Seruling Gading 22
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
"Ah, begitukah? Akan tetapi apakah warna kulit dan mata orang Belanda dapat menular, akang Satya?"
"Eh, kenapa engkau bertanya begitu, Maya?"
Maya Dewi tersenyum. Giginya yang rapi dan seputih mutiara berkilat ketika bibirnya terbuka.
"Habis, kulihat rnatamu kebiruan, tidak seperti mata orang Nusa Jawa, seperti mata orang Belanda yang pernah kulihat, walaupun warnanya tidak sebiru mata mereka."
Sudah terlanjur berterus terang, Satyabrata mulai membuka rahasia dirinya agar tidak menimbulkan kecurigaan gadis yang membuatnya bergairah dan tergila-gila itu.
"Terus terang saja, Maya, ayah kandungku adalah seorang bangsa barat akan tetapi bukan Belanda, melainkan seorang berbangsa Portugis yang bernama Henrik. Ibuku adalah seorang keturunan menak (priyayi), masih keturunan Kerajaan Banten yang langsung dari Raja Ari Ranamanggala."
Tentu saja Satyabrata hanya membual saja karena ibu kandungnya yang bernama Marsinah hanyalah seorang gadis nelayan di pantai Cirebon, sama sekali bukan menak (bangsawan) apalagi keturunan Raja Banten! Akan tetapi karena ia sudah tertarik sekali, Maya Dewi percaya saja dan ia menjadi semakin kagum. Kurang apa lagi pemuda ini? Tampan dan gagah, keturunan bangsa barat yang terkenal kaya raya dan pandai dan ibunya keturunan Raja Banten, sakti mandraguna! Masih ada satu syarat lagi! Jangan-jangan pemuda ini sudah ada yang punya!
"Eh, akang Satya, apakah engkau sudah ada yang punya?"
Pikiran ini terlontar begitu saja dalam pertanyaannya.
Satyabrata memandang gadis itu, agak heran dan bingung karena memang dia belum dapat menangkap apa yang dimaksudkan gadis itu.
"Sudah ada yang punya? Apa maksudmu, Dewi?"
"Itu... apa engkau sudah punya isteri?"
Satyabrata tersenyum dan hatinya merasa senang. Pertanyaan itu setidaknya mengungkapkan sedikit hati gadis itu yang agaknya mulai "ada rasa"
Kepadanya.
"Belum,"
Jawabnya sambil tersenyum dan menatap wajah gadis itu penuh selidik.
"Calon isteri, tunangan?"
"Juga belum."
"Pacar, gadis pilihan hatimu?"
Segera terbayang wajah Elsye Van Huisen yang manis, puteri Willem Van Huisen yang menjadi pacarnya ketika lima tahun yang lalu dia dan gadis Belanda itu masih remaja, dia berusia dua puluh satu tahun dan Elsye berusia tujuh belas tahun. Timbul kerinduannya terhadap gadis yang denok dan jelita itu. Kini tentu sudah dua puluh dua tahun usianya, sudah dewasa. Dia teringat ketika dia berciuman dengan gadis itu, ketika hendak meninggalkannya. Kemudian bayangan wajat Elsye berubah menjadi wajah manis ayi merak ati dari Muryani. Dia harus mengaku dalam hatinya bahwa dia juga mencinta murid mendiang Nyi Rukmo Petak ini. Gadis yang sakti mandraguna, bahkan lebih sakti daripada Maya Dewi, dan tidak kalah cantik, walaupun dalam hal pesona yang menggairahkan, Maya De memiliki daya pesona yang lebih kuat. Jarang terdapat wanita yang demikian menggairahkan seperti Maya Dewi, seolah setiap bagian tubuhnya, sampai rambut-rambutnya, memiliki daya pesona tersendiri yang membangkitkan gairah setiap orang laki-laki.
"Hei, kenapa engkau diam saja dan termenung? Terlalu banyak pacarmu, ya, sehingga tidak dapat menjawab dan menjadi bingung sendiri?"
Maya Dewi mendesak dengan kerling mata tajam, senyum mengejek dengan bibir merah dicibirkan manja. Ih, bibir itu! Ingin Satyabrata menggigitnya saking gemas. Akan tetapi dia menahan diri, bersikap seorang ksatria tulen!
"Memang banyak gadis yang tampaknya menaruh hati kepadaku, Maya, akan tetapi terus terang saja, belum ada seorangpun yang membuat hatiku tertarik., Kalau tadi aku termenung, karena aku inencari-cari untuk menjawabmu, akan tetapi ternyata memang belum ada."
Sepasang bibir yang merah basah itu terbuka lebih lebar dan sekilas ujung lidah yang meruncing merah muda berputar menjilati sepasang bibir sehingga menlndi semakin basah. Melihat ini, Satyabrata menelan air ludah karena melihat keindahan di depannya, mulutnya kemecer (berliur) seperti orang melihat makanan rujak yang segar, manis, masam dan pedas!
"Hemm, benarkah sampai saat ini engkau belum pernah tertarik kepada seorang gadis? Aku melihat sepasang matamu itu memandangku seperti hendak menelanku.Hi-hi-hik!"
Maya Dewi tertawa, tanpa menutupi mulutnya, tertawa bebas lepas dan sambil tertawa ia mengerling dan ia tampak genit dan manja sekali. Hampir tidak kuat lagi Satyabrata bertahan.
"Aku memang mulai tertarik, Maya Dewi, mulai tertarik begitu aku bertemu dengan engkau dan melihatmu."
Dia mulai berani merayu, namun tetap berhati-hati sehingga membatasi katakatanya bukan langsung pengakuan cinta, melainkan menggunakan kata tertarik.
"Hemm, benarkah itu?"
"Benar, Maya Dewi, dan aku mengira bahwa engkaupun suka kepadaku, benarkah itu?"
"Hemm, memang aku suka padamu akang Satya, akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku tergila-gila kepadamu!' kata Maya Dewi manja dan jual mahal.
"Akan tetapi aku tergila-gila padamu Maya!"
"Hemm, tidak berarti bahwa aku jatuh cinta padamu."
"Akan tetapi aku jatuh cinta padatu!"
Kini Satyabrata berani mengaku terang-terangan karena dia sudah melihat titik terang dan lampu hijau!
"Huh, aku mendengar dari bapa bahwa lidah laki-laki tidak bertulang. Rayuan laki-laki kebanyakan gombal. Entah sudah berapa puluh laki-laki yang kubunuh karena berani merayugombal padaku. Cintamu harus dibuktikan dulu, baru aku mau percaya!"
Satyabrata menghela napas panjang.
"Aih, Maya. Belum percayakah engkau kepadaku? Baik, akan kubuktikan nanti kalau ada kesempatan. Dan kalau engkau sudah percaya akan cintaku yang benar-benar suci kepadamu, baru engkau mau mengaku cinta padaku?"
"Kita lihat saja nanti! Aku tidak semurah dan semudah itu menjatuhkan cintaku. Sekali mencinta, akan kupertaruhkan dengan nyawaku!"
Ucapan ini terdengar manis, akan tetapi mengandung ancaman yang amat mengerikan sehingga Satyabrata sendiri yang berhati kejam itu diam-diam bergidik. Dia harus berhati-hati terhadap perempuan ini.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Maya. Surabaya sudah dekat dan aku tidak ingin terlambat sehingga tidak dapat rnenghadap Pangeran Pekik hari ini juga."
Demikianlah, pada siang hari itu mereka berdua memasuki kota Surabaya dan menjadi pusat perhatian orang, terutama orang-orang muda yang kagum kepada Maya Dewi dan gadisgadis yang kagum kepada Satyabrata.
"Anak-mas Satyabrata....!"
Satyabrata dan Maya Dewi cepat mernutar tubuh untuk melihat siapa yang memanggil itu. Setelah melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang di antara empat orang perajurit yang menjadi anak buah Senopati Poncosakti yang pernah dibantunya ketika senopati Surabaya itu bertanding melawan Ki Kalingga, utusan Mataram yang membawa surat Pangeran Pekik untuk Sultan Agung.
"Ah, andika kiranya!"
Kata Satyabrata dengan sikap sedikit angkuh karena yang menegurnya itu hanyalah seorang perajurit biasa. Akan tetapi dia segera mendapat pikiran yang amat baik.
"Eh, paman perajurit! Tolong tunjukkan kepada kami di mana istana Sang Adipati Surabaya, kemudian laporkan kepada beliau bahwa kami mohon untuk menghadap!"
Perajurit itu yang sedang bebas tugas sudah mengenal bahwa pemuda yang gagah perkasa ini adalah seorang telik sandi Belanda, dan merupakan orang penting sekali, bahkan pernah membantu Senopati Poncosakti, maka dia menyatakan kesediaannya sambil membungkukbungkuk hormat kepada Satyabrata dan Maya Dewi. Sepasang orang muda ini lalu mengikuti perajuri.t itu menuju ke istana Pangeran Pekik.
Pada saat itu, Pangeran Pekik sedang mengadakan perundingan dengan para menteri dan panglima. Adipati Surabaya itu selalu mengerutkan keningnya, pertanda bahwa hatinya sedang tidak senang. Tentu saja dia merasa tidak senang mendengar pelaporan Senopati Poncosakti bahwa Sultan Agung telah bertindak curang Di satu pihak membujuknya dengan kata-kata manis agar dia suka berdamai dan bersekutu dengan Mataram untuk memperkuat persatuan guna menghadapi Kumpeni Belanda. Akan tetapi di lain pihak, dia mendengar bahwa di lain pihak Mataram kini sedang mempersiapkan pasukan besar-besaran untuk menyerang dan menaklukkan Madura.
"Mengapa Kanjeng Paman Sultan Agung bertindak demikian?"
Dia berseru setelah mendengarkan pelaporan Ki Poncosakti yang menjadi pemimpin para penyelidik.
"Baru saja beliau mengirim surat yang manis bunyinya, akan tetapi sekarang hendak menyerbu Madura tanpa memberi tahu kami? Padahal beliau juga mengetanhui bahwa para adipati di Pulau Madura adalah sekutu kami!"
"Sama sekali tidak mengherankan, gusti,"
Kata Ki Poncosakti yang sengaja membakar hati Adipati Surabaya itu.
"Mataram melihat betapa Surabaya dan Madura bersatu dan persatuan ini tentu saja menjadi penghalang yang kokoh kuat dan Mataram yang hendak mengumbar nafsu keangkara-murkaannye. Karena itu di samping membujuk paduka untuk bekerja sama, diamdiam dia mengerahkan pasukan untuk menyerbu Madura sehingga dia bermaksud memecah belah kekuatan persatuan Surabaya dan Madura."
Pangeran Pekik mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
"Sayang sekali mengapa Kanjeng Paman Sultan Agung berpendirian seperti itu. Padahal kalau dia hendak benar-benar berdamai dan bersekutu, kami dapat pula membujuk para adipati di Madura untuk menyudahi permusuhan dan bekerja sama."
Bagaimanapun juga, Pangeran Pekik masih mengingat akan hubungan darah kekeluargaan antara Kerajaan Mataram dan Kadipaten Surabaya.
"Hamba kira hal itu tidak perlu disesalkan, Gusti Pangeran. Pemikiran seperti itu hanya melemahkan kedudukan kita. Hamba yakin bahwa kalau Mataram belum menyerang Surabaya, adalah karena Mataram melihat kokohnya persatuan antara Surabaya dan Madura. Kalau Sultan Agung langsung menyerang Surabaya, sudah pasti semua adipati di Madura akan bangkit dan membantu Surabaya menghadapi Mataram. Oleh karena itu, setelah kini ternyata Mataram hendak menyerbu Madura, sudah sepantasnya kalau kita mengirim pasukan untuk membela Madura, kanjeng gusti,"
Kata pula Senopati Poncosakti.
"Kami kira pendapat andika itu benar, Poncosakti."
Pangeran Pekik lalu menitahkan panglimanya untuk membentuk pasukan untuk membantu Madura yang menghadapi serangan Mataram.
"Selain itu, kanjeng gusti. Hamba bertemu seorang pemuda yang sakti rnandraguna, namanya Satyabrata dan seorang temannya, gadis cantik dan sakti pula bernama Maya Dewi. Satyabrata itu teryata adalah seorang kepercayaan Kumpeni Belanda yang berkedudukan tinggi. Seorang seperti dia itu amat kita butuhkan, bukan saja untuk berhubungan dengan kumpeni, juga kesaktiannya dapat kita pergunakan untuk melawan para senopati Mataram yang tangguh dan sakti."
"Hemm, kita harus yakin lebih dulu, Poncosakti. Sekarang ini banyak orang yang pandai dan licik. Siapa tahu dia itu malah seorang ponggawa Mataram yang menyamar sebagai teliksandi kumpeni. Kebetulan sekali kami sedang kedatangan tamu agung, seorang perwira tinggi Kumpeni Belanda yang kini berada di Loji Tamu bersarna seorang puterinya. Kalau bicara dengan dia, akan kami ceritakan tentang Satyabrata dan Maya Dewi itu, untuk mendapatkan kepastian apakah benar mereka itu kepercayaan kumpeni."
Tiba-tiba seorang perajurit pengawa datang menghadap. Dia segera merangkak maju dan memberi hormat dengan sembah.
"Ampuni hamba yang berani mengganggu kesibukan paduka, gusti. Akan tetapi di luar ada seorang perajurit yang mengantarkan tamu yang mohon menghadap dan bertemu dengan paduka."
Pangeran Pekik mengerutkan alisnya Dia sedang mengadakan perundingan yang penting sekali dengan para pembantunya dan sekarang ada tamu yang datang mengganggu.
"Siapakah tamu itu, perajurit?"
Tanyanya kepada perajurit pengawal.
"Tamu itu ada dua orang, kanjeng gusti. Seorang pemuda bernama Satyabrata dan seorang gadis bernama Maya Dewi."
"Ah, itulah mereka yang hamba maksudkan tadi, gusti!"
Seru Poncosakti.
Pangeran Pekik mengangguk kepada perajurit pengawal.
"Pengawal, suruh para tamu itu masuk menghadap kami!"
Setelah perajurit itu keluar, Pangeran Pekik berkata kepada para senopati.
"Kalian bersiap-siap dan waspadalah. Kalau dua orang itu membuat gerakan dan bersikap mencurigakan, kalian boleh turun tangan menangkap mereka."
Para senopati mengangguk dan mereka semua merasa tegang, kecuali tentu saja Poncosakti karena dia sudah percaya sepenuhnya kepada Satyabrata. Ketika Satyabrata dan Maya Dewi memasuki ruangan persidangan yang luas itu, semua mata memandang kepada mereka dan suasana menjadi semakin tegang. Satyabrata yang cerdik memasuki ruangan itu bersama Maya Dewi dan dia lalu duduk bersila sedangkan Maya Dewi duduk bersimpuh sambil memberi hormat dengan sembah kepada Pangeran Pekik. Pangeran itu memandang dengan mata terbelalak dan dalam hatinya dia merasa heran dan juga kagum. Sepasang orang muda yang elok. Terutama pemuda itu. Sepintas saja dia dapat melihat bahwa pemuda itu pasti memiliki darah orang Barat dalam tubuhnya. Matanya yang kebiruan itu, kulitnya yang putih dan wajahnya yang tampan dengan hidung mancung berbentuk indah.
"Teja-teja sulaksana tejanya dua orang belia yang baru datang! Siapaka andika berdua dan ada keperluan apakah andika berdua minta menghadap kami?' kata Pangeran Pekik dengan suara penuh wibawa.
"Hamba bernama Satyabrata, berasal dari Cirebon. Adapun keperluan hamba menghadap paduka adalah untuk membicarakan tentang gerakan pasukan Mataram yang hendak menaklukkan Madura dan juga Surabaya. Hamba adalah seorang kepercayaan Kumpeni Belanda dan tuga hamba membantu mereka yang dimusuhi Mataram."
"Hamba bernama Maya Dewi dan ayah harnba, Resi Koloyitmo, menyuruh hamba untuk membantu Madura dan Surabaya menentang Mataram. Dalam perjalanan hamba berkenalan dengan akang Satyahrata dan karena tugas kami sama, maka hamba ikut dengan dia menghadap paduka,"
Kata Maya Dewi dengan suaranya yang merdu.
Biarpun Pangeran Pekik tidak seganteng Satyabrata, namun mengingat bahwa pria itu adalah seorang yang berkedudukan tinggi, maka tergerak juga hati Maya Dewi untuk bergaya agar dirinya lebih menarik. Namun, dalam tubuh Pangeran Pekik masih mengalir darah biru (bangsawan) yang berwibawa, maka dia dapat melihat bahwa kecantikan wanita itu hanyalah kecantikan jasmani belaka, sehingga diapun tidak begitu terpikat.
Pangeran Pekik mengangguk-angguk Orrn sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat bahwa dua orang muda yang berwajah elok itu tidak memiliki sinar yang biasa dimiliki seorang ksatria dan wanita utama.
"Kami mengetahui siapa Resi Koloyitmo yang berasal dari Parahyangan itu. Akan tetapi, Satyabrata, bagaimana andika dapat membuktikan bahwa andika adalah seorang kepercayaan kumpeni?"
Satyabrata meraba pinggangnya. Semua senopati siap dan meraba gagang keris masingmasing, berjaga-jaga. Akan: tetapi ternyata pemuda itu mengeluarkan sekeping uang dinar emas dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Pangeran Pekik.
"Inilah bukti dari hamba, gusti."
Seorang senopati menerima uang dinar itu dan menghaturkannya kepada Pangeran Pekik. Setelah memeriksa uang dinar itu, Adipati Surabaya itu mengangguk-angguk, baru percaya bahwa pemuda itu mernang benar menyimpan sebuah dinar emas bergambar singa, sebagai tanda kekuasaan yang diberikan oleh kumpeni. Dia sendiri pernah menerima dinar seperti itu, bukan sebagai tanda seorang penguasa kumpeni, melainkan sebagai tanda persahabatan. Hadiah itu diteriman karena dia memperbolehkan kumpeni membeli beras dan rempa-rempah dari daerah Kadipaten Surabaya. Dia segera mengembalikan dinar itu dan mulai percaya, walaupun rasa tidak sukanya terhadap kepribadian pemuda itu masih ada.
"Satyabrata dan Maya Dewi, kami menerima kalian sebagai tamu-tamu sahabat. Kalian tadi mengatakan bahwa kalian siap membantu Surabaya dan Madura dalam menghadapi ancaman Mataram. Lalu apa saja yang dapat kalian lakukan untuk membantu kami?"
"Gusti, dalam hal ini hamba yang tidak tahu akan siasat perang hanya ikut dan menurut saja apa yang hendak dilakukan akang Satyabrata dan akan membantunya,"
Maya Dewi mendahului.
"Sesungguhnyalah, Gusti Pangeran. Kalau hanya kami berdua saja, paling banyak kami dapat membantu pasukan Madura dan Surabaya dalam pertempuran melawan Mataram, menghadapi para senopati Mataram yang sakti mandraguna. Akan tetapi hamba dapat berbuat lebih dari itu, gusti. Hamba dapat menghubungi kapal kumpeni yang berada di lautan sekitar Madura dan Surabaya. Kapal-kapal itu dapat menghadang pasukan Mataram yang dating melalui lautan, dan hamba dapat mengajukan permohonan kepada atasan hamba agar dapat membantu Surabaya dan Madura dengan sejumlah senapan atau sepasukan serdadu, bahkan kalau perlu meriam-meriam."
Dalam lubuk hati Pangeran Pekik, memang adipati ini tidak begitu bersemangat untuk berperang melawan Mataram dan apa yang ditawarkan pemuda itu adalah urusan besar. Kalau dia membuka tangan menerima bantuan Kumpeni Belanda, selain hal itu membuat permusuhan dengan Mataram semakin menghebat, juga membuat dia berhutang budi kepada kumpeni dan kelak pihak kumpeni dapat memaksakan kehendak mereka dengan bersenjatakan budi itu.
"Satyabrata, urusan besar ini haru kami rundingkan masak-masak dengan para pembantu kami sebelum kami mengambil keputusan. Sernentara itu, biarlah andika berdua menjadi tamu kami dan ingin kami perkenalkan kepada tamu-tamu asing kami yang kini sudah berada di Loji Tamu. Senopati Poncosakti, andika yang sudah mengenal dua orang tamu kita ini, biarkan mereka ke Loji Tamu dan perkenalkan kepada tamu-tamu kita yang sudah berada di sana."
"Sendiko, gusti!"
Kata Poncosakti dengan gembira.
"Marilah, anak-mas Satyabrata dan nini Maya Dewi."
Dua orang muda itu menyembah kepada Pangeran Pekik lalu keduanya meninggalkan ruangan itu mengikuti Poncoikti menuju ke Loji Tamu yang berada di ujung barat kompleks istana kadipaten itu.
Loji Tamu itu merupakan sebuah gedung yang istimewa dibuat untuk menerima tamu yang dihormati. Tentu saja tidak sembarang tamu diterima dan disediakan kamar di gedung itu untuk tempat mereka menginap. Hanya tamu yang dihormati dan dianggap tamu agung saja yang dapat menikmati keramahan Adipati Surabaya itu. Mereka ini bukan saja mendapatkan kamarkamar yang indah dan lengkap, akan tetapi juga dijamu makanan yang serba mewah dan masih dihibur pula dengan pertunjukan joget dan tembang yang dilakukan para seniwati yang cantik dan ahli.
Ketika Poncosakti yang diikuti Satyabrata dan Maya Dewi tiba di Loji Tamu itu, perasaan Satyabrata tidak enak. Dia belum tahu siapa yang menjadi tamu di situ dan hendak diperkenalkan kepadanya, Kalau tamu itu merupakan perwira tinggi Belanda yang pernah singgah di rumah Willem Van Huisen, mungkin dia mengenalnya. Akan tetapi kalau tamu itu merupakan perwira tinggi dari Batavia, mungkin dia belum pernah bertemu dengannya dan berhadapan dengan perwira tinggi yang belum dikenalnya, selalu mendatangkan perasaan tidak sedap di hati Satyabrata. Hal ini adalah karena dia tahu benar bahwa bangsa Belanda itu amat congkak, terutama kalau berhadapan denga orang pribumi. Bahkan Willem Van Huisen pernah mengatakan bahwa bangsa Belanda datang ke Nusa Jawa membawa kemakmuran dan akan mengajarkan peradaban kepada orang pribumi, mengajarkan hidup yang benar, bersih, beradab dan sebagainya.
Karena ibunya adalah seorang pribumi, maka tentu saja Satyabrata merasa tidak enak kalau Willem Van Huisen bicara tentang itu. Apalagi setelah dia melihat kenyataan betapa hampir semua perwira tinggi yang baru saja dijumpainya memandang rendah kepadanya. Dia tahu apa sebabnya, yaitu karena jelas dia bukan orang Belanda totok. Karena rambutnya hitarn dan hanya matanya saja yang menunjukkan bahwa ada darah bule di tubuhnya. Bahkan kulitnya juga tidak bule seperti mereka, walaupun lebih putih dibandingkan orang pribumi. Biarpun ragu-ragu, dia tidak dapat mencegah ketika Poncosakti memberi tahu penjaga Loji Tamu itu untuk melaporkan kepada tamunya bahwa dia datang untuk memperkenalkan tamutamu lain.
"Silakan duduk menunggu di ruangan depan, akan saya laporkan kepada tuan,"
Kata penjaga itu dan dia lalu masuk dalam gedung itu. Poncosakti mengajak Satyabrata dan Maya Dewi untuk duduk di atas kursi-kursi yang tersedia di ruangan depan itu.
Tak lama kemudian terdengar detak sepatu datang dari dalam. Poncosakti segera bangkit berdiri dan menghadap arah pintu yang menembus ruangan dalam. Daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah seorang laki-laki Belanda, berusia sekitar lima puluh lima tahun dengan pakaian sebagai seorang perwira tinggi yang indah dan gagah, ditemani seorang gadis Belanda yang cantik, berusia kurang lebih dua puluh satu tahun.
"Permisi, tuan, saya Senopati Poncosakti hendak memperkenalkan anak-mas"."
Poncosakti tak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat perwira tinggi Belanda dan gadis itu memandang kepada Satyabrata dengan mata terbelalak dan' wajah gembira sekali.
"Jan....?"
Teriak orang Belanda itu yang bukan lain adalah Willem Van Huisen perwira tinggi kumpeni itu. Kiranya dia yang bertamu pada Adipati Surabaya! Dua orang itu saling berjabat tangan dan berangkulan. Kemudian Satyabrata melepaskan rangkulan dan memutar tubuhnya menghadapi gadis Belanda itu.
"Jan, ben jij dat (engkaukah itu), Jan?"
Gadis itu berseru dan mengembangkan kedua lengannya.
"Elsye, schat (sayang)....!"
Kata Satyahrata dan entah siapa mendahului, keduanya saling berangkulan dan saling berciuman pipi sampai berulang kali. Melihat ini, api cemburu membakar hati Mava Dewi dan hampir saja ia turun tangan membunuh gadis Belanda itu!
Sambil menekan perasaannyaa yang bergejolak marah, Maya Dewi berkata kepada Satyabrata dengan suara ketus.
"Akang Satya, siapakah mereka ini?"
Teguran yang ketus ini menghentikan tiga orang yang bercakap-cakap cas-cis-cus berbahasa Belanda yang tidak dimengerti oleh Maya Dewi.
Satyabrata terkejut karena dia baru teringat akan kehadiran Maya Dewi. Tadi dia bergembira sekali bertemu dengan Willem Van Huisen, ayah angkatnya dan dengan Elsye Van Huisen, adik angkat yang juga menjalin hubungan mesra dengannya seperti seorang kekasih itu. Sudah lima tahun dia berpisah dari mereka dan sama sekali tidak mengira bahwa tamu Pangeran Pekik adalah dua orang yang memiliki hubungan dekat sekali dengannya. Oleh karena it tidak anehlah kalau Satyabrata begitu bergembira sehingga sejenak dia melupakan kehadiran Maya Dewi. Apalagi sekarang dia melihat betapa Elsye telah menjadi seorang gadis dewasa yang bertubuh denok montok menggairahkan. Mendengar pertanyaan ketus dari Maya Dewi, barulah Satyabrata terkejut dan sadar.
"Oh, ya. Aku sampai lupa memperkenalkan mereka kepadamu, Maya. Ayah dan Elsye, ini adalah seorang sahabat baikku bernama Maya Dewi. Maya, ini adalah ayah angkatku seperti yang pernah kuceritakan padamu. Dia adalah Perwira Tinggi Willem Van Huisen, cukup kau sebut sebagai Tuan Willem saja dan yang ini" "
Satyabrata menggandeng tangan Elsye yang tersenyum manja.
"... ini adalah puterinya, adik angkatku bernama Elsye Van Huisen, cukup kausebut Nona Elsye saja."
Willem Van Huisen menyodorkan tangannya mengajak Maya Dewi bersalaman. Gadis ini menyambutnya dan ketika berjabat tangan, orang Belanda itu berkata-kata dalam bahasa Sunda yang lancar sambil menggenggam tangan mungil gadis itu.
"Maya Dewi, sungguh nama yang amat indah, seindah orangnya!"
Senang juga Maya mendengar ucapan itu karena ia melihat dari pandang mata orang Belanda itu bahwa dia bicara jujur, tidak bermaksud merayu. Juga Elsye mengajaknya bersalaman dan biarpun ia tidak merasa rendah diri, namun Maya Dewi merasa tidak enak melihat gadis belanda itu lebih jangkung daripada ia. Elsye hampir sejangkung Satyabrata. Akan tetapi karena sikap Elsye ramah, iapun merasa senang berkenalan dengan mereka. Padahal penyebab rasa senang itu adalah karena kini ia mengetahui bahwa gadis itu adalah adik angkat Satysabrata, walaupun mereka memperlihatkan kemesraan yang baginya keterlaluan dan melanggar batas kesopanan. Masa dengan adik sendiri berciuman seperti dua orang kekasih atau dua orang suami isteri saja
Mereka dipersilakan duduk kembali. Juga Senopati Poncosakti dipersilakan duduk. Akan tetapi Poncosakti menolak, dan berkata.
"Saya masih mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikan dan menghadiri persidangan yang akan dibuka oleh Gusti Pangeran. Silakan anakmas berdua bercakap-cakap dan tinggal di Loji Tamu ini, akan tetapi saya amat mengharapkan agar andika berdua besok pagi suka menjadi tamu keluarga kami. Kami ingin mengadakan pesta untuk andika berdua, sebagai penyambutan selamat datang dan ucapan terima kasih kami atas pertolongan andika berdua."
Setelah Satyabrata menyanggupinya, dia lalu mengundurkan diri.
Setelah Poncosakti pergi, empat orang itu duduk melingkari meja dan kedua ayah dan anak itu seperti berlomba hendak menghujankan pertanyaan kepada Satyabrata. Akan tetapi sebelum mereka mulai, Satyabrata menoleh kepada Maya Dewi lalu berkata kepada ayah angkatuya.
"Ayah dan Elsye, karena di sini ada Maya Dewi dan ia bukan orang lain, melainkan segolongan sendiri, maka kuharap ayah dan Elsye bicara menggunakan bahasa daerah sehingga ia dapat mengerti dan ikut dalam percakapan."
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat sikap Satyabrata yang serius ketika mengucapkan kata-kata ini, Willem Van Huisen mengangguk -dan berkata.
"Baiklah, akan tetapi katakan dulu mengapa engkau menganggap Maya Dewi ini sebagai orang segolongan dengan kita."
"Begini, ayah. Maya Dewi ini adalah puteri Resi Koloyitmo dari Parahyangan dan ia adalah seorang yang menerima tugas dari ayahnya untuk memusuhi Mataram dan membantu siapa saja yang menjadi musuh Mataram. Ia sakti mandraguna dan pandai, ayah, maka akan sangat menguntungkan kita kalau ia diberi kepercayaan sebagai seorang telik-sandi kumpeni."
Willem Van Huisen mengangguk-angguk ,dan tersenyum senang.
"Baiklah, akan kuusulkan kepada Gubernur Jenderal agar ia diangkat menjadi seorang pimpinan telik-sandi kumpeni. Bagaimana, Maya Dewi, maukah engkau menjadi seorang mata-mata kumpeni?"
Maya Dewi tersenyum manis. Ia mengangguk dan berkata.
"Tentu saja saya mau."
"Nah, anakku Jan, sekarang ceritakanlah apa saja yang kau alami dan ke mana saja engkau pergi selama lima tahun ini,"
Kata Willem.
"Ya, ceritakanlah, Jan. Sampai setengah mati aku menunggu dan merindukanmu. Engkau menghilang selama lima tahun, tanpa kabar sama sekali walaupun ayah telah mendengar bahwa engkau telah menghubungi beberapa orang teliksandi. Kami hanya tahu bahwa engkau masih hidup. Ceritakanlah,"
Kata Elsye.
Satyabrata lalu bercerita. Akan tetapi dia tidak ingin menceritakan yang sebenarnya tentang ilmu yang ditemukannya dalam sumur tua di belakang perguruan Jatikusumo di tepi laut Pacitan.
"Ketika mendengar bahwa perguruan Jatikusumo adalah pusat para jagoan yang setia kepada Mataram, aku lalu pergi ke sana untuk melakukan penyelidikan. Aku berhasil menyusup menjadi seorang murid Jatikusumo. Pada suatu hari kebetulan sekali aku menemukan kitabkitab kuno di guha tepi lautan. Kitab-kitab itu ternyata adalah peninggalan milik Sunan Gunung Jati yang entah bagaimana dapat berada di sana. Selama bertahun-tahun, tanpa diketahui orang lain, aku mempelajari semua ilmu itu."
"Dia menjadi sakti mandraguna karena mempelajari ilmu-ilmu itu!"
Tambah Maya Dewi.
"Bagus sekali!"
Puji Willem Van Huisen.
"Kemudian dalam perantauanku menyelidiki keadaan Mataram dan memusuhi mereka yang setia kepada Mataram, aku bertemu dengan Maya Dewi ini dan kami nenjadi sahabat."
"Ya, kulihat kalian menjadi sahabat yang baik sekali, dan serasi, dan kalian dapat menjadi jodoh yang tepat sekali!"
Kata Elsye.
Maya Dewi terkejut pula mendenga ucapan yang blak-blakan itu, seperti juga Satyabrata.
"Elsye, jangan goda mereka!"
Kata Willem dan dia berkata kepada putera angkatnya.
"Jan, lanjutkan ceritamu. Bagaimana engkau dan Maya Dewi dapat tiba-tiba berada di Kadipaten Surabaya ini."
"Kami berdua mengambil keputusan untuk pergi ke Madura setelah mendengar bahwa Mataram sudah siap menggempur Madura. Kami ingin membantu Madura. Akan, tetapi dalam perjalanan kami bertemu dengan Senopati Poncosakati tadi yang sedang berusaha mengadu domba antara Surabaya dan Mataram."
"Eh, menarik sekali itu! Bagairnana caranya?"
Tanya Willem. Satyabrata lalu menceritakan tentang pengubahan pada surat Pangeran Pekik yang ditujukan kepada Sultan Agung dan mendengar ini, Willem van Huisen menjadi senang sekali dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Memang berbahaya kalau Mataram bersatu dengan Surabaya."
"Demikianlah, pertemuan dengan Poncosakti itu menimbulkan keinginan dalam hatiku untuk berkunjung kepada Pangeran Pekik dan menawarkan kerja sama. Sama sekali tidak pernah kusangka bahwa di sini aku dapat bertemu dengan ayah dan Elsye,"
Satyabrata mengakhiri ceritanya.
Sehari itu mereka bercakap-cakap dan Willem Van Huisen menceritakan keadaan kumpeni kepada Satyabrata dan bahwa kunjungannya ke Surabaya juga dalam pngka memantau keadaan Surabaya dan perrgolakan sehubungan dengan niat Mataram untuk menyerbu Madura dan Surabaya.
Malam itu Satyabrata dan Maya Dewi bermalam di Loji Tamu, mereka berdua masingmasing mendapatkan sebuah kamar. Ketika hendak berpisah, Elsye berkata dalam bahasa Belanda kepada Satyabrata.
"Kunanti engkau malam ini dalam taman."
Maya Dewi yang selalu curiga segera bertanya setelah mereka berpisah dari gadis Belanda itu.
"Apa yang ia katakana tadi, akang Satya?"
"Ah, ia hanya mengatakan selamat malam dan sampai jumpa pula besok pagi,"
Jawab pemuda itu.
Biarpun Maya Dewi tidak membantah lagi, namun ia tetap curiga dan setelah memasuki kamar tidurnya dan merebahkan diri, ia tidak segera dapat pulas. Pendengarannya dicurahkan untuk memperhatikan suara dari kamar di sebelah, kamar Satyabrata.
Tak lama kemudian ia mendengar suara gerakan orang. Biarpun langkah itu perlahan, namun pendengarannya yang tajam terlatih dapat menangkapnya. Suara itu datangnya dari samping kamarnya, dari arah taman. Cepat ia menghampiri jendela kamarnya dan dengan hatihati membuka sedikit daun jendela kamar setelah meniup padam lampu dalam kamarnya. Dan di bawah sinar lampu gantung yang berada dalam taman, ia melihat bayangan orang berjalan memasuki taman. Bayangan Elsye! Maya Dewi mengerutkan alisnya. Mau apa gadis Belanda itu malam-malam memasuki taman? Ia cepat membuka daun jendela dan seperti seekor burung ia melompat keluar jendela tanpa menimbulkan sedikitpun suara. Dari luar ia menutupkan lagi jendela kamarnya kemudian ia menyelinap di dalam bayang-bayang pohon dan bergerak membayangi Elsye yang bergegas memasuki taman.
Taman itu agaknya memang dibangun sebagai pelengkap Loji Tamu, sebuah taman yang cukup indah dan penuh dengan tanaman bunga dan pohon cemara. Di tengah taman terdapat sebuah bangku panjang dan Maya Dewi melihat dua orang duduk di bangku itu. Ia menyelinap mendekati dan mengintai dari balik semak. Alisnya berkerut, hatinya panas melihat bahwa yang duduk di situ adalah Satyabrata dan Elsye. Agaknya Elsye baru datang dan langsung mereka berangkulan, berciuman sambil duduk di atas bangku itu.
"Marilah, Elsye, mari ke kamarku....!"
Satyaabrata membujuk. Maya Dewi semakin panas hatinya karena Satyabrata bicara dalam bahasa Belanda yang tidak dimengertinya. Ia hanya melihat Satyabrata bangkit dan mencoba untuk menyeret tangan Elsye, mengajaknya pergi. Elsye juga menjawab dalam bahasa Belanda.
"Jangan, Jan, jangan begitu... kita dak boleh melakukan itu...."
"Akan tetapi, kita saling mencinta Elsye. Aku cinta padamu."
"Akupun cinta padamu, Jan. Akan tetapi, seperti sudah kuceritakan tadi, aku sudah bertunangan dengan seorang lain sudah menjadi calon isteri Piet....
"
SATYABRATA menghentikan ucapan gadis Belanda itu dengan sebuah ciuman yang bernafsu. Akan tetapi, setelah membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam kemesraan itu, Elsye lalu meronta dan melepaskan dirinya.
"Jan, aku tidak mau. Kalau engkau memaksa, aku akan lapor kepada papa!"
Satyabrata tidak berani memaksa. Elsye bukanlah sembarang gadis yang dapat dijadikan pemuas nafsunya seperti para gadis yang pernah menjadi korbannya. Akan tetapi diam-diam dia lalu mengerahkan aji pengasihan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera yang pernah dipelajarinya dalam sumur tua.
"Elsye, kekasihku !"
Dia berbisik.
"Jan.... ohh.... Jantje....!"
Elsye terkulai dalam rangkulan Satyabrata, sepenuhnya terbuai aji pengasihan Mimi-mintuna yang dikerahkan Satyabrata.
Memang pada dasarnya kedua orang muda itu saling mencinta. Sejak remaja mereka sudah bergaul dekat dan cinta dalam hati mereka yang mula-mula merupakan cinta antara saudara, walaup hanya saudara angkat, namun setela menjelang dewasa mereka saling tertarik dan cinta itu menjadi cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi Satyabrata lalu pergi mengembara sampai lima tahun lebih lamanya. Ketika ditinggal pergi Satyabrata, usia Elsye Van Huisen baru tujuh belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun lebih, sudah dewasa. Karena itu, perpisahannya dengan Satyabrata membuka kesempatan baginya untuk berkenalan dan saling jatuh cinta dengan seorang pemuda lain, seorang pemuda Belanda yang berpangkat letnan dan menjadi pembantu ayahnya, bernama Piet Meijer. Willem Van Huisen menyetujui pilihan puterinya dan mereka telah ditunangkan. Karena itu Elsye tadinya menolak ketika diajak bercumbu oleh Satyabrata. Akan tetapi setelah pemuda itu mempergunakan Aji Pengasihan Mimi-mintuna yang ampuh, Elsye tak berdaya menolak. Mereka saling berangkulan dan berciuman, dan gadis Belanda itupun mandah saja ketika Satyabrata memondongnya dan hendak membawanya pergi dari taman.
Sepasang mata Maya Dewi mengeluarkan sinar berapi ketika ia melihat semua ini. Dapat dibayangkan betapa marah rasa hatinya melihat Satyabrata bercumbu dengan gadis Belanda itu. Hatinya dibakar cemburu. Bukankah pemuda itu mengaku jatuh cinta kepadanya? Dan diamdiam iapun mulai tertarik dan mencintai Pemuda yang sakti mandraguna dan tampan lembut itu. Akan tetapi sekarang ia melihat Satyabrata berangkulan dan berciuman dengan Elsye! Ia tidak dapat lagi menahan kemarahan dan cemburunya. Sekali melompat Maya Dewi sudah berdiri menghadang di depan Satyabrata yang berjalan sambil memondong Elsye yang memejamkan kedua matanya sambil lengannya merangkul leher pemuda itu.
Melihat bayangan berkelebat dan tiba-tiba Maya Dewi berdiri di depannya dengan sepasang mata mencorong marah tu, Satyabrata menjadi terkejut bukan main. Saking kagetnya dia melepaskan pondongannya sehingga Elsye jatuh bedebuk dan gadis ini menjadi sadar, terbebas dari pengaruh aji pengasihan yang tadi menguasai dirinya. Sejenak ia menjadi bingung, lalu teringat akan apa yang ia lakukan bersama Satyabrata. Kini melihat Maya Dewi berdiri di situ, Elsye menjadi malu dan iapun bangkit berdiri dan berlari ke gedung Loji Tamu tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Maya Dewi kini tinggal berdua dengan Satyabrata di tengah taman itu. Mereka berdiri saling berhadapan dan Satyabrata sudah dengan cepat dapat menguasai hatinya. Dia tersenyum dan dengan wajah yang polos dan bersih seolah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah, dia menegur.
"Maya Dewi! Engkau belum tidur? Kebetulan sekali engkau datang, aku pun tidak dapat tidur dan kita dapat bercakap-cakap di sini. Duduklah,"
Kata Satyabrata sambil menunjuk ke arah bangku.
"Akang Satya! Jangan berpura-pura. Apa yang kau lakukan bersama gadis Belanda itu tadi?"
"Ehh"?"
Satyabrata mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya membayangkan keheranan seorang yang tidak mempunyai kesalahan apapun.
"Apa maksudmu? Apa yang kami lakukan?"
"Ehh"..! Masih bertanya lagi? Kalian saling berangkulan, berciuman, dan engkau memondongnya....!"
Tiba-tiba Satyabrata tertawa.
"Ha-hati! Engkau cemburu, Maya? Engkau cemburu terhadap adikku sendiri? Ha-ha, bukankah sudah kukatakan tadi bahwa peluk cium bagi bangsa Belanda adalah hal yang biasa dilakukan kakak beradik? Engkau tahu, aku berpisah dengan adikku itu selama lima tahun lebih. Setelah sekarang kami bertemu, kami menumpahkan kerinduan kami. Peluk-cium itu adalah tanda cinta kami, Maya, akan tetapi cinta antara kakak dan adiknya. Bagi bangsa Belanda, hal itu adalah biasa dan tidak melanggar kesusilaan karena peluk cium itupun bersih daripada perasaan yang tidak-tidak. Percayalah, Maya, Elsye mencintaku dan aku mencintanya, akan tetapi cintaku terhadap dirinya sungguh berbeda sekali dengan cintaku terhadap dirimu!"
Ucapan penuh semangat menggebu dan terdengar penuh kesungguhan itu menyiram padam api kemarahan dan kecemburuan di hati Maya Dewi yang biarpun sakti namun sama sekali belum berpengalaman dalam soal cinta mencinta. Tentu saja ia sama sekali tidak mengira bahwa alasan yang dikemukakan Satyabrata tadi bohong. Biarpun bangsa Belanda lebih terbuka dalam memperlihatkan kasih sayangnya, namun tentu saja cumbuan seorang kakak terhadap adiknya sama sekali berbeda dengan cumbuan seorang pria terhadap kekasihnya! Akan tetapi tidak mengerti akan hal itu dan ia percaya kepada Satyabrata sehingga Maya Dewi mulai tersenyum, sinar matanya tidak mencorong lagi seperti tadi, melainkan bening dan lembut.
Sebagai pengganti perasaan cemburunya, kini ia merasa iri membayangkan kemesraan yang tadi dilihatnya antara Satyabrata dan Elsye.
"Hemm, begitukah? Apa sih bedanya antara cinta saudara dan cinta kekasih itu, akang?"
Tanyanya ingin tahu.
Melihat perubahan sikap gadis itu, Satyabrata mendekat lalu memegang kedua tangan Maya Dewi.
"Kalau engkau ngin merasakannya, bolehkan aku membuktikan kasihku kepadamu, Maya?"
Kedua tangannya menggenggam erat tangan gadis itu. Dengan muka berubah kemerahan dan senyum menantang namun malu-malu, Maya Dewi mengangguk, jantungnya berdebar kencang karena selama hidupnya belurn pernah ia merasa begini dekat dengan seorang pria. Dekat lahir batinnya yang menimbulkan perasaan mesra. Ia pun mengangguk dan menengadahkan mukanya, siap menerima perlakuan mesra seperti yang dilihatnya tadi didapatkan gadis Belanda itu dari Satyabrata.
Satyabrata tidak menyia-nyiakan ke sempatan itu. Dipeluknya Maya Dewi dengan lembut, lalu diciuminya bibir gadi itu dengan sepenuh perasaan cintanya dengan mesra namun lembut karena dia tidak ingin mengejutkan gadis itu. Pada dasarnya Maya Dewi adalah seorang gadis yang sejak kecil terdidik dan berada dalam lingkungan para hamba nafsu, adalah seorang yang lemah terhadap nafsu-nafsunya sendiri. Oleh karena itu, bagaikan daun kering yang tersentuh api yang dinyalakan Satyabrata, ia segera terbakar dan berkobar diamuk api nafsu berahinya sendiri. Ia terkulai dan terlena oleh kenikmatan yang baru saja dikenalnya. Namun, gadis yang cerdik ini setelah beberapa saat membiarkan dirinya hanyut meronta dan melepaskan diri dari dekapan.
"Hemm... kenapa, Maya? Engkau baru mengenal apa artinya cinta. Marilah, kekasihku, kita pindah ke kamar di Loji, d sana kita aman, tidak khawatir terlihat orang lain...."
Satyabrata yang sudah merasa menang, menggandeng tangan gadis tu.
Akan tetapi Maya Dewi melepaskan tangannya dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, belum lagi, akang! Aku masih belum yakin benar akan cintamu. Engkau harus membuktikan itu dengan nyata, baru aku akan percaya dan mau menyerahkan jiwa ragaku kepadamu."
"Membuktikan cintaku? Ah, adindaku yang tersayang, bukti apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkan hatimu? Katakanlah, semua kehendakmu tentu akan kupenuhi untuk membuktikan cintaku."
Maya Dewi tersenyum dan kini ia yang memegang tangan Satyabrata.
"Tenang dan sabarlah, akang. Beri aku waktu unluk memikirkan apa yang harus kaulakukan untuk membuktikan cintamu yang tulus padaku. Sekarang aku ingin tidur. Lihat, tubuhku masih gemetar karena perbuatanmu yang nakal tadi!"
Gadis itu melepaskan tangannya dan membalikkan tubuh, lalu berlari pergi ke bangunan loji sambil tertawa kecil.
Satyabrata berdiri tertegun. Kecewa dan kesal memenuhi hatinya. Dia merasa seolah buah segar yang sudah menempel di bibir luput termakan olehnya. Dan itu terjadi dua kali di malam itu. Pertama Elsye yang gagal didapatkannya karena kemunculan Maya Dewi. Kemudian Maya Dewi sendiri, padahal sudah jelas terasa olehnya betapa Maya Dewi membalas belaian dan cumbuannya, yang berarti bahwa gadis itupun membalas cintanya. Kalau dia tadi mempergunakan aji pengasih annya, alangkah akan mudahnya Maya Dewi terjatuh ke dalam dekapannya.
Akan tetapi berbeda dengan terhadap Elsye, dia tidak mau mempergunakan aji pengasihan terhadap Maya Dewi. Dia menginginkan cinta kasih murni gadis itu, ingin gadis itu menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, tanpa paksaan tanpa pengaruh luar. Dia ingin mendapatkan Maya Dewi yang diharapkan menjadi isterinya. Kalau Elsye, gadis Belanda itu tidak mungkin menjadi isterinya karena pertama, Willem Van Huisen tidak mungkin menyetujui puterinya menjadi isteri seorang blasteran, seorang peranakan, seorang Indo, bukan Belanda tulen yang totok. Kedua, Elsye sudah bertunangan dengan laki-laki lain, seorang pemuda Belanda totok. Ketiga, dia sendiri hanya suka akan kecantikan gadis itu, tidak mencintanya dan tidak mengharapkannya menjadi isterinya. Dia hanya ingin menggauli Elsye sebagai kekasihnya, untuk sementara saja. Dengan hati kecewa Satyabrata kembali ke kamarnya. Diam-diam dia merasa heran dan bertanya-tanya, bukti apa yang dikehendaki Maya Dewi nanti untuk membuktikan cintanya.
Pada keesokan harinya, Satyabrata dan Maya Dewi berpamit kepada Willem Van Huisen yang masih berada di Loji Tamu sebagai tamu kehormatan Pangeran Pekik, untuk memenuhi undangan Senopati Poncosakti yang mengundang mereka untuk bermalarn di rumahnya. Ketika berpamit ini, Satyabrata berunding dengan ayah angkatnya, mengatakan bahwa dia hendak pergi ke Madura untuk membantu Madura menghadapi penyerbuan pasukan Mataram.
Willem Van Huisen juga berjanji untuk mengatur bantuan kepada Madura melalui kapal perang, juga berjanji akan mengusulkan kepada atasannya di Batavia untuk mengangkat Maya Dewi menjadi mata-mata kumpeni tingkat tinggi yang dipercaya. Setelah berpamit, di mana Elsye hadir dengan sepasang alis berkerut dan tidak banyak cakap, Satyabrata dan Maya Dewi mengikuti Senopati Poncosakti yang sudah dating menyambut mereka. Mereka lalu mohon diri dari Pangeran Pekik. Rumah tinggal Senopati Poncosakti cukup besar dan mewah walaupun tentu saja tidak sebesar dan semewah istana Sang Adipati. Akan tetapi Senopati Poncosakti menyambut dua orang tamunya itu dengan penuh keramahan dan penghormatan. Dia bahkan mengajak isterinya dan puterinya yang bernama Mintarsih untuk menyambut. Keramahan keluarga senopati itu membuat Satyabrata dan Maya Dewi merasa lebih senang dan leluasa tinggal di rumah gedung sang senopati. Mintarsih adalah seorang gadis yang ramah dan lincah, juga wajahnya ayu manis.
Sebentar saja ia merasa akrab dengan Maya Dewi dan mengajak Maya Dewi tinggal bersama di kamarnya. Satyabrata mendapatkan sebuah kamar di bagian bangunan samping, sebuah kamar yang cukup indah karena kamar itu memang diperuntukkan para tamu yang dihormati. Maya Dewi juga merasa suka kepada Mintarsih yang kenes dan ramah. Tentu saja kecantikan wajah Mintarsih dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar itu tak luput dari incaran pandang mata Satyabrata!
Melihat pandang mata Mintarsih yang menyinarkan kekaguman, senyum yang malu-malu namun ada daya tarik yang menantang itu, timbul gairah Satyabrata dan dia mengambil keputusan untuk mendekati puteri senopati itu. Dia tidak akan melewatkan kesempatan baik itu! Ketika sore hari itu keluarga senopati menjamu pesta makan, mereka berlima makan di satu meja. Kebetulan Satyabrata duduk tepat berhadapan dengan Mintarsih. Diam-diam ketika pandang mata Mintarsih bertemu dengan panidang matanya, dia mengerahkan aji pengasihannya, diam-diam membaca mantera. Tiba-tiba kedua pipi Mintarsih menjadi kemerahan, matanya redup dan ia menjadi salah tingkah. Akan tetapi Satyabrata tidak melanjutkan ajinya karena maksudnya hanya untuk menarik perhatian gadis itu dan membuatnya tidak lagi mampu melupakannya. Bahkan diam-diam kakinya dijulurkan ke depan
dan dia berhasil menyentuh kaki Mintarsih dengan ujung jari kakinya. Gadis itu tersenyum malu-malu dan menarik kakinya. Akan tetapi Satyabrata merasa yakin bahwa gadis itu tentu tidak akan melupakan semua kejadian kecil ini.
Malam itu Mintarsih bercakap-cakap dengan Maya Dewi sambil rebah di atas pembaringan dalam kamar puteri senopati itu. Mintarsih yang ramah dan lincah itu menghujani Maya Dewi dengan pertanyaan.
"Benarkah engkau bukan adik dari kakangmas Satyabrata, mbakayu Maya Dewi?"
Tanya Mintarsih dengan suara penuh keinginan tahu.
"Bukan, sama sekali bukan. Sudah kukatakan itu tadi, untuk apa aku berbohong?"
Jawab Maya Dewi.
"Lalu bagaimana kalian dapat bertemu dan melakukan perjalanan bersama?"
Sebetulnya Maya Dewi merasa agak tidak senang didesak seperti itu tentang hubungannya dengan Satyabrata, akan tetapi karena sikap Mintarsih demikian ramah dan terbuka, iapun merasa tidak enak kalau tidak menjawab. Maka iapun menwab dengan singkat.
"Kami saling bertemu di jalan dan karena mempunyai tujuan sama, yaitu membantu Madura dan Surabaya menentang Mataram, maka kami melakukan perjalanan bersama dan kebetulan bertemu dengan ayahmu."
"O, begitukah? Kalian tampak serasi sekali, mbakyu. Kakangmas Satyabrata demikian ganteng dan engkau begini cantik. Kukira kalau bukan kakak dan adik kalian tentu suami isteri, tunangan atau setidaknya kekasih!"
Setelah berkata demikian, Mintarsih memandang wajah Maya Dewi penuh selidik. Maya Dewi mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum. Tentu saja ia tidak mau membuka rahasia hatinya kepada setiap orang.
"Ah, kami hanya bersahabat,"
Katanya singkat. Akan tetapi jawaban ini agaknya amat menggirangkan hati puteri senopati itu. Maya Dewi sama sekali tidak mengira bahwa Mintarsih masih terpengaruh sekali oleh aji pengasihan yang diarahkan kepadanya oleh Satyabrata ketika makan bersama sore tadi dan sentuhan kaki itu pun tak pernah lepas dari kenangannya.
Mintarsih memegang lengan Maya Dewi.
"Benarkah itu, mbakayu? Ah, girang sekali hatiku. Aku ingin mengenal dia lebih dekat lagi! Mau engkau membantu mbakayu?"
Maya Dewi merasa sebal dan kesal. Ingin ia menghardik, akan tetapi karena ingat bahwa ia seorang tamu, maka ditahannya kemarahannya. Ia tidak menjawab, melainkan membalikkan tubuhnya membelakangi Mintarsih dan menghadap ke dinding sambil berkata lirih.
"Ah, aku lelah sekali, ingin tidur sekarang...."
Mintarsih tidak berani mengganggu lagi. Akan tetapi gadis ini gelisah di atas pembaringan, tidak dapat tidur. Ia merasa betapa suara Satyabrata memanggil-manggilnya. Telinganya tidak mendengar suara itu, namun ia merasa sekali tarikan panggilan itu yang membuatnya semakin gelisah. Ia tidak berani turun, takut kalau diketahui Maya Dewi. Ia menanti dengan tidak sabar dan akhirnya ia merasa yakin bahwa Maya Dewi sudah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang-panjang teratur. Mintarsih memadamkan lampu, lalu memanggil-manggil nama Maya Dewi. Akan tetapi Maya Dewi benar-benar
(Lanjut ke Jilid 23)
Seruling Gading (Seri ke 02 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
telah pulas. Kalau disentuh sedikit saja tubuhnya, pasti ia terbangun. Akan tetapi karena hanya dipanggil, ia tidak dapat terjaga dan terus tidur nyenyak. Sementara itu Mintarsih merasa betapa suara panggilan Satyabrata semakin kuat berdengung dalam hatinya, menariknya dan membayangkan kemesraan yang rnembuatnya seperti mabok. Akhirnya Mintarsih tidak kuat bertahan lebih lama lagi dan iapun keluar dari kamarnya. Seperti orang mimpi ia berjalan dengan mata terpejam. Sesungguhnya itulah pengaruh ilmu santet yang dilakukan Satyabrata semacam ilmu sihir memanggil semangat yang membuat gadis itu berjalan seperti dalam mimpi dan tidak sadar.
Mintarsih berjalan perlahan menuju ke sebuah kamar, di bangunan samping, kamar di mana Satyabrata tidur! Biarpun langkah gadis itu hampir tidak menimbulkan suara, namun begitu tiba di depan pintu kamar itu, daun pintu terbuka dari dalam dan Satyabrata sudah berdiri menyambut di ambang pintu sambil tersenyum.
"Kakangmas... aku... datang memenuhi panggilanmu...."
Mintarsih berbisik seperti dalam mimpi, lalu melangkah masuk mengikuti Satyabrata yang melangkah mundur ke dalam kamar. Satyabrata mengembangkan kedua lengannya, merangkulnya dan menutup daun pintu kamar itu.
Di antara nafsu-nafsu daya rendah yang amat berbahaya bagi manusia adalah nafsu kemurkaan akan harta benda dan gairah nafsu berahi. Betapa banyakya orang-orang cerdik pandai, orang-orang gagah perkasa, yang jatuh oleh pegaruh kedua macam nafsu ini. Oleh karna itu, setiap orang manusia haruslah berhati-hati sekali menghadapi godaan blis berupa nafsu materi dan nafsu berahi ini. Setiap saat iblis menggoda kita, dengan pameran kesenangan dan kenikatan yang bisa dirasakan melalui harta benda dan pemuasan berahi sehingga kita seringkali lupa bahwa kita diperbudak oleh nafsu dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Tentang Satyabrata kita tidak perlu bicara lagi. Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecil sudah terdidik menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia gila kedudukan, gila kekayaan dan mata keranjang, menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sehingga tidak pantang melakukan kejahatan apapun juga untuk mencapai apa yang diinginkannya.
Akan tetapi Mintarsih sebetulnya adalah seorang gadis baik-baik. Sayang ia terlalu centil dan hatinya mudah tertarik dan jatuh melihat pemuda tampan. Penampilan Satyabrata yang pantas disebut seorang ksatria muda yang halus budi, ramah, sopan, dan sakti mandraguna itu telah membuat ia tertarik sekali. Andaikata tidak demikian, andaikata ia tidak terpikat, kiranya tidak akan mudah bagi Satyabrata untuk menyihirnya dengan ilmu pelet atau aji pengasih. Hati yang bersih selalu memiliki daya tolak yang kuat terhadap serangan tenaga sihir yang kotor.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Maya Dewi terbangun dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya segar karena tidurnya cukup dan semua kelelahannya lenyap. Ia bangkit duduk dan menggelinjang seperti seekor kucing. Kamar itu cukup terang. Ia menengok dan melihat lampu di meja telah padam, akan tetapi ada seberkas sinar memasuki kamar lewat lubang hawa di atas jendela.
"Kakangmas... kakangmas Satya...."
Maya Dewi cepat memandang ke arah tubuh yang rebah telentang di sampingnya. Tubuh Mintarsih. Maya Dewi mengerutkan alisnya melihat keadaan gadis puteri senopati itu. Pakaian gadis itu awut-awutan, kembennya terlepas dan hanya dilibatkan dan diselipkan sembarangan di pinggangnya. Gelung rambutnya terlepas dan rambut itu terurai di atas bantal. Muka gadis itu pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum dalam tidurnya.
Bagaimana mungkin ini, pikir Maya Dewi. M.alam tadi ia melihat sendiri betapa pakaian gadis itu rapi, rambutnya juga digelung rapi, wajahnya dibedaki, bibirnya juga memakai gincu Akan tetapi kini mukanya pucat tidak ada lagi bekas bedak dan gincu, rambutnya acak-acakan dan pakaiannya awut-awutan! Apa yang terjadi? Kalau gadis itu banyak bergerak di waktu tidur, sungguh tidak mungkin, karena tentu ia akan tersentuh dan hal ini akan membuat ia terbangun dari tidurnya. Dan gadis ini tadi menyebut nama Satyabrata, dengan suara yang berdesah manja!
Api cemburu membakar hati Maya Dewi. Sekali ini benar-benar marah. Apalagi yang terjadi kepada puteri senopati ini kalau bukan seperti yang ia gambarkan? Malam tadi, ketika ia sedang tidur, pasti gadis ini keluar kamar dan mengadakan pertemuan dengam Satyabrata! Keadaan diri dan pakaiannya menunjukkan hal itu. Dan gadis ini sebelum tidur semalam telah jelas menyatakan kekagumannya kepada Satyabrata, ingin mengenal pemuda itu lebih dekat!
"Mintarsih ! Mintarsih".. !"
Dengan gemas Maya Dewi mengguncang pundak gadis yang sedang tidur nyenyak itu. Mintarsih terbangun dan membuka matanya. Ketika dalam kagetnya ia melihat bahwa yang menggugahnya adalah Maya Dewi, ia berkata setengah sadar, masih digelut rasa kantuk yang berat.
"Aih.... saya mimpi.., wah, kakangmas Satyabrata amat mencintaku, mbakayu Maya Dewi.... amat mencintaku.... aah . ."
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo