota Singosari, untuk menemui Ki Medang Dangdi dan Ki Baka. sendiri yang akan melamar Wulansari untuk putera angkatnya, meyakinkan hati Ki Medang Dangdi bahwa biarpun Nurseta putera kandung ibunya yang terkenal jahat, namun sejak kecil dialah yang mendidik Nurseta yang kemudian menjadi murid Sang Panembahan Sidik Danasura.

   Pertemuan antara Ki Baka dan Ki Medang Dangdi berlangsung dengan akrab sekali. Ki Medang Dangdi menghormati Ki Baka yang terkenal sebagai seorang pendekar dan pahlawan, walaupun Ki Baka tidak pernah mau memegang jabatan di Kerajaan Singosari. Memang, Ki Baka adalah adik kandung dari men diang Ki Baya atau Bayaraja yang pernah terkenal sebagai seorang tokoh sesat, seorang penjahat besar yang pernah memberontak kepada Kerajaan Singosari sehingga ditumpas dan tewas. Namun, Ki Baka amat berbeda dari kakaknya itu. Ki Baka selalu membantu pemerintah kerajaan untuk menentang semua pemberontakkan dan kejahatan. Inilah sebabnya maka Ki Baka diterima dengan penuh kehormatan oleh Ki Medang Dangdi, senopati Singosari itu.

   Ketika Ki Baka mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu dengan resmi meminang Wulansari untuk dijodohlcan dengan putera angkatnya dan dengan singkat dia menceritakan riwayat Nurseta, Ki Medang Dangdi menghela napas panjang, dan isterinya yang bernama Warsiyem, juga seorang wanita gagah nampak berduka.

   "Kami telah menyadari kekeliruan kami, Kakang Baka. Memang pada waktu kami mendengar bahwa anakmas Nurseta putera kandung Ni Dedeh Sawitri, hati kami terkejut bukan main. Siapa yang tidak akan merasa ngeri mendengar nama........iblis betina itu? Maafkan, anakmas Nurseta, kalau aku memakinya. Dan penolakan kami terhadap ikatan jodoh itu ternyata berakibat besar. Puteri kami, Wulansari, lolos dari sini dan pergi tanpa pamit. Kami tidak tahu ke mana anak kami itu pergi bahkan kabar yang amat menyusahkan hati kami adalah bahwa ia menghambakan diri di Kerajaan Daha"

   Nurseta mengerutkan alisnya. Kalau Wulansari meninggalkan rumah, berarti gadisi itu memang memberatkan dia dan sungguh sungguh mencintanya. Mungkin saja gadis itu mengabdl di Kerajaan Kediri, karena bukankah gurunya, Ki Cucut Kalasekti, juga dianugerahi pangkat oleh Sang Prabu Jayakatwang, menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun?

   Ki Baka dapat mengerti akan perasaan hati Nurseta.

   "Adimas Medang Dangdi. Mengenai kepergian puterimu, biarlah Nurseta _yang akan mencarinya, yang penting sekarang apakah adimas berdua dapat menerima pinanganku ataukah tidak. Kalau adimas menerima, serahkan saja kepada calon mantu kalian in: untuk mencari Wulansari sampai dapat"

   "Seperti kami telah menyatakan tadi, Kakang Baka, kami merasa menyesal akan kesalahan kami dan tentu saja kami menerima dengan hati dan kedua tangan terbuka. Bahkan kami menghaturkan terima kasih kepada Kakangmas dan juga kepada anakmas Nurseta yang tidak menaruh hati dendam kepada kami, masih sudi datang mengajukan pinangan, Kami terima dengan hati gembira, Kakang. Akan tetapi, tentu saja kami menyerahkan selanjutnya kepada puteri kami sendiri, Kalau ia masih suka menjadi isteri anakmas Nurseta setelah penolakan kami dahulu, kami akan berbahagia sekali"

   Legalah rasa hati Ki Baka. Tugasnya yang terakhir telah diselesaikannya dengan baik Dalam usianya yang sudah tua itu, dia merasa prihatin melihat kesengsaraan putera angkatnya yang gagal dalam bercinta, Mereka menjadi tamu yang dihormati di rumah keluarga Ki Medang Dangdi,

   Akan tetapi baru sehari Ki Baka dan Nurseta berada di ibu kota, mendadak Ki Medang Dangdi menyampaikan berita akan penyerbuan pasukan Kediri dan bahwa dia harus berangkat untuk membantu Raden Wijaya yang mendapat tugas dari Sang Prabu untuk menyambut serbuan musuh dari utara.

   Setelah Ki Medang Dangdi berangkat, Ki Baka dan Nurseta juga pergi untuk melihat keadaan. Demikianlah, ketika pasukan besar dari Kediri menyerbu ibu kota dari selatan, di waktu pasukan kosong karena Sang Prabu Kertanagara menguras semua pasukan untuk diberangkatkan ke utara, terkena tipu daya yang dilakukan pasukan Kediri, Ki Baka dan Nurseta yang berada di ibu kota lalu mengamuk.

   "Sejengkal tanah sepercik darah, Nurseta"

   Bentak Ki Baka ketika mereka berhadapan dengan ratusan orang pasukan dari Kediri.

   "Sejengkal tanah sepercik darah, Ayah"

   Nurseta juga berseru penuh semangat kepahlawanan, berdiri tegak di samping ayah angkatnya sambil menghunus keris Hat Nogo hadiah dari Raden Wijaya.

   Anak dan ayah angkat itu mengamuk, dikeroyok oleh ratusan orang perajurit. Mereka berdua adalah orang-orang yang digdaya dan sakti mandraguna. Ki Baka yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahunan itu mengamuk seperti banteng terluka, juga Nurseta mengamuk seperti seekor harimau kelaparan. Entah berapa banyaknya pihak musuh yang roboh malang melintang dan bertumpuk-tumpuk oleh pengamukan dua orang yang sakti ini. Akan tetapi, makin banyak saja pasukan yang muncul.

   Tiba-tiba terdengar suara mendesis seperti ular, disusul lengkingan panjang dan nyaring. Nurseta dan Ki Baka terkejut. Mereka berdua walaupun digdaya dan kebal, tetap saja kewalahan menghadapi pengeroyokan ratusan orang musuh. Apa lagi Ki Baka yang usianya sudah tua. Dia sudah lelah sekali, keringat membasahi seluruh tubuh, bahkan kelelahan membuat kekebalannya berkurang dan sudah ada beberapa bagian tubuhnya terluka bacokan. Bahkan Nurseta sendiripun sudah mengalami beberapa luka yang ringan di pangkal lengan, dan paha, bajunya sudah robek-robek. Lengkingan yang mengandung tenaga dahsyat itu menunjukkan akan munculnya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kekuatan dahsyat.

   Tiba-tiba, orang yang mengeluarkan lengking panjang itu muncul dan kedua orang. pahlawan itu makin kaget lagi, Mereka segera mengenai orang ini, yang merupakan datuk sesat yang amat kejam dan licik, juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seorang kakek yang usianya sebaya dengan Ki Baka mukanya membiru seperti muka ikan dengan mulut yang meruncing. Jubahnya kuning menutupi pakaian adipati dan di sebelah dalamj terdapat pakaian yang seperti sisik ikan. Inilah dia datuk sesat Ki Cucut Kalasekti yang kini telah menjadi Adipati Satyanegara, adipati yang berkuasa di Bendowinangun dekat Kali Campur, daerah Kerajaan Kediri. Kiranya, dalam penyerbuan ke Singosari ini, Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti juga diperbantukan.

   Nurseta juga heran melihat munculnya kakek iblis itu, Dahulu, ketika dia terjerumus ke dalam jurang oleh perbuatan Ki Cucut Kalasekti dan dia bertemu dengan Warsiyem isteri Ki Medang Dangdi atau ibu kandung Wulansari yang oleh Ki Cucut Kalasekti ditahan di dalam goa di tebing maut, dia berhasil memukul roboh datuk sesat itu sehingga pingsan. Kemudian, dia mengajak ibu Wulansari untuk menyelamatkan diri keluar dari goa, mempergunakan perahu milik datuk sesat itu. Datuk sesat itu ditinggalkannya di dalam goa di tebing laut yang curam. Tanpa adanya perahu, bagaimana mungkin kini kakek itu mendadak sudah muncul kembali? Akan tetapi dia lalu teringat akan satu Diantara ilmu-ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti yang luar biasa, yaitu ilmu ikan, atau ilmu bermain di dalam air seperti ikan. Agaknya, bagi kakek itu tidak sukar menyelamatkan diri dari goa di tebing itu dengan terjun ke lautan walaupun tidak ada perahu. Tentu dia pandai menyelam dan berenang diantara ombak-ombak sebesar bukit dari Lautan Selatan dan berhasil mendarat dengan selamat.

   Melihat ayah dan anak itu, Adipati Satyanegara tertawa bergelak lalu berkata dengan nada angkuh.

   "Babo babo, kiranya Ki Baka dan Nurseta yang mengamuk di sini. Pantas saja pasukan kocar kacir. Hahaha, sungguh kebetulan sekali. Nurseta, di sinilah aku membuat pembalasan karena engkau dan Ki Baka tentu akan mampus di tanganku"

   Dia lalu memberi aba aba kepada pasukan untuk mengeroyok lagi, dan dia sendiri lalu menggerakkan sebatang pedang yang dicabut dari pinggangnya, menyerang Ki Baka.

   Nurseta hendak melindungi ayah angkatnya yang dia tahu sudah lelah sekali dari serangan lawan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi banyak sekali perajurit Kediri sudah mengepung dan mengeroyoknya sehingga tidak ada lain jalan baginya kecuali mengamuk lagi, mencoba untuk membobolkan kepungan agar dia dapat melindungi ayah angkatnya.

   Ki Baka juga dikeroyok banyak perajurit, bahkan kini ada bahaya yang selalu mengancam dari pedang Ki Cucut Kalasekti yang amat berbahaya itu. Kakek ini mengamuk dengan hebatnya. Seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluh empat tahun lebih, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu masih kokoh kuat bagaikan batu gunung. Kumisnya yang sudah berwarna putih itu masih tebal dan matanya yang lebar melotot penuh kemarahan. Setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang pengeroyok dan yang roboh itu tidak mungkin dapat bangkit kembali. Hal ini tidak mengherankan karena tendangannya itu mengandung tenaga sakti Aji Sari Patala, sedangkan tamparan tangannya adalah Aji Bajradenta. Akan tetapi pihak musuh terlalu banyak. Roboh satu maju dua, roboh dua maju empat. Terutama sekali serangan-serangan pedang di tangan Ki Cucut Kalasekti membuat kakek gagah perkasa itu menjadi repot sekali. Terpaksa dia merampas sebatang tombak dan dengan tombak ini dia menangkis sambaran pedang Ki Cucut Kalasekti. Namun, tetap saja tubuhnya menjadi sasaran banyak senjata lawan sehingga penuh luka-luka. Juga dua kali ujung pedang Ki Cucut Kalasekti mengenai pundak dan pahanya. Luka oleh pedang ini terasa nyeri bukan main, panas menggigit dan gatal, tanda bahwa pedang itu tentu mengandung racun.

   

Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini