Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cengeng 9


Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala, berkata lirih.

   "Sungguh tak tahu malu...... seperti seekor tikus berani menantang naga......!"

   Pengemis itu lalu berdiri terus memungut pedang dan mangkoknya yang sudah pecah, memasukkan pedang ke dalam tongkat, kemudian pergi dari situ dengan kepala tunduk dan langkah terpincang-pincang.

   Siok Lan menyarungkan gin-kiam dan mengangkat dada, menepuk nepuk debu yang mengotori bajunya.

   "Huh, tak tahu diri! Kalau tadi-tadi mengaku tikus bertemu naga, tentu tak perlu aku mencabut pedang."

   Ia menggerutu lalu menghampiri kudanya.

   "Untung kelihaian nona bermain pedang membuat dia kalah dan mundur,"

   Kata Yu Lee.

   "Akan tetapi bagaimana, kalau kawan-kawannya nanti datang? Tentu diantara kawan-kawannya ada yang lebih lihai. Oleh karena itu, kuharap nona sukalah berlaku sabar dan tidak meladeni mereka. Di Kai-feng banyak sekali orang-orang kai-pang."

   "Hemm...... kaukira aku tidak tahu? Biarpun aku belum pernah melakukan perjalanan ke kota raja seperti engkau, akan tetapi pengertianku tentang dunia kang-ouw jauh lebih luas dari pada pengetahuanmu. Aku tahu akan Ang-kin Kai-pang, tahu pula dari kakekku bahwa ketuanya bernama Ang Kwi Han yang berjuluk Kai-ong dan memiliki ilmu pedang yang amat tinggi tingkatnya, kabarnya pernah Ang Kwi Han itu dengan pedangnya mengalahkan si iblis betina Hek-siauw Kui-bo! Akan tetapi kalau orang tua she Ang itu tidak becus mendidik anak buahnya yang bersikap edan-edanan serta seperti perampok mengganggu orang lewat tanpa pilih bulu, akupun tidak takut menghadapinya!"

   Yu Lee menggerakkan pundaknya. Sukar mengatur serta mengatasi gadis ini! Kalau saja hatinya tidak begitu terikat oleh semacam kekuatan gaib yang membuatnya tidak berdaya, kalau saja hasratnya tidak begitu menyala-nyala serta tertarik buat dia untuk tetap bisa selalu berdekatan, untuk setiap saat dapat memandang wajah itu, bertemu pandang dengan sinar mata yang begitu cemerlang, melihat mulut berkembang mengarah senyum seperti munculnya matahari pagi, kalau saja ia tidak jatuh bangun dalam cinta asmara terhadap Siok Lan, tentu saat itu juga ia sudah pergi meninggalkannya!

   "Saya tahu kelihaianmu, nona. Saya hanya mengharap agar tidak ada lagi perkelahian-perkelahian itu. Melihat nona bertanding pedang, ihh...... sungguh mengerikan sekali. Bagaimana kalau sampai nona terbacok atau tertusuk pedang lawan?"

   "Tak mungkin!"

   Jawab Siok Lan. Dia kalah dan terbacok? Rasanya tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Akan tetapi melihat sinar mata pelayannya yang penuh kekhawatiran, ia melanjutkan.

   "Kalau kena paling-paling juga terluka dan paling hebat mati!"

   Mendengar jawaban yang dikeluarkan secara tak acuh ini. Yu Lee menghela napas untuk menekan perasaannya yang tergoncang.

   "Kalau hanya terluka, tentu saja dapat mengusahakan obatnya, akan tetapi kalau sampai mati."

   "Habis kenapa? "

   "Kalau nona mati...... bagaimana saya dapat melakukan perjalanan bersama dan melanjutkan ke kota raja?"

   Siok Lan tertawa geli dan menutupi mulutnya, lalu meloncat naik ke punggung kudanya.

   "Aihh kau aneh sekali A-liok. Kalau aku mati, kau dapat melanjutkan perjalananmu seorang diri, atau mencari majikan baru. Mengapa susah-susah?"

   Gadis itu tidak tahu betapa jawabannya yang berkelakar ini seperti pisau menusuk jantung Yu Lee. Pemuda itu menyambar kendali di hidung kuda dan menuntun binatang itu. Kini ia berjalan di depan kuda membelakangi nona majikannya dan terdengar suaranya

   "Mari kita berangkat siocia. Jangan sampai kemalaman di Kai-feng, sukar mencari tempat penginapan kalau sudah malam, penuh oleh tamu."

   Hanya semalam mereka bermalam di Kai-feng, kota yang besar dan ramai itu Siok Lan menyewa sebuah kamar, sedangkan Yu Lee yang kehabisan kamar bujang, yaitu kamar besar dimana para bujang dari tamu-tamu tidur menjadi satu, terpaksa tidur di emper, di luar kamar Siok Lan di bawah jendela. Akan tetapi bagi Yu Lee hal ini amat menyenangkan hatinya, sebab biarpun tidur di atas lantai, ia berdekatan dengan "nona majikan"

   Yang makin lama makin menguasai cinta kasihnya itu.

   Pada keesokan harinya Yu Lee berhasil menjualkan kuda nonanya, kemudian mereka pergi ke pangkalan perahu di Sungai Huang-ho yang amat besar.

   Karena perutnya merasa lapar, Siok Lan lalu mengajak A-liok untuk makan di sebuah restoran di pinggir sungai.

   Hawa di siang hari itu amat panas, Siok Lan lalu mengajak A-liok duduk di kursi terdepan, di dekat pintu masuk restoran itu. Sambil duduk menghadapi meja, mereka dengan mudah bisa melihat keramaian di luar restoran, dimana terlihat kesibukan para pedagang serta para nelayan, pengangkutan barang-barang dari dan ke perahu-perahu yang banyak terdapat di pangkalan itu.

   Pagi hari tadi Yu Lee telah mencari perahu buat disewa melakukan pelayaran sampai ke teluk Po-hai, akan tetapi tidak ada satupun tukang perahu yang mau menyewakan perahunya buat pelayaran melalui jarak sejauh itu.

   "Kami hanya melakukan pelayaran di sepanjang Huang-ho dan sebelum tiba diterusan, kami sudah kembali lagi ke sini. Dalam waktu seperti sekarang ini, siapa berani menyeberangi terusan?"

   Demikian rata-rata jawaban tukang perahu sehingga menjengkelkan hati Siok Lan dan akhirnya nona itu mengajak pelayannya untuk mengaso dan makan di restoran itu.

   "Sialan!"

   Siok Lan mengomel.

   "Tukang-tukang perahu pengecut dan penakut! Kalau tidak ada yang berani mengantar akan kubeli saja perahunya dan kita dayung sendiri!"

   Yu Lee hanya tersenyum, kagum akan keberanian nona ini. Untuk menghibur hati nona itu, ia berkata.

   "Harap siocia jangan khawatir. Saya rasa dengan bayaran yang memadai ada juga nanti tukang perahu yang berani membawa kita ke sana."

   "Sekarang lebih baik nona makan dulu, masakan apakah yang hendak dipesan, akan saya sampaikan kepada pelayan restoran."

   "Hemm, apa sajalah! Asal enak, aku tidak tahu masakan apa yang paling enak di sini."

   "Saya tahu nona. Di Kai-feng ini bumbu masakannya rata-rata agak manis, berbeda dengan di selatan. Akan tetapi, yang paling tersohor adalah masakan ikan kakap merah dimasak saus tomat. Bukan main enaknya, gurih dan sedap. Maukah nona mencoba?"

   Siok Lan tersenyum sedikit. Makin lama makin suka ia kepada pelayannya yang ternyata penurut, sopan dan pandai menggembirakan hati, juga agaknya pelayan ini tidak begitu bodoh, tahu akan tempat-tempat asing. Terhibur sedikit hatinya yang mendongkol sebab penolakan tukang-tukang perahu tadi.

   "Boleh, sesukamulah asal enak-enak kataku tadi, jangan lupa arak yang baik, yang sedang kerasnya."

   Setelah Yu Lee memberitahu pengurus restoran dan pengatur pesanan, tidak lama kemudian pelayan datang membawa baki besar terisi beberapa macam masakan daging dan sayur, sepiring besar ikan kakap merah yang semua digoreng kering dan dibumbui saus tomat yang kemerahan. Melihat saja sudah menimbulkan selera dan membuat orang menelan air liur!

   Setelah lengkap dengan minumannya, Siok Lan memberi isyarat kepada Yu Lee dan makan minumlah mereka. Biarpun Yu Lee pada waktu itu dianggap sebagai seorang pelayan oleh Siok Lan namun gadis ini tidak terlalu memakai banyak peraturan serta selalu mengajak si pelayan makan bersama!

   Kepolosan watak ini makin mengagumkan hati Yu Lee yang menganggap Siok Lan seorang gadis yang paling cantik, paling baik, paling menyenangkan dan paling menimbulkan kasih sayang di dunia ini. Begitulah kalau seorang pria sudah bertekuk lutut dalam cinta asmara!

   "A-liok hayo ambil dagingnya! Masa kau cuma makan sirip, buntut, kepala dan tulang-tulang saja!"

   Biarpun berkali-kali Siok Lan mendesak dan Yu Lee mengangguk, namun tetap pemuda ini tidak mau mengambil daging yang paling gemuk dari ikan kakap di depan mereka. Hal ini bukan karena dia malu-malu, bukan pula sebab terlalu sayangnya kepada si nona saja, melainkan bagi dia ialah, bagian yang paling lezat dari sebuah ikan adalah sirip, buntut, kepala dan daging yang menempel pada tulang.

   Maka dia lebih suka menggerogoti tulang dari pada mengambil daging yang empuk, sehingga, di atas meja dekat mangkoknya terdapat tumpukan tukang-tulang ikan yang runcing. Baru saja keduanya selesai makan dan minum, duduk terhenyak kekenyangan di atas kursi masing-masing, tiba-tiba terdengar suara yang kecil tinggi.

   "Kasihanilah kami, nona yang budiman......!"

   Mereka berdua menengok dan berubahlah wajah mereka. Yu Lee melihat kaget serta khawatir, sebaliknya Siok Lan melihat marah. Kiranya yang mengucapkan kata-kata tadi adalah dua orang pengemis berusia enampuluhan tahun, pakaian mereda butut tetapi pinggang mereka memakai sabuk sutera merah!

   Sekali melihat saja maklumlah Siok Lan serta Yu Lee bahwa dua orang pengemis tua ini adalah kawan-kawan dari pengemis yang mereka usir di jalan tadi, serta agaknya dua orang pengemis ini sengaja datang untuk membalas dendam dan pasti mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi.

   Siok Lan marah, akan tetapi ia menekan kemarahannya dan masih enak-enak duduk, lalu bertanya dengan suara ketus.

   "Kalian ini datang mau apakah?"

   Pengemis yang tertua yang mempunyai tahi lalat besar di pelipis kanannya, berkata sambil bersandar pada tongkat dan mengangkat mangkok retaknya ke arah Siok Lan.

   "Saya bernama Ang Ci dan bersama suteku ini Ang Sui kami telah mendengar dari Ang Kun tentang kemurahan hati nona yang suka sekali memberi sedekah dan sumbangan kepada orang-orang miskin seperti kami. Karena itu kami sengaja datang untuk mohon kasihan dan sedekah dari nona."

   Siok Lan tadinya sudah marah sekali, akan tetapi dasar wataknya memang jenaka dan gembira, mendengar ucapan kakek itu yang menyebut nama mereka, ia melihat kelucuannya dan tertawa geli.

   "Aihhh, kiranya kalian dari Ang-kin Kai-pang ini merupakan sebuah keluarga besar yang mempunyai she (nama keturunan) Ang? Lucu sekali!"

   "Kami memang dari keluarga besar Ang dan hal ini sama sekali tidak ada lucunya. Harap nona sebagai cucu Thian-te Sin-kiam suka berpemandangan jauh, agar tidak mengecewakan orang yang menjadi kakek dan guru,"

   Kata pengemis kedua yang mukanya kuning.

   Kini Siok Lan tak dapat menahan kemarahannya. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan membentak,

   "Jembel busuk mengapa banyak cerewet dan membawa-bawa nama kakekku? Kalian dan golongan kalian inilah yang berpemandangan cupat. Orang minta sedekah harus mempunyai tata susila, harus sopan dan dengan sukarela mengharapkan bantuan orang. Akan tetapi kalian melakukan paksaan, sungguh pekerjaan yang hina dan rendah melebihi perampok. Kalau perampok, mereka minta dengan paksa secara terang-terangan, sebaliknya kalian ini minta secara paksa berkedok pengemis! Aku tidak mau memberi apa-apa, kalian mau apakah?"

   Ucapan Siok Lan yang dilakukan dalam keadaan marah ini menimbulkan keributan dan menarik perhatian orang sehingga para tamu dalam restoran itu kini menengok, bahkan mereka yang tadinya bekerja menghentikan pekerjaan mereka dan menengok.

   Namun mereka semua itu tampak kaget ketika melihat bahwa yang dimarahi gadis cantik itu adalah dua orang pengemis tua yang bersabuk sutera merah! Bagi mereka, sabuk sutera merah ini merupakan tanda yang sudah amat dikenal dan ditakuti.

   Siapakah yang tidak mengenal Ang-kin Kai-pang perkumpulan pengemis gagah perkasa yang berani menantang pemerintah dan yang telah banyak bekerja membantu para pekerja paksa pembuat terusan air? Dan sekarang ada seorang nona muda berani marah-marah terhadap mereka!

   Ang Ci yang bertahi lalat di pelipisnya itu tersenyum, lalu berkata suaranya masih tenang seperti tadi, tinggi kecil suaranya, seperti suara wanita.

   "Nona, justeru mengingat nama besar Liem Kwat Ek kakekmu, kami masih bersikap mengalah kepadamu. Akan tetapi harus nona ketahui bahwa Thian-te Sin-kiam sendiri tidak akan berani bersikap seperti nona terhadap kami. Karena itu kami pun akan menghabiskan urusan ini asal nona mau menyumbangkan pedang nona kepada kami!"

   Yu Lee tahu bahwa biarpun Siok Lan berada di pihak benar, namun nona ini telah melanggar sopan santun dan peraturan dunia kang-ouw, tidak mengindahkan perjuangan Ang-kin Kai-pang maka kini mendengar bahwa dua orang pengemis itu mau menghabiskan perkara asalkan si nona suka memberikan pedang, yang dalam dunia kang-ouw dapat dianggap sebagai tanda mengaku kalah menganggap bahwa hal itu cukup patut.

   Nona ini masih amat muda, dan mengaku kalah terhadap dua orang tokoh Ang-kin Kai-pang bukanlah hal yang memalukan apalagi mengaku kalah tidak karena bertanding melainkan karena telah melanggar dan memalukan pihak Ang-kin Kai-pang ketika mengalahkan Ang Kun tadi.

   "Nona, berikanlah saja, nona. Nona dapat membelinya lagi pedang yang lebih bagus nanti............!"

   "Apa.........? Menyerahkan gin-kiam begitu saja? Bah, nanti dulu!"

   Bentak Siok Lan yang sudah melompat maju. Ia mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilauan dibarengi bunyi berdesing yang nyaring. Dengan melintangkan pedang perak di depan dada Siok Lan berkata,

   "Jembel tua! Pedang merupakan pelindung dan andalan seorang gagah! Aku tidak akan memberikannya kepada siapa juga dan kalau sanggup merampasnya dari tanganku ambillah!"

   Ini merupakan sebuah tantangan! Yu Lee yang mengetahui bahwa kembali pertandingan takkan dapat dielakkan, menjadi makin khawatir dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk mencari jalan keluar tanpa diketahui nona itu.

   "Ha, ha, ha, apa sukarnya merampas pedang itu?"

   Ang Ci berkata, kemudian seperti dikomando saja, kedua orang pengemis itu mengangkat tongkat mereka dan menggerakkan tongkat ke arah Siok Lan. Gadis ini yang sudah marah, ingin membabat putus tongkat itu dengan pedangnya, untuk membikin malu dua orang pengemis. Pedangnya berkelebat dan membacok dua batang tongkat yang diangkat dan bergerak ke arahnya itu.

   "Plakkk!"

   Pedangnya menempel pada dua tongkat dan tak...... tak dapat ditarik kembali.

   Betapapun si gadis jelita mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, namun pedang gin-kiam seperti telah berakar pada dua tongkat, lengket dan tak dapat digerakkan sama sekali.

   "Wah, wah, ji-wi locianpwe...... kami tidak punya apa-apa, makanan sudah habis hanya tinggal tulang-tulang ikan, kalau ji-wi sudi boleh saja ambil......!"

   Yu Lee mengeluarkan ucapan ini dengan gugup serta sikapnya gugup pula.

   Ia mengambil tulang-tulang ikan di depannya lalu melemparkannya ke arah dua buah mangkok di tangan kiri kedua pengemis itu. Sebab ia gugup serta gerakannya tidak keruan dan kacau balau, tulang-tulang itu tidak semua memasuki mangkok dan ada yang mencelat ke mana-mana.

   Siok Lan yang lagi memusatkan seluruh tenaga, tidak tahu akan hal ini semua. Tiba-tiba ia merasa betapa dua batang tongkat yang menempel pedangnya itu mengendor, tanda bahwa dia mulai menang tenaga, maka ia lalu memusatkan seluruh tenaga serta membuat gerakan membetot secara tiba-tiba dan...... usahanya kali ini berhasil, pedangnya terlepas.

   Sebab marah, ia lalu memakai kedua kakinya menendang secara bergantian dan tubuh kedua kakek pengemis itu terlempar keluar pintu restoran sampai empat meter!

   Pucat wajah kedua orang kakek itu. Mereka tadi sudah merasa yakin dapat mengalahkan gadis itu serta bisa merampas pedangnya tanpa banyak kesukaran.

   Akan tetapi tiba-tiba mereka merasa betapa jalan darah di pundak kanan mereka yang memegang tongkat menjadi kesemutan seperti terkena totokan yang tepat sekali maka mereka tidak mampu menahan ketika gadis itu menendang biarpun tendangan itu amat cepat tetapi mereka bisa mengelak kalau saja pada waktu yang bersamaan mereka tidak merasa tubuh masing-masing tergetar oleh totokan pada pinggang mereka sehingga tanpa bisa dicegah lagi mereka kena ditendang sampai mencelat keluar restoran!

   Ang Ci dan Ang Sim adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Ang-kin Kai-pang. Ilmu kepandaian mereka sudah amat tinggi serta jarang dikalahkan musuh.

   Mereka juga merasa sungkan menghadapi seorang gadis muda seperti Siok Lan, apalagi mengingat kakek gadis itu yang menjadi teman baik pangcu (ketua) mereka, maka mereka cuma mau merampas pedang Siok Lan yang telah menghina Ang-kin Kai-pang dengan merobohkan serta mengusir pengemis tokoh tingkat lima yang bertemu Siok Lan di jalan.

   Siapa duga, di restoran ini, di bawah mata banyak sekali orang, mereka berdua telah di tendang sampai mencelat oleh seorang gadis remaja! Tentu saja hal ini amat memalukan serta merendahkan nama mereka. Juga mereka menjadi penasaran sekali dan mau berhadapan dengan orang yang telah membantu gadis itu, maka kini mereka sudah mencabut pedang dari tongkat masing-masing sambil berseru.

   "Berani kau menghina Ang-kin Kai-pang?"

   Yu Lee telah berlari keluar dan berkata.

   "Wah-wah...... kalian telah membikin nona majikanku marah! Masih baik kalau hanya ditendang kalau dia tak sabar, jangan jangan kalian telah dibunuhnya!"

   Sambil berkata demikian, ia mengangkat kedua tangan diluruskan ke depan serta digoyang-goyangkannya.

   Ang Ci dan Ang Sun yang baru saja mencabut pedang, merasa betapa ada hawa yang panas serta kuat menyambar mereka. Tubuh mereka terdorong dan alangkah kaget hati mereka ketika melihat tiga buah ronce yang menghias gagang pedang mereka telah putus semua! Sejenak mereka melihat ke arah "pelayan"

   Nona itu, tahulah mereka bahwa inilah dia seorang lihai yang telah membantu Siok Lan.

   Melihat sikap Yu Lee, kedua orang pengemis tua ini maklum bahwa Yu Lee adalah seorang pendekar sakti yang sedang meyembunyikan diri, pura-pura menjadi pelayan. Mereka mengenal watak aneh dari orang-orang pandai dan menghormati penyembunyian diri serta rahasia ini. Sebab dari totokan-totokan tak tampak tadi yang kini dapat mereka duga adalah tulang-tulang ikan yang menyambar, serta dari pukulan jarak jauh yang menerbangkan ronce-ronce merah di pedang mereka.

   Kedua orang pengemis tua ini maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang benar-benar hebat dan tidak terlawan oleh mereka, maka keduanya lalu berlutut dan berkata.

   "Mata kami seperti buta tidak melihat gunung tinggi menjulang di depan. Maaf dan sampai jumpa pula!"

   Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu memasukkan pedang mereka ke dalam tongkat lalu pergi dari situ dengan muka merah serta muram.

   Siok Lan khawatir melihat pelayannya berani mendekati dua orang kakek itu, cepat meloncat dan telah berada di dekat Yu Lee ketika dua orang kakek itu menjura berlutut. Nona ini membusungkan dada sebab bangga karena menganggap bahwa dialah yang dikatakan "gunung tinggi menjulang di depan"

   Oleh dua orang Kakek itu!

   "Yang tidak mengenal Sian-li Eng-cu memang sama dengan orang buta!"

   Katanya bangga dan menyarungkan kembali pedangnya dengan sikap gagah.

   Semua orang yang hadir di situ kini memandang ke arah Siok Lan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Mereka tahu bahwa para pengemis Ang-kin Kai-pang adalah orang yang berilmu tinggi, apalagi dua orang pengemis tadi sudah tua dan pedangnya mempunyai ronce-ronce hanya tiga buah entah kenapa jatuh ke tanah, berarti bahwa dua orang kakek itu adalah tokoh tingkat tiga yang tentu saja amat lihai! Namun dalam segebrakan saja telah ditendang mencelat olah gadis remaja ini dan di depan mereka dua orang tokoh itu mengakui kelihaian si gadis.

   Ketika mereka mendengar ucapan Siok Lan, kekaguman mereka makin memuncak dan nama julukan Sian-li Eng-cu menjadi buah bibir sejak saat itu. Sian-li Eng-cu Si Bayangan Bidadari! Julukan yang indah, dan memang orangnya pun amat jelita!

   Para nelayan yang mendengar akan kegagahan Sian-li Eng-cu kini berduyun datang dan menawarkan perahunya untuk dipakai gadis perkasa itu berlayar ke Po-hai! Melihat ini Siok Lan tersenyum puas dan berkata kepada Yu Lee.

   "A-liok, kau pilihlah sebuah perahu yang cukup baik katakan kepada pemiliknya bahwa kami akan menyewanya sampai ke Po-hai dan berani membayar mahal. Selain itu katakan bahwa dia tidak usah khawatir atau takut. Kalau ada bajak di tengah jalan, tentu akan kubasmi mereka. Kalau ada perajurit berani mengganggu di terusan itu, biar aku yang akan mengobrak abrik mereka. Pendeknya, aku menjamin keselamatan si tukang perahu dan perahunya!"

   Mendengar ucapan yang gagah ini, makin kagumlah para pedagang dan nelayan yang berada di situ, Akan tetapi Yu Lee diam-diam menghela napas panjang dan hatinya diam-diam menjadi gelisah.

   Ia tahu bahwa kepandaiannya Ang Ci dan Ang Sun tadi cukup tinggi, jangankan melawan mereka berdua, melawan satu sama satu saja belum tentu Siok Lan menang. Juga ia amat bersyukur dan kagum kepada dua orang pengemis tadi yang ternyata mengerti bahwa dia ingin merahasiakan dirinya, maka kedua orang pengemis itupun tidak mendesaknya dan mereka tahu diri mengaku kalah dan pergi. Namun iapun tahu bahwa mereka itu merasa penasaran dan tentu akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.

   Perjalanan selanjutnya tidaklah selancar dan semudah yang di duga Siok Lan apa lagi ditambah dengan sikap gadis itu yang agak tekebur. Dipuji-pujinya nama Sian-li Eng-cu sampai setinggi langit tentu akan memancing banyak orang kang-ouw yang hendak mengujinya!

   Setelah memilih sebuah perahu milik seorang tukang perahu yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kuat, Siok Lan lalu meloncat ke atas perahu, diantar oleh orang-orang yang berada di situ dengan pandang mata penuh kagum. Yu Lee juga sudah naik ke perahu dan ia berkata dengan suara serius kepada Siok Lan.

   "Siocia, pelayaran ini bukanlah perjalanan yang aman. Biarpun nona lihai, akan tetapi banyak sekali orang-orang pandai dan jahat berkeliaran di sepanjang tepi sungai. Saya takut kalau-kalau kita akan menemui banyak rintangan di sepanjang sungai."

   "Ahhh, takut apa. Pokoknya, kita tidak bermaksud jahat terhadap orang lain! Kalau toh ada orang lain hendak berbuat jahat, akan kulawan dia dan akan kubasmi agar dunia makin bersih!"

   Jawaban ini disambut sorakan para pengantar yang menganggap nona ini amat gagah perkasa, sebaliknya pelayannya amat penakut.

   Berangkatlah perahu itu ke tengah sungai diikuti teriakan-teriakan dari tepi sungai,

   "Selamat jalan, Sian-li Eng-cu!"

   "Hidup Sian-li Eng-cu!"

   Siok Lan berdiri di kepala perahu, tangan kiri bertolak pinggang meraba gagang pedang, tangan kanan melambai ke arah para pengagumnya di tepi sungai. Sungguh jelita dan gagah.

   Dan Yu Lee hanya dapat menggeleng kepala dan menghela napas. Edan bocah ini pikirnya gemas. Akan tetapi aku lebih edan lagi karena aku tergila-gila kepada seorang bocah gila! Perahu meluncur terus, menurutkan aliran air sungai ditambah dorongan dayung tukang perahu.

   Wanita berpakaian merah itu lari terhuyung-huyung menaiki sebuah bukit. Tubuhnya lemas dan pakaiannya kusut, rambutnya pun terlepas sanggulnya, terurai, sebagian menutupi mukanya yang pucat. Dia wanita yang masih muda, tidak akan lebih dari duapuluh lima tahun usianya, cantik jelita dengan muka yang berbentuk bulat telur, dan bentuk tubuh yang padat menggairahkan. Pendeknya seorang wanita muda yang cantik menarik, tetapi keadaan tubuhnya sangat menyedihkan pada waktu itu.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   Ia terluka, tetapi tidak diperdulikannya luka-luka itu, serta tubuh yang letih tidak diperdulikannya pula, dan pakaiannya yang kusut, ia terus saja jalan terhuyung-huyung kadang-kadang lari ke depan seperti orang buta. Memang ia seperti orang buta oleh air matanya sendiri, buta oleh kehancuran hati, oleh penyesalan, oleh rasa malu serta patah hati!

   Malam itu biarpun terang bulan, tetapi jalan mendaki bukit amatlah sukarnya, sinar bulan kurang cukup menerangi jalan yang berbatu-batu dengan di tepinya jurang-jurang menganga seperti mulut maut. Tetapi wanita itu berjalan terus, naik ke bukit tanpa tujuan.

   Siapa dia ini? Bukan lain adalah Ma Ji Nio yang terkenal dengan julukan Cui-siauw Sianli (Dewi Suling).

   Seperti telah kita ketahui, Ma Ji Nio atau Dewi Suling ini adalah murid terkasih Hek-siauw Kui-bo yang selain mewarisi ilmu silat gurunya yang tinggi, juga mewarisi sifatnya yang buruk yaitu kesukaan mengumbar dan melampiaskan nafsu birahi. Bahkan dalam kebiasaan melampiaskan nafsu birahi ini, Ma Ji Nio lebih ganas dari gurunya.

   
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pria yang bagaimanapun yang menarik hatinya, harus ia dapatkan, baik secara halus maupun secara kasar. Dan yang mengerikan, setelah ia merasa bosan, ia lalu membunuh pria itu sebab selain ia enggan membagi cinta kasih pria itu dengan wanita lain juga ia tidak mau dijadikan bahan percakapan pria-pria bekas kekasihnya.

   Dengan demikian. Selama mengumbar nafsunya. Ma Ji Nio telah membunuh puluhan orang pria muda dan tampan!

   Namun, selama masa petualangannya yang mengerikan itu, Dewi Suling selalu mendapatkan pria-pria tampan tetapi lemah dan hatinya tergerak ketika ia bertemu Ouwyang Tek dan Gui Siong, dua orang pemuda tampan serta perkasa murid Siauw-bin-mo Hap Tojin.

   Akan tetapi, alangkah kecewa serta menyesal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan saja dua orang pemuda perkasa itu tidak sudi melayani nafsunya, bahkan sebaliknya menghina memaki serta memusuhinya. Kemudian pula, sekali ia bertemu Yu Lee dan kali ini hatinya betul-betul jatuh cinta. Belum pernah selama hidupnya ia jatuh cinta sampai mendalam seperti ketika ia bertemu pemuda ini.

   Melihat Yu Lee serta menyaksikan kelihaian pemuda itu yang tidak hanya melebihi kepandaiannya bahkan jauh lebih pandai sampai berhasil membunuh gurunya, Hek-siauw Kui-bo. Hati Dewi Suling benar-benar terpikat dan di dalam hatinya ia bersumpah bahwa kalau bisa menjadi istri pemuda itu, ia baru merasa puas dan akan berhenti dari petualangannya.

   Itulah sebabnya mengapa ketika ia melihat Yu Lee tertawan oleh gurunya ia menolong pemuda itu dan berani menghadapi kemarahan gurunya. Ia sudah mempertaruhkan jiwanya buat menolong pemuda itu serta membujuk pemuda perkasa itu menjadi suaminya.

   Akan tetapi apakah jadinya? Tidak saja ia telah dikalahkan, lalu gurunya terbunuh, dia sendiri terluka, malah Yu Lee sengaja memberi ampun serta mengancam bahwa kalau kelak jalannya masih sesat, maka pemuda yang dicintanya itu akan membunuhnya!

   Ia telah menerima penghinaan yang hebat sekali serta mengalami penyesalan. Ia merasa malu serta menyesal akan semua perbuatannya yang telah lampau.

   Andaikata dia masih seorang gadis yang bersih, dengan kecantikannya dan ilmu silatnya yang tinggi, tentu lebih besar harapan baginya buat mempersuami Yu Lee. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, serta semua petualangannya itu sudah membosankan, tidak memberi kebahagiaan buatnya lagi. Ia menghendaki kasih sayang murni, cinta kasih antara suami isteri yang tulus ikhlas, membina keluarga, mempunyai keturunan serta hidup sebagai seorang isteri terkasih dan ibu terhormat.

   Makin dipikir dan dikenang, makin hancurlah hati Dewi Suling. Apalagi ketika ia terusir dari Istana Air tempat tinggal gurunya yang sudah terbasmi musuh itu.

   Makin bosanlah ia hidup dan tanpa memperdulikan lukanya, ia melarikan diri terus siang malam sampai akhirnya ia mendaki bukit itu di malam hari, tanpa tujuan, hanya ingin lari, lari pergi jauh sekali, menjauhi rasa malu, rasa rendah serta kekecewaan hati.

   Bulan tertutup awan hitam, keadaan gelap pekat, segelap hati Dewi Suling, kakinya tersandung batu dan ia terguling roboh. Kepalanya terasa pecah ketika ia terbanting itu.

   Dirabanya dahinya, berdarah tertumbuk batu gunung. Ia mengeluh dan merangkak bangun, gelap gulita disekelilingnya. Kepeningan kepalanya menambah kegelapan, sudah matikah dia? Di manakah dia?

   Tiga hari tiga malam ia berlari terus tanpa berhenti keluar masuk hutan, naik turun gunung sampai akhirnya ia tiba di tempat ini yang sama sekali tidak dikenalnya. Matanya berkunang dan pandangannya gelap. Tiba-tiba tampak sebuah cahaya kecil kelap kelip di dalam kegelapan malam, tidak jauh di sebelah depan.

   Dewi Suling bangkit berdiri, ia hampir tidak kuat lagi. Dengan terhuyung-huyung ia maju ke arah cahaya kecil dan akhirnya ia roboh terguling pingsan di depan pintu sebuah kuil tua, pintu yang terbuka dan dari mana keluar cahaya api tadi, cahaya sebatang lilin yang bernyala di atas meja di ruang dalam.

   "Omitohud...... kasihan sekali nona muda ini!"

   Terdengar suara halus dan seorang nikouw (pendeta perempuan) keluar, berlutut lalu memanggil beberapa nikouw lain.

   Kemudian beramai-ramai para pendeta wanita itu menggotong tubuh Dewi Suling, dibawa masuk ke dalam kuil tua. Ternyata itu adalah sebuah kuil Kwan-im-bio yang amat tua di lereng bukit yang sunyi, dan didiami lima orang nikouw tua yang hidup sunyi dan suci di tempat itu.

   Hanya penduduk dusun di sekitar bukit itu yang kadang-kadang mengunjungi kuil untuk minta berkah dan petunjuk dan untuk menyambung hidup, lima orang nikouw ini bercocok tanam disamping sumbangan yang didapat dari harta penduduk dusun.

   Sampai dua hari dua malam Dewi Suling rebah pingsan, terserang demam yang hebat. Keadaannya amat berbahaya dan hanya berkat perawatan para nikouw yang amat tekun dan penuh kasih sayang.

   Pada hati ketiga, pagi sekali, Dewi Suling dapat sadar dari pingsannya. Panas tubuhnya menurun banyak. Selama pingsan, Dewi Suling merasa seolah-olah ia melayang di udara bingung karena tidak tahu harus terbang ke mana.

   Ia terkejut ketika sadar dan merasa bahwa ia berbaring dalam sebuah kamar, menoleh ke kanan kiri, kamar itu sederhana namun bersih sekali.

   Tercium bau asap yang sedap harum. Ah, tidak mungkin ini neraka. Terlalu baik untuk sebuah neraka. Sorgakah? Tidak mungkin orang seperti dia masuk sorga! Kalau begitu, berarti dia belum mati. Ia teringat betapa ia roboh lemas di depan sebuah bangunan seperti kuil, yang terbuka pintunya dan dari pintu itulah cahaya terang menyinar.

   Teringat pula ia betapa ia menderita luka-luka yang cukup parah ketika ia bertanding melawan Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho-tee-kong Liong Losu dan pasti dia akhirnya akan roboh binasa di tangan kedua orang pendeta lihai itu. Kalau saja tidak muncul Yu Lee yang menyelamatkannya.

   Teringat ini ia meraba-raba tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa luka-lukanya telah sembuh. Ah, kembali ia ditolong orang yang merawat dan mengobatinya. Ia masih belum mati dan karenanya berarti ia masih harus terus menderita, teringat akan sikap Yu Lee yang tidak membalas cintanya bahkan memperlakukannya dengan sikap yang menyakitkan hati, tak tertahankan lagi Dewi Suling menangis.

   "Omitohud......! Nona sudah sadar syukurlah. Mengapa menangis? Di dunia ini tidak ada kedukaan yang tak dapat diatasi dengan pengendalian tidak ada dosa yang tak dapat ditebus oleh kesadaran. Kalau nona bersedia, ceritakanlah segala penderitaan nona kepada pinni (aku), mungkin pinni akan dapat membantu meringankan beban itu, walaupun hanya dengan kata-kata dan nasihat!"

   Mendengar suara yang halus penuh welas asih ini tangis Dewi Suling makin mengguguk. Namun hanya sebentar saja ia telah dapat menguasai dirinya tangisnya terhenti dan ia mengangkat mukanya memandang.

   Seorang nikouw tua, berusia enampuluh tahun lebih, berkepala gundul dan berpakaian serba kuning amat sederhana, wajahnya membayangkan ketenangan jiwa dan kehalusan budi, telah berdiri di dalam kamar itu memandangnya dan merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Engkau siapakah?"

   Tanyanya.

   Nikouw tua itu menggerakkan alis, dapat menangkap sikap dan suara yang tinggi hati dari nona di depannya, namun bibirnya tetap tersenyum ramah, seolah-olah baginya bukan hal aneh menghadapi sikap kasar dan selalu sudah siap memaafkannya.

   "Nona pinni adalah Sui-lian Nikouw yang memimpin empat orang nikouw lain di kuil Kwan-im-bio ini."

   Sepasang mata yang jernih dan tajam itu melotot marah.

   "Kenapa kalian menolongku? Kenapa? Aku mau mati.......! Aku mau mati......!!"

   Dan kembali Dewi Suling menangis tersedu-sedu.

   "Omitohud! Sungguh keliru sekali kalau nona mengira bahwa kematian adalah jalan kebebasan dari pada derita! Tidak sama sekali, nona. Kematian hanyalah akibat daripada dosa dan setelah mati sekalipun kita tidak akan terbebas daripada akibat perbuatan kita sendiri, bahkan penderitaannya akan lebih hebat lagi sebab kita tidak mempunyai kesempatan lagi buat menebusnya dengan kesadaran. Selagi masih hidup, masih terdapat jalan bagi kita buat bertobat, menjauhi dosa, hidup dalam kesadaran dan memeluk kebajikan buat menebus semua dosa yang telah kita perbuat. Nona, sadarlah dan dengarkan baik-baik ucapan seorang tua seperti pinni."

   Biarpun kata-kata itu amat halus, tetapi bagi Dewi Suling merupakan tetesan-tetesan embun yang amat dingin menembus dada menyayat hati.

   Ia terbelalak melihat, lalu berkata, suaranya gemetar.

   "Dapat menebus dosa......? Kesadaran.......? Apa...... apa yang kau maksud dengan kesadaran!"

   Sui-lian Nikouw tersenyum, lalu terdengarlah ia bernyanyi perlahan, suaranya merdu serta nyanyiannya adalah sebuah pelajaran dalam Agama Buddha.

   "Apabila seorang selalu sadar

   selalu membangkitkan diri dengan kesadaran

   bersikap waspada perbuatannya bersih

   bertindak dengan bijaksana

   teguh terhadap diri sendiri

   hidup sesuai dengan ajaran benar

   maka kemuliaannya bertambah"

   Dewi Suling amat tertarik. Selama hidupnya, tak pernah ia mendengar atau memperhatikan pelajaran-pelajaran tentang kebatinan dan kata-kata sederhana yang didengarnya sekarang adalah seperti sinar terang yang mengusir kegelapan hatinya. Namun kalau ia teringat akan semua perbuatannya yang sudah sudah ia jadi ragu-ragu dan menyesal kembali.

   "Akan tetapi, Sui-lian Nikouw, aku adalah seorang yang telah banyak berbuat dosa! Kedua tanganku sudah kotor, penuh lumpur dosa......!"

   Ia mengeluh.

   Kini Sui-lian Nikouw meramkan kedua matanya dan pendeta wanita ini yang berusaha untuk menyadarkan seorang manusia yang menyeleweng dalam hidupnya, kembali bernyanyi dengan suara yang tergetar penuh perasaan, penuh pengaruh halus yang amat kuat.

   "Apabila seorang berbuat dosa

   biarlah ia sadar dan tidak mengulang perbuatan,

   biarlah ia tidak senang lagi akan kejahatan

   karena hanya penderitaan menjadi timbunan kejahatan."

   Dewi Suling terisak, hatinya seperti ditusuk-tusuk.

   "Aahh, Sui-lian Nikouw! Engkau tidak tahu, tidak mengenal siapa aku! Dosaku adalah dosa tak berampun. Tahukah engkau siapa aku? Aku adalah iblis betina yang terkenal dengan julukan Cui-siauw-kwi (Iblis Peniup Suling)! Aku pula yang disebut Dewi Suling. Aku telah membunuh banyak sekali orang, baik orang jahat ataupun orang baik-baik. Aku juga membunuh puluhan orang pemuda bekas kekasihku sendiri! Nah, katakan sekarang, Nikouw, apakah dosa sebesar itu bisa ditebus? Apakah tidak lebih baik kalau aku mati saja sekarang agar segera menerima hukuman di neraka serta tidak lagi mengotori dunia?"

   Nikouw tua itu menggerakkan alisnya yang sudah setengah putih. Rupanya ia terkejut mendengar ucapan nama Dewi Suling yang namanya telah tersohor sebagai wanita bersifat iblis.

   Hampir ia tidak percaya bahwa seorang wanita muda cantik seperti ini bisa menjadi seorang yang berwatak iblis. Tetapi ia tidak heran, lalu menarik napas panjang dan berkata.

   "Tidak ada dosa yang betapapun besarnya tak bisa diampuni nona. Nona sudah merasa bahwa nona telah melakukan banyak dosa. Hal ini saja telah menjadi pertanda baik, karena barang siapa menyadari akan kesalahannya, itu merupakan awal yang baik sekali. Terus kesadaran akan dosa dan semua kesalahan ini ditingkatkan menjadi sebuah perasaan menyesal akan dosa-dosanya kemudian dilanjutkan dengaa perasaan bertaubat. Akan tetapi bertaubat dengan mulut saja percuma melainkan harus dengan hati dan diperkuat dengan perbuatan. Hanya dengan perbuatan sajalah manusia dapat membuktikan isi hatinya. Menurut pendapat pinni, masih belum terlambat bagimu, nona."

   Mendengar ini Dewi Suling yang tadinya sudah putus asa, bangkit semangatnya. Ia melompat dari pembaringan menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw yang bersikap tenang itu lalu berkata,

   "Tunjukkanlah jalan bagiku...... nikouw yang baik, tunjukkanlah agar aku dapat kembali menjadi manusia baik...... agar aku dapat terbebas daripada noda-noda dan dosa-dosaku......"

   "Hanya dengan penebusan, nona. Penyesalan hatimu harus diujudkan dalam perbuatan yang tegas. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau telah membunuh puluhan orang? Nah, mulai detik ini, kau usahakanlah agar engkau dapat menyelamatkan nyawa orang, mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan sampai engkau dapat menolong nyawa orang yang terancam bahaya maut sebanyak atau melebihi jumlah orang yang pernah kau bunuh. Pupuklah kebaikan sebanyak mungkin, dan kelak...... kalau di antara kita ada jodoh dan kita dapat bertemu kembali, pinni akan menuntunmu mencari kebebasan dari pada segala penderitaan."

   Dewi Saling termenung, menengadahkan mukanya memandang wajah nikouw itu. Sinar kedukaan mulai menghilang, terganti sinar penuh harapan yang membuat wajahnya yang cantik itu berseri. Seakan-akan ada cahaya suci yang keluar dari pribadi nikouw itu memasuki dirinya, mambuatnya sadar dan dapat melihat kebenaran.

   Sambil berlutut ia mohon petunjuk-petunjuk lagi dari Sui-lian Nikouw yang memberi wejangan kepadanya tentang memenangkan diri sendiri menguasai nafsu dan mencari jalan kebenaran dengan liku-liku utama.

   Sepekan kemudian seorang Dewi Suling yang lagi melesat keluar dari Kwan-im-bio itu. Masih sama cantik jelitanya, masih seorang nona bernama Ma Ji Nio yang sepekan lalu roboh pingsan di depan kuil itu.

   Akan tetapi dengan pandang mata yang jauh berbeda dengan pakaian yang bukan sutera tipis warna merah lagi melainkan pakaian berwarna putih, yang sederhana dan kasar. Seorang wanita yang mempunyai satu tekad di hatinya, yakni memupuk kebaikan untuk menebus segala perbuatan dosanya yang lalu, seorang wanita yang tidak lagi mau menyentuh makanan berjiwa atau memabukkan, tidak lagi menjadi hamba nafsu karena ia bertekad untuk menundukkan nafsu-nafsunya.

   Dan gemparlah lagi dunia kang-ouw dengan munculnya Dewi Suling yang merupakan kebalikan daripada Dewi Suling yang pernah ada. Dewi Suling yang sekarang ini benar-benar merupakan seorang dewi penolong yang mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menolong mereka yang tertindas, menyelamatkan banyak nyawa yang terancam, penentang kejahatan dan memupuk kebaikan.

   Yu Lee mendayung perahu perlahan, sebenarnya bukan mendayung karena perahu itu sudah berjalan sendiri hanyut bersama aliran sungai, melainkan mengemudi perahu dibantu dayungnya. Malam itu terang bulan, amat indahnya dan ia menggantikan tukang perahu A-bouw yang tidur mendengkur di perahu. Siok Lan tidak mau berhenti malam itu, maka terpaksa Yu Lee menggantikan tukang perahu yang sudah terlalu lelah dan mengantuk.

   Siok Lan menghampirinya dan duduk di depannya memandang ke kanan kiri karena memang pemandangan di malam ini amatlah indahnya. Tertimpa sinar bulan purnama yang amat terang keadaan di sepanjang tepi sungai merupakan pemandangan seperti dalam mimpi, diantara terang dan samar sehingga terbentuk bayang-bayang aneh dan cahaya kuning emas menyelimuti permukaan air.

   "Nona, mengasolah, saya rasa besok pagi kita sudah akan sampai dekat dengan tempat penggalian terusan di sebelah utara pantai Huang-ho,"

   Kata Yu Lee sambil menikmati keindahan luar biasa di depan matanya, bukan keindahan pemandangan di tepi pantai, melainkan keindahan rambut-rambut halus tertimpa sinar bulan yang kuning emas itu.

   "Mana mungkin mengaso apalagi tidur di malam seindah ini?"

   Siok Lan mencela membetulkan rambutnya yang agak mawut oleh angin semilir.

   "Bulan purnama, pemandangan begini indah, menunggang perahu benar-benar amat menyenangkan. Jauh lebih senang dari pada melakukan perjalanan darat. Aku tidak tidur, A-liok, aku ingin mengajak kau bercakap-cakap."

   Berdebar jantung Yu Lee. Kadang-kadang sikap nona ini amat mesra, seolah-olah seperti bicara terhadap seorang teman baik, kalau nona ini telah bersikap demikian, hampir lupa dia bahwa dia adalah seorang "pelayan". Sebab denyut jantungnya makin berdebar, ia mau menekannya dengan mengingatkan kedudukan mereka kepada nona itu, sekalian mau tahu isi hatinya.

   "Ah, nona.......betapa janggalnya. Saya cuma seorang pelayan!"

   "Siapa mau melarang aku bercakap-cakap dengan pelayanku?"

   Nona itu melihat dengan mata menantang, agak marah. Akan tetapi ia segera tersenyum dan menyambung.

   "Engkau kadang-kadang aneh sekali membuat aku mendongkol, A-liok. Apa sih perlunya engkau kadang-kadang merendah-rendah serta menekankan bahwa kau adalah pelayan? Justeru sebab kau sekarang menjadi pelayanku maka aku mau mengajak engkau bercakap-cakap!"

   Yu Lee tidak berani melihat wajah itu, wajah yang sepenuhnya kini tersinar cahaya kuning emas bermandi cahaya keemasan membuat wajah itu bersinar indah hingga ia tak berani melihat langsung, tidak percaya kepada dirinya sendiri. Sebagai gantinya ia melihat ke arah bulan sambil kadang-kadang saja melihat ke depan kalau-kalau arah perahunya menyeleweng.

   "Bercakap-cakap soal apakah, nona?"

   "Soal dirimu."

   Kedua tangan Yu Lee yang tadi bergerak-gerak mendayung, berhenti sejenak, baru digerakkan pula setelah mulutnya berkata.

   "Soal diriku? Ahhh, saya...... tidak ada sesuatu yang menarik, soal diri saya, seorang bekas pelayan......"

   "Dimana orang tuamu, A-liok?

   "Sudah meninggal dunia, ikut terbasmi ketika Hek-siauw Kui-bo mengamuk...... enambelas tahun yang lalu......"

   Terhenti suaranya sebab terasa tercekik lehernya dan tak bisa dicegah lagi air matanya menetes-netes ke atas kedua pipinya. Yu Lee berusaha keras mencegah hal ini, tetapi tidak kuat sebab ia teringat akan peristiwa yang menimpa keluarganya dan seketika hatinya seperti diremas-remas.

   Siok Lan melihat bengong, kemudian tertawa tetapi cepat-cepat menutupi mulutnya.

   "Hi hi, lucunya......! Agaknya memang sekeluarga Si Dewa Pedang, sampai ke pelayan-pelayannya cengeng semua......!"

   Barulah Yu Lee teringat dan cepat ia menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya.

   "Ah, maaf nona. Sebab teringat bahwa ayah bundaku telah tiada serta saya hidup sebatangkara saya menjadi berduka......"

   "Tidak apa, cuma lucu karena aku teringat akan majikanmu yang kini terkenal disebut Pendekar Cengeng! A-liok, ketika peristiwa itu terjadi, enambelas tahun yang lalu kau bilang?"

   "Betul nona."

   "Berapa sekarang usiamu, A-liok?"

   Yu Lee berdebar lagi jantungnya. Mengapa nona ini begini memperhatikan dirinya, sampai tanya tanya usia segala? Tidak sepatutnya seorang nona majikan bersikap begitu terhadap pelayannya. Ataukah...... mungkin nona ini tertarik kepadanya, seorang pelayan?

   "Eh, ditanya malah melamun!"

   Teguran ini mengingatkan Yu Lee, ia lalu menjawab dengan gagap.

   "Duapuluh empat tahun usia saya, nona"

   Ia merasa heran kenapa hatinya berdebar cepat. Ia telah digembleng oleh suhunya serta memiliki ketabahan hati dan keberanian yang lengkap biasanya menghadapi apapun ia akan tetap tenang saja, bahkan menghadapi bahaya maut sekalipun ia tidak akan gentar dan tetap tenang. Namun kini berhadapan dengan Liem Siok Lan, berdua di atas perahu di bawah sinar bulan purnama, lenyaplah ketenangannya seperti awan ditiup angin membuat ia berubah menjadi seorang yang penggugup.

   "Hemm duapuluh empat tahun, ya? Kalau begitu engkau berusia delapan tahun ketika peristiwa pembunuhan hebat itu terjadi. Dan kau sedang pulang ke dusun ketika terjadi sehingga kau tidak menyaksikannya sendiri seperti yang kau katakan tempo hari?"

   "Betul nona."

   Yu Lee mencuri pandangan dan melihat betapa kini nona itu memandang bulan dengan mata setengah disipitkan. Wah berbahaya, pikirnya. Nona ini agaknya bukan orang bodoh! Jangan-jangan rahasianya akan terbuka sebelum habis perjalanan ini dan ia ngeri memikirkan apa akan menjadi akibatnya dan apa yang akan dilakukan Siok Lan kalau ia tahu dialah Si Pendekar Cengeng.

   "Si Pendekar Cengeng itu......."

   Nah celakakah pikir Yu Lee dan kembali kedua tangannya berhenti mendayung, bahkan ia tidak tahu bahwa perahunya kini mencong arahnya ke pinggir.

   "....... tua mana antara dia dengan engkau?"

   Yu Lee menghela napas lega dan cepat-cepat ia menggerakkan dayung membetulkan arah perahu.

   "Saya tidak begitu ingat lagi, nona""

   Kalau tidak salah, kami hampir sebaya, sama...... kurang lebih begitulah."

   "Siapa namanya?"

   "Yu-kongcu? Namanya Lee."

   Siok Lan kembali berdiam diri merenungi bulan dan Yu Lee mendapat kesempatan untuk sejenak bernapas lega. Percakapan yang diarahkan gadis itu benar-benar menimbulkan gelisah hatinya, akan tetapi juga ia menjadi agak kecewa karena kini ia maklum bahwa kalau tadi gadis ini bertanya-tanya tentang dirinya, sesungguhnya bukan dia yang menjadi perhatian melainkan Pendekar Cengeng!

   Ia mengerling dan melihat gadis itu masih merenungi bulan. Alangkah cantiknya. Kalah cemerlang bulan purnama dengan wajah gadis ini! Pantasnya, bulan begitu cemerlang karena adanya wajah gadis inilah!

   Karena wajah itu berdongak, mulutnya terbuka dan tampaklah deretan gigi yang kecil-kecil dan putih seperti mutiara. Ujung lidah yang kecil merah mengintai di antara gigi. Alis yang kecil panjang hitam itu agak bergerak-gerak, tanda bahwa di dalam kepala yang bagus ini otaknya sedang bekerja. Mau rasanya Yu Lee memberikan seluruhnya miliknya di saat itu kalau saja ia dapat menjenguk dan melihat apa yang sedang dipikirkan gadis itu!

   "A-liok, dia itu kalau dibandingkan dengan engkau......"

   "Dia siapa nona?"

   Yu Lee berpura-pura bertanya.

   "Dia yang bernama Yu Lee itu, kalau dibandingkan dengan engkau misalnya...... siapa lebih tinggi? Bagaimanakah rupanya? Apakah dia...... ah, tampan......? Dan apakah benar-benar dia lihai?"

   Anehnya, dalam bertanya kali ini Siok Lan tidak berani menoleh dan memandang pelayannya, bahkan kedua pipinya tampak kemerahan karena jengah dan malu-malu!

   "Ah, Yu-kongcu itu biasa saja, nona. Orangnya sederhana saja dan tentang kelihaian, saya rasa tidak akan menang dari nona. Saya tidak tahu apakah dia tampan, akan tetapi...... saya rasa biasa malah lebih pantas dikatakan bermuka buruk, agak bopeng, kulitnya hitam, tubuh...... eh, agak tinggi juga tapi agak bongkok!"

   Kacau balau keterangan Yu Lee, dan terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya.

   Setelah kini Siok Lan mencurahkan perhatiannya kepada Pendekar Cengeng, bertanya-tanya tentang diri Yu Lee, tentang ketampanannya eh...... hatinya mendadak menjadi cemburu! Karena biarpun yang dibicarakan adalah dirinya sendiri, namun pada saat itu Yu Lee adalah seorang lain!

   Girang hatinya melihat betapa kini Siok Lan menoleh kepadanya dan alis nona itu berkerut-kerut pandangan matanya jelas membayangkan kekecewaan. Agaknya nona itu tanpa disadarinya mengulang kata-katanya setengah berbisik.

   "Buruk......? Bopeng, hitam dan bongkok......"

   Melihat Yu Lee mengangguk membenarkan, nona itu menghela napas panjang, lalu termenung lagi memandang bulan.

   Yu Lee melirik dan tersenyum lagi. Nona itu benar-benar kecewa sekarang, agaknya kesal dan tidak senang hatinya. Keadaannya menjadi sunyi sekali, malam telah larut dan yang terdengar hanya suara keras dari ujung perahu, suara dengkur si tukang perahu yang tidur pulas saking lelahnya.

   Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Menjemukan benar!"

   Tiba-tiba Siok Lan berkata dengan nada marah.

   Yu Lee melihat terkejut.

   "Apa....... nona? Apa yang menjemukan?"

   "Coba dengar suara dengkurnya...... dengar itu! Seperti babi disembelih!"

   Yu Lee merapatkan bibirnya menahan ketawa. Ia tahu nona ini sedang jengkel, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa mendengar kejelekan Pendekar Cengeng menjadi jengkel, akan tetapi ia tidak berani menambah kemarahannya dengan ketawa.

   Setelah termenung lagi sampai lama, Siok Lan menutup mulut dengan jari-jari tangan kiri dan ia menguap. Yu Lee merasa heran bukan main bagaimana orang menguap bisa kelihatan begitu manis! Pemuda yang masih hijau dalam soal asmara ini tidak tahu bahwa kalau orang sedang dilanda asmara, segala macam gerak gerik "si dia"

   Tentu selalu kelihatan menarik.

   "Kalau nona merasa lelah, harap mengaso."

   "Aku mau tiduran......"

   Kata Siok Lan setelah mengangguk, lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah bilik perahu di tengah, di mana terdapat sebuah gubuk kecil buat tempat berteduh di waktu panas atau hujan. Akan tetapi baru beberapa langkah, nona itu telah memhalikkan tubuh pula lalu bertanya.

   "Eh, A-liok......! Yu Lee itu dibandingkan dengan engkau, siapa lebih...... buruk?"

   Diserang oleh pertanyaan yang tiba-tiba seperti ini serta sama sekali di luar dugaannya. Yu Lee menjadi bingung lalu menjawab gugup.

   "Ah...... nona, mana mungkin saya disamakan Yu-kongcu? Tentu saya lebih buruk, jauh lebih buruk!"

   Aneh sekali, di bawah sinar bulan purnama jelas tampak oleh Yu Lee betapa muka cantik yang tadinya muram kecewa itu kini berseri, tersenyum lebar dan sorot matanya bersinar-sinar. Suaranya juga terdengar riang ketika nona itu berkata.

   "Terima kasih, A-liok......! Aku makin ingin bertemu dengan Pendekar Cengeng yang buruk rupa seperti setan itu!"

   Setelah berkata demikian lalu Siok Lan memasuki ruang gubuk di tengah perahu dan merebahkan diri terus tidak bergerak atau berkata-kata lagi. Tinggal Yu Lee seorang diri, yang tiba-tiba merasa sunyi, ia termenung memikirkan ucapan dan sikap terakhir dari gadis itu.

   Yu Lee terus mengemudikan perahu sambil termenung. Tak habis heran ia terhadap dirinya sendiri. Kenapa ia kini bermain api yang amat berbahaya? Kenapa ia mempermainkan seorang dara yang belum dikenalnya, membohonginya serta membiarkan gadis itu mencari Pendekar Cengeng ke kota raja padahal pendekar yang dimaksudkan itu adalah dia sendiri? Kenapa dia tidak berterus terang saja mengaku dan menanyakan apa yang dikehendaki gadis itu? Ah, kesadarannya memang mendesaknya berbuat begitu, tetapi hatinya tidak mengijinkan. Ia merasa ngeri kalau membayangkan betapa gadis itu menantangnya, memusuhinya, dan...... akan meninggalkannya. Makin malam, makin dalam gemericik seolah-olah berbisik kepadanya.

   "Kau gila...... kau gila......."

   Waktu menjelang pagi, ketika tiba-tiba perahu itu berhenti di tengah-tengah sungai, Yu Lee terkejut, ia menengok ke kanan kiri sungai itu yang penuh rumput alang-alang, kemudian ia melihat bahwa yang menahan perahunya adalah sebuah tambang yang dipasang melintangi sungai. Kemudian ia melihat bahwa di balik alang-alang di kanan kiri sungai tampak banyak sekali perahu-perahu kecil hitam!

   "Eh, mengapa berhenti...... Ada...... ada apakah......?"

   Yang berseru ini adalah A-bouw si tukang perahu. Biarpun sedang tidur pulas, sebagai seorang tukang perahu yang ulung, begitu perahunya berhenti meluncur, ia terbangun dan seketika ia menduga hal yang tidak baik. Apa lagi setelah ia menengok ke arah rumput alang-alang tubuhnya menggigil dan ia cepat mengambil dayung dari tangan Yu Lee seraya berbisik.

   "Harap segera bangunkan lihiap (nona pendekar)! Ada bajak......!"

   Pada saat itu dari tepi sungai meluncur sebuah perahu hitam yang amat cepat dan tampaklah tiga orang di atas perahu itu, yang seorang memegang obor, yang kedua mendayung serta yang ketiga berdiri di kepala perahu, yaitu seorang laki-laki tinggi besar dan sebatang golok besar tergantung di pinggangnya. Setelah perahu ini dekat, laki-laki tinggi besar itu memegangi tambang dan perahu terhenti, itu saja sudah membuktikan bahwa laki-laki itu mempunyai tenaga yang kuat.

   "Huang-ho Sam-liong mengundang Sian-li Eng-cu untuk datang berkunjung!"

   Suara laki-laki tinggi besar itu parau namun keras sekali.

   Yu Lee dapat menduga bahwa yang berjuluk Huang-ho Sam-liong (Tiga Naga dari Huang-ho) tentulah kepala bajak. Selagi ia hendak bersikap pura-pura gugup dan memanggil Siok Lan tampak berkelebat bayangan nona itu yang tahu-tahu telah berdiri di sisinya dan nona itu menghadapi perahu bajak sambil membentak nyaring.

   "Akulah Sian-li Eng-cu dan selamanya aku tidak bergaul dengan bangsa perampok dan bajak sungai! Apakah kehendak kalian menahan perahuku di tengah sungai?"

   Laki-laki tinggi besar itu membungkuk sedikit tanpa melepaskan tambang, lalu ia berkata.

   "Ketiga orang Tai-ong kami telah mendengar nama besar Sian-li Eng-cu yang diketahui akan lewat di sini. Oleh karena hari ini ketiga orang Tai-ong kami sedang menjamu beberapa orang gagah, maka apabila benar-benar Sian-li Eng-cu adalah searang wanita gagah seperti yang dikabarkan orang, maka tiga Tai-ong kami mengundang dan menantang Sian-li Eng-cu untuk mengunjungi markasnya di lembah sungai kalau memang memiliki keberanian!"

   Kata-kata itu biarpun nadanya menghormati namun mengandung tantangan yang hebat dan sekaligus mengandung tekanan bahwa kalau Sian-li Eng-cu tidak menerima undangan berarti dia takut dan tidak memiliki keberanian.

   Undangan macam ini tentu saja sukar ditolak tanpa menimbulkan kesan bahwa yang di undang takut. Akan tetapi Yu Lee yang tidak ingin melihat nona itu terlihat dalam kesukaran sudah cepat menjawab.

   "Eh, twako yang baik. Nona majikanku adalah seorang wanita yang sedang melakukan perjalanan jauh, bagaimana mungkin memenuhi undangan ketua-ketuamu? Harap kau maafkan kami dan beri kesempatan perahu kami lewat. Biarlah lain kali saja nonaku memenuhi......"

   "Baik! Kuterima undangan Huang-ho Sam-liong! Jangan kira bahwa Sian-li Eng-cu takut akan sarang tiga ekor naga Huang-ho! Eh tukang perahu hayo dayung ke pinggir!"

   Bentak Siok Lan tanpa memperdulikan ucapan Yu Lee tadi.

   Yu Lee diam-diam menghela napas panjang. Dia benar-benar telah melakukan sebuah kesalahan besar membohongi nona ini dan membiarkan dirinya terlibat dalam akibat-akibat dari pada watak gadis yang ugal-ugalan dan tidak pernah mau kalah ini!

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini