Pedang Asmara 10
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Bagus!"
Seru Gu Kiat gembira. Bagaimanapun juga, sebagai seorang datuk yang memiliki ilmu silat tinggi, dia merasa tidak enak kalau harus menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan sepasang goloknya yang sudah amat terkenal di dunia persilatan.
"Perampas busuk, engkau pun mampuslah!"
Dan dia pun sudah menyerang dengan terjangan sepasang goloknya yang dahsyat. Dengan tenang sekali, San Hong melompat ke belakang dan melihat betapa teman barunya itu diserang oleh orang ke dua, pemuda tampan itulah yang menjadi khawatir sekali.
"Twako, larilah! Heiiii, kembar busuk. Keroyoklah aku, jangan ganggu dia karena dia bukanlah lawanmu! Kalian keparat-keparat yang curang!"
Akan tetapi, desakan Gu Liat membuat pemuda tampan itu tidak dapat banyak bicara lagi. Dia pun harus mencurahkan tenaga dan kepandaiannya karena tingkat kepandaiannya tidak terlalu banyak selisihnya dengan kepandaian datuk-datuk itu, kalau tidak dibilang dia kalah kuat dalam tenaga sin-kang, di tambah lagi senjata berupa sepasang golok lawan itu memang dahsyat bukan main.
Betapapun juga, hatinya lega ketika dia melirik dan melihat bahwa seorang yang disangkanya hanya pandai sedikit ilmu silat itu kini menghadapi sepasang golok lawan dengan permainan pedang yang amat mengejutkan, juga mengagumkan hatinya. Pedang itu berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar! Memang tidak aneh kalau pemuda tampan itu menjadi kagum dan heran. Ilmu pedang yang dimainkan San Hong memang merupakan ilmu pedang yang amat hebat.
Yaitu ilmu Pedang Kilat, sedangkan pedang yang dipergunakannya juga Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) pemberian seorang di antara Thian-te Ngo-sian. Melihat betapa lawannya amat lihai, San Hong tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedang dan memainkan ilmu pedang itu. Kalau pemuda tampan itu terkejut dan kagum, sebaliknya Gu Kiat terkejut dan khawatir. Tak disangkanya lawannya begitu hebat! Ketika sinar pedang itu bertemu dengan golok kirinya, dia merasa lengannya tergetar, golok itu hampir terpental dan ketika dia memeriksanya, ujung golok kirinya itu patah! Tahulah dia bahwa selain memiliki ilmu pedang yang hebat, pemuda tinggi besar itu pun memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali! Dan melihat kilatan pedang itu mengingatkan dia akan seseorang.
"Hei, bocah sombong! Apa hubunganmu dengan Lui-kong Kiam-sian?"
San Hong tidak dapat menyembunyikan diri lagi.
"Beliau adalah guruku,"
Katanya sederhana.
Mendengar ini besar pula hati Gu Liat. Kiranya pemuda ini hanya murid Lui-kong Kiam-sian, sedangkan kakek Thian-san itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan dia. Bagaimanapun juga, dia pasti akan mampu mengalahkan murid Lui-kong Kiam-sian. Diputarnya lagi sepasang goloknya dan dia pun mengeluarkan ilmu goloknya yang paling ampun, dan dari kedua gagang goloknya, ketika jarinya menekan tombol kecil, menyambar paku-paku beracun ke arah pemuda itu!
San Hong sudah siap menghadapi ini. Tadi dia pun tahu bahwa orang ini yang melepas paku beracun, maka dia sudah berhati-hati sekali. Begitu ada sinar hitam dan suara angin menyambar, dia segera mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan tiba-tiba saja, ketika dia mengelak dari sambaran-sambaran paku, tubuhnya lenyap dari pandang mata lawan dan tahu-tahu Gu Kiat merasa ada serangan pedang dari arah kirinya. Ketika dia menangkis dan membalik, pemuda itu sudah berada di situ dan menyerangnya!
"Ahhh.....!"
Dia terkejut,
dan kedua goloknya membentuk benteng sinar untuk melindungi tubuhnya. Kembali dia menekan tombol dan kini lebih banyak lagi paku menyambar-nyambar ke arah tubuh San Hong, dari atas ke bawah! Kembali pemuda itu mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, kemudian dalam keadaan melayang seperti seekor burung rajawali, pemuda itu dari atas menukik ke bawah didahului sambaran pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat!
Kembali Gu Kiat terkejut karena gerakan gin-kang sehebat itu mengingatkan dia akan orang lihai dari Thian-san Ngo-sian yang lain.
"Apamukah Bu Eng Sianjin?"
Bentaknya.
"Beliau guruku."
Jawab San Hong dengan singkat sambil kini membalas dengan serangan-serangan beruntun. Gu Kiat sudah menjadi kecil hatinya mendengar pengakuan itu. Kiranya pemuda ini bukan hanya murid Lui-kong Kiamsian, akan tetapi juga murid Bu Eng sianjin. Jangan-jangan masih murid dari tiga orang di antara Thian-san Ngo-sian pula, pikirnya dan biarpun dia sudah memutar sepasang goloknya, tetap saja pundaknya kena disentuh ujung pedang di tangan San Hong sehingga baju dan kulit pundaknya terobek! Dengan muka pucat! dia pun meloncat ke belakang, agak jauhi sambil memeriksa pundaknya.
Pada saat itu, pemuda tampan masih saling serang dengan mati-matian melawan Gu Liat. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun tidak mampu mendesak terlalu hebat bahkan biarpun permainan tongkatnya itu cukup membingungkan lawan sehingga beberapa kali ujung tongkatnya sempat menyentuh tubuh lawan, namun serangan itu tidak merobohkan lawan yang sudah melindungi dirinya dengan kekebalan.! Tongkat itu hanya membuat lawan terhuyung, sedangkan kalau Gu Liat menyerang dengan hebat, nyawanya terancam sinar kedua batang golok.Sebaliknya, Gu Liat juga khawatir sekali melihat betapa kakak kembarnya terdesak hebat oleh pemuda berpedang kilat.
Apalagi dia pun mendengar pertanyaan kakaknya dan tahu bahwa pemuda itu murid dua orang pandai, maka dia mengambil keputusan untuk secepatnya mengalahkan pemuda tampan yang memiliki ilmu tingkat luar biasa itu.
"Mampuslah kau.....!"
Golok di tangan kanannya menyambar dengan kekuatan dahsyat karena dia mengerahkan seluruh tenaganya pada golok itu. Pemuda tampan itu terkejut, tidak mungkin mengelak dan menggerakkan tongkatnya untuk menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Krakkk!"
Tongkat itu patah menjadi dua akan tetapi golok itu pun terpental dan terlepas dari pemegangnya.
Akan tetapi, agaknya saat ini sudah diperhitungkan oleh Gu Liat bahkan dia sengaja melepaskan goloknya yang tadi tergetar hebat dalam benturan keras dengan tongkat lawan, lalu tangannya yang kini tidak memegang senjata itu menghantam dengan telapak tangan terbuka ke depan, ke arah dada pemuda tampan! Pemuda itu tidak menduga akan hal ini, dia cepat mengerahkan sin-kang ke dadanya dan dari samping, tangan kirinya mencoba untuk menangkis sambil dia membuang diri ke belakang. Namun terlambat, biarpun tidak amat telak dan tidak begitu keras, dadanya menerima pukulan telapak tangan Gu Liat yang mengandung hawa beracun, yaitu pukulan Ang see ciang.
"Plaaakkk!"
Tubuh pemuda tampan itu tergetar dan terjengkang, dia terhuyung lalu roboh terlentang, napasnya sesak dan dadanya nyeri sekali. Melihat ini, San Hong yang baru saja ditinggal lawannya terkejut dan dengan lengkingan panjang tubuhnya sudah meloncat dengan kecepatan kilat, pedangnya menusuk. Gu Liat terkejut dan cepat menangkis dengan goloknya yang tinggal sebelah.
"Tranggggg. .!"
Golok itu terpental dan terlepas dan bahu kanannya berdarah karena terobek sinar pedang! Gu Liat cepat meloncat jauh dan dua orang saudara kembar itu pun segera berlompatan melarikan diri karena merasa tidak sanggup melawan dua orang pemuda yang amat lihai itu.
"Siauw-te.....! Kau..... kau terluka.....?"
San Hong cepat menghampiri pemuda yang masih rebah terlentang itu. Pemuda itu menekan dadanya, dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Dia..... memukul dadaku....."
Kemudian dia pun terkulai lemas, pingsan! San Hong bertindak cepat dan tenang. Dari seorang di antara para gurunya, yaitu Pek-ciang Yok-sian, dia sudah digembleng dalam ilmu pengobatan. Dia tahu bahwa sahabatnya itu jatuh pingsan karena luka di sebelan dalam dadanya, dan dia tahu pula bahwa dia harus menolong sahabatnya dengan tenaga sin-kang.
Maklum bahwa dia harus cepat melakukan pemeriksaan dan pengobatan, San Hong tanpa ragu-ragu lagi mencengkeram baju di bagian dada kawannya. Dia tadi sempat melihat betapa tangan Gu Liat yang kemerahan menyambar ke arah dada, dan dirobeknya baju di bagian dada itu.
"Brettttt.....!"
"Ahhhhh.....!"
Sepasang mata San Hong terbelalak menatap dua bukit dada yang membusung, buah dada seorang wanita! Aih, bagaimana ini.....? Dia menjadi gugup dan bingung, otomatis tangannya yang masih memegang robekan baju ditutupkan lagi pada dada itu. Karena gerakan ini maka jari-jari tangannya menyentuh bagian tubuh yang lembut itu dan bagaikan memegang tubuh seekor ular dia pun melepaskan baju dan menarik kedua tangannya.
Akan tetapi, hanya sebentar saja dia menjadi gugup. Tidak boleh begini, pikirnya. Sahabatnya ini ternyata seorang gadis! Gadis atau bukan, wanita atau laki-laki, gadis ini menderita luka parah yang amat berbahaya kalau tidak cepat ditolongnya. Dengan sikap tenang sekali karena dia sudah menguasai batinnya, San Hong dengan hati-hati membuka lagi robekan kain yang menutupi buah dada itu, mencurahkan perhatiannya kepada bagian yang terpukul dan membutakan perasaannya kepada bagian lain yang amat menggairahkan.
Dan nampaklah olehnya tapak jari "tangan"
Merah. Hanya tiga buah, tepat di tengah-tengah antara dua buah dada. Agaknya pukulan itu tidak telak sekali sehingga yang membekas hanyalah tiga buah jari, bukan lima. Tanpa ragu lagi dia pun segera duduk bersila dan menempelkan telapak tangan kanannya di atas dada yang berkulit putih mulus itu, di antara dua bukit dada yang hangat sambil menahan perasaan dan mencurahkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga sin-kang. Dari telapak tangannya mengalirlah hawa yang menggetar dan hangat, untuk mengobati luka di dalam itu dan dia tahu, menurut pelajaran yang diterima dari Pek-ciang Yok-sian, bahwa pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) itu mengandung hawa beracun yang harus disedotnya keluar.
Kurang lebih setengah jam San Hong meletakkan telapak tangan kanan dan kiri bergantian di atas dada itu dan kini kedua telapak tangannya sudah berubah merah karena telah menyedot hawa beracun itu! Bekas jari tangan merah yang tadinya menghias kulit dada yang putih mulus itu kini tinggal sedikit lagi, nampak tidak semerah tadi. Pernapasan gadis itu pun kini tidak sesak seperti tadi dan legalah nati San Hong karena dia tahu bahwa keselamatan gadis itu telah terjamin. Bahaya ancaman maut telah lewat. Dia melihat gadis itu menghela napas dan pelupuk matanya bergerak. Cepat dia menarik kedua tangannya dan masih sempat menutupkan robekan kain baju ke atas dada telanjang itu sebelum gadis itu membuka kedua matanya. Gadis itu membuka mata, memandang ke kanan kiri lalu melihat San Hong. Ia agaknya segera teringat akan perkelahian tadi.
"Twako, di mana dua orang jahanam itu?"
Teriaknya sambil melompat berdiri. Ketika ia melompat itu, penutup dadanya terlepas dan nampaklah sepasang buah dadanya.
"Iiihhh... !"
Ia menjerit dan cepat menggunakan kedua tangannya untuk menutupi dadanya.
Dengan sopan San Hong sudah membalikkan tubuhnya dari berdiri membelakangi gadis itu. Gadis itu melihat betapa San Hong membalikkan tubuh, maka ia pun berani memeriksa dadanya. Ada tenda jari tangan merah, hanya tipis, di antara dua buah dadanya, dan ia teringat bahwa tadi ia terkena pukulan lawannya dan roboh. Akan tetapi pukulan itu tidak membuat bajunya robek! Dan sekarang, baju itu robek di bagian buah dadanya, membuat dadanya telanjang! Mukanya berubah merah sekali dan ia cepat mengambil baju dari buntalan pakaiannya dan berganti baju yang utuh. Barulah hilang rasa malunya, akan tetapi kemarahan menggantikan perasaan itu ketika ia memandang kepada San Hong.
"Kwee San Hong!"
Katanya dengan suara nyaring.
"Coba kau membalik dan hadapi aku!"
"Kau... kau sudah berpakaian?"
Tanya San Hong.
"Huh, pura-pura sopan lagi!"
Gadis itu menggerutu.
"Berbaliklah dan jawab pertanyaanku dengan jujur!"
Kwee San Hong membalikkan tubuh dengan hati-hati, dan lega hatinya melihat gadis itu telah berbaju. Kini pandang matanya berbeda. Ternyata pemuda tampan itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Kekagumannya bertambah beberapa kali lipat.
Seorang gadis dengan keberanian seperti itu! Juga memiliki ilmu silat, terutama ilmu tongkat yang hebat! "Engkau terluka kena pukulan beracun....."
Katanya untuk memecahkan kesunyian yang amat tidak mengenakkan hatinya.
"Aku sudah tahu dan aku tidak tanyakan hal itu. Yang hendak kutanyakan, siapa yang merobek bajuku tadi ketika aku pingsan?"
Dengan sejujurnya San Hong menjawab.
"Aku.....!"
"Bagus! Kwee San Hong, kalau tidak engkau yang mampus, aku yang mati di tanganmu!"
Berkata demikian, gadis itu lalu meloncat dan menyerang San Hong dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya dengan tangan terbuka membentuk cakar harimau. San Hong mengelak dan ketika tangan yang mencengkeram ke arah lehernya itu lewat, dia mencium bau amis dan melihat betapa tangan itu berubah menghitam, tanda bahwa gadis itu menyerangnya dengan cengkeraman tangan beracun yang hebat sekali. Bahkan mungkin lebih dahsyat! daripada Ang-see-ciang dari orang kembar tadi!
"Eh, nanti dulu..... eh, Siauw-te....."
"Aku bukan Siauwte-mu! Jangan berpura-pura lagi!"
Gadis itu membentak dan nampaknya semakin marah karena ia menganggap San Hong sengaja menggodanya. Serangannya semakin dahsyat, menggunakan kedua tangan bergantian dan kedua tangan itu sudah berubah menghitam sampai ke siku, tanda bahwa kedua tangan itu mengandung racun yang amat berbahaya.
Dengan kelincahan tubuhnya, San Hong mengelak dan berloncatan mundur. Ketika gadis itu mendesak, dia meloncat jauh ke belakang.
"Nona, nanti dulu...... biar kujelaskan!"
"Tidak perlu banyak bicara lagi! Selagi aku pingsan, engkau merobek bajuku, menelanjangi aku dan untuk itu engkau harus mati!"
Kembali gadis itu menyerang dan terpaksa San Hong harus membela diri kalau dia tidak ingin mati konyol.
Serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu adalah serangan maut, apalagi kedua tangan itu mengandung racun yang amat jahat dan keji. Bergidik dia melihat kedua tangan menghitam itu dan hampir dia tidak percaya betapa pemuda tampan yang tadi bersikap demikian ramahnya, kini berubah menjadi seorang gadis yang begini ganas dan galak, juga kejam dan memiliki ilmu pukulan sesat seperti iblis! Tentu saja dia tidak ingin memukul atau merobohkan gadis itu, akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dia hanya mengelak, akhirnya dia akari terkena pukulan dan tentu dia akan celaka! Dia berhak mempertahankan diri dani dia pun mulai membalas untuk menahan gelombang serangan gadis itu.
Begitu San Hong bersungguh-sungguh dan melakukan perlawanan, gadis itu segera merasakan betapa pemuda tinggi besar itu memang tangguh bukan main. Tadi pun ia sudah tahu bahwa pemuda itu amat lihai, bahkan agaknya mampu mengusir si kembar yang amat tangguh itu. Akan tetapi ia melawan terus dari menghujankan serangan dengan nekat. Ia kalah segala-galanya, baik kecepatan maupun tenaga. Hanya agaknya pemuda itu tidak bersungguh-sungguh ingin mengalahkannya, maka pemuda itu hanya mengurungnya dengan serangan balasan yang beraneka macam dan yang membuat gadis itu kehabisan langkah. Bahkan untuk menghadapi ilmu tangan hitam beracun dari gadis itu, San Hong menggunakan ilmu Tangan Putih yang dipelajarinya dari Pek-ciang Yok-sian (Dewa Obat Tangan Putih), seorang di antara Thian-te Ngo-sian. Dengan ilmu ini, dia dapat dengan tenang menangkis lengan dan tangan gadis itu tanpa khawatir terkena hawa beracun.
Setelah lewat lima puluh jurus, gadis itu maklum bahwa dia tidak akan menang kalau bertanding dengan tangan kosong. Kemarahannya memuncak dan tiba-tiba ia meloncat ke dekat api unggun dan ketika ia menyerang lagi, ia sudah menggunakan sebatang tongkat ranting! Dan hebat sekali memang permainan tongkat ini karena dalam beberapa jurus serangan saja, ujung tongkat itu telah berhasil menyodok perut San Hong! Pemuda itu terkejut.
Kembali gadis itu membabat dengan tongkatnya ke arah lehernya. Dia merendahkan tubuh dan menggerakkan tangan untuk merampas tongkat, akan tetapi tiba-tiba tongkat itu berputar dan tahu-tahu kedua lututnya telah tercium totokan ujung tongkat dan tanpa dapat ditahannya lagi, tubuh Sen Hong terguling. Agaknya gadis itu maklum akan kekebalan tubuhnya karena ketika tongkat tadi memasuk perut, pemuda itu sama sekali tidak merasa apa-apa, maka kini sasarannya adalah totokan ke arah jalan darah!
Begitu terpelanting, San Hong menerima pukulan-pukulan yang biarpun tidak membahayakan keselamatan nyawanya, namun cukup mendatangkan rasa nyeri. Dia dihajar babak belur oleh gadis yang galak itu. Tiba-tiba ujung tongkat itu meraba ubun-ubun kepalanya. San Hong terkejut dan tidak berani bergerak lagi, terutama setelah gadis itu membentak.
"Jangan bergerak atau terpaksa aku akan membunuhmu!"
San Hong maklum bahwa keadaannya memang berbahaya sekali. Biarpun kepandaiannya cukup tinggi dan tingkatnya lebih tinggi daripada tingkat kepandaian gadis itu, akan tetapi permainan tongkat gadis itu sungguh aneh dan hebat bukan main sehingga dengan tangan kosong, dia tidak mampu menandinginya.Sekarang, ubun-ubun kepalanya telah ditodong ujung tongkat. Dia tidak mungkin dapat melindungi bagian ini dengan baik, dan kalau gadis itu mengerahkan sin-kang menusuknya,tentu dia akan tewas atau setidaknya akan cedera hebat. Maka dia pun tidak bergerak.
"Nona, kalau hendak membunuhku, bunuhlah., Akan tetapi selama hidupmu engkau akan sengsara karena merasa berdosa besar, membunuh orang yang sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak bersalah kepadamu."
Katanya, sikapnya tenang dan suaranya juga tenang dan penuh kepasrahan, sedikit pun tidak takut atau marah. Melihat sikap dan mendengar suara yang begitu tenangnya, gadis itu mengerutkan alisnya karena ia memerangi hatinya yang merasa kagum kepada pemuda ini!
"Engkau? Tidak berdosa dan tidak bersalah padaku? Huh, laki-laki memang mau enaknya sendiri saja! Engkau menelanjangi aku. membuka bajuku, bahkan merobeknya, engkau melihat tubuhku, dan engkau bahkan tidak merasa bersalah?"
"Memang benar, Nona. Aku merobek bajumu, bahkan terus terang saja, aku menempelkan telapak tanganku di dadamu....."
"Keparat jahanam!"
Teriak gadis itu. San Hong menanti saatnya ubun-ubun kepalanya ditusuk, akan tetapi ujung tongkat itu sama sekali tidak bergerak.
"Berani kau.....?"
"Habis, apa yang harus kulakukan, Nona? Dengarlah penjelasanku sebelum kau marah-marah. Nanti kalau sudah mendengar penjelasanku, kau mau marah-marah, mau membunuh aku, silakan! Kalau engkau membunuh aku yang tidak bersalah, aku akan menjadi setan berkeliaran dan selalu aku akan mencarimu dan mengganggumu selama hidupmu."
Jelas nampak betapa gadis itu ngeri mendengar ancaman ini.
"Huh, siapa takut? Hayo katakan apa penjelasanmu itu!"
Lalu ia mendekatkan ujung tongkat itu ke ubun-ubun San Hong,
"Awas, cerita sejujurnya. Sedikit saja bohong, kepalamu akan kutembus dengan tongkat ini!"
"Begini, Nona, ketika aku melihat engkau rebah pingsan setelah mengatakan bahwa dadamu terpukul lawan....."
"Eh, bagaimana dengan dua orang saudara kembar itu?"
teringat akan dua orang lawan yang amat lihai itu, ia bertanya.
"Mereka sudah melarikan diri,"
Jawab San Hong dengan suara dan sikap biasa saja karena memang dia tidak merasa bangga dengan kemenangannya.
"Aku tidak dapat mengejar mereka karena melihat engkau terluka, Nona. Ketika engkau pingsan, aku dapat menduga bahwa tentu pukulan yang mengenai dadamu itu amat berbanaya, maka aku..... aku... ah, harap Nona ingat bahwa saat itu engkau adalan siauw-te bagiku, seorang pemuda dan apa salahnya kalau aku membuka baju seorang pria lain untuk memeriksa lukanya? Karena khawatir, aku menjadi tidak sabar dan aku merobek saja bajumu di bagian dada....."
"Tak tahu malu!"
Bentak gadis itu, akan tetapi kini ujung tongkatnya sudah turun, tidak lagi menempel di ubun-ubun kepala San Hong.
"Aku terkejut sekali, Nona..... perasaan sungkan dan malu mendorongku untuk tidak mendekatimu setelah melihat bahwa engkau seorang gadis. Akan tetapi ingatan bahwa mungkin engkau terancam maut, melihat betapa di..... dadamu terdapat tapak jari merah dari pukulan Ang see-ciang, aku merasa khawatir sekali. Maka, dengan memejamkan mata, aku segera menggunakan sin-kang untuk menyedot hawa beracun dari dadamu ke telapak tanganku....."
"Keparat.....! Kau..... kau..... menjamahku, meraba dadaku dengan tanganmu.....?"
Tiba-tiba ujung tongkat itu kembali di tempat tadi, di ubun-ubun kepala San Hong. Pemuda Ini menarik napas panjang. Alangkah anehnya watak gadis ini. Apakah semua wanita begini wataknya? Sungguh merepotkan!
"Nona, bagaimana mungkin aku dapat mengobatimu, dapat melenyapkan hawa beracun dari dalam dadamu kalau tidak kupergunakan telapak tanganku untuk menyedot hawa itu dengan sin-kang? Aku tidak meraba-raba, aku hanya meletakkan tanganku di dadamu, di atas bekas telapak tangan merah itu."
(Lanjut ke Jilid 10)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
"Huh! Tidak perlu meraba dada juga aku dapat mengusir hawa beracun itu! Aku seorang gadis, seorang perawan, mengerti? Dan kau seorang pemuda, berani meraba dada seorang gadis, itu merupakan kesalahan besar sekali, tak terampunkan!"
"Ah, maafkan aku, Nona....."
"Maaf, maaf! Enak saja minta maaf! Kau tahu apa yang terjadi di jaman dahulu kalau ada laki-laki berani meraba dada seorang perawan? Gadis itu akan membunuh diri karena aib, dan laki-laki itu akan dihukum gantung! Senangkah hatimu kalau aku sekarang membunuh diri di depanmu karena malu dan aib?"
San Hong adalah seorang laki-laki polos yang kurang pengalaman. Dia percaya begitu saja dan wajahnya berubah agak pucat, matanya terbelalak memandang wajah yang manis itu.
"Aih, jangan, Nona! Jangan....., aku bersedia minta maaf, bersedia menerima hukuman, akan tetapi jangan engkau membunuh diri karena itu....."
San Hong tidak melihat betapa sinar mata gadis itu berkilau dan mata itu seolah-olah tersenyum wulaupun mulutnya tetap cemberut.
"Kau yang meraba enak saja, aku yang menerima aibnya. Baik, aku tidak akan membunuh diri, akan tetapi engkau hurus minta maaf sambil berlutut kepadaku delapan kali!"
San Hong tidak dapat berbuat lain kecuali harus memenuhi permintaan itu. Kalau gadis yang aneh ini benar-benar membunuh diri, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu sambil berkata.
"Maafkan aku, Nona, maafkan.....
"
Akan tetapi baru tiga kali dia berlutut, gadis itu sudah menyentuh pundaknya dengan ujung tongkat.
"Cukup tiga kali saja, kalau delapan kali orang akan mengira bahwa engkau menghormati orang mati dan aku belum mati!"
Dan dara yang aneh itu pun kini duduk di atas rumput, di depan San Hong yang sudah bersila, dan ia membuang tongkatnya! Wajahnya nampak berseri dan pandang matanya sama sekali tidak marah lagi, bahkan mulutnya yang manis itu tersenyum. Berdebar rasa jantung San Hong karena girang melihat perubahan ini. Kalau dia tahu bahwa berlututnya dapat membuat gadis itu tidak marah lagi bahkan tersenyum-senyum, mau rasanya dia berlutut sampai seratus kali!
"Twako, aku memaafkanmu, akan tetapi lain kali, hitung dulu sampai seratus kali sebelum engkau membuka baju seorang wanita dan hitung sampai seribu kali kalau engkau hendak meraba dadanya."
Kata gadis itu dan senyumnya manis sekali, membuat San Hong menjadi bengong memandang mata dan mulut itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat yang seindah ini. Karena sampai lama dia tidak menjawab dan hanya bengong seperti bergantung pada bulu mata dan sudut bibir itu, sang gadis membentak.
"Heiiiii.....! Apa yang kau lihat itu?"
Dan gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya, gerakan wanita yang amat manis dan lembut, ketika ia melihat San Hong gelagapan seperti orang tidur di siram air dingin.
"Eh....., ohhh....., eh, apa yang kau katakan tadi? O,ya, tentang hitungan....."
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawabnya gagap.
"Aku akan menghitung dulu sampai seribu kali sebelum membuka baju wanita dan akan menghitung sampai sepuluh ribu kali sebelum meraba dadanya....."
Gadis itu tertawa terkekeh-kekeh bahkan hampir terpingkal-pingkal saking geli hatinya. San Hong memandang bengong, dan kebengongannya ini menambah rasa geli di hati gadis itu yang merasa seolah olah perutnya digelitik.
"Kau.... rnentertawakan aku, Nona? "
Tanya San Hong, alisnya berkerut. Melihat pemudu itu agaknya tida senang ditertawakan dan tidak mengerti apa yang menggelikan hatinya, gadis itupun berhenti tertawa.
"Aku mentertawakan engkau yang akan menghitung sampai sepuluh ribu itu! Engkau tentu akan salah menghitung, dan sebelum selesai menghitung, yang hendak diraba pun sudah pergi jauh!"
Gadis itu termenung, lalu mengangkat muka lagi memandang San Hong dengnn penuh perhatian. San Hong rasa seperti seekor binatang yang ditaksir untuk dibeli, maka dia merasa jengah dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Twako yang baik, sebetulnya, akulah yang patut ditertawakan. Akulah yang sungguh tolol....."
"Ah, tidak, Siauw moi.....
"
Dia cepat berkata, girang bahwa dia tidak keliru menyebut siauw-te (adik laki-laki) melainkan siauw-moi (adik perempuan).
"tidak sama sekali! Engkau adalah seorang gadis yang amat hebat, amat cerdik, dan juga memiliki kepandaian yang amat tinggi!"
"Huh, kepandaian tinggi akan tetapi kalah dan hampir mampus oleh seorang di antara Koay-to Heng-te? Menggelikan! Aku begitu tolol sehingga mataku sepertl buta. Aku selalu berprasangka buruk dan salah menilai seseorang. Ketika berjumpa denganmu, aku sudah salah menyangka....."
"Jangan kau merendahkan diri, Siauw moi! Begitu bertemu, engkau dengan tepat sekali dapat menduga bahwa aku telah merampas emas dan perak dan gerombolan perampok!"
"Akan tetapi aku memandang rendah kepadamu! Aku mengira engkau hanya memiliki kepandaian silat rendahan saja!"
Wajah yang manis itu tersipu dan berubah kemerahan.
"Akan tetapi engkau gagah perkasa sekali, Slauw-moi. Engkau bahkan melindungi aku ketika sepasang orang kembar yang lihai itu muncul!"
Cepat sekali San Hong menghibur dan memuji.
Wajah itu semakin merah karena seperti diingatkan akan ketololannya.
"Ya, aku memang tolol! Aku berlagak melindungi engkau, padahal akhirnya engkau yang menyelamatkan aku dan mengusir Koay-to Heng-te itu! Sungguh patut di pukul aku ini. Engkau yang kupandang rendah kiranya malah murid dua orang di antara Thian-san Ngo-sian!"
"Mereka berlima itu adalah guruku, siauw-moi."
Kata San Hong tanpa, maksud membanggakan diri.
"Aihhh....! Pantas engkau hebat!"
Gadis itu berhenti sebentar, lalu disambungnya dengan suara perlahan dan pandang mata jauh.
"Engkau murid lima orang kakek sakti yang berjiwa pendekar....."
"Harap jangan terlalu memuji. Engkau sudah mengetahui semua tentang diriku, namaku, dusunku dan juga nama-nama guruku. Akan tetapi aku sama sekali tidak tahu siapa engkau. Maukah engkau menceritakan namamu dan riwayatmu kepadaku?"
"Namaku Siang Bwee, Ang Siang Bwee."
Jawab gadis itu pendek saja.
"Nama yang bagus sekali! Bunga Bwee memang indah, apalagi Siang Bwee yang berarti Bunga Bwee Harum, dan she mu Ang yang dapat diartikan merah. Jadi engkau adalah Bunga Bwee Merah Yang Harum!"
"Kau merayu! Hi-hi-hik, kiranya Hong-ko yang ketololan pandai pula merayu seorang gadis dan memujl-mujinya!"
Gadis itu menutupi mulutnya ketika tertawa, hal yang disesalkan San Hong karena kalau mulut itu tidak ditutupi akan nampak segala keindahan itu. Bibir merah basah merekah, gigi putih berderet rapi, rongga mulut kemerahan dan lidah yang merah jambu, lesung pipit di kanan kiri pipi!
"Aku tidak merayu, Bwee-moi (adik Bwee), melainkan bicara sejujurnya. Akan tetapi engkau belum menceritakan riwayatmu, siapa orang tuamu, gurumu, tempat tinggalmu....."
Gadis itu menghentikan tawanya dan wajah yang tadinya berseri gembira itu kini nampak murung! San Hong merasa heran bukan main. Kalau gadis ini menjadi seorang pemain panggung sandiwara, tentu akan hebat sekali. Demikian pandainya mengubah wajah, dari gembira menjadi termenung, begitu cepat berubah seperti cuaca di musim hujan.
"Ayahku, juga guruku, namanya Ang Leng Ki, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya, Nam-san Tok-ong atau Nam Tok saja."
Mendengar disebutnya Nam Tok, San Hong melompat berdiri seperti diserang ular berbisa! Matanya terbelalak dan wajahnya pucat dia memandang Siang Bwee seperti melihat iblis di tengah hari.
"Nam Tok.....? Nam Tok si pembunuh keparat itu?"
Katanya, suaranya mengandung kemarahan dan kebencian.
Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Siang Bwee juga melompat berdiri dan mukanya merah, matanya mencorong marah memandang wajah San Hong.
"Apa kau bilang? engkau berani..... berani mencaci ayahku?"
"Ayahmu atau bukan, Nam Tok adalah seorang pembunuh kejam, seorang penjahat besar dan aku akan membunuhnya!"
Dada yang bidang itu naik turun seperti ada gelombang di dalamnya.
"Nam Tok seorang pengecut besar!"
"Tutup mulutmu!"
Siang Bwee membentak,
"Ayahku boleh jadi kejam, akan tetapi dia sama sekali bukan pengecut!"
San Hong tersenyum pahit.
"Bukan pengecut, ya? Dia membunuhi orang sekampung, termasuk ayah ibuku, orang-orang yang
tidak berdaya. Apakah itu bukan perbuatan hina dan pengecut?"
"Bohong!!"
Gadis itu sampai lama terbelalak. Saking terkejut, heran dan marahnya, sukar baginya untuk bicara.
"Ayahku tidak mungkin melakukan hal sekeji dan serendah itu. Orang-orang yang mati di tangan ayahku memang banyak, akan tetapi matinya dalam pertandingan yang adil. Ayahku seorang tokoh besar, paling besar di seluruh daerah selatan! Takkan membunuh orang yang tidak patut menjadi lawannya."
"Tidak perlu kau membelanya. Orang-orang dusun yang sempat melarikan diri semua menjadi saksi bahwa pembunuh orang sedusun itu adalah Nam Tok!"
Siang Bwee adalah seorang gadis aneh dan satu di antara watak anehnya yang diwarisi dari ayahnya adalah kekerasan hati yang membaja. Biarpun ia yakin bahwa ayahnya bukan pelaku pembunuhan itu, namun ia yang sudah menjadi marah kali, sekarang menghadapi San Hong dengan sikap angkuh.
"Hemmm, kalau engkau nekat menganggap ayah sebagai pembunuh orang tuamu dan orang-orang dusun, lalu kau mau apa? Aku adalah puterinya, anak tunggalnya! Nah, apakah engkau mau membunuh aku?"
"Tidak, sama sekali tidak"
Jawab San Hong dengan suara terkejut.
"Yang bersalah adalah Nam. Tok, bukan engkau."
"Akan tetapi dia adalah ayahku! Setidaknya engkau tentu benci padaku, bukan?"
"Tidak, Bwee-moi, aku tidak, benci padamu. Aku juga tidak benci ayahmu, hanya aku harus membunuh Nam Tok yang telah membunuh orang tuaku dan orang-orang dusun yang tidak berdosa itu."
Sikap Siang Bwee melunak mendengar bahwa pemuda yang dikaguminya itu tidak membencinya dan tidak membenci pula ayahnya.
"Hong-ko, janganlah engkau diracuni dendam. Aku yakin bahwa yang membunuh mereka itu bukan ayahku. Hong-ko, kita adalah sahabat bukan. Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membunuh ayahku dan bersamaku akan menyelidiki siapa pembunuh yang sebenarnya."
"Tidak, Bwee-moi. Aku sudah merasa yakin karena banyak saksinya.Nam Tok pembunuhnya dan aku harus membunuh Nam Tok!"
"Tapi ia ayahku. Aku minta kepadamu, Hong-ko, dengan segala hormat aku minta padamu....."
Dan gadis aneh ini kini bersoja memberi hormat sambil membungkukkan tubuh merangkap kedua tangan di dada kepada San Hong. Hati pemuda ini terharu dan dia merasa kasihan kepada gadis itu, akan tetapi meugingat akan kematian banyak orang di dusunnya dia mengeraskan hatinya.
"Tidak, Bwee-moi. Terpaksa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu itu. Maafkan aku."
Sikap gadis itu berubah. Ia berdiri tegak, menegakkan kepala dan membusungkan dadanya.
"Bagus sekali! Kwee San Hong, jangan mengira bahwa aku harus merengek dan minta-minta padamu. Kalau engkau berkeras hendak membunuh ayahku, aku sebagai puterinya harus membelanya!"
Dan ia pun sudah menyambar sebatang tongkat dari atas tanah. Mengingat betapa lihainya gadis ini dengan permainan tongkatnya, San Hong juga mencabut pedang pusakanya yang nengeluarkan sinar kilat. Melihat ini, Siang Bwee terbelalak.
"Kau hendak membunuhku dengan pedangmu itu?"
"Tidak, aku hanya akan membela diri. Aku tidak akan membunuhmu, yang akan kubunuh hanyalah Nam Tok."
"Keparat!. Engkau harus membunuh aku dulu sebelum dapat membunuh ayahku!"
Teriak gadis itu yang cepat menyerang dengan tongkatnya yang gerakannya aneh itu.
San Hong cepat mengelak dan ketika tongkat itu dengan cepatnya terus menyambar, terpaksa dia menangkis dengan pedangnya. Siang Bwee sudah menarik kembali tongkatnya dan menyerang dari sudut lain. Bertubi-tubi gadis itu menyerang, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh San Hong. Seteia lewat tiga puluh jurus, San Hong maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat dihentikan penyerangannya yang nekad kalau tidak dirusak tongkatnya. Tiba-tiba, ketika tongkat itu menusuk ke arah perutnya, San Hong mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar dari atas ke bawah.
"Trakkk!"
Tongkat di tangan gadis itu patah menjadi dua potong! Siang Bwee terbelalak, menjadi makin marah. Dibuangnya dua batang tongkat itu dan iapun menyambar sebatang tongkat lain dari atas tanah, lalu menyerang lebih ganas. Namun, tongkat ini pun dalam beberapa jurus saja telah terbabat patah. Ia berganti tongkat sampai empat kali, akan tetapi setiap kali berganti tongkat, senjata ini terpotong oleh sinar pedang kilat. Dengan gemas ia melemparkan tongkatnya dan menyerang pemuda itu dengan tangan kosong! Tentu saja ini merupakan perbuatan nekat. Menggunakan tongkatnya yang dapat dimainkannya dengan hebat saja ia tidak mampu menang apalagi tanpa tongkat.
"Bwee-moi, aku tidak mau bermusuhan denganmu!"berkali-kali San Hong berseru, akan tetapi gadis itu tidak peduli dan terus menyerang dengan pukulan, cengkeraman atau tendangan. San Hong menyimpan pedangnya dan melayani gadis itu dengan tangan kosong, Siang Bwee bukanlah lawan San Hong. Semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu dan setiap kali lengan mereka bertemu, atau kaki gadis itu bertemu dengan lengan San Hong, gadis itu merasa betapa lengan atau kakinya nyeri sekali, seolah-olah tulang lengan dan tulang kakinya bertemu dengan baja dan mau patah rasanya. Akan tetapi, biarpun kadang-kadang Siang Bwee mengeluh dan merintih, meringis kesakitan, ia tetap nekat menyerang terus! San Hong merasa kasihan sekali, apalagi melihat betapa kedua lengan dan kaki gadis ttu sudah bengkak-bengkak!
"Sudahlah, Bwee-moi, untuk apa dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu."
"Engkau tidak ingin bermusuhan dengan aku, akan tetapi aku ingin bermusuhan denganmu karena engkau memusuhi ayahku!"
Dan ia pun menyerang lagi sekuatnya. Melihat kenekatan gadis itu, San Hong merasa bingung.
Tiba-tiba dia mendorong tubuh gadis itu sehingga Siang Bwee terhuyung ke samping dan ketika gadis itu dapat berdiri tegak lagi, ia melihat pemuda itu telah menyambar buntalan pakaiannya dan melarikan diri dengan cepat, beberapa kali berkelebat saja pemuda itu sudah lenyap tak nampak lagi bayangannya! Siang Bwee berdiri mengepal tinju, hendak mengejar, akan tetapi kedua kakinya terasa nyeri bukan main, juga kedua lengannya berdenyut-denyut nyeri, panas dan perih dan ngilu. Hatinya merasa mendongkol, marah, menyesal, juga sedih dan akhirnya dara ini menjatuhkan dirinya di atas tanah, meraih buntalan pakaiannya dan mengeluarkan beberapa bungkus obat.
Mula-mula diambilnya obat bubuk berwarna merah, dibukanya bajunya dan digosoknya bekas pukulan Ang see-ciang yang masih kemerahan dengan obat bubuk itu. Kemudian ditelannya dua butir pil hitam bulat kecil seperti kotoran kambing, diminumnya bersama air teh yang masih tersisa bekas ia makan bersama San Hong tadi. Kemudian diambilnya sebuah botol terisi minyak dan ia menggosok-gosok kedua lengan dan kakinya bergantian setelah menggulung lengan baju dan kaki celananya. Ia menggosok sambil merintih perlahan karena kaki tangannya terasa nyeri semua, dan ketika ia menggosok-gosok, ia pun teringat akan San Hong, teringat akan kebaikan pemuda itu, teringat betapa tadi makan bersama, betapa pemuda itu berlutut kepadanya untuk minta maaf agar ia tidak membunuh diri.
Begitu mesra, begitu manis, kemudian betapa mereka menjadi musuh, saling serang dan pemuda itu bermaksud untuk membunuh ayahnya! Sambil menggosok kakinya yang bengkak-bengkak, tak terasa lagi Siang Bwee menangis! Tidak menangis sesenggukan, melainkan air matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya. Ia terkejut sendiri ketika air mata itu mengalir turun ke dagu, kemudian jatuh menetes ke atas punggung tangannya. Ia bukan seorang gadis cengeng! Sama sekali bukan! Ia membenci kecengengan dan kelemahan, maka seringkah ia menyamar pria. Akan tetapi sekali ini menangis! Ia mengusap kedua mata dengan punggung tangannya. Akan tetapi air mata itu mengalir terus, butir demi butir, tak tertahankan lagi.
Segala sesuatu yang terasa oleh pancaindera memang tidak kekal adanya! Termasuk pula segala macam nafsunya menimbulkan senang susah silih berganti. Nafsu mendatangkan kesenangan dan kepuasan di saat ini untuk diganti oleh kesusahan dan kekecewaan di saat lain. Hari ini mencinta, besok pagi sudah membenci. Hari ini tertawa, besok pagi menangis. Kita menjadi permainan kembar yang selalu memperebutkan kita untuk dikuasainya, si kembar yang muncul silih berganti, yang ditimbulkan oleh ulah si aku yang selalu mengejar kesenangan dan menjauhi ketidaksenangan. Si-aku yang selalu tidak puas dengan kenyataan yang ada, melainkan selalu mengejar bayangan-bayangan yang menjanjikan sesuatu yang lebih menyenangkan.
Mungkinkah kita manusia ini ingat kembali ke pada Sang Maha Pencipta, mengesampingkan, biarpun sebentar, segala keremehan duniawi dan teringat kepada Tuhan, kembali kepada Tuhan karena hanya Tuhanlah yang akan mampu mengangkat kita dari cengkeraman si kembar suka dan duka? Titik api yang berada di dalam diri ini begitu rindu kepada Pusat Api, tetes api yang berada di dalam diri ini begitu rindu kepada Samudera, namun apa daya titik api yang terkurung di dalam lampu, apa daya tetes air yang terkurung di dalam kendi? Titik api takkan nampak bagai titik api lagi kalau sudah bersatu dengan Nyala Api, tetes air pun tidak akan nampak sebagai tetes air lagi kalau sudah bersatu dengan Samudera.
"Engkau kejam..... ohhh, betapa kejamnya engkau....."
Siang Bwee mengeluh sambil menggosok-gosok lengan kirinya yang matang biru dan agak bengkak bengkak itu. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi sepasang mata memandang kepadanya dari balik sebatang pohon dan ketika sepasang mata itu melihat betapa ia menitikkan air mata, menggosok-gosok kaki tangan sambil merintih dan mengadu kemudian membisikkan kata-kata terakhir itu, sepasang mata yang mengintai itupun menjadi basah. Pemilik mata yang basah itu lalu keluar dari balik pohon menghampiri Siang Bwee lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah gadis itu dalam jarak tiga empat meter.
"Bwee-moi, maafkan aku, Bwee-moi Sungguh mati bukan maksudku untuk menyakiti badanmu atau hatimu. Kalau engkau menganggap aku kejam, nah inilah aku, silakan apa yang hendak kau lakukan, aku siap menerima hukuman yang akan kaujatuhkan kepadaku."
Siang Bwee terkejut melihat munculnya San Hong yang sedang memenuhi pikirannya, ia cepat menurunkan gulungan celana dan baju, meloncat berdiri dan menghapus air matanya. Ia terkejut, dan dan juga kemarahan yang tadi berubah menjadi kedukaan mulai bangkit kembali.
"Mau apa kau..... datang kembali?"
Suara Siang Bwee penuh kemarahan, akan tetapi masih mengandung isak tangis.
"Apa hanya ingin menghina aku karena tidak mampu menandingimu?"
"Sama sekali tidak, Bwee-moi. Aku rasa menyesal sekali bahwa tadi kita telah berkelahi. Ah, bukankah kita telah menjadi sahabat baik? Aku menyesal tadi telah melawanmu. Maka, aku kembali untuk menyatakan penyesalanku dan minta maaf. Kalau engkau masih membenciku, dan hendak membunuhku, silakan, aku tidak akan melawan lagi."
Aneh sekali. Setelah pemuda itu datang dan menyerah, bahkan tidak akan melawan kalau dibunuh, air mata semakin deras mengucur dari sepasang mata gadis yang berpakaian pria itu. Ia merasa betapa kedua kakinya lemas dan iapun menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Keduanya saling berpandangan dengan sinar mata sayu dan wajah muram.
"Hong-ko, berjanjilah bahwa engkau tidak akan memusuhi ayahku. Berjanjilah dan aku mau berlutut di depan kakimu untuk minta maaf....."
Katanya dengan lirih.
Hati San Hong seperti ditusuk-tusuk rasanya oleh perasaan haru. Gadis ini, yang demikian keras hati demikian congkak, kini demikian lembut dan lemah. Hampir saja dia menyanggupi akan tetapi bayangan ayah ibunya yang terbunuh, puluhan penduduk dusun yang tidak berdosa, menjadi korban kekejami Nam Tok, dia menggelengkan kepala keras-keras.
"Tidak, Bwee-moi, kalau itu tidak. Aku harus membunuh Nam Tok!"
Ucapan ini keras karena San Hong mengeraskan hatinya agar tidak runtuh oleh keharuan.
"Kalau engkau membenciku dan hendak membunuhku, silakan, akan tetapi tidak mungkin aku berjanji agar tidak membunuh Nam Tok!"
Siang Bwee merasa demikian berduka hingga ia tidak lagi dapat menahan isak tangisnya. Pada saat itu, terdengar suara bergema, terdengar dari jarak jauh akan tetapi kata-katanya jelas dan satu-satu.
"Siang Bwee.....! Engkaukah itu.....? Kenapa kau menangis.....?", Mendengar ini, Siang Bwee meloncat, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan iapun cepat meloncat mendekati San Hong, mengguncang pundak pemuda itu dan berkata,
"Cepat! Hong-koko, cepat kau pergilah dari sini! Bersembunyilah, cepat! Ayahku datang.....!"
Mendengar ini, San Hong Juga bangkit berdiri dan dia berkata.
"Adik Bwee yang baik. Justeru aku sedang mencari ayahmu. Kalau dia datang, itu baik sekali agar urusan antara dia dan aku segera dapat diselesaikan!"
"Tidak! Engkau tidak akan menang! engkau akan tewas di tangannya, ehhh, engkau tidak tahu. Ayahku sakti, engkau bukan tandingannya!"
"Kalau aku gagal dan tewas di tangannya, aku tidak akan merasa penasaran atau menyesal."
Siang Bwee hendak membujuk lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar lagi suara ayahnya, kini dekat sekali,
"A-bwee.....!"
Maka ia pun mundur, menjauhkan diri dari San Hong, dan wajahnya semakin pucat. Orang yang muncul itu memang hebat. Begitu ada angin menyambar, nampak bayangan merah berkelebat dan dia sudah berdiri di situ! Seorang pria berusia kurang lebih enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa bajunya putih bersih, ikat pinggangnya berupa sabuk emas murni. Jubahnya merah darah, tangan kanannya memegang sebatang tongkat setinggi pundak dani kedua ujung tongkat itu dilapisi emas, gagangnya berukir kepala naga. Sepatunya baru dan mengkilap, rambutnya dihias dengan perhiasan berbentuk naga dari emas melingkari mustika batu giok. Seorang kakek yang kelihatan sebagai seorang hartawan yang kaya raya, sekaligus seperti seorang yang amat gagah perkasa.
"Heiii, Siang Bwee, engkau sungguh membikin kesal ayahmu. Aku rindu padamu dan engkau tidak pulang-pulang. Bagaimana hasilnya engkau mencari calon suami? Wah, engkau menangis tadi. Ada apakah? Siapa yang berani mengganggumu? Dan aku tadi mendengar ada orang hendak membunuh Nam Tok? Siapakah orangnya hendak membunuh Nam Tok?"
"Akulah orang itu! Aku yang hendak membunuh Nam Tok!"
Mendengar ucapan itu, Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki atau lebih populer Nam Tok membalikkan tubuh ke kanan, menghadapi pemuda yang begitu berani mengatakan bahwa dia hendak membunuh Nam Tok. Melihat bahwa yang mengeluarkan ucapan itu hanya seorang pemuda yang usianya hanya kurang lebih dua puluh tahun, Nam Tok menjadi demikian herannya sehingga dia hanya memandang saja dengan matanya yang mencorong. Kalau yang mengeluarkan ucapan itu seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal dan memiliki kedudukan tinggi, dia tidak akan merasa heran walaupun kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja orang-orang yang berani mengeluarkan pernyataan hendak membunuhnya!
"Engkau? Hendak membunuh Nam Tok?"
Akhirnya dia bertanya. Dengan sikap gagah San Hong maju menghampiri.
"Benar, aku hendak membunuh Nam Tok! Apakah Paman yang berjuluk Nam Tok?"
Hampir saja Nam Tok tertawa karena geli. Selama ini, dia ditakuti orang, dihormati orang secara berlebihan. Akan tetapi hari ini, di dalam hutan dan di depan puterinya pula, ada orang yang bersikap sederhana dan biasa saja kepadanya seolah-olah dia hanya seorang kakek petani biasa, bahkan orang itu mengatakan hendak membunuhnya! Lebih hebat lagi, orang itu hanya seorang pemuda yang menjelang dewasa! Kalau yang dihadapinya seorang tokoh besar tentu dia tidak ragu-ragu lagi dan langsung saja menyerang untuk membunuh penantang itu dengan tongkat mautnya Akan tetapi saking herannya, dia jadi ingin tahu lebih banyak.
"Orang muda, engkau tidak gila, bukan?"
Kini San Hong yang memandang heran. Kakek itu bertanya dengan serius, bukan untuk mengejek atau menghina. Dia menggeleng kepala menyatakan bahwa dia tidak gila.
"Kalau tidak gila, kenapa hendak membunuh aku?"
Tiba-tiba Siang Bwee meloncat maju, mendekati ayahnya.
"Nanti dulu, biar aku yang bertanya kepada Ayah. Ayah, engkau tentu tidak akan berbohong kepada anakmu yang kau sayang ini, bukan?"
La merangkul pundak ayahnya.
"Ih, anak manja! Aku selama hidup tidak pernah berbohong!"
Gadis itu tersenyum pahit. Betapa bedanya ayahnya dengan San Hong! Baru ucapan bahwa selamanya tidak pernah berbohong itu saja sudah. merupakan kebohongan! Mana bisa ia mengharapkan ayahnya jujur seperti San Hong? la harus memakai akal!
"Aku percaya Ayah tidak akan berbohong kepadaku. Ayah, aku ingin bertanya. Tahukah Ayah di mana letaknya dusun Po-lim-cun?"
"Hah? Po-lim-cun? Aku tidak tahu entah di mana?"
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab ayah itu yang mengerutkan alis mengingat-ingat akan tetapi tentu saja dia tidak mampu mengingat nama dusun kecil itu. Gadis itu tersenyum cerah. Wajahnya yang tadi pucat kini menjadi kemerahan dan ia menoleh kepada San Hong, memandang dan sinar matanya penuh kemenangan, seolah hendak berkata bahwa ayahnya bukan pembunuh itu karena ayahnya tidak tahu di mana adanya dusun Po-lim-cun! Dusunnya saja tidak tahu, bagaimana dapat membunuh penduduknya?
"Ayah, penduduk dusun Po-lim-cun dibunuh orang tanpa dosa, dan orang orang menimpakan kesalahan kepada Ayah, mengatakan bahwa Nam Tok yang membunuh semua penduduk Po-lim-cun itu. Benarkah itu, Ayah? Tentu bukan Ayah yang melakukan pembunuhan itu!"
"Aahhh, pembunuh di dusun itu? Puluhan orang yang dibunuh! Siapa lagi kalau bukan aku. Nam Tok, yang membunuhnya? Memang aku yang telah membunuh mereka!"
Wajah Slang Bwee kembali menjadi pucat.
"Tapi, Ayah! Bukankah Ayah tadi mengatakan tidak tahu di mana letaknya dusun Po-lim-cun? Kalau tidak mengenal dusun itu, bagaimana mungkin membunuh penduduknya?"
"Mana aku hafal akan nama dusun-dusun itu? Mana aku ingat akan tempat itu? Akan tetapi tentang pembunuhan itu, aku masih ingat. Ya, aku yang membunuh mereka!"
"Ayah, harap jangan main-main dan jangan membohongi aku. Kalau memang Ayah yang membunuh mereka, katakan, siapa yang menjadi pemimpin mereka! Dan apakah Ayah juga tahu akan seorang she Kwee bersama isterinya di antara mereka?"
Kakek itu kembali menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu pemimpin mereka siapa, tidak tahu pula orang she Kwee!"
"Tapi Ayah mengaku telah membunuh mereka! Lalu apa alasannya?"
Merasa disudutkan oleh anaknya, kakek itu mendengus tidak sabar.
"Sudahlah. Mana aku ingat segala macam tikus she Kwee dan pemimpin orang dusun juga aku tidak tahu apa alasannya. Pendeknya aku mengamuk dan membunuhi mereka. Siapa lagi kalau bukan Nam Tok yang mampu membunuhi puluhan orang sekaligus? Ha-ha-ha, hanya Nam Tok yang mampu!"
"Ayah, aku tahu engkau bohong! Ayah telah bohong kepadaku!"
Siang Bwe berseru dengan gelisah. Akan tetapi kakek itu tidak peduli dan pada saat itu San Hong yang telah menjadi marah mendengar pengakuan kakek itu, kini tidak merasa ragu-ragu lagi. Inilah pembunuh orang tuanya dan orang-orang dusunnya. Kakek yang amat jahat dan kejam, yang agaknya bahkan merasa bangga mengaku sebagal pembunuh banyak orang tanpa alasan sama sekali! Biarpun orang ini ayah kandung Siang Bwee, akan tetapi terlalu jahat dan bahkan sekedar membalas dendam kematian puluhan orang di dusunnya itu saja kalau dia sekarang berusaha membunuh kakek ini, melainkan juga memenuhi pesan para gurunya agar dia menentang kejahatan. Dan kakek ini adalah biang kejahatan nomor satu!
"Nam Tok! Sekarang tiba saatnya engkau harus menebus dosamu dan mati di tanganku!"
Bentaknya dan pedang pusaka Pek lui-kiam telah berada di tangannya. Melihat pedang pusaka yang mengeluarkan sinar berkilat itu, Nam Tok mengeluarkan suara mendengus marah.
"Bukankah itu Pek-lui-kiam? Apakah kau murid Lui-kong Kiam-sian?"
"Benar!"
"Dia juga murid para orang gagah yang terkenal dengan julukan Thian-san Ngo-sian, Ayah!"
Teriak Siang Bwee.
Wajah kakek itu berseri.
"Bagus-bagus! Kalau begitu, biarpun masih muda, ia mewakili Thian-san Ngo-sian! Ha-ha-ha, seorang lawan yang tidak memalukan! Murid Thian-san Ngo-sian, majulah dan kerahkan seluruh kepandaian yang kau dapatkan dari lima orang gurumu itu, ha-ha-ha!"
San Hong tidak perlu diperintah lagi. Dia sudah menerjang ke depan dan memutar pedangnya, mempergunakan ilmu pedang Pek-lui Kiam-sut yang amat hebat, sambil mengerahkan tenaga yang dilatihnya dari Thay Lek Siansu, dan kecepatan gerakan tubuhnya yang diwarisinya dari Bu Eng Sianjin! Pemuda ini telah mewarisi bermacam ilmu dari ilmu orang gurunya dan dia pandai menggabung semua ilmu ini sehingga dia amat berbahaya. Apa lagi tangannya memegang sebatang pedang seperti Pek-lui-kiam itu.
"Ha-ha-ha, akhirnya aku dapat berhadapan dengan wakil Thian-san Ngo sian yang tidak mengecewakan!"
Kata Nam Tok yang memang mempunyai hobby aneh yaitu mengadu ilmu dan mempertaruhkan nyawa menandingi orang orang yang paling lihai di dunia ini! Dan selama ini dia memang belum pernah terkalahkan!
Mulailah Nam Tok menggerakkan tongkatnya dan begitu tongkatnya bergerak, angin yang dahsyat menyambar dan membuat rambut dan pakaian San Hong berkibar seperti dilanda angin besar! Pemuda ini tidak menjadi gentar karena ia memang sudah siap siaga, sudah dapat menduga bahwa tentu ilmu tongkat kakek ini luar biasa sekali. Baru ilmu tongkat Siang Bwee saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi ilmu tongkat ayahnya! Oleh karena itu, dia pun memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar pedang yang melingkar seperti perisai yang lebar, yang amat kuat dan dari dalam lingkaran ini kadang-kadang mencuat sinar kilat yang melakukan serangan dari balik perisai!
Dia mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh, maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan! Nam Tok sendiri terbelalak kagum, juga merasa amat gembira. Tadinya dia masih memandang rendah, akan tetapi ketika ujung tongkatnya bertemu dengan lingkaran sinar dan tertolak keras, kemudian ada kilatan sinar dari dalam lingkaran yang menyerang secara bertubi-tubi ke bagian tubuhnya yang berbahaya, dia pun menjadi kagum dan gembira. Inilah lawan yang benar-benar membutuhkan pengerahan tenaga dan kepandaian! Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi. Dikerahkannya tenaga sin-kangnya dia pun menyerang dengan jurus-jurus pilihan. Berbagai macam gerakan serangan yang aneh dan tidak terduga-duga di lancarkan di antara pertahanannya karena lawannya juga menyerang hebat, namun, semua serangannya dapat digagalkan atau dipecahkan oleh San Hong!
Siang Bwee yang nonton di pinggir hampir tak pernah berkedip dan menahan napas. Ia mengkhawatirkan San Hong. Ia tahu betapa lihai ayahnya, dan rasanja tidak mungkin ayahnya akan kalah oleh San Hong. Melihat betapa pemuda ini melawan dengan gigih, dan hampir dapat mengimbangi Ayahnya, diam-diam dia ini merasa semakin kagum dan suka kepada San Hong: Pemuda itu bukan saja mampu menahan semua serangan ayahnya, juga mampu membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya, membuat ayahnya kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng karena penasaran.
Pertandingan itu memang seru bukan main. Apalagi bagi San Hong yang baru saja keluar dari perguruan, bahkan bagi Nam Tok sekalipun, pengalaman seperti ini jarang dirasakannya dalam perjalanan hidupnya. Yaitu, bertemu dengan lawan yang begini tangguh dan berbahaya! Untung yang menjadi saksi hanya puterinya sendiri. Kalau orangorang kang-ouw menyaksikan perkelahian ini, akan kemana dia menaruh mukanya? Nam-san Tok-ong atau yang terkenal dengan singkatan Nam Tok, dalam waktu seratus jurus belum juga mampu mengalahkan seorang lawan yang baru berusia dua puluh tahun! Tentu dia akan menjadi bahan ejekan. Sudah tua bangka, sudah loyo! Dan Nam Tok terkejut ketika merasa betapa lehernya sudah penuh dengan keringat. Memang dia telah mulai loyo, dimakan usia tua!
Biarpun dia melihat betapa lawannya, pemuda itu, juga sudah mulai terengah-engah karena terlampau banyak mengerahkan tenaga. Tiba-tiba Nam Tok mengeluarkan suara melengkung nyaring, lengking panjang dan aneh. San Hong merasa betapa suara itu menggetarkan jantungnya dan dia masih mendengar teriakan Siang Bwee.
"Ayah, jangan.....!"
Akan tetapi, agaknya Nam Tok sudah marah sekali dan tidak mempedulikan puterinya yang melarang dia menggunakan ilmu simpanannya ini. Ilmu itu di sebut Hek-in Pay-san (Awan Hitam Menolak Gunung), didahului dengan teriakan melengking yang mengandung khikang sepenuhnya. San Hong melihat betapa tubuh kakek itu diliputi uap hitam dan ketika tongkat itu menyambar, tercium bau yang amis sekali, sedangkan tenaga yang terkandung dalam tongkat itu menjadi berlipat ganda kuatnya.
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo