Seruling Gading 25
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Hemm, siapakah para datuk yang membantu Madura itu, anak-mas adipati?"
Tanya Kyai Jayawijaya. Mendengar kakek itu menyebutnya "anak-mas"
Saja, Adipati Pragola tidak menjadi tersinggung. Dia tahu bahwa para pendeta dan pertapa adalah orang-orang sederhana yang tidak terikat oleh segala peraturan.
"Bapa kyai, mereka itu adalah orangorang yang amat terkenal. Menurut para penyelidik kami, di antara mereka terdapat Ki Harya Baka Wulung datuk Madura yang tentu saja membela Madura. Akan tetapi ada pula Wiku Menak Koncar datuk Blambangan, Kyai Sidhi Kawasa datuk dari Banten, Aki Somad, Nyi Maya Dewi, Raden Dibyasakti, Resi Koloyitmo dan seorang pemuda sakti bernama Satyabrata."
"Bukan main! Tiga yang pertama adalah datuk-datuk terkenal yang sesat, dan pemuda itu, hemmm, Satyabrata! Kakang Cangak Awu, bukankah dia itu si Satya yang berkhianat dan yang menjadi mata-mata kumpeni itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia, si keparat busuk!"
Kata Cangak Awu gemas.
"Aku juga mengenal orang yang namanya Satyabrata itu, juga Dibyasakti,"
Kata Muryani, akan tetapi ia termenung. Bagaimana mungkin sekarang Satyabrata membantu Madura? Dan mengapa mereka agaknya membenci Satyabrata? "Mbakayu Retno Susilo, sebetulnya orang macam apakah yang bernama Satyabrata itu?"
"Ah, dia itu seorang yang otaknya miring!"
Retno Susilo berseru marah. Ia sudah men dengar semuanya tentang pemuda itu dari Ki Cangak Awu.
"Dia mata-mata Belanda, menyelundup ke perguruan Jatikusumo, mencuri pelajaran kesaktian yang amat keji dari manusia iblis, lalu membunuh murid Jatikusumo, bahkan hampir membunuh kakang Cangak Awu. Dia gill dan jahat.... jahat sekali, akan tetapi dia memang tampan dan bersikap halus seperti seorang yang baik budi. Dia seorang manusia iblis yang harus dibasmi dari permukaan bumi."
Mendengar ini, wajah Muryani menjadi pucat dan ia termenung. Pria yang begitu baik, pria yang mencintanya dan yang amat menarik hatinya, yang dianggapnya seorang ksatria sakti mandraguna yang gagah perkasa, ternyata dicaci-maki sebagai manusia iblis yang amat jahat!
"Menurut hasil penyelidikan para penyelidik kami, agaknya ada hubungan mesra antara Satyabrata itu dengan Nyi Maya Dewi, seperti suami isteri, tunangan atau kekasih,"
Kata pula Adipati Pragola.
"Aku ingat, pernah aku bentrok dengan Maya Dewi dan ayahnya yang bernama Resi Koloyitmo yang cabul dan jahat. Kalau Satyabrata sejahat dan segila itu, dia merupakan pasangan yang cocok dari Nyi Maya Dewi,"
Kata Parmadi.
"Juga aku pernah bentrok dengan datuk dari Banten Kyai Sidhi Kawasa itu."
Mendengar semua kata-kata itu, Sutejo lalu berkata kepada Adipati Pragola.
"Gusti adipati, ternyata mereka itu adalah musuh-musuh besar yang hampir semua pernah kita lawan. Kami rasa akan mampu menanggulangi mereka."
Adipati Pragola mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Kami percaya bahwa anak-mas sekalian dan paman pendeta akan mampu menanggulangi para datuk itu. Akan tetapi untuk menggerakkan pasukan melakukan penyerangan, kami akan tetap menanti petunjuk Gusti Sultan Agung."
Kyai Jayawijaya tersenyum dan mengangguk.
"Tepat sekali pendapat anak-mas adipati. Mengingat kesalahan yang pernah dilakukan Adipati Sujanapura yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dalam pasukan Mataram karena tindakannya yang grusah-grusuh (gegabah dan tergesa-gesa), memang sebaiknya kalau andika menanti petunjuk dari Gusti Sultan."
Demikianlah, seluruh pasukan Mataram tidak mengadakan gerakan serangan, hanya berjaga-jaga dengan ketat. Pagi itu tidak terjadi sesuatu. Akan tetapi ketika matahari mulai condong ke barat, ada angin bertiup kencang melanda perkemahan yang merupakan benteng pasukan Mataram. Semua perajurit Mataram terkejut dan merasa heran sekali, apalagi ketika tampak ada kabut hitam melayang datang bersama angin itu. Keadaan menjadi gelap dan dalam kegelapan disertai ingin yang menerpa dan menyelimuti seluruh perkemahan itu mulai terdengar suara-suara mengerikan, ada seperti suara tangis menggerung-gerung, ada tawa cekakakan seperti tawa setan, ada suara menggereng-gereng, ada yang memaki-maki, seolah-olah semua iblis dan setan brekasakan lolos dari neraka dan berada dalam kegelapan itu, mendatangkan angin ribut dan suara yang menyeramkan. Para perajurit menjadi ketakutan.
Para ksatria yang paham bahwa semua itu adalah pengaruh santet, guna-guna dan ilmu sihir yang kesemuanya merupakan ilmu hitam yang berasal dari kekuasaan iblis, segera duduk bersila dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Gusti Allah, berlindung di balik Kekusaaan Gusti Allah yang Maha Kuasa. Menghadapi kekuatan gaib ini, kegelapan itu seperti tak berpengaruh lagi dan suara-suara itu mengeluh dan merintih menangis. Angin ributpun menjadi lemah. Akan tetapi agaknya para ahli sihir seperti Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Resi Koloyitmo dan terutama Satyabrata agaknya mengerahkan seluruh tenaga mereka sehingga terjadi adu kesaktian batin yang saling berlawanan, dorong-mendorong, dari pihak Madura berusaha mendobrak dan menggempur, dari pihak Mataram berusaha mempertahankan diri dan menolak.
Karena pihak musuh tidak tampak, semua terbungkus kegelapan embun hitam, maka para senopati dan perajurit Mataram juga tidak berani sembarangan bergerak. Hendak menyerang siapa dan di mana? Seperti menghadapi lawan iblis yang dapat menghilang. Jangan-jangan mereka hanya akan menjadi korban mati konyol, diserang oleh musuh yang tidak kelihatan!
Tiba-tiba terdengar bunyi suling yang melengking-lengking, suara yang amat merdu, namun mengandung getaran hebat, begitu halus, kadang seperti suara angin mempermainkan daundaun pohon, terkadang seperti suara ombak mengalun, gemercik suara air anak sungai bergurau manja dengan batu-batu kali, lalu suara kutu-kutu walang atogo di tengah malarn, kalau diperhatikan, itulah suara alam jagat raya, mendayu-dayu mengandung puji-pujian kepada Gusti Allah Yang Maha Agung dalam laksaan macam bahasa nanun dalam satu arti yang tidak berbeda! Itulah suara Aji Sunyatmaka (Jiwa Bebas) yang berbunyi melalui seruling gading yang dimainkan oleh Kekuasaan Tuhan melalui Parmadi.
Suara-suara dalam gelap itu kini menjerit-jerit, mengeluh seperti dibakar, kemudian lambat laun mereda dan lenyap seperti menipisnya kabut hitam yang kemudian berangsur hilang dan cuaca berubah terang kembali, terangnya waktu nenjelang sore. Dan kini tampaklah delapan orang sakti yang membantu Madura itu! Mereka berdiri berjajar, berdampingan dan agaknya Ki Harya Baka Wulung yang menjadi pemimpin mereka. Para datuk ini tadi terkejut sekali melihat kenyataan betapa sihir mereka yang digabungkan dan amat kuat itu telah dapat dimusnahkan lawan. Akan tetapi setelah melihat siapa yang berdiri di depan mereka, Ki Harya Baka Wulung terkejut dan menutupi kekagetannya dengan tawa besar.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian ini orang-orang muda yang sudah bosan hidup dan mencari mampus! Mundurlah sebelum kalian terlanjur menjadi mayat di tangan kami!"
"Hemm, kalau aku tidak keliru, andika tentu yang bernama Ki Harya Baka Wulung, bukan?"
"Benar, dan aku tahu bahwa engkau bernama Sutejo yang disebut Si Pecut Bajrakirana!"
Jawab Harya Baka Wulung "Kenapa kalian ini orang-orang muda nekat membela Mataram yang sudah akan kalah dan hancur pasukannya? Pergilah kalau ingin selamat!"
"Ki Harya Baka Wulung, kami adala kawula Mataram, tentu saja kami membela Mataram karena lawan Mataram didukung orang-orang seperti kalian. Kalau andika membela Madura, hal itu sudah wajar dan semestinya. Akan tetapi orang-orang ini yang bukan kawula Madura, kenapa ikut-ikutan membela Madura? Mataram berperang melawan Madura, itu urusan kerajaan. Orang-orang seperti kalian ini sesungguhnya tidak berhak mencampuri!"
"Keparat, jangan banyak cakap? Kalau memang ada kesaktian, mari lawan kami!"
Bentak Ki Harya Baka Wulung dan delapan orang sakti pembela Madura itu lalu saling merenggang untuk memberi tempat longgar kepada kawan-kawan mereka agar leluasa bertanding. Melihat ini, Sutejo dan Retno Susilo segera maju menghadapi Ki Harya Baka Wulung. Akan tetapi, seperti sudah diatur lebih dulu, Wiku Menak Koncar dan Kyai Sidhi Kawasa telah bergerak mendampingi Ki Harya Baka Wulung sehingga tiga orang datuk itu kini menghadapi suami isteri dari Gunung Kawi itu. Akan tetapi Sutejo dan isterinya tidak menjadi gentar. Karena maklum bahwa yang dihadapi bersama isterinya adalah tiga orang datuk besar yang sakti mandraguna dari Madura, Banten, dan Blambangan, maka Sutejo segera mencabut pecut sakti Bajrakirana dari pirnggungnya dan Retno Susilo mencabut sebatang pedang yang dibuatkan oleh seorang empu. Pedang itu bentuknya sarna benar dengan pedang Naga Wilis yang hilang dicuri bersama hilangnya puteranya. Ia membuat sebatang pedang Naga Wilis tiruan yang bentuknya seperti naga dengan pamor kehijauan. Pedang ini cukup baik walaupun tentu saja tidak sehebat aselinya yang telah hilang.
Melihat suami isteri itu sudah siap siaga, Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, dan Kyai Sidhi Kawasa membuat serangan pertama mengandalkan aji pukulan mereka yang ampuh. Dengan tubuh hampir berjongkok Ki Harya Baka Wulung mengerahkan Aji Kukus Langking sehingga kedua telapak tangannya tergetar dan mulai mengepulkan asap hitam. Wiku Menak Koncar juga mengerahkan Aji Bayubajra dan kedua telapak tangannya mengeluarkan angin mendesis-desis. Kyai Sidhi Kawasa tidak mau kalah. Dia menggosok kedua tangannya dan telapak tangannya mulai mengeluarkan sinar api menyala! Kemudian, bagaikan diberi komando, ketiganya mendorongkan kedua telapak tangan ke depan dan mulut mereka mengeluarkan seruan lantang.
"Aji Kukus Langking!"
"Aji Bayu Bajra!"
"Aji Anala Banu!"
Asap hitam itu menyambar, angin ribut bertiup, dan sinar api meluncur ke arah suami isteri itu. Akan tetapi Sutejo dan isterinya sudah bersiap-siaga. Sambil mengerahkan tenaga sakti mereka, suami isteri itu menggerakkan senjata masing-masing, membentuk payung atau perisai untuk menyambut datangnya tiga serangan dari depan itu.
"Tar-tar-tarrr"..!"
Pecut Bajrakirana meledak-ledak dan tampak gulungan sinar menyambut serangan tiga orang datuk.
"Wirrr.... singggg....!"
Sinar hijau bergulung-gulung dan itulah gulungan sinar pedang Naga Wilis palsu di tangan Retno Susilo. Serangan tiga orang itu tertolak ke belakang dan Ki Harya Baka Wulung menjadi marah sekali. Dia berseru nyaring dan mencabut kerisnya yang besar panjang berluk sembilan yang mengeluarkan sinar hitam. Wiku Menak Koncar juga menggunakan senjata penggada (ruyung), sedangkan Kyai Sidhi Kawasa mempergunakan tongkat ular kobra. Tiga orang datuk ini menerjang dengan buas, disambut oleh Sutejo dan Retno Susilo dengan trengginas sehingga terjadilah pertandingan tiga lawan dua yang seru.
Sementara itu, Parmadi dapat menduga dari percakapan dengan para ksatria tadi bahwa yang paling berbahaya di antara musuh-musuh itu adalah Satyabrata dan dia dapat pula menduga bahwa Satyabrata tentulah pemuda yang tampan bermata kebiruan berkulit putih yang berdiri di samping Nyi Maya Dewi. Karena itulah diapun langsung melompat ke hadapan Satyabrata.
"Engkau tentu yang bernama Satyabrata, penjahat licik yang menyelundup dan mengacau di perguruan Jatikusumo dan ternyata engkau antek Kumpeni Belanda yang membantu Madura!"
Satyabrata tersenyum dan tampak tenang-tenang saja. Dia memandang rendah pemuda sederhana ini dan sama sekali tidak diacuhkannya karena pandang matanya tertuju kepada Muryani. Sambil menggapai ke arah Muryani dia berkata.
"Nimas Muryani! Engkau di situ? Kesinilah, tempatmu di sini, bersamaku, nimas!"
Dalam ucapan Satyabrata itu terkandung getaran kuat yang seolah memaksa kedua kaki Muryani untuk bergerak maju menghampiri pemuda itu. Ia terkejut sekali, akan tetapi cepat mengerahkan tenaga batinnya dan setelah tiba dekat Parmadi, tiba-tiba ada kekuatan hebat yang menahan dorongan itu. Ia berhenti melangkah dan tahu bahwa Parmadi diam-diam membantunya memunahkan kekuatan sihir Satyabrata. Semalam ia tidak dapat tidur, teringat akan Satyabrata dan mengenang kembali semua perjalanan dan pengalamannya bersama Satyabrata yang membuatnya kini sadar bahwa selama ini ia seolah terbius dan tertipu oleh sikap Satyabrata yang amat baik, manis budi, dan sopan santun.
"Satyabrata, tempatku di sini, bukan di situ bersamamu. Engkau adalah musuhku yang harus kubasmi!"
Satyabrata terbelalak dan pandang matanya kepada Muryani membayangkan kesedihan besar. Sesungguhnya, dia amat mencinta Muryani, bukan sekedar cinta berahi seperti cintanya kepada Maya Dewi dan semua wanita lain.
"Muryani, aku cinta padamu"...!"
Satyabrata sampai lupa bahwa di situ ada Nyi Maya Dewi dan orang-orang lain.
"Hemm, engkau boleh saja menyatakan cintamu kepada siapa saja dengan rayuan gombalmu, akan tetapi aku tidak pernah cinta padamu, aku membencimu! Membencimu!!"
"Akan tetapi".. dulu engkau pernah mengatakan bahwa engkau merasa suka padaku, nimas. Hayo sangkal kalau engkau berani berbohong"!"
"Tidak kusangkal! Dulu aku memang suka padamu sebagai seorang sahabat, karena pandainya engkau berpura-pura. Kusangka engkau manusia baik budi, tidak tahunya engkau adalah iblis sendiri yang memakai kedok orang baik-baik. Kini aku baru menyadari bahwa yang dulu membebaskan Wiku Menak Koncar dan Dibyasakti adalah engkau sendiri! Aku benci kau dan akan membunuhmu ! Haiiittt....!"
Muryani menyerang dengan senjata patrem di tangan kanannya dan aji pukulan Gelap Musti dengan tangan kirinya.
Akan tetapi dari samping Satyabrata, sabuk cinde kencana sudah menyambar dari tangan nini Maya Dewi yang berseru marah dan sinar keemasan sabuknya menangkis serangan Muryani bahkan lalu membalasnya sehingga kedua orang wanita cantik itu sudah saling serang dengan seru.
Parmadi juga sudah menerjang maju, menggerakkan seruling gadingnya sambil berseru.
"Satyabrata, sambut seranganku!"
Satyabrata cepat menggerakkan senjatanya, yaitu Keris Ilat Nogo yang ampuh.
"Trang-trang-cringgg".. !"
Bunga api berpijar ketika dua senjata ampuh itu bertemu dan kedua orang muda yang sama-sama sakti mandraguna itu terlibat dalam pertandingan yang amat seru. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara gerengan nyaring dan sesosok bayangan yang tinggi besar, menerkam dengan kedua lengan terpentang lebar ke arah Parmadi. Parmadi cepat mengelak dan mengelebatkan seruling gading yang mengeluarkan bunyi melengking sehingga getaran suara mengaum Resi Koloyitmo itu menjadi terpental dan membalik. Maka terjadilah perkelahian hebat pula antara Parmadi dan Muryani melawan tiga orang itu.
Ki Cangak Awu, Ketua Perguruan Jatikusumo juga sudah memilih lawan. Dia menggunakan tongkat panjangnya untuk menyerang Dibyasakti. Dua orang yang sama-sama tinggi besar ini sudah saling terjang. Dibyasakti menggunakan keris dan ketua Jatikusumo itu menggunakan tongkatnya.
Sementara itu, Aki Somad, pertapa Nusakambangan yang selalu menentang Mataram itu, melihat bahwa di pihak lawan hanya tinggal seorang yang masih belum mendapatkan lawan. Orang itu adalah Kyai Jayawijaya, pertapa di Lembah Bengawan Solo. Aki Somad tidak mengenal orang ini, maka dia cepat menghampirinya dan setelah saling berhadapan, Aki Somad memandang calon lawannya dengan penuh perhatian. Seperti biasa orang yang dikuasai nafsunya sendiri, Aki Somad juga amat mengagungkan kemampuan sendiri dan selalu memandang rendah orang lain, merasa dirinya sendiri yang paling sakti dan paling hebat.
Melihat wajah dan pakaian lawan biasa saja, dia terkekeh dan bertanya dengan suara mengejek.
"Heh-heh-heh, andika ini siapakah, kisanak? Orang seperti andika ini apakah berani bertanding? Sudahlah, pulang saja dengan tubuh utuh, kasihan isteri, anak dan cucumu kalau sampai engkau mati di sini. Ingat, yang kauhadapi ini adalah Aki Somad yang mbaureksa (menjaga dan berkuasa) Nusakambangan, heh-heh-heh!"
Kyai Jayawijaya memang belum pernah bertemu dengan Aki Somad, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama besar itu. Dia memandang penuh perhatian. Aki Somad berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, bongkok dan punggungnya berpunuk, mukanya memanjang seperti mirip muka kuda, pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung, pergelangan kedua lengan memakai akar bahar dan jari-jari tangannya bercincin dengan akik yang besar-besar!
Kyai Jayawijaya yang wataknya periang itu tertawa terpingkal-pingkal sambil telunjuk kanannya menuding ke arah muka Aki Somad, tak dapat bicara karena tawanya yang membuat dia menekan perutnya. Aki Somad mengerutkan alisnya.
"Heh! Kenapa engkau tertawa-tawa seperti orang gila? Siapa kamu?"
Kyai Jayawijaya menahan geli hatinya.
"Masya'alah! Ada manusia kok seperti ini! Namaku Jayawijaya, tempat tinggalku di Lembah Bengawan Solo. Aku pernah mendengar namamu, Aki Somad, akan tetapi tidak kusangka rupamu seaneh dan selucu ini."
"Setan! Kaukira seperti apa mukaku, heh?"
"Nanti dulu, kulihat! Hemm, engkau bongkok berpunuk seperti seekor onta, akan tetapi mukamu panjang seperti muka kuda dan tingkahmu seperti monyet! Lucunya, ha-ha-heh-hehheh!"
"Keparat busuk!"
Aki Somad marah sekali dan diapun sudah menerjang maju dan menyerang tanpa peringatan lagi. Karena memandang rendah, Aki Somad menyelipkan tongkat ular kering yang tadi dipegangnya ke ikat pinggang dan dia menerjang dengan pukulan kedua tangannya. Akan tetapi tangan yang bagaimana! Kedua telapak tangan itu bernyala! Itulah Aji Tapak Geni yang ampuhnya menggila! Aki Somad ini adalah seorang yang gentur tapa (tekun bertapa) sehingga dia menguasai aji pukulan yang amat ampuh itu. Sebetulnya, di waktu mudanya Aki Somad bukan merupakan seorang yang sesat, dia tekun bertapa, bahkan pernah dia mencari dan bertemu dengan Resi Tejo Wening untuk mohon diberi ilmu yang tinggi. Akan tetapi kakek pendeta itu menangguhkan dan mengatakan bahwa kelak, kalau sudah matang jiwanya, mungkin dia akan dapat menerima suatu ilmu. Dan kepergian Aki Somad ke Madura untuk membantu Madura menghadapi Mataram bukan lain karena pertama, Mataram pernah mengirim penyelidik untuk menyelidiki keadaan Nusakambangan sehingga menimbulkan perasaan tidak senang di hatinya. Kedua, dia tergoda bujukan Ki Harya Baka Wulung yang mengunjunginya dan minta bantuannya, dan ketiga, dia ingin rnengukur tingkat kesaktiannya
dengan bertanding melawan orang-orang Mataram yang terkenal sakti mandraguna.
Melihat serangan dua buah telapak tangan yang bernyala itu, Kyai Jayawijaya tidak menjadi gentar. Bagaimanapun juga, dia adalah cucu murid Sunan Kalijaga, wali yang bijaksana dan sakti mandraguna itu. Maka, begitu dua telapak tangan itu menyambar, dia cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan Tapak Lesus. Aji pukulan ini mernbuat dua telapak tangannya mengeluarkan angin yang berputar amat kuatnya. Akan tetapi Aki Somad dapat menghindarkan dan dua orang sakti inipun sudah bertanding dengan seru seperti yang lain.
Pertempuran antara orang-orang sakti itu terjadi dengan amat hebatnya. Tidak ada perajurit Mataram yang ikut bertempur. Mereka memang dilarang oleh Adipati Pragola yang melihat betapa para datuk itu bertempur mempergunakan aji kesaktian yang ampuh dan ilmu sihir sehingga kalau ada perajurit yang maju, sama saja dengan bunuh diri. Juga dia mengerti bahwa para ksatria itu akan merasa tersinggung kalau dalam pertandingan mereka itu mereka dibantu banyak perajurit yang mengeroyok musuh.
Pertempuran antara para pendukung Madura yang delapan orang banyaknya melawan enam orang pendukung Mataram itu memang hebat bukan main. Tak dapat diragukan lagi bahwa pertempuran sehebat itu pasti hanya dapat berakhir apabila satu pihak dapat dirobohkan dan terbunuh. Bahkan sudah tampak beberapa orang di antara mereka terluka, walaupun tidak parah dan masih dapat melakukan perlawanan dengan gigih. Sutejo dan Retno Susilo sudah menderita lecet diserempet senjata tiga orang datuk yang mengeroyok mereka, namun ujung cambuk sakti Bujrakirana juga sudah sempat mencium pundak Ki Harya Baka Wulung dan paha Wiku Menak Koncar!
Parmadi dan Muryani juga merasa lelah sekali melayani tiga orang lawannya yang amat tangguh. Walaupun mereka belum kalah, namun Satyabrata, nini Maya Dewi dan Resi Koloyitmo sudah mendesak dan melukai pundak Muryani yang tersentuh ujung sabuk cinde kencana di tangan Maya Dewi walaupun sebaliknya Parmadi sudah melakukan dorongan ampuh, yang membuat Resi Koloyitmo terhuyung dan sebuah tendangannya menyerempet paha Maya Dewi sehingga menimbulkan rasa nyeri.
Dibyasakti yang bertanding melawan Ki Cangak Awu menemui lawan yang seimbang sehingga pertandingan antara kedua orang pria tinggi besar ini amat ramainya. Demikian pula Aki Somad menemukan tandingan yang sukar dikalahkan dalam diri Kyai Jayawijaya. Tiba-tiba Resi Koloyitmo mengeluarkan sebuah senjata nenggala (tombak kedua ujung runcing) yang berwarna hitam dan sambil mengeluarkan pekik yang membuat bumi tergetar dia menerjang ke arah Parmadi. Itulah pekik yang disebut Aji Singanada, seolah-olah auman seekor singa marah dan nenggalanya berubah menjadi sinar yang hitam dan besar menusuk ke arah dada Parmadi yang sedang menangkis tusukan keris Ilat Nogo yang dilancarkan Satyabrata.
"Tranggg"!"
Keris di tangan Satyabrata terpental bertemu dengan seruling gading dan pada seat itulah nenggala di tangan Resi Koloyitmo menyambar dengan tusukan ke arah dada Parmadi. Pemuda perkasa ini terkejut karena maklurn bahwa lawannya menggunakan serangan maut yang amat berbahaya. Dia juga mengerahkan aji pamungkas yang didasari penyerahan kepada Kekuasaan Gusti Allah. Tangan kirinya menyambut ujung nenggala yang menusuk dadanya.
Resi Koloyitmo merasa betapa nenggalanya bertemu dengan hawa lunak seperti air yang menyedot dan seluruh tenaganya terasa tenggelam. Tiba-tiba Parmadi mengerahkan tenaganya, mendorongkan senjata yang kedua ujungnya runcing itu ke arah pemilik senjata itu.
"Wuut... cepp".auughhh".!!"
Resi Koloyitnio yang saat itu sedang kosong tenaganya yang tadi terasa seperti tenggelam tidak dapat mencegah menancapnya ujung belakang nenggalanya sendiri di ulu hatinya dan diapun roboh terjengkang dan tewas seketika. Nini Maya Dewi terkejut melihat ayahnya roboh dan tewas. Ia tidak merasa terlalu sedih karena memang tidak ada rasa sayang dalam hatinya terhadap orang tua itu, akan tetapi ia terkejut dan juga gentar.
Akan tetapi pada saat itu terdengar sorak-sorai menggegap gempita dari laut dan banyak sekali perahu datang mendarat, membawa perajurit-perajurit Mataram yang berlompatan ke darat mernbawa panji-panji mengiringkan seorang kakek yang dipikul di atas tandu. Pasukan itu besar jumlahnya dan semangat mereka meriggebu-gebu.
Para datuk pendukung Madura yang melihat ini, menjadi jerih apalagi mengingat bahwa Resi Koloyitmo yang tangguh telah tewas dan mereka sendiripun agaknya sukar untuk mengalahkan para pendekar pendukung Mataram. Melihat datangnya pasukan demikian banyak dan penuh semangat, mengiringkan seorang kakek yang duduk di atas tandu dengan tenangnya, mereka menjadi jerih dan tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri di senja yang mulai menjelang.
Siapakah kakek yang dipukul tandu dan memimpin pasukan yang baru mendarat itu? Dia adalah seorang senopati Mataram yang sudah berusia lanjut bernama Kyai Juru Kiting yang pernah menjadi senopati di jamannya kakek dari Sultan Agung, yaitu Senopati Ing Alogo Sayidin Panotogomo pendiri Mataram. Karena jasanya yang besar, ketika Sultan Agung menjadi raja, Kyai Juru Kiting dianggap sebagai sesepuh dan diapun tidak diberi tugas, namun amat dihormati dan selalu dimintai nasihatnya.
Ketika Sultan Agung menerima laporan dari Adipati Pragola tentang serbuan mendadak pasukan Madura sehingga menjatuhkan banyak korban, bahkan Adipati Sujanapurn juga tewas sampyuh dengan lawannya, yaitu Adipati Pamekasan dan selanjutnya Adipati Pragola mohon petunjuk sang raja, Sultan Agung segera memanggil Kyai Juru Kiting. Kakek ini tergopohgopoh datang menghadap karena kalau sampai sang prabu memanggil dia yang sudah tua renta, pasti ada masalah yang teramat penting.
Setelah datang menghadap dengan napas terengah, alangkah kaget hati kakek tua renta ini ketika Sang Prabu Sultan Agung menunjuknya sebagai senopati perang yang harus memimpin pasukan dan seketika berangkat menyeberang ke Madura untuk membantu pasukan Mataram yang kini dipimpin oleh Adipati Pragola. Kyai Juru Kiting menjatuhkan diri berlutut menyembah rajanya.
"Duh gusti junjungan hamba. Bagaimana paduka mengutus hamba yang sudah tua Bangka ini untuk maju berperang? Bergerak sedikit saja hamba sudah terengah-engah. Masih banyak para senopati paduka yang muda dan tangguh, gusti, sebaiknya mengutus mereka:"
"Tidak, paman Kyai Juru Kiting. Menurut wawasanku, justeru andikalah yang akan mampu menggerakkan semangat para pasukan sehingga mencapai kemenangan dalam perang menundukkan Madura ini. Kumpulkan perajurit dan berangkatlah, paman, sekarang juga. Kalau perlu andika naik tandu. Semoga Sang Hyang Widhi membimbingmu."
Kyai Juru Kiting tidak dapat membantah lagi. Maka berangkatlah dia bersama pasukannya menyeberang ke Madura. Para perajurit memang menjadi besar hati melihat betapa senopati tua ini masih bersemangat untuk maju berperang. Mereka percaya akan kesaktian senopati tua ini. Demikianlah, kebetulan sekali pasukan yang dipimpin Kyai Juru Kiting ini mendarat pada saat para datuk pendukung Madura sedang bertanding melawan para pendekar yang membela Mataram, sehingga membuat para datuk menjadi jerih dan melarikan diri.
Tentu saja pihak Madura menjadi penasaran dan ingin tahu tentang keadaan pasukan bantuan dari Mataram itu. Mereka rnenyebar penyelidik untuk menguasai gerak-gerik pasukan Mataram. Pada keesokan harinya, setelah semalam mengadakan perundingan dengan Adipati Pragola dan para pembantunya, termasuk para pendekar yang menjadi pembantu suka rela, Kyai Juru Kiting lalu melakukan aji kesaktiannya untuk mempengaruhi dan membangkitkan semangat para perajurit. Dia memerintahkan agar bagian ransum menanak nasi yang secukupnya.
Kemudian dengan tangannya sendiri, dia membagi rata nasi itu kepada semua perajurit. Lalu dia dipikul di atas tandu dan mengelilingi pasukan sebanyak tiga kali putaran. Setelah itu, dengan duduk di atas tandu yang berada di puncak sebuah bukit kecil, dia memerintahkan semua perajurit untuk menengadah memandang langit kemudian menunduk ke bawah memandang bumi. Entah kekuatan apa yang membakar semangat para perajurit saat itu. Mereka bersorak dengan penuh semangat bertempur.
Para penyelidik yang melihat ini bergegas memberi laporan kepada atasan masing-masing. Mendengar laporan ini, Raden Prasena yang menjadi penguasa di Sampang menjadi gentar hatinya dan timbul keraguan untuk melawan pasukan Mataram yang didukung demikian banyaknya orang sakti. Setelah mengerahkan tenaga saktinya dan berhasil menggelorakan semangat semua perajurit Mataram, dipimpin oleh Adipati Pragola dengan bimbingan nasihat Kyai Juru Kiting, mulailah pasukan Mataram bergerak melakukan serangan besar-besaran. Ketika bertemu dengan pasukan Sampang, tanpa perlawanan berarti Sampang lalu menakluk. Raden Prasena menakluk dan menyerahkan diri, diterima dengan baik oleh Kyai Juru Kiting dan menjadi seorang tawanan yang mendapat perlakuan cukup baik dan terhormat.
Tentu saja Adipati Pragola dun Kyai Juru Kiting girang sekali melihat Raden Prasena menakluk sehingga pertempuran besar dengan Sampang dapat dihindarkan. Kalau semua kadipaten di Madura menakluk seperti Sampang, tentu perang itu akan dapat segera diselesaikan tanpa banyak menunnpahkan darah, tanpa banyak mendatangkan korban yang sama sekali tidak rnereka kehendaki, bahkan Sultan Agung sendiri tidak menghendakinya.
Akan tetapi ternyata tidak demikian sikap para adipati yang lain. Pangeran Mas Arisbaya melakukan perlawanan mati-matian. Dengan bantuan para adipati lain yang menggabungkan pasukannya, mereka melawan sekuat tenaga. Apalagi mereka dibantu pula oleh para datuk yang mengamuk dalam setiap pertempuran. Akan tetapi, pihak Mataram memiliki jumlah perajurit yang besar sekali dan mereka juga dibantu oleh para pendekar. Setiap kali Ki Harya Baka Wulung, Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Dibyasakti, Maya Dewi dan Satyabrata mengamuk, mereka selalu dihadang para pendekar, di antaranya Parmadi, Muryani, Sutejo, Retno Susilo, Ki Cangak Awu, Kyai Jayawijaya dan para senopati Mataram yang digdaya.
Dalam perang campuh yang terjadi beberapa hari lamanya, pasukan Madura terus didesak dari barat sampai ke ujung timur dan dalam suatu pertempuran mati-matian, Raden Dibyasakti, putera Ki Harya Baka Wulung, roboh dan tewas. Hal ini membuat Ki Harya Baka Wulung menjadi sedih bukan main, juga membuat dia lemas dan tidak bersemangat lagi walaupun kematian puteranya itu menanamkan bibit kebencian yang sangat besar dalam hatinya terhadap Sultan Agung di Mataram. Kemunduran semangat Ki Harya Baka Wulung mempengaruhi semangat para datuk lain yang membantunya. Bahkan Satyabrata yang belum juga melihat munculnya bantuan kumpeni seperti yang dia janjikan, merasa tidak enak kepada Ki Harya Baka Wulung dan pada suatu malam, diam-diam dia menghilang bersama Nini Maya Dewi, entah ke mana tidak seorangpun mengetahuinya.
Setelah Satyabrata dan Nini Maya Dewi menghilang, kini tinggal empat orang datuk yang membantu pasukan Madura, yaitu Ki Harya Baka Wulung sendiri, dibantu Wiku Menak Koncar, Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad. Biarpun mereka berempat rnembantu sekuat tenaga, namun akhirnya pasukan Arisbaya dapat dikalahan sehingga adipatinya, Pangeran Mas Arisbaya melarikan diri ke Giri. Adapun empat orang datuk itupun terpaksa melarikan diri. Tiga orang datuk yang membantu Ki Harya Baka Wulung kembali ke kerajaan masing-masing sedangkan Ki Harya Baka Wulung sendiri mengawal Pangeran Mas mengungsi ke Giri.
Pangeran Balega ditangkap pasukan Mataram setelah pasukannya hancur, tadinya hendak dibawa ke Mataram sebagai tawanan, akan tetapi di Jurang Jero dia dibunuh. Pasukan Sumenep dan lain-lain juga kalah. Adipati Sumenep sendiri melarikan diri akan tetapi terbunuh dalam pelariannya.
Demikianlah, seluruh Madura takluk dan dikuasai Mataram. Akan tetapi, sesuai dengan niat semula ketika menundukkan semua daerah, yaitu hendak mempersatukan mereka agar bersatu dan kuat menghadapi Kumpeni Belanda, Sultan Agung bukannya menjajah Madura. Sultan Agung menerima Raden Prasena yang dibawa ke Mataram oleh Kyai Juru Kiting, bahkan menganggapnya sebagai anak angkat dan memberinya gelar Pangeran Cakraningrat. Kemudian, Raden Prasena atau Pangeran Cakraningrat inilah yang diangkat menjadi penguasa seluruh Madura dengan berkedudukan di Sampang. Dengan demikian berarti bahwa Madura bukan menjadi taklukan, melainkan menjadi sekutu yang baik dari Mataram.
Setelah perang selesai, para pendekar dibujuk oleh Kyai Juru Kiting untuk dibawa menghadap Sultan Agung. Sultan Agung mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka, akan tetapi sia-sia saja ketika raja itu hendak menghadiahkan pangkat kepada mereka. Mereka memilih hidup sebagai kawula biasa, tidak terikat oleh kewajiban negara.
Kyai Jayawijaya kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di Lembah Bengawan Solo. Ki Cangak Awu kembali ke perguruan Jatikusumo. Sutejo dan Retno Susilo melanjutkan perantauan mereka untuk mencari anak mereka yang hilang. Seperti juga semua pendekar yang lain, Parmadi dan Muryani menerima hadiah masingrnasing seekor kuda yang baik dari Sultan Agung. Hadiah ini terpaksa mereka terima karena kalau ditolak, tentu mendatangkan perasaan tidak enak. Setelah berpisah dari yang lain, Parmadi dan Muryani menunggang kuda keluar dart kota raja Mataram. Mereka menjalankan kudanya dengan congklang dan santai. Setelah tiba di luar pintu gerbang, mereka menahan kuda masingmasing.
"Nimas Muryani, sekarang kita boleh bernapas lega. Sudah selesai tugas kita membantu Mataram menaklukkan Madura."
"Benar, kakang. Dan aku akan kembali ke Gunung Muria. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, maka guruku Ki Ageng Branjang kini merupakan pengganti orang tuaku."
"Ah, kenapa engkau berkecil hati, nimas? Bukankah di sini ada aku yang akan melindungi dan menemanimu selamanya? Aku akan mengantarmu sampai ke Gunung Muria, kemudian aku akan mencari dulu keluarga orang tuaku di Pasuruan, agar aku mendapatkan pengganti orang tuaku atau wali. Setelah itu, baru aku akan datang bersama waliku ke Gunung Muria untuk meminangmu kepada paman Ki Ageng Branjang."
Muryani mengangguk.
"Memang tidak perlu kita tergesa-gesa dalam hal perjodohan, kakang. Berilah aku waktu untuk mempertimbangkan secara mendalam. Selain engkau akan mencari keluarga orang tuamu, juga aku masih merasa penasaran tentang diri Satyabrata yang telah menipuku. Aku tidak akan merasa tenang kalau jahanam itu belum terbasmi dari muka bumi. Juga, kita masih harus bersiap siaga membantu Mataram kalau sewaktu-waktu Mataram berperang melawan Surabaya dan Giri, dua daerah yang belum tunduk. Setelah itu, barulah kita benar-benar dapat bernapas lega dan boleh bicara tentang perjodohan."
"Aku setuju, nimas. Mari kita berangkat."
Dua orang muda yang elok itu membalapkan kuda mereka dan sebentar saja dua ekor kuda itu berlari cepat, meninggalkan debu mengepul tinggi. Sampai di sini episode pertama dari kisah Seruling Gading yang menceritakan sekitar jatuhnya Madura oleh Mataram telah tamat. Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca. Bagaimana dengan kisah selanjutnya tentang Parmadi Si Seruling Gading dan Muryani? Bagaimana pula dengan Satyabrata dan Nini Maya Dewi, dan para tokoh lain? 344Kalau tiada aral melintang mudah-mudahan kita dapat bertemu kembali dengan mereka dalam episode berikutnya, yaitu "Geger Surabaya dan Giri".
TAMAT
Didit, http://indozone.net/literatures/literature/316
15 Juni 2008 jam 1:32pm
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo