Tiga Dara Pendekar Siauwlim 5
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Bagus"
Teriaknya memuji dan timbul keheranan besar dalam hatinya, karena sungguh tak pernah ia menyangka bahwa gadis ini memiliki ilmu silat yang demikian hebat. Karena tusukan ke arah matanya itu amat cepatnya, terpaksa untuk mengelak ia harus menarik kepalanya ke belakang dan berbareng dengan gerakan ini, kedua tangannya bergerak ke depan sehingga ujung lengan bajunya yang panjang itu menyambar ke arah pinggang Hwe Lan! Makin kagum dan terkejutlah hati Wai Ong Koksu melihat bagaimana gadis itu melepaskan diri dari serangannya ini. Dengan gin-kang yang luar biasa, tiba-tiba Hwe Lan melompat ke atas sehingga sambaran dua ujung lengan baju itu lewat di bawah kakinya, kemudian bagaikan seekor burung terbang, dara itu menukik dengan kepala ke bawah dan menyambar dari atas dengan pedang diputar-putar menyerang kepala yang gundul dari Wai Ong Koksu.
"Benar-benar lihai!"
Kakek gundul itu berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serbuan dari atas ini.
Ia benar-benar terkejut melihat betapa baiknya gerakan garuda menyambar ular yang dilakukan oleh gadis itu, dan tahulah ia bahwa untuk mengalahkan gadis ini, ia harus mempergunakan sebagian besar dari kepandaiannya. Maka Wai Ong Koksu lalu menggulung lengan bajunya yang panjang kemudian sambil berseru keras ia menyerang dengan kedua tangannya! Guru besar ini masih merasa sungkan dan malu untuk mempergunakan senjatanya, yakni tongkatnya yang tadi ia tancapkan di atas tanah, karena ia tidak mau ditertawakan orang-orang gagah. Masa seorang guru negara yang berkepandaian tinggi seperti dia harus mempergunakan senjatanya untuk menghadapi seorang dara muda yang lebih patut disebut anak-anak ini. Kakek ini bergerak maju dengan langkah yang tetap dan cepat sedangkan kedua lengannya bergerak-gerak secara luar biasa sekali sehingga menimbulkan angin menyambar-nyambar.
Hwe Lan terkejut juga melihat gerakan ini dan tahulah ia bahwa kakek yang lihai ini hendak melawannya dengan ilmu silat Kong-ciu-cip-ban-kiam (Dengan Tangan Kosong Memasuki Laksaan Padang)! Ia pernah melihat gurunya mendemonstrasikan ilmu silat yang lihai ini dan pernah pula mempelajarinya, akan tetapi karena sukarnya gerakan ilmu silat ini, maka kepandaiannya dalam ilmu silat ini masih jauh dari sempurna. Kini ia melihat betapa kakek ini menggerakkan tangannya sedemikian rupa sehingga menurut penglihatannya, tidak kalah oleh gurunya sendiri! Akan tetapi, dalam kamus hati Hwe Lan tiada terdapat kata-kata gentar atau takut. Ia memutar pedangnya dan memainkan ilmu pedang Bidadari Menyebar Bunga, semacam ilmu pedang yang diciptakan oleh gurunya. Ilmu pedang ini berdasar ilmu pedang Tat Mo Kiam-hoat dan Lian Gi Kiam-hoat, maka gerakannya pun aneh dan sukar diduga perubahannya.
Melihat gerakan pedangnya yang hampir sama dengan gerakan pedang cabang persilatannya sendiri ini, Wai Ong Koksu menjadi kaget, akan tetapi ia terheran-heran karena setelah diperhatikan, ternyata berlainan juga. Memang, Lian Gi Kiam-hoat adalah ilmu pedang dari Bu-tong-pai sehingga tentu saja ilmu pedang ini dimengerti baik oleh Wai Ong Koksu yang menjadi pentolan Bu-tong-pai. Maka heranlah kakek ini menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, aneh dan lihai sekali sehingga biarpun ia mempergunakan ilmu silat Kong-ciu-cip-kiam yang biasanya cukup kuat untuk menghadapi keroyokan belasan orang yang berpedang dengan hanya bertangan kosong saja, akan tetapi menghadapi ilmu pedang Hwe Lan, kakek gundul ini benar-benar merasa terdesak! Wai Ong Koksu sama sekali tidak takut akan pedang Hwe Lan,
Karena pedang ini adalah pedang biasa yang takkan dapat melukai tubuhnya yang kebal dan ia memiliki ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ia pun tidak takut terhadap totokan. Akan tetapi Hwe Lan yang amat cerdik dan tahu akan kelihaian lawan, selalu menunjukkan pedangnya pada bagian-bagian tubuh yang lemah. Pedangnya berkelebat menyambar ke arah mata, leher, pusar dan urat-urat besar yang tersembul di bawah kulit sehingga akan dapat terputus oleh pedangnya. Biarpun Wai Ong Koksu tidak terdesak atau terancam oleh pedang Hwe Lan, akan tetapi kakek ini maklum bahwa dengan bertangan kosong saja, agaknya amat sukarlah baginya untuk mengalahkan gadis luar biasa ini. Kalau sampai ia tidak berhasil mengalahkan, apalagi kalau sampai ia terluka oleh gadis ini, alangkah akan malunya! Lebih baik ia mempergunakan senjatanya, Wai Ong Koksu berpikir.
Tak perlu ia merasa malu mempergunakan senjata, karena biarpun masih muda, gadis ini benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan hal ini disaksikan pula oleh dua orang kawannya. Memang, kedua kawannya itu semenjak tadi menonton pertempuran ini dengan bengong. Gui Hok Houw memandang dengan penuh kekaguman, tidak saja untuk kelihaian gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena kecantikan dan potongan tubuh Hwe Lan yang menggairahkan dan yang membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya! Gui Kok Houw terkenal sebagai seorang perwira gila perempuan, dan biarpun sudah banyak sekali ia berjumpa dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi kali ini ia harus akui bahwa ia belum pernah melihat seorang gadis sejelita dara ini! apalagi yang memiliki ilmu silat seperti ini!
Orang ketiga, yakni Souw Cong Hwi pemuda yang tampan itu, semenjak tadi pun memandang dengan mata menyatakan kekagumannya melihat ilmu pedang Hwe Lan, akan tetapi bibirnya dikatupkan rapat-rapat karena hatinya mengandung kekhawatiran hebat sekali. Baru melihat sekali saja, timbul rasa suka dan simpati dalam hatinya terhadap dara ini. Wajahnya yang manis dan jelita itulah yang menimbulkan rasa suka dan sikapnya yang gagah perkasa mendatangkan simpati. Souw Cong Hwi maklum akan kelihaian Wai Ong Koksu, maka ia sangat gelisah menyaksikan pertempuran ini. Diputar-putarlah otaknya untuk mencari daya upaya bagaimana ia dapat menolong gadis yang amat menarik dan yang mendebarkan hatinya ini. Ketika ia melihat Wai Ong Koksu berseru keras dan mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah, Souw Cong Hwi terkejut sekali dan ia melompat dengan gerakan ringan ke dekat kakek itu.
"Koksu yang baik, harap sabar dulu!"
Katanya. Wai Ong Koksu memandang dengan heran. Biarpun, Souw Cong Hwi hanya seorang pemuda, akan tetapi ia tidak memandang rendah kepada pemuda ini. pertama karena pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Souw Bun Ong yang selain berpengaruh besar di dalam istana, juga sikapnya amat baik terhadap semua pembesar dan bahkan ketika dulu diadakan pemilihan Koksu, Pangeran Souw Bun Bong yang membujuk Kaisar agar supaya Wai Ong Hosiang menjadi guru negara.
Kedua, pemuda yang masih muda ini adalah murid terkasih dari seorang tokoh persilatan yang dikenalnya baik dan yang telah terkenal pula serta disegani oleh para tokoh besar persilatan. Guru pemuda ini adalah Pat-jiu Sin-kai Pengemis Dewa Bertangan Delapan karena memang orang tua ini hidup sebagai seorang pengemis, mengandalkan makan sehari-hari dari pemberian orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya, pakaiannya tambal-tambalan. Pat-jiu Sin-kai tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, mengembara ke seluruh penjuru dan namanya terkenal sekali karena di manapun ia berada, ia merupakan algojo bagi setiap penjahat dan merupakan pelindung bagi semua orang yang tertindas. Wai Ong Koksu mendengar cegahan pemuda ini ketika ia memegang senjatanya, lalu berkata,
"Souw Kongcu, mengapa kau menyuruh aku bersabar?"
Souw Ceng Hwi menunjuk kepada Hwe Lan yang masih berdiri gagah dengan pedang di tangan dan tangan kirinya bertolak pinggang, sambil berkata,
"Koksu, kurasa bukanlah perbuatan yang bijaksana untuk membunuh seorang nona muda yang belum diketahui betul kesalahannya. Ketika kau tadi melawannya dengan tangan kosong dan berusaha menangkapnya, hal itu masih merupakan perkara kecil, akan tetapi melihat kau memegang senjata dan aku tahu bahwa sekali kau menggerakkan senjata maka jarang ada orang yang dapat keluar dengan nyawa masih di dalam tubuhnya, kurasa lebih baik Koksu bersabar dulu dan jangan sampai salah tangan. Menurut pendapatku yang bodoh, biarpun para perwira yang pengecut tadi menyatakan bahwa nona ini adalah pemberontak Siauw-lim-pai, akan tetapi, ketika tadi bertempur melawanmu, gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang ahli dari Shiauw-lim-pai, biarpun ada beberapa gerakannya yang berasal dari Siauw-lim! Soal kedua, apakah kesalahannya maka kau sampai berkeras hati hendak mengangkat senjata terhadap seorang nona muda seperti dia ini? Harap Koksu sudi mempertimbangkan dengan baik dan jangan sampai melakukan hal-hal yang akan menimbulkan aib bagi nama sendiri!"
Hwe Lan yang mendengarkan ucapan pemuda itu, memandang dengan kagum, heran, dan juga mendongkol. Ia kagum mendengar kata-kata yang amat lancar, teratur dan penuh cengli (aturan) ini. Ia heran karena pemuda yang nampak lemah ini ternyata dapat melihat bahwa gerakan silatnya, dan ia mendongkol karena pemuda itu seakan-akan hendak membelanya hendak menolongnya, seolah-olah ia berada dalam keadaan yang amat terancam. Tiba-tiba perwira muka kuning itu pun berkata,
"Kokcu, ucapan Souw-kongcu betul juga. Sayang nona secantik ini kalau sampai dibunuh!"
Makin dongkol dan marahlah hati Hwe Lan mendengar ucapan ini dan melihat pandang mata perwira muka kuning itu yang ditujukan kepadanya penuh gairah dan nafsu birahi. Ingin ia menusuk mampus perwira ini.
"Bangsat-bangsat rendah, apakah kau kira aku takut menghadapi kalian? Majulah kalian bertiga, tak usah banyak membuka mulut!"
Wai Ong Koksu yang tadi mendengar ucapan kedua orang kawannya, sudah mulai sabar kembali dan merasa juga bahwa tidak sepantasnya kalau dia, sebagai orang terpandai dan paling gagah dalam kerajaan, hendak mempergunakan senjata, membunuh seorang gadis demikian cantik lagi muda. Apalagi kalau ia teringat akan permainan silat gadis ini memang bukan seperti anak murid Siauw-lim. Akan tetapi, kini mendengar bentakan Hwe Lan yang galak, ia tersenyum memandang kepada mereka dan berkata,
"Coba kalian dengar, apakah anak perempuan jahat ini tak perlu dirobohkan. Kita harus tawan dia untuk dibawa ke pengadilan, karena setidaknya ia telah merobohkan perwira Kim-i-wi."
Tiba-tiba perwira yang tadi terluka oleh thi-lian-ci milik Hwe Lan, berkata lagi,
"Bukan hanya merobohkan, bahkan ia telah membunuh beberapa orang kawan-kawan kami!"
Terkejut juga hati Souw Cong Hui, dan Gui Kok Houw mendengar ini, dan Wai Ong Koksu tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan tongkatnya menyerang Hwe Lan! Gadis ini dengan tabah sekali menghadapi serangan Wai Ong Koksu dengan serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Gui Kok Houw juga tidak mau tinggal diam dan begitu tangannya bergerak, tiga bolanya telah bergerak-gerak menyambar ke arah Hwe Lan.
Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak merasa gentar dan memutar pedangnya dengan hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Memang patut dikagumi kegagahan Hwe Lan. Seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja turun dari tempat perguruan, ternyata dengan gigihnya dapat menghadapi Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw, dua orang jago paling pandai dari Kaisar! Akan tetapi, betapapun juga, dua orang kosen itu bukan lawannya dan Hwe Lan hanya dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, karena kini ia mulai terdesak hebat! Tongkat di tangan Wai Ong Koksu amat kuatnya dan sambaran tongkat itu membuat ia harus berloncat-loncatan ke sana kemari, karena untuk menangkis dengan pedang ia tidak berani, maklum akan kehebatan tenaga kakek itu.
Sementara itu, tiga bola di tangan Gui Kok Houw juga berbahaya sekali, karena bola-bola yang diikat tali baja itu bergerak-gerak mengarah jalan darahnya sehingga Hwe Lan harus mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak dan balas menyerang. Akhirnya, tali baja dari bola Gui Busu itu berhasil melibat pedangnya, tongkat Wai Ong Koksu telah menyambar ke arah pergelangan tangannya! Terpaksa Hwe Lan harus melepaskan gagang pedangnya untuk mengelak dari sabetan ini karena kalau tidak, tulang lengannya pasti akan remuk! Pada saat itu, bayangan Souw Cong Hwi berkelebat cepat di belakang Hwe Lan dan tanpa dapat dicegah lagi, jari tangan Souw Cong Hwi menotok jalan darah di punggung gadis itu sehingga Hwe Lan merasa tubuhnya lemas tak berdaya dan tentu akan roboh kalau tidak cepat ditangkap oleh Souw Cong Hwi.
"Aku sudah dapat menangkapnya!"
Kata Souw Cong Hwi sehingga Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw menarik kembali senjata mereka dan memandang dengan senang. Hwe Lan benar-benar tak berdaya, tubuhnya lemas kehilangan tenaga dan hanya matanya saja yang masih memandang tajam penuh ketabahan, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulutnya.
"Souw-kongcu, biarkan aku yang memondong nona manis ini. Ha-ha-ha!"
Kata Gui Kok Houw sambil mengulurkan lengan hendak memegang lengan Hwe Lan. Dengan muka sungguh-sungguh Souw Cong Hui berkata,
"Gui-ciangkun! Patutkah kata-kata itu keluar dari mulutmu? Kau seharusnya malu!"
"Ha-ha-ha!"
Gui Kok Houw masih saja tertawa sambil menudingkan jari tangannya kepada Souw Cong Hwi.
"Kau sungguh pandai, Souw-kongcu! Pandai mencela orang, akan tetapi tidak melihat diri sendiri. Kau melarang aku memondong nona jelita ini agar supaya kau dapat memondongnya sendiri! Ha-ha-ha!"
"Cukup! Hatiku tidak secabul kau!"
Souw Cong Hwi membentak marah dan karena marahnya ia melepaskan tubuh Hwe Lan yang terguling dan rebah miring di atas tanah.
"Hm, kalian orang-orang muda selalu ribut apabila menghadapi wanita cantik biarlah aku tua bangka yang membawa gadis ini. Mari kita bawa dia dan menyerahkannya ke dalam tangan Tan-tihu di Ki-pang karena kota itulah yang terdekat. Biarlah pengadilan di Ki-pang yang akan memeriksa perkaranya!"
Kata Wai Ong Koksu.
Pada saat itu, datang belasan orang perwira Kim-i-wi lain lagi yang datang untuk mengirim bala bantuan karena mereka telah mendengar tentang pertempuran itu. Mereka ini datang berkuda dan segera menolong para perwira yang telah mati dan terluka di dekat kuburan Nyo Hun Tiong itu. Setelah Wai Ong Koksu dan yang lain-lain memeriksa kuburan dan memerintahkan anak buahnya untuk menggali dan mengambil rangka pemberontak Nyo Hung Tiong, mereka lalu pergi dari situ. Hwe Lan yang masih dalam keadaan tak berdaya itu dinaikkan kuda dan dipegang oleh Wai Ong Koksu. Rombongan perwira Kim-i-wi ini lalu pergi ke Ki-pang dan menemui jaksa di kota itu. Melihat bahwa yang datang membawa seorang tangkapan adalah Wai Ong Koksu dari Kota Raja, maka jaksa di Ki-pang itu dengan tergopoh-gopoh lalu membuka persidangan pada waktu itu juga.
Penduduk Ki-pang yang mendengar bahwa ada pemberontak wanita ditangkap dan hendak diadili, berduyun-duyun datang melihat. Di ruang pengadilan telah lengkap hadir jaksa dan para pembantunya, tak ketinggalan tiga orang algojo yang pekerjaannya menyiksa pesakitan apabila ada pesakitan tidak mau mengakui dosa-dosa yang didakwakan kepadanya. Algojo-algojo ini tubuhnya tinggi besar dan nampak kejam. Para perwira yang terluka oleh senjata tiga dara di depan makam Nyo Hun Tiong, telah hadir pula di situ, duduk di kursi rendah karena sungguhpun mereka itu perwira-perwira Kim-i-wi, akan tetapi di dalam persidangan, mereka harus memandang jaksa sebagai orang yang berkedudukan tinggi karena jaksa yang sedang memeriksa perkara adalah wakil Kaisar!
Tak lama kemudian para penonton memandang dengan mata terbuka lebar. Pesakitan digiring memasuki ruang pengadilan. Hwe Lan diiringkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi. Dara ini telah dibebaskan dari totokan dan berjalan dengan dada terangkat tinggi dan sikap yang angkuh. Ia masih merasa lemah karena hampir sehari berada dalam keadaan setengah lumpuh. Hatinya mendongkol dan marah sekali, akan tetapi dia cukup cerdik untuk berlaku sabar pada saat kekuatannya belum kembali. Ia tahu bahwa tiga orang yang selalu menjaganya, yakni Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi adalah orang-orang berkepandaian tinggi, dan akan percuma belaka apabila ia memberontak. Maka ia berlaku cerdik dan menurut saja ketika digiring ke pengadilan, akan tetapi dia dalam hatinya siap sedia untuk memberontak dan melepaskan diri, mencari kesempatan baik.
Hwe Lan tidak memperdulikan pandang mata para penonton yang ditujukan ke arahnya dengan sinar mata terheran, kagum dan juga kasihan. Mereka tak pernah mengira bahwa pemberontak wanita yang ditangkap itu adalah seorang dara muda yang demikian cantik jelita. Dengan langkah tetap dan gagah Hwe Lan disuruh menghadap di depan meja hakim. Ia berdiri lurus dan tegak sedangkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi mengambil tempat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan untuk mereka. Untuk mereka ini yang berkedudukan tinggi dan tidak termasuk orang-orang yang diperiksa, disediakan kursi-kursi tinggi. Melihat betapa gadis itu berdiri dengan angkuhnya di depan meja hakim, seorang algojo yang bermuka hitam melangkah maju dan menghardiknya.
"Jangan tak tahu aturan! Berlutut!"
Hwe Lan menggerakkan kepalanya perlahan, menatap wajah algojo yang kasar dan buruk hitam itu, lalu tersenyum mengejek. Semua orang yang berada di luar ruangan itu memandang dengan hati khawatir. Mereka maklum bahwa algojo yang bermuka hitam ini adalah seorang yang paling kejam di antara semua algojo yang berada di situ.
Kini Si Muka Hitam ini menyeringai kejam dan ia lalu melakukan pekerjaannya yang biasa dilakukan apabila menghadapi seorang pesakitan yang bandel. Algojo ini berhati keras dan tidak dapat dilemahkan hatinya oleh wajah yang jelita maupun tubuh yang ramping dari seorang wanita. Ia mengangkat kedua tangannya yang besar dengan lengan berbulu itu untuk menekan kedua pundak Hwe Lan, dibarengi dengan tendangan ke arah lutut gadis itu! Semua penonton memandang ngeri karena gadis yang cantik itu tentu akan menjerit kesakitan dan terpaksa berlutut. Akan tetapi, mereka segera membelalakkan mata dengan terheran-heran. Bukan gadis itu yang menjerit dan berlutut bahkan algojo muka hitam itu sendiri yang terdengar memekik kesakitan dan tubuhnya yang besar itu terpental ke belakang dan terguling-guling!
Ternyata bahwa biarpun tubuhnya masih lemas namun Hwe Lan masih cukup lihai kalau hanya menghadapi seorang kasar seperti algojo itu saja. Sebelum kedua tangan dan kaki algojo itu menyentuh tubuhnya Hwe Lan telah mendahului dan dengan cepat jari tangan kanan gadis ini "Memasuki"
Lambung
(Lanjut ke Jilid 05)
Tiga Dara Pendekar Siauw-Lim (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Si Algojo yang tak ampun lagi lalu terpental. Ia merasa perutnya seperti diremas-remas dari dalam dan untuk beberapa lama hanya bergulingan sambil merintih-rintih! Kemudian ia dapat menahan sakitnya, lalu melompat berdiri dan kini bersama dua orang kawannya ia hendak turun tangan membereskan pesakitan bandel yang berani berlaku kurang ajar itu! Akan tetapi, tiba-tiba Souw Cong Hwi pemuda putera pangeran itu, berdiri dari kursinya dan berkata sambil mengangkat tangan kanan ke atas.
"Tahan! Jangan menggunakan kekerasan. Apakah kalian hendak mengacaukan pemeriksaan? Mundur!"
Para algojo melihat pemuda ini, segera mengundurkan diri. Mereka tahu siapa pemuda ini, maka mereka tidak berani melanggar perintahnya. Souw Cong Hwi lalu berpaling kepada hakim dan berkata,
"Harap Taijin suka melanjutkan pemeriksaan ini tanpa banyak upacara lagi."
Sebetulnya, hakim, jaksa dan lain-lain pembesar pengadilan merasa terhina sekali dengan sikap Hwe Lan ini. Pada masa itu, seorang yang berani menghina pengadilan dan tidak mau berlutut saja sudah cukup menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman pukul pinggul lima puluh kali! Akan tetapi, mereka tahu bahwa pada saat itu mereka tidak dapat memperlihatkan gigi, karena di situ hadir pula Souw Cong Hwi, putera pangeran yang amat berpengaruh, juga terdapat pula Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw Busu dan lain-lain perwira berkedudukan tinggi. Jaksa lalu memanggil para perwira yang terluka oleh Hwe Lan dan saudara-saudaranya, lalu minta keterangan dari mereka ini tentang terjadinya peristiwa di dalam hutan. Seorang perwira yang tersabet pedang pundaknya oleh Hwe Lan lalu menuturkan dengan suara lantang,
"Kami di bawah pimpinan Thio Kim Cai Ciangkun sedang bekerja untuk membongkar kuburan pemberontak Nyo Hun Tiong untuk dibawa ke Kota Raja dan dijadikan barang bukti bahwa pemberontakan itu telah mampus. Tiba-tiba perempuan liar ini bersama dua orang perempuan liar lainnya, datang dan menyerang kami dengan senjata rahasia. Mereka bertiga lalu menyerbu dan terjadi pertempuran dengan kami. Akan tetapi, mereka benar-benar liar dan lihai sehingga kami semua kena dirobohkan oleh mereka. Dua orang perempuan liar lain yang menjadi kawannya berlari pergi, mengejar Thio-ciangkun yang sampai sekarang tak dapat diketemukan di mana adanya. Mungkin sekali sudah dibunuh pula oleh pemberontak-pemberontak itu. Demikianlah sampai datang Wai Ong Koksu yang akhirnya berhasil menangkap perempuan liar ini."
Kini jaksa memandang kepada Hwe Lan, dan juga semua mata para hadirin di ruang itu memandang kepada Hwe Lan. Gadis ini semenjak tadi hanya berdiri tegak dan diam, akan tetapi diam-diam ia telah mengatur napas untuk memulihkan jalan darahnya sehingga kini ia tidak merasa lemas lagi.
"Perempuan muda, siapakah namamu dan mengapa kau berani mati menyerang, melukai dan membunuh para perwira Kim-i-wi!"
Tanya jaksa itu dengan suara angkuh, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah Hwe Lan nampaknya nyata bahwa ia mengagumi kecantikan gadis itu! Hwe Lan yang luar biasa tabah dan keras hatinya itu kembali tersenyum sinis dan menjawab,
"Aku she Yap dan tentang namaku tak perlu kuberitahukan kepada kalian karena tidak ada perlunya! Aku menyerang anjing-anjing kotor itu karena melihat mereka sedang menggali sebuah kuburan, mungkin hendak makan sisa-sisa tulang mayat yang dikubur di situ!"
Terdengar seruan-seruan heran dan terkejut di antara para penonton. Alangkah beraninya gadis ini, menyebut pasukan Kim-i-wi sebagai anjing-anjing kotor. Juga jaksa yang tadinya tertarik oleh kecantikan Hwe Lan, merasa ngeri mendengar kata-katanya ini, maka ia menggebrak meja dan membentak,
"Jangan membuka mulut lancang! Kau telah menyerang pasukan Kim-i-wi, itu berarti bahwa kau telah memberontak terhadap Hongte (Kaisar). Sebelum kami membuat keputusan, lebih dulu kau harus mengaku di mana adanya kedua kawanmu yang ikut menyerang itu!"
Tiba-tiba Hwe Lan tertawa nyaring dan sepasang matanya yang bagus itu memancarkan sinar mata tajam,
"Taijin (Pembesar), kau bukalah telingamu lebar-lebar dan dengarkan tiga macam pernyataanku ini! Pertama, aku adalah anak murid Siauw-lim-pai akan tetapi aku tidak memberontak terhadap Hongte. Kedua, kedua kawanku itu adalah enci dan adikku sendiri dan aku tidak tahu kemana mereka pergi dan di mana mereka berada. Ketiga, aku sudah bosan melihat mukamu dan muka semua orang yang berada di sini dan sekarang hendak pergi!"
Bukan main marahnya jaksa mendengar ucapan ini, bahkan semua penonton menjadi bengong tak dapat berkata-kata!
"Tangkap dia dan beri pukulan lima puluh kali!"
Dengan muka merah jaksa itu menuding dan memerintah kepada algojo. Gayanya ini baik sekali karena sudah amat biasa ia memberi perintah semacam ini. Tiga orang algojo itu yang hendak membalas dendam segera melangkah maju. Hwe Lan berkata lagi sambil tertawa,
"Taijin, masih ada satu lagi pernyataanku, yakni, aku merasa jijik melihat tiga ekor anjingmu ini dan sudah gatal-gatal tanganku hendak menghajarnya!"
Ketiga algojo marah, mereka maju menubruk dengan hebat, Hwe Lan miringkan tubuh ke kiri dan kakinya melayang ke arah dada algojo muka hitam itu.
"Bluk!"
Dan untuk kedua kalinya tubuh tinggi besar itu terjengkang sehingga kepalanya terbentur pada lantai! Kali ini agak sukar baginya untuk merayap bangun karena selain kepalanya menjadi pening setelah terbentur lantai yang keras, juga napasnya menjadi sesak setelah ulu hatinya dicium oleh ujung sepatu Hwe Lan.
Dua orang kawannya maju dengan cambuk penyiksa di tangan, akan tetapi Hwe Lan lebih cepat lagi. Sebelum mereka bergerak, gadis itu mengulur kedua tangan dan sekali renggut saja ia dapat merampas dua batang cambuk itu. Kini ia mainkan cambuknya dan "Plak! Plak! Plak!"
Hujan cambuk menghantam tubuh kedua algojo itu yang menutupi mukanya dengan sibuk karena cambuk itu dengan tepat menghantam muka mereka bertubi-tubi sehingga sebentar saja hidung mereka menjadi merah karena mengalirkan darah. Hwe Lan tertawa nyaring ketika melihat algojo muka hitam bergerak dan hendak merayap bangun, ia cepat melompat ke dekatnya dan sekali ia menendang keras sambil berseru nyaring,
Tubuh Si Muka Hitam itu terlempar ke arah meja pengadilan dan tepat sekali jatuh menimpa jaksa dan pembantu-pembantunya sehingga mereka pun jatuh tunggang-langgang! Para penonton menjadi panik dan segera mundur dan berlari keluar dari situ, karena mengira bahwa gadis pemberontak itu hendak mengamuk kepada semua orang! Sebelum Hwe Lan dapat melarikan diri dari situ, Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw telah melompat dan menyerangnya. Tubuh Hwe Lan masih lemah dan biarpun ia melawan sedapatnya dan sekuatnya, namun sebentar saja ia telah tertawan lagi dan Gui Kok Houw lalu mengikat kedua tangannya dengan rantai besi yang dimintanya dari pengadilan itu. Wai Ong Koksu lalu berkata kepada pembesar-pembesar pengadilan di Ki-pang bahwa tawanan ini akan ia bawa ke Kota Raja.
"Urusan ini bukanlah urusan kecil, katanya."
Karena ternyata dari penuturan para perwira Kim-i-wi bahwa gadis ini benar-benar seorang yang ada hubungannya dengan mendiang Nyo Hun Tiong. Yang lebih penting lagi, dua orang saudaranya masih belum tertangkap, maka dengan ditawannya gadis ini di Kota Raja, kita dapat mengharapkan kedatangan mereka di Kota Raja pula untuk sekalian ditangkap!"
Pembesar-pembesar di kota itu tak dapat menghalangi kehendak ini dan mereka bahkan merasa lega telah terlepas dari seorang tawanan yang demikian liar dan berbahaya.
Dengan kaki tangan terikat erat-erat, Hwe Lan dibawa oleh Wai Ong Koksu dan kawan-kawannya ke Kota Raja. Souw Cong Hwi yang di dalam hatinya merasa kagum dan kasihan kepada gadis itu, tak berdaya sesuatu oleh karena ia melihat sendiri betapa gadis yang keras kepala itu melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan menghina orang. Ia hanya menjaga jangan sampai gadis ini diganggu oleh Gui Kok Houw, karena dari pandang mata perwira she Gui ini, ia maklum bahwa Gui Kok Houw mengandung maksud kurang bersih terhadap gadis jelita itu. Terhadap Wai Ong Koksu, ia percaya penuh karena tahu bahwa kakek tua yang kosen ini hanya mementingkan kedudukan dan jasa sama sekali tak ada tanda-tanda suka mengganggu seorang wanita.
Perjalanan menuju ke Kota Raja dilakukan cepat dan mengambil jalan lurus, maka tak sampai empat hari kemudian, tibalah mereka di Kota Raja. Selama dalam perjalanan itu, Hwe Lan kelihatan tabah saja, sama sekali tidak pernah kelihatan takut. Bahkan ia tidak kelihatan bersedih, dan selalu makan ransum yang diberikan oleh Souw Cong Hwi dengan muka gembira dan biasa saja. Kepada pemuda ini ia merasa berterima kasih sekali karena berbeda dengan yang lain-lain, pemuda ini berlaku amat baik, sopan terhadapnya dan selalu berpihak dan membelanya! Akan tetapi, Hwe Lan memang angkuh dan tidak mau melayaninya sungguhpun ia tahu dari sinar mata Souw Cong Hwi, bahwa pemuda tampan ini berhati jujur terhadapnya.
Atas permintaan dan tanggungan Souw Cong Hwi, Wai Ong Koksu tidak keberatan untuk melepaskan Hwe Lan seorang diri duduk di atas seekor kuda dengan kedua tangan masih terikat belenggu besi dan rantai yang diikatkan pada belenggu itu dipegang ujungnya oleh Wai Ong Koksu yang duduk di atas lain kuda. Hal ini merupakan pertolongan besar bagi Hwe Lan, karena ia merasa mendongkol dan marah sekali kalau harus duduk sekuda dengan Wai Ong Koksu, biarpun kakek ini tidak memperlihatkaan sikap kurang baik atau tidak sopan. Ketika rombongan ini memasuki gerbang Kota Raja, semua orang memandang dengan penuh perhatian dan heran. Sebentar saja seluruh penduduk kota tahu belaka bahwa seorang gadis cantik jelita menjadi tawanan Koksu. Berita seperti ini cepat sekali menjalar dari mulut ke mulut. Menurut usul Wai Ong Koksu, Hwe Lan dimasukkan dalam pernjara dan dijaga keras. Bahkan Gui Kok Houw sambil tersenyum berkata,
"Jangan khawatir, Koksu, aku sendiri yang akan mengepalai penjagaan ini agar jangan sampai ia lolos!"
Sambil berkata demikian, ia melirik dengan senyum penuh arti kepada gadis itu, sehingga diam-diam Souw Cong Hwi menjadi gelisah dan juga mendongkol sekali. Ia dapat menduga bahwa Perwira Gui ini tentu mempunyai niat yang busuk sekali, maka diam-diam ia memutar otaknya. Setelah Hwe Lan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang terbuat dari dinding tebal dan berpintu baja ang amat kuat serta tangannya masih dibelenggu pula, Wai Ong Koksu lalu pergi menuju ke istana untuk memberi laporan kepada Kaisar.
"Apakah kau juga mau menjaga terus di tempat ini, Kongcu?"
Tanya Gui-ciang-kun dengan bibir menyeringai penuh ejekan kepada Souw Cong Hwi. Wajah pemuda itu menjadi merah dan ia lalu berpamit pulang tanpa banyak cakap lagi. Setibanya di rumah, Souw Cong Hwi lalu menceritakan dengan terus terang kepada ayah dan ibunya. Pangeran Souw Bun Ong adalah seorang terpelajar yang berhati mulia dan berbudi halus. Mendengar nasib gadis itu, ia pun merasa kasihan, akan tetapi ia hanya bisa menarik napas panjang dan berkata,
"Memang harus dikasihani nasib seorang dara muda yang telah tersesat sedemikain jauhnya. Akan tetapi apakah daya kita? Dia telah berlaku salah, biarpun andaikata dia bukan seorang pemberontak, akan tetapi setidaknya ia telah berlaku kasar dan menghina alat negara terutama sekali ia telah melakukan pembunuhan. Hal ini bukanlah soal ringan.
"Akan tetapi, ayah. Sebagai seonrang pendekar wanita, tentu saja ia harus membunuh lawan-lawannya yang hendak mencelakakannya, dan tentang penyerbuannya terhadap para perwira yang hendak menggali kuburan Nyo Hun Tiong itu, kuanggap sebagai tanda bahwa dia benar-benar memiliki jiwa yang gagah. Aku sendiri andaikata menjadi dia, melihat kuburan seorang saudara seperguruan dibongkar orang, tentu takkan membiarkannya begitu saja!"
Ayahnya memandang tajam lalu berkata,
"Eh, Cong Hwi, agaknya kau telah jatuh hati kepada gadis itu!"
Pemuda itu terkejut, menatap wajah ayahnya. Untuk beberapa saat pandang mata mereka bertemmu dan akhirnya pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah merah.
"Aku tidak tahu tentang hal itu, Ayah, hanya satu hal sudah pasti, yakni, betapapun juga, aku tidak rela melihat seorang gadis gagah seperti dia sampai mendapat bencana."
Ia lalu menuturkan sikap Gui Kok Houw yang mencurigakan dan yang diduganya tentu mempunyai niat buruk. Akhirnya, Pangeran Souw Bun Ong yang amat memanjakan putera tunggalnya, menyetujui akal dan usaha pertolongan yang hendak dilakukan oleh pemuda itu.
Sebagai seorang putera pangeran yang berpengaruh, tentu saja banyak perwira yang tunduk dan setia terhadap Pangeran Souw Bun Ong, dan atas pertolongan perwira-perwira yang bekerja sama dengan Gui Kok Houw inilah Souw Cong Hwe menjalankan siasatnya. Ia diam-diam menghubungi mereka dan mereka menyanggupi untuk membantu usaha pemuda itu. Malam hari itu, setelah mendengar dari pembantu-pembantunya bahwa Gui Kok Houw pulang ke gedungnya sebentar dengan cepat Souw Cong Hwi menuju ke penjara di mana Hwe Lan terkurung. Dengan mudah ia memasuki penjara menyamar sebagai penjaga dan dilindungi oleh para perwira yang telah menjadi pembantunya. Berkat bantuan para perwira itu pula, ia dapat masuk ke dalam kamar di mana Hwe Lan dikurung.
Pada saat itu Hwe Lan tengah duduk melamun dan ia mulai merasa gelisah juga. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia bersedih kalau mengingat kepada kedua saudaranya. Di manakah mereka itu sekarang berada? Tugasnya membalas dendam kepada perwira Lee belum juga terlaksana dan ia sekarang telah tertimpa bencana. Apakah yang harus ia lakukan? Ia telah mengambil keputusan bahwa ia takkan terbunuh begitu saja tanpa melawan. Sebelum terbunuh ia akan berusaha melepaskan diri dan mengamuk lebih dahulu. Semenjak siang tadi ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dan akhirnya ia dapat berhasil mematahkan belenggu tangannya! Hal ini tidak terjadi dengan mudah karena ia baru berhasil setelah kulit pergelangan tangannya menjadi biru tua dan berdarah. Akan tetapi, ia menghadapi pintu baja yang amat kuat.
Percuma saja ia mencoba untuk membukanya, sampai habis tenaganya dalam usaha ini, akan tetapi sedikitpun pintu itu tidak dapat digerakkan. Pintu itu terbuat dari ruji-ruji baja sebesar lengan tangan yang bukan main kuatnya. Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang di luar pintu dan ketika ia memandang penuh perhatian, ia melihat bahwa bayangan orang itu bukan lain ialah Souw Cong Hwi, pemuda yang selama dalam perjalanan berlaku baik terhadapnya. Apakah maksud dan kehendak pemuda ini? Ia hendak membuka mulut akan tetapi Souw Cong Hwi memberi isyarat agar supaya gadis itu diam seja jangan mengeluarkan suara. Kemudian ia mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu kamar itu dengan hati-hati sekali. Setelah terbuka, ia lalu menyelinap masuk dan berbisik dengan tergesa-gesa,
"Nona, jangan salah sangka. Aku datang hendak menolong kau keluar dari sini!"
Sambil berkata demikian, pemmuda ini membuka buntalan kain yang tadi dibawanya dan ternyata kain itu berisi sebatang pedang dan sekantung uang perak.
"Ini, terimalah, Nona dan lekas kau pergi dari sini. Jangan kau bunuh penjaga-penjaga di sini karena sebagian besar dari mereka itu bukanlah orang-orang jahat!"
Hwe Lan memandang dan matanya yang bagus itu terbelalak lebar. Ia benar-benar tercengang heran melihat tindakan pemuda ini yang demikian baiknya terhadap dia.
"Terimalah Nona, jangan ragu-ragu. Aku benar-benar tidak bermaksud jahat. Kalau kiranya Nona merasa sukar untuk keluar dari Kota Raja yang terjaga kuat, jangan Nona khawatir. Pergilah ke gedung Ayahku, yakni Pangeran Souw Bun Ong, gedungnya di ujung kota bagian utara, dikurung tembok merah. Nah, terimalah ini!"
Souw Cong Hwi mendesak melihat nona itu agaknya merasa ragu-ragu.
"Akan tetapi... bagaimana kau sendiri...? Kalau diketahui oleh mereka, kau... kau..."
Aneh sekali, Cong Hwi merasa hatinya amat girang mendengar ucapan ini. Ia merasa bahagia sekali melihat nona itu menguatirkan keadaannya!
"Aku? Ah, mudah saja, Nona. Kau lihat!"
Sambil berkata demikian, pemuda ini lalu menggerakkan pedang yang diberikan kepada Hwe Lan dan yang belum diterimanya itu ke arah pundaknya sendiri.
"Cap!"
Mata pedang yang tajam itu menembus pakaiannya dan melukai pundaknya, darah mengalir membasahi bajunya. Cong Hwi masih tersenyum memandang dan berkata,
"Nah, kau telah merampas pedang dan melukai pundakku! Mudah saja bagiku bukan?"
Sambil berkata demikian, ia memaksa gadis itu menerima pedang dan kantung uang, dan berbisik,
"Jangan lupa kalau tidak ada jalan keluar, datanglah ke gedung orang tuaku!"
Kemudian, ia mendorong tubuh Hwe Lan supaya gadis ini berlari keluar, lalu ia berteriak-teriak keras,
"Aduh, celaka! Tawanan terlepas....Tangkap...!"
Hwe Lan maklum akan maksud pemuda itu yang benar-benar telah menolongnya secara luar biasa sekali. Dengan hati terharu, ia lalu berlari keluar melalui lorong kecil di dalam rumah penjara itu. Ia mendengar suara orang berlari dari depan dan lima orang penjaga telah mencegatnya dengan senjata di tangan. Ia teringat akan pesan pemuda itu yang melarangnya membunuh para penjaga. Maka ketika mereka menyerbu, ia lalu memutar pedangnya dan beberapa kali gerakan saja senjata di tangan para penjaga itu telah terlepas semua! Hwe Lan mengayun kaki menendang roboh penjaga yang terdekat, lalu berlari cepat keluar. Beberapa orang penjaga datang lagi menyerbu, akan tetapi dengan mudah ia membuat mereka jatuh tunggang langgang tanpa mendatangkan luka parah, dan akhirnya ia tiba di luar penjara! Suara teriakan para penjaga menggema dari rumah penjara itu.
"Pemberontak wanita telah lepas! Tangkap! Kejar!"
Dan para penjaga itu dengan hati takut, akan tetapi khawatir kalau akan mendapat hukuman berat karena terlepasnya tawanan itu, segera mengejar keluar. Dan pada saat itu, Gui Kok Houw dan beberapa orang Kim-i-wi datang untuk melakukan ronda malam di rumah penjara itu!
Melihat Hwe Lan telah berdiri di depan rumah penjara dengan pedang di tangan, mereka cepat menyerbu, dikepalai oleh Gui Kok Houw yang telah mengeluarkan senjatanya yang lihai, yakni tiga bola yang diikat rantai baja itu. Hwe Lan berlaku gesit. Ketika melihat datangnya tiga bola itu menyambar ke arah tiga bagian tubuhnya, ia cepat mengelak ke samping dan sambil membabatkan pedangnya ke arah pinggang Gui-ciangkun, kakinya diangkat menendang seorang perwira Kim-i-wi yang segera menjerit dan roboh. Dua orang perwira lain bersama Gui Kok Houw mengeroyok dengan hebatnya, akan tetapi sambil memutar-mutar pedangnya, Hwe Lan mengamuk dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Ia maklum bahwa kalau ia lebih lama melayani mereka, tentu akan datang pula perwira-perwira lain dan kalau Wai Ong Koksu ikut datang maka ia takkan dapat melarikan diri lagi.
Sayang sekali bahwa ia tidak mempunyai thi-lian-ci lagi karena senjata-senjatanya telah dirampas. Akan tetapi, tiba-tiba, ia teringat akan kantung pemberian Cong Hwi tadi, maka cepat ia meroboh kantung yang telah digantungkan di pinggang itu dan mengeluarkan beberapa potong uang perak. Ia juga pernah mempelajari cara menyambit dengan chi-piauw (senjata rahasia uang logam), maka ketika ia menggerakkan tangan kirinya, tiga sinar putih dari uang perak itu menyambar ke arah Gui Kok Houw. Perwira ini terkejut sekali dan cepat melompat untuk menghindarkan senjata rahasia yang hebat dan cepat sekali menyambarnya itu, dan saat ini dipergunakan oleh Hwe Lan untuk melompat ke atas genteng dan berlari cepat. Pada saat itu, Souw Cong Hwi berlari keluar dari rumah penjara dan berteriak-teriak,
"Tangkap penjahat itu!"
Pemuda ini dengan pundak berlumuran darah lalu menggerakkan tangannya dan tiga batang hiang-leng-piauw (senjata rahasia pakai kerincingan) yang mengeluarkan suara berisik melayang ke arah bayangan Hwe Lan di atas genteng. Gadis ini diam-diam memuji kecerdikan dan juga kepandaian pemuda ini dan cepat ia mengelak, lalu melanjutkan larinya. Gui Kok Houw berseru keras,
"Bangsat perempuan hendak lari ke mana?"
Lalu ia mengejar, diikuti oleh beberapa orang perwira dan juga oleh Souw Cong Hwi! Dengan ringan Gui-ciangkun mengejar ke atas genteng dan berlari cepat sekali. Ketika melihat empat orang perwira ikut mengejar, ia berkata,
"Seorang di antara kalian turun dan memberi tahu kepada seluruh penjaga kota agar supaya menjaga keras. Jangan sampai penjahat itu kabur keluar kota!"
Seorang perwira lalu melompat turun lagi untuk melakukan perintah ini dan yang lain-lain melanjutkan pengejaran mereka. Biarpun Hwe Lan memiliki ilmu lari cepat yang cukup tinggi, akan tetapi oleh karena bangunan-bangunan di Kota Raja tinggi-tinggi dan juga ia belum kenal jalan, maka para pengejarnya tidak tertinggal jauh.
Untung baginya bahwa malam itu agak gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang, maka tidak mudah juga bagi para pengejarnya untuk menangkapnya. Pada saat itu, Hwe Lan melihat bayangan-bayangan hitam dari depan, disusul pula oleh bayangan para perwira Kim-i-wi dari kanan yang juga telah diberitahu dan mulai ikut mengejarnya! Ia merasa terkejut sekali dan maklum bahwa sukar baginya untuk meloloskan diri dari Kota Raja, maka teringatlah ia akan pesan Cong Hwi tadi untuk bersembunyi di gedung Pangeran Souw Bun Ong. Hwe Lan adalah seorang gadis yang cerdik, maka melihat betapa musuh di atas genteng makin banyak dan dirinya telah terkurung, ia lalu melompat turun dan berlari cepat sambil bersembunyi di antara bangunan-bangunan rumah! Ia sengaja berlari di tempat-tempat yang gelap dan karena penuh dengan bayangan rumah-rumah, maka di bawah ia merasa lebih aman.
Memang tindakan ini tepat sekali. Para pengejarnya di atas genteng yang tiba-tiba kehilangan bayangannya, menjadi bingung. Gui Kok Houw menyumpah-nyumpah dan membagi-bagi perintah mencari ke sana ke mari, menyuruh para penjaga memperkuat penjagaan di pintu-pintu gerbang kota untuk mencegah gadis itu melarikan diri keluar kota. Akan tetapi pada saat itu, Hwe Lan telah berada di ujung utara kota dan berhasil menemukan bangunan besar yang bertembok merah. Ia lalu melihat ke kanan kiri dan ternyata para pengejarnya tidak ada yang mencari di bagian ini. Dengan gesit ia melompat ke atas pagar tembok dan langsung masuk ke dalam taman bangunan besar itu, terus menuju ke pintu belakang gedung. Sesosok bayangan orang muncul dari pintu dan menegurnya,
Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau Nona Yap?"
Tanya bayangan itu yang muncul dan berdiri di bawah lampu penerangan yang dipasang di atas pintu belakang. Hwe Lan melihat seorang laki-laki setengah tua yang bersikap agung dan wajahnya menunjukkan kehalusan budi. Wajah ini melenyapkan keraguannya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Pangeran Souw Bun Ong, ayah pemuda baik hati yang telah menolongnya, maka ia lalu menjura dengan hormat.
"Benar, Taijin. Aku adalah Yap Hwe Lan yang bernasib buruk dan hanya akan mengganggumu saja."
"Ah, Nona, masuklah cepat!"
Kata pangeran itu yang telah sengaja menanti di situ, sesuai dengan petunjuk puteranya.
Ketika Hwe Lan berjalan masuk melalui pintu itu, Pangeran Souw diam-diam mengagumi kecantikan gadis ini yang benar-benar luar biasa. Tanpa diketahui oleh para pelayan yang telah tidur dan yang memang dilarang keluar pada waktu malam itu, Souw Bun Ong lalu mengajak Hwe Lan masuk ke ruangan dalam dan menemui isterinya. Nyonya Souw juga merasa kagum dan suka melihat Hwe Lan yang kecantikannya tidak kalah oleh puteri-puteri dari istana kaisar ini, dan segera mengajak gadis ini masuk ke dalam kamarnya. Melihat keramahan dan kebaikan hati suami isteri bangsawan ini, Hwe Lan menjadi amat terharu dan tak dapat dicegah lagi ia lalu maju menjatuhkan diri berlutut. Souw-hujin (Nyonya Souw) memeluknya dan mengangkatnya bangun.
"Anak yang malang,"
Katanya perlahan.
"biarlah untuk sementara kau tingga di dalam gedung ini dan anggap kami seperti orang tua sendiri."
"Nona, sungguhpun kami belum tahu betul siapa adanya kau, akan tetapi kami telah mendengar dari Cong Hwi tentang pengalamanmu. Kau tak perlu merasa khawatir setelah berada di dalam gedung ini, karena takkan ada orang yang dapat mencarimu ke sini."
Tiga orang itu lalu berunding dan bercakap-cakap. Menurut pendapat mereka, agar jangan sampai menarik perhatian lain orang dan agar supaya persembunyian Hwe Lan sempurna, maka gadis akan menyamar sebagai orang pelayan dalam yang melayani Souw-hujin. Hwe Lan mengambil keputusan untuk bersembunyi di tempat aman ini sampai keadaan tenang kembali.
"Kurasa para perwira akan menjadi penasaran dan akan menjaga seluruh kota mencari-carimu sampai dapat. Dalam satu dua bulan ini, tak mungkin bagimu keluar dari gedung ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku akan berdaya upaya agar bisa mendapatkan jalan bagimu keluar dari kota tanpa ketahuan,"
Kata Pangeran Souw Bun Ong.
"Sebetulnya, mengapa pula harus pergi keluar kota?"
Kata isterinya sambil memandang wajah Hwe Lan yang manis.
"Apa salahnya kalau Nona Yap tinggal di sini seterusnya?"
Hwe Lan benar-benar merasa terharu mendengar ucapan-ucapan kedua suami isteri yang amat memperhatikan nasibnya ini. Tak pernah disangkanya bahwa di Kota Raja ia akan bertemu dengan pemuda sebaik Cong Hwi dan bangsawan-bangsawan semulia Pangeran Souw dan isterinya ini. teringat akan pengorbanan Cong Hwi yang melukai pundaknya sendiri, ia menjadi amat terharu dan tiba-tiba ia menjadi khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu, maka ia lalu berkata,
"Taijin, harap Taijin suka menengok keadaan puteramu, aku khawatir kalau-kalau terjadi hal yang kurang baik dengan dia."
Ia lalu menceritakan betapa untuk menolongnya, Souw Cong Hwi telah datang melepaskannya dari kurungan dan melukai pundaknya sendiri. Pangeran Souw menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang puteraku yang hanya seorang itu aneh sekali. Sebetulnya, dengan jalan halus mungkin aku pun akan dapat menolongmu, akan tetapi ia berkeras hati dan mengambil jalan menurut caranya sendiri. Dia benar-benar seorang petualang yang suka membikin onar!"
Mari kita melihat pengalaman Souw Cong Hwi, putera pangeran yang begitu berjumpa telah jatuh hati kepada Hwe Lan sedemikian rupa sehingga tak segan-segan untuk berkorban guna menolong gadis itu. Sebagaimana diceritakan di depan, pemuda itu melukai pundaknya sendiri dengan pedang, kemudian sambil berteriak-teriak ia mengejar pula keluar, pura-pura ikut mengejar Hwe Lan, bahkan di depan Gui Kok Hwa, ia telah menyambit Hwe Lan dengan senjata rahasianya, yakni hiang-leng-piauw. Gui Kok Houw merasa heran dan terkejut melihat munculnya pemuda itu di situ, dan timbullah kecurigaan besar di dalam hatinya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya dan melakukan penyelidikan.
Yang terpenting pada saat itu ialah mengejar dan menangkap kembali tawanan yang melarikan diri itu. Ia memang semenjak ditangkapnya Hwe Lan, telah merasa curiga terhadap pemuda itu dan ia menganggap pemuda itu merupakan seorang penghalang besar bagi maksudnya yang jahat terhadap Hwe Lan. Ia telah tergila-gila terhadap kecantikan gadis tawanan itu dan kedatangannya di malam buta ini pun bukan sekedar hendak mencari kesempatan untuk mengganggu Hwe Lan, gadis jelita yang membuatnya tak dapat tidur nyenyak dalam beberapa malam ini. Setelah ternyata bahwa gadis itu lenyap tak dapat tertangkap, barulah ia kembali ke rumah penjara untuk melakukan penyelidikan. Dan ia merasa makin heran melihat Souw Cong Hwi telah berada di situ pula, sedang bercerita dan didengarkan oleh beberapa orang perwira bahkan Wai Ong Koksu juga telah berada di situ pula!
"Souw-kongcu!"
Datang-datang Gui Kok Houw menegur dengan suara keras.
"Apa perlunya kau malam-malam datang ke tempat penjara ini?"
Souw Cong Hwi memandang dan sedikit pun tidak merasa takut.
"Gui-ciangkun, semenjak kapankah aku harus melapor kepadamu lebih dulu sebelum aku pergi ke mana-mana?"
Ia balas bertanya dengan pandang mata menantang. Gui Kok Houw marah sekali, akan tetapi ia tidak berani berlaku kasar terhadap putera pangeran itu, dan melihat kepala penjaga penjara berdiri dengan tubuh gemetar di situ, ia lalu maju dan menampar dengan tangan kanan sehingga tubuh penjaga itu terguling ke atas tanah.
"Babi bodoh!"
Ia memaki marah.
"Bagaimana kau sampai berani melepaskan tawanan itu? Kau harus menggantinya dengan kepalamu!"
Kepala penjaga itu takut dengan tubuh menggigil karena takut lalu berkata,
"Mohon ampun, Ciangkun. Sebetulnya bukan hamba yang salah. Souw-kongcu ini diserang oleh penjahat perempuan tadi.."
Dan ia lalu menuturkan betapa ia dan kawan-kawannya mendengar teriakan Souw Cong Hwi yang terluka pundaknya dan mengejar-ngejar tawanan itu yang tahu-tahu telah terlepas dari kurungan. Gui Kok Houw memandang kepada Souw Cong Hwi dengan mata tajam dan mulut menyeringai lalu berkata,
"Hm, agaknya hanya Souw-kongcu, sendirilah yang tahu bagaimana nona manis itu sampai dapat melepaskan diri!"
Kata-katanya penuh mengandung sindiran. Juga Wai Ong Koksu bertanya heran.
"Bagaimanakah dia bisa meloloskan diri, Kongcu?"
Souw Cong Hwi menarik napas panjang dan menjawab,
"Memang aku yang bodoh, mudah saja tertipu oleh nona itu. Aku yang merasa ikut bertanggung jawab dak aku ikut pula menangkap nona itu, sengaja datang hendak memeriksa karena khawatir kalau-kalau dua orang kawannya datang menolong, dan pula aku merasa khawatir juga kalau terjadi apa-apa yang tidak selayaknya dengan tawanan itu sampai di sini ia memandang kepada Gui Kok Houw dengan tajam penuh arti, maka aku datang menjenguk kurungan di mana nona itu berada. Ketika aku tiba di depan pintu kurungan, aku terkejut sekali melihat nona itu rebah telungkup dalam keadaan yang menunjukkan bahwa ia sedang pingsan, bahkan tadinya kusangkah ia telah mati. Aku lalu meminjam kunci dan membuka kurungan itu dengan pedang di tangan. Ketika aku membungkuk dan memeriksa, tiba-tiba nona yang kusangka pingsan itu menyerangku dengan tak tersangka-sangka sama sekali sehingga pedangku terampas dan ia melukai pundakku. Kemudian ia melarikan diri, aku berusaha mengejar, akan tetapi ia lebih cepat. Selanjutnya Cu-wi sekalian telah tahu apa yang terjadi."
"Aneh sekali,"
Seru Gui Kok Houw, suaranya mengandung ketidak percayaan.
"Bagaimana Souw-kongcu yang gagah perkasa sampai dapat tertipu sedemikian mudahnya seperti seorang anak kecil? Benar-benar aneh dan hampir tak mungkin!"
"Tidak percayakah Gui-ciangkun kepadaku?"
Kata Souw Cong Hwi sambil menatap wajah perwira itu.
"Penutusanmu tak masuk diakal dan amat meragukan,"
Kata perwira itu terus terang. Gui Kok Houw juga memandang dengan tajam dan dua orang itu saling pandang dengan marah, keadaan menjadi tegang karena mereka telah menjadi panas hati. Wai Ong Koksu lalu melangkah maju dan berkata,
"Sudahalah, hal ini tak perlu diperpanjang lagi. Lebih baik kita berusaha agar tawanan itu dapat ditangkap kembali. Gui-ciangkun, penjagaan di pintu gerbang kota harap diperkuat dan semua orang yang keluar dari kota harus diperiksa dengan teliti."
"Tapi, Souw-kongcu bertanggung-jawab atas lolosnya tawanan ini,"
Kata Gui Kok Houw yang masih merasa penasaran. Pada saat itu, malam telah berganti pagi dan tiba-tiba para penjaga menyambut kedatangan serombongan orang dengan penuh hormat. Rombongan ini ternyata adalah Pangeran Souw Bun Ong yang dikawal oleh pengawal pribadinya. Melihat kedatangan Pangeran Souw ini, Gui Kok Houw lalu memberi hormat, juga Wai Ong Koksu menjura dengan hormat. Pangeran Souw membalas penghormatan mereka dan langsung menghampiri Souw Cong Hwi.
"Benarkah kau terluka oleh pemberontak yang melarikan diri?"
Tanya pangeran ini sambil memandang kepada puteranya dengan muka khawatir.
"Hanya sedikit luka di pundak, ayah. Tidak apa-apa. Yang lebih hebat adalah tuduhan Gui-ciangkun yang seakan-akan menimpakan semua kesalahan kepadaku dan bahkan ia menyangka bahwa aku sengaja melepaskan tawanan itu."
Pangeran Souw Bun Ong memandang kepada Gui Kok Houw yang segera menundukkan kepalanya, memberi hormat kepada pangeran itu dan berkata,
"Maaf, maaf, bukan hamba menuduh secara membabi buta, akan tetapi sudah menjadi kewajiban hamba untuk mendapatkan kembali tawanan itu."
Setelah berkata demikian, perwira ini kembali memberi hormat dan mengundurkan diri dengan hati mendongkol sekali. Pangeran Souw Bun Ong lalu mengajak puteranya pulang dan tak seorang pun yang berani melarangnya, sedangkan Wai Ong Koksu lalu menjumpai Gui Kok Houw untuk merundingkan hal itu. Wai Ong Koksu juga merasa curiga kepada Cong Hwi, maka ia menghibur Perwira Gui dan berkata,
"Menghadapi Pangeran Souw, kita tak boleh berlaku sembrono. Jangan sampai urusan tawanan kecil ini saja menjadikan kau bermusuhan dengan Pangeran Souw, itu berbahaya sekali. Kurasa gadis liar itu masih berada di Kota Raja dan kalau kita melakukan penjagaan keras dan mencari di dalam kota menyebar mata-mata, tentu kita akan dapat menangkapnya kembali."
Demikianlah, semenjak saat itu, pintu gerbang Kota Raja dijaga dengan keras, dan banyak mata-mata dan penyelidik disebar untuk mengetahui di mana bersembunyinya tawanan yang lolos itu. Sementara itu, Souw Cong Hwi merasa girang sekali mendengar dari ayahnya bahwa Hwe Lan telah datang ke gedungnya dan bersembunyi di situ menyamar sebagai seorang pelayan.
"Kau cinta padanya?"
Tanya ayahnya. Dengan muka merah Cong Hwi menjawab,
"Entahlah ayah. Akan tetapi aku... aku suka kepadanya, aku bersimpati padanya dan aku ingin melihat dai selamat dan berbahagia."
Ayahnya menghela napas.
"Hm, itu artinya bahwa kau mencinta padanya."
Pangeran itu mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya yang panjang dan hitam.
"Aku dan ibumu pun suka kepada gadis itu. Dia cukup cantik dan bersikap sopan. Akan tetapi...hm, kau tahu, Cong Hwi bagaimanapun juga, kita adalah bangsawan yang dihormati orang. Bukan kehendakku untuk berlaku kukuh dan memandang rendah orang lain, akan tetapi...kita harus ketahui dulu asal-usul gadis itu. Kalau memang ia keturunan baik-baik dan ada alasan yang kuat mengapa ia sampai menyerang pasukan Kim-i-wi, tentu aku dan ibumu akan memikirkan tentang perasaanmu terhadap dia itu."
Souw Cong Hwi maklum sepenuhnya maksud ayahnya ini. Akan tetapi, ternyata bahwa dirinya, dan jarang sekali ia bicara tentang riwayatnya.
Harus diakui bahwa gadis itu rajin sekali, melakukan semua pekerjaan seperti seorang pelayan tulen. Pelayan-pelayan lain dalam gedung itu tentu saja merasa heran dengan adanya pelayan baru ini, akan tetapi dengan cerdik, Nyonya Souw menyatakan bahwa pelayan ini adalah puteri seorang kenalan di dusun dan datang pada malam hari, dan diangkat menjadi pelayan dalam, melayani keperluan Nyonya Souw sendiri. Cong Hwi adalah seorang pemuda terpelajar dan sopan, juga ia merasa malu-malu kepada Hwe Lan, maka jarang sekali dua orang muda ini bercakap-cakap. Pertemuan mereka dalam gedung itu hanyalah sepintas lalu saja. Sepekan kemudian, ketika Cong Hwi tengah duduk seorang diri di ruang dalam tiba-tiba Hwe Lan datang ke ruang itu dan bertanya tentang peristiwa pelariannya itu. Dengan terus terang Cong Hwi menceritakan pengalamannya dan kemudian berkata,
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo