Tiga Dara Pendekar Siauwlim 4
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Akan tetapi, baru saja ia hendak melangkahkan kakinya menginjak bambu pertama, tiba-tiba sebuah benda hitam menyambar bambu itu dan dengan mengeluarkan suara keras, bambu itu terpukul oleh benda tadi sehingga melintang di atas air! Berbarengan dengan itu, terdengar suara ketawa yang nyaring di belakang gadis itu. Siang Lan segera berpaling dan ia melihat seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya masih nampak cantik, dengan pakaian yang ringkas yang terbuat dari bahan pakaian yang indah dan mewah, berwarna hijau dengan berkembang merah. Wanita itu selain berpakaian aneh, juga pada kepalanya dihias penuh dengan bunga-bunga merah sehingga ia seakan-akan terkurung oleh warna merah yang menyilaukan!
"Hi-hi-hi!"
Suara tertawanya penuh ejekan dan tarikan mulutnya mendatangkan rasa seram karena membayangkan kekejaman hebat.
"Orang yang sudah berani lancang masuk ke sini, tidak boleh pergi begitu saja, harus meninggalkan dulu barangnya yang paling indah dan berharga!"
Siang Lan bertanya kepada diri sendiri, apakah ia menghadapi seorang perampok atau seorang gila.
"Barang apakah yang kau anggap paling indah dan berharga?"
Ia bertanya dan masih bersikap tenang.
"Ha-ha-ha! Yang paling indah hanya kepalamu! Kau harus tinggalkan kepalamu! Ha-ha-ha!"
Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu ia telah mencabut keluar siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya.
"Hm, kau mencari penyakit!"
Kata Siang Lan yang juga mencabut pedangnya sambil menanti dengan sikap tenang.
"Sebetulnya kau ini siapakah maka bersikap demikian kurang ajar terhadap seseorang yang belum kau kenal?"
Wanita itu nampak tercengang melihat sikap Siang Lan yang tetap tenang seakan-akan tidak merasa takut sama sekali. Kedua matanya berubah sungguh-sungguh dan tajam sinarnya ketika ia memandang lagi dan berkata,
"Bukan aku yang kurang ajar, tetapi kau sendiri yang tidak tahu aturan! Kau menginjak daerah kekuasaan orang lain tanpa minta ijin terlebih dahulu!"
Siang Lan merasa makin heran.
"Daerah siapakah ini dan aku harus minta ijin kepada siapa?"
"Anak bodoh dan hijau seperti kau mengapa keluar masuk seorang diri sambil membawa pedang? Tidak tahukah bahwa daerah ini berada di bawah kekuasaan Ang-hoa Siang-mo? Sekarang kebetulan sekali kau bertemu dengan aku, Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah), kalau kau bertemu dengan anak buahku, jangan harap diberi kesempatan buka mulut! Sekarang melihat bahwa kau seorang anak-anak yang masih bodoh dan hijau maka aku memberi kesempatan hidup kepadamu dengan syarat bahwa kau harus menghadapi sepasang pedangku ini sampai tiga puluh jurus! Kalau dalam tiga puluh jurus kau dapat melawanku tanpa terluka, kau boleh keluar dari tempat ini dengan aman!"
"Kalau aku tidak tahan melawnamu dalam tiga puluh jurus, lalu bagaimana?"
Tanya Siang Lan. Ang-hoa Mo-li tertawa terkekeh-kekeh ketika menjawab,
"Anak bodoh! Kalau begitu halnya, tentu saja kau menggelinding di atas tanah ini tanpa berkepala lagi! Ha-ha-ha-ha!"
Kini Siang Lan dapat menduga bahwa perempuan ini tentulah seorang penjahat yang kejam dan ganas dan patus saja disebut Ang-hoa Mo-li atau Iblis Perempuan Bunga Merah, karena kekejamannya memang seperti seorang iblis saja yang mempermainkan orang lain sesuka hatinya. Maka ia menjadi mendongkol juga dan berkata dengan tenang,
"Ang-hoa Mo-li, kau orang tua yang tak patut dihormati. Ketahuilah bahwa aku sedikitpun tidak takut kepadamu dan mari kita mencoba-coba kepandaian, hendak kulihat apakah kau kuat menghadapiku sampai tiga puluh jurus!"
Dengan marah sekali Ang-hoa Mo-li mendengar ucapan ini, sudah menjadi kebiasaannya mempermainkan orang lain, dan belum pernah ada orang yang berani mengucapkan tantangan seperti gadis ini yang bahkan membalikkan ucapan tadi dan kini menyindir bahwa ia takkan kuat menghadapi gadis ini dalam tiga puluh jurus! Ang-hoa Mo-li mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya lalu menubruk maju sambil memutar sepasang pedangnya. Melihat gerakan iblis perempuan ini cukup gesit, maka Siang Lan berlaku hati-hati, menangkis serangan lawannya dan maju membalas dengan serangan yang tak kalah cepat. Mula-mula Ang-hoa Mo-li menganggap ringan kepada gadis muda itu, dan ia hanya melakukan serangan biasa saja, hendak mengandalkan tenaganya untuk merobohkan Siang Lan dalam beberapa jurus saja,
Akan tetapi setelah berkali-kali ia menyerang tanpa hasil bahkan pedang lawan itu dengan gerakan yang luar biasa melakukan serangan balasan yang sukar sekali ditangkis, ia mengeluarkan seruan tertahan saking kagum dan merubah gerakannya dengan cepat. Kini ia memainkan ilmu pedang yang cepat dan ganas sekali gerakannya. Kedua pedang di tangan menyambar ke kanan ke kiri dan seakan-akan mengurung tubuh Siang Lan dengan sinar pedang itu. Akan tetapi kembali Ang-hoa Mo-li terkejut sekali karena tiba-tiba ia lihat sinar pedang alwannya itupun dirubah dan dimainkan dengan lebih cepat lagi daripada gerakannya sendiri! Kedua pedang di tangannya selalu tertumbuk dengan pedang tunggal di tangan gadis itu dan yang membuatnya makin terkejut adalah rasa kesemutan yang terasa oleh telapak tangannya tiap kali pedangnya beradu dengan pedang gadis itu!
Makin cepat ia mainkan pedang di kedua tangannya, makin cepat pula gerakan lawannya sehingga akhirnya ia tidak dapat melihat lagi bayangan lawannya, karena sinar pedang di tangan Siang Lan benar-benar dimainkan dengan cepat sekali! Barulah Ang-hoa Mo-li maklum orang macam apakah sebenarnya gadis muda yang cantik jelita ini dan ia mengeluh. Jangankan merobohkan dalam tiga puluh jurus, bahkan seperti yang dikatakan gadis tadi, belum tentu ia dapat mempertahankan diri sampai tiga puluh jurus! Setelah pertempuran berjalan dua puluh jurus, pedang di tangan Siang Lan perlahan-lahan mulai mendesak dengan hebat dan permainan siang-kiam dari iblis perempuan itu mulai menjadi kacau. Pada saat itu, terdengar seruan keras,
"Niocu, jangan takut aku membantumu!"
Siang Lan memandang dan melihat seorang laki-laki tinggi kurus yang usianya sebaya dengan perempuan itu, memakai pakaian yang aneh dan di kepalanya juga terhias kembang-kembang merah. Ia dapat menduga bahwa ini tentulah suami perempuan ganas itu, karena menurut kata Ang-hoa Mo-li tadi, yang menguasai daerah ini adalah Siang-mo atau sepasang iblis.
Memang benar dugaannya, laki-laki yang baru datang ini berjuluk Ang-hoa Sin-mo (Iblis Bunga Merah) atau suami dari Ang-hoa Mo-li. Ang-hoa Sin-mo memegang senjata yang panjang dan berbahaya yakni yang disebut Coa-kut-thi-pian (Pecut Besi Tulang Ular). Pecut ini adalah sebatang rantai besi yang semakin ke ujungnya semakin kecil, sedangkan sambungannya disambung seperti tulang ular sehingga dapat digerakkan seperti ular. Ketika Ang-hoa Sin-mo menggerakkan thi-pian itu, membantu isterinya, Siang Lan merasa angin pukulannya menyambar dengan ganas dan keras, maka ia cepat mengelak dan berlaku hati-hati sekali. Karena dari serangan ini saja maklumlah bahwa laki-laki ini memiliki kepandaian dan tenaga yang lebih lihat dari isterinya.
Ia lalu memainkan ilmu pedang yang khusus diciptakan oleh gurunya, yakni Toat-beng Sian-kouw, yang mendasarkan ilmu pedang ini kepada ilmu pedang dari Siauw-lim-pai, Thai-kek, Kun-lun dan lain-lain ilmu pedang yang pernah dipelajari oleh wanita pertapa yang sakti itu. Seperti juga Ang-hoa Mo-li tadi, Sin-mo ini terkejut sekali melihat gerakan pedang gadus muda yang cantik ini dan ia berusaha untuk menggunakan thi-piannya untuk menggempur pedang Siang Lan dan mengandalkan tenaganya yang besar untuk merampas pedang itu. Akan tetapi Siang Lan yang cerdik dan bersikap amat tenang itu tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan pecut besi yang berat dan kuat, maka dengan menandalkan kegesitannya dan ketenangan gerakannya, ia dapat mengimbangi keroyokan suami isteri iblis bunga merah ini! Ang-hoa Siang-mo, suami isteri itu ketika melihat betapa lihainya nona ini, menjadi penasaran sekali.
Sin-mo lalu memutar thi-piannya dengan cepat sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, sedangkan Mo-li tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Tak lama kemudian, muncullah belasan orang yang tinggi besar dan bersikap buas. Mereka berteriak dan mengurung Siang Lan yang menjadi terkejut karena maklum bahwa yang datang ini tentu anak buah iblis bunga merah itu! Akan tetapi, Siang Lan dapat menenangkan hatinya dan melawan dengan mati-matian. Ang-hoa Sin-mo berseru melarang orang-orangnya yang hendak maju mengeroyok, karena ia merasa penasaran sekali. Benarkah ia dan isterinya yang telah terkenal sebagai sepasang suami isteri yang berkepandaian tinggi tak dapat merobohkan anak kecil ini? Ia benar-benar penasaran, dan pada saat dia menahan pedang lawannya dengan cambuk besinya, ia berseru,
"Tahan dulu!"
"Apa kehendakmu?"
Tanya Siang Lan dengan tenang sehingga Ang-hoa Sin-mo merasa kagum sekali. Belum pernah ia melihat seorang gadis muda yang berkepandaian selihai dan bersikap setenang ini walaupun ia telah dikurung oleh Ang-hoa Siang-mo dan anak buahnya yang menggemparkan dunia liok-lim (dunia perampok).
"Kau yang semuda dan selihai ini sebenarnya anak murid siapakah? Mungkin aku telah kenal gurumu dan melihat muka gurumu aku akan dapat memberi ampun kepadamu."
Siang Lan tersenyum manis sungguhpun pandangan matanya mengandung ejekan.
"Ang-hoa Siang-mo, kalian sombong dan sama kasarnya, dan kalian berdua memang cocok untuk berpasangan. Jangan kau main gertak, aku sedikitpun tidak takut kepadamu atau kepada semua kawan-kawanmu ini. Kalau kau ingin tahu keadaanku, aku adalah anak murid Siauw-lim-pai. Lebih baik kau jangan menggangguku dan membiarkan aku pergi dari sini, karena kalau kau lanjutkan kekurang ajaran kalian, kurasa kau akan menderita dan akan menyesal."
Biarpun Ang-hoa Siang-mo merasa kagum sekali dan heran melihat masih ada anak murid Siauw-lim-pai yang demikian lihai dan begitu berani keluar ke dunia kang-ouw, akan tetapi sebagai seorang tokoh persilatan besar tentu saja ia tidak sudi mengalah begitu saja.
"Aha, sombong benar kau! Benarkah kau tidak takut kepada kami? Beranikah kau menghadapi Ang-hoa-tin (Barisan Bunga Merah) kami?"
Siang Lan adalah seorang gadis yang tabah dan tenang sungguhpun ia belum pernah mengenal tentang barisan Ang-hoa-tin ini, akan tetapi ia merasa malu untuk mundur.
"Kalau memang kalian ingin mengeroyok aku, mengapa mesti menggunakan alasan pura-pura? Tak usah banyak cakap, mau mengeroyok, keroyoklah, aku sedikutpun tidak takut!"
"Sombong sekali!"
Seru Ang-hoa Mo-li yang menggerakkan siang-kiamnya lagi, akan tetapi suaminya mencegah dan berkata lagi kepada Siang Lan.
"Kami akan membentuk Ang-hoa-tin dan kalau kau benar-benar dapat keluar dari kepungan kami, tidak saja kau akan dibebaskan, bahkan kami semua akan mengaku kau sebagai guru kami!"
Kata Ang-hoa Sin-mo yang segera memberi aba-aba kepada kawan-kawannya.
Anak buah Ang-hoa Siang-mo ini berjumlah sebelas orang, sehingga bersama kedua suami isteri yang menjadi pimpinan itu, mereka berjumlah tiga belas orang. Dengan cepat setelah menerima aba-aba ini, mereka bergerak mengurung Siang Lan dengan lingkaran yang lebar. Semua orang mengeluarkan senjata masing-masing yang berupa pedang dan golok dan sebelum bergerak, mereka lebih dulu mengeluarkan bunga-bunga merah dari saku baju dan memakainya di atas kepala. Siang Lan memasang kuda-kuda dengan tenang dan memperhatikan para pengurungnya dengan penuh kewaspadaan. Mereka itu berjalan perlahan-lahan mengitarinya dengan senjatanya siap di tangan, akan tetapi sama sekali tidak menyerang.
Siang Lan berdiri diam saja dengan urat-urat menegang, siap menghadapi gempuran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali tidak menyerang, hanya bergerak mengelilinginya dengan langkah makin lama makin cepat. Melihat orang-orang yang mengepungnya itu sekarang berlari-lari mengelilinginya, pusing juga pandangan mata Siang Lan, maka ia tidak mau memperhatikan mereka. Akan tetapi, gerakan yang sedang berlari berputar itu tiba-tiba berhenti dan gerakan itu berbalik, kalau putaran tadi bergerak dari putaran tadi bergerak dari kiri ke kanan, kini bergerak dari kanan ke kiri! Siang Lan tiba-tiba merasa kedua matanya kabur dan kepalanya pening melihat gerakan ini, dan ia lalu menyerang dengan pedangnya kepada Ang-hoa Siang-mo yang mengepalai barisan berputar itu. Akan tetapi, baru saja ia menggerakkan pedangnya, dari belakang dan kanan kirinya,
Tiga buah senjata menyerangnya dengan berbareng dan teratur sekali, yakni yang sebelah kiri menyerang kakinya, yang belakang menyerang pinggangnya dan yang kanan menyerang kepalanya! Terpaksa ia menggagalkan serangannya dan menggerakkan pedang menangkis tiga serangan lawan itu sekaligus. Setelah bergebrak sejurus ini, barisan Bunga Merah itu tetap berlari-lari dengan teratur, sebentar bergerak dari kiri ke kanan, sebentar kemudian berbalik dari kanan ke kiri dan tiap kali Siang Lan menyerang, ia selalu mendapat serangan seperti tadi! Siang Lan terkurung dalam barisan yang disebut Ang-hoa-tin (Barisan Bunga Merah) yang benar-benar berbahaya sekali. Barisan itu tidak menyerangnya, hanya mengurungnya sambil berlari-larian dengan teratur sekali sehingga dara yang dikurungnya itu makin lama makin merasa pening kepalanya.
Tiap kali ia hendak mencari jalan keluar dari kepungan dengan melakukan serangan untuk membobolkan kepungan itu, selalu serangannya itu didahului oleh serangan dari tiga penjuru yang dilakukan dengan gerakan teratur sehingga terpaksa ia harus menarik kembali serangannya tadi untuk melindungi tubuhnya dari tiga serangan lawan. Keadaan dara ini benar-benar berbahaya karena maksud
(Lanjut ke Jilid 04)
Tiga Dara Pendekar Siauw-Lim (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
dari barisan yang berlari-lari itu memang hendak membikin gadis yang terkepung itu menjadi pusing dulu hingga menjadi lemah, baru kemudian hendak diserang sekaligus! Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Siang Lan itu, tiba-tiba dari luar kepungan terdengar suara orang tertawa dan disusul dengan kata-kata ejekan,
"Ha-ha, tak tahunya Ang-hoa Siang-mo yang ditakuti orang itu tak lain hanyalah sepasang suami isteri pengecut yang biasanya hanya mengeroyok orang! Sungguh tak tahu malu, mengeroyok orang! Sungguh tak tahu malu, dengan mengandalkan kawan-kawan sebanyak tiga belas orang! Ha-ha-ha! Orang-orang di dunia kang-ouw bisa berdiri bengong saking herannya melihat kejanggalan ini!"
Biarpun Ang-hoa Siang-mo mendengar sindiran ini, akan tetapi mereka tidak peduli, seakan-akan tidak mendengar ucapan itu, oleh karena dalam barisan Ang-hoa-tin ini, pantangan terbesar ialah kalau anggota barisan itu mencurahkan perhatian ke lain jurusan. Hal ini akan merupakan kelemahan yang mencelakakan karena barisan tak dapat bergerak secara otomatis lagi. Oleh karena itulah, maka mereka menahan sabar dan tetap mengurung Siang Lan yang sudah hampir tak kuat menahan kepeningannya itu. Akan tetapi, tiba-tiba orang yang baru datang itu berkata lagi,
"Ang-hoa Siang-mo, kalau kalian tidak mau menyambutku, baiklah aku mulai saja dari luar!"
Orang itu lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ang-hoa Siang-mo dengan tusukan yang tak boleh dipandang ringan! Ang-hoa Siang-mo tentu saja tidak membiarkan tubuhnya disate, maka ia lalu menggerakkan thi-piannya menangkis sambil berseru kepada kawan-kawannya,
"Tahan dulu!"
Ia sendiri melompat keluar dari barisan, diikuti oleh kawan-kawannya yang menahan senjata masing-masing. Siang Lan merasa lega sekali dan ia melompat tinggi keluar dari kepungan itu dan berdiri di bawah pohon sambil memeramkan mata sejenak untuk membikin tenang hatinya dan menghilangkan kepeningan otaknya. Ia merasa betapa segala apa di sekelilingnya, pohon-pohon dan daun-daun, berputaran tadi. Maka cepat ia meramkan matanya lagi dan mengatur napasnya. Tak lama kemudian ia menjadi sembuh kembali dan dengan marah ia memandang ke arah kedua iblis itu.
Akan tetapi mereka itu sedang berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih yang memegang pedang di tanga. Ia teringat akan ucapan yang ia juga dengar tadi dan menduga bahwa pemuda ini tentulah orangnya yang datang mengganggu Ang-hoa-tin, maka biarpun pemuda itu tidak sengaja menolongnya, akan tetapi ia merasa tertolong dan bersyukur sekali. Ia berdiri diam dan mendengarkan percakapan mereka. Pemuda itu masih muda, paling banyak tentu baru berusia dua puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah, mukanya mundar dan sepasang alisnya tebal dan panjang. Pada saat itu, ia tengah memandang kepada Ang-hoa Mo-li dengan mata penuh selidik, sehingga iblis perempuan itu menjadi merah mukanya dan berkata,
"Anak muda, siapakah kau? Melihat matamu, aku rasanya pernah bertemu dengan engkau, akan tetapi entah di mana!"
Suaminya lalu berkata dengan keras,
"Niocu, ucapanmu mengingatkan aku pula. Pemuda ini mukanya seperti pernah kukenal. Eh, anak muda, siapakah kau dan apa maksudmu berlaku lancang datang ke tempat ini dan mengganggu urusan kami?"
Pemuda itu tersenyum dan nampak senang sekali mendengar ucapan mereka.
"Tentu saja kau pernah melihat orang yang mukanya hampir sama dengan aku. Masih ingatkah kalian pada seorang pendekar bernama Kui Bok Beng?"
Mendengar disebutnya nama itu, tiba-tiba suami isteri Ang-hoa Siang-mo melangkah mundur dua tindak dan Ang-hoa Sin-mo memandang dengan mata terbelalak, sedangkan isterinya tiba-tiba menjadi pucat sekali.
"Anak muda, ada hubungan apakah kau dengan Kui Bok Beng?"
Tanya Ang-hoa Sin-mo dengan suara parau.
"Dia adalah ayahku! Kau berhutang nyawa kepada ayahku dan sekarang akulah yang datang menagihnya!"
Jawab pemuda itu.
Wajah Ang-hoa Sin-mo menjadi pucat dan terbayanglah olehnya peristiwa yang terjadi beberapa belas tahun yang lalu. Kui Bok Beng adalah sute (adik seperguruan) dari Ang-hoa Sin-mo yang bernama Lim Pok, menyerbu sarang perampok di Bukit Te-an-san. Ternyata bahwa gerombolan perampok itu dipimpin oleh seorang perampok wanita muda yang bukan lain ialah Ang-hoa Mo-li, seorang gadis anak perampok berusia dua puluh dua tahun dan berwajah cantik! Terpikatlah hati Kui Bok Beng. Ang-hoa Mo-li pun merasa tertarik, akan tetapi juga melihat kegagahannya. Dengan tulus ikhlas, Ang-hoa Mo-li menyatakan takluk dan menyerang terhadap dua orang gagah itu. Terjalinlah rasa cinta kasih antara Ang-hoa Mo-li dan Kui Bok Beng.
Akan tetapi, di luar prasangka kedua orang muda itu diam-diam Lim Pok juga tergila-gila kepada Ang-hoa Mo-li! Ang-ho Mo-li yang semenjak kecil ikut ayahnya menjadi perampok, membujuk agar supaya Kui Bok Beng suka menjadi kepala rampok di gunung itu, akan tetapi tentu saja Kui Bok Beng tidak mau. Sebaliknya Lim Pok menyatakan bahwa ia suka menjadi perampok di situ sehingga antara dua orang saudara seperguruan ini timbul perselisihan pendapat. Telah setengah bulan mereka berada di puncak bukit itu, Kui Bok Beng berkasih-kasihan dengan Ang-hoa Mo-li, sedangkan Lim Pok diam-diam menaruh hati iri dan benci kepada sutenya, akan tetapi ia tidak berani menyatakan berterang karena merasa malu. Kebetulan sekali pada malam hari ke lima belas, sepasukan tentara negeri menyerbu sarang perampok di bukit itu sehingga terjadilah pertempuran hebat.
Dalam keributan inilah terjadi perpecahan antara Lim Pok dan Kui Bok Beng. Menurut Kui Bok Beng, mereka tak seharusnya melawan dan ia hendak mengajak Ang-hoa Mo-li melarikan diri dari jurusan lain, akan tetapi Lim Pok berkeras hendak melawan, bahkan lalu mengepalai anak buah perampok melakukan perlawanan! Kui Bong Bek merasa penasaran melihat suhengnya menjadi tersesat dan berbalik pikir seperti itu, maka terjadilah percekcokan di antara mereka dalam keributan itu sehingga akhirnya mereka bertempur sendiri! Kepandaian Kui Bok Beng kalah setingkat apabila dibandingkan dengan Lim Pok yang menjadi kakak seperguruannya, maka akhirnya ia tewas dalam tangan suhengnya sendiri! Setelah membunuh sutenya, Lim Pok lalu mengajak Ang-hoa Mo-li melarikan diri dan membiarkan anak buahnya dihancurkan oleh tentara negeri.
Ternyata bahwa Ang-hoa Mo-li memang bukan seorang wanita baik-baik, karena setelah melihat kematian Kui Bok Beng, ia menerima menjadi isteri Lim Pok, bahkan dengan orang she Lim ini ia merasa lebih cocok! Lim Pok amat dipengaruhi oleh isterinya yang cantik, maka setelah mereka mendapatkan tempat yang cocok di seberang rawa itu, mereka menjadi perampok dan mempunyai beberapa anak buah, kemudian atas anjuran isterinya, Lim Pok membuang namanya dan menggantinya dengan Ang-hoa Sin-mo, sehingga mereka berdua menjadi terkenal dengan sebutan Ang-hoa Siang-Mo (Sepasang Iblis Bunga Merah)! Kedua orang itu lalu mencipta ilmu silat Ang-hoa kun dan anak buahnya dilatih pula untuk mainkan ilmu silat ini sehingga mereka dapat membentuk sebuah Ang-hoa-ti yang lihai!
Putera Kui Bok Beng yang pada waktu itu masih kecil, baru berusia enam tahun dan dititipkan oleh Kui Bok Beng kepada seorang bibinya, tahu pula akan kematian ayahnya maka anak ini lalu berlatih ilmu silat tinggi dan bercita-cita membalas dendam. Anak ini adalah Kui Hong An, yaitu pemuda yang telah berhasil mendapatkan tempat tinggal musuh dan yang kini telah berhadapan dengan Ang-hoa Siang-mo itu! Kedatangan Kui Hong An secara kebetulan sekali merupakan pertolongan bagi Siang Lan yang sedang te rdesak hebat dalam barisan Ang-hoa-tin. Ang-hoa Sin-mo dan Ang-hoa Mo-li yang mendengar bahwa pemuda baju putih yang tampan dan gagah ini adalah putera dari Kui Bok Beng, maklum bahwa pertempuran mati-matian takkan dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi mereka sama sekali tidak merasa takut, bahkan Ang-hoa Sin-mo lalu tertawa mengejek dan berkata,
"Anak muda, kalau begitu aku adalah supekmu sendiri. Ayahmu telah tewas karena ia tak tahu diri dan berani melawanku, maka kalau kau suka mendengar nasihatku, lebih baik kau pergi dan lupakanlah urusan yang terjadi antara ayahmu dan kami berdua, karena urusan itu adalah urusan antara kakak dan adik seperguruan! Kalau kau berkeras hendak membalas berarti kau hanya mengantarkan jiwamu untuk mati di tempat ini. Bukankah itu sayang sekali?"
Kui Hong An tersenyum.
"Aku telah datang ke tempat ini setelah bertahun-tahun mencari kamu berdua. Setelah sekarang bertemu, apakah artinya kematian bagiku? Ang-hoa Sin-mo, bersiaplah untuk menerima pembalasan ayahku!"
Setelah berkata demikian, pemuda baju putih melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Nanti dulu!"
Ang-hoa Sin Mo berkata.
"Ketika kau datang, kami sedang hendak membereskan seorang gadis liar yang ingin mampus, maka kalau kau pun tak tahu diri dan ingin mampus pula, kau majulah bersama dengan gadis itu menghadapi Ang-hoa-tin kami!"
Pemuda itu tertawa mengejek.
"Semua ucapan itu hanya menunjukkan betapa curang dan pengecut sifatmu, orang she Lim! Kau merasa ngeri untuk maju seorang diri, maka hendak menggunakan keroyokan dengan mengajukan barisanmu Ang-hoa-tin, dan untuk menutup rasa malu, kausuruh aku dan nona itu maju. Ha-ha-ha! Nona itu boleh jadi takut kepada Ang-hoa-tin, akan tetapi aku Kui Hong Ang, sama sekali tidak takut!"
Mendengar ucapan ini Siang Lan melompat dengan mata memandang marah.
"Siapa bilang aku takut?"
Sepasang mata nona itu menatap wajah Hong An dengan marah. Pemuda itu memandangnya sambil tersenyum, lalu berkata,
"Kalau Nona benar-benar tidak takut, mari kita hancurkan Ang-hoa-tin ini!"
Siang Lan tidak menjawab, hanya mempersiapkan diri dengan pedang dilintangkan di depan dada. Ang-hoa Sin-mo tidak mau banyak bicara lagi, lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya dan mulailah tiga belas orang itu bergerak mengurung dua orang muda itu, dan mulai pula berlari-lari memutari kedua orang yang terkepung. Ang-hoa Sin-mo hanya mencurahkan perhatiannya kepada Siang Lan yang sudah diketahui kelihaiannya, dan ia memandang rendah pemuda itu, karena ayah pemuda itu hanya seorang sutenya yang kepandaiannya masih kalah olehnya, apalagi puteranya. Namun ketika Hong An melihat barisan itu telah bergerak, ia berseru,
"Lim Pok, lihat pedang!"
Dan ia menyerang ke arah Ang-hoa Sin-mo dengan pedangnya.
"Pergilah!"
Bentak Ang-hoa Sin-mo sambil menggerakkan Coa-kut-thi-pian (Cambuk Besi Tulang Ular) dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang itu karena ia percaya bahwa dengan sekali tangkis saja pedang itu akan terlempar. Akan tetapi, ia menjadi kaget sekali ketika terdengar suara keras dari pertemuan antara cambuk besi dan pedang itu.
"Trang!"
Dan ketika Ang-hoa Sin-mo memandang, ternyata ujung cambuknya telah terpotong! Baiknya pada saat itu dari kanan kiri pemuda itu, dua orang anggota Ang-hoa-tin telah menubruk maju sehingga Hong An tak dapat melanjutkan dan terpaksa menangkis serangan dari kanan, sedangkan serangan dari kirinya ditangkis oleh Siang Lan yang tak dapat mendiamkan saja pemuda itu diserang dari kanan kiri. Hong An memandangnya dan berkata,
"Terima kasih!"
Akan tetapi Siang Lan dengan mulut cemberut lalu membalikkan tubuh dan menyerang pengurung yang berada di belakangnya!
Juga Hong An lalu menggerakkan pedangnya lagi menyerang Ang-hoa Sin-mo yang kini tidak berani memandang rendah lagi! Dua orang muda di dalam kurangan Ang-hoa-tin itu dengan berdiri saling membelakangi mulai melakukan serangan, akan tetapi kembali Ang-hoa-tin memperlihatkan ketangguhannya. Ketika Siang Lan dan Hong An mulai menyerang, barisan itu bergerak berputaran lagi dan dengan demikian, maka serangan-serangan kedua anak muda itu saling dihadapi oleh orang kedua atau ketiga dalam barisan. Misalnya, Ang-hoa Sin-mo berputar sampai ke depan Sian Lan dan gadis ini dengan gemas menyerangnya, Iblis Bunga Merah ini melanjutkan pergerakannya memutar sehingga serangan itu dihadapi oleh orang yang berada di belakangnya yang menangkis dengan bantuan orang ketiga,
Sedangkan Ang-hoa Sin-mo dari samping membarengi serangan Siang Lan itu dengan serangan pula. Demikianlah, barisan Ang-hoa-tin itu selalu menyambut setiap serangan dengan serangan-serangan pula dan tiap kali Siang Lan atau Hong An menyerang, ia langsung akan berhadapan dengan tiga atau empat orang! Yang lebih menyukarkan Siang Lan dan Hong An adalah karena di dalam kurungan yang sempit itu, mereka berdua tak dapat bergerak leluasa dan untuk memecahkan kurungan itu bukanlah hal yang mudah. Sudah beberapa kali Siang Lan atau Hong An mencoba untuk membobolkan kurungan akan tetapi tak berhasil karena ke mana saja mereka bergerak, kurungan tiga belas orang yang terus berlari memutar itu secara otomatis telah mengurung mereka pula.
"Jangan bergerak, kita mencari akal!"
Tiba-tibaa Hong An berkata kepada Siang Lan. Gadis ini menurut dan mereka berdiri saling membelakangi dengan pedang disiapkan untuk menangkis serangan, akan tetapi sebagaimana tadi ketika Siang Lan dikeroyok, barisan itu tidak mau menyerang dan hanya berputaran untuk membuat pening dan kabur pandangan mata kedua orang muda itu. Hong An memandang dengan penuh perhatian, demikian pun Siang Lan.
"Ah, ada jalan untuk memecahkannya!"
Tiba-tiba Hong An berkata.
"Aku pun mempunyai jalan yang baik!"
Kata Siang Lan. Mereka berdua ini bicara dengan tubuh saling membelakangi, jadi tidak dapat saling pandang. Mendengar ucapan Siang Lan yang kedengarannya tak mau kalah itu, Hong An tersenyum seorang diri dan bertanya,
"Apakah jalanmu?"
"Katakan dulu apa jalanmu!"
Jawab Siang Lan tak mau kalah. Kemudian Hong An tersenyum, alangkah tinggi hati gadis ini, pikirnya.
"Kita harus ikut berlari ke arah berlawanan dengan mereka, dengan demikian mereka menjadi kacau pergerakannya dan perhatian mereka terpecah, kalau sudah demikian baru kita menyerang!"
"Jalanku lain lagi! Aku hendak mempergunakan thi-lian-ci untuk menghajar mereka dari dalam!"
"Bagus, sambil berlari kau menghajar mereka dengan thi-lian-ci dan aku menyerang dengan pedang sehingga kurungan ini terbuka!"
Kata pula Hong An.
Demikianlah, dua orang muda yang sama sekali tidak saling kenal dan secara kebetulan berada dalam keadaan yang sama ini, kini tanpa melihat muka masing-masing, telah mengadakan perundingan seperti dua orang kawan senasib! Tiga belas orang anggota barisan Ang-hoa-tin itu menjadi heran dan curiga melihat dua orang yang mereka kurung hanya bercakap-cakap dan berbisik-bisik. Selagi Ang-hoa Sin-mo hendak memberi aba-aba untuk mulai dengan serangannya, tiba-tiba dua orang muda itu mulai bergerak dan berlari-lari dengan arah yang berlawanan! Tentu saja semua anggota barisan itu menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Belum pernah mereka mengalami hal ini dan belum pernah ada orang yang mereka hadapi melakukan hal yang aneh ini.
"Serang mereka bergantian!"
Tiba-tiba terdengar Ang-hoa Sin-mo memberi aba-aba karena dengan berlari-larinya kedua orang muda itu, berarti bahwa usaha membuat mereka menjadi pening telah gagal sama sekali! Kini mereka mulai menggerakkan senjata dan mulai menyerang setelah lebih dulu berhenti berlari.
"Bagus!"
Seru Hong An dan Siang Lan hampir berbareng karena setelah ketiga belas orang itu tidak berlari-lari lagi, mudahlah bagi mereka untuk bergerak.
Dengan berbareng pula, Hong An memutar pedangnya menangkis serangan lawan, sedangkan Siang Lan melompat ke tengah dan tangan kirinya menyambar. Beberapa butir thi-lian-ci menyambar keluar dari tangan itu menuju ke arah ketiga orang anggota barisan itu yang menjadi terkejut sekali dan cepat mengelak. Akan tetapi kembali beberapa butir thi-lian-ci menyambar lagi dengan kecepatan luar biasa. Dua orang di antara mereka masih dapat mengelak dan menyampok dengan golok, akan tetapi yang seorang kurang cepat gerakannya sehingga sebutir thi-lian-ci dengan cepat memasuki daging di pundaknya, membuat ia menjerit kesakitan! Siang Lan tidak mau membuang waktu lagi dan cepat melompat dengan pedang diputar, mendesak orang yang telah terluka itu.
Tiga orang kawannya membantunya dan menghadang untuk mencegah Siang Lan keluar dari kepungan akan tetapi kembali tangan kiri Siang Lan bergerak. Kini sembilan butir thi-lian-ci dengan cepatnya menyambar ke arah tiga orang itu yang cepat harus melompat jauh untuk menghindarkan diri dari senjata rahasia yang berbahaya itu. Saat ini digunakan oleh Siang Lan untuk menerjang orang yang terluka pundaknya tadi. Orang itu mencoba u ntuk menangkis dengan goloknya, akan tetapi ia kalah cepat dan biarpun ia berhasil menangkis pedang Siang Lan, namun tendangan gadis itu yang menyusul gerakan pedangnya dengan cepat mengenai dadanya sehingga ia menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas tanah! Kini pecahlah kepungan di bagian Siang Lan dan gadis itu melompat keluar siap menanti serbuan lawan dengan pedang di tangan.
Adapun Hong An yang juga bergerak cepat dengan pedangnya di tangan telah dikeroyok oleh empat orang, yakni Ang-hoa Sin-mo, Ang-hoa Mo-li dan dua orang anak buah mereka. Gerakan pedang ini demikian cepat dan hebat sehingga Ang-hoa Sin-mo diam-diam mengeluh. Ternyata bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari Kui Bok Beng, dan sama sekali tidak memiliki ilmu silat cabangnya, yakni cabang Bu-tong-pai yang telah banyak dirubah. Melihat ilmu pedangnya, Ang-hoa Sin-mo dapat menduga bahwa Hong An tentu murid dari Kun-lun-pai yang terkenal memiliki ilmu pedang yang terkenal tangguh dan lihai. Biarpun permainan cambuk besi dari Ang-hoa Sin-mo dan siang-kiam dari Ang-hoa Mo-li cukup tangguh, dibantu pula oleh dua orang anak buah mereka yang cukup tinggi ilmu silatnya,
Namun ilmu pedang Kui Hong An dapat mengimbangi serangan mereka, bahkan dapat membuat kacau permainan kedua orang anak buah perampok itu. Untuk menghadapi sambaran cambuk besi dari Ang-hoa Sin-mo yang lihai dan sepasang pedang dari Ang-hoa Mo-li yang ganas, Hong An mempergunakan kegesitan dan gin-kangnya. Ia bergerak cepat dan tubuhnya berkelebat ke sana kemari, didahului oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Sementara itu, Siang Lan hanya menghadapi keroyokan tujuh orang anak buah perampok, menghadapi mereka dengan enak dan tenang. Dua orang di antara anak buah perampok telah rebah di tanah, yakni yang tadi ia tendang dan seorang lagi yang terkena pedangnya pada saat mereka menyerbu setelah ia keluar dari kepungan. Dengan robohnya dua orang, maka kini yang menghadapinya masih ada tujuh orang lagi.
Gadis ini sama sekali tidak merasa gentar dan pedangnya dimainkan sedemikian rupa sehingga pedang itu selain merupakan sinar gemilang yang melindungi seluruh tubuhnya, juga kadang-kadang melesai panjang dan jauh menyerang. Ia juga menggunakan thi-lian-ci, maka kacau balau para pengeroyoknya. Dua orang berteriak mengaduh-aduh dan mundur dari pertempuran karena perut mereka kemasukan biji-biji besi itu! Hal ini membuat lima orang pengeroyok lain menjadi pucat ketakutan dan permainan mereka makin kacau balau lagi. Akan tetapi mereka ini masih membandel dan terus menyerang dengan buas. Melihat kebandelan mereka, Siang Lan merasa gemas juga. Ia tidak mau membunuh banyak orang dan tidak suka pula melayani orang-orang kasar ini lebih lama lagi, maka ia berseru keras dan segera gerakan pedangnya dirubah cepat.
Gerakan pedangnya timbul dari tenaga lwee-kangnya, dan permainannya pun luar biasa, karena ia mainkan ilmu pedang Tat-mo Kiam-hwat, yakni ilmu pedang ciptaan Tat Mo Couwsu yang sakti. Terdengar teriakan-teriakan terkejut karena begitu Siang Lan menggerakkan pedangnya dengan luar biasa ini, dua orang pengeroyok melempar pedang dan memegangi tangan kanannya yang mengalirkan darah, sedangkan seorang lagi mengeluh kesakitan karena pundaknya terbabat oleh ujung pedang gadis pendekar itu! Mereka kini menjadi takut betul-betul dan ketika menengok ke arah pemimpin-pemimpin mereka ternyata bahwa keadaan pemimpin mereka juga terdesak sekali maka dua orang pengeroyok yang masih belum terluka segera berseru,
"Lari...!"
Orang yang telah menderita luka itu terhuyung-huyung lalu berlari cepat pergi dari situ, menyusul dua orang kawannya yang telah melarikan diri terlebih dulu. Siang Lan tersenyum dan memandang ke arah pemuda yang masih bertempur itu. Ia menjadi kagum melihat betapa pemuda itu telah berhasil pula merobohkan dua orang kawan Ang-hoa Siang-mo sehingga kini ia hanya menghadapi suami isteri Iblis Kembang Merah itu.
Sekali pandang saja maklumlah Siang Lan bahwa pemuda itu adalah seorang anak murid Kun-lun-pai yang memiliki gerakan cepat sekali sehingga diam-diam ia merasa kagum. Tiba-tiba Siang Lan merasa betapa matanya menjadi merah ketika darah hangat menyerbut naik ke mukanya karena perasaan jengah dan malu mendorongnya. Mengapa ia merasa kagum dan tertarik kepada pemuda ini? Tak pantas bagi seorang gadis mempunyai perasaan semacam ini terhadap seorang pemuda yang baru saja dijumpainya. Ia melihat betapa Hong An mendesak hebat suami isteri itu dengan pedangnya, bahkan kini Ang-hoa Mo-li hanya bermain dengan satu pedang saja karena pedang di tangan kirinya telah terlempar ketika ia menangkis pedang Hong An. Tiba-tiba Ang-hoa Mo-li melompat keluar dari kalangan pertempuran itu sambil berseru,
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lim Pok, kau hadapi sendiri dia! Kaulah yang dulu bermusuhan dengan Bok Beng, bukan aku!"
Setelah berkata demikian Ang-hoa Mo-li lari pergi dari situ! Siang Lan merasa gemas sekali melihat ketidak setiaan iblis perempuan itu terhadap suaminya, maka ia mengambil segenggam thi-lian-ci dan disambitkan ke arah tubuh Ang-hoa Mo-li yang hendak melarikan diri.
"Ang-hoa Mo-lli bawalah hadiah ini dariku!"
Teriaknya. Ang-hoa Mo-li cepat mengelak, akan tetapi karena sambitan thi-lian-ci yang dilepas oleh Siang Lan ini memang cepat sekali sambarannya, juga dilepas secara istimewa sehingga biji-biji teratai besi itu menyambar ketiga jurusan yakni tepat ke arah punggung dan sebagian ke arah kanan kiri tubuh Ang-hoa Mo-li, maka ketika iblis perempuan itu mengelak ke kiri, masih saja sebutir thi-lian-ci mengenai tangan kanannya! Ia menjerit kesakitan, membalikkan tubuh dan memandang marah kepada Siang Lan. Akan tetapi, melihat gadis gagah itu berdiri dengan tersenyum mengejek, ia menjadi ngeri karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan lawan tangguh ini, maka ia berseru,
"Dasar anak murid Siauw-lim-pai yang jahat! Hati-hati kau, lain kali akan datang saatnya aku membalas kekurangajaranmu ini!"
Setelah berkata demikian, ia melompat maju dan melarikan diri.
Sementara itu, ketika melihat betapa isterinya lari meninggalkannya, hati Ang-hoa Sin-mo menjadi bingung sekali, dibantu oleh isterinya pun dia masih tak dapat menangkan pemuda ini, apalagi kalau menghadapinya seorang diri! Biarpun ia telah memutar-mutar cambuk besinya dengan nekat, namun tetap saja terdesak. Pada saat yang baik, Hong An mendesaknya dengan serangan Po-in-kian-cit (Menyapu Awan Melihat Matahari), ujung pedangnya bagaikan kilat secepatnya menyabet ke arah leher Ang-hoa Sin-mo yang segera menangkis dengan cambuknya. Akan tetapi ketika pedang itu bertemu dengan cambuk, Hong An memutar pedangnya sehingga cambuk itu menggubat pedang. Ang-hoa Sin-mo mengerahkan tenaga dan membetotnya dengan maksud untuk merampas pedang lawan,
Akan tetapi ternyata bahwa tenaga Hong An juga besar sekali sehingga jangankan untuk merampas pedang lawan, akan tetapi ternyata bahwa tenaga Hong An juga besar sekali sehingga jangankan untuk merampas pedang, menggerakkannya saja pun Ang-hoa Sin-mo tidak sanggup! Pada saat itu Hong An melancarkan serangan dengan kakinya yang bergerak bergantian dalam ilmu tendang Sa-tak-twi (Tendangan Segitiga). Ilmu tendang yang amat lihai dan cepat ini tak dapat dihindarkan oleh Ang-hoa Sin-mo sehingga dalam dua jurus saja pergelangan tangannya yang memegang thi-pian telah kena tendang sehingga senjatanya terlepas dan terlempar ke udara! Ang-hoa Sin-mo terkejut sekali dan karena tidak ada harapan untuk menang, ia lalu melarikan diri ke arah rawa! Dengan sekali lompatan jauh, ia telah berada di pinggir rawa dan segera meloncat ke atas bambu yang terdekat.
"Lim Pok, jangan lari! Hutangmu belum lunas!"
Teriak Hong An mengejar dan tanpa sangsi lagi melompat ke atas bambu di mana Lim Pok Si Iblis Bunga Merah telah berdiri.
Mendengar seruan ini dan maklum bahwa pemuda itu mengejarnya, tiba-tiba Ang-hoa Sin-mo lalu membalikkan tubuh dan tangan kanannya bergerak melemparkan sesuatu ke arah Hong An. Pemuda itu cepat menggerakkan tubuhnya sehingga miring dan sambitan itu tidak mengenai sasaran. Ternyata yang disambitkan oleh Ang-hoa Sin-mo itu adalah hiasan emas berbentuk bunga merah yang tadinya menghias rambutnya. Memang di antara bunga-bunga merah yang asli yang menghias dan memenuhi rambutnya, terdapat beberapa bunga terbuat dari emas yang indah sekali. Biarpun Hong An dapat mengelakkan diri dari sambitan itu, akan tetapi karena ia menggerakkan tubuh sebelum menginjak bambu, kini ia turun tidak tepat di atas bambu! Seekor buaya yang berada di dekat tempat itu ketika melihat tubuh pemuda itu jatuh dari atas lalu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dari atas permukaan air dengan mulut terbuka lebar!
"Bagus!"
Hong An memuji dengan girang oleh karena binatang ini merupakan penolong baginya. Ia menurunkan kakinya yang sebelah kanan lebih dulu ke arah mulut yang terbuka itu sebagai umpan! Ketika buaya itu menggerakkan mulut yang ditutup dengan tiba-tiba, Hong An menarik kaki dan kini kaki kirinya menginjak mulut yang telah terkatup itu dan secepat kilat ia menggunakan kepala buaya itu sebagai panjatan dan melompat lagi ke atas bambu itu.
Ang-hoa Sin-mo tadinya telah bergirang hati karena menyangka bahwa pemuda itu pasti akan mati di dalam mulut buaya. Alangkah terkejutnya melihat betapa dengan berani sekali pemuda itu dapat menghindarkan serangan buaya bahkan mempergunakan binatang buas itu sebagai jembatan! Ia merasa menyesal mengapa ia berhenti untuk melihat hasil serangannya. Kini untuk melarikan diri sudah tidak ada waktu lagi karena Hong An segera menyerbunya. Terjadilah perang tanding yang mati-matian di atas sebatang bambu yang terapung di atas air! Sementara itu, melihat betapa bambu itu tenggelam di bawah permukaan air karena terlalu berat bebannya, buaya-buaya di kanan kiri bambu itu dengan cepat berenang mendekat dengan mulut dibuka lebar-lebar.
"Kalau bukan kau, tentu aku!"
Tiba-tiba Ang-hoa Sin-mo berseru keras dengan menggerakkan tubuhnya menubruk dengan sepasang tangannya dipentang lebar ke arah lawannya! Hong An hanya berdiri di atas sebatang bambu, maka tentu saja sukar baginya untuk menghindarkan diri dari terkaman nekat ini. Ia melihat betapa jari tangan dari lawannya itu dibuka bagaikan kuku garuda dan maklum bahwa ia tidak dapat menyambut serangan ini dengan pukulan atau tendangan, karena tentu orang yang nekat itu akan menangkap kaki atau tangannya dan mengajaknya mati bersama di dalam air yang penuh buaya buas itu!
Jalan lain tidak ada lagi bagi Hong An, maka ia lalu berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan cepat bagaikan menyambar kilat! Ang-hoa Sin-mo menubruk tempat kosong dan tentu saja gerakannya yang hebat dan nekat ini membuat tubuhnya meluncur ke depan dan akhirnya jatuh ke dalam air mengeluarkan suara bercebur ketika air muncrat ke atas. Buaya-buaya buas yang telah menanti-nanti korban itu segera memburu dengan mulut terbuka lebar! Ang-hoa Sin-mo menggerakkan kedua tangannya dan dua ekor buaya terpukul ke kanan kiri! Memang hebat pukulan Ang-hoa Sin-mo ini, akan tetapi di dalam air menghadapi sekian banyaknya binatang buas, ia tak berdaya dan tak lama kemudian terdengar pekik ngeri dan tubuhnya diseret ke dasar rawa!
Sementara itu, tubuh Hong An yang melompat ke atas itu, ketika melayang turun ke bawah kembali, agaknya juga akan mengalami nasib yang sama pula dengan Ang-hoa Sin-mo, karena di bawahnya tidak ada sesuatu yang dapat menahan tubuhnya. Sekali ia terjatuh di dalam air, akan tamatlah riwayatnya. Pemuda itu memandang ke bawah dengan mata terbelalak lebar. Ia tidak merasa takut, akan tetapi tak berdaya. Kalau saja ada seekor buaya yang kebetulan timbul di permukaan air itu, tentu ia bisa mempergunakannya sebagai batu loncatan. Akan tetapi sebagian besar binatang itu sedang berpesta di dasar rawa dan sebagian pula berenang di dalam air. Tiba-tiba dari pinggir rawa, melayang sebatang bambu yang jatuh tepat di bawah pemuda itu! Hong An turun dan menginjak bambu itu untuk melompat kembali ke arah bambu yang berada di pinggir rawa, kemudian dengan dua kali lompatan lagi, sampailah ia di depan Siang Lan dan menjura dengan wajah berseri.
"Nona, terima kasih, aku Kui Hong An berhutang budi dan nyawa kepadamu, terimalah hormat dan terima-kasihku."
Memang yang melontarkan bambu untuk menolong Hong An tadi adalah Siang Lan. Kini menghadapi pemuda yang menjura dan menghaturkan terima kasihnya itu, kembali Siang Lan merasa betapa mukanya menjadi merah karena hatinya berdebar keras. Ia membalas memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke dada sambil berkata,
"Tak usah bicara tentang budi dan terima kasih. Kalau kau tidak cepat datang tadi ketika aku dikeroyok, tentu aku telah tewas dan kau sekarang akn tewas pula di dalam rawa! Saling bantu dalam usaha menghadapi si jahat, sudah menjadi keharusan yang sepantasnya. Perlu apa banyak upacara lagi?"
Hong An tersenyum dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan sekali Siang Lan juga sedang menatap wajahnya, maka tanpa disengaja dua pasang mata bertemu pandang. Entah mengapa, dua pasang mata itu seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang mempunyai pengaruh sihir, empat buah mata itu terbuka lebar dan sampai lama tidak berkedip! Akhirnya Siang Lan yang mengalihkan pandangan matanya lebih dulu, sedangkan Hong An lalu bertanya,
"Bolehkah aku mengetahui nama Nona dan mengapa pula Nona bermusuhan dengan Ang-hoa Siang-mo?"
Semenjak pertemuan pandang mata tadi, Siang Lan merasa jantungnya masih berdebar tidak karuan sehingga ia maklum bahwa kalau ia bicara, suaranya tentu terdengar gemetar. Oleh karena itu ia tidak menjawab, bahkan lalu menggerakkan kaki menuju ke pinggir rawa. Hong An merasa heran dan mengejarnya.
"Eh, Nona, mengapa kau seperti orang marah? Kalau aku tidak boleh mengetahui namamu, tidak apa, akan tetapi jangan marah kepadaku!"
Siang Lan menggigit bibirnya.
"Siapa marah? Dan tentang nama.., apa perlu kau yang tidak kukenal mengetahuinya. Aku bertempur dengan Ang-hoa Siang-mo karena mereka penjahat-penjahat kejam! Sudahlah aku harus pergi dari sini!"
Ia lalu melompat ke atas bambu dan segera menyeberangi rawa itu untuk mencari kedua orang adiknya! Hong An berdiri bengong di pinggir rawa, mengikuti bayangan nona yang jelita itu dengan pandang matanya sampai bayangan Siang Lan lenyap dari pandangan. Ia menarik napas panjang berulang-ulang.
"Sayang... sayang... aku tak kenal namanya."
Sekarang baiklah kita mengikuti pengalaman Hwe Lan gadis yang keras hati itu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian pertama, ketika melihat Siang Lan mengejar perwira muka hitam, Hwe Lan menyuruh adiknya, Sui Lan, untuk menyusul encinya itu karena ia merasa tidak enak hati melihat encinya itu mengejar musuhnya seorang diri. Perwira-perwira Kim-i-wi yang mengeroyok tinggal tiga orang lagi dan mereka ini bukan apa-apa bagi Hwe Lan yang gagah perkasa. Setelah Sui Lan pergi untuk menyusul encinya Hwe Lan lalu memutar-mutar pedangnya sedemikian rupa sehingga dalam beberapa jurus saja kembali seorang perwira roboh mandi darah tertusuk oleh pedangnya.
Dua orang perwira yang masih mengeroyoknya kehabisan semangat dan keberanian, maka mereka lalu memutar badan lari tunggang-langgang! Akan tetapi Hwe Lan tidak membiarkan mereka melarikan diri dari sebelah selatan. Sibuklah kedua orang perwira itu ketika melihat bahwa nona yang kosen itu mengejarnya. Pada saat itu, dari jauh datang tiga bayangan orang berlari-lari secepat terbang. Seorang di antara mereka, yang lari paling depan adalah seorang kaki pendek gemuk yang berkepala gundul akan tetapi pakaiannya ganjil sekali, karena di luar ia memakai jubah pendeta namun di sebelah dalam ia mengenakan pakaian perwira tinggi! Kakek ini larinya cepat sekali biarpun ia nampak berjalan seenaknya. Di ketiak kirinya terkempit sebatang tongkat yang pada kedua ujungnya bulat seperti bola.
Kakek ini bukanlah orang sembarangan, karena ia bukan lain adalah Wai Ong Koksu atau guru negara, karena sesungguhnya kakek ini adalah seorang sakti dari Bu-tong-san, dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Wai Ong Koksu ini adalah seorang tokoh besar Bu-tong-oai yang menjadi kakak seperguruan dari tokoh Bu-tong-pai yang bernama Pang To Tek! Memang telah lama Wai Ong Hosiang ini mengasingkan diri di atas pegunungan sebelah utara. Ketika ia mendengar bahwa Kaisar memerlukan seorang guru silat dan juga penasehat, ia lalu turun gunung dan berhasil mendapatkan kedudukan tinggi itu. Pangkat Koksu ini dikehendaki oleh banyak sekali jago-jago silat dan tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi, mereka semua terpaksa mundur ketika melihat Wai Ong Hosiang karena maklum akan kelihaian kakek gundul ini. Beberapa orang jago silat yang belum mengetahuinya dan mencoba untuk merebut kedudukan itu, seorang demi seorang jatuh dalam tangan Wai Ong Hosiang yang lihai.
Sayang sekali bahwa seorang pendeta yang sakti dan berkepandaian setinggi dia ini, masih mempunyai kelemahan terhadap kedudukan tinggi dan harta serta kemuliaan! Orang kedua adalah seorang perwira tinggi dari kerajaan yang berpangkat bu-su dan juga merangkap menjadi pelatih para perwira. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya kuning membayangkan kekejaman hati. Matanya tajam tanda bahwa ia berotak cerdik. Dia ini juga bukan orang sembarangan dan tidak kalah terkenal di kalangan perwira kerajaan, karena ia adalah Gui Kok Houw yang berpangkat bu-su semenjak belasan tahun yang lalu dan mendapat kepercayaan penuh dari Kaisar. Sungguhpun Gui Kok Houw masih kalah pengaruhnya jika dibandingkan dengan Wai Ong Koksu, akan tetapi di antara semua perwira, boleh dibilang ia menduduki tingkat paling tinggi dan pengaruhnya paling besar.
Juga ilmu silat Gui Kok Houw amat lihai, karena selain mengerti banyak macam ilmu silat dari pedalaman, ia pun mengerti pula dengan baiknya tentang ilmu silat dari Mongol. Senjata yang biasa dipakainya juga amat luar biasa dan sukar dilawan, yakni tiga butir bola-bola berduri terbuat dari baja yang diikat dengan tali-tali baja. Apabila ia mainkan bola-bola berduri ini, maka tiga bola itu akan menjadi beberapa belas banyaknya dalam pandangan lawan, dan lihainya bukan main! Orang ke tiga yang larinya paling akhir adalah seorang pemuda yang berpakaian seperti bangsawan. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun, wajahnya tampan sekali sehingga kalau ia mengenakan pakaian wanita, tentu ia akan menjadi seorang gadis yang amat cantik sekali. Gerak-geriknya lemah lembut dan sopan-santun, tanda bahwa ia mendapat pendidikan baik dan telah mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan.
Namun, tindakan kakinya cukup gesit dan menunjukkan bahwa ia telah memiliki bu-ge (ilmu silat) yang cukup lihai. Orang ini adalah seorang putera pangeran yang paling berkuasa di waktu itu, yakni Pangeran Souw Bun Ong yang selain kaya raya juga menduduki pangkat tinggi di istana dan menjadi tangan kanan Kaisar sendiri. Pemuda putera Pangeran Souw ini bernama Souw Cong Hwi, putera tunggal yang amat dimanja, seorang pemuda bangsawan yang selain tampan, juga dapat disebut seorang bun-bu-cwan-jai (ahli sastra dan ahli silat). Dua orang perwira yang dikejar-kejar oleh Hwe Lan dan sedang berlari ketakutan itu, tadinya telah merasa putus harapan ketika melihat gadis yang lihat itu mengejar dengan cepatnya. Akan tetapi ketika mereka melihat bayangan Wai Ong Koksu, mereka menjadi gembira sekali dan segera berteriak-teriak,
"Koksu yang mulia, tolonglah jiwa kami..."
Akan tetapi belum habis mereka berteriak, mereka menjerit dan roboh dengan punggung mereka bolong-bolong karena ditembusi beberapa butir thi-lian-ci yang dilepas oleh Hwe Lan secara luar biasa sekali!
"Omitohud! Ganas sekali...!"
Wai Ong Koksu berseru melihat sepak terjang Hwe Lan ini.
"Gadis liar dari manakah kau berani sekali mencelakai perwira-perwira kerajaan?"
Akan tetapi, ketika melihat bahwa tiga orang yang datang ini juga pihak musuh, karena yang dua berpakaian seperti perwira, Hwe Lan tidak banyak cakap dan kembali tangannya bergerak menyebar thi-lian-ci ke arah Wai Ong Koksu dan Gui Busu yang datang lebih dulu.
Gui Kok Houw melompat ke kiri dan mengelakkan diri dari sambaran thi-lian-ci, akan tetapi Wai Ong Koksu tidak mengelak dan hanya mengebutkan tangan bajunya ke arah dua butir thi-lian-ci yang menuju ke arah matanya. Thi-lian-ci yang lain, yakni ada dua butir lagi yang menuju ke arah dadanya, ia biarkan saja dan ketika dua butir biji teratai besi mengenai badannya, senjata rahasia kecil ini terpental dan runtuh ke atas tanah! Hwe Lan menjadi terkejut sekali melihat kelihaian perwira tua yang gundul ini. ia telah menyambit dengan membidik jalan-jalan darah, akan tetapi ternyata sambaran thi-lian-ci yang dilepaskannya tadi mengenai bagian anggota badan lain. Ia takkan heran melihat kekebalan kakak itu, akan tetapi karena ia maklum bahwa senjata rahasianya dengan tepat menghantam jalan darah, maka ia dapat menduga dengan terkejut bahwa kakek ini tentulah memiliki ilmu Pi-ki-hu-hiap (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah),
Semacam ilmu khi-kang yang baru saja diajarkan oleh gurunya dan baik ia sendiri, maupun kedua saudaranya, belum dapat mempergunakannya dengan baik! Ia maklum bahwa kini ia menghadapi lawan yang bukan main lihainya, sedangkan gerakan Gui Kok Houw ketika mengelak sambaran thi-lian-ci tadi saja cukup menunjukkan bahwa orang tinggi besar muka kuning ini pun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, Hwe Lan memang seorang gadis yang mempunyai keberanian yang luar biasa dan memang sudah menjadi wataknya tidak mau kalah terhadap lawan, maka ia sama sekali tidak merasa takut dan bersiap sedia menghadapi pertempuran yang bagaimana berbahayanya pun! Pada saat itu, seorang di antara dua orang perwira yang tadi roboh oleh thi-lian-ci yang disambitkan Hwe Lan, dapat merangkak bangun dan segera berseru,
"Koksu... dia... perempuan itu... dia adalah pemberontak Siauw-lim-pai...!"
Mendengar ucapan ini, berubalah wajah Wai Ong Koksu. Dia memang menaruh hati dendam dan membenci Siauw-lim-pai, apalagi sebagai guru negara ia harus membasmi setiap pemberontak.
"Bagus, biar aku tangkap dia!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek tua ini berkelebat dan sepasang ujung lengan bajunya menyambar ke arah kedua pundak Hwe Lan menyerang jalan darah Kin-ceng-hiat.
Serangan ujung lengan baju ini demikian keras, sehingga sebelum pukulan sampai, angin pukulannya telah terasa oleh Hwe Lan. Gadis ini terkejut sekali dan maklum bahwa tenaga khi-kang kakek ini tak boleh dibuat main-main, maka ia lalu mengandalkan ilmu meringankan tubuh, mengelak ke kiri dengan cepat, kemudian dari kiri ia membalas dengan serangan pedang dalam gerak tipu merak sakti mematuk cacing. Pedangnya dari arah kiri meluncur cepat bagaikan anak panah menusuk lambung lawan. Wai Ong Koksu cepat memutar lengan bajunya dengan sabetan keras. Ia bermaksud untuk melibat pedang gadis muda itu untuk kemudian dirammpas, akan tetapi ia menjadi terkejut sekali karena gadis itu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya menarik kembali pedangnya dan kini menusuk lagi ke arah mata!
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo