Sepasang Rajah Naga 32
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 32
Dia tahu bahwa sudah menjadi kebiasaan Kaisar, untuk makan pagi di dalam taman ini, dilayani para dayang Istana. Dan dia juga amat mengenal taman ini, tahu di mana tempat persembunyian yang baik. Dia lalu bersembunyi di dalam rumpun bambu hias yang rimbun, duduk bersila dan tertutup sama sekali oleh rumpun bambu itu. Di situ dia menanti. Tepat seperti yang diduganya, setelah malam terganti pagi dan matahari mulai cerah, sinarnya sudah dapat menembus celah-celah daun bambu, dari tempat bersembunyi dia melihat rombongan Kaisar memasuki taman menuju ke sebuah bangunan tanpa dinding yang berdiri dikolam ikan emas. Seperti biasa, Kaisar dikawal oleh lima orang Thaikam (sida-sida) pengawal yang berpakaian gemerlapan dan yang menggantungkan pedang di pinggang, tampak gagah akan tetapi lucu karena gerakan mereka kewan?taan.
Selain lima orang pengawal yang bertugas mengiringkan Kaisar, terdapat juga tujuh orang dayang muda remaja dan rata-rata berwajah cantik dan bertubuh menggairahkan. Tujuh orang gadis yang menjadi dayang ini membawa hidangan makan pagi untuk Kaisar yang masih mengepul panas. Song Bu menahan diri untuk bersabar. Dia tidak ingin mengejutkan Kaisar sebelum Kaisar sarapan, karena hal itu mungkin saja akan mengganggu kenyamanan Kaisar makan pagi. Dia hanya mengintai dari tempat persembunyiannya. Karena semalam dia tidak makan, maka pagi ini melihat Kaisar sarapan dengan makanan yang mengepul dan dari tempat persembunyiannya saja sudah dapat tertangkap oleh hidungnya aroma yang amat sedap, dia sampai menelan ludah.
Seorang dayang memainkan yang-kim (semacam gitar) mengiringi seorang dayang lain yang bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Dia pernah diajak Kaisar menemaninya sarapan pagi masakan lezat dan diiringi nyanyian seperti itu dan terkenanglah dia akan kelezatannya, membuatnya merasa semakin lapar lagi. Akhirnya, yang dinanti-nantikan selesai juga. Kaisar selesai sarapan dan sedang menikmati hidangan buah dan minun anggur sambil mendengarkan nyanyian dan suara yang-kim. Saat itulah yang dinanti-nantikan oleh Song Bu. Dia keluar dari tempat sembunyinya, dengan cepat lari menuju ke bangunan itu. Ketika para pengawal, para dayang dan Kaisar sendiri melihat kemunculannya yang tiba-tiba dengan kaget, Song Bu segera menjatuhkan diri berlutut di bawah anak tangga bangunan pondok itu.
"Sribaginda Kaisar Yang Mulia, hamba Tan Song Bu mohon ampun kalau hamba mengganggu dan mengejutkan Paduka"
Kata Song Bu dengan suara lantang agar dikenali Kaisar. Lima orang pengawal itu sudah berloncatan ke depan sambil mencabut pedang mereka dan mereka sudah mengepung Song Bu yang berlutut. Mereka menodongkan pedang ke arah tubuh pemuda itu. Kaisar Ceng Tek segera mengenal pemuda itu.
"Hei, bukankah engkau Song Bu? Bagaimana engkau dapat muncul disini?"
"Yang Mulia, hamba Tan Song Bu. Mohon ampun kalau hamba menghadap Paduka tanpa diperintahkan seperti ini. hamba mempunyai urusan yang teramat penting yang harus hamba haturkan kepada Paduka,"
Kata Song Bu yang masih berlutut.
"Yang Mulia, orang ini mencurigakan dan mungkin berbahaya bagi Paduka. perkenankan hamba berlima menangkap dan menghukum dia!"
Kata kepala pengawal sambil menempelkan pedangnya di leher Song Bu. Pemuda itu maklum akan bahaya karena dia tahu bahwa lima orang pengawal itu tentu merupakan anak buah Thaikam Liu Cin. Dia sudah waspada dan siap. Akan tetapi Kaisar Ceng Tek menggerakkan tangan dengan tidak sabar.
"Kalian berlima kuperkenankan mundur. Mundurlah dan kalian berjaga saja di luar pondok!"
Mendengar ini, lima orang pengawal itu saling pandang, akan tetapi mereka tidak berani membantah perintah Kaisar dan mereka segera keluar dari bangunan itu, lalu berdiri di luar. Agaknya Kaisar merasa yakin akan kesetiaan Song Bu yang pernah mengawalnya berdua saja ketika dia keluar dengan menyamar.
"Cepat bersihkan meja dan kalian juga segera meninggalkan tempat ini!"
Kata Kaisar kepada tujuh orang gadis dayang. Para gadis itu bekerja dengan cepat, membersihkan meja lalu mereka pun keluar meninggalkan tempat itu sehingga kini Kaisar Ceng Tek tinggal berdua saja dengan Song Bu.
"Ha, Song Bu, dari mana saja engkau, Sudah lama kami tidak melihatmu dan menurut Liu Thaikam, engkau melaksanakan tugas. Dan bagaimana sekarang engkau tiba-tiba muncul di sini dan eh, kenapa pakaianmu seperti itu? Pakaian jelek, kotor dan basah semua? Apa yang terjadi?"
"Ampun, Yang Mulia. Terpaksa hamba masuk melewati dinding belakang Istana dan menyeberangi sungai buatan karena hanya secara inilah hamba dapat menghadap Paduka. Tidak mungkin bagi hamba untuk menghadap Paduka secara berterang seperti biasa."
"Ehh? Kenapa begitu? Mari, ke sini dan duduklah di atas kursi itu agar lebih enak kita bicara,"
Kata Kaisar sambil menunju sebuah kursi yang berada tak jauh didepannya.
"Terima kasih, Yang Mulia."
Song Bu memberi hormat, lalu bangkit dan menghampiri kursi, duduk berhadapan dengan Kaisar Ceng Tek.
"Nah, sekarang ceritakanlah, kenapa engkau bersikap begini aneh dan penuh rahasia! Apakah yang telah terjadi, Song Bu?"
Tanya Kaisar sambil memandang pemuda itu dengan heran.
"Yang Mulia, banyak hal yang amat penting terjadi di luar Istana. Hal-hal itu sudah semestinya. Paduka ketahui karena menyangkut keselamatan Paduka, Kerajaan, dan rakyat."
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Song Bu yang demikian serius, Kaisar Ceng Tek tertarik sekali.
"Hemm, ada kejadian apakah, Song Bu? Cepat ceritakan kepada kami."
"Ampunkan hamba, Yang Mulia. Sebelum hamba melaporkan, hamba mohon lebih dulu agar Paduka percaya kepada hamba, karena hamba kira sudah banyak pejabat setia yang pernah melapor kepada Paduka namun Paduka tidak mempercayai mereka."
"Hemm, ceritakan saja, Song Bu. Soal percaya atau tidak kepadamu akan kami pertimbangkan nanti kalau sudah mendengar ceritamu. Apakah yang telah terjadi?"
"Paduka Yang Mulia mungkin masih ingat kepada Siang Bi Hwa, gadis di Nam-Po yang pandai bernyanyi dan main musik itu?"
Kaisar Ceng Tek mengangguk-angguk,
"Haya, kami masih ingat. Gadis yang pandai dan cantik. Ada apakah dengan gadis itu?"
"Gadis itulah yang menjadi saksi hidup tentang kebenaran laporan hamba ini, akan tetapi sungguh sayang, gadis yang hendak hamba hadapkan Paduka sebagai saksi itu semalam telah diculik orang-orang yang menjadi musuh besar Kerajaan Paduka."
"Eh? Siapakah mereka?"
"Mereka yang menculik Siang Bi Hwa itu adalah orang-orang Pek-Lian-Kauw, Yang Mulia."
Kaisar Ceng Tek terbelalak dan dia terkejut sekali mendengar disebutnya nama perkumpulan rahasia yang terkenal sebagai pemberontak itu.
"Ahh! Bagaimana mungkin orang-orang Pek-Lian-Kauw dapat berada di Kotaraja?"
Dia berseru ragu, belum percaya.
"Tentu saja tidak akan mungkin kalau tidak ada orang yang memegang kekuasaan di Kotaraja dan yang bersekongkol dengan orang Pek-Lian-Kauw, Yang Mulia. Hamba mohon Paduka menyadari keadaan yang amat berbahaya, Yang Mulia. Saat ini ada seorang pejabat tinggi yang bersekongkol dengan Pek-Lian-Kauw, bahkan dengan orang Mancu, dan saat ini bahkan ada orang penting Pek-Lian-Kauw menjadi tamunya dan mereka tentu merencanakan siasat yang amat berbahaya terhadap Paduka. karena ingin menyelamatkan Paduka maka hamba nekat menempuh jalan seperti sekarang ini untuk menghadap Paduka dan memberi laporan."
"Song Bu! Katakan, siapa pejabat tinggi yang kau maksudkan telah berkomplot dengan Pek-Lian-Kauw dan orang Mancu Itu?"
"Yang Mulia, Kam-Sin (Menteri pengkhianat) itu bukan lain adalah Thaikam Liu Cin!"
Kaisar Ceng Tek bangkit dari kursinya, alisnya berkerut dan pandang matanya kepada Song Bu penuh kemarahan.
"Song Bu! Engkau juga hendak menjatuhkan fitnah kepada Paman Liu Cin yang amat setia itu? Aneh sekali! Begitu tidak tahu budikah engkau? Bukankah selama ini engkau diterima oleh Paman Liu Cin sebagai seorang kepercayaannya, bahkan dia mempercayai engkau untuk menjadi pengawal pribadiku? Bagaimana sekarang engkau membalas budi kebaikannya kepadamu itu dengan fitnah keji seperti ini?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba sama sekali tidak melakukan fitnah. Hamba bersedia dihukum seberat-beratnya kalau hamba melakukan fitnah. Apa yang hamba ceritakan ini adalah hal yang sesungguhnya,"
Kata Song Bu yang tidak merasa heran akan sikap Kaisar. Dia sudah siap akan sikap Kaisar ini yang dia tahu memang sudah dipengaruhi oleh Thaikam Liu Cin dan sudah percaya sepenuhnya kepada perdana menteri yang pandai menjilat itu.
"Justeru karena hamba pernah mergabdi kepadanya, maka mengetahui semua rahasianya dan hamba meninggalkannya karena hamba tidak setuju dengan semua perbuatannya membunuhi para bangsawan yang setia kepada Paduka dan yang menentangnya."
"Song Bu, apa yang kau katakan kepada kami ini adalah urusan yang gawat sekali dan engkau tidak bisa mengharapkan kami mempercayaimu begitu saja. Akan tetap karena kita berdua sedang bicara empat mata, boleh kau memberi keterangan sejelasnya, akan tetapi ingat, kalau ceritamu ini fitnah, terpaksa kami akan melupakan semua jasamu dan akan menjatuhkan hukuman berat kepadamu!"
"Paduka menjatuhkan hukuman mati sekalipun hamba siap kalau ternyata hamba melakukan fitnah, Yang Mulia."
"Nah, sekarang ceritakan!"
"Ketika kurang lebih setahun yang lalu hamba diajak Guru hamba bekerja mengabdi kepada Thaikam Liu Cin, hamba masih belum mengetahui keadaannya. Akan tetapi setelah dia percaya kepada hamba, hamba mendapat tugas yang mengejutkan hamba, dan sekaligus membuat hamba merasa tidak suka kepadanya karena hamba tahu orang macam apa adanya pembesar itu."
"Hemm, engkau disuruh apakah?"
"Hamba dan semua orang ahli silat yang menjadi pembantunya disuruh membunuh orang-orang yang sama sekali tidak berdosa. Hamba disuruh membunuh Pangeran Ceng Sin yang hamba tahu tidak berdosa."
"Hemm, Pangeran Ceng Sin adalah seorang pengkhianat yang diam-diam mencanakan pemberontakan. Paman Liu Cin yang mengetahui niat busuknya dan hendak menangkapnya, akan tetapi sayang, Pangeran pengkhianat itu keburu meloloskan diri dari Kotaraja,"
Kata Kaisar.
"Memang begitulah pekerjaan Thaikam Liu Cin, Yang Mulia. Pangeran Ceng Sin adalah seorang yang sama sekali tidak berdosa, akan tetapi beliau menentang Thaikam Liu Cin yang menguasai Istana dan yang telah membunuh banyak pejabat setia yang menentangnya, Melihat kenyataan ini, hamba tidak membunuh Pangeran Ceng Sin, bahkan membantu beliau sekeluarga menyelamatkan diri dari pengejaran orang-orangnya Thaikam Liu Cin. Yang Mulia, banyak sudah para pejabat tinggi dan bangsawan yang menjadi korban kejahatan Thaikam Liu Cin. Karena mereka itu menentangnya, maka dia melaporkan berkhianat, pada hal sesungguhnya dia sendiri yang jahat dan berkhianat."
Kaisar Ceng Tek duduk kembali di atas kursinya, memandang kepada Song Bu dengan sinar mata penuh selidik dan alisnya berkerut.
"Song Bu, kalau bukan engkau yang berani bicara memburukan Paman Liu Cin di depanku, tentu engkau sudah kusuruh tangkap dan hukum berat! Paman Liu Cin adalah seorang pembantu kami yang tua, jujur dan setia, dan sudah banyak sekali jasanya terhadap Kerajaan. Ceritamu tentang Pangeran Ceng Sin itu berlawanan dengan cerita Paman Liu Cin. Bagaimana kami bisa yakin bahwa ceritamu yang benar?"
"Memang hal itu perlu dibuktikan, Yang Mulia. Akan tetapi masih banyak hal lain yang perlu hamba laporkan kepada Paduka mengapa hamba meninggalkan Thaikam Liu cin. Selain urusan mengenai keluarga Pangeran Ceng Sin, juga hamba melihat bahwa dia mengumpulkan para datuk jahat untuk membantunya. Di antara mereka adalah Tho-Te-Kong, Cui-Beng Kui-Bo yang kejam dan Im Yang Tojin yang menyeleweng dan mengkhianati Im-Yang-Pai. Mereka bertiga itu adalah orang-orang jahat. Juga Ouw Yang Lee, Suhu yang membawa hamba mengabdi kepada Thaikam Liu Cin, telah melakukan kejahatan dan kekejaman."
"Hemm, Paman Liu Cin tentu saja boleh menggunakan tenaga orang-orang pandai yang manapun. Hal itu belum membuktikan bahwa dia seorang pejabat yang khianat!"
"Bukan hanya itu, Yang Mulia. Thaikam Liu Cin bersekutu dengan pihak Pek-Lian-Kauw, bahkan sekarang puteri Ketua umum Pek-Lian-Kauw yang disebut Kim Niocu membawa beberapa orang gadis tawanan untuk dipersembahkan kepada para pembesar yang menjadi kaki tangan dan sekutunya."
"Song Bu, semua ucapanmu tadi belum bisa kupercaya. Mana bukti dan saksinya?
"Seperti sudah hamba beritahukan tadi Yang Mulia. Ada seorang saksi, yaitu Siang Bi Hwa yang nama sesungguhnya adalah Ouw Yang Hui. la ditawan oleh puteri ketua Pek-Lian-Kauw dan ia yang menjadi saksi bahwa Pek-Lian-Kauw bersekutu dengan Thaikam Liu Cin. Akan tetapi semalam ia diculik oleh orang-orang Pek-Lian-Kauw."
Song Bu lalu menceritakan semua yang diketahuinya tentang pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan para datuk atas perintah Thaikam Liu Cin terhadap para bangsawan yang menentang Thaikam itu. Juga dia bercerita tentang pengadu dombaan antara partai-partai, persilatan besar yang dilakukan orang-orang Pek-Lian-Kauw untuk melemahkan partai-partai itu yang menentang kekuasaan Thaikam Liu Cin pula.
"Demikianlah, Yang Mulia. Maka hamba memberanikan diri menyusup ke Istana untuk menghadap Paduka, karena tidak mungkin menghadap Paduka secara berterang setelah hamba dimusuhi Thaikam Liu Cin. Hamba melapor agar Paduka waspada terhadap bahaya ini dan menangkap Thaikam Liu Cin yang berkhianat itu sebelum dia melakukan hal-hal yang lebih merusak lagi."
Kaisar Ceng Tek bangkit lagi dari tempat duduknya. Alisnya berkerut. Laporan Song Bu itu benar-benar mengacaukan pikirannya dan mengganggu ketenangan hatinya.
"Song Bu, laporanmu ini gawat sekali. Kalau tidak benar, berarti engkau menyebar fitnah dan dosamu besar sekali. Karena itu, engkau kusuruh tahan dulu sampai kami selesai menyelidiki kebenaran laporanmu. Kalau ternyata bohong, engkau akan kami jatuhi hukuman berat!"
"Silakan, Yang Mulia. Hamba rela dan siap menerima hukuman apapun kalau keterangan hamba itu tidak benar. Hamba hanya mohon agar Paduka dapat menggulung komplotan itu dan dapat menyelamatkan Siang Bi Hwa atau Ouw Yang Hui dari tangan orang-orang Pek-Lian-Kauw yang sekarang berada di Kotaraja."
Kaisar Ceng Tek bertepuk tangan dan lima orang pengawal itu berlompatan masuk.
"Kalian bawa Tan Song Bu ini dan masukkan dalam tahanan. Akan tetapi jangan ganggu atau siksa dia. Tunggu keputusan kami!"
Lima orang pengawal itu memberi hormat kepada Kaisar lalu mereka menggiring Song Bu keluar dari bangunan. Begitu keluar, kepala pengawal itu dengan kasar mengambil pedang dari punggung Song Bu, Pemuda ini terkejut, mengelak dan menangkap tangan pengawal itu.
"Kalau engkau melawan akan kupukul"
Hardik kepala pengawal. Pada saat itu, Kaisar Ceng Tek sudah berdiri di atas anak tangga dan dia membentak,
"Pengawal, jangan bertindak kasar!"
Kepala pengawal itu terkejut, cepat memberi hormat.
"Ampunkan hamba, Yang Mulia."
"Lupakah kamu? Tadi sudah kupesan jangan ganggu apa lagi siksa Song Bu! Kalau sekali lagi kamu melanggar, akan kujatuhi hukuman mati kamu!"
Tubuh pengawal itu menggigil.
"Ampunkan hamba...!"
"Song Bu, lepaskan pedangmu itu berikan kepada kami. Untuk sementara pedang itu kami simpan,"
Kata Kaisar Ceng Tek.
"Baik, Yang Mulia."
Song Bu melepaskan tali yang menggantung pedang di punggungnya, lalu menyerahkannya kepada Kaisar dengan sikap hormat. Kaisar menerima pedang itu lalu berkata kepada para pengawal.
"Antar dia ke kamar tahanan dan jaga baik-baik, jangan sampai ada yang mengganggunya! Awas, keselamatannya berada di tangan kalian yang harus bertanggung jawab!"
Dengan takut lima orang pengawal itu lalu mengantar Song Bu ke tempat tahanan yang memang terdapat di kompleks Istana itu. Pada saat itu, seorang pengawal lain datang tergopoh-gopoh dan berlutut di depan Kaisar.
"Sribaginda Yang Mulia, hamba melapor bahwa di ruangan persidangan telah berkumpul dua puluh orang pejabat tinggi, setingkat menteri dan Pangeran, mohon perkenan Paduka untuk menghadap."
Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya.
"Kami tidak mengadakan persidangan hari ini dan tidak memanggil, mengapa mereka datang menghadap? Apakah Thaikam Liu Cin yang memimpin para pejabat itu. Biasanya, hanya Thaikam Liu Cin yang suka mohon menghadap dengan tiba-tiba untuk melaporkan sesuatu yang penting."
"Bukan, Yang Mulia. Liu-Taijin tidak di antara mereka dan hamba melihat bahwa yang memimpin mereka adalah Pangeran Ceng Sin!"
"Pangeran Ceng Sin..?"
Kaisar terbelalak.
"Dan siapa saja para pejabat yang datang menghadap?"
Pengawal itu menyebutkan nama nama mereka yang datang bersama Pangeran Ceng Sin, yaitu para menteri dan Panglima tua yang terkenal setia sejak Kaisar Hung Chi yang berkuasa sebelum Kaisar Ceng Tek. Mendengar disebutnya nama-nama ini, sederetan nama menteri dan Panglima tua yang tidak diragukan kesetiannya, Kaisar Ceng Tek tidak merasa curiga lagi dan diapun memasuki Istana berganti pakaian kebesaran lalu keluar ke ruangan persidangan. Melihat Kaisar muncul diringi para pelayan dan pengawal pribadi, dua puluh pejabat tinggi dan bangsawan itu segera menjatuhkan diri berlutut Sambil berseru serempak,
"Ban-Swe, Ban-Ban Swe... (Panjang Usia...)."
Kaisar memberi isarat dengan tangannya menerima penghormatan itu dan memperbolehkan mereka bangkit berdiri sambil menduduki kursi kebesarannya. Kaisar memandang kepada Pangeran Ceng Sin. Pangeran ini adalah Kakak tirinya sendiri, se Ayah berlainan Ibu. Kalau Kaisar Ceng Tek beribu Permaisuri, Pangeran Ceng sin beribu seorang selir. Hubungan keduanya semula akrab sampai datang fitnah dari Thaikam Liu Cin yang memberi tahukan Kaisar bahwa Pangeran Ceng Sin berniat memberontak dan melarikan diri ketika hendak ditangkap. Kaisar teringat akan cerita Song Bu tentang Kakak tirinya ini, akan tetapi dia masih belum yakin akan kebenaran cerita itu. Setelah memandang Pangeran itu, Kaisar berkata lantang.
"Bukankah engkau Kakanda Pangeran Ceng Sin? Engkau telah berkhianat dan berniat memberontak, kemudian melarikan diri ketika hendak ditangkap. Apakah engkau sekarang datang untuk menyerahkan diri dan menerima hukuman?"
Pangeran Ceng Sin melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut lalu berkata,
"Adinda Kaisar Yang Mulia, hamba siap menerima hukuman apa saja yang Paduka jatuhkan kepada hamba kalau memang hamba melakukan kesalahan. Akan tetapi sebelum Paduka menjatuhkan keputusan hukuman, hamba mohon agar Paduka lebih dulu sudi mendengarkan laporan hamba tentang keadaan yang sesungguhnya dan tentang bahaya besar yang mengancam Kerajaan, tentang seorang pengkhianat yang sesungguhnya, yaitu Thaikam Liu Cin."
"Hemm, mendengarkan laporan apa lagi? Engkau sekeluarga telah melarikan diri dari Kotaraja. Hal ini saja sudah merupakan bukti bahwa engkau mempunyai kesalahan dan melarikan diri karena takut setelah ketahuan. Engkau harus diberi hukuman berat untuk menjadi contoh bagi semua pejabat!"
Kaisar sudah menggerakan tangan hendak memerintahkan perajurit pengawal untuk menangkap Pangeran Ceng Sin, akan tetapi pada saat itu, sembilan belas orang pejabat tua yang berada di situ serentak menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba sekalian merasa penasaran mohon kebijaksanaan Yang Mulia seadil-adilnya!"
Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya.
"Kalian ini mau apa? Kami hendak menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah, kenapa kalian merasa penasaran? Apakah kalian juga hendak menentang kami?"
Kui-Ciangkun, Panglima tertua di antara mereka, mewakili rekan-rekannya berkata lantang.
"Hamba sekalian sama sekali tidak hendak menentang Paduka Yang Mulia, bahkan hendak menyelamatkan Kerajaan. Hamba semua hanya mohon agar Paduka sudi mendengarkan laporan hamba sebelum menjatuhkan keputusan hukuman. Kalau Paduka tidak sudi mendengarkan laporan hamba sekalian dan hendak menjatuhkan hukuman kepada Pangeran Ceng Sin, biarlah hamba semua juga Paduka jatuhi hukuman mati!"
Diam-diam Kaisar Ceng Tek terkejut juga menyaksikan sikap mereka semua. Tidak mungkin dia menghukum mereka semua tanpa alasan! Mereka adalah pejabat-pejabat penting. Tentu akan terjadi kekacauan hebat kalau mereka dihukum tanpa kesalahan yang pasti.
"Baiklah, sampaikan laporan kalian untuk kami pertimbangkan!"
Katanya. Dua puluh orang pejabat dan bangsawan itu menjadi gembira sekali mendengar ucapan Kaisar yang mengijinkan mereka menyampaikan laporan mereka. Dengan penuh semangat mereka lalu membuat laporan panjang.
Pertama-tama Pangeran Ceng Sin yang melaporkan tentang dirinya yang hendak dibunuh oleh Thaikam Liu Cin karena dia berani menentang kekuasaannya. Apa yang diceritakan Pangeran ini sama benar dengan cerita yang didengar Kaisar dari mulut Song Bu. Setelah Pangeran itu selesai melapor, para menteri dan Panglima lalu membuat laporan masing-masing, semua laporan mengenai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Thaikam Liu Cin. Panglima Kui menyampaikan daftar sederetan bangsawan yang telah menjadi korban, terbunuh oleh kaki tangan Thaikam Liu Cin. Deretan panjang dari nama para pejabat tinggi yang tadinya terkenal setia, baik kepada Kaisar Tua maupun Kaisar yang sekarang berkuasa. Ada pula pejabat yang melaporkan tentang tindakan sewenang-wenang dari Jaksa Agung Liu Wang dan Panglima Liu Kui, dua orang adik Thaikam Liu Cin yang diangkat oleh Thaikam itu.
Ada juga yang melaporkan tentang korupsi yang dilakukan Thaikam Liu Cin, yang melalui para pejabat yang menjadi kaki tangannya, memungut pajak paksa dan memeras para pedagang. Setelah semua orang menyampaikan laporannya, Kaisar Ceng Tek menjadi terkejut bukan main. Kiranya tidak mungkin kalau dua puluh orang pejabat tua yang, setia ini semua berbohong dan melakukan fitnah terhadap Thaikam Liu Cin! Mulailah dia merasa curiga terhadap Thaikam Liu Cin. Selama bertahun-tahun ini sikap Thaikam itu selalu manis, menjilat-jilat dan semua laporannya menyenangkan hati, tampaknya dia seorang yang amat setia lahir batin. Akan tetapi siapa tahu, dia memang terkecoh oleh semua sikap manis menjilat itu, dan di balik semua itu tersembunyi hal-hal yang berlawanan.
"Mohon ampun, Adinda Kaisar Yang Mulia. Semua laporan hamba sekalian ini benar belaka dan hamba semua sanggup mempertanggung-jawabkannya. Bahkan, kalau Paduka menghendaki hamba dapat menghadirkan seorang pendekar sebagai saksi. Dia pernah ditawan oleh Kim Niocu, puteri Ketua Umum Pek-Lian-Kauw dan pendekar itu mengetahui bahwa Pek-Lian-Kauw berhubungan erat dengan Thaikam Liu Cin,"
Kata Pangeran Ceng Sin. Kaisar Ceng Tek mengerutkan alisnya Tuduhan bahwa Thaikam Liu Cin bersekongkol dengan Pek-Lian-Kauw itu cocok dengan yang diceritakan Song Bu. Dan hal ini yang amat menggelisahkan hatinya. Kalau tuduhan itu benar, sungguh berbahaya sekali. Dia teringat akan cerita Song Bu tadi bahwa pemuda itu tadinya diutus Thaikam Liu Cin untuk membunuh Pangeran Ceng Sin dan kemudian pemuda itu tidak membunuhnya bahkan menolongnya lolos dari Kotaraja.
Dia ingin mempertemukan antara mereka untuk melihat kebenaran cerita Song Bu tadi. Digapainya seorang pengawal dan diperintahkannya untuk menjemput tawanan itu dari kamar tahanan dan membawanya ke ruangan itu. Pengawal memberi hormat lalu pergi. Tak lama kemudian dia kembali bersama Song Bu. Pemuda itu sudah berganti pakaian, diberi oleh pengawal yang ingin memperlakukan Song Bu dengan baik sesuai dengan perintah Kaisar. Pengawal itu memberi makan malam kepada Song Bu dan melihat pakaian pemuda itu basah dan kotor, dia lalu memberinya pengganti pakaian yang bersih dan pantas. Setelah tiba di ruangan itu, Song Bu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar.
"Kakanda Pangeran, lihatlah, apakah engkau mengenal pemuda ini?"
Tanya Kaisar kepada Pangeran Ceng Sin. Pangeran itu memandang kepada Song Bu dan wajahnya menjadi berseri gembira. Dia tampak kaget dan heran namun girang lalu berseru menegur.
"Pendekar Tan Song Bu! Engkau berada di sini?"
Song Bu mengangkat muka memandang.
"Yang Mulia Pangeran Ceng Sin, selamat berjumpa!"
Katanya, juga merasa heran karena tidak mengira bahwa Pangeran yang sudah melarikan diri dari Kotaraja tahu-tahu kini berada di Istana, di depan Kaisar.
"Kakanda Pangeran, bagaimana engkau mengenal Tan Song Bu ini? Apa hubunganmu dengan dia?"
Tanya Kaisar.
"Yang Mulia, hamba mengenal baik pemuda ini karena pendekar inilah yang telah menyelamatkan hamba sekeluarga. Dia inilah yang tadinya diutus Thaikam Liu Cin untuk membunuh hamba, akan tetapi dia tidak melakukan pembunuhan itu, bahkan membantu hamba sekeluarga lolos dari kekejaman Thaikam Liu Cin dan melarikan diri keluar Kotaraja. Seandainya bukan Tan-Taihiap ini yang diutus Thaikam Liu Cin untuk membunuh hamba, tentu sekarang hamba sekeluarga telah tewas seperti halnya demikian banyaknya pejabat tinggi dan anggauta keluarga Kerajaan. Kaisar Ceng Tek memandang kepada Song Bu dan mengangguk-angguk.
"Tan Song Bu, sekarang kami mulai percaya akan keteranganmu. Akan tetapi mengenai pengkhianatan Thaikam Liu Cin, kami harus mendapatkan buktinya lebih dulu!"
Dia lalu memberi isarat kepada seorang pengawal yang membawa pedang milik Song Bu dan menyerahkan pedang itu kepada Song Bu.
"Kami kembalikan pedangmu."
Song Bu menerima pedangnya kembali dari tangan pengawal itu dan berkata dengan hormat kepada Kaisar.
"Banyak terima kasih atas kepercayaan Paduka Yang Mulia."
Pada saat itu, tampak lima orang perajurit penjaga keamanan Istana memasuki ruangan dan mereka tampak bingung dan gugup sekali. Mereka segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar yang menjadi marah dan menegur mereka.
"Apa artinya kelancangan kalian ini? tidak tahukah kalian bahwa kalian melakukan kesalahan besar dan mengganggu persidangan ini?"
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mohon beribu ampun, Paduka... Paduka Yang mulia. Hamba hendak melaporkan bahwa Istana telah dikepung pasukan yang dipimpin oleh Panglima Liu Kui!"
Tentu saja Kaisar terkejut bukan main dan juga merasa heran. Panglima Liu Kui justeru merupakan Panglima komandan pasukan pengawal Istana. bagaimana sekarang dikatakan mengepung Istana.
"Hei, apa maksud kalian? Apa artinya semua ini?"
Kaisar membentak.
"Hamba dipaksa untuk melapor kepada Paduka bahwa Istana telah dikepung dan Panglima Liu Kui minta agar dua puluh orang pejabat tinggi yang dipimpin Pangeran Ceng Sin menyerahkan diri dengan baik-baik karena mereka dianggap memberontak,"
Kata pula kepala pengawal itu dengan takut-takut.
(Lanjut ke Jilid 30)
Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
"Harap paduka jangan khawatir!"
Tiba-tiba Kui-Ciangkun yang tua itu berkata.
"Ini hanya membuktikan bahwa Thaikum Liu Cin telah mengetahui akan laporan hamba sekalian kepada paduka dan dia lalu mengerahkan pasukan yang dipimpin oleh Panglima Liu Kui untuk mengepung Istana, hendak menangkap hamba sekalian dan mengancam paduka. Perbuatan ini sudah jelas membuktikan bahwa semua laporan hamba sekalian mengenai pengkhianatan Thaikam Liu Cin memang benar adanya."
"Ah, lalu bagaimana baiknya? Apakah ini berarti bahwa dia hendak memberontak?"
Tanya Kaisar dengan wajah berubah.
"Hamba kira begitu, Yang Mulia. Akan tetapi hamba kira paduka tidak perlu khawatir karena hamba sekalian sudah menduga akan hal ini dan sudah membuat persiapan sebelum hamba menghadap paduka. Bahkan para pengawal Istanapun saat ini sudah hamba ganti dengan pasukan pengawal dari pasukan hamba yang dapat di percaya sepenuhnya."
Kaisar Ceng Tek memandang ke kanan-kiri dan baru sekarang menyadari bahwa para perajurit pengawal memang berbeda dari biasanya. Para perajurit pengawal yang biasa adalah anak buah Panglima Liu Kui dan sudah dilucuti oleh pasukan pengawal yang baru. Hal inilah yang kemudian disusul menghadapnya dua puluh orang pejabat tinggi itu kepada Kaisar yang membuat Liu Cin curiga dan mengetahui bahwa ada kelompok pejabat yang menentangnya dan melapor kepada Kaisar. Oleh karena itu dia lalu menghubungi adiknya Panglima Liu Kui, dan mengerahkan pasukan untuk mengepung Istana.
"Adinda Kaisar Yang Mulia, tentang pasukan pimpinan Liu Kui yang mengepung Istana, harap paduka tidak khawatir. Para Panglima yang setia kepada paduka sudah menduga dan memperhitungkan hal itu dan kini mereka sudah siap untuk mengepung pasukan itu dan melucuti mereka."
Pada saat itu, tampak seorang laki-laki tua yang berpakaian mewah dan gemerlapan memasuki ruangan itu dengan tergopoh-gopoh, dikawal selusin orang perajurit. Semua orang menoleh dan melihat bahwa orang itu bukan lain adalah Thaikam Liu Cin sendiri! Dia memasuki ruangan, berhenti di depan Kaisar dan berkata lantang sambil menuding ke arah dua puluh orang pejabat tinggi itu.
"Yang Mulia, berhati-hatilah. Mereka ini adalah pengkhianat-penghianat yang amat jahat dan merencanakan pemberontakan! Jangan paduka khawatir, hamba datang untuk menyelamatkan paduka dan menangkap para pemberontak ini!"
Setelah berkata demikian, Thaikam Liu Cin memerintahkan selusin orang pengawalnya sambil menudingkan telunjuknya ke arah dua puluh orang pejabat tinggi yang duduk menghadap Kaisar.
"Tangkap mereka itu, kalau melawan bunuh saja pengkhianat pemberontak laknat itu!"
Selusin perajurit pengawal itu adalah orang-orang kepercayaan Thaikam Liu Cin. Mendengar peritah itu, serentak mereka mencabut pedang hendak melaksanakan perintah itu, Akan tetapi, belasan orang perajurit pengawal Istana berlompatan ke depan melindungi para pejabat itu dan mencabut pedung mereka. Melihat para pengawal Istana itu hendak menentangnya, Thaikam Liu Cin terkejut, heran dan marah sekali.
"Heiii...! Apakah kalian sudah buta dan tidak melihat siapa aku? Berani kalian hendak menentang perintahku? Adikku, Panglima Lau Kui akan menghukun berat kalian! Hayo mundur!"
Tiba-tiba Kui-Ciangkun, Panglima tua itu tertawa,
"Ha-ha-ha. Liu Cin, percuma saja engkau menjadi maling berteriak maling. Engkau sendiri yang hendak menjadi pengkhianat. Kedokmu sudah terbuka dan engkau masih berani hendak mengelabuhi Yang Mulia Kaisar? Pandanglah baik-baik. Para perajurit pengawal itu bukan lagi anak buah Panglima Liu Kui yang sudah disingkirkan. Mereka ini adalah anak buah pasukanku yang setia pada Sribaginda dan Kerajaan!"
Liu Cin terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa pihak musuhnya telah mempersiapkan segalanya, bukan hanya mempengaruhi Kaisar dan membeberkan semua rahasianya, bahkan telah menggantikan pasukan pengawal Istana. Akan tetapi, Kakek yang berjenggot pendek itu menyeringai.
"Panglima Kui, kau kira engkau akan menang dengan tipu muslihat mu ini? Menyerah sajalah karena Istana ini telah dikepung pasukan besar yang mendukung aku!"
Liu Cin lalu tertawa bergelak, yakin akan kemenangannya.
"Jangan tertawa dulu, Liu Cin! Kita lihat saja nanti siapa yang benar dan siapa yang akan menerima hukuman berat"
Kata Panglima Kui yang sudah bekerja sama dengan para Panglima setia lainnya dan dia tahu bahwa saat itu, pasukan besar gabungan dari para Panglima itu tentu sudah bergerak mengepung pasukan pendukung Liu Cin yang mengepung Istana itu. Liu Cin menjadi senakin marah.
"Bunuh mereka?"
Perintahnya kepada selusin orang pengawalnya. Akan tetapi belasan orang pengawal Istana anak buah Kui-Ciangkun juga bergerak maju.
Tiba-tiba dari pasukan pengawal Liu Cin itu melompat scorang perajurit dan dengan gerakan yang amat cepat menerjang ke arah pengawal Istana yang menghadang di depan. Para pengawal Istana itu cepat menggerakkan pedang mereka menyambut. Akan tetapi perajurit itu bergerak dengan kecepatan luar biasa dan empat orang pengawal Istana roboh terkena sambaran sinar pedang yang bergulung-gulung. Melihat ini, Song Bu cepat melompat dari lantai di mana tadi dia berlutut sambil mencabut Coat-Beng Tok-Kiam yang baru saja dia terima kembali dari Kaisar. Dia segera mengenal siapa yang menyamar sebagai perajurit pengawal Liu Cin itu. Perajurit itu masih menggerakkan pedangnya hendak menerjang lagi. Pedangnya berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Song Bu cepat menyambutnya sebelum ada korban jatuh lagi di antara para perajurit pengawal Istana.
"Singg... tranggg...!"
Bunga api berpijar dan dua batang pedang yang bertemu di udara Itu tergetar. Perajurit yang amat lihai pengawal Liu Cin itu memandang dengan kaget. Akan tetapi diapun segera mengenal Song Bu. Perajurit ini adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun dan dia menatap wajah Song dengan alis berkerut.
"Song Bu, pengkhianat yang tidak mengenal budi! Lupakah engkau bahwa engkau pernah diterima menjadi pembantu Liu-Taijin dan pernah belajar silat dariku? Sekarang engkau bahkan berani menentang kami?"
Bentak perajurit itu sambil menudingkan pedangnya yang masih berlumur darah. Song Bu tersenyum, sikapnya tenang.
"Memang dulu aku bekerja pada Thaikam Liu Cin karena aku tidak tahu orang macam apa adanya dia. Setelah aku tahu bahwa dia jahat dan para pembantunya juga bukan orang baik-baik, termasuk engkau Tosu Im-Yang-Kauw yang mengkhianati perkumpulanmu sendiri, Im Yang Tojin."
"Totiang, cepat bunuh pengkhianat itu!"
Liu Cin berseru marah. Im Yang Tojin cepat menggerakkan pedangnya menyerang. Song Bu menyambut dengan pedangnya dan mereka sudah saling serang dengan seru. Sebelas orang pengawal Liu Cin juga sudah bertanding dengan pengawal Istana sehingga ruangan persidangan Istana itu menjadi medan pertempuran. Pangeran Ceng Sin dan para pejabat segera mengamankan Kaisar Ceng Tek meninggalkan ruangan itu memasuki ruangan lain. Liu Cin yang yakin bahwa pasukan pendukungnya yang telah mengepung Istana sebentar lagi tentu akan menyerbu masuk berdiri dengan sikap angkuh.
Pertandingan antara Song Bu melawan Im Yang Tojin berlangsung seru. Akan tetapi tak lama kemudian Im Yang Tojin mulai terdesak hebat. Tokoh Im-Yang-Kauw ini tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kirinya dengan ilmu Im-Yang Sin-Ciang karena Song Bu sudah mempelajari ilmu itu darinya dan sudah mengenal dengan baik sehingga mudah menandinginya. Sebaliknya, ilmu pedang pemuda itu didukung ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sehingga gerakan Song Bu cepat bukan main. Tubuhnya tiada ubahnya sebuah bayangan yang berkelebatan dan pedang Coat-Beng Tok-Kiam menjadi gulungan sinar biru yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Im Yang Tojin mahir memainkan ilmu pedang Im-Yang Kiam-Sut karena dia juga anggauta Im-Yang Ngo-Kiam-Tin (Barisan Lima Pedang Im Yang).
Akan tetapi ilmu ini baru ampuh sekali kalau dipergunakan dalam barisan lima orang. Biarpun ilmu pedang perorangan dari Tosu Im-Yang-Kauw itu juga kuat, apalagi ditambah dengan tenaga saktinya yang sudah mencapai tingkat tinggi, namun berhadapan dengan Song Bu dia masih kalah jauh. Pemuda ini selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari Tung-Hai-Tok Ouw Yang Lee datuk yang menjadi majikan Pulau Naga, juga menerima pelajaran ilmu-ilmu andalan dari Hek Moko, Pek Moko, bahkan dari Im Yang Tojin sendiri! Sebelas orang perajurit lain yang mengawal Thaikam Liu Cin sudah bertempur seru melawan para perajurit pengawal Istana. Karena jumlah para pengawal Istana jauh lebih banyak dan disitu terdapat pula beberapa orang Panglima tua yang lihai dan yang membantu para pengawal Istana,
Maka sebelas orang pengawal Thaikam Liu Cin itu satu demi satu roboh mandi darah. Im Yang Tosu mengamuk karena dia melihat para pengawal roboh dan belum juga muncul pasukan yang menurut Thaikam Liu Cin sudah mengepung Istana dan akan menyerbu masuk. Hatinya mulai khawatir, akan tetapi dia tidak melihat jalan untuk melarikan diri. Maka, diapun mengamuk dan mati-matian menyerang Song Bu yang sejak tadi sudah mendesaknya. Song Bu mempercepat gerakan tubuhnya, dia memang memiliki keistimewaan dalam hal ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga pernah di juluki Bu-Eng-Kui (Setan Tanpa Bayangan). Tubuhnya berkelebatan terbungkus gulungan sinar pedangnya yang berwarna biru. Im Yang Tojin mengerahkan segala kemampuannya.
"Cringgg...!!"
Dua pedang bertemu dan karena Song Bu tadi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, maka tangan Im Yang Tojin yang memegang pedang tergetar hebat dan pedangnya terlepas dari tangannya.
"Haiiit...! Cappp...!"
Song Bu membentak dan pedangnya memasuki dada Im Yang Tojin. Tokoh Im-Yang-Kauw yang menyeleweng ini mengeluarkan teriakan dan roboh mandi darah, tewas seketika karena selain luka di dadanya amat parah, juga pedang di tangan Song Bu itu adalah Coat-Beng Tok-Kiam (Pedang Racun Pencabut Nyawa). Ketika melihat para pengawalnya roboh, Thaikam Liu Cin terbelalak dan berkali-kali dia menoleh ke arah pintu depan. Akan tetapi belum juga pasukan yang mendukungnya menyerbu ke dalam dan melihat Im Yang Tojin roboh, dia segera menggerakkan kedua kakinya dan melarikan diri dari ruangan itu. Akan tetapi Kui-Ciangkun yang sejak tadi mengamati gerak-gerik Thaikam Liu Cin, sudah menghadang di depannya.
"Liu Cin, pengkhianat hina, engkau hendak lari ke mana?"
Bentaknya sambil mencabut pedang. Melihat ini, Thaikaim Liu Cin yang sudah tersudut itu menjadi nekat. Diapun mencabut pedangnya, sebatang pedang yang gagangnya terbuat daripada emas bertabur intan, sebatang pedang yang indah dan mewah sekali, dan tanpa mengeluarkan kata-kata diapun menyerang Kui-Ciangkun (Panglima Kui) dengan tusukan pedang mewah itu. Kui-Ciangkun menangkis dengan pedangnya dan balas menyerang. Serang menyerang terjadi, akan tetapi biarpun Liu Cin pernah belajar silat, namun selama ini dia hanya hidup bersenang-senang, tak pernah berlatih olah raga, maka dalam beberapa jurus saja napasnya sudah terengah-engah. Ketika kaki kiri Kui-Ciangkun menendang dan mengenai tangan kanannya, pedang yang dipegangnya terpental dan terlepas dari tangannya.
Kui-Ciangkun menodongkan pedangnya pada leher Thaikam itu dan Thaikam Liu Cin tak berdaya. Dia hanya menunduk pasrah ketika Panglima Kui menelikung dan mengikat kedua lengannya ke belakang tubuhnya. Sementara itu, di luar Istana juga terjadi pertempuran kecil. Pasukan yang mengepung Istana dipimpin oleh Panglima Kui, disergap oleh pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya, yang dipimpin oleh para Panglima yang mendukung para bangsawan yang menentang Liu Cin. Karena kekuatan mereka tidak seimbang, pasukan Liu Kui itu menyerah ketika dilucuti. Liu Kui yang menjadi Panglima dan Liu Wan yang menjadi jaksa, ditangkap. Demikian pula banyak pembesar yang dikenal sebagai sekutu atau anak buah Thaikam Liu Cin. Pembersihan besar-besaran dilakukan di Kotaraja. Jatuhnya Thaikam Liu Cin ini terjadi dalam tahun 1510.
Sementara itu, beberapa pekan yang lalu, terjadi keributan di Kuil Siauw-Lim-Si. Peristiwa itu terjadi di suatu malam terang bulan. Kuil Siauw-Lim sudah sepi, yang terdengar hanya suara yang tenang dan merdu membaca kitab suci, yang ber Liam-Keng (membaca kitab suci) ini adalah Cu Sian Hwesio, wakil ketua Siauw-Lim-Pai.
Dia memang dikenal sebagai seorang Hwesio yang pandai membaca kitab suci dan dia memiliki suara yang merdu. Suaranya yang diiringi bunyi tok-tok-tok kentungan kayu yang dipukul berirama itu menembus kesunyian malam, mendatangkan suasana damai dan hening. Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat di atas atap Kuil itu. Bayangan yang bergerak ringan dan cepat. Kedua kakinya tidak bersuara seperti kaki kucing ketika bayangan itu berkelebatan di atas atap Kuil yang bergenteng tebal itu. Orang ini memakai pakaian ringkas serba hitam dan mukanya juga ditutup dari hidung ke bawah dengan kain hitam. Kepalanya juga dibungkus kain hitam sehingga yang tampak hanya sepasang matanya yang mencorong seperti mata kucing. Akhirnya bayangan itu tiba di atas atap ruangan di mana Cu Sian Hwesio membaca Liam-Keng.
Tingkat kepandaian Cu Sian Hwesio ini sudah tinggi sehingga kalau saja dia tidak sedang ber Liam-Keng yang diiringi suara tok-tok-tok itu, mungkin dia dapat mengetahui bahwa di atas atap ada orang mengintai. Akan tetapi dia sedang asyik ber Liam-Keng sehingga dia tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi tiba-tiba pada saat itu sesosok bayangan lain melompat naik atap ruangan lain. Bayangan ini adalah seorang Hwesio yang bertugas sebagai kepala jaga di malam hari itu. Agaknya dia hendak mengadakan pemeriksaan dari atap untuk mengetahui apakah keadaan aman saja. Tanpa disengaja, dia melihat bayangan yang berkelebat itu. Gerakan bayangan yang amat cepat itu mengejutkannya dan sekaligus membuat dia maklum bahwa bayangan itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka, diapun melayang turun dan tiba di luar ruangan di mana Cu Sian Hwesio ber Liam-Keng.
Maksud hendak melapor kepada wakil ketua yang belum tidur bahwa ada bayangan mencurigakan yang berada di atas atas dan gerakannya menunjukkan bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi baru saja dia menghampiri pintu dan hendak mengetuknya, tiba-tiba bayangan yang berkelebatan dan sekarang sudah melompat turun sekitar lima meter di belakangnya itu menggerakkan tangan. Tiga sinar meluncur ke arah punggung Hwesio itu. Dia mendengar suara angin senjata rahasia ini dan berusaha mengelak, akan tetapi tiga batang senjata rahasia itu terbang dengan amat cepatnya dan tahu-tahu sudah menancap di punggungnya. Hwesio itu mengaduh dan roboh terjungkal, menelungkup dan tidak bergerak lagi. Suara Liam-Keng itu tiba-tiba berhenti. Cu Sian Hwesio mendengar suara gedebukan jatuh di luar ruangan.
"Siapa di luar?"
Tanyanya. Akan tetapi tidak ada jawaban. Dia lalu melangkah dan membuka daun pintu, lalu keluar dan melihat Hwesio yang rebah menelungkup di atas lantai. Tempat itu cukup terang, mendapat penerangan lampu gantung ditambah lagi sinar bulan purnama. Cu Sian Hwesio cepat menghampiri, berlutut dan alangkah kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah seorang murid tingkat pertama dan dia sudah tewas dengan tiga batang pisau terbang menancap di punggungnya Melihat senjata rahasia itu, dia berseru lirih.
"Omitohud... Khong-Thong-Pai...!"
Dia segera mengenal senjata rahasia dari aliran Khong-Thong-Pai yang terkenal ampuh itu. Pada saat itu, dia mendengar suara angin dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar ke arah tengkuknya. Cu Sian Hwesio adalah wakil ketua Siauw-Lim-Pai, tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi. Cepat dia menggulingkan tubuhnya ke atas lantai dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya lalu melompat berdiri dan memutar tubuhnya. Ternyata di depannya telah berdiri seorang yang memakai pakaian serba hitam, kepala dan mukanya juga ditutupi kain hitam.
"Omitohud! Siapakah engkau dan mengapa engkau membunuh seorang murid kami?"
Cu Sian Hwesio bertanya sambil melangkah menghampiri orang itu. Akan tetapi orang itu tidak menjawab melainkan menggerakkan tubuhnya dan menyerang dengan dahsyat sekali. Dia menyerang dengan gerakan lincah dan mempergunakan jari-jari tangan untuk menotok ke arah jalan-jalan darah mematikan. Dan Cu Sian Hwesio yang mengenal ilmu totokan seperti ini, terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan tubuhnya untuk mengelak dan menangkis.
"Engkau... engkau orang Bu-Tong-Pai?"
Dia bertanya heran. Akan tetapi penyerangnya tidak menjawab bahkan menyerang semakin gencar. Cu Sian Hwesio terdesak dan diapun cepat membalas sehingga kedua orang itu bertanding dengan seru. agaknya penyerang itu terkejut juga, tidak menyangka bahwa yang diserangnya sekali ini adalah seorang Hwesio yang demikian lihainya. Dia tidak mengira bahwa dia berhadapan dengan wakil ketua Siauw-Lim-Pai sendiri! Tadinya dia menyangka bahwa Hwesio inipun seorang murid biasa seperti yang telah dia robohkan dengan senjata rahasia tadi. Penyerang itu menjadi panik ketika mendapat kenyataan betapa lihai lawannya. Akan tetapi dia tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri karena Cu Sian Hwesio yang agaknya mengerti bahwa penjahat itu hendak kabur, sudah mengurungnya dengan serangan-serangannya.
Tiba-tiba muncul Hui Sian Hwesio! Pendeta berusia tujuh puluh tahun lebih yang gemuk tinggi itu merasa tidak enak hatinya dan dia keluar dari kamarnya. hal ini adalah karena dia mendengar suara Liam-Keng dari Cu Sian Hwesio terhenti secara mendadak. Setelah tiba di luar dia melihat Sutenya itu sedang bertanding seru melawan seorang berpakaian hitam dan mukanya ditutup topeng hitam pula. Dan diapun terheran-heran melihat gerakan dari topeng hitam itu yang mempergunakan ilmu serangan totokan Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai! Melihat Sutenya bertanding seimbang, dia khawatir kalau Sutenya mempergunakan jurus maut dan menewaskan orang itu. Orang bertopeng hitam itu harus ditangkap hidup-hidup karena dia masih ragu-ragu dan curiga apakah benar orang itu tokoh Bu-Tong-Pai yang hendak membunuh Sutenya.
"Omitohud, jangan bunuh, Sute, biarkan Pinceng (aku) menangkapnya!"
Kata Hui Sian Hwesio dan Hwesio tua ini segera bergerak ke depan dan menyerang orang bertopeng itu dengan ilmu totok It-Yang-Ci (Totok Satu jari). Orang bertopeng itu berseru kaget bukan main. Ketika itu kedua tangannya bertemu dengan tangan Cu Sian Hwesio, maka mana mungkin dia menghindarkan diri dari totokan dahsyat itu? Bahkan andaikata kedua tangannya bebas sekalipun belum tentu dia mampu menghindarkan diri.
"Tukk...!"
Tubuh orang bertopeng itu menjadi lemas dan diapun terkulai roboh dan tidak mampu bergerak lagi.
"Omitohud"! Pinceng melihat orang ini mempergunakan ilmu totok Tiam-Hiat-Hoat dari Bu-Tong-Pai, Sute!"
Kata Hui Sian Hwesio.
"Bukan itu saja, Suheng, akan tetapi dia telah menmbunuh murid Kim Ceng dengan pisau-pisau terbang dari Kong-Thong-Pai. Lihatlah itu!"
Cu Sian Hwesio menunjuk ke arah mayat Hwesio yang rebah menelungkup. Hui Sian Hwesio menghampiri mayat itu dan memeriksa tiga pisau yang masih menancap di punggung mayat itu.
"Omitohud... Benar-benar pisau terbang Kong-Thong-Pai! Sute, coba ambil Lampu itu dan dekatkan di sini. Pinceng hendak melihat siapa orang ini"
Kata Hui Sian Hwesio dan. Pada saat itu, beberapa orang Hwesio berdatangan.
Mereka terkejut oleh suara perkelahian tadi dan mendat"ngi, ada yang membawa lampu Teng. Dengan lampu itu mereka menerangi orang bertopeng yang rebah telentang tak mampu bergerak. Cu Sian Hwesio merenggut topeng itu dan semua orang tertegun karena mereka tidak mengenal orang itu. Sama sekali bukan seorang di antara tokoh-tokoh besar Kong-Thong-Pai atau Bu-Tong-Pai. Pada hal kalau melihat tingkat kepandaiannya yang mampu menandingi seimbang dengan Cu Sian Hwesio, dia tentu seorang tokoh yang cukup terkenal baik di Kong-Thong-Pai maupun Bu-Tong-Pai. Akan tetapi kenyataannya, tidak seorangpun Hwesio Siauw-Lim-Pai mengenalnya. Kini semua penghuni Kuil Siau-Lim-Si sudah berkumpul di tempat itu. Ruangan depan kamar untuk Liam-Keng menjadi terang oleh banyak lampu yang dibawa para murid.
"Bawa dia ke dalam ruangan sidang. Cu Sian Sute (adik seperguruan Cu Sian), mari kita berdua memeriksa dan menanyainya."
Orang itu diseret ke dalam ruangan sidang dan para murid di suruh keluar. Hanya Hui Sian Hwesio dan Cu Sian Hwesio berdua yang akan memeriksa pembunuh itu. Orang itu direbahkan di atas lantai. Wajahnya diterangi lampu besar yang tergantung di ruangan itu. Dua orang pimpinan Siauw-Lim-Pai mengamati wajah itu dengan penuh perhatian. Orang itu laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus, wajahnya tampan. Akan tetapi dua orang pimpinan Siauw-Lim-Pai itu tidak mengenainya.
"Katakan, siapa engkau dan kenapa engkau membunuh dan mengacau Siauw-Lim-Si?"
Tanya Cu Sian Hwesio dengan garang. Orang itu tertotok lemas akan tetapi tidak menghilangkan kemampuannya berbicara. Orang itu tersenyum, Senyumnya mengejek.
"Tidak perduli siapa aku. Aku adalah utusan Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai dan kalian tentu tahu mengapa aku membunuh orang Siauw-Lim-Pai dan mengacau di sini!"
Dua orang Hwesio itu saling pandang dengan alis berkerut. Ketika bicara, orang itu tersenyum-senyum aneh dan suaranya kecil tinggi seperti suara wanita. Senyum dan pandang matanya genit.
"Katakan yang sebenarnya, jangan membohong!"
Cu Sian Hwesio menghardik
"Kami tidak percaya omonganmu tadi!"
"Hi-hi-hik!"
Orang itu tertawa.
"Apa kalian sudah buta dan tidak melihat bahwa aku menggunakan ilmu Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai? Kedua partai persilatan itu yang mengutus aku untuk membalas kematian rnurid-murid mereka yang kalian bunuh. Sekarang aku telah tertangkap, Kalau kalian hendak membunuhku, lakukanlah dan jangan banyak bicara lagi!"
Cu Sian Hwesio yang mewakili Siauw-Lim-Pai untuk urusan luar mempunyai banyak pengalaman dan lebih mengenal tokoh-tokoh dunia persilatan dibandingkan Suhengnya, tiba-tiba berseru heran,
"Ah... engkau bergigi emas! Engkau tentu yang berjuluk Si Banci Bergigi Emas, Pangeran Yorgi dari Mancu. Pinceng pernah mendengar namamu"
Laki-laki itu memang Pangeran Yorgi. Seperti kita ketahui, dia mendapat tugas dari Kim Niocu untuk mengacau Siauw-Lim-Si dan membunuh orang Siauw-Lim-Pai mempergunakan senjata rahasia Kong-Thong-Pai dan, ilmu totok Bu-Tong-Pai yang diajarkan oleh Kim Niocu kepadanya. Tentu saja ini dalam rangka siasat Pek-Lian-Kauw untuk mengadu domba antar partai persilatan besar itu. Sebagai seorang tokoh mancu yang mewakili bangsanya untuk bergabung dengan Pek-Lian-Kauw dan memusuhi Kerajaan Beng, Pangeran Yorgi siap untuk mati demi negaranya. Dia tidak takut mati,
"Hi-hi-hik! Sudah kukatakan, siapa adanya aku bukan soal dan aku tidak perduli. Aku adalah utusan Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai!"
"Jangan melakukan fitnah! Mengaku sajalah, atau kami akan menggunakan kekerasan!"
Bentak pula Cu Sian Hwesio. Mendengarkan ucapan Sutenya ini, Hui Sian Hwe-sio mengerutkan alisnya yang putih. Dia seorang pendeta yang alim, tentu saja tidak enak perasaannya mendengar ucapan Sutenya yang hendak menggunakan kekerasan.
"Menggunakan kekerasan? Ha-ha-hi-hik..., apa kau kira aku takut mati? Sudahlah biar engkau akan mencincang tubuhku sampai mati, aku tidak akan sudi bicara lagi!"
Kata Pangeran Yorgi dengan sikap angkuh. Cu Sian Hwesio tersenyum.
"Banyak orang tidak takut mati, akan tetapi Pinceng ingin melihat apakah engkau juga tidak takut sakit!"
Setelah berkata demikian, cepat jari telunjuk kanannya bergerak menotok tiga kali ke arah kedua pundak dan dada Pangeran Yorgi.
"Sute...! Omitohud... apa yang kau lakukan itu?"
Seru Hui Sian Hwesio kaget.
"Dia harus mengaku agar persoalannya menjadi terang, Suheng. Kalau tidak, kita akan terus dipermainkannyal"
Jawab Cu Sian Hwesio dengan sikap tenang. Mula-mula Pangeran Yorgi masih tersenyum mengejek, seolah menertawakan ancaman kematian baginya. Akan tetapi perlahan-lahan senyumnya berubah menjadi seringai, wajahnya menjadi kerut merut, giginya menggigit bibir dan matanya terpejam. Dia menderita rasa nyeri yang teramat hebat!
Seperti ada ujung pedang yang menusuk-nusuk isi dadanya dan rasa gatal, panas dan perih menjalar ke sekujur tubuhnya seolah-olah ada ribuan semut merubung dan menggigitnya. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan rasa nyeri itu menggigit, menghentak, menusuk-nusuk, kiut-miut rasanya sampai menembus ke tulang sumsum. Rasa nyeri menjalar ke otak kepalanya berdenyut-denyut seperti akan pecah! Rasa nyeri yang membuatnya ingin cepat mati saja, akan tetapi rasa nyeri yang menyiksa itu tidak sampai membuat dia pingsan. Dia mulai merintih, mengaduh, mengerang, dan air matanya mulai menetes-netes membasahi mukanya. Dia berusaha untuk bertahan dan mengatupkan mulutnva erat-erat agar jangan meluarkan kata-kata. Akan tetapi setelah kurang lebih lima menit, dia tidak tahan lagi. Dengan mulut megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan, dia berkata.
"Aduh... aduh... hentikan... hentikan!"
Dia meratap. Hui Sian Hwesio sudah duduk bersila dan memejamkan kedua matanya. Dia tidak ingin melihat lebih lama lagi penderitaan orang di depannya.
"Katakan dulu, benarkah engkau Pangeran Yorgi, Si Banci Bergigi Emas?"
"Benar... benar... ahhh!!"
"Katakan, siapa yang menyuruh engkau melakukan pembunuhan dan mengacau Siauw-Lim-Pai?"
"Yang me... menyuruh... Kim Niocu, dia puteri ketua umum Pek-Lian-Kauw...! Ah... hentikan ini...!"
"Katakan di mana Kim Niocu sekarang dan mengapa ia melakukan ini! Cepat katakan!"
Cu Sian Hwesio menghardik.
"Ia... bersekutu dengan Thaikam Liu Cin... ia sekarang berada di Kotaraja... mereka... ingin mengadu domba antara Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai! Aduh... bebaskan aku...!"
"Sekali lagi! Katakan, siapa yang membunuhi orang-orang Kong-Thong-Pai dan Bu-Tong-Pai?"
"Bukan aku...! Orang orangnya Thaikam Liu cin... Hek Pek Moko... ahhh!"
Tiba-tiba Hui Sian Hwesio yang tadinya bersila dan memejamkan matanya, mengerakkan tangannya. Cepat sekali jari-jari tangannya menotok dan Pangeran yorgi tidak mengeluh lagi. Rasa nyeri yang amat hebat itu sudah meninggalkan badannya yang masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
"Cu Sian Sute, maafkan dan bebaskan dia..."
Kata Hui Sian Hwesio dengan suara lemah. Luluh hati yang penuh belas kasihan itu mendengar penderitaan tadi,
"Tidak Suheng. Ini menyangkut nama dan kehormatan Siauw-Lim-Pai. Orang ini harus kita jadikan saksi dan bukti agar pihak Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai mendengar dan menyaksikan sendiri. Dengan demikian nama kita dapat dibersihkan. Tentang orang ini, kita serahkan saja kepada pihak Bu-Tong-Pai dan Kong-Thong-Pai."
Tanpa menanti jawaban, Cu Sian Hwesio lalu mengempit tubuh yang masih lunglai itu dan membawanya ke bagian belakang Kuil. Dia memasukkan Pangeran Yorgi ke dalam sebuah kamar, membelenggu kaki tangannya dengan tali sutera yang amat kuat, lalu menyuruh belasan orang murid untuk menjaga orang itu jangan sampai lolos dari kamar.
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo